Cdk 040 Simposium Penyakit Hati

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 040 Simposium Penyakit Hati as PDF for free.

More details

  • Words: 36,004
  • Pages: 69
Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi : 2.

Editorial

Artikel : Diagnosis dan Pengobatan Penderita Penyakit Hati Menahun Epidemiologi Hepatitis Virus Antigen dan Antibodi Hepatitis B di Propinsi Kalimantan Timur 17. Tinjauan Penyakit Hati di RSIJP Samarinda 20. Hubungan Antara Varises Esofagus dan Gambaran Klinik Penderita Sirosis Hati 26. Hematemesis dan Melena 31. Obat Hepatotoksik Pada Anak 34. Amebiasis Hati 37. Vaksinasi/Profilaksis Terhadap Hepatitis B 3. 6. 11.

42. 48. 53. 57.

Penggunaan Kortikosteroid Pada Syok Septik Cerebral Palsy Kronofarmakologi: Bioritmik Kerja Obat Kuman-kuman Pencemar di Laboratorium Bakteriologi

60.

Perkembangan: Opium: Sepanjang Abad

62.

Hukum & Etika: Tepatkah Tindakan Saudara? Catatan Singkat

64.

65. Humor Ilmu Kedokteran

66. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran 67. Fokus Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Dalam Repelita IV ini, pelayanan kesehatan makin ditingkatkan, ini merupakan salah satu usaha pemerintah yang tercantum di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, sekaligus dalam rangka usaha pembinaan, pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya manusia. Untuk ikut menyukseskan program nasional ini, IDI Cabang Samarinda — dalam rangkaian kegiatan hari ulang tahun IDI ke 35 telah bekerja sama dengan PT Kalbe Farma, menyelenggarakan Simposium Penyakit Hati Kalimantan Timur, pada tanggal 20 Oktober 1985 lalu. Penyakit hati menjadi topik simposium kali ini, karena selain penyakit hati merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di bagian penyakit dalam, juga untuk mengetahui data tentang penyakit itu, khususnya di Kalimantan Timur yang sangat jarang dilaporkan. Simposium yang bertema : Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Dalam Bidang Penyakit Hati di Kalimantan Timur, diadakan di Gedung Lamin Etam, Jalan Gajah Mada, Samarinda, dibuka oleh Bapak Wakil Gubernur Kalimantan Timur. Hadir pada acara tersebut, Ketua DPRD Tk. I Kaltim, Rektor Universitas Mulawarman, Kakanwil Depkes Kaltim, Kakanwil Depsos Kaltim, dan lebih kurang 150 peserta simposium yang terdiri dari dokter ahli, dokter umum, dokter gigi, dan apoteker yang bertugas di Propinsi Kalimantan Timur, meliputi: Samarinda, Balik Papan, Bulungan, Tarakan, Burau, Kutai, Pasir, dan Sangkulira. Kegiatan ilmiah yang dibagi dalam empat sesion ini, mengetengahkan dua pembicara ahli, masing-masing Dr. H. M. Sjaifoellah Noer dan dr. Samsuridjal Djauzi dari Subbagian Penyakit Hati, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta, serta delapan makalah lain yang dipresentasikan oleh dokter-dokter setempat. Dalam pendahuluan makalah yang berjudul "Diagnosa Dan Pengobatan Penderita Penyakit Hati Menahun", Dr. H. M. Sjaifoellah Noer mengungkapkan bahwa kira-kira 40 — 50 % dari penderita dengan penyakit yang dirawat di rumah sakit umum tergolong dalam penyakit hati menahun. Mereka sebagian besar menderita sirosis hepatis pada tingkat lanjut dengan komplikasinya, dari mulai asites yang refrakter, atau perdarahan saluran makanan bagian alas akibat pecahnya varises esofagus, sampai pada kegagalan hati dengan koma hepatikum. Kemudian Dr. Samsuridjal D. pada kesempatan ini berbicara tentang Aspek Imunologis Hepatitis yang belum banyak diketahui. Menurut pendapatnya, sampai sekarang ini dikenal Virus Hepatitis A, Virus Hepatitis B, Non a Non B, dan Virus Hepatitis Delta. Nall, untuk mengetahui lebih jauh apa yang dibahas dalam simposium ini, CDK kali ini menerbitkan nomor Khusus yang merupakan kumpulan naskah "Simposium Penyakit Hati Kalimantan Timur". Hanya satu harapan kami, semoga upaya ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Artikel Diagnosis dan Pengobatan Penderita Penyakit Hati Menahun Dr. HM Sjaifoellah Noer, Dr. H All Sulaiman, Dr. Nurul Akbar dan Dr. Laurentius A Lesmana Subbagian Penyakit Had, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Kira-kira 40 — 50% dari penderita dengan penyakit hati yang dirawat di Rumah-Sakit Umum tergolong ke dalam Penyakit Hati Menahun. Tergantung pada keadaan setempat, jumlah ini adakalanya dapat menempati urutan yang pertama sampai ketiga teratas dari jumlah penderita dalam bangsal Penyakit Dalam yang dirawat. Dari golongan yang dirawat tersebut, sebagian besar adalah sirosis hepatis pada tingkat yang . lanjut dengan komplikasinya, dari mulai asites yang refrakter, atau varises esofagus sampai kepada tingkat kegagalan hati dengan koma hepatikum. Pada tingkat kegagalan hati oleh sirosis hepatis yang lanjut ini, kira-kira 75% akan berakhir dengan kematian yang umumnya terjadi pada masa yang relatif pendek, yaitu hanya beberapa hari. Pada sebagian kecil saja, yang tergolong koma sekunder, mungkin masih dapat diatasi, yaitu dengan mengelola infeksi atau gangguan keseimbangan elektrolit yang dapat sebagai pencetus dari koma tersebut. Golongan dengan perdarahan saluran makanan bagian atas merupakan masalah tersendiri. Hanya pada 10% — 15% pendarahan tersebut disebabkan oleh erosif gastritis atau ulkus peptikum, sedangkan pada sebagian besar adalah akibat pecahnya varises esofagus. Pengelolaan varises esofagus yang berdarah ini di dalam tingkat yang akut masih memperlihatkan mortalitas di atas 50%. Hanya pada golongan yang dapat dipertahankan untuk mengalami operasi pada tingkat efektif, yaitu setelah perdarahan berhenti untuk 4 — 6 minggu, kami mempunyai hasil yang baik. Pada golongan ini mortalitas kurang dari 10%. Faktor keadaan cadangan faal hati amat mempengaruhi prognosis tindakan operasi tersebut. Golongan lain yang sering kami lihat dalam klinik adalah karsinoma hati, yang pada umumnya datang pada tingkat yang lanjut. Pada keadaan demikian, adakalanya amat sukar membedakannya dengan sirosis hepatis. Prognosis pada golongan ini juga buruk. Sampai sekarang kami dapat menolong hanya 3 kasus dengan pembedahan pada jenis tumor soliter yang hanya mengenai satu lobus hati.

DIAGNOSIS PENYAKIT HATI MENAHUN Secara luas penyakit hati menahun kita curigai apabila setelah suatu serangan hepatitis akut, kelainan faal hati tidak kembali menjadi normal setelah 3 — 6 bulan; atau apabila tanpa sebab yang jelas, kita menemukan kelainan faal hati pada seseorang, yang pada pemeriksaan berulang selama jangka 2 — 3 bulan, tidak kembali menjadi normal. Sebagai contoh dapat disebut hepatitis virus akut. Pada 90% — 95% akan sembuh setelah 8 — 10 minggu, hanya kira-kira 5% akan mengalami perjalanan klinik yang tidak khas dan jadi kronis. Dalam keadaan seperti di atas, kita perlu menegakkan diagnosis pasti dari penyakit hati kronis tersebut. Penyakit hati menahun seperti yang kita ketahui dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok besar, yaitu hepatitis kronik, sirosis hepatis dan kanker hati, walaupun batas di antara ketiganya amat kabur. Seringkali sirosis hepatis telah menyertai hepatitis kronik, dan ada kalanya sirosis , hepatis telah berkembang menjadi kanker hati. Sering sekali hepatitis kronik dalam bentuknya yang ideal tanpa sirosis hepatis jarang ditemukan. Dikenal dua bentuk hepatitis kronik, yaitu hepatitis kronik persisten dan hepatitis kronik aktif. Secara klinis kedua bentuk ini menunjukkan keluhan yang samar-samar seperti merasa kelelahan, keluhan gastrointestinal yang ringan seperti kernbung, mual. Kadang-kadang ada rasa sakit perut kanan atas. Mungkin pula disertai anoreksia. Pemeriksaan laboratorik memperlihatkan gangguan faal hati, yaitu dengan peninggian SGOT, SGPT dan gamma-GT. Terdapat pula peninggian dari Gamma globulin. Bilirubin adakalanya meninggi sedikit, dengan perbandingan yang sama antara bilirubin direk dan bilirubin indirek, tetapi seringkali kadarnya dalam batas-batas normal. Di antara kedua bentuk tadi, secara klinis amat sukar dibedakan. Pada bentuk hepatitis kronik aktif, disebutkan dalam kepustakaan bahwa l keadaan umum penderita tampak lebih sakit, kadang-kadang disertai ikterus yang jelas dan asites. Keadaan ini terutama ditemukan pada bentuk yang berat dari

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

3

hepatitis kronik aktif yang disebut hepatitis subakut dengan nekrosis multi lobuler. Bentuk yang lebih ringan adalah hepatitis subakut dengan bridging. Pada hepatitis kronik aktif, kadar SGOT dan SGPT dapat mencapai 5 - 10 x normal dengan gamma-globulin mencapai +/- 5 x normal. Kolin esterase dapat normal atau agak merendah. Apabila merendah, kadarnya akan tetap rendah dalam jangka yang lama. Bila keadaannya demikian biasanya prognosisnya tak begitu baik. Pada hepatitis kronik persisten, keluhan lebih ringan dan kelainan laboratorik juga lebih ringan. Etiologi dari hepatitis kronik ada beberapa golongan, yaitu auto immun, obat -obatan seperti metil dopa dan oksifenisatin, serta virus hepatitis. Disebutkan pula mengenai kemungkinan pemakaian INH jangka panjang dalam hubungannya sebagai etiologi dari hepatitis kronik, tetapi belum semua ahli sependapat mengenai ini. Kelainan metabolisme seperti haemakromatosis, penyakit Wilson dan defisiensi alfa -antitripsin disebutkan pula dapat menyebabkan hepatitis kronik aktif. Adapun mekanisme dasar daripada terjadinya pencetusan untuk menjadi kronis ini adalah berkurangnya reaksi imunologi seseorang, terutama yang mengenai imunitas selular yang mencakup sel limfosit T dan B. Sel-sel tersebut tidak mampu untuk menghambat proses penghancuran hepatosit yang terus menerus. Kemungkinan oleh karena partikel antigen yang terdapat pada membran sel-sel hati. Untuk keadaan kita, hepatitis kronik agaknya lebih banyak bertalian dengan infeksi dengan hepatitis virus. Kira-kira 10%15% infeksi hepatitis virus B dapat menjadi kronik. Sedangkan +/- 30% - 40% dari infeksi dengan virus hepatitis Non A Non B akan menjadi kronik, terutama yang didapatkan secara pasca transfusi. Persistensi infeksi dengan virus hepatitis B pada hepatitis yang menunjang akan memudahkan proses penyakit tersebut menjadi kronik dan sirosis hepatis. Diagnosis sirosis hepatis pada stadium yang dini atau pada prosesnya yang telah tenang juga dapat menimbulkan kesukaran, karena tidak semua tanda-tanda seperti ikterus, spidernevi, palmar eritema dan kolateral dinding abdomen dapat terlihat. Yang dapat menolong mungkin gejala -gejala yang bertalian dengan peristiwa katabolisme, yaitu dengan menurunnya berat badan, hilangnya lapisan lemak subkutan sampai ke pada mengurangnya jaringan otot. Kadang-kadang dapat dijumpai hiper -pigmentasi kulit pada beberapa bagian tubuh seperti di muka, dan di kedua tungkai bawah akibatgangguan metabolisme vitamin, terutama vitamin B. Gangguan hormon kelamin, terutama pada pria akan menyebabkan hiperpigmentasi pada areola mamae sampai kepada ginekomastia, sedangkan pada wanita dapat menyebabkan gangguan siklus haid sampai kepada amenore. Karena itu, infertilitas dapat terjadi pada wanita dengan sirosis hepatis. Apabila siklus tersebut membaik kembali atau dapat terjadi kehamilan, ini menunjukkan bahwa aktivitas proses sirosis telah berhenti dan daya cadangan hati yang bersisa masih baik. Yang sering kami temukan di klinik adalah tingkat yang telah lanjut. Ikterus lebih nyata. Spider dan palmar eritema lebih jelas dan adakalanya juga banyak. Asites umumnya disertai dengan tanda-tanda hipertensi portal, yaitu splenomegali dan pelebaran kolateral dinding abdomen. Pada tingkat ini umumnya ukuran hati telah mengecil 4 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

dan amat sulit untuk diraba. Pemeriksaan laboratorik pada penderita yang demikian telah memperlihatkan penurunan albumin dan peninggian globulin, sehingga rasio albumin/ globulin jadi terbalik. Memastikan adanya varises pada penderita ini amat penting, karena ukuran dan warna varises dapat menduga kemungkinannya untuk menimbulkan komplikasi pendarahan. Walaupun sampai sekarang belum dapat dipastikan sebab pecahnya varises, namun peptik esofagitis dianggap sebagai penyebab yang amat mungkin. Keadaan klinik yang memburuk pada seorang dengan sirosis hepatis, tanpa sebab yang nyata, umpamanya tidak bertalian dengan infeksi, gangguan elektrolit atau sebab perdarahan, harus dipikirkan kemungkinan kanker hati. Walaupun keluhan nyeri abdomen kanan atas yang dapat menjalar ke samping kanan atau ke pinggang dengan hepatomegali yang keras dan nyeri raba, biasanya didapatkan pada karsinoma hati, ternyata pada otopsi Kunio Okuda 2, kira-kira 10% kasus tidak ada hepatomegali. Pemeriksaan alfa -fetoprotein dengan kadar di atas 500 ng/ ml menunjang diagnosis kanker hati. Tetapi walaupun kadarnya di bawah 100 ng/ml dan pada pemeriksaan berulang terus menerus meninggi, kita harus mencurigai karsinoma hati. Terutama bila ditemukan pada penderita dengan sirosis hepatis, karena pada kasus-kasus yang kami temukan, lebih dari 85% kanker hati disertai dengan sirosis hepatis makronodular. Pemeriksaan SGOT dan SGPT yang berkala juga akan membantu menduga transformasi sirosis hepatis menjadi kanker hati. Pada hepatitis kronis dan sirosis hepatis, akan didapatkan peninggian SGOT dan SGPT. Tetapi apabila terdapat peninggian SGOT yang melebihi SGPT dan rasio De Ritis, yaitu SGOT/ SGPT melebihi 2 atau 3, maka dicurigai kanker hati 3 . Peninggian SGOT yang berlebihan ini diduga karena nekrosis sel hati yang luas tidak saja pada bagian yang ada karsinoma, tetapi juga pada bagian hati yang tidak ada jaringan tumornya. Pemeriksaan lain seperti peninggian kadar Hb, hipoglikemia, hiperkalsemia atau hiperlipidemia yang ditemukan pada seorangsirosis hepatis harus dicurigai tentang terjadinya karsinoma. Pemeriksaan liver scanning dan angiografi hepatik dapat membantu menjelaskan luasnya hati yang terkena tumor. Diagnosis pasti dari penyakit hati menahun ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi. Untuk keadaan kita sekarang, pemeriksaan peritoneoskopi dapat membantu untuk melihat ada atau tidak adanya sirosis hepatis secara makroskopis. Pada karsinoma hati, pemeriksaan sitologi yang diambil pada tumor dengan aspirasi jarum suntik yang biasa dapat pula dipakai. Ada beberapa pendapat untuk tidak mengerjakan biopsi hati pada karsinoma yang masih operabel untuk mencegah diseminasi sel ganas di dalam rongga peritoneum. PENGOBATAN PENYAKIT HATI MENAHUN Sampai sekarang disebutkan bahwa hepatitis kronik persisten tidak memerlukan pengobatan, Follow-up pada penderita ini tidak memperlihatkan perkembangan jadi sirosis hepatis. Pada hepatitis kronik aktif, follow-up selama beberapa tahun memperlihatkan lebih kurang 20% meadi hepatitis kronik persisten tanpa pengobatan yang berarti . Hanya bentuk yang berat, yaitu hepatitis subakut dengan bridging dan terutama hepatitis subakut dengan nekrosis multilobuler memerlukan pengobatan yang intensif, karena bila tidak de-

mikian, kematian pada golongan ini amat tinggi, lebih kurang 50%. Karena itu, pada golongan ini walaupun telah ada sirosis hepatis, tetap dianjurkan pengobatan dengan kortikosteroid atau gabungan kortikosteroid dengan azatioprin. Walauptin HBs Ag (+) atau DNA polimerase tinggi, bila keadaan pasien tidak baik dianjurkan juga untuk memberikan kortikosteroid. Dilihat perkembangannya selama 3 bulan, bila keadaan tidak membaik dapat dihentikan s . Pengobatan anti virus seperti Vidarabine belum tampak manfaatnya yang jelas, kadang-kadang menimbulkan penyulit seperti demam yang tinggi dan lekopenia. Demikian pula golongan imunostimulan belum jelas hasilnya. Dasar pengobatan pada sirosis hepatis yang tidak ada penyulit pada umumnya adalah supportif dan follow-up yang teratur. Tiap penyulit yang terjadi baik infeksi, maupun perdarahan traktus gastrointestinal akan menurunkan daya cadangan hati. Asites yang banyak, dikatakan dapat menyebabkan inkopetensi sfingter esofago-gastrik, sehingga memudahkan refluks cairan asam lambung ke dalam esofagus yang dapat menyebabkan peptik esofagitis. Karena itu, pengelolaan asites amat penting. Perlu diperhatikan keseimbangan air dan elektrolit pada penderita dengan asites. Bila perlu dilakukan pembatasan intake cairan sampai kurang dari 1 liter per 24 jam. Tetapi sebaliknya asites yang tidak dapat diatasi, perlu dipertimbangkan kemungkinan transformasi ke arab keganasan. Mengenai perdarahan dari varises esofagus pada penderita sirosis hepatis dapat disebut bahwa pemasangan Balon Seng -

staken-Blakemore dengan cara yang tepat akan mengurangi angka kematian. Harus diingat bahwa pemasangan balon tersebut hanya merupakan pengobatan atau tindakan intermedier. Perlu dipertimbangkan tindakan operasi setelah pemasangan baton tadi. Penderita sirosis hepatis perlu di follow-up untuk kemungkinan kanker hati. Pengobatan yang ideal untuk kanker hati tentulah pembedahan. Hal ini belum banyak kita capai. Karena itu, pemeriksaan Screening untuk mengetahui kanker hati pada stadium yang dini harus tetap kita kembangkan. KEPUSTAKAAN 1. Thaler H. The Natural History of Chronic Hepatitis. In: The Liver and Its Diseases, editor Schaffner 1 , Sherlock S, and Leevy CM. Stuttgart: Georg Thieme Publishers. 1974; pp 207-215. 2. Okuda K. Clinical Aspects of Hepatocellular Carcinoma, analysis of 134 cases. In: Hepatocellular Carcinoma, editor: Okuda K and Peters RL. New York: John Wiley & Sons. 1976; pp 387-436. 3. Adolph L and Lorenz R. Enzyme Diagnosis in Hepatic Disease. In: Enzyme Diagnosis in Disease of Heart, Liver and Pancreas. Basel: S Karger. 1982; pp 81-104. 4. Boyer JL and Miller DJ. Chronic Hepatitis. In: Diseases of The Liver, 5 thed. editor: Schiff L and Schiff ER. Philadelphia: JB Lippincott Co. 1982; pp 771-812. 5. Sherlock S. Dalam acara Meet The Expert. Pada Pertemuan Ilmiah Kedua Peneliti Hati Indonesia, 19—20 Agustus 1983.

* Dibawakan pada Simposium Penyakit Hati Kalimantan Samarinda 20 Oktober 1985.

Timur,

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

5

Epidemiologi Hepatitis Virus Dr. Effek Alamsyah, MPH Ahli Kesehatan Anak

PENDAHULUAN Hepatitis virus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis A (VHA), virus Hepatitis B (VHB) dan virus Hepatitis Non-A Non-B (VHNANB). Secara klinik penyakit ini telah dikenal sejak Hippocrates. VHA dan VHB baru diketahui sebagai penyebabnya pada permulaan abad ini dan VHNANB baru diketemukan oleh Prince dkk, tahun 1974. Sebelumnya, Blumberg (1965) telah menemukan antigen Australia (AuAg). Secara epidemiologik hepatitis virus B lebih penting, karena di samping adanya penderita dengan gejalagejala klinik yang nyata (simtomatik), terdapat juga karier (asimtomatik) sebagai suatu sumber penularan. Lebih penting lagi, 5—15% menjadi kronik, selanjutnya menjadi sirosis hepatis dan karsinoma hepatoselular. Pemeriksaan serologik pada masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia, memperlihatkan prevalensi cukup tinggi, sehingga dianggap telah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Sangat disayangkan, laporan hepatitis di Kaltim masih belum sempurna, karena tidak semua rumah-sakit dan puskesmas melaporkan kasus hepatitis. Juga konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan serologik tidak dapat dilakukan di rumah-sakit dan puskesmas, sehingga gambaran epidemiologik penyakit ini tidak dapat dimonitor dengan baik dan akurat. Tujuan dari presentasi makalah ini ialah untuk memberikan gambaran klinik, diagnostik dan epidemiologik penyakit Hepatitis virus secara umum sebagai penyegar bagi sejawat di Kalimantan Timur ini, dan mencoba menganalisa data Hepatitis virus dari Rumah Sakit, yang mendiagnosa berdasarkan gejala klinik dan beberapa ditambah dengan pemeriksaan fungsi hati. Jelas data ini tidak sempurna, oleh karena ada Hepatitis yang asimtomatik dan karier yang cukup penfing dalam epidemiologi. Akan dicoba pula membandingkan dengan hasil-hasil laporan berdasarkan pertanda serologik (serological markers).

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

KLINIK, DIAGNOSTIK DAN EPIDEMIOLOGI HEPATITIS VIRUS Hepatitis virus A (HVA) disebabkan oleh virus RNA, ditularkan melalui kontak langsung secara orofekal. Virus didapatkan pada tinja penderita pada masa penularan yang mulai pada akhir masa inkubasi sampai dengan fase permulaan prodromal (Horwitz CA, 1981). Sedangkan masa inkubasi 15—50 hari (rata-rata 28 hari). Hepatitis virus B (HVB) disebabkan oleh virus DNA, terdiri atas inti bagian dalam dan pembungkus luar. HVB ditularkan secara horizontal oleh penderita dan pembawa (karier) melalui pemakaian alat suntik, darah yang terkontaminasi pada proses transfusi darah, kontak mulut ke mulut, hubungan seksual, pemakaian alat cukur dan sikat gigi bersama, melalui AST dan penularan secara vertikal dari ibu hamil kepada bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir (Tong, MJ, 1979). Diduga 20—40% karier terinfeksi pada masa perinatal (Beasley, 1982, 1983; Steven CE. 1982). Masa inkubasi 30—180 hari (rata-rata 60 hari). Hepatitis virus Non-A Non-B (HVNANB) didapatkan pada tahun 1964. Secara klinis epidemiologik hampir serupa dengan HVB, dengan masa inkubasi 30—160 hari (rata-rata 45 hari). Sekitar 30% menjadi Hepatitis kronik dan separuhnya ialah Hepatitis kronik aktif (Herwitz CA, 1981; Sherlock S, 1976; Krugman S, 1979). Gejala klinik dan biokemik, bahkan histopatologik tiga macam Hepatitis ini sering kali serupa sehingga sukar dibedakan. Dari perubahan biokemik mungkin didapatkan peninggian SGPT, SGOT, bilirubin serum, fosfatase alkali, dan tes flokulasi (TTT, Kunkel dll). Kenaikan transaminase yang menyolok mempunyai nilai diagnostik. Berdasarkan hal-hal di atas, diagnosis secara imunologik berupa pemeriksaan pertanda serologik mempunyai peranan yang penting untuk menentukan diagnosis, perjalanan penyakit dan prevalensi



penyakit Hepatitis virus untuk menentukan besarnya masalah penyakit ini dalam masyarakat. Untuk mendapat pengertian mengenai arti pertanda serologik Hepatitis virus ini, akan diuraikan respon imunologik dan interpretasinya sebagai berikut (Abbot, Laboratorium Diagnostic, 1981; Krugman S, 1979). • Anti HAV: Berupa tipe dari IgG yang menunjukkan infeksi yang lalu. Sedangkan tipe IgM menunjukkan infeksi yang akut. • HBsAg (Hepatitis B surface Antigen): - pertanda paling dini dari infeksi akut - pertanda infeksi kronik • Anti HBs : Zat anti terhadap HBsAg - pertanda penyembuhan klinis - timbul lebih kurang 4-5 bulan setelah penularan • Anti HBc : Zat anti terhadap Hepatitis B core antigen penting anti HBcIgG merupakan pertanda infeksi akut walaupun HBsAg dan anti HBs negatif (core window) infeksi yang lain dan infeksi kronik. • HBcAg - Pei tanda dini infeksi aktif yang akut: periode paling menular 1⁄2 - 3½ bulan) Bila terus meninggi setelah 3½ bulan, merupakan pertanda kronik. • Anti HBe - Merupakan pertanda penyembuhan (HBeAg - -- > Anti HBe ) - Pada core window, bersama dengan anti HBcIgG merupakan pertanda penyakit akut.

Tabel 1.

Diagnosis serologik (Krugman S dikutip Norman, 1983). Hasil Interpretasi

Anti HAV IgM

HBsAg

Anti HBe

+

-

-

Infeksi Hepatitis A akut yang baru

-

+

-

-

+

+

Infeksi Hepatitis B akut yang baru Infeksi akut Hepatitis B kronik, simtom mungkin tidak berhubungan dengan tipe B.

-

-

+

Infeksi baru Hepatitis B (core window) bila Anti HBs positif -> infeksi Hepatitis yang lama -> mungkin HNANB. Bila Anti HBs negatif, Anti HBe positif infeksi barn Hepatitis B -> ulangi tes anti HBs dalam 4-6 minggu (sebagai tanda penyembuhan). Bila HBs negatif, Anti HBe negatif -+ diduga infeksi lama.

-

-

-

Infeksi HNANB

+

+

+

Hepatitis A yang baru, Hepatitis B kronik (profit tidak biasa).

Untuk lebih mengetahui kapan populasi yang terjangkit (exposed) oleh virus Hepatitis B, dipakai istilah Minimal Exposure Rate (MER), yang merupakan jumlah persentase HBsAg positif dan anti HBs positif. Pemeriksaan pada donor darah (20-45 tahun) di beberapa daerah dapat dilihat pada Tabel 2 (Sulaiman A, dkk, 1981; Suwignjo S, dkk, 1984). Tabel 2.

Minimal Exposure Rate terhadap virus Hepatitis B di beberapa kota di Indonesia

Kota Pontianak Padang Semarang Surabaya Ujung Pandang Palembang Jakarta Denpasar Bandung Mataram

HBeAg (+) %

Anti HBs %

MER %

9,1 8,0 6,7 6,7 6,4 5,5 5,2 5,0 3,5 5,6

47,3 51,0 40,2 55,0 53,3 35,7 47,0 44,7 35,7 28,5

56,4 59,0 46,9 61,7 59,9 41,2 52,2 49,7 39,2 34,1

MER pada penduduk yang sehat dari beberapa daerah terlihat pada Tabel 3 (dikutip dari Suwignjo, 1983)

Dari segi kesehatan . masyarakat, berdasarkan hasil-hasil penelitian di beberapa tempat di Indonesia, yaitu tingginya prevalensi Hepatitis virus ini merupakan indikasi bahwa sebetulnya sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat. Namun belum mendapat perhatian, terutama di daerah-daerah, karena jarang menyebabkan kematian langsung. Seperti kita ketahui, Hepatitis B virus nantinya akan bisa menjadi kronik, hepatoma, sirosis hepatis dan kanker hati hepatoseluler.

Tabel 3.

MER pada populasi sehat di beberapa daerah di Indonesia. Peneliti

1. Mulyantodkk (Sumbawa, 1982) 2.. Effendi dkk (Bima, 1983) 3. Sanjaya dkk (Irian Jaya, 1983) 4. Suwignjo dkk

Umur populasi

MER (%)

3-20 tahun (STK-SLA) 3-20 tahun (STK-SLA) 20-55 tahun (karyawan kesehatan) 3 bin - 30 th

37,0 37,2 61,6 43,5

Cermin Dunia Kedokteran No.40, 1985

7

Penelitian Suwignjo dkk (1984) pada ibu-ibu yang melahirkan di Mataram (1253 kasus) terdapat HBsAg positif 3,4%, Anti HBs positif 25,9%, sehingga MER 29,3%, sedangkan Teluksebodo, 1985 (Yogyakarta) di antara 50 ibu hamil, terdapat 2% HBsAg positif. Sebelumnya Suwignjo, Noer, HMS dkk (Jakarta, 1981), Hendra R (Surabaya, 1981) dan Suwignjo dkk (Mataram, 1984), Teluksebodo, Wiharta AS, masing-masing tahun 1985, telah meneliti HBsAg dan HBeAg pada ibu hamil bersalin. Hasil penelitian tersebut seperti terlihat pada Tabel 4. Penularan secara vertikal telah dapat dibuktikan yaitu dari ibu yang hamil atau melahirkan kepada janin dan bayinya dalam masa perinatal (Steven CE, et.a1. 1975: Worg V.1984). Teluk Sebodo (1985) mendapatkan dari tujuh anak HBsAg positif, terdapat 14,3% dari ibu dan saudara kandungnya HBsAg positif. Sedangkan pada anak HBsAg dan anti HBs positif tidak didapatkan ibu dan saudara kandungnya dengan HBsAg positif. Suwignjo, 1984 niencniukan infeksi vertikal dari ibu hamil terjadi pada 34,2% dari ibu dengan HBsAg positif, dan 52,21 pada ibu dengan HBeAg positif. Thahir AG dkk. 1985, telah mcmcriksa 277 ibu hantil yang belum pernah menderita ikterus. Hasil pemeriksaan serologik pada ibu hamil/yang melahirkan serta serologik pada bayinya yang baru lahir sebagai berikut:(Tabel 5) Dari hasil tersebut, maka prevalensi transmisi vertikal cukup tinggi (30,6%). Infeksi vertikal ini penting oleh karena melahirkan bayi karier yang HBsAg positif sangat infeksius se-

8 Ceimin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Tabel 5.

Prevalcnsi HBsAg positif dan Anti HBs positif pada ibu hamil/melahirkan ( RSGS, Jakarta, 1985)

Status serologik HBsAg positif Anti tilts positif

Ibu

Bayi

10,8% 22,7%

30,6% 58,8%

Criteria

Bagai suatu sumber penularan horizontal terhadap anak-anak

lain yang relatif lebih rentan daripada orang dewasa. Prevalensi Hepatitis (MER) pada anak di beberapa daerah seperti tercantum pada Tabel 6. Tabel 6.

MER hepatitis B virus pada anak

Peneliti

(%)

2--5

Suwigojo Mataram. 1984 Suwigojo, Mataram. 1983 Ju lius dkk Padang, I985 \\Marto \S dkk lakarta. 1985

HBsAg (+)

Umur (th)

10 0

3,4 5,8 3,2 5,5

0

12

9,2

6,3 8.1 3,2 8,04 16,2

HBsAg (+) Anti HBs Childhood Infection Neonatal Infection Zones

B

Prevalences

Low

Intermediate

High

0,2—1,5% 4,0—6,0% infrequent

2—7% 20—55% frequent

---

frequent

8—20% 70—95% highly frequent highly frequent China, Southern Asia, Africa

Australia, Central Europe, North America

Eastern Europe, Japan, Mediteranean, USSR, South west Asia

MER (%)

2,8

0

-4 5- 9 12 12

0

Anti HBs ( %)

Tabel 7. Patterns of Hepatitis

2,8 9,7 13,9 6,4 13,29 25,4

HEPATITIS DI KALIMANTAN TIMUR Sistem pelaporan Hepatitis di Kalimantan Timur berupa laporan kasus dan kematian dari RS Propinsi, RS Kabupaten dan RS Swasta yang disusun sesuai dengan golongan umur, kepada Dinas Kesehatan Propinsi. Namun laporan dari rumah sakit itu tidak konsisten, dan diagnosis dari kasus hanya klinik dan laboratorik: bilirubin kemih dan kadang-kadang biokimia darah, Data pelaporan kasus hepatitis dari rumah sakit-rumah sakit tersebut, dapat terlihat pada Tabel 8.

Dalam tabel ini terlihat angka kematian kasus (C1-R) yang berfluktuasi tinggi pada tahun 1980. 1982, 1983 dan menurun tahun 1981 dan 1984.

Di Kalimantan Timur, hasil pemeriksaan laboratorium Kesda (1982) dari masyarakat 10—59 tahun didapatkan MER 45,35%, yaitu HBsAg positif 9,61% dan Anti HBs 36.04% (Ratradi, 1985). Menurut WHO (Deinhart F, dkk, 1982) prevalensi Hepati tis dibagi dalarn tiga kategori (Tabel 7). Jelas bahwa Indonesia, sesuai dengan hasil-hasil penelitian di daerah termasuk Intermediate Prevalence, bahkan pada daerah tertentu termasuk dalam kategori High Prevalence (Suwignjo, 1985).

Dalam grafik Gambar 4, penderita yang terbanyak berumur 5—10 tahun pada tahun 1980 dan 1982. Sedangkan pada tahun 1981, 1983 dan 1984 penderita yang terbanyak dirawat di RSU Samarinda Propinsi Kalimantan Timur telah dirawat penderita hepatitis akut/kronis dan sirosis hepatitis seperti terlihat pada Tabel 8. Berdasarkan data di atas, maka secara statistik dapat disimpulkan : 1. Tidak ada perbedaan yang berarti antara penderita laki-laki dan wanita (1980. SDbM = 3,6), p > 0.05. 2. Tidak ada perbedaan yang berarti pada kasus tahun 1980 2= s/d tahun 1984 (X 12,09 ; db = 4 ; p > 0,01).

Cecmin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

9

valence. Pada saat ini, upaya pencegahan yang paling effektif ialah vaksinasi Hepatitis virus B. Walaupun sudah banyak kemajuan pemakaian vaksin ini, tetapi harganya masih mahal, maka perlu diambil suatu strategi dengan landasan rekomendasi dari WHO. Untuk Intermediate/high Prevalence maka diberikan pada semua bayi (pre-exposed) dan bayi yang ibunya HBsAg positif (post-exposed). RINGKASAN 1) Telah diuraikan diagnostik klinik, biokemik dan serologik dari hepatitis virus. 2) Juga telah diuraikan prevalensi HBs Antigenemia dan MER Hepatitis di beberapa dacrah Indonesia pada golongan dewasa sehat. anak-anak. ibu hamil dan melahirkan, bayi-bayi yang dilahirkan dan golongan resiko tinggi. 3) Untuk Kalimantan Timur maka data RS hanya berdasarkan klinik dan kadang-kadang biokemik. Pemeriksaan serologik belum dilakukan sehingga data epidentiologik belum baik. 4) Hasil dari pemeriksaan serologik Laboratorium Kesehatan Daerah Kalimantan Timur memperlihatkan Kalimantan Timur sebagai daerah Intermediate Prevalence. 5) Strategi pencegahan berupa pentbenian vaksin HVB, harus didasarkan pada rekomendasi WHO dan pertimbangan-perti mbangan lain. * Dihanakan pada Sinrposium Penyakit hati Kalimantan Timur. Samarinda 20 oktober 1985.

DISKUSI Walaupun data dari rumah sakit-rumah sakit di Kalimantan Timur masih berupa data tanpa konfirmasi serologik, dan hanya berdasarkan gejala klinik dan sebagian biokernik, maka secara kasar dapat dilihat bahwa penderita yang dirawat cukup berarti. Di RSU Samarinda, terdapat 1 — 1,5% dari seluruh penderita yang dirawat. Dari beberapa RS, terlihat yang paling banyak dirawat ialah dari golongan umur 5 — 15 tahun, yaitu infeksi dini yang akut dengan adanya simtom klinik dari laboratorik. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan yang berarti (significant) antara penderita pria dan wanita dan tidak pula berbeda bermakna penderita-penderita tahun 1980 sampai dengan 1984, sehingga bersifat endemik. Namun oleh karena tidak dilakukan pemeriksaan pertanda serologik, maka kita sukar untuk menentukan jenis dan keadaan hepatitis ini (akut/kronik atau HVA, HVB, HVNANB). Pemeriksaan serologik oleh Laboratorium Kesehatan Daerah Kalimantan Timur (1982) memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan daerah lain. Sesuai dengan ketentuan WHO, Kalimantan Timur termasuk dalam Intermediate Pre10

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Antigen dan Antibodi Hepatitis B di Propinsi Kalimantan Timur Dr.

Ratnadi J. *, Dr. J. Widyaharsana **

* Balai Laboratorium Kesehatan Samarinda

** Pusat Laboratorium Kesehatan DepKes R.I.

PENDAHULUAN Penyakit yang disebabkan oleh Hepatitis Virus B merupakan problem kesehatan masyarakat pada sebagian besar negara di dunia. Beberapa penelitian menunjukkan, kira-kira 5% penduduk adalah pembawa Hepatitis Virus B1 . Walaupun bentuk akut penyakit ini kebanyakan sembuh sendiri, makin banyak diketahui bahwa Hepatitis Virus B dapat memberikan akibat jangka panjang berupa penyakit hati menahun yang tak bisa disembuhkan 2 . HBsAg ditemukan pada : — 30% sampai 85,7% penderita hepatitis rnenahun - 19% santpai 76,2% penderita sirosis hepatis — 17% sampai 68,4% penderita hepatoma 3 Prevalensi infeksi Hepatitis Virus B di Indonesia, seperti di negara-negara Asia Tenggara lainnya, cukup tinggi. Penelitianpenelitian yang pernah dilakukan terhadap Petugas Kesehatan dan Donor Darah sehat di beberapa Propinsi di Indonesia. memberikan hasil : —frekuensi HBsAg (metode RPHA) antara 3,5% sampai 13,3% — frekuensi Anti-HBs (metode PHA) antara 31,4% sampai 55%3 Untuk melengkapi data-data prevalensi HBsAg dan Anti-HBs di Indonsia, telah dilakukan pemeriksaan HBsAg dan AntiHBs pada petugas kesehatan. dan beberapa kelompok penduduk di Propinsi Kalimantan Timur. BAHAN DAN CARA Pemeriksaan Petugas Kesehatan Pada tahun 1982, telah dilakukan pemeriksaan HBsAg dan Anti-HBs terhadap 805 petugas kesehatan yang terdiri dari 262 orang pegawai RSU Samarinda, 160 orang pegawai RSU Balikpapan, 89 orang pegawai RSU Tarakan, 25 orang pegawai RSU Tanjung Selor, 24 orang pegawai RSU Tanjung Redep, 25 orang pegawai RSU Tenggarong, 25 orang pegawai RSU

Tanah Grogot, 40 orang pegawai RS Jiwa, 15 orang pegawai RS Kusta, 54 orang pegawai DKK Samarinda. 45 orang pegawai Kantor Wilayah DepKes Propinsi Kalimantan Timur, dan 41 orang pegawai Balai Laboratorium Kesehatan Samarinda. Pada beberapa satuan kerja telah diperiksa seluruh pegawai yang ada, sedang pada lainnya ditentukan oleh Kepala Rumah Sakit sesuai dengan jatah yang kami berikan. Para responden diminta mengisi angket mengenai usia, masa kerja, pernah atau tidak menderita "sakit kuning " , ada/tidaknya kontak erat dengan penderita "sakit kuning " , ada/tidaknya tindakan parenteral yang dialami selama 6 bulan terakhir, dan tempat kerja serta jenis profesi mereka. Pengambilan darah vena dilakukan dengan menggunakan disposable syring. Serum segera dipisahkan dan disimpan dalam botol suci hama dengan pengawet sodium Aside 0.1%. Selama belum diperiksa, disimpan pada suhu 4—10°C. HBsAg diperiksa dengan metode RPHA dan anti HBs dengan metode PHA, dengan reagensia kit dari Serodia. Semua serum diperiksa terhadap HBsAg. Serum yang menunjukkan hasil HBsAg negatif diperiksa terhadap Anti HBs. Pemeriksaan Kelompok Masyarakat Angka-angka BHsAg dan Anti HBs untuk kelompok masyarakat kami dapatkan dari : — 400 orang Donor Darah PMI Samarinda (1983 — 1984) — 166 orang penduduk Tanjung Redep (1Q83) — 100 orang calon siswa perawat dan pegawai baru (1983). dengan usia antara 9 tahun sampai 57 tahun. Jumlah responden pria 553 orang dan wanita 113 orang. Kami minta mereka mengisi angket tentang usia, jenis kelamin, pernah/tidaknya menderita "sakit kuning" dan berhubungan erat dengan penderita "sakit kuning", ada/tidaknya tindakan parenteral yang dialami selatna 6 bulan terakhir dan suku bangsa masingmasing. Serum dari darah donor PMI didapat pada waktu yang bersangkutari memberikan darahnya, ditampung dalam tabung Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

11

terpisah. Untuk penduduk Tanjung Redep, pengambilan darah dilakukan dengan disposable syringe terhadap Pegawai Negeri, siswa SD, SLIP, SLTA. Darah calon siswa perawat dan pegawai baru diambil sebelum mereka mulai berhubungan dengan penderita. Semua darah vena langsung dipisahkan serumnya, disimpan dalam botol suci hama dengan pengawet Sodium Aside 0,1%. Sebelum diperiksa disimpan pada suhu 4 — 10°C. Pemeriksaan HBsAg dan Anti HBs terbatas pada pemeriksaan kualitatif saja. Titer tidak diperiksa. HASIL I. Petugas Kesehatan Dari 805 orang yang diperiksa, ternyata 58 orang atau 7,20% mengandung HBsAg dan 279 orang atau 37,35% mengandung Anti HBs. 1. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan "Jenis kelamin" responden adalah sebagai berikut :

Tampaknya frekuensi HBsAg positif lebih tinggi pada pegawai dengan masakerja lebih dari 6 bulan, sedangkan untuk Anti HBs positif sebaliknya lebih tinggi pada masakerja kurang dari 6 bulan. Perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. 4. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan " Sakit Kuning" "

Sakit kuning "

Sampel

HBsAg positif Jumlah

Pernah Tak pernah

94 711

9 49

%

9,57 6,89

Anti HBs positif Jumlah

26 253

%

27,66 35,58

Tampaknya frekuensi HBsAg positif pada pegawai yang pernah mengalami ' sakit kuning" lebih tinggi dibandingkan dengan yang belum pernah. Tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. (di sini P lebih dari 0,05). Frekuensi Anti HBs lebih tinggi pada petugas yang belum pernah mengalami "sakit kuning". Perbedaan ini bermakna secara statistik, P lebih kecil dari 0,05. 5. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan "Adanya kontak erat" dengan penderita "Sakit Kuning'

Tampaknya frekuensi HBsAg pada Pria lebih banyak daripada Wanita. Perbedaan ini secara statistik mendekati bermakna. Di sini P lebih besar dari 0,05, tetapi lebih kecil dari 0,1. Frekuensi Anti HBs hampir sama pada Pria dan Wanita. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna. 2. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan "kelompok usia" Kelompok usia kurang dari 19 th.

20 — 29 th. 30 — 39 th. 40 — 49 th. lebih dari 50 th.

Sampel

15 384 241 112 53

HBsAg positif Jumlah

%

0 19 22 12 5

0 4,95 9,13 10,71 9,43

Anti HBs positif Jumlah

7 133 84 41 14

%

46,67 34,63 34,85 36,61 26,41

Tampaknya terdapat perbedaan frekuensi HBsAg dan Anti HBs positif pada macam-macam kelompok usia. Perbedaan yang secara statistik bermakna adalah: HBsAg antara kelompok usia 20 — 29 tahun dengan kelompok usia 30 — 39 tahun, dan antara kelompok usia 20 — 29 tahun dengan 40 — 49 tahun. 3. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan "Masa Kerja" Masa kerja

Sampel

HBsAg positif Jumlah

Kurang dari 6 bulan Lebih dari 6 bulan

Anti HBs positif

%

Jumlah

%

43

3

6,98

18

41,86

762

55

7,22

261

34,25

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Kontak dengan penderita

Ada Tidak ada

Sampel

63 742

HBsAg positif

Anti HBs positif

Jumlah

%

Jumlah

%

7 51

11,11 6,87

18 261

28,57 35,17

Tampaknya pegawai yang pernah mengalami kontak erat dengan penderita "sakit kuning" menunjukkan frekuensi

HBsAg yang lebih tinggi, tetapi sebaliknya frekuensi Anti HBs lebih rendah, dibandingkan dengan yang tidak ada kontak. Perbedaan ini tidak bermakna secara statistik, P lebih besar dari 0,05. 6. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan ' Tindakan Parenteral " yang dialami selama 6 bulan terakhir Tindakan parenteral

Sampel

HBsAg positif

Apoteker

5

0

Paramedik Klinik

397

27

6,80

147

37,03

54

8

14,81

22

40,74

313

20

6,39

96

30,67

32,41 35,01

Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan Jenis tindakan parenteral Sampel

HBsAg positif Jumlah

/

Anti HBs positif Jumlah

%

Perawatan gigi

65

2

3,08

21

32,31

Suntikan

37

2

5,40

14

37,84

Operasi

15

0

0

4

Tranfusi

9

0

0

1

Vaksinasi

6

1

Infus

1

16,66

1

26,66 1,11 16,66

0

0

0

0

Perbedaan frekuensi HBsAg dan Anti HBs positif di antara macam-macam jenis tindakan parenteral tersebut di atas tidak bermakna secara statistik. (P lebih besar dari 0.05). 7. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan Tugas' . Tempat tugas

Sampel

HBsAg positif Jumlah

Laboratorium Bank Darah

47

8

9

0

Poliklinik Bangsal

126

12

294

Administrasi

158

Penunjang

171

% 17,02 0

%

Anti HBs positif

Tampaknya frekuensi HBsAg maupun Anti HBs positif pada pegawai yang pernah inengalami tindakan parenteral lebih keeil dibandingkan dengan yang tidak. Perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. P lebih besar dari 0,05.

Jenis tindakan parenteral

6,45

Jumlah

1

35 244

53

%

2

4,63 7,60

697

Jumlah

Anti HBs positif

5

%

Tidak ada

HBsAg positif

31

Jumlah

5

Sampel

Dokter Gigi

/ %

108

Profesi Dokter

Jumlah

Ada

8. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan Profesi

20

Tenaga Administrasi/ Penunjang

25,81

20

2

40

0

4

80

Perbedaan frekuensi HBsAg positif di antara macam-macam profesi tidak ada yang bermakna secara statistik. (P lebih besar dari 0,05). Perbedaan frekuensi Anti HBs positif yang bermakna secara statistik terdapat antara profesi Apoteker dengan Dokter, Paramedik Klinik dan Tenaga Administrasi/Penunjang. (P lebih kecil dari 0,05). Perbedaan frekuensi Anti HBs positif antara Apoteker dengan Paramedik Laboratorium mendekati bermakna. (P lebih besar dari 0.05, tetapi lebih kecil dari 0.1). II. Kelompok Masyarakat Dari 666 orang kelompok masyarakat yang diperiksa. ternyata 64 atau 13,73% mengandung HBsAg. dan 240 orang atau 36,04% mengandung Anti HBs. 1. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan "Jenis Kelamin" Jenis Kelamin

Sampel

"Tempat

Anti HBs positif Jumlah

Paramedik Labonttorium

8

HBsAg positif

Anti HBs positif

Jumlah

%

Jumlah

%

Pria

553

58

10,49

201

36,35

Wanita

113

6

5,31

39

34,51

% 42,55

3

33,33

41

32,53

17

9,52 5,78

111

37,75

7

4,43

52

32,91

14

8,19

52

30,41

Tampak adanya perbedaan frekuensi HBsAg positif di antara macam-macam tempat tugas. Perbedaan yang bermakna secara statistik terdapat antara Laboratorium dengan Bangsal dan Administrasi (P lebih kecil dari 0,05). Perbedaan antara Laboratoritm dengan Penunjang dan antara Poliklinik dengan Administrasi mendekati bermakna secara statistik (P lebih besar dari 0,05 tetapi lebih kecil dari 0,1). Perbedaan frekuensi Anti HBs di antara macam-macam tempat tugas tidak bermakna secara statistik.

Tampaknya frekuensi HBsAg maupun Anti HBs positif lebih banyak pada pria daripada wanita. Perbedaan frekuensi HBsAg di sini mendekati bermakna secara statistik. (P lebih besar dari 0,05, tetapi lebih kecil dari 0.1). Perbedaan frekuensi Anti HBs di sini tidak bermakna secara statistik (P lebih besar dari 0,05). 2. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan Usia " Kelompok usia

Kurang dari 19 th. 20 th. - 29 th. 30 th. - 39 th. 40 th. - 49 th. Lebih dari 50 th.

Sampel

200 252 143 61 10

HBsAg positif

"

Kelompok

Anti HBs positif

Jumlah

%

Jumlah

%

20 22 12 10 0

10,00 8,73 8,39 16,39 0

69 99 51 17 4

34,50 39,28 35,66 27,87 40,00

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

13

Perbedaan frekuensi HBsAg dan Anti HBs positip antara macam-macam kelompok usia di sini tidak bermakna secara statistik. Perbedaan frekuensi HBsAg positif antara kelompok kurang dari 19 tahun dengan 20 tahun - 29 tahun dan antara 30 tahun - 39 tahun dengan 40 tahun - 49 tahun mendekati bermakna. Demikian pula frekuensi Anti HBs positif antara kelompok 20 tahun - 29 tahun dengan 40 tahun - 49 tahun. P lebih besar dari 0,05 tetapi lebih kecil dari 0,1. 3. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan "Sakit Kuning" Sakit Kuning Pernah Tak pernah

Sampel

HBsAg positif Jumlah

Anti HBs positif

%

21

3

14,28

645

61

9,45

%

Jumlah 12 228

57,14

35,35

Tampaknya frekuensi HBsAg maupun Anti HBs positif lebih besar pada responden yang pernah menderita "sakit kuning" Perbedaan frekuensi HBsAg positif tidak bermakna secara statistik (P lebih besar dari 0,05). Perbedaan frekuensi Anti HBs bermakna secara statistik (P lebih kecil dari 0,05).

Buton Arab Batak Bonrbai Cina Flores Palembang

Ada Tidak ada

23 643

HBsAg positif Jumlah

%

4 60

17,39 9,33

Anti HBs positif Jumlah 7 233

% 30,43 36,24

Tampaknya frekuensi HBsAg positif lebih tinggi pada responden yang pernah berhubungan erat dengan penderita "sakit kuning", sebaliknya frekuensi Anti HBs lebih rendah. Kedua perbedaan tersebut tidak bermakna (P lebih besar dari 0,05 untuk keduanya).

Banjar Jawa Berau Kutai Dayak Bugis Sunda Tak jelas Madura Toraja Timor Menado Ambon Bali 14

Sampel

HBsAg positif Jumlah

%

Tindakan parenteral Ada Tidak ada

187

22

11,76

159

13

8,18

135

11

8,15

86 31 26 9 5 4

9 2

10,46

4

4 3 2 2

53 58 49 36

6,45 3,85

12

38,71

1

13

1

11,11

5

1

20,00 0 50,00 25,00 0

1

50,00 55,55 20,00 75,00

0 2 1 0

0 0

3 0 3 1

0

0

0

1

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

0 75,00 33,33 0 50,00

0

0

1

0

1 1

0 0

0 0 0

Sampel 82 592

Jenis tindakan Sampel parenteral Vaksinasi Suntikan Operasi Perawatan gigi Transfusi Tidakada

28,34

41,86

1

0 1 0 0 0 1 0

HBsAg positif

0 100,00 0 0 0 100,00 0

Jumlah

%

11

13,41

56

9,46

Anti HBs positif Jumlah

%

26 214

31,71

Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan parenteral"

%

36,48 36,30

0 0 0

36,15

Tampaknya frekuensi HBsAg positif lebih tinggi pada responden yang pernah mengalami tindakan parenteral selama 6 bulan terakhir. Sebaliknya frekuensi Anti HBs lebih rendah. Perbedaan-perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (P lebih besar dari 0,05).

Anti HBs positif Jumlah

0 0

6. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan "Tindakan Parenteral"

5. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan Suku Bangsa Suku Bangsa

0

Mengingat jumlah responden untuk macam-macam suku bangsa tidak merata, banyak di antaranya di bawah 10, maka hanya ditinjau perbedaan antara suku-suku Banjar, Jawa, Berau, Kutai. Dayak dan Bugis. Hanya perbedaan frekuensi Anti HBs antara suku Banjar dengan suku Bugis yang mendekati bermakna secara statistik (P lebih besar dari 0,05 tetapi lebih kecil dari 0,1).

4. Hubungan antara HBsAg dan Anti HBs positif dengan "Adanya kontak erat" dengan penderita "Sakit Kuning" Kontak dengan penderita Sampel

2 1 1

1 67 0 14

0 592

HBsAg positif Jumlah 0 8 0 3 0 56

% 0 11,94

0 21,43

0 9,46

"

Jenis tindakan

Anti HBs positif Jumlah 0 24

0 2 0 214

% 0 35,82 0 14,28

0 36,15

Perbedaan frekuensi HBsAg maupun Anti HBs positif antara macam-macam jenis tindakan parenteral tidak bermakna secara statistik. PEMBICARAAN Bila kami bandingkan hasil antara "Petugas Kesehatan" dengan "Masyarakat" maka kami dapatkan : Kelompok ,

Petugas Kesehatan Masyarakat

Sampel 805 666

HBsAg positif Jumlah

%

58 64

7,20 13,73

Anti HBs positif Jumlah 279 240

% 37,35 36,04

Frekuensi HBsAg positif pada masyarakat lebih tinggi dari pada petugas kesehatan. Perbedaan ini bermakna secara statistik (P lebih kecil dari 0,05). Sebaliknya, frekuensi Anti HBs positif pada petugas kesehatan lebih tinggi daripada masyarakat. Perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Perbedaan frekuensi HBsAg tersebut kemungkinan disebabkan oleh karena banyaknya kelompok usia di bawah 19 tahun pada responden masyarakat (200 orang) dibandingkan dengan pada petugas kesehatan (15 orang). Hasil yang didapat di Mataram juga menunjukkan frekuensi HBsAg positif tertinggi terdapat pada kelompok usia 13 sampai 20 tahun. Bila kita bandingkan frekuensi HBsAg dan Anti HBs positif dengan data-data dari Propinsi lain di Indonesia, angka-angka dari Propinsi Kalimantan Timur masih terletak di antara angka tertinggi dan terendah.

dengan ada/tidaknya kontak erat dengan penderita " sakit kuning", baik pada petugas kesehatan maupun pada kelompok masyarakat, tidak bermakna secara statistik. Mungkin hal ini disebabkan oleh karena bukan mereka yang menderita "sakit kuning" saja yang mungkin menularkan virus Hepatitis B.

Hubungan jenis kelamin dengan frekuensi HBsAg positif pada petugas kesehatan maupun kelompok masyarakat menunjukkan hasil yang sama, pria lebih tinggi daripada wanita. Perbedaan ini mendekati bermakna secara statistik. Hasil yang didapat pada pelajar dan mahasiswa di Mataram juga sama, tetapi perbedaannya tidak bermakna secara statistik. Menurut perpustakaan, HBs antigenemia juga lebih tinggi pada pria 2 Sedang frekuensi Anti HBs positif pada kedua jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.

Pada petugas kesehatan yang bekerja di laboratorium, frekuensi HBs antigenemia sangat menonjol tingginya. Memang petugas laboratorium dalam melaksanakan tugas rutinnya selalu berhubungan dengan bahan-bahan dari manusia yang menurut perpustakaan bisa mengandung Hepatitis Virus B. Karena tidak melihat sendiri keadaan penderita sumber spesimen, mereka cenderung untuk melupakan bahwa spesimen yang mereka hadapi sebenarnya. bisa merupakan sumber penularan penyakit. Terutama mereka yang bekerja dengan darah dan serum penderita. Pada petugas yang bekerja di Poliklinik, frekuensi HBs antigenemia juga agak menonjol. Ini mungkin disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan, sehingga mereka tak sempat memikirkan tindakan-tindakan pencegahan penularan. Frekuensi Anti HBs positif yang menonjol tingginya pada profesi Apoteker mungkin disebabkan oleh jumlah responden yang kecil. Untuk mendapatkan gambaran tentang perbedaan frekuensi HBsAg dan Anti HBs positif pada macam-macam suku bangsa di Indonesia, diperlukan jumlah responden yang lebih besar dan seimbang untuk masing-masing suku.

Distribusi HBsAg dan Anti HBs positif menurut kelompok usia tidak menunjukkan persamaan antara petugas kesehatan dan kelompok masyarakat, kecuali bahwa % HBsAg positif tertinggi terdapat pada kelompok usia 40—49 tahun. Hasil dari Mataram menunjukkan % HBsAg maupun Anti HBs tertinggi terdapat pada kelompok usia 13 sampai 20 tahun. Kemungkinan di Propinsi Kalimantan Timur penularan Hepatitis Virus B memang terbanyak terjadi pada usia sekitar 40 tahun. Pada hubungan antara "sakit kuning" yang pernah diderita dengan HBsAg positif, tampak persamaan antara petugas kesehatan dengan kelompok masyarakat. Pada keduanya % HBsAg positif lebih tinggi pada responden yang pernah mengalami "sakit kuning" dibandingkan dengan yang belum. Tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. "Sakit kuning" yang biasa dikenal oleh orang awam, kalau disebabkan oleh Hepatitis Virus B, maka HBsAg akan menghilang dalam waktu 12 minggu. Di sini sebagian besar responden menderita ' sakit kuning" lebih dari 6 bulan yang lalu. Sedang untuk frekuensi Anti HBs positif, pada petugas kesehatan yang pernah menderita "sakit kuning" lebih kecil dibandingkan dengan yang belum pernah. Pada kelompok masyarakat kami dapatkan keadaan sebaliknya. Perbedaan pada keduanya bermakna secara statistik. Hasil dari Mataram menunjukkan frekuensi HBsAg maupun Anti HBs positif lebih tinggi pada yang pernah menderita Hepatitis, walaupun tidak bermakna secara statistik. Mengapa petugas kesehatan di Propinsi Kalimantan Timur yang pernah menderita "sakit kuning" justru lebih kecil frekuensi Anti HBs positifnya merupakan pertanyaan yang perlu dicari jawabannya. Mungkinkah pada petugas kesehatan sebagian besar "sakit kuning" bukan disebabkan oleh Hepatitis Virus B? Hubungan antara frekuensi HBsAg dan Anti HBs positif

Hubungan antara frekuensi HBsAg dan Anti HBs positif dengan ada/tidaknya tindakan parenteral yang dialami selama 6 bulan terakhir, baik pada petugas kesehatan maupun pada kelompok masyarakat, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik. Demikian pula antara macammacam jenis tindakan parenteral. Dalam perpustakaan disebutkan bahwa di daerah dengan insidensi HBs antigenemia tinggi, cara penularan non parenteral lebih penting dibandingkan dengan cara penularan parenteral.

RINGKASAN Telah dilakukan pemeriksaan HBsAg dan Anti HBs pada 805 orang petugas kesehatan dan 666 orang kelompok masyarakat di Propinsi Kalimantan Timur. Pemeriksaan dilakukan dengan metode RPHA dan PHA. Hasil yang didapat adalah: 7,20% petugas kesehatan dan 9,61% kelompok masyarakat mengandung HBsAg. Sedangkan Anti HBs didapatkan pada 37,35% petugas kesehatan dan 36,04% kelompok masyarakat. Frekuensi HBsAg positif terdapat lebih tinggi pada : — jenis kelamin pria — kelompok usia 40 sampai 49 tahun — pada petugas kesehatan yang bekerja di laboratorium Frekuensi Anti HBs positif terdapat lebih tinggi pada : — petugas kesehatan yang belum pernah menderita "sakit kuning" — kelompok masyarakat yang pernah menderita " sakit kuning" KEPUSTAKAAN 1. Saul Krugman MD. Prophylaxis of Hepatitis B. 2. Soewignjo, Padmodiwirjo S, Widjaja A, Muljanto, Basuki L, RusdiCermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

15

prawira K. Antigen dan Antibodi Hepatitis B pada Pelajar dan Mahasiswa di Mataram. Maret 1979. 3. Soewignjo. Infeksi Hepatitis Virus Type B di Indonesia, suatu review. Jakarta, Oktober 1982. 4. Suwamo W. Prevalensi Antigen dan Antibodi Hepatitis Virus B di antara petugas kesehatan yang termasuk kelompok "high risk". Rapat Perencanaan dan Evaluasi Balai Laboratorium Kesehatan. Jakarta, Januari 1983.

16

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

5. Widjaja A, Soewignjo S, Muljanto, Sumarsidi D, Dohoriah, Syamsul Bachtiar Hadi, Sumardiana. Petunjuk Infeksi Virus Hepatitis B pada karyawan kesehatan di Mataram dan sekitarnya. Rapat Perencanaan dan Evaluasi Balai Laboratorium Kesehatan. Jakarta, Januari 1983.

* Dibawakan pada Simposium Penyakit Hati Kalimantan Timur, Samarinda 20 Oktober 1985.

Tinjauan Penyakit Hati di RSUP Samarinda Dr. Naek E. Panjaitan

PENDAHULUAN Penyakit hati merupakan salah satu penyakit yang paling sering dijumpai di Bagian Penyakit Dalam. Dalam tahun 1968—1972 (5 tahun) didapatkan penderita penyakit hati sebanyak 21,3% dar seluruh penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Padang. 1,2 Penyakit hati juga merupakan penyakit yang sering ditemukan di Bagian Penyakit Dalam RS. dr. Hasan Sadikin Bandung dan di Bagian Penyakit Dalam FKUGM Jogyakarta. 3,4 Akan dilaporkan penyakit hati yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Samarinda sejak 1 Agustus 1984 sampai dengan 31 Juli 1985 (satu tahun), untuk memberikan gambaran tentang penyakit hati tersebut dan di Kalimantan Timur umumnya. BAHAN DAN CARA PENYELIDIKAN.

HASIL—HASIL PENYELIDIKAN Tabel 1.

Penyakit hati menurut distribusi umur dan jenis kelamin yang dirawat di RSUP Samarinda 1984/1985.

Usia (Tahun)

Seks Laki-laki Wanita

Jumlah

%

12—19



2

2

2.2

20—29

15,

7

22

25.0

30—39

9

9

18

20.4

40—49

19

5

24

27.2

50—59

8

7

15

17.0

60—

7



7

7.9

58

30

58

100

Penyelidikan dilakukan secara restrospektif. Bahan penyelidikan diambil data-data status penderita dari Medical Penyakit hati terutama rnengenai laki-laki dengan seks ratio 1.9:1. Record RSUP Samarinda yang dirawa sejak 1 Agustus 1984 Kerapan tertinggi berturut-turut pada golongan umur 40 - 49 tahun sampai dengan 31 Juli 1985. (41.3%), golongan umur 20 - 29 tahun (37.9%), golongan umur 30 Selama satu tahun di RSUP Samarinda telah dirawat 1666 39 tahun (31.0%) dan golongan umur 50 - 59 tahun (25.8%). penderita di Bagian Penyakit Dalam, dan 88 penderita di Tabel 2. Jenis penyakit hati dan distribusi seks, yang dirawat di RSVP antaranya terdiri dari penyakit hati, (5,2%). Di antara 88 Samarinda 1984/1985. penderita hati itu, secara klinis dan laboratorik didapatkan: Laki-laki Wanita Jumlah % hepatitis akut 32 penderita, sirosis hati 30 penderita, hepa- Janis Penyakit Hati toma 6 penderita, hepatitis kronis, abses hati, tifoid hepatitis 17 1S 32 36.3 masing-masing 4 penderita, kolesistitis, batu empedu masing- 1. Hepatitis Akut 2. Sirosis hati 24 6 30 34.4 masing 3 penderita dan perlemahan hati 2 penderita. Pemeriksaan HBs Ag pada 3 penderita terdiri: kronik hepatitis 3. Hepatoma 5 1 6 6.8 1 penderita dan hepatitis 2 penderita. Pemeriksaan U.S.G. 4. Hepatitis knmik 2 2 4 4.5 dilakukan pada 31 penderita terdiri: hepatitis 3 penderita, 2 2 4 4.5 sirosis hati 11 penderita, hepatoma 6 penderita, abses hati 5. Abses hati 4 4 penderita, kolesistitis 2 penderita, batu empedu 3 pen- 6. Tifoid hepatitis 4 4.5 derita dan perlemakan hati 2 penderita. 7. Kolesistitis 2 1 3 3.4

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

17

8. Batu empedu

1

2

3

3.4

9. Perlemakan hati

1

1

2

2.2

58

30

88

Perbandingan penderita laki-laki dan wanita atau "Sex Ratio" 1.9 : 1. Angka ini sesuai dengan hasil didapatkan Julius dan Hanip di Bagian Penyakit Dalam RSU Padang. Pangalila di RSU Menado mendapatkan 2 : 1 sedang Arjono 1,3 : 1 di Jogyakarta. Umumnya penyakit hati pada golongan umur 20 - 59 tahun dengan frekwensi tertinggi pada umur 40 - 49 tahun untuk penderita sirosis hati dan golongan umur 20 - 29 tahun untuk penderita Hepatitis.

Kekerapan tertinggi terdapat pada jenis penyakit had Hepatitis Akut dan Sirosis Hati dan umumnya pada penderita laki-laki. Tabel 3. Komplikasi/Penyakit yang menyertai penyakit hati yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Samarinda 1984/1985

Jenis Penyakit Hati

Komplikasi/penyakit yang menyertai penyakit hati.

1. Hepatitis akut

Pyelonefritis (5), Ascardiasis (7).

2. Sirosis hati

TB Paru (6), Gastritis (10).

3. Hepatoma

Gastritis (1), Ascardiasis (2).

4. Hepatitis kronis

Gastritis (1).

5. Abses hati

Sepsis (2), Anemia defisiensi (2).

6. Tifoid hepatitis

-

7. Kolesistitis

Hipertensi (1), Gastritis (2).

8. Batu empedu

Pyelonefritis dengan batu (1)..

9. Perlemakan hati

DM (2).

Komplikasi penyakit yang menyertai penyakit hati yang paling sering adalah berturut-turut: gastritis, ascardiasis, dan penyakit saluran kencing. Tabel 4. Sebab kematian penderita penyakit hati yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Samarinda 1984 s/d 1985. Jenis Penyakit Hati 1. Hepatitis akut 2. Sirosis hati 3. Hepatoma 4. Hepatitis kronis 5. Abses hati 6. Tifoid hepatitis

Sebab Kematian.

Jumlah



Prosentase %





32

0

– Syok perdarahan – Koma hepatikum

5 1

6

30

20

– Perdarahan – Koma

2 2

4

6

66









0









0

– Syok perdarahan

1

1

4

25 0

7. kolesistitis







3

8. Batu empedu







3

0

9. Perlemakan hati







2

0

11

11

88

12,5

PEMBICARAAN Selama satu tahun telah dirawat 88 penderita penyakit hati dari 1.666 penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Samarinda (5.2%). Dari 88 penderita penyakit hati yang dirawat, didapatkan 58 penderita laki-laki (67%), dan 30 penderita wanita (33%). 18

Cermin Dunia Kedokteran No. 40,1985

HEPATITIS Pada penelitian ini tidak dibedakan jenis-jenis hepatitis virus infektiosa dan hepatitis serum, karena tidak dilakukan pemeriksaan serologis seperti antigen Australia, sedangkan secara klinik, laboratorik dan Epidemiologik sukar dibedakan satu sama lain' Dari seluruh penderita penyakit hati, jumlah penderita hepatitis virus 36 penderita (40.9%). Pangalila, di RSU Menado mendapatkan 55% penderita hepatitis virus dengan seks ratio 1½ : 1. Syaifullah Noer dan kawan-kawannya di RS Persahabatan Jakarta dengan angka kurang lebih sama dengan seks ratio 2 : 1. Golongan umur didapatkan umumnya antara 20 - 60 tahun, dengan kekerapan tertinggi 20 - 29 tahun. Hal ini sesuai dengan penyelidikan Julius dan Hanif di Padang; Soekomiyatno dan Theo Suharjono di RS Kariadi Semarang. Syaifullah Noer dengan kawan-kawannya menemukan insidensi tertinggi pada umur 21 - 30 tahun dan menurun setelah umur 30 tahun. SIROSIS HATI Dalam penyelidikan ini tidak dilakukan biopsi. Biopsi pada sirosis sering. juga tidak memberikan hasil yang positif, mengingat dapat mengenai jaringan sehat. Dari seluruh penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam, ditemukan sirosis hati 30 penderita (2.1%). Angka ini jauh lebih tinggi dari pada yang ditemukan oleh Pangalila di Menado (0.6%), dan juga jauh lebih rendah dari pada yang ditemukan oleh Julis dan Hanif di Padang (8.4%), serta Winoto dan Sutarto di Semarang (5.4%). Apakah faktor makanan, sosial ekonomi atau hal-hal lain yang mempengaruhi perbedaan ini memeeukan penyelidikan lebih lanjut. HEPATOMA Karsinoma hati primer sukar dibedakan secara klinis. Biopsi dan U.S.G. dapat membedakan jenis tumor-tumor ganas tersebut. Karsinoma hati didapatkan pada 6 penderita (2.2%) dari 88 penderita penyakit hati atau 0.3% dari seluruh penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSU Samarinda. Semua penderita didiagnosis dengan pemeriksaan U.S.G. Soeharjono dan Soebandiri (1973) mendapatkan 366 penderita (± 3%) dari seluruh penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RS Dr. Soetomo dalam tahun 19691972 (12346 kasus). Sri Hartini Kariadi (1974) mendapatkan 189 penderita (1.75%) dari seltiruh penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RS Dr. Hasan Sadikin Bandung selama tahun 1969 - 1973 (11193 kasus). Aryono (1975) mendapatkan 123 penderita (1.55%) dari seluruh pen-

derita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RS UGM Jogyakarta tahun 1969 - 1974 (7909 kasus). Perbandingan laki-laki dan wanita adalah 5 : 1. Julius dan Hanip mendaopatkan 3.3 : 1, Suharjono 4 :1, Sri Hartini 5 : 1, Nugent mendapatkan perbandingan 6 : I di Irian Timur (dikutip dari Julius). ABSES HATI Selama satu tahun telah dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSU Samarinda 4 penderita abses hati (4.5%), terdiri dari dua penderita laki-laki dan dua wanita. Umur antara 42 - 46 tahun (dekade V). Semua penderita didiagnosis dengan U.S.G. Julius dan Hanif (1973) mendapatkan abses hati pada 9 penderita (1.3%) dari seluruh penyakit hati yang dirawat, terdiri dari 17 penderita pria dan 2 wanita (8.5 : 1) dan umur terbanyak adalah pada dekade V. Bakey (1969) mendapatkan perbandingan pria dan wanita 4 : 1 dan tersering umur antara 30 - 50 tahun. RINGKASAN Telah di kemukakan suatu tinjauan tentang penyakit hati di Bagian Penyakit Dalam RSUP Samarinda selama 1 Agustus 1984 sampai dengan 31 Juli 1985 ( satu tahun). Dari 1666 penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Samarinda selama satu tahun, didapatkan penyakit hati 88 penderita (5.2(4 yang terdiri hepatitis 36 penderita (40.9%), sirosis hati 30 penderita (36%), hepatoma 6 pendcrita (6.6%) dan abses hati 4 penderita (4.5%). Perbandingan penderita pada pria dan wanita 1.9 : 1. umumnya pada dekade III dan dekade V.

2.Julius, Zulkarnaen, Hanif : Tinjauan Penyakit Hati di RSUP Padang Mama tahun 1973—1977. Kumpulan Naskah Ilmiah Simposium Nasional Penyakit Hati menahun, 1978; 7. 3.Arjono, Moefrodi, E. Parjono, Poerwono Raharjo: "Liver cancer in Jogyakarta and environs and its relative incidens to other liver diseases". Proc. of the AFOCC zud Asian Cancer Conference, 1975. 4.C.11. Sukarsa Talkanda : Cirrhosis hepatis. Tinjauan kasus di Bagian Penyakit Dalam RS dr. liasan Sadikin Bandung selama tahun 1971—1974, Paper akhir Keahlian. 5.A. Tanzil, Th. Suharjono. Hepatonra di RS. dr. Kariadi Semarang. Proc. Kopapdi III, 1975; 331. 6.Pangalila PEA, Salonder 11. Tainjauan Penyakit Hepar di RSU Gunune Wenang, Menado 19 ..74–1977. Kumpulan Naskah Ilmiah Simposium Nasional Penyakit Hati Menahun, 1978. 1. 7.Kalin H, Sulaeman A, Noer MS, dan Pang RTL. Pcnelitan dan Arti Klinis dari Hepatimegali. Naskah Lengkap Kopapdi III, 1975; 353. 8.Noer HMS, Pang RTL, Sulaeman A. Pengobatan Iepatitis Virus. KPPK ke VII, Jakarta 1972. 9.Noer IIMS. Fisioloi dan pcmeriksaan Biokimia Had. Ed.I., Buku Penyakit Dalam, 1984; p 669: 10.Noer HMS. Hepatitis Krunik. Ed. I. Buku Penyakit Dalam, 1984: p.768. 11.Suwignyo, Akbar N. Hepatitis Kronik. Ld. I. Buku Penyakit Dalam, 1984;p.757. 12.Akbar N. Hepatitis Virus A. Ed. I. Buku Penyakit Dalam, 1984: p 752. 13.Sulaeman A. Sirosis Hati, Ed. I. Buku Penyakit Dalam, 1984: p 787. 14.Hadi S. Ultrasonografi pada hati. Ed. I. Buku Penyakit Dalam, 1984: p 688. 15.Suharjono S, Soebandiri. Tumor ganas hati di RS. Dr. Soetomo Surabaya. Proc. Kopapdi II, 1973: 594. 16.Syaiful Muluk EMP. Penyakit Hati Menahundi Rumah sakit-Rumah sakit Pontianak 1975/77. Simposium Penyakit Hati Menahun, Jakarta 1978. 17.Zulkarnacn I, Widodo J, Sucnarsono. Tinjauan Aspek Epidemiologik dan Klinik Hepatitis Virus di RS Persahabatan 1975/77. Simposium Penyakit Hati Menahun, Jakarta 1978.

KEPUSTAKAAN l. Julius, Hanif : Tinjauan Penyakit Hati di RSU Padang tahun 1968- * Dibawakan pada Simposium Penyakit Had Kalimantan Timur, 1972. Proc. Kopapdi 1973: 713. Samarinda 20 Oktober 1985.

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

19

Hubungan Antara Varises Esofagus dan Gambaran Klinik Penderita Sirosis Hati Dr. Sjamsu Tabrich Aplatun, Dr. HAM Akil *, Dr. Achmad Rifai Amirudin * *Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasnuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN Sirosis hati (SH) merupakan penyakit yang banyak dijumpai baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang ' . Di Indonesia khususnya, SH masih merupakari topik yang sering dibicarakan pada pertemuan-pertemuan ilmiah 2-6 . Sirosis hati disebabkan oleh bermacam-macam penyebab, dengan gambaran klinik yang ditandai dengan manifestasi kegagalan faal hati dan hipertensi portal 7,8. Pada kegagalan faal hati, dapat dijumpai adanya ikterus, muka abu-abu, rambut aksila dan pubis gugur, spider nevi, ginekomasti, atrofi testis, eritema palmaris dan secara laboratorik dapat ditemukan gangguan tes faal hati 9-12 . Hipertensi portal (tekanan vena porta lebih besar atau sama dengan 15 mm Hg) intrahepatik akibat penyempitan vena hepatika oleh karena fibrosis hati dan regenerasi noduler, menyebabkan terbentuknya berbagai kolateral, seperti varises esofagus, varises lambung, pelebaran vena-vena dinding perut, splenomegali, di mana kelainan-kelainan tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik, foto atau endoskopi 11,13 . Pada SH dengan hipertensi portal, masalah gawat yang sering dihadapi adalah perdarahan saluran pencernaan bagian atas yang berasal dari varises esofagus, walaupun tidak semua perdarahan saluran pencernaan bagian atas disebabkan oleh pecahnya varises esofagus 4 ' 11 . Apakah ada hubungan antara gambaran klinik sirosis hati, yaitu hipertensi portal, dan kelainan faal hati khususnya? 1) Hubungan antara varises esofagus dan besarnya limpa. 2) Hubungan antara varises esofagus dan besarnya hati. 3) Hubungan antara varises esofagus dan banyaknya cairan asites. 4) Hubungan antara varises esofagus dan kelainan-kelainan tes faal hati khususnya serum albumin. 5) Hubungan antara varises esofagus yang didapatkan dengan endoskopi dan yang didapatkan pada esofagogram, dan sejauh 20

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

mana hubungan itu, dalam tulisan ini akan dicoba diteliti. Di samping itu, persentasi perdarahan saluran pencernaan makanan bagian atas yang berasal dari varises esofagus. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Diteliti secara retrospektif semua status penderita SH yang telah dilakukan tindakan endoskopi/esofagoskopi di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNHAS selama periode 1 Januari 1982 sampai dengan 31 Desember 1984, mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, tes faal hati, esofagogram, endoskopi dan hasil biopsi hati Diagnosis sirosis hati didasarkan atas kriteria diagnostik menurut Subandiri dan Suharyono (dikutip oleh Sjaifullah Nur dkk) 14 , yaitu bilamana ditemukan 5 dari 7 kelainan berturut-turut seperti : 1. eritema palmaris 2. spider nevi 3. asites dengan atau tanpa edema 4. splenomegali 5. hematemesis dan melena 6. rasio albumin/globulin terbalik 7. kolateral di dinding perut atau varises esofagus pada Xfoto14 Bilamana tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, tetapi pada biopsi hati menunjukkan sirosis hati seperti berikut ini : Sirosis mikronoduler Septa tipis, lebar sama. Di antara septa-septa terdapat parenkim hati dengan nodul-nodul sama besar. Sirosis makronoduler Septa lebih tebal daripada mikronoduler, lebarnya bervariasi. Nodul berbagai ukuran dengan diameter 1 — 5 cm. Sirosis tipe campuran Campuran antara mikronoduler dan makronoduler. Terlihat nodul tidak sama besar ada yang kecil di antara yang besar-



besar. Sirosis multilobuler Fibrosis septal lebih menonjol dan jaringan parenkim mempunyai gambaran asini yang normal jika nodulnya besarbesar15 Varises esofagus yaitu bila dengan endoskopi tampak pelebaran vena-vena yang terlihat sebagai penonjolan; berwarna kebiru -biruan pada mukosa 1/3 bagian bawah esofagus; atau pada esofagogram tampak cobble stone filling defect pada 1/3 bagian bawah esofagus16 Varises esofagus yang tampak defigan endoskopi dibagi atas 5 tingkatan, sesuai dengan klasifikasi Dagradi (dikutip oleh Hadi). Tingkat I Varises esofagus dengan diameter 1—2 mm terdapat pada lapisan submukosa, boleh dikata penonjolan ke dalam lumen sukar dilihat. Hanya dapat dilihat setelah dilakukan kompresi. Tingkat II Varises esofagus dengan diameter 2 — 3 mm masih di submukosa, mulai terlihat penonjolan di mukosa tanpa kompresi. Tingkat III Varises esofagus dengan diameter 3 — 4 mm, panjang dan sudah terlihat berkelok -kelok, terlihat penonjolan sebagian dengan jelas pada mukosa. Tingkat IV Varises esofagus dengan diameter 3 — 4 mm terlihat panjang dan berkelok -kelok. Sebagian besar varises terlihat pada mukosa esofagus. Tingkat V Varises esofagus dengan diameter lebih dari 5 mm, jelas sebagian besar atau seluruh esofagus terlihat penonjolan atau berkelok-kelok Pembesaran hati dinilai berdasarkan pengukuran besarnya hati mulai dengan 1 jari (sesuai dengan besarnya jari si pemeriksa) di bawah arkus kostarum kanan ssampai seterusnya. Pembesaran limpa diukur sesuai dengan pembagian Schuffner, mulai dengan S I sampai S VIII. Asites dinilai dengan berat ringannya sebagai berikut : —ringan : ada asites, tetapi sukar didapatkan pada pemeriksaan fisik yang biasa. — sedang : asites mudah didapatkan pada pemeriksaan fisik tetapi belum ada penonjolan pusat. — berat : asites tampak seperti perut kodok dengan penonjolan pusat. Endoskop yang digunakan adalah EF P2, FP P2 dan GIF P2 Olympus. Penderita sebelumnya berpuasa semalam dan pada pagi harinya diberikan premedikasi dengan sulfas atropin 1/4 — 1/2 mg IM, bascon 2 ml peroral 15 menit sebelum endoskopi, buscopan kompositum 1 ampul IM 10 menit sebelum endoskopi, valium 5 mg IV, 5 menit sebelum endoskopi dan anestesi lokal xilokain semprot sesuai yang tercantum dalam status penderita. Penelitian ini menggunakan analisa statistik X pangkat dua. HASIL 1) Dari 52 penderita sirosis hati yang telah dilakukan pemeriksaan endoskopi/esofagoskopi, ditemukan 43 varises esofagus

36 dari 52 penderita adalah laki-laki (69,23%) dan 16 dari 52 penderita adalah wanita (30,77%) dengan perbandingan antara laki-laki dan wanita 2,25 : 1, umur antara 24 — 80 tahun (termuda umur 24 tahun dan tertua umur 80 tahun), terbanyak pada umur 41 — 60 tahun sebesar 59,62% (lihat tabel 1). Tabel 1.

Distribusi umur dan jenis kelamin sirosis hati Jumlah

Umur (Tabun)

Lakidaki

21—30 31—40 41—50 51 — 60 61—70 71—80

2 5 7 14 6 2

0 3 7 3 2 1

2 8 14 17 8 3

Jumlah

36

16

52

Wanita

2) Keluhan -keluhan penderita sirosis hati waktu masuk rumahsakit. sebagian besar mengeluh perut gembung/bengkak sebesar 94,23%, dan sebagian kecil mengeluh hematemesis melena sebesar 42,31% (lihat tabel 2). Tabel 2.

Keluhan-keluhan penderita sirosis hati waktu masuk R.S. Keluhan -keluhan

perut gembung/bengkak lemah badan bengkak pada kaki nafsu makan berkurang. nausealvomitus hematemesis melena

Jumlah (N = 52)

%

49 40 38 38 30 22

49,23 76,92 73,08 73,08 57,70 42,31

Hubungan antara varises esofagus pada '43 penderita dengan hematemesis melena pada penelitian ini (lihat tabel 3). Tabel 3.

Hubungan varises esofagus dengan hematemesis melena

Dari 43 penderita sirosis hati dengan varises esofagus, 22 penderita yang mengalami hematemesis melena, sedang 9 penderita tanpa varises esofagus, tidak ada (0%) yang mengalami hematemesis melena. Perbedaan ini bermakna (p < 0,05), berarti hematemesis melena dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan adanya varises esofagus pada sirosis hati. Dari 22 penderita yang mengalami hematemesis melena, 14 penderita disertai esofagitis, 3 disertai dengan tukak peptik dan 5 penderita lainnya tanpa esofagitis dan tukak peptik.

4) Pada pemeriksaan fisik sirosis hati, ditemukan terbanyak yaitu asites (94,23%), sedangkan yang kurang ialah ikterus (34,62%). (lihat tabel 4). Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 21

Tabel 4. Pemeriksaan fisik sirosis hati Pemeriksaan fisik

ada tidaknya varises esofagus pada penderita sirosis hati. Jumlah (N = 52)

%

49 38 38 38 38 31 27 18

94,23 73,08 73,08 73,08 73,08 59,62 51,92 34,62

asites splenomegali hepatomegali edema tungkai bawah pelebaran vena-vena dinding perut eritema palmaris spider nevi ikterus

-

5) Hubungan antara varises esofagus dan splenomegali (lihat tabel 5).

Tabel 7. Hubungan antara varises esofagus dan besarnya hati pada sirosis hati

2

Xc

(1 df)

=

0,8276

p > 0,05

8) Hubungan antara tingkat pembesaran hati dan tingkat/ beratnya varises esofagus pada penderita sirosis hati (lihat tabel 8). Tabel 8. Hubungan antara tingkat varises. esofagus dan tingkat pembesaran hati pada sirosis hati

Pada penelitian ini, dari 52 penderita sirosis hati terdapat 38 penderita dengan splenomegali, 31 dari 38 penderita disertai varises esofagus. Dari 14 penderita tanpa splenomegali, 12 dari 14 penderita tersebut disertai dengan varises esofagus. Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05). Ini menunjukkan, splenomegali bukan merupakan petunjuk yang dapat digunakan untuk menyatakan ada tidaknya varises esofaguspada penderita sirosis hati (lihat tabel 5). 6) Hubungan antara tingkat varises esofagus dan tingkat splenomegali pada penderita sirosis hati (lihat tabel 6). Tabel 6. Hubungan tingkat varises esofagus dan tingkat splenomegali pada sirosis hati

Pada penelitian ini menunjukkan, tidak ada hubungan antara tingkat varises esofagus dan tingkat splenomegali (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa tingkat pembesaran limpa tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan beratnya/ tingkat varises esofagus pada sirosis hati. 7) Hubungan antara varises esofagus' dan besarnya hati pada penderita sirosis hati (lihat tabel 7). Pada penelitian ini menunjukkan, dari 38 penderita hepatomegali, 33 penderita disertai varises esofagus. Dari 14 penderita tanpa hepatomegali, 10 penderita yang disertai dengan varises esofagus. Secara statistik hasil tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05) (lihat tabel 7). Ini menunjukkan bahwa hepatomegali bukan merupakan petunjuk 22. Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan bermakna antara tingkat varises esofagus dengan derajat pembesaran hati (p > 0,05). Ini menunjukkan, tingkat hepatomegali tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan berat ringannya varises esofagus pada penderita sirosis hati. 9) Hubungan antara varises esofagus dan asites (lihat tabel 9).

Pada penelitian ini menunjukkan 43 penderita dengan varises esofagus, 41 penderita (95,34%) disertai asites, dan 9 penderita yang tidak ditemukan varises esofagus, 8 penderita (88,89%) dengan asites. Dari hasil ini tidak ditemukan perbedaan bermakna (p > 0,05), ini menunjukkan, asites tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan ada tidaknya varises esofagus pada penderita sirosis hati (lihat tabel 9). 10) Hubungan antara tingkat varises esofagus dan besarnya asites pada penderita sirosis hati (lihat tabel 10). Dari hasil penelitian ini, tampak hubungan bermakna antara tingkat varises esofagus dan beratnya asites (p < 0,05). Ini menunjukkan bahwa beratnya asites dapat digunakan sebagai

petunjuk kemungkinan beratnya varises esofagus pada penderita sirosis hati, bilamana ditemukan asites bersama-sama dengan varises esofagus. Tabel 10. Hubungan derajat varises esofagus dan tingkat asites pada sirosis hati

19

11) Hasil pemeriksaan tes faal hati penderita sirosis hati pada penelitian ini (lihat tabel 11). Tabel 11. Hasil pemeriksaan tes faal hati pada sirosis hati

12) Hubungan antara varises esofagus dan tes faal hati pada sirosis hati hasil penelitian ini (lihat tabel 12). Tabel 1 2. Hub ungan antara varises esofagus dan tes faal hati pada penderita sirosis hati

13) Hubungan antara varises esofagus yang didapatkan dengan endoskopi dengan yang didapatkan pada esofagogram pada penderita sirosis hati (lihat tabel 13). PEMBAHASAN 1) Selama 3 tahun telah diteliti status - status penderita sirosis hati yang telah dilakukan endoskopi/esofaguskopi. Dari 52 penderita tersebut, ditemukan 43 (82,70%) varises esofagus. Distribusi jenis kelamin dari 52 penderita sirosis hati laki-laki 16 (69,23%) dan wanita 16 (30,77%) atau 2,25 : 1. Distribusi ni jika dibandingkan dengan peneliti terdahulu tidak jauh

22. Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

berbeda dengan yang didapatkan oleh Hadi 18 , Pangalila dkk tetapi lebih besar daripada yang dilaporkan oleh Sjaifullah dkk 14 , dan lebih kecil daripada yang dilaporkan oleh Adenan dkk 2 , Akil dkk 6 , Julius dkk 2° dan Purba dkk21 . 2) Distribusi umur Umur penderita sirosis hati termuda ialah 24 tahun dan tertua umur 80 tahun (rata-rata 52 tahun), terbanyak ditemukan pada . umur 41—60 tahun, yaitu 31 penderita atau 59,62%. Ini tidak banyak berbeda dengan yang dilaporkan oleh peneliti-peneliti terdahulu seperti Adenan dkk 2 , Akil dkk 6 , Hadi 18 , Purba dkk 21 , Sjaifullah dkk 14 dan Saefu122 . Di negara-negara barat, sirosis hati terdapat pada umur lebih lanjut, sedangkan di negara-negara sedang berkembang terdapat pada umur lebih muda 20 , mungkin oleh karena tingginya insidensi karier HBsAg pada ibu-ibu hamil. 3) Keluhan-keluhan Penderita sirosis hati Keluhan -keluhan yang paling banyak ditemukan pada sirosis hati penelitian ini waktu masuk rumah sakit ialah perut gembung/membesar seperti yang dilaporkan oleh Hadi 18 , Purba dkk 21 dan Sjaifullah dkk 4) Hematemesis melena Pada penelitian ini, hematemesis melena tidak berbeda jauh dengan yang dilaporkan oleh peneliti -peneliti seperti Christensen dkk melaporkan 48,5%, Merrigan dkk 24 melaporkan 53%. Persentasi hematernesis melena yang kami temukan pada penelitian ini lebih besar daripada yang dilaporkan oleh Hadi 18 yaitu 12,90%, Purba dkk 21 yaitu 26,69% 14tetapi menyerupai dengan yang dilaporkan oleh Sjatifullah dkk Hematemesis melena pada penelitian ini dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan adanya varises esofagus pada sirosis hati. Ini berarti, bila ditemukan hematemesis melena pada penderita sirosis hati, telah ada varises esofagus. Dari 22 penderita dengan perdarahan varises esofagus pada penelitian ini, 6 varises esofagus tingkat II, 8 varises esofagus tingkat III, dan 8 penderita varises esofagus tingkat IV. Perdarahan mulai pada .tingkat II ke atas sesuai yang dilaporkan oleh Amirudin dan Aki1 25 dan Chang dkk l . Kami juga menemukan, 14 dari 22 penderita yang mengalami perdarahan varises esofagus disertai esofagitis, 3 disertai tukak peptik dan yang lainnya tidak ditemukan esofagitis dan tukak peptik: sesuai dengan yang dilaporkan oleh Amirudin dan Akil25 , bahwa lebih dari separuh penderita sirosis hati dengan perdarahan varises esofagus disertai esofagitis. Ini tidak berbeda jauh dengan yang dilaporkan oleh Marpaung26 , bahwa 30 penderita sirosis hati dengan varises esofa-

gus 9 penderita mengalami perdarahan, 8 di antaranya disertai esofagitis, sedangkan Polish dkk27 melaporkan 23 penderita sirosis hati dengan varises esofagus, 10 dengan hematemesis melena, 7 disertai esofagitis. 5) Pemeriksaan fisik penderita sirosis had Asites



Pada penelitian ini, ditemukan bahwa asites tidak dapat digunakan sebagai petunjuk adanya varises esofagus pada penderita sirosis hati. Tetapi bilamana ditemukan asites bersama-sama dengan varises esofagus, menunjukkan, beratnya asites dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan beratnya varises esofagus. Ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Brick dan Palmer9. Hubungan ini dapat dimengerti, oleh karena salah satu sifat varises esofagus pada penderita sirosis hati ialah semakin membesar jika terjadi pendorongan/penekanan oleh cairan asites 28 . Persentasi asites pada penelitian ini lebih kecil dari yang dari yang didilaporkan oleh Sjaifullah dkk 14 , dan lebih besar 21 laporkan oleh Hadi l5 , Saeful 22 dan Purba dkk • Splenomegali

Paton29 melaporkan, pada penderita sirosis hati derajat pembesaran limpa ringan sampai sedang, dan bilamana penderita mengalami perdarahan akibat pecahnya varises esofagus, limpa semakin mengecil atau menghilang/normal. Ini mungkin disebabkan, setelah perdarahan varises esofagus tekanan vena porta menurun dan limpa yang terbendung akan mengecil/ normal30 Kusumobroto dkk30 melaporkan, perdarahan varises esofagus lebih sering timbul pada penderita sirosis hati tanpa splenomegali, atau splenomegali derajat ringan dibanding dengan limpa yang besar. Dalam penelitiannya tersebut, menemukan 57% penderita dengan limpa tak teraba sampai S I mengalami perdarahan, sedangkan hanya 32% penderita limpa S II — IV yang mengalami perdarahan. Kemungkinan dalam penelitiannya ini, limpa sudah mengecil akibat perdarahan baru diperiksa30 Dari 22 penderita yang mengalami perdarahan varises esofagus, 7 penderita limpa tidak teraba, 13 penderita limpa S I dan 2 penderita limpa S II. Pada penelitian ini didapatkan, splenomegali tidak dapaf digunakan sebagai petunjuk adanya varises esofagus, sesuai yang dilaporkan oleh Brick dan Palmer 9 . Sagara dkk 31 melaporkan, semakin besar varises esofagus semakin besar limpa. Wang dkk 32 melaporkan, tidak ada korelasi antara varises esofagus dan splenomegali, tetapi ada kecenderungan sirosis hati dengan splenomegali disertai varises esofagus.



Hepatomegali

Pada penelitian ini, hepatomegali tidak dapat digunakan sebagai petunjuk ada/tidaknya varises esofagus. Demikian pula yang dilaporkan oleh Brick dan Palmer' dan Wang dkk 32 . Persentasi hepatomegali yang kami dapatkan lebih besar daripada yang dilaporkan oleh Hadil5 yaitu 37,80% dan Adenan dkk 2. yaitu 24,43%, tetapi lebih kecil dari yang dilaporkan oleh Saeful 22 yaitu 84,20%. Pada sirosis postnekrotik hati mengecil, pada sirosis alkoholik, sirosis kardial 33 dan pada stadium dini hati membesar 34 . Akil dan Junus6 melaporkan, 14% penderita minum alkohol 7 — 10 tahun dan 3% penderita dekompensasio kordis lama yang ditemukan pada penderita 24

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

sirosis hati di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. 6) Laboratorium Pada penelitian ini bila ditemukan gangguan tes faal hati (rasi albumin/globilin < 1, serum albumin < 2,5 gr %, protein total < 5 gr % dan kolesterol < 150 mg %) dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan adanya varises esofagus pada penderita sirosis hati, tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Amirudin dan Akil 25 , bahwa bila ditemukan perubahan-perubahan nilai-nilai tes faal hati (protein total < 5 gr %, rasio albumin/globulin < 1, fosfatase alkali > 69 u/1 dan kolesterol lebih kecil dari 200 mg %), maka kemungkinan besar secara bermakna terdapat varises esofagus. Chang dkk l dan Sagara dkk 31 melaporkan, semakin rendah kadar serum albumin paralel dengan beratnya varises esofagus. Menurut Willoughby dkk 35 , semakin berat gangguan tes faal hati semakin besar varises esofagus. 7) Radiologi Pada penelitian ini, esofagogram dapat mcndcteksi 33 dari 43 varises esofagus yang dapat dideteksi dengan endoskopi/ esofaguskopi. Ternyata esofagogram tidak dapat mendeteksi varises esofagus tingkat I (secara endoskopi), dan hanya 13 dari 14 varises esofagus tingkat II yang dapat dideteksi dengan esofagogram. Menurut Dumont dkk 36 , pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi varises esofagus : — 1 dari 3 kasus dengan diameter vena 0,5 — 1 mm — 3 dari 5 kasus dengan diameter vena 1 — 3 mm 3 mm — 5 dari 8 kasus dengan diameter vena atau lebih Menurut Willoughby dkk 35 , esofagogram dapat mendeteksi varises esofagus dengan diameter varises esofagus paling kecil 3 mm. Menurut Brick dan Palmer9, pada inspirasi dan ekspirasi, tekanan vena dalam varises esofagus bervariasi kira-kira 10 mm air. Pada waktu ekspirasi tekanan dalam varises esofagus meningkat 10 mm air, sedangkan waktu valsava tekanan vena dalam varises esofagus meningkat 265 mm air. Untuk menghindari kesalahan-kesalahan atau sekurangkurangnya memperkecil kesalahan diagnostik radiologis varises esofagus ialah dengan menggunakan emulsi BaSo 4 yang kental dan jangan mengisi terlalu penuh, serta sebaiknya dibuat beberapa seri foto dalam berbagai posisi seperti tegak, terlentang, tengkurap, pada waktu inspirasi dalam dah pada waktu melakukan valsava atau Muller. Selain itu, perlu diingat bahwa varises esofagus bisa menghilang dengan peristaltik esofagus. Oleh karena itu sebaiknya pengambilan gambar sekurang-kurangnya 8 lembar 37 . Endoskop dapat mendeteksi varises esofagus dengan diameter vena 0,5 mm 35 , sehingga dapat dikatakan endoskopi lebih unggul dari esofagogram 5 dan dapat mendeteksi varises esofagus tingkat I pada penelitian ini. RINGKASAN Selama 3 tahun (1982 — 1984), sebanyak 52 orang penderita sirosis hati yang dirawat di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran dilakukan esofagoskopi, diteliti secara retrospektif untuk menilai hubungan varises esofagus dan gambaran kliniknya. Dari 52

penderita ini 36 orang laki-laki dan 16 orang wanita, dengan umur antara 24 — 80 tahun. Pada esofagoskopi ditemukan 43 penderita (94,23%) dengan varises esofagus, dengan derajat/ tingkat varises : tingkat I = 9 orang, tingkat II = 14 orang, tingkat III = 12 orang dan tingkat IV = 8 orang. Pada pemeriksaan penderita keluhan yang paling sering adalah perut gembung atau bengkak (9423%), hematemesis dan melena (43,31%), merupakan keluhan yang dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan adanya varises esofagus. Asites merupakan kelainan fisik yang paling sering (94,23%) dan dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan beratnya varises esofagus bilamana ditemukan bersama-sama. Tidak ditemukan korelasi antara splenomegali dan hepatomegali dengan varises esofagus. Pada pemeriksaan tes faal hati, rasio albumin dan globulin lebih kecil dari 1 , serum albumin lebih kecil dari 2,5 gr%, protein total lebih kecil dari 5 gr% dan kolesterol lebih kecil dari 150 mg% dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan adanya varises esofagus pada penderita sirosis hati. Dua puluh dua dari 43 orang dengan varises esofagus terdapat hemetemesis melena, di mana 14 orang disertai esofagitis, 3 orang dengan tukak peptik dan 5 orang tanpa esofagitis dan atau tukak peptik. Pada esofagogram maka varises esofagus tingkat III dan IV jelas tampak, sedangkan 14 varises esofagus tingkat II hanya 13 terlihat dengan esofagogram, tetapi semua varises esofagus tingkat I tidak terlihat dengan esofagogram.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1) Keluhan yang paling sering ditemukan ialah perut gembung/ bengkak. 2) Kelainan fisik yang paling sering ditemukan ialah asites. 3) Hematemesis melena dan gangguan tes faal hati (rasio albumin/globulin lebih kecil dari 1, albumin serum lebih kecil dari 5 gr % dan kolesterol lebih kecil dari 150 mg %) dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan adanya varises esofagus pada penderita sirosis hati. 4) Asites berat dapat digunakan sebagai petunjuk kemungkinan beratnya/tingkat varises esofagus pada penderita sirosis hati bilamana asites ditemukan bersama-sama dengan varises esofagus. 5) Esofagitis mempermudah timbulnya perdarahan varises esofagus. 6) Tidak ada korclasi antara splcnomegali. hepatomegali dan varises esofagus. 7) Esofagogram tidak dapat nicndeteksi varises esofagus tingkat I. *

Dibawakan pada Simposium Penyakit Samarinda 20 Oktober 1985.

Hati Kalimantan

Timur

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

25

Hematemesis dan Melena Dr.

Oey Tjeng Sien

Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah buang air besar berdarah seperti aspal, umumnya disebabkan perdarahan saluran makan bagian atas (SMBA) mulai dari esofagus sampai duodenum. Penyehab-penyebab dari perdarahan saluran makan bagian alas antara lain : - Kelainan pada esofagus: varises, esofagitis, ulkus, sindroma Mallory-Weiss, keganasan. - Kelainan pada lambung dan doudenum: gastritis hemoragika, ulkus peptikum ventrikuli dan duodeni, keganasan, polip. - Penyakit darah: leukemia, DIC, trombositopeni. - Penyakit sistemik: uremia. Penyehab perdarahan SMBA yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 40 - 55%, kemudian menyusul gastritis hemoragika dengan 20 - 25%. ulkus peptikum dengan 15 - 20%, sisanya oleh keganasan, uremia dan sebagainya. Unnunnya perdarahan SMBA termasuk penyakit gawat darurat yang memerlukan tindakan medik intensif yang segera di rumah-sakit/puskesmas karena angka kematiannya yang tinggi, terutama pada perdarahan varises esofagus yang dahulu berkisar antara 40 - 85%. Tingginya angka kematian pada perdarahan varises esofagus tergantung dari beberapa faktor, antara lain : - Sifat dan lamanya perdarahan telah berlangsung. Beratnya penyakit sirosis hati yang mendasarinya. Ketrampilan tenaga medik dan paramedik yang menangani penderita tersebut. - Tersedia tidaknya sarana diagnostik dan terapi di rumahsakit/puskesmas tersebut. Dengan bertambah majunya teknologi kedokteran. terutatna di bidang Endoskopi gastrointestinal. akhir-akhir ini telah dikenal metoda-metoda baru dalam diagnostik dan terapi yang memberi harapan dapat mengurangi angka kematian yang tinggi, terutama pada perdarahan varises esofagus. 26

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Data-data dari publikasi terakhir penulis-penulis Indonesia sendiri juga menunjukkan penurunan angka kematian yang bermakna di rumah-sakit tipe A/B sejak diikutinya protokol penanggulangan seperti di luar negeri. Berikut ini akan dibicarakan diagnosis dan penanganan dari penderita-penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas. DIAGNOSIS HEMATEMESIS DAN MELENA Diagnosis pada gejala muntah darah dan buang air berdarah bertujuan mencari tahu tentang — kemungkinan penyebab utama dari perdarahan SMBA tersebut — lokasi yang tepat dari sumber perdarahannya — sifat perdarahannya.(sedang atau telah berlangsung, banyak atau sedikit) — derajat gangguan yang ditimbulkan perdarahan SMBA pada organ lain seperti syok. koma, anenti. kegagalan fungsi hati/jantung/ginjal

Diagnosa perdarahan SMBA ditegakkan melalui A. Anamnesis B. Pemeriksaan fisik C. Pemeriksaan penunjang diagnostik seperti I . Pemeriksaan laboratorium 2. Pemeriksaan radiologik 3. Pemeriksaan endoskopik 4. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning han Anamnesis Perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan bila keadaan penderita lemah atau kesadarannya menurun dapat diambil allo anamnesa dari pengantarnya. Beberapa hal yang perlu ditanyakan antara lain : — Apakah penderita pernah menderita atau sedang dalam perawatan karena penyakit hati seperti hepatitis kronis, sirosis

hati, penyakit lambung atau penyakit lain? — Apakah perdarahan ini yang pertama kali atau sudah pernah mengalami sebelumnya? — Apakah penderita minum obat-obat analgetik antipiretik atau kortison? Apakah minum alkohol atau jamu-jamuan? — Apakah ada rasa nyeri di ulu hati sebelumnya, mual-mual atau muntah? — Apakah timbulnya perdarahan mendadak dan berapa banyaknya atau terjadi terus menerus tetapi sedikit-sedikit? — Apakah timbul hematemesis dahulu baru diikuti melena atau hanya melena saja? Pemeriksaan fisik Setibanya di rumah-sakit atau puskesmas, penderita perlu segera diperiksa keadaan umumnya yaitu derajat kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu badan dan apakah ada tanda-tanda syok, anemi, payah jantung, kegagalan ginjal atau kegagalan fungsi hati berupa koma. Penderita dalam keadaan umum yang buruk atau syok perlu segera ditolong dan diatasi dahulu syoknya, sedangkan pemeriksaan penunjang diagnosis ditunda dahulu sampai keadaan umum membaik. Bila dugaan penyebab perdarahan SMBA adalah pecahnya varises esofagus, perlu dicari tanda-tanda sirosis hati dengan hipertensi portal seperti: hepatosplenomegali, ikterus, asites, edema tungkai dan sakral, spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti, venektasi dinding perut. Bila pada palpasi ditemukan massa yang padat di daerah epigastrium, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan lambung atau keganasan hati lobus kiri. Pemeriksaan penunjang diagnosis • Pemeriksaan laboratorik Pemeriksaan laboratorik dianjurkan dilakukan sedini mungkin, tergantung dari lengkap tidaknya sarana yang tersedia. Disarankan pemeriksaan- pemeriksaan seperti berikut: golongan darah, Hb, hematokrit, jumlah eritrosit, lekosit, trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, morfologi darah tepi dan fibrinogen. Pemeriksaan tes faal hati bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, gama GTkolinesterase, protein total, albumin, globulin, HBSAg, AntiHB S . Pemeriksaan yang diperlukan pada komplikasi kegagalan fungsi ginjal, koma atau syok adalah: kreatinin, ureum, elektrolit, analisa gas darah, gula darah sewaktu, amoniak. • Pemeriksaan radiologik Pemeriksaan radiologik dilakukan sedini mungkin bila perdarahan telah berhenti. Mula-mula dilakukan pemeriksaan esofagus dengan menelan bubur barium, diikuti dengan pemeriksaan lambung dan doudenum, sebaiknya dengan kontras ganda. Pemeriksaan dilakukan dalam berbagai posisi dan diteliti ada tidaknya varises di daerah 1/3 distal esofagus, atau apakah terdapat ulkus, polip atau tumor di esofagus, lambung, doudenum. • Pemeriksaan endoskopik Pemeriksaan endoskopik dengan fiberpanendoskop dewasa ini juga sudah dapat dilakukan di beberapa rumah-sakit besar di Indonsia. Dari publikasi pengarang-pengarang luar negeri dan juga ahli-ahli di Indonsia terbukti pemeriksaan endoskopik ini sangat penting untuk menentukan dengan tepat sumber perdarahan SMBA. Tergantung ketrampilan dokternya, endos

kopi dapat dilakukan sebagai pemeriksaan darurat sewaktu perdarahan atau segera setelah hematemesis berhenti. Pada endoskopik darurat dapat ditentukan sifat dari perdarahan yang sedang berlangsung. Beberapa ahli langsung melakukan terapi sklerosis pada varises esofagus yang pecah, sedangkan ahli-ahli lain melakukan terapi dengan laser endoskopik pada perdarahan lambung dan esofagus. Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto slide, film atau video untuk dokumentasi, juga dapat dilakukan aspirasi serta biopsi untuk pemeriksaan sitologi. • Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati Pemeriksaan ultrasonografi dapat menunjang diagnosa hematemesis/melena bila diduga penyebabnya adalah pecahnya varises esofagus, karena secara tidak langsung memberi informasi tentang ada tidaknya hepatitis kronik, sirosis hati dengan hipertensi portal, keganasan hati dengan cara yang non invasif dan tak memerlukan persiapan sesudah perdarahan akut berhenti. Dengan alat endoskop ultrasonografi, suatu alat endoskop mutakhir dengan transducer ultrasonografi yang berputar di ujung endoskop, maka keganasan pada lambung dan pankreas juga dapat dideteksi. Pemeriksaan scanning hati hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar yang mempunyai bagian kedokteran nuklir. Dengan pemeriksaan ini diagnosa sirosis hati dengan hipertensi portal atau suatu keganasan di hati dapat ditegakkan. PENANGANAN PERDARAHAN SMBA Tindakan umum 1. Resusitasi 2. Lavas lambung 3. Hemostatika 4. Antasida dan simetidin Tindakan khusus • Medik intensif 1. Lavas air es dan vasopresor/trombin intragastrik 2. Sterilisasi dan lavement usus 3. Beta bloker 4. Infus vasopresin 5. Balontamponade 6. Sklerosis varises endoskopik 7. Koagulasi laser endoskopik 8. Embolisasi varises transhepatik • Tindakan bedah 1. Tindakan bedah darurat 2. Tindakan bedah elektif Tindakan Umum RESUSITASI

Infus/Transfusi darah Penderita dengan perdarahan 500 — 1000cc perlu diberi infus Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9%. Pada penderita sirosis hati dengan asites/edema tungkai sebaiknya diberi infus Dextrose 5%. Penderita dengan perdarahan yang masif lebih dari 1000 cc dengan Hb kurang dari 8g%, perlu segera ditransfusi. Pada hipovolemik ringan diberi transfusi sebesar 25% dari volume normal, sebaiknya dalam bentuk Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

27

darah segar. Pada hipovolemik berat/syok, kadangkala diperlukan transfusi sampai 40 — 50% dari volume normal. Kecepatan transfusi berkisar pada 80 — 100 tetes atau dapat lebih cepat bila perdarahan masih terus berlangsung, sebaiknya di bawah pengawasan tekanan vena sentral. Pada perdarahan yang tidak berhenti perlu dipikirkan adanya DIC, defisiensi faktor pembekuan path sirosis hati yang lanjut atau fibrinolisis primer. Bilamana darah belum tersedia, dapat diberi infus plasma ekspander maksimal 1000 cc, selang seling dengan Dextrose 5%, karena plasma ekspander dapat mempengaruhi agregasi trombosit. Setiap pemberian 1000 cc darah perlu diberi 10 cc kalsium glukonas i.v. untuk mencegah terjadinya keracunan asam sitrat. LAVAS LAMBUNG DENGAN AIR ES

Setelah keadaan umum penderita stabil, dipasang pipa nasogastrik untuk aspirasi isi lambung dan lavas air es, mulamula setiap 30 menit 1 jam. Bila air kurasan lambung tetap merah, penderita terus dipuasakan. Sesudah air kurasan menjadi merah muda atau jernih, maka disarankan dilakukan pemeriksaan endoskopi yang dapat menentukan lokasi perdarahannya. Pada perdarahan varises esofagus yang tidak berhenti setelah lavas air es, diperlukan tindakan medik intensif yang akan dibicarakan kemudian. Sedangkan pada perdarahan ulkus peptikum, gastritis hemoragika dan lainnya, setelah perdarahan berhenti dapat mulai diberi susu + aqua calcis 50 — 100 cc/jam, dan secara bertahap ditingkatkan pada diit makanan lunak/bubur saring dalam porsi kecil setiap 1 — 2 jam. HEMOSTATIKA

Yang dianjurkan adalah pemberian Vitamin K dalam dosis 10 — 40 mg sehari parenteral, karena bermanfaat untuk memperbaiki- defisiensi kompleks protrombin. Pemberian asam traneksamat dan karbazokrom dapat pula diberikan. ANTASIDA DAN SIMETIDIN

Pemberian antasida secara intensif 10 — 15 cc setiap jam disertai simetidin 200 mg tiap 4 — 6 jam i.v. berguna untuk menetralkan dan menekan sekresi asam lambung yang berlebihan, terutama pada penderita dengan ulkus peptikum dan gastritis hemoragika. Bila perdarahan berhenti, antasida diberikan dalam dosis lebih rendah setiap 3 — 4 jam 10 cc, demikian juga simetidin dapat diberi per oral 200 mg tiap 4 — 6 jam. Sebagai pengganti simetidin dapat diberikan : — sucralfate sebanyak 1 — 2 gram tiap 6 jam melalui pipa nasogastrik, kemudian per oral. — pirenzepin 20 mg tiap 8 jam i.v. atau 50 mg tablet tiap 12 jam. — somatostatin dilarutkan dalam infus NaCl 0,9% dengan dosis 250 ug/jam. Tindakan khusus MEDIK INTENSIF

Lavas air es dan vasopresor/trombin intragastrik Bila perdarahan tetap berlangsung, dicoba lavas lambung dengan air es ditambah 2 ampul Noradrenalin atau Aramine 2 — 4 mg dalam 50 cc air. Dapat pula diberikan bubuk trom28

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

bin (Topostasin) misalnya 1 bungkus tiap 2 jam melalui pipa nasogastrik. Ada ahli yang menyemprotkan larutan trombin melalui saluran endoskop tepat di daerah perdarahan di lambung, sehingga di bawah pengawasan endoskopik dapat mengikuti langsung apakah perdarahannya berhenti dan apakah terbentuk gumpalan darah yang agak besar yang perlu aspirasi dengan endoskop. Sterilisasi usus dan lavement usus Terutama pada penderita sirosis hati dengan perdarahan varises esofagus perlu dilakukan tindakan pencegahan terjadinya koma hepatikum/ensefalopati hepatik yang disebabkan antara lain oleh peningkatan produksi amoniak pada pemecahan protein darah oleh bakteri usus. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan : — Sterilisasi usus dengan antibiotika yang tidak dapat diserap misalnya Neomisin 4 x 1 gram atau Kanamycin 4 x 1 gram/ hari, sehingga pembuatan amoniak oleh bakteri usus berkurang. — Dapat diberikan pula laktulosa atau sorbitol 200 gram/hari dalam bentuk larutan 400 cc yang bersifat laksansia ringan atau magnesiumsulfat 15g/400cc melalui pipa nasogastrik. Selain itu perlu dilakukan lavement usus dengan air biasa setiap 12 — 24 jam. Untuk pencegahan ensefalopati hepatik dapat diberi infus Aminofusin Hepar 1000 — 1500 cc per hari. Bila penderita telah berada dalam keadaan prekoma atau koma hepatikum, dianjurkan pemberian infus Comafusin Hepar 1000 — 1500 cc per hari. Beta Bloker

Pemberian obat-obat golongan beta bloker non selektif seperti propanolol, oksprenolol, alprenolol ternyata dapat menurunkan tekanan vena porta pada penderita sirosis hati, akibat penurunan curah jantung sehingga aliran darah ke hati dan gastrointestinal akan berkurang. Obat golongan beta bloker ini tidak dapat diberikan pada penderita syok atau payah jantung, juga pada penderita asma dan penderita gangguan irama jantung seperti bradikardi/AV Blok. Infus Vasopresin Vasopresin mempunyai efek kontraksi pada otot polos seluruh sistem baskuler sehingga terjadi penurunan aliran darah di daerah splanknik, yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan portal. Karena pembuluh darah arteri gastrika dan mesenterika ikut mengalami kontraksi, maka selain di esofagus, perdarahan dalam lambung dan doudenum juga ikut berhenti. Vasopresin terutama diberikan pada penderita perdarahan varises esofagus yang perdarahannya tetap berlangsung setelah lavas lambung dengan air es. Cara pemberian vasopresin ialah 20 unit dilartkan dalam 100 — 200 cc Dextrose 5%, diberikan dalam 10 — 20 menit intravena. Efek samping pada pemberian secara cepat ini yang pernah dilaporkan adalah angina pektoris, infark miokard, fibrilasi ventrikel dan kardiak arest pada penderita -penderita jantung koroner dan usia lanjut, karena efek vaso kontriksi dari vasopresin pada arteri koroner. Selain itu juga ada penderita yang mengeluh tentang kolik abdomen, rasa mual, diare. Beberapa ahli lain menganjurkan pemberian infus vasopresin dengan dosis rendah, yaitu 0,2 unit vasopresin per menit untuk 16

jam pertama dan bila perdarahan berhenti setelah itu, dosis diturunkan 0,1 unit per menit untuk 8 jam berikutnya. Pada cara pemberian infus vasopresin dosis rendah lebih sedikit efek sampingyang ditemukan. Efek vasopresin dalam menghentikan perdarahan SMBA berkisar antara 35 - 100%, perdarahan ulang timbul pada 21 - 100% dan mortalitas berkisar pada 21 - 80%. Balontamponade Tamponade dengan balon jenis Sengstaken Blakemore Tube atau Linton Nachlas Tube diperlukan pada penderita -penderita varises esofagusyang perdarahannya tetap berlangsung setelah lavas lambung dan pemberian infus vasopresin. Tindakan pemasangan balon ini merupakan pilihan pertama pada penderita jantung koroner dan usia lanjut, yang tidak dapat diberikan infus vasopresin. Prinsip bekerjanya SB atau LN Tube adalah mengembangkan balon di daerah kardia dan esofagus yang akan menekan, dan dengan demikian menghentikan perdarahan di esofagus dan kardia. SB Tube terdiri dari 2 balon, masing-masing untuk lambung dan esofagus, sedangkan LN Tube terdiri hanya dari 1 balon yang mengkompresi daerah distal esofagus dan kardia.

Protokol pemasangan SB Tube : — Penderita secara klinis menderita perdarahan varises esofagus, bila mungkin telah diendoskopi. — Keadaan umum cukup baik, tidak koma/syok/gelisah dan kooperatif. — Pemasangan dilakukan sedini mungkin, kurang dari 12 jam setelah dirawat. — Sebelumnya dilakukan lavas lambung untuk mengeluarkan isi lambung terutama gumpalan darah. — Pemasangan dilakukan oleh dokter atau perawat yang berpengalaman. — Balon SB sebelum dipasang harus dites tidak bocor dan kemudian diolesi dengan salep zylocain atau parafin. —SB Tube dimasukkan secara perlahan-lahan melalui lubang hidung, sambil penderita disuruh menelan sampai SB Tube masuk ke lambung, hingga garis ukuran pipa bagian luar menunjukkan 50 cm dekat lubang hidung. — Balon lambung dikembangkan dengan 30 - 50 cc udara dan

SB Tube ditarik perlahan-lahan ke luar sampai balon lambung mencapai kardia dan terasa adanya tahanan pada penarikan lebih lanjut. Angka pada garis ukuran SB Tube di lubang hidung berkisar antara 40 - 45 cm. — SB Tube difiksasi dengan plester, balon esofagus kemudian udara tergantung dikembangkan dengan 100 - 200 cc ukuran SB Tube. Tube terpasang. Lavas — Penderita dipuasakan selama SB lambung dan pemberian obat -obatan dapat dilakukan me lalui pipa sentral. Sekret di hipofaring perlu diaspirasi secara berkala. — Pemasangan SB Tube berkisar antara 12 - 24 jam, kemudian dicoba dikempeskan dari dikontrol tiap-tiap jam dengan lava lambung apakah terjadi perdarahan ulang. Bila terjadi perdarahan ulang, balon SB Tube yang belum ditarik keluar itu dapat segera dikembangkan kembali. SB Tube dipasang maksimal 48 jam. Menurut laporan peneliti -peneliti, pemasangan SB Tube dapat menghentikan 55 - 92% perdarahan varises esofagus, tetapi 25 - 60% penderita kemudian mengalami perdarahan ulang, sedangkan mortalitas berkisar antara 20 - 60%. Komplikasi pemasangan SB Tube adalah obstruksi laring serta asfiksi akibat migrasi balonke hipofaring dan ulserasi esofagus, karena pemasangan terlalu lama. Sklerosis varises endoskopik Sejak 1970 ahli-ahli mencoba menghentikan perdarahan varises esofagus dengan penyuntikan bahan-bahan sklerotik seperti etanolamin, polidokanol, sodium morrhuate melalui esofagoskop kaku atau serat optik. Karena pemakaian esofagoskop kaku membutuhkan anestesi umum, dan sebagai komplikasi dapat terjadi ruptur esofagus, maka metoda ini telah ditinggalkan. Sekarang lebih banyak digunakan endoskop serat optik baik yang umum maupun yang khusus dengan 2 saluran, sehingga sewaktu penyuntikan dilakukan melalui saluran pertama, penghisapan perdarahan yang mungkin terjadi dapat dilakukan melalui saluran kedua. Teknik penyuntikan dapat paravasal atau intravasal. Terapi ini dapat dilakukan segera setelah hematemesis berhenti, tetapi tergantung dari keahlian dokternya dapat dilakukan juga pada penderita yang sedang mengalami perdarahan akut, bila tindakan medik intensif lainnya tidak berhasil. Di sini perdarahan dapat dihentikan pada 80 - 100%, perdarahan ulang terjadi pada 10 - 40% sedangkan mortalitas selama dirawat mencapai 30%. Bila perdarahan dapat dihentikan dengan SB Tube atau infus vasopresin, terapi sklerosis ini dilakukan beberapa hari kemudian. Varises yang luas umumnya membutuhkan 2 - 3 x terapi dengan jangka waktu 7 - 10 hari. Mortalitas penderita yang diterapi dalam stadium interval ini lebih rendah 4 - 14%. Komplikasi metoda ini yang pernah dilaporkan adalah nyeri retrosternal, ulserasi, nekrosis, striktur dan stenosis dari esofagus, effusi pleura, mediastinitis. Koagulasi laser endoskopik

Bila pemberian vasopresin, pemasangan SB Tube dan sklerosis varises endiskopik gagal dalam menghentikan perdarahan varises esofagus, mungkin dapat diterapkan terapi koagulasi dengan Argon/Neodym Yag Laser secara endoskopik. Ada ahli yang melaporkan keberhasilan sampai 91,3% (116 dari Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

29

127 penderita). Hanya alat ini sangat mahal. Demikian juga perdarahan SMBA lainnya seperti pada ulkus peptikum dan keganasan ternyata dapat dihentikan dengan koagulasi laser endoskopik. Embolisasi varises transhepatik Caranya, dengan tuntunan ultrasonografi dimasukkan jarum ke dalam hati sampai mencapai vena porta yang melebar, kemudian disorong kateter melalui mandrin tersebut sepanjang vena porta sampai mencapai vena koronaria gastrika dan disuntikkan kontras angiografin. Pada transhepatik portalvenografi ini akan terlihat vena-vena kolateral utama termasuk varises esofagus. Selanjutnya sebanyak 30 — 50 cc Dextrose 50% disuntikkan melalui kateter diikuti dengan suntikan trombin, ditambah gel foam atau otolein. Perdarahan varises esofagus umumnya segera berhenti. Metoda ini belum banyak laporannya dalam kepustakaan, karena tekniknya sukar dan sering mengalami kegagalan yang disebabkan trombosis vena porta atau adanya asites. Komplikasi yang membahayakan adalah perdarahan intraperitoneal dari bekas tusukan jarum tersebut. Seorang peneliti melaporkan bahwa 5 bulan sesudah embolisasi timbul varises esofagus yang baru. TINDAKAN BEDAH

Setelah usaha-usaha medik intensif di atas mengalami kegagalan dan perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan tindakan bedah darurat, seperti pintasan portosistemik atau transeksi esofagus untuk perdarahan varises esofagus. Perdarahan dari ulkus peptikum ventrikuli atau duodeni serta keganasan SMBA yang tidak berhenti dalam 48 jam juga me-

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

merlukan tindakan bedah. Bila tidak diperlukan tindakan bedah darurat, setelah keadaan umum penderita membaik dan pemeriksaan diagnostik telah selesai dilakukan, dapat dilakukan tindakan bedah elektif setelah 6 minggu. KEPUSTAKAAN 1. Abdurachman SA, Hematemesis dan Melena. Tinjauan kasus di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Hasan Sadikin Bandung, selama 1970 - 1974. Proceeding KOPAPDI III di Bandung, 1975. 2. Gross R. Die akute Magen-Darmblutung in Der internistische Notfall, F.K. Sehattauer Verlag Stuttgart 1973, haL 545 - 576. 3. Fruhmorgen P. Neue Verfahren zur Blutstillung dalam Operative Endoskopie. Acron Verlag 1979, haL 83 - 90. 4. Hadi S. Hematemesis Melena dalam Gastroenterologi. Alumni Bandung 1981, hal 161- 191. 5. Hadi S. Langkah pendekatan penatalaksanaan perdarahan saluran makan bagian atas. Makalah pada pertemuan Ilmiah PPHI ke 3. Kongres PGI/PEGI Palembang 1 — 3 Agustus 1985. 6. Hernomo K. Terapi medik perdarahan hipertensi portal. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, th. 1984 hal 795 - 807. 7. Kiefhaber P. Endoskopische Blutstillung blutender Osophagus und Magenvarizen mit Neodym-Yag-Laser dalam Operative Endoskopie haL 19 - 26. 8. Paquet KJ. Wandsklerosierung bei Osophagusvarizen dalam Operative Endoskopie. Acron Verlag, Berlin, hal 33 - 46. 9. Soehendra N. Sclerotherapy of Oesophageal Varices by Means of Fibreendoscopy in Clinical Hepatology. Springer Verlag Berlin

1983.

10. Tondobala TH. Hematemesis dan Melena. Buku Ilmu Penyakit Dalam 1984, haL 737 - 743. 11. Westaby D, Macdougall B, Williams R. New Approaches to the Management of Portal Hypertension and Variceal Haemorrhage in Clinical Hepatology. Springer. Verlag Berlin 1983.

* Dibawakan pada Simposium Penyakit Hati Kalimantan Timur, Samarinda 20 Oktober 1985.

Obat Hepatotoksik Pada Anak Dr.

Bambang Suasono

PENDAHULUAN Obat hepatotoksik adalah obat yang dapat menyebabkan kelainan pada hepar. Saat ini tercatat ± 63.000 bahan yang dipakai sebagai obat, 11.500 bahan di antaranya dipakai dalam campuran makanan. Semua ini merupakan tantangan sistem biologis manusia. Hepar sebagai organ penting dalam metabolisme obat, harus bekerja keras untuk menjinakkan dan mengekskresi bahan/obat, khususnya metabolitnya yang tidak berguna, yang justru dapat mengganggu hepar. Kerusakan pada hepar seringkali sulit dibedakan dengan gejala hepatitis lain. Sampai saat ini belum ada tes khusus untuk kepastian diagnosa. Pada dasarnya, obat dianggap sebagai penyebab kerusakan hepar kalau : 1. Obat tersebut telah dikenal selalu mengakibatkan gangguan hepar, dan ini dapat dibuktikan pada binatang percobaan. 2. Obat tersebut menyebabkan gangguan pada hepar yang segera menyembuh bila obat dihentikan, serta timbul gangguan hepar bila diberikan obat lagi. Bahan ini sering mempunyai dosis hepatotoksik tidak tentu. Sayang sekali pelaporan tentang obat hepatotoksik pada anak ini belum banyak. Di Inggris, tahun 1974 dilaporkan oleh "Boston Collaborative Drug surveillance Program" terdapat 364 anak dengan berbagai gejala sampingan obat, hanya 8% dengan gejala gangguan hepar, dan 1% dengan kegagalan. fungsi hepar. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RS. Dr. Soetomo, Surabaya, sejak 1980 — 1984 tercatat 8 anak diduga mengalami gangguan hepar karena obat -obatan. Pada kenyataan terdapat sangat sedikit efek obat hepatotoksik pada anak dibanding pada orang dewasa. Namun demikian, kita harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya efek hepatotoksik akibat pemberian obat, sebab kelainan yang ditimbulkan dapat menjadi menahun, Sirosis, keganasan, kegagalan hepar (fulminan) dan kematian.

METABOLISME OBAT Hepar adalah organ utama dalam metabolisme obat, terutama obat-obat per oral. Pada dasarnya enzim hepar merubah obat menjadi bahan yang lebih polar dan mudah larut dalam air sehingga, mudah diekskresi melalui ginjal dan empedu. Metabolisme obat dalam hepar ada 2 tahap. Pada tahap I, terjadi reduksi hidrolisa dan terutama oksidasi. Pada tahap ini belum terjadi proses detoksikasi, karenanya kadang-kadang terbentuk suatu bahan metabolit yang justru bersifat toksik. Pada tahap ke II, terjadi reaksi konyugasi dengan asam glukoronat, sulfat glisin dan lain-lain, sehingga terbentuk bahan yang kurang toksik, mudah larut dalam air dan secara biologis kurang aktif. Metabolisme ini terjadi dalam mikrosom sel hati, dan yang berperan: NADPH C Reduktase dan Sitokrom p 450. KLASIFIKASI OBAT HEPATOTOKSIK A. Secara garis besar dibagi 2 grup I. Kelompok yang dikenal Hepatotoksik (predictable) dengan sifat : — Dose — dependent, besarnya dosis menentukan — Sering disertai gangguan organ lain : ginjal, gastrointestinal, susunan syaraf pusat dan lainlain. — Dapat dibuktikan dengan binatang percobaan. II. Kelompok yang tidak dikenal sebagai Hepatotoksik (unpredictable) idiosinkratik, dengan sifat : — Dose - idenpendent — Lebih sering pada dewasa. — Sering bersifat hipersensitif. B. Menurut cara dalam menimbulkan gangguan pada Hepar I. Direct - hepatotoxicity , dapat menimbulkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 31

langsung gangguan hepar. Contohnya : Tetrasiklin. II. Metabolite - Related - Hepatotoxicity, menimbulkan gangguan hepar melalui bahan metabolitnya. Misalnya Isoniazid, Parasetamol, karbon tetraklorida, metildopa, metotreksat, halotan. III. Hipersensitivitas. Misalnya: fenotiazin_ , Sulfonamida, nitro furantion, eritromisin – estolat , obat anti tiroid, difenilhidan toin, fenilbutazon. C. Menurut perubahan Histopatologic yang ditimbulkan, misalnya Gambaran PA Obat penyebab – Nekrotik zonal – Asetaminofen, karbon tetra kiorida. – Hepatitis nonspesifik. – Aspirin, oksasilin. – Viral hepatitis like lesion – Isoniazide, metildopa. – Hepatitis kronlk. – Nitrofurantion, metildopa. – Kolestasis. – Klorpromazine, eritromisin estolat, anabolik steroid, estrogen. – Perlemakan hati. – Kortikosteroid, etanol, tetrasiklin. – Lesi vaskular. – Kontraseptif oral, anti tumor agents, anabolik steroid. I. " Direct Drugs Hepatotoxicity" Yaitu obat yang tanpa memerlukan perubahan, "Biotransformasi" dapat menyebabkan hepatotoksik. Gangguannya berupa gangguan pada sintesa protein, dapat menimbulkan perlemakan hati karena penumpukan trigliserida dalam sel hepar akibat kekurangan bahan pengangkutnya (lipoprotein). Intoksikasi tetrasiklin adalah suatu contoh yang tepat. Kerusakan yang ditimbulkan meningkat bila pemberian dosis yang lebih tinggi, dan menjadi lebih hebat bila ada gangguan ekskresi urin. Pemberian tetrasiklin sering menyebabkan gangguan pada kehamilan trimester terakhii, keadaan malnutrisi atau infeksi saluran air seni. II. "Metabolite related hepatotoxicity" Sebagian besar obat menimbulkan Hepatotoksis melalui jalan ini. Kerusakan sering berupa nekrosis Centrizonal dengan sedikit sel infiltrat. Kadang - kadang gangguan hepar timbul beberapa waktu kemudian setelah pemberian obat dosis kecil berulang, dengan gambaran histopatologik mirip hepatitis. Bahan metabolit yang toksis terbentuk setelah enzim mikrosom merubah dari bentuk asal. Proses nekrosis hepar dapat timbul akibat ikatan langsung antara bahan metabolit dengan protein, atau melalui proses imunologik, di mana bahan metabolit tersebut menjadi suatu antigen. Pada umumnya berat ringan kerusakan hepat ditentukan pula oleh pola genetik serta ada tidaknya Enzym Inducers yang merangsang aktivitas enzim mikrosom. / ASETAMINOFEN Pad a umumnya efek hepatotoksik terjadi bila minum obat ini secara berlebiih (15 gram/hari). Namun, sudah ada PARASETAMOL

32 Cermin Dania Kedokteran No. 40, 1985

laporan tentang intoksikasi pada pemakaian yang lama dengan dosis pengobatan biasa, dan nampaknya di sini ikut berpengaruh pemakaian obat-obat lain (Enzym inducer), alkohol serta status gizi penderita. Dalam hepar secara enzimatis obat ini dirubah menjadi bahan toksik oleh enzim sitokrom P450. Bahan toksik ini dalam keadaan normal dinetralisir melalui proses konyugasi dengan glutation. Kerusakan hepar terjadi kalau terdapat kekurangan glutation akibat pembentukan bahan metabolit yang terlalu banyak. Tetapi pemberian glutation dari luar tidak bermanfaat, karena tidak dapat memasuki sel hepar. Yang dapat dikerjakan ialah pemberian Precursor glutation seperti sisteamin. Gejala klinis dapat timbul beberapa jam setelah pemberian obat. Penderita menjadi anoreksia, mual dan muntah. Ikterus timbul setelah had kedua, dapat berlanjut dengan gangguan kesadaran, koma, dan akhirnya meninggal. Pada kasus yang berat angka kematian tinggi. Dalam perjalanan penyakitnya, serum transaminase meningkat sangat tinggi, dan oleh beberapa ahli dianggap mempunyai nilai prognostik. Pengobatan selain segera mengeliminasi obat serta memberi obat suportif/ simtomatis dapat diberikan M. asetil sistein. ASPIRIN / ASAM ASETIL SALISILAT Dikenal sebagai obat hepatotoksik yang tergantung pada besarnya dosis (Predictable). Gejala hepatotoksik timbul bila kadar salisilat serum lebih dari 25 mg/dl (dosis : 3 - 5 g/hari), tapi ada laporan terjadinya hepatotoksik pada dosis biasa dengan kadar serum l lmg/dl. Keadaan ini nampaknya sangat erat hubungannya dengan kadar albumin darah, karena bentuk salisilat yang bebas inilah dapat merusak hepar. ISONIAZID (INH) Isoniazid mengalami inaktivasi di hepar melalui proses asetilasi menjadi asetil Isoniazid yang kemudian dihidrolisis menjadi Free Acetyl Hydrozine dan oleh enzim sitokrom P450 dirubah menjadi bahan metabolit yang toksis. Pada penderita yang termasuk kelompok proses asetilasi cepat, mempunyai - risiko terjadinya efek hepatotoksik yang lebih besar. Efek hepatotoksik juga meningkat dengan pemberian Enzym Inducer secara bersamaan, misalnya : luminal, prifampisin atau alkohol. Pengaruh hepatotoksik sangat jarang terjadi pada pemakaian kombinasi dengan PAS : dikatakan karena PAS dapat memblokir proses asetilasi. RIFAMPISIN Kerusakan hepar oleh obat ini melalui 3 jalur : 1) Telah dikenal (predictable), tergantung besarnya dosis, dapat menyebabkan gangguan Hepatic up take terhadap bilirubin, sulfobromoftalein dan asam empedu. Efek ini reversibel. 2) Rifmpisin dapat menjadi Microsomal enzym inducers sehingga dapat meningkatkan efek hepatotoksik obat-obat yang tergolong metabolite related - hepatotoxicity" terutama isoniazid. 3) Rimfapisin dapat menimbulkan Viral like hepatitis METIL DOPA (ALDOMET, DOPAMET) Dilaporkan adanya kasus fatal (massive Hepatic Necrosis) tetapi ada juga yang asimtomatis (6 - 35%). Patogenesis terjadinya kelainan hepar melalui :

• Proses hipersensitivitas. • Penghambatan fungsi Supressor T ‚ Cell. • Proses pembentukan bahan metabolit - hepatotoksik. Karena itu, faktor-faktor genetik, status gizi dan keadaan lingkungan mempengaruhi terjadinya proses hepatotoksik ini. Ikterus nampak setelah 3 - 16 minggu sampai 8 bulan setelah pemberian obat. Pada umumnya keadaan ini akan segera membaik bila obat segera dihentikan. Gambaran histopatologiknya sering kolestatik. HALOTEN "Banyak penulis-penulis mengatakn terjadinya karena proses hipertensitivitas, karena tidak bisa dibuktikan pada binatang percobaan, dan sering terjadi setelah pemberian ulang. Bahan metabolit yang hepatotoksik adalah : asam trifluoroasetat, ion bromida dan klorida. Perubahan histologisnya sulit dibedakan dengan Hepatitis virus. Klinis sering ditandai dengan panas pasca bedah, yang timbul 8 - 13 hari setelah operasi disertai kelemahan umum dan gejala gastrointestinal. Ikterus timbul setelah 10 - 28 hari hari pada pemakaian ulang. pemakaian pertama atau 3 - 17 Angka kematian yang ikterus cukup tinggi, ± 20 %. III. Hipersensitivitas Obat hepatotoksik melalui proses hipersensitivitas secara Minis sering ditandai adanya panas, rash, artralgia dan adanya lasniofilia. Keadaan ini jarang pada anak, timbulnya tergantung dosis serta umumnya terjadi setelah pemberian berulang kirakira 1 minggu setelah pemberian obat. Kelainan pada hepar dapat berbeda tergantung obat yang diberikan, misalnya eritromisin estolat bersifat hepatoselular, promazin menyebabkan kolestasis, fenilbutazon pembentukan granuloma.

PEMBERIAN OBAT PADA PENDERITA PENYAKIT HEPAR. Ada 2 aspek yang ha ru s kita pikirkan, yaitu aspek farma kologtkc obat serta efek toksik obat terutama pada hepar. Akibat gangguan hepar, profil faimakokinetik obat dapat berubah. Sayang pengetahuan tentang hal ini sampai sekarang masih terbatas. Pada dasarnya, perubahan-perubahan aliran darah, ikatan protein, kemampuan intrinsik hepar mempengaruhi eliminasi obat dari tubuh. Pengaruh ini bervariasi dan bergantung pula pada rasio ekstraksi obat. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemakaian obat pada penyakit hepar antara lain : 1. Pertimbangan secara benar keuntungan dan risiko pemakaian. 2. Pergunakan obat yang tidak bersifat hepatotoksik. 3. Pengobatan dimulai dengan dosis kecil. 4. Monitoring yang baik, bila perlu pengukuran kadar obat dalam plasma. KEPUSTAKAAN 1. Arena JM, et al : Acetaminophen : Report of an Unusual Poisoning, Pediatrics 1978; 61 : 68 - 72. 2. Gorman TO, et at : Salicylate Hepatitis, Gastroenterology, 1977; 72 : 726 - 728. 3. Miller, J, at al : Acut Isoniazid Poisoning in Child hood, Am J Dis Child 1980;134: 290 - 292. 4. Michael Nz, at al : Drug Induced liver injury, in Chandra RK editor : The liver and biliary system in infant and chlbdren, London 1979, Churchill Livingstone P 229 - 241. 5. Sherloch Sheila : Drugs and the liver, London 5 th Edit. 1975 P. 340 - 348. 6. Wong P at el : Acute rifampin overdose Aphamakokinetic Study, J. Pediart 1983;104 : 781 - 783.

* Di bawakan pada Simposium Penyakit Hati Kalimantan Timur, Samarinda 20 Oktober 1985.

Cermin Dunia Kedokteran No. 40,1985 33

Amebiasis Hati DR. Djoko Maryono

PENDAHULUAN Amebiasis hati merupakan komplikasi ekstra intestinal dari infeksi oleh entamuba histolitika. Penyakit ini masih sering dijumpai, terutama di negara tropis. Dulu penyakit ini lebih dikenal sebagai abses tropik, karena disangka hanya terdapat di daerah tropik atau subtropik saja. Ternyata sangkaan tersebut tidak benar, karena kemudian ditemukan juga tersebar di seluruh dunia. Sering kali diagnosis ditegakkan dengan cara Exjuvantibus karena keterbatasan sarana. Namun dengan cara serologis (Indirect hemaaglutination test untuk Entamuba histolitika positif 95% dari penderita). INSIDENSI Terdapat terutama di negara tropik dan subtropik dengan sanitasi yang masih buruk seperti India, Pakistan, Indonesia, Asia, Afrika dan Mexico. Tapi ' dapat juga di negara lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada kaum pria jika dibandingkan kaum wanita, dengan perbandingan 4 : 1. Lebih sering pada orang-orang dewasa. Pada lebih kurang 5% penderita amebiasis timbul komplikasi pada hati. Menurut penelitian Adam & Hadi di Bagian Penyakit Dalam RS. Hasan Sadikin sejak Januari 1974 sampai dengan Oktober 1975, hanya dirawat 6 penderita amebiasis hati. Tapi pada penelitian selanjutnya oleh Abdurachman & Hadi dari Januari 1978 s/d Juni 1979, ditemukan 32 penderita yang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Ini kemungkinan makin meningkatnya sarana diagnostik. ETIOLOGI Entamuba histolitika mempunyai 3 bentuk, yaitu: bentuk minuta, bentuk kista, dan bentuk aktif (vegetatif). Bentuk aktif menembus dinding usus untuk membentuk ulkus. Lokalisasi ulkus amebika biasanya di sekum. Parasit tersebut merusak jaringan dengan cara sitolitik dan terdapat kemungkinan pembuluh darah jugs terkena, sehingga dapat menimbul34

Cermin Dunk Kedokteran No. 40, 198S

kan perdarahan. Adanya erosi di vena dapat menyebabkan terjadinya penyebaran parasit melalui vena porta dan masuk ke hati, terutama di lobus kanan dan terjadi hepatitis amebika. Jarak waktu antara serangan di intestinal dengan timbulnya kelainan di hati berbeda-beda. Bentuk yang akut dapat memakan waktu kurang dari 3 minggu, tetapi bentuk yang kronis lebih dari 6 bulan, bahkan mungkin sampai 57 tahun. Oleh karena. itu, penderita intestinal ambiasis tidak luput dari kemungkinan menderita abses hepatis amebika. PATOLOGI Hati biasanya membesar, tergantung pada besarnya abses. Lokalisasi yang sering ialah di lobus kanan. Abses di lobus kiri jarang terdapat (hanya ‚ 15%), lebih kurang 70% bersifat soliter dan 30% multipel. Cairan abses biasanya kental berwarna coklat susu yang terdiri dari jaringan rusak dan darah yang mengalami hemolisis. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit. Abses yang lama dan besar berdinding tebal. GEJALA KLINIK Keluhan yang timbul dapat bermacam-macam. Gejala dapat timbul secara mendadak (bentuk akut), atau secara perlahanlahan (bentuk kronik). Dapat timbul bersamaan dengan stadium akut dari amebiasis intestinal, atau berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah keluhan intestinal sembuh. Pada bentuk akut, gejalanya lebih nyata dan biasanya timbul dalam masa kurang dari 3 minggu. Keluhan yang sating diajukan yaitu rasa nyeri di perut kanan atas. Rasa nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dan panas, demikian nyerinya sampai perut dipegang terutama kalau berjalan sampai membungkuk ke depan kanan. Dapat juga timbul rasa nyeri di dada kanan bawah, yang mungkin disebabkan karena iritasi pada pleura diafragmatika. Pada akhirnya dapat timbul tanda-tanda Pleuritis. Rasa nyeri Pleuropulmonal lebih sering timbul pada abses hepatis jika dibandingkan dengan hepatitis. Rasa nyeri ter-

sebut dapat menjalar ke punggung atau skapula kanan. Pada saat timbul rasa nyeri di dada dapat timbul batuk - batuk. Keadaan serupa ini timbul pada waktu terjadinya perforasi abses hepatis ke paru-paru. Batuk disertai dengan sputum berwarna coklat susu. Sebagian penderita mengeluh diare. Hal seperti ini memperkuat diagnosis yang dibuat. Pada pemeriksaan didapatkan penderita tampak kesakitan. Kalau jalan membungkuk ke depan kanan sambil memegang perut kanan atas yang sakit, badan teraba panas hati membesar dan bengkak. Pada tempat abses teraba lembek dan nyeri tekan. Di bagian yang ditekan dengan satu jari terasa nyeri, berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan satu jari mudah diketahui terutama bila letaknya di interkostal bawah lateral. Ini menunjukkan tanda Ludwig positif dan merupakan tanda khas abses hepatis. Lokalisasi abses yang terbanyak ialah di lobos kanan, jarang di lobus kiri. Batas paru-paru hati meninggi. Ikterus jarang sekali ditemukan. PEMERIKSAAN LABORATORIK Pada pemeriksaan tinja jarang sekali ditemukan ameba. Menurut beberapa kepustakaan ditemukan sekitar 4 - 10%. Ditemukannya ameba dalam tinja, akan banyak rembantu diagnosis. Walaupun demikian, pemeriksaan tinja harus dilakukan berulang kali. Jumlah lekosit meninggi sekitar 10 € 20 ribu/mm 3 . Pada bentuk akut sering jumlah. lekosit melebihi 16.000/mm 3 , sedang pada bentuk kronik terdapat sekitar 13.000/mm 3 . Tes faal hati menunjukkan batas-batas normal. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan penurunan kadar albumin dan sedikit peninggian kadar globulin, dengan protein total dalam batas normal. Setelah penyakit sembuh, segala fungsi hati kembali normal. PEMERIKSAAN RONTGEN Pemeriksaan radiologi banyak membantu menegakkan diagnosis. Pada foto Toraks terlihat diafragma kanan meninggi. Apabila dengan pemeriksaan sinar tembus jelas nampak bahwa diafragma kanan selain meninggi juga tak bergerak, bentuk diafragma melengkung ke atas atau bagian tengah diafragma kanan meninggi, berarti adanya abses hati. Pada abses di lobus kiri hati, gambaran seperti tersebut di atas tidak nyata. Abses di lobus kiri hati sering memberikan penekanan pada lambung, yang dapat dilihat pada foto lambung dengan kontras barium. SIDIK HATI Sidik hati dengan bahan radioaktif In 113m atau Tc 99m banyak sekali menolong penentuan diagnosis, dengan dapat dilihat adanya tempat pengosongan di daerah abses hati. Daerah yang kosong tersebut masih perlu difikirkan kemungkinannya dengan karsinoma hati: Bilamana dilakukan sidik hati ulangan dengan Se 75 Selenite tetap dijumpai daerah kosong (daerah dingin), maka merupakan gambaran dari abses hati. Setelah penyakit sembuh, tempat pengosongan akan terisi lagi. ULTRASONOGRAFI Dengan seringnya pemakaian alat ultrasonik sebagai alat diagnostik, alat ini sering pula dipakai untuk membantu menentukan diagnosis abses hati ameba.

Wang dkk meneliti 218 penderita abses hati secara ultrasonografis, dan dibuktikan dengan pungsi pada 154 penderita, laparatomi pada 50 penderita, seorang pada otopsi, sedang 13 penderita berhasil baik dengan pengobatan saja. Vicary dkk. telah melakukan ultrasonografi pada 8 penderita dengan abses membuat hati. Penulis sendiri pada tahun 1985 juga telah diagnosis abses hati secara ultrasonografis pada 2 penderita, kesemua penderita mempunyai respons baik dengan pengobatan metronidazol atau emetin. Gambaran ultrasonografi yaitu akan terlihat suatu daerah kosong atau daerah sonolusen di hati dengan dinding ireguler. Biia intensitas atau gain ditinggikan, akan terlihat sedikit pengisian internal ekho. Cara pemeriksaan ultrasonografi ini mudah dikerjakan, tidak menimbulkan efek sampingan atau merusak jaringan. DIAGNOSIS Gambaran seseorang dengan amebik abses hati, ialah adanya rasa nyeri di perut terutama hipokondrium kanan, disertai membungkuk ke dengan kenaikan suhu badan. Kalau jalan depan kanan sambil memegang bagian yang sakit, ada tanda hepatomegali dan tanda Ludwig positif. Sebelum keluhan tersebut di atas timbul, didahului dengan diare berdarah dan berlendir. Pada pemeriksaan sinar tembus, terlihat diafragma kanan meninggi dan tidak bergerak. Gambaran darah menunjukkan lekositosis. Bila pada pemeriksaan tinja ditemukan ameba histolitika, ini akan lebih memperkuat penentuan diagnosis. Pada sidikan hati akan tampak suatu daerah pengosongan. DIAGNOSIS BANDING Penyakit amebiasis perlu dibedakan dengan penyakit hati lainnya, penyakit paru-paru dan penyakit infeksi sistemik. a) Pada hepatitis infeksiosa dapat timbul kenaikan suhu badan, tetapi biasanya rendah dan tidak ada lekositosis. Tidak dijumpai hepatomegali dan tanda Ludwig negatif. Diafragma kanan tak meninggi. Tes faal hati menunjukkan hati terganggu. b) Penyakit paru-paru, misalnya pneumonia dan empiema kanan perlu dibedakan dengan amebik abses hati, karena keluhan yang timbul dapat serupa. Pada penyakit paru-paru tersebut di atas tidak dijumpai hepatomegali, dan tidak adanya peninggian diafragma kanan. c) Abses hati piogenik perlu dibedakan dengan amebik abses hati. Pada abses piogenik biasanya ditemukan lekositosis yang hebat, dan tidak ditemukan kuman ameba histolitika. Pengobatan dengan anti amebika tidak menunjukkan perbaikan. PERAWATAN DAN PENGOBATAN Setiap penderita yang diduga menderita amebiasis hati. sebaiknya dirawat di rumah sakit dan dianjurkan untuk istirahat. Pengobatan yang dianjurkan ialah : 1) Dehidroemetin (DHE), suatu derivat sintetik dari emetin, yang dianggap kurang toksik dan mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan emetin. DHE dapat diberikan per os ataupun parenteral dengan dosis 1 - 13/ mg/kg BB/hari (maksimum 60 - 80 mg/hari) selama paling lama 10 hari. Walaupun pengaruh toksiknya kurang dibandingkan dengan emetin, tetap dianjurkan agar pemberiannya diawasi dengan pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

35

meriksaan ECG. Bila DHE tidak ada, dapat dipakai emetin hidrokhlorida yang sangat efektif terhadap bentuk -bentuk vegetatif dari ameba, baik intra intestinal maupun ekstra intestinal. Dosis yang dianjurkan ialah 1 mg/kg BB/hari dengan dosis maksimal 60 mg sehari dan hanya diberikan parenteral selama 3 - 5 hari. Pemakaian obat ini betul-betul harus diawasi;'karena sifatnya yang sangat toksik terhadap sel protoplasma, terutama terhadap sel otot. Oleh karena itu pemberian dalam jangka lama dikuatirkan akan berpengaruh buruk terhadap otot jantung. Setiap penderita yang diberi pengobatan dengan emetin sebaiknya dianjurkan beristirahat di tempat tidur dan harus diawasi dengan pemeriksaan EKG. Terhadap penderita penyakit jantung, penderita yang berusia lanjut, wanita hamil, keadaan umum jelek,polineuritis,sebaiknya tidak diberikan obat ini. 2) Kloroquin, ialah suatu senyawa aktif dari 4 quinolin. Obat ini menurut Coman (1948) sangat efektif untuk mengobati amebiasis hati, walaupun efeknya agak kurang bila dibandingkan dengan emetin. Dosis yang dianjurkan ialah 2 x 500 mg/ hari selama 2 hari pertama, kemudian dilanjutkan 1 x 500 mg atau 2 x 250 mg/hari selama 3 minggu. Walaupun obat ini diberikan dalam waktu jangka lama, tidak menunjukkan tanda-tanda toksis. Sebaiknya pemberian kloroquin diberikan bersama-sama dengan DHE atau emetin, yang berdasarkan pengalaman ternyata memberikan hasil yang sangat baik. 3) Metronidazole merupakan suatu derivat dari nitromidazole, telah dicoba untuk mengobati amebiasis hati dengan hasil yang memuaskan. Bila ada kontra indikasi terhadap pemberian emetin, maka dianjurkan untuk memberikan metronidazole dengan dosis 3 x 500 mg selama 10 hari. 4) Setelah selesai pengobatan abses hati, dianjurkan untuk memberikan juga obat-obat amebisidal intestinal untuk mengobati intestinal amebiasis yang mungkin menyertainya. Menurut Spellberg, kolon harus betul-betul babas dari ameba histolitika untuk menghindari kambuhnya kembali amebiasis hati. Obat -obatan yangdianjurkan di antaranya ialah : a) Iodo-oxiquinolin misalnya : - Diodoquin (diido-hidroksiquinolin dengan dosis 3 - 4 x 0,2 gr/8 jam selama 20 hari, atau - Iodoklorhidroksikinolin (enterovioform) dengan dosis 3 x 250 - 500 mg/hari. b) Carbarsone (karbaminofenil - asam arsenat) dengan dosis 2 x 250 mg/hari selama 10 hari. c) Tetrasiklin dapat diberikan dengan dosis 500 mg tiap 6 jam selama 10 hari. Obat ini dapat membunuh Entamuba histolitika di intestinal. Ada 2 macam skema kombinasi pengobatan yang dianjurkan oleh Zuidema, ialah :

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

ASPIRASI Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil, dalam arti kata hati masih membesar, nyeri tekan tetap ada, suhu badun tidak turun dan lainlain gejala lagi, maka perlu sekali dilakukan aspirasi. Aspirasi sebaiknya dilakukan di ruangan khusus dan dalam keadaan aseptik, untuk mencegah kontaminasi. Lokalisasi aspirasi ialah di tempat yang paling lembek dan nyeri. Jarum yang dipakai ialah jarum panjang dengan diameter kira-kira 1 - 2 mm, dan didahului dengan anestesi lokal di tempat insersi jarum. Nanah harus dikeluarkan sampai hi bis, dan dihentikan bila terlihat keadaan penderita kurang baik. Setelah aspirasi harus diberikan pengobatan medikamentosa seperti tersebut di atas. Aspirasi sirurgis dianjurkan terhadap penderita yangdiduga dengan abses yang multipel. KEPUSTAKAAN 1. Adam IF & Hadi S, Amebiasis had. Diajukan pada Pertemuan Ilmiah Fakultas Kedokteran UNPAD/Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, 1976. 2. Anggraini E, Hadi & Luhulima LF, Scanning hati. Naskah Lengkap KOPAPDI III. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUP/RSHS, 1975; 378- 390. 3. Krupp Chatton. Curent Medical Diagnosis & Treatment : lange 1985. 4. Sulaiman, Pang RTL dan Nur MS. Amoebiasis Had. Diagnosis dan Pengobatannya. Kursus Penyegar Penambah Ilmu Kedokteran FKUI - p, 1972;640 - 644. 5. Schiff L. Disease of the Liver. Second ed. Philadelphia : Lippicott Co., 1963; p. 744 - 764. 6. Vicari, Cusick, Shirley & Blackwell. Ultrasonic and amoebic liver abscess JAMA, 1984;64 : 113 - 114. * Dibawakan pada Simposium Penyakit Hati Kalimantan Timur, Samarinda 20 Oktober 1985.

Vaksinasi/Profiiaksis Terhadap Hepatitis B Dr. A.

Kuwat Soeparman

Bagian Kesehatan Anak RSU-ULIN, Banjarmasin

PENDAHULUAN Hepatitis tampaknya sudah merupakan problem kesehatan masyarakat di beberapa bagian dunia. Prevalensi mereka yang ternyata menderita hepatitis virus, terutama hepatitis A, hepatitis B, hepatitis non A non B fernyata cukup banyak. Di beberapa negara Afrika & Timur jauh, ternyata pembawa hepatitis B (carrier) mencapai 15%; malahan Taiwan mencapai 20%. Di negara tetangga kita, Asean, ternyata hasil survey menunjukkan carrier sekitar 10%. Di Indonesia sendiri belum ada data nasional. Survey di Jakarta & Surabaya didapatkan carrier 4,5% dan 7%. Dari donor darah di Jakarta, ternyata carrier mencapai 2,4%. Pada kelompok penduduk tertentu, ternyata angka prevalensi carrier mencapai > 20%, misalnya petugas RS kesehatan yang berhubungan dengan darah; petugas bagian bedah, kebid'anan dan laboratorium, petugas dialisis. Kelompok ini disebut risiko tinggi terhadap penularan hepatitis B. Dari mereka yang kena infeksi hepatitis B, sebagian besar sembuh sempurna, sebagian yang lain menjadi currier atau menjadi kronik yang secara epidemiologis dan virologis merupakan faktor.penyebab karsinoma hepatoselular primer. Pengetahuan terhadap hepatitis B ini maju pesat setelah tahun 1964 oleh Blumberg (pemenang Nobel Prize) diketemukan "Antigen Australia". HEPATITIS & PETANDA SEROLOGIK ("SEROLOGIC MARKER") Penyakit hepatitis B dapat bermanifestasi ringan tanpa ikterus. dengan ikterus dan gejala klinik lain, yang sebagian akan sembuh sempurna, menjadi fulminan dengan kematian yang tinggi, menjadi kronik dengantimbulnya sirosis dan karsinoma hepatoselular, atau menjadi pembawa (carrier) hepatitis B. Pada Hepatitis B, secara biokimia & imunologik akan timbul perubahan. Salah satu perubahan imunologik ialah timbulnya petanda hepatitis (Hepatitis marker). Ada beberapa petanda Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

37

akut, juga menunjukkan periode paling infeksius, segera sesudah menghilangkan HBsAg. Adanya HBeAg menunjukkan darah penderita sangat infeksius. Anti HBe

:

Antibodi terhadap Hepatitis B Antigen. Sero konversi dari e antigen ke e antibodi dalam stadium akut, menunjukkan adanya penyembuhan. Adanya anti HBe menunjukkan darah penderita tidak infeksius.

TRANSMISI Penularan hepatitis B ternyata secara parenferal rnelalui produk darah, jarum injeksi dan sebagainya tetapi sebagian dapat terjadi secara diam (inapparent parenteral) tanpa disadari penderita itu melalui hubungan yang intim dengan carrier/ penderita hepatitis B. terutama melalui hubungan seksual. Ini bisa terjadi karena media penularan bisa berupa darah, komponen darah, saliva, cairan vagina, semen dan air mata. Sedangkan urine, faeses dan air susu ibu tidak berperanan penting sebagai media penularan. Transfusi darah, komponen darah dan jarum yang terkontaminasi (pecandu narkotika) paling banyak sebagai penyebab, selain kontak intim, kontak seksual dengan carrier (penderita hepatitis B). Khusus transmisi pada bayi yang lahir dari ibu yang merupakan carrier atau penderita ternyata terjadi secara vertikal (sebagian secara horizontal) pada waktu intra uteri (sedikit sekali) perinatal (yang banyak) dan post natal. Infeksi secara vertikal pada neonatus menyebabkan 90% jadi carrier dan infeksi secara horizontal (melalui saliva) menyebabkan 40% jadi carrier. Hal inilah yang banyak menimbulkan carrier menjadi lebih tinggi. Selain itu adanya HBsAg, HBeAg serta anti HBe pada ibu mempengaruhi penularan.

Ternyata anti HBs bisa mencegah replikasi virus, yang berarti juga mencegah terjadinya hepatitis B dan HBs Ag, yang diketahui sebagai bagian virus hepatitis B. Saul Kragman adalah orang yang mendapatkan bahwa serum penderita penyakit hepatitis B setelah diinaktivasi dapat mencegah hepatitis B. Maurice Hillman, dengan kemajuan terknologi akhirnya bisa membuat vaksin hepatitis B yang ternyata ampuh untuk memberi perlindungan terhadap hepatitis.B. Hepatitis A ternyata akhir-akhir ini sudah bisa di kultur, tetapi untuk pembuatan vaksin masih memerlukan penyelidikan yang masih panjang waktunya.

38

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

GOLONGAN RISIKO TERHADAP HEPATITIS B Berdasarkan cara hidup, pekerjaan dan transmisi hepatitis B, dapat dibagi beberapa kelompok penduduk dengan risiko paling tinggi dan risiko paling rendah. Risiko tinggi — Penderita yang sering mendapat transfusi darah/komponen darah. (Talasemia hemofilia). — Penderita yang memerlukan dialisis. — Pencadu narkotika yang menggunakan suntikan. — Homoseksual yang aktif — Prostitusi

Penghuni rumah perawatan retardasi mental. — Bayi yang lahir dari ibu carrier atau penderita hepatitis. Risiko sedang Personil kesehatan yang berhubungan dengan penderita hepatitis B, atau yang menangani produk darah atau yang berhubungan dengan darah (petugas dialisis, petugas bagian bedah, gigi, kebidanan dan sebagainya). — Petugas militer yang ditugaskan di darah endemis. Risiko rendah —Petugas kesehatan yang tidak termasuk kategori di atas. Prevalensi anti HBs pada personil medis dibanding donor darah.

cegahan dengan cara pasif terhadap hepatitis B dan ternyata sangat menunjang penggunaan vaksin hepatitis B. Vaksinasi HBV yang diberikan bersamaan dengan HBIG ternyata memberi rekasi pembentukan anti HBs yang sama seperti pemberian vaksinasi HBV saja. Begitu juga vaksinasi pada bayi, di mana bayi sudah mempunyai anti HBs (transplasental) dari ibunya ternyata tidak berbeda dengan bayi yang tidak punya anti HBs. Proses Pembuatan vaksin hepatitis B Plasma from hepatitis B carriers Defribrination with added calcium) Defribrination (with added calcium) Ammonum sulphate precipitation (concentration) Isopycnic banding (Sodium Bromide) Rate zonal sedimentation (Sucrose gradient) (10% pure) Pepsin digestion pH2 (Essentiolly 100% pure) Urea, B Motor (Denoture - Renoture) Gel filtration (Molecular sieve) Formalin 1 :4000 (72 .hours, 36 0 C) Caccine 20 ag Surface antigen/Dose with 0.5 mg At (Alum) in .10 ml and Thimerosol Critical Viral Inoctivation Steps Key steps in preparing human hepatitis B vaccine.

VAKSIN Berbeda dengan vaksin yang selama ini dipakai, biasanya dibuat dari mikroorganisme yang dibiakkan, kemudian dilemahkan atau inaktivasikan dan Baru kemudian diberikan sebagai vaksin. Hepatitis B virus sampai saat ini tidak bisa di kultur, maka vaksin hepatitis B tidak dibuat dari kultur virus. Setelah diketemukan antigen Australia tahun 1964. Saul Krugman berhasil mengembangkan serum penderita hepatitis B sesudah dilemahkan/diinaktivasikan (dengan cara memanasi) dan menyuntikkan pada orang lain, ternyata dapat mencegah infeksi hepatitis B. Bahan baku vaksin hepatitis B diambil dari serum carrier Hepatitis B yang ternyata banyak mengandung HBs Ag yang imunogenik. M Hillman dengan teknologi mutakhir membuat vaksin yang mengandung HBsAg dari plasma carrier, yang kemudian ternyata aman untuk digunakan dalam vaksinasi (uji coba tahun 1975), dan dipakai sejak tahun 1981. Vaksin ini dapat merangsang tubuh manusia untuk membuat anti HBs yang berguna untuk pencegahan hepatitis B. Hepatitis B imun Globulin (HBIG) Sudah diketahui bahwa anti HBs dapat mencegah hepatitis B Anti HBs dapat dirangsang pembuatannya oleh tubuh dengan cara vaksinasi, atau dengan memberikan serum yang banyak mengandung Anti HBs. Sejak tahun 1940, imun globulin sudah dipakai, terutama dalam pencegahan hepatitis A. Dengan teknologi yang maju, akhirnya dapat dibuat imun globulin yang mengandung 10.000 x anti HBs dengan serum sebelumnya dari inilah yang kemudian kita kenal sebagai HBIG. HBID ini ternyata, sangat bermanfaat dalam pen -

RINGKASAN Telah dibicarakan beberapa segi vaksinasi Hepatitis B. Dengan diketemukannya vaksin dan imun globulin terhadap Hepatitis B, pencegahan terhadap penyakit ini makin maju. Selain mengurangi jumlah penderita, dan memperbaiki prognosis penyakit ini, vaksinasi terhadap neonatus akan mengurangi jumlah carrier penyakit ini, terutama di daerah endemis. Atas dasar alasan ekonomis, screening terhadap golongan tertentu masih harus dikerjakan. Dengan meluasnya imunisasi Cermin Dunia Kedokteran No. 40. 1985 39

terhadap Hepatitis B, diharapkan jumlah carrier akan menurun dan juga prevalensi Karsinoma Hepatoselular akan berkurang, mengingat adanya hubungan yang erat antara carrier Hepatitis B dengan penderita tumor ganas ini. "SCREENING" Bila kita tidak melakukan vaksinasi rutin, screening dipakai untuk vaksinasi selektif mengingat harga vaksin HBV yang masih terlalu mahal. Mereka yang memerlukan vaksinasi, ialah mereka yang mempunyai risiko ketularan hepatitis B, tetapi harus dipastikan bahwa mereka belum pernah mendapat infeksi sebelumnya dan mereka bukan carrier hepatitis B. Screening dapat dilakukan dengan pemeriksaat, HBsAg untuk carrier dan untuk mereka yang pernah mendapat atau sedang mengindap hepatitis B, screening dilakukan dengan pemeriksaan Anti HBs dan Anti HBc. Sebetulnya vaksinvaksin hepatitis B inipun bila diberikan pada carrier atau mereka yang telah mendapat hepatitis B tidak memberikan reaksi yang berlebihan, malahan bisa meninggikan kadar anti HBs, tetapi tidak bisa menghilangkan status carrier.

Mereka yang pernah menderita Hepatitis-akut/ kronis. Mereka yang lahir/berasal dari daerah enemis hepatitis. Mereka yang ditolak sebagai donor darah karena HBsAg positif. Mereka yang bekerja atau tinggal di institusi retardasi mental Mereka yang bekerja atau mendapat pengobatan hemodialisis. yang

1 cc vaksin dan HBIG 1 cc vaksin dan HBIG 1 cc vaksin.

Khusus pada bayi: — Di daraw endemis hepatitis B bayi diberikan vaksinasi 0.5 cc HBV pada 0.1 dan 6 bulan. — Bila diberikan secara selektif, maka dilakukan screening terhadap ibu yang hamil untuk mencari ibu dengan HBsAg. — Pada semua bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif diberikan vaksinasi HBV dengan suntikan 1 0.5 MI. II 1.0

MI. III 0.5 Ml.

-

Selain itu pada ibu dengan HBsAg positif yang ternyata juga mengandung HBeAg diberikan dengan cara sebagai berikut: — Setelah bayi lahir diberikan 0.5 Ml. HBIG dan HBV 0.5 cc. — Suntikan II hanya HBV saja. — Suntikan III hanya HBV saja. Akhir-akhir cenderung untuk memberikan HBIG bersama HBV pada bayi yang lahir dan ibu dengan HBsAg tanpa melihat status HBeAg ataupun anti HBe pada ibunya. Hasil vaksinasi dan efek sampingnya

IBU HAMIL YANG MEMERLUKAN TES HBsAg

Mereka

Suntikan I II III

merupakan pencandu narkotika.

Mereka yang pernah kontak intim dengan penderita Hepatitis akut/kronik. Mereka yang karena penyakitnya memerlukan tranfusi berulang. Mereka yang karena pekerjaannya selalu berhubungan dengan darah.

Vaksin hepatitis B sudah mulai diuji coba pada manusia sejak tahun 1975 dan mulai dipakai secara luas tahun 1981 (di Amerika Serikat). Efek sampingan yang ada kadang-kadang ti mbul rasa nyeri di tempat injeksi, dan kadang-kadang timbul demam yang tidak terlalu tinggi. Kekhawatiran akan penularan penyakit AIDS, ternyata tidak terbukti. Secara immunologis, vaksinasi hepatitis B akan menyebabkan timbulnya anti HBs pada penerimanya sesudah 3 bulan (bulan ke 3) yang ternyata lebih cepat dibanding dengan infeksi alamiah, dan ini cukup untuk mencegah infeksi hepatitis B. Sesudah injeksi ke III, penerima vaksi 95% menunjukkan titer anti HBs yang cukup tinggi. Titer anti HBs ini akan menurun pada tahun berikutnya (tidak menghilang) dan akan menaik kembali bila ada infeksi secara alamiah. Oleh karena itu, bila memang diperlukan suntikan booster II diberikan sesudah 5 tahun vaksinasi hepatitis B. KEPUSTAKAAN

VAKSINASI Vaksinasi hepatitis B diberikan pada mereka yang belum pernah mendapat infeksi hepatitis B, tetapi punya risiko untuk ketularan penyakit ini. Pada dasarnya vaksinasi dilakukan dengan cara sebagai berikut: Dosis & jadwal vaksinasi hepatitis B Group

Initial

1 Bulan

6 Bulan

Bayi & Anak 10 tahun

10 Ug (0,5ML.)

10 Ug ( 0.5ML.)

10 Ug (0.5ML.)

Anak 10 tahun Orang dewasa

20 Ug (1.0 ML.)

20 Ug (1.0 ML.)

20 Ug (1.0 ML. )

Ada sedikit modifikasi pada pemberian vaksinasi ini: — Pada penderita hemodisa diberikan dosis tiap kali 2 MI. vaksin HB (40 Ug). — Pada kontak person, orang yang telah mengadakan hubungan intim dengan penderita hepatitis akut atau hepatitis kronik aktif, diberikan dengan cara: 40

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

1. Hilleman MR. The preparative and safety of Hepatitis B vaccine. Pharos Bulletin 2 — 1684. 2. Krugman S et al. Infectious Hepatitis. Evidence for two distinctive clinical, epidemiological, and immunological types of infection. JAMA 1967; 200: 365 - 373. 3. Krugman S. Prophylaxis of Hepatitis B, Perspective, viral hepatitis. Hepatitis Information Centre. Hahnemann University, Philadelphia, USA. 4. Moeslichan S dkk. lrekuensi antigen Hepatitis B dan antibodi Hepatitis B di Indonesia. Medika, 1976; II: 21 - 23. 5. Prevention of Hepatocel!ular Carcinoma by Immunisation. A Report of a WHO Hotting. Bulletin of the WHO. 1983; 61: 731 744. 6. Prowzky OW et aL Immune responce to Hepatitis B vaccine in newborn. 7. Sheilla Sherlock. Landmark in viral Hepatitis. JAMA, 1984; 252: 402 - 406.

* Dibawakan pada Simposium Penyakit Hati di Banjarmasin

Panitia Simposium Penyakit Hati bergambar bersama sponsor.

Dr. HM Sjaifoellah Noer (kiri) dan Dr. Samsuridjal I) (kanan)

Samsuridjal Pelaksana

Dr.

1)

sedang menerima kenang-kenangan dari Ketua

wakil Gubernur pada pcmbukaan simposium (tanda X)

Peserta simposium

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 41

Penggunaan Kortikosteroid Pada Syok Septik

Dr. A Husni Tanra dan Dr. M ID Sjattar Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN Syok septik adalah sindroma klinik yang dicetuskan oleh masuknya produk mikroba ke dalam vaskuler, sehingga mcnyebabkan kegagalan pada mikrosirkulasi, penurunan perfusi jaringan dan abnormalnya metabolisme seluler 1-4 . Brill dan Libman pada tahun 1899 untuk pertama kalinya mclaporkan satu kasus bakteremia Gram Negatif s . Banyak terminologi digunakan untuk syok septik antara lain: syok cndotoksin, syok Gram Negatif, syok bakteremia dan syok scptikemia 1,6,7 . Selain oleh mikroba Gra. Negatif, syok septik

Vasodilatasi yang terjadi memberikan gambaran hangat dan kemerahan, di samping menyebabkan penurunan tekanan darah. Akibatnya terjadi stimulasi baroreseptor yang menyebabkan dibebaskannya zat vasoaktif 5-hidroksi triptantin. adrenalin dan nor-adrenalin. baik neural maupun humoral 1-4 . Sampai fase ini kita masih berada pada fase awal syok septik yang disebut juga warm shock1-4,8 . GAMBAR I. PATOFISIOLOGI "WARM SHOCK"

dapat juga disebabkan oleh mikroba Gram Positif, fungus maupun spirochac1,2.4.6.8.9 . Menurut Wright 2,10 pemberian kortikosteroid pada syok septik tetap kontroversial. Namun demikian banyak peneliti telah mclihat keuntungan pemberi-

an kortikosteroid dosis tinggi pada syok septik 5,7,11-19



Makalah ini akan membicarakan mengenai patofisiologi, perubahan scluler, subscluler dan organ. hubungan antara kcrusakan organ dengan efek metabolik syok septik dan efek kortikosteroid sebagai terapi ajuvan pada syok septik. PATOFISIOLOGI Pembebasan endotoksin dari mikroba yang sudah mati diduga menjadi pencetus utama terjadinya syok septik 1-4,6,5 Endotaksin merupakan stimulan antigen yang kuat, yang menyebabkan ia berikatan dengan antibodi (lg-G, Ig-M) membentuk kompleks endotoksin antibodi1,2,6 . Selanjutnya komplemen akan diaktifkan baik melalui classic pathway ataupun melalui alternative pathway 6 . Efek selanjutnya terjadi pelepasan zat vasoaktif seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan "slowreacting-substance of anaphylactoid" (SRS-A) 1,2,4, 8, 9 . Pelepasan zat vasoaktif ini menyebabkan dilatasi arteriol, venokonstriksi, bronkokonstriksi dan peninggian permeabilitas membrana kapiler 1-4,6,8,9 *) MAKALAH telah diajukan pada Simposium Kortikosteroid sebagai obat penyelamat, Ujung Pandang, 8 September 1984.

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Efek samping pembebasan zat vasoaktif ini secara terus menerus, menyebabkan konstriksi pada precapillary sphincter

dan post capillary venular sphincter 1,2 . Akibatnya, sebagian darah tidak lagi melalui jaringan tetapi melalui shunt arteri vena yang menyebabkan jaringan berada dalam keadaan hipoksia iskemik 1,2. Hipoksia jaringan memaksa jaringan mempertahankan fungsinya, terutama dengan metabolisme anerobik yang menghasilkan asam laktat. Asidosis Iaktat lama kelamaan menyebabkan precapillary sphincter tidak dapat lagi mempertahankan tonusnya. Sebaliknya, post capillary venular sphincter masih sanggup mempertahankan tonusnya karena memang biasa bekerja dalam suasana yang lebih asam2 . Relaksasi precapillary sphincter dan tetap konstriksinya post capillary venular sphincter ini menyebabkan pooling darah pada mikrosirkulasi, sehingga jaringan mengalami suatu stagnant hypoxia 2 . Tekanan hidrostatik kapiler meninggi, serta kerusakan endotel menyebabkan meningginya permeabilitas pembuluh darah. Kedua faktor ini menyebabkan kebocoran cairan ke ruang intersisial dan intraselular, yang menyebabkan hipovolemia hebat, sehingga manifestasi klinik syok menjadi lebih jelas 2 .

membran sel yang mempertinggi difusi cairan ke dalam sel yang terlihat dalam bentuk edema sel secara mikroskopis. Ini segera diikuti dengan pembengkakan lisosom fungsi mitokondria, sehingga proses respirasi intraseluler makin terganggu dan asam laktat makin menumpuk' 1,2 . Perubahan membrana lisosom berlanjut dengan rusaknya membrana ini, yang menyebabkan dibebaskannya enzim-enzim yang dapat mcnghancurkan struktur makromolekul sel scperti protein, lipid dan asam nukleat yang berakhir dengan kematian sel 5,13 . Matinya sel menyebabkan pcmbcbasan isinya ke dalam cairan ekstraseluler, terus ke sel tetangganya yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan dan organ5,13 . Endotoksin mendepresi proses glukoncogenesis yang menambah beratnya penumpukan asam laktat dan penurunan produksi ATP 2 . GAMBAR III. Asidosis metabolik pada syok septik

GAMBAR II. PATOFISIOLOGI "COLD SHOCK"

Gangguan fungsi hati dari "cold Penurunan drastis aliran darah hati pada awal shock" menyebabkan kegagalan elemen retikulocndotelial hati untuk mendetoksifikasi dengan akibat tcrdistribusinya cndotoksin kc seluruh tubuh5.12,13 Disfungsi hati kemudian ternyata memegang posisi kunci yang menentukan beratnya manifestasi klinik suatu syok septik,5,12,13,14,20 Gangguan fungsi ginjal Penurunan aliran darah ginjal menyebabkan gangguan fungsi ginjal dalam hal pengaturan keseimbangan asam basa13 Apabila ini tidak cepat ditanggulangi, dapat terjadi nekrosis tubulus ginjal yang makin memperberat asidosis laktat, yang terjadi akibat akumulasi metabolit nitrogen dan toksin-toksin13

PERUBAHAN STRUKTUR SEL, SUBSELULER DAN ORGAN

Perubahan struktur sel dan subseluler Gangguan perfusi jaringan menyebabkan metabolisme anerobik yang menumpuk asam laktat, dan penurunan produksi ATP. Penurunan ATP menyebabkan penurunan fungsi

Gangguan fungsi paru Banyak teori telah dimajukan untuk menerangkan kelainan paru pada sepsis 2 . Namun demikian tidak ada satu pun teori yang dapat menjelaskan kelainan paru ini pada semua kasus sepsis, sehingga diduga hal lni disebabkan oleh kombinasi beberapa mekanisme. Agregasi trombosit menyebabkan pembebasan serotonin, prostaglandin, enzim lisosom, heparin releasing factors dan faktor lain yang menyebabkan meningginya permeabilitas vaskuler paru2 . Produk koagluasi seperti fibrin atau fibrin degradation product (FDP) juga memperlihatkan efek yang merusak paru karena mempertinggi tekanan hidrostatik vaskuler paru 2 . Pembebasan katekolamin akibat syok merangsang lipolisis yang Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

43

menyebabkan peninggian konsentrasi asam lemak bebas. Ini menyebabkan sintesa "plasminogen activator inhibitors" oleh hati yang mengganggu proses fibrinolitik dan mengakibatkan mikroemboli pada paru yang makin mempertinggi permeabilitas vaskuler paru. GAMBAR IV. Kelainan paru pada sepsis

Gangguan pembekuan Hemolisis intravaskuler dapat terjadi karena bakteremia. Dapat juga terjadi secara sekunder karena reaksi antigenantibodi di dalam pembuluh darah yang menyebabkan ikterus pra hepatik. Liver failure dapat terjadi karena septikemia atau sepsis intra abdomen yang menyebabkan ikterus intra hepatik. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) terjadi karena di trigger oleh lesi pada dinding kapiler l '2 ' 8 , atau sekunder sebagai akibat efek endotoksin 2 .

Di sini, proses koagulasi diaktifkan di dalam darah yang sementara bersirkulasi, dengan menggunakan faktor-faktor bekuan seperti protrombin, proakselerin, globulin antihemofilik, fibrinogen dan trombosit membentuk fibrin. Penggunaan faktor bekuan ini yang menimbulkan gejala perdarahan. Di lain pihak pembentukan fibrin menyebabkan pelepasan aktivator plasminogen yang akan merubahnya menjadi plasmin. Plasmin ini akan mencerna fibrin dan faktor bekuan lainnya seperti fibrinogen, globulin antihemofilik dan proakselerin yang menambah beratnya gejala perdarahan. Fibrin dipecah menjadi fibrin degradation product (FDP) 2 . Akhirnya dikenal pula teori yang mengkambinghitamkan lipid-A-endotoksin 2 . Lipid-A ini mengaktifkan complement cascade yang menyebabkan agregasi trombosit pada kapiler paru. Agregasi ini membebaskan radikal aktif yang toksik karena dapat berinteraksi satu sama lain, merusak DNA dan membrana sel yang berakhir dengan kerusakan pada kapiler paru?. Akibat lain kerusakan endotel paru, cairan yang kaya akan protein dapat tertimbun pada alveolus dan intersisial paru yang menyebabkan hipoprotenemia 2 . Gangguan fungsi pankreas Penurunan perfusi pankreas menyebabkan gangguan fungsi pankreas dalam kontrol hormonal metabolisme karbohidrat dan pembentukan myocardial depressat factors (MDF) 11, ' 13 . Pembebasan MDF dari pankreas menyebabkan bertambahnya vasokonstriksi sirkulasi splanikus dan juga kardiodepresi l2 . Akibatnya terjadi gangguan fungsi jantung yang menyebabkan kolaps sirkulasi dan makin jeleknya perfusi jaringan 13 : 44

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

HUBUNGAN ANTARA KERUSAKAN ORGAN DAN EFEK METABOLIK DARI SYOK SEPTIK Fase awal syok septik (warm shock) ditandai dengan peningkatan metabolisme yang menyebabkan peningkatan suhu tubuh l-4 ' 6 ' 8 . Katekolamin dan glukagon menstimulir miokardium, meningkatkan sekresi hormon adrenal (dan mungkin juga kelenjar tiroid) yang memacu metabolisme secara umum. Akibat kebutuhan enersi yang sangat tinggi pada fase awal dari syok septik, terjadi peningkatan pemecahan glikogen. oksidasi glukosa dan glukoneogenesis l '2 . Sebaliknya pada fase lanjut syok septik, dapat ditemukan keadaan hipoglikemia karena berbagai hal 12,13,16,19 Balis et al dan Hinshaw et al melaporkan bahwa endotoksemia menyebabkan penurunan perfusi hati sehingga menyebabkan inhibisi terhadap proses glukoneogenesis 16 Menurut Williamson et al 11 , endotoksin secara langsung atau tidak langsung melakukan inhibisi terhadap enzim fruk-

tose -1.6—difosfatase atau mengaktifkan enzim fosfofruktokinase. Hal ini mempertinggi konsentrasi fruktosa difosfat dan menurunkan konsentrasi fruktosa -6— fosfat dan glukosa -6— fosfat. Peninggian konsentrasi fruktosa difosfat bekerja sebagai positive feedback signal untuk mengaktifkan enzim piruvatkinase yang menyebabkan penurunan konsentrasi fosfo-enol -piruvat, menurunkan produksi glukosa dan mempertinggi penggunaan ATP I1 Untuk jelasnya dapat dilihat skema pada Gambar.

skema pada Gambar VII. Schuler11 berspekulasi, cepatnya pemecahan glikogen pada binatang percobaan yang mengalami endotoksemia disebabkan baik karena meningka.tnya glukogenolisis dan penekanan terhadap glukoneogenesis. Ia juga mendapatkan pada hati yang diisolasi dari monyet yang mati karena endotoksemia, peninggian konsentrasi asam laktat dan fruktosa difosfat, serta penurunan konsentrasi fruktosa -6—fosfat, glukosa—6-fosfat dan fosfo—enol—piruvat yang bermakna.

GAMBAR VI. Efek endotoksin terhadap metabolisme karbohidrat

GAMBAR VII. Efek endotoksin terhadap glikogenolisis hati

Bitensku et a111 telah memperlihatkan bahwa endotoksin melakukan stimulasi terhadap adenilsiklase yang peka terhadap rangsangan katekolamin. Sehingga jelaslah, setiap rangsangan terhadap pelepasan katekolamin merupakan stimulus yang mempertinggi kecepatan glikogenolisis hati dengan mengaktifkan sistem fosfosrilase hati. Untuk jelasnya dapat dilihat

Diketahui juga bahwa glukoneogenesis merupakan proses yang banyak memakai enersi 12 . Dua langkah pertama ke arah pembentukan ATP adalah oksidasi glukosa menjadi asam piruvat, yang diikuti dengan masuknya asam piruvat ke dalam siklus Krebs melalui asetil -koenzim A. Sehingga akan terjadilah lingkaran setan dalam hal penurunan produksi glukosa, menyebabkan penurunan produksi enersi yang menyebabkan makin menurunnya produksi glukosa dan seterusnya 12 . Schu1er12 juga telah membuktikan pada hati monyet yang mati karena endotoksemia, penurunan konsentrasi ATP dan ADP dan sebaliknya peningkatan konsentrasi AMP. Menurut Schumer11 ada 3 kemungkinan yang dapat menyebabkan penurunan konsentrasi ATP dan ADP posmortem ini, yaitu : 1) Akibat kondisi yang amat hipoglikemia, sangat sedikit glukosa yang tersedia untuk oksidasi sel, sehingga sedikit juga produksi asam laktat oleh sel dan yang kemudian masuk ke dalam siklus Krebs untuk diproduksi sebagai enersi. 2) Kemungkinan tidak cukupnya tersedia oksigen bagi sel untuk menjaga fungsi mitokondria yang normal, sehingga walaupun asam laktat cukup diproduksi, tetapi siklus Krebs yang membutuhkan oksigen tidak bekerja dengan lancar, dengan akibat produksi enersi juga berkurang. 3) Hipotensi menyebabkan tidak cukup adekuatnya aliran pada mikrosirkulasi yang menyebabkan terganggunya perfusi jaringan untuk transportasi baik oksigen maupun substrat yang dapat menghasilkan enersi ke dalam sal. Hipoksia jaringan menyebabkan penurunan metabolisme Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

45

aerobik, sebaliknya meningkatkan metabolisme anaerobik, yang menyebabkan penumpukan asam laktat dan penurunan drastis penyediaan adenosin tri fosfat (ATP) pada jaringan 5,11,12,13,20,21 Penurunan kemampuan oksidasi glukosa memaksa lemak untuk menjadi sumber enersi utama pada 22 stres dan sepsis . Hal ini dimungkinkan karena efek katekolamin dan glukagon yang meninggikan siklus adenosin mono fosfat (cAMP) dalam lemak yang mempertinggi aktifitas lipolisis untuk hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol22 . Makin berat sepsis, makin besar pengaruh glukagon yang menyebabkan makin meningginya konsentrasi asam lemak bebas dan benda-benda keton 22 . Apabila stres lebih berat lagi, akan terjadi inhibisi terhadap masuknya asetil - koenzim-A ke dalam siklus Krebs yang menyebabkan makin meningginya konsentrasi benda-benda keton 22 . Inilah yang menyebab kan pada sepsis akan ditemukan peninggian rasio beta-hidroksibutirat terhadap asetoasetat dalam darah hati, ginjal dan jaringan lainnya 22 . Meningginya konsentrasi benda-benda keton akibat meningginya aktifitas lipolisis memperberat asidosis laktat yang 11,12,14,22 sudah terjadi karena hipoksia jaringan Di samping lipolisis lemak, terjadi juga peningkatan penggunaan protein scbagai sumber enersi yang menyebabkan balans nitrogen yang negatif 22 . Sumber utama pemecahan protein dalam keadaan septikemia ini adalah otot, sehingga konsentrasi protein di hati dan ginjal hampir tidak berubah 22 Hal inilah agaknya yang menyebabkan penderita dengan septikemia biasanya mengalami penurunan berat badan, masa otot, hipoalbuminemia yang biasa juga disebut sebagai septic

autocannibalism 2 .

EFEK KORTIKOSTEROID SEBAGAI TERAPI AJUVAN PADA SYOK SEPTIK Walaupun kortikosteroid telah digunakan sebagai terapi ajuvan pada syok septik lebih dari 10 tahun, kontroversi mengenai untung-rugi dan berguna - tidaknya diberikan pada ssampai dewasa ini 5,13,14,15 penderita septikemia terus berlanjut5,13 Hinshaw 7,15 , Lillehei 23 Schumer11,14 Schuler 12 , Lefer dan banyak peneliti lainnya melihat bahwa pemberian adrenokortikoid dini pada sepsis mempertinggi kemungkinan hidup pada binatang percobaan dan penderitanya. Lofer 5,13 berhipotesis, efek perlindungan yang diberikan oleh kortikosteroid pada syok disebabkan karena efek hemodinamik dan metaboliknya dalam memperbaiki sistem sirkulasi. Lozman 24 melaporkan peninggian curah jantung dan penurunan resistensi vaskuler periferi pada penderita trauma kapitis yang diberinya metilprednisolon -sodium -suksinat 30 mg/Kg BB dini. Peninggian curah jantung meninggikan aliran darah ke organ dan memperbaiki perfusi jaringan 24 . Perfusi jaringan lebih diperbaiki lagi karena penurunan resistensi vaskuler periferi. Peninggian curah jantung ini antara lain disebabkan karena adanya efek inotropik positif 5 , peninggian aliran darah koroner 13 , dan percepatan aliran darah regional 24 . Perbaikan sirkulasi hati oleh glukokortikoid mencegah iskemia pada hati 13 , lesi pada hati dan penumpukan fibrin pada sinusoid hati 5 . Lefer & Verrier5 dan Lillehei 23 berpendapat, kortikosteroid mencegah vasokonstriksi hebat melalui berbagai jalan, antara lain : 1. Menghambat transmisi impuls saraf pada serabut postgang46

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

lionik saraf simpatik utamanya pada reseptor alfa. 2. Memperbaiki integritas pembuluh darah kecil sehingga mencegah kebocoran ke dalam mikrosirkulasi. 3. Menurunkan agregasi trombosit sehingga mencegah atau memperbaiki stagnant hypoxia pada mikrosirkulasi. Hubay et a125 berpendapat pula bahwa kortikosteroid menurunkan fiksasi komplemen sehingga menyebabkan intervensi terhadap produksi zat vasoaktif yang dicetuskan akibat fiksasi komplemen. Di lain pihak, Schumer 11,14 melihat bahwa kortikosteroid mencegah aktifitas produk fiksasi komplemen. Akibat kedua efek inilah agaknya kortikosteroid dilaporkan mempunyai efek antiendotoksin. Menurut Alho, Motsay dan Lilehei 26 perbaikan perfusi periferi karena pemberian kortikosteroid melindungi lisosom dengan jalan menstabilkan membrana lisosom. Lefer 13 berpendapat, dosis farmakologik dari glukokortikoid secara bermakna mencegah : 1. Akumulasi enzim lisosom di dalam darah. 2. Lepasnya enzim lisosom ke dalam jaringan splanikus seperti hati dan pankreas. 3. Peningkatan aktifitas enzim ekstralisosomal. 4. Pembengkakan dan vakuolisasi lisosom. Mela13 memperlihatkan efek pemeliharaan fungsi mitokondria, sedangkan McConn 13 menunjukkan terjadinya perbaikan transpor oksigen sesudah pemberian kortikosteroid pada syok septik. Perbaikan aliran darah otak sesudah pemberian kortikosteroid memperbaiki metabolisme di otak 13,19. Perbaikan aliran darah pankreas mencegah pembentukan myocardial depressant factors (MDF), dan memperbaiki perubahan kontrol hormonal dari metabolisme karbohidrat yang disebabkan oleh endotoksin 13,14 Wilson17 melihat, pemberian glukokortikoid menyebabkan terpeliharainya integritas kapiler paru yang menjamin pertukaran gas. Berry & Holtzman 16 melaporkan bahwa pemberian kortikosteroid menyebabkan stimulasi glukoneogenesis di hati. Schuler 12 mendapatkan, pemberian kortikosteroid menyebabkan suport metabolisme karbohidrat. Menurut Schumer 12 , pemberian deksametason. atau metilprednisolon mencegah endotoksin untuk menghambat , glukoneogenesis dan kerusakan metabolik lainnya. Efek ini diduga disebabkan karena terjadinya sintesis enzim-enzim kunci untuk proses glukoneogenesis atau karena efeknya yang mencegah endotoksin menekan enzim-enzim ini. Sehingga karenanya, kortikosteroid mencegah penumpukan asam laktat. Bagaimana "uptake" glukokortikoid oleh jaringan? Salah satu keuntungan pemberian glukokortikoid adalah, uptake dalam jumlah besar dari darah dilakukan oleh hati. paru, jantung, ginjal dan pankreas. Proses uptake ini terjadi pada pH fisiologis 3 . Kira-kira 95% metilprednisolon yang di uptake oleh jantung berada pada sel miokardium dan lisosom. 90% dari jumlah ini tetap berada di sana sesudah 3 jam dalam bentuk metilprednisolon yang aktif. Sehingga apabila diberikan dalam dosis farmakologik, molekul steroid berakumulasi dalam organ vital selama syok dan akan memberikan reaksi selama membahayakan. Menurut Schloerb et al 16 mikroba terdistribusi ekstensif pada organ -organ. Untuk membunuh mikroba ini, transportasi

antibiotika ke organ harus adekuat. Agaknya inilah salah satu alasan mengapa penggunaan kortikosteroid pada syok septik harus dalam dosis tinggi (massive dose). Selain karena semua jaringan memerlukannya, efeknya dalam memperbaiki aliran darah regional dan sistemik menyebabkannya sangat berguna apabila diberikan bersama-sama antibiotika, karena memperbaiki distribusi antibiotika ke seluruh jaringan. Selain diberikan dalam dosis tinggi, tidak diperlukan suatu tapering off sepanjang diberikan dalam waktu yang relatif singkat (24 — 48 jam). Manfaat deksametason dosis tinggi telah dibuktikan oleh Schumer 14 dalam menurunkan angka kematian penderitanya. Ia melakukan penelitian retrospektif dan prospektif penggunaan deksametason secara double blind yang melibatkan 500 penderita syok septik. Ia mendapatkan kematian sebanyak 38% pada kelompok prospektif, dan 43% pada kelompok retrospektif yang tidak diberinya deksametason. Sedangkan pada penderita yang diberinya deksametason, kematian ini masingmasing 10% dan 14%. Namun demikian, harus diingat, penggunaan kortikosteroid pada syok septik merupakan pengobatan tambahan dan bukan pengobatan definitif. Sehingga tindakan penatalaksanaan syok septik yang "klasik" seperti koreksi gangguan hemodinamik untuk memperbaiki pernafasan, sirkulasi, fungsi ginjal, gangguan asam basa dan pemberian antibiotika harus tetap dilaksanakan dengan berpedoman pada semboyan avoid late overtreatment but early overtreatment.

16. 17. 18. 19.

20.

21. 22.

23. 24. 25. 26.

Hinshaw LB, Geller BK, Archer LT et aL Recovery from lethal Escherichia coil shock in dogs. Surg Gynecol Obstet, 1979; 149 : 545. Wilson J. Treatment or prevention of Pulmonary cellular damage with Pharmacologic Doses of Corticosteroid. Surg Gynecol Obstet, 1972; 134 : 675. Wilson RF and Fisher RR The hemodynamic effects of Massive Steroids in the Clinical Shock. Surg Gynecol Obstet, 1968; 127 : 769. Emerson TE and Raymond RM. Methylprednisolone in the Prevention of,Cerebral Hemodynamic and Metabolic Disorders During Endotoxin Shock in the Dog. Surg Gynecol Obstet, 1979; 148 : 361. Johnson GJ, McDevitt NB, Proctor HJ. Erythrocyte 2,3-Diphosphoglycerate in Endotoxic Shock in the Subhuman Primate. Response to Fluid and/or Methylprednisolone Succinate. Ann Surg, 1974; 180 : 783. Baue AE. Recent Developments in the Study and Treatment of Shock. Surg Gynecol Obstet, 1968; 127 : 849. Sjattar M ID, Tanra AH. Nutrisi parenteral pada penderita bedah, makalah dibawakan pada Kuliah Instruksional untuk Ahli Bedah, Muktamar Nasional IKABI ke VIII, Ujung Pandang 9 — 12 Juli 1984. Lilehei RC, Longerbeam JK, Block JH et al. The Nature of Irreversible Shock; Experimental and Clinical Observations. Ann Surg, 1964; 160 : 682. Lozman J, Dutton RE, English M et al. Cardiopulmonary adjustments .following Single High Dosage Administration of Methylprednisolone in Traumatized Man. Ann Surg, 1975; 181 : 317. Hubay CA, Weckesser EC, Levy RP. Occult Adrenal Insufficiency in Surgical Patients. Ann Surg, 1975; 181 : 325. Alho A, Motsay GJ, and Lilehei RC. dikutip dari kepustakaan 21.

KEPUSTAKAAN

1. Cavanagh D, Rao P. Shock. In: Obstetric Emergencies, Ed by Cavanagh D et. al, 3rd ed., 1982; 26. 2. Sjattar M ID. Syok septik dan penatalaksanaannya. Simposium Syok pada KPIK ke V Fak Kedokteran Univ Hasanuddin Ujungpandang 31 Agustus 1983. 3. Kirby RR. Pathophysiology and Treatment of Shock. American Society of Anesthesiologists Refresher Course. 1973; 1:69. 4. Knuppel RA, Rao PS and Cavanagh D. Septic Shock in Obstetrics. Clin Obstet & Gynecol, 1984; 27 : 3. 5. Lefer AE. Recent Developments in the Study and Treatment of Shock. Surg Gynecol Obstet, 1968; 127 : 849. 6. Tehupeiory E. Aspek imunologi syok septik. KPIK ke IV Fak Kedokterap Univ Hasanuddin Ujungpandang 25 € 29 Agustus 1981. 7. Hinshaw LB, Coalson JJ, Benjamin BA et al. Escherichia coli shock in the baboon and the response to adrenocorticoid treatment Surg Gynecol Obstet, 1978; 147 : 545. 8. Wardle N. Shock Bacteraemic and endotoxic shock. Br J Hosp Medicine. March 1979; 223. 9. Cox PJ. Septic shock. Postgraduate Doctor-Asia. May 1982; 125. 10. Wright RC. Sepsis. paper presented at Kongres Nasional Pertama Perhimpunan "Critical Care Medicine" Indonesia, Jakarta 25 - 27 Nopember 1982. 11. Schumer W. Indications for Use of Corticosteroid Agents in Treatment of Shock. In: Critical Care Medicine Manual. Ed by Weil MH and Daluz PL, 1st ed. 1978; 137. 12. Schuler JJ, Erve PR, Schumer W. Glucocortocoid Effect on Hepatic Carbohydrate Metabolism in the Enditoxic-Shocked Monkey. Ann Surg, 1976; 183 : 345. 13. Lefer AR Mechanisme of Action of Glucocorticoid in Shock. 1977. 14. Schumer W. Steroid in the Treatment of Clinical Septic Shock. Ann Surg, 1976;184 : 333. 15. Hinshaw LB, Geller BK, Archer LT et al. In vitro effects of methyl prednisolone sodium succinate and E. coli organisms in baboon blood. Circ Shock, 1978; 5 : 271.

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 47

Cerebral Palsy Dr. Sudading Sunusi dan Dr. P. Nara Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RSU Ujung Pandang

PENDAHULUAN Walaupun perkembangan dan kemajuan dalam bidang obstetrik dan perinatologi akan mengakibatkan penurunan angka kematian bayi yang pesat, namun tidak dapat mencegah peningkatan jumlah anak cacat. Ini disebabkan, meskipun bayi berhasil diselamatkan dari keadaan gawat, akan tetapi biasanya meninggalkan gejala sisa akibat kerusakan jaringan otak yang gejala-gejalanya dapat terlihat segera ataupun di kemudian hari1. Cerebral Palsy adalah salah satu gejala sisa yang cukup banyak dijumpai. Istilah Cerebral Palsy (CP) pertama kali dikemukakan oleh Phelps. Cerebral : yang berhubungan dengan otak; Palsy : ketidaksempurnaan fungsi otot 2 . Dalam kepustakaan, CP sering juga disebut diplegia spastik 3 , tetapi nama ini kurang tepat, sebab CP tidak hanya bermanifestasi spastik dan mengenai 2 anggota gerak saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam bentuk lain dan dapat mengenai ke 4 anggota gerak. Nama lain ialah : Little's disease, oleh karena dokter John Little adalah orang yang pertama pada pertengahan abad ke 19 menguraikan gambaran klinik CP 3,4 Makalah ini menguraikan secara singkat : definisi, insidensi, etiologik, neurofisiologik dan patologik, gambaran klinik dan klasifikasi, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan khusus, penanganan, pencegahan dan prognosis CP. DEFINISI Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para sarjana. Clark (1964) mengemukakan, yang dimaksud dengan CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak pada pusat motorik atau jaringan penghubungnya, yang kekal dan tidak progresif, yang terjadi pada masa prenatal, saat persalinan atau sebelum susunan saraf pusat menjadi cukup matur, ditandai dengan adanya paralisis, paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik5 . Pada tahun 1964 World Commission on Cerebral Palsy mengemukakan definisi CP sebagai berikut : CP adalah suatu kelainan dari fungsi gerak

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

dan sikap tubuh yang disebabkan karena adanya kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya 2 . Sedangkan Gilroy dkk (1975), mendefinisikan CP sebagai suatu sindroma kelainan dalam cerebral control terhadap fungsi motorik sebagai akibat dari gangguan perkembangan atau kerusakan pusat motorik atau jaringan penghubungnya dalam susunan saraf pusat 6 . Definisi lain : CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal . dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan), dan merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik yang dapat berubah selama hidup, dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologik berupa kelumpuhan spastik, gangguan ganglia basalis dan serebelum7. INSIDENSI Para peneliti dari berbagai negara melaporkan insidensi yang berbeda-beda yaitu: 1,3 per 1000 kelahiran di Denmark (Erik Hansen); 5 per 1.000 anak di Amerika Serikat (Gilroy) dan 7 per 100.000 kelahiran di Amerika (Phelps) 6 ; 6 per 1.000 kelahiran hidup di Amerika (Ingram, 1955 dan Kurland, 1957) 9,10 Di Indonesia . belum ada data mengenai insidensi CP. Pada KONIKA V Medan (1981), R. Suhasim dan Titi Sularyo melaporkan 2,46% dari jumlah penduduk Indonesia menyandang gelar cacat, dan di antaranya ± 2 juta adalah anak. CP merupakan jenis cacat pada anak yang terbanyak dijumpai. Di Jaipur, Meenakshi Sharma dkk (1981) menyelidiki 219 CP, 150 di antaranya adalah laki-laki dan 69 perempuan. Terdiri dari 42 anak umur kurang 1 tahun, 113 antara 1—5 tahun, 52 antara 5 — 10 tahun dan 12 di atas 10 tahun11 ETIOLOGI Sebab-sebab yang dapat menimbulkan CP pada umulnnya secara kronologis dapat dikelompokkan sebagai berikut 12 : • prenatal: — gangguan pertumbuhan otak

— penyakit metabolisme — penyakit plasenta — penyakit ibu : toksemia gravidarum, toksopiasmosis, rubella, sifilis dan radiasi • natal: — partus lama — trauma kelahiran dengan perdarahan subdural — prematuritas — penumbungan atau lilitan talipusat — atelektasis yang menetap — aspirasi isi lambung dan usus — sedasi berat pada ibu • Post natal : — penyakit infeksi : ensefalitis — lesi oleh trauma, seperti fraktur tengkorak — hiperbilirubinemia/kernikterus — gangguan sirkulasi darah seperti emboli/trombosis otak Penyebab post natal kebanyakan pada usia sebelum 3 tahun. NEUROFISIOLOGIK DAN PATOLIK Perubahan neuropatologik pada CP bergantung pada patogenesis, derajat dan lokalisasi kerusakan dalam susunan saraf pusat (SSP). Semua jaringan SSP peka terhadap kekurangan oksigen. Kerusakan yang paling berat terjadi pada neuron, kurang pada neuroglia dan jaringan penunjang (supporting tissue) dan paling minimal pada pembuluh darah otak. Derajat kerusakan ada hubungannya acute neuronal necrosis tanpa kerusakan pada neuroglia. Penyembuhan terjadi dengan fagositosis bagian yang nokrotik, proliferasi neuroglia dan pembentukan jaringan parut yang diikuti dengan retraksi sekunder. Pada hipoksia yang lebih berat, terjadi kerusakan baik Pada neuron maupun neuroglia, mengakibatkan terjadinya daerah dengan perlunakan, penyembuhan yang lambat, atrofi dan pembentukan jaringan parut yang luas. Kerusakan-kerusakan yang paling berat terjadi pada bagian SSP yang sangat peka terhadap hipoksia yaitu korteks serebri, agak kurang pada ganglia basalis dan serebelum, sedangkan batang otak dan medula spinalis mengalami kerusakan yang lebih ringan. Perdarahan ringan oleh trauma persalinan biasanya diabsorpsi tanpa kerusakan yang menetap. Hematoma subdural yang biasanya unilateral tersering ditemukan pada bagian verteksi dekat sinus longitudinalis, menyebabkan kerusakan jaringan otak yang berada di bawahnya oleh karena nekrosis tekanan, menghasilkan ensefalo malaria yang akhirnya terjadi atrofi dan pembentukan jaringan parut. Perdarahan intraserebral jarang menghasilkan porencephalic cavity 12 . Menurut Perlstein dan Barnett, suatu trauma kepala dan perdarahan intrakranial pada umumnya akan melibatkan sistem piramidal, sedangkan anoksia terutama mengenai sistem ekstrapiramidal. Manifestasi klinik kelainan ini bergantung pada hebatnya dan lokalisasi lesi yang terjadi, apakah ia di korteks serebri, ganglia basalis ataukah di serebelum13 . Kernikterus menyebabkan kerusakan pada masa nukleus yang . dalam, ditandai dengan warna kuning, kerusakan berupa nekrosis dan lisis neuron yang diikuti dengan proliferasi neuroglia dan pengerutan yang hebat. Pada kelainan bawaan otak, misalnya agenesis/hipogenesis bagian-bagian otak dan hidrosefalus, akan terjadi gangguan perkembangan 12 .

GAMBARAN KLINIK DAN KLASIFIKAS1 Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum. Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia 13. a) Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang mengalami kerusakan, meliputi 50—65% kasus CP. Spastisitas ditandai dengan hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks patologik positif. Kelumpuhan yang terjadi mungkin monoplegi, diplegi/hemiplegi, triplegi atau tetraplegi. Kelumpuhan tidak hanya mengenai lengan dan tungkai, tetapi juga otot-otot leher yang berfungsi menegakkan kepala. b) Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakangerakan abnormal yang timbul spontan dari lengan, tungkai atau leher yang ditandai dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu "kranio-kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi. Kerusakan terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh asfiksi berat atau jaundice. c) Ataksia. Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan dan adanya nistagmus. Anak berjalan dengan langkah lebar, terdapat intention tremor meliputi ± 5%. Lokalisasi lesi yakni di serebelum. d) Rigiditas, merupakan' bentuk campuran akibat kerusakan otak yang difus. Di samping gejala-gejala motorik, juga dapat disertai gejalagejala bukan motorik, misalnya gangguan perkembangan mental, retardasi pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas, pendengaran, bicara dan gangguan mata. Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral Palsy mengemukakan klasifikasi sebagai berikut 14 • Klasifikasi neuromotorik 1. Spastik, ialah adanya penambahan pada stretch reflex dan deep tendon reflex meninggi pada bagian-bagian yang terkena. 2. Atetosis, karakteristik ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai cacing, involunter, tidak terkontrol dan tidak bertujuan. 3. Rigiditas. Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan kontinu, baik dalam otot agonis maupun antagonis. Menggambarkan adanya sensasi membongkokkan "pipa timah" (lead pipe rigidity). 4. Ataksia. Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam ambulasi. 5. Tremor. Gerakan-gerakan involunter, tidak terkendali, reciprocal dengan irama yang teratur. 6. Mixed.

• Distribusi topografik dari keterlibatan neuromotorik 1. Paraplegi. Yang terkena ialah ekstremitas inferior, selalu tipe spastik. 2. Hemiplegi. Terkena hanya 1 ekstremitas inferior dan 1 superior pada pihak yang sama. Hampir selalu spastik, kadang-kadang ada yang atetosis. 3. Triplegi. Terkena 3 ekstremitas, biasanya spastik. 4. Quadriplegi atau tetraplegi. Terkena semua ekstremitas. • Klasifikasi berdasarkan beratnya. lalah berdasarkan beratnya keterlibatan neuromotorik yang membatasi kemampuan penderita untuk menjalankan aktifitas untuk keperluan hidup

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

49

(activities of daily living). 1. Ringan. Penderita tidak memerlukan perawatan oleh karena ia tidak mempunyai problema bicara dan sanggup mengerjakan keperluan sehari-hari dan dapat bergerak tanpa memakai alat-alat penolong. 2. Sedang. Penderita memerlukan perawatan oleh karena ia tidak cakap untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara. Ia memerlukan brace dan alat-alat penolong diri. 3. Berat. Penderita memerlukan perawatan. Derajat keterlibatan demikian hebat, sehingga prognosis untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara adalah jelek.

DIAGNOSIS Diagnosis dini dan tepat adanya lesi di otak sangat penting sebagai dasar dalam seleksi prosedur-prosedur terapeutik yang akan diambil12,15 Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat prenatal, persalinan dan post natal yang dapat dikaitkan dengan adanya lesi otak. Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus ditanyakan, umpamanya kapan mulai mengangkat kepala, membalik badan, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan4,13 . Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas lengan/tungkai, gerakan involunter, ataksia dan lain-lain. Adanya refleks fisiologik seperti refleks moro dan tonic neck 15 reflex pada anak usia 4 bulan harus dicurigai adanya CP demikian pula gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan menelan, asimetri dari kelompok otot-otot, kontraktur dan tungkai yang menyilang menyerupai gunting12,13 DIAGNOSIS BANDING CP perlu dibedakan dengan : proses degenerasi SSP, miopati, neuropati, tumor medula spinalis12 , tumor otak, hidrosefalus, poliomielitik atipik, idiocy 13 , trauma otak atau saraf perifer, korea sydenham's l5 , subdural higroma dan tumor intrakranial7. PEMERIKSAAN KHUSUS Untuk menyingkirkan diagnosis banding maupun untuk keperluan penanganan penderita, diperlukan beberapa pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang sering dilakukan, ialah7 1) Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis CP ditegakkan. 2) Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan suatu proses degeneratif. Pada CP likuor serebrospinalis normal. 3) Pemeriksaan Elektro Ensefalografi dilakukan pada penderita kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang berkejang maupun yang tidak. 4) Foto kepala (X-ray) dan CT Scan. 5) Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pendidikan yang diperlukan. 6) Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain retardasi mental. Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan pemeriksaan arteriografi dan pneumoensefalografi 6 . PENANGANAN Penanganan penderita CP biasanya berlangsung lama, bertahun-tahun, dan untuk setiap penderita perlu rencana penanganan yang khusus, disesuaikan dengan derajat berat ringannya CP, kemampuan motorik/mental penderita secara 50

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

individu. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penderita CP perlu ditangani oleh suatu team yang terdiri dari: dokter anak, ahli saraf, ahli jiwa, ahli bedah tulang, ahli fisioterapi, occupational therapist, guru luar biasa, orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli mata, ahli THT dan lainlain7,16 Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi : 1) Reedukasi dan rehabilitasi 3,6 Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan -hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisio terapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisio terapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya. 2) Psiko terapi untuk anak dan keluarganya 9 . Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap keluarganya. 3) Koreksi operasi. Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang. 4) Obat-obatan. Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang 3 . Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memeerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan atetosis 15 . Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya : valium, librium atau mogadon

dapat dicoba. Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 — 10 mg pada pagi hari dan 2,5 — 5 mg pada waktu tengah hari 17 . PENCEGAHAN Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah dengan jalan menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit untuk dihindari. "Prenatal dan perinatal care" yang baik dapat menurunkan insidens CP. Kernikterus yang disebabkan "haemolytic disease of the new born " dapat dicegah dengan transfusi tukar yang dini, "rhesus incompatibility" dapat dicegah dengan pemberian "hyperimmun anti D immunoglobulin " pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus negatif. Pencegahan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada keadaan hipoglikemia, meningitis, status epilepsi dan lain-lain 18 . PROGNOSIS Prognosis bergantung pada banyak faktor, antara lain : berat ringannya CP, cepatnya diberi pengobatan, gejala-gejala yang menyertai CP, sikap dan kerjasama penderita, keluarganya dan masyarakat. Menurut Nelson WE dkk (1968), hanya sejumlah kecil penderita CP yang dapat hidup bebas dan menyenangkan 15 , namun Nelson KB dkk (1981) dalam penyelidikannya terhadap 229 penderita CP yang.didiagnosis pada usia 1 tahun, ternyata setelah berumur 7 tahun 52% di antaranya telah bebas dari gangguan motorik. Dilaporkan pula bahwa bentuk CP yang ringan, monoparetik, ataksik, diskinetik dan diplegik yang lebih banyak mengalami perbaikan. Penyembuhan juga lebih banyak ditemukan pada golongan anak kulit hitam dibanding dengan kulit putih 19 . Di negara maju, misalnya diInggris dan Scandinavia, terdapat 20—25% penderita CP bekerja sebagai buruh harian penuh dari 30—50% tinggal di " Institute Cerebral Palsy". Makin banyak gejala penyerta dan makin berat gangguan motorik, makin buruk prognosis7. Umumnya inteligensi anak merupakan petunjuk prognosis 15 , makin cerdas makin baik prognosis. Penderita yang sering kejang dan tidak dapat diatasi dengan anti kejang mempunyai prognosis yang jelek 12. Pada penderita yang tidak mendapat pengobatan, perbaikan klinik yang spontan dapat terjadi walaupun lambat. Dengan seringnya anak berpindah-pindah tempat, anggota geraknya mendapat latihan bergerak dan penyembuhan dapat terjadi pada masa kanak-kanak. Makin cepat dan makin intensif pengobatan maka hasil yang dicapai makin lebih baik. Di samping faktor-faktor tersebut di atas, peranan orang tua/keluarga dan masyarakat juga ikut menentukan prognosis. Makin tinggi kerjasama dan penerimaannya maka makin baik prognosis.

Insidensi penyakit ini di luar negeri bervariasi antara 0,07 — 6per 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia masih belum diketahui. Faktor penyebab mungkin terletak pada masa prenatal, natal dan post natal. Perubahan neuropatologik pada CP berlokasi pada korteks motorik, ganglia basalis dan serebelum. Manifestasi klinik bergantung pada lokalisasi dan luasnya kerusakan jaringan otak. Dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu spastisitas, atetosis dan ataksia. Diagnosis ditegakkan atas adanya riwayat yang berkaitan dengan kemungkinan adanya kerusakan jaringan otak dan kelainan fisik/neurologik yang sesuai. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang. Penanganan meliputi : reedukasi/rehabilitasi, psiko terapi, tindakan operasi dan pemberian obat-obatan, yang melibatkan suatu team yang terdiri dari berbagi disiplin keahlian. Prognosis bergantung pada : berat ringannya CP, gejalagejala penyerta, cepatnya dimulai dan intensipnya penanganan, sikap dan kerjasama penderita/keluarga serta masyarakat. KEPUSTAKAAN

1. Stanley FJ, Fracp MSTH. Neonatal Mortality and Cerebral Palsy: The Impact of Neonatal Intensive Care. Aust Paed J, 1980; 16: 35-39. 2. Handojo Tjandrakusumo H, Sujadi, Alchujah. JPAT Pusat Surakarta dan Cerebral Palsy. Fisioterapi Indonesia, 1972; 8: 15-23. 3. Slobody LB, Wasserman E. Survey of Clinical Padiatrics, 5th ed. New York, St Louis, San Francisco, Duseldorf, London, Mexico, Panama, Sydney, Toronto: Mc Graw Hill Book Co. 1968; pp 409410.

RINGKASAN Cerebral Palsy adalah suatu kerusakan jaringan otak yang bersifat permanen dan tidak progresif. Walaupun demikian, gambaran kliniknya masih dapat berubah dalam perjalanan hidup penderita. Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

51

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Merritt HH. A Textbook of Neurology, 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger. 1959; pp 413415. Clark DB. Cerebral Palsy. In: Textbook of Pediatrics, 8th ed. Neison WE. Philadelphia, London: WB Saunders Co, 1964; pp 12441247. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology, 2nd ed. New York, Toronto, London, Collier Macmillan Canada Ltd, Bailliere Tindall: Macmillan Publishing Co. 1975; pp 114-121. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bagian II Cetakan ketiga. 1981; haL 910916. Soedomo Hadinoto. Cerebral Palsy sebagai salah satu faset pada anak cacad. J. Public Health. 1977; 15: 7-8. Handojo Tjandrakusumo. Masalah Rehabilitasi Penderita Cerebral Palsy di Indonesia. J Public Health. 1977; 15: 1-6. Rumalean L. Cerebral Palsy. Dibacakan pada Penataran Ilmu Saraf Masa Kini Jakarta, 1981. Meenakshi Sharma, Saxena S, Prem Prakash. A Study of Cerebral Palsy with Special Reference to Psychososial and Economic Problems. Indian Paed 1981; 18: 895-898. Brashear HR, Raney RB. Shands Handbook of Orthopaedic

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

13. 14. 15.

16. 17.

18. 19. 20.

Surgery, 9th ed. Saint Louis: The CV Mosby Co. 1978; pp 180186 Tajib Salim S, Sri Susworo dan Soelarto Reksoprodjo. The Management of The Cerebral Palsied Child in YPAC Jakarta. Orthopedi Indonesia. 1976; 2. Soepanto Wiryosusono HR. Usaha Rehabilitasi Anak Kejang di RSUP Palembang. Dibacakan pada Simposium Kejang Pada Anak. Palembang, 1979. Nelson WE, Vaughan VC, McKay RJ. Textbook of Pediatrics, 9th ed. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co. 1969; pp 1311-1314. Wiroreno S. Langkah pertama untuk Cerebral Palsy. Fisioterapi Indonesia. 1972; 8: 24-31. Farmer TW. Pediatric Neurology. New York, Evanston, London: Haever Medical Division Harper & Ro Publishers. 1964; pp 211216. Apley J. Paediatrics, 2nd ed. London: Bailliere TindalL 1979; pp 168-170. Nelson KB and Ellenberg JH. Children Who "Outgres" Cerebral Palsy. Pediatr. 1982; 69: 529-535. Suhasim R dan Titi Sularyo. Masalah Anak Cacad. Dibacakan pada KONIKA V Medan, 1981.

Kronofarmakologi: Bioritmik Kerja Obat

Mathilda B. Widianto, Anna Setiadi - Ranti Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Bandung, Bandung

Sejak berjuta juta tahun, kehidupan di bumi dipengaruhi baik Kronofarmakologi analgetika oleh peralihan siang malam maupun sikius musim yang diHasil percobaan tes analgetik dengan menggunakan mencit akibatkan oleh rotasi bumi itu sendiri. Penyelidikan berbagai menunjukkan bahwa kerja analgetika pada malam hari (pk. fungsi organ pada hari, bulan dan tahun yang berbeda menun03.00) jauh lebih kuat daripada kerja analgetika pada sore jukkan adanya perbedaan bioritmik yang disebabkan ritmus hari (pk. 15.00). Perbedaan ini dapat dilihat pada Gambar 1. tahunan (sirkaanual), ritmus bulanan (sirkamensual) dan terutama ritmus siang-malam .(sirkadian). Bioritmus ini ditemukan dalam seluruh makhluk hidup mulai dari yang bersel satu sampai pada manusia, dari sel sampai ke fungsi organisme keseluruhan. Sementara para ahli fisiologi dan ahli biologi sejak lama memberi perhatiannya pada fenomena ritmik demikian, ritmus ini sampai sekarang hampir tidak menemukan tempatnya dalam dunia para dokter dan apoteker. Di Eropa, baru pada tahun 1983 seorang ahli farmakologi dari Jerman Barat, Bjoern Lemmer, menerbitkan buku berjudul "Chronopharmakologie", yang khusus membahas adanya pengaruh ritmus tersebut di atas terhadap kerja obat. Bioritmus ini bukan saja ditentukan oleh faktor genetik akan tetapi dapat pula dipengaruhi oleh lingkungan. Mengingat bahwa banyak fungsi hidup yang vital serta komponen-komponen serum dan urin sangat dipengaruhi oleh ritmus siang-malam, banyak penelitian akhir-akhir ini diarahkan untuk melihat pengaruh pemberian obat-obatan pada saat yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa memang terbukti, pada penggunaan obat faktor waktu Gb. 1: Efek antinosiseptif (analgetik) dari Morfin (4 - 32 mg/kg) pemberian harus pula ikut diperhatikan. pada waktu-waktu yang berbeda. Seperti kita ketahui, sebelum meningkat ke percobaan klinis, penelitian kerja obat dilakukan pada hewan percobaan. Percobaan pengaruh Naloksonpada ileum marmot menunHewan-hewan yang banyak digunakan antara lain mencit, tikus, marmot, kelinci; kucing, anjing dan kera. Pada per- jukkan bahwa ileum yang diisolasi pada musim panas lebih cobaan menggunakan hewan mengerat, sering tidak dipertim - peka daripada yang diisolasi pada musim dingin. Pada mabangkan bahwa hewarr-hewan ini aktif pada malam hari, nusia pun ditemukan juga perbedaan kerja analgetika menurut sedangkan manusia sebaliknya. Dengan demikian akan didapat- saat pemberian. Metamizol yang diminum pada siang menkan hasil-hasil yang kurang tepat apabila ditransfer pada majelang sore hari akan mempunyai kerja analgetika yang lebih nusia. Beberapa pustaka menyebutkan hasil penelitian di besar dibandingkan dengan penggunaan pada pagi atau malam bawah ini. had. Ini terlihat pada gambar 2. Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

53

Gb. 2: Efek analgetik pada manusia dari Metamizol 500 mg pada siang menjelang sore lebih kuat dibandingkan pada pagi dan malam hari

Kronofarmakologi anestetika lokal Seperti halnya pada analgetika, efek pemberian anestetika lokal tidak sama. Pada manusia, Lidokain yang disuntikkan pada sore hari akan mempunyai kerja 2 — 3 kali lebih lama dibandingkan dengan pemberian pada pagi hari, sedargkan pada mencit efek tertinggi terletak pada pertengahan periode aktifnya yaitu tengah malam. Kronofarmakologi histamin/antihistaminika Pada tikus percobaan, pemberian histamin secara intravena akan memberikan respons terhadap tekanan darah yang berbeda pada musim yang berbeda. Demikian juga jumlah histamin yang dapat menyebabkan eritema tergantung pada waktu pemberian. Sejumlah tertentu histamin yang disuntikkan akan memberikan eritema yang lebih besar kalau diberikan pada malam hari (pk. 23.00). Antihistaminika mempunyai onset kerja yang lebih panjang, waktu kerja yang lebih lama dan kekuatan kerja yang lebih kecil pada pagi hari dibandingkan pada malam hari. Kronofarmakologi hormon Yang paling banyak dibahas, terutama dalam buku-buku fisiologi, ialah pengaruh sirkadian terhadap kadar hidrokortison dalam plasma darah. Pada manusia, kadar tertinggi dicapai pada pagi hari sedangkan pada hewan mengerat — yang aktif pada malam hari — ini dicapai pada awal periode gelap. Mengapa serangan asma lebih sering timbul pada malam hari? Dari penyelidikan kronobiologis hal ini dapat dimengerti. Pada keadaan istirahat, konstriksi bronkhus yang disebabkan histamin dan asetilkolin akan sangat besar, sedangkan fungsi paru-paru pada saat ini justrumenurun. Di samping itu, sekresi hidrokortison pada saat ini mencapai kadar minimum, hingga bantuan fisiologis yang dapat diberikannya pada serangan asma, ini relatif kecil. Pada terapi asma hal-hal ini perlu diperhatikan. Pengaruh ritmus sirkadian juga terbukti pada senyawa tubuh lainnya seperti renin, aldosteron, insulin, hormon pertumbuhan, adrenalin, nor adrenalin dan lain-lain. ( Gambar 3 ) Kronofarmakologi obat-obat sistem sirkulasi darah Kerja nitrogliserin terhadap angina pektoris yang disebabkan oleh spasmus koroner tergantung pada waktu pemberian.

54

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Gb. 3: Ritmus sirkadian suhu tubuh dan kadar dalam urin dari katekolamin total, 17-hidroksikortikosteroid dan natrium pada 6 orang. = pengaruh gelap -terang buatan; - - - - - - - - - = pengaruh gelap terus menerus. Daerah yang diarsir = waktu tidur. Angka pada sisi kanan: harga rata-rata ‚ deviasi standard.

Pada pagi hari pemberian nitrogliserin menyebabkan dilatasi yang kuat dari pembuluh darah koroner sedangkan pada pemberian sore hari kerjanya relatif kecil. Pada obat B bloker propanolol dapat ditunjukkan bahwa baik kerja maupun toksisitasnya tergantung dari waktu pemberian. Adanya perbedaan -perbedaan jumlah reseptor yang spesifik terhadap propanolol diamati pada tikus putih. Jumlah reseptor ini akan bertambah pada malam hari dan menurun lagi pada tengah malam. Jadi pada awal periode aktifnya, dimana jumlah reseptor B banyak, besar penurunan frekwensi jantung tergantung dari dosis propanolol sedangkan pada tengah malam, dimana jumlah reseptor mulai menurun, perubahan dosis tidak banyak pengaruhnya: Untuk manusia ditemukan hasil yang sama. Kerja Oksprenolol pada awal periode aktif manusia (pagi hari) tergantung pada dosis sedangkan pada awal periode istirahat besar dosis tidak mempengaruhi efek pengobatan. Kronofarmakologi sitostatika Pada sitostatika juga terdeteksi perbedaan ritmus sirkadian: jumlah hewan yang sembuh (tumor asites pada mencit) akan lebih banyak pada sitostatika yang digunakan pada malam hari. Lain-lain Obat-obat lain yang juga dipengaruhi oleh bioritmus ini

antara lain diuretika, antiasmatika seperti teof lin dan orsiprenalin, obat gangguan metabolisme serta senyawa-senyawa lain seperti asetilkolin, serotonin dan asetilkolinesterase. Perbedaan kandungan Serotonin pada mencit berdasarkan periode gelap terang dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.

Gb. 5: Perbedaan toksisitas Sitostatika pada waktu yang berbeda. Kematian mencit- mencit leukemia yang diberi siklofosfamid pada pagi hari (awal periode istirahat) lebih tinggi dari pemberian malam hari (awal periode aktif).

Gb. 4: Perbedaan kandungan Serotonin cortex otak yang disebabkan oleh perbedaan galur mencit dan perbedaan waktu.

Dari contoh-contoh di atas, jelas bahwa tidak hanya sifat farmakodinami obat yang bervariasi terhadap waktu tetapi juga farmakokinetiknya. Variasi ini dapat terjadi pada kecepatan absorpsi, distribusi, biotransformasi serta ekskresi obat. Hal ini dapat dilihat misalnya adanya perbedaan biotransformasi obat karena jumlah enzim di mikrosoma hati dipengaruhi waktu. Eliminasi beberapa senyawa seperti sulfa -sulfa, amfetamin, teofilin, salisilat dan senyawa-senyawa litium akan berbeda pada waktu pemberian yang berbeda. Di samping variasi -variasi efek karena pengaruh waktu terdapat juga variasi- variasi efek yang tak diinginkan serta toksisitas dari obat. Selama periode aktif, kematian yang disebabkan oleh fenobarbital dengan dosis yang sama akan jauh lebih -kecil daripada kalau senyawa tersebut diberikan pada periode istirahat. Angka kematian tikus berkisar antara 0% (pemberian pada pertengahan fase aktif) dan 100% (pemberian pada pertengahan fase istirahat). Perbedaan toksisitas ini dapat pula dilihat pada senyawa lain seperti siklofosfamid (Gambar 5). Keracunan asetilkolin, juga neostigmin, pilokarpin, oksitremorin pada tikus tergantung pada asetilkolin di otak. Pada siang hari di mana konsentrasi asetilkolin . di otak tinggi, toksisitasnya juga tinggi sebaliknya toksisitas atropin pada saat ini justru paling rendah. Hal yang sama juga diamati pada pemberian nikotin dan insektisida fosfor organik. Perbedaan LD50 dari 1-nikotintartrat pada tikus Wistar yang disebabkan pengaruh waktu dapat dilihat pada gambar 6. Pengaruh waktu terhadap toksisitas serangga juga dapat dithat pada gambar 7. Sejenis serangga, Anthonomus grandis Boh., pada senja hari paling tidak pe'ka terhadap metilparation (inhibitor kolinesterase). Dosis yang pada senja hari hanya memusnahkan 10% serangga ini, 3 jam kemudian efektif untuk membunuh 90% serangga tersebut.

Gb. 6: Besamya LD50 dari 1-nikotintartrat pada tikus Wistar selama periode percobaan dari Januari 1961 sampai April 1962 untuk ) dan tempat gelap hewan-hewan pada tempat terang ( ( - - - - - - - - - - -)

Dengan demikian, penetapan LD50 (dosis di man 50% hewan percobaan mati) yang lazim diperlukan pada penelitian farmakologik obat harus diperhatikan, mengingat pada umumnya penelitian tidak mempertimbangkan fenomena kronobiologik. Adanya pengaruh waktu pada interpretasi data percobaan hewani menunjukkan bahwa hal yang sama juga dapat memberikan perbedaan kerja obat pada manusia. Setelah aplikasi, obat dalam tubuh manusia akan mengalami beberapa proses seperti digambarkan pada skema di bawah ini.

Gb. 8: Proses yang dialami obat setelah pemberian obat.

Pada tiap tahap ini dapat terjadi pengaruh sirkadian maupun pengaruh lainnya seperti variasi individu, usia dan perbedaan genetik. Masing-masing obat memiliki karakteristika yang Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

55

Gb. 9: Skema hubungan kronobiologi dan efek pengobatan. Gb. 7: Kepekaan farmakodinamik dari serangga Anthonomus grandis Boh. dewasa terhadap metilparation menurut waktu. Garis hitam pada absis menunjukkan periode gelap, yang tidak sama untuk ketiga kurva karena musim yang berbeda.

berbeda seperti waktu paruh, volume distribusi serta proses biotransformasi yang mempengaruhi respons obat. Hubungan antara kronobiologi dan efek pengobatan dapat dilihat pada skema berikut. Dari pembicaraan sebelumnya dan skema di atas, terlihat bahwa kronofarmasi (jadwal pemakaian obat untuk profilaksis, diagnosa dan terapi yang tergantung waktu) mempunyai implikasi penting pada perkembangan kronotoleransi dan kronotoksisitas obat.

Penerapan pada pengobatan dan distribusi obat Maksud dari kronoterapi adalah menggunakan prinsipprinsip kronobiologi ini pada pengobatan penyakit sehingga efek terapi akan optimal dan efek samping minimal. Ini menyebabkan perlunya sistem pengaturan waktu pada distribusi obat di rumah sakit. Dari pustaka ternyata bahwa kesalahan distribusi obat yang paling sering terjadi (16 — 18%) adalah kesalahan waktu pemberian obat. Pada pasien yang berobat jalan kesalahan ini lebih besar (25%). Pada kronoterapi sangat dianjurkan bahkan kadang -kadang diharuskan untuk menentukan waktu optimal pengobatan, yang tidak sama untuk setiap penyakit. Pada terapi dengan beberapa macam obat hal ini akan sulit karena obat-obat itu sendiri dapat bertindak sebagai modulator ritmus ini. Dengan adanya waktu yang khusus untuk pengobatan ini, maka tenaga medis mempunyai kewajiban tambahan untuk memperhatikan apakah harus ada perubahan waktu pada pengobatan lanjutan. 56 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Sebaiknya untuk ini ada tenaga trampil khusus yang menangani masalah pemberian obat ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menentukan ritmus ini misalnya pengukuran suhu rektal, tekanan darah, denyut nadi atau dengan mengambil spesimen biologik. Berdasarkan banyak penemuan - penemuan kronobiologi dan kronofarmakologi tampaknya tidak dapat ditawar lagi bahwa waktu pemberian suatu obat, dalam hal ini fase sirkadian spesies yang diteliti/diobati, merupakan salah satu faktor penentu dari dinamik, kinetik serta toksisitas obat. KEPUSTAKAAN 1. Mutschler E. Arzneimittelwirkungen, edisi 4, Stuttgart: Wissenschaftliche Verlagsgesellschaft mbH, 1981. 2. Lemmer B. Dtsch. Apoth. Ztg., 1983; 17: 827. 3. Scheler W. Grundlagen der Allgemeinen Pharmaltologie, edisi 2, Stuttgart: Gustav Fischer Verlag, 1980. 4. Rodriguez R, Lujan M, Vargas-Ortega, E. J Pharm Pharmacol 1980; 32: 363. 5. Halberg F, Kabat HF, Klein P. Am J Hosp Pharm. 1980; 37: 101.

Ralat : Pada CDK nomor 38, halaman 35, artikel Toksoplasmosis di Irian Jaya Suatu Pengamatan Serologis, terdapat kesalahan sebagai berikut : Nama penulis tercantum Dr. B Sandjaja, Dr. Ata Naiun. Seharusnya Dr. B Sandjaja, Ata Naiun. Dengan ini kesalahan kami perbaiki. Red.

Kuman-kuman Pencemar di Laboratorium Bakteriologi

Dr. Ny. Triharini Mulyastuti, Dr. Bambang Susilo Bagian Bakteriologi, Jurusan Analis Medis Fakultas Non Gelar Kesehatan Universitas Airlangga, Surabaya

PENDAHULUAN Pada saat melakukan identifikasi kuman di laboratorium bakteriologi, bisa terjadi pencemaran oleh mikroorganisme Pencemaran ini bisa terjadi pada bahan pemeriksaan ataupun media kultur. Hal ini bisa menjadi penyulit dalam diagnosis penyebab penyakit, karena kuman pencemar ini bukan saja kuman saprofit, melainkan juga kuman patogen. dalam hal ini, udara merupakan media perantara yang penting, meskipun udara bukan merupakan habitat dari kuman pencemar tersebutl-3. Kuman-kuman pencemar ini mungkin berasal dari tanah dan udara, karena kedua tempat tersebut merupakan habitat dari mikroorganisme 1-6 . Kuman mungkin juga berasal dari pekerja laboratorium sendiri, karena manusia mempunyai flora normal pada tubuhnya l,2,4,7-9 . Sedangkan kuman patogen mungkin berasal dari pekerja laboratorium yang sakit, atau dari kuman-kuman yang tersebar di udara dalam butir-butir debu dan droplet nuclei 1,3,5,6,8,10 Dalam kesempatan ini kami melakukan suatu penelitian untuk mencari kuman-kuman pencemar yang mungkin ada di laboratorium bakteriologi kami, mengingat cukup sering terjadi kesalahan hasil identifikasi kuman oleh mahasiswa pada saat praktikum dan ujian praktikum bakteriologi. Seperti yang dilaksanakan selama ini, bagian bakteriologi Jurusan Analis Medis Fakultas Non Gelar Kesehatan Unair melakukan identifikasi kuman untuk praktikum dan ujian praktikum mahasiswa. Kepada mahasiswa dibeaikan bahan pemeriksaan, kemudian mahasiswa diminta mendiagnosis kuman apa yang terdapat dalam bahan pemeriksaan tersebut. Hasilnya bisa ditemukan satu macam kuman atau lebih, dan bisa juga steril yang artinya bahan pemeriksaan tersebut tidak mengandung kuman. Pada waktu bekerja inilah bisa terjadi pencemaran oleh mikroorganisme lain, sehingga mahasiswa mendapat hasil yang salah. Dengan mengetahui kuman apa saja yang mungkin bisa menjadi kuman pencemar di laboratorium bakteriologi kami, maka bila terjadi kesalahan hasil identifikasi kuman dari praktikum dan ujian praktikum mahasiswa, kami

bisa menduga apakah terjadi pencemaran kuman atau memang si mahasiswayang tidak benar cara kerjanya. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Untuk mendapatkan kuman pencemar sebanyak mungkin, dipakai media umum3 , karena hampii semua kuman tumbuh pada media ini. Di sini kami memakai lempeng agar darah yang dibiarkan terbuka selama beberapa saat. Kami mengambil waktu 15 menit, untuk memberi kesempatan pada kumankuman yang kebetulan berada agak jauh dari media. Setelah 15 menit media ditutup, dieeamkan 37°C semalam-3,10-12 Dalam mendapatkan sampel, media-media tersebut kami sebarkan di seluruh ruangan laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan tiga hari berturut-turut, dan kami mendapatkan 72 buah media sampel. Setelah dieramkan, didapatkan beberapa macam koloni dari ke 72 buah media sampel tersebut. Secara garis besarnya ada dua jenis koloni, yaitu koloni kuman dan koloni jamur. Dari masing-masing koloni dilakukan pengecatan Gram, dan selanjutnya ditanam ke media yang sesuai dengan hasil pengecatannya tadi. Kami mendapatkai empat macam hasil pengecatan : 1. kokus Gram positif 2. diplokokus Gram negatif 3. batang Gram negatif 4. batang Gram positif Untuk kokus Gram positif : 1. dimurnikan dan diperbanyak di coklat agar slant 2. kemudian ditanam di broth untuk tes katalase a) tes katalase positif : Stafilokokus Untuk menentukan keganasan dan spesies, dilakukan : — tes koagulase — tes peragian manitol — melihat pigmen di nutrien agar plate b) tes- katalase negatif : Streptokokus atau Pneumokokus Untuk menentukan spesies, dilihat sifat hemolisanya pada lempeng agar darah. Bila hemolisanya tipe alfa, dilakukan Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

57

tes untuk membedakan Streptokokus viridans dengan Pneumokokus, yaitu : — tes inulin — tes kelarutan empedu — tes Optochin — tes Quellung Untuk diplokokus Gram negatif : 1. dimurnikan dan diperbanyak di coklat agar slant 2. kemudian ditanam di lempeng agar coklat untuk tes oksidase a) tes oksidase positif : Neisseriae b) tes oksidase negatif : bukan Neisseriae Untuk menentukan spesies Neisseria, dilakukan tes gulagula Untuk batang Gram negatif : 1. dimurnikan dan diperbanyak di nutrien agar slant 2. kemudian ditanam di media diferensial untuk melihat sifat peragian laktosa, dan di media selektif 3. dari media diferensial ditanam ke media Tripple Sugar Iron (TSI) untuk melihat sifat peragian gula-gula lainnya 4. dari media TSI ditanam ke : a) media-media IMVIC untuk melihat sifat-sifat biokimia b) media urease c) media motilitas 5. bila perlu dilakukan tes aglutinasi dengan antiserum spesifik Untuk batang Gram positif : dimurnikan dan diperbanyak di nutrien agar slant dan media Loeffler. A. dari nutrien agar slant dicat Scaeffer Fulton. Bila sporanya positif dilihat : — sifat hemolisanya pada lempeng agar darah — motilitasnya — tes indol B. dari media Loeffler dicat Neisser : ternyata tidak ditemukan kuman batang bergranula Semuanya ini sesuai dengan prosedur yang biasa dilakukan sehari-hari di laboratorium bakteriologi kami 7,9. Khusus untuk jamur tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, hanya dilihat ada atau tidaknya pertumbuhan di media Sabouraud agar, karena titik berat penelitian kami adalah pada kumannya.

ruangan laboratorium yang benar-benar bersih dan terisolasi. Tetapi keadaan demikian tidak selalu dapat kita wujudkan. Seperti misalnya pada laboratorium bakteriologi kami sendiri. Setiap hari ruangan ini dipakai praktikum oleh mahasiswa, dan setiap kali praktikum jumlah mereka relatif banyak, lebih dari 70 orang. Mereka bekerja tanpa menggunakan masker dan tutup kepala. Dari mereka ini saja tentunya sudah cukup banyak kuman-kuman yang dibawa masuk ke laboratorium. Selain itu, pintu untuk mereka keluar masuk juga memungkinkan hubungan dengan "dunia luar" laboratorium. Kalau dilihat hasil penelitian kami di atas, sebagian besar mungkin berasal dari flora normal saluran nafas bagian atas dan mulut, seperti Staphylococcus albus, Staphylococcus citreus, Staphylococcus aureus, Streptococcus alfa haemolrticus dan Neisseriae l,2,4 ,7,8, 9 . Stafilokokus juga bisa berasal dari kulit1,4,7,13 Mungkin mereka juga berasal dari penderita faringitis, sebab Staphylococcus aureus dan sebagian Neisseriae bisa didapatkan pada faring yang normal maupun sa-

kit1,2,7,8,9,11. Ini mungkin ada hubungannya dengan banyaknya mahasiswa yang melakukan praktikum tadi. Setiap kali seseorang berbicara, bersin atau batuk, mereka selalu mengeluarkan droplet. Droplet ini berisi partikel ludah dan lendir yang di dalamnya mengandung ribuan mikroorganisme 2,3,5 Dari sinilah kuman-kuman tersebut mencemari biakan kuman. Udara dan tanah adalah habitat mikroorganisme 1-6 . Tanah merupakan "gudang" terbesar mikroorganisme, baik populasi maupun variasi spesiesnya 2 . Kuman Bacillus dan Pseudonzonas Jamur dan yeast bisa berasal dari udara dan tanah ini 1-5,10,14 bisa berasal dari kulit, mulut, saluran nafas bagian atas, udara dan tanah. Sebagian besar jamur dan yeast ada di udara dan tanah 1-5,7,9 Jadi jelas udara mempunyai peranan penting sebagai media perantara dalam hal terjadinya pencemaran kuman pada biakan kuman; walaupun udara belum tentu merupakan 1-3 . Dalam hal ini, habitat dari kuman pencemar tersebut antara manusia, tanah dan udara saling berhubungan erat. Beberapa kuman yang habitat primernya manusia bisa mencapai udara melalui kulit yang mengelupas, melalui sedikit pencemaran tinja yang tidak tampak pada tangan dan pakaian, dan sebagian besar inelalui saluran nafas bagian atas2 . Kumankuman ini biasanya ada di dalam droplet nuclei. Kuman yang HASIL PENELITIAN habitat primernya tanah bisa melayang -layang di udara karena Berdasarkan pemeriksaan tiap koloni yang ada pada ke 72 terbawa oleh debu. Kuman-kuman ini di udara bisa dalam media salnpel tersebut, didapatkan hasil : bentuk bebas berupa sel vegetatif atau sporanya, tetapi yang 6 — kuman : 81,85% sering mereka ada dalam butir-butir debu . Sedangkan jamur —jamur : 18,15% di udara bisa berupa jamurnya sendiri, mycelia atau konidiaUntuk kumannya bisa diperinci sebagai berikut : nya 5. — Staphylococcus citreus : 36,65 % Dengan hasil yang kami dapatkan di atas, kami dapat men— Staphylococcus albus : 18,5 % duga mana kuman pencemar dan mana yang bukan, bila maha— Bacillus subtilis : 9,25% siswa kami melakukan kesalahan dalam identifikasi kuman. — Streptococcus alfa haemolyticus : 7,83% Terlepas dari itu semua, tentunya kami tidak lupa bahwa — Neisseriae : 5 % bekerja di laboratorium bakteriologi haruslah se"aseptis" : 3,3 % — Staphylococcus aureus mungkin, untuk menghindari terjadinya pencemaran kuman. — Pseudomonas : 1,42% Tetapi untuk seseorang yang kurang atau belum teralnpil. hal semacam itu bisa saja terjadi. Dan bila penelitian senlacam PEMBAHASAN ini dilakukan di laboratorium bakteriologi yang lain, hasilnya Dalam suatu laboratorium bakteriologi, sebaiknya populasi tentu akan berbeda. Sebab situasi dan kondisi yang berbeda mikroorganisme di dalamnya diusahakan serendah mungkin1 akan memberikan hasil kuman yang berbeda pula. Tetapi Hal ini terutama dimaksudkan untuk menghindari pencemaran tentunya tidak akan banyak menyimpang, sebab faktor sumkuman pada pembiakan yang kita lakukan di laboratorium bernya adalah sama. tersebut. Untuk itu bisa kita cegah dengan cara membuat 58

Cermin Dunia Kedokteran No, 40, 1985

RINGKASAN 1) Telah dilakukan penelitian mengenai kuman-kuman pencemar yang ada di laboratorium bakteriologi Jurusan Analis Medis Fakultas Non Gelar Kesehatan Unair, yang bisa menyulitkan diagnosis pada saat dilakukan identifikasi kuman. 2) Baik kuman non patogen maupun patogen, ternyata bisa bertindak sebagai kuman pencemar. 3) Sebagian besar dari kuman-kuman tersebut berasal dari saluran nafas bagian atas, bisa dari orang yang sehat maupun sakit. Sumber lain adalah kulit, pakaian, tanah dan udara. 4) Udara mempunyai peranan penting sebagai media perantara dalam hal pencemaran'kuman pada biakan kuman ini.

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

KEPUSTAKAAN

12.

1. Jawetz E, Melnick JL and Adelberg EA. Review of Medical Microbiology, 14 th Ed, California: Lange Medical Publication, 1978, 190 – 209 and 234 – 235. 2. Joklik WK, Willet HP and Amos DB. Zinser Microbiology, 17 th Ed, New York: Appleton Century Crofts, 1980, 112 – 113 and 522--527. 3. Pelczar MJ and Chan ECS. Element of Microbiology, San Francisco: Mc. Graw Hill Book Company, 1981.

13. 14.

Burdon KL and Williams RP. Microbiology, 5 m Ed, New York: The Macmillan Company, 1964; 297 and 469 – 480. Frobisher M. Fundamentals of Microbiology, 7 th Ed, Philadelphia: WB Saunders Company, 1962;499 and 522. Sarles WB et aL Microbiology, 2 nd Ed, New York: Harper and Brothers, 1956; 279 – 280. Bonang G. dan Koeswardono ES. Mikrobiologi Kedokteran, Jakarta: P.T. Gramedia, 1982; 39 – 42 dan 82 – 85 dan 92 dan 114–115 dan 174–175. Burnet GW and Schuster GS. Pathogenic Microbiology, Saint Louis: The CV Mosby Company, 1978. Finegold SM, Martin WJ, and Scott EG. Bailey and Scott's Diagnostic Microbiology, 5 th Ed, Saint Louis: The CV Mosby Company, 1978; 58 – 60 and 100 and 110 – 112 and 477 – 479. Cruickshank R et at. Medical Microbiology, 12 th Ed, Edinburgh and London: Churchill Livingstone, 1973. Lennete EH, Spaulding EH and Truant JP. Mannual of Clinical Microbiology, Washington DC, 1974. Takata K, Fujishita 0 and Hokama S. Studies on microbial barrier faucets for aterile solution, I.A. Method for microbial contamination testing .using air artificially contaminated with bacteria, Chemical and Pharmaceutical Bulletin, 1979; 27 (5) : 1231 – 1236. Frankel S, Reitman S and Sonnenwirth AC. Gradwohl's Clinical Laboratory Methods and Diagnosis, 7 th Ed, Saint Louis: The CV Mosby Company, 1970. Burrows W. Textbook of Microbiology, 17 th Ed, Philadelphia: WB Saunders Company, 1959.

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 59

PER KEMBANGAN

Opium : Sepanjang Abad "Terpujilah Tuhan karena la memberi opium pada umat manusia," tulis Thomas Syndenham, yang namanya tentu pernah anda dengar semasa kuliah dulu. Tiga abad kemudian, ganjaran buat pengedar o p ium dapat berupa hukuman seumur hidup, atau bahkan hukuman mati. Tapi, candu bukan satusatunya zat yang mengalami "perubahan mode". Tembakau adalah salah satu contoh yang baik. Dulu, merokok itu termasuk suatu perbuatan kriminal bagi banyak negara. Di Jerman, pada abad ke 18, perokok dapat didenda; di Rusia dibuang: dan di Italia dikutuk. Di Iran, pipa si perokok itu dimasukkan ke dalam lubang hidung, dan orang yang malang itu diarak keliling kota. Di Turki dan Arab, konon ada yang dihukum mati gara-gara rokok tadi. Tapi, lihatlah. Pada pertengahan abad ke 20, mode telah berubah. Banyak orang terpelajar, menteri, bintang film, yang merokok bagai kereta api. Merokok adalah latnbang kejantanan, kehidupan modern, kenikmatan. Banyak orang percaya, kebiasaan menghirup zat pelarut (solvent sniffing) itu tidak ada sebelum tahun 1970-an. Namun, belakangan terbukti, "pesta ether" itu sering dilakukan di Austria dan Prusia setelah perang dunia I, dan kaum ulama waktu itu sibuk .mengendalikan epidemi "pesta" itu. Yang lebih mengherankan lagi bukan cepatnya mode berubah, tapi begitu mudah-menguapnya pandangan "ilmiah" terhadap masalah -masalah tadi. Inilah satu contoh kasusnya. Dalam sebuah buku teks tahun 1909, dua dokter terkemuka tnenulis tentang "obat perangsang" yang terkutuk: .............. "penderita itu gemetar dan kehilangan kendali dirinya; ia mudah ter-agitasi atau depresi. Wajahnya pucat dan loyo ... . Dan seperti zat setnacam itu lainnya, petnberian satu dosis racun itu akan meredakannya untuk sementara, tapi semuanya akan terulang lagi". ingin tahu zat yang dikecam itu? Kopi. Bila kita menyadari begitu mudahnya perubahan mode itu, kasus opium ini mudah kita mengerti. Pada tahun 1819, setiap orang di inggris dapat membeli obat tadi di semua apotik. DPR inggris, tahun itu, berusaha melindungi rakyatnya dari penyalahgunaan pemakaian arsenikum, asam oksalat, dan sublimat. Namun, usaha itu gagal. Tapi dalam 100 tahun berikutnya, dokter dan apoteker berhasil memonopoli obatobat yang populer itu. Maka alkohol dikenakan cukai, penjualnya harus punya izin khusus, dan jam bukanya dibatasi. Candu juga dibatasi. la hanya dapat diberikan dengan resep dokter. Dan profesi dokter membuat kriteria untuk memberi resep itu. Pemberian resep opium dapat dibenarkan, bila pasien tak dapat dihentikan tanpa gejala withdrawal yang serius; bila pasien itu sedang menjalani terapi withdrawal bertahap; dan

60

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

bila pasien membutuhkannya agar dapat hidup layak dan normal. Usaha-usaha ini boleh dinilai berhasil, bila diukur dari menurunnya angka kematian akibat sirosis. Setelah tahun 1920, mode di Amerika berbeda dengan yang di Inggris. Di Amerika-Serikat alkohol dan opium dilarang sama sekali. Ingin tabu apa komentar orang Inggris ? "Istilah orang barbar bidaklah terlalu berlebihan buat orang yang punya ide begitu hebat untuk menginjak-injak mereka yang kebetulan tak setuju dengan pandangan politiknya." Orang Amerika, sebaliknya, mengecam orang Inggris sebagai amoral. Namun, dalam 20 tahun berikutnya, ternyata pandangan orang Amerika itu tak dapat bertahan terus. Larangan pun direnggangkan. Lalu, pada tahun 60-an, terjadi berbagai peristiwa yang metigubah sejarah. Perang Vietnam, bangkitnya kaum hippy, dan lain-lain. Banyak orang Amerika pindah . ke Inggris, dan banyak dokter Inggris memberi resep opium. Maka hasilnya dapat diramalkan. Para remaja banyak yang kecanduan, sehingga membuat petnerintah khawatir. Maka pada tahun 1967, resep buat kaum pecandu itu hanya boleh diberikan pada klinik - klinik khusus buat pecandu obat. Namun, klinikklinik masih sedikit. Maka pasar gelap pun merajalela. Pemerintah mendirikan klinik-klinik, tapi tak banyak dokter yang berminat berhadapan dengan kaum pecandu yang ganas itu. Jadi, larangan ternyata membuahkan gangsteristne; sebaliknya membebaskannya mengakibatkan epidemi orang keracunan. Yang ironis ialah, menjalarnya pesta ether, candu dan halusinogen di kalangan remaja itu diikuti dengan menjalarnya alkoholisme di kalangan pria, dan ketergantungan akan benzodiazepin pada wanita. Benzodiazepin semakin banyak digunakan, mirip dengan amfetamin di tahun 40-an. Para pecandu memerlukan uang . untuk meneruskan kebiasaannya; dan uang ini didapat dengan tnenjual miliknya. milik orang lian, atau dengan "berdagang". Seorang pecandu akan membeli 5 gr, memakai 1 gr untuk dirinya sendiri, dan menjual sisanya dengan harga lebih tinggi untuk memperoleh sumber penghasilan, la mungkin akan mencampur obat itu dengan zat lain dan menjaalnya sebagai barang murni. Demikianlah pemakaian obat bius itu dipertahankan oleh operasi penjualan yang berupa piramid itu. Sebagian bestir pecandu juga pedagang candu. Perdebatan tentang pengendalian obat bius ini telah membagi profesi dokter atas dua pihak: ALASAN DARI MEREKA YANG SETUJU ATAU TAK SETUJU DENGAN PEMBERIAN RESEP OPIUM BUAT PECANDU Tak Setuju

Setuju

1. ia akan mempertahankan kondisi ketergantungannya;

1. bagairnana pun, si pecandu akan mempertahankan keadaannya itu; 2. bila diberi dengan resep, pecandu akan memperoleh obat yang murni dan bersih;

2. usaha kesehatan masyarakat harus melindungi masyarakat dari pasar gelap;

3. bukan tugas dokter mengontrol penggunaan obat yang terlarang itu; 4. barbiturat dan alkohol tak diberikan lewat resep mengapa opium harus demikian ? 5. penyalahgunaan obat tidak dihambat oleh pemberian resep itu; 6. para pecandu akan memperjualbelikan resepnya; 7. pecandu itu dapat menambah-nambah resepnya; 8. keefektifan dosis maintenance belum terbukti.

3. dokter, seperti anggota masyarakat lainnya, harus membantu masyarakat melawan pelanggaran hukum; 4. bila alkohol dilarang, lebih manusiawi memberi resep segalas alkohol daripada melihatnya menjual hartanya untuk spiritus yang beracun itu; 5. klinik-klinik buat para pecandu itu masih terlalu sedikit; 6. kurangi resep itu; 7. resep ditambah; 8. perbedaan kontras antara AS dan inggris di tahun 1920 60 menunjukkan sebaliknya.

Banyak hal mempengaruhi masalah penggunaan obat tadi, Kepribadian masing- masing, sifat obatnya, lingkungan (masyarakat dan budaya). Jadi, selalu perlu ditanyakan orang yang bagaimana, memakai obat apa, dalam budaya yang bagaimana? Hukum dan kebiasaan mempengaruhi lingkungan. Sehingga alkoholisme jelas lebih banyak di Eropa daripada di Indonesia. Yang aneh, angka adiksi itu ternyata punya kesamaan pada berbagai budaya. Sebagai contoh, dari 50 juta orang Inggris, (dimana alkohol diterima dengan baik oleh masyarakat), ada sekitar 500.000 pecandu alkohol — angka sebesar 1 %.

Di antara 40 juta orang Thailand (dimana opium biasa di-

gunakan dalam kehidupan sosial, meskipyn pemerintah menganjurkan sebaliknya), angka adiksi sekitar 400.000 orang — alias 1 %. Seperti halnya dengan alkohol, tidak semua orang akan menjadi pecandu opium, bila diberi kesempatan sebebasbebasnya. Namun jelas, bila ketersediaan obat tadi dibatasi — dengan undang- undang, misalnya — angka adiksi akan menurun. Kecanduan obat juga banyak dipengaruhi oleh suasana kejiwaan. Di antara serdadu- serdadu Amerika yang menjadi kecanduan opium di Vietnam, hanya 10 % yang tetap masih kecanduan setahun sesudahnya. Stress sosial rupanya meningkatkan pecenderungan pemakaian obat tadi. Maka, untuk Indonesia, mungkin bukan suatu koinsidensi bahwa masalah kecanduan obat bius ini ramai dibicarakan, pada saat-saat di mana angka pengangguran meningkat, dan terjadi perubahan pesat di bidang ekonumi. Di kala materialisme menggeser nilai-nilai agama, opium (dan obat-obat sejenis itu) rupanya menjadi "agama" baru buat sekelompok masyarakat. Para pecandu akan berhenti menggunakan obat bius bila merela telah siap untuk ini; klinik-klinik khusus untuk mereka tak mempercepatnya. Yang dapat dilakukan unit-unit kesehatan itu, mungkin, cuma mempertahankan agar para pecandu itu dapat hidup sampai mereka berhenti sendiri. Mereka akan kembali memakai obat bius bila dirasakan keuntungannya lebih daripada kerugiannya. Maka pengobatan psikiatrik harus menemukan alasan di belakangnya: mengapa pasien itu kecanduan alkohol, opium, atau valium, lalu bersama dia mencari jalan keluar bagi masalah yang dikaburkan oleh pemakaian obat tadi. Lancet 1985, i : 1439 — 1440

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

61

Tepatkah Tindakan Saudara ? Beberapa waktu yang lalu terbetik berita dari surat kabar tentang suatu kejadian di Singapura. Seorang dokter dituntut di pengadilan, dengan dakwaan: Membohongi (mengelabui) pasiennya. Pasien-pasien yang berobat kepadanya selalu diberi diagnosis "penyakit yang berat dan menakutkan", lalu mereka harus antara lain menjalani pemeriksaan ultra sound, dan sering kembali dengan biaya yang mahal. Banyak dari pasien itu yang meminta pendapat dokter lain, dan dinyatakan: tidak menderita suatu penyakit yang berat. Dari negeri kita, tak jarang kita dengar berita berikut: Seorang pasien pergi berobat ke dokter. Ia diberi diagnosis berpenyakit "tekanan darah rendah", berdasarkan pemeriksaan yang menunjukkan tekanan darah sebesar 100/60 mmHg. Lalu pasien itu diminta datang dua kali seminggu untuk memperoleh suntikan liver. Kedua kasus ini tidak sama, nainun ada persamaannya. Pada kasus kedua, yang amat sangat meluas terjadi di Indonesia, tanpa ada perhatian dari pihak mana pun, kita dihadapkan pada satu dilema. Berdasarkan perkembangan ilmu kedokteran terakhir, tekanan darah rendah semacam itu tak dapat disebut suatu penyakit. Bahkan disebutkan, makin rendah tekanan darah seseorang, makin baik, selama ia merasa sehat-sehat saja. Tapi, tak dapat dipungkiri bahwa dongeng semacam itu banyak beredar di kalangan masyarakat umum. Dan bukan tak mungkin bahwa dokter itu juga percaya akan takhyul itu. Masalahnya, ialah, dengan terapi yang juga tak punya dasar yang tepat itu, si dokter memperoleh keuntungan. Bagaimana pendapat sejawat? Dalam kasus demikian, siapa sebenarnya yang perlu bertindak agar masyarakat tak dirugikan? IDI? Depkes? Dewan Kode Etik? Catatan: Kasus serupa pernah terjadi di Amerika terhadap seorang dokter yang rajin menyuntik liver pada pasienpasien geriatri di rumah jompo, dan menagih biaya pengobatannya pada pihak asuransi. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Komentar TANGGAPAN DARI SEGI ETIKA KEDOKTERAN Untuk kasus yang disebut terjadi di Singapura itu, silakan baca kutipan berikut, yang berasal dari ucapan Prof. DR. Sudjono Djuned Pusponegoro pada upacara promosi Doktor di FKUI awal Nopember 1985 sebagai berikut : "Dokter diperalat oleh alat dan memperalat pasien secara berlebihan. Seringkali untuk mengejar angsuran peralatan yang mahal itu, dokter memperbanyak penggunaannya secara tak perlu". Kalau kita mau mengamati praktek sebagian sejawat kita di tanah air, terutama di kota-kota besar, mungkin juga hal itu pernah terjadi, cuma belum ada yang mengeluh.. Ketiadaan 62 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

keluhan ini mungkin disebabkan budaya masyarakat kita yang beliim suka menuntut-nuntut dokter, atau bisa pula karena ada di antara "korban" yang justru merasa senang diperlakukan demikian (Snobbisme?). Kalau kita amati, ada lapisan masyarakat tertentu di tanahair kita (terutama kota besar) yang merasa bangga bila mengemukakan pada teman-temannya, bahwa dia ada gangguan maag atau kolesterol tinggi, karena dengan demikian merasa gengsi sosialnya naik. Dan dengan demikian dengan bangga pula dia berobat dengan teratur biarpun sebetulnya dia tidak sakit! Hal yang disebut kedua dalam kasus kita, saya kira banyak sekali terjadi di Indonesia. Memang kedua kasus ini tidak sama, paling tidak dalam hal pelaksanaannya, karena kasus pertama rasanya hanya bisa dilakukan oleh spesialis tertentu, sedangkan kasus kedua bisa terjadi.dalam kalangan kedokteran yang lebih luas karena tidak memerlukan "keakhlian" khusus dan tidak perlu alat mahal yang memerlukan cicilan pembayaran. Bila dipertanyakan bagaimana menertibkan masalah tersebut, jawaban yang paling tepat ialah menanyakan pada hati nurani kita masing-masing sebagai dokter, yang telah mengucapkan lafal sumpah yang suci dan selalu diulang-ulangi baik oleh IDI, Dep. Kes. dan sebagainya. Garis pemisah antara praktek etis dan non-etis, sangat halus dan karena itu diperlukan kepekaan jiwa kita untuk menganalisa, apakah garis tersebut sudah terlanggar atau baru tersentuh atau tidak tersentuh karena masih jauh. Kepekaan ini dipengaruhi pula oleh suasana: lingkungan, artinya seseorang yang tadinya peka, karena pengaruh lingkungan bisa berangsur menjadi kurang peka sampai akhirnya menjadi kebal. Pengaruh lingkungan mengubah sistem nilai, sehingga hal yang semula dan seharusnya dinilai tidak etis atau melanggar Etika kedokteran, lama kelamaan dianggap wajar! Contoh yang konkrit, berapa persen di antara Sejawat Spesialis yang rnasih sempat menjawab konsultasi dari seorang sejawat lain (dokter urnum)? Konsultasi, apalagi dari `dokter umum, sekarang ini seolah-olah sama dengan mengoper pasien kepada dokter ahli dan karena itu barangkali semakin sedikit pula dokter umum yang menahan pasien di tangan sendiri. Dan kadang-kadang bila keterlaluan, ada di antara pasien yang mengeluh dan menulis di surat-kabar! Namun demikian, saya kira budaya masyarakat Indonesia yang tak terlalu cepat menuntut dokter atas tuduhan malpraktis, ada baiknya bila dibandingkan dengan budaya yang suka cepat menuntut ganti rugi. Sebab dalam hal terakhir ini, dokter akan mencari perlindungan asuransi, yang akan berakibat biaya praktek naik yang kembali harus dipikul masyarakat lagi! Ingat film kartun "Woody Wood Picker" yang bertindak sebagai agen asuransi? Mungkin perlu kita pikirkan bersama, bagaimana memperbaiki keadaan, tanpa terjebak

dengan keadaan yang lebih buruk! Saya kira ajaran Pancasila perlu dicoba menjabarkan dalam praktek kedokteran kita, sebutlah "pelayanan kesehatan Pancasila" dengan 3-S, serasiselaras, seimbang! antara dokter dan masyarakat, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Pelaksanaannya, kembali pada hati nurani kita masing-masing, apakah Penataran P4 yang kita ikuti betul ada manfaatnya atau hanya sekpdar untuk memperoleh secarik sertifikat saja? Majelis Kode Etik Kedokteran dari IDI sebetulnya bisa berbuat banyak, namun dalam prakteknya cukup sulit! Entah karena mekanisme kerja yang belum mapan & jelas, atau karena kekurangan dedikasi atau minat atau waktu dan sebagainya. Kadang-kadang ada kesan, MKEK berfungsi sebagai hakim atau juri yang baru berbuat bilamana telah ada pengaduan dari pihak luar/masyarakat terhadap seorang dokter! Saya kira peranan MKEK sebaiknya menjadi pengawas Etika Kedokteran dan bersifat edukatif preventif terhadap kemungkinan pelanggaran Etik oleh anggota, jadi harus rajin memantau dan punya keberanian moral untuk menegur teman sejawat dan sekali lagi untuk preventif. Dengan demikian, penindakan hanya dilakukan bagi mereka yang membandel yang tak mau dinasehati, tak mau menerima teguran, sebagai langkah akhir. Perlu diinformasikan, dalam soal pengamanan Etika Kedokteran di Indonesia, ada 2 badan, yaitu : • M.K.E.K. — sebagai organ/badan dari IDI • P3EK — sebagai aparat Dep. Kes./Kan. Wil. Kes. Kadang-kadang antara kedua badan ini belum ada aturan permainan yang mapan, kadang-kadang terjadi overlapping atau bisa juga yang satu menunggu yang lain, sehingga untuk jangka waktu tertentu tidak terjadi kegiatan apapun. Sebagai ketua Cabang IDI Jakarta Pusat sering kami juga tidak diberi tahu apa-apa. Pernah terjadi, seorang dokter anggota IDI tahu-tahu sudah dilacak ke tempat praktek oleh petugas Kanwil dan setelah. 6 bulan kemudian dipanggil oleh P3EK tanpa Pengurus IDI Cabang mengetahui apa masalahnya, juga tidak ada informasi dari MKEK-IDI sendiri. Kesimpulannya, kembali pada hati nurani kita masingmasing, untuk apa dan kenapa kita memilih profesi dokter. Bila MKEK lebih berperan membina dan mendidik serta mengamati praktek dokter, mungkin kepekaan hati nurani dapat dipeitahankan dan tidak menjadi tumpul apalagi kebal! Akhir kata, forum atau rubrik dalam CDK ini juga salah satu cara yang efektif untuk pendidikan Etika Kedokteran.

selalu menghibur/membesarkan hati) sudah lampau, tapi apa yang dikatakan Bleuler (dikutip oleh Prof. Sutomo Tjokronegoro) tentang "das autistisch-undisziplinierte Denken in der Medizin" masih ada benarnya juga. Autistisch karena cara berpikir itu lebih diarahkan untuk memenuhi suatu harapan . daripada didasarkan atas kenyataan dan undiszipliniert karena seringkali cara berpikir itu bertolak belakang dengan cara berpikir yang berdisiplin dalam ilmu pengetahuan eksakta. Ia menerangkan cara berpikir demikian itu, antara lain karena di latar belakang suatu tindakan medik terdapat suatu harapan, yaitu bagaimanapun juga si pasien harus ditolong. Sekalipun pertolongan itu sudah tidak banyak artinya lagi, toh masih cukup sering dicoba berbuat sesuatu. Kalau kita berani mengatakan dengan jujur, maka kiranya kita cukup sering menyuntik sekedar untuk memenuhi permintaan/harapan si pasien. Apakah dalam hal demikian kita dapat dikatakan menipu? Mungkin juga dapat dipertanyakan pemberian terapi paliatif kepada pasien dengan prognosa yang, infaust. Apakah dalam hal ini juga dapat dikatakan, bahwa dokter menipu? Sebaliknya dapat dipertanyakan, apa kata masyarakat jika si dokter berkata terus terang dan tidak mau memberi terapi sama sekali. Baiklah kita kembali kepada persoalan yang ditanyakan. Di sini dapat diasumsikan, bahwa pasien datang ke dokter dengan keluhan-keluhannya. Setelah diperiksa, dokter menemukan tekanan darah 100/60 mm Hg. Dengan demikian pasien itu merasa dirinya tidak/kurang sehat dan jika dokternya yakin, bahwa dengan terapinya pasien itu dapat disembuhkan atau setidak-tidaknya keluhan-keluhannya akan hilang, maka di sini sama sekali tidak ada penipuan dalam arti yuridis. Dalam KUH Perdata pasal 1328 dengan jelas dikatakan, bahwa penipuan harus dibuktikan dan tidak boleh , dipersangkakan saja. Justru membuktikannya ini sangat sulit dan seringkali bahkan tidak mungkin. Dalam KUH Pidana Buku Kedua Bab XXV tentang "Penipuan" juga tidak saya temukan suatu pasal yang "cocok" dengan persoalan kita ini. Dr. Handoko Tjondroputranto Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta

Dr. H. Masri Rustam

Direktorat Transfusi Darah PMI Kedua IDI Cabang Jakarta Pusat, Jakarta

TANGGAPAN DARI SEGI HUKUM KEDOKTERAN Baiklah kita coba meninjau inti persoalannya. Di sini terdapat suatu terapi yang diragukan manfaatnya, yaitu apakah benar dapat menyembuhkan penyakitnya, bahkan apakah terapi itu betul diperlukan. Lagi pula terapi itu dilakukan berkali-kali, yaitu dua kali seminggu. Sebenarnya persoalan ini menyangkut sesuatu yang lebih mendasar, yaitu apakah kedokteran itu suatu il mu (kunde) atau suatu seni (kunst). Memang zaman, di mana kedokteran diidentikkan dengan "guerir quelquefois, soulager souvent, consoler touyours" (sekali-sekali menyembuhkan, sering meringankan penderitaan, Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

63

Catatan Singkat Frekuensi karsinoma prostat pada laki-laki menempati urutan nomor dua banyaknya. Untuk deteksi dini, tes skrining yang terbaik yaitu dengan rectal toucher. Di Chicago, tes gratis dilakukan pada laki-laki yang berusia lebih dari 45 tahun. Dari 811 orang yang diperiksa, 43 orang dianjurkan untuk biopsi porstat, dan 38 orang setuju dibiopsi. Hasilnya, 11 orang memang ternyata Ca prostat, tanpa satu pun yang menunjukkan gejala -gejala metastasis. JAMA 1984;25:3261—4

Kuantitas pelayanan kesehatan antara negara berkembang dan negara maju itu menunjukkan perbedaan yang tak masuk akal! Satu contoh yang gamblang: Togo, negara di Afrika Barat, dengan dua juta penduduknya, mempunyai anggaran kesehatan total pertahun yang setara dengan anggaran kesehatan pada suatu propinsi di Stockholm dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang setiap harinya! J Paed 1984;105:445-51

Dalam waktu 5 tahun, agen rahasia Gedung Putih, Washington, telah menangkap sebanyak 328 pengunjungyang tampaknya menderita gangguan mental- yang ingin menemui Presiden.. Kebanyakan dari mereka menderita skizofrenia paranoid. Apakah hal yang sama terjadi juga di Istana Merdeka, atau di 10 Downing Street? Atau mereka telah diusir jauh-jauh oleh polisi sebelum berhasil mendekati tujuannya?

Berapa lama IUD yang mengandung tembaga itu harus diganti dengan yang baru ? Anjuran dari pabrik adalah dua tahun sekali- tapi, bisa juga ini siasat pabrik agar produknya cepat laku —. Hasil penyelidikan di Australia, menganjurkan untuk memperpanjang interval tadi hingga 3 sampai 4 tahun. Bahkan, dari beberapa penyelidikan, ternyata setelah lebih dari 5 tahun IUD itu masih sama efektif seperti saat pertama kali ia dipasang! Clinical Reproduction and Fertility 1983: ii: 283‚ 7

Bila tak ada reinfeksi, berapa lama cacing usus kita dapat be -tahan hidup? Cacing askaris tampaknya pendek umur. Umumnya belum setahun sudah mati.(meskipun ada yang sampai 1,5 tahun). Tapi cacing tambang, baik ankilostoma maupun nekator, tampaknya panjang umur. Tanpa reinfeksi, ada yang dapat bertahan 15 tahun dalam tubuh kita. Tapi, umumnya, patogenesitasnya hanya bertahan selama 4 tahun saja. Penyelidikan pada 245 anak laki-laki dengan pembengkakkan skrotum akut, hasilnya sebagai berikut : dari 125 anak dengan refleks kremaster positif, tidak satu pun mengalami torsi testis. Dari 120 anak yang refleks kremasternya negatif, 56 torsi testis, dan 64 anak karena sebab lain, termasuk torsi hidatid, epididimitis dan hidrokel. Brit Med J 1984; 289:770

Am JPsichiat 1985142:308-12

64

Menurut statistik dunia yang diumumkan oleh PBB, dari angka rata-rata 17% kelahiran bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram. variasinya berbeda di tiap negara. Eropa Utara 6%. Amerika Utara 7%, sedangkan di Asia Tenggara 31%.

Pada penerjunannya yang ke 400, seorang instruktor terjun payung yang berspesialisasi pada "terjun bebas", mengalami tetraparesis flaksid selama beberapa detik sesaat setelah parasitnya niembuka; Kemudian ia merasakan parastesi pada ke empat anggota geraknya selama 3 jam. Kejadian serupa, tapi dengan intensitas yang lebih berat, dialaminya lagi pada penerjunan berikutnya. Setelah diselidiki, didapat lesi kongenital pada tulang vertebra servikalis, disertai protrusi diskus yang besar. Terjun bebas dengan parasit biasanya menrakai helm yang berat, dan sering-sering dilengkapi karnera. Lesi-lesi subklinik yang berulang-ulang rupanya sebagai sumber penyebab kelainan di tulang leher tadi.

Apakah penyakit - penyakit pada payudara yang sifatnya jinak itu meningkatkan risiko terkena kanker payudara? Ya, bila berdasarkan textbook. Tapi, suatu analisis pada 1000 pasien di RS Westminter, tidak menemukan bukti adanya hubungan antara lesi-lesi jinak dan keganasan tersebut. Penyelidikan berikutnya juga mendapatkan kesan yang sama.

Injury 1984; 16: 19-20

Post Graduate Med J, 1984: 60: 653-6

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

J.4 MA 1984; 252:1115

TAMBAH UMUR "Advis dokter, kalau lari pagi badan bisa sehat, pikiran jadi tenang dan umur pun bertambah. " kata Rusli Ali kepada temannya sambil lari dengan bersemangat (maklum deb, baru pertama kali lari pagi). Beberapa saat kemudian, "Dokter itu benar, sekarang saja rasanya saya sudah lebih tua 10 tahun." kata Rusli Ali dengan napas yang terengah-engah karena kecapekan. Dr. T. Martono Medan

LENGAN KIRI Pagi itu datang ke poliklinik Puskesmas seorang laki-laki berumur 48 tahun, pasien baru, dengan keluhan sakit kepala, lengan kiri dan tungkai kiri terasa lemah. Setelah anamnesa selesai, saya melakukan pemeriksaan fisik. — Coba pak, baju lengan kanannya digulung ke atas. + (Pasien menggulung lengan baju tersebut) — (Saya kemudian memasang "kain" pengukur tekanan darah pada lengan atas kanan pasien, mendadak pasien berkata:) + Yang sakit lengan kiri saya dok, bukan yang kanan. — ???? dr. K. Ferry Soufjan Puskesmas Tembilahan Kab. Indragiri Hilir — RIAU

INGIN MENYAMPAIKAN PESAN TERAKHIR Seorang penderita berstatus kakek (populer dengan panggilan Pekak) telah lama mendekam di RS karena sakit liver. Kebetulan pasien ini dipakai untuk ujian dokter. Seorang dokter muda yang akan menempuh ujian (kandidat) didampingi seorang temannya datang memeriksa pasiennya. Mula-mula dilakukan anamnesis kemudian pemeriksaan fisik. Ketika melakukan pemeriksaan fisik, kedua dokter muda itu sempat berdiskusi. "Apa ada pekak mati (terjemahan dari istilah dullness) ?" tanya dokter muda yang mendampingi kandidat. "Ada, jelas sekali. Coba you periksa . . . !" jawab kandidat bersemangat. Tiba-tiba pasien menyeletuk memotong pembicaraan mereka. "Maaf, dokter. Apa bisa saya minta bantuan pada dokter?" " "Goo, tentu, tentu .... Apa yang dapat kami bantu? tanya mereka serentak. "Begini dokter, . . . kalau saya sudah tiada, tolong nanti sampaikan kepada cucu saya bahwa saya ingin dikubur-kan di samping kuburan isteri saya!" "Lho, ada apa ini . . . ?!" dokter muda pada bingung dan gelagapan. "Dokter tidak usah kaget! Memang Pekak merasa sudah tidak ada harapan lagi. Bukankah dokter telah mengatakannya tadi! ??" Kedua dokter muda termenung sejenak . . kemudian sadar bahwa bicaranya tadi keseleo mengatakan "pekak mati", yang mungkin disalahartikan oleh penderita sebagai "kakek mati" alias kakek akan meninggal. Dr. Ketut Ngurah, Denpasar. KAWIN SEBELUM NIKAH Seorang pengusaha muda yang baru sebulan yang lalu menikah, datang ke dokter untuk memeriksakan isterinya, apakah ia sudah hamil atau belum. Dokter melakukan pemeriksaan secara cermat dan lengkap, kemudian menjelaskan hasilnya kepada suamiisteri itu dengan gamblang. Dokter: "Menurut hasil pemeriksaan, isteri Tuan sudah mengandung lima bulan!" Penderita (suami) "Mana mungkin begitu, dokter. Saya baru sebulan y.l. menikah, masa isteri saya sudah hamil lima bulan ?!" Dokter: "Bisa saja, kenapa tidak. Itu tandanya Tuan seorang pengusaha yang bonafid di segala bidang!" Penderita (suami) . : "Maksud dokter .... ??!" Dokter : "Yaa. . . karena jauh sebelum menikah Tuan sudah menanam modal pada isteri Tuan!" Penderita (suami - isteri) : ????!" Dr. Ketut Ngurah, Denpasar. Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

65

1. Pada hepatitis B, pertanda serologik berikut merupakan pertanda penyembuhan klinik a) Anti HAV b) HBsAG c) Anti HBs d) Anti HBc e) HBeAG 2. Gambaran pada penderita amebik abses hati adalah : a) Nyeri perut terutama di hipokondrium kanan, disertai kenaikan suhu badan b) Pasien jalan membungkuk ke depan sambil memegang bagian yang sakit c) Hepatomegali dan tanda Ludwig positif d) Diare bercampur darah dan lendir e) semua benar 3. Pada penyakit hati menahun, harus dicurigai kemungkinan. kanker hati bila ditemukan hal-hal berikut, kecuali : a) SGOT dan SGPT yang terus meninggi b) Rasio De Ritis, yaitu perbandingan SGOT dan SGPT melebihi 2 atau 3 c) Kadar alfa feto protein di atas 500 ng/ml d) Kadar alfa feto protein yang terus menerus meninggi, walaupun kadarnya di bawah 100 ng/ml e) Peninggian kadar Hb, hipoglikemi, hiperkalsemia atau hiperlipidemia pada penderita sirosis hepatis. 4. Yang termasuk dalam tindakan khusus pada pasien dengan perdarahan saluran makan bagian atas adalah : a) Resusitasi b) Balon tamponade c) Lavase lambung d) Hemostatika e) Pemberian antasida dan simetidin 5. Obat yang mempunyai efek hepatotoksisitas langsung, yaitu obat yang tanpa memerlukan perubahan dapat menyebabkan hepatotoksik, contohnya adalah : a) Sulfonamida b) Rifampisin c) Isonazid d) Tetrasiklin e) Bukan salah satu di atas 6. Batas tekanan vena porta ini sudah dapat digolongkan ke dalam hipertensi portal a) 5 mmHg b) 10 mmHg 66 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

7.

8.

9.

10.

c) 15 mmHg d) 20 mmHg e) 25 mmHg Efek kortikosteroid pada syok septik, di antaranya : a) Efek hemodinamik dan metabolik dalam memperbaiki sistem sirkulasi b) Efek antiendotoksin c) Memperbaiki transpor oksigen d) Melindungi lisosom dengan jalan menstabilkan membrana lisosom e) Semua benar Keadaan paling berat pada cerebral palsy, bila kerusakannya terletak di a) Neuron b) Neuroglia c) Jaringan penunjang d) Pembuluh darah otak e) Sama beratnya Bila ditemukan kuman diplokokus gram negatif, untuk membedakan apakah ia jenis Neisseriae atau bukan, dilakukan : a) tes kelarutain empedu b) tes katalase c) tes oksidase d) tes Optochin e) tes Quellung Vaksin hepatitis B tidak dapat diperoleh dari : a) Virus hepatitis B yang dibiakkan, kemudian dilemahkan b) Serum penderita hepatitis B yang dilemahkan c) Serum dari carrier hepatitis B d) Plasma dari carrier hepatitis B

Fokus HAMIL KEMBAR TAK PERLU ISTIRAHAT Lebih dari 30 tahun yang lalu, Russel melihat bahwa bayi kembar yang dilahirkan oleh ibu dari golongan sosioekonomi menengah lebih berat, dan lebih sehat, daripada yang dilahirkan ibu-ibu miskin. Mengapa? Mungkin karena pola hidupnya berbeda. Maka dianjurkannya agar ibu-ibu itu banyak beristirahat, masuk ke rumah sakit pada kehamilan minggu ke 30, dan makan makanan yang bergizi. Maka, kini kita lihat, banyak dokter mengikuti anjuran ini. Namun, terus terang, sebenarnya tak banyak penelitian terkontrol mengenai masalah ini. Maka hasil penelitian di Zimbabwe yang dilaporkan oleh Saunders dkk. baru-baru ini agak mencengangkan juga. Ia membagi 212 wanita dengan kehamilankembar menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, seperti biasanya, masuk ke rumah sakit pada umur kehamilan 32 minggu. Kelompok kedua rata-rata masuk ke rumah sakit setelah 37 minggu. Ternyata partus prematur lebih sering terjadi pada kelompok I, pada mereka yang dianjurkan tirah -baring! Lahir-mati, kematian neonatal, dan kematian perinatal, semua lebih sering terjadi pada mereka yang diberi istirahat. Disimpulkan, kalau bed-rest tadi memang punya pengaruh terhadap kehamilan, maka pengaruhnya ialah pengaruh buruk, bukan sebaliknya. Lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Lancet 1985; ii: 793-5

BETABLOCKER UNTUK PIDATO Siapa tabu pada suatu hari anda akan diminta berbicara di depan sidang DPR untuk suatu keperluan. Tapi, bagaimana bila anda tak biasa, dan gemetar? Respons ini suatu respons badan yang amat wajar. Adrenalin dicurahkan ke dalam darah untuk menghadapi situasi yang "mengancam". Tapi, di zaman modern ini, semua toh dapat diatur, bukan? Bagi mereka yang tak ingin memperoleh respons tadi, dapat dipakai obat beta -blocker. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pemakaian beta -blocker ini dalam ujian, waktu bermain musik, atau berpidato. Tentu saja, tidak semua efek obat ini menguntungkan. Propanolol, misalnya, agak mengaburkan daya ingat orang. Maka, paling baik, sebelum berpidato sungguhan, coba dulu memakai obat tadi beberapa hari sebelumnya. Selain itu, perhatikan juga pemilihan obatnya. Bila keluhan adalah takhikardia, pakailah jenis yang kardio -selektif. Kalau keluhan utamanya tremor, jangan pakai yang kardio -selektif.

MENYUSUI TANPA HAMIL Hippokrates telah menggambarkan bagaimana wanita, nulipara, dapat menyusui anak angkatnya. Satu kasus terkecil yang pernah dilaporkan ialah seorang gadis 8 tahun yang menyusui adiknya yang masih bayi. Menyusui anak angkat ini dapat memberikan kepuasan bagi ibu angkat, dan mungkin juga, buat si bayi, karena merasa dekat. Bila si ibu itu memang telah merencanakannya, ia harus membuat persiapan beberapa bulan. Intake cairan ditambah, dan payudara dirangsang. Ini dapat dilakukan dengan tangan saja atau dengan pompa dada. Konon ada ibu yang berhasil menyusui bayi angkatnya sehingga tak diperlukan susu tambahan. Beberapa obat yang boleh dicoba ialah estrogen dan progesteron, oksitosik, dan galaktagog (fenotiasin). Tapi, sekali lagi, perlu diingat bahwa dalam hal ini yang merupakan tujuan utama ialah kepuasan emosional, sehingga umumnya diperlukan susu tambahan. Lancet 1985; ii: 426-7

D PROPANOLOL: SUATU KONTRASEPTIF BARU Baru-baru ini, team peneliti dari rumah-sakit di London dan Ramford melaporkan, D-propanolol dapat digunakan sebagai kontrasepsi, oral maupun lokal (intravagina). D-isomer propanolol mempunyai efek beta bloking dan kardiovaskular yang lebih kecil daripada L-isomer pada dosis terapeutik. Percobaan dilakukan pada 6 orang sukarelawan sehat dengan pemberian 80 mg D-isomer propanolol. Hasilnya, pemakaian oral D-propanolol tidak mengakibatkan efek yang berarti pada tekanan darah, denyut nadi ataupun frekuensi pernafasan. 4 jam setelah obat diberikan, kadarnya dalam mukus serviks jauh lebih tinggi daripada kadarnya dalam plasma. Kadar maksimum dalam mukus serviks mencapai 4½ kali kadar dalam plasma, dan waktu paruh terminal dalam mukus juga lebih panjang. Pada percobaan in vitro, terbukti, D-propanolol menghambat motilitas sperma pada konsentrasi lebih besar dari 1,3 mmol/1 (438 mg/1). Menurut para peneliti, dosis oral propanolol dapat diberikan lebih besar daripada dosis in vitro tanpa mengakibatkan efek kardiovaskular yang berarti. Dengan demikian, D-propanolol dapat digunakan untuk menghambat motilitas sperma melalui konsentrasinya yang tinggi dalam servikovaginal. (DYT) Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 67

Fokus AMPISILIN SUPOSITORIA Selama ini, kita mengenal ampisilin dalam bentuk sediaan kapsul, tablet, serbuk untuk suspensi dan serbuk untuk injeksi. Baru-baru ini, suatu ' perusahaan farmasi di Jepang memperkenalkan suatu bentuk sediaan yang kurang populer untuk masyarakat Indonesia, yaitu supositoria. Perusahaan tersebut adalah Sumitomo Pharmaceuticals, yang mengklaim, ampisilin supositoria itu merupakan yang pertama di dunia. Ampisilin supositoria ini dikembangkan bersama dengan perusahaan farmasi lainnya, yaitu Kyoto Pharmaceuticals. Apa keuntungannya? Bentuk sediaan supositoria lebih mudah diberikan pada bayi daripada bentuk sediaan oral dan injeksi. Keuntungan lain, bentuk supositoria dapat diberikan pada bayi yang sedang menangis, muntah, demam, tidur, ataupun apabila kerongkongannya sedang bengkak. Di Jepang, Supositoria ini dipasarkan dengan nama Herpen; dan nienurut penelitian, ia mempunyai kecepatan absorbsi yang sama dengan kecepatan absorbsi ampisilin dalam bentuk sediaan injeksi intramuskular. Pur DOKTER JERMAN VS APOTEKER Dokter-dokter di Jerman Barat kini sedang memperjuangkan 'hak'nya untuk memperoleh sampel obat dari detailman. Berbeda dengan di sini, di sana mereka praktis tidak memperoleh keuntungan financial yang nyata (kecuali bila dijual ke apotik, dan ini jarang). Lalu apa motifnya ?

68

Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985

Untuk ini kita perlu mengetahui latar belakangnya. Pada masa-masa setelah perang dunia II, asuransi kesehatan sudah ada. Tapi dokter asuransi kesehatan itu, hanya mendapat jatah resep tertentu. Bila melampaui jatah tersebut, ia harus membayar kelebihannya. Kini, cara menentukan jatah tadi berubah. Pengeluaran dana buat kesehatan seluruhnya di rata-rata, dan bila resepresep seorang dokter tidak melebihi 20% dari rata-rata, semuanya ditanggung asuransi. Tapi bila melebihinya, mereka diminta menjelaskan mengapa demikian. Bila tak dapat dijelaskan, mereka harus membayar kelebihannya. Ini membuat para dokter itu berjaga-jaga. Daripada malu dan diminta pertanggungan jawabnya, mereka memberi para pasien asuransi itu obat-obat sampel tadi. Ini membuat para apoteker marah, karena penghasilan berkurang. Mereka menuntut agar dibuat undang-undang yang mengatur distribusi sampel tersebut. Pokoknya jangan langsung ke pasien. Tapi industri-industri obat tidak peduli. Mereka memerlukan sampel obat itu untuk mendekati para dokter. Selain itu, terbukti bahwa pemberian sampel itu sering diikuti oleh mengalirnya resep buat obat tadi. Seorang profesor bahkan pernah heran sendiri, karena ternyata ia menulis lebih dari 1000 jenis obat. Rupanya banyak yang meminta obat ulangan berdasarkan sampel yang diberikannya. Suatu survei di Jerman menunjukkan, ratarata dokter punya 700 pak sampel obat, beberapa bahkan sampai 3000 pak. Diperkirakan setiap tahun ada 250 juta pak obat sampel itu.

Related Documents

Cdk 110 Penyakit Hati
November 2019 26
Penyakit Hati
May 2020 23
Penyakit Hati
May 2020 30
Cdk 014 Penyakit Gondok
November 2019 20