LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL BLOK XVII KELAINAN PSIKIATRI MODUL 1 GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENYALAHGUNAAN ZAT (SUBSTANCE ABUSE)
Disusun oleh : Kelompok 3 JOERDY PUTRA PANANNANGAN
NIM.1510015032
ASTRID AINUN
NIM.1510015001
ADE YUSUF YULIANTO
NIM.1510015040
DINNI ASTRIANI
NIM.1510015061
FANNY GOMARJOYO
NIM.1510015025
ERVILLA MIYALNI
NIM.1510015017
MILDAWATI
NIM.1510015049
SEPTA ARIANY
NIM.1510015063
TRI WULANDARI
NIM.1510015012
Tutor : dr. Hary Nugroho, M. Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan laporan diskusi kelompok pada Blok 17 Kelainan Psikiatri modul 1 tentang Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penyalahgunaan Zat (Substance Abuse) dengan tepat waktu. Laporan ini dibuat sebagai bukti jalannya diskusi kelompok kecil kami. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Hary Nugroho, M.Kes selaku pembimbing diskusi kami sehingga laporan ini dapat terselesaikan. Kami berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi setiap pembacanya untuk meningkatkan wawasan dan kompetensi di bidang ilmu kedokteran. Kami menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami. Sebagai penutup kami berharap, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.
Samarinda, 25 Maret 2018
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii BAB I ......................................................................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2.
Manfaat dan Tujuan .................................................................................................... 1
BAB II........................................................................................................................................ 3 2.1.
Skenario....................................................................................................................... 3
2.2.
Identifikasi Istilah ........................................................................................................ 4
2.3.
Identifikasi Masalah .................................................................................................... 5
2.4.
Analisis Masalah ......................................................................................................... 5
2.5.
Kerangka Konsep ........................................................................................................ 7
2.6.
Tujuan Pembelajaran ................................................................................................... 7
2.7.
Belajar Mandiri ........................................................................................................... 7
2.8.
Sintesis ........................................................................................................................ 7
2.8.1.
Penggolongan NAPZA ........................................................................................ 7
2.8.2.
Mekanisme Kerja NAPZA ................................................................................... 9
2.8.3.
Tanda dan Gejala Intoksikasi dan Putus Zat ...................................................... 12
2.8.4.
Terapi dan Upaya Pemulihan NAPZA .............................................................. 15
2.8.5.
Pencegahan Sebelum Memakai dan Kekambuhan ............................................ 22
BAB III .................................................................................................................................... 26 3.1.
Kesimpulan................................................................................................................ 26
3.2.
Saran .......................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Narkoba atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun non sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungan akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Dalam istilah sederhana NAPZA berarti zat apapun juga apabila dimasukkan kedalam tubuh manusia, dapat mengubah fungsi fisik dan/atau psikologis. NAPZA psikotropika berpengaruh terhadap system pusat syaraf (otak dan tulang belakang) yang dapat mempengaruhi perasaan, persepsi dan kesadaran seseorang . Sebetulnya penggunaan narkotik, obat-obatan, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) untukberbagai tujuan telah ada sejak jaman dahulu kala. Masalah timbul bila narkotik dan obat-obatan digunakan secara berlebihan sehingga cenderung kepada penyalahgunaan dan menimbulkan kecanduan(dalam bahasa Inggris disebut “substance abuse”) serta dapat mengalami intoksikasi zat dan withdrawal. Dengan adanya penyakitpenyakit yang dapat ditularkan melalui pola hidup para pecandu, maka masalah penyalahgunaan NAPZA menjadi semakin serius. Lebih memprihatinkan lagi bila yang kecanduan adalah remaja yang merupakan masa depan bangsa, karena penyalahgunaan NAPZA ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan, sosial dan ekonomi suatu bangsa. Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan dalam membantu masyarakat yang sedang dirawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat pencegahan penyalahgunaan NAPZA pada pasien. 1.2. Manfaat dan Tujuan Berdasarkan skenario yang diberikan pada modul, kami telah mengidentifikasikan beberapa manfaat yang akan kami dapat dari pembelajaran pada modul ini, sebagai berikut: 1
a. Mengetahui jenis-jenis golongan NAPZA b. Mengetahui mekanisme kerja dari NAPZA c. Mengetahui tanda dan gejala pengguna NAPZA d. Mengetahui hasil pemeriksaan psikiatri pengguna NAPZA e. Mengetahui terapi medikamentosa dan non-medikamentosa f. Mengetahui
pencegahan
relaps
dan
sebelum
mencoba
NAPZA
2
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN 2.1. Skenario “OH NARKOBA…!” Seorang laki-laki, 32 tahun, lulus SD, tidak bekerja, menikah, dibawa keluarga ke UGD RSUD Atma Husada dengan keluhan mengamuk 3 bulan terakhir karena menggunakan NAPZA. Autoanamesis Pasien menceritakan sudah menggunakan NAPZA ”S” sejak berumur 25 tahun jadi sudah sekitar 7 tahun menggunakan. Ia mengenal NAPZA “S” dari teman-temannya. Sejak saat itu pasien memekai tiap kali pasien memiliki uang dengan pemakaian yang tidak teratur sekitar 3-4 kali per minggunya. Pemakaian NAPZA “S” dilakukan dengan cara inhalan (dihisapdengan bong). Namun pasien juga pernah mengkonsumsi dengan cara disuntikkan secara intravena. Namun 3 bulan terakhir sejak ayahnya meninggal, pasien menggunakan NAPZA “S” setiap hari. Pasien menggunakan bersama teman-temannya dirumah atau terkadang diladang. Pasien mengaku tidak pernah merasakan gejala intoksikasi ataupun sakau/withdrawal. Setelah menggunakan NAPZA “S” pasien akan merasa sangat bersemangat dan bertenaga. Pasien mengaku bahwa alasannya menggunakan zat tersebut awalnya dikarenakan diajak teman-teman. Selain itu juga dikarenakan pekerjaannya yang menuntut dirinya untuk tetap terbangun dan bertenaga. Sebelum akhirnya menganggur, pasien adalah seorang pengantar kelapa sawit dengan menggunakan truck. Pasien mengatakan bahwa ia harus bekerja sampai jam 3 pagi. Jadi pasien sering berpergian ke tempat yang jauh . menurut pengakuan pasien, ia terakhir mengguanakan sekitar seminggu yang lalu. Pasien tidak hanya menggunakan NAPZA “S” ,namun ia juga mengkonsumsi alcohol jika diajak teman dan merokok 1 bungkus/hari. Pasien mengaku ingin berhenti sendiri dikarenakan merasa bahwa karena menggunakan NAPZA “S” membuat dirinya lebih rentan terhadap penyakit. Selain itu juga merasa bahwa emosinya kadang-kadang tidak terkontrol. Pasien mengaku alasannya mengamuk karena terus-terusan diomongin oleh tetangga bahwa dirinya menggangu istri orang lain dan bukan dikarenakan ingin mengkonsumsi 3
narkoba. Sedari kecil pasien dibesarkan oleh nenek dikarenakan orang tua pasien harus bekerja. Setelah lulus SD baru pasien dibesarkan oleh orang tua. Sejak SD pasien sudah mengkonsumsi double L. Heteroanamesis Pasien dibawa ke UGD RSUD Atma Husada Mahakam oleh keluarganya dengan keluhan mengamuk. Pasien sudah mengamuk sejak 3 bulan terakhir. Merusak barang dirumah, sering berbicara sendiri. Pasien juga menjadi lebih emosian. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien merupakan pengguna narkoba dan peminum alkohol. Pasien juga merupakan seorang perokok. Mulai kecil dibesarkan oleh neneknya. Ketika lulus SD baru pasien tinggal bersama ibunya. Nenek pasien membebaskan pasien mengkonsumsi alkohol dan merokok. Sejak SD pasien sudah menggunakan LL, dan baru tahun 2008 mengenal NAPZA “S” dan mengkonsumsi. Pasien menjual barang-barangnya untuk mendapatkan NAPZA “S” seharga 2 juta per satu gramnya. Setahun lalu saat menggunakan NAPZA “S” dengan cara disuntikkan, pasien pernah mengatakan bahwa dia dikejar makhluk halus. Pasien lari kehutan dan ketika ditemukan kembali, pasien tidak menggunakan NAPZA “S” selama sebulan dan kembali menggunakan karena perasaan tidak enak. Pasien dibawa ke RSJ dikarenakan keluarga pasien ketakutan karena selalu diancam akan dicelakai dan karena pasien suka mengamuk dan merusak barang. Menurut keluarga , hal ini karena pasien sudah mulai kehabisan uang untuk membeli NAPZA “S”.
2.2. Identifikasi Istilah 1. NAPZA “S”
: adalah narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
sedangkan “S” nya adalah narkoba adalah bentuk shabu (bubuk). 2. DOUBLE L / LL
: pil yang sebenarnya adalah obat pelega otot, atau bisa di
resepkan untuk obat batuk, namun bila ketergantungan maka akan memiliki efek samping ketenangan inilah yang menjadi alasan double L disalahgunakan. 3. SAKAU
: adalah gejala putus obat secara mendadak, yaitu kumpulan
gejala fisik maupun mental yang tidak nyaman setelah tidak menggunakan NAPZA. 4. INTOKSIKASI
: atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia
dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakan.
4
2.3. Identifikasi Masalah 1. Apa saja jenis- jenis NAPZA? 2. Kapan obat tersebut dikatakan NAPZA? 3. Apakah setiap obat tersebut memiliki efek yang sama? 4. Faktor/motivasi seseorang untuk menggunakan NAPZA? 5. Apakah NAPZA tersebut benar mempengaruhi kesehatan? 6. Mengapa dan bagaimana timbul gejala perubahan emosi dan pasien merasa dikejar makhluk halus? 7. Apa saja efek yang timbul saat pasien berhenti menggunakan NAPZA? 8. Penanganan awal dan jangka panjang? Dan bagaimana cara menghentikan pasien menggunakan NAPZA? 9. Tanda dan gejala pasien yang menggunakan NAPZA?
2.4. Analisis Masalah 1. Narkoba dan Psikotropika berdasarkan golongannya sama-sama dibagi 4 golongan yaitu : a. Golongan 1 : digunakan hanya untuk ilmu pengetahuan. b. Golongan 2 : digunakan untuk ilmu pengetahuan dan bisa untuk terapi namun memiliki efek berat untuk ketergantungan. c. Golongan 3 : digunakan untuk ilmu pengetahuan dan terapi serta memiliki efek sedang untuk ketergantungan. d. Golongan 4 : untuk ilmu pengetahuan dan banyak digunakan untuk terapi dan memiliki efek ringan untuk ketergantungan. Berdasarkan tinggkat ketergantungannya : a. Berat : contohnya Heroin b. Sedang : contohnya Morfin c. Ringan : contohnya kodein Berdasarkan efeknya : a. Depresan
:untuk menurunkan stimulasi.
b. Stimulan
:untuk meningkatkan stimulasi.
5
c. Halusinogen :untuk
membelokkan stimulasi
dan
jenis yang paling
berbahaya.
2. Bila obat yang termasuk golongan NAPZA memiliki manfaat terapi maka masih dikatakan bukan NAPZA saat digunakan sesuai manfaat dan resep dokter namun bila disalahgunakan maka obat terserbut akan menjadi NAPZA. 3. Sesuai golongannya yang sudah disebutkan pada pertanyaan no 1. 4. Hal yang membuat seseorang menggunakan NAPZA adalah: a. Pertama coba-coba karena rasa ingin tau. b. Menjadi kebutuhan c. Kurang puas sehingga dosis menjadi lebih tinggi d. Ketergantungan 5. Tergantung manfaat, golongan dan efek ketergantungannya, namun biasanya bila obat disalalahgunakan maka biasanya memiliki efek samping yang bisa berbahaya. 6. Gejala itu timbul karena efek dari obat tersebut, mungkin saja saat menggunakan NAPZA “S” melalui jarum suntik sehingga efeknya halusinasi. 7. Efek yang paling sering terjadi adalah sakau/withdrawal. 8. Penanganan awalnya mungkin bisa dikasih obat penenang yang sesuai atau bisa dikasih metadon untuk mengurangi keinginan pasien untuk menggunakan NAPZA. Untuk penanganan lanjutnya bisa di rehabilitasi. 9. Biasanya mudah emosi, tidak fokus atau sok fokus dan tandanya biasanya bila pasien menggunakan NAPZA yang disuntikan akan ada beberapa bekas suntikan.
6
2.5. Kerangka Konsep
2.6. Tujuan Pembelajaran 1. Mahasiswa mampu mengetahui jenis-jenis NAPZA 2. Mahasiswa mampu mengetahui mekanisme kerja dari NAPZA 3. Mahasiswa mampu mengetahui tanda dan gejala pengguna NAFZA 4. Mahasiswa mampu mengetahui hasil pemeriksaan psikiatri pengguna NAPZA 5. Mahasiswa mampu mengetahui terapi medikamentosa dan non medikamentosa 6. Mahasiswa mampu mengetahui pencegahan relaps dan sebelum mencoba NAPZA
2.7. Belajar Mandiri Pada step ini, mahasiswa melakukan belajar mandiri untuk mempersiapkan DKK 2 dengan mencari sumber dan mempelajari baik dari text book maupun jurnal.
2.8. Sintesis 2.8.1. Penggolongan NAPZA Menurut Undang Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.
7
1. Narkotika Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (contoh: Heroin/putauw, kokain, ganja). 2. Narkotika Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (contoh: morfin, petidin). 3. Narkotika Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan
ketergantungan (contoh: kodein). Narkotika yang sering disalahgunakan adalah narkotika Golongan I: Opiat (morfin, herion atau putauw), petidin, candu, ganja atau kanabis, marihuana, hashis, kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun kokain. Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalu pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut. 1. Psikotropika Golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. (contoh : ekstasi, shabu, lsd). 2. Psikotropika Golongan II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan . ( contoh: amfetamin, metilfenidat atau ritalin). 3. Psikotropika Golongan III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan (contoh: pentobarbital, flunitrazepam). 4. Psikotropika Golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu 8
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan
(contoh:
diazepam,
bromazepam,
fenobarbital,
klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil bk, pilkoplo). Selain narkotika dan psikotropika, terdapat juga zat yang memiliki efek ketergantungan, yaitu zat adiktif lain. Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi : 1. Minuman berakohol Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu : a. Golongan A : kadaretanol 1-5%, (Bir) b. Golongan B : kadaretanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur) c. Golongan C : kadaretanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House, Johny Walker, Kamput.) 2. Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalahgunakan, antara lain : Lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin. 3. Tembakau Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alcohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alcohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya. 2.8.2. Mekanisme Kerja NAPZA 1. Opioid Terdapat beberapa reseptor opioid, diantaranya reseptor opioid-μ, reseptor opioid-κ, dan reseptor opioid-δ. Reseptor opioid-μ terlibat dalam regulasi
danmediasi
analgesia,
depresi
napas,
konstipasi,
dan
ketergantungan. R reseptor opioid-κ terlibat dalam analgesia, dieresis, dan 9
sedasi. Sedangkan reseptor opioid-δ mungkin terlibat dalam analgesia (Saddock & Saddock, 2004). Opioid juga memiliki efek signifikan terhadap sistem dopaminergik dan noradrenergic. Sejumlah data mengindikasikan bahwa sifat adiktif rewarding opioid diperantarai melalui aktivasi neuron dopaminergikarea tegmental ventral yang ke korteks serebri dan sistem limbic (Saddock & Saddock, 2004). 2. Kokain Efek farmakologiknya berkaitan dengan blokade kompetitif reuptake dopamine
oleh
transporter
dopamine.Blokade
ini
meningkatkan
konsentrasi dopamine di celah sinaps dan menyebabkan aktivasi reseptor dopamine tipe 1 (D1) maupun tipe 2 (D2), dan mungkin juga tipe 3 (D3). Selain memblokade reuptake dopamine, kokain juga menghambat reuptake katekolamin utama lain, norepenefrin dan serotonin. Kokain juga dikaitkan dengan penurunan aliran darah serebri. Kokain berefek langsung setelah waktu singkat (30-60 menit), namun metabolitnya dapat terdapat dalam darah dan urin selama 10 hari (Saddock & Saddock, 2004). 3. Amfetamin Amfetamin
klasik
(dekstrometorfetamin,
metamfetamin,
dan
metilfenidat) menimb ulkan efek primer dengan menyebabkan pelepasan katekolamin, terutama dopamine, dari terminal prasinaptik. Efeknya terutama poten untuk neuron dopaminergik yang berjalan dari area tegmental ventral ke korteks serebri dan area limbic. Jaras ini disebut sebagai jaras sirkuit reward dan aktivasinya mungkin menjadi mekanisme adiktif utama untuk amfetamin (Saddock & Saddock, 2004). Amfetamin
desainer
(MDMA,
MDEA,
MMDA,
dan
DOM)
menyebabkan pelepasan katekolamin (dopamine dan norepinefrin) serta serotonin, neurotransmitter yang dianggap jaras neurokimiawi utama untuk halusinogen. Oleh karena itu efek klinis amfetamin desainer merupakan campuran efek amfetamin klasik dan halusinogen (Saddock & Saddock, 2004). 4. Ganja Komponen utama ganja (kanabis) adalah (-)-Δ9-tetra-hidrokanabinol (Δ9-THC) yang dalam tubuh manusia cepat diubah menjadi hidroksi-910
THC, metabolit yang aktif di sistem saraf pusat. Reseptor kanabioid, anggota reseptor terkait protein, berkaitan dengan protein G inhibitorik (G1), yang berikatan dengan adennilil siklase secara inhibitorik. Reseptor kanabioid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di ganglia basalis, hipokampus, dan serebelum, dengan konsentrasi yang lebih rendah di korteks serebri. Reseptro kanabis tidak ditemukan di batang otang otak, oleh karena itu berefek minimal terhadap fungsi respirasi dan kardiak. Suatu penelitian pada hewan menunjukkan bahwa kanabioid memengaruhi neuron monoamine dan asam γ-aminobutirat.Hingga saat ini masih menjadi perdebatan apakah kanabioid menstimulasi pusat reward otak. Selain itu banyak variable memengaruhi sifat psikoaktif kanabis, diantaranya
rute
pemberian,
teknik
penghirupan,
dosis,
dituasi,
pengalaman pengguna sebelumya, ekspektasi penggun, serta kerentanan biologis pengguna terhadap efek kanabioid (Saddock & Saddock, 2004). 5. Alkohol Alkohol dimetabolisme dalam tubuh melalui bantuin dua enzim alkohol dehidrogenase (ADH) dan aldehid dehidrogenase. Alkohol diubah menjadi asetaldehid dengan bantuan ADH, dan asetaldehid diubah menjadi asetat dengan enzim aldehid dehidrogenase. Alkohol secara menyeluruh terlarut dalam cairan tubuh, jaringan yang mengandung proporsi air yang tinggi mendapat alkohol dalam konsentrasi tinggi (Saddock & Saddock, 2004). Tidak ada satu target molekuler yang telah teridentifikasi sebagai mediator afek alkohol. Teori efek biokimiawi yang selama ini dianut adalah efek pada membran neuron. Hipotesis mendukung bahwa alkohol menyisipkan diri ke dalam membran sehingga mengakibatkan peningkatan fluiditas membran pada penggunaan jangka pendek. Sedang pada penggunaan jangka panjang, disebutkan bahwa membran menjadi rigid atau kaku. Fluiditas membran berperan penting dalam pada fungsi reseptor, kanal ion, dan protein fungsional terkait membran lainnya. Fokus terbesar efek alkohol berada pada kanal ion. Beberapa studi secara spesifik menemukan bahwa aktivitas kanal ion alkohol yang dikaitkan dengan reseptor asetilkolin nikotinik, serotonin 5-HT3, dan GABA tipe A ditingkatkan oleh alkohol, sementara aktivitas kanal ion yang dikaitkan 11
dengan reseptor glutamat dan kanal kalsium voltage-gated mengalami inhibisi (Saddock & Saddock, 2004).
2.8.3. Tanda dan Gejala Intoksikasi dan Putus Zat Jenis Obat
Intoksikasi
Alkohol
Agresif, hambatan dalam membuat Tremor, mual/muntah, malaise, keputusan,
Putus Zat
gangguan
perhatian, lemah, takikardi, berkeringan,
iritabilitas, euphoria, depresi, emosi peningkatan
tekanan
darah,
labil, pelo, inkoordinasi, sempoyongan, ansietas, alam perasaan depresi, nistagmus, muka merah
iritabilitas,
halusinasi,
sakit
kepala, insomnia, kejang Amfetamin dan Bermusuhan, Zat Sejenis
merasa
hebat,
amat Ansietas,
alam
perasaan
waspada, agitasi psikomotor, hambatan depresi, iritabilitas, ketagihan dalam membuat keputusan, takikardi, zat,
letih,
insomnia
dilatasi pupil, peningkatan tekanan hipersomnia,
/
agitasi
darah, berkeringat, menggigil, mual psikomotor, paranoid, gagasan muntah Kafein
bunuh diri
Gelisah, gugup, gembira, insomnia, Sakit kepala muka
merah,
dieresis,
keluhan
gastrointestinal, kedutan otot, jalan pikiran dan bicara melantur, aritmia jantung, periode tak kenal lelah, agitasi psikomotor Kanabis
Euphoria, ansietas, curiga, sensahi Gelisah, waktu
berjalan
lambat,
hambatan insomnia,kehilangan
iritabilitas, selera
membuat keputusan, menarik diri, makan takikardi,
konjungtiva
merah,
peningkatan selera makan, halusinasi Kokain
Euphoria, bermusuhan, merasa hebat, Depresi, ansietas, iritabilitas, amat waspada, agitasi psikomotor, letih, insomnia, hipersomnia, 12
hambatan
membuat
keputusan, agitasi psikomotor, paranoid,
takikardi, peningkatan tekanan darah, gagasan dilatasi
pupil,
berkeringat
bunuh
diri,
apati,
atau menarik diri
menggigil, mual muntah, halusinasi, delirium Inhalan
Suka bermusuhan, suka menyerang, adipati, hambatan dalam membuat keputusan, limbung, nistagmus, pelo, sempoyongan, letargi, depresi refleks, tremor,
penglihatan
kabur,
koma,
euphoria, iritasi mata Nikotin
-
Ketagihan, iritabilitas, marah, frustasi,
ansietas,
sulit
konsentrasi, gelisah, penurunan frekuensi jantung, peningkatan selera berat
makan, badan,
penambahan tremor,
sakit
kepala, insomnia Opioid
Euphoria, letargi, somnolen, apati, Ketagihan, mual/muntah, sakit disforia, hambatan dalam membuat otot, lakrimasi / rinorea, dilatasi keputusan,
konstriksi
pupil, pupil, piloereksi / berkeringat,
mengantuk, pelo, konstipasi, mual, diare, sering menguap, demam, penurunan frekuensi napas dan tekanan insomnia darah Fensiklidin dan Suka Zat Sejenis
berkelahi,
impulsive,
suka
agitasi
menyerang, psikomotor,
hambatan dalam membuat keputusan, nistagmus,
meningkatnya
tekanan
darah dan frekuensi jantung, tidak berespon
terhadap
nyeri,
ataksia,
disartia, otot kaku, kejang, hiperakusis, 13
delirium Sedatif, Hipnotik, ansiolitik
Impuls seksual atau agresif tidak dapat Mual/muntah, malaise, lemah, dan dihambat,
alam
perasaan
labil, takikardi, berkeringat, ansietas,
hambatan dalam membuat keputusan, iritabilitas, hipotensi ortostatik, pelo,
inkoordinasi,
ganguan
perhatian
sempoyongan, tremor, insomnia, kejang atau
ingatan,
disorientasi, bingung
Pemeriksaan Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi dan lain-lain perlu diobservasi. Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan gejala yang ada. 1. Fisik Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum penis. Pemeriksaan fisik
terutama
ditujukan
untuk
menemukan
gejala
intoksikasi/overdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti hepatitis, endokarditis, bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain. Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil, cara jalan, sclera ikterik, conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia jantung, edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain. 2. Psikiatrik Derajat kesadaran, daya nilai realitas, gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih, depresi, euforia) gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid, halusinasi) gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola tidur, sikap manipulatif dan lain-lain) 3. Penunjang a. Analisa Urin 14
Bertujuan (benzodiazepin,
untuk
mendeteksi
barbiturat,
adanya
amfetamin,
NAPZA
kokain,
dalam
opioida,
tubuh
kanabis).
Pengambilan urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan pastikan urine tersebut urine pasien b. Penunjang lain Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan pemeriksaan laboratirium rutin darah, urin
2.8.4. Terapi dan Upaya Pemulihan NAPZA 2.8.4.1. Prinsip Dasar Penatalaksanaan Umum 1. Pengenalan dan Skrining a. Pengenalan Awal Pengenalan awal sangat penting karena dapat mencegah seseorang menjadi ketergantungan atau terjadi perkembangan kerusakan yang menetap. b. Deteksi dini dapat ditingkatkan dengan melakukan: 1) Melakukan penyelidikan/wawancara rutin tentang penggunaan NAPZA 2) Skrining dengan kuesioner 3) Skrining biologi (pemeriksaan laboratorium) 4) Seringkali melakukan presentasi klinis tentang NAPZA c. Wawancara rutin tentang penggunaan NAPZA d. Kuesioner skrining Penggunaan kuesioner secara umum meliputi: isu-isu tentang gaya hidup seperti merokok, diet, olahraga, penggunaan NAPZA mungkin bukan ancaman bagi mereka. Banyak alat yang dapat digunakan untuk melakukan skrining penggunaan NAPZA pada individu seperti ASSIST (Alcohol, Smoking, Substance Involvement Screening Test.) e. Skrining Biologik 1) Beberapa Jenis Pemeriksaan Darah 15
Beberapa jenis pemeriksaan darah dapat digunakan untuk skrining penggunaan NAPZA. Namun demikian hal ini sering kurang sensitif maupun spesifik daripada penggunaan kuesioner. Tes untuk skrining biologik termasuk: a) Pemeriksaan darah perifer lengkap termasuk MCV b) Tes Fungsi Hati termasuk gamma GT c) Trigliserid 2) Tes Urin Tes urin dapat mendeteksi adanya penggunaan berbagai jenis NAPZA (alkohol, kokain, kanabis, benzodiazepin, barbiturat dll.) berdasarkan sisa metabolitnya. Namun demikian pemeriksaan urin harus disertai dengan wawancara untuk mendeteksi adanya penggunaan zat lain yang akan mempengaruhi hasil tes urin (misal: obat batuk yang mengandung kodein, obat maag yang mengandung benzodiazepin,
obat
flu
yang
mengandung
fenilpropanolamin/efedrin). 3) Skrining Etiologik Untuk Pengguna NAPZA, termasuk: a) Pemeriksaan darah perifer lengkap termasuk hitung lekosit b) Tes Fungsi hati c) Hepatitis B, C dan HIV/AIDS 2. Asesmen a. Tujuan assesmen secara khusus 1) Mengidentifikasi perilaku penggunan NAPZA awal 2) Menemukan batas-batas masalah kesehatan akibat efek NAPZA 3) Menilai konteks sosial penggunaan NAPZA baik terhadap pasien maupun orang lain yang bermakna 4) Menentukan intervensi yang akan diberikan b. Fase asesmen Ada 4 fase penting dalam melakukan asesmen yang harus terpenuhi: 1) Mengembangkan hubungan berdasarkan saling percaya, empati, dan sikap yang tidak menghakimi 2) Membantu pasien secara akurat untuk menilai kembali penggunaan NAPZA mereka, yang mungkin akan memfasilitasi mereka untuk berubah 16
3) Memfasilitasi untuk mengingat kembali kejadian masa lalu dan masa kini dan menghubungkan dengan penggunaan NAPZA saat ini 4) Mendorong pasien untuk merefleksikan pilihan menggunakan NAPZA dan konsekuensi dari perilaku penggunaan NAPZAnya. c. Secara tradisional pengobatan berhasil dapat diukur dengan kondisi abstinensia (bebas NAPZA), saat ini lebih ditekankan pada: 1) Kesejahteraan 2) Pemahaman tentang minum-minuman keras dan penggunaan NAPZA lain 3) Kesiapan untuk berubah 4) Harapan yang terkait dengan penggunaan NAPZA (penghentian) 5) Fungsi sosial dan dukungan sosial 3. Penatalaksaan Gangguan Penggunaan NAPZA Pada Kondisi Non Gawat Darurat Individu dengan masalah penggunaan NAPZA pada kondisi tidak gawat darurat perlu menerima intervensi singkat ataupun intervensi psikososial, tergantung dari derajat penggunaan yang dilakukan individu tersebut. Bila diperlukan, pasien dengan ketergantungan NAPZA tertentu juga dapat menerima farmakoterapi rumatan ataupun simtomatik. a. Intervensi singkat 1) Intervensi singkat ditujukan untuk mencoba merubah penggunaan NAPZA atau setidaknya mengajak pasien berpikir ulang mengenai pola penggunaan NAPZAnya. Waktu yang dibutuhkan untuk intervensi biasanya antara 10 menit hingga 1,5 jam 2) Intervensi singkat khususnya dapat dipergunakan untuk pelayanan dasar di puskesmas dan dapat juga digunakan diruang emergensi, bangsal rumah sakit, dan berbagai kondisi layanan kesehatan lain. Direkomendasikan untuk beberapa kondisi seseorang seperti, a) Penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum ketergantungan b) Ketergantungan alkohol ringan sampai sedang c) Ketergantungan nikotin/perokok d) Ketergantungan ringan sampai sedang kanabis 17
3) Intervensi singkat tidak direkomendasikan untuk kondisi dibawah ini, a) Pasien
yang
kompleks
dengan
isu-isu
masalah
psikologis/psikiatrik b) Pasien dengan ketergantungan berat c) Pasien dengan kemampuan membaca yang rendah d) Pasien dengan kesulitan terkait dengan gangguan fungsi kognitif Pada kondisi ini direkomendasikan untuk melakukan wawancara mendalam. 4. Penatalaksanaan Umum Kondisi Kegawatdaruratan Penggunaan NAPZA a. Tindakan terfokus pada masalah penyelamatan hidup (life threatening) melalui prosedur ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan menjaga tanda-tanda vital b. Bila
memungkinkan
hindari
pemberian
obat-obatan,
karena
dikhawatirkan akan ada interaksi dengan zat yang digunakan pasien. Apabila zat yang digunakan pasien sudah diketahui, obat dapat diberikan dengan dosis yang adekuat. c. Merupakan hal yang selalu penting untuk memperoleh riwayat penggunaan zat sebelumnya baik melalui auto maupun alloanamnesa (terutama dengan pasangannya). Bila pasien tidak sadar perhatikan alatalat atau barang yang ada pada pasien. d. Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang penting khususnya bila berhadapan dengan pasien panik, kebingungan atau psikotik e. Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali besaran masalah penggunaan zat pasien berdasar kategori dibawah ini: 1) Pasien dengan penggunaan zat dalam jumlah banyak dan tandatanda vital yang membahayakan berkaitan dengan kondisi intoksikasi. Kemungkinan akan disertai dengan gejala-gejala halusinasi, waham dan kebingungan akan tetapi kondisi ini akan kembali normal setelah gejala-gejala intoksikasi mereda. 2) Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejalagejala putus zat yang diperlihatkan pasien maka bila ada gejala18
gejala kebingungan atau psikotik hal itu merupakan bagian dari gejala putus zat. 3) Pasien
dengan
tanda-tanda
vital
yang
stabil
dan
tidak
memperlihatkan gejala putus zat yang jelas tetapi secara klinis menunjukkan adanya gejala kebingungan seperti pada kondisi delirium atau demensia. Dalam perjalanannya mungkin timbul gejala halusinasi atau waham, tetapi gejala ini akan menghilang bilamana kondisi klinis delirium atau dementia sudah diterapi dengan adekuat. 4) Bilamana tanda-tanda vital pasien stabil dan secara klinis tidak ada gejala-gejala kebingungan atau putus zat secara bermakna, tetapi menunjukkan adanya halusinasi atau waham dan tidak memiliki insight maka pasien menderita psikosis. 2.8.4.2.
Terapi Dan Upaya Pemulihan Adiksi
1. Sasaran Terapi a. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA berahap sampai abstinensia total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah penghentian total penggunaan NAPZA. Sebagian pasien tidak mampu dan tidak memiliki motivasi yang cukup untuk mencapai sasaran ini, khususnya pada awal
terapi.
Pasien/klien masih
dapat
dibantu dengan
meminimalisasi efek langsung dan tidak langsung dari NAPZA yang digunakan. Pada beberapa pasien, pencapaian abstinensia yang terus menerus (sustained abstinence) adalah sasaran jangka panjang. Karena itu beberapa klinisi nbersama – sama pasien dengan alasan klinis menetapkan bahwa pengurangan penggunaan zat secara bertahap dan pengurangan frekuensi harmful dari penggunaan zat (tanpa abstinensia total) dapat dipahami sebagai sasaran antara (intermediate goals). b. Mengurangifrekuensi dan keparahan relaps (sasaran kritis terapi) Fokus utama dari pencegahan relaps adalah membantu pasien/klien mengidentifikasi situasi yang menempatkan dirinya kepada resiko
19
relaps dan mengembangkan respon alternatif asal bukan menggunakan NAPZA. c. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam masyarakat. Mereka dengan gangguan penggunaan NAPZA yang sering dikaitkan dengan problema psikologi dan sosial memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki gangguan hubungannya dengan orang lain tersebut, mengurangi impulsivitas yang terjadi, mengembangkan keterampilan sosial dan vakasional serta mempertahankan status dalam pekerjaannya
disamping
mempertahankan
dirinya
semaksimal
mungkin agar tetap dalam kondisi bebas zat. 2. Tahapan Terapi Proses terapi adiksi umumnya dapat dibagi atas beberapa fase: a. Fase penilaian (assesment phase), sering disebut fase penilaian awal (initial intake). Pada fase ini diperoleh informasi dari pasien/klien tentang gambaran cross sectional dan longitudinal yang dinilai secara kritis dan integratif. Dalam melakukan penilaian terhadap pasien/klien yang dicurigai menggunakan zat, maka perlu dilakukan evaluasi psikiatrik yang komprehensif. b. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut fase terapi withdrawal atau fase intoksikasi. Beberapa variasi fase detoksifikasi: 1) Rawat inap dan rawat jalan 2) Intensive-out patient treatment, terapi residensi, home based detoxification program 3) Cold Turkey, terapi simptomatik 4) Rapid Detoxification, Ultra Rapid Detoxification 5) Detoksifikasi dengan menggunakan: a) Kodein dan ibuprofen b) Klontrex (klonidin dan naltrekson) c) Buprenorfin d) Metadon
20
c. Fase terapi lanjutan. Dalam fase ini perlu dikembangkan dan diimpemestasikan strategi terapi secara keseluruhan. Tergantung kepada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekankan kepada the individual’s need agar tetap drug free atau menggunakan program terapi substitusi. Beberapa variasi terapi tergantung pada filosofi program yang mendasarinya: 1) Program Terapi Substitusi, ada Antagonis (naltrekson), Agonis Parsial (buprenorfin), atau dengan Full Agonis (metadon) 2) Program terapi yang berorientasi pada abstinensia, ada Therapeutic Community, The 12-Step Recovery Program, Narcotic Anonymous, SMART Recovery, Faith-Based Recovery Program 3. Terapi Substitusi Terapi substitusi sering juga disebut dengan terapi rumatan (maintenance). Karakteristik obat yang ideal untuk terapi rumatan: a. Rendah potensi untuk didiversikan b. Lamanya aksi cukup panjang c. Potensi rendah menggunakan zat lain selama terapi d. Toksisitas rendha untuk terjadinya overdose e. Fase detoksifikasi harus singkat, sederhana dan gejala rebound withdrawal minimal f. Memfasilitasi abstinensia terhadap opioid ilegal lain g. Pasien menerima dengan ikhlas dan baik Beberapa jenis obat yang mendekati kriteria karakteristik tersebut seperti: a. Agonis: metadon b. Partial agnois: buprenorfin c. Antagonis: naltrekson Terapi rumatan yang tersedia di Indonesia Buprenorfin SL dan Metadon. Tujuan terapi rumatan ketergantungan opioid bertujuan antara lain untuk: a. Mencegah atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioid illegal b. Mencegah relaps untuk menggunakankembali opioid c. Restrukturisasi kepribadian d. Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioid. 21
Penggunaan farmakoterapi dalam program bertujuan untuk: a. Menambah “bolding power” untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan b. Menciptakan suatu “window of opportunity” sehingga pasien dapat menerima
intervensi
psikososial
selama
terapi
rumatan
dan
mengurangi resiko c. Memeprsiapkan kehidupan yang produktif selama menggunakan terapi rumatan
2.8.5. Pencegahan Sebelum Memakai dan Kekambuhan Dari berbagai hasil studi pemakai narkoba, mayoritas berasal dari kalangan remaja dan dewasa muda, dan mereka mulai merokok di masa remaja. Beberapa studi menemukan pula bahwa mengkonsumsi rokok bersamaan dengan zat adiktif lain ternyata akan memperlama pemakaian narkoba (Rohsenow et al., 2005; Bechtholt dan Mark, 2002). Penelitian pada tikus percobaan yang dilakukan oleh Bechtholt dan Mark (2002) mendukung hal tersebut di mana ditemukan bahwa nikotin (dalam rokok) akan meningkatkan pemakaian kokain. Selain itu Doweiko (2002) berpendapat bahwa pemakaian zat lebih dari satu macam, terutama zat yang bekerja dengan mekanisme yang hampir sama, dapat menyebabkan toleransi silang (cross tolerance) yaitu kebutuhan zat berdosis lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama. Jadi merokok kemungkinan dapat menjadi salah satu faktor penyulit berhentinya pemakaian narkoba ilisit. Terkait dengan berbagai temuan di atas, mengingat remaja adalah pemakai mayoritas, baik memulai merokok maupun memakai zat adiktif lain, maka intervensi prevensi dapat ditujukan kepada kelompok remaja. Berdasarkan definisi WHO, remaja ada di usia antara 10 sampai 18 tahun. Remaja yang mayoritas menghabiskan separuh waktunya di sekolah dapat digapai oleh upaya yang berbasis sekolah. Untuk remaja yang tidak sekolah dapat diterapkan upaya deteksi dini dan penjangkauan dengan menggunakan organisasi yang sudah ada di komunitas. Upaya menanggulangi permasalahan pemakaian zat adiktif/narkoba ditujukan sesuai dengan tahapan kontinum pemakaian zat itu sendiri. Terdapat konsep pencegahan, mulai dari primer, sekunder dan tersier yang dapat diterapkan pada 22
penyakit ini (Hamilton, King dan Ritter, 2004). Pencegahan primer adalah mencegah seseorang yang sebelumnya tidak memakai zat adiktif untuk tidak mencoba atau memakai teratur. Pencegahan sekunder adalah mencegah seseorang yang sudah menggunakan agar tidak masuk ke dalam kelompok berisiko dan tidak menjadi tergantung atau adiksi. Pencegahan tersier adalah mereduksi bahaya yang timbul dari masalah-masalah penyalah guna narkoba dan adiksi, termasuk tindakan terapi dan rehabilitasi, sampai seminimal mungkin menggunakannya atau bahkan tidak menggunakan sama sekali. Tabel 2. Tahapan perubahan Tahapan
Pemakai zat adiktif
Upaya penanganan
Pre-
Pemakai tak berfikir tentang berhenti
Membentuk
hubungan
dengan
pemakai. Mencoba meningkatkan
kontemplasi
kesadaran akan akibat pemakaian zat adiktif Kontemplasi
Pemakai sadar bahwa ada masalah, Memunculkan dan
dia
berpikir
serius
melakukan sesuatu
alasan
untuk berubah.
untuk
Memperkuat
efikasi/kemampuan
diri
untuk
pemeriksaan
penuh
berubah Preparasi
Pemakai harus memutuskan untuk Melakukan mengadakan bermaksud
perubahan melakukan
dan (full
assessment)
tindakan pemakai,
dalam 30 hari ke depan
dan
terhadap membantu
memutuskan langkah terbaik untuk berubah.
Aksi/tindakan
Pemakai mengubah perilakunya dan Menolong
pemakai
atau lingkungannya untuk keluar mempelajari
keterampilan
atau berhenti, atau paling tidak mengembangkan secara
serius
mengurangi hidup
mengkonsumsi zat adiktif
bebas
Dukungan
untuk
strategi tanpa
sangat
dan untuk
narkoba. diperlukan
selama tahapan ini.
23
Pemeliharaan
Individu sudah abstinens dan ingin Menolong terus
individu
untuk
mengembangkan gaya hidup sehat dan mengenali serta menggunakan
berhenti pakai
strategi untuk mencegah kambuh. Kambuh
Sesudah mencoba abstain, pemakai Mempersiapkan pemakai terlebih mungkin kembali mengkonsumsi zat dulu untuk memahami tahapan ini. adiktif. Ini dapat terjadi kapan saja, Menolong untuk menggambarkan dan memindahkan individu mundur apa ke tahap sebelumnya
penyebab
membantu
kambuh
dan
memperbaharui
kontemplasi dan menerapkan rencana aksi lebih efektif.
Harm reduction Pecandu jarum suntik (intravenous drug users) telah menyumbang banyak penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Harm reduction adalah pendekatan pragmatis dan efektif kesehatan masyarakat untuk mengurangi konsekuensi negatif dari penggunaan napza untuk mencegah terjadinya penularan HIV AIDS. ada beberapa metode yang digunakan secara universal: 1. Penjangkauan 2. Komunikasi informasi dan edukasi (KIE) 3. Konseling pengurangan risiko 4. Konseling testing sukarela (VCT) 5. Program desinfeksi 6. Program jarum suntik 7. Pembuangan jarum suntik dan alat bekas pakai 8. Pelayanan pengobatan ketergantungan napza Relaps dan Pencegahannya Relaps adalah proses dimana adiksi kembali menggunakan napza dan frekuensi dan jumlah yang sekurang-kurangnya sama seperti ketika dia menggunakan narkoba sebelum masa abstinensia.
Dalam proses relaps seorang adiksi akan
menunjukkan gejala-gejala dini yang memungkinkan untuk dipahami pencandu 24
dan keluarga sehingga membantu pasien mengatasi relapsnya. gejala gini tersebut dikenal dengan nama Relapse Warning Sign. Berbagai bentuk dan Warning sign sangat banyak. sebagian kecil dari Warning sign tersebut antara lain: 1. Berbohong. Ciri paling penting dalam sinyal relaps adalah berbohong (pada diri sendiri atau pada orang lain). Banyak bentuk variasi dari berbohong: “bohong hanya sedikit”, “bohong untuk
kebaikan (white lie)”,
menyangkal, ngotot, menutupi kebenaran dll. 2. Mempersalahkan orang lain Ingat bila pecandu napza mempersalahkan orang lain karena perbuatannya berarti dia membuat dirinya menjadi korban.
Kalau dia
menjadi korban siapa yang akan mempersalahkan dirinya Karena perbuatannya sendiri? dia harus mengambil resiko bertanggung jawab. 3. Perasaan malu. Banyak adiksi yang malu mengakui kesalahannya. Pecandu napza khawatir kalau mengakui kesalahannya, dia tidak akan dihargai dan dipercaya lagi. 4. Euforia. Euforia adalah perasaan yang tidak lazim berlebihan-lebihan. Bila pecandu napza tampak euforia, tampak dia optimistic dan umumnya kurang sensitive. Kalau menggunakan napza lagi, dia merasa kurang bertanggung jawab. Ketidakmampuan pecandu napza memilki keterampilan mengidentifikasi warning signs dan cara-cara mengatasinya perlu mendapatkan pelatihan yang disebut Relapse Prevention Training atau Theraphy.
25
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Narkoba atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, psikotropika dibagi menjadi 4 golongan, dan zat adiktif dapat meliputi alkohol, inhalansia, tembakau. Mekanisme kerja dari berbagai jenis NAPZA berbeda-beda. Masing-masing jenis memiliki reseptornya masing-masing yang bila teraktivasi akan menimbulkan efek yang berbeda dan di lokasi yang berbeda. Terapi dan upaya pemulihan pertama dilakukan dengan pengenalan dan skrining, assesmen, penatalaksanaan gangguan penggunaan napza pada kondisi non gawat darurat dan gawat darurat. Proses terapi yang dilakukan adalah fase penilaian, fase terapi detoksifikasi, fse terapi lanjutan, dan dapat juga melakukan terapi substitusi. Terdapat konsep pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer adalah mencegah seseorang yang sebelumnya tidak memakai zat adiktif untuk tidak mencoba atau memakai teratur. Pencegahan sekunder adalah mencegah seseorang yang sudah menggunakan agar tidak masuk ke dalam kelompok berisiko dan tidak menjadi tergantung atau adiksi. Pencegahan tersier adalah mereduksi bahaya yang timbul dari masalah-masalah penyalah guna narkoba dan adiksi, termasuk tindakan terapi dan rehabilitasi, sampai seminimal mungkin menggunakannya atau bahkan tidak menggunakan sama sekali. 3.2. Saran Mengingat masih banyaknya kekurangan dari laporan ini, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2015, dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini.
26
DAFTAR PUSTAKA Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Diunduh dari www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-napza.pdf pada 24 Maret 2018 pukul 09:21.
Saddock, B.J., Saddock, V.A. 2004. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC
Townsend Mary C. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Psikiatri: Rencana Asuhan dan Medikasi Psikotropik. Jakarta: Penerbit EGC.
Undang-undang no. 9 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sekretariat Negara. Jakarta.
Undang-undang no. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Sekretariat Negara. Jakarta.
27