Dampak PSK yang Terdeteksi HIV terhadap Masyarakat Oleh Syaiful W. Harahap* "20 PSK Diidentifikasi Terinfeksi HIV." Itulah judul berita Harian "Radar Timika" edisi 5/11-2009. Jika tidak ada upaya penanggulangan yang konkret maka epidemi HIV akan menyebar luas. Hari AIDS Sedunia yang diperingati hari ini secara internasional mengajak kita merenungkan perilaku agar menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Ada fakta yang sering luput dari perhatian terkait dengan deteksi HIV di kalangan pekerja seks komersial (PSK). Ada anggapan bahwa PSK sebagai sumber penyebaran HIV. Ini tidak tepat karena yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai suami, duda, atau lajang. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antara lain ke PSK. Jika ada PSK yang tertular maka laki-laki yang kemudian tertular dari PSK akan menjadi mata rantai pula yang menambah panjang rantai penyebaran HIV secara horizontal. Negatif Palsu Terkait dengan temuan kasus HIV di kalangan PSK di Timika ada berberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ada kemungkinan PSK itu ditulari oleh penduduk lokal atau pendatang. Soalnya, tidak ada tes HIV terhadap PSK yang baru tiba di Timika. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat sudah ada kasus HIV tapi tidak terdeteksi. Ini terjadi karena tidak ada ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 -15 tahun setelah tertular HIV). Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa disadarinya. Kedua, ada kemungkinan ketika tiba di Timika PSK itu sudah mengidap HIV. Jika ini yang terjadi maka laki-laki, penduduk lokal atau pendatang, yang melakukan hubungan seks dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV karena sudah ada PSK yang mengidap HIV. Laki-laki yang tertular ini akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal). Sedangkan yang tidak punya istri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya, seperti pacar atu PSK. Ketiga, perlu dipertanyakan seperti apa tes HIV yang dilakukan terhadap PSK. Kalau tes yang dilakukan ketika menemukan 20 PSK yang HIV-positif adalah survailans tes maka angka itu hanya berlaku pada kurun waktu tertentu yaitu ketika survailans dilakukan. Selain itu PSK yang terdeteksi HIV-negatif pada survailans itu belum tentu negatif karena bisa saja ketika darah mereka diambil masih dalam masa jendela (tertular di bawah tiga bulan). PSK yang tidak terdeteksi HIV-positif pada survailans itu ada
kemungkinan sudah tertular tapi tidak terdeteksi. Mereka ini menjadi ’sumber’ penularan HIV tanpa mereka sadari. Potensi penyebaran HIV kian tinggi karena ada anggapan bahwa PSK yang tidak terdeteksi HIV-positif itu ’aman’ sehingga laki-laki merasa tidak perlu memakai kondom. Padahal, hasil survailans itu merupakan negatif palsu karena ada kemungkinan di darah mereka sudah ada HIV tapi tidak terdeteksi. Secara epidemiologi 20 PSK yang terdeteksi HIV-positif itu menjadi ’sumber’ penularan HIV sejak sebelum mereka terdeteksi. Karena terdeteksi HIV-positif maka minimal mereka sudah tertular HIV tiga bulan sebelum tes. Andaikan setiap hari seorang PSK meladeni lima laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom maka selama tiga bulan seorang PSK sudah meladeni 300 laki-laki (5 pelanggan x 20 hari x 3 bulan). Karena ada 20 PSK yang positif maka sebelum mereka terdeteksi sudah 6.000 laki-laki lokal dan pendatang yang berisiko tinggi tertular HIV. Kontrol Kondom Penyebaran HIV di Mimika khususnya serta di Papua dan Indonesia umumnya kemudian didorong oleh laki-laki yang tertular HIV dari 20 PSK tadi. Ini baru laki-laki yang berisiko di Timika. Tentu ada lagi laki-laki penduduk Mimika yang tertular di luar daerah yang juga kelak akan menjadi mata rantai penyebaran HIV jika dia pulang ke Mimika. Selama ini tidak ada penjelasan yang akurat tentang siapa sebenarnya yang harus menjalani tes HIV. Seperti yang dilakukan Komisi Penanggilangan AIDS Daerah (KPAD) Mimika terhadap 502 pegawai negeri sipil (PNS) di lingkup Pemkab Mimika perlu dipertanyakan: Apakah tes untuk survailans atau diagnosis? Kalau ters hanya untuk survailans maka hasil tes terhadap 502 PNS itu harus dikonfirmasi lagi dengan tes lain. Lagi pula, apakah 502 PNS itu orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV? Tidak semua orang harus menjalani tes HIV karena tidak semua orang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Sebelum pengambilan darah 502 PNS itu dikonseling dahulu agar ditemukan PNS yang perilakunya berisiko tertular HIV. Kalau PNS yang dites hanya yang perilakunya berisiko maka hasil tes sangat mungkin benar. Tapi, kalau yang menjalani tes semua PNS tanpa ada konseling maka hasil yang diperoleh tidak akurat karena ada positif palsu (di darahnya tidak ada HIV tapi terdeteksi positif karena ada kemungkinan penyakit lain, seperti hepatitis) dan negatif palsu (di darahnya sudah ada HIV tapi tidak terdeteksi). Dalam berita disebutkan " Para pengidap diwaspadai dalam melayani pengunjung, disarankan menggunakan kondom." Ini jelas tidak efektif karena tidak bisa dikontrol. Pengalaman Thailand dalam menerapkan ’program kondom 100 persen’ adalah dengan melakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu menandakan ada PSK yang meladeni laki-laki yang tidak memakai kondom. Pengelola lokalisasi atau rumah bordir diberi peringatan sampai penutupan usaha.
Kalau hanya PSK yang sudah terdeteksi HIV saja yang diwajibkan hanya meladeni lakilaki yang memakai kondom, tentu saja tidak tepat karena PSK yang HIV-negatif pun bisa saja sewaktu-waktu tertular HIV dari pelanggannya. Agar penyebaran bisa ditekan, maka semua laki-laki diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan PSK. Orang-orang yang harus menjalani tes HIV adalah: (a) laki-laki atau perempuan yang sering atau pernah melakukan hubungan seks penetrasi tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti; (b) laki-laki atau perempuan yang pernah melakukan hubungan seks penetrasi tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK; (c) pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV; dan (c) pernah memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Informasi inilah yang perlu disampaikan kepada masyarakat agar mereka menyadari bahwa perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Selanjutnya mereka didorong untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Kian banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. *** * Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM "InfoKespro" Jakarta. URL: http://www.radartimika.com/index.php?mod=article&cat=Opini&article=24726 [Sumber: Harian “Radar Timika”, Timika, Papua, 24 November 2009]