Judul Jurnal : Withdrawal-induced delirium associated with a benzodiazepine switch: a case report Nama Jurnal : Journal of Medical Case Reports 2011, 5:207 Penulis
: Herbert Bosshart
RESUME JURNAL 1. Pendahuluan Obat hipnotik dan sedatif tipe benzodiazepine (BZD), diperkenalkan pada tahun 1960-an, menandakan kemajuan mayor pada penanganan kecemasan, depresi, insomnia, dan kejang, setidaknya karena perbaikan indeks terapi mereka. BZD pertama dipasarkan oleh F. Hoffmann-La Roche, chlordizepoxide (Librium®) dan diazepam (Valium®), menjadi sangat populer. Diazepam adalah obat yang sangat sering diresepkan di Amerika Serikat dan Eropa selama hampir dua dekade. Bahkan dengan pengenalan sejumlah BZD lain, diazepam masih menjadi salah satu BZD pilihan pertama di antara para pemberi resep dan pada tahun
1985
ditambahkan
dalam
daftar
obat
esensial
WHO
untuk
antikonvulsannya, anxiolitik, hipnotik-sedatif, dan penggunaan pra-medis. Pada tahun 2009, lorazepam ditambahkan dalam daftar ini dan kini direkomendasikan sebagai alternatif diazepam, terutama untuk sifat antikonvulsannya. Efikasi lorazepam yang lebih unggul dibandingkan diazepam pada penanganan status epileptikus, yang ditunjukkan oleh Alldredge dkk hampir satu dekade lalu, dijelaskan, setidaknya, oleh sifat farmakokinetik dari kedua obat, yang digambarkan secara rinci pada tahun 1980-an oleh Greenblatt dkk. Gejala putus obat yang berhubungan dengan BZD telah ada sejak BZD digunakan. Hingga bertahun-tahun, menjadi sangat jelas bahwa penggunaan BZD kronik menghasilkan
toleransi,
fenomena rebound
dan ketergantungan,
membuatnya sulit bagi pasien untuk menghentikan penggunaan BZD.Dua opsi penanganan dasar yang tersedia untuk pasien dengan penggunaan BZD kronik adalah (i) berhentinya BZD atau (ii) maintenans BZD dosis rendah. Saat 1
berhentinya BZD lebih direkomendasikan, strategi detoksifikasi BZD yang sering digunakan ialah mengalihkannya menjadi diazepam, atau dengan BZD lain atau metabolit aktifnya, diikuti dengan penurunan dosis obat dengan lambat. Pada orang-orang dengan penggunaan BZD kronik, peralihan BZD menjadi diazepam sering menghasilkan gejala putus obat ringan hingga sedang, berupa gangguan persepsi, mood dan kognisi, atau gangguan fungsi sensorik dan motorik. Namun, komplikasi medis berat, seperti kejang atau delirium, yang diketahui terjadi relatif jarang, bahkan setelah menghentikan BZD dengan tiba-tiba, berhubungan dengan transfer menjadi diazepam. Secara khusus, delirium akibat lorazepam yang berhubungan dengan peralihan dari lorazepam ke diazepam belum pernah dilaporkan. Namun, menariknya, Onyett menunjukkan pada awal 1989 bahwa, pada beberapa kasus, mengalihkan pasien dari lorazepam ke diazepam memerlukan titrasi silang. Mungkin satu-satunya laporan yang menggambarkan kasus serupa dipublikasi oleh Zipursky dkk. Penulis menggambarkan pasien berusia 68 tahun dengan delirium akibat putus obat yang tidak berespons terhadap penanganan dengan diazepam tetapi berespon terhadap penanganan dengan alprazolam. Pada laporan ini, kami menggambarkan kasus wanita usia tua dengan sejumlah kondisi mental dan fisik yang mengalami status delirium akut setelah dialihkan dari lorazepam menjadi diazepam. Farmakokinetik obat dan kerentanan psikiatrik dipertimbangkan sebagai faktor penyebab yang mungkin.
2. Presentasi Kasus Soerang wanita Kaukasia berusia 64 tahun dengan depresi mayor (PPDGJ (DSM IV-TR): 296.33)), ketergantungan alkohol (DSM IV-TR: 303.90), dan ketergantungan benzodiazepine (lorazepam) (DSM IV-TR: 304.10) dirujuk ke bangsal spesialis untuk penanganan penggunaan zat dan gangguan mental. Penggunaan alkohol harian dimulai sejak 10 tahun sebelum masuk RS dan penggunaan lorazepam harian setahun sebelumnya. Selain itu, pasien kami 2
memiliki riwayat kondisi medis dimana ia telah menerima pengobatan. Levotiroksin digunakan untuk menangani hipotiroidisme (hormon yang menstimulasi tiroksin < 0,01 mU/L; fT4= 20,9 pmol/L, fT3= 8,5 pmol/L), terapi penggantian hormone wanita standar terdiri dari 1 mg 17β-estradiol dan 5 mg dydrogesterone digunakan untuk meringankan dan mencegah gejala terkait dengan menopause, dan atorvastatin diresepkan untuk mengontrol hiperlipidemia. Felodipine, metoprolol, dan lisinopril digunakan untuk menangani hipertensi. Salisilat digunakan untuk mencegah infark myokard. Pantoprazole digunakan untuk meringankan gejala yang berhubungan dengan refluks gastroesofagus. Seluruh peresepan, meliputi percobaan sebelumnya dengan antidepresan mianserin, ditoleransi dengan baik tanpa efek samping yang signifikan, kecuali mianserin, dilanjutkan setelah masuk RS tanpa perubahan dosis. Pada saat masuk RS, lorazepam, pada dosis 5 – 10 mg/hari, dimulai untuk mencegah gejala putus obat terkait alkohol dan BZD. Penanganan antidepresan dengan mianserin (60 mg/hari) menghasilkan respon parsial. Percobaan tambahan 3 minggu dengan venlafaxine (dosis maksimal 450 mg/hari) menghasilkan perbaikan lebih lanjut dari gejala depresi. Namun, gejala depresi residual tetap bertahan dan mianserin dialihkan menjadi mirtazapin (dosis maksimal 75 mg/hari). Remisi lengkap dicapai dua bulan kemudian dan venlafaxine dipertahankan pada dosis 150 mg/hari dan mirtazapin pada dosis 60 mg/hari (pencegahan kekambuhan). Lorazepam diturunkan dosisnya dan dihentikan setelah 6 minggu pengobatan. Sehari setelah dosis terakhir lorazepam, pasien kami mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian dan menunjukkan tanda agitasi psikomotor, kecemasan, dan gangguan proses piker, berupa longgar, tidak logis, dan hubungan tangensial. Gejala disosiatif juga ditemukan. Tanda-tanda tersebut konsisten dengan sindrom putus obat BZD (DSM IV-TR: 292.0) dan menunjukkan bahwa fase penghentian yang lebih lama mungkin diperlukan. Delirium tidak didiagnosis pada saat ini karena orientasinya masih intak dan 3
keparahan gejala tidak melebihi dari yang biasanya berhubungan dengan sindrom putus obat BZD. Lorazepam dilanjutkan pada dosis 3 mg/hari. Gejala putus obat mulai pulih dan lorazepam dipertahankan pada dosis 3 mg/hari selama sebulan. Lorazepam kemudian dihentikan tanpa penurunan dosis, dan diazepam dimulai pada dosis setara 15 mg/hari. Kurang dari sehari setelah peralihan BZD, pasien kami menjadi sangat irritable dan teragitasi dan akhirnya mengalami fluktuasi tingkat kesadaran dengan penurunan kejelasan kesadaran dan penurunan kemampuan mempertahankan perhatian. Disorientasi, bicara yang tidak dapat dimengerti, dan defisit memori juga ditemukan. Diagnosis delirium intoksikasi BZD dikesampingkan berdasarkan tidak adanya bicara cadel, inkoordinasi, gangguan berjalan, nistagmus atau stupor. Pasien kami didiagnosis dengan delirium putus obat BZD (DSM IV-TR: 292: 81) dan menerima 4 mg lorazepam dikombinasi dengan 4 mg haloperidol. Status delirium akut pulih dalam hitungan jam dan pasien kami tetap dalam keadaan baik. Haloperidol dihentikan setelah 2 minggu. Lorazepam dilanjutkan pada dosis 4 mg/hari. Pasien kami sembuh satu bulan kemudian dengan dosis maintenans lorazepam 4 mg/hari. Tinjauan awal mengenai peresepan dan uji diagnostik yang dilakukan pada sejumlah pengobatan gagal mengungkapkan kerentanan pasien kami terhadap status delirium. Kecuali sedikit peningkatan kadar diazepam plasma pada penggunaan metoprolol, tidak ada interaksi obat yang relevan yang teridentifikasi. Pemeriksaan fisik, uji laboratorium, dan analisis cairan cerebrospinal hasilnya biasa saja. Secara khusus, tidak terdapat bukti disfungsi hepar. Kadar alanin dan aspartat aminotransferase, alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase, dan bilirubin serum normal. Waktu protrombin dalam kadar normal. Γ-glutamyl-transferase serum sedikit meningkat (74 U/L; kadar normal, < 55 U/L). Namun, konsentrasi O-desmethyl-venlafaxine serum (metabolit venlafaxine hepar) 7 kali lipat lebih tinggi dari venlafaxine. Hasil-hasil tersebut menunjukkan fungsi hepar normal dengan metabolism obat hepatik intak dan
4
menganyampingkan diagnosis banding ensefalopati hepatica yang dieksaserbasi diazepam. Rekaman elektroensefalogram menunjukkan ritme gelombang alfa (11 – 12 Hz) dan gelombang beta (18 – 22 Hz) seperti yang diduga selama penanganan dengan lorazepam. Bentuk epileptiform atau abnormalitas fokal tidak ada. Rekaman elektrokardiogram menunjukkan ritme sinus normal dengan frekuensi sekitar 90 per menit. Uji neuropsikologi hanya mengungkapkan defisit kognitif ringan. Pada waktu itu, uji tersebut dilakukan pasien kami yang menerima pengobatan untuk menangani kondisi fisiknya seperti dijelaskan sebelumnya. Selain itu, ia menerima mirtazapin (60 mg/hari), venlafaxine (150 mg/hari) dan lorazepam (4 mg/hari). Skor Mini-Mental State Examination sebesar 27. Uji Consortium to Establish a Registry for Alzheimer’s Disease mengungkapkan gangguan kognitif minimal, terutama mempengaruhi memori verbalnya (sistem hippocampus kiri), fungsi eksekutif (lobus frontal) dan rotasi mental (lobus parietal). Pada uji Hamburg Wechsler Intelligence untuk dewasa, ia menerima 90 poin, skor yang sedikit di bawah rata-rata. CT scan tidak menunjukkan adanya atrofi otak. Namun, menggunakan 72, MRI menunjukkan gangguan sinyal subkortikal yang tersebar di regio frontal, parietal, dan occipitalnya. Gangguan sinyal tambahan ditemukan pada regio pontin batang otaknya. Hasil-hasil tersebut konsisten dengan ensefalopati aterosklerotik subkortikal , dengan kata lain, penyakit Binswanger. Scan tomografi emisi positif otak menggunakan analog glukosa F-fluorodeoksiglukosa (FDG) menunjukkan berkurangnya uptake FDG di regio temporal dan kortikal parietal. Akumulasi FDG yang lebih rendah juga ditemukan pada bagian korteks visual dan pada ganglia basalis dan talamusnya. Tidak adanya halusinasi, gejala Parkinson atau ekstrapiramidal, bersama dengan percobaan yang dapat ditoleransi dengan baik sebelumnya dengan haloperidol, menentang demensia Lewy body. Diagnosis yang paling mungkin adalah bentuk awal dari demensia campuran, yang merupakan kombinasi dari lesi vaskuler (DSM IV-TR: 290.40) dan tipe 5
Alzheimer (DSM IV-TR: 294.10). Dengan demikian, hasil neuroimaging menunjukkan bahwa pasien kami bertanggungjawab mengalami status delirium dalam responnya menginduksi gangguan otak secara kimiawi. Sebelum meninggalkan RS kami, pasien kami diberi doneprezil, terbukti mmperbaiki kognisi pada penyakit Alzheimer.
3. Pembahasan Sesuai dengan kasus yang adam kini bukti menunjukkan bahwa (i) penggunaan jangka pendek dan panjang berhubungan dengan usia tua, jenis kelamin perempuan, stress psikologis, dan penyakit fisik, (ii) penggunaan BZD jangka panjang pada usia tua khususnya berhubungan dengan gangguan mood, penyalahgunaan alkohol, dan jenis kelamin perempuan, dan (iii) depresi di usia tua berhubungan dengan penggunaan alkohol dan peresepan obat, dengan jenis kelamin perempuan dan dengan kondisi medis seperti penyakit jantung dan penyakit Alzheimer. Karena penggunaan BZD kronik merupakan resiko penurunan kognitif dank arena pasien kami didiagnosis dengan bentuk awal demensia, mengalami gangguan kognitif ringan, tujuan penanganan ialah menghentikan penggunaan BZD. Namun, karena penurunan dosis lorazepam menyebabkan gejala purus obat yang tidak dapat diterima, peralihan ke diazepam dipertimbangkan. Pada tinjauan pertama, pengamatan yang mengalihkan lorazepam menjadi diazepam dengan dosis yang setara menyebabkan status delirium akibat putus obat menimbulkan teka-teki karena delirium putus obat BZD biasanya berhubungan dengan penghentian mendadak dari BZD aksi pendek, dan BZD aksi panjang atau metabolit BZD aksi panjang biasanya berhubungan dengan delirium akibat intoksikasi bukan akibat putus obat. Namun, pada umumnya, BZD aksi panjang, terutama pada dosis tinggi, sering berhubungan dengan delirium dan umumnya berkontribusi terhadap gangguan kognitif pada demensia. Penjelasan yang menarik ditawarkan oleh Greenblatt dkk yang menemukan bahwa, meskipun 6
waktu paruhnya lebih lama, diazepam terdistribusi lebih luas ke dalam jaringan dibandingkan lorazepam dan dengan demikian memiliki durasi aksi yang lebih singkat dibandingkan lorazepam. Selain itu, seperti yang ditunjukkan pada hewan, rasio diazepam otak:plasma menurun dengan cepar dalam hitungan menit. Lorazepam, sebaliknya, menunjukkan pembentukan bertahap yang lebih di sistem saraf pusat. Oleh karena itu, peralihan dari lorazepam ke diazepam dapat menyebabkan gejala putus obat bahkan saat dosis setara digunakan. Ketika kasus kami menunjukkan kerentanan terhadap gejala putus obat akibat BZD pada pasien dengan lesi vaskuler dan tipe Alzheimer, mekhanisme molekuler yang bertanggungjawab terhadap kerentanan ini masih belum jelas. Namun, terlepas dari adanya lesi vaskuler atau tipe Alzheimer, yang dapat berhubungan dengan kerentanan tersebut, sifat kompleks sistem γ-amino-butiricacid (GABA), hingga BZD memperantarai efek anxiolitik, sedatif, antikonvulsan, dan relaksan otot, dapat memberikan petunjuk lain. GABA, neurotransmitter inhibitorik mayor pada sistem saraf pusat mamalia, yang memperantarai inhibisi post-sinaps cepat melalui ikatan dengan reseptor GABA-A, kanal ion dengan pintu ligan yang selektif terhadap Cl bersifat heteropentamerik. Hingga saat ini, 19 tipe rantai polipeptida GABA-A yang berbeda (α1-α6, β1-β2, γ1-γ3, δ, ε, θ, π, ρ1-ρ3) telah dikarakterisasi. Banyak pentamer yang mungkin secara teoritis tidak diekspresikan di permukaan sel. Namun, sejumlah pentamer GABA-A yang berbeda ditemukan dengan distribusi berbeda pada otak mamalia. Subtipe yang paling banyak adalah 2α1-2β2-1γ2, 2α2-2β3-1γ2 dan 2α3-2β3-1γ2. Kerentanan terhadap gejala putus obat akibat BZD dapat dijelaskan dengan pola ekspresi pentamer GABA-A pada otak pasien kami, karena efek BZD yang berbeda yang diperantarai oleh pentamer GABA-A yang berbeda. Selain itu, asumsi bahwa agonis prototipik yang diteliti sangat luas, diazepam, menggunakan efek alosterik identik pada reseptor GABA-A seperti BZD lain, lorazepam contohnya, tidaklah benar. Pertimbangan tersebut meninggalkan 7
kemungkinan bahwa perbedaan mendasar pada sistem GABA pasien, perubahan akibat BZD pada sistem ini atau perubahan sistem GABA sebagai hasil dari demensia vaskuler dan tipe Alzheimer campuran yang diasumsikan dapat berkontribusi terjadap kerentanan special terhadap gejala putus obat akibat BZD. Penelitian klinis dan dasar dibutuhkan untuk mendukung atau menyingkirkan ide tersebut sebagai mekhanisme yang mungkin.
4. Kesimpulan Laporan kasus ini menggambarkan seorang wanita Kaukasia berusia 64 tahun dengan beberapa kondisi medis yang sudah ada sebelumnya dan gangguan psikiatri yang umum untuk usianya. Hal-hal tersebut berhasil ditangani dengan satu pengecualian, ketergantungan BZD, dimana penghentiannya ialah tujuan pengobatan. Secara tak terduga, pasien kami mengalami reaksi berat (delirium) yang berhubungan dengan peralihan dari lorazepam menjadi diazepam. Karena peresepan BZD pada orang tua umum di hampir seluruh subspesialis medis, efek samping berat yang berhubungan dengan penggunaan BZD harus dilaporkan dengan cepat untuk memperingatkan para pemberi resep dan untuk meningkatkan keamanan dan kualitas pengobatan. Kasus ini menunjukkan bahwa pasien polimorbid usia tua dengan penggunaan BZD kronik dapat memperoleh manfaat dari penurunan dosis saat dialihkan ke diazepam. Pada akhirnya, pengobatan jangka panjang dengan dosis rendah BZD dapat dipertimbangkan pada pasien tersebut saat percobaan penghentian BZD gagal.
ANALISIS JURNAL LAPORAN KASUS (Sumber: The Joanna Bridge Institute (JBI)) 1. Apakah
Ya
Tercantum pada Case Presentation hal. 2 mengenai
karakteristik
[√]
karakteristik demografis lengkap pasien.
demografis
Tidak
“Seorang wanita Kaukasia berusia 64 tahun dengan
8
digambarkan
[
]
dengan jelas?
depresi mayor (PPDGJ (DSM IV-TR): 296.33)), ketergantungan alkohol (DSM IV-TR: 303.90), dan ketergantungan benzodiazepine (lorazepam) (DSM IV-TR: 304.10) dirujuk ke bangsal spesialis untuk penanganan penggunaan zat dan gangguan mental. Penggunaan alkohol harian dimulai sejak 10 tahun sebelum masuk RS dan penggunaan lorazepam harian setahun sebelumnya.”
2. Apakah riwayat pasien digambarkan dengan jelas dan
Ya
Tercantum pada Case Presentation hal. 2 mengenai
[√]
riwayat medis dan pengobatan pasien.
Tidak [
]
“pasien kami memiliki riwayat kondisi medis dimana ia
telah
menerima
pengobatan.
Levotiroksin
disajikan pada
digunakan untuk menangani hipotiroidisme (hormon
laporan?
yang menstimulasi tiroksin < 0,01 mU/L; fT4= 20,9 pmol/L, fT3= 8,5 pmol/L), terapi penggantian hormone wanita standar terdiri dari 1 mg 17βestradiol dan 5 mg dydrogesterone digunakan untuk meringankan dan mencegah gejala terkait dengan menopause,
dan
atorvastatin
diresepkan
untuk
mengontrol hiperlipidemia. Felodipine, metoprolol, dan lisinopril digunakan untuk menangani hipertensi. Salisilat digunakan untuk mencegah infark myokard. Pantoprazole digunakan untuk meringankan gejala yang berhubungan dengan refluks gastroesofagus. Seluruh peresepan, meliputi percobaan sebelumnya dengan antidepresan mianserin, ditoleransi dengan baik tanpa efek samping yang signifikan, kecuali mianserin, dilanjutkan setelah masuk RS tanpa
9
perubahan dosis.” 3. Apakah kondisi
Ya
Tercantum pada Case Presentation hal. 2 mengenai
klinis pasien saat
[√]
kondisi klinis pasien.
ini digambarkan
Tidak
dengan jelas
[
]
pada presentasi?
“Seorang wanita Kaukasia berusia 64 tahun dengan depresi mayor (PPDGJ (DSM IV-TR): 296.33)), ketergantungan alkohol (DSM IV-TR: 303.90), dan ketergantungan benzodiazepine (lorazepam) (DSM IV-TR: 304.10) dirujuk ke bangsal spesialis untuk penanganan penggunaan zat dan gangguan mental. Penggunaan alkohol harian dimulai sejak 10 tahun sebelum masuk RS dan penggunaan lorazepam harian setahun sebelumnya.”
4. Apakah uji diagnostik atau metode dan hasil digambarkan dengan jelas?
Ya
Tercantum pada Case Presentation hal. 2-3 mengenai
[√]
metode dan hasil laporan kasus ini.
Tidak [
]
“Tinjauan
awal
mengenai
peresepan
dan
uji
diagnostik yang dilakukan pada sejumlah pengobatan gagal
mengungkapkan
kerentanan
pasien
kami
terhadap status delirium. Kecuali sedikit peningkatan kadar diazepam plasma pada penggunaan metoprolol, tidak
ada
interaksi
obat
yang
relevan
yang
teridentifikasi. Pemeriksaan fisik, uji laboratorium, dan analisis cairan cerebrospinal hasilnya biasa saja. Secara khusus, tidak terdapat bukti disfungsi hepar. Kadar alanin dan aspartat aminotransferase, alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase, dan bilirubin serum normal. Waktu protrombin dalam kadar normal. Γglutamyl-transferase serum sedikit meningkat (74 U/L; kadar normal, < 55 U/L). Namun, konsentrasi O-
10
desmethyl-venlafaxine serum (metabolit venlafaxine hepar) 7 kali lipat lebih tinggi dari venlafaxine. Hasilhasil tersebut menunjukkan fungsi hepar normal dengan
metabolism
obat
hepatik
intak
dan
menganyampingkan diagnosis banding ensefalopati hepatica yang dieksaserbasi diazepam. Rekaman elektroensefalogram menunjukkan ritme gelombang alfa (11 – 12 Hz) dan gelombang beta (18 – 22 Hz) seperti yang diduga selama penanganan dengan
lorazepam.
abnormalitas
Bentuk
fokal
epileptiform
tidak
ada.
atau
Rekaman
elektrokardiogram menunjukkan ritme sinus normal dengan
frekuensi
sekitar
90
per
menit.
Uji
neuropsikologi hanya mengungkapkan defisit kognitif ringan. Pada waktu itu, uji tersebut dilakukan pasien kami yang menerima pengobatan untuk menangani kondisi fisiknya seperti dijelaskan sebelumnya. Selain itu, ia menerima mirtazapin (60 mg/hari), venlafaxine (150 mg/hari) dan lorazepam (4 mg/hari). Skor MiniMental State Examination sebesar 27. Uji Consortium to Establish a Registry for Alzheimer’s Disease mengungkapkan gangguan kognitif minimal, terutama mempengaruhi
memori
verbalnya
(sistem
hippocampus kiri), fungsi eksekutif (lobus frontal) dan rotasi mental (lobus parietal). Pada uji Hamburg Wechsler Intelligence untuk dewasa, ia menerima 90 poin, skor yang sedikit di bawah rata-rata. CT scan tidak menunjukkan adanya atrofi otak.
11
Namun,
menggunakan
72,
MRI
menunjukkan
gangguan sinyal subkortikal yang tersebar di regio frontal, parietal, dan occipitalnya. Gangguan sinyal tambahan ditemukan pada regio pontin batang otaknya.
Hasil-hasil
tersebut
konsisten
dengan
ensefalopati aterosklerotik subkortikal , dengan kata lain, penyakit Binswanger. Scan tomografi emisi positif
otak
menggunakan
fluorodeoksiglukosa
analog
(FDG)
glukosa
F-
menunjukkan
berkurangnya uptake FDG di regio temporal dan kortikal parietal. Akumulasi FDG yang lebih rendah juga ditemukan pada bagian korteks visual dan pada ganglia basalis dan talamusnya. Tidak adanya halusinasi, gejala Parkinson atau ekstrapiramidal, bersama dengan percobaan yang dapat ditoleransi dengan
baik
sebelumnya
dengan
haloperidol,
menentang demensia Lewy body. Diagnosis yang paling mungkin adalah bentuk awal dari demensia campuran, yang merupakan kombinasi dari lesi vaskuler (DSM IV-TR: 290.40) dan tipe Alzheimer (DSM IV-TR: 294.10). Dengan demikian, hasil neuroimaging menunjukkan bahwa pasien kami bertanggungjawab mengalami status delirium dalam responnya
menginduksi
gangguan
otak
secara
kimiawi. Sebelum meninggalkan RS kami, pasien kami diberi doneprezil, terbukti mmperbaiki kognisi pada penyakit Alzheimer.” 5. Apakah
Ya
Tercantum pada Case Presentation hal. 2 mengenai
12
intervensi atau prosedur pengobatan
[√] Tidak [
]
intervensi yang dilakukan pada laporan kasus ini. “Pada saat masuk RS, lorazepam, pada dosis 5 – 10 mg/hari, dimulai untuk mencegah gejala putus obat
digambarkan
terkait alkohol dan BZD. Penanganan antidepresan
dengan jelas?
dengan mianserin (60 mg/hari) menghasilkan respon parsial. Percobaan tambahan 3 minggu dengan venlafaxine
(dosis
maksimal
450
mg/hari)
menghasilkan perbaikan lebih lanjut dari gejala depresi. Namun, gejala depresi residual tetap bertahan dan mianserin dialihkan menjadi mirtazapin (dosis maksimal 75 mg/hari). Remisi lengkap dicapai dua bulan kemudian dan venlafaxine dipertahankan pada dosis 150 mg/hari dan mirtazapin pada dosis 60 mg/hari (pencegahan kekambuhan).” 6. Apakah kondisi
Ya
Tercantum pada Case Presentation hal. 2 mengenai
klinis pasca-
[√]
kondisi klinis pasien pasca intervensi.
intervensi digambarkan dengan jelas?
Tidak [
]
“Lorazepam diturunkan dosisnya dan dihentikan setelah 6 minggu pengobatan. Sehari setelah dosis terakhir lorazepam, pasien kami mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian dan menunjukkan tanda agitasi psikomotor, kecemasan, dan gangguan proses piker, berupa longgar, tidak logis, dan hubungan
tangensial.
Gejala
disosiatif
juga
ditemukan. Tanda-tanda tersebut konsisten dengan sindrom putus obat BZD (DSM IV-TR: 292.0) dan menunjukkan bahwa fase penghentian yang lebih lama mungkin diperlukan. Delirium tidak didiagnosis pada saat ini karena orientasinya masih intak dan
13
keparahan gejala tidak melebihi dari yang biasanya berhubungan dengan sindrom putus obat BZD. Lorazepam dilanjutkan pada dosis 3 mg/hari. Gejala putus obat mulai pulih dan lorazepam dipertahankan pada dosis 3 mg/hari selama sebulan. Lorazepam kemudian dihentikan tanpa penurunan dosis, dan diazepam dimulai pada dosis setara 15 mg/hari. Kurang dari sehari setelah peralihan BZD, pasien kami menjadi sangat irritable dan teragitasi dan akhirnya mengalami fluktuasi tingkat kesadaran dengan penurunan kejelasan kesadaran dan penurunan kemampuan mempertahankan perhatian. Disorientasi, bicara yang tidak dapat dimengerti, dan defisit memori
juga
ditemukan.
Diagnosis
delirium
intoksikasi BZD dikesampingkan berdasarkan tidak adanya bicara cadel, inkoordinasi, gangguan berjalan, nistagmus atau stupor. Pasien kami didiagnosis dengan delirium putus obat BZD (DSM IV-TR: 292: 81) dan menerima 4 mg lorazepam dikombinasi dengan 4 mg haloperidol. Status delirium akut pulih dalam hitungan jam dan pasien kami tetap dalam keadaan baik. Haloperidol dihentikan setelah 2 minggu. Lorazepam dilanjutkan pada dosis 4 mg/hari. Pasien kami sembuh satu bulan kemudian dengan dosis maintenans lorazepam 4 mg/hari.” 7. Apakah efek buruk atau kejadian yang
Ya
Tercantum pada Case Presentation hal. 2 mengenai
[√]
efek buruk atau kejadian tak terduga yang terjadi pada
Tidak
pasien.
14
tidak terduga
[
]
“Lorazepam diturunkan dosisnya dan dihentikan
diidentifikasi
setelah 6 minggu pengobatan. Sehari setelah dosis
dan dijelaskan?
terakhir lorazepam, pasien kami mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian dan menunjukkan tanda agitasi psikomotor, kecemasan, dan gangguan proses piker, berupa longgar, tidak logis, dan hubungan
tangensial.
Gejala
disosiatif
juga
ditemukan. Tanda-tanda tersebut konsisten dengan sindrom putus obat BZD (DSM IV-TR: 292.0) dan menunjukkan bahwa fase penghentian yang lebih lama mungkin diperlukan. Delirium tidak didiagnosis pada saat ini karena orientasinya masih intak dan keparahan gejala tidak melebihi dari yang biasanya berhubungan dengan sindrom putus obat BZD. Lorazepam dilanjutkan pada dosis 3 mg/hari. Gejala putus obat mulai pulih dan lorazepam dipertahankan pada dosis 3 mg/hari selama sebulan. Lorazepam kemudian dihentikan tanpa penurunan dosis, dan diazepam dimulai pada dosis setara 15 mg/hari. Kurang dari sehari setelah peralihan BZD, pasien kami menjadi sangat irritable dan teragitasi dan akhirnya mengalami fluktuasi tingkat kesadaran dengan penurunan kejelasan kesadaran dan penurunan kemampuan mempertahankan perhatian. Disorientasi, bicara yang tidak dapat dimengerti, dan defisit memori
juga
ditemukan.
Diagnosis
delirium
intoksikasi BZD dikesampingkan berdasarkan tidak adanya bicara cadel, inkoordinasi, gangguan berjalan,
15
nistagmus atau stupor. Pasien kami didiagnosis dengan delirium putus obat BZD (DSM IV-TR: 292: 81) dan menerima 4 mg lorazepam dikombinasi dengan 4 mg haloperidol. Status delirium akut pulih dalam hitungan jam dan pasien kami tetap dalam keadaan baik. Haloperidol dihentikan setelah 2 minggu. Lorazepam dilanjutkan pada dosis 4 mg/hari. Pasien kami sembuh satu bulan kemudian dengan dosis maintenans lorazepam 4 mg/hari.” Pasien
mengalami
status
delirium
akut
saat
pengalihan dari lorazepam ke diazepam. 8. Apakah laporan kasus memberikan pelajaran?
Ya [√] Tidak [
]
Tercantum pada Conclusion hal. 4 mengenai pelajaran yang dapat diambil dari laporan kasus ini. “Karena peresepan BZD pada orang tua umum di hampir seluruh subspesialis medis, efek samping berat yang berhubungan dengan penggunaan BZD harus dilaporkan dengan cepat untuk memperingatkan para pemberi resep dan untuk meningkatkan keamanan dan kualitas pengobatan. Kasus ini menunjukkan bahwa pasien polimorbid usia tua dengan penggunaan BZD kronik dapat memperoleh manfaat dari penurunan dosis saat dialihkan ke diazepam. Pada akhirnya, pengobatan jangka panjang dengan dosis rendah BZD dapat dipertimbangkan pada pasien tersebut saat percobaan penghentian BZD gagal.”
16