Cdk 110 Penyakit Hati

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 110 Penyakit Hati as PDF for free.

More details

  • Words: 37,820
  • Pages: 65
Cermin Dunia Kedokteran 1996

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

110. Penyakit Hati Juli 1996

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Biologi Molekuler Hepatitis C dan Aplikasi Diagnostiknya – Suwarso 9. Upaya Pengembangan Vaksin Hepatitis C – Djoko Yuwono, Retno Iswari 15. Evaluasi Faal Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis – Zulkarnain Arsyad 19. Program Imunisasi Masal Hepatitis B di Indonesia – Nuchsan Umar Lubis 21. Penyakit Hati pada Kehamilan – AB Wardoyo 26. Diagnostik. Thalassemia dengan Polymerase Chain Reaction – Sunarto 32. Pengembangan Uji Diagnostik melalui Teknik Molekuler – Roch man Na ‘im 35. Tanaman Obat Bersifat Antibakteri di Indonesia – B. Dzulkarnain, Dian Sundari, Ali Chozin 49. Obat-obat Anti Epilepsi Baru – Budi Riyanto W. 56. Berbagai Determinan yang Mempengaruhi Penilaian Pasien terhadap Pelayanan Medis – Benyamin Lumenta, Reflinar 61. Pengalaman Praktek 62. Abstrak 64. RPPIK

Para peneliti di Indonesia tidak mau ketinggalan dalam penelitian/pengembangan biologi molekuler; beberapa di antaranya ditujukan untuk pengembangan vaksin dan diagnostik beberapa penyakit, antara lain hepatitis dan thalassemia. Hasil-hasilnya dapat Sejawat pelajari dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi ini Masih men genai faal hati, artikel Zulkarnain Arsyad seyogyanya meningkatkan kewaspadaan kita terhadap kemungkinan efek samping pengobatan. Artikel B. Dzulkarnain dkk. mengenai tanaman obat layak dipelajari karena mungkin dapat dimanfaatkan dan dilanjutkan dengan penelitian-penelitian klinis. Sedangkan bagi para Sejawat yang berminat terhadap masalah pelayanan kesehatan, artikel Benyamin Lumenta dkk. memberikan data penting yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan. Selamat membaca,

Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

Cermin Dunia Kedokteran International Standard Serial Number: 0125 – 913X KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

PELAKSANA Sriwidodo WS TATA USAHA Sigit Hardiantoro

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran Gedung Enseval Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Temprint

REDAKSI KEHORMATAN

Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

DEWAN REDAKSI

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

- Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc.

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

3

English Summary EVALUATION OF LIVER FUNCTION AMO PATIENTS TREATED WITH OAT

LIVER DISEASES IN PREGNANCY AB Wardoyo Internist, Semarang, Indonesia

Zulkarnain Arsyad Dept. of Internal Medicine, Faculty of Medicine, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia.

The administration of anti tuberculosis drugs may cause various side effects including liver function disorders. The study on the tuberculosis out patients had been carried out to evaluate liver function disorders caused by anti tuberculosis drugs from September 1993 to December 1993. Thisstudy found 28% elevation of SGOT, SGPT and Alkali Phosphatase value among 1 & 2 monthstreated patients, 27% among 3 & 4 months-treated patients, and 57% among 5 & 6 months-treated patients. The elevation of SGOT, SGPT and Alkali Phosphatase were not more than twice of normal value. The liver function disorders was also influenced by anemia and old age. Regular liver functions monitoring was recommended for tuberculosis patients which were treated by anti tuberculosis drugs, especially when accompanied by anemia and old age. Za Cermin Dunia Kedokt. 1996; 170: 15-8

Various liver diseases during pregnancy have been discussed. The jaundice in pregnant woman may be peculiar to pregnancy, such as acute fatty liver, toxaemias, intrahepatic cholestasis and hyperemesis gravidarum; or as intercurrent jaundice during pregnancy, such as viral hepatitis, gallstones, hepatotoxic drugs and underlying cirrhosis. The most common cause of jaundice in pregnancy is viral hepatilis, then followed consecutively by intrahepatic cholestas and gallstones. Several changes in liver function during pregnancy have to be detected, especially in third trimester, such as increased alkaline phosphatase, globulin and cholesterol; and decreased albumin level. Abw Cermin Dunia Kedokt. 1996; 110:21-5

THALASSEMIA DIAGNOSIS WITH POLYMERASE CHAIN REACTION Sunarto Dept of Child Health. Dr. Sardjito General Hospital/Gajah Mada University, Yogyakarta. Indonesia.

The clinical diagnosis of thalassemia syndrome is not difficult to establish with relatively simple

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

investigations, but molecular study is needed to determine the genotype and for the prenatal diagnosis. In the molecular study, the DNA should be first amplified and among the amplification techniques polymerase chain reaction is the simplest and the most rapid one. The procedure can in vitro amplify a DNA segment million times. It has been used extensively in the molecular studies. While amplifying a DNA segment, polymerase chain reaction can detect gene deletion directly. A procedure based on polymerase chain reaction principles using allele specific oligonucleotide primer(s), called amplification refractory mutation system (ARMS), can detect mutant(s) directly. Reverse dot blot hybridization on polymerase chain reaction product using allele specific oligonucleotide probe(s) has many advantages. Either ARMS or RDB procedure, both have very high sensitivity and specificity, need only a short time, and are relatively inexpensive. Using appropriate allele specific oligonucleotide(s), either as probe(s) or primer(s), commonly occured mutants in a certain population can be detected easily. S Cermin Dunia Kedokt. 1996;110: 26-31

Artikel TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Biologi Molekuler Hepatitis C dan Aplikasi Diagnostiknya Dr. Suwarso PhD Laboratorium Patologi Klinik, Seksi Virologi-immunologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

PENDAHULUAN Sejak tersedianya test diagnostik (1975) untuk hepatitis virus A (HVA) dan hepatitis virus B (HVB), maka menjadi jelas bahwa mayoritas kasus hepatitis post-transfusi (HPT) tidak disebabkan oleh virus hepatitis A (VHA) ataupun B (VHB), juga tidak disebabkan oleh virus-virus hepatotropik lain seperti virus Cytomegalo (CMV) dan Epstein-Barr (EBV)(1). Meskipun waktu itu nama virus hepatitis C (VHC) telah diusulkan untuk menggantikan nama HPT (HNANB = Hepatitis Non-A, Non-B)(2,3,4), namun karena metode serologi konvensional yang digunakan (pada waktu itu merupakan satu-satunya metode yang diandalkan) tidak mampu mendeteksi adanya antigen atau antibodi virus penyebab, maka nama VHC usulan Choo et al. yang dapat diterima setelah mereka pada tahun 1989 secara rekombinan pada Bakteriofage λgt 11 berhasil mengisolasi sebagian genom virus penyebab HPT dan regio NS4 yang mengkode pengsintesaan protein antigen 5.1.1 dan plasma penderita HNANB kronik(5). Kini seluruh genom dan protein antigen yang dikodenya telah berhasil diisolasi dan disintesis secara rekombinan pada vektor Bakteriofage atau Plasmid. Analisis serologik memperlihatkan bahwa antigen-antigen tersebut bereaksi dengan serum penderita HNANB dan sejak itu pula diketahui bahwa VHC merupakan penyebab pokok Karsinoma Hepatoseluler (KHS) di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, Jepang dan merupakan penyebab pokok untuk kasus-kasus Hepatitis Kriptogenik di Itali(5). Teknik rekombinan ini diawali dengan pengisolasian mRNA (sumber gen yang mengkode protein antigen VHC) yang ada dalam pelet dan plasma Chimpanzee yang bertiter infeksius tinggi (≥ 108 CID/ml). Oleh enzim Reverse Transcriptase, dari setiap isolat mRNA niaterial infeksius akan dibentuk atau dikopi satu single strand DNA homolog atau DNA komple-

menternya (ss-cDNA). Seterusnya olekenzim DNA-Polimerase akan diproduksi banyak ss-cDNA yang secara spontan akan membentuk double-heliksnya (ds-cDNA). Kode-kode genetik pengsintesaan antigen VHC yang sekarang ada di ds-cDNA, selanjutnya direkonstruksi atau direkombinasi dengan fragmen DNA yang dapat bereplikasi dengan cepat yakni DNA dari vektor plasmid atau bakteriofage (? 1). Akhirnya dengan memasukkan vektor-vektor ini ke dalam jamur (Saccharomyces cerevisiae) atau bakteri inangnya (E. coli) akan dihasilkan klonklon yang memproduksi protein antigen VHC dalam jumlah yang berlebihan (Gambar 1). Gambar 1. Isolasi mRNA Virus Hepatitis C dan Pemproduksian KIT EIA/ RIBA-Anti-VHC secara Rekombinan

Dipresentasikan pada simposium sehari tentang "Deteksi Awal & Penanggulangan Hepatitis B dan C dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia". Solo (PAPDI). 18 Juni 1994. Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

5

Protein Antigen hasil rekayasa genetik (rekombinan) ini akhirnya digunakan sebagai alat untuk mendeteksi antibodi yang ada dalam sirkulasi darah penderita HVC, dapat secara ELISA (Enzynze linked immunoassay) atau RIBA (Recombinant immunoblotassay) (Gambar 1). Mengingat bahwa VHC merupakan virus hepatitis yang pertama yang dapat dideteksi dengan cara molekuler biologi, maka dalam artikel ini akan diterangkan molekuler biologi VHC dan aplikasi diagnosisnya. STRUKTUR VIRION DAN SIFAT-SIFATNYA VHC merupakan virus yang berenvelope, yang menginfeksi sel hati dengan perubahan-perubahan tubuler sitoplasma. Dari studi filtrasi diketahui bahwa virion atau virus utuh yang menginduksi perubahan tubuler sitoplasma memiliki diameter < 80 nm(6) atau antara 30–60 nm(7), dan dengan elektron mikroskop 36–62 nm(8). Buoyant density virion yang diukur dengan gradien densitas sukrosa adalah 1,14–1,18 g/cm3(8), dan 1,30–1,36 g/cm3 dengan CsCl(6). Dari dan hasil analisis sedimentasi disimpulkan bahwa koefisien sedimentasi VHC <200S(8). VHC merupakan virus yang berenvelope karenanya infektivitasnya dapat ditiadakan dengan pelarut-pelarut lemak seperti kloroform dan beta-Propiolakton atau dengan pemanasan 60°C selama 30 menit(6). STRUKTUR DAN FUNGSI GENOM VIRUS Seperti terlihat pada gambar 2, VHC merupakan virus-virus single strand RNA (ss-RNA). Genomnya bertipe positivestrand RNA dengan panjang kurang lebih 9400 nukleotida (nt). Genom terbagi dalam tiga bagian: dua bagian berupa regio yang tidak ditranslasi (UTR = untranslation regio) yakni 5’-UTR di ujung 5, 3-UTR di ujung 3, dan satu bagian merupakan regio yang ditranslasi yang disebut open reading frame (ORF). Regioregio yang tidak ditranslasi terletak pada kec ujung genom VHC, dengan demikian kedua UTR tersebut mengapit regio yang ditranslasi (ORF). ORF memiliki panjang 9030–9099 nt (membentang mulai dan nt 342). Di dalam ORF inilah disimpan kode-kode genetik untuk pengsintesaan 7–9 protein antigen virus, berturut-turut adalah protein antigen struktural core dan struktural envelope-I, masing-masing disimpan di ORF di regio C dan El; protein antigen non-struktural-1 atau envelope-2 (NS1/E2), non-struktural-2, -3, -4 (4a, 4b) dan -5 (5a, 5b), masing-masing disimpan di regio NS1/E2, NS2, NS3, NS4 (NS4a, NS4b) dan NS5 (NS5a, NS5b)(9,10).Keseluruhan protein antigen yang dikode oleh ORF ini tersusun dan 3010–3011 aa.

5-UTR merupakan bagian, genom VHC tempat proses pembacaan (translasi) kode-kode genetik dimulai. Dia memiliki panjang 341 nt dan merupakan rantai yang sangat conserved, artinya berbagai jenis genom VHC di berbagai negara (USA, Australia, Italia, Jepang, Argentina, Afrika Selatan dan Taiwan) memiliki rantai 5-UTR yang identik(11). Lokasi 5-UTR tepat upstream (di depan) ORF, dan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses replikasi atau pengsintesaan protein antigen virus. Di dalam replikasi atau pengsintesaan protein virus, 5UTR berperan sebagai regulator (pengatur replikasi virus), hal ini didukung dengan sifat-sifatnya sangat conserved, letaknya yang direk upstream dan ORF, memiliki kodon-kodon initiator AUG (kode-kode genetik untuk mengawali atau menginisiasi replikasi atau pengsintesaan protein antigen virus) dan memiliki kode-kode genetik untuk IRES (internal ribosome entry site) yakni kode-kode genetik yang memungkinkan mRNA virus berikatan dengan ribosom pembuat protein-protein (polipeptida) antigen virus di sel hati. Letak IRES pada 5’ UTR ini membentang dari nt 101–332, sedang codon initiatornya (AUG) pada posisi nt 76 (AUG-76), 87 (AUG-87), 206 (AUG-206), 333 (AUG-333). Dari empat kodon initiator yang dimiliki oleh VHC, ternyata kodon yang ke-IV, yang digunakan oleh VHC untuk mengawali replikasi atau pengintesaan proteinnya. Hal ini dimungkinkan, sebab rantai 5’- dan 3’-UTR yang mengapit ORF mengandung berturut-turut struktur ‘Cap” dan ‘Poly-A”, yang merupakan petunjuk bagi ribosom untuk memilih kodon AUG yang dapat digunakan sebagai start-codon, agar diperoleh pengsintesaan protein antigen virus yang efisien(12). Selanjutnya atas dasar kemiripan susunan regio struktural (C, El) dan non-struktural (NS2-NSS), memperlihatkan bahwa genom VHC mirip dengan genom virus dan famili Plavi- atau Pesti-virus (Gambar 3). Hanya saja gp48 pada Pestivirus dan Protein M (Matriks) pada Plavivirus menghilangkan pada VHC. Dengan demikian masuk akal bahwa genom regmo struktural VHC adalah lebih pendek daripada genom regio struktural Pestidan Plavivirus. Sedang regio NS2-NS5 dari ketiga virus relatif memiliki panjang yang identik. Gambar 3. Struktur genom VHC dibanding dengan Plavi- dan Pestivirus. gp = Glikoprotein, P = Protein, C = Core, M = Matriks, E = Envelope,NS=Non-struktural, aa= Asam amino, nt =Nukletida, 5’ & 3’ = untranslasi regio (UTR) (Modifikasi dari Choo. et.al. 1990).

Gambar 2. Susunan Genom Virus Hepatitis C dan Produk Antigennya

PROTEIN ANTIGEN VIRUS DAN ANTIBODINYA Protein (polipeptid) antigen virus yang dikode oleh ORF genom VHC kini secara rekombinan telah dapat dipurifikasi dan

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

ditentukan masing-masing arti klinisnya. Protein antigen core yang berhasil dipurifikasi adalah GOR, CP9, JCC, Po dan C223. Aspek klinis antibodi yang ditujukan pada antigen-antigen ini merupakan petanda (marker) infeksius. Kecuali antibodi terhadap antigen GOR, antibodi-antibodi terhadap antigen-antigen core lainnya hampir 90% dapat terdeteksi dalam sirkulasi darah penderita HVC kronis, dan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) umumnya dapat diketahui bahwa serum-serum mereka memiliki RNA-VHC (Gambar 4). Peran antibodi terhadap antigen-antigen core ini adalah membantu diagnosis VHC pada kasus-kasus anti-C 100-3 (Ab terhadap antigen NS3-NS4) negatip, yang pendeteksian RNA-VHC belum dikerjakan. Kecuali antigen GOR, pengsintesaan antigen CP9, JCC, Po dan C22-3 ada di bawah pengaruh kode-kode genetik yang ada di dalam regio C dan ORF genom VHC. Antigen GOR merupakan auto-antigen sintetik yang dikode oleh rantai genom sel hospes dan tampaknya dia merupakan antigen nuklear sel hospes. Protein Envelope-i merupakan protein yang terglikosilasi (Glikoprotein =gp)dengan beratmolekul 33 Kilo Dalton (gp33), dikode oleh regio El. Protein ini merupakan selubung terluar VHC dan dinominasikan merupakan antigen yang dapat menginduksi antibodi yang dapat menetralkan virus. Dengan demi kian merupakan novel antigen untuk mengembangkan vaksin. Protein E2/NSI juga merupakan protein yang terglikosilasi dengan berat molekul 72 Kilo Dalton (gp72), dikode oleh regio E2/NS 1 dan genom VHC. Protein ini merupakan selubung kedua seperti pestivirus, atau protein npn-struktural- 1 terluar seperti Plavivirus. Adanya regio yang hypervariable pada regio E2/NS1, ini menandakan bahwa protein atau antigen yang dikodenya merupakan protein atau antigen yang dapat menginduksi antibodi yang dapat menetralkan virus. Tapi nyatanya antibodi terhadap antigen-E2 (Anti-E2) ini, lebih dan 50% terdeteksi pada penderita-penderita HVC kronik, dan menghilang pada penderita-penderita HVC yang berespon terhadap terapi interferon (Yokosuka et al. 1993). Dengan demikian antibodi-E2 merupakan marker replikasi VHC. Protein NS2, NS3, NS4 dan NS5 merupakan protein nonstruktural dengan berat molekul berturut-turut 23kd (p23), 60kd (p60), 52kd (p52) dan 1 l6kd (p116), dikode berturut-turut oleh regio NS2, NS3, NS4 dan NS5 genom VHC. p23 dan p52 memiliki fungsi membran binding, p60 merupakan enzim protease/ helikase yang digunakan untuk sintesa protein virus, sedang p116 merupakan enzim polimerase/reflikase yang berfungsi di dalam reflikasi genom VHC (Gambar 2). Sebagai alat diagnostik, produk antigen-antigen yang dikode oleh regio ini telah tersedia secara komersial, dan dan Kit-diagnostik generasi lama ke generasi yang lebih baru sensitivitas dan spesifisitasnya selalu ditingkatkan dengan cara mengkombi nasikan antigen-antigen ini. Pada EIA-Anti-HCV generasi-I, yakni EIA untuk mendeteksi adanyaanti-HCV-Cl00-3 digunakan kombinasi protein antigen yang berhasil diisolasi oleh Choo et al. yakni Ag 5.1.1 (Ag yang dikode oleh regio NS4) dengan protein antigen yang dikode oleh sebagian regio NS3; Pada EIA generasi-II yakni EIA untuk mendeteksi antibodi-HCV-C200, protein antigen yang dikombinasikan pada Ag 5.1.1 tidak hanya protein Ag yang dikode oleh

sebagian regio NS3, tapi sudah dengan protein Ag yang dikode oleh seluruh regio NS3 dan akhirnya pada EIA generasi terbaru/ generasi-III (mendeteksi adanya anti-HCV-C825) protein Ag yang dikode oleh regio NS5 ditambahkan (Gambar 4). Gambar 4. Susunan Genom Virus Hepatitis C dan Produk Antigen Komersialnya

Antibodi-antibodi terhadap protein-protein antigen ini merupakan marker infeksius, sebab banyak terdapat pada penderita-penderita HVC kronik (Gambar 5). Gambar 5. Positive rate epitope HCV dengan test konfirmasi Polymerase Chain Reaction (PCR). Modifikasi dari Yatsuhashi et .al.(1993).

TIPE, SUB-TIPE DAN DISTRIBUSI VIRUS Sejak genom VHC berhasil dianalisis(5). Kini minimal di dunia secara genotipeada 7 tipe pokok VHC, yakni VHC I-VII (Tabel 1). Masing-masing tipe berdasarkan pada persamaan (homolog) nukleotida yang menyusun regio genomnya (homolog nt <72% signifikan berbeda) kemudian dapat dibagi lagi ke dalam 2–3 subtipe (a–c). Prevalensi sub-tipe tampak ber-

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

7

variasi antara daerah geografik yang berbeda. VHC-I (subtipe 1a) yang berhasil diisolasi dan chimpanzee yang diinfeksi oleh faktor VIII konsentrat yang menyebabkan HNANB pada resipiennya (penderita hemofilia) banyak terdapat di USA, Australia dan negara-negara Eropa Barat. VHC-I (Ia) ini umumnya merupakan VHC yang ditemukan pada penderita-penderita hemodialisis. VHC- 1a tidak diketemukan pada 52 penderita hepatitis kronik dan sirosis hati, tapi sebaliknya umum pada penderitapenderita yang dihemodialisis(9). Di Yogyakarta kami menemukan bahwa VHC-subtipe-1a merupakan VHC yang mayoritas terdapat pada pasien-pasien hemodiaIisis(10). VHC-II (1b) banyak terdapat di Jepang, Korea, Taiwan, China, dan di Indonesia merupakan subtipe yang paling umum ditemukan (48%) pada penderita-penderita penyakit hati kronis dan umumnya merupakan subtipe yang berespon jelek terhadap terapi interferon. Sub-tipe Ic (HC-G9, Td-6?), sejauh ini merupakan subtipe yang spesifik ada di Indonesia; Subtipe ini lebih banyak ditemukan pada penderita-penderita sirosis hati dan pada hepatitis kronis (34% vs 20%). VHC-III (2a) dan IV (2b) merupakan VHC yang berespon baik terhadap Interferon. Tipe 2a banyak terdapat di Jepang dan di Indonesia tercatat >20% sebaliknya tipe 2b terdapat di Jepang dan tidak ditemukan di Indonesia. VHC-V (3a) di Thailand, Inggris, Brazil dan sejauh ini tidak ada di Indonesia, VHC-VI (3b) di Thailand dan Jepang, VHC-VII (4a) di Afrika Selatan(9).

Aspek klinis lain dengan adanya subtipe adalah timbulnya infeksi multipel, yakni satu individu mengalami infeksi berulang oleh VHC. Jadi adanya infeksi multipel pada seseorang perlu mendapat perhatian yang serius, sebab mayoritas (>50%) individu yang terinfeksi oleh VHC dengan beda tipe, penyakitnya akan berjalan kronis dan umumnya di dalam tubuh penderita ini akan terdeteksi lebih dari satu tipe VHC. Mengingat bahwa awal timbulnya kasus dan terdeteksinya VHC adalah dan pemakaian darah dan produk-produknya seperti faktor-faktor pembekuan yang biasa digunakan pada kasuskasus hemophilia, immunoglobulin yang diberikan untuk kasuskasus immunisasi pasif, dan bahkan vaksin-vaksin yang berasal dari donor plasma, pemakaian bahan-bahan ini perlu lebih selektif.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

Tabel 1.

Tipe dan Subtipe VHC

Tipe

Subtipe

Genotipe

1

A

I

B

II

2

C A

III

3

B A

IV V

B

VI

4

VII

Isolat USA Eropa Australia Indonesia Jepang Korea Taiwan China Indonesia Indonesia Jepang Indonesia Jepang Thailand Inggris Brazil Thailand Jepang Afrika Selatan

Keterangan Hemodialisis

5. 6.

Hepatitis kronis Kebal interferon 7. Sirosis hati Peka interferon

8.

Peka interferon

9.

10.

11.

Telah diketahui bahwa virus-virus RNA mudah sekali untuk mutasi secara spontan(13). Karenanya masuk akal jika perbedaan tipe dan virulensi ini muncul pada VHC. Adanya perbedaan tipe ini karena di antara VHC yang berhasil diisolasi memiliki perbedaan panjang atau adanya substitusi pada jumlah nukleotida yang menyusun rantai genomnya (tapi dan kebanyakan isolat yang ada, hanya regio Core dan NS3 yang konservasi). Selanjutnya perbedaan subtipe ini memegang peran pula dalam berat ringannya hepatitis dan respon terhadap terapi interferon.

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

12. 13. 14.

Feinstone SM, Kapikian AZ, Purcell RH, AlterHJ, Holand PV. Transfusion associated hepatitis not due to viral hepatitis type A or B. N. Engl. J. Med. 1975; 292: 767–70. Prince AM, Brotman B, Grady GF et al. Long incubation posttransfusion without serological evidence of exposure to hepatitis B virus. Lancet 1974; 2: 241–246. Shirachi R, Tateda A, Shiraishi H, Kikuchi K, Ishida N. “Hepatitis C” antigen in NANB-postransfusion hepatitis. Lancet 1978; 2: 853–856. Villarejos VM, Provos PJ, Ittensohn OL, McLean AA, Hilleman MR. Seroepidemiologic investigations of human hepatitis caused by A, B and a posible third virus. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 1976; 152: 524–528. Choo QL, Kuo G, Weiner AJ, Overby LR, Bradley DW, Houghton M. Isolation of a cDNA clone derived from a blood-borne NANB-viral hepatitis genome. Science. 1989; 244: 359–62. BradleyDW, McCaustland KA, Cook EH, SchableCA, EbertiW, Maynard JE. Posttransfusion NANBH in Chimpanzees: Physicochemical evidence that the tubule-forming agent is small, enveloped virus. Gastroenterol. 1985; 88: 773–79. He LF, Ailing D, Popkin T, Shapiro M, Alter HJ, Purcel RH. Determining the size of non-A, non-B hepatitis virus by filtration. J. Infect. Dis. 1978; 156: 636–40. Hollinger FB. Non-A, non-B hepatitis viruses. In: Field BN, Knipe DM. Eds. Virology, second ed. Vol. 2. New York: Raven Press 1990; 2: 2239–2273. Hotta H., Handajani R, Lusida MI, Widawati, Doi H, Miyajima H, Homma M. Subtype analysis of hepatitis C virus in Indonesia on the basis of NS5b region sequences. 2nd Nat Congr Indonesian Society for Clinical Pathology (PDS PATKLIN), Surabayn Januari, 29–3 12, 1994. Hotta H, Doi H, Hayashi T, Mariyam, Lusida INI, Widawati, Homma M. Sequence analysis of hepatitis C virus obtained from Indonesia patients and identification of novel sequence variants. Viral Hepatitis and Liver Disease. 1994 (in press). Hari JH, Shyamala V, Richman KH et al. Characterization of the terminal regions of hepatitis C virus RNA: identification of conserved sequences in the 5’ untranslated region and poly (A) tails at the 3’ end. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 1991; 88: 1711–15. Kohara KT, lizuka N, Kohara M, Nomoto A. Internal ribosome entry site within hepatitis C virus RNA. J. Virol. 1992; 66: 1476–1483. Domingo E, Martinez-Salas E et al. The Quasispecies (extremely heterogene) nature of viral RNA genome populations: Biological relevance-a review. Gene 1985; 40: 1–8. Yatsuhashi H, Inokuchi K, lnoue 0 et al. The clinical significance of reactivity to individual epitopes of the hepatitis C viral genome. Gastroenterol. Jpn. 1993; 28. (Suppl. 5): 6–1l.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Upaya Pengembangan Vaksin Hepatitis C Ojoko Yuwono*, Retno Iswari S.** Jakarta - Indonesia * Peserta Program Pendidikan Pasca Sarfana Bidang Studi Ilmu Biomedik Universitas Indonesia, Jakarta ** Bag. Mikrobiologi, FKUJ Jakarta, selaku Pembimbing

RINGKASAN Virus hepatitis C, merupakan penyebab Hepatitis Pasca Transfusi; Sirosis Hepatis Aktif dan Karsinoma Hepatoselular. Prevalensi HCV sangat bervariasi tergantung letak geografi. Sampai saat ini telah diketahui paling tidak terdapat 6 genotipe HCV. Pengobatan infeksi HCV dilakukan dengan pemberian interferon, masalahnya adalah tim bulnya genotipe HCV yang non responsif interferon. Pencegahan infeksi HCV dapat dilakukan dengan uji tapis anti HCV pada donor darah. Akan tetapi pencegahan bentuk sporadik HCV hanya dapat dilakukan dengan imunisasi HCV. Telah dikembangkan suatu vaksin rekombinan untuk pencegahan infeksi HCV, dengan merekayasa suatu virus vaksinia yang berisi genom struktural HCV. Ekspresi virus pada sd mamalia menghasilkan glikoprotein kompleks E1-E2/NS1, besarnya 33 kD dan 72 kD, yang bersifat imunogenik dan menghasilkan titer antibodi yang tinggi pada chimpanse. Dikemukakan pula adanya kontroversi kekebalan humoral yang tidak dapat mem benkan proteksi terhadap reinfeksi HCV tipe homolog ataupun tipe heterolog, dalam uji coba infeksi HCV pada chimpanse. Di lain fihak dikemukakan pula vaksinasi yang meng gunakan teknologi transfer gen dengan cara menginjeksikan plasmid yang berisi genom nukleoprotein (NP-DNA) virus influenza strain A/PR/8/38 (H1N1) secara intramuskular ke dalam mencit BALB/c. Pengujian daya proteksi dilakukan dengan infeksi vitus dosis letal galur virus influenza A/HK/68 (H3N2) yang merupakan virus virulen pada mencit. Hasilnya menunjukkan bahwa mencit yang diberi NP-DNA dapat terlindung dan ke matian akibat infeksi virus dosis letal. Selanjutnya diusulkan agar model teknologi transfer gen dipakai dalam pengembangan vaksin terhadap infeksi HCV.

PENDAHULUAN Virus hepatitis C pertama kali disebut sebagai virus hepatitis NonA Non B, ialah suatu virus ssRNA positif, yang mempunyai diameter 30–60 nm, mempunyai envelop, bersifat sensitif ter-

hadap khloroform. Virus ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan sirosis hepatis aktif yang berkembang menjadi hepatokarsinoma; selain itu menjadi terkenal sejak ditemukannya sebagai penyebab hepatitis pasca transfusi(1,2,3).

Dipresentasikan pada Seminar Program Pendidikan Pasca Sarjana Bidang Studi Ilmu Biomedik Universitas Indonesia, Jakarta 26 November 1994

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

9

Penelitian seroepidemiologi infeksi HCV pada donor darah menunjukkan bahwa di Eropa Barat prevalensinya antara 0,01 – 0,7% yang didominasi HCV tipe-1, tipe-2 dan tipe-3, di Australia HCV tipe- I dan tipe-2. Begitu pula di Jepang dan Taiwan yang dominan HCV tipe-1 dan tipe-2, prevalensinya pada donor darah antara 1,0–1,7%. Telah ditemukan tipe baru di Hong Kong, yang dikenal dengan HCV tipe-6. Di Eropa Timur yang dominan adalah HCV tipe-2 dan tipe-3 dan prevalensi pada donor darah sebesar 1,0%. Di Mesir yang dominan adalah HCV tipe-4, dengan prevalensi pada donor darah 8,6%(3,4). Sedangkan di Indonesia diduga tipe yang dominan adalah HCV tipe-1 dan tipe2. Prevalensi HCV pada donor darah di beberapa kota besar di Indonesia sekitar 3,4%(5). Selama ini pengobatan infeksi HCV ditakukan dengan pemberian interferon (INF) akan tetapi cara ini menimbulkan beberapa masalah yaitu terjadinya infeksi persisten HCV dan mutasi genetik HCV sehingga bersifat non responsif INF. Terjadinya infeksi persisten ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1. Bloking ekspresi MHC I pada permukaan sel yang terinfeksi, 2. Supresi respon imun pada sel yang terinfeksi disebabkan oleh kerusakan sel atau terjadinya imunotoleran yang terjadi karena bloking produksi interferon, dan 3. Kerusakan sistem transkripsi atau translasi protein, sehingga terjadi mutasi spontan pada virus(1,6,7). Pencegahan infeksi HCV dapat dilakukan dengan uji tapis anti HCV pada donor darah, sehingga transfusi darah dipastikan bebas HCV. Namun bagi bentuk sporadik HCV pencegahan dengan imunisasi merupakan suatu keharusan. Sampai saat ini berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari protein yang paling mungkin untuk dipakai sebagai antigen yang immunogenik dan menghasilkan antibodi netralisasi yang bersifat protektif. Ternyata yang memungkinkan adalah protein yang diekspresikan oleh region E (envelop), walaupun sebetulnya tinggi titer antibodi HCV dan kaitannya terhadap antibodi protektif pada infeksi HCV sampai saat ini masih belum jelas. Penelitian menggunakan protein kompleks E1-E2 yang telah dipurifikasi menunjukkan bahwa imunisasi pada chimpanse menghasilkan antibodi dengan titer tinggi yang diduga merupakan antibodi netralisasi. Namun belum diketahui dengan pasti apakah antibodi yang dihasilkan tadi bersifat protektif(8). Teori mengenai kekebalan protektif pada infeksi HCV sebetulnya masih kontroversial. Di satu fihak ada peneliti yang berpendapat bahwa penggunaan vaksin konvensional dengan melibatkan sistem kekebalan humoral sudah dapat memberikan daya proteksi terhadap infeksi HCV(8), tetapi penelitian lain membuktikan bahwa kekebalan yang dihasilkan vaksin konvensional (protein envelop E-E2) hanya bersifat homotipik(20). Sehingga, ada kelompok peneliti yang berpendapat perlunyadirekayasa suatu vaksin yang cara kerjanya melibatkan baik kekebalan humoral yang memproduksi antibodi spesifik ataupun kekebalan selular dengan sasaran terjadinya sitolisis sel yang terinfeksi HCV(9,10). Tujuan penulisan artikel ini adalah ingin memberikan gambaran tentang berbagai upaya yang telah dilakukan dalam pengembangan vaksin serta adanya kontroversi mengenai antibodi yang protektif dan kaitannva dengan bentuk vaksin yang

10

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

akan dipakai untuk pencegahan infeksi HCV. STRUKTUR DAN ORGANISASI GENOM VIRUS HEPATITIS C Genom virus Hepatitis C diketahui pertama kali oleh Choo QL, dkk. (1989) dan Takamizawa A, dkk. (1991) yang merupakan suatu ORF (Kerangka Baca Terbuka-open reading frame) yang panjang, sekitar 9.416 bp (pasangan basa). Terdiri dari terminal 5 NCR (Daerah Bukan Sandi-non coding region) yang merupakan daerah yang sangat konserv pada berbagai genotipe HCV. Diduga mempunyai peran penting dalam replikasi virus yaitu pada tahap translasi, dan panjangnya 5’ NCR sekitar 341 nt. Selanjutnya diteruskan dengan daerah struktural yang terdiri dari daerah inti (C: Core), panjangnya sampai nukleotida no. 700 dan mengekspresi 191/192 asam amino. Kemudian region envelop (El), panjangnya sampai nukleotida no: 1400 dan mengekspresikan asam amino sampai ke no. 383/384. Berikutnya adalah region E2 (NSI), panjangnya sampai nukleotida no. 2400 dan mengekspresikan asam amino sampai no.750. Dilanjutkan dengan daerah non struktural (NS) yang terdiri dan NS2, NS3, NS4a, NS4b dan NS5 yang mengekspresikan asam amino sampai no. 1000; 1500; 1960 dan 3011. Diitkhiri dengan terminal 3’ UTR (daerah yang tidak ditranslasi-) yang diidentifikasi sebagai arusturun (downstream) dan ORF tersebut, yang diketahui terdiri dari 27–55 nt, tergantung dan tipe virusnya. Pada daerah ini juga ditemukan adanyapoly A yang hanya ditemukan pada HCV yang mempunyai terminal 3’ UTR 27 nt, sedangkan pada HCV dengan 3’ UTR 55 nt tidak ditemukan adanya poly A(2,10,11) (Gambar 1). Gambar 1. Skema struktur da fungsi genom DCV(1)

Homologi sekuens asam amino terhadap berbagai virus lain ternyata menunjukkan bahwa HCV merupakan suatu virus barn. Daerah 5’ NCR mirip dengan keluarga Picornaviridae, daerah struktural dan non struktural mirip dengan Flaviviridae. Sekuens asam amino pada daerah NS3 menunjukkan adanya hubungan dengan Flavivirus (virus Dengue, Japanese Encephalitis, Yellow fever), namun hubungannya lebih dekat dengan Pestivirus (Bovine viral diarrhea dan Hog cholera virus) yang semuanya termasuk dalam kelompok Flaviviridae(10,11). Tabel 1 menunjukkan hu-

bungan HCV dengan berbagai jenis virus dalam Flaviviridae berdasarkan homologi sekuens asam amino. Tabel 1.

HCV HOG BVD TBE JEV YFV DEN WNF KUN TVM

Gambar 2. Perbandingan prevalensi antigen c-100-3,cp-9 dan cp-10 pada serum penderita HCV menurut lamanya sakit(16)

Hubungan philogenetik antara virus Hepatitis C dengan berbagai virus dalam keluarga Flaviviridae HCV

HOG

BVD

TBE

JEV

– – – – – – – – – –

51 – – – – – – – – –

52 169 – – – – – – – –

41 38 39 – – – – – – –

41 34 34 91 – – – – – –

Keterangan HCV : Virus Hepatitis C HOG : Virus Hog Cholera BVD : Virus Bovine Diarrhea TBE : Virus Tick Borne Encephalitis JVE : Virus Japanese Encephalitis

YFV DEN WNF KUN

40 33 34 87 88 – – – – –

YFV DEN WNF KUN TVM

: : : : :

38 35 38 90 118 94 – – – –

37 37 36 90 159 95 117 – – –

TVM

33 33 37 93 163 90 121 177 – –

47 47 48 35 35 39 36 34 35 –

Virus Yellow Fever Virus Dengue Virus West Nile Fever Virus Kunjin Virus Tobacco Mozaic

BEBERAPA JENIS ANTIGEN SINTETIK UNTUK IMUNODIAGNOSIS Untuk kepentingan imunodiagnosis telah dihasilkan antigen yang diperoleh dengan melakukan klon dan genom HCV dari region struktural (Core, Envelope dan NS 1), yang kemudian dibuat suatu rekombinan menggunakan vektor virus. Rekombinan virus ini dapat menghasilkan protein rekombinan pada berbagai teknik sistem ekspresi, antara lain: sistem ekspresi sd mamalia atau menggunakan sistem ekspresi baculovirus pada sel serangga. Telah dihasilkan protein yang besarnya 18 kD, 33 kD, 72 kD yang diduga merupakan protein yang diekspresikan oleh gen Core (C), envelop (El) dan gen E2/NS1(8,14,15,16). Dengan menggunakan antigen tersebut berhasil dilakukan imunodiagnosis HCV, sehingga dengan menggunakan antigen tersebut anti HCV dapat dideteksi; yaitu: kit diagnostik ELISA generasi I, menggunakan antigen c-100-3 (Chiron Corp.), suatu polipeptida berasal dari region NS4. Kit diagnostik ELISA Generasi II, menggunakan antigen c-22-c dan c-33 (RIBA Corp.), polipeptida yang berasal dari region Core dan envelop. Okamoto, dkk. (1992) menganjurkan penggunaan polipeptida cp-9 dan cp-10 yang berasal dari region Core (C) di samping hanya menggunakan antigen c-100-3 saja, tujuannya untuk meningkatkan sensitivitas pemeriksaan(4,16). Pada Gambar 2 dapat diketahui perbedaan prevalensi penggunaan antigen c-l00-3, cp-9 dan cp- 10 pada serum penderita HCV menurut lamanya sakit(16). Machida dkk. (1992) berhasil membuat suatu peptida sintetik identik dengan protein kapsid, yaitu peptida IPKARRPEGRTWAQPGY yang konserv pada HCV genotipe-1 dan genotipe-2 serta IPKADRRSTGKSWGKPGY yang konserv pada genotipe-3 dan genotipe-4. Dengan menggunakan antigen sintetik ini ternyata dapat dibedakan dua serotipe HCV, HCV serotipe-1 identik dengan HCV genotipe- 1 dan genotipe-2, sedangkan HCV serotipe-2 identik dengan HCV genotipe-3 dan genotipe-4.

Penggunaan identifikasi serologi ini mungkin berguna bagi daerah yang tidak memiliki fasilitas untuk penyimpanan RNAHCV pada teknik RT-PCR(17). Seperti dikemukakan terdahulu, telah diisolasi berbagai protein HCV dengan cara mengekspresi genom HCV, kapsid (C), non struktural (NS) dan envelop (E) pada berbagai sistem ekspresi, antara lain : sistem ekspresi baculovirus pada sel serangga, sistem ekspresi pada sel mamalia dengan virus vaksinia rekombinan. Hasilnya menunjukkan bahwa protein yang diekspresi oleh gen El dan E2INSI merupakan protein yang bersifat imunogenik pada chimpanzee dan menghasilkan titer antibodi tinggi. Namun ujicoba untuk mengetahui apakah antibodi tersebut dapat meinberikan proteksi terhadap infeksi HCV masih belum jelas hasilnya. Grakoui dkk. (1993) mencoba melakukan karakterisasi protein yang diekspresi oleh gen El dan E2; diketahui bahwa dengan melarutkan dalam larutan SDS (Sodium Dodecyl Sulfat), protein El dan E2 merupakan protein yang terpisah dan dihubungkan oleh ikatan disulfida(16). Sedangkan menurut Ralston dkk. (1993) dengan menggunakan Triton X-100, diketahui bahwa tidak terdapat ikatan disulfida antara protein El dan E2 (Gambar 4). Protein El -E2 merupakan suatu kompleks protein yang dapat menstimulasi terjadinya antibodi dengan titer tinggi pada chimpanzee(8). Antibodi ini diduga merupakan antibodi netralisasi, yang terbentuk oleh adanya glikoprotein multimerik kompleks El-E2. Berbeda dengan yang ditemukan Grakoui, dkk. serokonversi tidak terbentuk karena protein El dan E2 merupakan protein monomerik yang terpisah(8,15). TEKNOLOGI TRANSFER GEN SEBAGAI MODEL PENGEMBANGAN VAKSIN VIRUS Imunisasi chimpanzee dengan kompleks glikoprotein murni E1E2 yang diekspresi oleh vaksinia virus rekombinan menunjukkan bahwa sebagian terkena infeksi HCV sebagian lagi tidak,

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

11

Gambar 3. Glikoprotein envelop HCV yang diekspresi oleh virus vaksinia rekombinan pada sel mamalia

Keterangan: M : Marker 1, 6, 11 : Virus Vaccinia 2, 7, 12 : Virus Rekombinan Vaccinia/HCV 3, 8, 13 : Virus Rekombinan Vaccinia/C-E1 4, 9, 14 : Virus Rekombinan Vaccinia 59/C-El 5, 10, 15 : Virus Rekombinan Vaccinia/E2-NS2

namun masing-masing memiliki titer anti HCV yang cukup tinggi(8). Teori mengenai kekebalan protektif pada infeksi HCV memang masih kontroversial. Penelitian Farci, dkk. (1992) menunjukkan bahwa pada imunisasi chimpanse dengan HCV yang berbeda strain, ternyata 3 tahun kemudian tidak dapat menetralisasi infeksi challenge doses HCV; masih ditemukan adanya viremia challenge virus HCV. Hal ini membuktikan adanya kekebalan protektif pada chimpanse(19). Ulmer et al (1993) berhasil mengembangkan teknologi transfer gen, yaitu melakukan injeksi plasmid yang berisi suatu gen yang mengkode nukleoprotein (NP) virus influenza strain A/PR/8/34, secara intramuskuler pada sd otot bisep mencit BALB/c.Teknologi ini merupakan suatu pengembangan teknik transfer gen yang menggunakan naked-DNA yang mengkode nukleoprotein virus influenza, yang dipakai dalam pengembangan teknologi vaksin influenza(9). Dalam penelitian tersebut telah dibuktikan beberapa hal antara lain: 1) Membuktikan bahwa plasmid yang berisi gen NP yang diinjeksikan dapat masuk ke dalam sd otot mencit. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan teknik PCR, sebagai target sekuensnya adalah 5’ nukleoprotein dan 3’ sekuens nukleotida virus promotornya (Rous Sarcoma Virus). 2) Membuktikan bahwa telah terjadi reaksi CTL spesifik. Sel limfa mencit yang diinfeksi NP-DNA ternyata dengan bantuan IL,-2 rekombinan, dapat melisiskan sd limfa autolog yang ter-

12

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

lebih dahulu diinfeksi oleh virus influenza A/PR/8/34 (H1N1) secara in vitro. Lebih lanjut dapat dibuktikan juga bahwa sel limfa mencit yang diinjeksi NP-DNA dan kemudian diaktivasi dengan Concanavalin A (Con A) dan IL-2, ternyata dapat melisiskan sel target yang diinfeksi oleh virus influenza strain virulen mencit A/HK/68 (H3Ns) secara in vitro. 3) Bahwa pada injeksi i.m. plasmid yang berisi gen NP tersebut juga menghasilkan antibodi yang tinggi, anti NP IgG. Hal ini membuktikan bahwa penyuntikan NP-DNA tidak saja menghasilkan CU spesifik, tapijuga menghasilkan antibodi spesifik. Pemberian kekebalan pasif pada mencit dengan antiNP tidak dapat menetralisasi virus A/HK/68. Penyuntikan NP yang dipurifikasi pada mencit juga tidak menetralisasi virus A/HK/58. Ternyata antibodi yang dihasilkan NP-DNA berbeda dengan vaksinasi oleh virus utuh. 4) Membuktikan kekebalan protektif secara in vivo, tujuannya untuk mengetahui apakah reaksi CU mempunyai daya proteksi yang efektif; Mencit yang diimunisasi dengan NP-DNA (A/PR/ 8/34 (H1N1) dichallenge dengan dosis letal virus virulen pada mencit A/HK/68 (H3N2). Titer virus pada paru-paru mencit yang divaksin ternyata 3 kali lebih rendah pada hari ke 7 setelah challenge dibanding titer virus pada mencit yang tidak divaksinasi dan yang divaksinasi dengan plasmid tanpa NP-DNA. Hal ini membuktikan bahwa DNA (plasmid) tidak berperan dalam reaksi CU tersebut, selain itu kekebalan yang terbentuk memberikan daya proteksi heterotipik. Kelompok peneliti lain(18), menyarankan untuk memanfaatkan keberhasilan teknologi transfer gen tersebut sebagai metoda yang tampaknya menjanjikan bagi vaksinasi Hepatitis C yang diketahui mempunyai keanekaragaman genetik(4). Teknologi transfer gen ini merupakan suatu terobosan baru dalam teknologi vaksin dan tampaknya memang merupakan teknologi yang menjanjikan di masa depan. Gambar 4. Survival mencit yang diimunisasi dengan NP-DNA setelah dichallenge dengan virus Influenza vlrulen mencit galur /HK/68 (H3N2)(9)

DISKUSI Imunisasi dengan gabungan protein E1-E2 yang dihasilkan oleh virus vaksinia rekombinan pada sel mamalia telah membuktikan bahwa kompleks protein tersebut dapat menimbulkan titer antibodi yang tinggi pada chimpanse, walaupun pengujian daya protektifnya masih dalam taraf penelitian. Namun, hasil penelitian ini terbentur pada fakta yang menunjukkan bahwa dalam suatu studi prospektif in vivo pada chimpanse, ternyata kekebalan humoral yang terbentuk tidak dapat memberikan proteksi terhadap reinfeksi heterolog HCV. Apabilajenis vaksin ini masih tetap akan dipakai untuk imunisasi Hepatitis C, maka beberapa upaya harus dilakukan agar vaksin yang dihasilkan cukup efektif. Perbaikan itu antara lain membuat suatu vaksin yang berisi epitop heterolog dan berbagai tipe HCV, sehingga vaksin tersebut dapat memberikan kekebalan yang heterotipik(4,16). Di lain pihak, kelompok peneliti lain mengusulkan agar memanfaatkan keberhasilan teknologi transfer gen pada pengembangan vaksin influenza. Telah berhasil dibuktikan bahwa imunisasi mencit dengan vaksin NP-DNA yang berisi nukleokapsid virus influenza strain AIPRJ8/34 (N1H1), selain menghasilkan reaksi CTL spesifik secara in vitro, juga menghasilkan antibodi spesifik yang memberikan kekebalan heterotipik. Vaksinasi NP-DNA ternyata dapat menetralisasi paparan virus dosis letal strain virulen mencit A/HK/68 (H3N2) secara in vivo(9). Beberapa kelebihan dalam penggunaan dan produksi vaksin NP-DNA ini antara lain: • Cara imunisasinya yang mudah, dengan injeksi intramuskular. • Cara produksinya yang mudah dengan mengkultur plasmid pada bakteri E. coli. • Cara purifikasinya yang lebih mudah, jika dibandingkan dengan purifikasi protein pada umumnya. • Vaksin jenis ini hanya menghasilkan polipeptida yang dikehendaki, jika dibandingkan dengan vaksin rekombinan menggunakan vektor virus. Oleh karena plasmid bersifat non replikatif di dalam sd otot, sedangkan virus rekombinan juga menghasilkan protein yang diekspresi oleh genom vektornya. Sampai saat ini pertanyaan yang belum terjawab dan teori vaksin NP-DNA adalah mengapa sel Tc (CD8+) yang hanya distimulasi oleh suatu antigen tertentu, ternyata dapat memiliki sifat heterotipik. Kemungkinannya adalah bahwa sekuens nukleotida yang dipakai untuk menghasilkan antigen tersebut bersifat sangat konserv, sehingga oligopeptida yang dihasilkan, yang akan dipresentasikan ke sd Tc (CD8+) dapat menimbulkan efek yang bersifat heterotipik. Pada virus influenza telah terbukti bahwa sekuens nukleotida yang konserv dapat menghasilkan antibodi yang protektif terhadap paparan virus yang heterotipik. Namun, bagaimana halnya dengan virus-virus lainnya? Selain itu telah diketahui bahwa virus Hepatitis C tidak sama dengan virus influenza, terutama dalam hal sebagai penyebab hepatokarsinoma. Stimulasi terhadap aktivitas kekebalan selular pada respon imun yang disebabkan oleh infeksi virus onkogenik diduga akan mempunyai efek samping yang lebih berat. Pertanyaan lain yang masih belum terjawab adalah mengingat sifat plasmid yang dengan bebas dapat keluar masuk dalam sel bakteri,

maka bukan tidak mungkin NP-DNA juga akan keluar masuk dalam berbagai jenis sel di dalam tubuh. Apakah hal tersebut juga tidak akan menimbulkan efek samping lain? Berdasarkan argumentasi yang dikemukakan, maka dapat disimpulkan adanya beberapa kemungkinan bentuk vaksin HCV yang kiranya dapat dikembangkan, yaitu: 1) Bentuk vaksin subunit yang berisi epitop protein envelop HCV, yang dapat menstimulasi kekebalan humoral. Sudah tentu vaksin ini harus bersifat multimerik atau multiepitop bila ingin menghasilkan kekebalan yang bersifat heterotipik. 2) Bentuk vaksin polinukleotida atau naked DNA yang berisi sekuens nukleotida yang sangat konserv dart virus yang bersangkutan sehingga dapat menstimulasi baik kekebalan selular maupun kekebalan humoral dan memberikan kekebalan heterotipik. PENUTUP Infeksi HCV merupakan infeksi hepatitis yang berbahaya karena pada sekitar 50%–70% orang yang terinfeksi HCV akut akan berkembang menjadi hepatokarsinoma; infeksi HCV menjadi lebih berbahaya oleh karena menyebabkan hepatitis pada penderita pasca transfusi darah. Pencegahan infeksi HCV dapat dilakukan dengan uji tapis anti HCV, akan tetapi pada bentuk sporadik Hepatitis C pencegahan hanya dapat dilakukan dengan imunisasi terhadap HCV. Untuk pencegahan infeksi HCV, dewasa ini telah dikembangkan suatu vaksin yang dilakukan dengan mengisolasi dan memurnikan kompleks protein E1-E2 yang melibatkan sistem kekebalan humoral (kerjasama antara sel CD4+ dan sd limfosit B). Hasilnya ternyata protein ini dapat menstimulasi terbentuknya titer antibodi yang tinggi pada chimpanse, namun hasil ujicoba in vivo membuktikan bahwa kekebalan yang terbentuk bersifat homotipik. Keberhasilan pengembangan vaksin influenza yang menggunakan teknologi transfer gen (NP- pada plasmid) yang diinjeksikan intramuskular ke dalam sel otot mencit BALB/c, merupakan suatu terobosan barn dalam teknologi vaksin di masa depan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara in vitro reaksi CTL spesifik dan antibodi spesifik dapat terbentuk. Hal ini membuktikan bahwa baik presentasi antigen ke pada sel Tc (CD8+) oleh MHC-I ataupun presentasi antigen ke pada sd Th (CD4+) oleh MHC-ll dapat terjadi bersama. Secara in vivo, imunisasi mencit dengan NP-DNA menunjukkan bahwa kekebalan CTL yang dihasilkan bersifat heterotipik. Yaitu dapat menetralisasi dosis letal virus influenza strain virulen. mencit A/HK/68 (H3N2). Keberhasilan inilah yang menggugah sekelompok peneliti untuk mengembangkan suatu vaksin nukleopeptida terhadap HCV. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.

Houghton Met al. Molecular Biology of The Hepatitis C Viruses: implications for diagnosis, development and control of viral disease. Hepatology 1991; 14(2): 381–8. Choo QL et al. Genetic organization and diversity of the hepatitis C virus. Proc. Natl. Acad. Sci. 1991; 88: 2451–55. Kiyosawa K et al. Review of Hepatitis C in Japan. J. Gastroenterol Hepatol 1991; 383–91.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

13

4.

Meomish FM Ct al. Geographical distribution of Hepatitis C Virus genotypes in blood donors: an International Collaboiration Survey. J Clin. Mierohiol. 1994; 32: 884–92. 5. Sulaiman A et al. Epidemiologi Hepatitis C di Indonesia 1993. Makalah pathi KONAS Vl PGI-PEGI dan Pertemuan llmiah PPHI Bandung, 30 Nov.–4 Des. 1993. 6. Yamaguchi K et al. Adaptation of Hepatitis C virus for persistent infection in patients with acute hepatitis. Gastroenterology 1994; 106: 1344–48. 7. Okuda M. HCV-RNA assay in peripheral blood mononuclear cells in relation to INF therapy. Gastroenterologia Japonica 1993; 28(4): 535–40. 8. Ralston Ret al. Characterization of Hepatitis C Virus Envelop Glycoprotein Complexes expressed by Recombinant Vaccinia Viruses. J Virol 1993; 67(11): 6753–61. 9. Ulmer BJ et al. Heterologous protection against Influenza by injection DNA encoding a viral protein. Science 1993; 259: 1745-49. 10. Hari JH et al. Characterization of the terminal region of hepatitis C viral RNA: Identification of conserved sequences in the 5’ untranslated region and poly (A) tails at the 3 end. Proc. Nati. Acad. Sci. 1991; 88: 1711–15. 11. Takamizawa A. Structure and organization ofthe Hepatitis C virus Genome isolated from human carriers. J Virol. 1991; 65: 1105–13.

14

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

12. Miller RH et al. Hepatitis C virus shares amino acid sequence similarity with Pestivirus and Flavivirus as well as members of two plant virus supergroups. Proc. Natl. Acad. Sci. 1991; 87: 2057–61. 13. Suzich JA et al. Hepatitis C virus NS3 protein Polynucleotide-Stimulated Nucleoside Triphosphatese and comparison with related Pestivirius and flavivirus Enzymes. J Virol. 1993; 67(10): 6152–58. 14. Hsu HH et al. Characterization of Hepatitis C Virus Structural Proteins with Recombinant Baculovirus Expression System. Hepatology 1993; 17: 763–71. 15. Grakoui A et al. Expression and identification of Hepatitis C virus Polyprotein cleavage products. J Virol. 1993; 67(3): 1385–95. 16. Okamoto H et al. Antibodies against synthetic oligopeptides deduced from the putative Core gene for the diagnosis of Hepatitis C virus infection. Hepatológy 1992; 15: 180–86. 17. Machida A et al. Two distinct subtypes of Hepatitis C virus defined by antibodies directed to the putative Core protein. Hepatology 1992; 16: 886–91. 18. Gumucio J et al. Gene transfer as a new mode of vaccination: implication for HCV. Hepatology 1993; 18: 696–702. 19. Farci Petal. Lack of protective immunity against reinfection with Hepatitis C virus. Science 1992; 258: 135–40.

HASIL PENELITIAN

Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis Zulkarnain Arsyad Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas A ndalas, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Jamil, Padang

ABSTRAK Pemakaian obat anti tuberkulosis (OAT) dapat menimbulkan berbagai macam efek samping. Salah satu efek samping yang cukup serius adalah efek hepatotoksik. Telah dilakukan penelitian pada penderita Tb Paru rawat jalan, untuk melihat gangguan faal hati yang terjadi akibat pemakaian kombinasi obat anti tuberkulosis ini. Dari 58 penderita yang mendapat OAT didapatkan gangguan faal hati untuk kelompok yang mendapatkan obat 1 & 2 bulan sebanyak 28%, untuk kelompok 3 & 4 bulan sebanyak 27% dan untuk kelompok 5 & 6 bulan 57%. Peningkatan nilai dan komponen faal hati ini (SGOT, SGPT, Alkali Fosfatase dan Bilirubin) tidak melebihi dua kali nilai normal. Peningkatan faal hati juga dipengaruhi oleh faktor umur tua dan faktor anemia. Didapat kesan supaya dilakukan monitoring faal hati yang reguler pada penderita Tb Paru yang mendapat OAT terutama pada umur tua dan yang disertai anemia.

PENDAHULUAN Penyakit tuberkulosis, terutama tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan di negara yang sedang membangun seperti di Indonesia. Diperkirakan 10–20 juta penderita tersebar di seluruh dunia(1). Di RSUP Dr. M. Jamil Padang selama periode 1990 sampai dengan 1992, 78% dan kelainan paru yang dirawat disebabkan oleh tuberkulosis(2). Untuk pengobatan Tb paru biasanya dipakai obat-obat seperti Isoniazid atau INH, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomisin, Ethambotol, dan lain-lain. Salah satu efek samping yang dapat ditimbulkan akibat pemberian OAT ini adalah gangguan fungsi hati, dan yang ringan sampai yang berat berupa nekrosis dan jaringan hati(3). Obat-obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah INH, Rifampicin dan Pirazinamid. Kejadian hepatitis oleh INH antara 0,5–3%. Penderita tua, .pecandu alkohol, penderita dengan riwayat penyakit hati sebelumnya, mempunyai .risiko tinggi untuk hepatitis, dan dapat

didahului oleh gejala prodromal(4). Secara histopatologi menyerupai kelainan oleh virus hepatitis akut; terlihat sarangsarang nekrosis sel hati, pigmentasi sel Kupfer dan peningkatan sel radang. Pada kasus berat dapat dijumpai bridging necrosis atau nekrosis multilobuler(5). Rifampisin dianggap jarang mempunyai etek toksis pada fungsi hati yang normal, beberapa penulis menyangka sebagai reaksi hipersensitif(6). Insiden tertinggi terjadi pada orang yang mempunyai kelainan hati atau saluran empedu, pecandu alkohol dan pada usia tua(7). Pirazinamid efek hepatotoksiknya berkisar antara 1–2% dan gejala ikterus antara 3–4%. Dapat terjadi efek nekrosis yang fatal. Pemberian pirazinamid pada penyakit hati tidak dianjurkan(5). Untuk mengetahui terjadinya gangguan faal/fungsi hati penderita Tb Paru akibat pemberian obat anti tuberkulosis, dilakukan penelitian pada penderita berobat jalán di Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Jamil Padang.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

15

BAHAN DAN CARA Sebagai bahan peñelitian adalah penderita Tb paru yang berobat jalan ke Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Jamil Padang. Penderita yang dimasukkan dalam penelitian adalah yang hanya menderita Tb paru, yang sedang menjalani pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Tidak dimasukkan penderitapenderita yang dicurigai menderita kelainan hati primer seperti hepatitis dan sirosis hepatis. Penderita yang memenuhi syarat diperiksa kadar bilirubin darah, enzim SGOT, SGPT dan fosfatase alkali. Di samping itu juga dilakukan pencatatan jenis kelamin, umur, berat badan, kadar Hb waktu pertama kali diberikan pengobatan, lamanya mendapat OAT dan jenis kombinasi obat anti Tb yang sedang dimakan (RHE). Dilakukan analisis pengaruh faktor umur, keadaan gizi, lamanya makan OAT, kadar Hb, terhadap faal hati penderita penderita yang mendapat OAT ini. Sebagai pembanding dilakukan pemeriksaan faal hati orang normal. HASIL Telah dilakukan pemeriksaan faal hati 58 orang penderita Tb paru dan 30 orang normal sebagai pembanding (Tabel 1 dan 2). Tabel 1.

Data Dasar Penderita Tb dan Orang Normal Th paru + OAT

Jumlah Kelamin Pria Wanita Umur (th) Kombinasi OAT Tabel 2.

Tabel 3.

Orang Normal

58

30

43 15 14-70 RHE

21 9 20-67

Jumlah Kasus Tb yang Diteliti

Faal Hati

< 55 tahun (n = 14)

> 55 tahun (n = 7)

SGOT (u/1) SGPT (u/1) Fosfatase Alkali (u/1) Bilirubin (mg%)

29,4 ± 12 29,4± 12 151,4± 41,6 0,47 ± 0,20

30,1 ± 48 42,1 ±41 167 ± 62,4 0,61 ± 0,5

Tabel 5.

p > 0,05 < 0,05 > 0,05 > 0,05

Faal Hati Penderita Tb Pam dengan OAT (1-2 bulan) berdasarkan Faktor Anemia Faal Had

Hb < 12g% (n = 6)

Hb > 12g% (n = 15)

p

SGOT (u/1) SGPT (u/1) Fosfatase Alkali (u/I) Bilirubin (mg%) -

27 ± 21,8 44,8 ± 45,2 180,7 ± 70,4 0,68.± 49,1

30 ±11,3 29,1 ± 11,5 149,5 ± 40,7 0,46 ± 0,2

> 0,05 < 0,05 > 0,05 >0,05

Dari Tabel 5 di atas terlihat peningkatan dan SGPT, fosfatase alkali dan bilirubin pada penderita Tb paru yang mendapat OAT (1–2 bulan) yang disertai faktor anemia. Peningkatan yang bermakna hanya pada SGPT (p < 0,05). Tabel 6. Faal Hati Penderita Tb Paru dengan OAT (1–2 bulan) berdasar kan Faktor Berat Badan Faal Had

Berat badan kurang

Berat badan normal/lebih

SGOT (u/1) SGPT(u/1) Fosfatase Alkali (u/1) Bilirubin (mg%)

30,1 ± 14,9 39,4 ± 35,4 180,4 ± 41,1 0,54 ± 0,4

29,2 ± 13,5 28,4 ± 11,3 136 ± 46,9 0,50 ± 0,2

P > 0,05 >0,05 > 0,05 > 0,05

Lama Pengobatan (bulan)

Jumlah (n)

Dari Tabel 6 terlihat peningkatan SGPT, SGOT, fosfatase alkali dan bilirubin pada penderita dengan OAT (1–2 bulan) yang mempunyai berat badan kurang, tetapi tidak bermakna.

1-2 3-4 5-6

21 11 26

Tabel 7. Faal Hati Penderita Tb Paru dengan OAT (5–6 bulan) berdasarkan Faktor Umur

Faal Hati Penderita Tb Paru dan Orang Normal Lama Pengobatan

Faal Hati

SGOT SGPT Fosfatase alkali Bilirubin

1-2 bulan n=21

3-4 bulan n=11

5-6 bulan n=26

29,6 ± 13,8 36 ± 21,9 48 ± 50,8* 33,6 ± 25,6 38 ± 39,5 37,6 ± 27,4 151 ± 59,6 186,2 ± 67,2 199,4± 188,31 0,52 ± 0,30 0,52 ± 0,21 0,69 ± 0,43

Orang Normal n=30 23,5 ± 7 26,4 ± 9 98,7 ± 38 0,64 ± 24

Keterangan : * P < 0,05

Terlihat peningkatan SOOT, SGPT dan fosfatase alkali pada semua kelompok yang mendapatkan pengobatan OAT. Peningkatan SOOT yang bermakna didapatkan dan penderita yang mendapat pengobatan OAT 5–6 bulan (p < 0,05) (Tabel 3). Pada fase inisial (1 dan 2 bulan), pada penderita mendapat OAT yang berumur > 55 tahun terjadi peningkatan semua komponen faal hati yang diperiksa. Pada SGPT terjadi peningkatan yang bermakna (p <0,05). (Tabel 4)

16

Tabel 4. Faal Hati Penderita Th Paru dengan OAT (1–2 bulan) berdasarkan Faktor Umur

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

Faal Hati

Umur < 55 n = 14

Umur > 55 n=12

p

SGOT (u/1) SGPT (u/1) Fosfatase Alkali (u/1) Bilirubin (mg%)

34,9 ± 33,8 31,1 ± 21,5 224,9 ± 248,5 0,78 ± 0,56

63,3 ± 63,5 44 ± 34 176,2 ± 118,6 0,50± 0,2

< 0,05 < 0,05 > 0,05 > 0,05

Dari Tabel 7 terlihat peningkatan bermakna SOOT dan SGPT pada kelompok umur > 55 tahun. Tabel 8. Faal Hati Penderita Tb Paru dengan OAT (5–6 bulan) berdasarkan Faktor Anemia Faal Had SGOT (u/1) SGPT (u/1) Fosfatase Alkali (u/1) Bilirubin (mg%)

Hb < 12 g% n=7 58,3 ± 63,5 4,3,7 ± 35,5 216,9 ± 180,4 0,54 ± 0,3

Hb > 12 g% n = 19 35 ± 34,8 33,3 ± 18,9 180,4 ± 205,2 0,60± 0,4

P < 0,05 < 0,05 > 0,05 > 0,05

Dari Tabel 8 terlihat peningkatan SGOT, SGPT yang bermakna dan fosfatase alkali pada penderita Tb paru dengan OAT (5–6 bulan) yang mempunyai kadar Hb < 12%.

Tabel 9. Persentase Gangguan Faal Hati pada masing-masing Grup Pengobatan Grup Pengobatan

Persentase (%)

1 – 2 bulan 3 – 4 bulan 5 – 6 bulan

6 / 21 (28) 3 / 11 (27) 15 / 26 (57)

Dari Tabel 9 terlihat persentase gangguan faal hati terbanyak terjadi pada kelompok pengobatan 5 –6 bulan. PEMBAHASAN Obat-obatan anti tuberkulosis seperti INH, rifampisin, pirazinamid dan ethambutol mempunyai beberapa efek samping, dan yang ringan sampai yang berat. Efek samping yang patut diwaspadai adalah efek hepatotoksik. Hampir semua OAT mempunyai efek hepatotoksik kecuali streptomisin(8). Kerusakan sel hati bervariasi dan yang ringan asimptomatik sampai menimbulkan gejala serius akibat nekrosis sel hati. Pirazinamid yang sering dipakai untuk pengobatan jangka pendek Tb paru telah dilaporkan menyebabkan hepatitis(9). Peninggian SGOT dan SGPT merupakan gejala dini dari kelainan hati(10). Isoniazid atau INH merupakan obat yang hampir selalu digunakan dengan kombinasi obat anti tuberkulosis yang lain. Efek samping INH adalah neuropati perifer dan hepatotoksik. Efek hepatotoksik INH akan bertambah besar pada usia tua dan pada individu yang mempunyai asetilisasi cepat(11). Kerusakan hati diduga karena hasil metabolit INH berupa asetilhidrazin. Pada orang normal metabolit yang toksik lebih sedikit dari metabolit yang nontoksik. Kombinasi INH dengan rifampisin ternyata lebih toksik dan kombinasi INH dengan streptomisin(12) karena pada kombinasi tersebut dihasilkan lebih banyak metabout toksik. Rifampisin 85% sampai 90% dimetabolisme di hati. Sebagian besar dikeluarkan melalui saluran empedu, sekitar 10% penderita yang diberi rifampisin memperlihatkan peninggian serum transaminase, bilirubin dan retensi BSP(13). Rifampisin juga dapat menyebabkan peningkatan asimptomatik serum transaminase pada sebagian penderita di sampingjuga memperlihatkan efek khoIestatik(14). Rifampisin bekerja sinergis dengan INH pada hati, dapat menimbulkan ikterus dan peningkatan asimptomatik kadar enzim aspartat dan amino transaminase(15). Ethambutol yang digunakan sebagai pengganti PAS, menyebabkan efek samping minimal. Biasanya menimbulkan neuropati optik dengan keluhan kurang tajamnya penglihatan, jarang menimbulkan hepatitis(16,17). Studi ini mendapatkan peningkatan enzim transaminase dan fosfatase alkali asimptomatik, ini sesuai dengan hasil studi para peneliti lain. Peningkatan enzim faal hati tersebut dibanding dengan orang normal ternyata tidak bermakna, kecuali pada kelompok yang meridapat OAT 5 dan 6 bulan, peningkatan ini bermakna untuk enzim SGOT. Mengenai peranan umur, penulis mendapatkan pada umur lebih dan 55 tahun, terdapat peningkatan SGPT yang bermakna pada OAT I dan 2 bulan dan SGOT dan SGPT pada kelompok OAT 5 dan 6 bulan. Sehaliknya Zulkifli Amin (1993) pada

penelitiannya dengan kombinasi INH dan rifampisin tidak menemukan pengaruh umur tersebut pada usia di atas dan di bawah 35 tahun tenhadap faal hati penderita Tb yang mendapat OAT(18). Mengenai peranan anemi, penulis mendapatkan peningkatan SGPT yang bermakna pada kelompok penderita Tb paru plus anemi yang mendapat OAT 1 dan 2 bulan. Sedangkan peningkatan enzim lainnya pada kelompok tersebut, tidak bermakna. Dan hasil ini didapat kesan SGPT lebih sensitif dibanding faal hati yang lain. Pada kelompok penderita Tb plus anemi yang mendapat OAT 5 dan 6 bulan, terjadi peningkatan bermakna enzim SGOT dan SGPT tapi peningkatan ini tidak sampai 2 kali lipat nilai normal. Pada penderita Th paru dengan berat badan kurang yang mendapat OAT terjadi peningkatan semua komponen faal hati yang diperiksa, tetapi tidak bermakna. Telah ada laporan bahwa tidak ada pengaruh malnutnisi dan anemia pada pasien-pasien yang mendapatkan kombinasi OAT(19). Pada penelitian ini persentase peningkatan faal hati pada kelompok Tb paru dengan OAT 5 dan 6 bulan relatif lebih tinggi yaitu sekitar 57% tapi peningkatan ini tidak melebihi dua kali nilai normal. Tidak ada hepatitis toksik yang manifes. RINGKASAN Telah dilakukan evaluasi faal paru pada penderita Th paru yang mendapat OAT, yang berobat jalan pada Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Jamil Padang. Dan 58 orang penderita yang mendapat pengobatan kombinasi INH, nifampisin dan ethambutol, terjadi peningkatan komponen faal hati pada kelompok pengobatan I dan 2 bulan, 3 dan 4 bulan, 5 dan 6 bulan. Insiden peningkatan yang tertinggi terjadi pada kelompok 5 dan 6 bulan (57%). Tapi peningkatan ini tidak melebihi dua kali nilai normal. Di samping itu juga didapat kesan adanya peranan faktor umur yang lanjut dan anemia untuk terjadi peningkatan faal hati ini. Pemberian OAT pada penderita Tb paru disanankan tetap diwaspadai dan faal hati diperiksa secara reguler, terutama pada yang lanjut usia dan penderita anemia.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Home N. Tuberculosis. Medicine International 1986; 2: 1490–98. Zulkarnain Arsyad. Tuberculosis manifestations in Dr. M. Jamil Hospital Andalas University Padang Indonesia. In: Abstr 17th Eastern Regional Conference on Tuberculosis and Respiratory Diseasis. Bangkok, 1993. Angel JH, Sommer AR, Citron MK. Toxicity of antituberculosis drug with special reference to hepatotoxicity. Bull IUAT 1979; 54(47). Sherlock S. Diseases of the Liver and Billiary System. 6th ed. London: Blackwell Scient PubI. 1981; 295. Stead WW, Dutt AK. Chemotherapy of tuberculosis today. Am. Rev. Res. Dis. 1982; 125: 94–101. Van Arsdel. Adverse drug reaction, in: Medleton’s Allergy principles and practice 1st ed. St Louis: The Mosby Co. 1978; 1133. Riscaetal. Predisposing factors in hepatitis induced by isoniazid rifampicin treatment of tuberculosis. Am. Rev. Resp. Dis. 1978; 118: 146–466. Mitchison DA. Treatment of tuberculosis. The Mitchell Lecture. London 1980; 14:91. Pilheu JA et al. Liver alterations in antituberculosis regiments containing

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

17

pyrazinamid. Chest 1981; 80: 720. 10. Citron K, Sommer A, Angel J. Short. duration chemotherapy in pulmonary tuberculosis; the occurence of hepatitis in six month regimens containing pyrazinamid as well as nfampicin.Am Rev Respir. Dis. 1980; 121: 452. 11. Fox W. Current status of short course chemotherapy. Bull IUAT 1978; 53: 268. 12. Zimmerman HJ, Maddrey WC. Toxic and drug induced hepatitis. In: Diseases of the liver, (Eds). Schiff. C, Schiff ER. 5th ed. Philadelphia Toronto: JB. Lippincott Co. 1982. 13. StrickerCH, SpealstraP. Drug induced hepatic injury. Amsterdam, Elsevier Science PubI. 1985. 14. Dutt AK. Short course chemotherapy. The Arkansas experience. Chest

18

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

1981; 80: 727. 15. Snider D et al. Prelimenary result of six months regimens studied in United States and in Poland. Chest 1980; 80: 727. 16. Postlewaite AE et al. Hyperuricemia due to ethambutol N. Engl. J. Med. 1972; 286: 761. 17. Narang RKet al. Hyperuricemiainducedby ethambutol. Br. J. Chest 1985; 77: 403. 18. Zulkifli Amin. The Influence of Isoniazid and Rifampicin toward liver function. In: Abstr 17th Eastern Regional Conference on Tuberculosis and Respiratory Diseases. Bangkok, 1993. 19. Aziz S. et al. Hepatotoxicity to different antituberculosis drug combinations. JPMA 1990; 40: 290.

ULASAN

Program Imunisasi Masal Hepatitis B di Indonesia Dr. H. Nuchsan Umar Lubis, DSA Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur

PENDAHULUAN Dikembangkannya program Imunisasi Hepatitis B didasarkan pada kenyataan bahwa program Imunisasi Dasar (BCG, DPT, Polio dan Campak) telah mencapai Universal Child Immunization (UCI), yang berarti secara nasional telah dicakup lebih dari 80% sasaran 5 juta bayi untuk imunisasi dasar lengkap tersebut, hal ini didasarkan tingginya kesadaran masyarakat terhadap program Imunisasi serta mantapnya program Imunisasi. Dengan demikian adopsi hepatitis B ke dalam program Imunisasi rutin yang ada tidak akan menjadi masalah. WHO mentargetkan bahwa pada tahun 2000, masalah hepatitis B di dunia sudah dapat diatasi. Program Imunisasi Dasar hepatitis, adalah untuk proteksi, membentuk anti HBs untuk mencegah penularan infeksi hepatitis B(1,2). TUJUAN PROGRAM Secara umum program imunisasi hepatitis B bertujuan menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh infeksi hepatitis B dan akibat lanjut darinya, dengan memberi kekebalan kepada bayi sedini mungkin. Secara khusus program imunisasi hepatitis B bertujuan(1) : a) mencegah infeksi hepatitis pada bayi; penularan vertikal akan melahirkan bayi yang menjadi pengidap dan merupakan sumber penularan (Robinson dkk, 1984); bayi-bayi tersebut akan menderita cirrhosis dan hepatoma di kemudian hari. b) mencegah pengidap penyakit hepatitis B; apabila anak sudah tertular dan menjadi pengidap hepatitis B maka upaya pencegahan akan sia-sia belaka. Pencegahan harus diarahkan terhadap bayi baru lahir.

POLA PENULARAN VIRUS HEPATITIS B(3,4,5) 1) Secara vertikal: Penularan dan ibu ke anak terjadi: a) di dalam rahim (intrauterin), b) pada saat persalinan (intrapartum), dan c) pasca persalman (postpartum). Bayi yang dilahirkan dan ibu yang HBsAg + HBs AgE + akan menderita hepatitis B. Infeksi hepatitis B pada bayi ini tanpa gejala klinis yang menonjol; keadaan ini menyebabkan ibu menjadi lengah dan lupa untuk membuat upaya pencegahan. 2) Secara horizontal Transmisi yang paling sering terjadi akibat transfusi darah, jarum suntik, hubungan intim dengan carrier, dan lain-lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan respon anti HBs(2,4) : a) Umur Respon pembentukan anti HBs pada anak dan dewasa muda jauh lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa yang berumur di atas 40 tahun. b) Jenis kelamin Respon wanita lebih baik dan laki-laki (Warmer dkk, 1983). c) Faktor immunologis Penderita gangguan imunitas sekunder terbukti mempunyai respon pembentukan anti HBs yang lemah, misalnya penderita hemodialisa kronik. d) Tempat dan cara pemberian Karena tebalnya lemak subkutan di bokong, maka cara pemberian imunisasi di bokong memberikan respon pembentukan antibodi yang lebih rendah dibandingkan pemberian di deltoideus.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

19

Vaksin hepatitis terbuat dan plasma darah atau recombinant DNA; bila disimpan pada. suhu 2°C – 8°C akan memberikan perlindungan 95%. Tidak boleh beku karena merusak potensinya. Stabil tahan 30 hari pada suhu 37°C – 45°C. Efek samping vaksinasi boleh dikatakan tidak ada, kadang kadang nyeri pada tempat suntikan. JADWAL IMMUNISASI(1,4) Vaksin hepatitis B diberikan pada mereka yang belum pernah terinfeksi dengan hepatitis. Tabel 1.

Dosis dan Jadwal Vaksinasi Hepatitis Grup

Initial

1 bulan

6 bulan

Bayi dan anak ≤ 10 tahun

10 mg (0,5 ml) 20 mg (1,0 ml)

10 mg (0,5 ml) 20 mg (1,0 ml)

10 mg (0,5 ml) 20 mg (1,0 ml)

Anak > 10 tahun dan orang dewasa Tabel 2. Umur 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 7 bulan 9 bulan Tabel 3.

Beberapa faktor kunci yang menunjang keberhasilan program imunisasi hepatitis B 1) Kelancaran penyediaan dan distribusi vaksin. 2) Pelatihan seluruh petugas Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten, Puskesmas dan Kader. 3) Penyuluhan tentang pencegahan penyakit hepatitis B ke seluruh desa, petugas imunisasi, kader dan jajaran pemerintah daerah. KESIMPULAN Program Imunisasi Hepatitis secara massal harus segera dilakukan untuk mencegah timbulnya carrier, namun mengingat keterbatasan dana, belum bisa serentak dilakukan di Indonesia. Mulai tahun 1996, semua bayi akan mendapatkan Imunisasi Hepatitis B secara cuma-cuma.

Imunisasi bagi Bayi yang Dilahirkan di Rumah Sakit Antigen HB1, BCG HB2, DPT, Polio 1 DPT2, Polio 2 DPT, Polio 3 HB, (atau bersama dengan campak pada usia 9 bulan) Campak Jadwal Imunisasi bagi Bayi yang Datang ke Posyandu/Puskesmas Umur 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan

Antigen BCG, Polio 1, DPT, HB,, Polio 2, DPT2 HB2, Polio 2, DPT, HB, Campak

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kadun N. Program vaksinasi massal hepatitis B di Indonesia, MDK 1992; 11: 19–23. World Health Organization. Hepatitis B vaccination attacking pandemic. Geneva: WHO 1989. Angsar DM. Hepatitis Virus pada kehamilan. Cermin Dunia Kedokt. 1979; 15: 13–5. Soeparman AK. Vaksinasi profilaksis terhadap hepatitis B. Cermin Dunia Kedokt. 1985; 40: 37–40. Tandra H. Hepatitis pada kehamilan. Cermin Dunia Kedokt. 1991; 68: 16–7. Supadmi LP dkk. Daya lindung program Immunisasi dasar hepatitis B di RSUP Sanglah Bali. Wahana Medik 1993; 21: 29–32.

He knows the water the best who has waded through it

20

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penyakit Hati pada Kehamilan A.B. Wardoyo, DSPD Semarang

PENDAHULUAN Penyakit hati jarang terjadi pada wanita hamil. Ikterus pada kehamilan timbul pada kira-kira 1 dan 1.500 kehamilan atau 0,067%(1-4). Ikterus pada kehamilan dapat disebabkan karena(1) : A) Ikterus yang terjadi karena kehamilan : 1) Perlemakan hati akut. 2) Toksemia. 3) Kolestasis intrahepatik. 4) Hiperemesis gravidarum. B) Ikterus yang terjadi bersama kehamilan : 1) Hepatitis virus. 2) Batu empedu. 3) Pemakaian obat-obatan hepatotoksik. 4) Sirosis hati. Kira-kira 41% ikterus pada kehamilan disebabkan karena hepatitis virus, 21% karena kolestasis intrahepatik dan 6% karena batu empedu, sedangkan penyebab lainnya Ieb jarang ditemukan(1,3). Adanya ikterus pada kehamilan dapat menyebabkan terjadi nya prematuritas, dan ini terjadi pada sekitar 20% dan ibu yang ikterus; meskipun demikian prematuritas tidak berhubungan dengan lamanya ikterus, kadar bilirubin serum, atau beratnya gejala klinis; sedangkan kematian bayi tergantung dan derajat prematuritasnya(1). Selanjutnya akan dibahas beberapa penyakit hati pada wanita hamil. FAAL HATI PADA KEHAMILAN NORMAL Faal hati selama kehamilan normal dapat dikatakan tidak berubah. Karena pengaruh kenaikan kadar estrogen, spider naevi dan eritema palmaris dapat ditemukan pada kira-kira 60% wanita hamil normal, kebanyakan pada wanita hamil berkulit putih dan

sedikit pada kulit berwarna. Kedua perubahan ini akan menghilang dalam waktu 4–6 minggu setelah melahirkan(1-4). Hati yang normal biasanya tidak teraba selama kehamilan. Hati yang teraba mungkin didasari karena penyakit hati atau kegagalan jantung(2,4). Selama kehamilan kadar bilirubin serum biasanya normal, pada sebagian kecil wanita hamil terdapat peningkatan bilirubin yang ringan, tetapi dengan kadar total kurang dan 2 mg%, hal ini mungkin karena peningkatan metabolisme hemoglobin(2,3). Enzim fosfatase alkali dalam serum kadarnya akan naik secara lambat sampai bulan ke tujuh kehamilan dan akan naik lebih cepat serta mencapai puncaknya pada bulan ke sembilan, tetapi kadarnyajarang melebihi dua kali batas atas normal; peningkatan ini disebabkan karena produksi sinsisiotrofoblast di plasenta. Kadar enzim ini akan kembali normal setelah 2–8 minggu post partum(2,4). Enzim-enzim lainnya, yaitu glutamic oxaloacetic transaminase (GOT), glutamic pyruvic transaminase (GPT), gamma glutamyl transpeptidase (Gamma GT), serta 5-nucleotidase (5NT) kadarnya masih tetap normal selama masa kehamilan(1,3,4). Kadar protein total dalam serum jarang turun sampai di bawah 6 g%, perubahan ini disebabkan karena penurunan relatif kadar albumin serum akibat peningkatan volume plasma (dilusi) selama kehamilan(2,4,5). Globulin dalam serum akan meningkat demikian juga fibrinogen. Dengan pemeriksaan elektroforesis, tampak globulin alfa dan beta meningkat, sedangkan globulin gama sedikit menurun(1,3). Kolesterol total serum kadarnya meningkat sejak bulan ke empat kehamilan, mencapai puncaknya sekitar 250 mg% pada bulan ke delapan, tetapi jarang melebihi 400 mg%(4). Pada sebagian kecil wanita hamil ekskresi bromsulphalein (BSP) dapat sedikit terganggu pada trimester ketiga, yang akan cepat normal kembali pada awal masa nifas(1,3,4).

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

21

Pemeriksaan biopsi hati pada wanita hamil yang normal tidak menunjukkan kelainan histologik, atau kadang-kadang hanya tampak perubahan minimal yang tidak spesifik berupa perbedaan ukuran hepatosit, bertambah besarnya inti sd, infiltrasi limfosit yang sangat ringan pada daerah portal serta peningkatan retikulum endoplasmik. Aliran darah ke hati biasanya juga tidak mengalami perubahan yang berarti(1). PERLEMAKAN HATI AKUT Perlemakan hati akut pada kehamilan (acute fatty liver of pregnancy) pertama kali dilaporkan oleh Sheehan pada tahun 1940, disebut juga acute fatty metamorphosis of pregnancy atau obstetric acute yellow atrophy(3,4). Penyakit ini jarang dijumpai(3,4,6), dari laporan-laporan yang ada, sampai tahun 1983 hanya baru ditemukan 100 kasus dengan angka kematian maternal dan janin masing-masing sebesar 75% dan 85%(2). Meskipun dapat mengenai semua umur, penyakit ini sebagian besar diderita oleh primigravida muda dan hampir selalu dalam trimester akhir, terutama pada kehamilan antara 32 sampai 40 minggu, tidak pernah timbul sebelum minggu ke tiga puluh(4,6,7). Penyebab penyakit m masih belum diketahui(6). Mungkin disebabkan karena reaksi kepekaan berlebihan terhadap suatu zat yang dihasilkan oleh kesatuan feto-p1asenta Malnutrisi diduga mempermudah terjadinya penyakit ini(1,3,8). Kelainan morfologinya hampir mirip dengan kelainan pada keracunan tetrasiklin dan sindrom Reye. Secara makroskopis tampak hati mengecil, lunak dan berwarna kuning. Sedangkan kelainan histologisnya berupa infiltrasi lemak intraseluler (mikrovesikel) yang distribusinya sentrilobuler, kecuali hepatosit di daerah periportal yang biasanya masih tampak normal,juga tidak didapatkan adanya tanda-tanda nekrosis maupun reaksi inflamasi yang luas; infiltrasi lemak mungkin juga terlihat di pankreas, ginjal, otak dan sumsum tulang(2,6,7). Penyakit ini onsetnya mendadak, gej ala klipis yang timbul dapat berupa malaise, anoreksi, nausea, vomitus, nyeri epigastrik, ikterus, hematemesis dan perdarahan lainnya, ensefalopati hepatik dan gagal ginjal. Penyakit ini sering disertai dengan pankreatitis akut dan kadang-kadang disertai juga dengan toksemia dan koagulasi intra vaskuler (DIC). Biasanya terjadi partus prematur dan bayinya lahir mati, kematian ibu biasanya terjadi pada hari ke tiga sampai empat minggu sejak onset, karena hipoglikemi, ensefalopati, perdarahan, infeksi dan gagal ginjal(1,2,4,6,7). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kenaikan kadar bilirubin serum (biasanya di bawah 10 mg%), SGOT (biasanya kurang dan 500 IU), fosfatase alkali, asam urat, amonia dan ureum. Sedangkan kadar gula darah, albumin, kolesterol dan protrombin akan menurun. Pada pemeriksaan darah tepi akan didapatkan leukositosis dan trombositopenia(1,2,6,7). Diagnosis pasti berdasarkan hasil biopsi hati, tetapi hal ini sering tidak dapat dilaksanakan karena adanya gangguan pembekuan darah(2). Diagnosis bandingnya adalah hepatitis fulminan, pankreatitis dan kolesistitis(8).

22

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

Karenaetiologinya belumdiketahui, makapengobatan yang diberikan bersifat suportif. Pengobatan ini secara umum sesuai dengan pengobatan gagal hati dan ginjal. Di samping itu timbulnya hipoglikemi dan gangguan pembekuan darah harus selalu diwaspadai sehingga dapat segera dikoreksi(1,2,7,8). Penatalaksanaan obstetrik masih kontroversial(1). Beberapa penulis(3,6) menyatakan bahwa seksio sesar dini dengan anestesi epidural adalah pilihan yang terbaik bagi harapan hidup ibu serta janinnya, sedangkan penulis-penulis lain(4,7) menyatakan bahwa tindakan pengakhiran kehamilan tersebut tidak berpengaruh terhadap prognosis ibunya. Berdasarkan pengamatan lebih lanjut, ternyata penyakit ini tidak terulang lagi pada kehamilan berikutnya(7). TOKSEMIA GRAVIDARUM Keadaan ini dapat disertai kelainan faal hati berupa kenaikan kadar fosfatase alkali dan transaminase dalam serum, sedangkan ikterusjarang timbul, hanya terjadi pada keadaan berat, yaitu karena koagulasi intravaskuler (DIC) dengan hemolisis dan nekrosis hati(1,8). Gambaran histopatologis menampakkan adanya trombi fibrin dalam sinusoid di periportal disertai tanda-tanda perdarahan serta nekrosis, sedangkan tanda-tanda mnflamasi tidak ada(3,4). Perdarahan intrahepatik dan subkapsuler menimbulkan keluhan nyeri epigastrik atau nyeri perut kuadran kanan atas; meskipunjarang terjadi, ruptur spontan hati yang mengakibatkan perdarahan intra peritoneal dan syok memerlukan tindakan bedah darurat(4,6,9). Umumnya tidak ada pengobatan khusus terhadap kelainan faal hati yang terjadi pada toksemia gravidarum; terminasi kehamilan akan memperbaiki keadaan klinis dan histopatologisnya(3). KOLESTASIS INTRAHEPATIK Kolestasis intrahepatik pada kehamilan (intrahepatic cholestasis of pregnancy) sering disebutjuga dengan istilah idiopathic cholestasis of pregnancy dan recurrent cholestasis of pregnancy(1,4,9). Insiden penyakit ini berkisar antara 1/100 sampai 1/10.000 kehamilan, relatif lebih banyak terdapat di Scandinavia dan Chile, mungkin karena adanya variasi geografik(3,6). Penyakit ini biasanya terjadi pada trimester akhir, tetapi dapat juga terjadi pada awal kehamilan. Penyebabnya belum diketahui, mungkin disebabkan karena gangguan metabolisme estrogen; hal ini dihubungkan dengan kejadian ikterus pada wanita pemakai obat kontrasepsi oral, penderita yang pada waktu hamil menderita kolestasis akan menderita gejala yang sama bila minum pil kontrasepsi. Faktorgenetik tampaknya juga berperan, 50% penderita mempunyai keluarga dekat dengan riwayat penyakit yang sama(1,2,4). Pruritus yang kadang-kadang sangat berat adalah keluhan utama dan gejala klinis yang sering timbul paling awal, akibat kenaikan kadar asam empedu dalam serum. Pruritus dirasakan di seluruh tubuh dan biasanya bertambah berat pada malam dan dini hari(2,4,6). Pada keadaan ringan, pruritus mungkin tidak disertai dengan

ikterus(1,3). Bila keadaan terus berkembang, maka kira-kira 1 minggu setelah timbulnya pruritus akan tampak adanya ikterus, urine berwarna seperti air teh dan tinja kadang-kadang berwarna agak pucak(2,6). Ikterus biasanya ringan, menetap sampai melahirkan dan menghilang 1–2 minggu setelah melahirkan(1,4). Gejala klinis Iainnya adalah malaise, nausea, vomitus dan nyeri epigastrik. Hati serta limpa biasanya tidak teraba(3,6). Kadar bilirubin direk biasanya naik, tapi umumnya kurang dari 5–6 mg%, demikian pula halnya dengan kadar transaminase (3–4 kali normal), fosfatase alkali (2 kali normal), gamma GT dan asam empedu (10–100 kali normal) dalam serum, sedangkan waktu protrombin akan memanjang(2,3,4,6). Pada pemeriksaan histopatologis hati, tampak gambaran kolestasis sentrilobuler ringan di sekitar vena sentralis tanpa tanda-tanda reaksi inflamasi dan nekrosis sel hati; kanalikuli empedu mengandung banyak pigmen empedu dan sedikit melebar(3,4,9). Tidak ada pengobatan dan perawatan khusus untuk penyakit ini. Antihistamin atau kolestiramin (12–24 g/hari) untuk mengikat garam empedu dapat mengurangi pruritus; vitamin K (10 mg/hari) dapat diberikan bila terjadi perpanjangan waktu protrombin, dan untuk mencegah perdarahan post partum(1,6). Menurut beberapa peneliti, seperti yang dikutip oleh Douvas dkk(2) dan Miller(3), induksi persalinan perlu dipertimbangkan setelah kehamilan 37 minggu, mengingat makin tingginya kemungkinan fetal distress dan kematian perinatal. Penyakit ini akan timbul lagi pada kehamilan yang berikut nya(9). HIPEREMESIS GRAVIDARUM Nausea dan vomitus adalah gejala klinis hiperemesis gravi darum, biasanya terjadi pada kehamilan bulan ke dua sampai ke empat, muntah-muntah yang hebat akan menyebabkan dehidrasi, asidosis karena kelaparan, alkalosis karena kehilangan asam hidroklorik dan hipoka1emia(9). Penyakit ini dapat menyebabkan peningkatan kadar transaminase, retensi BSP, infiltrasi lemak pada hati, ikterus jarang terjadi dan biasanya ringan(6,8,9). Semua kelainan pada hati tersebut akan normal kembali dengan memperbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa tubuh(9). HEPATITIS VIRUS Hepatitis virus (HV) adalah penyebab ikterus yang terbanyak pada wanita hamil, kira-kira 41%(1,3,4,6). Pada wanita hamil kemungkinan untuk terkena HV sama dengan wanita tidak hamil pada usia yang samadan dapat terjadi pada semua trimester kehamilan(1,10,11). Di Kashmir India (1978) insidens HV pada wanita hamil sebesar 16,82%, timbulnya pada trimester pertama, ke dua dan ke tiga masing-masing sebesar 8,3%; 4 1,7% dan 50%(10). Di RS Dr. Kariadi Semarang tahun 1982–1986, insidens HV pada wanita hamil sebesar 6,85%, ditemukan 10,5% pada trimester pertama; 23,7% pada trimester ke dua dan 65,8% pada trimester ke tiga(12).

Dalam hal penyebabnya, Hieber dkk(11) di Dallas Amerika Serikat tahun 1970–1974 mendapatkan virus hepatitis (VH) B sebesar 40% dan VH non B sebesar 60% sebagai penyebab HV pada wanita hamil. Sedangkan Pratiknyo(12) menemukan bahwa HV pada wanita hamil 45,4% karena infeksi VHB dan 54,6% karena VH non B. Semula disangka bahwa infeksi VH selama kehamilan lebih berat dibanding wanita yang tidak hamil. Namun bukti-bukti selanjutnya membantah pendapat tersebut. Tampaknya keadaan nutnisi yang mempengaruhi prognosis ibu hamil tersebut(1,3,4,13). HV yang terjadi pada trimester ke tiga gejalanya relatif lebih berat dan gejala yang timbul pada trimester sebelumnya maupun pada wanita yang tidak hamil. Pada trimester inilah nekrosis hati akut dengan gejala hepatitis fulminan sering terjadi sehingga menimbulkan mortalitas ibu yang sangat tinggi. Gizi yang buruk, khususnya defisiensi faktor lipotropik, disertai dengan peningkatan kebutuhan protein untuk pertumbuhan janin, menyebabkan gejala infeksi VH pada kehamilan lebih berat(1,3,4,13). Dari beberapa laporan yang ada, Douvas dkk(2) tidak menemukan adanya kenaikan yang bermakna dalam hal terjadinya abortus, kelahiran mati, retardasi pertumbuhan intrauterin dan malformasi kongenital akibat infeksi VH. Sedangkan kelahiran prematur naik antara 15–35% lebih tinggi daripada wanita hamil yang tidak terkena HV. Prematunitas ini mungkin disebabkan karena keadaan penyakitnya yang berat atau karena pengaruh virus pada janin atau plasenta, atau mungkin juga karena ikterus. Ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa kenaikan kadar asam empedu dan asam lemak bebas bersama dengan timbulnya ikterus, dapat menaikkan tonus uterus dan memulai persalinan. Persoalan yang banyak dibicarakan saat ini adalah penularan VHB dan ibu terhadap bayinya. Penularan infeksi VHB dan ibu dengan HBsAg (+) kepada bayi yang dilahirkannya disebut sebagai cara penularan ventikal. Sebagian besar penularan vertikal terjadi pada saat kelahinan karena banyaknya lesi kulit bayi akan merupakan tempat masuknya pàrtikel VHB yang berasal dari darah ibu ke dalam tubuh bayi; cara penularan ini disebut sebagai cara penularan perinatal atau penularan maternal-neonatal. Sebagian kecil penularan vertikal terjadi dalam kandungan atau penularan in utero, atau penulanan transplasental(14). Pada penularan perinatal dari ibu yang menderita HVB akut agaknya periode umur kehamilan memegang penanan yang penting; jika infeksi terjadi pada 2 trimester pertama, maka penularan jarang terjadi, hanya kurang dari 10%, sedangkan jika terjadi pada trimester ke tiga, maka penularannya menjadi lebih sering, sampai mencapai 76%(15). Penularan perinatal ini merupakan masalah yang besar di negara-negara dengan prevalensi HBeAg yang tinggi. Jika pada ibu hamil dengan HBsAg (+) dan HBeAg (+), maka kemungkinan bayinya akan kejangkitan infeksi sebesar 90%, tetapi jika HBeAg-nya (–) atau anti HBe-nya (+), maka daya penularannya menjadi hanya 4%. Adanya HBeAg pada ibu memegang peranan penting untuk penularan terhadap bayinya(14,15). Kekerapan penularan yang selalu tinggi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita HVB akut mungkin karena semua kasus

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

23

mengandung HBeAg pada permulaan perjalanan penyakitnya(15). Gejala klinis, gambaran laboratoris dan histopatologis serta penatalaksanaan HV pada.wanita hamil tidak berbeda dengan HV pada umumnya(1,4,10), berupa anoreksia, nausea, vomitus, malaise, kadang-kadang nyeri otot, demam ringan, ikterus, nyeri perut kanan atas dan hepotomegali(2). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kenaikan kadar bilirubin serta transaminase serum. Gambaran histopatologisnya berupa nekrosis sel hati sentrilobuler dengan infiltrasi sel radang di daerah portal, sedangkan kerangka retikulum masih baik(1). Terjadinya hepatitis fulminan hans dipikirkan pada setiap kasus HV akut dengan timbulnya tanda-tanda ensefalopati hepatik pada fase akut. Kadar bilirubin serum akan naik secara progresif, dengan kadar transaminase serum yang sangat tinggi dan perpanj angan waktu protrombin(14). Penatalaksanaan secara konservatif merupakan terapi pilihan untuk penderita HV dengan kehamilan. Penderita hams tirah baring di rumah sakit sampai gejala ikterusnya hilang dan kadar bilirubin serum menjadi normal, makanan yang diberikan mengandung kaya kalori dan protein. Obat-obatan yang hepatoksik harus dihindari. Bila diduga akan terjadi perdarahan postpartum karena defisiensi faktor pembekuan darah, maka perlu diberikan vitamin K dan transfusi plasma. Keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhastikan(2,3,4). Apabila terdapat tanda-tanda yang menjurus ke arah hepatitis fulminan, diet penderita harus diganti dengan rendah atau tanpa protein, juga dilakukan tindakan sterilisasi usus serta tindakan suportif lainnya. Penggunaan kortikosteroid tidak bermanfaat. Prognosisnya buruk dengan angka kematian lebih dari 85%(2,14). BATU EMPEDU Batu empedu 2–3 kali lebih banyak terdapat pada wanita dibanding pria, khususnya pada usia di bawah 50 tahun(1,9). Dalam penelitian tentang kinetika kandung empedu selama kehamilan, Braverman dkk, seperti yang dikutip oleh Pritchard dkk(9), menjumpai bahwa setelah trimester pertama volume kandung empedu selama puasa dan volume residual setelah kontraksi sebagai respons terhadap test makan, dua kali lebih besar daripada wanita tidak hamil; pengosongan yang tidak sempurna dapat menyebabkan retensi kristal-kristal kolesterol; hal ini menyokong pendapat bahwa kehamilan meningkatkan risiko batu empedu; diduga bahwa kadar progesteron yang sangat tinggi pada trimester ke dua dan ke tiga bertanggung jawab terhadap berkurangnya aktivitas kandung empedu. Meskipun demikian ikterus karena batu empedu jarang terjadi selama kehamilan, hanya kira-kira 6% dan penyebab ikterus pada kehamilan(1,2,3). Gejala klinis dan penatalaksanaan kolesistitis akut karena batu empedu pada wanita hamil tidak berbeda dengan pada waktu tidak hamil. Jika diperlukan, kolesistektomi dapat dilakukan pada waktu yang optimal yaitu dalam trimester ke dua, untuk mengurangi risiko abortus atau partus imatur, di samping itu ukuran uterus belum terlalu besar, sehingga kurang mengganggu teknik operasi(2,3,9).

24

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

PEMAKAIAN OBAT-OBATAN HEPATOTOKSIK Sama seperti wanita yang tidak hamil, pada wanita hamil dapat terjadi hepatitis toksik karena pemakaian obat-obatan yang dapat mengakibatkan kolestasis (Tabel 1). Tabel 1.

Obat-obatan yang Dapat Menyebabkan Kolestasis Intrahepatik(5)

Chlorpromazine Methyltestosterone Oral contraceptives Arsphenamines Sulfanilamide Thiouracil Neocinchophen Indomethacin Griseofulvin Nitrofurantoin

Methimazole Chlorpropamide Tolbutamide Chlordiazepoxide Imipramine, desipramine Meprobamate Carbamazepine Chlorothiazide Phenindione Pyribenzamine

Pemakaian obat-obat tersebut dapat menambah ikterus pada bayi baru lahir, demikian juga pada pemakaian fenasetin, dapat menyebabkan ikterus pada bayi yang menderita defisiensi enzim G-6-PD(1). Ikterus pada hepatitis karena obat ini biasanya akan menghilang setelah 3–6 minggu penghentian obatnya(5). SIROSIS HATI Pengaruh hepatitis kronik aktif pada kehamilan tergantung pada intensitas proses penyakitnya(9). Peningkatan insidens infertilitas dan komplikasi obstetrik selama kehamilan selaras dengan berat penyakitnya(2,9). Sedangkan kehamilannya sendiri tidak memperburuk fungsi hati(1). Suatu pengamatan terhadap 37 penderita hepatitis kronik, menemukan 17 di antaranya amenore dan 21 danpadanya tidak dapat hamif; agaknya karena anovulasi. Dalam beberapa penelitian lainnya ditemukan mortalitas janin sebesar 17–50%. Sedangkan komplikasi obstetrik yang sering dijimpai adalah toksemia dan yang lebih berat lagi adalab kegagalan faal hati serta perdarahan post partum(2). Adanya hepatitis kronik aktif bukan merupakan indikasi untuk tindakan abortus(9). Pengobatan kortikosteroid dengan atau tanpa azatioprin pada penderita hepatitis kronis selama kehamilan dapat diteruskan. Dalam pengamatan Whelton dan Sherlock(16) pada 5 penderita hepatitis kronik aktif autoimun yang mendapat kortikosteroid selama kehamilan, ternyata 3 orang melahirkan secara normal, seorang dengan seksio sesar dan seorang lainnya mengalami abortus, sedangkan 4 bayi yang dilahirkan semuanya sehat. Kehamilan pada penderita sirosis hati jarang terjadi karena usia penderita yang biasa sudah lanjut dan karena sirosis hati mengurangi kesuburan, yaitu sering menyebabkan amenore dan siklus haid tanpa ovulasi(1,4,9,16). Menurut Cheng dan Schreyer, seperti yang dikutip oleh Pritchard dkk(9), kehamilan pada penderita sirosis hati akan meninggikan angka kematian perinatal dan maternal; sedangkan menurut Whelton serta Sherlock(16), dari beberapa jenis sirosis hati pada kehamilan, maka sirosis bilier mempunyai prognosis yang tampaknya lebih baik di lainnya. Pengelolaan penderita sirosis hati yang hamil tidak berbeda

dengan penderita yang tidak hamil. Persalinan spontan sebaiknya dipercepat dengan bantuan cunam untuk mengurangi kenaikan tekanan pada varises esofagus. Penggunaan anestesi umum sedapat mungkin dihindari(3).

diketahui, terutama pada trimester yang ke tiga, seperti peningkatan fosfatase alkali, globulin dan kolesterol; serta penurunan albumin. KEPUSTAKAAN

LAIN-LAIN Hanya sedikit diketahui tentang pengaruh kehamilan pada penderita hiperbilirubinemia non-hemolitik familial. Pada sindrom Dubin-Johnson dan Rotor, kehamilan cenderung memperberat penyakitnya, sehingga dapat timbul ikterus yang ringan. Sedangkan pada sindrom Gilbert, ikterusnya dapat berkurang karena peningkatan enzim glukuronil transferase selama kehamilan(1,3). Ada beberapa laporan tentang sindrom Budd-Chiari yang terjadi pada kehamilan, dan seperti pada beberapa wanita pemakai obat kontrasepsi oral, hiperkoagulasi karena pengaruh estrogen mungkin sebagai penyebab penyakit ini. Prognosis terhadap ibu dan bayinya kurang baik, meskipun pada sebagian besar kasus biasanya timbul waktu post partum, sehingga tidak mempengaruhi bayinya(6).

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

RINGKASAN Telah dibahas beberapa penyakit hati yang dapat timbul pada wanita hamil. Terjadinya ikterus pada wanita hamil dapat disebabkan karena proses kehamilan, seperti perlemakan hati akut, toksemia, kolestasis intrahepatik dan hiperemesis gravidarum; dapat juga terjadi bersama dengan suatu kehamilan, seperti hepatitis virus, barn empedu, pemakaian obat-obatan hepatotoksik serta sirosis hati. Penyebab ikterus pada kehamilan yang terbanyak adalah hepatitis virus, kemudian disusul berturut-turut dengan kolestasis intrahepatik dan batu empedu. Beberapa perubahan faal hati selama kehamilan perlu

11. 12. 13. 14.

15. 16.

Sherlock S. Diseases of the liver and biliary system. 6th ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1981; 400–5. Dotivas SG, Meeks GR, Phillips O, Momson JC, Walker LA. Liver disease in pregnancy. Obstetrical and Gynecological Survey 1983; 38: 831–6. Miller JP. Diseases of the liver and alimentary tract. Clin Obstet Gynecol 1977; 4: 297–304. Geall MG, Webb MJ. Liver disease in pregnancy. Med Clin North Am 1974; 58: 8 17–22. Bynum TE. Hepatic and gastrointestinal disorders in pregnancy. Med Clin North Am 1977; 61: 129–33. Wright R. Liver disease in pregnancy. Medicine International 1986; 2: 1210–1. MacKenna J, Pupkin M, Crenshaw C, McLeod M, Parker RT. Acute fatty metamorphosis of the liver. Am J Obstet Gynecol 1977; 127: 400–4. MalikT.Jauadice in pregnancy. In: Hamdani SAR, ed. Symposium Liver Disease. Bahawalpur: Hamdard Foundation Press, 1984; 12–5. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics. 7th ed. Connecticut: Appleton-Century-Crofts, 1986; 611–5. Khuroo MS, Teli MR, Skidmore S. Sofi MA, Khuroo MI. Incidence and severity of viral hepatitis in pregnancy. Am J Med 1981; 70: 252–5. Hieber JP, Dalton D, Shorey J, Combes B. Hepatitis and pregnancy. J Pediatr 1977; 91: 545–9. Pratiknyo P. Hepatitis virus pada kehamilan dan persalinan. Semarang: Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNDIP/RS Dr. Kariadi, 1988; 81–92. Cristie AB, Aref MK, Allam AA, El Muntasser IH, El Nageh M. Pregnancy hepatitis in Libya. Lancet 1976; 16: 827–9. Suwignyo, Akbar N. Hepatitis virus B. Dalam: Soeparman, Sukaton U, Daldiyono, Nelwan RHH, Ranakusuma ABS, Djoerban Z, dkk. eds. Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 1987; 593–601. Sulaiman A. Virus hepatitis B sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler. Jakarta: Infomedika 1990; 115–21. Whelton Ini. Sherlock S. Pregnancy in patients with hepatic cirrhosis. Lancet 1986; 9: 995–8.

Happiness grows at our fireside, it is not to be picked up in strangers galleries

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

25

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diagnostik Thalassemia dengan Polymerase Chain Reaction Sunarto Laboratorium Ilmu Kesehatan AnakIUPF Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Macla Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Yogyakarta

Keywords : – thalassemia – gene mutation and deletion – polymerase chain reaction – amplification refractory mutation system – covalent reverse dot-blot

PENGANTAR Thalassemia adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh defek gena yang menyandi sintesis globin dengan akibat sintesis globin mengurang atau tak ada sama sekali. Kekurangan sintesis globin pada penderita thalassemia telah dibuktikan secara in vitro pada retikulosit darah tepi penderita(1,2,3). Manifestasi klinik thalassemia sangat beraneka ragam dan keaneka ragaman tadi hanya dapat dijelaskan dengan studi molekular. Berbagai cara telah dikembangkan untuk kepentingan penelitian maupun untuk kepentingan praktis di lapangan, di antarahya adalah sequencing atau pengurutan DNA (desoxyribonucleic acid sequencing)(4-8), dengan probe oligonukleotid radioaktif atau nonradioaktif(9-12), linkage analysis dan deteksi langsung dengan allele specific oligonucleotide primer (primer ARMS)(13,14,15). Pada teknik diagnosis di atas, kecuali yang terakhir, DNA hams digandakan lebih dulu untuk memperoleh sejumlah DNA yang cukup untuk dianalisis. Sebelum teknik polymerase chain reaction (PCR) ditemukan, penggandaan DNA dilakukan dengan kloning(6,8,16,17). Penggandaan DNA dengan kloning, rumit dan memerlukan waktu sampai 10 hari. PCR merupakan suatu prosedur penggandaan DNA secara in vitro yang praktis dan memerlukan waktu hanya kira-kira 3 jam. PCR baik sebagai cara penggandaan maupun untuk diagnostik amat praktis dan mempunyai akurasi tinggi(15,18). Pada prosedur PCR berbagai masalah timbul, demikian pula pada pengembangannya sebagai uji diagnostik di lapangan. Dalam makalah ini akan dibahas prinsip dan masalah PCR secara teknis, dasar kelainan genetik thalassemia, masalah dan kepentingan diagnostik thalassemia dengan menggunakan PCR.

26

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

PEMBAHASAN Dasar molekular thalassemia Hemoglobin terdiri atas haem dan globin. Globin pada orang normal terdiri atas sepasang rantai polipeptid-α dan sepasang rantai non-α (β, δ, γ atau ε) . Sintesis globin disandi oleh gena yang unik; gena yang menyandi sintesis polipetid α bersama ξ terletak pada lengan pendek kromosom 16, menempati regio 16-25 kb (kilo base pair). Gena yang menyandi sintesis rantai β, δ, γ atau ε terletak pada lengan pendek kromosom 11 menempati regio 55-60 kb. Rantai- ε dan rantai- ξ hanya disintesis pada awal kehidupan janin. Analisis urutan nukleotid semua gena globin telah sangat luas dilakukan dan struktur gena itu telah didokumentasikan sepenuhnya(19). Gena globin terdiri atas 3 exon, yaitu bagian yang diekspresikan atau menyandi sintesis polipeptid globin, dan di antara ketiga exon tadi terdapat intron atau intervening sequence (IVS) yang tak diekspresikan. Di samping itu di sebelah hulu ujung 5’ dan hulu ujung 3’ terdapat non-coding DNA atau flanking DNA(20) (Gambar 1). Thalassemia terjadi bila gena globin mengalami delesi (terutama pada thalassemia-α) atau mutasi noktah (point mutation) (terutama thalassemia-β). Delesi genaglobin dapat mengenai hanya sebagian dari gena atau satu gena seutuhnya, bahkan dapat mengenai beberapa gena bersama-sama(21) (Gambar 2). Mutasi yang berakibat thalassemia dapat terjadi pada exon, pada IVS, pada flanking DNA ujung 5’ maupun 3'(9,21,22). Kelainan-kelainan tensebut akan menyebabkan mRNA globin tidak atau sedikit sekali terbentuk atau terbentuk mRNA abnormal yang tidak berfungsi, tidak stabil dan akan dihancurkan; akibatnya terjadi defisiensi sintesis globin(23,24). Poladelesi maupun mutasi

Gambar 1. Bagan gena globin

Gambar 2. Beberapa tipe delesi pada gena-α

bervariasi untuk berbagai populasi/ras dan wilayah geografi dan variasi ini menyebabkan manifestasi thalassemia yang beraneka ragam pu1a(20). PRINSIP PCR PCR diperlukan pada diagnosis molekular, termasuk thalassemia. Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Saiki et al., dari kelompok Cetus, tahun 1984_1985(25). Pada awalnya PCR dikembangkan sebagai cara untuk menggandakan DNA secara in vitro, sebagai alternatif dan cara in vivo yang rumit dan memerlukan waktu lama. Prinsip PCR dapat dijelaskan sebagai berikut(25) : bila DNA dicampur dengan oligonukleotid yang komplementer dan diberi kondisi yang sesuai, maka oligonukleotid tadi akan berperan sebagai titik awal (primer) sintesis copy DNA target dengan DNA target sebagai cetakan (template). Dengan menggunakan dua primer, satu di sebeiah hulu (5’) dan satu di sebelah hilir (3’), segmen DNA yang terietak di antara kedua primer tadi akan tergandakan. Dalam pelaksanaannya DNA bersama deoxynucleosid triphosphate (dATP = deoxyadenosine triphosphate, dCTP = deoxycytidine triphosphate, dGTP = deoxyguanosine

triphosphate, dan dTTP = deoxythymidine triphosphate), enzim polimerase, garam, bufer dan sepasang primer dicampur dalam tabung reaksi. Campuran itu diberi suhu yang berselang-seling, mula-mula 95°C selama 15 detik, kemudian suhu diturunkan menjadi 54°C selama 15 detik dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 72°C selama 30 detik(15). Pada suhu 95°C DNA untai ganda akan terurai menjadi DNA untai tunggal (proses denaturasi); pada suhu 54°C primer akan menempel pada segmen DNA yang komplementer (annealing) dan selanjutnya pada suhu 72°C di bawah pengaruh enzim polimerase primer akan mengalami pemanjangan (extension). Ketiga langkah ini merupakan satu siklus dan akan menghasilkan untai DNA tunggal yang komplementer dengan segmen DNA target (copy DNA target). Dalam satu siklus, satu untai DNA tunggal akan tergandakan menjadi 2 untai. Dengan n siklus, dari satu untai DNA teoretis akan dihasilkan 2 untai. Dengan 25 siklus dan satu untai DNA tunggai akan dihasilkan lebih dari 30 juta copy untai DNA tunggal, cukup banyak untuk proses analisis selanjutnya. Pada awal pengembangan PCR timbul masalah yang sangat menghambat pelaksanaan, yaitu rusaknya enzim polimerase (fragmen Kienow) akibat suhu yang tinggi, sehingga sejumlah enzim baru harus selalu ditambahkan seteiah setiap satu siklus. Hal ini amat merepotkan. Dengan ditemukannya enzim Taq (berasal dari bakteri Thermoaquatus) yang tahan panas sampai 100°C, maka permasalahan tersebut teratasi. Enzim Taq yang dicampurkan pada awal pengerjaan dapat bertahan sampai selesai, sehingga otomatisasi pengerjaan dapat diterapkan. Dengan enzim yang tahan panas segmen DNA berukuran sampai beberapa kilo base pair (kb) dapat digandakan(26). Prosedur PCR dapat dilakukan terhadap setiap sel berinti (yang mengandung DNA) seperti sel mukosa pipi, leukosit, sel dalam cairan amnion, viii korialis, bahkan dari bahan fosil yang masih mengandung DNA. Hal ini sangat memudahkan dalam memperoleh cuplikan. Metode ini sangat sensitif sehingga membutuhkan hanya sejumlah kecil cuplikan saja; DNA sejumlah 1 ug telah cukup. Dari single copy genes dapat diperoleh sejumlah copy DNA cukup untuk dianalisis(8). Setetes darah kering pada kentas saring cukup untuk mendeteksi genotip penderita tha1assemia(10). DNA produk PCR dapat disimpan dan dapat digunakan sebagai cuplikan untuk digandakan lagi. Sensitivitas yang amat tinggi dan PCR menyebabkan berbagai masalah(15,25,26). DNA kontaminan yang amat sedikitpun akan ikut tergandakan sehingga terbentuk sejumiah copy dari DNA kontaminan. DNA kontaminan dapat berasal dari sel dalam ludah, serpih kulit dari pemeriksa, dan sebagainya. Karena itu pengerjaan PCR harus benar-benar teliti. Penempelan primer secara nonspesifik pada segmen DNA non target akan menghasilkan sejumiah copy DNA non target; hal ini dapat dihindari dengan membuat primer sespesifik mungkin, antara lain dengan menggunakan oligonukieotid yang tidak terlalu panjang maupun terlalu pendek dan dengan memasukkan mismatched nucleotide, misalnya nukieotid –4 dari ujung 3'(15). Pada percobaan dengan siklus yang amat banyak, misalnya kalau cuplikan DNA terlalu sedikit, dapat terbentuk dimer dan primer; dimer akan terlihat sebagai DNA dengan ukuran kira-kira 40 bp, dan biasanya

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

27

mudah dikenali sehingga tidak terlalu mengganggu. Selain masalah di atas kekurangan aktivitas polimerase dari Taq akan menyebabkan terjadinya salah baca dan penggabungan basa yang salah (misincorporation); karena itu polimerase harus ditangani dengan amat cermat, misalnya dalam hal penyimpanan bahan-bahan yang digunakan. PCR PADA THALASSEMIA Sebelum cara PCR ditemukan analisis DNA dilakukan dengan prosedur yang panjang dan rumit, yaitu pertama-tama membentuk perpustakaan (library construction) melalui digesti dengan endonuklease restriktif dan kloning, kemudian skrining, mapping, subkloning dan terakhir sekuensing. PCR dapat menyingkat proses tersebut: dengan PCR, yang masih menggunakan fragmen Klenow, dapat diperoleh fragmen DNA yang langsung dapat disubklon(27). Pada prosedur PCR sekarang, dengan menggunakan enzim Taq, subkloning tidak diperlukan lagi. Tipe delesi pada thalassemia-α yang terbanyak di Asia Tenggara adalah –α3,4 dan –α4,2. Dengan menggunakan dua primer – satu di hulu dan satu di hilir dan delesi – akan dihasilkan segmen DNA yang sekian bp lebih pendek daripada normal. Pada hidrop fetalis Hb Bart tidak terbentuk copy dan gena-α sebagai produk PCR(18). karena penderita sama sekali tidak mempunyai gena-α. Winichagoon et al. (1989) membuktikan bahwa PCR mampu mendeteksi delesi hanya sepanjang 4bp pada kodon 41/42 (–CTTT) dan gena-β(28). Untuk mendeteksi mutan, yang merupakan dasar utama kelainan genetik pada thalassemia- β mula-mula segmen tempat

mutasi digandakan dan kemudian dianalisis dengan probe, dengan endonuklease restriksi atau sekuensing. Prosedur yang praktis untuk mendeteksi mutan secara langsung dari produk PCR telah dikembangkan, yaitu amplification refractory mutation system (ARMS)(13,15). Pada sistem ini digunakan primer ARMS, yaitu oligonukleotid – terdiri atas 20–30 bp – yang komplementer dengan DNA mutan (allele specific oligonucleotide = ASO); nukleotid ujung 3’ dan primer ARMS komplementer dengan nukleotid yang mengalami mutasi. Primer ARMS untuk mutan tertentu akan merupakan primer atau amplimer bagi mutan itu saja, dan tidak bagi DNA normal maupun mutan lain, karena ujung 3’ primer ARMS mutan tidak komplementer dengan DNA normal maupun mutan lain. Satu primer ARMS yang komplementer dengan segmen hilir DNA mutan tertentu bersama dengan satu common primer (yang punya urutan nukleotid sama dengan segmen DNA target di hulu) akan menggandakan segmen DNA mutan yang terletak di antara kedua primer tersebut. Untuk mendeteksi mutasi IVS-1 nt5 (G –> C) pada gena-β misalnya, digunakan primer ARMS, 5' CTCCTTAAACCTGTCTTGTAACCTTGTTAG 3’ dan common primer 5’ ACCTCACCCTGTGGAGCCAC 3’(15). Proses PCR digambarkan sebagai berikut (Gambar 3). Dengan primer di atas akan diperoleh sejumlah besar copy dari segmen DNA target denganukuran 285 bp, hanya kalau pada DNA target terdapat mutasi IVS1 ntl (G–>C); DNA normal tidak akan digandakan. Sebaliknya d tabung yang mengandung primer normal yang ujung 3’-nya C (komplementer dengan

Gambar 3. Bagan deteksi mutan dengan prosedur ARMS: a/ penempelan primer ARMS pada DNA target [gena-b dengan mutasi pada IVS-1 nt-5 (G–>C)] dan seterusnya ekstensi primer ARMS –> terbentuk DNA yang komplementer dengan DNA target; b/ common primer menempel pada DNA hasil ekstensi primer ARMS dan seterusnya ekstensi common primer menghasilkan DNA dengan panjang 285 bp. (c/)

28

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

ujung 3’ DNA normal G), akan terjadi penggandaan DNA normal, sedangkan penggandaan DNA mutan tidak terjadi. Segmen DNA yang diperoleh kemudian dideteksi secara elektroforesis dengan pengecatan etidium bromid. Gambar 4 memperlihatkan hasil elektroforesis dari produk PCR dan mutasi IVS1 nt5(G–>C)(15).

tidak diperlukan bahan radioaktif maupun elektroforesis, sehingga mudah dilaksanakan dan relatif murah. Di samping itu terdapat keunggulan lain, yaitu beberapa primer ASO dapat digunakan sekaligus, sehingga mutan langsung dapat dibaca (Gambar 5); canik-carik lempeng yang berisi bermacam-macam probe ASO yang diperlukan mudah disuplai untuk keperluan lapangan(11).

Gambar 5. Hasil reverse dot blot beberapa jenis mutasi

Gambar 4. Hasil elektroforesis DNA produk dan ARMS. 0x174\Hae111 dipakai sebagai marker untuk menunjukkan ukuran fragmen-fragmen. Adanya fragmen dengan ukuran 861 bp pada semua jalur menunjukkan efikasi PCR. Jalur 3,4 dari kontrol positif menunjukkan produk dengan ukuran 285 bp; ini berarti ada mutasi IVS1nt5(G–>C). Pada jalur 1, 2, 5 dan kontrol negatif tidak ada mutasi tersebut.

Meskipun prosedur ARMS cukup praktis, tetapi untuk mengidentifikasi suatu mutan setiap primer ASO harus dicoba sendirisendiri. Untuk mengatasi masalah tersebut Maggio et al. (1993) menerapkan teknik hibridisasi covalent reverse dot blot (RDB) dengan hasil sangat akurat(11). Pada teknik ini ASO digunakan sebagai probe (probe ASO) untuk alel mutan dan probe untuk alel normal. Bermacam-macam probe ASO bersama dengan probe normal difiksasikan terpisah-pisah pada lempeng nilon (Biodyne Cnylon membrane). Pada carik lempeng sebelah atas difiksasikan sederet probe untuk alel normal dan di sebelah bawahnya sederet probe ASO untuk bermacam-macam alel mutan. DNA hasil amplifikasi PCR yang mencakup segmen tempat mutasi yang dicurigai dipaparkan pada canik lempeng tadi setelah didenaturasi dengan pemanasan, maka akan terjadi hibridisasi DNA tadi dengan probe yang ada pada lempeng. Alel normal hasil amplifikasi akan mengalami hibridisasi pada deret atas dan lempeng, sedangkan alel mutasi akan mengalami hibridisasi dengan probe ASO yang sesuai di deret bawah. Setelah pengerjaan dengan konyugat streptavidin horseradish peroxidase (HRP) atau avidin alkaline phosphatase (AP) deteksi warna dilakukan dengan substrat nitroblue tetrazolium (NBT) untuk AP atau tetramethylbenzidine (TMB) untuk HRP. Pada prosedur RDB di atas

Pada prosedur ARMS maupun hibridisasi RDB, primer ASO maupun probe ASO mudah disintesis jika pola mutasi dari populasi yang diteliti sudah diketahui. Primer atau probe ASO bagi mutan yang sering terdapat merupakan prioritas untuk disediakan. MANFAAT PCR Penggandaan DNA dengan kloning tidak praktis terutama untuk keperluan diagnosis prenatal yang berlomba dengan waktu(18), sedangkan PCR hanya memerlukan waktu 3 atau 4 jam, prosedur pengerjaannya seperti melakukan reaksi kimia biasa dan telah digunakan dalam berbagai penelitian thalassemia(5,16,29). Dengan PCR dalam waktu 24 jam sejak pencuplikan vili korialis (chorionic villous sampling) diagnosis prenatal sudah dapat ditegakkan(18). Pada studi pola mutasi diperlukan cara yang praktis dan murah, dalam hal ini PCR dapat memenuhi tuntutan tersebut. Varawalla et al. (1991) dengan 19 macam primer ARMS dan 5 macam common primer meneliti 702 carrier, yaitu ibu dari bayi thalassemia-β di Subbenua India(15). Dengan primer yang amat bervariasi tersebut berhasil diidentifikasi 98% genotip dan kasus yang diteliti. Lima macam mutasi yaitu IVS-1 nt5 (G–>C), delesi 619 bp dan ujung 3’ gena-β, kodon 8/9 (+C), NS-l ntl (G–>T), dan kodon 41/42 (–CTTT) merupakan 93,6% dari keseluruhan. Jenis mutasi tersebut sama dengan yang ditemukan pada imigran India di Inggris(13). Ini berarti 5 macam primer ARMS untuk mutan tersebut merupakan primer utama yang perlu disediakan untuk wilayah Subbenua India atau untuk ras India. Dengan menggunakan primer ARMS untuk IVS-1 ntl (G– >A), IVS-1 nt5 (G–>C) dan kodon 15(G–>A) Sofro et al. (1992) melaporkan jenis mutasi dan penderita thalassemia dan trait thalassemia dari Yogyakarta dan sekitannya(14). Dari 81

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

29

subyek yang diteliti dapat diidentifikasi jenis mutasi dari 67 subyek dengan frekuensi mutan sesuai dengan hasil penelitian Lie-Injo et al(29) dengan teknik PCR dan probe oligonukleotid menemukan tipe mutasi berturut-turut dari yang tersering IVS1ntl (G–>C), Kodon 26(HAH–>AAG), IVS2nt654(C–>T), IVS1ntl (G–>T), Kodon 1 5(TGG–>TAG), Kodon 17(AAG–> TAG), Kodon30(AGG–>ACG),IVS1ntl(G–>A),Kodon 35(–C), Kodon4l/42(–CTTT). Berdasarkan penelitian itu, jika teknik ARMS diterapkan di Indonesia primer yang terutama perlu disediakan adalah: 5’ TTAAACCTGTCTTGTAACCTFGATACGAAG 3’ untuk mutan IVS1 ntl(G–>C), 5’ GAATAACAGTGATAATTTCTGGGTTATGGT 3’ untuk mutan IVS2 nt654(C–>T), 5’ TTAAACCTGTCTTGTAACCTFGATACGAAA 3’ untuk mutan IVS1 ntl(G–>T), 5’ CCACCAACTTCATCCACGTTCACTTGGCCT 3’ untuk mutan kodon 15(G–>A), dan 5’ TAACCTTGATACCAACCTGCCCAGGGGCTT 3’ untuk mutan kodon 26(GAG–>AAG) atau HbE. Dengan menggunakan teknik hibridisasi RDB Maggio et al. (1993) dapat mengidentifikasi sembilan mutasi pada gena-β yang sering terdapat pada populasi Sicilia, berturut-turut dari yang terbanyak mutasi kodon 39, IVS1nt110, IVS1nt6, IVS1nt1, mutasi IVS2nt745 dan mutasi nt-87. Persentase dari masingmasing mutan ternyata sesuai dengan penelitian sebelumnya. Hal ini menunjukkan keakuratan dari cara tersebut(11). Karena prosedur PCR amat praktis maka besar harapan akan dapat diimplementasikan sebagai prosedur rutin di Indonesia khususnya untuk diagnosis prenatal bila alternatif pengendalian thalassemia melibatkan diagnosis tersebut. Apabila polimerase Taq dan primer/probe dapat ditekan harganya maka biaya tiap satuan analisis akan tidak mahal(18). KESIMPULAN PCR merupakan cara enzimatik yang sangat sensitif dan spesifik untuk menggandakan DNA. Dengan ditemukannya polimerase Taq prosedur ini makin praktis, sehingga kini cara tersebut telah luas digunakan dan merupakan alternatif yang praktis untuk memperoleh DNA dalam jumlah yang cukup guna kepentingan studi molekular, termasuk thalassemia. Berdasarkan prinsip PCR telah dikembangkan cara diagnostik molekular yang terbukti sangat akurat. Dengan prosedur ARMS yang menggunakan allele specific oligonucleotide sebagai primer mutan dapat dideteksi secara langsung. Teknik hibridisasi RDB terhadap DNA produk PCR dengan menggunakan allele specific oligonucleotide sebagai probe merupakan cara diagnostik molekular yang relatif mudah. Untuk penyediaan primer maupun probe yang sesuai bagi populasi atau ras tertentu, macam dan frekuensi mutasi gena pada populasi yang bersangkutan harus telah diketahui lebih dahulu.

2. 3. 4.

5. 6.

7. 8.

9. 10. 11.

12. 13. 14. 15. 16. 17.

18.

19. 20. 21. 22.

KEPUSTAKAAN 1.

30

Conconni F, Bargellesi A, Del Senno L, Menegatti E, Pontremoli S. Russo G. Globin chain synthesis in Sicilian thalassemic subjects, Br J Haematol.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

23.

1970; 19: 469–75. Friedman SH, Schwartz E, Ahern V, Ahern E. Globin synthesis in the Jamaican Negro with l-thalassemia, Br J Haematol. 1974; 28: 505–13. Todd D, Chan V, Schneider RG, Dozy AM, Kan YW, Chan TK. Globin synthesis in hemoglobin New York (β113valin–>glutamic acid, Br J Hematol. 1980; 46: 557–64. Cheng TC, Orkin SH, Antonarakis SE. Potter MJ, Sexton JP, Markham AF, Giardina PJV, Li A, Kazazian Jr HH. β-thalassemia in Chinese use of in vivo mRNA analysis and oligonucleotide hybridization in systemic characterization of molecular defects. USA: Proc NatI Acad Sci 1984; 81: 2821–25. Chan V, Chan TK, Kan YW, Todd. A novel β-thalassemia frameshift mutation (codon 14/15), detectable by direct visualization of abnormal restriction fragment in amplified genome DNA. Blood 198; 72: 1420–23. Fucharoen 5, Kobayashi Y, Fucharoen G, Ohta Y, Miyazono K, Fukimaki F, Takaku. A single nucleotide deletion in codon 123 of -g1obin gene causes an inclusion bodies 3-thalassemia trait: A novel elongated globin chain Makabe. Br J Haematol. 1990; 75: 393–99. Romeo L, Almeido L, Higgs DR, Levinha J, Liebhaber SA. α-thalassemia resulting from deletion of regulatory sequences far upstream of the αglobin structural gene Blood 1991; 7: 1589–95. Wong C, Antonarakis SE, Goff SC, Orkin SH, Forget BG, Nathan DG, Giardina PJV, Kazazian Jr HH. β-thalassemia due to two novel nucleotide substitutions in consensus acceptor splice sequences of the -globin gene Blood 1989; 73: 914–18. Cal SP, Zhang JZ, Doherty M, Yuet WK. A new TATA box mutation detected at prenatal diagnosis for -tha1assemia. Hum Genet 1989; 45: 112–14. Huang SZ, Zhou XD, Thu H, RenZR, Zeng YT. Detection ofβ-thalassemia mutations in Chinese using amplified DNA from dried blood specimens, Hum Genet 1989; 84: 129–3 1. Maggio A, Giambona A, Cal SP, Wall J, Kan YW, Chebab FF. Rapid and simultaneous typing of hemoglobin S, hemoglobin C, and seven Mediterranian -thalassemia mutations by covalent reverse dot-blot analysis: Application to prenatal diagnosis to Sicily, Blood 1993; 81: 239–42. Saiki RK, Gelfand DH, Stoffel 5, Scharf Si, Higuchi R, Ham GT, Mullis KB, Erlich HA. Primer directed enzymatic amplification of DNA with a thermostable DNA polymerase. Science 1988b; 239: 487–91. Old JM, Varawalla NY, Weatherall DJ. Rapid detection and prenatal diagnosis ofll-thalassemia: studies in Indian and Cypriot populations in the UK. Lancet 1990; II: 834–37. Sofro ASM, Lanni F, Ismadi. Globin gene mutations ofbeta-thalassemiaat Dr. Sardjito General Hospital Yogyakarta-Indonesia Hum Genet 1992; 51(Y) Supl A: 343. Varawalla NY, Old JM, Sarkar R, Venkatesan R, Weatherall DJ. The spectrum of 1-thalassemia mutations on the Indian subcontinent: the basis for prenatal diagnosis. Br J Haematol. 1991; 78: 242–7. Nantomi Y, Nakashima H, Kagimoto M, Naito Y, Yokota E, Imamura T. A common chinese β-thalassemia mutation found in a Japanese family. Hum Genet 1990; 86: 480–83. Wang C, Antonarakis SE, Goff SC, Orkin SH, Forget BG, Boehm CD, Kazazian Jr HH. On the origin of the spread of 1-thalassemia : Recurrent observation on mutations in different ethnic groups, USA:Pro Natl Acd Sci 1986; 83: 6529–32. Fucharoen 5, Winichagoon P. Thonglairoam V. Siriboon W, Siritanarakul N, Kanokpongsakdi S. Vantanasiri V. Prenatal diagnosis of thalassemia and hemoglobinopathies in Thailand : Experiences from 100 pregnancies Southeast Asian, J Trop Med Pubi Health 1991; 22: 16–29. Vogel F, Motulsky AG. Human Genetics Problem and Approaches 2nd ed. Berlin: Springer-Verlag, 1986. Fucharoen-Winichagoon P. Fucharoen S. Molecular mechanism of thalassemiain Thailand. Thailand: J Sc Soc 1986; 12: 9–21. Bunn HF, Forget BG. Hemoglobin : genetic and clinical aspects 1st ed. Philadelphia: WB. Saunders Co 1986; pp 225–305. Rosatelli MC, Oggiano L, Leoni GB, Tuveri T, Di Tucci A, Scalas MT. Dore E, PistiddaP, Massa A, Longinotti M, Cao A. Thalassemiaintermedia resulting from a mild -thalassemia mutation Blood 1989; 73: 601–05. Kazazian HH, Ginder GD, Snyder PG. Van Beneden Ri, Wodhead AP. Furtherevidence of quantitative deficiency of chain-specific globin mRNA

in thalassemia syndromes, USA: Proc Nat Acad Sci 1975; 72: 567–71. 24. Nienhuis AW, Turner P, Benz Jr. EL Relative stability of c and 3-globin messenger RNAs in homozygous 3+-thalassemia. USA: Proc Natl Acad Sci 1977; 74: 3960–64. 25. Arnheim N, Levenson CH. Polymerase chain reaction CAEN – Special Report, October 1990. 26. Saiki RK, Chang CA, Levenson CH, Waren IC. Boehm CD. Haig MS, Kazazian H, Ehrlich HA. Diagnosis of sickle anemia and 3-thalassemia with enzymatically amplified DNA and nonradioactive allele-specific oligonucleotide probes. N Engl J Med 1988a; 319: 537–41. 27. Scarf SJ, Horn GT, Ehrlich HA. Direct cloning and sequence analysis of

enzymatically amplified genomic sequences. Science 1986; 233: 1076–78. 28. Winichagoon P. Kownkon J, Yetchinsomanus P. Thonglairoam V, Siritanaratkul N, Fucharoen S. Detection of 13-thalassemia and hemoglobin E gene in Thai by a DNA amplification technique Hum Geret 1989; 82: 389–90. 29. Lie-Injo LE, Cai SP, Iskandar Wahidiyat, Moeslichan S. Lim ML, Evangelista I, Doherty M. Kan YM. 3-thalassemia mutations in Indonesia and their linkage to 3-haplotype, Am J Hum Genet 1989; 45: 97 1–5. 30. Wong C, Dowling CE, Saiki RK, Higuchi RG, Erlich HA, Kazazian Jr HH. Characterization of 3-thalassemia mutations using direct genomic sequencing of amplified single copy DNA. Nature 1987; 330: 384–6.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

31

TEKNIK

Pengembangan Uji Diagnostik melalui Teknik Molekuler Rochman Na'im Jurusan Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor

PENDAHULUAN Dalam bidang kedokteran (manusia maupun hewan), uji-uji diagnostik merupakan salah satu metode untuk menangani kasus penyakit. Berbagai uji diagnostiktelahdikembangkan, baik yang didasarkan pada teknik kultur agen penyakit, reraksi kimia/ biokimia maupun reaksi imunologik. Dengan berkembangnya teknologi dalam bidang biologi molekuler, maka pengembangan uji-uji diagnostik mulai diarahkan kepada teknologi tersebut yang menggunakan materi genetik sebagai dasar pengujiannya. Materi genetik yang berupa asam nukleat baik DNA (Deoxyribose Nucleic Acid) maupun RNA (Ribo Nucleic Acid) mengandung tiga komponen, yaitu: 1) basa (purin dan pirimidin); 2) gula (deoksiribosa untuk DNA dan ribosa untuk RNA); dan 3) fosfat. Basa purin yang terdapat pada DNA maupun RNA adalah sama, yaitu Adenine [A] dan Guanine [G] sedangkan basa pirimidin berbeda, untuk DNA adalah Cytocine [C] dan Thymine [T] dan untuk RNA kedudukan Thymine digantikan oleh Uracil [U] Kedua unsur basa tersebut (purin dan pirimidin) akan berpasangan membentuk kode-kode genetik pada DNA maupun RNA melalui ikatan hidrogen (A akan berpasangan dengan T [pada DNA] atau A dengan U [pada RNA]; dan G dengan C). Unsur gula dan fosfat akan membentuk struktur DNA dan RNA. DNA memiliki struktur rantai ganda sedangkan RNA memiliki rantai tunggal. Struktur DNA lebih stabil bila dibandingkan dengan RNA. Berdasarkan materi genetik tersebut, uji-uji diagnostik dikembangkan melalui teknik-teknik molekuler seperti hibridisasi dengan probe asam nukleat; polymerase chain reaction (PCR), restriction fragment length polymorphism (RFLP) dan sekuensing asam nukleat. HIBRIDISASI Mekanisme dasar di balik uji-uji diagnostik yang meng-

32

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

gunakan probe asam nukleat adalah hibridisasi. Teknik ini didasarkan pada perpaduan dua basa nukleotida dan rantai asam nukleat yang komplementer (DNA dengan DNA atau RNA; dan RNA dengan RNA). Teknik hibridisasi meliputi dua proses, yaitu proses denaturasi atau pemisahan dua rantai asam nukleat yang komplementer dari proses renaturasi atau perpaduan kembali dua rantai asam nukleat. Proses denaturasi biasanya dilakukan dengan cara pemanasan DNA untuk memecah ikatan hidrogen yang terdapat di antara pasangan basa sehingga rantai asam nukleat akan terpisah. Proses ini kemudian diikuti dengan proses renaturasi dengan cara pendinginan. Uji-uji yang menggunakan hibridisasi membutuhkan proses denaturasi dan fragmen asam nukleat yang tidak diketahui dan memfiksasi fragmen tersebut pada bahan solid seperti filter nitroselulosa. Kemudian suatu probe asam nukleat yang komplementer dicampurkan dengan fragmen asam nukleat yang terdapatpada bahan solid tersebut pada kondisi yang mendukung terjadinya hibridisasi. Proses hibridisasi dapat juga dilakukan dalam larutan (bukan bahan solid). Baik DNA yang hendak didiagnosis (target) maupun probe dimasukkan dalam larutan buffer. Kedua DNA tersebut bebas bergerak dan proses hibridisasinya berlangsung 5–10 kali lebih cepat danipada di bahan solid. Keadaan tersebut sangat penting dalam aplikasi kebanyakan diagnostik mikrobiologi yang memiliki konsentrasi DNA target sangat sedikit dan membutuhkan waktu diagnosis lebih cepat. Kondisi yang dapat mempengaruhi apakah dua rantai asam nukleat akan berhibridisasi disebut stringency. Kondisi stringency yang kuat akan mendukung perpaduan dua basa dari dua rantai yang komplementer dengan tepat. Sedangkan kondisi stringency yang lemah akan menyebabkan banyaknya perpaduan dua basa yang tidak sesuai di antara dua rantai asam nukleat.

Salah satu kondisi yang mempengaruhi hibridisasi adalah tipe asam nukleat yang akan dihibndisasi. Perpaduan dua basa antara dua rantai DNA tidak sekuat pasangan basa antara DNA dan RNA. Rantai asam nukleat yang lebih panjang dengan jumlah pasàngan basa yang komplementer lebih banyak akan berhibridisasi lebih kuat daripada rantai yang pendek. Komposisi basa asam nukleat juga akan mempengaruhi hibridisasi, karena pasangan basa G-C lebih kuat daripada pasangan A-T. Selain itu temperatur dan kekuatan ionik buffer yang digunakan juga akan mempengaruhi reaksi hibridisasi. Probe asam nukleat adalah suatu fragmen rantai tunggal dari DNA atau RNA yang komplementer yang telah dilabel. Probe ini dapat dibuat sesuai dengan komposisi basa yang terdapat pada gen dan suatu agen penyakit sehingga probe tersebut hanya dapat berhibridisasi dengan gen dan agen penyakit tersebut dan secara spesifik akan mendeteksi adanya agen penyakit. Ada berbagai cara untuk memperoleh dari melabel probe asam nukleat. Sebuah gen dan agen penyakit yang akan dideteksi hams dimurnikan terlebih dahulu, kemudian dilabel apakah dengan radioisotop seperti 32P atau dengan substansi non-radioisotop. Walaupun substansi non-radioisotop dan dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Sensitifitas uji diagnostik menggunakan probe yang dilabel dengan non-radioisotop dapat di ,tingkatkan dengan penggunaan PCR. Substansi non-radioisotop yang paling sering digunakan sebagai label adalah biotin dan digoxigenin. Probe yang dilabel dengan biotin akan dideteksi dengan menggunakan konjugat streptavidin-alkaline phosphatase (atau enzim lain) dan pewarna yang sesuai untuk menghasilkan reaksi yang berwarna seperti pada reaksi ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Untuk probe yang dilabel dengan digoxigenin, konjugat antibodi terhadap digoxigenin dengan berbagai enzim dapat digunakan dengan substrat yang sesuai untuk menghasilkan reaksi berwarna. Bila antibodi terhadap digoxigenin dikonjugasikan dengan alkaline phosphatase, substrat chemiluminescent dapat digunakan untuk menghasilkan reaksi bercahaya, yang bila diekspos ke film sinar X akan memberikan metode deteksi yang sensitif. Probe dapat juga dibuat dari oligonukleotida (biasanya terdiri dari 30-40 nukleotida) yang dibuat secara sintetik. Oligonukleotida tersebut dapat berupa fragmen DNA rantai tunggal atau fragmen RNA yang dilabel. Probe asam nukleat dapat digunakan pada hampir seluruh agen patogen, baik untuk digunakan dalam laboratonium riset sebagai alat eksperimental atau untuk uji-uji diagnostik yang sifatnya komersial. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Salah satu perkembangan teknik biologi molekuler yang sangat membantu dalam pengembangan uji-uji diagnostik adalah PCR. PCR dapat mengamplifikasi DNA dan jumlah yang sedikit menjadi jumlah yang dapat dideteksi/banyak. Adanya penemuan DNA polymerase (Taq polymerase) yang stabil pada temperatur tinggi dan pengembangan alat yang mengatur temperatur proses PCR secara otornatis, telah mem-

buat PCR dapat digunakan untuk uji-uji diagnostik secara praktis. DNA polymerase adalah enzim yang dapat mensintesis rantai DNA yang baru dan DNA yang sudah ada. Penemuan enzim yang tahan panas sangat membantu untuk mensintesis DNA barn, karena tahap awal proses PCR dilakukan dengan cara pemanasan rantai DNA yang sudah ada pada temperatur 90°C. Untuk mengamplifikasi DNA dilakukan 30-40 kali siklus proses PCR. Satu siklus terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap denaturasi pada temperatur 95°C, tahap hibridisasi primer pada temperatur 37° sampai 56°C dan tahap polimerisasi pada temperatur 72°C. Secara umum, DNA yang akan diamplifikasi diapit oleh sepasang primer sintetik yang merupakan potongan pendek dari DNA yang spesifik/komplementer yang berfungsi sebagai template dari DNA yang akan diamplifikasi. DNA target yang akan diamplifikasi didenaturasi terlebih dahulu dengan pemanasan, kemudian primer ditambahkan pada DNA target dan temperatur diturunkan agan terjadi proses hibridisasi. Bila tahap polimerisasi dimulai, maka rantai DNA target yang terdapat di antara primer akan diperbanyak menjadi dua rantai dengan panjang yang sama seperti DNA target. Dengan adanya pengulangan tahap-tahap denaturasi, hibridisasi dan polimerisasi beberapa kali, maka DNA target akan diperbanyak secana efektif. Bila enzim reverse transcriptase yang mensintesis DNA dan template RNA, digunakan pada tahap awal proses PCR, maka RNA ribosom dan genomik dan virus RNAjuga dapat diamplifikasi. PCR dapat digunakan dalam uji-uji diagnostik untuk mengamplifikasi asam nukleat dan agen-agen penyakit yang ada dalam jumlah sedikit sehingga sensitifitas uji dapat ditingkatkan. DNA yang telah diamplifikasi selanjutnya diidentifikasi dengan teknikhibridisasi yang rnenggunakan probe asam nukleat yang spesifik, atau dengan analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) dan elektroforesis pada gel aganose atau dengan cara sekuensing. RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) Teknik ini menggunakan enzim-enzim restriksi yang berfungsi sebagai pemotong DNA rantai ganda pada sekuens yang spesifik, untuk menentukan apakah dua fragmen DNA memiliki kesamaan. Dalam teknik ini, DNA didigesti atau dipotong dengan enzim restriksi tertentu, kemudian dielektroforesis pada gel aganose yang akan memisahkan fragmen DNA yang dipotong sesuai dengan ukurannya. Kalau DNA tidak identik ukurannya, maka pola fragmen DNA pada gel tidak akan sepadan. Bila pola fragmen DNA sarna, maka enzirn restriksi tersebut akan digunakan untuk menentukan apakah dua rantai DNA merniliki kesamaan. Satu rantai DNA yang tidak diketahui dapat diidentifikasi apakah berasal dari agen penyakit tertentu atau tidak dengan cara pembar pola RFLP dengan referensi standar.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

33

SEKUENSING ASAM NUKLEAT Sekuensing asam nukleat merupakan suatu metode untuk menentukan urutan-urutan basa nukleotida (A, C, G dan T) dalam suatu gen dan asam nukleat. Saat m sekuensing asam nukleat dapat dilakukan secara otomatis dengan suatu alat yang disebut nucleic acid sequencer. Peralatan tersebut dapat mengidentifikasi secara cepat suatu mikroorganisme berdasarkan sekuens dan genomiknya. Bila alat tersebut aplikasinya dikombinasikan dengan PCR, maka dapat dijadikan suatu alat uji diagnostik yang sensitif dan spesifik. Bagaimanapun uji-uji diagnostik yang didasarkan pada teknik molekuler bukanlah sesuatu yang mudah, melainkan membutuhkan keterampilan khusus. Teknik molekuler tersebut seharusnya digunakan untuk mengembangkan uji-uji diagnostik yang Iebih sensitif dan lebih spesifik dengan biaya yang relatif tidak mahal. Untuk agen-agen penyakit tertentu metode diagnosis seperti antibodi monokional, ELISA, mikroskop elektron, immunofluoresensi ataupun uj i-ui i diagnostik konvensional lainnya masih memberikan hasil yang cukup baik. Dengan demikian

teknik molekuler hanya akan berfungsi sebagai pelengkap ujiuji diagnostik yang telah ada. Teknik-teknik molekuler yang telah diuraikan tersebut sebaiknya digunakan untuk memahami atau mempelajari agen penyakit pada tingkat molekuler dan interaksinya dengan induk semang. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Brock TD, Madigan MT. Biology of Microorganisms. 5th ed. Prentice Hall. New Jersey. 1988. Innis MA, Gelfand DH, Sninsky JJ, White TJ. PCR Protocols: A Guide to Methods and Applications. Academic Press, Inc. San Diego. California. 1990. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry. 23rd ed. Prentice Hall International Inc. USA. 1993. Old RW, Primrose SB. Principles of Gene Manipulation: An Introduction to Genetic Engineering. Blackwell Scientific Publications. London. 1989. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. 2nd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York. 1989. Swaminathan B, PrakashG. Nucleic Acid and Monoclonal Antibody Probes: Application in Diagnostic Microbiology. Marcel Dekker, Inc. New York. 1989.

Half the ease of life oozes away through the leaks of unpunctuality

34

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Tanaman Obat Bersifat Antibakteri di Indonesia B. Dzulkarnain, Dian Sundari, Au Chozin Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit infeksi mungkin merupakan penyakit yang banyak diderita masyarakat Indonesia sejak dulu. Pada waktu sekarang penyakit infeksi dapat ditanggulangi menggunakan obat modern di antaranya antibiotika. Zaman dahuh bahan modern ini tidak dikenal dan masyarakat pada waktu itu tergantung pada berbagai bahan yang diperoleh di sekitar rumah termasuk pekarangan atau hutan sekitarnya. Dari berbagai catatan diketahui berbagai tanaman yang digunakan untuk mengatasi keluhan yang mungkin sekali disebabkan kuman (infeksi). Dari berbagai survey, di antaranya Survey Kesehatan Rumah Tangga(1,2). Survey Penggunaan Obat Tradisional di masyarakat di Sulawesi dan Kalimantan Timur(3), di Aceh dan Madura(4). Survey Etnobotani di daerah oleh Puslitbang Biologi LIPI(5), dapat disimpulkan bahwa, masyarakat masih mengandalkan alam sekitarnya untuk menanggulangi penyakit yang mungkin sekali disebabkan kuman(3,5-8). Terlihat cara ini kuno, tetapi selain obat modern belum dapat mencapai daerah jauh, apalagi penggunaan antibiotika yang harus dengan resep dan mahal, tidak bisa tidak masyarakat harus puas dengan keadaan demikian. Di balik itu, bila diingat bahwa bentuk zat aktif berbagai obat modern berasal dari alam, contoh atropin, digitalis, antibiotik penisilin juga merupakan hasil alam, maka dapat direnungkan bahwa obat dari alam yang digunakan secara tradisional mungkin saja mempunyai dasar kebenaran yang belum banyak dibeberkan. Andaikata bahan-bahan di atas tidak menolong, mungkin sudah lamaditinggalkan. Untuk inilah dicoba merekam pembuktian khasiat eksperimental, khususnya pembuktian daya antibakteri, daya antimikroba, daya menghambat pertumbuhan kuman atau pembuktian dengan nama lain yang menjurus kepada khasiat antibakteri. Akan diusahakan untuk menemukan tulisan tentang zat yang bertanggung jawab atau yang mungkin ber-

tanggungjawab atas khasiat ini. Penyakit infeksi yang banyak diderita masyarakat di antaranya(10,11,18). infeksi usus, antara lain karena Staph. aureus, E. coli, Salmonella typhi, Vibrio cholerae, infeksi lambung seperti Staph. aureus, infeksi kulit karena Staph. aureus, Pseudomonas aeruginosa dan sebagainya. Penentuan daya antibakteri(9) dapat dilakukan dengan menentukan adanya daya hambat pertumbuhan bakteri atau dilanjutkan dengan menentukan potensi daya hambat dengan membandingkan dengan antibiotika atau dengan menentukan koefisien fenol. Untuk ini dilakukan percobaan menggunakan plat agar dengan cara sumur atau menggunakan cakram mengandung sejumlah antibiotik, atau dengan menentukan penghambatan pertumbuhan dengan menentukan kekeruhan atau dengan turbidimetri, atau dengan menentukan konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan (MIC = minimal inhibition concentration) atau konsentrasi terendah yang mematikan kuman (MLC = minimal lethal concentration). Bentuk bahan yang diuji dapat berupa bentuk sediaan yang digunakan secara empirik, seperti tumbukan, perasan, seduhan, rebusan dan sebagainya. Percobaan pendahuluan ini dilanjutkan dengan bentuk sediaan yang diperoleh dengan penyarian menggunakan berbagai penyari seperti etanol, metanol, etil-asetat, eter minyak tanah, kioroform, dikiorometana atau campuran bahan ini dengan berbagai perbandingan. Langkah lebih maju adalah dengan mencoba zat-zat murni dari tanaman. PENELUSURAN PUSTAKA Menggunakan dasar pemikiran di atas, maka ditelusuri berbagai informasi(1,5,6,7), dari berbagai instansi, swasta ataupun pemerintah yang melakukan eksperimen antibakteri. Direkam simplisianya, bentuk sediaan percobaannya, dan hasilnya. Diusahakan untuk merekam juga kandungan dari tanaman dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

35

dipadankan dengan zat yang terbukti mempunyai daya anti bakteri. Informasi yang diperoleh mungkin sudah sampai menemukan zat yang aktif antibakteri, tetapi mungkin hanya sampai suatu taraf yang hanya memberi kesan adanya daya antibakteri. Dengan merekam kandungan kimia dan memadankan dengan zat berkhasiat antibakteri modern diramalkan zat yang mungkin bertanggung jawab atas khasiat antibakteri. Dengan pemilahan dapat diketahui bentuk sediaan empirik yang terbukti berdaya antibakteri, bentuk sediaan hasil penyarian di antaranya sampai bentuk zat yang berdaya antibakteri, zat yang diketahui berdaya antibakteri atau bahan yang diduga bersifat antibakteri. Informasi tambahan adalah tentang penggunaan empiriknya. Penelusuran ini jauh dari sempurna. Namun dengan hasil penelusuran ini dapat diperoleh gambaran tentang status tanaman obat antibakteri (dilihat dari segi pembuktian khasiat secara ilmiah), oleh karena itu angka-angka di bawah ini bukan merupakan angka mutlak tetapi dapat memberikan gambaran tentang hasil-hasil penelitian. HASIL PENELUSURAN Dari penelusuran dapat dijaring 106 simplisia (Daftar 1) yang diuji daya antibakterinya; di antaranya : 42 simplisia diketahui digunakan secara empinik untuk infeksi saluran pencernaan, 33 simplisia tercatat digunakan secara empinik sebagai obat penyakit kulit, Enam simplisia digunakan secara empirik untuk infeksi kandung kemih, Satu simplisia digunakan secara empirik sebagai obat infeksi tenggorokan. Beberapa simplisia lain tidak jelas penggunaan empiriknya tetapi diteliti daya antibakterinya. Di antaranya 9 simplisia hanya diuji bentuk empiriknya (irifus, rebusan atau perasan), 82 simplisia diuji dalam bentuk isolatnya (disari menggunakan berbagai jenis pelarut), 15 simplisia diuji dalam bentuk kedua jenis sediaan ialah bentuk empirik dari isolatnya. Jumlah sediaan yang mempunyai daya antibakteri positif(+) sebvanyak 85 simplisia, baik dalam bentuk empinik, isolat atau dalam kedua bentuk, dari beberapa simplisia belum diperoleh informasinya; 16 simplisia belum jelas dibuktikan berdaya antibakteri menggunakan cara, dosis atau konsentrasi, dan kuman yang digunakan. Lima simplisia dengan cara yang telah digunakan tidak terbukti mempunyai daya antibakteri. Kayu Arcangelisiaflava Merr.(40), kulit kayu Cinnamomum burmanii Ness.(30), daun Colleus amboinicus Lour.(35), rimpang Kaempferia galanga L.(36,37), daun Lawsonia inermis L.(38), kembang Michelia champaka L.(146), dan daun Plantago mayor L.(170), selain dibuktikan daya antibakterinya secara kualitatif, juga ditentukan potensinya dengan cara membandingkan dengan potensi antibiotik, dengan cara penentuan MIC (minimal inhibition concentration), atau dengan cara menentukan koefisien feno Berberin dan kayu Arcangelisia flava Merr.(36), herba Caseinum fenestratum Colebr.(53), berasal dari bumi Indonesia dibuktikan berdaya anti bakteri. Flavonoid dan daun Elephantopus scaber L.(105), Phaseolus radiatus L.(162), daun Ricinus communis L.(187),serta pektin dari buah Carica papaya L.(52), kulit

36

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

buah Citrus macimus Merr.(76), Citrus sinensis Osbeck.(76), buah Pyrus mallus L.(184,185) terbukti berdaya antibakteri. Minyak atsiri dan 24 simplisia dari Indonesia terbukti berdaya antibakteri. Berbagai ekstrak dari beberapa simplisia bersifat antibakteri. Sejumlah 11 simplisia mengandung flavonoid yang tidak dibarengi dengan pembuktian daya antibakteni, demikian pula 9 simplisia yang mengandung minyak atsiri dan 16 simplisia yang mengandung tanin. Simplisia yang terbanyak diteliti adalah daun Casia alata L. (tercatat 13 naskah). Ada 42 simplisia digunakan secara empirik untuk infeksi saluran pencernaan dan 39 di antaranya terbukti bersifat anti bakteri. Di antara simplisia ini 9 simplisia terbukti bersifat antibakteni dalam bentuk empiriknya. Selain itu 2 simplisia mengandung pektin, 1 (satu) mengandung flavonoid; dan 12 mengandung minyak atsini yang semuanya bersifat antibakteri. Berbagai jenis ekstrak dari 19 jenis simplisia bersifat antibakteri. Sebanyak 33 simplisia tercatat digunakan secara empirik sebagai obat penyakit kulit. Duapuluh empat di antaranya terbukti bersifat antibakteri. Lima simplisia bentuk preparat siap pakainya (bukan ekstrak atau sediaan empirik) bersifat antibakteri. Satu simplisia rnengandung pektin, satu mengandung suatu flavonoid, 2 mengandung minyak atsiri yang terbukti bersifat antibakteri. Beberapa tanaman lain tidak jelas penggunaan empiriknya tetapi bersifat antibakteri. Coleus amboinicus Lour., Hemigraphis colorata Hall., Piper cubeba L. yang digunakan sebagai obat infeksi saluran kemih secara empirik, ekstraknya (berbagai jenis ekstrak) bersifat antibakteri. Michelia champaca L., Ocimum gratisimum L. dan Orthosiphon stamineus Benth., yang secara empinik digunakan sebagai obat saluran kemih belum terbukti bersifat antibakteri. Morinda citrifolia L., dan Syzygium cumini Skeels. yang digunakan secara empinik sebagai obat tenggorokan, ekstraknya bersifat antibakteri. PEMBAHASAN Penelitian daya antibakteri tanaman obat merupakan jenis penelitian terbanyak dilakukan di Indonesia(21b). Yang terjaring seperti dilihat di atas sebanyak 106 simplisia, tetapi diyakini bahwa masih banyak yang belum dijamah. OIeh karena itu angka-angka jumlah simplisia bukanlah angka mutlak, tetapi hanya memberikan bayangan tentang kegiatan penelitian tanaman obatkhususnya yang bersifat antibakteri. Penelitian yang terjaning merupakan naskah yang dikeluarkan sekitar tahun 1977 sampai 1995. Melihat instansi penghasit penelitian di atas sangat bervariasi, mulai dari perguruan tinggi negeri maupun swasta dan instansi non pendidikan seperti Puslitbang Biologi LIPI. Memang penghasit naskah terbanyak adalah fakultas atau jurusan Farmasi dari berbagai perguruan tinggi. Seperti dikatakan di atas dari 42 simplisia yang diketahui digunakan sebagai obat infeksi usus 39 simplisia bersifat antibakteri dan dari 33 simplisia yang digunakan sebagai obat infeksi kulit 24 simplisia terbukti bersifat antibakteri dalam berbagai bentuk sediaan, di antaranya dalam bentuk empinik, dalam ben-

tuk flavonoid, minyak atsiri atau dalam bentuk zat aktifnya seperti berberin dan pektin. Di sini belum dibuktikan jenis minyak atsiri yang bersifat antibakteri, tetapi diketahui sesquiterpen, fenol, eugenol merupakan jenis minyak atsiri bersifat antibakteri(29). Ekstrak beberapa simplisia bersifat antibakteri dan masih perlu diteliti zat aktif yang bertanggung jawab atas daya ini. Sebaliknya ada simplisia yang mengandung minyak atsiri, flavonoid, pektin atau alkaloid (contoh berberine) yang berindikasi adanya daya antibakteri. Sehingga bentuk ekstrak (dengan berbagai pelarut seperti etanol, eter minyak tanah, kioroform) yang bersifat antibakteri, masih perlu dilanjutkan penelitian. Khasiat suatu simplisia tergantung kandungannya,jenis dan jumlahnya. Jumlah zat aktif saja sudah memberikan kesulitan dalam evaluasi. Karena bila jumlahnya dalam konsentrasi rendah khasiat tidak akan terlihat, dengan demikian yang belum terbukti berdaya antibakteri belum tentu tidak mempunyai daya antibakteri. Di sinilah pentingnya bahan baku yang standar. Standardisasi bahan baku perlu diadakan, dan untuk ini tidak diperlukan bahan baku dengan daya yang tinggi. Sebagai permulaan diperlukan suatu kesepakatan terlebih dahulu. Ialah menentukan asal bahan baku, bila dipanen (tgl bulan, keadaan cuaca), cara penanaman (mungkin sudah dibudidayakan hingga diperlukan informasi pembudidayaan), cara pengolahan bahan setelah dipanen. Semua bahan baku lainnya kemudian menggunakan bahan baku ini sebagai pembanding (reference), sehingga mungkin saja bahan baku dari daerah lain atau dipanen pada waktu lain dapat berpotensi lebih atau kurang. Tidak berarti penelitian daya antibakteri yang sudah dilakukan sampai dengan membandingkan dengan antibiotika tidak ada gunanya tetapi bagi peneliti kemudian perlu diperhatikan bahwa pernah dilakukan penelitian ini hingga perlu ditelusuri segala informasinya termasuk sumber dari bahan baku. Dalam ulasan di sini belum diangkatjenis bakteri uji. Hal ini sangat penting karena tidak semua bakteri uji sama pekanya terhadap suatu zat. Jadi perlu dieval uasi jenis bahan uji di antaranya sensitivitas, Gram positif atau Gram negatif, atau dilihat dari jenis bakteri uji berkaitan denganjenis penyakit yang ditimbulkan. Demikian belum diperhatikan kaitan suku tanaman dan daya antibakteri berbagai simplisia. Karena diketahui kandungan kimia sangat erat hubungan suku dan kandungan sehingga terlahir ilmu yang dinamakan chemo-taxonomi. Masalah falsafah tujuan penelitian mungkin meminta perhatian (untuk semua penelitian obat tradisional/tanaman obat). Satu segi pengembangan dapat dilakukan untuk secepat mungkin dapat dimanfaatkan, artinya digunakan oleh penderita. ini berarti dimanfaatkan dalam bentuk sederhana dan bila sudah dapat dimanfaatkan, dapat dimasyarakatkan umpamanya sebagai informasi di Posyandu. Langkah pengembangan kemudian adalah untuk dikembangkan menjadi obat berbentuk lebih modern, tanpa mencari zat aktifnya yang perlu memenuhi semua persyaratan sebagai obat modern. Segi lain adalah bahwa tiap penelitian dapat diarahkan ke-

pada mencari mddel zat yang baru yang mempunyai daya antibakteri. Mungkin di sini tidak difikirkan tentang kemungkinan simplisia menjadi komoditi penghasil obat, seperti kina dahulu. Karena seperti kina akhirnya pengganti kina secara sintetik banyak ditemukan dari perkebunan kina terlantar. Hal yang sama terjadi baru-baru ini dengan Artemisia anua. Tanaman ini harus diteliti selama sekitar 20–30 tahun untuk menemukan zat aktifnya (bahan ini antimalaria bukan alkaloid, jadi merupakan model zat yang baru). Sekitar 2 tahun setelah ditemukan zat aktifnya bahan ini dibuat secara sintetik di Boston University dari 2 tahun kemudian sudah mendapatkan izin untuk diedarkan. Dimanakah harapan orang yang ingin menjadikan Artemisia anua sebagai obat antimalaria baru? Jadi untuk segi kedua ini perlu diwaspadai. Kita tidak perlu berbangga mempunyai sumber alam yang kaya. Tetapi mungkin setelah suatu bentuk (bila perlu yang sederhanapun) dimintakan paten hingga penghasil simplisia tidak dirugikan dan masyarakat di daerah tetap masih dapat menggunakan tanaman obat yang diperoleh dari alam bebas, sebagai obat. Dengan lain perkataan, karena sudah banyak simplisia terbukti berdaya antibakteri, segera diteliti potensinya dengan tidak melupakan standardisasi, da dimasyarakatkan meskipun hasilnya masih dalam bentuk empirik (infus, rebusan atau lainnya). Tidak perlu menunggu menemukan zat aktifnya lengkap dengan informasi farmakodinamika dari farmakokinetika. Perlu juga difikirkan batasan-batasan yang menjadi persyaratan untuk sesuatu simplisia layak diteliti lebih lanjut. Contoh bagi satu persyaratan adalah toksisitas. Di antaranya LD50 (dapat diambil kreterion yang lain). Berapa LD50 bahan diteliti untuk manjadi batas bagi lanjutan penelitian. Dapatkah batasan Gleason digunakan ialah bila besar LD50 lebih dari 15.000 mg/Kg berat badan tikus dalam bentuk sediaan apa saja? Bila ini dapat diterima, maka salah satu syarat sudah dipenuhi. Perlu diperhatikan bahwa batasan Gleason (1969) diperuntukkan zat industri. Bila diasumsikan bahwa hasil toksisitas merupakan hasil secara total dari bahan maka, batasan Gleason sekiranya dapat digunakan. Contoh lain adalah tentang potensi daya antibakteri bagi bahan (yang sementara ini telah ditentukan pada sejumlah simplisia). Berapa sebaiknya MIC-nya untuk diputuskan bahan tersebut akan diteruskan penelitiannya. Untuk ini perlu diperbandingkan dengan MIC dan bahan antibakteri lain yang dikenal seperti suatu antibiotika. Contoh umpamanya : dalam suatu bentuk jumlah bahan uji sama dengan pembanding, potensinya minimal harus sepertiga dari potensi pembanding. Atau untuk bahan lain dapat ditentukan koefisien fenolnya. Berapakah sebaiknya koefisien fenol bahan uji ini supaya layak diteliti lebih lanjut? Dengan demikian masih beberapa masalah masih perlu dijawab sebelum penelitian lanjutan dapat dilaksanakan, meskipun sudah banyak dilakukan. KESIMPULAN DAN SARAN Sudah cukup banyak simplisia yang terbukti berdaya antibakteri dalam berbagai bentuk sediaan. Beberapa bahan yang berhasil disari, beberapa zat telah di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

37

isolasi dari simplisia yang diperoleh di Indonesia terbukti berdaya antibakteri. Berbagai simplisia telah disari dan memperoleh bahan dan tdah diisolasi beberapa zat yang baru diperkirakan berdaya antibakteri, tetapi belum dibuktikan daya antibakterinya. Penlu dikembangkan penelitian untuk dapat dimanfaatkan hasil secepatnya meskipun penelitian dilakukan dari bentuk sederhana, dan tanpa menunggu hasil penelitian zat aktif yang lebih banyak meminta waktu, dana, dan usaha. Dalam penelitian selanjutnya perlu dikembangkan berbagai persyaratan yang menjadi dasar keputusan kelayakan pene1itian selanjutnya. Khusus bagi penelitian lanjutan simplisia perlu diperhatikan di antaranya bahan baku, supaya bahan berkualitas ajek (konsisten). KEPUSTAKAAN 1.

Departemen Kesehatan RI, Badan Litbang Kes. Survey Kesehatan Rumah Tangga 1980. 2. Departemen Kesehatan RI. Badan Litbang Kes. Survey Kesehatan Rumah Tangga 1985. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Litbang Kes. Dep Kes RI. Penelitian Penggunaan Obat-obatan Tradisional di Kalirnantan Timur dan Sulawesi Selatan, 1989. 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Litbang Kes. Dep Kes. RI. Penelitian Obat-obatan tradisional pada masyarakat di Acdeh dan Madura. 5. Ervizal AM. Zuhud (editor). Pelestarian dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan Tropis Indonesia (Prosiding) Bogor 1991. 6. Sudarman Mardisiswojo, Harsono Rajakmangunsudarsi. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Balai Pustaka, 1987. 7. Sumali Wiryowidagdo dkk. Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat VII. Ujung Pandang, 4–5 Nopember 1993. 8. Chairul Saleh. Inventarisasi Obat Tradisional yang digunakan di Daerah Kab. Tapanuli Selatan untuk pengobatan ‘mencret-mencret’ serta pemeriksaan mikroskopik serbuknya. Skripsi JF M1PA USU. 9. Youmans PG, Paterson PY, Smmmers HM. The Biologic and Clinical Basis of Infectious Diseases. 2nd ed. WB. Saunders Company, Philadelphia, London, Toronto, 1980. 10. Junaidi P. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi II, Media Aesculapis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1982 11. Dwidjoseputro D. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Djambatan. Jakarta. 1985. 12. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan. Edisi 14. terjemahan Bonang G. UKI Atmajaya, Jakarta 1982. 13. Pelczar MJ. Dasar-dasar Mikrobiologi, tenjemahan Hadi Oetomo R.S. UI Jakarta 1988. 14. Gillies RR, Doods IC. Bacteriology Illustrated, 3rd ed. Churchil Livingstone, London, 1973. 16. Bailey W, Robert, Scott, Evelyn G. Diagnostic Microbiology, a Textbook for lsolaiion and Identification of Pathogenic Microorganism, 4th ed. The CV. Mosby Company. Saint Louis 1974: 400–401. 17. Roche Diagnostica. Urotube (Roche), F. Hoffmann - La Roche & Co. Limited Company, Basle, Switzerland, 1984: 1–15. 18. Hadi S. Gastroenterologi, edisi V. Bandung, Penerbit Alumni 1991: 36–45. 19. Cutting C. Cuttings Handbook of Pharmacology. The activities and uses of drugs. 5th ed. Appleton-Century-CroftslNew York. 1972. 20. Yadava RN. In vitro antimicrobial studies on the saponin obtained from Caesal pininea sappan L. Asian J Org Chemistry. 1989; V.1(t). 21. Harborne JB, Mobry LT. The flavonoid, Advances in research. Chapman & Hall. London New York. 1982; 620. 21a. Puslitbang Farmasi, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI., Hasil Penelitian Tanaman Obat di berbagai instansi di lokasi I s/d VIII. 21b. Dzulkarnain B, Nurendah PS. Praswanto, Lucie Widowati. Penelitian Tanaman Obat di Indonesia 1965–1995. Cermin Dunia Kedokt in press,

38

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

1996 22. Tri Murti Andayani. tiji antibakteri dan identifika.si flavonoid daun tapak liman (Elephanropus scaber L.) Fakultas Farmasi UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 23. Amalia Nur Utami. Isolasi dan daya antibakteri flavonoid daun kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) terhadap Staph aureus. FF, UGM 1986. 24. Erna Prawita Setyowati. Uji antibakteri dan identifikasi flavonoid dari daun jarak kepyar (Ricinus communis L.) FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 25. Anita Silvia Handayani. Isolasi glikosida flavonoida dan daun dari kulit kayu Anacardium occicentale L. FF, Universitas Katolik Widya Mandala (WIDMAN). Penejitian Pendahuluan. 1986. 26. Nancy Cherley Pelealu. Pemeriksaan kandungan kimia belimbing wuluh (Averriwa bilimbi L.) asal Ujung Pandang. JF. FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1984. 27. Siti Aisjah, Wahjo Djatmika, IGP Santa. Penelitian golongan kandungan kimia Hibiscus murabilis L. Risalah Seminar Lokakanya Pembudidayaan Tanaman Obat dan Pameran Obat Tradisional, Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, 1985: 100– 28. Aisyahfatmawati S. Identifikasi komponen utama flavonoid dari Alpinia galanga L. secara kromatografi lapis tipis asal desa Paria Kab. Wajo. JF, FM UNHAS. 1981. 29. Tyler yE, Brady LR, Robbins JE. Pharmacognosy. 8th ed. Lea & Febiger. Philadelphia USA. 1977; hal 107. 30. Harry Ongiriwan. Penentuan koefisien fenol minyak atsiri dari klika tanaman Cinnamomum burmani BL. terhadap bakteri Staph. aureus dan Salmonella typhosa. JB, FMIPA UNAND Penelitian Pendahuluan, 1980. 31. Trease GE, Evans WC. Pharmacognosy. 12th ed. Bailiere Tindall, London. 1983. Eucalyptus oil, Eugenol, Thymol adalah anti septic. di dalamnyajuga Sesquiterpen (salah satu jenis minyak atsiri) bersifat antimikrobial, halaman 1452. 32. Perry LM, Metzger J. Medical Plant of Asia and South-East Asia. MIT University Press Massachusetts. 1987. 33. Hamon NW. Garlic and the genus allium. Reveu Pharmaceutique Candiene Aout 1987: 493–498. 34. Lucky Hayati. Pemeriksaan pendahuluan terhadap daya antibakteni beberapa (13) minyak atsiri. Jurusan Kimia, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1990. 35. Ifiwati Wibowo. Uji daya antibakteri ekstrak daun jinten terhadap dua macam kuman gram negatif hasil isolasi urine penderita infeksi saluran kemih dibandingkan amoksilin tnhidrat. FF. WIDMAN. Penelitian Pendahuluan 1992. 36. Udju Sughondho es. Takaran terrendah (MIC) sebagai antibiotik dan infusa Kaemferia galanga dibandingkan dengan ampicillin. FK. UNPAD. 1990. 37. Herri S. Sastroamihardja. Minimal inhibition concentration (MIC) dan infusum Kaemferia galanga L. Bagian Farmakologi FK, UNPAD. 38. Eti Kusraeti. Pd daya antibakteri ekstrak etanol daun paean kuku (Lawsonia inermis L.) kesetaraannya dengan tetrasiklin .Serta usaha mengisolasi zat aktifnya. JF, FMIPA UNPAD. 1985. 39. Wiljanto Tjahjana. Daya antibakteri alkaloid berberin hasil isolasi dari tanaman Caseinum fenestratum Colebr. terhadap Staph. aureus dan E. coli. Fakultas Farmasi Unika Widya Mandala. Penelitian Pendahuluan. 1983. 40. Susana Endahwati Chandra. Perbandingan daya antibakteri berberin siolat Arcangelisia flava Merr. dengan penisilina G terhadap Staph. aureus. Fakultas Farmasi, Unika Widya Mandala. 1986. 41. Departemen Kesehatan RI. Tanaman Obat Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1985. 42. Meyliana. Pengaruh pektin hasil isolasi dari kulit buah Citrus sinensis Osbeck., varietas pacitan, Citrus maxima Merr. varietas Nambangan dan Citrus maxima Merr. varietas Bali, terhadap Salmonella typhosa NCTC 786. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. Penelitian Pendahuluan. 1992. 43. Aris Hidayat. Isolasi dan analisis pektin dari buah Carica papaja L. mentah serta daya antibakterinya terhadap Salmonella typhi dan E. coli. Fakultas Farmasi UGM. Penelitian Pendahuluan. 1991. 44. Etty Sri Rejeki W cs. Isolasi pektin dan buah Pyrus mallus L. dan pengaruhnya sebagai antibakteri terhadap Salmonella typhi dan Salmonella enteritidis secara in vitro. Risalah simposium penelitian tumbuhan obat III,

Yogyakarta 1983 79–90. 45. Dwi Kori Andayani. Pemeriksaan pengaruh pektin dari buah apel (Pyrus mallus L.) terhadap pertumbuhan bakteri penyebab diare secara in Vitro. Jurusan farmasi FMIPA USU. Penelitian Pendahuluan. 1991. Daftar 1. Informasi tentang daya antibakteri berbagai simplisia Keterangan: @ Koloni 3 : berisi informasi penggunaan secara empirik u = penyakit saluran pencernaan, k = penyakit kulit @ Kolom 4: berisi informasi ilmiah eksperimen khasiat antibakteri dan sediaan bentuk empirik; – (bb/ee/hh/ll); – bb berisi kependekan bagian digunakan, D = daun, Ul = umbi lapis, Ku = kulit, B = batang, KuB = kulit batang, Ka = kayu, KaB = kayu batang, R = rimpang, H = herba, Bu -buah, KuBu = kulit buah, ? = bila tidak jelas informasinya – ee berisi kependekan bentuk sediaan digunakan, I = infus, P = perasan, getah = getah, rendaman = rendaman, De = dekok, Re = rebusan, Sa = sari, EA = ekstrak air, ? = bila tidak jelas informasinya – hh berisi kependekan hasi/percobaan, + = ada aktivitas antibakteri, 0 = tidak ada aktivitas antibakteri, ? = bila tidak jelas informasinya

– ll berisi angka no literatur camber informasi dan terdaftar pada DAFTAR RUJUKAN @ Kolom 5: berisi kependekan informasi ilmiah eksperimen khasiat dari isolat, - (bb/ee/hh/ll); – bb = berisi kependekatn bagian digunakan seperti pada kolom 4 ditambah dengan Bi + biji, A = akar, C cabang, Km = kembang, KuA = kulit akar, Ra = ranting, ? = bila tidak jelas informasinya – ee = berisi kependekan bentuk sediaan digunakan, EM = ekstrak metanol, E = ekstrak, EAI = ekstrak etanol, MA = minyak atsiri, residu = residu, Sa = sari, berberin = berberine, EKI = ekstrak kloroform, pektin = pektin, EDM = ekstrak diklorometan, sediaan = sediaan, EMT = ekstrak minyak tanah, flavonoid = flavonoid, EEA = ekstrak etil aserat, suspensi serbuk = suspensi serbuk, EA = ekstrak air, minyak picung = minyak picung, PotPemb = potensi pembanding, ?= bila tidak jelas informasinya – hh = lihat keterangan kolom 4 – ll = lihat keterangan kolom 4 @ Kolom 6 : berisi informasi tentang zat kimia yang dikandung; - (bb/zz/ll); – bb = lihat keterangan kolom 4 – zz = zat yang dikandung sesuai yang tercantum – ll = No rujukan yang memberikan informasi kandungan

Daftar 1. Informasi tentang daya antibakteri berbagai simplisia Nama Latin (nama daerah) 1 2 1 Abrus precatorius L. (saga)

No.

Penggunaan empirik k/u 3 u (1)

2 3 4 5

Achrasia elliptica L. Acorus calamus L. (dringo) u (1) Aglia odorata Lour. (nilam) k (18) Allium cepa L. (bawang merah) 6 Allium.flstulosum L. (bawang daun) 7 Alliumsativum L. (bawang k+u (1, 8, 28) putih)

8 Aloe vera L. (lidah buaya)

Eksp. sediaan empirik 4 –(D/I+/13)

Eksp. sediaan isolat 5 – (D/E/+/9, 10) –(D/EM/+/1l) –Bi/EM/+/11) –(D/E/0/12) –(D/EAI/+/13)

Kandungan kimia 6 –(glyzerizin/ 211) – (D/flavonoid/ 14)

–(D/I/?/16) –(R/MA/+/17) –(D/Sa/+/18) –(I/L/E/0/19) –(D/MA/+/20) –(I/I/?/?/21) –(I/I/P/+23) –(I/I/P/+/25)

u (1)

–I/L/?/?/21) –(I/I/E/?/22) –(I/I/EI+/24) –(I/I/E/+/26) –I/I/E/+27) –(D/residu/+/ 29) –(KuB/E/0/30)

–(atsiri/211) –(alicin = baktstati k/2 10) –I/I/MA/27) –I//alisin/28) –(aloe emodin/ 211) –(tanin/211 ) –(tanin/211 ) –(D/flavonoid/ 32) –(KuB/ flavonoid/32)

9 Alyzia stellata R.Br (pulosari) 10 Anacardiam occidentale L. (jambu mete)

u (1, 30) k (1)

–(D/E/?/31)

11 Andrographis paniculata Nees. (sambiloto) 12 Andropogon muricata Rtz. (akar wangi) 13 A rcangelisia flava Merr. (kayu kuning) 14 ArdisiafnnsteniScheffer. (lingapus) 15 Areca catechu L. (pinang)

u & k (1)

–(D/Sa/+/18) –(D/E/+/33) –(A/MA/+/35)

16 Averrhoa bilimbi L. (belimbing wuluh) 17 Averrhoa carambola L. (belimbing manis)

–(KuB/1/0/30)

–(KaB/berberin +/36) PotPemb –(C/EM/+/38)

–(KaB/ alkaloid/37)

k+u (1, 2, 8)

–(Bi/El0/19)

u(39)

–(D/E/+/39) –(D/E/+/19) –(D/E/?/4I )

–(alkaloid/21 I) –(alkaloid/210) –(tanin antibakt/212) –(Bu/flavonoid/ 40)

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

39

18 Boesenbergia panduratu (kunci) 19 Cuesalpinia sappan L. (kayu secang)

u (42)

20 Cananglum odorata Hook. (kenanga) 21 Capsicum.jrutescens L. (cabe rawit) 22 Carica papaya L. (papaya)

k (1)

22 Carica papaya L. (papaya) 23 Caseinum fenestratum Colebr. (herba) 24 Cassia alata L. (ketepeng kebo)

25 Cassia fistula (trengguli) 26 Cassia siamea Lamk. (johar) 27 Centella asiatica I/rban. (daun kaki kuda)

k (1, 50)

–(R/EK1 /+/42) –(R/EJ+/19) –(KaB/?/?/42) –(KaB/FJ?/46) –(KaB/E/+/47) –(KaB/Sa/+/48) –(?/saponinl+l 45a) –(Km/MA/+/35) –(Km/MA/+/17) –(Bu/E/?/50)

u (1, 51)

–(Bi/EA1/+/51)

u(52)

–(Bu/pektin/+/ 52) –(H/berberin/+/ 53) –(D/EA1/+/55)

u (1, 44, 46)

k (54, 55)

k(69) k+u (1, 69, 70,71)

28 Cinnamomum burmanii Nees. (kayu manis)

u (6, 73)

29 Citrus aurantifolia Swingle. (jeruk tipis)

u (1, 6)

30 Citrus maxima Merr. (jeruk bali) 31 Citrus sinensis Osbect.

k (1)

32 Clausena harmandiana Pierre. 33 Clerodendron siphoxanthes R.Br. (pituju) 34 Clidemia hirta 35 Coffea robusta Lind. (kopi) saluran 36 Colleus amboinicus Lour. kemih (82) (daun jinten k (1) 37 Coleus scutellarioides Benth. 38 Cosmos caudatus HBK. (kenikir) 39 Curcuma aeruginosa Roxb. k (86) (temu hitam) 40 Curcuma domestica Val. u(1,6);k(1) (kunyit)

40

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

–(KaB/I/?/34) –(KaB/I/?/36) –(KaB/I/0/45)

(D/I/?/54)

–(D/I/?67) –(D/I/+/68)

–(galat, asam tanat, atsiri/21 1) –(KaB/tanin/48) –(KaB/tanin/49)

–(atsiri/21 1) –(alkaloid/211) –(carpain = amebicide/210)

–(aloe emodin/ 211)

–(D/Sa/?/56) –(D/Sa/+157) –(D/EDM/+159) –(D/EDM/+/60) –(D/EDM/+/61) –(D/EA 1/+/62) –(D/EA II+/63) – –(D/EAI/+/64) –(D/EAI/+/65) –(D/EAI/+/66

–(D/P/+/71) –(D/E/+/69) –(D/sediaan/+/ 70)

–(H/triterpen/ 72) –(atsiri/211) –(art tileprosyl 211) –(KuB/minyak –(atsiri/73) –(tanin/21 1) –(tanin/210)

–(KuB/MA/+/ 35) –(KuB/MA/+/ 73) Koeffen –(KuB/Sa/+/74) – (atsiri/21 1) – (DIMAI+/75) –(atsiri dan flavonoid/212) –(KuBu/pektin/ –(KuBu/pektin/ 77) 76) –(KuBu/pektin/ –(KuBu/pektin/ 77) 76) –(D/EA 1/+/78) –(DIEA 1/+/79)

–(D/I/?/83)

–(I/L/E(0/19) –(Bu/EM/+/80) –(Bu/EEA/+81) –(D/E/+/82) PotPemb –(D/EJ+/19)

–(tanin/21 1) –(atsiri/211) –(D–flavonoid/ 84)

–(D/MA/+/85) –(R/E/+/86) –(R/I/?/87) –(R/I/?/90)

–(R/MA/?/88) –(R/E/+/98)

–(atsiri, ses– quiterp/211)

–(R/EMT/?/91) – (atsiri –(R/EK1/?/9 1 ) di antaranya –(R/EM/?/91) sequiterpen dan curcumin –(Antibakt 212) –(R/MA/92) –(R/curcumin/ 93) ° (R/MA/+/94) –(R/curcumin/ 95) –(R/MA/+/96) –(R/curcumin/ –(R/EMT/+/96) 95) –(R/E/+/89) –(R/MA/99) –(R/E/+/97) –(R/curcumin (R/Sa/+/18) 95) –(R/MA/?/98) – (R/sesquiter– pen/100) –(D/MA/+/35) –(D/MA/101) –D/MA/102) –(D/E/?/103)

41 Curcuma heyneana Val. V. Zijp (temu giring) 42 Curcuma mangga Val. ? 43 Curcumaxanthorrhiza Roxb. (temulawak)

k (1)

44 Cymbopogon nardus L. (serai wangi) 45 Drymoglossum hetero– k (1) phyllum C.Chr. (sisik naga) 46 Dysoxylum anwrroides Miq. (kedoya) 47 Elephantopus scaber L. u(1) (daun urat) 48 Eleusine indica Hearth. (rumput belulang) 49 Erythrina orientalis L. u (107) (dadap ayam) 50 Eugenia caryophylata Sprengel. (cengkeh) 51 Eugenia polyantha Wight. (daun salam) 52 Euphorbia antiquorum L. (getah) 53 Euphorbia hirta (patikan kebo) 54 Garcinia mangostana L. manggis

–(D/E/?/104) –(D/flavonoid/ – (flavonoid/2 1 1) +/105) –(A/EAI/+/106) –(D/E/?/107) –(Km/MA/+/35) –(Km/MA/108) –(Km+D/ eugenol/109) –(D/E/?/110) –(D/MA/+/111)

u (1) k (112) u (113) u (1, 115)

–(D/getah/?/ 112) –(H/l/+/113) –(KuBu/I/?/ 115)

55 Gardenia augusta Merr. (kacapiring) 56 Hemigraphis colorata Hall. saluran kemih (kecibeling) (1) 57 Hibiscus mutabilis L. (daun) ?

u (121)

58 Hibiscus similis (waru) ?

TBC (123)

59 Ipomoea batata Poir. (ubijalar) 60 Kaempferia galanga L. (kencur)

k (1, 2, 124)

61 Lagestromia regina Roxb. (bungur) 62 Languas galanga Stunz. laos)

k (1) u (132)

63 Lantana camara L. (temblekan) 64 Lawsonia inermis L. (pacar kuku)

k (3, 139)

u (6)

I/ (134, 136) k (134)

k (142)

–(H/flavonoid/ 114) –(tanin/2l 1)

–(KuBu/E/?/ 115) –(KuBu/E/0/19) –(D/EEA/+/1 17 –(atsiri/211)

–(D/EEA/+/118) –(D/flavonoid/ 119) –(D/flavonoid/ 120 –(D/E/+/I21) –(D/flavonoid, tanin, polifenol/122) –(D/rendaman/ +/123) –(R/I/?/126) PotPemb –(R/I/?/127) MIC – (R/?/?/ 129)

–(D/E/+/124)

–(pektin/211)

–(R/MA/+/125) PotPemb –R/E/+/128)

–(atsiri/211) –R/etil p–metoksi sinamat/130)

–(KuB/E/_+/132 –(R/?/?/133) –(R/?/?/I34) –(R/perasan/+/ 136)

–(R/E/+/135) –(R/MA/?/138)

–(R/flavonoid/ 137)

–(A/EAI/+/139) –(D/triterpen/ 140) –(D/E/?/l41) PotPemb

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

41

–(D/EM/+1142) –(D/E/+/143)

65 Leucas lavandulifolia J. Smith. (lenglengan) 66 Litsia cubeba L. (krangean) 67 Melaleuca leucadendra L. (merica bolong)

–(Bu/MA/+/35)

68 Melia azadarach L. (mindi) 69 Melia azadirachta L. (mimba) 70 Michelia champaca L. (cempaka) 71 Morinda citrifolia L. (mengkudu)

k (212) erysi– pelas, k (t) k (1)

72 Moringa oleifera Lamk. (kelor)

saluran kemih (1)

73 Musa brachicarpa ? 74 Myristicafragrans Hout. (pala, biji, fuli) 75 Ocimum gratisimum L. (selasih) 76 Orthosiphon stamineus Berith. (kumis kucing) 77 Paederia foetida L. (daun sembukan)

–(Bu/MA/+/35) –(Bu/MA/+/ 145) –(D/I/?/16)

–(?/E/?/146) Pot –(?/EK 1?/147) – (By/EEA/+/ 148) –(Bu/EA/+/148) –(Bii/EA I/+/ 149) –(Bu/EEA/+/ 150) –(KuA/EMT/+/ 152) (Bi/suspensi serbuk/+/153) –(Bu/E/+/19) –(Bu/E/+/19) –(Bi/MA/+/35)

u (6)

83 Piper cubeba L. (kemukus)

saluran kemih (6) u (6) k (1)

84 Piper nigrum L. (lada) 85 Plantago mayor L. (daun sendok) 86 Pleomaleangustifolia M.E.Broun. (daun suji) 87 Pluchea indica Less. (beluntas) 88 Pogostemcm cablin Benth. (nilam) 89 Psidium guajava L. (jambu biji)

90 Punica granatum L. (delima)

42

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

u (6, 164) u (6) kumur(168)

–(fuli/MA/154)

–(D/I/?/156) –(D/EEA/+/157) –(D/flavonoid –(D/EA/+/157) 0/157)

78 Pangium edule Reinw. (klewek) u (160)

–antrakinon/2I1 –(Bu/fenolik/ 151) –(A/fenolik/ 151)

–(D/MA/?/155)

u (1)

79 Parkia biglobosa Benth. (kedawung) 80 Phaseolus radiatus L. (kacang hijau) 81 Phyllanthus niruri L. (meniran) 82 Piper betle L. (sirih)

–(tanin/212 antibakteri)

–(D/I/?/16)

saluran kemih (1) u (l) tenggorokan (149)

saluran kemih (1) urin (156)

–(B/sesquiter– pen/144) –(atsiri/21 I)

–(Bi/minyak picung/+/158) (Bi/minyak picung/+/159) –(Bi/EAI/+/ 160) –(D/flavonoid/ +/162) –(H/I/+/164) –(H/De/+/163) –(D/I/+/168)

–(Bu/I/+/169)

kumur (171) u (1)

–(tanin/211) –(Bi/tanin/ 161)

–(D/MA/+/166) –(D/minyak/?/ 167) –(D/Sa/+/168) –(Bu/MA/+/35) –(Bu/MA/+/17) –(Bu/MA/+/35) –(D/EA1/+/170) Pot Pemb. –(D/Sa/?/171)

–(atsiri, tanin/ 211)

–(D/Sa/+_/18) –(D/MA/+/173)

–(D/MA/173) –(D/kamfer, pinene/172)

–(atsiri/211) – (atsiri/21 1)

–(D/MA/+/35) u (1, 2, 3, 5, 6, 36, 167)

u (6, 44, 45, 30) k (183)

–(D/I/?/44) –(D/I/+/174) –(D/I/+/45) – (D/De/+/177) –(D/I/+/170) –(Bu/1/?/44) –(KuBu/I/?/44) –(Bu/I/0/45)

–(D/E/?/176) –(D/E/?/175) –(D/Sa/+/18) –(D/El?/19)

–(D/flavonoid + + tan in + saponi n/179) –(D/tanin/I80)

–(KuBu/E/?/ 181) –(KuBu/EM/+/

–(tanin/211)

–(KuBu/I/0/45 –(KuBu/R/?/ 182) 91 Pyrus mallus L. (apel)

u (35, 32, 184, 185)

92 Rhinicantrhus nosutus Kurz. (tereba 93 Ricinus communis L. (jarak kepyar) 94 Santalum album L. (cendana)

k (186)

95 Sesbania grandiflora Pers. (turi) 96 Sida rhombifolia L. (sida guri) 97 Spilanthes acmella L. ?

u (1, 190)

–(KuB/E/+/190)

k (1, 191)

–(D/EAI/+/191)

u(192)

–(Km/MA/+/ 192) –(D/E/+/193)

amandel (1)

–(D/E/+/194)

98 Symphytum gfficinale L. (komfrei) 99 Syzygium cumini Skeels. (jamblang) 100 Terminalia bellerina Roxb. (jalawe) 101 Tinospora crispa Miers. (brotowali)

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

9.

–(D/flavonoid/ +/187) –(KaB/MA/+/ 35)

k (1) k (1)

k+u (1, 196, 197, 198)

102 Tithonia diversifolium A. Gray. ? 103 Unicaria gambir Roxb. (gambir)

k (200, 201)

104 Usnea Sp.(kayu angin)

u (1)

105 Woodfordia,floribunda Lamk.(sidawajah) 106 ZingibergfficinaleRoxbr (jahe)

k (1)

u (6, 202, 203)

u (1) kolera

RUJUKAN UNTUK DAFTAR 1 1.

183) –(KuBu/E/+/19) –(KuBu/E/+/30) –(Bu/pektin/+/ –(Bu/pektin/ 184) (184) –(Bu/pektin/+/ 185) –(D/E/+/186)

Sudarman Mardisiswojo, Harsono Rajakmangunsudarso. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Balai Pustaka. 1987. Ervizal AM. Zuhud (ed). Pelestarian dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan Tropis Indonesia (Prosiding) Bogor 1991. Sumali Wiryowidagdo cs. Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat VII. Ujung Pandang, 4–5 Nopember 1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi. Badan Litbang Kes. Dep Kes. RI. Penelitian penggunaan Obat-obatan Tradisional di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Litbang Kes. Dep Kes. RI. Penelitian Obat-obatan tradisional pada masyarakat di Aceh dan Madura. Departemen Kesehatan RI. Badan Litbang Kes. Survey Kesehatan Rumah Tangga 1980. Departemen Kesehatan RI, Badan Litbang Kes. Survey Kesehatan Rumah Tangga 1985. Chairul Saleh. Inventanisasi Obat Tradisional yang digunakan di Daerah Kab. Tapanuli Selatan untuk pengobatan ‘mencret-mencret’ serta pe meriksaan Mikroskopik serbuknya. Skripsi JF MIPA USU. Penelitian Pendahuluan. 1982. Muchsin Danise, M. Matsudjide, Suleman. Ekstraksi daun saga (Abri folium) dengan beberapa metoda serta uji daya hainbat bakteri uji. Jurusan Farmasi (JF), FMIPA Universitas Hasanudin (UNHAS). Ujung Pandang.

–(B/I/+/199)

–(KuBu/FJ+/ 195) –(B/E/?/196) –(B/E/+/197) –(B/E/+/198) –(B/E/?/200) –(D/E/+/201) –(D/E/+/202) –Ra/E/+/202) – (D/E/+/203) –(Ra/E/+/203) –(H/E cream/+/205) –(D/E/+/10) –(Km/E/?/206) –(R/MA/+/35) –(R/MA/+/207)

–(D/flavonoid/ 187) –(KaB/MA/188) – (atsiri, tanin/ 211)

–(atsiri, tanin/ 211) –(berberin/211)

– (tanin/21 1) –(D/tanin/204)

–(tanin/211) – (atsiri/21 1) –(R/MA/208)

Seminar POKJANAS TOI IV Bogor, 13–14 Januari 1993. 10. Masniani Poelungan, Rita Dewi Rahayu, Windarti Haryono, Chaerul. Lebar daerah hambatan yang dibentuk ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.) Kayu angin (Usnea Spp) pada bakteri E. coli dan Maraxella Sp. Puslitbang Biologi, LIPI. Seminar POKJANAS TOI IV Bogor 13–14 Januari 1993. 11. Rita Dwi Rahayu, Mindiarti Harapini, Chaerul, Masniani Poelungan. Pe ngaruh penambahan ekstrak metanol daun dan biji saga manis terhadap beberapa jenis bakteri. Puslitbang Biologi LIPI. POKJANAS IV Bogor 13–l4Januari 1993. 12. Bambang Prayogo, Wahjo Djatmika. IGP Santa, Sutarjadi. Aktivitas antimikrobadaun Abrus precatorius. Puslitbang 01. Universitas Airlangga (UNAIR). 1993. 13. Riana Savitri. Uji daya antibakteri ekstrak etanol dan infus daun saga Abrus precatorius L.) terhadap kuman Staph. aureus ATCC25933, Strep. beta hemolisycus standard strain WHO dan Strept. pneumonia standard. JF., FMIPA Universitas Indonesia (UI). Penelitian pendahuluan. 1994. 14. Tri Windono. Identifikasi senyawa flavonoid daun saga (Abrus precatorius L.) Lab. Fitokimia Fakultas Farmasi (FF), FMIPA Universita.s Surabaya (UBAYA). Seminar POKJANAS TOI IV Bogor, 13–I4ianuari 1993. 15. Chaerul, Mindarti Harapini. Kandungan komponen kimia pada Saga (Abrus precatorius L.) Lab. Treub. LIPI Bogor. Seminar POKJANAS TOI IV Bogor, 13–14ianuari 1993. 16. Agus Djamludin A. Percobaan daya antibakteri dari infus daun Melia azadarachta L., Melia azadarach L.. Achrasia ellipticaL.. terhadap kuman Staph. aureus ATCC25933 dan E. coli 25922. JF. FMIPA UI. Penelitian

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

43

Pendahuluan. 1986. 17. M. Noerdin Arzani. Aktivitas antimikroba minyak atsiri dan rimpang dringo (Acorus calamus L.). kembang kenanga (Canangium odarayta L.), dan buah kemukus (Piper cubeba L.) secara in vitro. Jurusan Kimia Farmasi, FF UGM, Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi llmiah, Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1986–1990. 18. Aneng Widjastuti. Penelitian mikrobiologi terhadap kandungan anti mikroba dan limajenis tumbuhan. FF, Universitas Pancasila (UPANCA). Penelitian Pendahuluan. 1990. 19. Atiek Soemiati. Pemeriksaan pendahuluan daya antibakteri ekstrak beberapa tanaman. SPTO VII, Ujung Pandang 1993 : 99–103. 20. lndah Setyaningsih. Efek minyak atsiri bawang daun (Allium fistulosum L.) terhadap bakteri Staph. aureus dan E. coli serta profit kromatografinya. FF. UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 21. Adiana Ayudi. Penelitian pendahuluan daya antibakteri Allium sativum L. terhadap kuman Staph. aureus strain Oxford. JF FM1PA UI. Penelitian Pendahuluan. 1985. 22. Eka Irindadevi. Aktivitas antibakteri secara invitro ekstrak bawang putih. Jurusan Farmasi, FMIPA Universitas Indonesia. Penelitian Pendahuluan. 1986. 23. Nelly D. Leswara, Atiek Sumiati, Sardjito, Rahim. Pemeriksaan daya anti bakteri perasan bawang putih terhadap Staph. aureus. Simposium Penelitian Tumbuhan Obat VI, Mnktamar IV PERHIPBA, Expo 111 Obat Tradisional, Lokakarya dan Penyuluhan Bahan Obat Alam. Depok 15–19 Nopember 1988. hal 214. 24. Safriansyah. Analisis bioautografi langsung pada lempeng KLT senyawa antibakteri dari Allium sativum L. FFUGM . Penelitian Pendahu1uan 1988. 25. Anastasia Adriani. Daya antibakteri Allium sativum L. dari pasar Beringharjo Yogyakarta terhadap Staph. aureus dan E. coli koleksi laboratorium mikrobiologi Fakultas Kedokteran. Fakultas Kedokteran (FK), UGM. 1992. 26. Slamet P, Slamet Santoso, Yusron Suwarso. Penggunaan ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai bahan antibakteni. Fakultas Biologi (FB), Universitas Jendral Soedirman (UNSOED). 1992. 27. Christiana Lethe. Isolasi dan identifikasi minyak atsiri dari umbi tapis bawang putih (Allium sativum L.) JF. FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1980. 28. lta Ruchaniyati. Analisis kandungan kimiautamaberbagai sediaan bawang putih di pasaran. FF. UGM. 1989. 29. Yoe Hok. Pengaruh residu daun lidah buaya (Aloe Vera L.) terhadap biakan bakteri Staph. aureus secatra invitro. JB, FMIPA, UNAIR. Penelitian Pendahuluan. 1988. 30. Dian Sundani. Pengaruh infusdan ekstnakpulosani (AlyxiastehlataR.B.) dan delima (Punica grariatum L.) terhadap bakteri penyebab diare. Laporan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi. Badan Litbang Kes. 1995. 31. Wayan Supradiyani. Daya antibakteri daun dari ekstrak kulit buah Anacardium occidentale L. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan, 1986. 32. Anita Silvia Handayani. Isolasi glikosida flavonoida dan daun dari kulit kayu Anacardium occicentale L. FF, Universitas Katolik Widya Mandala (WIDMAN). Penelitian Pendahuluan. 1986. 33. Chairul, Masniari Poelungan, Wika Rachmawati. Uji efek antibakteri ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) terhadap beberapa jenis bakteri. Seminar Nasional POKJANAS TOL VI Bandung 2–3 Februari 1994. 34. Rita Dwi Rahayu, Mindarti Harapini, Chairul. Pengaruh penambahan ekstrak sambiloto (Andrographispaniculata Nees.) dengan beberapa pelarut dan dosis terhadap beberapa bakteri. Puslitbang Biologi. Seminar Nasional POKJANAS TOI VI, Bandung 2–3 Februan 1994. 35. Lucky Hayati. Pemeriksaan pendahuluan terhadap daya antibakteri beberapa (tiga belas) minyak atsini. Jurusan Kimia (JK), FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1990. 36. Suasana Endahwati Chandra. Perbandingan daya antibakteri berberin isolat Arcangelisiaflava Merr. dengan penisilina G terhadap Staph. aureus. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahutuan. 1986. 37. Fatmawati AM. Isolasi dan identifikasi kandungan alkaloid kayu kuning (Arcangehisiaflava Merr.) asal kabupaten Sorong Propinsi Irian Jaya. JF, FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1989. 38. Mob. Au Yusran, Uji daya hambat ekstrak cabang lingapus (Ardisia forstenii Sceffer.) terhadap bakteri uji yang digunakan. JF, FMIPA UN-

44

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

HAS. Pene1itit Pendahuluan. 1991. 39. Linda. Uji efek antimiknoba ekstrak daun belimbing (Averrhoa bilimbi L.) terhadap beberapa bakteri penyebab tukak secara invitro. JF, FMIPA Universitas Andalas (UNAND). Penelitian Pendahuluan. 1993. 40. Nancy Cherley Pelealu. Pemeriksaan kandungan kimia belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) asal Ujung Pandang. JF, FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1984. 41. Suwarti Sjamsuddin. Uji antimikroba dari ekstrak daun segar Averrhoa carambola L. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1982. 42. Yulvia. Uji efek antimiknoba ekstrak rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurataRoxb.) terhadap beberapa bakteri penyebab tukak secara in vitro. JF, FMIPA UNAND. Penelitian Fendahuluan. 1990. 43. Elm Yulina S. et aS. Isolasi komponen aktif dari Caesalpinia sappan L. (kayo secang) dari pengujian efek antibakteri serta uji toksisitasnya pada hewan percobaan. JF, FMIPA Institut Teknologi Bandung 1982. 44. Benny Hartanto. Uji efek Infus daun Psidium guajava K. (Myrtaceae), kayu Caesalpinia sappan L. (Caesalpiniaceae), buah dan kulit buah Punica granatum L (Punicaceae) sebagai antidiare pada mencit putih Swiss Web. dan sebagai antibakteri. JF, FM1PA ITB. 1983. 45. Wattimena JR, Elm Yulinah, Benny Hartanto. Uji infus daun Psidium guajava (Myrtaceae), kayu Caesalpinia sappan (Caesaipiniaceae), buah dari kulit buah Punica granatum sebagai antidiare pada mencit putih Swiss Webster dan sebagai antibakteri. JF. FMIPA ITB. Maj. Farmakol. Terapi Indon. 1985; 11(4): 29–31. 45a. Yavada RN. In vitro antimicrobial studies on the saponin obtained from Caesalpiniea sappan L. Asian J Org Chemistry 1989; V.1(1). 46. Moh. Anis. Uji rnikrobiologi ekstrak kayu secang (sappan L.) terhadap beberapa bakteri penyebab tukak secara invitro. JF. FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1990. 47. Nurhayati, Imam Hidayatullah, Siti Nurjanah, Radiah Wahyuningsih. Efek anti mikroba ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap beberapa macam mikroba. Divisi Ristek, PT (Pesero) Kimia Fanma. Seminar Nasional Ke-IX POKJANAS TOI Yogyakarta 21–22 September 1995. 48. Liliek S. Hermanu. Penentuan kadartanin dalam serbuk kayu secang. Puslit OT WIDMAN. Surabaya. Seminar Nasional Ke-IX POKJANAS TOI Yogyakarta 2 1–22 September 1995. 49. Risfaheni, Sri Yuliani, Tjitjah Fatimah. Isolasi tanin dan kayo secang. Balni Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Seminar Nasional Ke-IX POKJANAS TOI Yogyakarta 21–22 September 1995. 50. Tyas Ekowati Prasetyoningsih. Daya hambat ekstrak buah Capsicum frutescens L. terhadap pertumbuhan Candida albicans. FF. UNAIR. Penelitian Pendahuluan. 1987. 51. Nuraini Gani. Daya antiseptik biji pepaya (Carica papaya L.) terhadap bakteri penyebab diare invitro. JF, FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1988. 52. Anis Hidayat. Isolasi dan analisis pektin dari buah Caricu papaya L. mentab serta daya antibakteninya terhadap Salmonella typhi dan E. coli. FF, VGM. Penelitian Pendahuluan. 1991. 53. Wiljanto Tjahjana. Daya antibakteri alkaloida berberin hasil isolasi dari tanaman Caseinumfenestratum Cobebr. terhadap Staph. aureus dan E. coli. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1983. 54. Yayat Heryati. Penelitian laboratorium mengenai efek antibakteri dan antijamur dari daun Cassia alata L. (ketepeng) dalam bentuk infusa terhadap beberapa jasad nenik patogen. JF. FMIPA UI. 1980. 55. Tahir Ahmad. Pengaruh ekstrak daun ketepeng (Cassia alata L.) terhadap bakteri penyebab penyakit kutit. JF, FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1985. 56. Mindarwati. Uji daya antimikroba sediaan kriin mengandung sari daun ketepang (Cassia alata L.) JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1986. 57. Sri Harjati Setiodihardjo. Uji daya antimikroba sediaan salep yang me ngandung sari daun ketepeng (Cassia alata L.). JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1986. 58. Titik Wirahardja, Sri Soeryati HI, R. Usman. Uji daya antimikroba sediaan salep yang mengandung sari daun ketepeng (Cassia alata L.). Simposium Penelitian Tumbuhan Obat VI, Muktamar IV PERHIPBA, Expo III Obat Tradisional, Lokakarya dan Penyuluhan Bahan Obat Alam. Depok 15–19 Nopember 1988. hal 214. 59. Sri Mulyani. Daya antimikroba sari dikiormetana hasil sokhletasi daun Cassia alata L. yang dikeringkan. jurusan Biologi Farma.si, FF UGM

60.

61.

62.

63.

64.

65.

66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 78. 77.

78. 79. 80. 81. 82.

Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi Ilmiah Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada, 1986–1990. hal 166. Taroeno. Daya antimikroba sari diklorometana hasil penyarian cair-air ekstrak daun Cassia alata L. yang dikeringkan dengan oven. Jurusan Biologi Farmasi (JBF). FF UGM Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi llmiah Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada, 1986–1990. hal 166. Soedarsono. Daya antimikroba sari diklormetana hasil penyarian cair-air ekstrak daun Cassia alata L. yang dikeringkan dengan matahari. JBF, FF UGM Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi llmiah Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1986–1990. hal 167. B. Sudarto. Daya antimikroba sari etanol hasil sokhletasi daun Cassia alata L. yang dikeringkan dengan oven. JBF, FF UGM Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi llmiah Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada, 1986–1990. hal 168. Wahyono. Daya antimikroba sari hasil sokhletasi daun Cassia alata L. yang dikeringkan dengan matahari. .IBF, FF UGM Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi Ilmiah Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1986–1990. hal 168. Koensoemardiyah. Daya antimikroba sari etanol hasil penyarian Cair-Cair daun Cassia alata L. yang dikeringkan dengan oven. JBF, FF UGM Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi llmiah Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1986–1990, hal 169. Suwijo Pramono. Daya antimikroha sari etanol hasil penyarian Cair-Cair daun Cassia alata L. yang dikeringkan dengan matahari. JBF, FF UGM Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi llmiah Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1986–1990. hal 169. Kinteki Rarastri. Daya antibakteri sari diklormetana bebas klorofil daun Cassia alata L. (ketepeng kebo) terhadap Staph. aureus. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. Yardo Hartanto. Pereobaaa pendahuluan efek antibakteri infus Cassia fistula L. terhadap Staph. aureus strain Oxford. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1985. Aan Risna Uli. Uji pendahuluan efek antimikroba dari infus daun johar terhadap beberapa bakteri dan jamur penyebab penyakit kulit. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1994. Endang Adriyani. Uji khasiat daun pegagan (Centella asiatica Urban.) terhadap Staph. aureus, E. coli dan Candida albicans invitro. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1987. Ibid.. Syahnida. Daya hambat perasan daun Centella asiatica Urban. terhadap beberapa kuman enterik. JB, FMIPA UNAN. Penelitian Pendahuluan. Maria Theresia Susilowati. Isolasi triterpen dari Centella asiatica Urban. FF. WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1991. Harry Ongiriwan. Penentuan koefisien fenol minyak atsiri dari klika tanaman Cinnamomum burmani BL. terhadap bakteri Staph. aureus dan Salmonella typhosa. JB, FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1980. Ria Amelya. Pengaruh daya hambat kayu manis (Cinnamomum burmani BI.) terhadap Staph. aureus Rosenbach. JB. FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1992. Ratih Dyah Pertiwi. Uji dayaantibakteri dan identifikasi minyak atsiri dari daun jeruk nipis (Citrus aura ntithlia Swingle). FF. UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. Meyliana. Pengaruh pektin hasil isolasi dari kulit buah Citrus sinensis Osbeck. varietas Pacitan, Citrus maxima Merr. varietas Nambangan dan Citrus maxima Merr. varietas Bali terhadap Salmonella typhosa NCTC PP, UBAYA. Penelitian Pendahuluan. 1992. Indrawati Tapuwidjaja. Isolasi dan uji kualitas pektin secara kimiawi dari kulit buah Citrus sinensis Osbeck. var Pacitan, Citrus maxima Merr. var Nambangan dan Citrus maxima Merr. var Bali. FF, UBAYA. Penelitian Pendahuluan. 1992. Uniati Triwahyuningsih. Pemeriksaan kandungan kimia dan aktivitas anti mikroba dan daun Clausena harmandiana Pierre ex Guill. FF, UGM. Penelitiaa Pendahuluan. 1989. Khairul. Uji mikrobiologi ekstrak daun pituju (Clerodendron siphoxanthes R.Br.). JF, FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1991. Ester Rositawati. Penelusuran komponen aktif antibakteri buah kopi hijau (Coffea robusta L.) FF, UGM. Penelitiaa Pendahuluan. 1992. Ulfah Hanum. Uji aktivitas antibakteri fraksi etil asetat buah kopi hijau (Coffea robusta L.) FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1991. Ifiwati Wibowo. Uji daya antibakteri ekstrak daun jinten terhadap dua

macam kuman gram negatif hasil isolasi urine penderita infeksi saluran kemih dibandingkan amoksilin trihidrat. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1992. 83.. Liem So Tjien. Pemeriksaan beberapa isi kandungan daun Coleus scutellariodes dan daya antibakteri infusnya terhadap Pseudomonas aeruginosa. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1981. 84. Tjendawati. Isolasi glikosida flavonoid dari daun Coleus scullarioides BTH. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1990. 85.. Fed Sovia Ersani. Isolasi dan uji daya antibakteri minyak atsiri daun Cosmos caudatus H.B.K. (kenikir). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 86.. Conny Pattipelohy. Pengaruh ekstrak temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) terhadap jamur Epidermophyton floccosum penyebab penyakit kurap. JF, FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1986. 87. Nana Suriana. Pemeriksaan beberapa sat kandungan serta daya antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa dan infus rimpang Curcuma domestica Val. FF, WIDMAN. 1981. 88. Muriyah. Hubungan antana kadar minytak atsiri rimpang kunyit dan efek antibakterinya terhadap Staph. aureus in vitro. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1985. 89. E. Ratnasani, MS. Hastuti, Rozali Usman, Sidik. Daya antibakteri temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb. dan kunyit (Curcuma domestica Val.) dalam ekstrak hasil fraksinasi dengan pelarut berpolaritas meningkat. Seminar, Lokakarya pembudidayaan tanaman obat dan Pameran Obat Tradisional. Universitas Jendral Soedirman Purwokerto. 1985 21090. Susilowati. Penganuh daya antimiknoba dari rhizom Curcuma domestica Val. terhadap bakteri E. coli. FF, UNAIR. Penelitian Pendahuluan. 1985. 91. Lois Ratnasani. Uji daya antibakteri ekstnak kunyit hasil ekstraksi dengan pelarut eter minyak tanah, khloroform dan metanol, terhadap beberapa jenis bakteri gram + dan bakteri gram–. JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1986. 92. Fitri Yunita. Penentuan komponen utama minyak atsiri kunyit (Curcuma domestica Val.) dengan GS-MS. 1K, FMIPA ITB. Penelitian Pendahuluan. 1986. 93. Eddy Yusuf. Penentuan kadan curcumin pada kunyit (Curcuma domestica Val.) secara kromatografi dan spektrofotometri. JK, FMIPA UI. 1989. 94. Sri Multani. Analisis GC-MS dan daya antimikroba minyak atsiri temu giring (Curcuma heyneana Val. V. Zijp. JBF, FF UGM. Abstrak Penelitian/Publikasi Ilmiah Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 1986–1990. hal 171. 95. Eddy Yusuf Analisis kandungan kurkumin pada rimpang beberapa (empat belas)jenis kurkuma dan Jawa (7. Curcuma heyneana Val.). FB UNHAS. 1980. 96. Ita Yukimantati. Penbedaan aktivitas antimiknoba minyak atsiri dengan ekstrak eter minyak bumi nimpang temu mangga (Curcuma mangga Val & V. Zijp.). JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1991. 97. M Siti Hastuti. Uji daya antibakteni ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) hasil fraksinasi dengan eter minyak tanah, kloroform dan metanol terhadap Staph. aureus, E. coli, Salmonella typhy dan Bacillus subtilis. JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1986. 98. Ardiah Astusi S.S. Ilyas. Isolasi minyak atsiri rhizoma temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan perannya sebagai antibakteri terhadap suatu jenis Staph. aureus dan E. coli. FB, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1993. 99,. Taufik Rachman. Penetapan kadan minyak atsiri rimpang temulawak (Curcumaxanthorrhiza Roxb.) dad beberapa daerah. JF. FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. Minyak atsiri tergantung daerah tumbuh. 1987. 100. Semangat Katanen. Penentuan komponen utama minytak atsiri temulawak Curcuma xanthorrhiza Roxb. JK, FMIPA ITB. 1988. 101.Elisviati. Analisis komponen-komponen utama minyak sereh dan daun sereb wangi dan sereh sayur secara spektrofotometri infra merah dan kromatografi cairan gas. JF, FMIPA USU. 1988. 102.Guspanyanti. Penganuh pnoses pelayuan daun sereh dapur Cympoogon nardus Rendle terhadap kuantitas dan kualitas minyak atsirinya. FFUBAYA. 1992. 103. L. Nuraini Susilowati. Daya antibakteri daun Drymoglossum heterophyllum C. Chr. (pakis duwitan) terhadap E. coli dan Staph. aureus serta sknining fitokimianya. 1988. 104. E Surtina. Penelitian daya antibakteni ekstrak daun kedoya (Dysoxylum amorroides Miq. dengan menggunakan pelarut heksana, kloroform dan etanol. JF, FM UNPAD. 1985.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

45

105. Tri Murti Andayani. U antibakteri dan identifikasi flavonoid dari daun tapak linian (Elephantopus scaberL.). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 106. Aty Widya Warayanti. Uji antibakteri ekstrak akar rumput belulang (Eleusine indicu Gearttt), JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1987. 107. DerizarDeniska. Uji efek antimikrobaekstrak daun dadap ayam (Erythrinu orientalis L.) terhadap beberapa bakteri penyebab tukak secara in vitro. JF, FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1993. 108. M. Muchalal. Komposisi minyak esensial minyak cengkeh. Risalah Seminar Lokakarya Pembudidayaan Tanaman Obat dan Pameran Obat Tradisonal, Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, 1985: 158 109. Idha Wahyu Windarti. Isolasi eugenol dan kuncup bunga, tangkai hunga, dan daun cengkeh (Eugenia caryophyllata Thunb.) tipe Zanzibar. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1991. 110. Beni Warman. Uji mikrobiologi ekstrak Eugenia polyantha Wight. folium terhadap bakteri penyebab diare secara in vitro. JF, FMIPA UNAND. Penelitian Pend 1990. 111. Retno Sudewi. Isolasi dan uji daya antibakteri minyak atsiri daun salam (Eugenia polyantha Wight.). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 112. Agusdini Banun Saptaningsih. Pemeriksaan pendahuluan daya antibakteri dan antijamur getah Euphorbia anti quorum L. terhadap kuman Pseudo monas aeruginosa dan Staph. aureus serta Candida albicans. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1991. 113 Hana Tuti. Daya antibakteri infus herba Euphorbia hirtaL. terhadap Staph. aureus dengan Shigella sonnel. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1993. 114. Wellim Hartono. Skriningdan isolasi flavonoid dan Euphorbia hirta L. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1991. 115.Novi EkoRini. Pengaruh infus dan ekstrak kulit buah Garciniamangostana L. pada bakteri E. coli dan Shigella flexneri. FF, UNAIR. Penelitian Pendahuluan. 1990. 116. Hermansjah Amirt. Isolasi xanthone dan kulit buah Garcinia mangostana L. JK, FMIPA ITB. Penelitian Pendahuluan. 1990. 117. Siti Badriyah. Uji daya antibakteri fraksi etil asetat dan fraksi air daun Gardenia augusta Merr. Fakultas Farmasi, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1991. 118.Serly Sapulete. Uji aktivitas antibakteri fraksi etil asetat daun Hemigraphis colorata Hall. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 119. Art Kristijono. Isolasi dan identifikasi flavonoid dan daun Hemigraphic colorata Hall. FF, UGM. Sknipsi. 1987. 120. Sarwoko. Isolasi flavonoid dan daun kejibeling (Hemigraphis colorata Hall.) secara kromatografi lapis tipis. FF, UOM. Penelitian Pendahuluan.. 1989. 121. Masmariani. Daya antibakteni ekstrak daun Hibiscus mutabilis L. terhadap Staph. ureus, Bacillus subtilis, E. coli dan Shigella sonnei. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1992. 122. Siti Aisjah, Wahjo Djatmika, lOP Santa. Penelitian golongan kandungan kimia Hibiscus mutabilis L. Risalah Seminar Lokakasya Pembudidayaan Tanaman Obat dan Pameran Obat Tradisional, Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, 1985: 100123. Misnadiarly, Nunik Siti Aminah. Studi pendahuluan pengaruh ekstrak daun Hibiscus similis (waru) terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis 1136 Rv di Laboratorium. Cermin Dunia Kedokt 1993; 84: 39-40. 124. Meriyatmi. Uji mikrobiologi ekstrak daun ubi jalar (lpomoeabatatas Pair.) terhadap bakteri penyebab infeksi kulit secara in vitro. JF, FMIPA Universitas Andalas. Penelitian Pendahuluan. 1990. 125. Imarn Handoyo. Daya antibakten minyak atsiri dari kencur terhadap Staph. aureus dibandingkan dengan Erythromisin stearat. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1989. 126. Udju Sughondho cs Takaran terrendah (MIC) sebagai antibiotik dan infusa Kampferia galanga L. dibandingkan dengan ampicillin. FK, UNPAD, 1990. 127. Herri S. Sastroamihardja. Minimal inhibition concentration (MIC) dan infusum Kampferia galanga L. Bagian Fanmakologi FK, UNPAD. 19 128. Masniari Poelungan, Rita Dwi Rahayu, Mindiarti Harapini, Chairul. Diameter daerah hambat yang dibentuk ekstrak kencur (Kaempferiagalanga L.) terhadap Pasteurella Multivida. Seminar nasional POKJANAS TOI VI Bandung 2–3 Februari 1994.

46

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

129. Dien Amiani L, Haria T. Gunawan, Meylida. Skmining daya antimikroba rimpang Kaempferia galanga L. Seminar nasional POKJANAS TOL VI Bandung 2–3 Februan 1994. 130. Ratnasari. Studi penentuan struktum komponen kimia rimpang kencum (Kaempfèria galanga L.) asal Ujung Pandang. JF, FMIPA UNHAS. Penelilian Pendahulunn 1991. 131. Mindarti Harapini, Rita Dwi Rahayu, Chairul. Pemeriksaan Komponen minyak atsiri rimpang kencur (Kaempteria galanga L.) Lab. Treub. Pus litbang Biologi LIPI Bandung. Seminar POKJANASA TOI VI Bandung, 2–3 Februari 1994. 132. Heriyanto. Uji daya antibakteri ekstrak kulit batang bungur terhadap E. coli dan Shigella sonnei dibandingkan dengan kloramfenikol base. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1992. 133. Wahyu Noer. Penejitian bakteriologik-mikologik laos (Alpinia hgalanga L.) merajh dan putih segar terhadap bakteri Staph. aureus Str Oxford, Salmonella typhosa dan jamur microsporum. JF, FMIPA UNPAD. 1977. 134.. Tjarkiah Apandi, Penelitian daya kenja laos (Alpinia galanga Swan.) yang dikerjakan terhadap bakteri Staph. aureus strain Oxford, Salmonella typhosa dan jamur Microsporum gypseum. JF, FMJPA UNPAD. 1977. 135. Sri Ardani Soelarto. Formulasi salep dengan ekstrak langkuas dan penentuna daya hambatnya terhadap bakteri dan jamur. Penelitian Pendahuluan. JF, FMIPA UNPAD. 1979: 136. Mohasnad Eksan Sjatiudin. Penelitian efek bakterologik dan mikologik dari laos merah dan putih yang segar dan yang dikeringkan terhadap Staph. aureus, Salmonella ryphosa dan jamur Microsporum gypseum. Penelitian Pendahuluan. JF, FMIPA UNPAD. 1981. 137. Ny. Aisyahfatmawati S. Identifikasi komponen utama flavonoid dan Alpi sin galanga L. secara kromatografi lapis tipis asal desa Pania Kab. Wajo. JF, FMIPA UNHAS. 138. Paramita A. Hubungan antana kadardengan efek minyak atsiri hasil isolasi dari laos (galanga rhizome) ‘terhadasp Staph. aureus in vitro. 139. Purwani Sulistyowati. Efek antimiknoba akar temblekan (Lantana camara L) terhadap Candida albicans, E. coli dan Staph. aureus serta skrining fitokimianya. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1988. 140. Aida. Usaha isolasi dan identifikasi komponen kima daun temblekan (Lantana camara L.) asal Tamalamea Ujung Pandang. JFi, FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1990. 141. Eti Kusraeti. Penelitian daya antibakteri ekstnak etanol daun paean kuku (Lawsonia inermis L.) kesetaraannyadengan tetrasiklin serta usaha mengiso lasi zat aktifnya. JF, FMIPA UNPAD. 1985. 142. Wiralaga. Uji daya hambat ekstrak daun paean kuku (Lawsonia mermis L.) terhadapbakteri penyebab infeksi kuku secarainvitro. JF, FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1990. 143. Ni Nyoman Tamri. Pemeriksaan kandungan kimiadan aktivitas antibakteri dari Leucas lavanduli folia J.E,Smith. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1986. 144. Asep Saiful Azhan. lsolasi minyak atsiri dari Litsea cubeba Pers. JK, FMIPA ITB. 1993. 145. AnikDwiyanti. Isolasi dan ujidayaantibakteni minyakatsiri buah Melaleuca leucadendra L. (merica bolong) serta pemeriksaan kandungan kimianya. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1990. 146. Titi Miranti. Pengukuran potensi ekstrak kasar Michelin champaca L. sebagai antibakteri dengan metoda paper disc. JF FMIPA UNPAD. 1979. 147. Richard S. Pengujian aktivitas antibakten senyawa alkaloida lanut kloroform dari Michelia champaca, famili Magnoliaceae. JF FMIPA UNPAD. 1981. 148. Endang Pmasetyaningsih. Uji aktivitas antibakteri fraksietil asetatdan fraksi air buah pace (Morinda citrifolia L.). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1990. 149. Zulkifli. Uji mikrobiologi ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap beberapa bakteri penyebab infeksi tenggorokan secara in vitro. JF, FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1991. 150.Ester. Efek fraksi etil asetat buah pace (Morinda citrifolia L.) terhadap pertumbuhan Staph. aureus in vitro. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 151.Supriyanto. Penelitian fitokimia terhadap buah dan akar tumbuhan pace (Morinda citri L.). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1989. 152.Sudarsini. Uji antibakteri zat larut dalam fmaksi eter minyak tanah kuliat akar kelor (Moringa oleifera Lamk.). JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pen-

dahuluan. 984. 153. Sumarno. Menguji sifat antiseptika larutan serbuk biji kelor yang digunakan untuk menjernihkan air keruh. JKF, FF, UOM, Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi llmiah Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada, 1986–1990 hal 170. 154. Aryetti. Analisis komponen kimia minyak atsiri fuli pala (Myristica fragrans Haul.) dengan GS-MS. PPPS ITB. 1989. 155. Siti Nur Rokhmah. Penelitian sifat fisikadan kimia sertakhasiat antibakteri atsiri daun selasih mekah (Ocimum gratissimum L.). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1987. 156. Zahidah Rasjid. Efek antibiotika daun kumis kucing (folia Orthosiphon) dalam bentuk yang sudah disterilkan terhadap kuman-kuman yang mungkin ditemukan di saluran kemih. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1978. 157. Kestri Harjanti. Uji daya antibakteri fraksi air dan fraksi etil asetat daun sembukan (Paederia foetida L.). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 158. Ni Wayan Asri Indraningsih. Pemeriksaan antibakteri secara in vitro minyak picung (Pangium edule Reinw.) terhadap bakteri Staph. aureus dan Staph, epidermidis, Pseudomonas aeruginosa dan E. coli. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1994. 159. Effionara Anwar, Atiek Soemiati, R. Sarjito, NWA. Indraningsih. Pemeriksaan daya antibakteri secara in vitro minyak picung (Pangium edule Reinw.) terhadap bakteri Staph. aureus, Staph. epidermidis, Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli. JF, FMIPA-UI, Bagian Mikrobiologi FKUI. Simposium Penelitian Bahan Obat Alam VIII dan Muktamar PERHIPBA VI. Bogor, 24–25 Nopember 1994. 160. Hanny Prasetyawati. Daya antibakteri ekstrak etanol dan infus biji kedaung terhadap kuman Vibrio cholerae Balivet, E. co1i 25922, Salmonella typhosa 9012 dan Shigella dysentriae. JF, FMIPA UNPAD. 1994. 161. S. Yuliani, Ma’mun, Trianingsih. Analisis kandungan tanin biji kedaung (Parkiajavanica) dan berbagai daerah secara fotometri. Balai Penelitian tanaman rempah dan obat Bogor. POKJANAS TOI V, Surabaya, 13–14 Agustus 1993. 162. Amalia Nur Utami. Isolasi dan daya antibakteri flavonoid daun kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) terhadap Staph. aureus. FF, UGM. 1986. 163. Elva Annisa. Efek antibakteri dekok herba meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap Staph. aureus dan E. coli (Koleksi Lab Mikrobiologi FK UGM) serta skrining fitokimia. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1991. 164. Nanik Isnaini. Skrining daya hambat dan infusa meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap pertumbuhan bakteri E. coli ATCC 15221, Shigella dysenteriae dan Staph. aureus. FF, UBAYA. Penelitian Pendahuluan. 1991. 165. Anas Subamas, Sidik. Phyllanthus niruri L, Kimia, Farmakologi, penggunaannya dalam obat tradisional. JF, FMIPA UNPAD. Seminar POKJANAS TOI V, Surabaya 13–14 Agustus 1993. 166. Henny Kurniawati. Membandingkan daya antibakteri infus sirih dengan minyak sirih secara in vitro. FF. UGM. Penelitian Pendahuluan. 1983. 167. Dhiah Santi Nuringsih. Daya antibakteri minyak sirih (Piper belle L.) terhadap Staph. aureus dan E. coli serta identifikasi secara kromatografi lapis tipis dan kromatografi gas. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 168. Suprihati dkk. Pengaruh penyimpanan daun sirih sebagai obat kumur terhadap akumulasi plak gigi dan pertumbuhan bakteri Streptococcus sanguis. FKG. UGM. 1990. 169. Susilowati. Membandingkan daya antibakteri infus kemukus secara in vitro. FF, UNAIR. 1983. 170. MarianaSugiarto. Uji daya antibakteri ekstrak daun sendok terhadap Staph. aureus dan Shigella sonnei dibandingkan dengan kloramfenikol. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1992. 171. Neneng Mupidah. Pembuatan sari daun suji (Pleomele angustiftulia ME. Broun.) dan penggunaannya dalam obat kumur. JF. FMIPA UNPAD. 172. Sri Dewi Astuti. Isolasi minyak atsiri dan daun beluntas. FF, UGM. 1985. 173. Atik Erawati. Uji aktivitas antibakteri dan identifikasi minyak atsiri daun Pluchea indica Less. FF, UGM. 1992. 174. Murni Siregar. Pengaruh infus daun Psidium guajava L. terhadap bakteri E. coli secana in vitro. JF, FMIPA Universitas Sumatera Utara (USU). Pane litian Pendahuluan. 1984. 175. Enni Mulyawati. Pemeriksaan stabilitas mikrobiologi ekstrak daun jambu biji dan daya antibakteri terhadap kuman Salmonella typhosa, Staph. aureus, Vibrio cholerae dan E. coli. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1986.

176. Fathiyah. Uji daya antibakteri ekstrak kental dan ekstrak kering daun jambu biji. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1987. 177. Prima Yuniarti. Pengaruh anti bakteri dekok daun jambu biji (Psidium guajava L.) terhadap Staph. aureus dan E. coli (koleksi laboratorium Mikrobiologi FK UGM). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1991. 178. Maria Lucia Susi Haryati. Daya antibakteri daun jambu biji (Psidium guajava L.) dan Selarong terhadap Staph. aureus danE. coli (Koleksi Lab mikrobiologi FK UGM) secarainvitro. FF. UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 179.. Soetarto M, Asep Gun Suganda, Desmida. Pemeriksaan kandungan kimia dan Psidiam guajava L. Risalah Seminar Lokakarya Pembudidayaan Tanaman Obat dan Pameran Obat Tradisional, Universitas Jendral Soedirman Purwokerto; 1985 : 118180.. Meliati Soetanto. Pemeriksaan kadar tanin dan ciri-ciri morfologi daun berbagai kultivarjambu biji (Psidium guajava L.). FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1992. 181.. F. Rias Prasetya. Uji daya antibakteri invitro ekstrak kulit buah Punica granatum L. terhadap pelbagai kuman standar dari kuman liar yang di asingkan dari penderita. JF, FMIPA UI. Penelitian Pendahuluan. 1987. 182.. Rachmat Hatunggal Siregar. Pengaruh rebusan kulit buah Punicagranatum L. terhadap beberapa bakteri penyebab diare secara in vitro. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1987. 183.. Sri Indrarini. Gambaran antimikroba dan kulit buah delima putih (Punica granatumL. varalba L.) terhadap Gandida albicans, E. coli, Staph. aureus. Bacillus cereus dan usaha pembuatan sediaannya. JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1991. 184. Etty Sri Rejeki W dkk. Isolasi pektin dan buah Pyrus mallus L. dan pengaruhnya sebagai anti bakteri terhadap Salmonella typhi dan Salmonella entritidis secara in vitro. Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III Yogyakarta 1983. 79–90. 185. Dwi Kori Andayani. Pemeriksaan pengaruh pektin dan buah apel (Pyrus mallus L.) terhadap pertumbuhan beberapa bakteri penyebab diare secara invitro. JF, FMIPA USU. Penelitian Pendahuluan. 1991. 186. Debora Bumbungan. Penelitian daya hambat ekstrak daun tereba (Rhini canthus nasutus Kurz.) terhadap kapang penyebab kurap. JF, FMIPA UNHAS. Penelitian Pendahuluan. 1988. 187., EmaPrawita Setyowati. Uji antibakteri dan identifikasi flavonoid dari daun jarak kepyan (Ricinus communis L.). FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 188.. Meike Wantah. Identifikasi minyak atsini dan kayu cendana (Santalum album L.) secara kromatografi lapis tipis dan kromatografi gas. FF, UN PANCA. Penelitian Pendahuluan. 1990. 189. AS. Winoto. Pengambilan minyak pada kayu cendana dengan metoda ekstrak.si pelarut. LP UNDIP. 1991. 190. Connie Hanytono. Perbandingan daya antibakten ekstrak kulit batang turi putih terhadap E. coli, Shigella sonnei, Staph. aureus dan Bacillus subtilis. FF, WIDMAN. Penelitian Pendahuluan. 1992. 191. Herni Hartati. Efek antimiknobaekstrak daun sidaguri (Sida rhombifolia L.) terhadap Staph. aureus dan Candida albicans serta skrining fitokimianya. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 192. Edwin. Efektifitas minyak atsiri bunga Spilanthes acmella L. terhadap bakteri penyebab infeksi gigi. JF, FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1992. 193. M. Eksan, Rosali, Usman, Emma Nurdiamah. Penelitian sediaan dan ekstrak dan daun comfrey dalam kaitannya dengan daya antimikroba nya. Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III. Yogyakarta 1983: 78–91. 194. Anindito Widyantoro. Efek daun jamblang (Syzygium cumini Skeéls.) terhadap Staph. aureus dan E. coli serta skrining fitokimia. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1989. 195. Sumarti. Sebaran senyawa bioaktif antibakteni kulit buah lalawe (Term-i nalia bellerinaRoxb.). JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1993. 196. Muhamad Iskandar. Uji mikrobiologis fnaksi ekstrak batang brotowali Tinospora crispa Miers ex Hook F. & Thems terhadap beberapa bakteri penyebab diare secara in vitro, JF, FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1990. 197. Yunita Halim. Daya antimikroba ekstrak brotowali terhadap Staph. aureus, E. coli, Candida albicans dan Trichophyton ejelloi. FF, WIDMAN. Pene litian Pendahuluan. 1991. 198. Dien Ariani Limyati, IGK Artawan, Yunita Halim. Daya antimikroba

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

47

ekstrak brotowali terhadap Staph. aureus, E. coli, Gandida albicans dan Trichophiton. FF. WIDMAN. Surabaya. Seminar POKJANAS TOI ke VIII. Jakarta 16–17 Maret 199. Atiek Soemiati, Katrin, Ema Rahmah. Uji daya antibakteri infus batang browowali (Tinos crispa L. Miers) terhadap beberapa kuman standar. JF. FMIPA UI. Seminar POKJANAS 101 ke-VIll. Jakarta 16–17 Maret 1995. 200. Sri Mulyani. Kandungan kimia dan aktivitas ekstrak batang Tithonia diversifolia Gray. (kembang bulan) terhadap Gandida albicans. JBF, FF UGM, Yogyakarta. Abstrak Penelitian/Publikasi Ilmiah Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada, 1986–1990. hal 171. 201. Asri Susitijowati Suroso. Efek ekstrak daun kembang bulan (Tithonia diversiftuia A. Gray) terhadap Candida albicans dan Staph aureus serta profil kromatogratinya. FF, UGM. Penelitian Pendahuluan. 1992. 202. Suheri. Uji mikrobiologi ekstrak daun dan ranting Uncaria gambir(hunter) Roxb. terhadap beberapabakteri penyebab tukak. JF, FMIPA UNAND. Penelitian Pendahuluan. 1988. 203. Zulfadli. Uji mikrobiologi ekstrak daun dan ranting UncariagambirRoxb. dibuat secara tradisional terhadap beberapa bakteri penyebab diare secara invitro. JF, FM1PA IJNAND. Penelitian Pendahuluan. 1989. 204. Imtihanah. Isolasi tanin dan Uncaria gambir Roxb. dan penentuan kadar nya dalam ekstrak. JK, FMIPA ITB. Penelitian Pendahuluan. 1989. 205. Yuljarti R. Merati, Enngis Rosnita, Fitrileni, Imazn Hidayatullah. Penentuan potensi asam usnat dalam scabicid cream terhadap Staph. aureus ATCC

48

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

6538 dan Strep. pyogenes ATCC 12385. Divisi Ristek PT (Pesero) Kimia Farma. Seminar POKJANAS TOI 111, Jakarta 9–lOJuli 1992. 206. Sumiati. Studi senyawa bioaktif antibakteri dan ekstrak sidowayah (Woodfordia floribunda Lamk.). JF, FMIPA UNPAD. Penelitian Pendahuluan. 1993. 207. Elin Yulinah Sukandar, Asep Gana Suganda, Afrinda. Penapisan aktivitas minyak atsiri dan Zingiber officinale terhadap bakteri dan jamur. JF, FMIPA ITB. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII dan Muktamar PERHIPBA VI. Bogor 24–25 Nopember 1994. 208. Lily Damita. Pengaruh umur tanaman terhadap kadar minyak atsiri dan jahe yang diambil dari Pematang Raya Kabupaten Simalungun. FF, FMIPA USU. Penelitian Pendahuluan. 1982. 209. Rachmaniar. Aktivitas antimikroba beberapa jenis soft coral yang berasal dari perairan Lombok Banat. Laboratorium Produk Alam Laut. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII dan Muktamar PERHIPBA VI. Bogor 24–25 Nopember 1994. 210. Perry LM, Metzgeri. Medicinal Plants of Asiaand Soutwast Asia. TheMIT Press Cambridge London, England. 1980. 211. Departemen Kesehatan RI. Tanaman Obat Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1985. 212. Hson-Mou Chang, Paul Pui-Hay But. Pharmacology and Applications of Chinese Materia Medica. World Scientific Publishing Co., Inc. Singapore. 1987.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Obat-obat Anti Epilepsi Baru Dr. Budi Riyanto W. Dokter Spesialis Saraf Bogor Indonesia

PENDAHULUAN Epilepsi merupakan kelainan neurologik yang sering dijumpai, beberapa jenis di antaranya merupakan penyakit serius yang sulit ditangani. Diperkirakan 0,4–1% populasi mengidap salah satu jenis epilepsi. Penyakit ini masih tetap menjadi perhatian karena sifat serangannya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan, sehingga menyebabkan pengidapnya merasa cemas, malu dan takut bergaul dengan masyarakat umum. Cara penanggulangan epilepsi yang utama sampai saat ini ialah dengan penggunaan obat-obat anti epilepsi. Kendati saat ini obat-obat anti epilepsi yang ada cukup efektif untuk sebagian besar kasus diperkirakan sekitar 25% pasien epilepsi masih mengalami serangan, meskipun telah menggunakan obat. Selain itu obat-obat yang ada tidak bebas dari efek samping; dan yang ringan sampai yang cukup serius seperti gangguan kognitif, gangguan fungsi hepar, leukopeni atau dismorfogenesis. Ada juga yang menyebabkan reaksi hipersensitif berupa ruam kulit sampai sindrom Steven-Johnson. Oleh karena itu para peneliti masih terus mengembangkan berbagai zat baru untuk diselidiki kemungkinannya sebagai obat anti epilepsi yang lebih efektif dan aman. Beberapa di antaranya telah dipasarkan, tetapi masih banyak yang dalam taraf uji klinis; obat-obat ini diharapkan dapat menjadi pilihan, terutama bagi kasus-kasus yang selama ini refrakter terhadap obat-obat anti epilepsi yang ada.

OXCARBAZEPINE Obat ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari karbamazepin untuk mendapatkan profil terapeutik yang lebih baik dengan mengurangi efek samping dan efek induksi enzimenzim hepar.

Rumus kimia oxcarbazepine

Oxcarbazepine

Carbamazepine

Obat ini diserap dengan baik setetah pemberian per oral; konsentrasi plasma maksimum (Cmax) 1 mg./l (4 mmol/1.) tercapai dalam 1 jam setelah dosis tunggal 600 mg. atau 900 mg. pada sukarelawan sehat. Metabolitnya – 10,11-dihidro 10hidroksi karbamazepin – juga aktif, bahkan mungkin merupakan zat uta yang berkhasiat dalam klinik. Obat ini tersebar merata dalam tubuh, kira-kira 50% terikat dengan protein plasma; waktu paruhnya sekitar 2,5 jam, tetapi metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh yang lebih panjang yaitu 8–14 jam, bahkan ada yang melaporkan sampai 26,5 jam. Makin lanjut usia penggunanya, Cmax dan AUC nya makin tinggi, sedangkan ekskresinya makin berkurang; pasien-pasien dengan creatinine clearance kurang dari 30 ini/menit mungkin memerlukan penyesuaian dosis. Konsentrasi plasma berhubungan linear dengan dosis, sehingga memudahkan penyesuaian dosis bila diperlukan. Percobaan klinik umumnya membandingkan efektivitas obat ini dengan pendahulunya – karbamazepin, termasuk juga penggunaannya untuk neuralgia trigeminal dan gangguan afektif. Suatu studi buta-ganda yang melibatkan 235 pasien epilepsi tonik-klonik dan epilepsi parsiil menunjukkan efektivitas yang sama antara karbamazepin dengan oxcarbazepine, yaitu sekitar 80% pasien mengalami pengurangan serangan

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

49

lebih dari 50%; tetapi kelompok oxcarbazepine lebih sedikit yang mengalami efek samping ataupun yang harus menghentikan pengobatan akibat efek samping. Keunggulan oxcanbaLepine lainnya ialah dalam hal perbaikan kewaspadaan dan fungsi kognisi. Karena perbedaan metabolisme, penggantian karbamazepin dengan oxcarbazepine pada poli-terapi dapat mempengaruhi kadar obat anti epilepsi lainnya; kadar fenitoin serum naik ratarata 25% dan kadar asam vaiproat naik 20–30%. Keadaan ini perlu diperhatikan karena memperbesar risiko toksisitas obat bersangkutan. Fenitoin dan fenobarbital dapat menginduksi metabolisme oxcarbazepine, tetapi secara klinis tidak bermakna. Obat ini digunakan dengan dosis 600–1200 mg./hari; selain itu telah pula dicobakan pada kasus-kasus neuralgia trigeminal dengan dosis 900–2100 mg./hari yang ekivalen dengan karbamazepin 400–1200 mg./hari. Efektivitasnya serupa dalam periode evaluasi selama 1 bulan sampai 3 tahun. Pada kasus-kasus mania oxcarbazepine 2400 mg/hari dibandingkan dengan haloperidol 42 mg./hari, sedang oxcarbazepine 1400 mg./hari dibandingkan dengan lithium 1100 mg./hari; setelah dua minggu, efeknya sama baiknya, tetapi efek samping haloperidol 3½ kali lebih banyak, sedangkan lithium lebih baik ditoleransi daripada oxcarbazepine. Efek samping dapat berupa gangguan susunan saraf seperti rasa mengantuk, pusing, nyeri kepala, diplopi, nistagmus, gangguan koordinasi dan sulit berbicara; gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah, diare juga dilaporkan. Pada pasienpasien psikotik dapat dijumpai gejala mirip Parkinson, sulit tidur, depresi, hipotensi, krisis okulogirik dan sialorea. Oxcarbazepine sampai saat ini tidak diketahui menyebabkan sindrom Steven-Johnson, peninggian kadar enzim-enzim hati ataupun diskrasia darah yang selama ini dikaitkan dengan penggunaan karbamazepin; sebaliknya hipernatremi lebih sering dijumpai pada penggunaan oxcarbazepine, tetapi makna klinisnya belum jelas. Dosis yang dianjurkan pada dewasa sebagai monoterapi berkisar antara 600–1200 mg./hari dibagi tiga dosis, meskipun kadang-kadang dapat diberikan dua kali sehari; dosis ini dapat dinaikkan sampai 3000–4000 mgihari. Bila digunakan untuk menggantikan karbamazepin, tiap 200 mg. karbamazepin diganti dengan 300 mg. oxcarbazepine secara bertahap. Secara umum dapat disimpulkan bahwa oxcarbazepine merupakan alternatif bagi karbamazepin pada pasien-pasien yang sensitif karena obat ini mempunyai profil keamanan yang lebih baik. Obat ini telah beredar di beberapa negara dengan nama dagang Trileptal®. VIGABATRIN Vigabatrin (gamma-vinyl GABA) merupakan hasil usaha mencari zat yang dapat menghambat aktivitas enzim GABA-T (gamma-amino butyric acid alpha-oxoglutarate transaminase), suatu enzim yang berperan dalam katabolisme GABA – suatu neurotransmiter yang bersifat menghambat (inhibitor). Dengan terhambatnya aktivitas enzim GABA-T maka katabolisme GABA berkurang, sehingga kapasitas hambatan GABA di sistim

50

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

saraf akan bertambah. Rumus kimia vigabatrin

Obat ini diserap dengan baik pada pemberian oral, agaknya tidak dipengaruhi oleh makanan; konsentrasi puncak plasma tercapai daiam 1–2 jam dan waktu paruhnya 5–8 jam. Vigabatrin sebagian besar tidak tenikat protein, tidak dimetabolisme dalam tubuh dan diekskresi dalam bentuk utuh (70% dalam 24 jam) meialui urine. Secara teoretik vigabatrin tidak mernpengaruhi metabolisme obat lain, tetapi pada percobaan klinik, obat ini menurunkan kadar plasma obat anti epilepsi lain; kadar plasma fenitoin turun 20%, sedangkan kadar fenobarbital dan primidon juga tunun pada penggunaan bersama vigabatrin. Dalam klinik, vigabatrin digunakan oleh pasien kejang parsial kompleks yang resisten terhadap obat anti epilepsi sebelumnya; selain itu tampaknya juga bermanfaat untuk serangan umum dan pada sindrom Lennox-Gastaut dan spasme infantil. Sebaliknya agaknya merugikan bila digunakan pada kasus-kasus absence dan miokionik karena dapat mempersering serangan. Vigabatrin digunakan dengan dosis 1–3 g./hari; selama masa follow-up 7–12 minggu menghasilkan penurunan frekuenisi serangan lebih dari 50% pada 33–67% pasien. Percobaan lain menggunakan vigabatrin 2–4 g./hari sebagai obat tambahan secara acak buta-ganda selama 7–12 minggu, umumnya terhadap pasien-pasien epilepsi parsial kompleks dengan/ tanpa umum sekunder yang telah resisten terhadap pengobatan terdahulu; dari 98 pasien, 46% mengalami penurunan frekuensi serangan lebih dari 50%. Percobaan lain menyimpulkan bahwa dosis efektif vigabatrin ialah 3–6 g./hari. Penggunaan sebagai monoterapi belum banyak dipelajari; suatu percobaan yang membandingkannya dengan monoterapi karbamazepin menghasilkan efektivitas yang sama. Di kalangan anak-anak, percobaan sebagai obat tambahan pada berbagai jenis epilepsi tenmasuk spasme infantil dan sindrom Lennox-Gastaut menurunkan frekuensi serangan lebih dari 50% pada 34% anak. Pasien-pasien dengan kejang kompleks, EEG abnormal multifokal, gangguan intelek dan yang senangannya berat dan sering, cenderung resisten terhadap pengobatan vigabatrin, seperti juga umumnya tenhadap obat anti epilepsi lain. Eksaserbasi dapat dijumpai, terutama pada epilepsi parsial; di beberapa percobaan kilnis, rata-rata 6% pasien harus berhenti karena vigabatrin ternyata menambah frekuensi serangan. Sebagai obat tambahan, vigabatrin relatif aman; dari kirakira 2000 pasien, efek samping yang sering dikeluhkan ialah mengantuk (12,5%), dan rasa lelah (9,2%). Keluhan-keluhan

lain seperti pusing, nyeri kepala, gangguan daya ingat, depresi, agitasi terjadi pada kurang dari 4% pasien. Sampai saat ini tidak dijumpai reaksi alergi. Reaksi psikiatrik juga dapat timbul, mungkin akibat efek vigabatrin yang menurunkan daya ikat reseptor D2. Dosis yang dianjurkan mulai dari 2 g./hari pada dewasa, dapat diberikan 1–2 kali sehari; dosis di atas 4 gram tidak menambah efektivitas. Pada anak-anak dosisnya berkisar antara 40–80 mg./kgbb/hari, pada spasme infantildapat dicoba sampai 50–100 mg./kgbb/hari pada anak dan 100–200 mg./kgbb/hari pada bayi. Obat ini telah dipasarkan di beberapa negara dengan nama dagang Sabril®. FELBAMAT Struktur kimia:

Struktur kimianya mirip dengan meprobamat – suatu anxiolitik yang telah lama beredar. Pada percobaan binatang, obat ini menghambat perluasan kejang dan meningkatkan ambang rangsang terhadap kejang. Pada penggunaan oral, penyerapannya bersifat linear, tidak dipengaruhi oleh makanan dan profil farmakokinetiknya sama, baik pada anak-anak maupun pada dewasa. Waktu paruhnya berkisar antara 13,5–23,1 jam, sedangkan kadar puncak plasma tercapai dalam 3–5 jam setelah pemberian dosis tunggal; pemberian berulang menghasilkan kadar plasma puncak 2,5–3 kali lebih tinggi daripada pemberian dosis tunggal; meskipun demikian tidak dijumpai tanda-tanda bahwa obat ini terakumulasi dalam tubuh. Felbamat menaikkan konsentrasi fenitoin bila digunakan bersama, sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis fenitoin sebesar 20%; diduga hal ini disebabkan karena metabolisme fenitoin dihambat oleh felbamat. Bila digunakan bersama arbamazepin, kadar karbamazepin turun sekitar 20–25%, mungkin akibat induksi felbamat terhadap pembentukan

metabolit epoksid sehingga menurunkan kadar zat aktifnya. Felbamat juga menurunkan clearance asam valproat sehingga kadar asam vaiproat dalam plasma meningkat. Sebaliknya kadar plasma felbamat juga dipengaruhi oleh obat anti epilepsi lain, kadarnya meningkat bila digunakan bersama asam vaiproat, sebaliknya turun bila digunakan bersama fenitoin atau karbamazepin. Hal-hal di atas perlu mendapat perhatian karena saat ini felbamat digunakan terutama sebagai terapi tambahan (add-on therapy). Obat ini sempat dipermasalahkan karena munculnya laporan kasus anemia aplastik dan hepatotoksisitas di kalangan penggunanya, di samping efek samping lain seperti gangguan saluran cerna, insomnia, penurunan berat badan, pusing, rasa lelah, ataksia dan letargi. Sampai Agustus 1994 telah dilaporkan 32 kasus anemia aplastik, 10 di antaranya fatal, meskipun hanya 6 di antaranya yang menjalani monoterapi felbamat. Kasus-kasus tersebut telah menggunakan felbamat rata-rata selama 163 (72–539) hari dengan dosis rata-rata 3055 mg/hari (600–5400 mg./hari). Bila dibandingkan dengan seluruh pengguna, angka kejadian anemia aplastik ini diperkirakan sekitar 1 : 4000–5000. Kasus-kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan ternyata tidak ada yang jelas terkait dengan penggunaan felbamat; sampai saat ini dilaporkan 19 kasus gagal hati yang fatal, hanya 8 kasus yang setelah diselidiki lebih lanjut mungkin berkaitan dengan penggunaan felbamat; 5 di antaranya meninggal dunia. Saat ini felbamat masih beredar dengan indikasi terbatas – yaitu untuk sindrom Lennox-Gastaut dan localisation-related epilepsy; para penggunanya dianjurkan menjalani pemeriksaan hematologik dan fungsi hati secara berkala – sebelum pengobatan dan tiap 2 minggu selama pengobatan. Felbamat digunakan dengan dosis awal 1200 mg/hari atau 15 mg./kgbb/hari pada anak-anak dalam dosis terbagi, kemudian dapat ditingkatkan sampai 45 mg./kgbb/hari atau maksimum 3600 mg./hari; umumnya diberikan 3–4 kali sehari. Obat ini beredar di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa dengan nama dagang antara lain Felbatol® dan Taloxa®. CLOBAZAM Struktur kimia:

Figure 1. The structure of the 1,S-benzodiazcpine, clobazam, contrasted with the 1,4-benzodiazepine, diazepam.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

51

Merupakan derivat benzodiazepin yang telah lama beredar sebagai anxiolitik; potensinya sebagai antikonvulsan mulai diketahui dari percobaan binatang. Dibandingkan dengan benzodiazepin lain, clobazam rnempunyai efek antikonvulsan yang lebih spesifik dengan efek sedasi yang minimal. Clobazam diserap dengan baik pada pemberian oral; dalam tubuh dimetabolisme menjadi N-desmetil clobazam – metabolit yang lebih aktif berperan dalam pencegahan serangan epilepsi daripada bentuk asalnya. Dalarn darah, bentuk N-desmetil konsentrasinya 10–20 kali Iebih tinggi danipada bentuk aslinya. Penggunaannya sebagai antikonvulsan dimulai oleh Gastaut pada tahun 1978, dan sampai sekarang telah digunakan oleh lebih dari 2000 pasien, di antaranya mehalui 8 uji klinis butaganda. Laporan-laporan khinis tersebut rneminjukkan bahwa 10 mg. clobazam dosis tunggal efek’tif untuk jenis serangan umum, sedangkan serangan fokal Iebih efektif diatasi dengan dosis tunggal 20 mg. Suatu studi yang melib 1300 kasus di Canada menunjukkan bahwa clobazam dapat menurunkan frekuensi serangan lebih dari 50% pada sedikitnya 40% pasien selama 4 tahun. Studi lain pada epilepsi katamenial menunjukkan bahwa clobazam yang diberikan selama 10 hari di sekitar saat menstruasi dapat menurunkan frekuensi serangan sampai 63%, bahkan 12 dari 16 pasien menjadi bebas serangan. Masalah yang mungkin timbul pada penggunaan jangka lama ialah adanya toleransi, seperti yang umum dijumpai pada penggunaan derivat benzodiazepin pada umumnya. Besarnya kemungkinan toleransi bervariasi pada beberapa uji klinik, angkanya berkisar antara 0–86%; studi di Canada mendapatkan 9% pasiennya menjadi toleran sehingga pengobatan dihentikan, sedangkan pada studi di Australia, angka toleransi tersebut mencapai 19,6%. Toleransi timbul terutama pada 3 bulan pertama pengobatan, mekanismenya belum diketahui secara pasti, tetapi dapat dicegah/diperlambat dengan pemberian dosis kecil, dosis tunggal atau secara intermiten. Masalah toleransi timbul pada ± 18,8% pasien setelah pengobatan selama 8 bulan; masalah ini dapat dikurangi kemungkinannya bila menggunakan dosis kecil 10–20 mg./hari. Bila timbul toleransi, sebaiknya berangsur-angsur diganti dengan obat lain. Efek samping yang dapat dijumpai kurang lebih sama dengan sediaan benzodiazepin lain, berupa sedasi, pusing (dizziness), rasa kering di mulut, konstipasi, mual dan kadangkadang inenyebabkan tremor halus. Umumnya muncul pada awal pengobatan dan berangsur-angsur hilang bila terapi dilanjutkan. Pada kasus-kasus tertentu dapat timbul rasa gelisah dan kelemahan otot. Obat ini tidak menyebabkan reaksi idiosinkratik ataupun alergi, juga tidak mempengaruhi fungsi kognitif. Efek anxiolitiknya dapat memperbaiki kualitas hidup para pasien. Clobazam digunakan sebagai obat tambahan, terutama pada epilepsi parsial kompleks dengan/tanpa serangan umum sekunder, dengan dosis antara 5–30 mg./hari (rata-rata 14 ± 5,7 mg./hari). Obat ini beredar dengan indikasi utama anxiolitik, dengan nama Frisium®.

52

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

TIAGABINE Tiagabine HCI, suatu derivat asam nipekotat yang terangkai dengan senyawa hipofihik, mempunyai efek spesifik menghambat masuknya (uptake) GABA ke dalam astrosit dan neuron; sebaliknya obat ini tidak mempengaruhi uptake neurotransmiter lain seperti dopamin, norepinefrin, serotonin, glutamat ataupun asetilkhohin. Pada percobaan binatang, tiagabine terbukti meningkatkan konsentrasi GAJ3A ekstrasel; dan berkhasiat mencegah kejang yang disebabkan oleh pentilentetrazol, pikrotoksin atau kejutan listnik. Rumus kimia tiagabine:

Pada manusia, obat ini diserap dengan baik melalui saluran cerna; makanan mempengaruhi kecepatan penyerapan tetapi tidak mengurangi jumlah obat yang diserap, bioavailabilitasnya mendekati 100%. Terikat sebagian besar (96%) dengan protein plasma, dimetabolisme terutama di hati. Kadar puncak plasma tercapai dalam I jam. Waktu paruhnya 5–8 jam dengan proses eliminasi melalui urine. Penggunaan bersama obat-obat enzyme-inducers seperti fenobarbital dapat memperpendek waktu-paruh menjadi 2–3 jam. Tiagabine sendiri tidak mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi lain, kecuali sedikit menurunkan kadar asam valproat (sekitar 10–12%). Saat ini obat ini sedang dicoba sebagai add-on therapy pada berbagai jenis epilepsi dengan dosis berkisar antara 8– 80 mg./hari (median 45 mg./hari), dibagi 2–4 dosis. Efek samping yang paling sering dijumpai ialah pusing (dizziness) pada 30% subjek yang menggunakan obat ini, astenia dirasakan oleh 24%, nasa gugup (nervousness) – 12%, tremor – 9%, diane – 9%, depresi – 5% dan labilitas emosi pada 4%, kebanyakan efek samping ini dirasakan ringan. Sekitar 15,4% pasien hams menghentikan pengobatan karena efek samping yang mengganggu. Efek samping dapat dikurangi dengan pemberian yang lebih sering karena pemberian 4 kali sehari lebih ditoleransi daripada pemberian 2 kali sehari. Dibandingkan dengan plasebo, obat ini menunjukkan efektivitas yang bermakna; dalam 4 minggu, obat ini dapat mengurangi frekuensi serangan hingga 25%; setelah 9–12 bulan, pengurangan frekuensm serangan lebih dari 50% dicapai pada 30–40% pasien. Obat ini baru akan dipasarkan di Denmark dengan nama Gabitrol®. TOPIRAMATE Merupakan denivat monosakhanida yang unik karena

struktur kimia yang sama sekali berbeda dari obat antiepilepsi yang ada sebelumnya. Rumus kimia topiramate :

Obat ini diserap dengan baik pada pemberian oral, farmakokinetiknya bersifat linear dengan waktu paruh sekitar 22 jam, sedangkan kadar puncak plasma tercapai dalam 1,3 jam sampai 4,8 jam, tergantung pada besarnya dosis, atau apakah ditelan bersama makanan. Meskipun demikian AUC (area under curve) nya tidak berbeda bermakna, sehingga penggunaannya tidak terlalu dipengaruhi oleh saat makan obat. Dalam darah, hanya 9–17% terikat dengan protein plasma, tetapi banyak yang terikat pada eritrosit. Ekskresinya terutama melalui urine sebagian besar dalam bentuk utuh. Penggunaannya bersama obat antiepilepsi lain harus diperhatikan; fenitoin dan karbamazepin menurunkan kadar topiramate plasma sampai 50% bila digunakan bersama; sedangkan pengaruh asam vaiproat sangat kecil. Sebaliknya penambahan topiramate tidak mempengaruhi kadar plasma dan fenitoin, karbamazepin ataupun asam valproat secara berarti. Saat ini topiramate digunakan pada pasien-pasien yang refrakter terhadap obat antiepilepsi sebelumnya sebagian besar terdiri dari kasus kasus epilepsi umum sekunder tetapi di kemudian hari mungkin juga dapat digunakan untuk jenis epilepsi lainnya Studi klinis menunjukkan bahwa dosis optimal berkisar antara 2 dd 100–300 mg./hari. Dosis ini pada add-on therapy ialah 50 mg. dosis tunggal, dinaikkan sampai 2 dd 100 mg./hari. Sebagai obat tambahan, dosis 200 mg., 400 mg. dan 600 mg. masing-masing menghasilkan penurunan frekuensi serangan lebih dari 50% pada 27%, 47% dan 46% pasien, dibandingkan dengan 18% di kalangan penerima plasebo. Efektivitasnya tidak bertambah pada dosis di atas 600 mg/ hari meskipun pada beberapa percobaan beberapa pasien memerlukan dosis sampai 800–1000 mg/hari untuk mengendalikan serangannya Data yang diperoleh dari 1244 pasien yang menggunakan topiramate, 336 di antaranya lebih dari 1 tahun dan 119 lainnya lebih dari 3 tahun, menunjukkan bahwa efek samping yang utama hampir sama dengan efek samping obat antiepilepsi lain yaitu rasa lelah pusing nyen kepala mengantuk abnornal thinking dan ataksia sebagian besar ringan dan bersifat sementara. Selain itu terdapat peningkatan kejadian nefrolitiasis pada 1,5% pasien yang menggunakan topiramate. Dalam percobaan yang sama, 13% pasien harus menghentikan peng-

obatannya karena efek samping yang timbul. Obat ini baru beredar di Inggris dengan nama dagang Topamax®. ZONISAMID Merupakan obat antiepilepsi yang dikembangkan di Jepang; berasal dari turunan 1,2 bensizoxazole. Percobaan pada binatang menunjukkan bahwa obat ini menunjukkan aktifitas yang serupa dengan fenitoin atau karbamazepin; dapat menekan atau menghilangkan aktifitas kejang sekaligus mencegah penyebarannya, diduga melalui efek hambatannya terhadap saluran natrium dan/atau kalsium. Obat ini diserap dengan baik setelah pemberian per oral; konsentrasi puncak plasma dicapai dalam 2,4–3,6 jam, berkisar antara 2,3 mg/l setelah dosis 200 mg. sampai 12,5 mg/l setelah dosis 800 mg. Penyerapannya tidak dipengaruhi oleh makanan. Dalam tubuh, zonisamid terutama ditemukan di dalam eritrosit – konsentrasinya dapat mencapai 4–9 kali lebih tinggi danipada konsentrasinya dalam plasma; kurang dari 50% terikat dengan protein plasma. Waktu paruh plasmanya berkisar antara 50–68 jam setelah pemberian dosis tunggal 200–800 mg. Kadar plasma terapeutik berkisar antana 7–40 mg/l; kadar lebih dari 30 mg/l dikaitkan dengan timbulnya efek samping. Saat ini kadar plasma yang dianjurkan berkisan antara 20 mg/l. Dalam tubuh zonisamid dimetabolisme melalui proses asetilasi dan konjugasi dengan asam glukuronat; hampir 50% dapat ditemukan dalam urine; pada percobaan binatang, metabolitnya jugaditemukan dalam faeces dalam jumlah yang cukup bermakna, sedangkan pada manusia belumjelas. Sampai saat ini ekskresi zonisamid dosis tunggal diketahui tidak dipenganuhi oleh adanya gangguan fungsi ginjal. Sebagian besar percobaan klinis dilakukan di Jepang; sampai saat ini telah mehbatkan sedikitnya 1008 pasien anak dan dewasa dengan berbagai jenis .epilepsi yang refrakter terhadap pengobatan sebelumnya. Dosis rata-rata yang digunakan antara 5,9–8,8 mg/kgbb/hani yang menghasilkan kadar plasma sekitar 20mg/l. Zonisamid terutama efektif untuk kejang parsial, dengan keberhasilan antara 50–60% (pengurangan frekuensi serangan lebih dari 50%); keberhasilan tersebut berkisar antara 59% di kalangan kejang tonik klonik umum, 41% di kalangan serangan kompleks, sampal 26% di kalangan kejang tonik umum. Obat ini juga dilaporkan efektif untuk sindrom West dan sindrom Lennox Gastaut. Zonisamid diketahui dapat meningkatkan kadar plasma obat lain, terutama karbamazepin; sebaliknya kadar plasma zonisamid meningkat bila digunakan bersama fenobarbital atau kanbamazepin; asam valproat juga dilaporkan meningkatkan kadan zonisamid bebas dalam plasma. Efek samping yang terutama diamati ialah mengantuk

Fig. 2. Chemical structure of zonisamide

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

53

(24%), ataksia (13%), hilang nafsu rnakan (11%) dan gangguan gastrointestinal (7%), kehilangan spontanitas (6%) dan perlambatan fungsi mental (5%). Leukopeni dan peningkatan kadar enzim-enzim hati menyebabkan penghentian pengobatan pada 2% pasien. Dibandingkan dengan efek samping karbamazepin, efek sainping zonisamid kira-kira seimbang; zonisamid lebih sering menyebabkan anoreksia, sedangkan karbamazepin lebih sering menyebabkan ataksia. Batu ginjal juga ditemukan pada 1,9–3,5% pasien pada beberapa percobaan klinis, tetapi percobaan klinis di Jepang hanya menunjukkan insidens sekitar 0,2%. Zonisamid sampai saat ini bani digunakan di Jepang dengan dosis awal 100–200 mg/hari, dapat ditingkatkan sampai 600/ hari, diberikan dalam dosis tunggal atau terbagi. Dosis untuk anak dimulai dari 2–4 mglkgbb/hari, dapat dinaikkan sampai maksimum 12 mg/kgbb/hari. Penyesuaian dosis dilakukan tiap 1–2 minggu sampai tercapai dosis optimal. REMACEMIDE Suatu obat antiepilepsi baru yang dikembangkan berdasarkan konsep blokade reseptor NMDA (N-metil D-aspartat); reseptor NMDA bersifat eksitatorik, bereaksi terhadap glisin, glutamat dan beberapa poliamin. Dalam percobaan laboratorium remacemide memblokade saluran Na+ dan saluran C++, memperkuat efek inhibisi GABA dan juga memperkuat inhibisi terhadap efek excitatory amino acids seperti glutamat. Dalam laboratorium, remacemide dan metabolit aktifnya – API 12495 – terbukti efektif menghambat pelepasan listrik neuron yang berulang, mencegah kejang yang dibangkitkan oleh kainat, 4-aminopiridin dan oleh NMDA. Selain itu zat ini juga dapat mencegah kerusakan neuron akibat iskemi. Pada pemberian oral, kadar puncak plasma tercapai dalam 1–2 jam, sedangkan metabolit aktifnya – dalam bentuk desglisinil – mencapai kadar puncak plasma dalam 4–6 jam. Dalam plasma, 77% remacemide dan 90% metabolit aktifnya terikat dengan protein. Waktu paruhnya 3–.4 jam untuk remacemide dari 12–15 jam untuk metabolit aktifnya. Dalam tubuh, remacemide HCI dimetabolisme melalui beberapa cara; melalüi deaminasi di hepar menjadi desglisinil remacemide yang juga aktif, melalui oksidasi dan glukuronidasi juga di hepar. Ekskresinya terutama melalui ginjal; hanya kurang dari 1% yang masih ditemukan dalam bentuk utuh. Sampai April 1995, obat ini telah dicobakan pada kirakira 600 pasien dengan dosis antara 300–1200 mg/hari diberikan dalam dosis terbagi 2–4 kali sehari, terutama pada pasien pasien epilepsi parsial kompleks yang refrakter terhadap pengobatan sebelumnya; selain itu juga sebagai obat tambahan terhadap obat antiepilepsi yang telah digunakan. Percobaan atas 25 pasien yang dibandingkan dengan 23 pasien lain yang mendapat plasebo menghasilkan bebas serangan pada 16%, reduksi serangan lebih dari 75% pada 29% dan reduksi serangan lebih dari 50% pada 32% pasien; dibandingkan dengan hanya 9% yang mengalami reduksi lebih dari 50% di kalangan penerima plasebo. Penggunaannya bersama antikonvulsan lain menyebabkan

54

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

peninggian konsentrasi plasma karbamazepin dan fenitoin, tetapi tidak mempengaruhi kadar asam vaiproat. Efek samping yang dilaporkan berupa rasa pusing (dizziness) yang agaknya tergantung dosis; efek samping lain berupa dispepsia atau nyeri abdomen; dosis lebih dari 800 mg/hari dikaitkan dengan timbulnya perubahan suasana hati (mood). Rasa lelah, ataksia dan diplopia dijumpai pada penggunaan kombinasi dengan antiepilepsi lain. Sampai saat ini tidak diketahui mempengaruhi fungsi kognitif. Dalam bentuk preparat parenterat, obat ini diberikan intravena pada kasus-kasus stroke iskemik akut dengan dosis sampai 2 dd 500 mglhani selama 3 hari. RINGKASAN Dalam tahun-tahun terakhir ini, banyak obat antiepilepsi banu diteliti; beberapa di antananya telah mulai dipasarkan di beberapa negara sebagai obat tambahan (add-on therapy) untuk meningkatkan efekt’ivitas pengobatan yang telah berlangsung. Obat-obat baru ini masih tetap dipenlukan mengingat sekitar 25% penyandang epilepsi masih mengalami serangan meskipun telah menggunakan (kombinasi) obat-obat antiepilepsi yang ada.. Penelitian dan pengembangan obat baru dengan demikian memperbesar harapan keberhasilan pengendalian seranganserangan epilepsi, terutama pada kasus-kasus yang selama ini sulit ditangani. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Ben-Menachem E. Vigabatrin. Chemistry, absorption, distribution and elimination. Dalam: Levy RH, Mattson RH, Meldrum BS. Antiepileptic Drugs. 4th ed. New York: Raven Press Ltd., 1995. pp. 915-23. Bernus 1, Dickinson RG, Hooper WD. Franklin ME. Eadie Ini. Effect of felbamate on the plasma protein binding of vaiproate. Clin. Drug Invest. 1995; 10(5): 288-95. Brodie Ini, Pellock JM. Taming the brain storms: felbamate updated. Lancet 1995; 346: 918-19. Clinical Controversies in Epilepsy. Satellite Symposium to the 21st International Epilepsy Congress. Sydney, September 3, 1995. Clobazam. The management of epilepsy with special reference to intractable seizure disorders. Medication Disease Monograph. 1995. Clobazam. A New Perspective. Satellite Symposium to the 2lth International Epilepsy Congress. Sydney, September 2, 1995. Drug News 1995; 4(36): 5. FisherRS, Kerrigan Ill JF, Vigabatrin. Toxicity. Dalam: Levy RH. Mattson RH, Meidrum BS. Antiepileptic Drugs. 4th ed. New York: Raven Press Ltd., 1995. pp.931–39. Grant SM, Faulds D. Oxcarbazepine. A review of its pharmacology and therapeutic potential in epilepsy, trigeminal neuralgia and affective disorders. Drugs 1992; 43(6): 873-88. Jung Ini, Paifreyman MG. Vigabatrin. Mechanism of action. Dalam: Levy RH, Mattson RH. Meldrum BS. Antiepileptic Drugs. 4th ed. New York: Raven Press Ltd., 1995. pp. Oxcarbazepine – a first line drug. Abstracts. 21st International Epilepsy Congress. Sydney, September 3, 1995. Palmer Ki, McTavish DM. Felbamate. A review of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties and therapeutic efficacy in epilepsy. Drugs 1993; 45(6): 1041–65. Pellock JM. l3oggs JG. Felbamate: A unique anticonvulsant. Drugs of Today 1995; 31(1); 9–16. Peters DH, Sorkin EM. Zonisamide, A review of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and therapeutic potential in epilepsy.

Drugs 1993; 45(5): 760-87. 15. Remacemide hydmchloride – anticonvulsant and neuroprotectant ? Satellite Symposium to the 21st International Epilepsy Congress. Sydney, September 2, 1995. 16. Scrip 1995; 2067: 20.

17. Taloxa. Product Monograph. Schering-Plough. 1995. 18. Tiagabine: the art of epilepsy care. Abstracts. 21st International Epilepsy Congress. Sydney, September 2–8, 1995. 19. Topiramate: a promising new agent for the treatment of epilepsy. Internat. Symposium Proc. Advances in AED Therapy 1995; 1(1).

Kalender Peristiwa Juli 3–6, 1996 – KONGRES NASIONAL RADIOLOGI ke VIII Hotel Papandayan, Bandung, Indonesia Bandung, INDONESIA Sekr.: Bagian Radiologi RS Hasan Sadikin/FK Universitas Padjadjaran Jl. Pasteur 38 Bandung, INDONESIA 8–l0 juli 1996 – KONGRES NASIONAL VIII PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS MATA INDONESIA Hotel Savoy Homann Bandung, INDONESIA Sekr.: Bagian Ilmu Penyakit Mata FK Unpad RS Mata Cicendo JL. Cicendo 4 Bandung 40171 INDONESIA TeIp.: 62-22 431281 Fax : 62-22 4201962 8–10 Juli 1996 – MUKTAMAR AHLI BEDAII INDONESL (MABI) XII Surabaya, 8–l0 Juli 1996 Sekr.: Kantor IKABI Wilayah Jawa Timur d/a Chef de Clinique Lab./UPF Ilmu Bedah FK Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo JL. Mayjen. Prof Dr. Moestopo 6–8 Surabaya 60286 INDONESIA Tel.: (031)550 1315/550 1305 Fax: (031)5353648/516364 Pendaftaran peserta: PT Haryono Travel Jl. Sulawesi 27–29 Surabaya 60271 INDONESIA Tel.: (031)5465029 Fax: (031)5465030

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

55

HASIL PENELITIAN

Berbagai Determinan yang Mempengaruhi Penilaian Pasien terhadap Pelayanan Medis Benyamin Lumenta, Ref linar Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Studi ini hendak mencari hubungan antara berbagai karakteristik pasien, karakteristik pertemuan dokter-pasien, dan penilaian pasien terhadap pertemuan itu. Seluruhnya 1682 pertemuan dokter-pasien dipelajari dalam 12 fasilitas asuhan kesehatan. Dapat diidentifikasi 3 variabel independen untuk studi ini, ialah: umur, kepuasan hidup dalam masyarakat, dan derajat kesinambungan asuhan yang menandai kunjungan pasien pada dokter. Jenis kelamin pasien, status perkawinan, agama dan jumlah dari jenis pelayanan yang diberikan tidak berkorelasi dengan penilaian pasien. Perbedaan besar dalam kepuasan pasien atas asuhan yang didapat adalah antara berbagai jenis fasilitas pelayanan. Perbedaan-perbedaan ini kemungkinan besar terletak padajenis atau karakteristik pasien yang membutuhkan asuhan tersebut, yaitu usia, kepuasan dalam hidup kemasyarakatan. Di samping itu berbagai kebijaksanaan mengenai prosedur pengadaan pelayanan berkesinambungan. Semua ini dibutuirkan untuk menetapkan kebijaksanaan puskesmas pemerintah dan pengadaan klinik spesialis swasta di tengah masyarakat.

PENGANTAR Banyak ahli sosiologi dan ahli kedokteran mempertanyakan validitas dan kemaknaan evaluasi yang dibuat para pasien terhadap pengalaman medis mereka. Namun penelitian Alpert et al. (1980) dan Francis et al (1979) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan perubahan sikap pasien terhadap dokternya dan ditemukan kepuasan yang cukup berarti dalam berbagai pertemuan dokter-pasien. Kemudian Reedor (1982) mengkonstatasi betapa konsumerisme medis semakin berkembang, juga di luar negara-negara maju, yang semakin memacu pertemuan dokter pasien dan mulai merubah hubungan tradisional itu. Pasien semakin berperan dan semakin mengambil peran kuasa karena pengetahuannya tentang masalah kedokteran semakin dipahaminya. Karena itu peran mereka tak dapat begitu saja diabaikan oleh para dokter. Di Indonesia kitajuga temukan gejala yang sama, terutama di kota-kota besar dan di kalangan penduduk

56

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

lapisan atas, yang mulai lebih banyak menuntut dari pertemuan dokter-pasien yang dibayarnya semakin mahal. Namun di negara kita penelitian ke arah itu belum dilaksanakan, dan banyak masih berdasarkan dugaan para dokter atau para ahli sosiologi. Penelitian ini di Jakarta baru merupakan suatu survai awal ke arah mengenal sikap pasien dan perubahan ke arah peran yang lebih besar dari pihak pasien. LATAR BELAKANG DAN KERANGKA TEORI Dalam berbagai studi di negara-negara maju kepuasan pasien dalam memperoleh pelayanan medis dapat dikategorikan dalam 3 kelompok : 1) kepuasan pasien terhadap pemberian pelayanan berupa kelompok pelayanan (termasuk asuransi). 2) kepuasan saat kunjungan pada dokter. 3) kepuasan saat kunjungan pada nondokter (perawat, bidan,

ahli gizi/diet, dan sebagainya). Kelompok ke- 1 menunjukkan adanya kepuasan terhadap peralatan kedokteran modern yang serba canggih, namun kurang puas dengan hubungannya dengan dokter. Weinerman meneliti klinik dengan asuransinya pada tahun 1974 dan menemukan hal ini. Anderson et al. (1969) dan Freidson (1971) menemukan bahwa kepuasan pasien Iebih banyak diperoleh pada pertemuan dokter-pasien di praktek pribadi dan pada dalam praktek bersama atau dalam suatu ikatan dengan asuransi. Hampir semua peneliti menemukan banyak keluhan atas pertemuan dokterpasien, bila ini berlangsung dalam ikatan asuransi atau dalam klinik praktek bersama. Kelompok ke-3 yaitu pertemuan pasien dengan nondokter (perawat atau asisten dokter) menunjukkan kepuasan yang tinggi. Di Amerika Serikat misalnya sedang berkembang perawat pediatri, atau perawat kardiologi, perawat geriatri, yang semuanya cenderung dirasakan sangat memuaskan. Di negara kita memang belum banyak dilakukan spesialisasi perawat seperti itu. Selain itu, dari berbagai penelitian yang dilakukan, banyak hal mulai terpapar : 1) dikenal berbagai teknik mengukur kepuasan dengan asuhan kesehatan (skala sikap, dan sebagainya). 2) bermacam-macam populasi dipelajari (populasi pasien, populasi asuransi populasi praktek bersama populasi penghasilan rendah dan sebagainya) 3) berbagai obyek kepuasan dapatdievaluasi (kunjungan dokter terakhir, dokter seumumnya, kelompok kesehatan, asuransi kesehatan profesi kesehatan baru dan sebagainya) Namun, di samping banyakobyekdan subyek studi ini, juga dapat ditemukan banyak kesatuan baru seperti: 1) semua studi menemukan kepuasan pasien yang tinggi. 2) tiadanya temuan yang menunjukkan kekhasan faktor-faktor sosial dan budaya dalam perolehan kepuasan pasien. 3) karakteristik khusus dari pertemuan dokter-pasien tidak dapat ditemukan yang berkaitan dengan tingkat kepuasan yang dinyatakan pasien. Berdasarkan semua kesamaan maupun perbedaan yang ditemukan dalam banyak penelitian (di luar negeri), dan karena di negara kita juga semakin tampak adanya peningkatan konsumerisme di bidang kesehatan, sangat penting diketahui pengukuran kepuasan pasien terhadap pelayanan dan asuhan kesehatan, khususnya terhadap pertemuan dokter-pasien. Karenanya studi ini mempunyai beberapa tujuan yaitu: 1) mengenal berbagai tingkat kepuasan pasien berdasarkan banyak kriteria, yang penting bagi pelayanan kesehatan yang diberikan dokter. 2) mengadakan analisis terhadap karakteristik pasien, karakteristik pertemuan dokter-pasien dan tingkat kepuasan pasien terhadap pertemuan itu. Dalam studi ini, kepuasan pasien didefinisikan sebagai suatu variabel keluaran yang merupakan hasil percampuran sifat sosial, budaya dan psikologis pasien yang dikaitkan dengan aspek tertentu dan proses pemberian pelayanan kesehatan. Lebih jauh definisi ini dapat diaplikasikan terhadap keluhan dan proses penyembuhan pasien.

BAHAN DAN CARA Data diperoleh dari 12 buah fasilitas pelayanan kesehatan di Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Depok. Ia meliputi 3 buah praktek dokter pribadi, 2 pusat kesehatan dalam kampus universitas, 2 buah praktek dokter berkelompok dari 5 unit rawat jalan pada hospital swasta, dan meliputi seluruhnya 1682 pertemuan dokter-pasien yang lengkap. Semua pertemuan ini ditelaah karena merupakan suatu program pendidikan dua buah pendidikan tinggi keperawatan yang dilakukan 2 buah hospital umum swasta yang cukup besar. Dalam setiap pertemuan, semua kunjurigan pasien diteliti selama enam hari dalam seminggu. Peneliti dibantu oleh para mahasiswa perawat yang kebetulan berdinas di tempat tersebut. Semua pasien disambut dengan ramah dan diberi suatu kuesioner yang diminta diisi secara anonim. Di samping itu sebuah formulir petugas kesehatan disediakan bagi setiap dokter atau perawat yang bertugas, kecuali mahasiswa perawat yang merupakan para pelaksana pengumpul data. Setelah selesai pertemuan dokterpasien atau perawat-pasien, ia diberi kesempatan menyelesaikan pengisian kuesioner sebelum dikumpulkan oleh mahasiswa perawat petugas penelitian. Dengan cara ini dapat diketahui siapa yang memberi pelayanan, apa yang diberkan, dan bagaimana asuhan dinilai pasien. Juga dapat diketahui jenis dan tipe pemberi asuhan kesehatan. Kadang-kadang pasien ditangani dokter dan perawat, yang penilaiannya dilakukan terpisah dalam kuesioner. Tingkat pengembalian dan ke- 12 fasilitas pelayanan kesehatan berkisar antara 89 dan 100%. Sangat sedikit pasien yang menolak mengisi. Yang butahuruf ingin dituntuni dan hanya beberapa tuarenta yang kunang kooperatif atau menolak. Beberapa dokter juga telah menolak mengisiformnya, sehingga total pertemuan dokterpasien dan perawat-pasien yang lengkap berjumlah 1682 buah yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Berbagai ukuran Yang diukur dalam penelitian ini ialah sesuai instrumen: 1) formulir pertemuan pasi 2) karaktenistik pasien 3) penilaian pasien terhadap asuhan (kepuasan). ad. 1 formulir pertemuan dokter-pasien: setelah diisi sebelum kunjungan dan dirampungkan setelah kunjungan selesai, diperoleh data tentang a) sifat-sifat umum kunjungan; b) pelayanan yang diberikan atau dilaksanakan, dan c) hasil pertemuan berupa nasihat, anjuran tindak lanjut dan sebagainya. Dalam sifat-sifat umum dapat diketahui lama pertemuan, kunjungan pertama atau ke sekian, untuk masalah kesehatan yang sama atau yang lain. Pelayanan yang diberikan menyangkut riwayat penyakit, pemeriksaai fisik, tes laboratonium, foto rontgen, pengobatan, nasihat, diit atau anmuran cara hidup. Sedangkan dengan hasil pertemuan dimaksudkan ada tidaknya pasien dinasihatkan atau dianjurkan kembali lagi, kapan, untuk apa, dan sebagainya. ad. 2 karakteristik pasien: dalam kuesioner dimintakan data gender, usia, suku bangsa, status nikah, pendidikan, agama, dan terakhir tingkat kepuasan hidup dalam masyarakatnya se-

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

57

karang. ad. 3 penilaian pasien terhadap asuhan: diperoleh beberapa ukuran penilaian pasien tentang pelayanan yang akan dianalisis, pertama-tama Indeks Penilaian Urnum, yang diperoleh dari jawaban atas 6 pertanyaan (1 sampai 6) dan yang kedua ialah Indeks Kepuasan dengan Asuhan Dokter yang juga diperoleh dari 4 pertanyaan berikutnya (7 sampai 10). Ke- 10 pertanyaan itu yang semuanya diberi skor (angka) sebagai dasar analisis adalah: 1) Apakah anda merasa bahwa pelayanan dokter hari ini lebih baik daripada yang diterima orang-orang lain? (3, 2, I) 2) Apakah semua pelayanan hari ini anda rasakan perlu? (1,2) 3) Apakah anda merasa diperlukan lebih banyak pemeriksaan? (1,2) 4) Apakah anda rasakan pelayanan medis hari ini lebih baik dari yang dulu, ataukah sama, ataukah lebih buruk? (3, 2, 1) 5) Apakah anda mengerti keadaan medis anda sekarang ? (tandai satu) saya sangat mengerti (4) saya merasa saya mengerti (3) saya tak yakin saya mengerti (2) saya tak mengerti (1) 6) Pernyataan manakah paling sesuai dengan perasaan anda tentang dokten/perawat yang melayani anda hari ini? Saya ingin ketemu orang yang sama lagi (3) Saya merasa masabodo siapa yang akan melayani saya kali berikut (2) Saya ingin dilayani orang lain saja (1) 7) Apakah dokter menggunakan cukup waktu bagi anda, secukupnya atau kurang waktu? (3, 2, 1) 8) Merasakah anda bahwa dokter mengerti keluhan anda? Sangat mengerti (4) Cukup mengerti (3) Kurang mengerti (2) Sama sekali tak mengerti (1) 9) Seberapa banyakkah perhatian dokter bagi anda? Sangat peduli (6) Cukup peduli (5) Sedikit peduli (4) Sedikit tak peduli (3) Tak peduli (2) Sangat tak peduli (1) 10) Pada umumnya seberapa besarkah kepuasan anda hari ini terhadap dokter? Sangat puas (6) Cukup puas (5) Sedikit puas (4) Sedikit tak puas (3) Tak puas (2) Sangat tak puas (1) Alas 6 pertanyaan pertama setiap pasien dimasukkan dalam satu kuartil I sampai 4, yaitu penilaian yang paling positif terhadap penilalan (kuartil 1 paling rendah). Karena distribusi skor, maka kiasifikasi dilakukan seperti: Kuartil 1 (skor 8–13) 16%; Kuartil 2 (skor 14) 20%; Kuartil 3 (skor 15) 33%; dan Kuartil 4

58

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

(skor 16–17) 31%. ini merupakan Indeks Penilaian Umum. Pengukuran kedua dilakukan dengan skor pertanyaan 7 sampai 10 akan menghasilkan Indeks Kepuasan terhadap Asuhan Dokter. Di sini juga semua pasien dimasukkan dalam 4 kuartil. Distribusinya ialah: Kuartil I (skor 6–14) 21%; Kuartil 2 (skor 15) 13%; Kuartil 3 (skor 16) 32%; dan Kuartil 4 (skor 17–19) 34%. Desain kuesioner adalah sedemikian sehingga Indeks Penilaian Umum menunjuk kepada sikap yang berhubungan dengan keseluruhan kunjungan hari itu. Sedangkan Indeks Kepuasan terhadap Asuhan Dokter hanya menunjuk kepada pertemuan dengan dokter. Betapapun, secara statistis ditemukan suatu korelasi (r = 0,57) antara kedua indeks itu secara bermakna (p > 0,001). Karena itu, hasil penelitian ini hendaknya jangan dilihat sebagai dua dimensi kepuasan yang berlain-lainan. Sengaja keduanya tidak dikombinasikan dalam 1 indeks karena mungkin dapat terjadi perbedaan dalam hubungannya dengan variabel independen yang ditelaah. HASIL PENELITIAN Sesuai dengan penelitian di negara-negana lain, pada umumnya pasien menilai pelayanan yang merekaperoleh secara sangat positif. Misalnya, 97% merasa bahwa pelayanan yang mereka peroleh adalah sama atau lebih baik dari pada yang lain, sedangkan 98% merasa bahwa pelayanan sekarang adalah sama atau lebih baik dari pada pelayanan terdahulu. Begitu juga 98% tidak merasa bahwa mereka memperoleh pelayanan yang tak perlu, dan 86% tak merasa bahwa mereka memerlukan pemeriksaan Iebih banyak lagi. Berkaitan dengan kepuasan tenhadap asuhan dokter, hanya 3–5% dan pasien merasakan ketidakpuasan atas pentanyaan 7 sampai 10. Tentu penlu kita pertanyakan juga 6 tingkat jawaban yang diberikan dalam kuesioner untuk dipilih salah satu. Gradasinya kadang-kadang membingungkan atau dinasakan tak berbeda. ini tampak dari penjelasan yang diminta dari mahasiswa perawat yang mendampingi mereka dalam mengisi kuesioner. Bila kedua indeks diperhatikan lebih mendalam pada ke- 12 fasilitas pelayanan kesehatan, ditemukan perbedaan yang bermakna di antara pasien-pasien itu. Misalnya saja, pasien yang sangat puas pada Indeks Penilaian Umum (kuantil 3 dan 4) persentasenya ada di antara 44 dan 87%. Pada Indeks Kepuasan dengan Dokter ada pada kurun 52 sampai 84%. Karakteristik Pasien dan Kepuasan Ternyata, gender, agama dan status nikah tidak berkorelasi dengan kepuasan pasien. Pasien berusia lanjut tennyata paling puas, sedangkan usia muda 18–24 sangat tidak puas. Dalam Tabel 1 juga tampak bahwa pasien yang puas dengan kehidupan dalam masyarakatnya, secara bermaknajuga sangat puas dengan pelayanan dokter. Sangat mengesankan ialah bahwa kepuasan yang ditunjukkan terhadap pelayanan dokten sebetulnya juga menupakan petunjuk akan kepuasannya dalani kehidupan kemasyarakatannya. Sebaliknyajuga demikian, ialah mereka yang tak puas dalam kehidupan kemasyarakatannya juga men unjukkan ketidakpuasan dengan pelayanan dokter. Mungkin predisposisi psikologis mereka yang kunang puas tentang sesuatu, juga

akan tak puas dengan pelayanan dokter. Demikian juga variabel pendidikan dan latar belakang kesukuan tidak menunjukkan korelasi bermakna dengan Indeks Penilaian Umum. Namun, mereka dengan sedikit pendidikan ternyata puas berniakna dengan pelayanan dokter, daripada mereka dengan pendidikan Iebih banyak (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik Pasien dan Kepuasan dengan Asuhan Kedokteran Karakteristik Pasien Usia: < 17 tahun 18-20 21-24 25-29 30-39 40-49 50-59

Kepuasan Umum Tinggi

Kepuasan dengan Dokter Tinggi

% 66 55 50 68 64 72

% 63 55 67 61 64 69

N 160 85 97 95 88 70

65

Total 243 156 193 139 138 97

67 103

70

2

63 68 65

543 856 67 98 120 185

65 74 60 6 61 70 61 64

46 46 120 156 25 26 253 94

64 75 7

559 886 80 106 160 228 X2 NS

71 62 201 256 41 37 413 147

77 79 71 59 59 63 62 64

X2 NS Kepuasan dengan Masyarakat Sangat puas Puas Sedikit puas Sedikit tak puas, tak puas, sangat tak puas

87 125 X p < 0,01

X2 NS Latar Belakang Pendidikan SD tidak tamat SD tamat SNIP SMA SLTA lain Akademi Mahasiswa Sarjana

Total 278 132 182 124 159 128

2

X p < 0,001 Suku Bangsa: Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Cina dan WNA lain

N 175 73 121 76 101 88

66 66 153 169 28 29 239 82

86 84 218 286 48 49 384 128

X2 p < 0,05

71 64 57

152 315 307 478 209 366

77 68 61

176 229 337 494 239 394

61

119 194

54

112 206

kunjungan lebih lama (16 menit atau Iebih) dalam Indeks Kepuasan Umum. Tabel 2.

Karakteristik umum Kunjungan

X2 p < 0,001

Kepuasan Pasien dan Karakteristik Pertemuan Dalam penelitian-penelitian terdahulu biasanya kepuasan pasien selalu dikaitkan dengan penilaian pelayanan. Namun karena kepuasan bukan hanya ditentukan oleh keadaan pasien tapi dapat dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan atau oleh berbagai kebijaksanaan dalam pelayanan kesehatan, maka dalam telaah ini juga diperhatikan hubungan antara kepuasan dan karakteristik pertemuan dokter-pasien. Karakteristik umum dan pertemuan dokter-pasien dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa sebetulnya tidak ada perbedaan bermakna dalarn tingkat kepuasan antara pasien baru dan lama. Pasien lama cenderung lebih puas dengan pelayanan pada umumnya dan dengan dokter khususnya daripada pasien baru. Juga tampak pada Tabel 2 bahwa menyangkut lama kunjungan, pasien dengan kunjungan yang lebih pendek (5 menit atau kurang) secara bermakna lebih puas daripada pasien dengan

Kepuasan Umum Tinggi

Kepuasan dengan Dokter Tinggi

%

%

N

Total

N

Total

Kunjungan pertama Ya

62

69

111

66

71

107

Tidak

63

652

1032

65

726

1117

X2 TB Pertemuan pertama dengan dokter : Ya Tidak

57 67

Pertemuan pertama dengan dokter untuk masalah yang sama Ya Tidak

67 68

X2 TB

192 338 485 720 X2 p<0,01

145 360

218 520

60 68

60 71

X2 TB Lama kunjungan <- 5 menit 6-10 menit 11-15 menit 16 menit

67 63 63 59

193 321 535 789 X2 p<0,01

149 397

248 560

X2 p < 0,01

209 259 131 90

311 414 209 152

63 63 69 70

210 289 160 111

334 462 231 159

X2 T13

X2 p < 0,05

Mengenai Kepuasan Pasien dikaitkan dengan Pelayanan Berlanjut, pada Tabel 3 dapat dilihat korelasi bermakna antara kedua ukuran, di samping adanya suatu pola kunjungan yang menarik perhatian. Misalnya saja, penilaian pasien lebih memungkinkan bila ia melihat dokter yang sama, baik untuk masa lah yang sama maupun untuk masalah berlainan. Tabel 3.

X2 p < 0,05

Kepuasan Pasien dan Karakteristik Umum Kunjungan Pasien

Kepuasan Pasien dan Pelayanan Berlanjut

Pelayanan Berlanjut Dokter sama, masalah sama kunjungan ulang Dokter sama, masalah sama bukan kunjungan ulang Dokter sama, masalah baru kunjungan ulang Dokter sama, masalah baru bukan kunjungan ulang Dokter baru, kunjungan ulang Dokter haru, bukan kunjungan ulang

Kepuasan Umum Tinggi

Kepuasan dengan Dokter Tinggi

%

N

%

N

69

273

394

71

300 420

69

87

126

69

97 140

71

61

86

63

64 101

58 61

56 90

96 56 147 65

62 111 89 137

98

187

52

p<0,01

Total

56

Total

101 180 p<0,01

BAHASAN DAN SIMPULAN Setelah disajikan semua penemuan dan hasil pengolahan data pada penelitian in dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

59

banyak temuan sesuai dengan penelitian di Amerika menyangkut penilaian pasien terhadap pelayanan dokter dan fasilitas kesehatan. Menyangkut studi ini, terdapat perbedaan yang cukup besar di antara berbagai jenis fasilitas kesehatan. Karena perbedaan-perbedaan ini. maka karakteristik pasien dan karakteristik pertemuan diamati secara saksama dengan simpulan sebagai berikut: 1) Semua ukuran tentang kepuasan tidak berkorelasi secara bermakna dengan gender, status nikah atau agama yang dianut. 2) Pasien dengan pendidikan kurang atau dari latar belakang pedesaan (umumnya dari Pulau Jawa) secara bermakna lebih suka menilai dokternya secara lebih positif danipada pasien dengan pendidikan lebih tinggi atau berasal dari kota (umumnya dari luar Pulau Jawa). Namun demikian pendidikan dan suku bangsa tidak berkorelasi secara bermakna dengan skor pasien dalam Indeks Penilaian Umum. 3) Pada umumnya, pasien di atas 60 tahun dan di bawah 18 (dalam hal ini lebih merupakan penilaian ibu tentang asuhan kepada anak atau bayinya) secara bermakna lebih puas dengan pertemuan dokter-pasien, danipada pasien dalam kelompok usia lainnya. Dewasa muda (18–21 atau 21–25) merupakan yang paling kurang kepuasannya. Perbedaan ini mungkin mencerminkan perbedaan sosial dan psikologis kelompok usia bersangkutan. 4) Pasien yang lebih puas dengan kehidupan kemasyartakatannya secara bermakna lebih puas dengan kunjungan dokter mereka, di samping interaksi mereka dengan dokter, danipada pasien yang kurang puas dengan kehidupan kemasyarakatan mereka. Interpretasi penemuan ini niungkin ialah karena orang cenderung menilai suatu pertemuan dokter memuaskan, kalau ia dalam keadaan puas dengan kehidupan sekelilingnya. ini merupakan juga hasil penelitian Linn dan Reeder (1983). Karena itu juga, orang yang memang dalam keadaan tak puas, akan menilai atau cenderung menilai pertemuan dokter-pasien juga kurang memuaskan. 5) Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara penilaian pelayanan oleh pasien lama dan pasien baru. Namun, di antara pasien usia lanjut, yang dilayani dokter yang lama secara ber-

makna lebih puas daripada mereka yang dilayani dokter yang baru ditemuinya. Begitu juga kepuasan dengan dokter adalah lebih besar di antara pasien yang pernah dilayaninya sebelumnya. 6) Dengan beberapa pengecualian, baik jumlah maupun jenis pelayanan yang diberikan selama suatu pertemuan sedikit berpengaruh pada penilaian pasien atas pelayanan atau dokternya. 7) Kalau usia, kepuasan bermasyarakat dan sifat maupun tingkat kelanjutan kunjungan diperhatikan dalam hubungannya dengan kepuasan, maka hasilnya akan menunjukkan bahwa ketiga faktor ini secara relatif merupakan sumber kepuasan yang tidak saling mempengaruhi. Akhirnya pertanyaan mengapa terdapat perbedaan kepuasan yang besar antara fasilitas pelayanan, maka bila ditinjau lebih mendalam, ternyata bahwa antara fasilitas terdapat perbedaan pasien dengan karakteristik berlainan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dana dan tenaga oleh PT Bina Hospindo Sakti. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pimpinan klinik yang menjadi subyek penelitian ini. Juga kepada para rnahasiswaperawat Akademi Perawatan MH Thamrin dan para pimnpinan keperawatan yang telah banyak membantu dalam studi ini.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Alpert JJ, Kosa J, Haggerty Li, Robertson LS, Mageret C. Attitudes and Satisfaction of Low-income Families Receiving Comprehensive Paediatric Care. Am. i. Publ. HIth. 1980; 70: 3. Francis V. Korsch BH, Morris MJ. Gaps in Doctor-Patient Communication patients’ response to Medical Advice. New Engl. I. Med. 1979; 290: 10. Reeder LG. The Patient-Client as a Consumer: Some Observations on the Changing Professional-Client relationship, 1982. Weinermann ER. Patients’ Perceptions of Group Medical Care. Am. J. Publ. HIth. 1974; 64: 6. Anderson DW, Sheatsley PB. Comprehensive Medical Insurance: A Study of Costs, Use and Attitudes Under Two Plans. Research Series No. 9. Chicago: Health Information Foundation, 1969. Freidson E. Patients’ View of Medical Practice. New York: Russell Sage Foundation, 1971. Linn LS, Reeder LG. Satisfaction with the L..ast Doctor Visit in a General Population Sample, Health and Society, 1982; 12: 4.

great talents have some admirers, but few friends (Niebuhr)

60

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

Pengalaman Praktek Masalah Adat Suatu sore datang seorang ibu dengan menggendong anaknya yang berumur dua tahun ke ruang praktek saya. Anaknya nampak sakit berat tetapi ekspresi wajah ibu itu tidak menampakkan lazimnya seorang ibu yang anaknya sakit berat. Sambil menggendong sang anak yang lemah, tangan ibu menggenggam dua bungkus oralit dan sebungkus plastik yang tampak berisi obat puyer. Kesan sekilas cukup membuat saya penasaran. Ibu itu saya persilahkan masuk dan anaknya saya periksa. Anak tampak apatis, didapatkan tanda-tanda dehidrasi berat. Sang ibu mengaku bahwa anaknya telah sakit mencret selama satu minggu dan telah beberapa kali datang di rumah sakit Susteran dan puskesmas. Tetapi ternyata obat puyer masih utuh 10 bungkus dan oralit dua bungkus. "Obat dan rumah sakit tidak ibu minumkan ?" tanya saya. "Tidak dokter" jawab ibu itu datar. "Kenapa" tanyaku lagi. Ibu itu menjawab dengan enteng, "anak ini memang haus mati dokter. Dia harus mati karena bapaknya telah tasalah adat (melanggar adat), bapaknya sampai sekarang belum membayan belis (mas kawin) perkawinan kami dahulu, oleh karena itu bila anak ini mati itu tidak apa-apa". Aku terkesima. Belum pernah kudengar jawaban seorang ibu seperti ini. "baik, kalau begitu bawa saja anak ini ke rumah sakit, nanti saya yang merawat", bujukku. “Tidak usah dokter, obat dari puskesmas dan rumah sakit tidak saya minumkan, saya hanya minta anak ini disuntik saja. Sekarangpun saya minta suntik saja, kalau dokter berobat, tidak akan saya minumkan juga. Memang anak ini harus mati”. Saya tidak bisa membujuknya lagi. Ibu itu demikian yakin dengan peraturan adatnya. Keesokan harinya saya mendapat kabar bahwa anak tersebut telah meninggal dunia. Dr. Sutrisno Pusk. Maubesi, insana, Timor Tengah Utara, NTT

Ralat Artikel Penelitian Proses Pembuatan Tempe Kedelai. I. Pengaruh lama perendaman, perebusan,dan pembungkusan terhadap kandungan asam fitat dalam tempe kedelai dalam Cermin Dunia Kedokteran no. 107/1996 hal. 53–56,Proses Pembuatan Tempe Kedelai. II. Penganuh lama fermentasi terhadap kandungan asam fitat dalam tempe kedelai dalam Cermin Dunia Kedokteran no. 108/1996 hal. 54–57 dan artikel Proses Pembuatan Tempe Kedelai. III. Analisis mikrobiologi dalam Cermin Dunia Kedokteran no. 109/ 1996 hal. 54–57 seharusnya dikarang oleh : Sitoresmi Triwibowo dan Hestining Pupus Pangastuti (bukan sebaliknya). Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

61

ABSTRAK USIA IBU DAN KEMATIAN JANIN Data dari Royal Victoria Hospital di Montreal, Kanada digunakan untuk menyelidiki pengaruh usia ibu terhadap risiko kematian janin; data tersebut dari tahun 1961–1974 dan dari tahun 1978– 1993 meliputi 94.346 persalinan. Kematiañ janin turun dari 11,5 per1000 persalinan di tahun 1960an menjadi 3,2 per 1000 persalinan di tahun 1990–1993 (p <0,001); selama periode tersebut usia rata-rata ibu saat bersalin meningkat dari 27 tahun menjadi 30 tahun (p < 0,001) dan penyakit diabetes melitus dan hipertensi selama kehamilan meningkat lima kali lipat (p <0,001). Setelah faktor-faktor lain diperhitungkan, usia di atas 35 tahun menyebabkan risiko keniatian janin yang lebih tinggi; dibandingkan dengan usia ibu di bawah 30 tahun, usia ibu 35–39 tahun mempunyai odds ratio 1,9 (95%CI: 1,3–2,7), sedangkan usia Iebih dan 40 tahun, risikonya 2,4 (95%CI: 1,3–4,5). Walaupun secara keseluruhan terdapat penurunan kematian janin sebesar 70%, usia ibu tetap merupakan faktor risiko yang perlu diperhatikan. N Engl. J. Med. 1995; 333: 953–7 Hk

ANTIBIOTIK PROFILAKTIK UNTUK LUKA Suatu meta analisis atas 7 percobaan antibakterial sistemik pada kasus-kasus luka biasa menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan antibakterial sistemik justru meningkatkan risiko infeksi (odds ratio 1,16) bila dibandingkan dengan kontrol. Analisis ini juga menunjukkan bahwa jenis antibakterial, cara pemberian, jenis luka tidak mempengaruhi kesimpulan di atas. Am. J. Emerg. Med. 1995; 13: 396–400 Hk

62

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

ALPROSTADIL UNTUK IMPOTENSI US FDA telah menyetujui penggunaan alprostadil (Caverject®) untuk mnengatasi masalah impotensi pria; obat tersebut rnerupakan hormon prostaglandin E1, yang bila disuntikkan ke dalam corpus cavernosum penis akan menyebabkan ereksi dalam 5–20 menit. Obat ini bekerja merelaksasi otot polos sehingga memperbesar aliran darah menuju penis yang akan menghasilkan ereksi. Dalam berbagai studi klinis, hasil yang memuaskan tercapai pada 70–80% pasien. Dosis yang dianjurkan 20 ug, disuntikkan oleh dokter atau yang telah berpengalaman, tidak boleh diulang sebelum 24 jam, dan/atau lebih dari tiga kali seminggu. Efek samping berupa nyeri di tempat suntikan, terbentuknya jaringan ikat dan ereksi yang berkepanjangan; nyeri terjadi pada 37% pasien, 3% di antaranya harus menghentikan pengobatan; jaringan ikat terbentuk pada 3% pasien sedangkan ereksi yang terlalu lama – sampai 4–6 jam–terjadi pada 4% pasien. Seorang dokter mengingatkan bahaya terbentuknya bekuan darah di penis yang dapat menyebabkan emboli di jaringan lain seperti di paru dan otak. Carapengobatan ini tidak dianjurkan pada orang-orang yang menderita anemi sel sabit (sickle cell), mieloma multipel, leukemia, kelainan bentuk penis atau menggunakan implan penis. Selain itu faktor-faktor yang dapat menyebabkan impotensi juga harus ditangani, seperti usia lanjut, arterioskierosis, hipertensi, diabetes melitus atau hiperkhofesterolemi; faktor-faktor lain berupa diet yang buruk, kurang olahraga, alkoholisme dan merokok.

PEMBEDAHAN UNTUK KASUS EPILEPSI Pembedahan menupakan salah satu pilihan pengobatan epilepsi yang intractable. Selama tahun 1974–1990, sejumlah 202 pasien epilepsi telah menjalani pembedahan di UCLA, AS karena refrakter terhadap pengobatan medikamentosa; hasilnya dibandingkan dengan 46 pasien refrakter yang tidak menjalani pembedahan. Ternyata kelompok yang dibedah mengalami ratarata serangan 6,9 perbulan dibandingkan dengan 21,1 perbulan di kelompok yang tidak dibedah; lebih dari 80% pasien kelompok kontrol masih mengalami 1 kali atau lebih serangan tiap bulan, dibandingkan dengan 25% di kalangan pasien yang dibedah; selain itu mereka (kelompok yang dibedah) cenderung menggunakan lebih sedikit obat antiepilepsi [ rata-rata 1,4 vs. 2,0; 95%CI: –0,67 (–0,94–0,40)]. Tetapi meskipun kualitas hidup di kalangan pasien yang dibedah lebih baik (p ≤ 0,05), tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal status bekerja dan dalam prospectively assisted quality of life.

Pharm. Bus. News 995: 11(246/247): 9 Brw

Scrip 1995; 2083: 27 Brw

Lancet 1995; 346: 1445–49 Hk

PENVEBAB PENYAKIT HUNTINGTON Para peneliti di AS telah menemukan protein yang dianggap berkaitan dengan perkembangan penyakit Huntington – suatu penyakit degeneratif susunan saraf pusat. Protein tersebut dinamai HAP-I, berinteraksi dengan huntingtin–protein hasil produksi gen Huntington–sehingga mengubah fungsinya yang berakibat kematian sel neuron.

ABSTRAK VITAMIN A DOSIS TINGGI Vitamin A dosis tinggi masih diperdebatkan kegunaannya, apalagi karena adanya sifat teratogenik seperti ternyata pada percobaan binatang. Selama Oktober 1984 sd. Juni 1987, terdapat 22.748 wanita hamil di daerah Boston, AS yang bisa dihubungi dan diwawancarai mengenai kebiasaan diet dan obat/vitamin yang dimakan selama hamil. Dari 22.748 kehamilan tersebut, 339 bayi dengan cacad lahir, 121 di antaranya akibat gangguan cranial neural crest. Rasio prevalensi cacad lahir di kalangan wanita yang mengkonsumsi lebih dari 15000 IU vitamin A dan makanan dan suplemen, dibandingkan dengan yang mengkonsumsi kurang dari 5000 IU adalah sebesar 3,5 (95%CI: 1,7–7,3). Untuk kalangan yang mengkonsumsi hanya dari suplemen vitamin A, konsumsi Iebih dari 10000 IU risikonya sebesar 4,8 (95%CI: 2,2–10,5) bila dibandingkan dengan mereka yang konsumsinya kurang dari 5000 IU perhari. Peningkatan frekuensi kelainan tersebut terutama terkonsentrasi pada wanita yang mengkonsumsi vitamin A dosis tinggi sebelum usia gestasi 7 minggu. Mereka menyimpulkan bahwa konsumsi vitamin A dosis tinggi bersifat teratogenik; di antara wanita yang mengkonsumsi 10000 IU vitamin A atau lebih dalam bentuk suplemen, 1 dari 57 kelainan yang diamati diperkirakan berkaitan dengan faktor suplementasi tersebut. N. Engl. J. Med. 1995; 333: 1369–73 Hk

EFEK SAMPING OMEPRAZOL Majalah Australian Adverse Drug Reactions Bulletin telah melaporkan 19

kasus gangguan muskuloskeletal yang berkaitan dengan penggunaan omeprazol: 8 orang menderita pembengkakan sendi termasuk 2 kasus gout, 9 orang nyerilatrofi otot dan 2 orang menderita keduanya sekaligus. Dari 16 pasien yang dapat ditelusuni, 14 orang menggunakan dosis 20 mg. dan 2 orang dosisnya 40 mg. Gejala mulai dirasakan antara sehari sampai setahun setelah penggunaan obat. Selain itu omeprazol juga dikaitkan dengan timbulnya nefritis interstitial yang diderita oleh para pasien berusia 58–86 tahun dan gejalanya timbul dalam beberapa minggu sampai 6 bulan setelah penggunaan omeprazol. Gejala/kemungkinan efek samping tersebut harus diwaspadai terutama pada bulan pertama pengobatan. Scrip 1995; 2083: 27 Brw

CUKA APEL UNTUK ARTRITIS? Cuka apel dipercaya dapat mengencerkan cairan tubuh sehingga dapat mengurangi kekakuan sendi seperti pada pasien-pasien artritis. Meskipun demikian, sampai saat ini tidak terdapat cukup bukti bahwa cuka apel memang bermanfaat untuk artritis. Sampai saat ini pengobatan artritis yang dianjurkan ialah berolahraga/ bergerak (exercise), kompres panas dan dingin, istirahat dan relaksasi, obatobat antiinflamasi dan kadang-kadang kortikosteroid dan tindakan bedah. MCHL 1995; 13(12): 8 Hk

indometasin, atau 2 dd 300 mg. asam tiaprofenat, atau plasebo selama sedikitnya satu tahun. Ternyata studi foto Rö yang dilakukan tiap 6 bulan menunjukkan bahwa kelompok indometasin menunjukkan perburukan kartilago yang lebih berat (47,05%) dibandingkan dengan kelompok plasebo (22,35%); sedangkan di kalangan asam tiaprofenat perbedaan tersebut tidak bermakna (43,45% vs. 34,25%). Akibatnya para peneliti memutuskan untuk menghentikan pengobatan dengan indometasin. J. Rheumatol. 1995; 22: 1941-46 Brw

PIRACETAM UNTUK STROKE Dalam kongres International Conference on Stroke: Heart and Brain di Praha baru-baru ini, dibicarakan pengobatan pirasetam untuk stroke iskemik akut. Dalam percobaan yang melibatkan 927 pasien stroke sedang/berat, pirasetam diberikan dengan dosis bolus 12 g. iv selama 20 menit dalam 12 jam pertama setelah serangan stroke, diikuti dengan 3 dd 4 g. iv perhari selama 4 minggu. Kemudian disusul dengan 4,8 g. perhari selama 8 minggu. Perbaikan dicapai oleh 25% pasien, dan 2 dari 10 pasien (dibandingkan dengan 1 dari 10 pasien yang mendapat plasebo) pulih sempurna. Scrip 1995; 2072: 30 Brw

NSAID UNTUK OSTEOARTRITIS LUTUT Studi prospektif multisenter di UK melibatkan 376 pasien ostreoartritis lutut yang diobati dengan 3 dd 25 mg.

Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

63

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

6. B 7. C 8. C 9. B Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996

1. C 2. C 3. A 4. C 5. C

64

e) Perlemakan hati 6. Obat antiepilepsi baru yang dilaporkan dapat menyebabkan anemi aplastik: a) Oxcarbazepin b) Felbamat c) Vigabatrin d) Tiagabin e) Remacemid 7. Selain sifat anti epilepsi, kiobazam digunakan untuk indikasi: a) Antipsikotik b) Antidepresi c) Anxiolitik d) Hipnotik sedatif e) Anestetik 8. Pada penelitian kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, kelompok usia yang paling kurang puas: a) Balita b) Anak c) Dewasa muda d) Wanita e) Lanjut usia 9. Faktor Iuar yang mempengaruhi kepuasan terhadap pelayanan kesehatan: a) Status pernikahan b) Kehidupan di masyarakat c) Status pekerjaan d) Tempat tinggal e) Kemudahan dicapai

JAWABAN RPPIK :

1. Hepatitis pasca transfusi disebut juga: a) Hepatitis A b) Hepatitis B c) Hepatitis C d) Hepatitis D e) Hepatitis B 2. Yang diakibatkan dengan karsinoma hepatoseluler: a) Hepatitis A b) Hepatitis B c) Hepatitis C d) Hepatitis D e) Hepatitis E 3. Selain efek hepatotoksik, INH dapat menyebabkan: a) Neuropati b) Anemi c) Vertigo d) Urtikaria e) Semua salah 4. Yang termasuk pola transmisi virus secara vertikal ialah melalui: a) Transfusi b) Hubungan seksual c) Intrauterin d) Jarum suntik e) Makanan/minuman 5. Ikterus pada kehamilan dapat menyebabkan: a) Hiperemesis gravidarum b) Ekiamsi c) Prematuritas d) Batu empedu

Related Documents

Cdk 110 Penyakit Hati
November 2019 26
Penyakit Hati
May 2020 23
Penyakit Hati
May 2020 30
Cdk 014 Penyakit Gondok
November 2019 20
Cdk 078 Penyakit Sendi
November 2019 24