Cdk 078 Penyakit Sendi

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 078 Penyakit Sendi as PDF for free.

More details

  • Words: 34,057
  • Pages: 65
1992

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary

Karya Sriwidodo

5. Pendekatan Diagnostik Penyakit Reumatik – Harry Isbagio 10. Kriteria Diagnostik Penyakit Reumatik – Caecilia R. Padang, AR Nasution, Harry Isbagio 15. Prinsip Dasar Penatalaksanaan Gangguan Reumatik – Harry Isbagio 18. Peranan Analisis Cairan Sendi dalam Diagnosis Penyakit Sendi – HM Adnan 25. Strategi Pengobatan Medikamentosa Penyakit Reumatik – Harry Isbagio 32. Peranan Obat Antiinflamasi Non Steroid terhadap Nyeri dan Inflamasi pada Penyakit Reumatik – Harry Isbagio 36. Efek Samping Obat Antiinflamasi Non Steroid – AR Nasution 40. Sindrom Dermatitis-Artritis Gonoreal Diseminata – Djunaedi Hidajat, Farida Zubier, Adhi Djuanda 43. Perkembangan Penyakit Jantung Koroner pada Anak – Effendy Salim, JMCh Pelupessy 47. Aspek Psikologi Pasca Serangan Jantung – Ratna Dewi S., Iwan N. Boestan 52. Manula dan Olahraga – ditinjau dari Sistem Kardiovaskular – Hadi Hartono, Iwan N. Boestan 57. Proses Keputusan Terapi dan Masalah dalam Pemakaian Obat – Abraham Simatupang 61. Humor 62. Abstrak 64. RPPIK

Dengan makin meningkatnya harapan hidup manusia, penyakit-penyakit degeneratif akan bertambah penting peranannya dalam usaha mempertahankan kualitas hidup. Salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap mobilitas manusia ialah penyakit sendi; penyakit ini, kendati dapat ditimbulkan oleh bermacammacam penyebab, gejala dan keluhan yang diderita tidak banyak berbeda; selain itu kadang-kadang menimbulkan pula gejala/manifestasi ekstraartikuler berupa kelainan di organ-organ lain. Oleh karena itu, pendekatan diagnostik penyakit sendi tidak selalu mudah; riwayat penyakit, sendi (-sendi) yang terkena, perjalanan penyakitnya harus diketahui dengan tepat, ditunjang dengan pemeriksaan tambahan yang tepat. Hal-hal itulah yang dibahas oleh para pakar reumatologi dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi ini; mulai dari pendekatan klinis dan laboratorium, sampai pada pemilihan obat-obat antiinflamasi yang tepat dengan selalu mempertimbangkan efek samping yang mungkin timbul. Artikel lain yang juga penting untuk dibaca ialah mengenai Penyakit Jantung Koroner; tiga artikel yang berasal dari Ujungpandang dan Surabaya akan membahas hal tersebut, termasuk efek psikologik yang mungkin timbul. Sebagai penutup adalah artikel mengenai pengambilan keputusan terapi dan masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat. Selamat membaca.

Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

1992

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH Dr Oen L.H KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PELAKSANA Sriwidodo WS

REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar

TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN – DR. B. Setiawan

– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.

– Drs. Oka Wangsaputra

– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

– DR. Ranti Atmodjo

– DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

3

English Summary PRINCIPLES OF MANAGEMENT IN RHEUMATIC DISEASES

SIDE EFFECTS OF NOSTEROIDAL ANTI INFLAMMATORY DRUGS

DEVELOPMENT OF CORONARY HEART DISEASE IN CHILDREN

Harry Isbagio

AR Nasution

Effendy Salim, J.M. Ch. Pelupessy

Rheumatology Subdivision, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia.

Rheumatology Subdivision, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospffal, Jakarta, Indonesia

Department of Child Health, Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Ujung Pandang, Indonesia.

Although there were more than 100 different joint diseases, the general management in acute phase is basically similar. In early stages, the principles of management are to obtain pain relief, to preserve joint functions and to prevent disabilities. Pain relief can be obtained through rest, splinting, intraarticular injections and oral medications; while physiotherapy and/ or hydrotherapy should prevent disabilities. Referral tothe rheumatologist should be considered when the disease persists for more than three months, or become chronically disabling.

The use of nonsteroidal anti inflammatory drugs becomes increasingly more common. While the efficiency of different drugs is comparable,the side effects could be variable. Those side effects mainly affect the gastrointestinal tracts, haemopoetic system, urinary tracts, skin and the liver. Since particularly there is no absolutely safe nonsteroidal anti inflammatory drugs, it is important to select the most appropriate drugs for each patient, and to monitor closely the signs of side effects.

Cermin Dunia Kedokt. 1992; 78 :15- 7 brw

Cermin Dunia Kedokt. 1992 ; 78 : 36-9 brw

Coronary heart disease is a disease due to the narrowing of the coronary artery by atherosclerosis. The pathological changes which lead to atherosclerosis begin in infancy and progress during childhood. The main risk factors leading to atherosclerosis include hyperlipidemia, hypertension and cigarette smoking. Atherosclerosis is characterized by thickening of the intima. At postmortem examination, the earliest macroscopic lesion is the presence of the fatty streak, which is an accumulation of lipid - predominantly cholesterol, both extracellulariy in the intima and intracellularly in the foam cells. This fatty streak will develop to atheromatous plaque which can narrow the coronary artery. The major hypothesis proposed as the pathogenesis of atherosclerosis are the lipid infiltration and the endothelial injury theory. Cermin Dunia Kedokt. 1992; 78:43-6 ef/jmp

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Artikel Pendekatan Diagnostik Penyakit Reumatik Harry Isbagio Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali memberikan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan diagnosis yang tepat, sehinggā akhirnya penderita memperoleh penatalaksanaan yang adekuat. Perlu diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi artikuler dari berbagai penyakit dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi ekstra-artikuler pada berbagai organ. Sebagaimana halnya dengan penyakit lain maim dalam melakukan pendekatan diagnostik hams melalui tahap-tahap anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada makalah ini akan dibahas langkah-langkah pendekatan diagnostik tersebut dengan lebih menekankan pada kelainan sendinya.

interfalang distal = DIP, sendi interfalang proksimal = PIP, sendi metakarpofalangeal = MCP, sendi karpalis, sendi metatarsofalangeal = MTP dan sendi tarsalis merupakan kelompok sendi kecil yang dihitung sebagai satu sendi walaupun yang terserang beberapa sendi. Contoh : bila yang diserang sendi PIP II, PIP III, PIP IV dan PIP V baik secara serentak atau berurutan maka dihitung hanya sebagai 1 sendi yang terserang. 5. Poliartritis : artritis yang menyerang lebih dari 4 sendi atau kelompok sendi kecil. 6. Sinovitis : inflamasi sinovia sendi yang klinis nyata. 7. Tenosinovitis : inflamasi sarung tendon. 8. Tendinitis : inflamasi tendon. 9. Bursitis: inflamasi bursa. 10. Entesopati : inflamasi atau kelainan dari entesis (tempat melekatnya ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke periosteum tulang).

TERMINOLOGI Sebelum melangkah lebih lanjut maka sebaiknya terlebih dahulu mengenal berbagai terminologi yang sering digunakan dalam bidang penyakit reumatik. Hal ini diperlukan untuk kesamaan pengertian agar kita tidak rancu dalam menggunakannya. Berbagai istilah yang perlu diketahui ialah : 1. Artralgia : merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri di sekitar sendi, pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. 2. Artritis : kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi disertai tanda inflamasi yang komplit (tumor, rubor, kalor, dolor, gangguan fungsi). 3. Monoartritis : artritis yang hanya mengenai satu sendi saja. 4. Oligoartritis/pausi-artikuler : artritis yang menyerang 2 sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam hal ini sendi

RIWAYAT PENYAKIT Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis; ditanyakan pula faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi keluhan penderita. a. Umur Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi dari setiap penyakit berbeda-beda pada berbagai kelompok umur. Misalnya osteoartrosis lebih sering ditemukan pada penderita usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering ditemukan pada wanita usia muda dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

5

Pada tabel 1 dapat dilihat berbagai penyakit reumatik yang sering ditemukan pada berbagai kelompok umur. Tabel 1.

Frekuensi penyakit reumatik pads berbagai kelompok umur

Penyakit Still Spondilitis ankilosis Penyakit Reiter Demam reumatik Artritis pads kolitis ulseratif Artritis septik Gonokok Stafilokok dan infeksi lainnya Artritis Gout Lupus erimatosus sistemik Artritis reumatoid Polimiositis Skleroderma SLE akibat obat Penyakit Paget Osteoartritis Pfllimialgia reumatika Penyakit deposit Kalsium pirofosfat Osteopenia Mestastasis karsinoma atau mieloma multipel

Usia muds (2–25 thn)

Usia pertengahan (30–50 thn)

Usia IanJut (65+)

+ ++ ++ ++ +

+/– + + + ++

– – – – +/–

++ + +/– +++ ++ + + + – – – – +

+ ++ ++ ++ ++ ++ ++ + + + – + +/–

+/– +++ ++ + ++ ++ ++ +++ ++ +++ ++ +++ +++



+

+++

Keterangan : – = Hampir tak pernah terjadi, +/– = sangat jarang, + = jarang, ++ = sering terjadi, + ++ = sangat sering terjadi

b. Jenis kelamin Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tabel 2 dapat dilihat perbedaan tersebut. Tabel 2.

Perbedaan Jenis kelamin pads penyakit reumatik

Artritis reumatoid Lupus eritematosus sistemik Spondilitis ankilosis Penyakit Reiter Artritis psoriatik Artropati intestinal Artropati reaktif Artritis Gout Osteoartritis coxae Osteoatrosis lutut & Langan

Pria < Wanita (1 : 3) Pria < Wanita Pria > Wanita Pria > Wanita Pria < Wanita Pria = Wanita Pria = Wanita Pria > Wanita Pria = Wanita Pria < Wanita

c.

Nyeri sendi Nyeri sendi merupakan keluhan utama penderita reumatik. Penderita sebaiknya diminta menjelaskan lokasi dari nyeri serta punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri tersebut merupakan penjalaran dari tempat lain. Nyeri tajam yang menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristik yang disebabkan oleh penekanan dari radiks saraf. Penting untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanikal dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanik.

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas. Pada artritis reumatoid nyeri paling berat biasanya pada pagi hari, membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaik pada siang hari. Pada artritis gout nyeri yang terjadi biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan malam hari sebelumnya penderita tidak merasakan apa-apa, rasa nyeri ini biasanya self limiting dan sangat responsif dengan pengobatan. Nyeri malam hari terutama bila dirasakan seperti suatu regangan merupakan nyeri akibat peninggian tekanan intraartikuler akibat dari suatu nekrosis avaskuler atau kolaps tulang akibat artritis yang berat. Nyeri yang menetap sepanjang hari (siang dan malam) pada tulang merupakan tanda dari proses keganasan. d. Kaku sendi Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakkan sendi (worn off). Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan maka cairan akan menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan (wears off). Lama dan beratnya kaku sendi pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis; kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada artritis reumatoid ringan). e.

Bengkak sendi dan deformitas Pasien sering mengalami bengkak sendi, perubahan wama, perubahan bentuk atau perubahan posisi dari struktur ekstremitas. Biasanya yang dimaksud pasien dengan deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau subluksasi. f.

Disabilitas dan handicap Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau sistem tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila disabilitasmengganggu aktivitas seharihari, aktivitas sosial atau mengganggu pekerjaan/jabatan si penderita. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan handicap (seorang yang diamputasi kakinya di atas lutut mungkin tidak akan mengalami kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan justru dapat mengakibatkan handicap. Gejala sistemik Penyakit sendi inflamatif baik disertai maupun tidak disertai keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan peningkatan fase akut reaktan seperti peninggian LED atau CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan berat badan, kelelahan, lesu dan mudah terangsang. Kadang-kadang

g.

pasien mengeluh hal yang tidak spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala kekacauan mental.

sum. Kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi periartikuler, yang sering pula merupakan tanda dari artritis septik atau artritis kristal.

h. Gangguan tidur dan depresi Faktor yang beiperan dalam gangguan pola tidur antara lain : nyerikronik, terbentuknya fase akut reaktan, obat antiinflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat terutama pada coxae dan lutut akan berakibat gangguan aktifitas seksual yang akhirnya menimbulkan problem perkawinan dan sosial. Perlu diperhatikan pula adanya gejala depresi terselubung seperti retardasi psikomotor, konstipasi, mudah menangis dan sebagainya.

d. Kenaikan suhu sekitar sendi Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan adanya kenaikan suhu di sekitar sendi yang mengalami inflamasi.

PEMERIKSAAN JASMANI Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskeletal meliputi : Inspeksi pada saat diam/istirahat Inspeksi pada saat gerak Palpasi a. Sikap/postur badan Perlu diperhatikan bagaimana cara penderita mengatur posisi dari bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intraartikuler yang tinggi, oleh karena itu penderita akan berusaha menguranginyadengan mengatur posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal dengan bantal. Pada sendi bahu (glenohumeral) dengan cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan. Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka penderita akan merasa sangat kesakitan karena terjadi peningkatan tekanan intraartikuler. Ditemukannya postur badan yang membongkok ke depan disertai pergerakan vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas dari spondilitis ankilosis. b. Deformitas Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi (misalnya disebabkan gangguan jaringan lunak) atau tidak dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi). Berbagai dēformitas di lutut dapat terjadi antara lain genu varus, genu valgus, genu rekurvatum, subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian pula deformitas fleksi di siku. Pada jari tangan antara lain boutonniere finger, swan neck finger, ulnar deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan tangan. Pada ibu jari tangan ditemukan unstable Zshaped thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibujari kaki ke atas. Pada pergelangan kaki terjadi valgus ankle. c. Perubahan kulit Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik. Kelainan kulit yang sering ditemukan antara psoriasis dan eritema nodo

e. Bengkak sendi Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang. Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misalnya : 1) Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan medial dan kantong suprapatelar mengakibatkan pembengkakan di atas dan sekitar patela yang berbentuk seperti ladam kuda. 2) Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamentum kolateral bagian lateral. 3) Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di alas otot pektoralis. 4) Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi pembengkakan pada sisi anterior. Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan jumlah cairan yang sedikit dalam rongga yang terbatas. Misalnya pada efusi sendi lutut bila dilakukan pijatan pada cekungan medial maka cairan akan berpindah ke sisi lateral patela dan kemudian berpindah sendiri ke sisi medial. Balloon sign ditemukan pada keadaan efusi dengan jumlah cairan yang banyak, bila dilakukan tekanan pada satu titik akan menyebabkan penggelembungan di tempat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi sendi. Pembengkakan kapsul sendi merupakan tenth spesifik dari sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas dari kapsul sendi yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada pergerakan pasif. f.

Nyeri raba Menentukan lokasi yang tepat dari nyeri raba merupakan hal yang penting untuk menentukan penyebab dari keluhan pasien. Nyeri raba kapsuler/artikuler terbatas pada daerah sendi merupakan tanda dari artropati atau penyakit kapsuler. Nyeri raba periartikuler agak jauh dari bates daerah sendi merupakan tanda dari bursitis atau entesopati. g. Pergerakan Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan. Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikuler hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pada satu arah saja. Artropati akan memberikan gangguan yang sama dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih Iuas dibandingkan dengan gerak-

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

7

an aktif maka kemungkinan ada gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak merupakan tanda diagnostik yang bermakna. Nyeri ringan hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain pada semua arah gerak, maka keadaan tersebut merupakan tanda khas untuk sinovitis. Stress pain terbatas pada satu arah saja merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi. Resisted active movement merupakan suatu cara pemeriksaan untuk menemukan adanya gangguan periartikuler. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka hal tersebut berasal dari otot, tendOn atau insersi tendon, misalnya pada : 1) Tahanan pada aduksi sendi coxae yang mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tanda tendititis aduktor. 2) Tahanan pada abduksi glenohumeral yang mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas merupakan tanda gangguan otot supraspinatus dan lesi pada tendon. 3) Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri pada epikondilus lateralis merupakan tanda dari tennis elbow. Sama halnya dengan di atas maka pada passive stress test, bila pasien mengikuti gerakan dari tangan pemeriksa akan timbul rasa nyeri sebagai akibat dari regangan ligamen atau tendon, misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain (passive stress dari otot abduktor policis longus dan ekstensor policis brevis menimbulkan rasa nyeri). h. Krepitus Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan dari struktur yang terserang. Fine crepitus (krepitus halus) yang dapat didengar dengan menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang di sekitarnya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung tendon, bursa atau sinovia. Coarse crepitus (krepitus kasar) dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan dapat diraba sepanjang tulang. Keadaan ini disebabkan kerusakan rawan sendi atau tulang. i.

Bunyi lainnya Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang keras tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan hal yang biasa terdengar sekitar femur bagian atas sebagai clicking hips. Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan tarikan pada sendi, biasanya pada sendi jari tangan, kcadaan ini disebabkan terbentuknya gelembung gas intraartikuler. Cracking tidak dapat diulang selama bebcrapa menit scbelum gas tersebut habis discrap. Cloncking merupakan suara yang ditimbulkan oleh permukaan- yang tidak teratur (irregular), suara ini ditemukan

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

misalnya pada gesekan antara skapula dengan iga. j.

Atrofi dan penurunan kekuatan otot Atrofi otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Path sinovitis segera terjadi hambatan reflex spinal lokal terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada artropati berat dapat terjadi atrofi periartrikuler yang luas. Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau otot terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini lebih penting dari besar otot. k. Ketidak stabilan/goyah Sendi yang tidak stabil/goyah dapat terjadi karena proses trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada artropati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur ligamen. Perlu dibandingkan sendi yang goyah dengan sendi sisi lainnya. l.

Gangguan fungsi Fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat digunakan untuk menilai sendi coxae, lutut dan kaki. Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus untuk menilai tangan. Sedangkan aktivitas hidup sehari-hari (Activities of daily living = ADL) seperti menggosok gigi, buang air besar, memasak dan sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan kuestioner daripada diperiksa langsung. Selain pemeriksaan khusus pada sendi maka perlu dilakukan pemeriksaan jasmani secara umum untuk mencari berbagai manifestasi luar sendi. a. Nodul Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umumnya ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul reumatoid). b. Perubahan kuku Perubahan kuku sering ditēmukan pada penyakit reumatik, antara lain : 1. Jari penabuh (clubbing finger) berhubungan dengan osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis fibrotik. 2. Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati psoriatik dan penyakit Reiter kronik. 3. Serpihan berdarah (splinter haemorrhages) pada vaskulitis pembuluh darah kecil. c. Lesi membrana mukosa Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau artropati reaktif) atau dengan gejala Oupus eritematosus sistemik, vaskulitis, Sindrom Behcet). Perlu diperhatikan adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung dan telangiektasia. d. Gangguan mata Gangguan mata meliputi : 1) Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid, vaskulitis dan polikondritis.

2. 2) 3)

Iritis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter kronik. Iridosiklitis pada artritis juvenil kronik jenis pauciartikuler. Konjungtivitis pada penyakit Reiter akut dan sindrom sika.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PROSEDUR DIAGNOSTIK Dalam tabel 3 dapat dilihat pemeriksaan yang perlu dilakukan pada penderita dengan gejala rematik generalisata. Tabel 3.

Pemeriksaan laboratorium dan prosedur diagnostik pada penyakit muskuloskeletal

A. Selalu atau hampir selalu dikerjakan 1. Pemeriksaan Darah Tepi lengkap. 2. Endap Darah. 3. Kalsium, Fosfor, Fosfatase Alkali serum 4. Aram urat dan kreatinin serum 5. Protein return atau elektroforesis protein. 6. Foto sinar X Langan atau sendi lain, sesuai gambaran klinik. B. Dikerjakan bits diperlukan 1. Faktor reumatoid 2. ANA 3. Triiodotironin (T3) dan Tiroksin (T4) 4. Analisis cairan sendi 5. Prosedur diagnostik lainnya, seperti artrogram.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan : 1) Laju endap darah meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga nilai sekitar 40–50 mm/jam masih dapat ditemukan pada orang usia lanjutyang masih sehat. 2) Kadar fosfatase asam perlu diperiksa pada penderita pria dengan keluhan nyeri pinggang (metastasis karsinoma prostat). 3) Kadar Ca, P dan Fosfatase Alkali untuk membedakan hiperparatiroid dengan artritis generalisata. 4) Elektroforesisprotein untukmembedakandengan mieloma multipel. 5) Kadar asam urat serum untuk mencari kemungkinan penyakit gout, sedangkan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal. 6) Kadar T3 dan T4 untuk mencari kemungkinan kelainan tiroid. 7) ANA diperiksa pada penderita dengan artritis generalisata yang menyerang sendi kecil disertai nram kulit, gangguan hematologik dan ginjal. 8) Pada pemeriksaan Faktor Reumatoid penderita AR perlu diingat bahwa frekuensi RF (+) meningkat pula dengan bertambahnya usia. 9) Foto sinar X dapat membedakan kelainan sistemik atau lokal. Untuk mencegah pemeriksaan yang berlebihan, usahakan/pilihlah sendi yang paling perlu dilakukan pemeriksaan tersebut. 10) CT Scan terutama untuk kelainan di vertebra seperti fraktur, kelainan diskus, spinal stenosis dan sebagainya. 11) Scanning tulang (Bone Scan) dengan Technetium dikerjakan bila ada kecurigaan keganasan tulang primer atau metastasis. 12) Artrografi, terutama pada lutut, dapat menentukan adanya robekan meniskus, nodul sinovia dan kista poplitea. Pada bahu dapat menentukan robekan rotator cuff.

13) Artroskopi, terutama di lutut, dapat melihat penyakit intraartikuler, sekaligus dapat dilakukan biopsi. 14) Analisis cairan sendi sebagai pembantu diagnostik; dapat dibagi dalam 3 kelompok. a) Nilai diagnostik yang pasti : 1. Pewarnaan Gram dan kultur bakteriologik memastikan septik artritis. 2. Kristal : menentukan pseudogout dan gout. b) Nilai diagnostik kurang pasti : yaitu pemeriksaan jumlah dan jenis dari sel, yang dapat membedakan antara keadaan normalinflamasi-septik, tetapi belum dapat menentukan jenis penyakit. c) Nilai diagnostik masih dipertanyakan seperti viskositas, test bekuan musin, kadar glukosa, faktor reumatoid dan kompleks imun dalam cairan sendi. 15) Biopsi sinovia dapat mendiagnosis tumor, keadaan seperti tumor (sinovitis vilonodular), tuberkulosis dan jamur. 16) Biopsi tulang dapat mendiagnosis stadium awal penyakit metabolik tulang. Selain itu pada orang usia lanjut dengan nyeri tulang generalisata dengan/tanpa kompresi fraktur vertebra, biopsi tulang dapat membedakan antara osteoporosis, osteomalasia dan hiperparatiroid. KESIMPULAN Dengan mengkombinasikan antara umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang maka kita dapat mempersempit diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang berlebihan tidak diperlukan apabila dari riwayat penyakit, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan laboratorium yang ditentukan sudah dapat dibuat diagnosis. Dengan diagnosis yang tepat kita dapat merencanakan pengelolaan pasien dengan lebih baik.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

3. 4. 5. 6.

Bossingham D, Dun N. Examination and treatment in rheumatic disease. Medicine International 1985; 8: 933. Calkins E, Papademetriou T et al. Muskuloskeletal diseases in the elderly. In: The practice of the geriatrics. Calkins E et al. (eds.). Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo, Hongkong: WB. Saunders Co. 1989. p. 386. Doherty M, Bax DE. Principle of the examination of a patient with rheumatic disease. Medicine International 1990; 3: 3085. Mc. Carty DJ. Differential diagnosis of arthritis; Analysis of signs and symptoms. In: Arthritis and Allied Conditions. McCarty DJ et al (eds.). Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1985, p. 40. Michet CJ, Hunder GG. Examination of the joints. In: Textbook of Rheumatology. Kelley WN et al. (eds.). Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB. Saunders Co. 1989, p. 425. Schumacher HR. Evaluation of the patient with symptoms of rheumatic disease. In: Primer of the Rheumatic Disease. Schumacher HR et al. (eds.). Ninth ed. Atlanta GA: Arthritis Foundation. 1988, p. 51.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

9

Kriteria Diagnostik Penyakit Reumatik Cecilia R Padang, A R Nasution, Harry Isbagio Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Dalam menegakkan diagnosis penyakit Reumatik sering ditemui kesulitan karena tidak adanya panduan yang jclas. Untuk itu para pakar mencoba menyusun bcbcrapa kriteria untuk menyeragamkan diagnosis penyakit Reumatik dari berbagai pusat. Pengertian kriteria sangat bervariasi. Beberapa istilah yang digunakan adalah diagnostic criteria, criteria for guidance in the diagnosis, dan preliminary criteria for the classification. Sesungguhnya kriteria dibuat agar dapat digunakan sebagai penuntun dalam mengklasifikasi gejala penyakit untuk memastikan diagnosis dan juga berperan dalam penemuan klinik tidak hanya untuk mendiagnosis penyakit secara individu. Yang hams diperhatikan adalah ketentuan-ketentuan dari berbagai kriteria berdasarkan teknik analisis yang memerlukan sejumlah variabel untuk mendapatkan suatu perbe0daan kelompok yang baik. Jadi tidak hanya untuk menegakkan diagnosis penderita tanpa memperhatikan jumlah informasi yang diperlukan. Kriteria yang tercantum di bawah ini telah dikembangkan sesuai dengan beberapa tujuan. Satu kelainan/pcnyakit mempunyai kriteria untuk : 1. Klasifikasi sekelompok penderita (misalnya dari survai populasi, seleksi untuk studi pengobatan, atau analisis hasil perbandingan penderita antar institusi). 2. Diagnosis penderita secara individu. 3. Perkiraan frekuensi penyakit dan/atau beratnya penyakit (survai epidemiologi) termasuk remisi. 4. Alat bantu dalam menentukan prognosis. Kriteria yang dibuat bersifat empirik dan tidak bertujuan untuk memasukkan atau menyingkirkan suatu diagnosis yang sesuai pada penderita tertentu. Kriteria ini sangat berarti untuk menentukan standard dalam membandingkan kelompok penderita dari pusat yang berbeda termasuk penemuan klinik dan

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

percobaan pengobatan. Kriteria yang ideal mutlak sensitif dan mutlak spesifik. Mutlak sensitif yaitu : semua penderita yang mempunyai kelainan ditemukan pemeriksaan fisik dan test laboratorium yang sama. Mutlak spesifik yaitu : kelainan yang ditemukan dan test yang positif tidak pernah ditemukan pada penyakit lain. Biasanya, makin sensitif suatu pcnemuan, makin kurang spesifisitasnya dan sebaliknya. Pada kritcria yang tclah ditcgakkan, dilakukan seleksi atas kemungkinan kombinasi antara sensitivitas dan spesifisitas. Diharapkan kriteria dapat dipakai untuk menambah ilmu pengetahuan dan berguna untuk klasifikasi penyakit serta sebagai konsep pada perubahan patofisiologi. Di bawah ini dikemukakan beberapa kriteria diagnostik yang disusun olch American Rheumatism Association (ARA) yang telah direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. KRITERIA DIAGNOSTIK DAN KLASIFIKASI ARTRITIS REUMATOID A. Kriteria Diagnostik (1958) 1) Kaku pagi hari 2) Nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada satu sendi yang diamati oleh pemeriksa. 3) Pembengkakan yang disebabkan karena penebalan jaringan lunak atau cairan (bukan pembesaran tulang) paling sedikit pada satu sendi yang diamati oleh pemeriksa. 4) Pembengkakan pada paling sedikit satu sendi lain yang diamati oleh pemeriksa dan masa bebas gejala dari kedua sendi yang terkena tidak lebih dari tiga bulan. 5) Pembcngkakan sendi yang simetris (diamati oleh pemeriksa) dan terkenanya sendi yang sama pada kedua sisi yang timbulnya bersamaan. Bila yang terkena sendi proximal inter-

falangeal bilateral, metakarpofalangeal metatarsofalangeal bilateral, simetris mutlak tidak diperlukan. Sendi distal interfalangeal tidak termasuk dalam kriteria. 6) Nodul subkutan (diamati oleh pemeriksa) pada tonjolantonjolan tulang, permukaan extensor atau pada daerah juxtaartikuler. 7) Pemeriksaan radiologi menunjukkan perubahan khas dari artritis reumatoid. Harus didapati dekalsifikasi pada atau dekat dengan sendi yang terkena, tidak hanya perubahan degenerasi. Perubahan-perubahan degenerasi tidak menyingkirkan adanya artritis reumatoid. 8) Test aglutinasi faktor reumatoid positif. 9) Bekuan mucin yang buruk pada cairan sinovia (dengan gumpalan seperti awan). Adanya inflamasi cairan sinovia disertai dengan 2000 sel darah putih/mm3 atau lebih tanpa kristal, dapat dimasukkan dalam kriteria ini. 10) Perubahan histologi yang khas pada sinovia dengan tiga atau lebih tanda berikut ini: sedikit hipertrofi villus, proliferasi sel permukaan sinovial, sering disertai palisading, sedikit infiltrasi sel inflamasi kronik (limfosit atau sel plasma) dengan kecenderungan terbentuknya lymphoid nodules; terlepasnya fibrin pada permukaan atau interstitial; nekrosis sentral. 11) Perubahan histologi yang khas pada nodul menunjukkan fokus granulomatous dengan nekrosis scntral, dikelilingi olch suatu palisade yang terdiri dari proliferasi mononuklear, fibrosis perifer dan infiltrasi sel inflamasi kronis. B. Klasifikasi Artritis Reumatoid 1) Reumatoid Klasik Harus terdapat 7 dari kriteria tersebut di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit selama 6 minggu. Jika ditemukan salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk artritis reumatoid, maka penderita tidak dapat digolongkan dalam kelompok ini. 2) Reumatoid Definit Harus terdapat 5 dari kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda (Jan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu. 3) Probable Rheumatoid Arthritis Kemungkinan artritis reumatoid Hams terdapat 3 dari kriteria di atas. Paling sedikit satu dari kriteria 1 sampai 5 tanda atau gejala sendi harus bcrlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu. 4) Possible Rheumatoid Arthritis Diduga artritis reumatoid Harus terdapat 2 dari kriteria berikut ini, dan lamanya gejala sendi paling sedikit 3 bulan. 1. Kaku pagi hari 2. Nyeri tekan atau nyeri gerak (diamati oleh pcmeriksa) dengan riwayat rekurensi atau menetap selama 3 minggu. 3. Riwayat atau didapati adanya pembengkakan sendi. 4. Nodul subkutan (diamati oleh pcmeriksa). 5. Peningkatan Laju Endap Darah atau C-Reaktif Protein. 6. Iritis (diragukan sebagai kriteria l.oxuali pada Juvenile

Arthritis) 5) Yang tidak termasuk RA 1. Butterfly rash yang khas pada Lupus Eritematosus Sistemik. 2. Konsentrasi LE sel tinggi atau jelas mendcrita SLE. 3. Periartritis Nodosa yang jclas pada pemcriksaan terdapat nekrosis arterial. 4. Kelemahan atau bengkak yang menetap pada leher, tubuh, dan otot-otot faring (polimiositis atau dermatomiositis). 5. Skleroderma yang jelas (sklerosis sistemik) tidak hanya terbatas pada jari jari. 6. Gambaran klinis khas dcmam reumatik disertai arlritis migrasi dan adanya endokarditis. 7. Gambaran klinis khas artritis gout, bersifat akut, nycri dan bengkak pada satu sendi atau lebih tcrutama bila membaik dengan kolkhisin. 8. Toil gout. 9. Gambaran klinis khas artritis infektif yang disebabkan olch bakteri atau virus disertai dcmam, menggigil dan artritis akut yang biasanya berpindah-pindah (pada stadium awal). 10. Pemeriksaan baktcriologik dan histologik ditemukan tuberkulosis pada satu sendi. 11. Gambaran klinis khas Sindrom Reiter discrtai dengan uretritis, konjungtivitis, dan artritis akut yang pada mulanya berpindah-pindah. 12. Gambaran klinis khas shoulder hand syndrome (reflex sympathetic dystrophy syndrome). Bahu dan tangan yang terkena unilateral, disertai pembengkakan difus pada tangan yang diikuti dengan atrofi dan kontraktur. 13. Gambaran klinik khas hypertrophir, ostcoarthropathy disertai clubbing jari atau hipertrofi periostitis sepanjang tulangtulang panjang, terutama jika terdapat lesi intrapulmonal atau gangguan lain yang berhubungan. 14. Gambaran klinik khas neuroarthropati (misal: Charcot joint) discrtai kondensasi dan destruksi tulang termasuk sendi dan didapati gangguan neurologik yang sesuai. 15. Asam homogentisik dalam urine (alkaptonuria), terdeteksi jelas dengan alkalinisasi. 16. Gambaran histologik sarkoid atau test Kveim positif. 17. Mieloma multipel, dibuktikan dengan peningkatan plasma sel dalam sumsum tulang atau dengan protein Bence Jones dalam urine. 18. Gambaran kulit khas eritema nodosum. 19. Leukemia atau limfoma dengan sel yang khas dalam darah, sumsum tulang, atau jaringan. 20. Agammaglobulinemia.

KRITERIA DIAGNOSTIK ARTRITIS REUMATOID MENURUT "AMERICAN RHEUMATISM ASSOCIATION" (REVISED, 1987) Untuk mcnegakkan diagnosis Artritis Reumatoid harus didapati 4 atau lebih kriteria berikut ini : 1) Kaku pagi hari selama paling sedikit I jam dan sudah bcrlangsung paling sedikit 6 minggu. 2) Pembengkakan pada 3 sendi atau lebih selama paling sedikit

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 11

6 minggu. 3) Pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpofalang, atau interfalang proksimal selama 6 minggu atau lebih. 4) Pembengkakan sendi yang simetris. 5) Pemeriksaan radiologi tangan menunjukkan perubahan khas artritis reumatoid; harus didapati erosi atau dekalsifikasi tulang yang nyata. 6) Nodul reumatoid. 7) Serum faktor Reumatoid positif. KRITERIA REMISI PADA ARTRITIS REUMATOID Lima atau lebih dari syarat di bawah ini hams dipenuhi dan hams berlangsung paling sedikit 2 bulan. 1) Lamanya kaku pagi hari tidak lebih dari 15 menit. 2) Tidak ada kelelahan. 3) Menumt riwayat tidak ada nyeri sendi. 4) Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak. 5) Tidal( ada pembengkakan jaringan lunak pada sendi atau sarung tendon. 6) Laju Endap Darah (Westergreen) kurang dari 30 mm/jam untuk wanita atau 20 mm/jam untuk pria. Kriteria ini dapat digunakan baik untuk remisi spontan atau remisi karena obat. Kriteria ini digunakan pada penderita yang telah memenuhi kriteria ARA dan termasuk dalam Artritis Reumatoid definit atau klasik. KRITERIA DIAGNOSTIK "JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS" (JRA) Pandangan Umum Team pcnyusun kriteria JRA pada tahun 1982 memperbaharui (revisi) kriteria tahun 1977 dan menetapkan bahwa Juvelile Rheumatoid Arthritis adalah nama yang digunakan untuk bentuk utama dari artritis kronis pada anak-anak dan dibagi atas 3 onset subtipe yaitu: sistemik, poliartikuler, dan pausiartikuler. Onset subtipe dibagi lagi menjadi beberapa kelompok. Kriteria Umum untuk Diagnosis JRA A. Artritis pada satu sendi atau lebih yang menetap paling sedikit 6 mineeu. B. Tidal( ditemukan pcnyebab artritis lain. Onset subtipe JRA Onset subtipe ditentukan oleh manifestasi penyakit selama 6 bulan dan tetap merupakan klasifikasi utama walaupun manifestasi-manifestasi yang mirip dengan subtipe lain dapat timbul kemudian. A. JRA onset sistemik : subtipe ini adalah JRA yang disertai dengan demam intermiten yang menetap (suhu intermiten sepanjang hari dapat mcncapai 103°F atnu lebih), disertai atau tidak disertai adanya ruam reumatoid atau gangguan organ lain. Jika ditemukan adanya demam dan ruam yang khas tanpa artritis dapat dipikirkan kemungkinan JRA onset sistemik (probable systemic onset JRA). Sebclum diagnosis pasti ditegakkan, harus ditemukan adanya artritis.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

B. JRA onset pausiartikuler : Subtipe ini adalah JRA dengan artritis pada 4 sendi atau kurang selama 6 bulan pertama sakit. Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini. C. Poliartikuler JRA : Subtipe ini adalah JRA disertai artritis pada 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit. Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini. D. Yang termasuk dalam onset subtipe : 1) Systemic onset (SO) a. poliartritis b. oligoartritis 2) Oligoartritis (00) (pausiartikuler onset) a. anti.-nuklear antibodi (ANA) positif, uveitis kronik. b. faktor reumatoid positif. c. HLA B-27 positif. d. tidak termasuk klasifikasi lain. 3) Poliartritis (PO) a. faktor reumatoid positif. b. tidak termasuk klasifikasi lain. Tidak termasuk (Exclusion) A. Penyakit rematik lain 1. Demam Rematik 2. Lupus Eritematosus Sistemik 3. Spondilitis Ankilosis 4. Polimiositis dan dermatomiositis 5. Sindrom Vaskulitik 6. Sklerodcrma 7. Artritis Psoriatik 8. Sindrom Reiter 9. Sindrom Sjogren 10. Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD) 11. Sindrom Behcet B. Artritis Infeksi C. Inflamasi gastrointestinal (inflammatory bowel disease) D. Penyakit neoplasma termasuk leukemik E. Kelainan non-rematik pada tulang dan sendi F. Penyakit hematologi G. Artralgia psikogenik H. Lain-lain : 1. Sarkoidosis 2. Hypertrophic osteoarthropathy 3. Sinovitis Vilonodulcr 4. Hepatitis kronik aktif 5. Familial Mediterranean Fever

Terminologi lain Arthritis Kronik Juvenil (JCA) dan Artritis Juvenil (JA) adalah istilah diagnosis baru yang digunakan untuk artritis pada masa kanak-kanak. Diagnosis JCA dan JA tidak sama satu dengan yang lain, demikian juga dengan JRA lama atau penyakit Still.

KRITERIA JONES SEBAGAI PENUNTUN DIAGNOSIS DEMAM REUMATIK (REVISED) KRITERIA MAJOR 1. Karditis 2. Poliartritis 3. Chorea 4. Eritema marginatum 5. Nodul subkutan

KRITERIA MINOR 1. Demam 2. Artralgia 3. Pernah menderita demam rematik atau penyakit jantung rematik 4. LED meningkat atau CRP positif 5. PR interval memanjang

Dalam menegakkan diagnosis demam rematik harus ditemukan 2 kriteria major atau 1 kriteria major ditambah 2 kriteria minor, yang masing-masing disokong oleh meningkatnya kadar ASTO. Pada anamnesis biasanya ada riwayat sakit tenggorokan berulang. KRITERIA UNTUK KLASIFIKASI SLE (REVISED) 1) Malar rash, berupa eritema yang jelas, datar atau menonjol, pada eminentia malar, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial. 2) Discoid rash, bercak-bercak eritema yang menonjol dengan sisik keratotik yang berlapis, dan sumbatan folikel. Parut atrofi dapat terjadi pada lesi lama. 3) Fotosensitivitas, adanya ruam kulit akibat reaksi terhadap sinar matahari yang dilihat oleh pemeriksa atau berdasarkan anamnesa. 4) Ulkus Oral, ulkus yang terdapat di oral atau nasofaring, biasanya tidak terlalu sakit dan terlihat oleh pemeriksa. 5) Artritis, artritis tanpa erosi mengenai 2 atau lebih sendi perifer, ditandai dengan adanya nyeri tekan, bengkak atau adanya cairan dalam sendi. 6) Serositis a) Pleuritis; jelas dalam anamnesis adanya riwayat nyeri pleuritik atau ronkhi yang terdengar oleh pemeriksa atau adanya efusi pleura atau b) Perikarditis berdasarkan pemeriksaan EKG atau rub atau adanya pericardial effusion. 7) Gangguan ginjal a) Proteinuria yang menetap lebih dari 0,5 gram/hari atau lebih dari 3+ pada pemeriksaan kwalitatif atau b) Sedimen, dapat bcrupa sel darah merah, hemoglobin, granuler, tubuler atau campuran. 8) Gangguan Neurologis a) Kejang yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau kelainan metabolik seperti : uremia, ketoasidosis, gangguan elektrolit atau b) Psikosis, yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau kelainan metabolik. 9) Gangguan Hematologis

a)

Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau b) Leukopenia kurang dari 4000/mm3 total pada 2 atau lebih pemeriksaan atau c) Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2 atau lebih pemeriksaan atau d) Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3 pada 2 atau lebih pemeriksaan. 10) Gangguan Imunologis a) LE sel positif atau b) Anti-DNA: abnormal atau c) Anti-Sm: terdapat antibodi terhadap Sm nuklear antigen atau d) false positive terhadap test scrologi syphilis selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan Triponema pallidum Immobilization atau Fluorescent treponemal antibody absorption test. 11) Antibodi Anti Nuklear Titer abnormal pada pemeriksaan sewaktu dengan immunofluoresens atau metode yang secara dan pada saat pemeriksaan tidak mendapat pengobatan dengan ohat yang menginduksi terjadinya sindrom lupus. Klasifikasi berdasarkan 11 kriteria. Dalam studi klinik, untuk menegakkan diagnosis SLE harus didapati 4 atau lebih dari 11 kriteria di atas yang timbulnya berurutan atau serentak selama periode observasi.

KALENDER PERISTIWA June 28 – July 1, 1992 5th Asean Otorhinolaryngological Head and Neck Congress Jakarta, INDONESIA Secr.: Damayanti Soetjipto MD Rumah Sakit THT PERHATI Jl. Proklamasi 42c Jakarta 10320, INDONESIA December 7–9, 1992 Third Western Pacific Congress on Chemotherapy and Infectious Diseases Nusa Dua, Bali, INDONESIA Secr.: Clinical Pharmacology Unit Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital/ University of Indonesia Jalan Diponegoro 71 Jakarta 10002 INDONESIA

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 13

KRITERIA KLf1SIFIKASI ARTRITIS GOUT A. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi. B. Tofi yang mengandung kristal urat yang dibuktikan dengan pemeriksaan kimiawi atau mikroskop polarisasi. C. Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinik, laboratorium, dan sinar X yang tercantum di bawah ini : 1) Lebih dari satu kali serangan artritis akut 2) Inflamasi maksimal terjadi dalam s:.ttu hari 3) Serangan artritis pada saw sendi (monoartritis) 4) Terlihat kemerahan pada sendi 5) Sandi Metatarsofalang I nycri dan bc:ngkak 6) Serangan satu sisi termasuk MTP I 7) Serangan satu sisi termasuk sendi tarsal 8) Kecurigaan adanya tofi 9) Hiperurisemia 10) Pembengkakan asimetrik pada satu sendi (dengan sinar X) 11) Kista subkortikal tanpa erosi (sinar X) 12) Tidak ditemukan kuman pada saat serangan dan inflamasi. Dengan adanya berbagai kriteria tersebut diharapkan para dokter dapat mengurangi penyimpangan diagnosis dari berbagai penyakit reumatik sehingga pengobatan dan pencegahan ter-

hadap disabilitas dapat lebih terarah. KEPUSTAKAAN 1. Ropes MW, Bennett GA, Cobb Set al. 1958 Revision of diagnostic criteria for rheumatoid arthritis. Bull Rheum Dis 1958; 9: 175-6. 2. Blumberg B, Bunim JJ, Calkins et al. ARA nomenclature and classification of arthritis and rheumatism (tentative). Arthritis Rheum 1964; 7: 93-7. 3. Amett FC, Edworthy S, Block DA et al. The 1987 revised ARA criteria for rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1987; 30: S17. 4. JRA Criteria Subcommittee of the Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee of the American Rheumatism Association. Current proposed revisions of the IRA criteria. Arthritis Rheum 1977; 20 (suppl): 195-9. 5. Ansell BW. Chronic arthritis in childhood. Ann Rheum Dis 1978; 37: 107-20. 6. Fink CW. Keynote address: Arhtritis in childhood, Report of the 80th Ross Conference in Pediatric Research. Columbus, Ross Laboratories, 1979, pp 1-2. 7. Stollerman GH, Markowitz M, Taranta A, et al. Jones criteria (revised) for guidance in the diagnosis of rheumatic fever. Circulation 1965; 32: 664-8. 8. Tan EM, Cohen AS, Fries IF, et al. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus (SLE). Arthritis Rheum 1982; 25: 1271-7. 9. Wallace SL, Robinson H, Masi AT, et al. Preliminary criteria for the classification of the acute arthritis of primary gout. Arthritis Rheum 1977; 20: 895-900.

I don't know who my grandfather was, I am much more concerned to know what hisgrandson wade (Abraham Lincoln) 14 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Prinsip Dasar Penatalaksanaan Gangguan Reumatik Harry Isbagio Subbagian Reumatologi Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ R.S. Dr. Ciplomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Walaupun dikenal lebih dari 100 macam penyakit reumatik, secara umum penatalaksanaan untuk mengatasinya hampir sama. Pada keadaan awal penderita dapat ditangani oleh dokter umum, kecuali pada keadaan gawat darurat seperti pada artritis septik. Konsultasi pada seorang ahli diperlukan untuk keadaan inflamasi sendi yang tidak khas diagnosisnya, untuk mendapat suatu second opinion pada keadaan artritis yang menetap lebih dari 3 bulan dan pada keadaan kronik. Umumnya insidens dari penyakit seperti artritis reumatoid, spondiloartropati seronegatif dan penyakil. jaringan ikat Iainnya tidaklah begitu besar, yang lebih sering ditemukan ialah osteoartritis, reumatik non-artikuler dan penyakit gout. Dengan demikian pada sebagian besar kasus dapat diobati dengan menggunakan prinsip pengobatan dasar. LANGKAH PENATALAKSANAAN Langkah penatalaksanaan gangguan reumatik dapat dibagi dalam 3 tahap, (tabel 1) yaitu : 1) Lesi akut 2) Artritis persiten 3) Destruksi sendi Sedangkan jenis pengobatan yang diberikan meliputi hal sebagai berikut : 1) Pengobatan medikamentosa 2) Pengobatan bedah 3) Program rchabilitasi Tujuan dalam pengobatan gangguan reumatik meliputi : 1) Mengurangi nyeri sendi 2) Memelihara fungsi sendi 3) Mencegah terjadinya cacad/disabilitas Sedangkan pada tabel 2, dapat dilihat cara untuk mencapai tujuan pengobatan gangguan reumatik.

Tabel 1.

Langkah Penatalaksanaan Gangguan Reumatik

Tahap Lesi akut

Medik

• Analgetik • Obatanti inflamasi nonsteroid •Aspirasi cairan sendi • Suntikan intraartikuler Artritis persisten • OAINS • Obat remitif • Suntikan kortikosteroid intraartikuler Destruksi sendi • Analgetik

Bedah • "Drainage" •Traksi

Rehabilitasi • Istirahat • Bidai,collar • Es • Latihan sedcrhana

• Sinevcktomi • Alat hantu • Reparasi tendon • Pcnyesuaian pola • Eksisi tulang kerja •Bidai kerja •Proteksi sendi • Ganti sendi •Tongkat (joint •Kursi rods replacement) •Penyesuaian diri •Bantuan finansial.

1. MENGURANGI NYERI SENDI Istirahat Makna istirahat tidak boleh dilupakan. Penderita dengan lesi akut harus istirahat total di tempat tidur. Pendcrita dengan lesi kronik hams melakukan penyesuaian diri dalam pekerjaannya sehingga tidak terlalu lelah, cukup istirahat dan tidur nyenyak pada malam hari. Umumnya penderita patuh selama dirawat di rumah sakit, tetapi mereka perlu mendapat dorongan untuk mempertahankan hal tersebut bila sudah kembali ke masyarakat. Bidai Bidai pada keadaan akut sangat membantu mengurangi rasa nyeri dan mencegah deformitas, terutama pada wadi lutut, tangan, pergelangan tangan dan siku.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 15

Tabel 2.

Cara Mcncapai Tujuan Pengobatan Cangguan Reumatik Tujuan

1.

Menghilangkan rasa nyeri

2.

Memelihara fungsi sendi

3.

Mencegah cacad/disabilitas

Cara • Istirahat, traksi • Bidai, collar • Aspirasi cairan sendi • Suntikan kortikosteroid intraanikuler • Analgetik • OAINS • Ganti sendi • Es • Latihan sendi • Bidai, collar, korsct • Ilidroterapi • Kesegaran tubuh • Proteksi • Identifikasi, penilaian • Alat bantu • Penyesuaian diri • Iatihan kerja ulang • Bantuan finansial

Penggunaan bidai baku atau simple soft collar dapat dipertimbangkan, walaupun yang paling ideal ialah plaster dari Paris. Traksi mungkin diperlukan bila ada gangguan panggul, pinggang atau tengkuk. Aspirasi Sendi dan Suntikan Intraartikuler Aspirasi pada sendi yang membengkak akut sangat dianjurkan, selain dapat mengurangi rasa nyeri juga berguna untuk diagnosis. Suntikan kortikosteroid intraartikuler atau ke jaringan lunak sangat bcrhasil mengurangi rasa nyeri. Drainage surgikal terutama pada artritis septik sangat membantu pengobatan. Obat Pada keadaan inflamasi maka obat antiinflamasi non steroid lebih efektif dari analgetik. Adanya efek samping pada traktus gastrointestinal, ginjal dan kulit perlu dijelaskan pada penderita terutama yang usia lanjut. Penggunaan obat lokal transdermal mungkin lebih cocok untuk sejumlah penderita, selain itu dapat mengurangi risiko perdarahan gastrointestinal. Bedah Bedah ortopedi, baik pada jaringan lunak atau rekonstruksi pada awal artritis atau joint replacement memberikan hasil yang sangat memuaskan dalam menghilangkan rasa nyeri.

beban ringan. Dokter dapat mengajarkan latihan ringan, sedangkan fisioterapist melakukan latihan yang lebih kompleks. Untuk cedcra jaringan Iunak perlu sekali pengawasan sebelum kembali berolah raga atau bekerja, disertai dengan latihan jangka panjang. Pada keadaan kronik maka latihan untuk kesegaran jasmani dan menjaga ukuran badan (penurunan berat badan) perlu dilakukan. Hidroterapi Latihan di dalam air sangat berguna untuk mengembalikan kekuatan dan stamina. Latihan di bawah pengawasan fisiotcrapist dalam kolam dengan suhu antara 34°–36°C sangat ideal, terutama untuk anak dan usia lanjut. Di dalam kolam renang, pengaruh gravitasi berkurang sehingga sangat baik untuk menguatkan otot atau bila ada lesi tulang (fraktur atau osteoporosis), serta sangat baik untuk mobilisasi coxae, bahu dan tulang belakang. Bidai Bidai, collar dan korset dikombinasi dengan latihan dapat mcncegah deformitas dan menjaga postur tubuh. Perlu dijelaskan pada penderita cara menggunakan bantal, kasur dan kursi yang bcnar, dijelaskan pula tentang posisi badan waktu kerja dan bagaimana cara mengangkat barang yang benar. 3. PENCEGAHAN DISABILITAS Penyakit reumatik kronik dapat mengakibatkan disabilitas, olch karena itu perlu dijaga agar tidak sampai terjadi handicap. Pencatatan yang baik dari suatu penyakit kronis pada praktek umum sangat membantu dalam mengidentifikasi masalah penderita. Penilaian keadaan di rumah dan tempat kerja sangat panting. Perubahan sederhana pada pola kerja dan perubahan jadwal rutin dapat diberikan balk oleh seorang dokter, maupun oleh fisioterapist dan occupational therapist. Alat Bantu Berbagai alat bantu untuk membantu pasien untuk mobilitas, kegiatan sehari-hari dan bekerja telah dikembangkan. Beberapa pasien kurang menghargai alat bantu tersebut sampai ia mencoba sendiri penggunaan alat tersebut.

2. MELIHARAAN FUNGSI SENDI

Problema Sosial Disabilitas dapat mengakibatkan problema sosial-ekonomi akibat handicap, berupa mobilitas yang tcrbatas, kontak sosial yang terbatas, gizi yang jelek dan sebagainya. Sebaiknya seorang dokter mengetahui instansi sosial yang dapat mcmbantu menangani masalah ini.

Fisioterapi Bahaya dari istirahat jangka pendek terlalu dilebih-lebihkan; sendi tidak akan menjadi kaku dalam beberapa hari saja, sebaliknya melakukan latihan otot pada keadaan cedera atau inflamasi tidak dianjurkan. Bila inflamasi sudah recta maka latihan penguat dan pergerakan sendi perlu segera dilakukan. Pada beberapa kasus maka tcrapi dilakukan dengan menggunakan es, latihan ringan dan gobatan dasar tidak diperolch kemajuan, barulah dirujuk pada

PENUTUP Prinsip dasar penatalaksanaan gangguan reumatik sebaiknya diketahui olch para doktcr umum. Dari sckian banyak pasien maka prinsip pengobatannya adalah sama, tidak semua pasien harus dirujuk kepada scorang dokter ahli. Bila dengan pendoktcr ahli.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

KEPUSTAKAAN 1.

Mowat AG. Management Principles of Rheumatics Disorder. Medicine

2. 3.

3: 3091, 1990. Schumacher HR. Rehabilitative Therapies for Patients with Rheumatic Disease. In: Primer on the Rheumatics Diseases, Schumacher et at (ed.). Ninth ed. Atlanta GA: Arthritis Foundation. 1988, p. 301. Fries IF. Assessment of the Patient with Rheumatics Disease. In: Textbook of Rheumatology. Kelley WN et at (ed). Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WIi Saunders Co 1989, p. 420.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 17

Peranan Analisis Cairan Sendi dalam Diagnosis Penyakit Sendi H. M. Adnan Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Dr Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Pemeriksaan dan analisis cairan sendi dalam menegakkan diagnosis penyakit sendi amatlah penting. Hal itu sama pentingnya dengan nilai pemeriksaan dan analisis urine pada penyakit ginjal. Bila dijumpai adanya cairan sendi, sebaiknya diperiksa secara sistematis, walaupun jumlah cairan itu hanya sedikit (setelah diaspirasi).Sebagai contoh, misalnya cairan yang berasal dari sendi pangkal ibu jari kaki (metatarso phalangeal digiti I), walau hanya satu atau dua tetes sudah cukup untuk melihat ada atau tidaknya kristal asam urat dalam cairan tersebut. Demikian pula dengan pemeriksaan terhadap adanya kristal kalsium pirofosfat atau diagnosis terhadap artritis septik,LES dan sebagainya. Dengan memeriksa cairan sendi, diagnosis pasti dapat ditegakkan secara cepat. Memang, pada beberapa hal, diagnosis sulit ditegakkan hanya dengan analisis cairan sendi saja, tapi sekurang-kurangnya dapat dipakai sebagai diagnosis banding. Pemeriksaan cairan sendi secara rutin dan hitung Ickosit misalnya, akan sangat bcrmanfaat untuk mempersempit diagnosis (agar lebih tepat) pada penyakit-penyakit sendi non inllamasi yang disertai dengan efusi, atau cairan sendi yang bersifat inflamatif, termasuk artritis septik dan hemartrosis. Bahkan pada penderita-pcnderita artritis yang sudah ditegakkan diagnosisnya, pemeriksaan cairan sendi dapat dipakai untuk menilai perkcmbangan pcnyakit-pcnyakit tcrsebut, misalnya pada LES, AR, deposit Kalsium Pirofosfat pada osteoartritis atau crystal induced synovitis (sinovitis yang timbul akibat endapan kristal yang terjadi karena suntikan intraartikuler dengan steroid). Tabel 1 dan 2 menggambarkan sendi yang non inflamatif (lekosit kurang dari 2000 per mm3) dan yang inflamatif (jumlah lekosit lebih dari 2000 per mm3) pada analisis cairan sendi.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Tabel 1.

Efusi sendi yang non innatnatif

Ostcoartritis Traumatik artritis Akromegali Penyakit Gaucher Hemokromatosis Iliperparatiroidisme Okronosis Penyakit Paget Mechanical derangement Eritema nodosum Sinovitis vilonodular Nekrosis aseptik Sindrom Ehlers-Danlos Penyakit sickle cell Amiloidosis Osteoartropati pulmoner hipertropik Pankreatitis Osteochondritis dissecans Sendi Charcot Penyakit Wilson Displasia epifiseal Tabel 2.

Efusi sendi yang Inflamatif

Artritis Reumatoid Artritis Psoriatik Sindrom Reiter Kolitis Ulkeratif Enteritis Regional Postileal bypass arthritis Spondilitis Ankilosing Artritis Rcumatoid Juvenil Dcmam Reumatik Collagen.yascular disease Lupus Eritematosus Sistemik

Sklerodenma Polimiositis Polikondritis Poliarteritis Polimialgia reumatika Giant cell arterttis Sindrom Sjogren Granulomatosis Wagener Sindrom Goodpasture Purpura Henoch-Schonlein Familial Mediterranean fever Penyakit Whipple Sindrom Behcet Eritema nodosum Sarkoidosis Retikulohistiositosis Multisentrik Artritis Postsalmonella, shigella, yersinia Artritis Infcktif Parasitik Viral (hepatitis, mumps, rubella, dll.) Jamur Mikoplasma Bakteri (stafilokokus, gonokokus, tuberkulosis, dll.) Treponemal Karsinoid Endokarditis bakteriel subakut Crystal-induced arthritis Gout Pseudogout Post-infra-articular steroid injection Artritis Hidroksiapatit Hiperlipoproteinemia Serum sickness Agamaglobulinemia Leukemia Angiitis Ilipersensitif Rcumatisme Palindromi Tabel 3.

Haemarthrosis

Trauma with or without fractures Pigmented villonodular synovitis Synovioma, other tumors Hemangioma Charcot joint or other severe joint destruction hemophilia or other bleeding disorders Von Willebrand's disease Anticoagulant therapy Myeloproliferative disease with thrombocytosis Thrombocytopenia Scurvy Ruptured aneurysm Art eriovenous fistula Idiophatic Jadi, hanya dengan pemeriksaan cairan sendi, dapat diperoleh banyak informasi tentang apa yang terjadi pada sendi tersebut (inflamasi, infeksi, deposit kristal dan sebagainya). Sedangkan dengan pemeriksaan RF, antibodi antinuklir (ANA), asam urat dan ASTO kita mungkin dapat terkecoh oleh hasil-hasilnya dan diagnosis pun kadang-kadang masih belum dapat ditegakkan. Sebenarnya cairan sinovial itu adalah suatu ultra filtrat dari plasma yang disertai dengan sejumlah kecil protein dengan berat

molekul yang lebih besar, misalnya fibrinogen,beta 1 C globulin, serta globulin lain dan protein hialuronat yang dibcntuk dalam membran sinovial. TEKNIK ARTROSENTESIS Cara ini dilakukan dengan hati-hati dan steril, serta di tempat yang benar. Bila setelah dilakukan aspirasi ternyata tak didapati adanya cairan, doronglah penghisap semprit agar darah dan jaringan yang terhisap dapat dikeluarkan dari jarum. Kita dapat melakukan pemeriksaan untuk kristal meskipun yang didapat hanya satu tetes, atau untuk pemeriksaan gram maupun kultur(persemaian). Bila diduga suatu artritis karena infeksi, sedangkan cairan tak didapat, cucilah rongga sendi tersebut dengan larutan garam faal dan kemudian dibuat pemeriksaan kultur (pembiakan atau persemaian kuman) dari cairan pencuci tersebut. Bila dikehendaki pemeriksaan kadar gula yang akan dibandingkan dengan kadar gula serum penderita, maka pcnderita sebaiknya puasa dulu. Sebaiknya direncanakan dulu pemeriksaan apa yang akan dilakukan; belum tentu pemeriksaan-pcmeriksaan cairan yang telah disebutkan di atas, semuanya diperlukan. PEMERIKSAAN GROSS ("GROSS EXAMINATION") Sulit memilih kata yang tepat untuk gross examination tapi yang dimaksud di sini adalah pemeriksaan tentang volume, viskositas, warna dan kejernihan cairan sinovial yang mungkin bila disebut pemeriksaan makroskopik lebih mudah dipahami, walau makroskopik juga bahasa asing. Pemeriksaan ini dapat dilakukan langsung dan dapat segera diperoleh kesan secara kasar, misalnya bila jernih, tanda tak ada infeksi, bila kcruh berarti ada infeksi dan sebagainya. Volume Jumlah cairan sendi ini dapat dipakai untuk membantu menilai berat ringannya artritis. Juga dapat untuk.membandingkan jumlah cairan yang kita punksi sekarang lebih kecil jumlahnya dari yang sebenamya, yang berarti ada perbaikan. Cairan sendi kadang-kadang sulit diaspirasi karena kental. Misalnya karena mengandung fibrin, rice-bodies, atau serpihanserpihan yang lain. Viskositas (kekentalan) Cara penilaian kekentalan ini dapat dilakukan dengan meneteskan cairan dari semprit (split), apakah tetesannya lambat jatuh dan membentuk seperti benang dulu, atau langsung menetes seperti air yang berarti lebih cair. Tapi dapat juga dipegang dengan ibu jari dan tclunjuk, lalu direntangkan. Akan tampak benang dan terasa agak lengket pada jari. Sebelum putus, rentangan cairan tersebut bila diukur lebih kurang 2 – 3 cm. Ini berarti normal, tak ada inflamasi. Bila ada inflamasi, cairan akan menetes seperti air, yang berarti viskositasnya rendah. Bila amat kental biasanya karena adanya hipotiroidi dan pada ganglia. Viskositas biasanya rendah bila ada inflamasi atau edema. Viskositas, cenderung sejajar terhadap konsentrasi hialuronat, yang seringkali diukur kadar asam uroniknya scbagai alat pene-

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 19

litian. Pada cairan yang purulen, kekentalan yang timbul dapat disebabkan oleh banyaknya jumlah Iekosit yang ada dalam cairan tersebut makin banyak jumlah, makin kentallah cairan sinovial itu. Hialuronidase dapat dipakai untuk mengencerkan cairan sinovial sebelum dipakai untuk test-test lain. Warna dan Kejernihan Bila kertas yang ada tulisannya diletakkan di belakang tabung yang berisi cairan sinovial, lalu huruf-huruf yang tertera pada tulisan itu masih tetap dapat dibaca, maka berarti cairan tersebut jernih. Dan berarti talc ada inflamasi. Tapi bila bcrkabut (cloudy), bcrarti ada proses inflamasi. Jadi main keruh, berarti makin banyak set. Plastik dapat memberi kesan cairan berkabut; oleh sebab itu sebaiknya cairan diletakkan dalam tabung galas agar tidak terjadi kesan yang salah. Tidak semua cairan yang berkabut atau .opaque berarti inflamasi. Pemeriksaan mikroskopik masih diperlukan agar dapat diyakinkan bahwa kekeruhan, bahkan kepckatan itu bukan discbabkan olch banyaknya jumlah kristal, trigliscid, fibrin, amiloid atau serpihan tulang rawan. Kadang-kadang akibat menahunnya sendi yang inflamatif, cairan sendi dapat berisi rice bodies (merupakan hasil akhir dari proliferasi sinovia dan proses degenerasi, yang berisi collagen, serpihan sel dan fibrin), yang dapat sukar dibedakan dari nanah. Cairan sendi akibat Okronosis dapat berisi partikel gelap atau keruh yang menyerupai wama mcrica yang biasanya disebut Ground pepper sign. Serpihan hitam atau abu yang berasal dari metal atau serpihan plastik setelah dilakukan atroplasti prostetik, dapat juga memberi warna pada cairan sendi. Efusi karena AR atau artritis kronik yang lain akan berwarna kehijauan. Warna merah darah atau oranye kecoklatan dapat disebabkan olch karena pigmented villonodular synovites. Sedang cairan akibat penyakit gout akan berwarna putih kental seperti kapur yang berisi kristal. Kadang-kadang dalam cairan yang kita punksi, keluar sepercik darah. Hal itu lazim akibat pcmbuluh darah kccil yang tcrtusuk saat punksi. Pada pengobatan yang tidak sempuma, pada sendi yang mengalami infeksi dapat memberi kcsan seperti suatu inflamasi yang scdang dan tidak purulen. Bila inflamasi tersebut amat ringan atau cairannya jemih, maka selain inflamasi, dapat pula disebabkan oleh SLE, demam reumatik, polimiositis atau skleroderma. Pada pcnderita gout dan pseudogout, pada saat tidak dalam serangan (gout intcrkritikal), cairan juga dapat jernih. Hitung sel darah putih (lekosit) Jumlah sel lckosit dalam pemcriksaan cairan sendi amat penting maknanya, karena merupakan dasar pedoman kita untuk mcnetapkan apakah suatu efusi bersifat inflamasi, non inflamasi atau septik. Cara pemeriksaan sel lekosit tersebut sama dengan cara kita memeriksa darah tepi dengan memakai kamar hitung yang biasa; tapi ditambahkan larutan NaCl 0,3%. Larutan NaCl ini akan

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

mcmbuat critrosit hancur. Bila kita memakai asam, maka akan menyebabkan cairan sinovial menggumpal dan penghitungan sel lekosit tidak akurat lagi. Cairan sinovial dituang dalam tabung yang diberi heparin lalu dikocok. Pcnghitungan hams dilakukan segcra agar tidak menggumpal atau rusak. Selanjutnya bcrikan biru metilen untuk memudahkan mengenal lekosit; untuk Artritis Reumatoid biasanya lekositnya antara 2.000 – 75.000; bila jumlah lekosit lebih dari 60.000, dicurigai adanya infeksi. Sebaiknya diingat pula bahwa suatu infeksi yang telah diobati sebagian, atau infeksi derajat rendah (low grade infection) dengan gonokokus, mikobakteria dan jamur, lekositnya seringkali rendah. Penderita AR sindrom Reiter dan artritis akelat kristal, jumlah lekositnya dapat mencapai lebih dari 100.000 per mm3. Bila jumlah Ickosit antara 200 – 2000 per mm3 dapat kita golongkan dalam kelompok non inflamasi. Sebenarnya, jumlah lekosit dalam cairan sendi hanya sekitar 50 per mm3. Bila dalam penghitungan, jumlah lekosit mencapai 200, jelas merupakan suatu inflamasi derajat rendah yang seringkali dijumpai pada pendcrita osteoartritis. Pada penderita yang penyakit degeneratifnya dominan, misalnya pada hemokhromatosis, dapat pula mempunyai efusi dengan jumlah lekosit yang tinggi bila disertai dengan adanya kondrokalsinosis akibat artritis akelat kristal. Adanya sel darah merah yang bersifat "sementara" biasanya diabaikan, sebab seringkali akibat artrosentesis, kecuali bila jelas hemoragis.

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK Sediaan Basah : Amat penting untuk segera memeriksa cairan sendi segar secara mikroskopik dalam sediaan basah. Walau hanya satu tetes yang didapatkan dari punksi, cairan ini tetap berguna untuk melihat adanya lcristal dan konstituen lain. Kemudian dengan cairan yang sama, bila diperlukan dapat diwarnai dengan gram misalnya. Teteskan cairan sendi sebanyak 1–3 tetes pada getas objek yang bersih. Biasanya cairan tersebut tidal( diputar (centrifuge) dulu, tapi bila diputar dulu, endapannya dapat lebih memperbanyak jumlah kristal yang jarang ditemukan, atau bagian cairan yang jernih akan mempertegas penampilan sel yang dicari. Gelas objek yang kotor sebaiknya dicuci dengan aseton dan dikeringkan, lalu dibersihkan dengan kertas busa, dipakai dengan gelas penutup yang bersih pula. Bila pemeriksaan akan ditunda, sedang cairan sudah diteteskan dan diberi gelas penutup, maka cairan yang dipakai untuk cat kuku dapat dipoleskan di pinggir kaca penutup agar tidak kering. Penundaan ini dapat dilakukan sampai beberapa jam asalkan gelas objek tetap kering dan jangan sampai lewat 24 jam; sebab bahan cat kuku tersebut lama-lama dapat mcresap dan memberi kesan birefringent pada pemeriksaan dengan mikroskop polarisasi; jadi merupakan artefact.

MIKROSKOP CAHAYA BIASA Pertama-tama periksalah caiian sendi tersebut dengan mikroskop biasa, lalu hitung sel darah merah dan sel darah putih. Serpihan tulang rawan akan tampak juga. Bila telah dianggap cukup, pekatkanlah cairan dengan cara memusingnya, dan wamai untuk pemeriksaan biopsi. Pada pemeriksaan ini beberapa sel lekosit akan tampak berisi cytoplasmic-inclusion, yang menggambarkan suatu distended phagosome dan/atau butiran lemak. Sel lekosit ini disebut Ragosit yang pada awalnya didapatkan pada penderita AR; tapi selain itu, juga dijumpai pada inflamasi artropati yang lain. Pewarnaan dengan fluoresceinconjugated antibodies terhadap immuno-globulin dan komplemen telah memperlihatkan benda tersebut dalam vakuola-vakuola yang terdapat pada sel penderita AR dan penyakit lain. Eritrosit akan tampak menjadi sickled pada penderita dengan sickle cell disease atau trait, tapi tidak menjamin bahwa cairan yang ada saat ini disebabkan oleh penyakit sickle cell. Berbagai macam serpihan dapat tampak pada cairan sendi, antara lain fibrin, serpihan kolagen atau serpihan tulang rawan. Untuk dapat melihat serpihan fibrin dan kristal dengan baik, kondensor mikroskop dapat direndahkan atau dengan cara menutup diafragma. Serpihan fibrin dan kolagen keduanya berrefringent. Ferografi juga dipakai untuk mengkonsentrir dan menganalisis fragmen tulang rawan. Pada penderita dengan implant arthroplasty, akan dapat dijumpai adanya fragmen logam yang- bentuknya tidak teratur dan gelap. Fragmen polimer mungkin juga dapat terlihat. Sedangkan tulang rawan yang okronotik walau jarang, akan tampak sebagai fragmen kuning. Bila tampak banyak sekali butir lemak kecil, maka hal merupakan tanda suatu artritis traumatik, atau efusi akibat berbagai jenis inflamasi, termasuk yang tidak dapat dijelaskan, dan pancreatic fat necrosis. Dan bila butiran lemak tersebut sedikit sekali, maka mungkin akibat artrosentesis. Butiran lemak biasanya berada pada bagian atas dari spesimen dan dapat diwarnai dengan Oil red 0 yang memberi wama merah. Asal dari butiran lemak ini sebenarnya masih belum jelas. Pada amiloidosis biasanya dapat dijumpai adanya globulin yang amorf dan benda yang regular yang bersifat tidak birefringence. Hal yang demikian itu didapati pula pada mieloma multipel dan makroglobulinemia Waldenstorm. Bahkan pewarnaannya adalah merah Congo yang akan memberikan warna merah atau jingga pada sediaan basah. Suatu globulin lain atau gumpalan yang mirip maw uang logam (coin like clump) dapat dijumpai akibat adanya endapan hidroksiapatit pada sendi dan bursa. Kristal hidroksiapatit dapat menimbulkan pembengkakan pada sendi dan bursa. Kristal dapat diperiksa dengan mikroskop biasa dan dapat dilihat lebih jelas lagi dengan iluminasi rendah. Kristal asam urat seringkali tampak sebagai batang yang tumpul. Sedangkan kristal kalsium pirofosfat berbentuk batang atau rhomboid. Kristal lain kadang juga dapat dijumpai pada cairan sendi, dan semuanya itu dapardibedakan bila kita menggunakar mikroskop polarisasi (compensated polarizing microscope).

COMPENSATED POLARIZED LIGHT MICROSCOPE Pada mikroskop jenis ini, yang menjadi dasar pengenalan jenis kristal adalah daya pantulan sinar yang memijar yang biasanya kita sebut polarisasi. Dengan cara pantul silang dua polarisator akan saling membentuk sudut 90 derajat. Teknik dan cara bagaimana membuat, agar terbentuk sinar tersebut, tidak akan dibicarakan di sini, karena hal tersebut lebih bersifat teknis dari ilmu fisika. Yang akan dilihat dari hasil silang dua sumber cahaya tersebut adalah perpendaran cahaya yang berwarna, dengan latar belakang lapangan pandang mikroskop yang gelap dengan wama merah jambu, hingga kristal tersebut tampak lebih jelas. Kristal tersebut akan berbirefringent. Maka dikenal istilah birefringent positif dan birefringent negatif. Untuk kristal yang ber-birefringent negatif akan berwarna kuning. Kristal asam urat (monosodium) adalah kristal yang ber-birefringent negatif, jadi berwarna kuning. Sedang kristal kalsium pirofosfat dihidrat (CPPD) ber-birefringent positif, jadi berwarna biru. Berbagai benda yang bersifat birefringent akan tampak pada pemeriksaan dengan cahaya polarisasi ini. Misalnya kristal yang timbul akibat suntikan steroid. Kristal ini akan difagositosis dan kadang akan menimbulkan inflamasi selama beberapa jam setelah suntikan steroid intra artikuler. Kristal kortikosteroid ini dapat ber-birefringent positif atau negatif yang berukuran sama dengan kristal asam urat atau CPPD, dapat sebagai granula, atau serpihan yang bentuknya talc beraturan. Sebagian besar benda yang bentuknya tak beraturan dan berpendar birefringent adalah artefak, misalnya debu atau kotoran gelas penutup. Begitu pula bedak sarung tangan yang berbentuk salib malta. Penggunaan yang salah dari oksalat atau antikoagulan litium heparin dapat pula menimbulkan kristal (anti coagulant derived crystals). Beberapa kristal dapat difago; sitosis oleh lekosit secara invitro dan kemudian dalam sediaan, kristal tersebut akan tampak dalam sel (intraseluler). Kristal oksalat dan litium heparin tersebut ber-birefringent positif. Kristal kolesterol akan tampak pada efusi sendi yang kronik, terutama pada penderita AR. Kristal tersebut biasanya tampak seperti piring dengan sebuah lekuk pada sudutnya dan tampak lebih besar dari sebuah sel. Tapi kristal bermuatan kolesterol, kadang juga bersifat birefringent negatif serta berbentuk jarum. Akhir-akhir ini kristal oksalat katanya dapat ditemukan pada cairan sendi dari penderita dengan gagal ginjal kronik dan akan tampak pleomorfik, tapi yang khas adalah bersamaan dengan bentuk bipiramidal yang besar. Kristal kalsium hidrogen fosfat dihidrat adalah birefringent positif terang dan dapat ditemukan pada cairan sendi dan jaringan. Hal ini dapat dikacaukan dengan CPPD. Dan bila itu yang terjadi maka cara membedakannya adalah dengan sinar X difraksi. Gumpalan kristal apatit kadang-kadang dapat berbirefringent. PULASAN KERING UNTUK PEWARNAAN Pulasan sinovial dibuat dengan cara meneteskan 1–2 tetes cairan yang sudah diberi heparin pada permukaan slide atau

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 21

penutupnya, sama dengan cara pembuatan sediaan darah tepi biasa. Bila jumlah lekosit lebih besar dari 5000, maim biasanya akan didapatkan pulasan yang bagus. Bila jumlah lekosit kurang dari 5000, malts cairan dapat di-sentrifus terlebih dahulu dan endapannya dapat dipulaskan dengan sedikit meneteskan cairan supernatant lalu dibiarkan kering di udara terbuka. Pewarnaan, biasanya dapat dilakukan dengan zat pewarna Wright, Gram, Ziehl-Neelsen, pewarnaan lemak, Alcian bluePAS, Prussian blue, Merah congo dan von Kossa atau alizarin merah Teknik pengecatan ini juga tidak akan dibahas di sini, karena sudah lazim dikerjakan.

cells atau sel monosit besar akan tampak pada penderita sindrom Reiter. Dark purple inclusions pada sel fagosit dapat berasal dari serpihan sel, tapi juga dapat merupakan timbunankristal apatit. Bakteri kadang-kadang juga kita jumpai dalam pewamaan Wright. Demikian pula dengan kristal asam urat atau kalsium pirofosfat, serta sel ganas dalam cairan sendi. Sel ganas tersebut dapat juga diwarnai dengan Papanicolaou.

Pewarnaan dengan Wright : Jenis pewarnaan ini harus segera dilakukan bila yang dimaksud untuk mencari sel L.E. Sel L.E. ini akan didapati pada penderita-penderita Lupus Eritematosus sistemik dan juga pada AR walau amat jarang sekali. Namun, bila secara klinis sudah jelas, sebaiknya pemeriksaan ini tak dilakukan, sebab sulit sekali mencari sel L.E. tersebut dan memerlukan waktu yang lama. Lapangan demi lapangan dalam ruang pandang mikroskop harus kita telusuri dengan tekun. Bila didapati hematoksilin yang homogen dan bulat, akan merupakan ciri sel L.E. juga, kendatipun kekhasannya di dalam cairan sinovial masih belum dapat dinilai. Serpihan tulang rawan dan fragmen sinovium akan tampak juga pada sediaan ini. Kumpulan zat besi dalam kondrosit pada serpihan tulang rawan juga dapat dijumpai pada penderita dengan hemokromatosis. Sedang pada okronosis, pigmen biru sampai warna coklat pada serpihan atau granula sitoplasmik yang berwarna coklat akan dapat terlihat juga. Juga bagian dari sumsum tulang dengan sel lemaknya dapat terlihat pada sediaan ini. Pemeriksaan selanjutnya terhadap pulasan tersebut adalah terhadap polimorfonuklir, lekosit, monosit, limfosit, dan sel mononuklear yang besar. Bahkan kadang diperiksa juga adanya sel transform limfosit, monosit dan synovial lining cells. Walau memang sulit mengklasifikasi dan mengenal sel mononuklear-besar, tapi kadang sangat diperlukan karena transform limfosit menandakan adanya AR dan tidak ditemukan pada artritis gout akut atau pseudogout. Synovial lining cells khas dengan diameter 20–40 m serta inti yang eksentrik yang menempati kurang dari 50% dari sitoplasma dapat dibedakan terhadap monosit besar yang lain karena intinya lebih besar walau diameternya sama. Kedua sel ini dapat dibedakan dengan esterase yang non spesifik atau dengan pewarnaan sudah hitam.Pada pewarnaan ini sel monosit akan positif sedang sel lining sebagian besar tidak (negatif). Sel mononuklear pada cairan sendi, saat ini juga dapat diklasifikasikan dengan antibodi monoklonal. Jumlah persentase PMN amat menolong dalam menegakkan diagnosis berbagai jenis artritis. Misalnya : bila PMN rendah maka penderita tersebut adalah penderita AR tingkat dini atau LES, atau demam rematik, atau penyakit infeksi menahun yang lain, misalnya : skleroderma atau tuberkulosis. Sedangkan lining

Pewarnaan Ziehl-Neelsen Mungkin berguna untuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis, walau seringkali diperlukan kultur dan biopsi sinovial. Pewarnaan terhadap lemak dan alcian blue-PAS untuk proteoglikan (mukopolisakarid) akan tampak sebagai timbunan dari lemak atau proteoglikan tersebut dalam sel makrofag di-sinovia. Sedang prussian blue dipakai untuk melihat adanya zat besi pada synovial lining cells pada penderita sinovitis vilonodular atau pada hemokromatosis. Deposit amiloid dapat diwarnai dengan merah congo dari akan tampak sebagai benda birefringence dengan warna hijau apel (apple-green) bila diperiksa dengan mikroskop polarisasi (dengan sediaan basah). Pewarnaan dengan Von Kossa atau Alizarin Red S40 dipakai untuk melihat kalsium atau fosfat (yang berisi kristal CPPD) atau timbunan kristal apatit.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Pewarnaan Gram Dengan pewannaan ini, bakteri akan segera tampak dalam kelompok besar tapi dapat dikacaukan dengan artefak dari musin. Dengan pewarnaan ini, artritis septik juga dapat ditegakkan.

PEMERIKSAAN KHUSUS Mucin Clot Test Beberapa tetes cairan sinovial ditambahkan pada 20 ml larutan asam asetat 5%. Diamkan selama 1 menit agar terbentuk endapan lalu kocoklah tabung beaker yang berisi larutan asam asetat dan tetesan cairan sinovial tersebut. Maka akan terbentuk endapan yang padat yang tidak pecah walau dikocok. Ini berarti cairan tersebut normal atau osteoartritis. Bila endapan "lemah" (poor clot) seperti misalnya pada efusi akibat inflamasi, maka fragmen akan terbentuk dengan mudah dan akan tampak serpihan, atau bentuk benang atau tampak keruh pada cairan tersebut. Pada penderita LES atau demam reumatik, maka cairan musin tersebut akan mengendap dengan baik walau terjadi inflamasi ringan. Cairan musin yang baik biasanya menggambarkan adanya integritas normal dari hialuronat. Sedangkan cairan musin yang lebih encer menandakan adanya destruksi atau pengenceran dari protein hialuronat. Sayangnya test musin dan kekentalan cairan sendi ini hanya dapat memberikan gambaran kasar saja, tidak seperti hitung lekosit, yang lebih dapat dipercaya. Glukosa Pemeriksaan terhadap kadar glukosa dalam cairan sendi dapat dilakukan dengan Standard Somogyi-Nelson atau dengan

metode Ortho-toluidin. Dalam pemeriksaan tersebut, penderitanya harus dalam keadaan puasa, dan diperiksa sekaligus kadar gula dalam darah dan cairan sendi untuk perbandingan. Kadar glukosa dalam cairan sendi biasanya sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan kadamya dalam darah; keseimbangan antara nilai dalam darah dan cairan sinovial sesudah makan amat lambat dan tak dapat diramal. Oleh sebab itu, pemeriksaan dalam keadaan puasa lebih dapat dipercaya. Cairan efusi untuk uji glukosa sebaiknya ditempatkan pada tabung yang berisi flouride agar glukosa tak dimetabolisir oleh lekosit selama in vitro.Bila hal ini terjadi maka kadar glukosanya akan lebih rendah. Memeriksa kadar glukosa dalam cairan sendi memang bukan merupakan prioritas utama. Tapi bila kadar glukosa dalam cairan sendi tersebut amat rendah, maka akan memberi kesan adanya infeksi. Path R.A. kadar glukosa dalam cairan sendi penderita akan 50% lebih rendah dari kadamya di dalam darah, bahkan kadang-kadang dapat mendekati angka 0. Komplemen Jumlah komplemen yang mengalami hemolisis dapat diukur dengan cara Kabat dan Mayer. Kadar komplemen dalam cairan sendi lebih mempunyai nilai bila dibandingkan dengan kadarnya dalam serum. Begitu pula bila dibandingkan antara protein dalam serum dan cairan sendi. Pada AR serum komplemen biasanya normal, sedang pada sinovial seringkali 30% lebih rendah. Pada LES dan hepatitis balk kadar serum maupun cairan sinovial mungkin rendah. Sedang pada artritis karena infeksi, gout dan sindrom Reiter mungkin tinggi, tapi hal ini sebagian besar karena meningkatnya kadar pada serum. Beta 1 globulin dapat juga diperiksa dengan immuno difusi dalam hal sebagai pengganti komplemen hemolitik. Penyimpanan pada suhu -70° dengan segera amat panting agar dapat dipakai untuk mengukur kadar protein serum atau cairan sinovial serta kadar globulin saat menilai komplemen. Hal tersebut karena komplemen dalam cairan sendi mungkin rendah kadarnya pada keadaan normal atau non inflamasi. Ini disebabkan karena ada sebagian komplemen atau protein lain yang lari ke dalam rongga sendi. Kultur Memeriksa cairan sinovial secara hati-hati dan segera amat panting bila kita curiga terhadap adanya infeksi. Sebagian besar bakteri akan tumbuh dengan baik dalam bulyon kedele tripsin atau agar darah domba. Menanam persemaian pada saat aspirasi mungkin amat berguna bila keadaan memungkinkan (asal transportasi clan pelayanan tersedia). Yang ideal, adalah menyiapkan keperluan laboratorium yang sesuai dengan sebaik mungkin bila kita bermaksud menyemaikan, sebab beberapa organisme memerlukan media yang khusus; misalnya, bila diduga ada organisme yang bersifat anaerobik, maka sebaiknya dalam semprit tidak masuk udara dan dibawa dengan medium transport yang anaerobik atau bawa cairan langsung ke laboratorium untuk ditanam dengan prosedur anaerobically sterile blood agar atau suatu medium kultur yang dapat dibandingkan.

Kuman gonokokus hanya dapat berhasil disemaikan sebanyak 25–30% dari jumlah kasus yang menderita artritis karena gonokokus. Bila ada penderita yang diduga artritis karena Go, sebaiknya cairan sendi segera ditempatkan pada medium agar coklat atau Thayer-Martin dan selama di laboratorium terusmenerus diberi CO2. Bila pengiriman ditunda, juga harus diberi CO2 terus. Bila terjadi infeksi campuran, maka medium ThayerMartin akan terus menumbuhkan kuman lain tersebut dan bukan gonokokus. Bila diduga adanya infeksi oleh jamur maka cairan sebaiknya dikirim dalam keadaan steril (dalam tube steril) dan kemudian nanti di laboratorium baru diproses dengan agar Sabouraud dekstros. Sedang medium Lowenstein-Jensen dipakai untuk infeksi mikobakterium. TEST LAIN Sebenarnya ada test lain yang dapat dilakukan dari cairan sinovial, misalnyaAntinuclearFactor (ANF),Reumatoid Faktor (RF), imunoglobulin dan zat lain yang ikut atau terlibat dalam reaksi immune. Tapi test tersebut berperan sedikit dalam pemeriksaan yang sederhana ini. ANF misalnya, dapat terjadi pads bermacam keadaan di cairan sinovial tapi tidak terdapat dalam serum. Juga Latex test untuk RF, kadang-kadang positif pads cairan sendi, tapi negatif pads serum. Bahkan yang positif bermakna pads cairan sinovialpun dapat saja tidak mantap. Sebab, beberapa penyebab false positive untuk test R.F dalam cairan sendi memang sudah dikenal. Pemeriksaan terhadap kompleks imun dengan berbagai macam teknik telah dapat dilakukan, tapi sebagian besar masih merupakan penelitian.

Untuk segala surat-menyurat, pergunakan Alamat lengkap Anda dengan mencantumkan Kode Pos ke alamat kami :

CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105, JAKARTA 10002

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 23

Ada juga pemeriksaan yang agak kurang nilainya dari segi diagnostik, misalnya pH cairan sendi yang normalnya 7,4, bila ada inflamasi akan sedikit lebih rendah. Juga dalam pO2 pada cairan sendi, akan turun nilainya dalam berbagai jenis keadaan inflamasi. Hal ini cenderung mempunyai hubungan dengan berat ringannya lekositosis dan juga dengan jumlah volume cairan sinovial yang dapat lebih rendah pOi nya akibat pengaruh aliran darah pada sendi. Total protein normalnya rata-rata hanya 1,7 gr per dl, tapi bila ada inflamasi akan naik. Asam urat, elektrolit dan urea nitrogen cenderung menggambarkan nilainya dalam serum. Sedangkan fibrinogen dan produknya biasanya tidak didapati, sehingga cairan sendi tidak akan mengendap bila didiamkan. Rantai cahaya Bence Jones Kappa dapat dijumpai pada artropati amiloid yang bersifat sekunder pada mieloma multipel. Untuk penelitian terhadap limfokin, fibronektin, proteinase dan prostaglandin, dapat pub dilakukan pada cairan sendi. Pemeriksaan Gas Kromatografi pada cairan sendi, dapat dipakai untuk memeriksa adanya produk bakteri, bila pada biakan untuk infeksi hasilnya negatif. Pada artritis septik yang disebabkan oleh kuman non gonokokus yang talc diobati, akan me

nyebabkan meningkatnya nilai asam laktat dalam cairan sendi. Kadar asam suksinat juga akan meningkat pada penderita artritis septik, dan cenderung untuk menetap walau telah diobati. Walaupun asam laktat dan asam suksinat tidak khas untuk test adanya infeksi, namun dapat dipakai untuk test lain sebagai diagnosis awal terhadap adanya artritis karena infeksi. Antigen bakteri dapat juga diperiksa pada cairan sendi dengan cara counter immuno electrophoresis.

KEPUSTAKAAN 1. Katz WA. Rheumatic Disease, 1984. 2. Kelly WN. Text Book of Rheumatology, 1987. 3. McCarty DJ. Arthritis and Allied Condition. A Text Book of Rheumatology, 1985. 4. Moskowitz RW, Harris BK, Schwartz A, Marshall G. Chronic Synovitis as a manifestation of calcium crystal deposition disease. Arthritis and Rheumatism 1971; 14: 109. 5. Nienhuis RLF. Praktisch Leerboek Voor De Rheumatologie, 1980. 6. Schumacur HR, Somlyo AP, Tse RL, Maurer K. Apatite Crystal Associated Arthritis. Ann Intern Med 1977; 87: 411.

How awful to reflect that what people say of us is true !

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Strategi Pengobatan Medikamentosa Penyakit Reumatik Harry Isbagio Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Medikamentosa merupakan salah satu mata rantai penanggulangan penyakit rematik disamping pengobatan lain seperti istirahat, proteksi sendi, fisioterapi/rehabilitasi, penggunaan alat bantu, pembedahan dan psikoterapi. Penggunaan obat saja tanpa disertai cara pengobatan lain kurang memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu perlu diingatkan pada setiap dokter yang menanggulangi penyakit rematik, hendaknya tidak selalu terpaku pada penggunaan obat saja. Inflamasi sendi merupakan suatu tanda bahwa organ yang bersangkutan perlu diistirahatkan dan dicegah penggunaannya secara berlebihan. Tetapi yang sering terjadi ialah bila penderita telah diberi obat dan rasa nyeri sudah hilang maka ia cenderung menggunakan sendi tersebut secara berlebihan. Hal ini tentu saja merugikan mengingat hilangnya rasa nyeri bukan bcrarti sendi yang sakit telah sembuh, karena pada sebagian penyakit sendi proses kerusakan masih berlangsung terus menerus. Dalam hal ini nasehat tentang proteksi sendi perlu diberikan pada penderita. Selain itu jumlah obat anti rematik yang beredar di pasaran saat ini sangat banyak jumlahnya, sehingga menyulitkan bagi seorang dokter untuk memilihnya. Karen itu dituntut pengetahuan yang cukup mengenai berbagai jenis obat anti rematik beserta indikasi, kontra indikasi dan efek sampingnya agar diperoleh hasil pengobatan yang optimal. JENIS MEDIKAMENTOSA PADA PENYAKIT REMATIK Obat yang diberikan pada penderita penyakit rematik mempunyai dua tujuan : 1. Menghilangkan keluhan dan simptom inflamasi. 2. Bila mungkin menghentikan progresivitas penyakit. Untuk memperoleh hasil pengobatan yang baik, maka obat

yang tepat dalam dosis yang tepat diberikan pada pasien yang sesuai, pada saat perjalanan penyakit yang tepat dan diberikan dalam jangka waktu yang optimal. Perlu dibedakan antara obat yang bersifat nonspesifik atau simptomatik saja dengan obat yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit. Obat yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit harus diberikan pada penyakit yang tepat. Sebagai contoh, penisilamin tidak efektif pada penyakit gout dan sebaliknya alopurinol tidak berguna pada artritis rematoid. Obat penyakit rematik dapat disusun/dikelompokkan sebagai berikut : I. Analgesik sederhana II. Obat antiinflamasi non steroid (OAINS=NSAID) III. Disease-modifying atau slow acting drugs IV. Obat sitotoksik V. Kortikosteroid (sistemik dan suntikan lokal) VI. Obat pada kristal artropati (gout) a. Colchicine b. Obat urikosurik c. Alopurinol Analgesik sederhana dan obat antiinflamasi nonsteroid hingga mat ini masih dianggap obat yang bersifat simptomatik dan tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Kedua jenis obat ini dapat diberikan pada semua jenis artritis dan rematik jaringan lunak (reumatism non artikuler). Disease-modifying atau slow acting drugs merupakan obat yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit artritis rematoid, sehingga penggunaannya terbatas pada penyakit ini saja. Kortikosteroid sistemik dapat digunakan pada artritis rematoid yang berat, penyakit jaringan ikat dan beberapa penyakit rematik lainnya. Suntikan kortikosteroid lokal (dalam sendi dan jaringan lunak) sangat berguna pada reumatism non artikuler dan artritis yang terutama terbatas pada satu/dua sendi (kecuali

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 25

artritis septik). Obat sitotoksik diberikan pada penderita artritis rematoid berat dan beberapa yang tergolong spondiloartropati seronegatif (artritis psoriatik dan penyakit Reiter). Alopurinol dan obat urikosurik sudah terbukti dapat menurunkan kadar asam urat sehingga digunakan pada penyakit gout, sedangkan colchicine merupakan drug of choice pada artritis gout balk untuk serangan akut maupun sebagai profilaksis. Scbclum mclangkah lebih lanjut perlu dikenal beberapa istilah yang scring digunakan dalam pengobatan penyakit rematik. Istilah ini terutama digunakan pada artritis rematoid yaitu : 1) First line drugs (obat urutan pertama);yang dimaksud di sini ialah obat anti inflamasi non steroid (OAINS), yang bersifat simptomatik menghilangkan rasa nyeri dan inflamasi. 2) Second line drugs (obat urutan ke dua); yang dimaksud di sini ialah obat yang disease modifying atau slow acting agent yang dapat menghentikan aktifitas dan progresivitas artritis rematoid. 3) Third line drugs (obat urutan ke tiga), termasuk di sini ialah sitotoksik dan kortikosteroid. Obat ini digunakan pada keadaan berat yaitu adanya komplikasi atau untuk penyelamatan jiwa. 4) Terapi eksperimental: Pengobatan di sini masih bersifat percobaan, belum digunakan secara luas; misalnya plasmaferesis dan total limfoid radioterapi. Anelgesik Sederhana Analgesik sederhana (parasetamol, kodein dan dekstropropoksifen) diberikan pada penderita dengan keluhan nyeri ringan atau intermiten. Obat ini tidak mempengaruhi proses inflamasi sehingga tidak digunakan untuk pengobatan jangka panjang. Dapat digunakan sebagai suplemen penggunaan obat lain, karena daya analgesiknya cepat dicapai dalam beberapa menit dan bcrtahan selama 4–8 jam, sedangkan obat anti inflamasi nonsteroid baru efektif setelah diberikan selama beberapa hari. Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS=NSAID) Obat golongan ini banyak dijumpai di pasaran dengan berbagai nama dagang; hampir tiap tahun sejak dekade tahun 80an dihasilkan obat baru, baik yang merupakan derivat dari suatu kelompok obat (misal dari kelompok fenamat atau asam propionat) maupun yang merupakan derivat baru (misalnya kelompok piroksikam). Beberapa di antaranya telah ditarik dari peredarankarena diduga mempunyai efek samping yang membahayakan misalnya indoprofen (Flosint®, pernah beredar di Indonesia). OAINS hingga saat ini masih dianggap bersifat simptomatik; dapat menekan proses inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan proses penyakit. Hal ini perlu dipahami balk oleh dokter maupun penderita agar tidak berharap terlalu besar terhadap hasil pengobatan dengan obat ini. OAINS memang dapat digunakan pada semua keluhan artritis dan reumatism non artikuler, tetapi hasil yang memuaskan terutama pada reumatism non artikuler dengan catatan perlu dibantu fisioterapi dan/atau suntikan kortikosteroid intraarti

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

kuler. Efikasi OAINS pada penderita artritis perlu dinilai dengan beberapa parameter klinik. Parameter ini ada yang bersifat subjektif karena terutama diperoleh dari keluhan penderita, dan ada pula yang bersifat objektif karena langsung dinilai oleh seorang dokter. Parameter ini merupakan standar untuk semua uji klinik (drug clinical trial) OAINS, yang terdiri dari : 1) Derajat nyeri; menggunakan suatu skala (visual analogue scale) atau dibagi dalam 4 tingkat (tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri dan nyeri sekali). 2) Lama kaku pagi (duration of morning stiffness). 3) Ukuran lingkaran sendi proksimal interfalang (sendi PIP) dengan menggunakan cincin. 4) Kekuatan menggenggam (grip strength) dengan menggunakan tensimeter. 5) Indeks artikuler (nilai standard untuk sendi yang meradang). 6) Waktu jalan (walking time); misalnya untuk jalan sejauh 15 meter – berapa detik waktu yang ditempuh. 7) Pilihan penderita (patient preference). No. 1, 2 dan 7 merupakan penilaian subjektif dan sisanya merupakan penilaian objektif. Sebagai seorang dokter, kita harus berhati-hati dalam menilai laporan suatu uji klinik obat, karena mungkin saja penelitian yang dilakukan tidak memenuhi standar di atas. Pada Tabel 1 dapat dilihat berbagai OAINS menurut klasifikasi rumus kimianya. Yang menarik dari hasil laporan ialah bahwa respons pengobatan sangat bervariasi walaupun obat-obatan tersebut berasal dari suatu kelompok dengan rumus kimia yang hampir sama. Berarti misalnya pada kegagalan pengobatan dengan ibuprofen tidak berarti akan terjadi pula kegagalan dengan ketoprofen. Selain itu didapat pula variasi individual; artinya dua penderita dengan diagnosis yang sama, mungkin yang satu cocok dengan obat A tetapi tidak cocok dengan obat B dan sebaliknya yang lain cocok dengan obat B tetapi tidak cocok dengan obat A. Perlu diketahui pula bahwa setiap anggota dari suatu kelompok obat dengan rumus kimia yang hampir sama ternyata efek klinisnya sangat berbeda; misalnya dari kelompok asam propionat ada yang mempunyai masa paruh plasma (plasma half life) pan jang, ada yang pendek (tabel II); ada yang menonjol daya analgesiknya, sebaliknya ada yang menonjol daya antiinflamasinya; toleransi yang berbeda dan efek samping pada kulit dan gaster yang berbeda pula. Dengan demikian agak sukar mengelompokkan OAINS ini berdasarkan efek klinisnya. Walaupun terdapat bermacam-macam OAINS, hingga saat ini belum ada satupun yang paling ideal; dengan demikian pemilihan suatu OAINS masih tergantung berbagai faktor antara lain : 1. Efikasi Obat Sebenarnya dari seluruh jenis OAINS tidak ada perbedaan yang menyo)ok dalam efikasinya, tetapi seperti disebut di atas variasi individual sangat berperan; oleh karena fenomena ini maka perlu dicari obat yang sesuai untuk penderita. 2. Toleransi Seperti halnya efikasi maka terjadinya efek samping ter-

Tabel 1. Kiasiflkasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid

Tabel II. Waktu paruh Obat Antiinflamasi Non Steroid Komponen Indometasin Sulindak Tolmetin Asam Mefenamat Asam Flufenamat Ibuprofen Naproxen Kalsium Fenoprofen Flurbiprofen Ketoprofen Piroksikam Diflunisal

Waktu (jam) 2–3 18 (sulfide) 1–3 3–4 9 2 12–15 3 4 1–35 45 8–12

nyata juga mempunyai variasi individual. Efek samping yang tersering ialah masalah gaster. Efek samping yang lain jarang dijumpai tapi dapat timbul sebagai akibat penggunaan jangka panjang. 3. Keamanan (safety) Kematian langsung akibat OAINS jarang terjadi; tetapi kematian dapat terjadi akibat hematemesis melena atau anemia aplastik. Penggunaan pada orang tua perlu pertimbangan apalagi bila kcluhannya hanya nycri ringan saja; obat dengan waktu paruh panjang sebaiknya dihindarkan. 4. Kenyamanan (convenience) Dosis tunggal harian cukup menyenangkan dan dapat

membuat penderita patuh minum obat. Sebaliknya pada penderita dengan keluhan yang hilang timbul atau pada mereka yang membutuhkan lebih banyak efek analgesik daripada efek antiinflamasi, pemberian dosis 2–3 kali per hari mungkin lebih sesual. 5. Biaya (Cost) Obat yang paling murah ialah aspirin, tetapi efek samping sudah banyak dilaporkan. OAINS lainnya cukup mahal dan harus diperhitungkan dengan kemampuan penderita. 6. Indikasi Semua jenis OAINS cukup efektif untuk RA dan OA, kecuali fenilbutason yang hanya boleh digunakan dalam jangka pendek (sehingga sebaiknya dihindarkan penggunaannya). Aspirin dosis tinggi cukup efektif pada RA (perlu dipertimbangkan sebagai salah satu altematif) tetapi kurang tepat untuk OA, gout dan ankylosing spondilytis mengingat efek sampingnya. Pada penyakit gout dan ankylosing spondylitis pilihan jatuh pada indometasin dan sebagai alternatif adalah naproxen atau piroxicam. Derivat asam propionat merupakan salah satu pilihan untuk cedera olah raga (sport injuries). Keamanan (safety) merupakan salah satu pertimbangan dalam penggunaan OAINS pada anak, sehingga lebih banyak dianjurkan pcnggunaan aspirin. 7. Problem dengan OAINS Problem utama ialah keluhan gastrointestinal; semua OAINS : a. Menyebabkan dispepsia. b. Meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus peptikum.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 27

c. Meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas. Belum ada satupun OAINS yang aman pada penderita ulkus peptikum, oleh karena efek samping yang terjadi tidak hanya akibat iritasi langsung, tetapi juga melalui cara sistemik. Sehingga penggunaan preparat supposutoria, slow release, enteric coated, pro drug hanya memecahkan sebagian problem saja; kombinasi dengan antagonis reseptor H2 (seperti ranitidin atau simetidin) dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan efek samping tersebut. Efek samping yang lain jarang dijumpai meliputi : a. Retensi air pada penderita usia lanjut. b. Tinnitus terutama pada penggunaan aspirin. c. Efek samping pada SSP (dizzines, nyeri kepala, nyeri), biasanya akibat indometasin. d. Serangan asma pada penggunaan aspirin. e. Ruam kulit, sering ditemukan pada penggunaan fenbufen. 8. Interaksi dengan obat lain Aspirin dan fenilbutason dapat meningkatkan kerja anti koagulan dan sulfonil urea (anti diabetik), sedangkan OAINS yang lain umumnya cukup aman. OAINS dapat dikombinasikan dengan analgesik sederhana, preparat emas dan penisilamin. 9. Kombinasi OAINS Kombinasi satu jenis OAINS dengan jenis lain tidak dianjurkan, karena selain tidak banyak berguna juga meningkatkan biaya pengobatan. Kombinasi hanya diberikan untuk mengurangi rasa nyeri malam hari (night pain) dan kaku pagi; sebagai contoh secara reguler diberikan satu jenis OAINS dan pada malam hari diberikan indometasin suposutoria. Di bawah ini adalah anjuran yang perlu dipertimbangkan pada waktu menulis reseptzl. 1. Pilihlah sekelompok kecil dari obat-obat di atas yang telah diketahui benar efektifitas dan efek sampingnya untuk digunakan secara reguler. 2. Tulislah dahulu obat dengan harga termurah dan sudah nyata khasiatnya sebelum menulis obat baru atau obat yang kurang dikenal terutama untuk kasus rematik non artikuler yang self limiting. 3. Tulislah hanya satu jenis obat untuk satu saat karena sudah terbukti tidak ada sinergisme atau menurunnya toksisitas bila digunakan dua atau tiga jenis OAINS sekaligus. 4. Tulislah dalam dosis yang adekuat (lihat tabel III). 5. Tingkatkan kepatuhan penderita dengan dosis yang tleksibel. 6. Tulislah untuk jangka waktu terbatas. Obat dengan waktu paruh pendek membutuhkan waktu 1 (satu) minggu untuk mencapai efek klinis, sPdangkan obat dengan waktu paruh panjang membutuhkan waktu 2 (dua) minggu untuk mencapai efek klinis (lihat tabel II untuk waktu paruh). Sehingga bila ingin mengubah obat, tunggulah sampai waktu efek klinis tercāpai ditambah 1 (satu) minggu. Disease Modifying Drugs/Slow Acting Drugs. (Obat Remitif = S.A.A.R.D.) Obat kelompok ini merupakan obat Urutan Kedua (second

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

line drugs) untuk artritis reumatoid. Memang hanya pada artritis reumatoid saja obat ini digunakan. Disebut urutan ke dua karena hanya digunakan bilaobat urutan pertama (first line drugs), yaitu OAINS, gagal menghilangkan gejala penyakit. Nama disease modifying dan slow acting menunjukkan bahwa obat ini dapat mempengaruhi/menghentikan perjalanan penyakit, walaupun dibutuhkan waktu selama beberapa minggu atau bulan untuk tercapainya efek pengobatan. Nama lain ialah remission inducing agent (obat remitif), karena obat ini dapat menghentikan perjalanan artritis reumatoid sampai mencapai tingkat remisi, walaupun beberapa penulis berkeberatan dengan nama tersebut mengingat sukar sekali menentukan kriteria.remisi pada artritis reumatoid. Efek obat ini ialah : 1. Menurunkan derajat nyeri, kaku pagi dan bengkak sendi setelah penggunaan terus menerus antara 6 (enam) minggu sampai 6 (enam) bulan. 2. Meningkatkan kekuatan genggaman tangan (grip strength) dan meningkatkan rasa nyaman badan. 3. Menurunkan Laju Endap Darah dan Protein C-reaktif (CRP) walaupun tidak sampai ke tingkat yang normal dan meningkatkan kadar hemoglobin. Tabel III.

Dosis OAINS

Obat

Dods

* Diklofenak

50 mg b.d. atau Ld.s. atau 100 mg (slow release) sekali sehari

* Indometasin

25 mg td.s., atau 75 mg atau 100 mg malam, atau 100 mg (suposutoria) malam, •atau 75 mg (slow release) b.d.

* Sulindak

200 mg b.d.

* Tolmetin

400 mg q.d.s.

* Aloksiprin

1200 mg q.d.s.

* Aspirin

400-600 mg dalam 4-6 dosis/hari

* Benorilat

10 ml b.d.

* Diflunisal

500 mg b.d.

* Salsalate

1000-1500 mg b.d.

* Fenbufen

300 mg pagi dan 600 mg malam

* Fenoprofen

600 mg q.d.s.

* Flūrbiprofen

100 mg t.d.s.

* Ibuprofen

400-800 mg t.d.s.

* Ketoprofen

100 mg b.d. or t.d.s., 100 mg (slow release) sekali sehari atau b.d.

* Naproksen

500 mg b.d.

* Asam Tiaprofenat

300 mg b.d.

* Asam Mefenamat

500 mg t.d.s.

* Azapropazon

600 mg b.d.

* Piroksikam

20 mg āekali sehari

* Tenoksikam

20 mg sekali sehari

4. Jumlah trombosit kembali normal bila sebelumnya ada reaktif trombosis. 5. Menurunkan titer Faktor Reumatoid (R.F.) 6. Memperlambat erosi tulang yang nampak pada radiografi. Untuk mencapai hasil yang memuaskan pengobatan dilanjutkan selama 6 (enam) bulan, selanjutnya untuk mempertahankannya maka obat diteruskan sesuai dengan kondisi klinik. Walaupun obat ini sudah nyata bermanfaat pada artritis reumatoid,.tetapi potensial sangat toksik. Pada awal pemberian Obat Urutan Kedua ini, maka OAINS diberikan secara bersamaan. Ini dimaksudkan agar pasien tidak terlalu menderita, karena slow acting drugs baru memberikan efek setelah beberapa minggu atau bulan. Bila respons terhadap slow acting drugs berhasil dengan baik, maka OAINS dapat dikurangi atau bahkan dihentikan. Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah : 1. D-Pennicilamine 2. Suntikan garam emas 3. Sulphasalazine 4. Obat anti malaria Pilihan obat yang digunakan terlebih dahulu tergantung dari fasilitas (ada/tidaknya obat), kemampuan melakukan pengawasan (monitor) dan pengalaman dokter yang bersangkutan. Cara kerja, dosis dan cara monitor dari masing-masing obat di atas tidak diterangkan dalam makalah ini. Perlu ditekankan di sini bahwa semua obat di atas sangat toksik apalagi bila digunakan dalam jangka waktu lama, karena itu diperlukan pengawasan yang ketat dan terus menerus selama pengobatan. Yang penting diketahui ialah saat yang paling tepat unluk memulai penggunaan obat tersebut; dalam hal ini penderita dapat dibagi dalam beberapa kelompok yaitu : 1) Penderita dengan artritis (inflamasi nyata) yang mengenai banyak sendi atau hampir seluruh sendi, dan telah menggunakan OAINS dalam dosis maksimum dalam jangka waktu lama tetapi belum menunjukkan perbaikan, bahkan cenderung progresif, maka penggunaan slow acting drugs merupakan pilihan terbaik. 2) Pada penderita seperti di atas tetapi belum menggunakan OAINS secara adekuat karena mempunyai keluhan ulkus peptikum atau keluhan gastrointestial yang berat, maka dapat diberikan slow acting drugs lebih awal. 3) Penderita dengan artritis inflamasi hanya pada 2–3 sendi saja, tidak memerlukan slow acting drugs tetapi mungkin cukup diberikan suntikan kortikosteroid lokal atau dilakukan pembedahan. 4) Penderita artritis reumatoid yang lanjut dengan banyak sēndi sudah rusak/cacat, sedangkan tanda inflamasi tidak nyata lagi, tidak perlu diberi slow acting drugs; pengobatan lebih tepat dengan pembedahan dan rehabilitasi. 5) Penderita dengan banyak keluhan nyeri, tetapi tanda inflamasi tidak nyata, mungkin faktor psikis lebih banyak berperanan; tidak perlu diberi slow acting drugs. Obat Sitotoksik Obat kelompok ini merupakan Obat Urutan Ketiga (third

line drug); hanya digunakan pada penderita artritis reumatoid. Yang termasuk kelompok ini ialah azathioprine, cyclophosphamide dan ehlorambusil. Penggunaannya sangat terbatas karena efek toksiknya dan sering terjadi pula efek toksik lambat (late toxicity). Efek toksik lambat terjadi bila digunakan dalam jangka waktu lama. Selain itu ada pula otiat yang dapat diberikan pada artritis psoriatik atau penyakit Reiter yang berat dan tidak terkontrol dengan OAINS, yaitu methotrexate. Penggunaan sangat selektif mengingat efek toksiknya. Kortikosteroid Di bidang reumatologi digunakan 2 (dua) sediaan kortikosteroid yang masing-masing mempunyai indikasi berbeda yaitu . A. Kortikosteroid sistemik. B. Suntikan kortikosteroid lokal (intraartikuler). A. Kortikosteroid Sistemik Pada masa lalu kortikosteroid merupakan obat urutan pertama (first line drug) dalam pengobatan penyakit rematik. Tetapi terbukti kemudian bahwa obat ini tidak mempengaruhi perjalanan penyakit rematik dan pada penggunaan lama menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan baik pada organ lain maupun pada tulang atau sendi (avascular necrosis,osteoporosis dan kolaps vertebra). Terbukti pula obat ini menimbulkan ketergantungan (dependency), sehingga penderita tidak bisa lepas dari obat ini, karena tanpa kortikosteroid keluhannya akan meningkat. Sejak ditemukannya obat antiinflamasi nonsteroid, penggunaan kortikosteroid sebagai obat pilihan pertama telah tergeser, dan hanya digunakan sebagai tindakan penyelamatan atau bila obat lain tidak menolong. Karena itu sangat disayangkan beredarnya obat kombinasi fenilbutason dengan kortikosteroid secara luas di Indonesia, karena kombinasi obat tersebut sangat tidak rasional, mengingat efek samping dari kedua preparat tersebut cukup besar. Kortikosteroid dapat digunakan pada keadaan sebagai berikut : 1. Polimialgia Rematika. 2. Artritis Temporal. 3. Lupus Eritematosus Sistemik. 4. Polimiositis. 5. Dermatomiositis. 6. Artritis Reumatoid yang berat. 7. Deman Reumatik yang berat. 8. Shoulder-hand Syndrome. Untuk ad 1 dan ad 2 pada awal diberikan dosis tertentu yang kemudian berangsur-angsur diturunkan selama 24 bulan. Untuk ad 3 sld 6 diberikan dosis tinggi (60 mg/hari) yang kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai tercapai dosis pemeliharaan 5–15 mg/hari. Pada artritis reumatoid, kortikosteroid saat ini dimasukkan dalam obat urutan ke tiga (third line drug) dan baru diberikan bilam ada komplikasi seperti vaskulitis sistemik, neuropati, perikarditis, pleuritis dan pada keadaan di mana obat lain sudah tidak berhasil. Takaran yang diberikan tidak lebih dari

7,5 mg prednisolon perhari. Pada demam rematik yang berat dengan komplikasi karditis dan kardiomegali dapat diberikan prednison dengan dosis 40-80 IU, diberikan dua kali seminggu. Dalam memilih jenis kortikosteroid sebaiknya jangan digunakan yang bersifat long-acting yang dapat menekan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal atau golongan mineral kortikoid seperti kortisol atau kortison. Sebaiknya digunakan prednison atau prednisolon. B. Suntikan Kortikosteroid Lokal Suntikan kortikosteroid lokal dapat dikerjakan dengan dua cara yaitu : 1) Suntikan intraartikuler; dilakukan penyuntikan langsung ke dalam sendi. 2) Suntikan non artikuler - dilakukan penyuntikan ke dalam sarung tendon. Indikasi suntikan intraartikuler ialah keadaan terdapatnya artritis yang terbatas pada 2-3 sendi, tetapi sangat mengganggu aktifitas penderita. Artritis tersebut ialah : 1. Artritis Reumatoid 2. Gout 3. Pseudogout 4. Artritis traumatik akut 5. Osteoartritis 6. Artritis Reumatoid Juvenil 7. Berbagai keadaan artritis inflamasi sendi perifer misal spondilitis ankilosa, artritis psoriatik, penyakit Reiter, artritis pada penyakit inflamasi intestinal. Sedangkan indikasi suntikan non artikuler terutama pada keadaan rematik luar sendi (rematism non artikuler) seperti bicipital tendinitis, tennis elbow, trigger finger dan sebagainya. Pada keadaan ini suntikan kortikosteroid dapat menyembuhkan sama sekali keluhan penderita. Kontra indikasi suntikan ialah : 1. Sepsis periartikuler 2. Bakteremia 3. Unstable joint (sendi goyah) 4. Sendi spinal 5. Fraktur intra artikuler 6. Artritis septik, termasuk TBC 7. Sendi non diathrodial, misalnya : simfisis pubis 8. Osteoporosis juxta artikuler yang nyata 9. Gagal dengan suntikan terdahulu 10. Gangguan hemostasis. Komplikasi yang sering terjadi ialah : 1. Infeksi 2. Atrofi jaringan lokal 3. Sinovitis kristal akut 4. Absorbsi sistemis 5. Kerusakan rawan sendi 6. Ruptur tendon 7. Kerusakan saraf Suntikan sebaiknya tidal( terlalu sering dan dianjurkan

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

ulangan suntikan baru dilakukan setelah 2-3 bulan. Obat pada Artritis Gout Dalam penatalaksanaan artritis gout umumnya digunakan tiga jenis obat yaitu : 1) AINS untuk menekan inflamasi; hampir semua jenis AINS dapat digunakan pada dosis yang adekuat dengan hasil memuaskan. 2) Colchicine merupakan drug of choice pada keadaan akut. Biasanya diberikan satu tablet (0,6 mg) tiap jam sampai rasa nyeri berkurang, maksimal 12 tablet/24 jam. Efek samping bila dosis terlalu banyak ialah nausea dan diare. 3) Obat yang menurunkan kadar asam urat; ada dua jenis yaitu : a) Obat urikosurik, yang bekerja dengan jalan meningkatkan ekskresi asam urat melalui ginjal. Dengan demikian digunakan pada penderita dengan ekskresi asam urat dalam urine di bawah normal (under excretion). Ada dua jenis yaitu probenesid dan sulfinpirazon. b) Alopurinol, yang bekerja dengan jalan menghambat produksi asam urat melalui rantai hipoxantin-xantin-asam urat. Indikasi pemberian alopurinol ialah pada penderita gout dengan : 1. Respons kurang nyata dengan obat urikosurik, misalnya penderita dengan gangguan fungsi ginjal. 2. Alcrgi terhadap obat urikosurik. 3. Batu asam urat di ginjal atau saluran kemih. 4. Tofi yang masif. 5. Hiperurikemia sekunder oleh karena gangguan mieloproliferatif. KESIMPULAN Dalam penatalaksanaan penyakit rematik, obat hanya merupakan salah satu mata rantai pengobatan. Pengetahuan tentang obat rernatik perlu diperdalam agar dicapai hasil pengobatan yang memuaskan. Dikenal berbagai jenis obat rematik yang masing-masing mempunyai kekhususannya balk dalam indikasi, cara penggunaan maupun efek sampingnya. Kortikosteroid sebaiknya digunakan secara terbatas mengingat obat ini hanya bersifat simptomatik, banyak efek sampingnya dan menyebabkan ketergantungan. Obat anti inflamasi nonsteroid dapat menekan proses inflamasi tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit; problema utamanya ialah efek samping pada gaster. Obat slow acting atau disease modifying dapat menghentikan perjalanan penyakit artritis reumatoid, tetapi sangat toksik dan membutuhkan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan untuk tercapainya khasiat nyata. Suntikan kortikosteroid lokal dapat menyembuhkan sama sekali keadaan rematism non artikuler tetapi penggunaannya tidak boleh terlalu sering. Colchicine merupakan drug of choice pada penyakit gout, sedangkan obat penurun kadar asam urat ada dua jenis dengan indikasi pemberian yang berbeda. Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa semua obat rematik tidak ada yang aman, oleh karena itu pengawasan oleh seorang dokter mutlak harus dilakukan.

KEPUSTAKAAN 1. Capell HA. Disease modifying therapy. Medicine International (Quarterly ed). 1985; 2: 941. 2. Mowat AG. Non steroidal anti inflammatory drugs, Medicine International (Quarterly ed). 1985; 2: 937. 3. Paulus HE, Furst DE. Aspirin and other nonsteroidal anti inflamatory drugs. In: Arthritis and allied conditions. A textbook of Rheumatology. McCarthy DJ (Ed). Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1985. p. 453. 4. Paulus HE. Nonsteroid antiinflammatory drugs. In: Textbook of Rheumatology. Kelley et al (Eds). Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico

City, Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo: WB. Saunders Co. 1989. p. 765. 5. Rosenbaum EE. Rheumatology – New Direction in Therapy. Medical Examination Publishing, 1979. 6. Schumacher HR. Clinical pharmacology of the anti rheumatic drugs. In: Primer on the Rheumatic Disease. Ninth Edition. Atlanta: Arthritis Foundation. 1988. p. 282. 7. Soenarto : Pemakaian kortikosteroid yang rasional di bidang reumatologi. Naskah lengkap KOPAPDI VI. Jakarta, 24–28 Juli 1984 : 698. 8. St. Clair EW., Polisson RP. Therapeutic approaches to the treatment of Rheumatoid disease. In: Advances in Rheumatology., Med. Clin. N. Am. 1986. p. 285.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 31

Peranan Obat Anti Inflamasi Non Steroid terhadap Nyeri dan Inflamasi pada Penyakit Reumatik Harry Isbagio Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Penggunaan medikamentosa hanya merupakan salah satu mata rantai penanggulangan penyakit reumatik yang terdiri dari : 1. Pendidikan dan Psikoterapi 2. Proteksi sendi 3. Medikamentosa 4. Rehabilitasi 5. Penggunaan alat bantu 6. Pembedahan Nyeri dan inflamasi merupakan keluhan utama penderita penyakit reumatik di samping keluhan lainnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan ini, antara lain dengan menggunakan medikamentosa. Penggunaan medikamentosa pada penyakit reumatik selain bertujuan untuk menekan nyeri dan inflamasi, bila mungkin, juga menghentikan perjalanan penyakit reumatik. Hingga saat ini hanya pada artritis reumatoid dan gout yang telah ada obat yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Sebagian besar penyakit reumatik lainnya diobati dengan obat anti-inflamasi non-steroid yang telah terbukti dapat menekan rasa nyeri dan inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit. NYERI DAN INFLAMASI PADA PENYAKIT REUMATIK Nyeri dan inflamasi merupakan tanda bahwa sendi tersebut telah mengalami gangguan. Hampir semua gangguan reumatik disertai dengan nyeri atau nyeri dan inflamasi. Perkecualian pada sendi neuropatik (neuropathic joint), ialah suatu keadaan hilangnya rasa nyeri akibat keadaan tertentu seperti tabes dorsalis atau siringomielia. Rasa nyeri ini penting karena menunjukkan

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

adanya mekanisme proteksi dari badan. Adanya rasa nyeri menunjukkan bahwa si penderita harus mengurangi penggunaan yang berlebihan dari sendi tersebut, sedangkan adanya inflamasi menunjukkan bahwa si penderita harus mengistirahatkan sendi tersebut. Pada sendi neuropatik, di mana si penderita tidak merasa nyeri, telah terbukti akan terjadi kerusakan sendi yang lebih cepat; selain itu gangguan fungsi baru terjadi setelah ada kerusakan mekanikal yang nyata. Sebaliknya pada artritis jenis lainnya gangguan fungsi sudah mulai tampak pada awal penyakit bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri. Nyeri pada penyakit reumatik terutama disebabkan oleh adanya inflamasi yang mengakibatkan dilepaskannya mediatormediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi lainnya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu rangsangan/stimulus (lihat kaskade inflamasi – gambar 1). Pada artritis reumatoid nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses imunologik pada sinovia yang mengakibatkan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus yang akhirnya menyebabkan kerusakan sendi (gambar 2). Pada artritis gout adanya deposit kristal asam urat pada sinovia/rongga sendi akan mengakibatkan terjadinya inflamasi. Pada osteoartritis tidak selalu ditemukan adanya inflamasi, hanya pada kira-kira 40% kasus yang disertai inflamasi yang disebabkan oleh lepasnya kristal kalsium-pirofosfat atau serpihan rawan sendi ke dalam rongga sendi. Osteoartritis ialah penyakit yang bermula dari gangguan rawan sendi, sedangkan diketahui bahwa rawan sendi tidak mempunyai persyarafan. Dengan demikian timbul pertanyaan darimasa asal rasa nyeri pada osteoartritis bila tidak ada inflamasi? Ternyata nyeri pada osteoartritis dapat discbabkan antara lain oleh : 1. Terjadinya mikrofraktur di antara

trabekulae tulang subkondral, 2. Terjadinya bendungan vena akibat perubahan bentuk trabekulae. tulang subkondral, 3. Regangan dari syaraf periosteal yang berakhir pada osteofit, 4. Regangan ligamen akibat deformitas atau akibat efusi sendi dan 5. Karena regangan otot. Hal yang penting ialah membedakan antara nyeri yang disebabkan perubahan mekanikal dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Perubahan mekanikal disebabkan oleh perubahan anatomis yang lanjut akibat beratnya penyakit. Nyeri mekanikal timbul setelah penderita melakukan aktivitas dan tidak timbul pada pagi hari atau setelah penderita beristirahat serta tidak disertai dengan kaku sendi (joint stiffness). Perubahan mekanikal ini memerlukan pula pengobatan mekanikal seperti artroplasti (joint replacement) atau artrodesis (joint fusion). Sebaliknya nyeri inflamasi alcan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi pagi hari atau setelah duduk lama. Nyeri inflamasi ini akan berkurang bila diberikan latihan atau obat anti-inflamasi non-steroid. Pada artritis reumatoid nyeri paling berat biasanya pada pagi hari, membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaik pada siang hari. Ada 2 faktor yang berperanan dalam beratnya rasa nyeri pada penderita penyakit reumatik, yaitu beratnya penyakit dan ambang nyeri dari si penderita. Makin bertambah berat penyakit makin bertambah pula rasa nyen dan bila perjalanan penyakit dapat dihentikan (remisi) seperti pada artritis reumatoid, maka rasa nyeri akan pula berkurang. Pasien dengan ambang nyeri yang tinggi akan merasa sedikit nyeri dan hanya membutuhkan sedikit obat serta dapat tetap bekerja seperti biasa. Semula dianggap bahwa pasien dengan ambang nyeri yang tinggi akan mengalami kerusakan sendi yang lebih cepat karena penderita tetap akan menggunakan sendi yang sakit tersebut terus menerus. Hal tersebut didasarkan pada penemuan bahwa pada sendi neurepatik terjadi kerusakan sendi yang lebih cepat. Tetapi hingga sekarang belum ada bukti penelitian bahwa pendapat tersebut benar. Pada penyakit gout nyeri yang terjadi karakteristik, yaitu berupa serangan akut yang hebat timbul pada waktu bangun pagi hari, padahal malam hari sebelumnya penderita tidak merasakan apa-apa, rasa nyeri dan inflamasi ini biasanya self-limiting dan sangat responsif dengan pengobatan. Pada artritis reumatoid dan osteoartritis rasa nyeri timbul sesuai dengan beratnya penyakit. Pada artritis reumatoid sifat nyerinya tajam (sharp pain), sedangkan pada osteoartritis lebih ringan (dull pain). Pada spondilitis ankilosis rasa nyeri biasanya tidak terlalu hebat, dan justru pada penyakit ini penderita harus tetap aktif bergerak, sebagai bagian dari pengobatan untuk mencegah terjadinya kekakuan. Pada anak terdapat perbedaan, suatu penelitian pada artritis kronik juvenil mendapatkan bahwa sebagian besar penderita hanya merasa nyeri ringan dan tidak ada korelasi antara beratnya penyakit dengan rasa nyeri. Rasa nyeri mengakibatkan gangguan fungsi dan rasa putus

asa dari si penderita, sehingga diperlukan pengobatan untuk mengatasinya. PERANAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID Sebagai telah disebut di atas maka obat hanya merupakan sebagian dari pengelolaan penyakit reumatik, tetapi karena obat relatif mudah didapat dan cepat memberikan respons, maka biasanya penderita segera meminta obat kepada dokter, bahkan sebagai pertolongan pertama banyak yang telah minum obat sebelum pergi ke dokter. Memang benar bahwa obat dapat menekan rasa nyeri dan inflamasi, tetapi perlu diingatkan bahwa di lain pihak dengan hilangnya rasa nyeri tersebut akan ada kecenderungan dari penderita untuk menggitnakan sendi tersebut secara berlebihan. Ada 3 golongan obat utama yang digunakan pada artritis yaitu analgesik, obat anti-inflamasi non-steroid dan obat spesifik untuk penyakit tertentu. Pada setiap golongan terdapat lagi berbagai jenis obat yang berbeda. Keberhasilan pengobatan tergantung dari keahlian untuk memilih obat yang tepat dalam dosis yang tepat untuk pasien yang tepat pada penyakit yang tepat dan saat yang tepat dari perjalanan penyakit. Analgesik terdiri dari yang bekerja sentral seperti dihidrokodein atau dēkstropropoksifen dan yang bekerja perifer seperti parasetamol, aspirin dan obat anti-inflamasi non steroid. Analgesik hanya dapat menghilangkan rasa nyeri saja, bekerja cepat setelah beberapa menit dan hilang setelah beberapa jam, pemberian dosis kedua memberikan hasil yang sama. Tidak ada gunanya untuk memberikan analgesik secara reguler, sebaiknya diberikan apabila penderita memerlukannya. Analgesik sangat ideal untuk nyeri yang ringan dan intenniten. Analgesik mempunyai 2 hambatan penting. Yang pertama ialah tidak adanya efek anti-inflamasi sehingga tidak dapat diberikan pada keadaan nyeri yang disebabkan inflamasi. Yang kedua ialah pada penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan kematian; aspirin dapat menyebabkan asidosis-metabolik dan parasetamol dapat menyebabkan nekrosis hati. Obat yang bekerja sentral seperti dekstropropoksifen dapat menyebabkan depresi pernafasan, terutama bila dikombinasi dengan depresan SSP seperti alkohol. Pada tahun 1971, Sir John Vane membuat hipotesis bahwa produksi prostaglandin lokal sangat penting dalam proses inflamasi. Proses inflamasi atau kaskade inflamasi Mb. 1), dimulai dari suatu stimulus yang akan mengakibatkan kerusakan sel. Sebagai reaksi terhadap kerusakan maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang di antaranya ialah asam arakhidonat. Setelah asam arakhidonat tersebut bebas akan segera diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya lipoksigenase dan siklooksigenase. Enzim tersebut merubah asam arakhidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisir menjadi leukotrien, prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan. Sebagian besar OAINS dapat mengurangi inflamasi dengan cara menghambat kerja enzim siklooksigenase sehingga mencegah transformasi asam arakhidonat menjadi prostaglandin

Gambar 1. Kaskade inflamasi

Keterangan : LTB4 = leukotrien B4; 02– anion superoksid; IL–1 = Interleukin–1; cAMP = siklik adenosin monofosfat

yang stabil (PGE2dan PGIz/Prostasiklin). Selain itu OAINS juga menghambat kerja prostaglandin pada tempat reseptor. Beberapa GAINS dapat pula menghambat kerja enzim lipooksigenase dan mencegah transformasi asam arakhidonat menjadi leukotrien, di antaranya yang cukup poten ialah sodium meklofenamat dan benoksaprofen, yang kerjanya moderat ialah sodium dikiofenak dan ketoprofen, sedangkan ibuprofen, naproksen, piroksikam dan indometasin tidak punya daya kerja menghambat enzim lipooksigenase, Saat ini inflamasi dianggap sebagai akibat dari proses multifaktor yang melibatkan proses lokal dan sistemik. Pada artritis reumatoid dan juga pada osteoartritis, proses inflamasi diawali dengan suatu stimulus yang merupakan kombinasi dari pencetus tak dikenal (unknown trigger) dan predisposisi genetik. Terjadilah akumulasi limfosit pada sinovia sendi yang akan memproduksi faktor reumatoid (Gambar 2). Faktor ini berperan dalam pembentukan kompleks imun yang akan mengaktifkan komplemen,yang mempunyai efek khemotaktik pada neutrofil dan makrofag. Neutrofil dan makrofag akan bermigrasi ke dalam sendi di mana kemudian diproduksi anion superoksid, kolagenase, elastase dan enzim degeneratif lainnya seperti prostaglandin. Akhir dari proses ini ialah timbulnya nyeri, inflamasi dan proses destruksi.

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Gambar 2. Proses inflamasi pada artritis reumatoid(4)

Jadi dari berbagai penelitian yang ada, berbagai hipotesis telah disusun untuk menjelaskan peranan OAINS pada inflamasi, dan masing-masing hipotesa menjelaskan sebagian dari mekanisme kerja dari OAINS. Tetapi bagaimana kerja yang pasti dari OAINS terhadap inflamasi belumlah seluruhnya diketahui. Di lain pihak penelitian klinik telah membuktikan bahwa penggunaan OAINS dapat menekan rasa nyeri dan inflamasi. Dari sekian banyak GAINS yang telah beredar, Huskisson dkk. menemukan bahwa walaupun di antara OAINS tersebut tidak ditemukan perbedaan efektifitas, tetapi terdapat perbedaan individuil di antara penderita; jadi ada penderita yang merasa cocok dengan salah satu obat, tetapi tidak cocok dengan obat yang lain dan sebaliknya. Misalnya penderita A merasa cocok dengan obat X tetapi tidak cocok dengan obat Y, sebaliknya penderita B merasa cocok dengan obat Y dan tidak cocok dengan obat X, walaupun kedua penderita tersebut mempunyai diagnosis dan gejala klinik yang sama. Implikasi dari penelitian ini ialah beberapapasien mungkin lebih dahulu perlu mencoba berbagai OAINS yang berbeda sebelum ditemukan salah satu obat yang dirasa penderita paling optimal menghilangkan rasa nyeri. Yang perlu diperhatikan pada waktu mencoba obat tersebut ialah saat aksi kerja obat tersebut; beberapa obat memerlukan waktu beberapa hari sedangkan obat yaeg lainnya memerlukan beberapa waktu beberapa minggu sebelum diperoleh efek yang diinginkan. OAINS memang dapat menghilangkan rasa nyeri dan inflamasi, tetapi bukan menyembuhkan. Pengobatan yang paling tepat tentunya dengan menggunakan obat yang dapat menghentikan perjalanan penyakit. Walaupun demikian OAINS untuk sementara masih diperlukan sebelum obat tersebut ditemukan. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah rasa takut terhadap penyakit. Penjelasan dan pemberian pengertian mungkin akan mengurangi rasa nyeri karena rasa nyeri akan bertambah apabila

penderita merasa takut akan penyakitnya. Seperti telah disebut pada awal dari makalah ini, obat hanyalah sebagian saja dari penanggulangan nyeri pada penyakit reumatik; masih ada berbagai tindakan seperti program rehabilitasi dan penggunaan alat bantu yang secara bersama dapat membantu penderita dalam memerangi nyeri dan inflamasi pada penyakit reumatik, dan akhirnya mungkin penderita memerlukan tindakan pembedahan untuk menanggulangi penyakitnya.

masi, walaupun ada pendapat bahwa prostaglandin mempunyai efek positif terhadap inflamasi. Mekanisme pasti dari aksi kerja OAINS terhadap inflamasi belum sepenuhnya diketahui dengan pasti. Secara klinis walaupun berbagai OAINS mempunyai efektifitas yang sama, terdapat perbedaan respon individuil di antara penderita. Medikamentosa hanyalah sebagian dari program dalam mengelola penyakit reumatik.

KESIMPULAN Nyeri dan inflamasi merupakan gejala utama dari penyakit reumatik. Beratnya rasa nyeri tergantung dari beratnya penyakit dan ambang nyeri dari penderita. Dikenal nyeri mekanik yang membutuhkan tindakan operatif dan nyeri inflamasi yang dapat ditekan dengan OAINS. Analgetik hanya bekerja singkat dan tidak punya efek terhadap nyeri inflamasi. OAINS bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase untuk mencegah transformasi asam arakhidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien yang dianggap sebagai penyebab terjadinya gejala nyeri dan infla

KEPUSTAKAAN 1. Harry Isbagio. Medikamentosa pada osteoartritis: Peranan obat anti-inflamasi non-steroid, prostaglandin dan interleukin pads rawan sendi. Simposium Osteoartritis KOPAPDI VIII, Yogyakarta, 24–30 Juni 1990. 2. Huskisson EC. Pain in rheumatic disorders and its medical control. Kumpulan Naskah Lengkap Simposium Nyeri pads Penderita Reumatik. Biennial Meeting IRA. Jakarta, 9 Mei 1981. 3. Paulus HE. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs. In: Kelley WN et al (ed). Texbook of Rheumatology. Third edition. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: W.B. Saunders Company. 1989, p. 765. 4. Weissmann G. Supression of Inflammation in Rheumatoid Arthritis : The Role of Prostaglandin. In: New Frontiers in Prostaglandin Therapeutics. Excerpta Medics. 1989, p. 1.

Idleness is only a refuge of weak,mind (Philip DS Chesterfield)

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 35

Efek Samping Obat Anti Inflamasi Non Steroid A.R. Nasutlon Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Dengan bertambah luasnya penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid, maka terjadinya efek samping tak dapat dihindarkan. Pada umumnya OAINS mempunyai spektrum yang sama dalam toksisitas klinis, walaupun efek samping tertentu bervariasi pada senyawa tersebut. Karen adanya efek samping dan efek toksik (yang berkaitan dengan dosis), maka diperlukan pengamatan yang teliti pada setiap penggunaan obat anti inflamasi non steroid untuk setiap kali membandingkan antara manfaat dan risikonya. Efek samping yang penting terjadi pada traktus gastrointestinalis, sistim saraf pusat, sistim hematopoetik, ginjal, kulit dan hati. Talc ada satupun OAINS yang sama sekali aman, bahkan aspirin yang merupakan obat yang paling sering digunakan dan cukup efektif, mempunyai efek samping yang lebih sering dan lebih berbahaya jika diberikan dalam dosis yang berlebihan. TRAKTUS GASTROINTESTINALIS Oleh karena penekanan terhadap sintesis prostaglandin, maka OAINS cenderung menyebabkan iritasi lambung dan mengeksaserbasi ulkus peptikum. Pada hewan percobaan terlihat bahwa prostaglandin mengakibatkan penekanan sekresi asam lambung dan membantu pertahanan mukosa lambung, jadi prostaglandin bersifat sitoprotektif gastrointestinal. Pada manusia pemberian prostaglandin dapat mengurangi insiden kehilangan darah melalui tinja yang diakibatkan aspirin dan secara endoskopis dapat terlihat adanya perbaikan dari kerusakan mukosa lambung dan duodenum. Gejala lain yang diakibatkan oleh OAINS antara lain dispepsia, nyeri epigastrium, indigesti, heart burn (rasa seperti terbakar), nausea dan vomitus.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Telah terbukti bahwa obat-obat tersebut menyebabkan lesi mukosa yang dapat bervariasi dari hiperemia sampai gastritis difus, erosi superfisiil atau ulkus. Kehilangan darah samar dapat terjadi terutama pada penggunaan aspirin atau OAINS lainnya bahkan dapat pula terjadi perdarahan gastrointestinal yang masif. Indometasin, sulindak dan natrium mefenamat mempunyai resirkulasi enterohepatik yang luas, yang menambah pemaparan obat-obat ini dan meningkatkan toksisitas gastrointestinalnya. Indometasin dilaporkan dapat mengakibatkan iritasi setempat langsung yang dapat menimbulkan perforasi. Caruso dkk. meneliti secara gastroskopis efek 12 OAINS yang diberikan tunggal atau secara kombinasi pada 164 pasien dengan Artritis Reumatoid dan 84 pasien dengan Osteoartritis. Selama 1 tahun pengobatan, temyata 31 pasien secara endoskopis dipastikan mengalami lesi gaster. Lesi terdapat pada 51% pasien yang mendapat pengobatan OAINS multipel. Semua OAINS menyebabkan kerusakan gaster, yang terbesar adalah yang disebabkan oleh aspirin dan yang paling kurang adalah sulindak dan diflunisal. Laporan lain menunjukkan bahwa yang paling minimal merusak mukosa adalah sulindak, aspirin enteric coated dan ibuprofen 1200 mg/hr. Tidak terdapat korelasi antara gejala subyektif dengan hasil endoskopi. Berbeda dengan aspirin, maka salisilat yang non asetilasi tidak berhubungan langsung dengan peningkatan kehilangan darah akibat lesi gastrointestinal. Perdarahan gastrointestinal yang dicetuskan oleh aspirin dan OAINS cenderung lebih berat, oleh karena obit ini dapat menunmkan agregasi trombosit dengan mekanisme.penekanan pāda siklo-oksigenase. Jadi efek antikoagulan trombosit yang memanjang pada penggunaan aspirin, disebabkan oleh adanya asetilasi siklooksigenase trombosit yang irreversibel. Hal ini terdapat pula pada penggunaan OAINS lain dan tergantung pula

pada konsentrasinya. Proses ini menetap selama trombosit masih terpapar dalam konsentrasi yang cukup tinggi dengan obat tersebut. Diperkirakan ulkus gastrointestinal, perdarahan dan perforasi terjadi kurang lebih 1–2% dari seluruh pasien yang menggunakan GAINS selama 3 bulan dan 2–5% pads mereka yang menggunakannya selama 1 tahun. Risiko kumulatif dari keadaan yang serius ini, tampaknya meningkat dengan lamanya pengobatan dan lebih meningkat lagi pada penderita yang sebelumnya menderita ulkus peptik. Kematian sering terjadi pada penderita usia lanjut atau pada mereka yang keadaan umumnya lemah. Dosis yang tinggi, memberi risiko yang lebih tinggi. Penyakit yang diderita pasien, umur dan derajat inflamasi perlu dipertimbangkan dalam menentukan dosis optimal dan setiap awal terapi dimulai dengan dosis serendah mungkin yang masih cukup adekuat untuk menekan gejala. Efek samping gastrointestinal yang lain ialah stomatitis, diare, ulserasi oesofagus, perforasi divertikulum kolon dan pankreas. HATI DAN LIMPA Pada penelitian dari FDA terlihat bahwa pada 5,4% pasien Artritis Reumatoid yang diobati dengan aspirin, ditemukan peningkatan persisten lebih dari 1 test fungsi hati, dan hal yang sama ditemui juga pada 2,9% pasien yang diobati dengan OAINS lainnya. Keadaan ini biasanya tanpa gejala dan penghentian atau penurunan dosis umumnya dapat menormalkan kembali nilai transaminase. Usia lanjut, fungsi ginjal yang menurun, penggunaan obat multipel, dosis yang tinggi, terapi jangka lama merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko toksisitas hati. Pemanjangan masa protrombin dan hiperbilirubinemia merupakan tanda prognostik yang buruk dan merupakan pula tanda awal dari penyakit hati yang progresif yang dapat mengakibatkan nekrosis hati yang fatal. GINJAL Prostaglandin Vasodilator E2 dan I1 meningkatkan aliran darah ginjal, meningkatkan ekskresi air, meningkatkan ekskresi natrium klorida dan merangsang sekresi renin. Sedang PGF2a dan TxA2 yang vasokonstriktor dapat menurunkan fungsi ginjal pada keadaan glomerulonefritis akibat rejeksi transplantasi. PGE2 dan PGI2 yang dibentuk di dalam glomerolus mempunyai pengaruh terutama pada aliran darah dan tingkat filtrasi glomerulus; PGI1 yang diproduksi pada arteriol ginjal juga mengatur aliran darah gin jai. PGE2 yang disintesis oleh sel interstitial medula, membantu mengatur aliran darah ginjal ke medula; PGE2 juga disintesis di dalam duktus koligentes, dapat mengubah permeabilitas duktus terhadap air dan reaksinya terhadap hormon antidiuretik. Pada hewan percobaan (anjing), dapat diperlihatkan adanya penurunan aliran darah ginjal dengan memberikan infus Angiotensin II atau dengan menjepit arteri ginjal utama. Hal ini diikuti dengan peningkatan sintesis PGE2 dan peningkatan kompensasi peredaran darah. Bila diberikan OAINS pada keadaan tersebut,

terjadi penurunan aliran darah ginjal yang makin hebat akibat terhambatnya sintesis PGE2 vasodilator. Pada orang sehat, dengan hidrasi yang cukup dan ginjal yang normal, PGE2 dan Prostasiklin (PGI2) tidak memegang peranan dalam pengendalian fungsi ginjal. Tetapi pada keadaan tertentu dengan sires sirkulasi yang Fling disertai dengan peningkatan Angiotensin II dart Katekolamin, maka Prostaglandin vasodilator yang dibentuk lokal menjadi panting untuk mempertahankan fungsi ginjal yang cukup. Pada tikus yang diinduksi menjadi glomerulonefritis imun secara eksperimental, maka penyumbatan ureter dan penyumbatan vena ginjal akan diikuti dengan produksi yang meningkat dari vasokonstriksi ginjal kronik. Dengan meningkatnya pengetahuan tentang peran jalur siklooksigenase dalam metabolisme asam arakidonat dan hemodinamika ginjal, maka pengaruh OAINS terhadap ginjal dapat dimengerti. Pengaruh zat ini terhadap ginjal langsung berhubungan dengan potensinya dalam menghambat produksi prostaglandin ginjal, seperti yang terlihat dengan hambatan ekskresi prostaglandin urin. Pada orang yang mempunyai faktor prēdisposisi, penekanan produksi prostaglandin kompensatorik dapat mengakibatkan pengurangan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus disertai retensi caftan, edema dan peningkatan kadar kreatinin serum. Yang paling mempunyai risiko ialah penderita gagal jantung, SLE, glomerulonefritis kronik,.kegagalan hati dengan mites, bayi prematur dan mereka yang menggunakan diuretika. Penurunan aliran darah meduler yang mencolok dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis kapiler. Penghambatan siklo-oksigenase dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemi, hal ini sering sekali terjadi pada penderita diabetes melitus, penderita insufisiensi ginjal ringan hingga sedang dan penderita yang menggunakan penyekat beta, inhibitor enzim yang mengubah angiotensin, atau diuretika yang menjaga kalium (potassium sparing). Penghambat siklo-oksigenase ternyata juga menurunkan daya kerja obat anti hipertensi dan daya kerja obat diuretik. Dengan luasnya penggunaan aspirin dan OAINS, sedangkan laporan yang dipublikasi mengenai nefrotoksisitas relatif sedikit maka laporan tentang insufisiensi ginjal iskemik yang diinduksi oleh OAINS lebih sering terjadi pada pasien yang dirawat dibandingkan dengan pasien yang berobat jalan, dan hiperkalemia yang disebabkan OAINS lebih sering ditemukan daripada insufisiensi ginjal akut. Beberapa studi menemukan bahwa pada penggunaan sulindak, maka metabolitnya berupa sulfide sulindak aktif akan dioksidasi oleh ginjal menjadi metabolit sulfon yang inaktif atau menjadi produk sulindak yang relatif tidak aktif. Hal ini dapat mencegah terjadinya insufisiensi ginjal. Akan tetapi peneliti lain menemukan kerusakan fungsi ginjal atau hambatan prostaglandin yang disintesis ginjal akibat sulindak, terutama pada pasien-pasien yang mempunyai hemodinamik buruk dan dengan dosis sulindak yang tinggi. Oleh karena itu kita hams berhati-hati sekali mengobati pasien berisiko tinggi dengan OAINS tersebut, walaupun sulindak atau salisilat yang non asetilasi (yang hambatan siklo-oksigenasenya lemah) lebih di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 37

sukai daripada inhibitor-inhibitor siklo-oksigenase yang kuat seperti indometasin. Tipe ke dua dari gangguan ginjal oleh OAINS yaitu reaksi idiosinkrasi yang disertai dengan proteinurea yang masif dan nefritis interstitial yang akut. Kadang ditemukan pula fenomena hipersensiti_fi_tas seperti demam, ruam kulit dan eosinofili. Biopsi ginjal memperlihatkan nefritis interstitial difus yang didominasi oleh infiltrasi limfosit. Sindrom ini telah ditemukan praktis pada semua OAINS, tapi yang terbanyak didapati pada penggunaan fenoprofen. Setelah penghentian OAINS penyembuhan sempurna dari fungsi ginjal terjadi walaupun kadangkadang diperlukan dialisa atau kortikosteroid dosis tinggi atau kombinasi keduanya untuk memperbaiki fungsi ginjal. Mekanisme yang ketiga, ialah toksisitas ginjal oleh OAINS disebabkan oleh pengendapan asam urat intratubuler oleh obat suprofen atau dengan metabolit dari obat benoxaprofen. Nyeri hebat tiba-tiba daerah pinggang kanan-kiri dapat timbul 2–3 jam setelah dosis pertama atau kedua dari suprofen, biasanya disertai dengan peningkatan kadar kreatinin serum, hematuri mikroskopik, proteinuri ringan dan poliuri. Yang sering terkena adalah pria usia muda. Pada semua kasus, nyeri akan hilang dan fungsi ginjal kembali normal dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Pada beberapa keadaan, sindrom ini ditemukan pula pada penggunaan urikosurik yang kuat; karena waktu paruhnya sangat pendek, maka gangguan tersebut ini hanya timbul selama beberapa jam. Secara teoritis pada penderita hiperurikosemi dengan win yang asam dan aliran win yang kurang adekuat akan terjadi peningkatan kristal asam urat yang mengakibatkan obstruksi tubuli temporer. Sindrom ini dapat dicegah dengan memastikan bahwa pasien cukup hidrasinya sebelum menggunakan OAINS. Sementara itu pabrik yang membuat suprofen telah menariknya dari pasaran karena pengaruh ini; sedangkan gagal ginjal yang berhubungan dengan benaxoprofen mungkin berkaitan dengan penumpukan intratubuler metabolit benaxoprofen, sama dengan benda globuler yang telah ditemukan secara mikroskopik Mutt win. Umumnya gagal ginjal kronik dianggap bukan akibat pengobatan OAINS. Penderita yang mempunyai penyakit yang termasuk faktor predisposisi atau sedang menggunakan obat tertentu harus diobati dengan dosis serendah mungkin tetapi yang masih cukup efektif, dengan obat penghambat sildo-oksigenase ginjal yang lemah dan harus diobservasi dengan ketat. Dianjurkan pengukuran kreatinin serum dan elektrolit berkala setiap 5–7 hari. KULIT Suatu spektrum yang luas dari reaksi kulit telah dikaitkan dengan OAINS. Menurut laporan Akademi Dermatologi di Amerika tahun 1984, reaksi kulit paling sedikit dilaporkan pada penggunaan piroksikam, zomepirac, sulindak, sodium meclofenamat, benaxoprofen. Erupsi morbiliform yang ringan, reaksireaksi obat yang menetap, reaksi-reaksi fotosensitifitas, erupsierupsi vesikobulosa, serum sickness dan eritroderma exfoliatif semuanya pernah dilaporkan. Hampir semua OAINS dapat menyebabkan urtikaria terutama pada pasien yang sensitif dengan yang luar biasa dari reaksi hipersensitifitas, dapat terjadi path

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

aspirin. REAKSI HIPERSENSITIVITAS Pada beberapa pasien dengan asma bronkial, terutama yang mempunyai trias: rinitis vasomotor, poliposis nasal dan asma akut sering mengalami reaksi ini. Hal ini disebabkan oleh hambatan prostaglandin yang bersifat bronkodilator. Hambatan terhadap jalur siklo-oksigenase akan mendorong metabolisme asam arakidonat ke arah pembentukan produk lipoksigenase seperti zat anafilaksis yang bereaksi lambat dan leukotrien (C4 dan D4). Zat-zat ini dapat mencetuskan bronkospasme. Pasien yang mempunyai reaksi seperti ini umumnya sensitif terhadap OAINS oleh karena itu harus dihindari. Reaksi anafilaksis telah dilaporkan pada beberapa OAINS terutama tolmetin dan zomepirac. Zomepirac telah ditarik dari peredaran oleh karena efek sampingnya. SISTEM HEMATOPOETIK Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopeni jarang dikaitkan dengan OAINS, tetapi menonjol sebagai penyebab kematian yang dikaitkan dengan obat-obat ini. Didasarkan atas perkiraan adanya 22 kematian akibat kelainan darah per 1 juta penderita dan perkiraan FDA terdapat 16 kematian per 1 juta, maka fenilbutason tidak dianjurkan untuk pengobatan pertama pada keadaan apapun. Risiko ini meningkat lebih kurang 6 kali pada wanita yang umurnya lebih dari 60 tahun. Berbagai laporan terpisah tentang kelainan darah yang berhubungan dengan OAINS telah banyak dipublikasi. Suatu studi kasus kontrol yang besar memperlihatkan adanya hubungan dengan indometasin dan fenilbutason, dengan risiko sebesar 10,1/1 juta dan 6,6/1 juta. Oleh karena jarangnya masalah ini dan kejadiannya tidak dapat diduga maka perlu dilakukan pengawasan dengan menghitung sel darah rutin. Perlu pertimbangan matang jika akan memberikan fenilbutason atau oxifenbutason pada wanita lebih dari 60 tahun. OAINS mengganggu secara reversibel agregasi trombosit dengan cara menghambat siklo-oksigenase trombosit, dan menghambat sintesis TxA2. Efek ini menetap hanya selama obat itu ada, tetapi dapat meningkatkan beratnya perdarahan gastrointestinal. Pada keadaan preoperatif OAINS harus dihentikan cukup lama sebelum pembedahan untuk memberi kesempatan ekskresi obat yang lengkap, lebih kurang 4–5 kali waktu paruh dari obat. Jadi obat-obat yang mempunyai waktu paruh pendek, seperti tolmetin/ibuprofen, dapat dihentikan 18–24 jam preoperatif, sementara obat-obat dengan waktu paruh panjang seperti piroksikam harus dihentikan 8 hari sebelum pembedahan. SISTIM SARAF PUSAT Nyeri kepala dan pusing terjadi pada pasien-pasien yang memakai indometasin. Depresi, konvulsi, rasa lelah, halusinasi, reaksi depersonalisasi, kejang, sinkop pernah dilaporkan. Penderita usia lan jut yang menggunakan naproxen/ibuprofen telah dilaporkan mengalami disfungsi kognitif, kehilangan personalitas, pelupa, depresi, tidak dapat tidur, iritasi, rasa ringan kepala hingga paranoid. Meningitis akut aseptik agaknya suatu tipe pasien dengan SLE/MCTD yang diobati dengan ibuprofen,

sulindac, tolmetin. EFEK SAMPING LAIN Edema paru-paru telah dilaporkan sehubungan dengan penggunaan fenilbutazon dan infiltrat paru-paru dengan naproxen. Ginekomastia dihubungkan dengan sulindac, alopesia dengan ibuprofen clan pembesaran timid dengan oksifenobutason. DOSIS BERLEBIH DARI OAINS Dosis berlebih dari GAINS yang terjadi akut tidak setoksis overdosis aspirin/salisilat. Kebanyakan pasien tidak menimbulkan gejala dan ada yang baru timbul 4 jam setelah makan that. Gejala yang ada di samping kematian ialah gejala depresi SSP, kejang-kejang, apnoe, nistagmus, penglihatan kabur, diplopia, sakit kepala, tinitus, bradikardi, hipotensi, sakit perut, nausea, vomitus, hematuri, fungsi ginjal abnormnal dan henti jantung. Pengobatan antara lain membersihkan isi perut, observasi dan pemberian cairan.

KESIMPULAN Hingga saat ini belum ada GAINS yang aman dari efek samping. Efek samping yang sering ditemukan terutama pada sistem gastrointestinal. Efek samping lainnya yang penting ialah pada ginjal karena dapat mengakibatkan gagal ginjal. Sebagian besar efek samping terjadi akibat penēkanan pembentukan prostaglandin pada jalur siklo-oksigenase. Mengingat efek sampingnya, setiap pemberian GAINS harus dalam pengawasan dokter. KEPUSTAKAAN 1. Mowat AG. Non steroidal anti inflamatory drugs, Medicine International (Quarterly Ed. 1985; 2: 937. 2. Paulus HE, Furst DE. Aspirin and other nonsteroidal anti inflamatory drugs. In: Arthritis and Allied conditions. A textbook of Rheumatology. McCarthy DJ. Ed. Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1985, p. 453. 3. Paulus HE. Nonsteroid antiinflammatory drugs. In: Textbook of Rheumatology. Eds. Kelley et al. Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo: W.B. Saunders Co. 1989, p. 765. 4. Schumacher HR. Clinical Pharmacology of the Anti Rheumatic drugs. In: Primer on the Rheumatic Disease. Ninth ed. Atlanta G.A: Arthritis Foundation. 1988, p. 282.

I do not pray for a lighter toad, but for a stronger back, (Philips Brook)

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 39

Sindrom Dermatitis-Artritis Gonoreal Diseminata Djunaedl Hidayat, Farida Zubler, Ad hi Djuanda Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Infeksi gonokokal diseminata (IGD) merupakan komplikasi infeksi gonokokus yang dapat menimbulkan manifestasi klinis bermacam-macam, yang paling sering berupa artritis danjesi pada kulit, yang disebut juga sindrom dermatitis-artritis(1,2,3,4,5) Sindrom klinis gonore telah dikenal lama, dan Vidal mengemukakan adanya artritis gonokokal dalam bukunya tahun 1854; sejak awal tahun 1900 banyak dilaporkan kasus artritis gonokokal. Juga mulai dikenal dan dilaporkan lesi pada kulit sejak tahun 1905 dan tenosinovitis sejak tahun 1934(1). EPIDEMIOLOGI IGD terjadi setelah infeksi mukosa gonokokal, dengan prevalensi 1% – 5%(1,2,3). Insidens lebih tinggi pada populasi dengan risiko tinggi akan infeksi mukosal dan pada dewasa muda daripada orang tua. Insidens juga bervariasi berdasarkan jenis kelamin. Pada era preantibiotik kebanyakan kasus infeksi gonokokal diseminata terdapat pada pria; setelah adanya antimikroba dan terapi infeksi simtomatik pada pia, maka infeksi gonokokal diseminata lebih sering pada wanita dan mungkin pria homoseksual. Kira-kira separuh kasus infeksi gonokoknl diseminata pada wanita terjadi antara 5 hari sebelum menstruasi sampai selesainya menstruasi atau pada kehamilan(1,6). Penyebabnya dinamakan DGI Strains of Neisseria gonorrhoeae, yang resisten terhadap serum manusia normal dan suseptibel terhadap kebanyakan antibiotik serta sering, kebutuhan nutrisinya adalah arginin, hipoksantin dan urasil. Pada penelitian Armstrong dan kawan-kawan (1976) didapatkan bahwa galur IGD merupakan hampir separuh isolat pada penderrta infeksi gonokokal diseminata dan hanya 5% isolat pada penderita infeksi mukosal lokalisata(1). Masainkubasi IGD mungkin dipengaruhi oleh faktorhospes

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

dan sifat invasif bakteri. Kasus-kasus IGD yang didata terjadi beberapa hari setelah infeksi mukosal, tetapi umumnya masa inkubasi antara 7 – 30 hari. Path wanita IGD sering terjadi path menstruasi pertama setelah infeksi mukosal(1,2). PATOGENESIS IGD terjadi bilamana gonokokus mukosal menginvasi aliran darah. Diseminasi dapat terjadi dari saluran urogenital, anorektal ataupun farings"). Faktor yang berpengaruh terjadinya diseminasi : a. Faktor bakterial Gonokokus yang didapat dari darah, cairan sendi, mukosa uretral pria asimtomatik, serviks uteri wanita waktu menstruasi, ataupun bahan peritoneal biasanya membentuk koloni transparan. Sebaliknya gonokokus yang diambil dari uretra pria dengan uretritis simtomatik dan serviks wanita waktu pertengahan sildus biasanya membentuk koloni opak. Oleh karena itu nampaknya koloni transparan merupakan bentuk invasif gonokokus; tetapi mekanisme perubahan sifat. invasif dari koloni tersebut belum diketahui0>. Umumnya galur IGD sangat suseptibel terhadap penisilin G, kecuali yang mampu memproduksi B laktamase. Selain itu kebutuhan nutrisinya akan arginin, hipoksantin dan urasil, yang dikenal dengan oksotipe Arg-, Hyx-, Ura-, wring dihubungkan dengan infeksi mukosal asimtomatik0,'). Galur IGD biasanya resisten terhadap aksi bakteriolisis serum manusia norma1(1,2,3,6). b. Daya tahan hospes Faktor hospes yang panting dalam perkembangan IGD adalah defisiensi atau kelainan salah satu komponen komplemen C 5, 6, 7, atau 8, karena komponen tersebut panting untuk aksi bakteriolisis serum(1,2,3,6). Faktor hormonal pada wanitamungkin memegang peranan

yang penting karena kebanyakan kasus IGD terjadi pada masa menstruasi atau kehamilan(1,2,6). Sehubungan dengan manifestasi klinis artritis septik, meningitis dan endokarditis, patogenesisnya lebih berkenaan dengan invasi aktif gonokokus. Sedangkan pack mioperikarditis, hepatitis dan artritis steril, patogenesisnya masih belum jelas. Terdapat dugaan terlibatnya mekanisme hipersensitivitas melalui pembentukan kompleks imun(3,6). Selain itu, mungkin efek toksik endotoksin gonokokus pada jaringan dapat menimbulkan manifestasi klinis tersebuto>.

MANIFESTASI KLINIS Sindrom dermatitis-artritis merupakan manifestasi klinis IGD yang paling 'sering dan dapat dibagi menjadi 2 stadium, yaitu(1,6,8) : 1. Stadium bakteremia dengan poliartralgia dan lesi kulit, dan biasanya kultur darah positif. 2. Stadium sendi septik (artritis septik) dengan kultur cairan sinovial positif dan dapat terjadi destruksi sendi. Ad.1 Umumnya ditandai dengan demam, menggigil, anoreksia, malaise, lesi kulit yang karakteristik, poliartralgia ataupun tenosinovitis(1,6). Lesi kulit mula-mula sebagai makula eritematosa dengan diameter antara 1 – 5 mm. Kemudian banyak yang berubah cepat menjadi lesi pustular, kadang-kadang hemoragik atau nekrotik di bagian tengahnya. Lesi bula hemoragik jarang terlihat. Lesi kulit biasanya timbul serentak di bagian akral tubuh, lebih sering di ekstremitas atas daripada bawah dan jarang mengenai wajah dan badan(1,2,6,9). Lesi kulit sering timbul dekat sendi kecil tangan atau kaki yang disertai nyeri dan biasanya sembuh spontan dalam 4 hari (1,6,10). Gambaran histologis biasanya berupa respons inflamasi akut atau subakut dengan leukosit polimorfonuklear yang mencolok. Pada lesi vesiko-pustular terlihat infiltrat neutrofil dengan sedikit sel mononuklear dan sel darah merah, nekrosis fibrinoid pada dinding pembuluh darah, bula/vesikel terletak subepidermal dan jarang terlihat bakteri(3). Sedangkan dengan pemeriksaan imunofluoresen dapat terlihat bahan antigenik di sekitar pembuluh darah, intrasel dan ekstraserz">. Tenosinovitis biasanya terjadi soliter atau hanya pada beberapa tempat dan cenderung pada bagian akral. Daerah yang paling sering terkena adalah tendon ekstensor, fleksor dan sarung tendon tangan dan kaki. Pada lesi terlihat eritema, edema, serta nyeri tekan dan nyeri pada pergerakan tendon tersebut. Aspirasi dari tendon dan sarungnya tidak produktif, jarang didapat pus dan jarang ditemukan gonokokus(1,6). Keterlibatan sendi yang dini adalah poliartralgia migratoris, umumnya dengan tanda radang yang tidak begitu jelas dan terjadi sementara. Biasanya mengenai pergelangan tangan, sendi-sendi kecil tangan, siku, lutut, dan pergelangan kaki, tanpa efusi sendi yang cukup untuk aspirasi(1,2,6).

Ad. 2 Biasanya ditandai dengan kelainan mono-artikular, kadangkadang mengenai dua sendi dan timbul lebih lambat daripada lesi kulit, tenosinovitis dan poliartralgia. Oligoartritis septik juga lebih jarang daripada poliartralgia, tetapi lebih sering menyebabkan penderita untuk mencari pengobatan medis. Walaupun dapat mengenai sendi mana saja, tētapi sendi yang sering terkena adalah lutut, siku, pergelangan tangan dan kaki serta sendi-sendi kecil pada tangan. Sendi bahu dan panggul jarang terkena(1,6). Tanda radang jelas, gejala lebih menetap dan dapat diperoleh cairan efusi yang purulen(1,2,6). Dalam cairan sendi tersebut terdapat hitung leukosit yang tinggi (> 30.000 sel/mm3) dengan sel polimorfonuklear yang mencolok(1,2). MANIFESTASI KLINIS YANG LAIN Manifestasi klinis yang lain jarang terjadi dan berupa faringitis, hepatitis, perihepatitis, mioperikarditis, endokarditis, meningitis, pneumonia dan osteomielitis(1,2,6). DIAGNOSIS BANDING(1,10) 1. Meningokoksemia Lesi kulit cenderung purpura, dan sering lebih luas daripada IGD. Keterlibatan sendi dan tenosinovitis jarang terjadi. 2. Bakteremia oleh mikro-organisme lain Batang negatif gram enterik dan Staphylococcus aureus dapat menyebabkan lesi kulit dan artritis. Streptococcus pneumoniae juga dapat menyebabkan artritis septik. Bakteribakteri tersebut mudah dikultur dari darah ataupun cairan sendi. 3. Sindrom Reiter Sering terjadi pada pria muda yang seksual aktif. Dapat terlihat artritis dan lesi kulit, tetapi biasanya terjadi oligoartritis simetris (misalnya kedua lutut) dan lesi kulit jarang berupa eritematosa pustular. Selain itu biasanya terdapat keratodermia blenoragik dan balanitis sirsinata yang tidak terjadi pada IGD(1,6). 4. Artritis psoriatik. 5. Ankylosing spondylitis. 6. Sindrom Sweet. 7. SLE.

DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan(1,3) 1. Pemeriksaan fisik Misalnya tenosinovitis dan lesi pustular akral adalah khas(3): 2. Pemeriksaan laboratorik a. Pewarnaan Gram dan kultur dari darah, lesi kulit, cairan sendi, dan mukosa farings, uretra, serviks atau rektum. b. Pemeriksaan imunofluoresen, terutama untuk lesi kulit. c. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron. d. Pemeriksaan serologik, terutama untuk skrining atau case finding, karena kurang spesifik dan sensitif dibandingkan dengan kultur(3). e. Pemeriksaan kromatografi gas.

PENATALAKSANAAN 1. Kemoterapi Obat antimikrobial merupakan terapi utama IGD(1,2,4,6), antara lain : a. Penisilin G akua i.v.: 100.000 U/kg bb/hari, minimal 1 hari, tetapi biasanya sampai 10 – 14 hari. b. Ampisilin oral : 3,5 gram + 1 gram probenesid atau 3 gram amoksilin + 1 gram probenesid diikuti ampisilin 4 X 0,5 g/hari selama 7 hari. c. Tetrasiklin oral : 4 X 0,5 g/hari selama 7 had. d. Eritromisin oral : 4 X 0,5 g/hari selama 7 hari. e. Spektinomisin i.m. : 2 X 2 g/hari selama 3,hari. f. Penisilin G kristal akua i.v. : 10 juta U/hari sampai terjadi perbaikan, kemudian diikuti ampisilin oral : 4 X 0,5 g/hari sampai 7 hari pengobatan. g. Sefazolin i.m.lt.v. : 3 X 1,5 g/hari selama 7 hari. h. Sefoksitin i.v. : 4 – 6 g/hari selama 7 hari. i. Trimetoprim-sulfametoksazol : 9 tablet/hari selama 5 hari. 2. Istirahat Penderita dengan artritis septik sebaiknya dirawat untuk mencegah kerusakan sendi yang lebih parah serta untuk pemberian obat yang teratur, sedangkan penderita dengan tenosinovitis dan/atau lesi kulit dapat berobat jalan. 3. Analgetik Kadang-kadang diperlukan, terutama bila timbul rasa nyeri.

4. Contact tracing Perlu jugs mencari dan mengobati nara kontaknya. KEPUSTAKAAN 1.

Mills I, Brooks GF. Disseminated Gonococcal Infec4ion. In: Holmes, Mardh, Spading, Wisner (eds). Sexually Transmitted Diseases. New York: Mc Graw-Hill Book Co, 1984 : 229-37. 2. Baughman R. Systemic Bacterial and Nonvenereal Spirochetal Infections. In: Moschella and Hurley (eds). Dermatology. Philadelphia: WB Saunders Co, 1985 : 649-51. 3. Feingold DS. Gonorrhea. In: Fitzpatrick, Eisen, Wolff, Freedberg, Austen (eds). Dermatology in General Medicine, 3rd ed. New York: Mc GrawHill Book Co, 1987 : 2463-7. 4. Handsfield HH, Wiesner PJ, Holmes KK. Treatment of the Gonococcal Arthritis-Dermatitis Syndrome. Ann Intern Med 1976; 84: 661-7. 5. Holmes KK et al. The Gonoc 9l Arthritis-Dermatitis Syndrome. Ann Intern Med 1971; 75: 470-1. 6. Holmes KK et al. Disseminated Gonococcal Infection. Ann Intern Med 1971; 74: 979-93. 7. Knapp IS, Holmes KK. Disseminated Gonococcal Infections caused by Nesseria gonorrhoeae with unique nutritional requirements. J Infect Dis 1975; 132: 204-8. 8. Keiser H et al. Clinical form of Gonococcal Arthritis N Engl J Med 1977; 279: 234-40. 9. Barr J , Danielsson D. Septic Gonococcal Dermatitis Br Med J 1971; 1: 482-5. 10. Domonkos AN, Arnold. HL, Odom RB. Gonococcal Dermatitis. In: Andrew's Diseases of the Skin, 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1982 : 313-4.

It is a poor heart that never rejoices

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Perkembangan Penyakit Jantung Koroner pada Anak Effendy Salim, J.M.Ch. Pelupessy Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RSU Ujung Pandang

PENDAHULUAN Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah suatu penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan arteri koronaria(1). Penyebab penyempitan arteri koronaria, antara lain : aterosklerosis, sifilis, berbagai bentuk arteritis, emboli koroner, kelainan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus dan spasme. Karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%), maka uraian mengenai PJK umumnya hanya terbatas pada penyebab tersebut. Aterosklerosis pada dasamya adalah kelainan yang terdiri dari pembentukan fibrolipid fokal dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan-penebalan yang disebut ateroma yang terdapat di dalam tunika intima dan bagian dalam tunika media(2). Bagian proksimal arteri koronaria desendens kiri merupakan bagian yang paling sering mengalami aterosklerosis(3). Riwayat perkembangan PJK dapat dibagi dalam tiga periode yaitu masa inkubasi, masa laten dan masa klinik. Masa inkubasi berlangsung dari janin sampai dewasa muda. Masa laten biasanya asimtomatik dan masa klinik ditandai dengan adanya gejala klinik(4). Membicarakan PJK pada anak berarti membahas masalah proses perkembangan PJK khususnya ateroklerosis. Makalah ini membahas epidemiologi, faktor risiko dan aterosklerosis yang menjurus ke arah PJK, khususnya perubahan-perubahan yang ditemukan pada anak.

EPIDEMIOLOGI Insidens penyakit jantung iskemik akut pada pria berumur 50-54 tahun pada populasi Eropa tertentu menurut catatan WHO (1976) berkisar 2-14 per 1000. Sejak tahun 1965 angka kematian PJK telah menurun di Amerika Serikat, Kanada, Australia,

Selandia Baru, Israel, Belgia, Finlandia, Belanda dan beberapa negara lain. Ternyata dalam waktu yang sama terjadi peninggian angka kematian PJK di banyak negara lain, termasuk beberapa negara Eropa Barat dan Selatan. Pada beberapa negara tidak terlihat ada perubahan. Walaupun alasan terjadinya perubahanperubahan tersebut tidak jelas, tetapi penurunan insidens atau angka kematian PJK dianggap ikut bertanggung jawab. Penurunan insidens tersebut mungkun disebabkan oleh perubahan dalam faktor risiko dan perubahan pola makanan. Penurunan angka kematian PJK dapat disebabkan oleh perbaikan dalam intervensi medis dan pembedahan. Di negara berkembang prevalensi PJK adalah jarang. Di Ujung Pandang data perawatan dari satu rumah sakit swasta pada tahun 1981-1986, menunjukkan rata-rata 0,3 per 1000 penderita. Di Rumah Sakit Umum Pusat Ujung Pandang pada tahun 1986 tercatat 0,06 per seribu penderita(1). Pada dekade-dekade terakhir rumah sakit-rumah sakit umum pusat di Indonesia telah melaporkan bahwa PJK merupakan penyakit kardiovaskular yang menonjol. Kecenderungan ini juga terlihat pada negaranegara Asia Tenggara dan Afrika. Di Singapura dan Kualalumpur, angka kematian PJK telah meningkat dari yang tadinya tidak bermakna menjadi paling kurang 10% dari semua kematian. Bagaimanapun juga penyakit ini temp rendah di kalangan penduduk pedesaan(1). Karena PJK merupakan penyakit orang dewasa, maka data epidemiologik pada anak umumnya terbatas pada faktor-faktor risiko saja. Hal ini telah diteliti negara Barai, sedangkan di negara berkembang masih kurang. FAKTOR RISIKO Perkembangan ateroklerosis dipengaruhi oleh beberapa faktorkonstitusi dan faktor-faktor yang menjadikebiasaan hidup anak. Faktor-faktor yang menjadi kebiasaan hidup anak sering

Dibacakandi BagianIlmu Kesehatan AnakFK- Unhas/RSU Ujung Pandang, 31 Agustus 1991.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 43

disebut juga sebagai faktor lingkungan. Dengan mengontrol secara dini faktor-faktor lingkungan tersebut diharapkan dapat menekan normalitas dan morbiditas penyakit jantung koronero). Faktor-faktor yang telah diketahui mempengaruhi pembentukan aterosklerosis termasuk : merokok sigaret, hiperlipidemia, hipertensi, riwayat aterosklemsis dalam keluarga, diabetes melitus, obesitas, diit kaya asam lemak jenuh, kolesterol dan sukrose, aktifitas fisik yang kurang dan infeksi virus(6,10). Laki-laki tampaknya lebih cenderung menderita dibandingkan perempuan. Semua faktor-faktor tersebut sampai tingkat tertentu sudah berpengaruh sejak masa anak. Pada masa anak diabetes dan hipertensi dapat dikendalikan, sedangkan obesitas dapat dicegah. Umumnya aktifitas fisik sampai umur 20 tahun masih baik. Merokok sigaret telah menjadi masalah pada kelompok umur tertentu di beberapa negara. Terdapat juga faktor-faktor yang dapat menyebabkan aterosklerosis tetapi pada masa anak belum berperan aktif misalnya : faktor genetik dinding arteri; perubahan dinding pembuluh darah dengan bertambahnya umur; efek testosteron; hipotiroidisme; penyakit hati obstruktif; obat-obat tertentu; stres psikis; pekerjaan; kebudayaan dan traume(8). ATEROSKLEROSIS 1. Lesi makroskopik Secara makroskopik ada tiga bentuk lesi ateroskierotik, yaitu fatty streak, plak fibrous dan lesi yang berkomplikasi. Fatty streak pada aorta sudah dapat ditemukan pada anak yang berumur di bawah 3 tahun. Pada arteri koronaria jarang ditemukan fatty streak di bawah umur 10 tahun, akan tetapi dengan cepat dapat berkembang pada dekade berikutnya dan sesudah umur 20 tahun ditemukan pada hampir semua kasus. Fatty streak ini mungkin merupakan prekursor lesi aterosklerotik yang lebih parah(11). Telah diteliti penyempitan arteri koronaria oleh karena aterosklerosis pada anak sehat yang berumur kurang dari 15 tahun pada populasi yang mempunyai insidens PJK yang tinggi (Finlandia); ternyata 53% menunjukkan penebalan tunika intima. Kelainan ini sudah dapat ditemukan pada kasus berumur di bawah 5 tahun dan frekuensinya meningkat lebih dari 50% setelah melewati umur 6 tahun. Penebalan tersebut mengisi 10 50% dari lumen arteri koronaria. Lapisan ini berkembang sangat lamban dan sering kali belum sampai membentuk cincin yang sempurna ketika anak berumur 10 tahun(3). Pemeriksaan post mortem terhadap tentara Amerika berumur 22 tahun yang meninggal semasa perang Korea dan Vietnam memperlihatkan pelbagai derajat aterosklerosis. Di Korea 77,3% menunjukkan aterosklerosis pada percabangan pembuluh darah. Pada otopsi kasus di Vietnam terlihat 45% menunjukkan aterosklerosis koroner dan 25% yang mempunyai lebih dari satu pembuluh darah yang terlibat(" ) 2.

Lesi mikroskopik Dinding arteri normal terdiri dari tiga lapisan yaitu tunika intima, tunika media dan tunika adventitia. Tunika intima terdiri dari satu lapisan sel-sel endotel yang berhubungan langsung dengan lumen arteri. Lapisan ini terletak di atas satu lapisan

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

serat elastik yang disebut lamina elastika interna. Selama tahapan perkembangan janin terjadi perubahan histologik arteri koronaria. Pada janin tunika intima belum berkembang dan hanya terdiri dari satu lapisan sel-sel endotel yang sangat tipis. Antara sel-sel endotel dan serat-serat elastik terdapat sejumlah matriks jaringan ikat ekstraseluler dan kelompok sel-sel otot polos. Segera setelah lahir dapat terjadi perubahan-perubahan berupa fragmentasi dan retaknya membrana elastika interna. Di daerah tersebut fibroblast berproliferasi. Pada umur beberapa bulan keretakan yang telah ada menjadi lebih jelas. Sel-sel otot polos tunika media akan bermigrasi ke tunika intima dan mengalami perubahan bentuk dan posisi. Terjadi multiplikasi lamina elastika intema dan proliferasi sel-sel otot polos sehingga terbentuk sebuah lapisan yang disebut lapisan muskuloelastik. Perubahan-perubahan ini dapat ditemukan pada populasi yang mempunyai insidens PJK tinggi misalnya pada kelompok etnik Yahudi Askenazi dan tidak jelas terlihat pada populasi yang mempunyai insidens PJK yang rendah misalnya kelompok etnik Yahudi Yaman dan Badui. Perubahan-perubahan ini bukan karena pengaruh etnik karena kedua populasi ini berasal dari kelompok etnik yang sama. Komposisi muskuloelastik berubah menurut umur. Sel-sel otot polos dan seratelastik lebih dominan pada orang lebih muda. Pada umur yang lebih tua lebih banyak ditemukan serat kolagen. Tunika media atau lapisan tengah terdiri terutama atas sel-sel otot polos yang tersusun secara diagonal dikelilingi oleh sejumlah kolagen, serat elastik kecil dan proteoglikan. Morfologi tunika media umumnya tidak berubah dengan pertambahan umur. Tunika adventitia atau lapisan paling luar arteri terdiri terutama atas fibroblast, beberapa sel-sel otot polos dan berkas-berkas kolagen yang dikelilingi proteoglikan. Fatty streak pada anak di bawah umur 10 tahun walaupun secara makroskopik belum dapat ditemukan, tetapi secara mikroskopik sudah dapat ditunjukkan adanya kelompok-kelompok monosit dan sel-sel busa makrofag pada tunika intima yang menebal. Demikian pula plak fibrous secara makroskopik belum terlihat pada anak yang berumur lebih 10 tahun tetapi secara mikroskopik slidah terlihat tandatandanya berupa kelompok monosit, makrofag dan sel-sel otot polos yang mengandung lemak. Pada umur 15 tahun mulai tampak foki nekrosis pada tunika intima. Setelah umur 20 tahun daerah-daerah nekrosis yang disertai timbunan sel-sel otot polos yang mengandung lemak dan sel-sel busa makrofag menjadi lebih luas dan lebih banyak. Secara makroskopik beberapa lesi ini mirip dengan fattystreak yang tidak berkomplikasi, sedangkan yang lainnya mempunyai gambaran khas plak fibrous. Perubahan-perubahan mikroskopik pada tunika intima arteri koronaria ini sangat menyokong dugaan bahwa aterosklerosis mulai berkembang pada masa anak. Infiltrasi monosit dan makrofag dianggap sebagai awal proses, sedangkan akumulasi lemak sel-sel otot polos dan nekrosis tunika intima adalah proses yang terjadi kemudian. Walaupun pada aorta lesi aterosklerotik awal tampaknya identik dengan yang ada pada arteri koronaria tetapi sulit menelusuri proses perkembangan fatty streak menjadi plak fibrous.

Pada aorta tidak ada tempat predileksi anatomik tertentu untuk aterosklerosis. Demikian juga distribusi plak fibrous aorta menurut jenis kelamin, ras dan letak anatomik pada orang dewasa tidak ada hubungannya dengan distribusifatty streak pada umur yang lebih muda. Ringkasnya, lesi aterosklerotik koroner mulai berkembang pada masa anak dan berlangsung terus sampai dewasa sedangkan pada aorta mulai pada masa anak tetapi tidak dapat ditunjukkan secara pasti bahwa akan berkembang menjadi aterosklerosis yang lebih parah(11). 3. Analisis lemak Hasil analisis lemak pada tunika intima dan media menunjukkan bahwa ester kolesterol mulai berakumulasi di arteri koronaria pada anak berumur di bawah 10 tahun. Ester kolesterol tersebut meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Ester kolesterol inilah yang bertanggung jawab untuk pembentukan aterosklerosis(3). 4. Patogenesis Terdapat banyak hipotesis mengenai patogenesis aterosklerosis, di antaranya : 1) Teori lemak Dengan meningkatnya kadar LDL plasma, maka pengangkutan lipoproterin plasma melalui endotel juga meningkat. Hal ini akan meningkatkan ambilan lemak oleh sel-sel otot polos, endotel atau makrofag. Apabila kemampuan sel-sel untuk mengambil lemak sudah terlampaui, maka kolesterol dan lemak lain akan berakumulasi. 2) Teori trauma endotel Pada teori trauma endotel, respons terhadap trauma pada permukaan endotel diduga merupakan awal kejadian aterosklerosis. Faktor-faktor seperti hiperlipidemia, peninggian tekanan darah, disfungsi hormonal atau yang lainnya dapat menyebabkan trauma pada endotel. Jaringan ikat subendotelial setempat akan terlibat dengan trombosit dan elemen lain dalam sirkulasi dan membentuk mirkrotrombi. Trombosit akan melepaskan isi granulanya. Sel-sel otot polos arteri berm igrasi dari tunika media ke tunika intima, kemudian berproliferasi dan menghasilkan banyak matriks jaringan ikat sekitarnya. Perbaikan permukaan endotel akan terjadi dan lesi akan mengalami regresi apabila sumber trauma endoteldihilangkan. Bagaimanapun juga apabila trauma tersebut berlangsung terus atau berulang-ulang, maka proliferasi sel-sel otot polos dan akumulasi lemak pada jaringan ikat akan berlangsung terus dan akhirnya menghasilkan lesi aterosklerotik. Jadi terdapat keseimbangan antara trauma dan proses penyembuhan endotel. Faktor-faktor risiko dapat mempengaruhi keseimbangan tersebut dengan akibat terbentuknya lesi aterosklerotik, 3) Teori monoclonal Diduga tiap lesi aterosklerosis berasal dari satu sel otot polos tunggal yang berfungsi sebagai sumber proliferasi sel-sel lainnya. Lesi aterosklerotik dapat dianggap sebagai suatu neoplasma jinak yang berasal dari satu sel yang sudah mengalami transformasi dan dapat diregulasi oleh faktor-faktor lain. 4) Teori clonal senescence Teori ini berdasarkan adanya hubungan antara pertam-

bahan umur dengan berkurangnya aktivitas replikatif sel-sel pada bialcan. Fungsi paradoksal dari aktivitas sel stem yang berkurang pada tunika media arteri diduga mendasari mekanisme kejadian aterosklerosis. Tunika intima dan media mengandung sel stem dalam jumlah yang relatif kecil. Sel stem tersebut bereplikasi membentuk sel-sel otot polos yang kemudian mengsekresi chalones. Chalones tersebut menghambat replikasi lebih lanjut sel stem. Dengan bertambahnya umur maka konsentrasi chalones dalam tunika intima berkurang. Hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya fungsi replikasi sel-sel otot polos tunika media dan berkurangnya difusi chalones ke dalam tunika intima. Dengan berkurangnya chalones maka tidak terjadi hambatan replikasi sel-sel otot polos. Akibatnya terjadi akumulasi sel otot polos pada plak aterosklerotik. Sel-sel stem endotel juga dapat terlibat dengan cam yang sama. Hilangnya aktivitas sel-sel ini mungkin mempengaruhi permukaan endotel dan menimbulkan sekuele. Teori-teori tersebut di atas dalam menerangkan patogenesis aterosklerosis sering kali dikombinasi, misalnya kombinasi teori infiltrasi lemak dan teori trauma endotel. Peneliti lain mencoba menerangkan lebih terinci mengenai peranan endotel, otot polos, makrofag atau sel-sel monosit dan cara kerjanya sehingga terbentuk plak aterosklerotik. Akhir-akhir ini diduga monosit berperan sebagai pemula lesi aterosklerotik. Apabila pada binatang percobaan diberi makanan kaya lemak, kaya kolesterol, ternyata terjadi pengelompokan monosit pada endotel, yang kemudian bermigrasi ke subendotel, menimbun lemak dan berubah menjadi sel-sel busa. Perubahan-perubahan ini merupakan tahap awal fatty streak pada binatang percobaan yang serupa dengan fatty streak pada manusia. Fatty streak tersebut akan membesar karena adanya penimbunan lemak dan sel-sel otot polos yang bermigrasi dari tunika media ke tunika intima. Diduga bahwa pengelompokan monosit pada endotel tersebut di atas adalah akibat perubahanperubahan pada monosit, sel-sel endotel atau sel-sel otot polos yang di bawahnya. Setelah beberapa bulan endotel mengadakan retraksi path fatty streak terutama pada percabangan pembuluh darah dengan akibat makrofag dan jaringan ikat terbuka terhadap sirkulasi. Cara ini akan memberikan kesempatan trombosit untuk melekat, beragregasi dan melepaskan lisis granulanya. Proses migrasi dan proliferasi sel-sel otot polos berlangsung melalui rangsangan PDGF (platelet derived growth factor). Faktor-faktor seperti PDGF juga dapat diproduksi oleh endotel, makrofag dan sel-sel otot polos sendiri("). RINGKASAN Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan arteri koronaria. Perubahanperubahan patologik yang menjurus ke arah aterosklerosis dimulai sejak masa bayi dan berkembang pada masa anak. Faktorfaktor risiko utama yang dapat menyebabkan aterosklerosis antara lain hiperlipidemia, hipertensi dan merokok sigaret. Aterosklerosis ditandai dengan adanya penebalan tunika intima. Pada pemeriksaan postmortem, lesi makroskopik yang paling awal ditemukan adalah fatty streak yang merupakan penimbunan

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 45

lemak terutama kolesterol baik ekstraseluler pada tunika intima maupun intraseluler dalam sel-sel bus& Fatty streak ini kemudian berkembang menjadi plak ateromatous yang dapat menyempitkan arteri koronaria. Hipotesisutamayangdikemukakan sebagai patogenesis aterosklerosis adalah teori infiltcasi lemak dan trauma endotel.

5. 6. 7. 8. 9.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

Pelupessy JMCh. Profile of some coronary risk factors in Ujung Pandang schoolchildren. Ujung Pandang, Indonesia : Hasanuddin University, 1988 : 3.6. Dissertation. Sokolow M, Mcllrcy MB. Overview of coronary heart disease. Clinical Cardiology, 4th ed. Los Altos : Lange Med. Publ. 1986: 132-41. Hirvonen J,Yla Herttuala S, Laaksonen H, et al. Coronary intimal thickenings and lipids in Finnish children who died violently. Acts PediatrScand. 1985; 318: 221-4. Neufeld HN, Blieden LC. Coronary artery disease in children. Postgrad Med J. 1978; 54 : 163-9.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

10. 11. 12. 13. 14.

Kannel WB, Dawber Th R. Atherosclerosis as a pediatric problem. J. Pediatr. 1972; 80 : 544-54. Blumenthal S, Jesse MI, Hennekens CH, et al Risk factor for coronary artery disease in children of affected families.J. Pediatr. 1975; 87:1187-91. Cunningham MI, Pasternak RC. The potential role of viruses in the pathogenesis of atherosclerosis. Circulation 1988; 77 : 964-6. Keith JD. Atherosclerosis in childhood. In : McMillan (ed). Heart disease in infancy and childhood, 3rd ed. New York : McMillan Publ. Co, 1978 : 1024-9. Shigenaga H, Joshii 0, Togoe T et. al. Serum lipid and lipoproteins concentrations in obese children as atherogenic risk factors. Acta Paediatr J. 1986; 28 : 38-45. Woolf N. The pathology of atherosclerosis with particular reference to the effects of hyperlipidemia. Eur. Heart J, 1987; 8 (suppl. E) : 4-12. Van Stiphout WAHJ : Serum lipids in the young. An epidemiological view of early atherogenesis. Rotterdam : Erasmus University, 1986 : 58-64. Dissertation. Peter M. Atherosclerosis and the pediatrics. Military Med, 1976 : 771-6. Lee J, Lawer RM. Pediatric aspects of atherosclerosis and hypertension. Pediatr Clin North Am. 1978; 25 : 909-29. Loyd JK,WolffOM.A pediatric approach to the prevention of atherosclerosis. J Atherosclerosis, Res. 1969; 10 : 135-8.

Aspek Psikologi Pasca Serangan Jantung Ratna Dewl S, Iwan N Boestan Laboratorium/UPF Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN Prevalensi yang tinggi dan kegawatan yang ditimbulkan oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi topik yang selalu dibicarakan, namun masalah rehabilitasi penderita pasca serangan jantung masih belum mendapatkan perhatian seperti yang diharapkan(1). Tujuan rehabilitasi jantung adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mengupayakan penderita pada tingkat optimal secara fisiologis, psikologis, emosional, vokasional dan kondisi sosioekonomi(1,2,3). Gangguan psikologis dapat membatasi upaya rehabilitasi tersebut. Kecemasan, depresi, reaksi penolakan (denial) dan ketergantungan merupakan masalah psikologis yang biasanya ditemukan(3,4,5). Penderita yang mengalami episode serangan jantung akan sering dihadapkan pada kemungkinan terjadinya perubahan pola kehidupan sehari-hari dan kondisi ini sangat dipengaruhi oleh berat serta kompleksitas penyakitnya. Hal ini dapat diketahui dengan mengenal perubahan aktifitas kerja, seksual, hubungan suami-isteri dan keluarga, serta kehidupan bermasyarakat dari penderita(6). Faktor kecemasan dan depresi akan mempengaruhi atau memperberat perubahan-perubahan yang terjadi tersebut. Kondisi seperti ini cenderung menjadi masalah psikologis yang menetap apabila tidak dilakukan antisipasi dini dan tepat(1,3). Jadi jelaslah bahwa pertimbangan psikososial sangat menentukan kualitas hidup para penderita pasca serangan jantung. Dengan mempelajari serta mengenal perubahan psikologis yang timbul pada berbagai fase penyakit ini akan memudahkan kita untuk mencapai tujuan rehabilitasi yang optimal(2,7). Berikut akan dibahas aspek psikologik pasca serangan jantung pada setiap fase dan rehabilitasinya. HUBUNGAN ASPEK PSIKOLOGIS DAN FASE PJK Secara skematis PJK dapat dibagi dalam 6 fase (tabel 1) :

Tabel 1.

Psychological Considerations

The phases of coronary heart disease and their psychological and physiologic concomitants: I, Pre-illness. 2, Acute illness-before medical contact. 3, Acute illness-initiating medical contact .4 ,Acute illness-Coronary Care Una. 5,Acute illness-hospital convalescence. 6, Past-hospital convalescence.

Fase "pre illness" (fase sebelum terdapat gejala yang khas atau belum ada bukti subjektif penyakit). Pada fase ini dicari faktor pre.disposisi PJK misalnya pola perilaku serta faktor risiko PJK lainnya('s). Reissei engusulkan supaya faktor-faktor tersebut (faktor non psikologis) diteliti secara longitudinal, kemudian dibandingkan dan dikaitkan

1.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 47

dengan faktor risiko psikologis seperti pola perilaku tipe A, untuk memperjelas hubungannya dengan terjadinya PJK(1). Dari hasil penelitian klinis dapat disimpulkan bahwa pemberian nasihat/saran dari seorang yang ahli (psikolog) dan latihan fisik secara teratur dapat mempengaruhi pola perilaku penderita tersebut dan selanjutnya terbukti pula mempengaruhi angka kesakitan dan kematian dari penderita pasca serangan jantung(3,9,10,11). Jadi pada dasamya pencegahan fase pre illness dapat dicapai dengan meminimalkan faktor predisposisi tersebut. Fase "acute illness" (sebelum mendapatkan pertolongan medis). Penyuluhan kesehatan yang baik akan mampu memberikan bekal pada seseorang untuk bereaksi positif apabila terkena serangan jantung. Hackett menyatakan bahwa penderita yang tidak mampu bereaksi sewaktu mengalami serangan jantung, mempunyai kaitan yang erat dengan mekanisme psikologis dari penderita itu sendiri. Tetapi adanya kaitan ini disanggah oleh Green yang berpendapat bahwa pada dasarnya penderita-penderita ini biasanya cukup waspada terhadap gejala kardiak oleh karena menyangkut ancaman terhadap kehidupannya(3,7). Reisser mempunyai kesan bahwa reaksi seseorang akan sangat mempengaruhi eksaserbasi penyakit ini. Reaksi ketegangan dari seorang penderita sewaktu mengalami serangan jantung, dapat menyebabkan perubahan EKG serta penurunan status fungsional tenaga cadangan jantungnya sendiri (cardiac reserve). Sedangkan Brod menyatakan adanya ketegangan mental akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, cardiac output, aliran darah otot dan vasokonstriksi splanchnic. Dengan mengetahui dan mengenal perubahan-perubahan yang akan terjadi, seseorang penderita akan bereaksi secara optimal dan positif sehingga tingkat ketegangan ini akan berkurang sementara menunggu pertolongan medis yang diharapkan. Pada fase ini diperlukan penelitian tidak hanya untuk mengetahui bagaimana cara terbaik mendidik penderita tetapi bagaimana cara terbaik menetapkan sistem perawatan yang mencakup bidang medis dan psikologis(7,11). 2.

Fase "acute illness" (kontak medis awal). Kontak medis awal biasanya dimulai dengan suatu tindakan manipulasi farmakologis terutama ditujukan untuk mengatasi pengaruh otonom, kardiovaskular yang ditimbulkan sebagai akibat reaksi kecemasan penderita pada serangan jantung tersebut. Manipulasi farmakologis ini secara tidak langsung juga akan mempengaruhi aspek psikologis serta lingkungan penderita. Kesemuanya ini dilakukan setelah diagnosis infark miokard ditcgakkan di ICCU(7,11). 3.

Fase "acute illness" (di unit perawatan intensif). Reaksi seseorang terhadap penyakitnya dapat memberikan kesan tertentu yang terutama ditampilkan dalam raut wajahnya. Hal ini diteliti oleh Stein dan hasilnya menunjukkan adanya peningkatan morbiditas padapenderita yang bermuka muram di ICCU. Penelitian dari Hackett dan Cassen menunjukkan bahwa 4.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

angka mortalitas ternyata menurun secara bermakna pada penderita yang juga ditangani oleh psikiater. Pada kelompok penderita dengan reaksi denial, malah mempunyai nilai yang positif, karena penderita dapat meniadakan afek yang secara umum timbul dalam kondisi ini; ini merupakan mekanisme yang bermanfaat untuk penyesuaian diri di ICCU. Hal ini terbukti dari hasil penelitian di mana morbiditasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok penderita yang non denial(8). Perlu diketahui bahwa kurangnya pemahaman terhadap proses yang terjadi akan memberikan beraneka ragam reaksi psikologis yang mungkin dapat menetap. Tingkah laku aneh dapat timbul karena kekhawatiran yang berlebihan mengenai ketergantungan hidup, kerusakan tubuh, kehilangan identitas seksual, atau merasa penyakit yang diidapnya merupakan hukuman akibat kesalahannya di waktu lampau(7). Karena PJK sering terjadi secara tiba-tiba, penderita tampak bingung, panik dan kaku. Setelah serangan dapat timbul berbagai reaksi tingkah laku, terutama kecemasan, depresi dan perubahan karakter, yang akhirnya menambah ketegangan pada jantungnya(4). Jadi jelaslah di sini diperlukan suatu penyuluhan yang cepat dan tepat untuk mencegah kejadian-kejadian seperti di atas. Pada dasarnya penderita-penderita yang mengalami serangan jantung akan mengalami ketegangan-ketegangan psikologis yang dapat dibagi menjadi 7 kelompok yaitu(7) : a) Gangguan integritas dasan dari kepribadian. b) Ketakutan akan orang baru (bagi mereka yang telah berkeluarga). c) Ketakutan untuk ditinggalkan atau meninggalkan. d) Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang dicintai atau peranannya dalam keluarga. e) Ketakutan atas berkurangnya kemampuan kontrol dari fungsi tubuh. f) Khawatir kehilangan atau luka pada bahagian tubuh. g) Adanya rasa malu dan bersalah, dan mungkin disertai dengan kekhawatiran sebagai akibat kesalahan masa lalu. Intervensi psikologis selama fase ini mempunyai tujuan dasar untuk mencegah timbulnya gejala atau mengurangi intensitasnya. Pada hakekatnya, keadaan ini dapat diselesaikan dengan dua pendekatan : – psikofarmakologi, merupakan mekanisme pendekatan yang cepat dan efisien. – psikologis, merupakan mekanisme pendēkatan yang lambat, ditujukan untuk mengurangi gejala dengan menghilangkan sumbernya dan secara bersamaan meningkatkan kemampuan penderita dalam menanggulanginya. Fase "acute illness" (pemulihan di rumah sakit). Pada stadium ini intervensi psikologis ditujukan untuk mengatasi kekhawatiran penderita yang akan kembali ke rumah dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri dan selanjutnya sebagai persiapan diri untuk bekerja seperti semula(7,8). Dalam hal ini, dokter berkewajiban menelusuri kecemasan penderita sebelumnya agar mudah kembali ke Iingkungan keluanga, pekerjaan, kehidupan sosial. Konsultasi psikologis sangat berperan terutama dalam menyiapkan penderita agar 5.

mampu mengatasi setiap pengaruh psikologis yang mungkin timbul. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan "uji kenyataan" secara berkala sehingga kesalahpahaman penderita dapat dihindari dan memberikan petunjuk/pendidikan dalam memecahkan setiap masalah psikologis yang mungkin terjadi(7,12). Fase Pemulihan Pada fase ini, intervensi psikologis dilakukan dengan pencegahan menurut konsep Strain dan Grossman(7) yaitu : a) Membantu penderita menyesuaikan diri dengan keadaan fisiologis dan psikologisnya. b) Mencegah timbulnya gangguan fungsi psikologis dengan menangani hambatan-hambatan yang terdapat di sekitar pekerjaan dan sex, dan juga gejala psikologis pasca serangan jantung seperti depresi dan kecemasan somatik. c) Mencegah kekambuhan dengan mengurangi ketegangan. Latihan relaksasi dan pengendalian stres ternyata mampu memperbaiki keadaan psikis dan penyakit penderita(2.13.14). Cay menyimpulkan metode pengobatan dengan cara(2,7) : – Menjelaskan riwayat penyakit dan kelanjutannya pada penderita. − Pengobatan yang rasionil. − Memberi ketenteraman hati dan dorongan semangat. − Membantu memecahkan masalah yang konkrit. − Memberi petunjuk yang tidak bersifat perintah. − Secara bertahap meningkatkan latihan fisik. Hal ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Pembahasan per kelompok memungkinkan pertukaran informasi mengenai perasaan dan cara pemecahannya serta memperoleh dukungan sosial. Juga perlu penyuluhan terhadap keluarga, untuk memberikan informasi tentang penyakit koroner dan penatalaksanaannya, yang memungkinkan penderita dan keluarganya mengambil tanggung jawab untuk perawatan kesehatan di rumah. Dimulai dari fase akut dan diteruskan hingga perawatan di poliklinik, misalnya mengenai cara/gaya hidup selama fase pemulihan dan menjelaskan kerugian pembatasan aktifitas yang berlebihan(2,3,12,13). Untuk mengetahui kelainankardiovaskular akibat perubahan psikologis, dilakukan uji beban mental yang terdiri dari(16): − Problem-solving tasks − Information-processing tasks − Psychomotor tasks − Affective conditions − Aversive or painful conditions. Setelah dilakukan uji beban psikofisiologis pada beberapa penderita pasca serangan jantung, ternyata ditemukan kelainan EKG berupa iskemi atau aritmi pada mereka yang mempunyai derajat gangguan psikologis yang lebih rendah(17).

bekerja pada 6 bulan pertama, lebih kecil kemungkinan untuk mampu bekerja seperti semula. Hal kembali bekerja dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya(6,18) : 1. Usia. Dari penelitian diperoleh data : − usia kurang dari 45 tahun, 100% dapat kembali bekerja − usia 45 - 60 tahun, 88% dapat kembali bekerja − usia 60 - 65 tahun, 85% dapat kembali bekerja − usia di atas 65 tahun, 67% dapat kembali bekerja. 2. Beratnya penyakit. Weinblatt dkk mendapatkan : − penyakit yang berat : ∗ 10% kembali bekerja pada akhir 3 bulan pertama. ∗ 54% kembali bekerja pada akhir tahun pertama. – penyakit yang ringan : ∗ 30% kembali bekerja pada akhir 3 bulan pertama. ∗ 86% kembali bekerja padaakhir tahun pertama. 3. Aktifitas fisik sebelum sakit. Penderita yang sebelumnya aktif berolahraga kemungkinan akan kembali dapat bekerja 3 kali lebih besar dari penderita yang tidak aktif pada akhir 3 bulan pertama, 2 kali lebih besar pada akhir tahun pertama. 4. Emosi. 5. Penyakit fisik yang menyertai. 6. Keuangan. 7. Dorongan semangat dari keluarga dan kenalan. 8. Tingkat pendidikan. 9. Beratnya pekerjaan. Jelaslah di sini bahwa ternyata bukan hanya faktor psikologis saja yang berperan untuk kembali bekerja setelah serangan jantung(3,4,6,8). Diperoleh data bahwa kecemasan dapat juga timbul sebagai akibat dari : − peringatan dokter yang berlebihan mengenai mati mendadak dan kekambuhan penyakit − obat-obatan yang diberikan Kedua hal tersebut menyebabkan kegagalan untuk kembali bekerja pada ± 3 – 12% penderita. Sedang keadaan depresi dapat timbul karena proteksi yang berlebihan dari keluarga. Gejalanya hampir menyerupai kelainan organik, dengan keluhan perasaan lelah, tidak bisa tidur, gangguan daya ingat, sakit kepala dan nyeri dada(3.4). Sejumlah penderita juga gagal kembali bekerja oleh karena pembatasan medik yang tidak beralasan, atau lebih sering lagi karena kurangnya perasaan aman bila kembali bekerja. Dalam halini uji latih beban, di samping memberi penilaian fungsi jantung, lebih tepat juga untuk membantu menghilangkan kecemasan penderita, keluarga, dokter maupun atasan penderita untuk kembali bekerja(3).

KEMBALI BEKERJA Beberapa penelitian terhadap penderita pasca serangan jantung menunjukkan bahwa rata-rata 65% dapat kembali bekerja pada 3 - 4 bulan pertama; 79% pada akhir 6 bulan pertama, dan 81% pada akhir tahun pertama. Mereka yang tidak kembali

FUNGSI SEKSUAL Sebagian besar penderita memulai kembali fungsi seksual dalam jangka pendek setelah serangan jantung. Hellerstain dan Friedman menyatakan aktifitas seksual (jumlah orgasme/ minggu) pada tahun pertama setelah serangan jantung ± 80%

6.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 49

dari sebelumnya(6). Frekuensinya berkurang dibanding dengan pria tanpa PJK pada periode yang sama. Penyebab penurunan fungsi seksualttm : − penurunan nafsu seks (39%) − keengganan suami/isteri karena takut akan kambuhnya penyakit atau kematian (25%) − depresi patologis (21%) − penderita takut akan kambuhnya penyakit atau kematian (18%) − gejala kardiovaskular yang menyertai aktifitas scksual, seperti nyeri dada atau takikardi (21%) − obat-obatan (antihipertensi, hipnotik, tranquilizer, antidepresan) dapat menyebabkan impotensi, kegagalan ejakulasi, menurunkan libido dan kegagalan ereksi. Penyebab primer penurunan aktifitas seksual adalah perasaan cemas dan depresi pada penderita dan pasangannya(3.6). REKREASI Aktifitas sosial dan rekreasi dipandang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya rehabilitasi jantung juga harus memikirkan pula segi kemasyarakatan yang dibutuhkan penderita(6). MANFAAT PSIKOSOSIAL REHABILITASI JANTUNG Beberapa peneliti melakukan penilaian terhadap pengaruh program psikoterapi pada penderita pasca serangan jantung selama rehabilitasi. Rahe dick melaporkan perubahan tingkah laku, termasuk pantang merokok dapat menyebabkan kurangnya episode angina yang dilaporllan, dan lamanya rawat inap(6). Peneliti lain mencatatbahwa terapi kelompokcenderung mengurangi depresi dan hipokhondriasis (kesedihan). Tujuan utamanya lebih dititikberatkan pada unsur pendidikan daripada psikoterapi. Pertemuan dilakukan secara teratur setiap minggu selama 12 minggu dan dipimpin oleh dokter/ perawat, dengan tujuan pertukaran informasi dan berbagi pengalaman. Aktifitas kelompok yang dibentuk untuk mengubah pola perilaku tipe A juga dapat berhasil dan membantu menurunkan insiden kekambuhan infark miokard(8). Ibrahim dkk meneliti manfaat terapi kelompok pada 118 penderita pasca serangan jantung dalam 18 bulan, hasilnya : − Sebahagian besar penderita patuh dan angka ketaatan dalam mengikuti program 70% − 16% menolak − 15% keluar (drop out). Di samping itu hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mereka yang menerima psikoterapi menjadi bersifat lebih terbuka/sosial dari penderita yang tidak menerima terapi. Green menyatakan program psikoterapi individu akan sangat efektif dalam mengubah status psikologis penderita pada fase rawat akut sebelum upaya rehabilitasi. Dibanding dengan yang tidak memperoleh terapi, penderita yang mendapat psikoterapi setiap hari menunjukkan(6,19) : − lamanya rawat inap lebih singkat (ICCU dan Rumah Sakit) − lebih sedikit mengalami aritmi dan gagal jantung − rasa lemah dan depresi berkurang

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

− pergaulan lebih luas dan rasa cemas berkurang − dapat kembali ke aktifitas normal pada akhir bulan keempat dengan residu yang minimal. KESIMPULAN Telah dijelaskan peranan faktor psikososial pada rehabilitasi jantung, seperti peranan cemas akan kekambuhan dan kematian, penurunan libido dan sebagainya. Masalah psikologis merupakan masalah utama yang terbesar selama proses akut dan rehabilitasi, meskipun pada kenyataannya dapat juga dipengaruhi oleh beberapa keadaan seperti usia, hubungan suamiisteri, obat-obatan, penyakit lain yang menyertai dan sebagainya. Sebagian besar penderita pasca serangan jantung dapat kembali ke aktifitas normal sebelumnya (dalam lingkungan pekerjaan, seks, rekreasi). Faktor psikologis (misalnya depresi, kecemasan) dapat menghambat proses rehabilitasi pasca serangan jantung. Diperlukan intervensi yang dini, tepat dan berkesinambungan balk pada fase akut dan rehabilitasi. Ternyata perbaikan psikologis merupakan salah satu aspek utama program rehabilitasi yang sering dilupakan.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

3. 4. 5. 6.

7. 8.

9. 10. 11. 12. 13.

McLane M, Krop H, Mehra J. Psychosexual adjustment and counseling after myocardial infarction. Ann Intern Med. 1980; 92: 514. Oberman A. Rehabilitation of patients with coronary artery disease. In: Heart Disease, a textbook of cardiovascular medicine. Braunwald E. Ed. 3rd ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB Saunders Co. 1988, p. 1401. Wenger NK, Fletcher GF. Rehabilitation of the patients with atherosclerotic coronary heart disease. In: The Heart Arteries and Veins. Eds: Hurst JW et al., 7th ed. Intemat Ed McGraw Hill. 1990, p. 1103. Schleifer Si et al. The nature and course of depression following myocardial infarction. Arch Intern Med. 1989; 149: 1785. Wishnie HA, Hackett TP, Cassem NH. Psychological hazards of convalescence following myocardial infarction. JAMA 1971; 251(8): 1292. Gentry WD. Psychosocial Concerns and Benefits in Cardiac Rehabilitation. In: Heart Disease and Rehabilitation. Eds: Pollock ML, Schmidt DH, Mason DT. 1st ed. Boston: Houghton Mifflin Professional Publishers Medical Division. 1979, p. 690. Strain JJ. Psychological considerations in various phase of coronary heart disease. In: Cardiac Rehabilitation for the Practicing Physician. Eds: Zahman LR, Kattus AA. Stuttgart: Georg Thieme Publishers. 1979, p. 14. Hackett TP, Rosenbaum JF, Tesar GE. Emotion, psychiatric disorders, and the heart. In: Heart Disease, a textbook of cardiovascular medicine. Braunwald E. (Ed) 3rd ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB Saunders Co. 1988, p. 1883. Fricchione GL, Vlay SC. Psychiatric aspects of patients with malignant ventricular arrhythmias. Am J Psychiatr 1986; 143(12): 1515. Friedman M. et al. Alteration of type A behavior and reduction in cardiac recurrences in postmyocardial infarction patients. Am Heart J 1984; 108(2): 237. Suwono HT. Profil psikologik dan penyakit jantung koroner. Perpustakaan IImu Kedokteran Jiwa, 1989. Sala L et at. Health education after myocardial infarction. Hospimedica 1991; 9(4): 36. Benson H. The Relaxation Response and Behavior Modification for Heart Patients. In: Cardiac Rehabilitation for the Practicing Physician. Eds:

Zahman LR, Kattus AA. Stuttgart: Georg Thieme Publ. 1979, p. 95. 14. Omish D et al. Effects of stress management training and dietary changes in treating ischemic heart disease. JAMA 1983; 249(1): 54. 15. Rahe RH et al. Recent life changes, myocardial infarction, and abrupt coronary death. Arch Intern Med. 1974; 133: 221. 16. Steptoe A, Vogele C. Methodology of mental stress testing in cardiovascular research. Circulation 1991; 83 (suppl II): 14. 17. Zotti AM et al. Psychophysiological stress testing in postinfarction pa-

tients. Circulation 1991; 83 (suppl II): 25. 18. Rubennan W, Weinblatt E, Goldberg JD, Chaudhary BS. Psychosocial influences on mortality after myocardial infarction. N Engl J Med 1984; 30: 552. 19. Wenger NK, Hellerstein HK, Blackburn H, Castranova SJ. Physician practice in the management of patients with uncomplicated myocardial infarction: Changes in the past decade. Circulation 1982; 65(3): 421.

Manula dan Olahraga Ditinjau dari Sistem Kardiovaskular Nadi Hartono, Iwan N. Boestan Laboratorium/UPF Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlanggal RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN Dengan semakin baiknya fasilitas kehidupan termasuk kesehatan, usia manusia cenderung lebih panjang. Jumlah penduduk usia lanjut (manula) saat ini demikian besar dibanding dengan dekade tahun 1950 – 1960. Meskipun demikian kriteria manula berbeda-beda antara negara satu dengan yang lain dan antara negara berkembang dengan negara maju. Di Indonesia umur 55 tahun sudah dianggap tua sehingga dimasukkan pada usia pensiun. Sedangkan di beberapa negara maju, usia pensiun berlaku pada umur 80 tahun. WHO akhirnya menentukan bahwa umur 60 tahun merupakan batas seseorang dimasukkan dalam kelompok manula(1,.2). Semakin banyaknya jumlah manula, selain manfaatnya ternyata juga mempunyai beberapa dampak yang kurang tnenggembirakan. Bagi mereka sendiri, usia lanjut menimbulkan beberapa beban psikologis, yang disebabkan perbedaan kondisi sosial dan budaya dengan masyarakat sekitarnya(3). Selain itu di bidang kesehatan di Amerika, yang menjadi masalah adalah tingginya insiden penyakit, meningkatnya prevalensi penyakit kronik dan menurunnya kemampuan fungsional. Di antara 10 penyakit kronik yang terbanyak ialah penyakit kardiovaskular, berupa darah tinggi pada 59% manula dan penyakit jantung yang lain 25,7%(4). Kemudian WHO (1989) juga melaporkan bahwa penyebab kematian terbesar pada usia 65–74 tahun adalah penyakit kardiovaskular yaitu 50%; seperempatnya oleh karena penyakit jantung koroner (PJK). Mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular tersebut, sudah sepatutnya dilakukan usaha promotif dan preventif untuk menanggulanginya. Salah satu usaha promotif yang dianjurkan adalah membentuk kelompok olah raga khusus bagi orang tua. Peranan olahraga dalam pencegahan penyakit jantung sudah diakui oleh masyarakat karena itu perlu dipikirkan bentuk latihan yang tepat bagi

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

para manula tersebut(s.o. DEMOGRAFI Masalah manula semakin menarik perhatian para pakar kependudukan karena jumlahnya demikian cepat membengkak. Pada tahun 2000 nanti diperkirakan akan berjumlah 600 juta orang dengan distribusi 2/3 di antaranya hidup di negaraberkembang. Indonesia, Brazil, Cina dan India disebut sebagai negara berkembang yang akan mempunyai jumlah terbesar manula. Di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan 7,4% penduduk berusia di atas 60 tahun, yang jumlahnya sekitar 20 juta jiwa (WHO, Expert Committe, 1989, BPS, 1982)(2). Sedangkan di India dan Cina, jumlah manula pada tahun 2020 akan mencapai 270 juta lebih. Di bawah ini disajikan proyeksi jumlah manula di beberapa benua (Fig. 1).

PERUBAHAN PADA SISTEM KARDIOVASKULAR Perubahan akibat bertambahnya usia pada jantung dan pembuluh darah sulit dipisahkan dengan perubahan akibat proses patologis karena begitu banyak penyakit yang timbul selaras dengan meningkatnya usia. Di tingkat molekul, yang penting adalah perubahan yang berhubungan dengan jaringan kolagen. Jaringan ini merupakan 3,5% dari bcrat jantung pada orang normal dan merupakan komponen terbesar dari jaringan katup, endokardium, epikardium dan juga bcrada di scla-sela sel miokard. Perubahan yang terjadi lebih bersifat kualitatif dibanding kuantitatif. Jaringan kolagen menjadi lebih insoluble, lebih stabil secara kimia dan kaku; akibatnya kemampuan kontraksi dan distensi jantung akan menurun. Perubahan yang sama juga terjadi pada organ tubuh yang lain sesuai dengan peningkatan usia. Beberapa penelitian mclaporkan adanya

Fig. 1. Population aged 60 years and over, by major world regions, 1960–2020*

Source: United Nations Population Division * Reproduced from: WHO, World health statistics annual, 1987. Geneva, World Health Organization, 1987.

perubahan enzim, akan tetapi masih belum ada kesepakatan mengenai fungsinya. Dilaporkan bahwa perubahan terjadi pada organel di dalam sel. Perubahan spesifik yang lain mengenai lipofusin yang mengendap bagaikan kumpulan granula di dekat nucleus pole. Asal lipofusin ini masih belum jelas, beberapa teori menyatakan lipofusin bertambah selaras dengan bertambahnya umur, yaitu 0,03% dari volume jantung per tahun. Yang penting bahan ini tak mempengaruhi fungsi miokardium. Pengendapan bahan amiloid sering terjadi pada jantung yang menua, yaitu pada 92% manula. Endapan ini diduga lebih banyak disebabkan oleh proses patologis daripada proses menua. Gambaran patchy fibrosis sering ditemukan pada miokardium yang bila luasnya lebih dari 2 cm merupakan akibat dari penyumbatan pembuluh darah koroner. Bila kurang dari 2 cm, jarang karena penyakit jantung koroner dan lebih sering disebabkan oleh miokarditis. Perubahan pada katup jantung berupa penurunan jumlah nukleus, akumulasi lemak, degenerasi kolagen dan kalsifikasi. Bentukan ini disebut fibrous stroma yang akan mengganggu gerakan katup dan terjadi lebih sering pada katup aorta. Keadaan ini terjadi pada salah satu katup dari 1/3 individu yang berumur 70 tahun dan menyebabkan gangguan hemodinamik. Arteria koronaria mengalami atherosklerosis pada hampir semua manula. Pada laporan otopsi didapatkan atherosklerosis

pada sebagian besar manula, walaupun penyebab kematiannya bukan penyakit jantung koroner. Perubahan di alas juga mengenai pembuluh darah perifer termasuk di antaranya aorta. Dinding pembuluh darah menjādi tebal dan kaku, sehingga untuk peningkatan volume tertentu terjadi peningkatan tekanan yang lebih tinggi daripada orang yang muda. Sistem konduksi jantung jugamengalami perubahan berupa pengurangan jumlah sel pace maker pada simpul atrium. Pada umur pertengahan proses di atas sudah dimulai dan pada umur 60 tahun berjalan lebih progresif sehingga pada umur 75 tahun sel yang aktif tinggal 10%. Simpul AV dan common bundle of His tidak mengalami perubahan, tapi sejak percabangan terjadi proses fibrosis sehingga beberapa sarjana menghubungkan dengan terjadinya blok konduksi. Perubahan pada sistim saraf otonom berupa penurunan sensitivitas baroreseptor yang berada pada aorta dan sinus karotikus. Penurunan tersebut akibat berkurangnya elastisitas dan deformasi dinding pembuluh darah. Selain itu sensitivitas reseptor beta terhadap obat-obatan baik yang agonis ataupun antagonis menurun. Seluruh perubahan di atas akhirnya berpengaruh juga pada fungsi jantung. Penurunan fungsi jantung pada manula selain disebabkan oleh proses menua biasanya juga dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga sulit dibedakan. Pada usia 70 tahun, curah jantung menurun 25% dibanding waktu usia 20 tahun. Perubahan ini disebabkan menurunnya frekuensi denyut jantung dan penurunan isi sekuncup. Tetapi Rodekiffer (1989), menyangkal adanya penurunan isi sekuncup dan curet jantung. Beliau membuktikan bahwa ternyata isi sekuncup justru meningkat untuk mengimbangi penurunan denyut jantung. Walaupun demikian harus diakui bahwa respon kardiovaskular manula pada latihan fisik tidak sebaik orang muda. Secara garis besar, perubahan fungsi jantung dipengaruhi 4 faktor yaitu : a) Penurunan sensitifitas reaksi simpatis akan mempengaruhi reaksi jantung terhadap latihan. b) Peningkatan impedance pembuluh darah akibat berkurangnya jaringan elastis akan meningkatkan beban jantung dan kebutuhan oksigen. c) Siklus jantung yang memanjang, terutama waktu relaksasi (26-35%), akan merugikan karena pada waktu latihan justru waktu diastolik menjadi lebih pendek. Akibatnya fase pengisian akan terganggu dan mengganggu peningkatan curah jantung. d) Peningkatan jaringan kolagen, akan meningkatkan compliance jantung yang mengakibatkan tingginya tekanan akhir diastolik. PENGARUH OLAH RAGA(1,7,8) Pada prinsipnya olah raga diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fungsional individu dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung yang diperlukan pada tingkatan latihan fisik, baik pada orang sehat maupun orang sakit(8,9). Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistim kardiovaskular, yaitu

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 53

peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif(10,11). Peningkatan curah jantung dilakukan dengan meningkatkan isi sekuncup dan denyut jantung. Pada manula, seperti telah dijelaskan, mempunyai keterbatasan pada kedua usaha tersebut. Karena itu pada latihan fisik dengan beban tertentu akan terjadi hambatan dalam meningkatkan curah jantung. Mekanisme redistribusi juga mengalami hambatan karena sistim saraf otonom yang kurang sensitif, sehingga pada beban tertentu atau pada permulaan latihan akan terjadi gangguan pengaturan tekanan darah. Gangguan juga bisa disebabkan karena elastisitas dinding pembuluh darah yang menurun. Kelemahan tersebut menurut Weisfeld masih mungkin bisa diatasi pada manula normal kecuali memang ada penyakit lain. Tetapi pada umumnya akibat proses menua tadi kapasitas maksimal oxygen uptake memang menurun. Menurut penelitian pada umur 65 s/d 75 tahun masih bisa mencapai 5-7 mets, sedang pada 75 tahun ke atas hanya 2-4 mets. Keadaan ini tidak berlaku pada seorang atlit yang tetap mempertahankan kondisinya sehingga kapasitasnya masih sekitar 10 mets pada umur 75 tahun. Pada manula sedentary (tidak latihan), kapasitas fungsional masih bisa ditingkatkan dengan latihan fisik yang teratur(4,8,18). Disimpulkan juga bahwa olahraga teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan rasa percaya diri(4,9,17,18).

PERSIAPAN OLAH RAGA Tujuan dari olahraga pada manula adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, mempertinggi kapasitas kerja, rekreasi dan menghambat penurunan kemampuan fungsional. Kemunduran biologis dari proses menua sangat dipengaruhi oleh kurangnya aktifitas fisik. Meskipun begitu, untuk memulai suatu program latihan hendaknya dilakukan persiapan yang teliti, antara lain mengenai lingkungan dan fasilitasnya, keamanannya, apakah cukup efektif dan apakah tidak akan memicu timbulnya penyakit-penyakit baru atau lama. Evaluasi terhadap penderita harus teliti menyangkut, diet sebelumnya, obat-obatan yang digunakan kemampuan organ muskuloskeletal, fungsi sensoris dan status kardiovaskular. Diet yang sempurna diperlukan untuk antisipasi diperlukannya kalori yang tinggi waktu latihan kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan tulang. Adanya neuropati perifer dan gangguan sensoris, gait, gangguan keseimbangan, hipotensi ortostatis dan kelainan muskuloskeletal memudahkan terjadinya kecelakaan, karena itu diperlukan modifikasi lingkungan agar aman bagi penderita. Beberapa macam obat, akan mempengaruhi kemampuan fisik penderita, misalnya beta bloker dan obat penenang. Diuretika akan menyebabkan hipokalemi yang memudahkan terjadinya aritmi jantung dan dehidrasi. Preparat antidiabetik akan memudahkan terjadinya hipoglikemi, sehingga harus diatur kembali dosisnya.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Untuk menentukan status kardiovaskular, harus dilakukan uji latih beban jantung dengan treadmill atau ergocycle. Ergocycle digunakan untuk penderita dengan gangguan keseimbangan. Sebelum tes dilakukan sebaiknya dilakukan pengenalan alat dan pemanasan sehingga hasilnya lebih optimal. Treadmill memakai protokol dengan kecepatan rendah (1.7 - 3.5 mph) dan penambahan beban dilakukan dengan meningkatkan grade(8,12,13).

PENATALAKSANAAN LATIHAN OLAHRAGA Pemilihan jenis olah raga sangat penting bagi manula. Sebaiknya dipilih olah raga yang sesuai kemampuan masingmasing individu, aman, berkesinambungan dan ada nilai rekreasinya.• Target latihan juga harus jelas, terutama yang menyangkut kapasitas fungsional dan fungsi psikososial(5,8,9). Pada umumnya dikenal 2 macam jenis latihan fisik yaitu : a) Latihan Isometrik Latihan ini mengutamakan peningkatan tekanan otot dibanding dengan gerakan, seperti halnya angkat besi. Latihan jenis ini tidak bermanfaat untuk sistem kardiovaskular, tapi diperlukan untuk memperkuat otot-otot. b) Latihan Isotonik Mengutamakan gerakan aktif dari sendi dan otot-otot dengan hanya sedikit meningkatkan tekanan. Latihan sangat bermanfaat bagi sistem kardiovaskular, karena akan meningkatkan curah jantung(14). Dengan demikian, olahraga yang baik adalah yang menggunakan banyak otot besar dan bersifat ritmik. Sebagai contohnya yaitu walking, jogging, dancing dan berenang. Penggunaan otot besar lebih baik karena tekanan darah tidak meningkat setinggi penggunaan otot-otot kecil(5,8). Olah raga dalam kelompok biasanya berguna untuk kesinambungan latihan dan sosialisasi. Tapi hares tetap diingat bahwa masing-masing individu hams tetap mempunyai program tersendiri, sesuai dengan spesifikasinya(8). Untuk sedentary dosis latihan hams dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Pada permulaan diberikan latihan selama 10 - 20 menit dan baru meningkat menjadi 30 menit bila kondisinya mengijinkan. Sebelum latihan sebenarnya, hendaknya dilakukan pemanasan dan peregangan selama 5 menit dan latihan diakhiri dengan pendinginan untuk beberapa menit. Frekuensi latihan dilakukan minimal 3x/minggu dan interval tidak boleh melebihi 2 hari. Intensitas latihan dapat dipantau dengan menghitung denyut jantung yang tidak boleh melebihi 80-85% denyut jantung maksimal atau kurang lebih 30 kali lebih banyak dari denyut awal latihan. Keadaan lingkungan yang panas dan lembab sebaiknya dihindari karena pada manula fungsi perspirasi sudah tidak sempurna. Bila berenang sebaiknya suhu air berkisar 30°C dan denyut jantung jangan melebihi latihan di darat karena beban jantung lebih berat(5,8,14) Walking dengan kecepatan 3.0 - 3.3 mph, nilai aerobiknya sama dengan jogging dengan risiko trauma ortopedik yang lebih ringan. Bersepeda dan square dancing juga mempunyai nilai yang sama. Hindari bentuk latihan yang bersifat kompetitif karena akan sulit mengendalikan emosi peserta. Beberapa bentuk latihan telah

Jog-walk regimen

5. Trunk twister Figure 2.

1 7 13 19 25 31 37 43 49 55 61 67

6. Toe pointer

Stretching calisthenics for warm-up. (From deVries, H.A.: Prescription of exercise for older men from telemetered exercise heart rate data. Geriatrics 20:102, 1971, with permis sion.)

Days –→ –→ –→ –→ –→ –→ –→ –→ –→ –→ –→ –→

6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66

Run Walk 50 steps 50 steps 50 steps 40 steps 50 steps 30 steps 50 steps 20 steps 50 steps 10 steps 75 steps 10 steps 100 steps 10 steps 125 steps 10 steps 150 steps 10 steps 175 steps 10 steps 200 steps 10 steps Individualized program

Number of 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10 5 –→ 10

Figure 4. Jog-walk regimen (From deVries, H.A.: Tips on prescribing exercise regimen for your older patient. Geriatrics 34:75, 1979, with permission.)

dikemukakan oleh banyak ahli, di sini dilampirkan saw di antaranya yang dikemukakan oleh De Vries tahun 1971(12).

RINGKASAN Dengan semakin baiknya fasilitas kehidupan termasuk kesehatan, jumlah penduduk usia di atas 60 tahun (manula) semakin banyak. Masalah timbul karena angka kesakitan dan kematian pada manula tersebut sangat tinggi, sehingga biaya perawatan kesehatan yang diperlukan juga tinggi, selain masalah sosial budaya yang ada. Penyakit kardiovaskular ternyata merupakan penyebab yang ter6anyak dan sebenarnya masih bisa dicegah. Kegiatan olah raga diharapkan bisa menjadi salah satu altematif. Meskipun telah terjadi banyak kemunduran pada fungsi organ tubuh manula tennasuk sistim kardiovaskular, olah raga masih mungkin mereka lakukan. Olah raga akan memperlambat kemunduran fungsional, bahkan dapat meningkatkannya pada penderita sedentary. Olah raga yang tepat, aman, berkelanjutan dan menyenangkan perlu diprogram dengan teliti sesuai dengan kemampuan perorangan. Pada makalah ini di jelaskan pula contoh olah raga yang tepat pada manula yaitu: walking, jogging, swintming, square dancing dan cycling. KEPUSTAKAAN Figure 3. Stretching calisthenics for warm-up. (From deVries, H.A.: Prescription of exercise for older men from telemetered exercise heart rate data. Geriatrics 26:102, 1971, with permission.)

1.

WHO Expert Committee Report. Introduction, Health and functional status. In: Health of the elderly, Geneva: WHO 1989; p 7.

2.

Wongsokusumo B. Kesejahteraan lanjut usia di Indonesia. Bull Gerontologi & Geriatri 1990; 18: 28. 3. Semiawan CR. Aspek sosial gerontologi. Bull Gerontologi & Geriatri 1990; 14: 3. 4. AMA. Council on Scientific Affairs, White paper on elderly health, Arch Intern Med 1990; 150: 2459. 5. Strasser T. How to prevent cardiovascular disease in old age, In: Cardio vascular Care of the Elderly. Geneva: WHO 1987; p 145. 6. Widiastuti, Setiabudi T. Masalah usia lanjut dan pengelolaannya ditinjau dari segi kesehatan. Bull Gerontologi & Geriatri 1990; 18: 36-40. 7. Bermann ND. Aging and the heart. In: Geriatric Cardiology. Lexington: The Collamore Press 1982; p 11. 8. Fitzgerald PL. Exercise for the elderly. In: Medical aspect of exercise. Med Clin N Am, 1985; 69: 189. 9. Boestan IN, Murtiningsih LM, Ismahun P. Peranan latihan fisik dalam pencegahan penyakit jantung koroner. Simposium Nasional Pencegahan Penyakit Kardiovaskular, Surabaya, 1990. hal 97. 10. Ellestad MH. Cardiovascular and pulmonary responses to exercise. In: Stress Testing, principles and practice, 3rd. Philadelphia: FA Davis Coy. 1986; p 9.

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

11. Fox EL, Mathews OK. Blood flow and gas transport. In: The physiological basis of physical education and athletics. Philadelphia: Saunders College Publishing 1981; p 223. 12. Landin RJ, Linnemeier TJ, Rothbaum DA, Chappelear J, Moble RJ. Exercise testing and training of the elderly patient. In: Exercise and the heart. Wenger NK (ed.). Philadelphia: Davis Coy, 1985; p 201. 13. Johnson PV, Lipritz LA, Kelley M, Koestner J. Hypotensive response to common daily activities in institutionalized elderly, a potential risk for recurrent falls. Arch. Intern Med. 1990; 150: 1518. 14. AMA. Council on Scientific Affairs, Exercise program for the elderly. JAMA 1984; 252: 549. 15. AMA. Council on Scientific Affairs, Societal effects and other factors affecting health care for the elderly. Arch Intern Med 1990; 150: 1184. 16. Pauly J, Palmer JA, Wright JC, Pfeiffer GJ. The effect of a 14-week employee fitness program on selected physiological and psychological parameters, J Occup Med 1982; 24: 457. 17. Stem MJ, Cleary P. The National Exercise and Heart Disease Project: long term psychosocialoutcome. Arch Intern Med 1982; 142: 1093-7. 18. Weisfeldt ML, Lakatta EG, GerstenblithG. Aging and cardiac disease. In: Heart Disease. Philadelphia, 1988; p 1650.

Proses Keputusan Terapi dan Masalah dalam Pemakaian Obat Abraham Simatupang Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Peserta Program S-2 Ilmu Kedokteran Dasar, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

PENDAHULUAN Setelah diagnosis ditegakkan, seorang dokter akan melangkah untuk menentukan terapi yang cocok, bukan hanya untuk diagnosis tersebut namun untuk orang tersebut secara keseluruhan. Terapi merupakan salah satu mats rantai dalam upaya pencegahan atau penyembuhan pasien (pribadi ataupun masyarakat) dari suatu penyakit. Proses pengambilan keputusan terapi adalah suatu urutan langkah yang logis, sistematis dan mengikuti kaidah ilmiah pads umumnya, seperti definisi di bawah ini(1): "The therapeutic decisions of clinical judgment require valid evidence, logical analysis and demonstrable proof' dan "Their scientific quality can be discerned, assessed and improved by the same rational procedures used for any other act of experimental science". (Feinsten, 1967) PROSES KEPUTUSAN TERAPI Beberapa tahapan dalam pengambilan keputusan terapi yang memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus diuraikan secara rinci seperti berikut : 1. Intervensi Farmakoterapi Dalam hal penentuan perlunya terapi farmakologik atau non-farmakologik, minimal ada lima kategori yang perlu diperhatikan(2): − Yang mutlak memerlukan obat, misalnya keadaan-keadaan infeksi bakterial yang serius, hipertensi berat dan sedang, asma, penyakit Parkinson, dan lain-lain. − Yang mungkin memerlukan obat; hal ini lebih sulit karena seringkali terjadi karena kekurang-pastian diagnosis maupun patofisiologinya yang masih belum jelas, misalnya rasa sakit di dada yang timbul berulang-ulang dengan gambaran EKG yang normal, hipertensi ringan, dan lain-lain. − Yang mungkin dapat ditolong dengan bantuan obat atau dengan pendekatan non-farmakologik, misalnya obesitas.

− Yang tidak memerlukan obat, misalnya psikosomatis. − Yang tidak dapat tertolong lagi, misalnya stadium akhir keganasan, koma akibat perdarahan intrakranial yang masif, dan lain-lain. Sebagai patokan pertama dalam penentuan perlunya tindakan intervensi, perlu adanya suatu diagnosis pasti; diagnosis kerja atau sementara yang tidak hanya dilihat sebagai diagnosis per se namun mencakup keadaan pasien secara menyeluruh yang menyangkut faktor patofisiologi dan prognosis yang dinamis dari penyakit tersebut. Misalkan perlu dipertimbangkan secara seksama pemberian rifampisin pada penderita tuberkulosis paru disertai hepatitis kronik persisten. Tidak semua keadaan harus diintervensi secara fannakologik; misalnyapada keadaan psikosomatis atau reaksi konversi intervensi yang lebih diperlukan adalah pendekatan psilcologis daripada farmakologis. 2.

Efek Farmakologik yang Diharapkan Pada langkah ini telah terpikirkan bahwa efek farmakologi obat yang akan diberikan diharapkan dapat mengubah keadaan pasien ke arah yang lebih baik atau kesembuhan. Misalkan pemberian nitrogliserin pada nyeri dada akibat serangan akut angina pektoris diharapkan memberikan efek terapi berdasarkan patofisiologi penyakit dan efek farmakologi obat tersebut yang bersifat melebarkan pembuluh darah koronaria, sedangkan pemberian analgesia narkotik pada stadium akhir keganasan bersifat paliatif-suportif terhadap rasa nyeri yang diderita pasien. 3.

Pemilihan Jenis Obat Obat yang diberikan untuk memenuhi harapan di atas merupakan hasil pilihan yang terbaik berdasarkan faktor-faktor kemanfaatan, keamanan, biaya dan mutu obat. • Manfaat (benefit) : Faktor manfaat menyangkut segi keterandalan atas bukti ilmiah bahwa obat yang diberikan jelas diperlukan untuk ke-

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 57

adaan atau penyakit yang diderita. Pemberian antibiotika pada kasus diare akut pada anak yang biasanya disebabkan oleh virus jelas tidak mempertimbangkan hal ini, bahkan bisa membuat penderita suatu saat menjadi resisten. • Aman (safety) : Sebenarnya setiap obat adalah racun dan tidak ada satu tindakan pengobatan apapun yang tanpa risiko; sehingga perlu dipertimbangkan serta dipilih obat yang mempunyai tingkat keamanan yang tinggi, terutama dalam memilih di antara sekian banyak obat sejenis yang tersedia. Terdapat banyak preparat antiinflamasi golongan non-steroid yang masing-masing mempunyai bates keamanan untuk situasi dan kondisi tertentu dari pasien. Umpamanya, pemberian asam mefenamat relatif lebih aman daripada asam salisilat untuk inflamasi yang disertai tukak lambung. • Biaya (cost) : Untuk kondisi negara berkembang dengan sistim penatalayanan kesehatan masyarakat yang belum balk serta tingkat pendapatan per kapita penduduk yang masih rendah dan sebagian besar biaya pelayanan kesehatan masih ditanggung oleh masyarakat sendiri, maka faktor harga perlu dipikirkan, apalagi untuk penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang seperti diabetes atau epilepsi. Perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tidak benar kalau obat murah adalah obat yang tidak berhasilguna atau sebaliknya bahwa obat yang mahal pasti manjur. • Mute (quality) : Menyangkut soal bioekuivalen dari suatu obat; meskipun mengandung zat berkhasiat sama namun dua atau lebih obat dari buatan pabrik yang berbeda dapat memberikan efek yang berbeda. Hal ini menyangkut perlakuan dan tata-cara proses pembuatan obat tersebut yang tidak selalu sama pada tiap produsen obat. Dengan diberlakukannya peraturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bagi setiap produsen obat maka diharapkan bahwa obat yang dihasilkan dan dipasarkan telah memenuhi kriteria-kriteria yang digariskan dalam CPOB tersebut. 4. Dosis dan Cara Pemberian Setelah memilih jenis obat yang paling tepat untuk diagnosis serta memperhitungkan faktor-faktor di atas, maka hal-hal berikut tidak kalah pentingnya karena mencakup keberadaan dan ketersediaan obat dalam kadar yang adekuat (dalam active site atau sel sasaran) agar memberikan efek farmakologis yang optimal. Hal ini menyangkut beberapa segi yaitu : • Bentuk sediaan : Tersedianya berbagai macam bentuk sediaan obat berhubungan dengan cara pemberian, jalur pemberian, sifat fisiko kimia dan keadaan penyakit serta kemudahan-kenyamanan (convenience) baik dari segi dokter maupun pasien. Obat-obat yang digunakan untuk keadaan gawat-darurat (mis. epinefrin, dopamin) biasanya dibuat dalam bentuk cairan untuk suntik atau infus. Obat-obat untuk anak-anak biasanya dalam bentuk sirup atau untuk menghindari reaksi antara obat dengan asam lambung dibuat tablet dengan salut enterik (lihat

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

juga Tabel 1). Tabel 1.

Jalur Pemberian Obat dan Penggunaannya (dari Goodman & Gilman, 1991, hal 6)

Jalur Intravena

Subkutan

Intramuskuler

Oral



Pula Absorpsi

Penggunaan

Tidak melalui absorbsi Efek cepat

Keadaan gawat darurat Dapat dititrasi Cocok untuk volume besar atau zat iritatif Cepat bila dengan Cocak untuk larutan akua, suspensi Lambat bila tidak larut dan dengan preparat untuk implantasi repository pellet Cepat, bila Cocok untuk dengan lanttan volume sedang, akua, pelarut minyak lambs bila dan zat yang dengan preparat iritatif repository Bervariasi tergantung pada berbagai faktor

Menyenangkan, mudah, murah dan aman

Catatan Risiko efek samping meningkat Tidak cocok untuk larutan benninyak atau zat yang sukar larat Tidak cocok untuk volume besar Dapat menimbulkan iritasi dan nekrosis Tidak dianjurkan bila diterapi antikoagulan Dapat mengganggu interpretasi up diagnostik (mis. kreatin kinase) Membutuhkan kooperasi pasien Availabilitas erratic, tidak sempurna, karena obat sukar larut, sukar diabsorpsi, tidak stabil mengalami first pass effect, dli.

Dosis dan frekuensi pemberian : Hal ini menyangkut berapa banyak dan berapa kali obat akan diberikan agar tercapai kadar yang adekuat untuk efek terapi yang optimal. Keputusan berapa besarnya dosis yang akan diberikan tergantung path : – Besarnya obat yang akan diberikan pada waktu tertentu – Jalur pemberian – Waktu antara tiap dosis – Waktu di mana pemberian obat akan diteruskan Pola pemberian berdasarkan prinsip farmakokinetik terbagi atas : (a) terus-menerus lewat cairan infus (atau cara lain yang menyebabkan pelepasan obat dengan kecepatan yang tetap, misal sediaan lepas lambat) dan (b) secara seri dengan jangka waktu pemberian tertentu dan dosis yang sama. Beberapa macam dosis(3) : Loading dose : dosis ini diberikan bila diinginkan kadar tunak yang cepat terutama untuk obat-obat dengan waktu paruh yang panjang. Secara teori jumlah obat yang dibutuhkan untuk mencapai kadar tunak di plasma adalah jumlah obat yang harus ada di tubuh pada waktu keadaan kadar tunak tercapai (path pemberian secara berseri jumlahnya adalah nilai rata-rata dari konsentrasi). Loading dose = jumlah obat di tubuh pada keadaan tunak = Cp,ss x Vd

Keterangan : Cp,ss = Kadar obat tunak dalam plasma Vd = volume distribusi Dosis penunjang (Maintenance dose) : merupakan dosis yang diberikan agar keadaan tunak terpelihara. Untuk memelihara kadar tunak ini harus diketahui kecepatan ekskresi obat sehingga ada keseimbangan antara obat yang masuk dan obat yang keluar. • Lama pemberian : Lamanya pemberian suatu obat tergantung patofisiologi dan perjalanan penyakit serta tujuan pengobatan itu sendiri. Lamanya pengobatan untuk tifus abdominalis minimal dua minggu, untuk epilepsi minimal sampai dua tahun penderita bebas kejang, antibiotika minimal lima hari. Pengobatan untuk profilaksi berbeda dengan eradikasi. 5. Komunikasi, Informasi dan Edukasi Meskipun diagnosis dan rencana terapi serta obat yang dipilih sudah tepat namun seringkali pengobatan gagal karena faktor komunikasi antara dokter dan pasien tidak terbina dengan baik. Dokter harus menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang dideritanya, prognosis maupun langkah terapi yang akan diambil dengan sebijaksana mungkin, dengan melihat situasi dan kondisi mental psikologis penderita maupun keluarganya. la juga harus bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pasien berkenaan dengan penyakit dan terapi yang akan dijalaninya. Hal-hal yang perlu diinformasikan yang berkenaan dengan pengobatan ialah : • Cara pemakaian dan dosis obat, termasuk hal-hal seperti obat diminum sebelum atau sesudah makan, dihisap (chew), dioleskan dengan tipis, dan lain-lain. • Efek samping yang mungkin timbul, misalnya mengantuk, mual, gatal atau timbul kemerahan (skin rash), dan lain-lain. Perlu juga diberitahukan tindakan terhadap efek samping yang timbul, kalau perlu cepat melapor ke pada dokter atau fasilitas kesehatan terdekat. • Pasien perlu diberitahu bahwa obat tidak boleh diberikan kepada orang lain (anak, keluarga atau tetangga) meskipun mungkin gejala atau penyakitnya mirip dengan penderita. Obat harus disimpan dengan baik agar terhindar dari pemakaian talc sengaja atau sengaja oleh orang lain. 6. Evaluasi – Efek terapi : Tindakan ini merupakan hal yang penting dalam rangka menilai keberhasilan atau kegagalan tindakan terapi yang diberikan; yang perlu dinilai pertama-tama apakah ada perubahan keadaan penyakit atau kelainan yang bermakna pada penderita baik secara klinis maupun laboratoris. Kalau ada, apakah pengobatan diteruskan atau dihentikan? – Efek samping : Apakah ada efek samping yang timbul, dan bila timbul apakah berbahaya? Apakah perlu dipikirkan penghentian atau penggantian obat? Dengan mengetahui efek-efek lain selain dari efek terapi dari obat yang diberikan, kita dapat mengantisipasi apabila efek

efek tersebut membahayakan pasien; misalnya efek hipokalemia yang disebabkan oleh diuretik dapat mempengaruhi kerja listrik jantung terlebih bila bersamaan pemakaiannya dengan digitalis. – Pemantauan Kadar Obat (Therapeutic Drug Monitoring) : Untuk obat dengan Indeks Terapeutik yang sempit, pemakaian yang lama, adanya gangguan organ-organ pemetabolisme dan ekskresi, kadar optimal hams tetap dipertahankan agar terhindar dari gejala keracunan dan agar ada korelasi yang kuat antara konsentrasi obat dalam darah dengan respons terapi yang terjadi. – Menghentikan pemberian : Kapan dan bagaimana cara penghentian obat juga merupakan salah satu hal yang penting untuk menghindarkan pasien dari bahaya keracunan akibat pemaparan tubuh dengan obat serta dari pengeluaran biaya pengobatan yang berlebihan; misalnya penghentian kortikosteroid dilakukan secara berangsur-angsur (tapering-off), antibiotika minimal diberikan selama lima hari, dan lain-lain. – Penggantian terapi : Biasanya dilakukan bila efek terapi yang diharapkan tidak terjadi atau terjadi reaksi efek samping obat yang tidak dapat ditoleransi lagi oleh pasien. Keputusan penggantian terapi ini tidak sederhana karena mempertimbangkan berbagai faktor, a.l. wash-out period dari obat yang akan diganti, adanya fenomena resistensi silang, toleransi silang, (cross-resistance, crosstolerance) dari obat yang sejenis atau sekelas. Selain pertanyaan-pertanyaan di atas, pengetahuan (knowledge), penilaian (judgement), keahlian (skill), kebijaksanaan (wisdom) dan rasa tanggung jawab (responsibility) juga harus menyertai setiap keputusan terapi yang akan diambil oleh seorang dokter. PEMILIHAN PENGOBATAN SECARA RASIONAL Dasar ideal dalam pemilihan obat adalah rasional serta efeknya yang telah teruji secara klinis, namun dalam kenyataan hal ini tidak selamanya mudah dilaksanakan. Pemilihan pengobatan secara rasional didasarkan pada : 1. Diagnosis yang tepat. 2. Data (anamnesis, gejala dan tanda klinis, pemeriksaan penunjang lainnya dan laboratorium) yang cukup dan akurat dihubungkan dengan patofisiologi penyakit. 3. Pengetahuan tentang farmakologi dan biokimiawi dari obat dan metabolitnya serta sifat farmakokinetik ōbat tersebut baik pada orang sehat atau sakit. 4. Kemampuan untuk menterjemahkan pengetahuan di atas dengan situasi klinis yang dihadapi. 5. Prakiraan efek obat yang terjadi berhubungan dengan patofisiologi dan farmakologi obat. 6. Perencanaan melakukan pengukuran-pengukuran untuk memantau efikasi dan efek samping yang mungkin terjadi. Meskipun langkah-langkah di atas tampaknya bertele-tele namun apabila prinsip-prinsip ini telah dipahami dan dipraktekkan secara terus menerus maka proses tersebut akan berjalan dengan sendirinya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 59

MASALAH-MASALAH DALAM PEMAKAIAN OBAT Setelah mempertimbangkan faktor-faktor di atas masalahmasalah lain yang turut mempengaruhi keberhasilan terapi ialah faktor psiko-sosial-ekonomi dari pasien. Pada pasien-pasien psikiatrik atau lanjut usia dan pemakaian yang lama, masalah compliance yaitu kepatuhan dan keajegan pemakaian obat oleh pasien merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kegagalan maupun keberhasilan terapi. Faktor non-compliance dapat terjadi karena(4) : 1. Penyakit : psikiatrik atau depresi 2. Dosis dan aturan pemakaian : – rumit, lebih dari dua macam obat dan pemakaian misalnya ada yang dimakan 3 kali 1/2 tablet, ada yang dihisap, dioleskan, dan lain-lain. – pemakaian yang lama, misalnya antihipertensi, antiepilepsi. 3. Pengadaan obat yang sulit didapat karena jarang, mahal, dan lain-lain. 4. Hubungan dokter-pasien yang tidak harmonis sehingga pasien tidak mengacuhkan petunjuk pengobatan dari dokter. 5. Pasien : – ketidakpercayaan pasien pada upaya pengobatan – lingkungan dan suasana yang tidak mendukung 6. Efek samping obat, misalnya efek sedasi karena antihistamin atau efek nausea karena sulfas ferosus, dan lain-lain. Dari segi ekonomi, pembelian obat yang tidak lengkap karena harga yang tidak terjangkau dapat juga mempengaruhi keberhasilan terapi. Di daerah perifer seringkali ketersediaan baik dari segi jumlah maupun ragam obat sangat terbatas sehingga dokter terpaksa memberikan pengobatan yang kurang adekuat. Masalah lain ialah interaksi obat, lebih-lebih bila dokter terpaksa memberikan , polifarmasi dan reaksi idiosinkrasi yang dapat terjadi secara tak terduga. Meskipun pemilihan dari setiap jenis obat telah dilakukan secara rasional namun bila diberikan secara bersama-sama dapat saja timbul interaksi yang bisa mengurangi efek farmakologis obat atau bahkan berakibat fatal bagi penderita. PENUTUP Penyakit merupakan suatu keadaan yang dinamis, ia bukan hanya suatu diagnosis yang berasal dari sekian banyak kumpulan gejala dan tanda namun suatu hasil interaksi dari berbagai hal yang kompleks sehingga perlu pendekatan yang tidak terpaku hanya pada diagnosis saja. Setiap saat perlu dilakukan penilaian ulang atas perubahan-perubahan yang terjadi (hasil laboratorium, perjalanan penyakit, tanda-tanda klinis) serta tērhadap terapi yang diberikan. Proses keputusan terapi merupakan bagian dari proses problem solving cycle, sehingga setiap hasil atau efek atau masalah yang terjadi akibat keputusan tersebut harus dikaji ulang kembali dan dibuat keputusan-keputusan baru guna mendapatkan hasil yang maksimal.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.

4. 5.

Peck CC. Qualitative Aspects of Therapeutic Decision Making in Clinical Pharmacology, 2nd ed., Memun LK, Morelli HE (Eds.). New York: Macmillan Publ Co., Inc., 1978, 1063-83. Reid LJ, Rubin PC, Whiting B. Lecture Notes on Clinical Pharmacology 2nd ed., Oxford: Blackwell Scient Publ, 1985, 279–85. Benet LZ, Mitchell JR, Sheiner LB. Pharmacolrinetics: The dynamics of drug absorption, distribution and elimination. Dalam: Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis of Therapeutics, Gilman, A.G. dick, (Eds.) edisi 8, New York: Maxwell Macmillan International Ed. 1991. Laurence DR, Bennet PM. Clinical Pharmacology, 6th ed., Edinburgh: Churchill-Livingstone, 1987, 1–29. Benet LZ. Phannacokinetics: L absorption, distribution, and excretion. Dalam: Basic & Clinical Pharmacology, Katzung BG. (Ed.) edisi 3, Norwalk: Appleton Lange, 1987, hal 23–35.

LAMPIRAN PROSES KEPUTUSAN TERAPI

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

GEGER OTAK Seorang ibu membawa putranya yang remaja berobat. Ibu : Tolong periksa dok,anak saya mendapat kecelakaan jatuh dan motor. Apakah geger otak?. Anak : (Langsung protes) mana mungkin bisa geger otak! Dokter : Kok tahu? Anak : Dari dulu saya selalu dikatakan “Tak punya otak”. Dokter : Oh..................... Emiliana Tjitra Jakarta

MEMANG BEDA Seorang menceritakan tentang keampuhan obat penemuannya untuk menumbuhkan rambut yang rontok: "Coba begitu hebatnya, sampai kalau dioleskan ke mentimun, langsung mentimun tumbuh rambut lebat lagi panjang-panjang!" Temannya merasa heran: "Lho tetapi mengapa rambut di kepala anda botak?" Merasa terpojok : "Memang.................. karena dia bukan mentimun tetapi........ .........kepala brilian !" ????????????

Juvelin Jakarta

PENAMPILAN SAYA SEPERTI UMUR BERAPA?????? Inilah percakapan antara sepasang suami istri manula Istri : "Pap, menurut engkau penampilan saya ini seperti seorang wanita umur berapa?” (sambil dengan genitnya berputar-putar di depan suaminya) Suami (sambil mengamati gerak-gerik istrinya) : "Nah, seperti umur 20 tahun, kalau melihat rambutmu Sembilan belas tahun, kalau menilai kulitmu Delapan belas tahun untuk cara pembawaanmu Tujuh belas tahun untuk potongan tubuhmu." Istri (senang sekali dan makin bergoyang genit) : "Benar nih ?" Suami : "Ya, benar! Nah, saya sekarang akan menjumlahkan semuanya tadi – 20 tambah 19 tambah 18 tambah 17................" Istri : Lo, kok dijumlahkan ????“ OLH SOAL KEBIASAAN Seorang laid-laid korban kecelakaan yang putus sebelah kakinya datang ke dokter ahli bedah tulang. Konon kabarnya dokter tersebut ahli dalam menyambungkan kaki yang putus dengan kaki donor sehingga dapat berfungsi secara normal kembali. Pada saat akan dilakukan operasi, dokter tersebut baru sadar bahwa cadangan kaki untuk transplantasi tinggal kaki donor wanita. Namun karena penderita tak keberatan, operasi transplantasi kaki dilakukan juga. Beberapa bulan kemudian penderita tersebut datang lagi ke dokternya. Sambil menunjukkan kakinya yang telah disambung, ia berkata: "Dok, repot juga saya dengan kaki yang satu ini, sebab sewaktu buang air kecil, maunya ditekuk saja, alias jongkok !!" Metta SSW Jakarta DISORIENTASI Seorang pelajar tertangkap basah sedang teler berat di suatu diskotik dalam suatu razia anak sekolah. Oleh polisi ia dikirim ke psikiater untuk diperiksa. “Mengapa saudara sampai dibawa ke sini ?“ tanya dokter. “Saya menyesal terlalu banyak minum kopi. Tolong berikan saya wiski banyak-banyak untuk penawar. Besok saya mau ke Kantor Pos untuk bertobat dan mohon ampun dari Tuhan. Saya bersumpah setelah itu mau kembali ke disko dan belajar. Saya tidak akan pernah lagi menyia-nyiakan waktu saya untuk pergi ke sekolah” katanya. R. Setiabudy Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 61

ABSTRAK ANTIMALARIA Arthemeter - suatu derivat artemisinin (qinghaosu) telah digunakan untuk menanggulangi malaria di Cina. Peneliti di Gambia telah menyelidiki efektivitasnya pada anak-anak. Sejumlah 30 anak Gambia secara acak diberi arthemeter intramuskular (4mg./kgbb. dosis awal diikuti dengan 2 mg./kg/bb/ hari) atau klorokuin intramuskular (3,5 mg. basa/kg.bb tiap 6 jam). Kedua obat tersebut ditoleransi dengan baik dan cukup efektif. Parasite clearance ternyata lebih cepat tercapai di kalangan yang diterapi dengan arthemeter (36,7 ± 16,8 jam, p < 0.05). Penelitian kemudian dilanjutkan pada 43 anak dengan malaria berat. Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam hal respons klinis, hematologis, biokimiawi maupun parasitologis; demikian juga dalam hal toksisitasnya. Arthemeter merupakan salah satu alternatif pengobatan malaria, terutama di daerah-daerah yang telah resisten terhadap klorokuin. Lancet 1992; 339 : 317-21 Brw

PIRIMETAMIN UNTUK ENSEFALITIS TOKSOPLASMA Suatu penelitian buta-ganda telah dilakukan untuk menilai efektivitas profilaksis ldindamisin dan pirimetamin terhadap ensefalitis toksoplasma di kalangan pasien HIV positif. Hasil awal menunjukkan bahwa kelompok klindamisin mempunyai risiko 4,4 kali (95% CI-1, 3-15, 2) lebih besar untuk mengalami efek samping dibandingkan dengan kelompok plasebo. Diare dan rash dilaporkan pada masing-masing 16 (31%) dan 11 (21%) penderita di antara 52 pasien yang

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

mendapat 2 dd 300 mg. klindamisin, dibandingkan dengan 2 (6%) kasus diare dan tidak ada kasus rash di antara 32 pasien yang menerima plasebo. Karena hasil di atas, penggunaan klindamisin untuk sementara dihentikan, sementara penggunaan pirimetamin masih terus dievaluasi. Lancet 1992; 319 : 333-4 Brw

RISIKO ULTRASONOGRAFI PADA WANITA HAMIL Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi sebagai prosedur diagnostik di kalangan ibu hamil, muncul kekuatiran mengenai pengaruhnya terhadap janin, apalagi prosedur tersebut kebanyakan dilakukan pada usia kehamilan 16 - 22 minggu, pada saat perkembangan susunan saraf pusat janin mencapai puncaknya. Di Norwegia telah dilakukan penelitian was 2448 anak yang pada saat di dalam kandungan (pada tahun 1979 1982), ibunya menjalani pemeriksaan ultrasonografi. Anak-anak tersebut dinilai oleh para gurunya dalam hal kemampuan membaca, mengeja, aritmetik dan penampilan umumnya. Ternyata 21 di antara 309 anak yang diteliti menderita disleksi, dibandingkan dengan 26 di antara 294 anak kontrol; hasil ini secara stastistik tidak bermakna. Pada peneliti menyimpulkan bahwa ultrasonografi tidak memperbesar risiko bayi dalam hal gangguan kemampuan membaca dan menulis.

matur, pemberian air susu ibu (ASI) menghasilkan perkembangan yang lebih baik pada usia 18 bulan. Anak-anak yang sama saat ini telah berusia 71/2 - 8 tahun; dan setelah dinilai dengan WIS-C, anak-anak yang menerima ASI rata-rata nilai IQ-nya 8,3 lebih tinggi daripada anak-anak yang tidal( diberi ASI; bahkan setelah dikoreksi menurut tingkat pendidikan dan tingkat sosial ibunya. Meskipun mungkindipengaruhi oleh perbedaan potensi genetik dan pola pendidikan keluarga, hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya ASI terhadap perkembangan saraf anak. Lancet 1992; 339 : 261-4 Brw

INDOMETASIN UNTUK BATU EMPEDU Pasien dengan batu empedu umumnya mempunyai gangguan/kelambatan pengosongan kandung empedu. Untuk memperbaikinya, telah dicoba pemberian indometasin 3 dd. 25 mg./hari selama seminggu, disusul dengan pemberian plasebopada minggu berikutnya. Percobaan ini melibatkan 7 pasien batu empedu dan 7 orang sehat. Ternyata kecepatan pengosongan kandung empedu meningkat pada orang-orang yang menerima indometasin; penemuan ini mungkin disebabkan oleh efek prokinetik NSAID, karena sampai saat ini NSAID tidak diketahui mempunyai efek pada mekanisme pembentukan kristal kolesterol.

Lancet 1992; 339 : 385-9 Brw

Lancet 1992; 339 : 269-71 Brw

MANFAAT ASI Penelitian ini merupakan lanjutan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa di kalangan bayi pre

EFEK TERATOGEMK LITHIUM KARBONAT Lithium karbonat diketahui efektif terhadap gangguan afektif. Untuk

ABSTRAK mengetahui efek teratogeniknya, 148 wanita yang rata-rata berusia 30 tahun, yang menggunakan lithium pada kehamilan trimester pertamanya, diteliti dan diwawancarai dan dievaluasi. Dosis rata-rata lithium yang digunakan ialah 927 mg./hari. Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal kejadian malformasi kongenital di kalangan bayi yang dilahirkan (2,8% di kalangan kelompok lithium, 2,4% di kelompok kontrol). Satu pasien di kelompok lithium, janinnya menderita anomali Ebstein, sedangkan defek septum ventrikel dideteksi pada janin satu pasien kelompok kontrol). Berat badan lahir janin di kelompok lithium secara bermakna lebih besar (3475±660g. vs. 3383 ± 566g. p=0,02), padahal di kelompok lithium diketahui lebih banyakyang jugamerokok (31,8% vs. 15,5%, p=0,002); sehingga mungkin hasil yang sebenarnya dapat lebih bermakna. Penelitian ini tidak menemukan efek teratogen lithium pada manusia. Lancet 1992; 339 : 530-3 Brw

EFEK SAMPING PIMOZIDE Semenjak tahun 1971, di Inggris telah tercatat 29 kasus. aritmi jantung yang dihubungkan dengan penggunaan Orap® (pimozide) – suatu obat antipsikotik; dan 14 di antaranya fatal. Untuk mencegah kasus berikutnya, pihak pembuat obat telafi memberi pemberitahuan kepada para dokter agar berhati-hati dan sebaiknya jangan diberikan lebih dari 20 mg/hari. Scrip 1991; 1679/80: 26 Brw

ANTIHEMOFILI US FDA telah menyetujui penggunaan rekombinan factor VIII – Kogenate – untuk pengobatan dan profilaksis hemofili A, baik untuk pasien baru maupun yang telah pernah me-

nerima produk darah lain. Pada suatu penelitian, dosis tunggal obat ini sudah cukup untuk mencegah 399 (73,9%) dari 540 perdarahan yang terjadi pada 56 pasien hemofili. Produk ini memberikan alternatif baru bagi para pasien hemofili, dan praktis tidak mengandung risiko transmisi penyakit seperti pada penggunaan produk plasma. Scrip 1991; 1679/80: 25 Brw

FAKTOR RISIKO GOUT Sejumlah 1337 mahasiswa kedokteran kulit putih di Johns Hopkins telah diikutsertakan dalam penelitian longitudinal untuk mengetahui faktorfaktor risiko dari gout. Dari kelompok mahasiswa tersebut, 1271 (95%) dapat diperiksa dan menjawab kuesioner yang dibagikan; dari. responden tersebut, 91% pria, 97% berkulit putih dan muda usia (median 22 tahun). Kelompok ini diamati selama rata-rata (median) 29 tahun). Selama masa tersebut ditemukan 60 kasus gout (47 kasus primer, 13 kasus sekunder) di kalangan pria dan tidak ditemukan kasus gout di kalangan wanita; angkakejadian untuk kalanganpria ialah 8,6% (96% CI: 5,9 – 11,3%). Penelitian atas faktor risiko menunjukkan adanya kaitan dengan body mass index pada usia 35 tahun (p = 0,01); kelebihan berat badan (> 1,88 km/m2 – p = 0,007) dan adanya hipertensi (p = 0,004). Relative risk pada body mass index ialah sebesar 1,12 (p = 0,02); untuk kelebihan berat badan adalah sebesar 2,07 (p = 0,02) dan untuk hipertensi adalah sebesar 3,26 (p = 0,002). Pencegahan obesitas dan hipertensi sejak usia muda dapat mengurangi risiko gout. JAMA 1991; 266: 3004-7 Hk

RISIKO DIURETIK PADA DIABETES MELLITUS Pengobatan hipertensi pada pasien diabetes mellitus merupakan problem yang tersendiri. Suatu penelitian dilakukan atas 759 pasien kulit putih berusia 35 – 69 tahun dengan kadar kneatinin serum normal; pasien tersebut dibagi atas lima golongan: normotensif (tekanan diastolik ≤ 90 mmHg), hipertensif tidak diobati, hipertensif diobati hanya dengan diuretik, hipertedsif diobati dengan antihipertensif lain, dan hipertensif yang diobati dengan diuretik + antihipertensif lain. Kematian akibat kardiovaskuler lebih sering dijumpai di kalangan hipertensif yang diobati daripada di kalangan hipertensif yang tidak diobati; peninggian mortalitas ini terutama dijumpai di kalangan yang diobati hanya dengan diuretik, meskipun tekanan darah rataratanya paling rendah (relative risk 3,8; p < 0,001). Para peneliti menganjurkan agar penggunaan diuretik pada pasien diabetes yang disertai hipertensi hendaknya dipertimbangkan kembali. Arch. Intern. Med. 1991; 151: 1350-6 Hk

NSAID TOPIKAL UK Drug and Therapeutics Bulletin baru-baru ini memuat artikel yang meragukan efektivitas NSAID topikal; sampai saat ini belum ada penelitian klinis yang membandingkan efektivitasnya dengan parasetamol pada kasus nyeri, ataupun dengan NSAID oral pada kasus yang lebih berat. Lagipula, biaya pengobatan NSAID topikal ternyata lebih mahal bila dibandingkan dengan penggunaan ibuprofen oral atau dikiofenak oral selama 7 hari. Scrip 1991; 1679/80: 24 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 63

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Penyakit reumatik yang terutama mengenai pasien usia muda : a) Spondilitis ankilosis b) Artritis gout c) Lupus eritematosus sistemik d) Artritis reumatoid e) Polimiositis 2. Penyakit reumatik yang praktis tidak pernah muncul pada usia tua : a) Spondilitis ankilosis b) Artritis gout c) Artritis reumatoid d) Osteoartritis e) Polimiositis 3. Nodul sering ditemukan pada : a) Spondilitis ankilosis b) Artritis gout c) Osteoartritis d) Polimiositis e) Penyakit Paget 4. Yang tidak termasuk gejala major demam reumatik : a) Karditis b) Poliartritis c) Artralgia d) Chorea e) Nodul subkutan 5. Cairan sendi yang berdarah umumnya menyingkirkan diagnosis : a) Lupus eritematosus sistemik b) Hemofili c) Charcot joint d) Tumor e) Semua masih mungkin

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

6. Proses infeksi dicurigai bila hitung leukosit cairan sinovia lebih dari : a) 2000 b) 5000 c) 10000 d) 30000 e) 60000 7. Obat-obat di bawah ini digunakan pada penyakit reumatik, kecuali : a) OAINS b) Alopurinol c) Relaksan otot d) Kortikosteroid e) Garam emas 8. OAINS yang mempunyai waktu paruh terpanjang : a) Ibuprofen b) Naproxen c) Indometasin d) Asam mefenamat e) Piroksikam 9. Suntikan kortikosteroid intraartikular tidak dilakukan pada keadaan : a) Artritis reumatoid b) Osteoartritis c) Fraktur intraartikular d) Gout e) Pseudogout 10. Obat pilihan pertama pada artritis gout akut : a) Colchichine b) Alopurinol c) Metotreksat d) Garam emas e) OAINS

Related Documents

Cdk 078 Penyakit Sendi
November 2019 24
Cdk 023 Sendi & Tulang
June 2020 10
Cdk 023 Sendi & Tulang
November 2019 19
Cdk 014 Penyakit Gondok
November 2019 20
Cdk 045 Penyakit Menular
November 2019 32
Cdk 013 Penyakit Mata
November 2019 22