Kasus Reaksi Merugikan Obat Berat: Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
ABSTRAK Steven-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis adalah kondisi mengancam nyawa yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Kedua hal tersebut dianggap sebagai bagian spektrum reaksi obat merugikan kutaneus, hanya dibedakan oleh luas pelepasan kulit akibat apoptosis keratinosit. Obat-obatan diasumsikan sebagai penyebab utama Steven-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis pada sebagian besar kasus. Patofisiologinya tidak sepenuhnya dimengerti; namun, model patogeniknya melibatkan ligan Fas, granulysin, dan sitokin. Diagnosis terutama mengandalkan tanda-tanda klinis bersama dengan analisis histologi, dan obat-obatan kausatif perlu segera dihentikan serta membutuhkan perawatan suportif. Dari kondisi-kondisi tersebut, disini kami akan meninjau dalam hal klinis, patogenesis, dan manajemennya.
PENDAHULUAN Kulit adalah salah satu organ target yang paling sering terkena reaksi obat merugikan, dengan perkiraan insidensi 19% pada pasien rawat inap. Sekitar 2 – 5% reaksi merugikan pada kulit yang diinduksi obat dianggap sebagai reaksi obat merugikan kutaneus berat (SCAR/Severe Cutaneous Adverse Reactions). WHO menggambarkan reaksi obat berat sebagai apapun yang memerlukan rawat inap atau rawat inap berkepanjangan, yang menyebabkan disabilitas persisten atau signifikan, dan yang membahayakan kehidupan atau menyebabkan kematian. Kondisi kulit yang diinduksi obat kategori ini meliputi Stevens-Johnson syndrome (SJS), toxic epidermal necrolysis (TEN), sindrom ruam obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik (DRESS) dan pustulosis eksantematosus generalisata akut (AGEP).
1
SEJARAH Pada tahun 1922, Stevens dan Johnson menjelaskan 2 kasus anak dengan demam, stomatitis berat, keterlibatan mata serius dan ruam diseminata dengan makula eritematosa, kadang diserta inti nekrotik, dan diperkenalkan dengan nama SJS. Pada tahun 1956, A. Lyell menjelaskan 4 pasien dengan ruam disertai lesi menyerupai lecet yang ia beri nama TEN, sejak ia meyakini gejala sistemik pasien tersebut disebabkan oleh toksin. Di lain waktu, ia mengisentifikasi hubungan antara frekuensi yang lebih tinggi dari kasus tersebut dengan penggunaan obat-obatan, khususnya sulfonamid, pyrazolon, dan obat-obatan antiepilepsi. Ia menggunakan istilah nekrolisis untuk memberi nama nekrosis epidermal yang diamati secara histopatologis.
Tabel 1. Karakteristik Klinis dan Imunohistokimiawi SJS dan TEN EMM Morfologi
SJS
SJS/TEN
Lesi khas bertarget Lesi tidak khas Lepuhan (3 lapis)
bertarget
dan
pengelupasan
epidermal pada epidermal pada
dan 10 – 30% area >30%
denudasi
permukaan
epidermal pada tubuh <10%
dan Lepuhan
(2 pengelupasan
lapis/lepuhan). Lepuhan
TEN
area
permukaan tubuh
area
permukaan tubuh Topografi
Wajah dan tungkai
Predominan di Badan, wajah, Badan, wajah, badan
Membran
Ada. Kurang dari Ada
mukosa
10%
dan tungkai
dan tungkai
Ada
Ada
area
2
permukaan tubuh CD4
Pola berhubungan Pola difus
Pola difus
Pola difus
yang intens CD8
Ringan
Intens
Intens
Intens
CD56
Ringan
Intens
Intens
Intens
CD68
Ringan
Intens
Intens
Intens
CD1a
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Granulisin
Ringan dan difus
Lepuhan
dan Difus
pada Difus
pola epidermal area nekrosis
pada
area nekrosis
intens Foxp3
Pola intens pada Ringan epidermis
Ringan
Ringan
dan
dermis
SJS dan TEN saat ini diterima sebagai bagian dari spektrum reaksi obat merugikan dan dibedakan dengan luas kulit yang terkena. Meskipun SJS dan erythema multiforme mayor (EMM) sesekali dianggap sinonim, tetapi saat ini dianggap sebagai dua konsisi klinis dan etiologis yang berbeda. EMM terutama disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) dan prognosisnya lebih baik daripada SJS (Tabel 1).
EPIDEMIOLOGI Insidensi tahunan SJS sebanyak 1,2 – 6 juta penduduk, dengan 0,4 – 2 kasus per sejuta penduduk untuk TEN, insidensi yang meningkat seiring usia. Pada kelompok etnis tertentu, terdapat predisposisi genetik yang lebih tinggi untuk terjadinya efek merugikan tersebut. Mortalitas pada SJS berkisar 5% dan pada TEN, 30 – 50%. Obat-obatan bertanggungjawab untuk 80% kasus TEN dan 50% kasus SJS. Penyebab lain yang
3
berhubungan adalah reaksi hipersensitivitas terhadap agen kontras dan infeksi; kasus SJS dan TEN juga telah dijelaskan berhubungan dengan Mycoplasma pneumonia, cytomegalovirus dan dengue. Allopurinol dan carbamazepine adalah agen kausal tersering SJS dan TEN, tetapi penicillin dan cephalosporin juga termasuk; agen kausal bervariasi sesuai dengan kecenderungan peresepan. Lebih dari 100 obat terkait telah digambarkan, termasuk
OAINS,
sulfonamide,
aminopencillin,
antiretrovirus,
obat-obatan
antiepilepsi seperti phenytoin, lamtotrigin dan barbiturate, di antara lainnya. Obatobatan dengan waktu paruh lebih lama menyebabkan peningkatan resiko terpicunya efek merugikan tipe ini. Beberapa pasien yang ditangani dengan phenytoin dan radioterapi terkena EM, dalam sindrom yang diketahui sebagai erythem multiforme yang berhubungan dengan phenytoin dan terapi radiasi kranial (EMPACT).
PATOGENESIS Kelompok pasien tertentu lebih rentan terhadap kejadian reaksi obat merugikan berat tersebut akibat predisposisi genetik. Insidensinya lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan, pada usia lebih tua, akibat konsumsi banyak obat dan pada keadaan imunosupresi. Tiga mekanisme patogenis kausatif reaksi merugikan obat yang dianggap ada: mekanisme imun, non-imun, dan idiosinkratik. Mekanisme non-imun meliputi efek merugikan obat (misal, mukositis dengan agen khemoterapeutik), efek kumulatif (misal, toksisitas hepatik dengan methotreksat), dan efek toksisitas lambat, interaksi obat dan perubahan metabolisme obat. Mekanisme idiosinkratik tersebut dianggap sebagai hasil kombinasi komponen imun dan genetik individu (misal, sindrom DRESS dan TEN). Pada kasus SJS dan TEN, mekhanisme kausal tipe adaptif imun akibat respon hipersensitivitas lambat kelas IV sesuai dengan klasifikasi Gell dan Coombs.
4
Aspek genetik memainkan peran fundamental pada patofisiologi TEN. Bukti menunjukkan bahwa pasien dengan TEN mengekspresikan HLA-B12; saat ini, predisposisi genetik terhadap allopurinol telah digambarkan pada populasi Cina dengan HLA-B pada alel 5801 dan terhadap karbamazepin dengan HLA-B1502. Studi lain telah menjelaskan bahwa adanya HLA-DQB10601 berhubungan dengan komplikasi mata pada pasien dengan SJS. Mekanisme imun kausal SJS dan TEN adalah respon sel lambat yang menyebabkan apoptosis keratinosit. Dua teori telah diusulkan sebagai mekanisme aksi. Yang pertama yaitu jalur pengiriman sinyal FAS-FASL (ligan Fas) yang menghasilkan aktivasi kaspase 8, yang menginduksi apoptosis keratinosit. Sitokin dan substansi lain yang terlibat dalam patogenesis ini meliputi TNF-α, interferon γ, interleukin 8 dan nitrit oksid, yang ada di lesi epidermal dan beberapa memiliki kapasitas untuk berikatan dengan reseptor yang akan menginduksi apoptosis. Teori kedua, yang lebih luas diterima, menyatakan bahwa apoptosis sel disebabkan oleh sel T sitotoksik (CD8) dan sel natural killer (NK) (CD56) setelah diaktivasi oleh obat. Aktivasi sel T CD8 dan sel NK berlangsung setelah obat berikatan dengan kompleks histokomplatibilitas mayor (MHC I) dan dengan reseptor sel T. Teori lainnya yaitu bahwa obat menjadi imunogenik setelah ikatannya dengan peptida, sehingga menstimulasi sistem imun. Apoptosis keratinosit disebabkan oleh protein sitolitik 15 kDa bernama granulisin yang ada dalam granul sel T CD8 dan sel NK bersama dengan perforin dan granzyme B. Jumlah molekul tersebut meningkat pada lepuhan TEN, tetapi tidak mampu menyebabkan lesi kondisi ini dengan sendirinya. Granulysin disekresi oleh eksositosis bersama dengan perforin, yang memungkinkan untuknya masuk ke dalam keratinosit dan menyebabkan kematian sel dengan cara merusak membran sel dan mengganggu potensial transmembran mitokhondria.
MANIFESTASI KLINIS
5
Keterlibatan kutaneus terlihat 7 – 21 hari setelah mulai pengobatan jika itu adalah paparan pertama; pada kasus berikutnya, onset waktu lesi kutaneus setelah asupan obat dapat lebih singkat bahkan hanya beberapa jam. Tanda dan gejala dimulai dengan prodromal malaise dengan demam, anoreksia, dan rhinorhea. Lesi dimulai pada badan, dengan keterlibatan selanjutnya pada leher, wajah, dan tungkai atas, pada bagian proksimal, dengan distribusi bilateral dan simetris. Biasanya, bagian distal tungkai masih tetap bebas lesi, dengan sedikit keterlibatan telapak tangan dan kaki. Luas keterlibatan kulit adalah yang menggambarkan diagnosis klinis dan, karena itu, prognosis pasien. SJS berhubungan dengan kurang dari 10% keterlibatan area permukaan tubuh; TEN berhubungan dengan lebih dari 30% keterlibatan; keterlibatan kutaneus berkisar dari 10 – 30% yang diketahui sebagai overlap SJS-TEN. Area kulit yang terkena harus dipertimbangkan untuk menentukan persentase ekstensi dan klasifikasinya; yaitu epidermis yang hilang, tanpa memperhitungan area eritematosa. Morfologi lesi bervariasi sesuai dengan evolusi penyakit. Dimulai sebagai makula eritematosa keunguan yang ireguler dan konfluen. Ditandai dengan prurigo, tidak nyeri dan menghilang dengan penekanan. Lesi papuler muncul kemudian dan, pada kasus yang berkembang, lepuhan lembek terbentuk, yang membentuk warna keabuan (Gambar 1). Keterlibatan mukosa ada pada 90% pasien dan dapat ditemukan pada tahap awal, yang akan menyebabkan dugaan resiko lebih tinggi SJS berkembang menjadi TEN. Keterlibatan mukosa regio genital terjadi pada 40 – 60% kasus dan mukosa mata terlibat pada 85%, dan hal ini dapat berkisar dari hyperemia dan keratitis sampai ruptur kornea. Keterlibatan mukosa oral, mata, dan genital telah digambarkan pada hampir 50% pasien. Lepuhan adalah hasil nekrosis keratinosit epidermal, yang menyebabkan pengangkatan subepidermal; lesi multipel tampak hingga beberapa jam. Area denudasi epidermal menunjukkan dermis eritematosa yang mengkilap dengan
6
perdarahan. Rata-rata waktu evolusi perkembangan gejala awal hingga pengelupasan epidermal adalah 6 – 9 hari. Ketika tanda Nikolsky muncul, ada atau tidaknya pengelupasan epidermal muncul setelah penekanan tangensial lepuhan atau pada kulit eritematosa dengan pembentukan lepuhan. Tanda Asboe-Hansen dihasilkan setelah menerapkan penekanan di bagian tengah lepuhan yang menyebabkan ukurannya meningkat sampai ke perifer. Komplikasi dihasilkan oleh implikasi organ dengan keterlibatan sietem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal, dan renal. Gejala kerusakan ginjal meliputi ketidakseimbangan elektrolit, hiperazotemia prerenal, nekrosis tubuler, dan gagal ginjal akut. Patogenesis disfungsi renal adalah konsekuensi beberapa faktor, meliputi sifat nefrotoksik beberapa sitokin yang terlibat pada SJS dan TEN, hipovolemia, dan penurunan output jantung. Keterlibatan paru dapat terjadi sebagai bronkhiolitis obliteran atau pneumonitis difus interstisial. Pengawasan gejala respirasi dianjurkan untuk dipertahankan selama evolusi penyakit bahkan jika X-ray thorax normal, dalam rangka memungkinkan diberikannya perawatan yang tepat. Sebagai konsekuensi status hipermetabolik dengan hipoalbuminemia dan hipogammaglobulinemia yang muncul pada pasien dan keagagalan melindungi fungsi epidermis, resiko perkembangan sepsia terbentuk, yang merupakan penyebab kematian pertama. Faktor-faktor yang telah berkorelasi dengan prognosis terburuk meliputi usia tua pasien, abnormalitas hematologis seperti trombositopenia, neutropenia, dan limfopenia, serta peningkatan kreatinin serum. Saat ini, terdapat skala keparahan TEN yang diketahui sebagai SCORTEN (Severity-of-Illness Score for Epidermal Necrolysis), dimana 7 parameter dinilai dalam rangka memprediksi mortalitas pasien. Faktor-faktor tersebut meliputi: usia > 40 tahun, denyut nadi > 120 kali per menit, riwayat kanker atau keganasan hematologis, keterlibatan > 10% area permukaan tubuh, urea serum > 10 mmol/L, bikarbonat serum < 20 mmol/L, glukosa serum >
7
252 mg/dl (14 mmol/L); setiap nilai positif diterapkan 1 poin (Tabel 2). Skala ini divaliadasi oleh Campione dkk pada tahun 2003, oleh Trent dkk. pada tahun yang sama dan oleh Brown dkk pada tahun 2004. Skala perlu diterapkan dalam 24 jam pertama dan pada hari ke-3 untuk memperolah akurasi angka mortalitas yang lebih tinggi. Tabel 2. Skala SCORTEN. Kemungkinan hasil bervariasi dari 0 – 7. Prediksi mortalitas tergantung pada skor berikut: 1, 2, 3, 4, dan lebih dari 5 memprediksi 3.2, 12.1, 35.8, 58.5, dan 90% mortalitas, masing-masing. Variabel
Nilai
Skor
1. Usia
>40 tahun
1
2. Denyut nadi
>120 kali/menit
1
3. Keganasan 4. Epidermolysis awal
1 >10%
area
permukaan 1
tubuh yang terkena 5. Urea serum
>10 mmol/L
1
6. Bikarbonat serum
<20 mmol/L
1
7. Glukosa serum
>14 mmol/L
1
Lesi mulai menyembuh melalui reepitelisasi dengan migrasi keratinosit dari reservoir mereka di folikel rambut, dengan pemulihan dalam 3 minggu. Sekuelnya, hiperpigmentasi residual, distrofi kuku, dan kehilangan rambut difus dapat terjadi, serta sinekia vagina, sinekia konjunctiva, entropion, dan kebutaan. Finkelstein dkk menganalisis kekambuhan SJS dan TEN pada kohort 581 pasien dan menemukan rata-rata waktu hingga episode kedua selama 315 hari pada 7,2% pasien. Kemungkinan penyebab kekambuhan meliputi kerentanan genetik dan penggunaan obat-obatan mungkin memiliki reaktivitas silang akibat kesamaan struktur kimiawi dengan obat-obatan yang menyebabkan episode pertama. Pasien
8
dengan riwayat reaksi obat merugikan terhadap karbamazepin perlu menghindari penggunaan fenitoin dan fenobarbital; pada kasus antibiotik seperti β-laktam, penicillin, cephalosporin, dan carbapenem perlu dihindari, dan pada kasus sulfon, sulfomethoxazole, sulfadiazine, sulfapyridine, dan sulfamethizole.
DIAGNOSIS Diagnosis
memerlukan
korelasi
klinik-histopatologis.
Karakteristik
histopatologis bervariasi, tetapi yang terpenting berupa keratinosit apoptosis di lapisan basal epidermis dengan vakuolisasi membran basalis (Gambar 2). Adneksa dapat dipengaruhi oleh adanya inflamasi ringan di sekitar kelenjar ekrin. Infiltrat inflamasi limfositik disertai dengan eosinofil multipel dan, pada fase akhir, lepuhan subepidermis dengan nekrosis pada epidermis yang mendasarinya ditemukan. Limfosit CD8+ predominan pada epidermis dan CD4+ pada dermis papiler. Granulysin serum bermanfaat untuk diagnosis SJS dan TEN pada fase awal sejak peningkatan sebelum keterlibatan mukosa dan kehilangan epidermis. Petanda ini tidak spesifik-SJS, karena dapat ditemukan pada kondisi kulit yang diinduksi obat lainnya, seperti sindrom DRESS, serta pada penyakit cangkok versus host dan infeksi virus.
Fujita
dkk
telah
mengembangkan
assay
imunokromatografi
yang
memungkinkan deteksi granulysin serum. Jika tes dilakukan 2 – 4 hari sebelum lesi bula, SJS dan TEN dapat disingkirkan dari kondisi kulit yang diinduksi obat yang tidak berat dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 95,8%. Tes lain yang telah terbukti bermanfaat adalah pengukuran HMBG1 (High Mobility Group Box1 Protein) serum dengan menggunakan immunoassay enzim. HMBG1, dengan rata-rata berat molekul 30 kDa adalah komponen utama kelompok protein nuklear non-histon yang beraksi sebagai regulator transkripsi nuklear pada mekanisme intraselulernya. Fungsi ekstraselulernya adalah mengaktivasi kaskade inflamasi. Nakajima dkk menganalisis assay HMBG1 dan menunjukkan sensitivitas sebesar 45,5% dan manfaat, versus pengukuran granulysin, bahwa kadar HMBG1
9
tetap tinggi dalam waktu yang lebih lama. Pada penyakit lainnya, seperti lupus eritematosus dan kanker, peningkatan kadar serum HMBG1 telah dilaporkan, serta korelasinya dengan prognosis penyakit. Sebagai metode preventif, FDA merekomendasikan tipifikasi HLA-B1502 pada populasi Asia atau keturunannya sebelum memulai pengobatan dengan carbamazepin.
DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding yang sulit adalah EMM, presentasi klinis yang dapat menyerupai SJS fase awal. EMM adalah suatu kondisi mukokutaneus self0limited yang tidak ada dalam spektrum SJS dan TEN. EMM dapat disebabkan oleh pengobatan, tetapi etiologinya paling sering adalah agen infeksius. Sejumlah kasus yang berhubungan dengan HSV dan Mycoplasma telah digambarkan. Pada EMM, nekrosis dari perluasan yang lebih kecil diduga ditemukan berdasarkan histopatologi dengan hematoxylin dan eosin, tetapi sulit menjelaskan keduanya secara terpisah. Studi terbaru telah menunjukkan bahwa diagnosis banding dapat ditetapkan dengan imunohistokimia (Tabel 1). Terkait dengan kondisi bulosa lainnya, SJS dan TEN harus dibedakan dari pustulosis generalisata akut (AGEP), yang disebabkan oleh reaksi obat merugikan dan secara klinis ditandai dengan pustul non-folikel multipel dengan predisposisi untuk lipatan-lipatan tubuh dan wajah serta 20% keterlibatan mukosa. Histopatologi mengungkapkan adanya pustul subkornea dengan infiltrat intradermal neutrofilik tanpa kehilangan epidermis. Scalded skin syndrome terjadi pada pasien dewasa dengan kerusakan ginjal atau status imunosupresan. Hal ini disebabkan oleh etotoksin Staphylococcus aureus yang menargetkan desmoglein 1, dengan pembentukan lepuhan subkornea flaksid dengan pembusukan epidermal. Diferensiasi histopatologis kadang diperlukan.
10
Penyakit lain dengan lepuhan subepidemal meliputi pemfigus paraneoplastik, penyakit graft-versus-host akut, lepuhan kornea, lepuhan karena terbakar, yang secara klinis tidak mudah untuk dibedakan dan oleh karena itu memerlukan korelasi anamnesis dan histopatologis.
TERAPI Penghentian obat kausatif sesegera mungkin sangat penting, karena penghentian yang terlambat berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Identifikasi obat kausatif dapat dilakukan dengan menggunakan algoritma yang ditetapkan seperti ALDEN (Algorithm of Drug causality for Epidermal Necrolysis) dan tes transformasi limfosit in vitro jika dilakukan dalam minggu pertama onset penyakit. ALDEN adalah algoritma yang tidak hanya memungkinkan untuk menemukan obat kausa, tetapi juga mengetahui obat yang dapat dengan aman diresepkan lagi terhadap pasien. Patch test adalah opsi diagnostik resiko rendah lain yang memungkinkan untuk respon sensitivitas lambat yang disebabkan oleh obat yang bertanggungjawab terhadap SJS atau TEN. Ini telah digunakan dan dilaporkan pada kasus-kasus SJS/TEN yang disebabkan oleh antibiotik, carbamazepin, pseudoephedrine, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Pendekatan primer pasien-pasien tersebut terdiri dari terapi suportif dengan suplai adekuat cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, dan manajemen suhu tubuh, serta manajemen infeksi atau komplikasi lain yang dapat terjadi. Rawat inap di rumah sakit direkomendasikan dilakukan dalam kondisi isolasi yang memungkinkan untuk pemantauan dan pencegahan infeksi. Terkait dengan terapi topikal lesi, luka harus ditangani dengan larutan NaCl isotonis dan kemudian dibalut dengan jelly petroleum hingga terjadi reepitelisasi; penggunaan mupirocin direkomendasikan pada area periorifisial. Konsultasi dengan departemen mata, urologi, atau ginekologi diperlukan dalam rangka menilai kerusakan organ dan mencegah sekuel.
11
Penggunaan steroid sistemik adalah terapi standar hingga tahun 1990, tetapi beberapa penulis telah melaporkan bahwa tidak terdapat manfaat yang telah terbukti. Ghislain, pada studinya tahun 2002, melaporkan bahwa steroid sistemik tidak mengunrangi waktu penyembuhan dan berhubungan dengan peningkatan resiko komplikasi, khususnya sepsis dan perdarahan traktur gastrointestinal. Studi lain telah melaporkan bahwa terapi steroid dosis tinggi memberikan hasil yang baik dan menurunkan insidensi komplikasi. Steroid telah digunakan dengan hasil yang kontroversial, karena berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas dan perbaikan ketika digunakan lebih awal. Salah satu dari regimen yang digunakan adalah dexamethasone dalam bolus 100 mg selama 3 hari, yang menurunkan mortalitas; rekomendasinya adalah untuk meresepkannya pertama kali pada dosis tinggi selama periode singkat dalam rangka menurunkan kemungkinan infeksi dan keterlambatan penyembuhan luka. Dexamethasone adalah glukokortikoid poten (7 kali lebih poten dari dosis setara prednisone), dengan waktu paruh panjang sekitar 36 – 54 jam, yang memungkinkan kadar serum tinggi yang kontinu. Ia sangat menekan pelepasan sitokin seperti TNF-α dan menginhibisi aktivasi sel-T, interferon-γ, dan apoptosis yang
diperantarai
FasL.
Meskipun
Tidak
terdapat
konsensus
mengenai
penggunaannya, jika digunakan pada TEN tahap awal pada dosis tinggi dan selama periode waktu yang singkat, dampak negatif terhadap penyembuhan luka dan infeksi dapat dicegah. Ukuran terapeutik lain yang telah digunakan adalah siklofosfamid fan plasmaferesis. Siklofosfamid telah menunjukkan hasil memuaskan ketika diberikan pada dosis 100 – 300 mg/hari. Plasmaferesis telah digunakan pada pasien yang belum menunjukkan perbaikan dengan terapi suportif dan steroid, menawakan hasil yang memuaskan dalam waktu singkat. Beberapa studi menunjukkan bahwa plasmaferesis dianggap sebagai terapi adjuvan lini pertama.
12
Beberapa seri kasus telah melaporkan remisi penyakit dan penurunan mortalitas dengan siklosporin, akibat efeknya terhadap granulysin. Dosis yang direkomendasikan adalah 3 mg/kg/hari selama 10 hari atau dihentikan setelah 14 hari. Imunoglobulin intravena (IVIG) digunakan untuk pertama kali pada tahun 1998 pada 10 pasien dengan TEN yang berhasil ditangani dengan 0,75 mg/kg/hari selama 4 hari berturut-turut. IVIG diperoleh dari banyak serum donor, dan berhubungan dengan immunoglobulin G. Efek imunnya pleiotropik; pada SJS dan TEN digunakan di bawah hipotesis bahwa interupsi interaksi ligan Fas dengan reseptornya akan mencegah apoptosis keratinosit. Toleransinya yang baik dan potensial toksiknya yang rendah telah terbukti pada beberapa studi. Dosis immunoglobulin yang telah menunjukkan penurunan mortalitas dengan mencegah perburukan penyakit lebih dari dosis total 2 g/kgBB yang diberikan dalam 2 – 4 hari. Namun, penggunaannya tetap, sejauh ini, kontroversial, karena studi terbaru telah gagal memperkuat efek yang memuaskan terhadap kesembuhan pasien. Kombinasi kortikosteroid dengan IVIG memberikan efek terapeutik yang lebih baik daripada pemberian kortikosteroid saja. Terdapat sedikit kasus yang dilaporkan mengenai terapi kombinasi IVIG dan infliximab dengan hasiil yang memuaskan. Opsi terapi lainnya yang dimana remisi penyakit dan reepitelisasi dini telah dilaporkan adalah N-asetilsistein (NAC). NAC adalah derivat sistein yang mengintervensi produksi glutathione dan selain itu memiliki sifat antioksidan, serta kapasitas untuk menghinbisi TNF-α dan interleukin 1β in vitro. Dosis dimana perbaikan dilaporkan adalah 300 mg/kgBB/hari setiap 6 jam. Namun, studi terbaru telah membandingkan NAC 150 mg/kgBB secara intravena diberikan dalam 20 jam dengan kombinasi NAC dengan regimen yang sama dan infliximab 5 mg/kgBB yang secara intravena diberikan dalam 2 jam tanpa hasil yang lebih baik dibandingkan terapi suportif dan tidak terdapat bukti remisi penyakit.
13
Terdapat sedikit bukti mengenai penggunaan anti-TNF sebagai terapi pada SJS dan TEN; hanya terdapat kasus anekdot yang dilaporkan dalam literatur. Ia dianggap sebagai terapi yang menjanjikan berdasarkan blokade selektif TNF-α, yang memainkan peran fundamental terhadap patogenesis (Tabel 3). Obat-obat lain yang memberikan
mekanisme aksi anti-TNF adalah thalidomide dan pentoxifyline.
Namun, thalidomide tidak direkomendasikan karena resiko peningkatan kadar sitokin itu, dengan peningkatan mortalitas, yang digambatkan pada tahun 1996 oleh Wolenstein dkk. pada percobaan klinis tersamar ganda terkontrol plasebo. Teori lain yang dapat menjelaskan peningkatan mortalitas pada kelompok pasien yang diobati dengan thalidomide ialah fungsi proteksi dari TNF-α sebagai aktivator jalur antiapoptosis faktor transkripsi nuklear κB.
KESIMPULAN Penting untuk menetapkan diagnosis awal penyakit tersebut dalam rangka menghentikan obat kausatif sesegera mungkin. Selain itu, petanda keparahan perlu diidentifikasi untuk memantau evolusi dan memulai terapi suportif dan spesifik yang memungkinkan untuk remisi, penyembuhan dan pencegahan komplikasi dan sekuel penyakit.
14