Dampak Dampak Freeport

  • Uploaded by: Badru din
  • 0
  • 0
  • September 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dampak Dampak Freeport as PDF for free.

More details

  • Words: 3,659
  • Pages: 15
Kasus PT Freeport Indonesia 2015 Skandal politik di Indonesia

Ketua DPR RI Setya Novanto , tokoh utama dalam kasus ini.

Menteri ESDM Sudirman Said , yang melaporkan kasus ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam politik Indonesia, Kasus PT Freeport, Kasus Freeport, atau Kasus "Papa Minta Saham"[1] adalah sebuah kasus dan skandal politik di mana Ketua DPR RI Setya Novanto (dari Partai Golkar) disebut mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meminta saham dalam sebuah pertemuan dengan PT Freeport Indonesia.[2]

Pada 16 November 2015, Menteri ESDM Sudirman melaporkan Setya Novanto secara tertulis ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.[3] Pada 2 Desember 2015, sidang MKD dimulai dan Sudirman Said memberikan rekaman utuh dan transkip percakapan antara Novanto, pengusaha Riza Chalid dan Direktur Freeport Maroef Sjamsoeddin sebagai bukti perbuatan Novanto.[3][4]

Pada 16 Desember 2015, seluruh anggota MKD (17 orang) memutuskan Novanto bersalah, dengan suara terbanyak (10 orang) memutuskan sanksi sedang, yaitu pemberhentian sebagai Ketua DPR RI.[5] Tujuh anggota lainnya meminta diberikannya sanski berat, yaitu pemberhentian sebagai anggota DPR RI, namun tidak mencapai suara terbanyak.[5] Pada hari yang sama, Novanto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI [6]

Referensi

Sunting

^ "Kasus Papa Minta Saham Membuat Suara Jokowi Meninggi". liputan6.com. 2015-12-07.

^ Kompas Cyber Media. "Sepak Terjang Setya Novanto - Kompas.com Topik pilihan". KOMPAS.com. ^ a b "Begini Kronologi Sudirman Said Laporkan Setya Novanto ke MKD". Tempo Nasional. 2015-12-02. ^ "Sudirman Said "dikeroyok" anggota MKD". BBC Indonesia. 2015-12-02. ^ a b "Hasil Akhir: 10 Anggota MKD Minta Sanksi Sedang, 7 Sanksi Berat untuk Novanto". Detiknews. 2015-12-16. ^ Setya Novanto Akhirnya Mundur dari Jabatan Ketua DPR Tempo.co, tanggal 16 Desember 2015. Diakses tanggal 16 Desember 2015.

Kasus Rekaman PT Freeport, Substansinya Perpanjangan Kontrak

Oleh: Sjafri Ali 26 November, 2015 - 21:08 POLITIK JAKARTA, (PRLM).- Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dari Fraksi Gerindra, Supratman Andi Agtas menegaskan masyarakat harus melihat kasus rekaman PT Freeport dari substansinya, yaitu perpanjangan kontrak Freeport yang dilakukan oleh Menteri ESDM Sudirman Said (SS) sebelum waktunya, yaitu 2015. Seharusnya dua tahun sebelum habis masa kontraknya, yaitu tahun 2019, karena kontraknya habis tahun 2021. Hal itu dilakukan SS dengan berbagai perjanjian dengan Freeport.

“Jadi, sebesar apapun kekuatan DPR RI termasuk regulasi yang dibuat, keputusan itu tetap ada pada pemerintah, dan perpanjangan itu merupakan tindakan pidana yang harus diusut tuntas. Seperti kata Menko Kemaritiman Rizal Ramli, bahwa percepatan itu melanggar UU Minerba,” tegas Supratman dalam diskusi ‘Freeport Gate’ bersama pengamat politik dari Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi, dan Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (26/11/2015).

Selain itu sebagai menteri pembantu presiden, SS seharusnya meminta izin Presiden Jokowi sebelum melaporkan kasus rekaman tersebut. Mengapa? “Beliau itu pembantu presiden, kalau itu tidak dilakukan, maka tidak bisa diproses, dan inilah yang dimaksud MKD sebagai legal standing itu," ujarnya.

Lalu, apakah ini untuk mengalihkan isu karena akan di-reshuffle? “Itu sah-sah saja. Pada prinsipnya, siapa pun yang bermain untuk perpanjangan izin Freeport tersebut harus diusut tuntas. Namun, bukan dengan menutup isu dengan membuka isu yang baru. Di mana Freeport ini harus mensejahterakan rakyat, khususnya rakyat Papua. Bahwa kita tidak anti asing, tapi asing harus mengikuti aturan yang ada di Negara ini,” tambahnya.

Apalagi lanjut Supratman, penerimaan negara dari Freeport selama ini hanya 7 – 8 miliar dolar AS (Rp 96 - 109 triliun), tapi pemerintah setiap tahunnya harus menggelontorkan dana Otsus Papua sebesar Rp 35 triliun. Itu jelas tidak berimbang, maka kasus perpanjangan izin Freeport itu harus dikawal.

Menurut Adhie, Freeport ini sejak masa pemerintahan Gus Dur sudah mengancam, tapi Gus Dur kembali mengancam, sehingga melalui Menko Perekonomian waktu itu, kita melakukan renegosiasi bahwa Indonesia tak akan menggdaikan nasib Papua kepada asing, karena kontrak sebelumnya penuh penyimpangan dan KKN.

“Indonesia dibohongi terus oleh Freeport. Namun, Amerika tersinggung, sampai akhirnya Gus Dur dijatuhkan melalui sidang istimewa MPR RI pada Juli 2001,” jelasnya.

Oleh karena itu kata Adhie, khusus di MKD akan tergantung kepada Fraksi Demokrat, kalau ngotot membela Freeport, berarti ketika pemerintahan SBY ada deal untuk tidak membangun smelter di Papua.

“Jadi, perpanjangan kontrak oleh SS itu menjadi tahap awal untuk menyelidiki kasus Freeport dengan menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri atau orang lain,” tambahnya.

Apalagi menurut Adhie, geng Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang pro Freeport kini sudah masuk istana Negara. Seperti Teten Masduki yang mengatakan bahwa kalau tanpa Freeport Indonesia akan collaps, bangkrut, padahal Negara hanya mendapatkan 7 – 8 miliar dolar AS, berarti Teten Masduki dkk mendukung Freeport.

“Jadi, SS itu hanya membuat sensasi saja seolah-olah ada rekaman karena secara eksplisit dalam rekaman itu tak ada perkataan permintaan saham. Mungkin sensasi itu karena SS menolak untuk direshuffle,” tegasnya.

Dikatakan, jika politik di DPR saat ini membuktikan belum selesainya euphoria Pilpres 2014, sehingga MKD DPR begitu tergesa-gesa untuk menyidangkan Setya Novanto.

“Kita harus sadar bahwa Freeport itu besar, sehingga jangan terfokus kepada Setya Novanto, karena jangan-jangan akibat DPR tolak perpanjangan lalu Freeport menggunakan isu lain untuk menggempur DPR RI,” ungkapnya.

Karena itu dia berharap keputusan MKD nantinya ada tiga rekomendasi; yaitu pertama untuk internal DPR RI sendiri kalau terbukti melanggar etika harus ada sanksinya dan kalau tidak melanggar etika juga demikian.

Kedua, rekomendasi untuk pemerintah bahwa Freeport melanggar hukum, apalagi ditengarai ada penyuapan dalam perpanjangan kontrak, dan ketiga rekomendasi untuk Presiden AS Barack Obama, bahwa perusahaan Anda telah melakukan pelanggaran-pelanggaran. Terbukti sahamnya turun di pasar dunia.

Selain itu kata Adhie, Indonesia bisa membawa kasus itu ke arbitrase internasional, kalau terbukti Freeport bisa disetop, dihentikan. Namun demikian dia khawatir dalam siding di MKD nanti ada kemungkinan intervensi dari berbagai pihak; yaitu Setya Novanto, pemerintah, dan Freeport sendiri.

Enny menegaskan jika Freeport harus mengikuti aturan yang ada di Indonesia. Karena prsayarat investasi pertambangan siapapun harus membangun smelter dan kalau menolak harus keluar dari Negara ini.

“Juga kasus Setya Novanto dan SS, semua harus diproses sesuai mekanisme hukum. Jangan hanya hirukpikuk politik di media, karena hal itu justru merugikan NKRI dan rakyat. Jangan sampai dengan hirukpikuk itu, justru Freeport mengambil keuntungan,” katanya.

Apakah kasus itu by design? Menurut Enny, kita sadar bahwa tahun 2016 ini memasuki masyarakat ekonomi Asean (MEA), terkait kepentingan Amerika Serikat, China, dan lain-lain, di mana mereka sudah mengatur strategi pasar untuk memenangkan pertarungan, tapi kita masih ribut. “Lalu, mau dibawa ke

mana NKRI ini? Maka Indonesia perlu bersatu untuk mengoptimalkan kekayaan alam demi kesejahteraan rakyat khususnya Papua,” tambahnya.

Saham Freeport turun? Diakui Enny, jika Freeport tidak hanya bermasalah di Indonesia, melainkan di seluruh dunia, dan di Indonesia memang yang terbesar. Sehingga begitu ada kasus, sahamnya pasti langsung rontok. Ditambah lagi transkripnya beredar luas dan tidak terkontrol, maka sangat berpengaruh bagi saham Freeport. (Sjafri Ali/A-88)***

PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.(AS). Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

wilayah kerja PT. Freeport Indonesia

Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.

Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.

Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan penganiayaan terhadap para penduduk setempat. Selain itu, pada tahun 2003 Freeport Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut laporan New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan 2004 mencapai hampir 20 juta dolar AS.

I. Pemegang saham

* Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) – 81,28% * Pemerintah Indonesia – 9,36% * PT. Indocopper Investama – 9,36%

II. Bahan Tambang yang dihasilkan

-Tembaga

-Emas

-Silver

-Molybdenum

-Rhenium

kawah-freeport.

Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak-lah jelas karena hasil tambang tersebut di kapal-kan ke luar indonesia untuk di murnikan sedangkan molybdenum dan rhenium adalah merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.

III. Sejarah

Peta lokasi Freeport Indonesia

Dahulu di tengah masyarakat ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari sebuah Ibu, yang menjadi setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat, sehingga secara adat tidak diijinkan untuk dimasuki.

Sejak tahun 1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugme dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.

Tambang Erstberg ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah Grasberg dengan ijin produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada 1996. Dalam ijin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diijinkan adalah 300 ribu /ton/hari

IV. Kontroversi

Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R. Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana (Amerika Serikat), yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.

Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para pejabat pemerintah menunjukkan, Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan

perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.

Gbr. citra satelit tambang Freeport

Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.

4.1 Menyadap e-mail

Menurut seorang pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka lakukan. Freeport menolak mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan dengan perwira-perwira intelijen TNI, mulai menyadap korespondensi email dan percakapan telepon lawan-lawan aktivis lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam kegiatan ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.

Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sendiri untuk mencuri berita-berita melalui e-mail. Caranya adalah dengan membentuk sebuah kelompok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang berminat untuk mendaftar secara online dengan

menggunakan kode rahasia (password) tertentu. Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang sama seperti yang mereka gunakan untuk e-mail mereka. Dengan cara ini, Freeport dengan gampang mencuri berita. Menurut seseorang yang waktu itu bekerja untuk perusahaan ini, awalnya para pengacara Freeport khawatir dengan pencurian ini. Tetapi, mereka kemudian memutuskan, secara legal perusahaan itu tidak dilarang untuk membaca e-mail pihak-pihak di luar negeri.

4.2 Hubungan Freeport dan TNI

Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait.

Tidak ada investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya.

Pada bulan Maret 1996, kemarahan terhadap perusahaan pecah dalam bentuk kerusuhan ketika sentimen anti-perusahaan dari beberapa kelompok yang berbeda bergabung.

Freeport menyadap berita-berita dalam e-mail. Menurut dua orang yang membaca e-mail-e-mail itu pada saat itu, ada unit-unit militer tertentu, masyarakat setempat, dan kelompok-kelompok lingkungan hidup yang bekerjasama. Sebuah pertukaran informasi dengan menggunakan e-mail antara seorang tokoh masyarakat dengan pimpinan organisasi lingkungan hidup penuh dengan taktik intelijen militer. Dalam e-mail yang lain, seorang pimpinan organisasi lingkungan meminta para anggotanya mundur karena demonstrasi telah berubah menjadi kerusuhan.

Dari wawancara yang dilakukan, bekas pejabat dan pejabat Freeport menyatakan, mereka terkejut melihat sejumlah orang dengan potongan rambut militer, mengenakan sepatu tempur dan menggenggam radio walkie-talkie di antara para perusuh itu. Orang-orang itu terlihat mengarahkan kerusuhan itu, dan pada satu ketika, mengarahkan massa menuju ke laboratorium Freeport yang kemudian mereka obrak-abrik.

4.3 Keamanan

Dokumen-dokumen Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer. Setiap komandan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam dokumen itu.

Dokumen-dokumen itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang yang dekat dengan Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan Freeport sendiri, dokumen-dokumen itu asli alias otentik. Dalam respon tertulisnya kepada New York Times, Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai dengan undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja yang aman bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya. Freeport juga mengatakan tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan hubungan dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan bisnis biasa.

Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer — barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan — dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini sudah merekrut seorang bekas agen lapangan CIA, dan atas

rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya untuk bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer Amerika Serikat direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama Perencanaan Operasi Darurat (Emergency Planning Operation) didirikan untuk menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia.

Departemen Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan pembayaran bulanan kepada para komandan TNI, sementara kantor Pengelolaan Risiko Keamanan (Security Risk Management office) mengatur pembayaran kepada polisi. Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan dan keterangan bekas karyawan dan karyawan Freeport. Menurut dokumen perusahaan, Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.

New York Times menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun dari seorang yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga tahun diberikan oleh Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan pada bulan Juli, yang berjudul Paying for Protection (Bayaran Perlindungan) [1] tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia. Diamird 0’Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness di London, mengkritik pembayaran yang dilakukan Freeport itu.

Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima New York Times menunjukkan adanya pembayaran kepada perwiraperwira militer secara perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik seperti biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan bulanan. Para komandan yang menerima dana tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima.

Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada alasan yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secara langsung kepada para perwira militer itu.

Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan pasukan di daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan tahun 2001, ia diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya makanan, dan lebih dari 150.000 dolar di tahun berikutnya. Di tahun 2002,

Freeport juga memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk biaya makan.

Menurut para bekas karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis, dan para perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun 2002 untuk dirinya dan anggota keluarganya.

Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan, para perwira polisi dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi adalah melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai. Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam buku keuangan Freeport sebagai “dana untuk rencana proyek militer tahun 2002”.

Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari 67.000 dolar untuk proyek aksi sipil kemanusiaan. Pembayaran-pembayaran ini pertama kali dilaporkan Global Witness. Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai.

emas batangan yang diperoleh PT. Freeport

Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktek-praktek akuntansi keuangan yang lebih ketat pada perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit militer ketimbang kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan yang tersedia dan seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan perusahaan ini.

Menurut catatan, perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah angka 1 juta dolar di tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti “tambahan pembayaran bulanan,” “biaya administrasi” dan “dukungan administratif.” Freeport menyatakan kepada New York Times, di dalam menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan kebijakan perusahaan untuk

memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.” Menurut catatan yang diterima oleh New York Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar di tahun 2003.

4.4 Sumber

* Laporan investigatif wartawan New York Times Jane Perlez, Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, “Below a Mountain of Wealth, a River of Waste”, 27 Desember 2005. [2] * Disunting dan diberitakan dalam bahasa Indonesia oleh Rakyat Merdeka dengan judul “Menyusuri Sungai Limbah Di Kaki Gunung Emas Freeport” secara bersambung pada 16-22 Februari 2006 [3]

V. Peristiwa

* 21 Februari 2006, terjadi pengusiran terhadap penduduk setempat yang melakukan pendulangan emas dari sisa-sisa limbah produksi Freeport di Kali Kabur Wanamon. Pengusiran dilakukan oleh aparat gabungan kepolisian dan satpam Freeport. Akibat pengusiran ini terjadi bentrokan dan penembakan. Penduduk sekitar yang mengetahui kejadian itu kemudian menduduki dan menutup jalan utama Freeport di Ridge Camp, di Mile 72-74, selama beberapa hari. Jalan itu merupakan satu-satunya akses ke lokasi pengolahan dan penambangan Grasberg. [4] [5] * 22 Februari 2006, sekelompok mahasiswa asal Papua beraksi terhadap penembakan di Timika sehari sebelumnya dengan merusak gedung Plasa 89 di Jakarta yang merupakan gedung tempat PT Freeport Indonesia berkantor. * 23 Februari 2006, masyarakat Papua Barat yang tergabung dalam Solidaritas Tragedi Freeport menggelar unjuk rasa di depan Istana, menuntuk presiden untuk menutup Freeport Indonesia. Aksi yang sama juga dilakukan oleh sekitar 50 mahasiswa asal Papua di Manado. * 25 Februari 2006, karyawan PT Freeport Indonesia kembali bekerja setelah palang di Mile 74 dibuka.

* 27 Februari 2006, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat menduduki kantor PT Freeport Indonesia di Plasa 89, Jakarta. Aksi menentang Freeport juga terjadi di Jayapura dan Manado. * 28 Februari 2006, Demonstran di Plasa 89, Jakarta, bentrok dengan polisi. Aksi ini mengakibatkan 8 orang polisi terluka. * 1 Maret 2006, demonstrasi selama 3 hari di Plasa 89 berakhir. 8 aktivis LSM yang mendampingi mahasiswa Papua ditangkap dengan tuduhan menyusup ke dalam aksi mahasiswa Papua [6] [7]. Puluhan mahasiswa asal Papua di Makassar berdemonstrasi dan merusak Monumen Pembebasan Irian Barat. * 3 Maret 2006, masyarakat Papua di Solo berdemonstrasi menentang Freeport. * 7 Maret 2006, demonstrasi di Mile 28, Timika di dekat bandar udara Moses Kilangin mengakibatkan jadwal penerbangan pesawat terganggu. * 14 Maret 2006, massa yang membawa anak panah dan tombak menutup checkpoint 28 di Timika. Massa juga mengamuk di depan Hotel Sheraton.

* 15 Maret 2006, Polisi membubarkan massa di Mile 28 dan menangkap delapan orang yang dituduh merusak Hotel Sheraton. Dua orang polisi terkena anak panah. * 16 Maret 2006, aksi pemblokiran jalan di depan Kampus Universitas Cendrawasih, Abepura, Jayapura, oleh masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Parlemen Jalanan dan Front Pepera PB Kota Jayapura, berakhir dengan bentrokan berdarah, menyebabkan 3 orang anggota Brimob dan 1 intelijen TNI tewas dan puluhan luka-luka baik dari pihak mahasiswa dan pihak aparat. [8] [9] * 17 Maret 2006, Tiga warga Abepura, Papua, terluka akibat terkena peluru pantulan setelah beberapa anggota Brimob menembakkan senjatanya ke udara di depan Kodim Abepura [10]. Beberapa wartawan televisi yang meliput dianiaya dan dirusak alat kerjanya oleh Brimob. * 22 Maret 2006, satu lagi anggota Brimob meninggal dunia setelah berada dalam kondisi kritis selama enam hari * 23 Maret 2006, lereng gunung di kawasan pertambangan terbuka PT Freeport Indonesia di Grasberg, longsor dan menimbun sejumlah pekerja. 3 orang meninggal dan puluhan lainnya cedera [11]. * 23 Maret 2006, Kementerian Lingkungan Hidup mempublikasi temuan pemantauan dan penataan kualitas lingkungan di wilayah penambangan PT Freeport Indonesia. Hasilnya, Freeport dinilai tak memenuhi batas air limbah dan telah mencemari air laut dan biota laut.[12] [13]

* 18 April 2007, sekitar 9.000 karyawan Freeport mogok kerja untuk menuntut perbaikan kesejahteraan. Perundingan akhirnya diselesaikan pada 21 April setelah tercapai kesepakatan yang termasuk mengenai kenaikan gaji terendah [14]

Related Documents

Dampak Dampak Freeport
September 2019 47
Dampak Atmosfer.docx
April 2020 24
Dampak Korupsi.ppt
June 2020 31
Dampak Pembangunan.docx
April 2020 28

More Documents from "Alvin Purmawinata"

Bab Ii Nw
September 2019 11
Dampak Dampak Freeport
September 2019 47
Pam Hidraulik
April 2020 34
Pen Gen Alan
April 2020 24
Isi Kandungan
April 2020 29