Badai Dalam Karung Otot-ototnya menegang kencang pada dua ruas bahunya yang kukuh dan berkeringat. Dadanya yang telanjang, legam berkilat diterpa sinar mentari siang yang ganas. Luthfi, demikian nama lelaki itu, seperti pasrah dan menyerah pada nasib. Ia tak bisa menggugat apa pun atau siapa pun atas apa yang telah dialami sekarang. Sebagai buruh harian lepas pada kontraktor pembangunan gedung pusat perbelajaan, yang tak memiliki kekuasaan apa-apa, dia tak dapat menolak keputusan PHK dari atasannya. "Proyek pembangunan gedung kita ini ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kami kehabisan dana. Akibat krisis moneter yang berkepanjangan, harga-harga bahan bangunan melonjak naik tak terkira. Budget yang tersedia tidak cukup untuk menutupi semua kebutuhan itu. Maaf, Bapak-Bapak, kami terpaksa memberhentikan Anda semua dari pekerjaan ini," kata Ir. Umar, site manager proyek tersebut di depan seluruh buruh harian pagi tadi dengan suara serak. "Bagi kami, ini merupakan keputusan terbaik, meski dari lubuk hati yang paling dalam kami tidak tega melakukan. Sekali lagi, saya atas nama pribadi dan direksi mohon maaf. Hari ini adalah hari kerja Bapak-Bapak yang terakhir kali. Semoga di waktu mendatang, Bapak-Bapak cepat memperoleh pekerjaan lagi. Sekian, " katanya mengakhiri penjelasan. Kalimat-kalimat Ir. Umar tadi seperti tergiang-ngiang kembali di telinga Luthfi. Mendengung, Bagai memecah gendang telinganya. Harga dirinya runtuh. Ia lalu tertunduk lesu pada sebongkah beton sembari memandang rekan-rekannya yang sudah mulai berkemas pulang. Hari ini mereka hanya bekerja setengah hari. Terlihat olehnya ekspresi wajah seragam; pucat dan kuyu. Tanpa semangat hidup. "Kamu belum pulang, Luthfi?" sapa Eko, rekan sekerjanya. Luthfi menggeleng pelan. Tanpa kata-kata. Eko mengangguk maklum dan melanjutkan langkahnya. Luthfi menggigit bibir. Ia teringat Agung dan Rina, anak dan istrinya dirumah. Mereka menggantungkan harapan dan masa depan mereka pada Luthfi, tamatan SMP yang hanya bisa mengaduk semen dan mengangkat batu. Ia tidak tahu dengan apa harus melanjutkan hidup untuk besok dan seterusnya. Agung, anak semata wayangnya yang baru berusia dua tahun serta sorot mata teduh Rina istrinya yang dengan sabar serta telaten mendampingi dia dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Luthfi menunduk, menekuri tanah proyek yang berdebu. "Luthfi, sudahlah, tak usah kamu sesali. Kita semua mengalami hal sama denganmu. Besok kita cari lagi pekerjaan di proyek yang lain. Ayo, kita pulang," tegur Firman, mandor kepala, membuyarkan lamunannya. Luthfi mengangkat wajah. Dia tatap wajah Firman, ada raut kedamaian di sana. "Luthfi," sapa Firman lagi, lembut. "Saya juga pernah mengalami hal sama. Saya putus asa, tidak tahu harus ke mana dan berbuat apa. Tapi saya segera sadar. Tuhan Maha Adil, selalu mendengar dan membantu hamba-Nya yang mau berusaha. Saya selalu menanamkan keyakinan itu." Luthfi mengangguk. "Terima kasih, Pak Firman," jawabnya lirih. Firman tersenyum tulus kemudian menepuk pundak Luthfi untuk beranjak dari tempat itu. Angin berhembus kencang, pohon-pohon meliuk dan debu-debu gersang beterbangan, berputar tak teratur lalu menghilang. *** Saat hendak mengungkapkan kenyataan pahit itu pada istrinya, Luthfi merasa menjadi seorang pecundang yang kalah telak. Sepanjang jalan, ia berusaha memilih kalimat-kalimat terbaik untuk diucapkan kepada Rina, supaya ia tak terlalu 'terpukul'. Tetapi ia tak bisa. Istrinya yang mengenal CERPEN : Amril Taufiq Gobel
1
watak dan perangainya, secara intuitif mendapat firasat sesaat wajahnya muncul dari pintu depan. Ekpresinya adalah ungkapan yang paling jujur. Belum sempat berkata apa-apa istrinya menghambur ke arah dia. Memeluknya erat-erat. Mengalirkan kehangatan dan pengertian wanita yang dia cintai. "Kamu tidak usah bilang apa-apa, Mas. Rina sudah tahu apa yang terjadi. Mas Luthfi jangan sedih. Tuhan akan selalu menolong kita. Rina senantiasa mendampingi Mas dalam situasi sesulit dan seburuk apa pun. Selalu, Mas. Selalu...," kata Rina terbata-bata. Air matanya berlinang. Luthfi merasakan butir-butir air hangat itu jatuh di bahunya. Luthfi mempererat pelukannya. Ia terharu dan kagum pada kesetiaan yang mendalam dari Rina. "Saya tidak tahu dengan apa saya mesti menafkahi kamu dan Agung setelah saya di-PHK. Saya seperti terjatuh ke jurang yang amat dalam," ujar Luthfi pelan. Dadanya terasa sesak. Ada beban berat menghimpit di sana . "Mas, berjanjilah. Jangan putus asa. Jangan patah semangat. Saya tak rela jika Mas Luthfi jadi kehilangan harapan dengan kejadian ini. Saya tahu, apa yang Mas Luthfi alami sangat mengguncangkan hati. Tapi, Mas Luthfi jangan sampai merasa ini adalah akhir dari segala-galanya. Kesempatan bekerja tetap masih ada, selama kita berusaha dan berdoa. Tolong, Mas Luthfi pahami, ini demi saya istrimu dan Agung buah hati kita," tutur Rina seraya menatap mata Luthfi dengan sorot tajam menghunjam. Luthfi tersenyum dan mengangguk. Ia membelai rambut istrinya dengan lembut. "Rina, saya tak keliru memilihmu sebagai pendampingku sehidup semati. Saya tidak akan mengecewakanmu. Saya akan tetap berjuang. Demi kamu dan Agung serta kehormatan keluarga kita. Saya berjanji Rina, saya berjanji," kata Luthfi mantap. Diraihnya tubuh istrinya. Dipeluk eraterat. Ada sebentuk kesejukan terbit di situ. Di luar jangkrik mengerik. Sampai jauh. *** Akhirnya Luthfi mendapat pekerjaan sebagai buruh harian pengangkut beras di salah satu gudang logistik, selang dua bulan setelah menganggur dari pekerjaan proyek konstruksi. Ia berusaha menikmati pekerjaannya. Meski penghasilannya saat ini jauh lebih kecil dari tempat kerjanya dulu, Luthfi menabahkan hati. Ia percaya, rezeki dari pekerjaan ini bagi dia tetap merupakan suatu kebanggaan tersendiri, karena memberikan nafkah yang halal bagi keluarganya. Istrinya pun tetap memberi dukungan moral yang tinggi. Tugas Luthfi tiap hari dari pukul 08.00 sampai 17.00 adalah mengangkut karung-karung beras dari gudang ke atas truk-truk distribusi untuk disalurkan ke tempat yang membutuhkan. Dengan postur tubuh yang tinggi kekar, bukan masalah bagi dia untuk membawa sekarung beras yang maksimal beratnya 80 kilogram. Ia bekerja sama dengan buruh harian lain, yaitu Yudi, Heri dan Bambang. Hari demi hari berlalu, tanpa terasa ia telah bekerja di tempat itu selama tiga bulan. Memasuki bukan keempat, Lithfi merasa ada yang kurang beres. Sore hari menjelang pulang, tanpa sengaja ia mendengar percakapan Hamzah, kepala gudang, dengan Syarif, kepala Satpam. Ia menguping pembicaraan dari balik partisi yang menghubungkan ruang staf dan gudang ketika melintasi ruang itu dari arah toilet. "Agus, malam ini putauw-putauw itu kamu masukkan di karung yang sudah aku tandai. Jangan beritahu siapa-siapa. Kalau butuh bantuan, kamu panggil saja anak buahmu, Si Joko. Aku percaya sama dia. Beri dia honor secukupnya. Jangan panggil orang lain. Yang penting, ini jangan sampai bocor ke siapa pun juga. Ingat, ini bisnis besar. Kalau berhasil, kamu pasti dapat honor gede. Lumayan besar dibanding gajimu di sini. Bos John sudah menunggu kiriman ini besok melalui truk jam sepuluh pagi. Tidak boleh telat dan gagal! Kamu mengerti, kan?!" Demikian suara berat Hamzah memerintah Syarif. Syarif tidak segera menjawab, ia hanya mendehem. Hamzah tampaknya tahu isyarat itu. "Oh... soal uang mukanya. Nih, limapuluh ribu rupiah dulu. Sisanya nanti saya berikan setelah tugasmu selesai. Ingat Syarif, jangan kecewakan saya. Juga Bos John. Oke?" ancam Hamzah. "Beres, Bos. Percayakan saja sama Syarif!" sahut Syarif. Suaranya terdengar riang. Kemudian CERPEN : Amril Taufiq Gobel
2
terdengar langkah-langkah menjauh. Luthfi merapatkan tubuh ke dinding, dan berjalan mengendap kembali ke arah toilet. Jantungnya berdegup kencang. Ia melihat dari kejauhan tubuh Hamzah masuk ke dalam mobil Toyota Kijangnya. Luthfi menelan ludah. Sebentuk kegalauan bergejolak di hatinya. Ia tak menyangka bisnis kotor juga terjadi dalam lingkungan kerjanya. Tidak tanggung-tanggung, bisnis obat terlarang! Seketika bulu kuduknya meremang. Ia merasa takut. Entah pada apa. Ia lalu teringat wasiat ayahnya menjelang wafat untuk tetap memelihara dan menjaga nilai-nilai kejujuran dan keadilan serta gigih membela kebenaran. Watak luhur jago silat kampung dan kearifan petani penggarap, memang menjadi warisan utama dari ayahnya. Luthfi memegang teguh prinsip-prinsip itu secara konsisten. Kini ia dihadapkan pada pilihan yang cukup sulit. Melaporkan kejadian ini pada polisi dengan resiko terburuk terkena PHK, atau membiarkan proses ini berlangsung terus dengan resiko mengingkari hati nurani dan amanat ayah tercintanya. Bagi Luthfi keduanya adalah pilihan yang sama sulit. Ia bimbang. "Luthfi, kamu belum pulang?" tegur Syarif, sang kepala Satpam menyentak lamunannya. Luthfi gelagapan dan berusaha menemukan jawaban terbaik. "Ini... baru mau siap-siap pulang, Pak!" jawabnya gugup, seraya meraih tas pundaknya, lalu bergegas pergi. Syarif hanya menggeleng-gelengkan kepala kemudian berbalik kembali ke kantor. Luthfi mempercepat langkahnya. Bergegas. Napasnya terdemgar memburu. Batinnya merucah oleh khawatir, entah pada siapa. Langit kelam, dan awan hitam menggumpal bagai jelaga. Petir pun menggelegar. Hujan akan segera turun. *** "Mas Luthfi yakin dengan apa yang Mas dengar tadi?" tanya Rina, istrinya, saat Luthfi menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Luthfi tidak segera menjawab. Ia lalu mengambil sepotong singkong rebus di atas piring. Dikunyahnya pelan. Dan Istrinya mengamati dengan sabar saat Luthfi menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. "Begitulah kejadiannya, Rina. Saya benar-benar yakin dengan apa yang saya alami. Saya kaget dan hampir tidak percaya setelah mendengar kenyataan itu," sahut Luthfi. Suaranya terdengar cemas. "Lantas, menurut Mas Luthfi, apa yang sebaiknya Mas lakukan?" tanya Rina lagi. "Melaporkannya ke polisi!" tegas Luthfi yakin. Ditatapnya lekat-lekat wajah istrinya. Rina menghela napas panjang, lalu menunduk menekuri lantai rumah kontrakan mereka. Entah kenapa jantungnya mendadak berdebar kencang. Ia merasa takut. Takut sekali. "Mas Luthfi, sudah berpikir resikonya?" "Rina, saya memegang teguh prinsip hidup saya dan keluarga saya. Menentang kezaliman. Tentang resiko, saya piker, itulah yang mesti kita pikul ketika menentukan suatu pilihan. Kita tak dapat mengelak dari itu!" kata Luthfi dengan mata menyala. "Mas Luthfi rela mempertaruhkan saya dan Agung, anak kita?" tanya Rina lagi. "Saya tidak mengatakan ini sebagai suatu pertaruhan, Rina! Ini adalah soal mempertahankan prinsip. Saya tidak suka dan tidak rela mereka memanfaatkan fasilitas kantor untuk melakukan tindak kejahatan. Kalau hal ini sampai terjadi terus, dan suatu waktu ketahuan belangnya oleh pihak berwenang, toh saya juga bisa diciduk. Dan tak punya harapan apa-apa lagi untuk dapat kembali bekerja. Cepat atau lambat semua ini akan terjadi, Rina. Kamu mesti paham itu. Saya sama sekali tidak punya maksud mengorbankan, apalagi melibatkan kamu dan anak kita, Si Agung, dalam kasus ini. Sungguh Rina. Sungguh!" jawab Luthfi seraya memegang bahu Rina erat-erat, lalu menatap dalam-dalam wajah teduh istrinya. Rina terdiam. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Luthfi lantas mengelus lembut rambut istrinya. "Terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk menempuh langkah itu, Mas," ucap Rina lirih. Air matanya mulai menggenang. Luthfi meraih tangan istrinya. Digenggamnya erat-erat. CERPEN : Amril Taufiq Gobel
3
"Mas Luthfi mesti memikirkan juga komplotan itu. Sangat berbahaya jika mereka tahu bahwa yang melaporkan kegiatan mereka ke polisi adalah Mas Luthfi. Mereka pasti tidak akan segan-segan membunuh Mas Luthfi. Rina takut hal ini terjadi. Rina tak ingin kehilangan Mas Luthfi!" tutur Rina tersedu-sedu. Tenggorokannya tersekat. Luthfi tersenyum bijak. Ia kemudian memeluk istrinya. "Rina saya sudah berpikir langkah paling aman untuk mengungkap hal ini tanpa harus mengorbankan nyawa. Saya tidak bodoh. Kamu tak usah cemas. Yang paling penting buat saya saat ini adalah dukungan dan doa kamu agar saya memiliki kemantapan hati serta jalan yang lapang melaksanakannya. Itu saja," kata Luthfi dengan lembut menenangkan istrinya. Rina terdiam. Untuk beberapa saat ruang tamu kontrakannya yang sempit begitu sepi. Luthfi mencium kening istrinya. Malam kian larut dan mendung menggantung di langit. *** Luthfi dengan teliti dan hati-hati menyelidiki aksi komplotan itu bersama Letnan Indra, Sersan Yudo dan Kopral Yanto dari kepolisian yang menyamar sebagai salah satu distributor pelanggan gudang logistik itu, sambil mengumpulkan bukti-bukti yang akurat. Dalam waktu tidak terlalu lama, polisi langsung membongkar kejahatan penyeludupan putauw via karung beras itu dengan sukses. Hamzah, sang kepala gudang, juga Syarif, kepala Satpam, serta anak buahnya, Joko, ditangkap dengan bukti nyata berupa selundupan haram mereka. "Terima kasih, Pak Luthfi. Berkat Pak Luthfi, kita berhasil membongkar jaringan pengedar obatobat terlarang di gudang ini. Sayang sekali gembong penyeludupan ini yang mereka sebut-sebut Bos John berhasil kabur keluar negeri. Kami akan coba menangkap dan mendeportasinya ke sini. Sekali lagi, terima kasih atas kerjasama anda," kata Letnan Indra dengan mata berbinar menjabat tangan Luthfi. "Terima kasih kembali, Pak Indra. Saya akan selalu siap membantu Bapak kapan saja jika diminta," sahut Luthfi sembari membalas jabatan tangan Letnan Indra dengan hangat. Rombongan dari kepolisian kembali ke markas mereka sambil menggiring ketiga orang tersangka penyelundup itu. Sekilas, Luthfi melihat tatapan sinis Hamzah dan Syarif kepadanya. Ia tak peduli dan tak mau peduli. Hatinya lega. Akhirnya semua telah usai dan tuntas. Dalam bayangannya ayahnya tersenyum bangga ke arah dia. Ia telah melaksanakan amanah beliau. Luthfi kemudian bergegas pulang, ia akan mengabarkan berita baik ini pada Rina. "Saya menang, saya menang, saya bukan pecundang!" Luthfi membatin sambil memanggul tas pundaknya. Luthfi mengayunkan langkah dengan ringan. Tanpa disadarinya, sebuah sepeda motor pengendara dengan berhelm yang menutupi kepala merapat ke arahnya dari belakang. Pengendara itu mengacungkan pistol revolver ke punggung Luthfi. Dorrt.... Letusan pistol menyalak. Luthfi tersungkur jatuh di aspal. Pengendara motor tadi langsung memacu motor sekencang-kencangnya. Darah mengalir dari dada Luthfi. Terasa sakit. Seketika ia menyadari apa yang baru saja terjadi. Orang-orang sekitar jalan itu mengerubunginya. Samar-sama Luthfi melihat wajah teduh Rina tersenyum ke arahnya, wajah Agung anak semata wayangnya dengan mata bulat lucu menatap penuh harap. Ia meraba dadanya yang bersimbah darah. Lalu ia tak ingat apa-apa lagi. "Ikutlah, Nak...." Terdengar suara yang begitu dia kenal bergema. Suara ayahnya. Begitu dekat. Begitu nyata. Wajah jernih ayahnya terlihat bercahaya. Sambil tersenyum, ayahnya menggandeng tangannya terbang menuju mega. Melintasi awan putih. Meniti pelangi.... ©
CERPEN : Amril Taufiq Gobel
4
PENSIUNAN Hidup tanpa sempat berbuat dan bekerja apa-apa memang teramat membosankan. Semua serba salah dan menjenuhkan. Lalu aku harus bilang apa? Masa pensiun yang baru saja kulewati lima hari —dengan dua anak yang telah dewasa dan menikah lalu mencari kehidupan sendiri-sendiri, serta status duda ditinggal istri tiga tahun silam, bermukim di rumah besar dan megah yang hanya didampingi si Ijah, sang pembantu dan si Otong, tukang kebun—benar-benar membuatku seperti kafilah yang tersesat di gurun pasir yang gersang. Sepi, sunyi dan yang paling kubenci: sendirian! Sebagai mantan kepala instansi pemerintah, aku telah sangat terbiasa dengan rutinitasku. Sarapan pagi; berangkat ke kantor diantar Dirman, supir mobil dinas; membalas sapaan 'selamat pagi' dari para bawahan; menerima telepon; memimpin rapat; menandatangani surat-surat; kembali ke rumah; baca koran sore sambil minum kopi panas; nonton TV; tidur dan siklusnya berulang lagi dari awal. Begitu seterusnya. Ibarat roda berputar, selama sepuluh tahun aku memangku jabatan. Kini semua telah hilang. Sejak serah terima jabatan dengan Pak Indra, lima hari lalu, segala bentuk 'rutinitasku' seperti direnggut paksa olehnya. Bayangkan, semua yang telah menjadi bagian yang satu dengan jiwa dan hidupku mendadak sirna, sehari setelah acara serah terima jabatan—yang 'brengsek'—itu. Terus terang, aku sangat membenci itu semua. Kebencianku tiba-tiba naik ke ubun-ubun saat Dirman mengucapkan kata-kata perpisahan. "Pak, hari ini adalah hari terakhir saya mengantar Bapak. Besok, saya sudah harus mengantar Pak Indra. Maafkan atas segala kesalahan saya, dan...." Belum sempat Dirman menyelesaikan kalimatnya, aku segera menukas ketus, "Sudah, pergi sana. Bapak memang sudah pensiun dan kita tidak punya hubungan apa-apa lagi." Dirman, seperti biasa mengangguk pelan dengan kedua belah tangan disedekapkan, sebagai simbol kepatuhan yang sangat kukenal darinya bertahun-tahun. Aku memang ngotot untuk mencari alasan pembenaran atas segala tindakanku dan itu 'dibahasakan' oleh Nastiti, putri tertuaku, sebagai 'Keras Kepala'. Istilah ini mencuat karena menolak mentahmentah keinginannya untuk menikah dengan Mukhlis, si Pelukis Kere. Kalaupun kemudian mereka jadi melangsungkan pernikahan dan sekarang tinggal menetap di Ambon, itu tetap tidak mengubah keputusanku untuk tidak berhubungan lagi dengannya. Hal yang sama juga aku berlakukan pada Firman, anak bungsuku yang minggat ke Yogya, karena hasratnya ingin menjadi pelukis—mengikuti jejak iparnya si Mukhlis kere yang tiap hari hidup bersama 'idealisme' itu. Kabar terakhir yang kudengar tentang Firman, ia telah menikah dengan putri seorang priyayi Yogya. Meski surat undangannya datang seminggu sebelum pernikahannya, aku tetap menolak menghadirinya. Aku memang tidak memaafkan sikapnya menentangku dengan sengit, dua tahun silam. Aku selalu berusaha menemukan alasan pembenarannya meski terkadang harus mengorbankan perasaan. Tak dapat kuingkari, dari sanubari paling dalam, aku sangat mencintai kedua darah dagingku itu. Istriku, Narti dan Lisa, anakku yang kedua, yang kuanggap paling mengerti keinginanku. Mereka sangat penurut dan tahu apa yang mesti dilakukan untukku. Sayang, kecelakaan lalu lintas yang fatal merenggut nyawa mereka tiga tahun yang lalu. Aku sangat terpukul. Aku seperti terhempas dan terpuruk tanpa daya. 'Energi' hidupku mendadak sirna. Musnah, tak menyisakan apa-apa. Sekarang, semua sudah berakhir. Jabatan, sebagai satu-satunya harapan untuk membangkitkan semangat hidupku juga lenyap. Aku dipaksa untuk menikmati kesendirian, lepas dari segala rutinitas yang selalu membuatku terpikat. Aku memang tak tahu harus berbuat apa saat ini. Hanya tinggal mengenang-ngenang masa silam yang indah di atas kursi goyang yang setiap deritnya seperti palu godam menghantam kepalaku. CERPEN : Amril Taufiq Gobel
5
*** Aku memandang keluar lewat jendela yang buram terkena tepisan hujan. Tirai-tirai air jatuh dengan deras. Mendadak aku teringat masa-masa awal pernikahanku dengan Narti di sela-sela era revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Kami menempati sebuah gubuk kecil sederhana dengan satu kamar. Di situlah kami mulai melakoni hidup. Narti tidak pernah mengeluh dan menuntut macammacam. Dengan sabar dan telaten ia mendampingiku mengarungi bahtera perkawinan kami. Nastiti, Lisa dan Firman lahir satu-satu. Kebahagiaan kami terasa makin lengkap. Aku mengikuti kuliah dengan tekun sembari nyambi di pabrik gelas. Setelah menyelesaikan kuliah dengan menyandang gelar kesarjanaan, perlahan tapi pasti, kehidupan kami mulai mapan. Aku diterima di salah satu instansi pemerintah terpandang. Karierku melonjak pesat dan akhirnya dalam waktu tak terlalu lama berhasil meraih jabatan 'Kepala'. Aku merasakan kehormatan luar biasa disematkan di pundakku. Para bawahan menunduk patuh dan aku melaksanakan tugas dengan kebanggaan meluap-luap. Aku mulai membentuk kharisma dan wibawa magis yang membuat seluruh staf dan bawahanku tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menyenangkanku. Selama kurang lebih sepuluh tahun aku seakan berada di singgasana yang megah dan sebentuk 'kemuliaan' yang gemerlap. Narti, juga menyanjungku dengan caranya sendiri. Dengan kesederhanaannya yang memukau, ia memanjakanku dengan hidangan masakan gurih dan lezat setiap malam. Tanpa berkedip, dari matanya yang teduh dan jernih, ia memandangku menyantap makanan dengan lahap. Senyumnya mengembang. Aku tahu, meski tidak mengungkapkannya secara langsung, Narti begitu menghargai prestasi yang berhasil kuraih. Sejak pertama kali mengenalnya, kepribadian Narti yang bersahaja, anggun, pendiam dan cenderung introvert langsung membetot syaraf kelelakianku. Ketika melamarnya menjadi istriku, ia mengungkapkan persetujuannya dengan cara yang khas. "Datanglah besok. Kalau aku memakai gaun putih berarti aku tidak menolak. Sebaliknya, kalau aku memakai gaun berwarna lain berarti keberuntungan belum ada di pihak Abang." Aku makin penasaran. Dan ketika esoknya aku datang lagi. Aku segera tahu, 'Dewi Fortuna' ada di pihakku. Ia berdiri menyambutku di beranda depan rumahnya mengenakan gaun putih. Aku menitikkan airmata mengenangnya. Kini ia telah tiada. Pergi ke alam baka bersama Lisa, putri kami, yang mewarisi watak dan senyum ibunya. Mendadak aku merasakan sunyi yang amat mencekam. Rumah besar dengan enam kamar yang kini kutempati ibarat istana hantu. Sepi dan menakutkan. Aku jadi rindu pada kehangatan keluarga. Dulu, kembali dari kantor, aku langsung disambut mesra oleh istri dan anak-anakku. Nastiti dan Lisa menggayuti lenganku dan Firman minta digendong. Narti mengambil alih tas kantorku sembari mengulum senyum manisnya. Kebahagiaan seperti merasuk ke dalam sumsum tulangku. Mereka menyambutku, setiap hari, seperti menyongsong pahlawan pulang perang. Aku sangat terharu, dan itu membuatku makin bersemangat menunaikan tugas. Pada saat-saat hujan seperti ini, Firman dan Lisa meringkuk di pangkuanku. Takut kilat, katanya. Mereka kudekap erat dan kualirkan kehangatan cinta seorang ayah. Aku membujuk mereka dengan kalimat-kalimat yang menyejukkan. Nastiti melecehkan kemanjaan adik-adiknya. Mereka saling menyahut, bertengkar sengit dan didamaikan ibunya. Aku merasa ini menjadi irama hidup yang teramat indah. Tiba-tiba aku disengat kerinduan pada dua anakku yang tersisa: Nastiti dan Firman. Sedang apa mereka sekarang, aku membatin. Mereka berdua, sering mengirim surat kepadaku, meski tak pernah kubalas. Nastiti sudah punya dua orang anak lelaki. Yang pertama, katanya hidungnya mirip denganku. Agak mancung aristokrat. Sedangkan anak yang kedua, mewarisi keahlian ayahnya melukis dan mencorat-coret dinding. Dalam surat-suratnya, Nastiti sangat bangga menceritakan kehidupannya yang damai di Ambon. Firman lain lagi. Tahun ini, dia bakal menggelar pameran lukisan di salah satu galeri terkenal di Jakarta. Dan ini akan menjadi momentum penting dalam perjalanan kariernya sebagai pelukis. CERPEN : Amril Taufiq Gobel
6
Firman juga menceritakan ia sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Dari surat-surat Nastiti dan Firman, tidak sedikit pun menyinggung soal kebencian mereka terhadapku karena aku menentang pernikahan mereka. Diam-diam, aku jadi menyesali keangkuhanku selama ini. Mereka telah dewasa dan memilih jalan hidup mereka sendiri. Firman dan Nastiti tahu apa yang terbaik buat mereka. Aku terkenang, tangis pelan Narti istriku saat aku melarang Nastiti menikah dengan Mukhlis. Narti yang welas asih menunjukkan pemberontakannya dengan airmata. Aku tetap berkeras. Nastiti pergi, diiringi isak tangis Lisa dan ibunya. Firman mengantar kakaknya. Aku melihat bara bola api di matanya. Hujan telah berhenti. Dua jam aku duduk di sini. Merenung, berkontemplasi diri. Aku menyadari kecerobohanku selama ini. Aku ternyata telah melakukan kesalahan yang teramat fatal. Aku harus kembali menata ulang apa yang telah rusak dan mengembalikan semua yang telah hilang dan selalu kurindukan. Akan kutulis surat untuk kedua anakku dan menantuku. Isinya sama: "Buatkan Lukisan Potret diri ayahmu. Lengkapi dengan pakaian dinas komplit, lengkapi dengan tanda penghargaan. Bawa Lukisan itu kemari, bersama kalian semua. Segera! Ayah tidak bisa menunggu lama-lama." ©
CERPEN : Amril Taufiq Gobel
7
SEORANG PELACUR DAN SOPIR TAKSI Apakah kau masih akan berkata kudengar derap jantungmu kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta. (Sebuah Tanya — karya Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 1 April 1969) Kehidupan berjalan seperti puisi. Saya senantiasa berpendapat demikian—meski saya bukan seorang penyair tapi tak lebih hanya penikmat puisi—karena saya melewatkan hari demi hari kehidupan dengan beragam nuansa: terkadang sangat melodramatis, romantis, sentimentil, bahkan lucu. Seperti puisi. Saya telah banyak menemui kejadian yang menegaskan fenomena itu. Kemarin, saya mengembalikan dompet seorang ibu yang ketinggalan di taksi saya. Sesungguhnya, saya tidak mengharapkan keuntungan apa-apa dari situ, sebab saya tahu, kejujuran dan kepolosan sudah menjadi bagian integral dari jiwa, tubuh dan segenap aktifitas keseharian saya. Kalau pun kemudian, ia dengan ekspresi wajah lega dan ucapan terima kasih tak terhingga, lalu memberikan uang sebagai penghargaan atas 'jasa' saya, dan kemudian dengan halus saya menolaknya, itu semata-mata karena apa yang telah saya lakukan sudah menjadi tugas saya, komitmen saya untuk menjunjung tinggi 'harkat ke-supir taksi-an' saya. Tak lebih. Lantas, dua minggu lalu, saya menolong seorang korban kecelakaan lalu lintas di depan kampus sebuah perguruan tinggi. Saya segera membawanya ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat, dengan tidak memperhitungkan lagi berapa tarif taksi yang saya dapat peroleh andai saya tetap mengabaikan kejadian itu. Semua terasa seperti tindakan 'bawah sadar' yang telah terbentuk sedemikian rupa selama bertahun-tahun, sejak ayah almarhum menanamkan nilai-nilai kependekaran pesilat kampung dan kearifan petani penggarap. Kejadian-kejadian tadi seperti mengguratkan puisi-puisi indah dalam hidup saya. *** Saya kembali menjalani rutinitas saya. Bukan rutinitas yang lazim memang, karena setiap petang tiba, saya menjemput Susan–seorang wanita panggilan 'kelas kakap'–yang tinggal di sebuah rumah mewah di sebuah kompleks pemukiman real estate, untuk kemudian membawanya ke suatu tempat, di mana saja, yang telah disepakati sebelumnya oleh pelanggan setia saya itu. Ia sudah menyewa taksi saya selama enam bulan. Jadi pada jam-jam tertentu–biasanya petang hari–saya menjemputnya di rumah, membawanya ke suatu tempat yang senantiasa berbeda-beda, lantas mengantarnya kembali pulang setelah 'bisnis'-nya usai pada jam-jam tertentu pula. Susan membayar cukup mahal untuk tugas tersebut. Dan saya menerima itu sebagai bagian tak terpisahkan dari harkat 'ke-supir taksi-an' saya. Saya tidak menganggap itu sebagai kerja yang hina lantaran menerima bayaran dari hasil desah dan keringat maksiat Susan. Ini bagian dari tugas, demikian saya mencari alasan pembenarannya. Persetan dengan semua anggapan sinis tentang saya. Bagi saya, saya tetap memiliki hak untuk menentukan sikap dan melakukan apa yang terbaik untuk saya. Prinsip sederhana tapi logis. Sudah empat bulan saya melakukan 'tugas rutin' ini. Saya sudah berusaha menghilangkan beban psikologis apa pun termasuk perasaan cinta. Saya memang tidak dapat mengingkari kata hati bahwa Susan memang cantik dan saya telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan rambut sebahu, CERPEN : Amril Taufiq Gobel
8
wajah oval proporsional, hidung bangir, kulit putih dan postur tubuh ramping semampai, Susan tampil mempesona mata setiap pria yang melihatnya. Termasuk saya. Sebagai lelaki bujangan dan normal, saya tidak dapat menepis getar-getar aneh saat wangi parfumnya yang khas menyerbu hidung ketika ia masuk ke taksi saya. Tapi saya berusaha menekan perasaan itu sekuat-kuatnya. Terlebih, ketika muncul rasa cemburu, saat ia digandeng oom-oom kaya yang lebih pantas menjadi ayahnya. Saya seyogyanya harus menempatkan diri pada posisi yang benar: ia adalah pelanggan dan saya hanya supir taksi. Saya mematuhi 'rambu-rambu' itu secara konsisten. Percakapan kami pun, baik ketika pergi maupun pulang, biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Bahkan nyaris bersifat rutin. Saya berusaha menjaga jarak dengan Susan agar tidak terlibat lebih jauh ke masalah yang sifatnya terlalu pribadi. Namun belakangan ini sudah ada sedikit 'peningkatan kualitas pembicaraan'. Tidak hanya sekedar, 'Mau ke mana?' atau 'Jam berapa mau dijemput?', dan sebagainya. Susan mulai menanyakan latar belakang pribadi saya hingga menanyakan ada berapa jumlah penumpang di taksi saya untuk hari ini. Saya gembira pada perkembangan menarik ini. Mulanya saya agak rikuh tapi perlahan saya mulai dapat menyesuaikan diri dan menjadi pembicara atau pun pendengar yang baik. Hubungan emosional kami pun berlangsung hangat. Susan pun tak canggung-canggung mengungkap riwayat hidupnya pada saya. Ia ternyata produk keluarga broken home. Ketika ayah dan ibunya bercerai, ia minggat. Ia tidak tahan dan prihatin dengan kondisi seperti itu. Ia pun tidak peduli pada siapa pun, termasuk kakak maupun adiknya. Saya harus terus hidup dan berjuang, kata Susan menetapkan hati. Tanpa disadarinya, ia terjerumus ke lembah nista. Kehidupan malam dan hingar bingar pesta, sepertinya memberikan keleluasaan baru dan ia bagai memperoleh jatidiri di sana. Susan akhirnya jadi primadona di sebuah diskotik ternama yang tak lain sebagai kedok ajang prostitusi kelas atas. Nama Susan melambung tinggi sejak itu. Hampir semua lelaki yang mampir di diskotik itu siap melakukan apa pun asal Susan mau berkencan dengan mereka. Pada akhirnya, Susan kemudian menjadi 'istri peliharaan' seorang direktur di kota ini, dengan tip dan bayaran yang sangat besar plus rumah mewah komplit segala isinya. Sang Direktur hanya datang pada waktuwaktu tertentu saja untuk menemui Susan. Meskipun begitu, profesinya tak juga ditinggalkan. Ia menjadi wanita panggilan untuk 'kalangan elit'. "Saya menyukai pekerjaan ini," katanya suatu ketika. Suaranya terdengar serak, terkesan dipaksakan. Saya melirik melalui kaca spion, ia duduk santai di belakang, menyelonjorkan kaki dan menyalakan rokok. Saya tersenyum dan kembali mengalihkan pandangan ke depan. Ia tak menjelaskan lebih jauh pernyataan yang telah dikeluarkan. Hanya kepalanya terangguk-angguk pelan menikmati lagu melankolis 'When A Man Loves A Woman'-nya Michael Bolton yang mengalun dari tape recorder taksi saya. "Hei, Hamzah. Kamu sudah punya pacar belum?" tanyanya tiba-tiba. Saya gelagapan dan agak kehilangan konsentrasi mengemudi. "Belum," saya menjawab tersipu. Sebuah jawaban yang jujur. Saya akui, saya bukan tipe lelaki yang dapat dengan mudah membina hubungan cinta dengan wanita. Saya memiliki selera perfeksionis, tapi tak pernah punya cukup keberanian untuk menerapkannya lebih jauh. Susan terkekeh. Ia menghirup rokoknya dalam-dalam. Rimbun asapnya mengepul-ngepul, memenuhi kabin taksi. Saya menelan ludah. "Kalau Susan sendiri bagaimana?" Saya balik bertanya. "Kamu tahu sendiri, kan? Banyak. Banyak sekali," sahut Susan. Suaranya terdengar hambar. Kedengarannya ia seperti melontarkan sebuah lelucon. Atau apologi? Saya tak tahu. "Banyak memang. Tapi hampa," saya menanggapi dengan getir. Untuk beberapa saat Susan terdiam. Ia mematikan rokoknya, lalu merenung. Lama. Hanya deru mesin mobil dan getar alat air conditioner taksi terdengar. Lalu lintas di larut malam itu memang telah sepi. Sebagian lampu jalan telah dipadamkan. Saya tiba-tiba menyadari kecerobohan dan kelancangan saya. CERPEN : Amril Taufiq Gobel
9
"Maafkan saya, Susan. Saya...." "Tidak apa-apa, Hamzah. Kamu benar. Mereka hampa. Cuma punya tubuh dan nafsu. Bukan jiwa dan cinta," tutur Susan lirih. Saya menghela nafas panjang. Dada saya terasa sesak. "Hidup menawarkan banyak pilihan, Susan." "Tapi saya tak punya pilihan!" sangkal Susan. Nada suaranya meninggi. Saya berusaha menenangkan diri. "Kearifan menyikapi dengan landasan moral, itu kunci untuk memilih. Kita memang tak akan pernah tahu apakah pilihan hidup kita sudah tepat. Tapi setidaknya, kita mesti punya pegangan yang kokoh untuk menentukan ke mana kita mesti melangkah," saya berkata lembut. Terdengar nafas berat Susan dibelakang. Suasana terkesan kering dan kaku. Kami tak bercakap-cakap lagi hingga saya mengantarnya ke gerbang depan rumahnya. Ia hanya mengucapkan 'Selamat malam. Sampai jumpa besok sore'. Saya pulang ke rumah dengan rasa bersalah yang bertumpuk. *** Sekarang, saya kembali menjemputnya seperti biasa pada waktu dan tempat yang sama. Kekakuan komunikasi akibat 'insiden' tempo hari telah lenyap. Saya pun berusaha untuk lebih hati-hati. menjaga perasaannya. "Apa kamu tidak bosan dengan rutinitas seperti ini, Susan?" Saya membuka percakapan, pada hari terakhir kontrak sewa saya dengan Susan. "Apa kamu punya ide yang baik?" Ia balas bertanya. "Yah... misalnya menempuh rutinitas yang baru. Kawin dengan lelaki yang mampu memberi nafkah cukup lahir batin–tidak sekedar limpahan materi yang semu belaka, hidup bahagia, punya anak dan menikmati kehidupan," saya mengucapkan kalimat tersebut sesantai mungkin. Tanpa beban. Saya ingin mendengar pendapatnya mengenai hal ini. Sejenak Susan terdiam. Saya kembali melirik ke belakang lewat kaca spion mobil. Susan terlihat sangat cantik. Parasnya yang memukau seperti bercahaya. Ia melepas pandang ke luar melalui kaca jendela taksi yang buram. Seperti memikirkan sesuatu. "Itu angan-angan yang terlalu ideal, Hamzah," jawabnya, akhirnya. "Jangan melihat ini sebagai sesuatu yang naif, Susan. Saya rasa pendapat saya cukup realistis. Tidak mengada-ada. Setiap orang, baik lelaki maupun wanita, pasti pernah berpikir mengenai hal itu: Kebahagiaan hidup berkeluarga. Semuanya akan kembali pada prinsip dan keinginan orang yang bersangkutan, sepanjang ia sadar dan yakin hal itu bakal memberikan ketenteraman bagi jiwanya, hatinya dan segenap aktifitas kesehariannya," saya mencoba melontarkan argumen. "Kita punya takaran penilaian yang berbeda, Hamzah. Tak akan bisa bertemu. Jangan terlalu banyak bermimpi. Kita hidup berada dalam kemungkinan-kemungkinan. Apa yang bakal terjadi kemudian, kita tak bisa menebak. Dan itu sering tidak persis sama seperti yang kita bayangkan," ujar Susan lirih dengan bibir bergetar. Saya menarik nafas. Putus asa. "Apakah Susan menganggap bahwa lakon hidup yang Susan lakukan selama ini sama persis seperti yang Susan bayangkan sebelumnya?" "Memang tidak sama, Hamzah. Bahkan sangat jauh berbeda. Saya tidak pernah mengimpikan menjalani kehidupan seperti ini. Tapi, bukankah ini bagian dari kemungkinan-kemungkinan hidup? Tidak berarti saya mengatakan bahwa saya menolak kehidupan berkeluarga. Saya bukan orang yang munafik, Hamzah. Saya tetap mendambakan seorang suami yang dapat menyayangi dan memanjakan saya serta anak sebagai tambatan hati. Namun, kalau saya telah menemukan ketenangan pada profesi yang saya lakoni saat ini, bagi saya bukanlah suatu pilihan yang keliru. Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk memaknai hidupnya." "Apa Susan merasa bahagia dengan memaknai hidup dengan jalan ini?" "Saya tak bisa menjawabnya, Hamzah. Kamu tidak akan pernah tahu ukuran dan nilai kebahagiaan bagi saya seperti apa. Begitu pula sebaliknya. Kita punya 'nilai rasa' yang berbeda dalam menakar CERPEN : Amril Taufiq Gobel
10
kebahagiaan," Susan bertutur pelan dengan tidak mengalihkan pandangan ke arah luar taksi. Saya terdiam. Saya tak bisa berkata apa-apa lagi. Saya sadar, Susan cukup konsisten memegang prinsipnya. Mendadak, kesedihan merambah dalam hati saya. Hari ini adalah hari terakhir saya bersama Susan. Besok, Susan akan berangkat berlibur ke Singapura dan Australia mendampingi sang Direktur selama sebulan. Saya tidak tahu apakah Susan akan menyewa 'jasa' saya lagi kelak. Bagi saya itu tidak penting. Kebersamaan dengan Susan selama ini, tanpa sadar membangkitkan rasa cinta dan keinginan melindungi dalam hati saya. Saya merindukan dia. Melalui kaca spion mobil, saya melirik Susan. Ia begitu cantik, sangat cantik, saya membatin sekaligus nelangsa. Kami telah sampai ke tujuan. Saya segera mematikan mesin mobil dan mengumpulkan segenap keberanian yang ada. Susan baru saja hendak membuka handle pintu belakang ketika saya berseru. "Susan, tunggu!" Ia mengurungkan niatnya dan memandang saya. Matanya bertanya. Dada saya berdegup kencang. "Saya mencintai kamu, Susan," saya mengungkapkannya dengan tenggorokan tercekat. Susan menatap tak percaya. Saya segera meraih tangannya. Meraba jemarinya yang halus. Mengalirkan keyakinan. "Hentikan semua ini, Susan. Kamu seharusnya hidup lebih layak, terhormat dan bernilai. Apa yang kamu lakukan selama ini hanya akan membuat hidupmu didera kesalahan dan dosa. Hiduplah dengan saya. Kita kawin. Saya berjanji akan membahagiakan kamu." Susan menggigit bibir. Ia tampaknya memikirkan sesuatu. Saya merasa cemas. Saya sudah menabah-nabahkan hati untuk siap menerima kemungkinan terburuk. Saya memandang Susan dengan tajam. Penuh harap. Susan tersenyum. Ia mempererat genggaman tangan saya. Tatapan matanya seperti menyiratkan sesuatu. Sangat misterius. "Saya memang harus menentukan pilihan, pada akhirnya. Tapi kita hidup dalam dunia yang berbeda, Hamzah. Kamu tak akan bisa memahami saya, seperti saya pun tak bisa memahami kamu. Terima kasih atas ketulusan tawaranmu. Saya menghargainya. Biarkan saya memilih dan melewati jalan yang menurut saya terbaik. Maafkan saya. Selamat tinggal," Susan mengucapkannya dengan bibir bergetar. Pelupuk matanya basah. Disekanya cepat-cepat, lalu membuka handle pintu tergesagesa dan pergi. Saya tak bisa mencegahnya lagi. Saya hanya sempat memandangi punggungnya serta gaunnya yang berkibar ditiup angin senja, untuk terakhir kali, dengan pandangan kosong. Terasa ada yang hilang dalam diri saya, sesuatu yang tak dapat saya ungkapkan bagaimana adanya. Yang pasti, saya seperti telah mencipta 'puisi' baru dalam lakon hidup saya. Samar-samar saya mengingat sebait syair bagus: Lihatlah gadis yang berjalan sendiri di pinggir sungai Lihatlah rambutnya yang panjang dan gaunnya yang kuning bernyanyi bersama angin Cerah matanya seperti matahari seperti pohon-pohon trembesi Wahai, cobalah tebak kemana langkahnya pergi
CERPEN : Amril Taufiq Gobel
11
CINTA DALAM SEPOTONG KANGKUNG Malam tanpa bintang. Jangkrik berderik-derik, saling bercengkerama. Angin mati dan pepohonan tegak kaku. Saya menatap dalam-dalam tumis kangkung yang tak habis saya lahap. Potonganpotongan kangkung yang ornamental, tercelup dalam kolam kuah yang eksotik berwarna hijau segar, memberi nuansa tersendiri dalam alam pikiran saya. Kangkung itu punya wibawa magis yang membuat saya seakan terlontar pada pengalaman-pengalaman masa silam. Saya membantu upaya 'pengumpulan' ingatan itu, dengan melirik istri saya, Mira, yang penuh cinta meneteki anak kami, Fatimah. Ia duduk membelakangi saya dan menikmati fitrah keibuannya, secara bersahaja. Dari mulutnya mengalun lagu ninabobo, merdu melenakan. Dengkur halus Fatimah terdengar syahdu. Saya tersenyum sembari melangkah pelan ke arah jendela. Mira tetap cantik, seperti dulu, saya membatin. Saya merasa beruntung memiliki istri seperti dia: anggun dan mempesona. Saya kemudian menyulut rokok dan menghirupnya penuh perasaan. Rimbun asapnya mengepul-ngepul. Maka kenangan pun berlari ke belakang, pada suatu sore tiga tahun yang silam. *** Waktu itu saya masih ingat betul, Bang Heri, redaktur hiburan tabloid 'Gossip Kita' tempat saya bekerja, memanggil. "Firman!" serunya dari pojok kanan ruang redaksi. Saya menghentikan ketikan berita dan menyahut. "Ada apa, Bang?" tanya saya lalu berdiri, dan berjalan ke arahnya. "Saya punya tugas untuk kamu," ujar Bang Heri seraya mengangsurkan setumpuk berkas kepada saya. Saya meraihnya, lalu menatap Bang Heri. "Dokumen tadi adalah data pendukung tugas wawancara kamu dengan Mira Saraswati, bintang film 'Cintailah Aku Seutuhnya' yang diperkirakan oleh banyak kalangan bakal meraih piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik tahun ini. Kamu wawancarai dia, dan korek informasi serta tanggapannya tentang nominasi yang diperolehnya termasuk latar belakang keluarganya. Selengkap-lengkapnya. Lekas berangkat dan ingat, lusa sore laporan hasil wawancaramu sudah harus diterima. Jangan sampai terlambat!" tegas Bang Heri. Saya hanya mengangguk mengiyakan. Bang Heri berlalu tanpa memberi kesempatan saya untuk bertanya lebih jauh. Apa boleh buat, sebagai wartawan muda, saya harus selalu siap mengerjakan tugas-tugas di lapangan. Tidak berapa lama, saya telah meluncur ke rumah Mira dengan mengendarai motor butut pinjaman Joko, pegawai bagian iklan. Sepanjang jalan, wajah Mira Saraswati terbayang-bayang. Wajah itu memang cukup populer, sebab selain bintang iklan tivi dan artis, salah satu posenya menghiasi kalender yang menggantung di kamar kos saya. Ia memang begitu cantik dan menawan. Kariernya di usia yang masih cukup belia ini memang melonjak drastis. Dalam waktu singkat, ia telah meraih popularitas yang mencengangkan, sesaat setelah membintangi film Box Office-nya 'Cinta dan Dusta'. Walau terus terang, saya kurang begitu tertarik terhadap film-film buatan negeri sendiri lantaran mutu akting pemainnya yang jelek dan logika berceritanya cenderung mengada-ada, saya cukup salut pada cara Mira melakoni karakter yang diperaninya. Wajar dan begitu alami. Sewaktu menonton film pertama Mira tersebut, saya sudah menduga ia bakal menjadi bintang film terkenal. Dan tampaknya, dugaan saya itu tak terlalu melenceng jauh. Terbukti, ia masuk nominasi piala Citra, setara dengan bintang-bintang film lainnya yang lebih dulu tampil di dunia layar perak CERPEN : Amril Taufiq Gobel
12
*** Tanpa terasa, saya telah tiba di tempat tujuan. Saya mencocokkan alamat rumah Mira dengan data alamat rumah yang diberikan Bang Heri. Ternyata pas. Saya lantas memencet bel yang menempel pada pilar pagar tembok. Tak berapa lama, muncul seorang lelaki muda tergopoh-gopoh dari dalam rumah. Tampaknya seorang pembantu rumah atau mungkin tukang kebun. Pakaian yang dikenakannya cukup memberi kesan. "Selamat sore. Apa betul ini rumah Mira Saraswati?" Saya bertanya. "Benar, apa Mas mau ketemu dengan Mbak Mira?" jawab lelaki itu dari balik jeruji pagar. "Ya, saya wartawan dari tabloid 'Gossip Kita'. Tolong sampaikan pada Mbak Mira, saya mau wawancara. Kemarin kami sudah janji," kata saya mengungkapkan maksud kedatangan. Lelaki itu manggut-manggut seraya membuka pintu lalu mempersilakan saya masuk. Rumah Mira betul-betul mentereng. Megah dan mewah. Taman bunga yang asri terawat rapi, tampak segar dan menyejukkan. Rumah itu bertingkat dua dan bercat putih. Saya diminta duduk di serambi sementara lelaki muda tadi masuk memanggil Mira. Sekitar sepuluh menit kemudian, sosok Mira Saraswati muncul di depan saya. Ia memakai kaus oblong putih bertuliskan 'Public Enemy' dan jeans biru. Rambutnya yang sebahu terlihat basah, kelihatannya habis keramas. Saya terpukau sejenak. Mira memang sangat menawan. Belahan dagu dan dekik pipinya menambah manis penampilannya. Saya tiba-tiba merasa jatuh cinta pada pandangan pertama. "Anda wartawan?" tanya Mira mengejutkan keterpesonaan saya. Saya gugup dan menelan ludah. Saya lalu berdiri dan mengulurkan tangan. "Benar. Kenalkan, saya Firman, wartawan tabloid 'Gossip Kita'." Saya memperkenalkan diri. Mira menyambut uluran tangan saya dengan hangat dan mempersilakan saya duduk kembali. Saya kemudian mengutarakan maksud kedatangan saya sekaligus memohon maaf atas kelancangan saya atas kebohongan: 'Sudah janjian kemarin'. Mira tersenyum. "Tak apa-apa, itu sudah lagu lama wartawan, saya sudah hapal itu. Nah, apa yang Anda mau tanyakan?" tanyanya seraya memperbaiki letak duduknya. Saya lantas mempersiapkan daftar pertanyaan yang telah diberikan Bang Heri pada saya. "Anda rupanya bukan wartawan profesional," Mira mencibir. "Kenapa?" Saya penasaran. "Itu, Anda bawa daftar pertanyaan segala. Wartawan profesional tidak memerlukan itu bukan?" kata Mira mengajukan alasan. Ia tersenyum-senyum penuh kemenangan. Saya agak tersipu tapi kali ini sedikit tersinggung. "Saya memang masih amatir, Nona Mira, tapi bukan berarti saya tidak dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang profesional, daftar pertanyaan ini sekedar menjadi panduan saya agar arah wawancara kita lebih jelas," kata saya membela diri dengan nada tajam. Mira tertawa kecil. Saya merutuk dalam hati. "Oke, saya minta maaf kalau Anda kurang berkenan. Saya tak punya maksud apa-apa di balik pernyataan saya tadi. Sekedar bergurau, kok. Saya cuma ingin berusaha membuat suasana lebih santai. Anda kelihatannya sangat tegang dan gugup Oh, ya, kita ber-'saya-kamu' sajalah. Panggil saja saya Mira," kata Mira enteng. Tanpa beban. Saya menghela napas panjang. Kejengkelan masih tersisa. Belum apa-apa ia sudah meremehkan saya. Tapi dalam hati, saya mengakui kecerdikannya menguasai keadaan. Saya kemudian tidak memperdulikan 'insiden' tadi, pertanyaan-pertanyaan saya pun mengalir lancar. Yang mengagumkan, Mira mampu menjawabnya dengan baik dan sistematis. Omongannya padat dan bernas. Hal ini menunjukkan bahwa selain cantik Mira memiliki otak yang cukup encer. Menjelang akhir wawancara, Mira melontarkan pujian. "Ternyata, pertanyaan-pertanyaan kamu cukup profesional juga. Bahkan lain dengan pertanyaanpertanyaan wartawan yang sudah mewawancarai saya sebelumnya. Kamu lebih jeli melihat sosok Mira sebagai pribadi bukan sosok Mira sebagai artis film. Saya suka itu," katanya tulus. "Kamu juga, Mira. Jawaban-jawaban yang kamu berikan menunjukkan siapa kamu sebenarnya. CERPEN : Amril Taufiq Gobel
13
Begitu cerdas dan jujur," balas saya memujinya. Kali ini Mira yang tersipu. Pipinya memerah. Lagilagi saya dibuat terpukau. "Kapan-kapan kita jumpa kembali. Hasil wawancara ini akan saya berikan pada Mira. Terima kasih atas kesediaannya. Permisi." Saya beranjak pamit. Mira tersenyum manis. Ia kemudian mengantar saya sampai ke pintu gerbang depan rumahnya. Kami berjabat tangan. Sorot mata kami bicara. Di ufuk barat langit merah jingga. Perlahan berubah menjadi merah jambu. *** Kalau kemudian saya dan Mira jadi sering bertemu. Semata-mata karena kenekatan saya. Saya betul-betul terjerat oleh panah asmara Mira. Sudah menjadi watak saya untuk meraih apa yang saya inginkan. Sengotot mungkin. Setelah mengantarkan hasil wawancaranya yang dimuat di tabloid 'Gossip Kita' dan Mira menyatakan kepuasannya, saya merasa dapat peluang emas. Dan tanpa ampun, kunjungan demi kunjungan pun saya lakukan. Saya tak mempedulikan lagi status sosial kami yang berbeda: ia artis, kaya dan public figure sementara saya hanya wartawan miskin yang kamar kost saja sering nunggak. Mira pun menampilkan sikap tidak keberatan bahkan sangat senang. Saya berusaha tampil apa adanya dan Mira menerima semua itu dengan penuh pengertian. Tanpa sungkan-sungkan, Mira memilih duduk dibonceng nonton ke bioskop atau makan di warung pinggir jalan diatas motor butut pinjaman dari Joko atau Mas Yono tetangga saya, ketimbang membawa mobil BMW pribadinya. Sebuah sikap bersahaja yang membuat saya makin kagum pada sosok Mira. Sebagaimana biasa bila artis agak bertingkah maka tak ayal lagi ia dijadikan bulan-bulanan gossip. Hal ini juga menimpa diri Mira. Dalam beberapa kejap sejumlah 'koran kuning' mulai memuat berita hubungan kami secara vulgar dan blak-blakan. Mira tak ambil pusing, saya pun demikian. Meski belakangan ini beberapa orang rekan wartawan memandang iri pada keberuntungan yang saya peroleh. Untuk sementara saya dan Mira tak memperhitungkan masalah apapun. Semua lancar dan beres. Bahkan Bang Heri dan Pak Sofyan, pemimpin redaksi 'Gossip Kita', memberikan dukungan penuh pada gebrakan monumental saya ini. "Maju terus, Fir. Kapan lagi kita-kita ini punya ipar artis. Siapa tahu malah oplah tabloid kita naik," demikian kata Pak Sofyan memberi semangat. Saya hanya menyambut gurauan tadi dengan senyum penuh arti. Sampai malam itu. Saya baru saja melangkah masuk ke rumah Mira, ketika percakapan itu terdengar. "Wartawan itu profesi tanpa masa depan. Apa yang kamu harap dari dia?" Terdengar suara geledek Pak Sasmita membahana. Saya terpaku di tempat saya berdiri. Bulu kuduk saya meremang. Saya diselimuti perasaan kurang enak. "Firman baik, Pak. Mandiri dan siap bertanggung jawab. Dia punya keteguhan pribadi dan kematangan sikap yang sangat saya kagumi, Pak. Firman bukan lelaki yang bisa dianggap rendah," bela Mira sengit. Di luar, saya tersenyum getir. Mira sangat membanggakan saya. "Persetan! Pokoknya, Bapak tak mau lihat kamu bergaul lagi dengan dia, si wartawan kere itu. Titik!" tegas Ayah Mira. Terdengar langkah-langkah kakinya meninggalkan Mira yang isak tangisnya mulai terdengar Saya menghela nafas panjang. Ini sebuah resiko, dan saya sudah memperhitungkan kemungkinankemungkinan buruk yang bakal terjadi. Saya telah siap menghadapinya seperih dan sepahit apapun. Namun meskipun begitu, saya cukup terpukul atas kejadian tadi. Saya memutuskan untuk pulang, agar persoalan tersebut tidak menjadi makin runyam. Sepanjang perjalanan, saya terus memikirkan kelanjutan hubungan saya dengan Mira. Akhir yang tragis , saya membatin. Nelangsa. ***
CERPEN : Amril Taufiq Gobel
14
Sejak prahara tersebut muncul, saya tak pernah lagi berusaha menemui Mira Untuk kasus ini, saya mesti melakukan langkah-langkah yang lebih realistis. Saya tahu posisi saya dan kesulitan Mira. Hingga suatu ketika, saat saya tengah asyik melahap tumis kangkung di kamar kost, Mira datang. Matanya menyala. "Kenapa bang Firman tidak pernah datang menemui saya?" semprotnya langsung. Saya meletakkan sendok di mangkuk, lalu berdiri dan menatap ke arahnya. "Ayahmu, Mira. Saya dengar semua percakapan kamu dengan ayahmu mengenai saya. Saya tak ingin hanya karena saya dekat dengan kamu, hubungan keluarga kalian retak. Saya tahu bagaimana saya harus menempatkan diri. Saya bukan apa-apa, Mira. Hanya wartawan miskin. Tak lebih. Saya sadar, terdapat banyak perbedaan antara kita yang tidak dapat dipertemukan." Saya berusaha menjelaskan dengan tenang. Mata Mira terlihat mulai memerah. Ia menangis. Saya tak tahan menyaksikannya. Saya lantas mengalihkan perhatian pada langit-langit kamar. Ada cicak bercengkerama di sana. "Bang Firman terlalu picik memandang masalah ini. Saya tahu, apa yang harus saya lakukan. Saya tahu apa yang terbaik untuk saya. Saya....." Mira tak menyelesaikan ucapannya. Tangisnya meledak. Saya menggigit bibir. "Mira, dengar. Apa yang saya lakukan semata-mata demi kepentinganmu, kebaikanmu dan karir cemerlangmu di masa datang. Hubungan kita selama ini, boleh jadi, menyebabkan kamu tak leluasa mengembangkan apa yang telah kamu raih selama ini. Kamu artis penuh harapan Mira." Saya raih dan meremas tangannya. Saya merasa tenggorokan saya tercekat. Ada keharuan yang membuncah. Mira menengadah. Matanya yang sembab tajam menghunjam. Saya balas memandangnya. Dengan lembut, saya lalu menyeka butir-butir airmata yang mengalir di pipinya. Dalam diam mengalir sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Ia melepas genggaman tangan saya dan berjalan ke arah meja. "Saya lapar. Masih punya tumis kangkung?" tanya Mira memecah keinginan. Suaranya terdengar putus asa. Saya lalu menyiapkan segala sesuatunya di meja. Mira memang biasa makan di tempat saya. Ia sangat menyukai tumis kangkung buatan saya. "Lezat dan eksotik," katanya suatu ketika. Saat itu saya cuma meringis, sebab terus terang hanya menu itu yang dapat saya buat selain menanak nasi dan telur goreng. Saya menyaksikan Mira dengan lahap menghabiskan hidangan saya yang sangat sederhana. Nasi plus tumis kangkung. Ia terlihat sangat menderita. Wajahnya yang cantik seperti dibaluri kabut. Pekat dan suram. Saya trenyuh. Mira mengakhiri prosesi makannya dengan meneguk segelas air putih. Saat saya beranjak untuk membenahi. Ia menyentuh lengan saya. "Sudah, biar saya, Bang," katanya. Saya mengangguk. Dengan keanggunan yang sangat alami, ia membenahi meja. Saya terpukau menyaksikannya. "Tumis kangkung buatanmu tadi betul-betul enak, Bang Firman," puji Mira tulus yang berdiri membelakangi saya. Ada nada getir dalam kata-katanya. "Itu cuma soal kebiasaan dan kemampuan meramu bumbu," jawab saya enteng seraya menyalakan rokok. Mira tiba-tiba berbalik dan menatap saya lekat-lekat. Saya terkejut. "Jadi Bang Firman masih mempersoalkan perbedaan-perbedaan, sementara tumis kangkung yang seenak ini dibuat hanya dengan kebiasaan dan keandalan meramu? Perbedaan-perbedaan dapat dipertemukan dengan membiasakan dan meracik keberagaman," tutur Mira jernih. Saya mengerutkan kening. "Banyak hal yang perlu kita mengerti sebelum kita menyatakan untuk berbuat. Bang Firman perlu banyak belajar dari tumis kangkung itu," lanjut Mira sembari tersenyum. Ia lalu berbalik dan melanjutkan pekerjaannya, mencuci piring. Saya tercenung. Mira benar dan itu membuat saya merasa makin tak ingin kehilangan dia. Sikap saya keliru selama ini. Saya mematikan rokok yang belum sempat saya isap di asbak, lalu berjalan kearahnya. CERPEN : Amril Taufiq Gobel
15
"Mira," panggil saya lirih. Ia menoleh memandang saya. Parasnya yang jelita seperti bercahaya. "Saya cinta kamu Mira Saraswati!" "Saya juga cinta kamu Firman Agus," sahut Mira malu-malu. Ia menunduk. Saya lalu memegang bahunya. Mengalirkan keyakinan. "Kamu mau bersamaku membangun kebiasaan dan meracik keberagaman?" Mira mengangguk kencang-kencang. "Kamu mau membuat tumis kangkung bersamaku, meramunya secara dashyat dan menikmatinya sepanjang hidup?" Lagi-lagi Mira mengangguk kencang-kencang. Kami lalu tertawa bersama. Di luar, angin bersorak dn pohon akasia bertempik kegirangan. *** Saya membuyarkan lamunan. Kini, saya dan Mira telah bersama-sama selama tiga tahun 'membangun kebiasaan dan meracik keberagaman' itu, tanpa ada perbedaan-perbedaan. Saya pun telah meninggalkan profesi sebagai wartawan, dan Mira telah menjadi istri yang setia mendampingi saya sebagai pemilik restoran 'Tumis Kangkung' paling terkemuka dan paling dashyat di negeri ini. ©
CERPEN : Amril Taufiq Gobel
16
SALJU DI KYOTO Kyoto masih seperti dulu, saya bergumam dalam hati ketika menapak tilas perjalanan saya kembali ke kota kebudayaan di Negeri Matahari Terbit. Gedung kuno dengan ornamen yang sarat imaji kontemporer seperti Kuil Higashi Honganji, Sanjusangendo, Kiyomizu, dan Ryoanji, berpadu dengan bangunan berarsitektur modern berlatar belakang perbukitan yang indah, terbentang di hadapan saya. Bau sake, kelezatan tempura, sukiyaki, dan yakitori yang khas seperti menusuk hidung saya. Melempar saya kembali pada kenangan lima tahun silam.... *** Saat salju turun bagai gumpalan kapas menyelimuti kota itu. Saya memandanginya penuh takjub dari jendela kamar di salah satu suite apartemen di pusat kota Kyoto. Salju di mana-mana, di puncak bukit, di bubungan rumah hingga jalan, dan trotoar. Suatu pemandangan yang sangat langka terjadi di Indonesia. Di samping saya duduk Asako, gadis Jepang lulusan Harvard University yang jadi penerjemah dan pemandu saya selama mengikuti pelatihan di Jepang. Ia memandang saya dengan tatapan heran. "Asako, salju itu indah!" Saya bergumam pelan tanpa melepaskan pandangan ke luar. Asako tertawa geli. Dengan penuh ingin tahu dia juga mengarahkan pandangan ke luar. Wangi parfum Shisuedo-nya memenuhi udara. "Anda lucu, Taufiq-san. Bagi saya turunya salju bukan sesuatu yang luar biasa," katanya. Ia membalikkan badan dan berjalan mengambil minuman. Saya tidak menanggapi kata-katanya. "Anda mau sake, Taufiq-san?" Asako menawarkan. Saya mengangguk perlahan. Dengan langkah ringan Asako lalu datang membawa dua cangkir sake. Ia mengangsurkan sebuah cangkir berisi sake kepada saya. "Dozo, Taufiq-san. Anda ingin kita kampai untuk siapa, atau... apa?" Asako bertanya, memamerkan senyumnya yang menawan. "Arigato gozaimas, Asako-san. Begini saja, kita kampai untuk keindahan salju dan keindahan... senyummu. Oke?" Saya menyarankan. Pipi Asako memerah. Ia belum sempat menjawab ketika saya mengangkat cangkir sake sambil berseru. "Kampai! Untuk salju yang indah dan Asako-san!" Asako mengikuti dengan gugup. Kami meneguk sake bersama. Hanya sekali tegukan. Sesudah itu kami saling pandang, lama. Paras Asako berbeda dengan wanita Jepang kebanyakan. Ia memiliki mata yang jernih, tidak terlalu sipit, dan kulit yang cenderung kecoklatan. Tapi, di situlah daya tariknya! Saya belum terlalu lama mengenalnya. Selama enam bulan waktu pelatihan keteknikan dan manajemen yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat saya bekerja, Asako dan dua orang temannya ditugaskan sebagai penerjemah bahasa Jepang. Berhubung di antara kami yang berjumlah limabelas orang, tak seorang pun bisa berbahasa Jepang, sebaliknya tak seluruh pengajar kami dapat berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Asako bertugas dua kali seminggu, bergantian dengan dua rekannya. Mereka menjadi 'jembatan budaya' kami dengan Jepang. Asako, yang juga bekerja pada bagian pemasaran perusahaan periklanan di Kyoto, termasuk gadis yang lincah dan supel. Dia berbeda dengan dua rekannya yang kaku. Dalam waktu sebulan saja, ia sudah akrab bersama kami, terutama pada saya. Kedekatan saya dengan Asako lebih dari sekedar hubungan antara guru dan murid. CERPEN : Amril Taufiq Gobel
17
Hubungan kami berkembang menjadi saling pengertian yang lebih jauh. Saya tidak tahu, apakah itu cinta atau tidak. Yang jelas Asako tidak menginginkan itu. Katanya suatu ketika: Taufiq-san, mohon Anda paham. Saya berharap hubungan kita adalah persahabatan, tidak lebih. Saya tak ingin terluka. Anda bisa mengerti, bukan? Waktu itu saya tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya mengangguk. Saya berusaha mengerti, bahwa ada tirai tipis yang menghalangi hubungan kami. Asako sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk tersebut lebih awal. Kini, Asako ada di hadapan saya. Kami saling pandang. Ada getar-getar misterius mengalir dari kedua mata kami. "Anda membuat saya jengah, Taufiq-san," Asako tersipu, lalu menunduk malu. Saya tertawa. "Sudahlah, mari kita cerita yang lain. Tentang salju, misalnya," ujar saya mencairkan suasana. Asako tersenyum. Ia menawarkan sake lagi. Dan, kami minum bersama sambil duduk di atas tatami. "Oh, ya! Tentang salju... saya punya cerita tentang itu," Asako memulai kisahnya. Matanya yang jernih berpijar. "Saya lahir di Kota Nagaokakyo, tepat pada saat salju pertama turun setelah musim gugur 1970. Orang tua saya karyawan perusahaan elektronik terkemuka di Jepang. Saya anak perempuan pertama dalam keluarga saya. Kedua kakak saya laki-laki. Saya mendapat perhatian dan kasih sayang yang lebih dibanding mereka." "Waktu kecil, setiap kali salju turun, Ayah selalu menggendong saya. Kami berdua memandang dari balik jendela yang buram, salju berjatuhan dari langit. Ayah selalu terpesona dengan pemandangan itu. Kadang ia duduk di kursi, memangku saya dan menatap kagum butir-butir salju tersebut sambil membelai kepala saya. 'Asako, indah sekali salju itu,' katanya. Kalimat itu senantiasa tergiang di telinga saya setiap kali saya melihat salju turun." Asako terdiam sejenak lalu menerawang, mencoba menyeret kembali segala kenangan masa lalu. "Beberapa tahun kemudian," lanjut Asako, "setelah saya berhasil menamatkan kuliah di Harverd University, saya mendampingi ayah terbaring di rumah sakit. Pada saat itu, salju baru turun di depan rumah sakit tempat Ayah dirawat. Dengan penuh harap ia meminta saya membuka tirai jendela rumah sakit untuk melihat butiran salju turun dari balik kaca. Saya memenuhi keinginannya. Dan, malam itu dia meninggal dengan senyum menghias bibirnya," tutur Asako mengakhiri kisahnya. Matanya berkaca-kaca. "Cerita yang sangat menarik, Asako! Ternyata kamu memiliki pengalaman dan kenangan mendalam tentang salju," saya memandangnya terharu. "Terutama kenangan pahit, Taufiq-san. Masuda, kekasih saya, menyatakan perpisahan kami pada saat musim salju pertama turun, bulan Desember tahun silam," Asako tiba-tiba terisak. "Dengan ringannya Masuda berkata, ?Asako, masih selalu ada salju yang turun setiap tahun.' Kemudian dia pergi begitu saja, tanpa kabar apa pun. Hingga kini...." kata Asako lirih. Airmatanya mulai berlinang. Saya tidak tahan untuk tidak memeluknya. Saya lalu mengambil sapu tangan dan menyeka airmatanya. "Apakah saya terlalu cengeng dan sentimental, Taufiq-san?" Asako bertanya dengan bibir bergetar. Saya tersenyum dan menjawab seraya menepuk pundaknya," Asako, mengekspresikan kesedihan itu alamiah. Setiap orang, termasuk saya, pasti memiliki masa lalu yang pahit. Oke, kita tak usah bercerita tentang salju. Gantian, saya yang akan bercerita tentang kampung halaman saya." Asako mengangguk, matanya yang redup mulai berbinar. Saya pun bercerita tentang Indonesia, kampung halaman saya. Tentang keindahan masa kecil saya bermain bola di atas petak sawah yang mengering dengan telapak kaki telanjang. Mandi beramai-ramai di sungai, dan sapi peliharaan saya, Panjul, yang akhirnya dijual Ayah ke Pak Paimin untuk membiayai sekolah saya ke kota. Saya mengisahkan kesedihan saya ditinggalkan Panjul. Saya membayangkan dia dipotong, dicincang, dibuat soto daging dan satai. Asako tertawa geli melihat ekspresi wajah saya ketika memamerkan gaya tukang daging dengan wajah dingin sedang mencicang si Panjul. CERPEN : Amril Taufiq Gobel
18
Saya mengakhiri kisah saya sambil memandang Asako yang tersenyum. Dalam keredupan lampu, saya melihat wajahnya bersinar cantik sekali. Malam semakin larut. Saya pamit pulang ke hotel saya yang letaknya tidak jauh dari suite apartemen Asako dengan berjalan kaki. Saat mengenakan jaket, Asako tiba-tiba berdiri di hadapan saya, dekat sekali. Tatapannya misterius. "Taufiq-san, arigato. Terima kasih," katanya pelan. Ia lalu mencium pipi saya. Saya terperangah oleh kejutan yang tidak terduga itu."Oyasuminasai, Asako-san. See you tomorrow," saya berkata kemudian berbalik pergi meninggalkan Asako yang masih berdiri terpaku di depan pintu apartemennya. Sejak saat itu, hubungan saya dan Asako makin dekat. Asako selalu menemani saya mengunjungi daerah-daerah pariwisata terkenal di Kyoto. Kami pergi ke villa Kerajaan Katsura yang memiliki tata arsitektur etnik yang menarik. Termasuk perkampungan film Toei Uzumasa yang ditata apik bersuasana zaman feodal yang kental. Saya berusaha menjaga jarak dengan Asako. Saya menghormati komitmen yang sudah ia berikan. Meskipun untuk itu saya harus memendam ketertarikan saya kepadanya dari hari ke hari. Pada saat saya terakhir berada di Negeri Sakura itu, kami berjalan berdua menyelusuri daerah Kawaramachi, salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Kyoto. Kami lalu duduk di salah satu sudut restoran sembari menyantap tempura dan minum bir. Kami memandangi orang yang lalu lalang dihadapan kami. Mereka seolah tak perduli musim dingin dengan timbunan salju yang menggumpal dimana-mana. "Taufiq-san, rasanya... saya sudah jatuh cinta pada Anda!" Asako tiba-tiba menyentak kesunyian di antara kami. Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat itu. "Asako, kamu menganggap hal itu suatu kekeliruan?" Saya memandangnya tak berkedip, dan meletakkan kembali yakitori yang sudah saya ambil ke piring. Asako menghela napas panjang. "Bukan kekeliruan, Taufiq-san. Saya tak bisa mengingkari kata hati saya. Hubungan yang selama ini kita bangun telah menjelma menjadi suatu ikatan yang kuat, yang bagi saya telah memberikan nuansa tersendiri. Anda seorang pria yang memiliki kepribadian menarik, jujur, dan penuh semangat hidup. Mungkin hal itu yang membuat saya tak kuasa menahan perasaan saya," ucap Asako lirih, nyaris tak terdengar. Saya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Saya lalu melemparkan pandangan kepada orang-orang yang berseliweran di depan jendela restoran tempat kami berada. "Anda tak perlu merasa bersalah, Taufiq-san. Saya sudah mengetahui bahwa inilah resiko hubungan kita. Saya tak menuntut apa-apa. Lagi pula, sejak awal pertemuan kita. Saya, sudah menandaskan bahwa saya tidak mau hubungan kita berkembang terlalu jauh. We're just friend, Taufiq-san. Bila kemudian perasaan cinta semakin berkembang, anggaplah itu suatu intermezzo belaka," Asako berkata dengan suara serak. Ia seolah memendam beban berat. Ditekurinya lantai restoran dengan menundukkan wajahnya dalam-dalam. Saya segera meraih tanganya dan menggenggamnya erat-erat. "Asako, saya sama sekali tidak mau menganggap hal itu suatu intermezzo atau lelucon. Walau kita dipisahkan oleh perbedaan, bagi saya cinta itu adalah bahasa yang universal. Saya tidak akan merasa bersalah jika memendam perasaan yang sama terhadapmu. Ini sesuatu yang wajar dan manusiawi. Apakah... kita harus meninjau ulang komitmen kita, Asako?" Saya bertanya penuh harap, dan menatap mata Asako yang jernih seperti jernihnya Danau Kurobe di Tomaya. "Taufiq-san, Taufiq-san. Besok Anda harus kembali ke Indonesia. Meninjau ulang komitmen yang telah kita sepakati rasanya sudah terlambat sekarang. Mengenal sosok Anda, meski dalam waktu yang singkat, bagi saya merupakan suatu anugerah yang sangat berharga. Biarlah apa yang telah kita lalui bersama menjadi kenangan manis. Kita jalani saja hidup ini. Bukankah pada akhir musim gugur mendatang salju akan turun lagi?" ujar Asako ringan. Ia lalu tersenyum paling manis yang pernah saya lihat. *** Hari ini, awal Desember, ketika salju pertama kali turun, saya kembali ke Kyoto. Setelah lima tahun CERPEN : Amril Taufiq Gobel
19
meninggalkannya, masa lalu yang indah bersama Asako kembali membayang. Di manakah dia sekarang? Apakah ia telah menemukan 'salju baru'-nya? Sejak saya kembali ke Indonesia, kami sering berkorespondensi lewat surat. Dalam suratnya, ia sama sekali tidak menyinggung tentang hubungannya dengan pria lain. Asako sangat tertutup untuk hal itu. Tapi, hubungan kami hanya sempat berjalan dua tahun. Sejak saya menikah, hubungan kami terputus. Saya pernah mencoba menghubunginya beberapa kali, baik lewat surat maupun telepon, tetapi selalu tak ada jawaban. Pada saat tiba di Kyoto, saya langsung mendatangi apartemen dimana Asako dulu tinggal. Termasuk perusahaan periklanan tempat dia bekarja untuk mencari tahu di mana dia berada sekarang. Tapi, tak seorang pun memberi keterangan, membuat saya putus asa. Saya tidak tahu di mana Asako berada sekarang! Saat ini saya berada di Kawaramachi. Saya berdiri di depan restoran dimana kami dulu makan siang, sehari sebelum kepulangan saya ke Indonesia. Saya tidak tahu, kekuatan magis apa yang telah menarik saya kemari. Meja dan kursi tempat kami duduk dulu tidak berubah. Suasana hiruk pikuk tempat perbelanjaan terlihat, meski udara agak dingin dan salju menyelimuti hampir seluruh pelosok kota. Tiba-tiba saya merasa pundak saya ditepuk dari belakang. "Taufiq-san, kapan datang?" Saya berbalik. Suara itu... suara yang amat saya kenal. Seperti bergema dari jarak yang teramat jauh. Tapi, tidak! Asako berdiri di depan saya dengan wajah dan senyum yang nyaris tak berubah. Wangi parfumnya menyerbu akrab ke hidung saya. Kami saling berpelukan melepas rindu. Setelah itu kami masuk ke restoran dan menempati meja dan kursi yang kami duduki dulu. Kami saling bertukar cerita. Saya menuturkan kegiatan saya, termasuk kelucuan putra saya, Rahmat. Si kecil itu hasil pernikahan saya dengan Sri, tiga tahun lalu. Asako lebih banyak diam dan memberi kepada saya kesempatan berbicara lebih banyak. Mata Asako terlihat lebih cekung, seolah menanggung beban kesedihan yang berat. Keindahan dan kejernihan Danau Kurobetak terlihat lagi di matanya. Saya merasa telah ada sesuatu yang tragis terjadi pada dirinya. "Berbahagialah Anda, Taufiq-san. Kehidupan perkawinan Anda harmonis. Sayang, saya tak seberuntung Anda," kata Asako pelan. Ia seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sulit diutarakan. "Ada apa, Asako-san? Katakanlah apa yang telah terjadi?" "Saya berkenalan dan menikah dengan Tamura, salah seorang karyawan perusahaan sekuritas di Tokyo, tiga tahun silam. Setelah itu semuanya berubah. Saya ikut suami saya ke Tokyo. Ruang gerak saya mulai dibatasi. Saya hanya diberikan otoritas mendidik anak kami, Kimiko. Saya diminta berhenti dari pekerjaan saya dan hanya bekerja di rumah saja. Semua itu saya lakukan semata-mata untuk bakti saya kepada suami." Saya diam menyimak. "Tapi, yang terjadi kemudian sangat menyedihkan. Tamura menyeleweng dengan seorang gadis geisha di kedai minum langganannya. Ia mulai jarang pulang ke rumah. Dan, yang paling menyakitkan, Tamura sering mabuk, bahkan memukuli saya tanpa sebab. Saya tidak tahan dan minta cerai. Saya lalu kembali ke Kyoto, membawa serta Kimiko. Saya beru tiba disini, tiga hari yang lalu. Sekarang, saya tinggal di rumah kakak lelaki saya. Saya tidak tahu, mengapa nasib saya seburuk ini, Taufiq-san," tutur Asako terbata-bata. Anehnya, ia tidak mengeluarkan airmata. Hanya wajahnya terlihat lebih tua dan layu. Ia kelihatan begitu menderita. "Taufiq-san, saya tidak menyangka dapat bertemu dengan Anda kembali di sini. Anda masih ingat cerita saya tentang salju?" Asako memandang saya lekat-lekat. "Ya, Asako. Bagaimana saya dapat melupakannya? Saat itu, di tempat kita berada sekarang, kamu berkata, bukankah pada akhir musim gugur mendatang, salju baru akan turun lagi? Apakah bagimu kalimat itu berarti?" "Sangat berarti, Taufiq-san. Kalimat itu saya ucapkan sebagai ekspresi kasih sayang saya CERPEN : Amril Taufiq Gobel
20
kepadamu. Ketika saya berkenalan dan menikah dengan Tamura, saya menyangka telah menemukan 'salju baru' yang indah. Tapi ternyata, saya salah menafsirkan cinta Tamura. Dalam banyak hal, Anda memiliki kepribadian yang saya dambakan. Saya telah melewatkan kesempatan menikmati keindahan salju cinta Anda. Itu suatu kekeliruan besar!" ujar Asako sambil menundukkan wajahnya, menekuri lantai restoran. "Asako-san," saya mencoba menghibur hatinya, "kehidupan berjalan begitu saja. Apa yang telah terjadi pada dirimu, pada saya, dan siapa pun juga, semua sudah diatur oleh-Nya. Kita hanya punya kehendak dan usaha. Selebihnya, Tuhan menentukan. Kamu tak perlu menyesalinya berlarut-larut. Hal itu justru membuat kamu tenggelam pada kesedihan yang berkepanjangan. Pada saat ini, yang penting menata hati dan hari depan yang lebih baik. Jangan bermuram durja, Asako. Masih banyak orang yang mengasihimu. Ada Kimiko, saudara lelakimu, dan juga saya. Tak ada yang lebih berharga dari semua itu, bukan?" Asako menatap saya lekat-lekat. Lalu, perlahan-lahan senyum manis terukir di wajahnya. Senyum yang begitu saya kenal. Dengan hangat ia kemudian mencium pipi saya. "Terima kasih, Taufiq-san," bisiknya lirih di telinga saya. Matanya berbinar cerah. Di luar salju mulai menebal. Gumpalannya bertebaran di mana-mana. Warnanya putih menyiratkan misteri yang tak terpecahkan. Sungguh suatu keindahan yang menakjubkan. Saya pun tahu pasti, saya telah memiliki keindahan yang sama. Nun jauh di sana, di kampung halaman saya, pada mata teduh Sri, istri saya, dan binar ceria mata Rahmat, putra kesayangan saya. © Keterangan: Dozo: Silakan Kampai: Bersulang Arigato gosaimaz: Terima kasih banyak Oyasuminasai: Selamat malam
CERPEN : Amril Taufiq Gobel
21
BIODATA PENULIS
Amril Taufiq Gobel,
lahir di Makassar, 9 April 1970. Menamatkan kuliah di Fakultas
Teknik Jurusan Mesin Universitas Hasanuddin (UNHAS) tahun 1994. Semasa kuliah, sejak tahun 1991-1998, sering menulis cerita pendek dan artikel untuk media cetak lokal di Makassar (Harian Fajar dan Pedoman Rakyat), maupun media cetak nasional (Femina, Harian Republika, Harian Suara Pembaruan). Dua antologi cerpennya yang berjudul 'Seorang Pelacur dan Supir Taksi' dan 'Cinta dalam Sepiring Kangkung' masing-masing telah diadaptasi menjadi sinetron PINTU HIDAYAH (ditayangkan tanggal 6 November 2006) dan MAHA KASIH-2 (ditayangkan tanggal 9 Desember 2006) di RCTI. Sementara dua cerpen yang lain, 'Biarkan Aku Mencintaimu dalam Sunyi – Email terbuka seorang selingkuhan' dan 'Jatuh Cinta di Kilometer Dua Puluh Tiga' dimuat dalam buku antologi cerpen komunitas blogfam (www.blogfam.com) yang diterbitkan oleh Penerbit Gradien pada akhir tahun 2006.
CERPEN : Amril Taufiq Gobel
22