DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ...................................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................................................................ 1 1.2.Rumusan Masalah ................................................................................................................... 1 1.3. Tujuan ......................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Makna Kerja bagi Manusia dan Kehidupan............................................................................ 3 2.2 Makna Kerja bagi agama Katholik. ........................................................................................ 6
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan ......................................................................................................................... 10 3.2 Saran .....................................................................................................................................11 KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 13
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat-Nyalah saya akhirnya bisa menyelesaikan Makalah yang berjudul “Makna Kerja Bagi Manusia dan Dunia ” ini dengan baik tepat pada waktunya. Tidak lupa saya menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam proses penyusunan Makalah ini. Rasa terima kasih juga hendak saya ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga Makalah ini bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan. Meskipun saya sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusunan Makalah ini, namun saya menyadari bahwa di dalam Makalah yang telah saya susun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga saya mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi tersusunnya Makalah lain yang lebih lagi. Akhir kata, saya berharap agar Makalah ini bisa memberikan banyak manfaat demi terciptanya lingkungan yang aman dan bebas dari ancaman erosi.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menurut Peter Drucker (pakar manajemen) kerja adalah bagian sentral di dalam kehidupan manusia. Dengan pikiran dan tubuhnya, manusia mengorganisir pekerjaan, membuat benda-benda yang dapat membantu memudahkan pekerjaan tersebut, dan menentukan tujuan akhir dari kerjanya. Dapat juga dikatakan bahwa kerja merupakan aktifitas yang unik. Kerja bukan lagi merupakan fenomena universal manusia saja, tetapi juga kerja yang melibatkan pekerja-pekerja tangan ataupun pekerja pengetahuan (knowledge worker). Pekerja tangan adalah orang yang bekerja dengan ketrampilan praktis. Betapa berartinya pekerjaan dalam kehidupan sehingga dalam agama manapun sangat mengapresiasi orang yang bekerja dengan baik, semangat, jujur, tabah, sabar dan selalu kreatif mencari solusi manakala menghadapi kesulitan. Setiap orang dapat memberi makna kerja untuk kehidupan pribadi, keluarga ataupun korporasi tempat dia bekerja. KGK 2428 Sewaktu bekerja, manusia melatih dan melaksanakan sebagian dari kemampuan kodratinya. Nilai utama dari pekerjaan itu datang dari manusia sendiri yang menciptakannya dan yang menerima keuntungannya. Pekerjaan memang untuk manusia, dan bukan manusia untuk pekerjaan (Bdk. LE 6). Tiap orang harus dapat menghasilkan melalui pekerjaan itu sarana-sarana untuk memelihara diri sendiri dan keluarganya dan supaya ia dapat menyumbang bagi persekutuan manusia. Dengan demikian, pekerjaan manusia dimaksudkan Tuhan untuk menguduskan manusia. Pekerjaan atau karya manusia tidak dapat dipisahkan dari manusia yang diciptakan menurut gambaran Allah, sebab Allah melibatkan manusia untuk meneruskan karya penciptaan-Nya, demi kesejahteraannya dan sesamanya. Pekerjaan yang dilakukan dalam Roh Kudus, dan dilakukan dengan sabar, dapat menjadi kurban rohani, yang jika dipersatukan dengan kurban Kristus -dalam Ekaristi kudus- dapat menjadi sarana untuk menguduskan dirinya dan dan sesamanya.
1.2 Rumusan Masalah 1. Apa Makna Kerja ? 2. Apa Makna Kerja Bagi Manusia ? 3. Apa Makna Kerja Bagi Kehidupan ?
4. Apa Makna Kerja menurut Agama Katholik ? 1.3 Tujuan Pembahasan Tujuan saya membahas “ Makna Kerja Bagi Manusia dan Kehidupan “ tidak lain agar pembaca atau pemerhati bisa lebih tau apa sebenarnya makna dari kita bekerja baik dalam kehidupan kita sebagai manusia biasa dan makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, Sehingga, kita tidak lagi menyepelekan pekerjaan yang kita tekuni dan menjadikan Firman Tuhan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makna Kerja bagi Manusia dan Kehidupan
Makna Kerja bagi Manusia Kerja. Sebuah usaha atau kegiatan yang wajib dilakukan manusia untuk mencapai sebuah hasil. Sejak kecil, manusia sudah dikenalkan pada kegiatan ini, walaupun kegiatan ini tidak berarti “KERJA” pada umumnya. Yang para anak-anak tahu adalah sejauh mereka menggerakkan badan mereka untuk kegiatan yang bermanfaat.Seperti belajar, membantu orang tua atau membantu orang lain. Kerja juga bukanlah kegiatan yang sia-sia. Dengan bekerja, manusia tentunya akan mendapatkan hasil dari kerja yang telah mereka lakukan. Seorang anak yang belajar dengan tekun akan mendapatkan nilai yang bagus. Anak yang membantu orang tuanya atau orang lain akan membuat orang tuanya atau orang lain tersebut senang. Ungkapan rasa senang itu bisa berupa pujian, belaian, atau mungkin hadiah yang berupa materi, contohnya uang atau barang. Kerja yang sebenarnya baru akan dihadapi manusia saat mereka meninggalkan bangku sekolah. Saat itu usi manusia rata-rata berumur 18 tahun. Sebagian ada yang langsung bekerja , sebagian ada yang kuliah dan sebagian lagi ada yang mengambil keduanya (kuliah sambil bekerja atau bekerja sambil kuliah). Dalam bekerja, manusia menemukan dunia baru yaitu mengenai profesional dan komitmen. Mereka juga dituntut untuk serius. Selain hal-hal tersebut, mereka juga akan menemukan teman baru, lingkungan baru dan pengalaman baru. Ketiga hal tersebut juga sangat berpengaruh pada diri tiap manusia. Biasanya mereka akan mengalami perubahan. Entah itu mundur, maju atau tetap. Tetap disini maksudnya perubahan yang berimbang. Entah mundur negatifnya dan maju positfnya atau justru sebaliknya. Semua hal itu bagaimanapun juga membuat manusia semakin berkembang. Itulah efek dari bekerja. Manusia dapat menggali dan semakin tahu potensi dan kualitas yang dimilikinya. Berkembangnya seorang manusia tentunya merupakan suatu hal yang membangakan hingga mereka sedikit melupakan alasan mendasar dari bekerja itu sendiri.
Makna Kerja bagi Kehidupan Manusia Secara singkat Magnis Suseno menegaskan, bahwa ada tiga fungsi kerja, yakni fungsi reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan diri. Yang pertama, dengan bekerja manusia bisa memenuhi kebutuhannya. Yang kedua dengan bekerja manusia mendapatkan status di masyarakat. Ia dipandang sebagai warga yang bermanfaat. Dan yang ketiga dengan bekerja manusia mampu secara kreatif menciptakan dan mengembangkan dirinya.
Dimensi Kerja
1. Menurut Peter Drucker, ada lima dimensi dari bekerja. Bekerja adalah aktifitas yang dilakukan oleh pekerja. Manusia adalah makhluk yang bekerja. Kerja adalah tanda dari kemanusiaannya. Kerja memiliki dinamika dan dimensi yang inheren di dalam dirinya. a. Dimensi Fisiologis Perlu ditekankan bahwa manusia bukanlah mesin. Cara ia bekerja pun berbeda dengan cara kerja mesin. Mesin bekerja jika hanya mengerjakan satu tugas. Tugas itu haruslah dilakukan berulang dan haruslah sesederhana mungkin. Untuk mengerjakan tugas rumit, mesin harus membagi tugas rumit tersebut ke dalam bagian yang lebih sederhana, barulah mesin itu bisa bekerja. Mesin dapat bekerja dengan baik, jika ritme pekerjaan tersebut tetap dan dengan stabilitas yang terjamin. Manusia bekerja dengan cara yang berbeda. Jika hanya mengerjakan satu pekerjaan secara berulang ia dengan mudah menjadi bosan, lelah dan meninggalkan pekerjaannya itu. Menurut Drucker manusia bekerja secara maksimal jika ia menumpahkan seluruh dirinya di dalam pekerjaannya itu dan bukan hanya fisiknya semata. Jika ia dipaksa bekerja seperti mesin, maka baik secara psikologis ataupun fisik ia akan cepat merasa lelah. Manusia bekerja terbaik di dalam koordinasi dengan manusia lainnya, dan bukan secara individual. Ia bekerja buruk di dalam ritme yang tetap. Ia harus bekerja di dalam suasana yang dinamis bersama dengan manusia lainnya. Tidak ada ritme yang universal yang cocok untuk setiap orang. Setiap orang memiliki ritme bekerjanya masing-masing. b. Dimensi Psikologis Dalam arti ini kerja bisa berarti berkat sekaligus kutuk. Orang perlu untuk bekerja, namun sering kali juga menjadi beban yang sangat berat. Setiap orang sudah dikondisikan untuk bekerja sejak mereka menginjak usia 3-4 tahun. Memang mereka belum boleh bekerja secara resmi di pabrik atau di mana pun. Namun mereka perlu untuk belajar berjalan, berbicara dan yang terpenting belajar untuk menjadi manusia. Menurut Drucker ini semata untuk menciptakan kebiasaan bekerja, untuk melakukan sesuatu guna mengembangkan diri. Dapat dikatakan pula kerja membantu orang untuk menentukan siapa dirinya. c. Dimensi Sosial Kerja menyatukan orang dari berbagai latar belakang untuk bertemu dan menjalin relasi. Profesi seseorang menentukan tempatnya di masyarakat. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa setiap orang butuh untuk kerja, karena ia memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok dan menjalin relasi yang bermakna dengan orang-orang yang ada di sana. Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berpolis. Artinya manusia adalah
makhluk yang membutuhkan kelompok untuk menegaskan dirinya. Dan bekerja adalah cara terbaik untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. d. Dimensi Ekonomis Untuk hidup orang perlu bekerja. Drucker mengatakan hal ini berakar dari fakta, bahwa manusia tidak mampu hidup sendiri. ia tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Maka ia memerlukan orang lain. Dalam kerangka yang besar manusia yang satu melakukan perdagangan dengan manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Di satu sisi jaringan ini memperkuat hubungan sosial namun juga memiliki potensi untuk mendorong terjadinya konflik sosial, sebagai akibat dari perdagangan yang tidak mencerminkan nilai keadilan. e. Dimensi Kekuasaan Di dalam organisasi selalu ada relasi-relasi kekuasaan, baik secara implisit maupun eksplisit. Secara eksplisit kekuasaan paling tampak di dalam hubungan antara atasan dan bawahan, serta hubungan antara konsumen dan prodesen. Di sisi lain ada kekuasaan yang sifatnya implisit, namun efeknya sangat terasa. Seperti krisis global di pasar internasional, bencana alam, dan perubahan iklim yang mempengaruhi proses produksi, distribusi ataupun konsumsi. Drucker berkata masyarakat modern adalah masyarakat pekerja dan akan tetap seperti itu. Oleh karena itu relasi-relasi kekuasaan di dalam pekerjaan pun tidak akan pernah hilang. Otoritas adalah sesuatu yang sangat esensial di dalam organisasi modern. Dengan lugas dapat dikatakan bahwa selama ada otoritas, selama itu pula ada relasi-relasi kekuasaan. 2. Menurut buku filsafat Kasdin Sihotang ada tiga dimensi kerja, yaitu : a. Dimensi Personal Melalui kerja atau pekerjaan manusia menunjukkan nilai kemanusiaannya. Dan hal inilah yang dimaksud bahwa kerja sebagai ungkapan pribadi. Dan dapat dikatakan juga bahwa dengan bekerja manusia membuktikan diri sebagai manusia. Ia tidak ditaklukan oleh kekuatan alam atau materi, tetapi menaklukannya sesuai dengan kemauannya. Manusia menjadi tuan di dunia. Melalui kerja manusia mengungkapkan diri. Di sini kerja adalah tindakan pernyataan diri manusia. Jadi kerja adalah proses subjektivikasi setiap individu. Kerja adalah ungkapan dari keunikan serta totalitas diri dari setiap pribadi. b. Dimensi Sosial Selain mengungkapkan diri, kerja juga memiliki makna sosial. Hal ini seiring dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Hidup manusia adalah sebuah keterlemparan bersama dengan orang lain. Ada manusia adalah ada bersama dengan orang lain. Gagasan Heidegger ini mengandung makna bahwa apa pun yang dilakukan manusia selalu melibatkan orang lain. Ini adalah kodrat mendasar manusia. Keterlemparan justru membuat manusia harus melakukan sesuatu sebagai tanda tanggung jawabnya terhadap orang lain. Karena itu kerja tidak bisa terlepas dari bingkai sosialitas. Itu berarti bahwa kerja tidak hanya sebagai wadah pernyataan diri, melainkan juga sarana perwujudan kepedulian setiap pribadi kepada orang lain. c. Dimensi Etis Kerja juga memiliki aspek etis, aspek ini justru memiliki posisi vital karena aspek ini akan membuat pekerjaan bermakna baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dimensi etis menandakan bahwa kerja berkaitan dengan nilai moral. Secara positif dapat dikatakan setiap pekerjaan memuat nilai kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Nilai-nilai tersebut mencakup, nilai keadilan, nilai tanggung jawab, dan nilai kejujuran.
Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa kerja tidaklah hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, melainkan juga sebagai pembuktian kepada dunia bahwa inilah diri kita yang sebenarnya. Dan tidak hanya sekadar bekerja, namun juga memberikan manfaat bagi orang lain. 2.2 Makna Kerja bagi agama Katholik.
Tak mungkin memperbaiki nasib orang yang bekerja dalam ketergantungan hanya dengan meningkatkan upah minimum. Maka ensiklik Paus Pius XI Quadragesimo Annoberbicara “mengenai tata sosial, mengenai pembaruan tata sosial dan mengenai penyempurnaannya menurut rencana keselamatan injili”, supaya dengan demikian masyarakat kelas (kapitalis) dapat diatasi, dan masyarakat tanpa kelas dan tanpa inisiatif pribadi (sosialis) dihindari. Pius XI menghendaki suatu masyarakat yang berdasarkan solidaritas. Dua puluh tahun kemudian, dalam ensiklik Mater et Magistra, Paus Yohanes XXIII menunjukkan ciri khas masyarakat modern, yakni sosialisasi. Maksudnya, kini banyak orang terjaring dalam hubungan sosial yang makin meluas serta makin rumit dan erat. Makin banyak institusi sosial yang mengikat, makin banyak pula orang yang berada dalam kewajiban yang makin majemuk. Kendati demikian, manusia belum tentu menjadi lebih dekat satu sama lain. Ikatan sosial yang sungguh manusiawi mesti dijiwai oleh kasih, yakni oleh penghargaan bagi pribadi masing-masing. Maka Mater et Magistra (1961) merumuskan asas setiap tata sosial, “Manusia adalah dasar, sebab, dan tujuan segala lembaga sosial.” Asas penghargaan manusia ini diangkat kembali oleh Konsili Vatikan II, dalam konstitusi pastoral Gaudium et Spes (1965). Konstitusi tidak pertama-tama berbicara mengenai tata masyarakat, melainkan mengenai manusia dalam masyarakat, Berdasarkan wahyu dan iman, Konsili merumuskan pandangannya terhadap manusia yang bermasyarakat. Konsili menggariskan suatu antropologi Kristiani dalam hubungan dengan pembangunan masyarakat. Dinyatakan nilainilai dan kebenaran fundamental mengenai manusia, sebagai dasar hidup untuk masyarakat. Sedalam-dalamnya manusia itu makhluk sosial. Menurut pandangan Gereja, masyarakat adalah pertemuan antara pribadi manusia. Manusia tidak pernah lebur di dalam masyarakat (sebagaimana diajarkan oleh marxisme), namun dari pusat kebebasan pribadinya manusia mendekati manusia yang lain. Asas yang mempersatukan masyarakat ialah solidaritas. Kebersamaan antar-manusia dibangun dengan kesadaran bahwa dalam lubuknya yang terdalam umat manusia sudah bersatu. Tak mungkin manusia hidup sendirian. Kita hanya dapat hidup dan berkembang dalam kebersamaan. Maka masing-masing orang bertanggung jawab atas kepentingan bersama dan semua orang bersama-sama bertanggung jawab atas masing-masing warga. Oleh karena itu, agar manusia tetap menjadi “dasar, sebab, dan tujuan segala lembaga sosial“, orang mesti berpegang teguh pada prinsip subsidiaritas. Segala sesuatu yang dapat dikerjakan oleh manusia perorangan janganlah dijadikan urusan bersama. Yang dapat dikerjakan oleh kelompok kecil janganlah dijadikan urusan pemerintah atau negara. Inisiatif pribadi pantas dilindungi. Tanggung jawab pribadi tidak pernah dapat diambil alih oleh masyarakat atau oleh negara. Di dunia profan, para warga masyarakat mempunyai otonomi sendiri yang tidak termasuk wewenang Gereja sebagai pewarta Injil dan pembimbing iman. Di tengah-tengah ikatan sosial dan politik yang semakin erat, pribadi manusia dapat dilindungi, jika orang mengakui hak-hak asasi manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Paus Yohanes XXIII
dalam ensiklik Pacem in Terris (1963). Hak-hak asasi meliputi hak atas hidup dan kemerdekaan, hak atas kerja dan hak untuk dan hak kebebasan agama; hak mendirikan keluarga dan hak bersekutu dan mendirikan perkumpulan, hak mengutarakan pendapat. Pengakuan atas hak-hak asasi bagi semua orang merupakan syarat mutlak untuk hidup bersama dalam damai, baik di dalam masyarakat dan negara maupun dalam hubungan antar-negara dan bangsa. Maka supaya terlaksana hak-hak asasi tersebut, dituntut toleransi yang mengakui itikad baik setiap warga masyarakat, dan terutama kesanggupan untuk “ikut serta secara bertanggung jawab dalam hidup politik sehari-hari” (bdk. GS 76). Dalam hubungan dengan negara, Gereja tidak hanya ingin melindungi martabat pribadi manusia yang tidak pernah boleh “dikuasai” seluruhnya oleh masyarakat. Gereja ingin melindungi “transendensi manusia” dan juga mendorong anggota-anggotanya supaya secara aktif terlibat dalam memikul tanggung jawab politik (bdk. GS 76). Negara bertugas memajukan kepentingan bersama, yakni segala sesuatu yang membantu pribadi dan keluarga manusia agar makin mudah dan makin sempurna mewujudkan hidupnya. Negara adalah pendukung hidup manusia dalam kebersamaan, negara bukanlah penyelenggara. Maka tidak mengherankan, bahwa dalam Centesimus Annus, ensiklik sosial yang paling akhir itu, dikatakan: “Gereja menghargai sistem demokrasi, karena itu menjamin bahwa para warga negara berperan serta dalam mengambil keputusan politik, lagi pula menjamin peluang rakyat bawahan untuk memilih para pemimpin, meminta pertanggungjawaban dari mereka, dan -bila itu memang perlu – menggantikan mereka secara damai. Maka Gereja tidak dapat mendukung terbentuknya kelompok kepemimpinan yang tertutup, yang demi kepentingan khusus atau demi alasan ideologis merebut kuasa negara” (CA 46). Dengan Rerum Novarum (1891), Paus Leo XIII ingin membela kaum buruh dan oleh sebab itu, kerja dan permasalahan kaum buruh menjadi tema perdana dalam ajaran sosial Gereja. Guna mengatasi kemiskinan kaum buruh dan guna membebaskan mereka dari penindasan, Paus Leo XIII mengemukakan ajaran moral: (1) majikan-majikan tidak boleh memperlakukan buruh-buruh sebagai budak. Oleh sebab itu, mereka terutama wajib membayar upah yang adil, yang menjamin hidup layak para buruh; (2) para buruh berhak bergabung dalam perserikatan buruh, supaya dapat mengemukakan tuntutan mereka yang wajar dengan lebih tegas, dan supaya dapat mendesak pelaksanaannya bahkan dengan pemogokan. Paus Leo XIII yakin, asal semua pihak yang bersangkutan (terutama kaum buruh dan majikan, namun juga pemerintah) menjalankan kewajiban masing-masing, masalah sosial dengan sendirinya akan selesai. Melawan pandangan liberalis, paus mengingatkan kewajiban pemerintah melindungi kepentingan para buruh; melawan tuntutan sosialisme untuk meniadakan hak milik pribadi, paus membela hak buruh akan milik, sebagai hasil kerja dan tabungan mereka. Paus mengecam sosialisme(marxis) karena materialismenya. Empat puluh tahun sesudah itu, Paus Pius XI menjelaskan lebih lanjut ajaran Paus Leo XIII itu. Pertama-tama, soal upah yang adil: tidak setiap kontrak kerja dengan sendirinya adil meskipun sudah disetujui oleh buruh. Kontrak kerja antara pemilik modal, majikan, dan buruh baru dapat disebut adil kalau ada kesepakatan mengenai upah yang adil, dan kalau para buruh diberi kesempatan ikut menentukan arah kebijakan perusahaan. Menurut Quadragesimo Anno, upah harus mencukupi kebutuhan buruh sendiri dan keluarganya, kebutuhan material (seperti makan dan kesehatan) maupun kebutuhan budaya (seperti pendidikan dan rekreasi).
Upah mendapat perhatian utama sebab hanya melalui kerja dan upah, orang kebanyakan dapat mengambil bagian dalam kekayaan dunia yang diperuntukkan bagi semua orang. Selain itu, mulai disadari pula bahwa masalah sosial hanya dapat diatasi, kalau pertentangan antara kelas buruh dan pemilik modal dapat diatasi sehingga mereka dapat membina kerjasama. Untuk itu, Quadragesimo Annomengusulkan supaya dalam masyarakat industri dibentuk institusiinstitusi pengantara yang menjalin kerjasama antara buruh dan majikan dalam satu proyek. Paus Pius XI juga mengoreksi salah paham, seakan-akan menurut ajaran sosial Gereja hak milik itu suci. Ditegaskannya bahwa hak milik bersifat sosial. Khususnya modal besar harus dipakai demi kesejahteraan umum dan negara, dan pemerintah harus mengawasi hal itu. “Modal tidak boleh dipakai melawan kepentingan kerja” (LE). Konsili Vatikan II juga berbicara mengenai kerja, namun terutama mengenai nilai “kegiatan manusia, baik perorangan maupun kolektif, yaitu usaha raksasa yang dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi hidup manusia”. Usaha manusia itu “sesuai dengan rencana Allah” dan “kemenangan-kemenangan bangsa manusia menandakan keagungan Allah” (GS 34). Kerja manusia itu luhur, juga kerja para buruh. Maka sambil memuji prestasi kemajuan ekonomi, Konsili menegaskan bahwa dalam usaha-usaha ekonomi “kerja manusia … lebih unggul daripada faktor-faktor ekonomi lainnya yang hanya bersifat sarana” (GS 67). Oleh sebab itu, harus diusahakan kondisi kerja yang sesuai dengan martabat manusia, upah yang memadai, dan partisipasi karyawan dalam menentukan kebijakan perusahaan dan ekonomi nasional. Ajaran sosial Gereja tidak mengutuk ekonomi kapitalis, beserta bentuk perusahaan, manejemen dan cara kerjanya. Namun ditegaskan bahwa perusahaan merupakan persatuan manusia, bukan persatuan uang saja. Ajaran sosial Gereja mengecam pemikiran kapitalis yang mengutamakan kepentingan modal di atas kepentingan buruh, politik kapitalis yang mempekerjakan buruh guna meraih keuntungan semata-mata, sehingga buruh dianggap sebagai “tenaga kerja” saja. Maka masalah kerja lebih luas daripada masalah upah. Sistem kerja dan sistem berpikir harus diubah, supaya dunia kerja menjadi lebih demokratis. “Kepentingan kerja di atas kepentingan modal” menjadi semboyan dalam ensiklik Laborem Exercens. Di sini Paus Yohanes Paulus II mengajak agar manusia mengatasi cara pikir dan sistem ekonomi kapitalis, yang memperlawankan modal dan kerja, sebab dalam bentuk mana pun (entah sebagai uang atau mesin, entah sebagai pengetahuan atau sebagai ketrampilan) modal adalah hasil kerja. Maka tata perusahan hanya tepat (artinya: benar dan secara moral baik) kalau pada dasarnya mengatasi pertentangan antara kerja dan modal, dan kalau terarah guna mewujudkan prinsip yang disebut di atas. Kepentingan kerja ditempatkan di atas kepentingan modal. Modal tidak pernah dapat dilawankan dengan kerja. Hak milik pribadi ditempatkan di bawah hak umum atas kesejahteraan. Namun, dari pihak lain dipegang teguh prinsip bahwa manusia bukan alat masyarakat. Kesejahteraan umum harus memberi tempat dan peluang untuk perkembangan pribadi dan inisiatif manusia. Paus Yohanes Paulus II mengembangkan semacam pluralisme dalam tata ekonomi: tidak segala keputusan dalam tangan pemilik kapital (modal), tetapi juga tidak semua diatur oleh pemerintah. Di samping peranan majikan, diperhatikan juga pengaruh dari apa yang oleh Paus Yohanes Paulus disebut “majikan-tidak-langsung”, yakni segala peraturan kerja, kondisi produksi, pemasaran, pendidikan, pendeknya segala faktor
kemasyarakatan yang mempengaruhi situasi kerja dan untuk sebagian harus diarahkan atau diatur oleh pemerintah. Oleh sebab itu, dalam hal kerja dan modal tidak lagi berlaku keadilan individual, melainkan segalanya ditentukan dalam rangka hidup bersama oleh manusia yang berdaulat dalam masyarakat. Nilai kerja tidak hanya dikhianati dengan upah yang tidak cukup untuk hidup. Nilai kerja dikhianati lebih keras lagi, kalau orang yang mencari kerja tidak mendapat tempat kerja. Terutama bagi orang yang tidak mempunyai ketrampilan khusus, tertutuplah pintu pada dunia kerja dan dengan demikian juga pada kekayaan bumi yang dimaksudkan untuk semua. “Sementara kekayaan alam yang raksasa tidak dimanfaatkan, ada lautan orang yang menganggur atau setengah menganggur dan yang menderita kelaparan. Hal itu membuktikan dengan jelas, bahwa dalam negara-negara kita dan dalam hubungan antar-negara, pada tingkat kontinental dan tingkat dunia, ada sesuatu yang tidak tepat dalam tata kerja dan hubungan kerja” (LE 18). Ajaran sosial Gereja mengajak semua, supaya mengerahkan keahlian ekonomi dan inisiatif para usahawan bersama keinginan kaum buruh untuk maju. Dengan demikian, diharapkan bahwa orang yang mau bekerja memperoleh pekerjaan dan jaminan hidup. Kesempatan kerja adalah tuntutan keadilan yang dasariah.
BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan. Kerja. Sebuah usaha atau kegiatan yang wajib dilakukan manusia untuk mencapai sebuah hasil. Sejak kecil, manusia sudah dikenalkan pada kegiatan ini, walaupun kegiatan ini tidak berarti “KERJA” pada umumnya. Yang para anak-anak tahu adalah sejauh mereka menggerakkan badan mereka untuk kegiatan yang bermanfaat.Seperti belajar, membantu orang tua atau membantu orang lain. Kerja juga bukanlah kegiatan yang sia-sia. Dengan bekerja, manusia tentunya akan mendapatkan hasil dari kerja yang telah mereka lakukan. Seorang anak yang belajar dengan tekun akan mendapatkan nilai yang bagus. Anak yang membantu orang tuanya atau orang lain akan membuat orang tuanya atau orang lain tersebut senang. Ungkapan rasa senang itu bisa berupa pujian, belaian, atau mungkin hadiah yang berupa materi, contohnya uang atau barang. Kerja tidaklah hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, melainkan juga sebagai pembuktian kepada dunia bahwa inilah diri kita yang sebenarnya. Dan tidak hanya sekadar bekerja, namun juga memberikan manfaat bagi orang lain. Nilai kerja tidak hanya dikhianati dengan upah yang tidak cukup untuk hidup. Nilai kerja dikhianati lebih keras lagi, kalau orang yang mencari kerja tidak mendapat tempat kerja. Terutama bagi orang yang tidak mempunyai ketrampilan khusus, tertutuplah pintu pada dunia kerja dan dengan demikian juga pada kekayaan bumi yang dimaksudkan untuk semua. “Sementara kekayaan alam yang raksasa tidak dimanfaatkan, ada lautan orang yang menganggur atau setengah menganggur dan yang menderita kelaparan. Hal itu membuktikan dengan jelas, bahwa dalam negara-negara kita dan dalam hubungan antar-negara, pada tingkat kontinental dan tingkat dunia, ada sesuatu yang tidak tepat dalam tata kerja dan hubungan kerja” (LE 18). Ajaran sosial Gereja mengajak semua, supaya mengerahkan keahlian ekonomi dan inisiatif para usahawan bersama keinginan kaum buruh untuk maju. Dengan demikian, diharapkan bahwa orang yang mau bekerja memperoleh pekerjaan dan jaminan hidup. Kesempatan kerja adalah tuntutan keadilan yang dasariah. 3.2 Saran . Setiap pembaca bisa mengambil hikmah dan makna kerja yang benar, bukan hanya secara duniawi melainkan dapat mengambil kesimpulan bahwa kerja merupakan sebuah ajaran sosial Gereja mengajak semua, supaya mengerahkan keahlian ekonomi dan inisiatif para usahawan bersama keinginan kaum buruh untuk maju. Dengan demikian, diharapkan bahwa orang yang mau bekerja memperoleh pekerjaan dan jaminan hidup. Kesempatan kerja adalah tuntutan keadilan yang dasariah.
DAFTAR PUSTAKA Siringoringo, Martua. “Pendalaman Iman Katholik”. 6 Desember 2018. Ingrid, Stefanus. “ Makna Pekerjaan Manusia ”. 6 Desember 2018. Wattimena, Reza. “ Makna Kerja dalam Hidup Manusia ”. 6 Desember 2018.