Cermin Dunia Kedokteran 1995
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
103. Makanan dan Kesehatan September 1995 Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary
Karya Sriwidodo WS
Artikel 5. Dampak Mikotoksin terhadap Kesehatan – Iwan T. Budwrso 12. Pemeriksaan Cemaran Aspergillus pada Tempe – Akmal 15. Residu Antibiotika dalam Air Susu Sapi dan Peternakan di Jakarta – Pudji Lastari, Janahar Murad 19. Kandungan Logam Kadmium dalam Biota Laut Jenis Kerangkerangan dari Teluk Jakarta – Inswiasri, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati 22. Selenosis Ternak – pengaruhnya pada manusia – Harli Novriani 27. Kandungan Boraks pada Makanan Jenis Mie yang Beredar di Kotamadya Padang – Akmal, Zulharmita 30. Sigi Status Gizi Balita dan Beberapa Faktor yang Berpengaruh di Desa Tertinggal Alur Bandung – Joni Wahyuhadi 32. Beberapa Metoda Penetapan Kadar Hemoglobin Darah – Sihadi, Suryana Purawisastra 35. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat Timbal dalam Air Sungai – Suharmiati, D. Mutiatikum 39. Hasil Pemeriksaan Senyawa Kimia dalam Air di Jakarta Barat – Mariana Raini, Daroham Mutiatikum, Nikmah Bawahab 42. Perkiraan Kontribusi Tritium (HTO) di Ruang Reaktor terhadap Dosis Seluruh Tubüh Para Pekerjanya – Abdul Wa‘id, Bunawas, Bambang Priwanto 47. Perbedaan Osteoporosis dengan Gangguan Muskuloskeletal Lainnya – Harry Isbagio 53. Obat-obat Anti Epilepsi – Budi Riyanto W. 59. Lipid A – Pusat Aktif Endotoksin, Struktur Kimia dan Bioaktivitas – Hendig Winarno 63. Abstrak 64. RPPIK
Gangguan kesehatan dapat berasal dari berbagai sumber, salah satunya justru dari makanan dan minuman yang seyogyanya memberi/memasok zat-zat gizi yang diperlukan guna kelancaran fungsi tubuh kita; jadi, makanan ternyata tidak selalu menyehatkan. Hal tersebut dapat terjadi bila dalam makanan/minuman terdapat pula zat-zat yang merugikan kesehatan, bahkan merupakan racun bagi tubuh; di samping itu faktor penyimpanan dan pengolahan juga memegang peranan dalam menentukan apakah makanan tersebut masih menyehatkan. Artikel dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi ini membahas berbagai hal di atas, antara lain kemungkinan pencemaran berbagai jenis makanan dan minuman oleh beberapa jenis kontaminan seperti mikotoksin, logam berat dan antibiotika. Selamat membaca, Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
Cermin Dunia Kedokteran 1995
International Standard Serial Number: 0125 – 913X KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar
TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. 4208171/4216223, Fax 4203194
NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma
– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
– Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
PELAKSANA Sriwidodo WS
PENCETAK PT Temprint
REDAKSI KEHORMATAN
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta
Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta
DEWAN REDAKSI – Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo
– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.
English Summary EFFECTS OF MYCOTOXINS ON HEALTH Iwan T. Budiarso Non Communicable Diseases Research Centre Health Research and Development Board, Department of Health, Jakarta, Indonesia
In 1977 the joint conference of FAO, WHO and UNDP on mycotoxins held in Nairobi, Kenya, released a statement that mycotoxins are going to be a prevalent and potential disease entity in the coming decades, after all immunisable and infectious diseases are under control or eradicated, particularly in those developing countries in the tropics, Since the first outbreak of Turky X disease in England (1960), the problem of mycotoxins and the prevalence of mycotoxicoses tend to be progressively increased. The conference suggested that 7 kinds of mycotoxins are warranted to be investigated, thoseare: 1.Aflatoxins, 2.Zearalenone, 3. Ochratoxin A, 4. Trichthecenes, 5. Citrinin, 6, Patulin, and 7. Penicillic acid. Among these 7 mycotoxins. the first 3 mycotoxins are most likely becoming a major problem in Indonesia which need an immediate investigation in relation to development of preventive measures. Aflatoxins were proved as hepatotoxic and hepatocarcinogenic agents. Zearalenon is known as a potent phyto-estrogen which may contaminate animal feed, and in turn the re-
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
sidue may accumulate in meat milk, egg and their products. Chronic poisoning of estrogen caused hyperestrogenism in female and feminism in male animals. If infants and children consume those contaminated animal products during their growth period, what would be the result when they reach adult hood? Kidney disease and kidney failure are increasing now-a-days. Health researchers and doctors generally related these diseases with cardiovascular diseases, high consumption of table salt, junk food etc., but they never realised that ochratoxin A can be an important factor in this episode. Ochratoxin A was proved as one of the cause of porcin nephropathy and Balkan nephropathy in Europe. Indonesia is a tropical country which is very suitable for fungal growth. The human factors such as the traditional handling, storing, and transporting of post harvest agricultural products, as well as traditional handling, storage, and transporting of post harvest agricultural products, as well as the problem of hygiene may contribute to the contamination of mycotoxins. and in turn it may cause health hazard to human being. Cermin Dunia Kedokt. 1995, 103: 5-10 Itb
ANTIBIOTICS RESIDUE IN COW’S MILK FROM SEVERAL CATTLE FARMS IN JAKARTA Pudji Lastari, Janahar Murad Pharmacies Research and Development Centre, Health Research and Develop ment Board, Department of Health. Jakarta, Indonesia
The presence of antibiotic residue was examined in 120 samples of cow milk taken from 10 cattle farms in Jakarta, Two samples were taken from each farm each month for a period of ómonths. Outof the l2osamples examined, 27 (22.5%) contained antibiotic residue; 5 samples (4.2%) contained penicillins, 6 samples (5.0%) tetracyclines, 9 samples (7.5%) aminoglycosides and 7 samples (5.8%) macrolides. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 103: 15-8 Ssz
SELENOSIS IN CATTLE - ITS INFLUENCE ON HUMAN HEALTH Haril Novriani Health Research and Development Board, Department of Health, Jakarta. Indonesia
One of the attempts to improve the nutritional status of the people in this country is to increase their intake of animal proteins. Cattle and sheep are much used for their meat, so their health condition has an indirect effect on the health of the people consuming meat. Furthermore the development of industries and the increased use of Selenium, con(Bersambung ke hal 11)
Artikel TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dampak Mikotoksin terhadap Kesehatan Iwan T. Budiarso Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN Pada tahun 1977 dari pertemuan gabungan antara Food Agriculture Organization (FAO), World Health Organization (WHO) dan United Nation Development Program (UNDP) pada Conference on Mycotoxins di Nairobi, Kenya, dilaporkan bahwa masalah kesehatan akibat keracunan toksin asal kapang akan menjadi salah satu golongan penyakit tidak menular yang relean dan potensial di negara-negara berkembang di masa yang akan datang. Masalah mikotoksin dan mikotoksikosis sangat penting di Indonesia mengingat negara kita ini terletak di daerah tropis yang merupakan lingkungan ideal untuk tumbuh-kembang segala jenis kapang. Namun demikian, tampaknya masih banyak pakar kesehatan dan kedokteran yang belum tertarik atau menaruh perhatian pada bidang ini. Pada umumnya dalam keadaan normal, kapang-kapang itu hidup secara saprofit. Akan tetapi jikalau keadaan lingkungan sekitarnya berubah menjadi ideal, yakni suhu udara baik, kelembaban cukup tinggi dan ada substrat yang cocok untuk ditumpangi, maka kapang tersebut akan tumbuh-kembang subur dan memproduksi metabolit beracun. Bila bahan yang tercemar itu termakan atau berkontak dengan kulit manusia atau hewan, maka dapat menimbulkan keracunan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh penyakit, umpamanya keracunan aflatoksin dan islanditoksin dapat mengakibatkan hepatitis dan kanker hail Zearalenon dan trichothecenes adalah metabolit golongan Fusarium sp; yang pertama menyebabkan hiperestrogenism dan kemandulan, sedangkan yang akhir mengakibatkan alimentary toxic aleukia. Ochratoxin A menyebabkan porcin nephropathia dan Balkan nephropathia. *
KEADAAN MIKOTOKSIN DAN MIKOTOKSIKOSIS DI INDONESIA Salah satu mikotoksin yang paling dikenal dan mendapat perhatian cukup memadai di antara para pakar bidang kesehatan dan kedokteran di Indonesia adalah baru dan kapang golongan Aspergillus yang menghasilkan metabolit aflatoksin. Padahal yang disebut mikotoksin itu bukan hanya aflatoksin saja, melainkan masih banyak lagi yang tidak kalah berbahayanya; umpamanya kapang jenis Penicillium dan Fusarium juga sering meracuni berbagai jenis ternak hewan dan manusia (Tabel 1). Kapang-kapang ini sering mencemari kacang tanah, bungkil, jagung, beras, gandum, gaplek, ikan asin, makanan hasil peragian dan pengawetan, jamu dan hasil komoditi pertanian lainnya. Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, di Indonesia, sampai sekarang mengenai laporan hasil penelitian mikotoksin baru sebatas tentang aflatoksin saja. Peneliti pertama yang paling persisten dan antusias melakukan pengamatan, penyidikan dan penelitian mengenai mikotoksin di Indonesia adalah DR. Robert T.L. Pang, seorang ahli hepatologi, pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia menaruh perhatian khusus pada keracunan aflatoksin yang ada hubungan dengan kejadian kanker hati. Ia telah menerbitkan berturut-turut pada tahun 1972, 1974 dan 1977 tiga makalah ilmiah yang membahas dan membuktikan korelasi antara kejadian kanker hati dengan jumlah aflatoksin yang dikonsumsi(1,2,3). Laporan lain yang menduga bahwa aflatoksin merupakan salah satu faktor penyebab kanker hati adalah hasil pengamatan epidemiologi dari Tambunan(4). Ia melaporkan bahwa di
Makalah ini dibacakan pada Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah di Bogor 21–24 Juli 1994. Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
5
Tabel 1. Penyakit, Kapang dan Mikotoksin yang Menyebabkan Keracunan pada Manusia dan Hewan No.
Nama Penyakit
Ditemukan pada
Nama Kapang
Jenis Mikotoksin
Manusia Hewan 1 2
Ergotisme Aflatoksircosis
+ +
+ +
Claviceps purpurea Aspergillus,flavus A. parasiticus Fusarium sporotri– choides F. poae Fusarium sporotri– chiella
Ergot alkaloid Aflatoxtins
3
Alimentary toxic aleukia (ATA) Urov/Kashin–Beck/ To Kut–ze/Liu Kuang–tzu Drunken bread (Scabby grain toxicosis) Yellow Rice Disease (Cardiac beri–beri) Hepto–renopati
+
+
+
–
+
–
Fusarium sp.
?
+
+
–
+
Islanditoxin Luteoskyrin ?
–
+ +
Penicillium islandicum Penicillium viridicatum P. viridicatum P. viridicatum
12
Fotosensitisasi Anemia Hipoplastik Sindrom Reye Stachybotryo– toxicosis Nefropati
+ +
– +
Aspergillus,flavus Stachybotryc atra
+
+
Facial eczema
–
+
14
Slobbering
–
+
15
Hiperestrogenisme
?
+
16
Refusal and emetic
–
+
17
Dendrochiotoxicosis
–
+
18
Moldy feed syndrome
–
+
Penicillium viridicatum Aspergillus ochraceus Pythomyces chartarum Rhizortomia leguminicola Fusarium graminearum Fusarium graminearum Nyrothecium roridum Penicillium cyclopium
Aflatoxins Satratoxin trichthecene Ochratoxin A. citrinin
13
4 5 6 7 8 9 10
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada tahun 1968– 1969 insiden kanker hati primer menduduki tempat paling mencolok di antara penyakit kanker 1ainnya(4). Demikian juga hasil pengamatan yang sama di Semarang. Mereka menduga bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah aflatoksin(5). Sedangkan Adenan dkk melaporkan bahwa kadar aflatoksin B1 dalam serum darah penderita hepatoma dibandingkan kadar aflatoksin Bi dan individu normal di daerah Yogyakarta tidak berbeda bermakna(6). Selanjutnya makalah lain yang pernah diterbitkan di Indonesia tentang hubungan keracunan aflatoksin dengan kejadian kanker hati hanya merupakan tinjauan kepustakaan saja(7,8). Keracunan spontan aflatoksin pada bebek Alabio pernah terjadi di Bogor(9), dengan gejala lesu, anoreksia, kurus, anemia, kerdil dan akhirnya mati dengan ciri khas kerusakan pada hati. Ginting melaporkan pengaruh aflatoksin pada ternak ayam; makin tinggi kadar pencemaran aflatoksin dalam pakan makin nyata efeknya terhadap laju pertumbuhan dan kinerjanya(10).
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
Trichothecenes Trichothecenes
? ?
Sporidesmins Slaframin Zearalenone Deoxynivalenol Roridin A, Verrucarin A Cyclopiazonic acid, Penitrem A, Rubrotoxins Viomellien
Efek keracunan aflatoksin pada itik Karawang umur sehari sama pekanya seperti keracunan aflatoksin pada itik Peking yang umurnya sama; dengan demikian bio-essai aflatoksin tidak perlu harus menggunakan bebek Peking yang sulit didapat di Indonesia(11). Makalah-makalah aflatoksin lain yang pernah diterbitkan di Indonesia adalah mengenai hasil analisis kadar aflatoksin dalam berbagai macam contoh bahan makanan yang berasal dari Bogor, Bandung dan kota lain (Tabel 2,3 dan 4). Hasil analisis tersebut menggambarkan bahwa ada bahan makanan yang telah tercemar aflatoksin dan beberapa contoh di antaranya melampaui batas ambang keamanan (safety margin). Batas ambang keamanan aflatoksin di Indonesia secara resmi belum ada, tetapi di luar negeri, terutama di Amerika dan Eropa ditetapkan berkisar antara 5–20 part per billion (ppb). Survei tahun 1992 yang dilakukan oleh Tim Unit Gizi Diponegoro, Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular (PTM), Badan Litbangkes, Depkes, mengenai pencemaran aflatoksin
Tabel 2.
Kandungan Aflatoksin pada Berbagai Komodit(8) Banyaknya sampeVanalisis
Komoditi
Kandungan aflatoxin (ppb)
a Kacang tanah (dari pengecer) Bungkil kacang Minyak kacang tanah Oncom Oncom goreng Uteng-uteng gepuk Sambal pecel/sate Keju kacang tanah Beras Gaplek (kondisi baik) Gaplek (berjamur) Bawang merah Beras yang dibiarkan berjamur di laboratorium Kacang tanah (fisiknya balk) Tabel 3.
Bi
G1
20 20 20 39 16 2 5 3 2 3 3 2
180 126 61 67 41 170 83 13 0 0 303 0
353 174 82 120 83 83 49 ... 0 0 283 0
1 6
1000 0
16 0
Jumlah rata-rata AFB dalam beberapa makanan Indonesia(6)
Jenis makanan Ketela Kacang tanah Jagung Kopi Buncis merah Buncis hijau Buncis hitam Bir Berto
Kadar AFB, (ppb)
Jumlah sampel
% Sampel positif
46.2 48.7 18.3 12.6 0.02 0 0 0.03 0.028
12 10 10 5 3 5 5 2 10
42 70 50 60 33 0 0 50 10
Tabel 4. Jenis Komoditi yang sering dicemari dan Kadar AFB yang dikandung(10) Komoditi
Kadar AFB1 (ppb)
Kacang tanah Keju Minyak kacang tanah Tempe Kecap Kemiri Oncom hitam Gaplek Kentang rusak Beras rusak Bumbu masak
40-4100 40 380- 760 30 61 416 85 - 1370 90- 115 160 1000 66- 100
Komoditi Bihun Jamu Tembakau Dalam Negeri Luar Negeri Rokok putih: Dalam Negeri Luar Negeri Rokok lisong Cerutu Kutik
Kadar AFB1 (ppb) 67 500 – 1200 10-8000 10-8000 170-3330 40 - 1333 1300 - 1366 40- 105 85-4000
dalam air susu ibu (ASI), air susu sapi (ASSAP), hati dan bahan pokok makanan asal dan 5 wilayah DKI Jakarta menunjukkan adanya kandungan aflatoksin yang bervariasi dari 0–70 ppb(12) (Tabel 5). Di samping aflatoksin, di Indonesia yang pernah juga dilaporkan pencemaran jagung di Jawa Tengah oleh Fusarium graminearum yang menghasilkan estrogen nabati yang disebut zearalenon(13). Menurut pengamatan, penduduk yang makan jagung tercemar itu menunjukkan angka kelahiran. yang rendah dengan angka rata-rata 2 anak setiap keluarga. Tim Unit Gizi Diponegoro, Puslit PTM, Badan Litbangkes(12) yang pernah
menganalisis 386 sampel bahan terdiri dari air susu ibu (ASI), air susu sapi (ASSAP), hati sapi, beras, jagung, kacang tanah, oncom, dan tempe yang dibeli dari 5 wilayah Jakarta tidak menemukan kandungan zearalenon (Tabel 5). Para peneliti yang ingin mengetahui latar belakang berbagai penyakit akibat keracunan mikotoksin, dapat membaca hasil penelitian Forgac dan Car1l(14), Hesse1tine(15), Wilson(16), Wright(17), Ciegler dan Li1lehoj(18), dan Joffe(19).
KEADAAN MIKOTOKSIN DAN MIKOTOKSIKOSIS DI MANCA NEGARA Lain halnya di manca negara, penelitian mengenai mikotoksin dan mikotoksikosis sangat mendapat perhatian yang istimewa, apalagi setelah terjadinya Turky X disease yang mematikan tidak kurang dari 100.000 ekor ayam kalkun di Inggris sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Setelah diteliti secara intensif, akhirnya dalam waktu yang relatif singkat diketahui bahwa penyebab penyakit Turky X adalah keracunan berasal dari pencemaran bungkil campuran pakan oleh kapang Aspergillus flavus(20). Toksin yang diisolasi dari kapang tersebut dinamai aflatoksin dan terdiri dari 4 bentuk metabolit, yakni aflatoksin Bl, B2, Gi dan G2; aflatoksin B (Blue) memancarkan warna biru dan aflatoksin G (Green) memberikan warna hijau jikalau disinari ultraviolet. Dari empat bentuk in aflatoksin B1 adalah yang paling poten, bersifat hepatotoksik dan hepatokarsinogenik. Hampir semua jenis hewan percobaan seperti ayam, burung, bebek, mencit, tikus, anjing, kera dan bahkan ikan pun sangat peka terhadap keracunan aflatoksin. Semua hewan yang keracunan biasanya mati akibat hepatitis, sirosis atau kanker hati. Sebetulnya, sebelum mikotoksikosis menjadi terkenal akibat kejadian aflatoksikosis pada tahun 1960-an, orang Eropa 1000 tahun yang lalu sudah mengenal toksin dan Claviceps purpurea yang menyebabkan ergotism pada orang dan hewan(21,22). Orang Rusia tahu bahwa Alimentary Toxic Aleukia (ATA) adalah keracunan trichothecens asal Fusariumpoae dan F. sporotrichioides pada manusia akibat makan over wintered mil1et(23). Orang Korea dan Cina mengenal chondroosteodystrophia yang menyerang anak-anak pra-sekolah dan sekolah yang masing-masing menyebutkan penyakitnya dengan nama To Kut-Ze dan Liu KuangTzu, sedangkan di Rusia penyakit ini dikenal dengan nama penyakit Urov atau Kashin-Beck(24). Pada tahun 1960-an para peneliti tidak banyak yang tahu mengenai penyakit-penyakit akibat mikotoksin ini; hal ini bisa terjadi karena ada kesenjangan komunikasi, sebab sebagian besar laporan kejadian kasus dan penelitian tentang mikotoksin dan mikotoksikosis yang terjadi di negara-negara Eropa Timur, Jepang dan Korea diterbitkan dalam bahasa mereka masing-masing, sehingga tidak banyak pakar di dunia mengetahui hal ini Sebaliknya aflatoksin yang baru ditemukan 50 tahun belakangan lebih terkenal dan lebih mendapat perhatian di seluruh dunia karena hampir semua hasil laporan ditulis dalam bahasa Inggnis yang lebih komunikatif.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
7
Tabel 5.
Hasil Pemeriksaan kadar Aflatoksin dan Zearalenon di dalam Beberapa Macam Sampel Diambil dari Wilayah DKI Jakarta(12) Aflatoksin (ppb)
No. 1 2 3
Air Susu Ibu (ASI) (50) Air Susu Sapi (ASSAP) (11) Hati Sapi Potong (300) Bahan Makanan Pokok (25 – Beras (5) – Jagung (5) – Kacang tanah (5) – Oncom hitam (5) – Tempe (5)
Zaeralenon
B1
B2
G1
G2
M1
M2
– – (0.0)–005
– – –
– – –
– – –
– 0.005– 0.02–0.05
– + –
TD TD TD
– 2 – 10 5–25 50–70 –
– – 0.5–10 10 – 30 –
– 0.1 – 8 – 5 – 25 –
– – 0.05–1.2 – –
– – – – –
– – – – –
TD TD TD TD TD
Keterangan: – = tidak ada + = ada (flouresensinya sangat lemah) TD = tidak terdeteksi
CONTOH MIKOTOKSIN DAN MIKOTOKSIKOSIS YANG RELEVAN UNTUK INDONESIA Aflatoksin dan aflatoksikosis Keracunan akut aflatoksin pernah terjadi di India bagian barat pada tahun 1974 pada manusia dan anjing akibat makan jagung yang tercemar Aspergillusflavus, yang ternyata mengandung aflatoksin antara 6,25 sampai 15,60 mg per kilo jagung(26). Gejala klinis pada manusia ialah anoreksia, muntah-muntah, dan ikterus. Hidrops asites timbul antara minggu ke 2 dan ke 3 disertai edema kedua tungkai. Hati dan limpa membesar. Pada stadium akhir sebelum meninggal, biasanya penderita mengalami perdarahan hebat saluran cerna. Secara mikroskopis, hati menunjukkan proliferasi epitel saluran empedu yang hebat disertai fibrosis periduktuli, kholestasis dan megalo-hepatositosis. Sedangkan pada anjing yang makan sisa makanan jagung tampak ikterik dan hidrops asites. Hewan akan mati dalam waktu 2–3 minggu. Aflatoksin selain dihasilkan oleh Aspergillus flavus, juga dapat diproduksi oleh A. oryzea, A. ochraceus, A. niger, A. parasiticus, Penicillium puberum, dan beberapa Rhizopus sp. Negara-negara di Asia-Afrika, yang penduduknya banyak bergizi kurang, frekuensi penderita karsinoma hati primer cukup tinggi karena diduga makanan mereka sehari-hari banyak yang tercemar afiatoksin. Hal ini ditunjang oleh penemuan-penemuan di Swasiland(24),Uganda(25),Mozambik(26),dan Thailand(27,28), yang semuanya menunjukkan bahwa jumlah aflatoksin yang termakan berkorelasi positifdengan kejadian kanker hati. Di Uganda, dari 480 contoh makanan rakyat yang dianalisis, ditemukan 30% positif tercemar aflatoksin dan 4% di antaranya kadarnya sudah melampaui 1 part per million (ppm). Safety margin aflatoksin adalah 5–20 ppb (part per billion). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa distribusi kejadian kanker hati di antara penduduk adalah berbanding lurus dengan derajat pencemaran aflatoksin di dalam makanan sehari-hari (Tabel 6). Aflatoksin dan Sindrom Reye Sampai sekarang masih banyak silang pendapat mengenai penyebab sindrom Reye (encephalopathy andfatty degeneration
Tabel 6.
Banyaknya atlatoksin yang termakan dan insidens hepatoma (Sherlock, 1981)
Negara Kenya Thailand Swaziland Kenya Swaziland Kenya Swaziland Thailand Swaziland Mozambique
Kota High altitude Songkhla High veld Mid-altitude Mid-veld Low altitude Lebombo Ratburi Low veld Inhambane
Aflatoksin yang termakan (mg/kg/hari) 3.5 5.0 5.1 5.9 8.9 10.0 15.4 45.6 43.1 222.4
Banyaknya hepatoma (per 105/th) 1.2 2.0 2.2 2.5 3.8 4.0 4.3 6.0 9.2 13.0
of viscera). Ada yang menyatakan disebabkan oleh virus dan ada pula menyangka akibat keracunan acidum salicylicum. Akhirakhir ini diduga keras juga oleh keracunan aflatoksin berdasarkan bukti-bukti kuat penemuan antara gejala klinis, lesi patologis dengan kadar aflatoksin yang ditemukan dalam makanan mereka. Penyakit ini ditandai oleh edema otak, degenerasi lemak hati dan ginjal. Di Thailand, 22 anak dari jumlah 23 kasus yang meninggal dengan gejala tersebut di atas, pada pemeriksaan dari jaringan hati, isi lambung dan tinja ditemukan kandungan aflatoksin B1 masing-masing 0,039, 0,127 dan 0,123 mg per kilogram berat badan(27,28). Perubahan patologis anatomis yang sama seperti pada sindrom Reye dapat diduplikatkan pada kera yang diberi dosis tunggal 13,5 mg aflatoksin B 1 per kg berat badan(29). Zearalenon dan Hiperestrogenism Kapang genus Fusarium mudah ditemukan di mana-mana dan sering mencemari biji-bijian, terutama jagung. Ia menghasilkan beberapa metabolit beracun, di antaranya yang terkenal dan poten sekali adalah Zearalenon dan Trichothecenes (Tabel 1). Zearalenon adalah estrogen nabati dan dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum (Gibberella zea = F. roseum). Jikalau jagung yang tercemar kapang ini diberikan kepada hewan ternak, umpamanya babi, maka akan menimbulkan gejala hiperestrogenism: vulva tampak bengkak dan mengejar-ngejar yang
jantan serta menaiki punggungnya terus-menerus. Bilamana yang keracunan adalah yang jantan, hewan itu akan cepat menjadi gemuk, lamban, buah sakarnya mengecil, kelenjar mammae dan prepusium membengkak dan membesar. Hewan demikian, baik yang betina maupun yang jantan, biasanya menjadi mandul bila makanan yang tercemar tidak disingkirkan. Contoh fusariotoksin lain yang sangat poten dan merupakan penyakit endemik di Uni Soviet, baik yang menyerang hewan dan manusia adalah trichothecenes. Pada hewan, khususnya kuda, disebut stachybotryotoxicosis dan pada manusia dinamakan Alimentary Toxic Aleukia (ATA). Gejala klinis pada stakibotritoksikosis dibagi menjadi 2 bentuk, yakni spesifik dan nonspesifik. Pada yang pertama yang mencolok adalah bibir dan lapisan mukosa pipi kuda tampak kemerahan dan bengkak karena edema. Selanjutnya mukosa mulut nampak nekrotik dan ulseratif. Rinitis dan konjuntivitis sering juga menyertainya. Darah menunjukkan gambaran leukopeni, trombositopeni dan agranulositosis. Bila hewan tetap makan makanan yang tercemar, maka seluruh lapisan mukosa saluran cernajuga ikut membengkak dan berdarah serta akhirnya mati karena tidak bisa makan dan kehilangan darah(31). Alimentary Toxic Aleukia (ATA) menyerang segala umur, akan tetapi pada anak-anak gejalanya lebih hebat; demikian juga pada keadaan gizi yang jelek. Gejalanya diawali dengan perasaan panas seperti terbakar di dalam rongga mulut, lidah, tenggorokan, esofagus dari lambung. Kemudian lidah tampak membengkak, merah dan kaku. Selanjutnya merasa mual, muntah-muntah dan mencret. Jikalau tetap makan makanan yang tercemar, maka gejalanya makin muskil dan disertai sakit perut, hipersalivasi, sakit kepala, pusing dan kelemahan umum. Perubahan gambaran darah sama seperti pada kuda dan sumsum tulangnya aus. Kadang-kadang disertai perdarahan di kulit dan mukosa saluran cerna atau juga nekrosa dan ulserosa pada bibir, gusi, kerongkongan dan tenggorokan(19). Ochratoxin A dan Nephropathia Ochratoxin A adalah toksik metabolit berasal dari Aspergillus ochraceus dan sering mencemari berbagai macam biji-bijian, palawija, kjeju dan sebagainya. Semula dikira, toksin ini hanya dihasilkan oleh A. ochraceus saja, tetapi kemudian diketahui bahwa jenis kapang lain juga memprodusir toksin yang sama seperti umpamanya A. melieus, A. sulpherus, A. alliaceus dan Penicillium viridicatum. Di Denmark, ochratoxin A yang mencemari makanan ternak babi sering mengakibatkan porcine nephropathy. Gejalanya gizi nampak jelek dan lamban pertumbuhannya. Pada otopsi, ginjal berwarna coklat kelabu dan pada bidang sayatan tampak bercakbercak tanda parut di bagian korteks. Pada pemeriksaan mikroskopis, bagian tubuli proksimalis mengalami degenerasi dan proliferasi jaringan ikat di daerah interstisial tubuli, sehingga banyak tubuli yang mengalami atrofi dan bahkan juga menghilang. Pada kasus yang kronis dan muskil, membrana basalis glomeruli tampak menebal dan glomeruli skierotis. Tidakjarang di bagian korteks ditemukan gelembung-gelembung kista. Demikian pula pada manusia yang sering makan makanan yang
berjamur, umpamanya keju, sering mengalami gangguan ginjal dan dinamakan Balkan Nephropathia(32). Islanditoxin dan Cardiac Ben-ben Sesudah perang Dunia Kedua, Jepang menerima banyak bantuan beras dari luar negeri. Sebagian besar berasnya berwarna kuning, oleh karena itu disebut Yellow Rice Disease. Beras demikian bila dimakan sering mengakibatkan gejala penyakit cardiac beri-beri. Tsunoda pada tahun 1948 berhasil mengisolasi kapang pencemarnya, yakni Penicillium islandicum. Jikalau beras kuning ini diberikan pada tikus percobaan, maka dalam satu bulan sebagian besar hewan mengalami radang hati. Dalam waktu 2 bulan sebagian lagi terjadi sirosis hati. Bila diteruskan sampai 4 bulan, maka sebagian besar tikus akan mengidap kanker hati(33,34). Di samping menghasilkan islanditoksin, P. islandicum juga mengeluarkan metabolit luteoskynin. Kedua mikotoksin ini bersifat hepatotoksik dan hepatokarsinogenik. Islanditoksin kirakira 10 kali lebih poten dan pada luteoskyrin dan kekuatan daya racun islanditoksin setara dengan aflatoksin B1. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN Rekomendasi hasil konferensi gabungan antara FAO, WHO dan UNDP menekankan bahwa negara-negara berkembang, terutama yang terletak di daerah tropis, supaya menaruh lebih banyak perhatian terutama pada 7 macam mikotoksin yang dianggap sangat relevan dan potensial serta perlu ditangani secepat mungkin. Ke-7 mikotoksin itu adalah 1. Aflatoksin, 2. Zearalenon, 3. Ochratoxin A, 4. Citninin, 5. Trichotecenes, 6. Patulin dan 7. Penicillic acid. Di Indonesia penlu segera dimulai dengan penelitian dan pencegahan terhadap tiga macam mikotoksin yang pertama karena ketiga mikotoksin ini mungkin merupakan faktor-faktor yang berperan penting dalam beberapa kejadian penyakit yang akhir-akhir ini terus meningkat, umpamanya: 1) Aflatoksin sudah dibuktikan dapat mengakibatkan radang hati, sirosis dan kanker hati baik pada hewan maupun pada manusia. Zearalenon adalah metabolit asal Fusarium graminearum dan bersifat estrogenik serta sering mencemari bahan makanan ternak, terutama jagung. Keracunan toksin ini akan mengakibatkan hiperestrogenism pada yang betina dan feminism pada yang jantan. Sekarang jikalau umpamanya daging, susu, telor atau bahan makanan olah lain yang mengandung residu zearalenon termakan oleh orang sejak bayi sampai dewasa mungkin secara kumulatif mengakibatkan kelainan gangguan tumbuh kembang seperti yang terlihat pada hewan ternak. Pengamatan sehari-hari di masyarakat memberikan kesan bahwa sebagian anak-anak dan remaja terutama golongan kelas menengah ke atas yang tinggal di kota-kota besar, umpamanya di Jakarta, yang gemar mengkonsumsi makanan fastfood ala Barat bukan saja secara fisik tampak over weight/obesitas, tetapi juga membenikan kesan berperilaku tomboy pada yang wanita dan gay pada yang laki-laki. Kasus ginekomastia pada anak laki-laki sekarang lebih sering terlihat pada yang obesitas dibandingkan dua dekade yang lalu(35). Ochratoxin A. Kejadian gangguan dan gagal ginjal akhir-akhir ini sering dikatakan makin mening-
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
9
kat; oleh para pakar biasanya dikaitkan dengan penyakit kardiovaskuler, konsumsi garam yang berlebihan, perilaku hidup modern, perubahan pola makanan dan sebagainya. Akan tetapi belum ada pakar yang mengaitkan gangguan dari gagal ginjal dengan keracunan ochratoxin A. Toksin ini terutama berasal dari metabolit Aspergillus ochraceus, akan tetapi juga dapat oleh kapang lain antara lain Penicillium viricadtum. Contoh yang konkrit di Eropa yang disebut Porcine nephropathy pada ternak babi dan Balkan nephropathy pada manusia sudah dibuktikan ada kaitan erat dengan makanan yang tercemar ochratoxin A(32). Oleh sebab itu perlu dipertanyakan apakah kasus gangguan dan gagal ginjal ada hubungannya dengan pencemaran makanan oleh kapang yang menghasilkan ochratoxin A. Dari tiga contoh mikotoksikosis tersebut kiranya sudah saatnya para pakar kesehatan dan pemerintah menaruh perhatian yang lebih serius dan mengambil langkah-langkah yang lebih konkrit, karenahal ini dalam jangka panjang akan mengakibatkan turunnya kualitas dan produktifitas sumberdaya manusia (SDM). Seperti diketahui ke tiga penyakit itu biasanya timbul pada golongan usia 30–45 tahun yang merupakan golongan SDM yang potensial, produktif dan berpengalaman serta yang sangat dibutuhkan tenaga dan pikirannya oleh negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Hal lain yang menjadikan penyakit keracunan mikotoksin sangat relevan di Indonesia adalah karena negara kita ini termasuk beriklim tropis dengan kelembaban dari suhu lingkungan sangat mendukung bagi tumbuh kembangnya kapang. Faktorfaktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa cara penanganan, pengelolaan dan penyimpanan hasil komoditi pertanian pasca panen dari berbagai jenis bahan makanan masih sering secara tradisional, sembarangan dan kurang higienis. Bila para peneliti bidang kesehatan dan kedokteran mau mencurahkan waktu dan tenaga untuk meneliti beberapa mikotoksin, niscaya beberapa penyakit yang dahulunya tidak diketahui etiologinya, baik pada manusia maupun hewan, mungkin sekali disebabkan oleh mikotoksin, apalagi kalau penyakit-penyakit itu tidak memberikan respon sama sekali, baik terhadap vaksinasi (vaccinefailure) maupun segala bentuk pengobatan (drugfailure). Di samping itu ciri-ciri khas lain adalah tidak infeksius dan kontagius, menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin. Semua penyakit akibat keracunan mikotoksin tidak menimbulkan kekebalan dan hanya dapat disembuhkan bila makanan yang tercemar dapat disingkirkan.
5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
KEPUSTAKAAN 29. 1. 2. 3. 4.
10
Pang RTL, Poerwokoesoemo SH, Karyadi D. Aflatoxin and primary cancer of liver in man. A study on 9 cases. Paper presented at the 4th Asian Pacific Congress of Gastroenterology. 5–12 February, 1972. Pang RTL, Karyadi D. Aflatoxin and primary hepatic cancer in Indonesia. Paper presented at the V World Congress of Gastroenterology. Mexico 13– 19 October, 1974. Pang RTL. Aflatoksin dalam epidemiologi karsinoma hati primer. Kertas kerja yang disajikan pada Simposium Nasional Kanker Saluran Makanan, Jakarta, 24–26 Nopember 1977. Tambunan W. Tumor di bagian Ilmu Bedan Fakultas Kedokteran Univer sitas Indonesia. Madjalah Kedokteran Indonesia 1970; 4: 144.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
30. 31. 32. 33.
Saleh M, Heyder. Laporan pendahuluan. Penderita carcinoma hati primer. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang, 1970. Adenan H, Tsuboi S, Kawamura K, Cruz ML, Soeliadi, Hw., H. Suhaito. Peranan aflatoksin 81 pada KHS (Karsinoma hepatoseluler). Makalah dipresentasikan pada Kongres Nasional PPHI, PGI, PEGI, Palembang, 1–3 Agustus 1985. Karyadi, Muhilal D, Prawiranegara D. Hubungan antara Aflatoxin dengan PrimazyCarcinomaHati, KumpulanTjeramah KOPAPDI-1. 1971 ;298 Muhilal. Hubungan aflatoxin dengan carcinoma hati. Cermin Dunia Ke dokt 1979; 15: 16–20. Hardjosworo P. Personal Communication, 1977. Ginting N. Sumber dan pengaruh aflatoksin terhadap pertumbuhan dan performa lain broiler. Disertasi Universitas Padjadjaran. Bandung, 1988. Budiarso IT, Pang RTL, Husaini. Uji kepekaan Bebek Karawang sebagai hewan percobaan untuk bioessai Aflatoksin. Cermin Dunia Kedokt 1991; 68: 29–32. Tim Unit Gizi Diponegoro, Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta.: Deteksi Residu Aflatoxin dan Zearalenone dalam Air Susu Ibu, Air Susu Sapi, Hati Dewan Potong dan Bahan Makanan Pokok di Jakarta. (unpublished data, 1992). Stortz D. Personal communication, 1987. Forgac J, Call WT. Mycotoxicoses, Adv. Vet. Sci. 1962; 7: 273–382. Hesseltine CW. A millennium of fungi, food, and fermentation. Mycologia 1965; 57: 149–97. Wilson BJ. Fungal toxins. Nat. Acad. Scj. 1966; 126–145. Wright DE. Toxins produced by fungi. Ann. Rev. Microbiol. 1968; 22: 269–82. Ciegler A, Lillehoj EB. Mycotoxins. Adv. in AppI. Microbiol. 1968; 10: 155–218. Joffee AZ. Toxicity of Fusarium poae and F. Sporotrichiodies and its relation to alimentary toxic aleukia. Pada buku Mycotoxins. Ed. 1.F.H. Purchase. Elsevier Sci. Pub. Co., New York, 1974. hal. 229–62. Nesbitt BF, L’kelly J, Sargeant K, Sheridan A. Toxic metabolistes of Aspergillus flavus. Nature 1962; 195: 1063. Burfening PJ. Ergotism. JAMA 1973; 263: 1288–1290. Litner LD. Diagnosis of mold poisoning in food producing animals in Missouri. Proc. Symposium on Mycotoxins and Mycotoxicosis. 1972; 97–99. Joffee AZ. Fusarium Species : their biology and toxicology. New York: John Wiley. 1986. Keen PP, Martin P. Is aflatoxin carcinogenic in man? The evidence in Swalizand. Trop Geog. Med. 1971; 23: 44–53. Alpert NF, Hutt MSR, Wogan BN, Davidson US. Association between aflatoxin content of food and hepatoma frequency in Uganda, Cancer 1971; 28: 253–60. Van Resburg SJ, Van Der Watt JJ, Purchase IFH, Pereira Countinho L, Markam R. Primary liver cancer rate and aflatoxin intake in a high cancer area. South Afr. Med. J. 1974; 48: 2508a–2508d. Shank RC, Bhamarapravati N, Gordon JE, Wogan ON. Dietary aflatoxin and hu’man liver cancer. IV. Incidence primary liver cancer in two munica pal populations of Thailand. Food. Cosmet. Toxicol. 1972; 10: 17 1–179. Shank RC, Bourgeois CH, Keschamras N, Chadavimol P. Aflatoxin in autopsy specimens from Thai children with an acute disease of unknown aetiology. Food. Cosmet. Toxicol. 1971; 9: 501–07. Bourgeois CH, Shank RC, Grosman RA, Johnson DO, Woodhng WL, Chamdovimol P. Acute aflatoxin B 1 toxicity in the macaque and its similarity to Reye’s syndrome. Lab. Invest 1971; 24: 206–215. ForgacJ. Stachybotrytoxicosis, padabuku Microbial Toxins, Vol. VIII. Ed. S. Kadis, A. Ciegler, and J. Aji. New York: Academic Press 1972, hal. 95–128. Rodrieks JV, Eppley RM. Stachybotrys and stachybotrytoxicosis. In Mycotoxins. Purchase IFH. (ad). Amsterdam: Elsevier 1974; pp. 181–98. Elling F, Moller T. Mycotoxic nephropathy in pigs. Bull. WHO 1973; 49: 411–18. Miyake M, Saito M. Liver injury and liver tumors induced by toxins of Penicillium islandicium Sopp. growing on yellowed rice. Hal. 133–146,
pada buku Mycotoxins in foodsuffs. Ed. G.N. Wogan. The MIT Press, 1965. 34. Uraguchi K. Introduction in toxicology, biochemistry and pathology of mycotoxins. (Uraguchi, K. Yamasaki, M. Ed.) New York: John Wiley 1978; PP. 3–8. 35. Sutan Assin. Personal communication.
36. Krishnamachari KAVR, Bhat RV, Nagarajauh V, Tilak TBG. Hepatitis due to aflatoxicosis. Lancet 1975; 1: 1061–63. 37. Higginson J. Hepatopathies of nutritional origin, cirrhosis and primary carcinoma of the liver on a geographical basis. Sa 11111970. p. 4–6. 38. Joint FAO, WHO, UNDP Conf. on Mycot Kenyatta Conf. Center, Nairobi, Kenya, 19–27 September, 1977.
English Summary (Sambungan dari hal 4) sequently will have their effects on the Se content of the soil and plants and may cause subacute or chronic selenosis In caffle and humans. The uptake of Se, its biochemistry, pharmacology, clinical aspects and the histo pathology of Se intoxication are discussed.
water; there are five activities to be done: to determine the sampling area, to choose the sampling technique,the pretreatment and the measurement method and to evaluate the level of Pb pollution according to the Kep-2/Men KLH/l/1988 on environmental pollution standard.
Cermin Dunia Kedokt. 1995, 103: 22-6 Ssz
Cermin Dunia Kedokt. 1995; 103: 35-8 S, Dm
METHOD TO DETERMINE LEAD RIVER POLLUTION LEVEL
ESTIMATION OF TRITIUM (HTO) CONTRIBUTION ON THE WHOLE BODY DOSE OF WORKERS IN REACTOR ROOM
Suharmiati*, D. Mutiatikum** * Health Service Research and Development Centre, Department of Health, Surabaya. Indonesia ** Pharmacies Research and Development Centre. Department of Health. Surabaya. Indonesia
This article describes the tech nique of heavy metal lead (Pb) pollution measurement in river
Abdul Wa’id,Bunawas,Bambang Priwanto
type have probility to be internally contaminated by tritium through lung and skin following release of tritiated water vapour (HTO). Internal contamination level of tritium depends on body height and weight. Based on the model of tritium metabolism inside the body, it can be shown that the estimatsd equivalent dose committed to soft tissues of PRSG workers are about 0.56 0.73mSv/yr for WR (quality factor of β radiation for tritium) = 1 and 1.12 - 1.46 mSv/yr for WR = 2 and tritium concentration in air of 11751 Bq/m3. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 103: 42–6 Aw, B ,Bp
National Atomic Energy Board. Jakarta. Indonesia
Radiation workers working near nuclear reactor with primary cooling system of poolwater
Conversation enriches the understanding, but solitude is the school of genius (Gibbon)
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
11
HASIL PENELITIAN
Pemeriksaan Cemaran Aspergilus pada Tempe Akmal Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pen getahuan A lam, Universitas Andalas, Padang
ABSTRAK Telah dilakukan pemeriksaan cemaran Aspergillusfiavus pada beberapa jenis tempe yang dijual di Pasar Raya Padang dengan metode mikrokultur. Sampel diambil secara acak pada berbagai tempat penjualan pada pagi dan sore hari, terdiri dari lima jenis; masing-masing ,jenis diambil empat sampel. Hasil percobaan menunjukkan bahwa dari 40 sampel yang diperiksa, ternyata empat sampel di antaranya telah tercemar dengan Aspergillus flavus dengan perincian: tiga sampel dan kelompok yang diambil pagi hari dan satu sampel dan kelompok yang diambil sore hari. Sedangkan berdasarkan jenisnya, dari empat sampel yang tercemar dua sampel berasal dari tempe jenis-1 dan masing-masing satu sampel dan jenis-4 dan 5.
PENDAHULUAN Aflatoksin adalah racun yang dihasilkan oleh jamur jenis Aspergillus dan Penicillium tertentu, mempunyai sifat racun yang sangat berbahaya yaitu kerusakan hati (hepatotoksik) dan dapat menyebabkan kanker hati(1,2,3). Pada umumnya bahan makanan seperti kacang-kacangan, gandum, singkong, kentang, susu dan keju cenderung tercemar oleh jamur penghasil aflatoksin(4). Tempe yang merupakan produk fermentasi kacang kedelai, termasuk makanan olahan jenis kacang-kacangan yang banyak digemari oleh masyarakat, terutama dari golongan ekonomi lemah karena harganya yang relatif murah, di samping nilai gizinya yang tinggi(5,6). Oleh karena itu tempe yang dijual di pasaran, hendaknya terjamin mutunya terutama kebersihan dan keamanannya yakni bebas dari bahan-bahan yang dapat menyebabkan keracunan. Dewasa ini proses pembuatan tempe masih dilakukan secara tradisional menggunakan peralatan dan teknik yang sangat sederhana. Oleh karena itu selama proses produksi, penyimpanan dan transportasinya, tempe dapat tercemar dan ditumbuhi oleh jamur jenis Aspergillus dan Penicillium(5,7,8).
12
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
Mengingat besarnya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tercemarnya bahan makanan ini oleh jamur penghasil aflatoksin, maka pada penelitian ini telah diperiksa kemungkinan adanya cemaran Aspergillusfiavus berbagai jenis tempe yang dijual di Pasar Raya Padang. Pemeriksaan dilakukan dengan metode mikrokültur atau slide culture menurut Samson RA(9,10). METODE PENELITIAN 1) Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi: mikroskop, inkubator, oven, otokiaf, blender; cawan petri, kaca obyek, kaca penutup, jarum ose (sengkelit), gelas ukur, labu Erlenmeyer, gelas piala, timbangan analitis dan alat-alat lain yang umum digunakan di laboratorium kimia farmasilmikrobiologi. Bahan yang digunakan antara lain, tempe yang diproduksi oleh berbagai produsen yang dibeli secara acak di Pasar Raya Padang, Aspergillus flavus NRLL 1957 (pembanding), media perbenihan Potato Dextrose Agar (PDA), larutan laktofenol, air suling steril dan bahan-bahan lain yang umum digunakan di laboratorium kimia farmasi/mikrobiologi.
2) Percobaan a) Pembiakan Sampel Uji Sebanyak 200 gram sampel tempe diblender halus dan dibuat suspensi dengan konsentrasi 10-2 dan 10-3 dalam air suling steril. Sebanyak 0,5 ml dari masing-masing suspensi disemaikan pada permukaan medium potato dextrose agar yang telah memadat dalam cawan petni (pada medium ditambahkan kloramfenikol 100 mg/ml), kemudian diinkubasi pada suhu 20°–25°C selama 5–7 hari. b) Identifikasi Aspergillusfiavus Sebanyak 20 ml medium potato dextrose agar dituangkan ke dalam cawan petri. Setelah memadat lalu diiris dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm (balok agar). Tiap balok agar diletakkan pada kaca obyek di dalam cawan petri di atas batang gelas berbentuk segitiga dengan alas kertas saring yang dibasahi dengan beberapa tetes air suling steril. Dengan menggunakan jarum ose runcing, satu koloni spora jamur diinokulasikan pada setiap sisi balok agar, di atas kaca obyek dan ditutup dengan kaca penutup; kemudian cawan petri ditutup dan diinkubasi pada suhu 20°–25°C selama 5–7 hari. Semua pekerjaan inokulasi dilakukan di dalam lemari steril. Setelah jamur bersporulasi, maka konidia dan konidiofora akan menempel pada kaca penutup dan kaca obyek. Kemudian disiapkan satu kaca obyek bersih lalu ditetesi dengan larutan laktofenol, selanjutnya kaca penutup yang telah mengandung sporulasi diletakkan pada kaca obyek tersebut. Diamati di bawah mikroskop, jamur A. flavus mempunyai konidia berwarna hijau kekuningan dan sangat cerah dengan ciriciri sebagai berikut : bentuk bulat dengan permukaan bergerigi, stenigmata uniseriat dengan fialida berbentuk botol atau biseriat dengan fialida dan metula, konidiofora bergerigi dan tidak berwarna. Untuk memastikan adanya A. flavus dapat dibandingkan dengan A. flavus NRLL 1957 standar, yang diperlakukan sama dengan sampel uji. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada percobaan ini, pengambilan sampel tempe dilakukan secara acak di berbagai tempat penjualan di Pasar Raya Padang. Sampel diambil dua kali, yaitu pagi dan sore hari dengan tujuan untuk melihat pengaruh Iamanya waktu tempe dijajakan di pasar terhadap peningkatan jumlah cemaran Aspergillus flavus. Dari survai yang telah dilakukan di Pasar Raya Padang, ternyata ada lima jenis tempe yang dijual, perbedaannya terletak pada bentuk dan pembungkusnya (kemasan). Dari lima jenis tersebut, masing-masing diambil empat sampel di tempat penjualan yang berbeda, baik pada pagi hari maupun sore hari. Secara keseluruhan jumlah sampel yang diperiksa adalah 40 buah. Pada Tabel 1 dan Tabel 2, terlihat bahwa dari 40 sampel yang diperiksa, ternyata empat sampel (10%) telah tercemar jamur A. flavus dengan perincian : tiga sampel berasal dari kelompok yang diambil pada pagi hari dan satu sampel berasal dari kelompok yang diambil sore hari. Secara teonitis sampelsampel yang diambil sore hari akan lebih banyak tercemar dibandingkan dengan sampel yang diambil pagi hari, namun pada percobaan ini diperoleh hasil sebaliknya; mungkin karena
sebagian tempe yang dijual pagi hari berasal dari tempe-tempe yang tidak terjuai pada siang dan sore hari kemarinnya. Tabel 1.
No 1 2 3 4 5
Hasil Pemeriksaan Cemaran Aspergilus flavus pada Tempe yang Dijual di Pasar Raya Padang Jenis Tempe Jenis-1 Jenis-2 Jenis-3 Jenis-4 Jenis-5
Jumlah Sampel 8 8 8 8 8
Jumlah Positif A. flavus 2 0 0 1 1
Jumlah Negatif A. flavus 6 8 8 7 7
Jumlah
40
4
36
Keterangan: Jenis-1 : Bentuk bulat panjang, dilapisi daun pisang Jenis-2 : Bentuk segiempat, dibungkus dengan plastik Jenis-3 : Bentuk pipih, dibungkus dengan daun pisang Jenis-4 : Bentuk segiempat, dibungkus dengan daun pisang Jenis-5 : Bentuk .segiempat, ujung lonjong, bagian atas dan bawahnya dilapisi daun pisang Tabel 2.
Hasil Pemeriksaan Cemaran Aspergilus flavus pada Tempe yang Dijual di Pasar Raya Padang Berdasarkan Waktu Pengambilan Sampel Pagi
Sore
No
Jenis Tempe
Jumlah Sampel
ε (+)
ε (–)
ε (+)
ε (–)
1 2 3 4 5
Jenis-1 Jenis-2 Jenis-3 Jenis-4 Jenis-5
8 8 8 8 8
2 0 0 0 1
2 4 4 4 3
0 0 0 1 0
4 4 4 3 4
Jumlah
40
3
17
1
19
Keterangan. Pagi : Pukul 08.00 – 09.00 WIB Sore : Pukul 16.00 – 17.00 WIB ε (+) : Jumlah sampel yang tercemar A. flavus ε (–) : Jumlah sampel tidak tercemar A. flavus
Berdasarkan jenisnya, ternyata tempe dengan bentuk bulat panjang yang dilapisi daun pisang, lebih banyak tercemar A. flavus dibandingkan jenis lainnya, sedangkan tempe bentuk segi empat yang dibungkus plastik dan tempe bentuk pipih yang dibungkus daun pisang, tidak tercemar sama sekali. Bila diperhatikan, pada ketiga jenis tempe yang tercemar tersebut terlihat bahwa pembungkusnya tidak menutupi seluruh permukaan tempe sehingga kemungkinan tercemar akan lebih besar, sedangkan pada dua jenis lainnya yang tidak terceman ternyata seluruh permukaan tempe ditutupi dengan plastik atau dengan daun pisang. Berdasarkan kenyataan di atas, sebaiknya bila membeli tempe di pasar hendaklah dipilih dari jenis yang seluruh permukaannya ditutup dengan kemasannya. Dengan demikian, masyarakat akan terhindar dari bahaya yang dapat timbul akibat toksin A. flavus yang sangat berbahaya tersebut. Di samping itu penlu dilakukan penyuluhan dan pembinaan kepada produsen dan pedagangnya, agar memperhatikan masalah kebersihan dalam proses pembuatan, penyimpanan dan distribusi tempe, mengingat banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi tempe dalam
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
13
2.
makanan sehari-harinya. KESIMPULAN DAN SARAN 1) Tempe yang dijual di Pasar Raya Padang, sebagian kecil telah tercemar oleh Aspergillus flavus. 2) Dari 40 sampel yang diperiksa, empat di antaranya tercemar dengan A. flavus dengan perincian: tiga sampel dari kelompok yang diambil pada pagi hari dan satu sampel dan kelompok yang diambil sore hari. 3) Berdasarkan jenis tempe yang diperiksa, dari keempat sampel yang tercemar, dua sampel berasal dari tempe jenis-I dan masing-masing satu sampel berasal dari tempe jenis-4 dan jenis-5. Disarankan untuk melanjutkan penelitian ini dengan menentukan jenis aflatoksin yang dihasilkan oleh A. flavus pencemar, dengan metode kromatografi lapis tipis menggunakan pembanding aflatoksin standar. KEPUSTAKAAN 1.
Donatus IA, Makhfoed D. Toksin Pangan, Pusat Antar Universitas Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1992.
Doull J, Cassaret C.J. Toxicology: Basic Sciences of Poison. New York, Toronto: MacMillan Pubi. Co. Inc. 1975. 3. Garnet RC. Carcinogenesis by Fungal Product, Br Med Bull 1980; 36(1): 47–52. 4. Muhilal RD. Pengaruh Penyimpanan Kacang Tanab di Rumah Tangga terhadap kandungan Aflatoksin, Laporan Penelitian Gizi dan Makanan 1982; 1:93–100. 5. Kasmidjo RB. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1990; hal. 5-30. 6. Sumarno. Uji Kandungan Aflatoksin dalam Bahan Makanan Asal Kacang Tanah yang Bercdar di DIY Yogyakarta dan Jawa Tengah, dalam Kajian Kimiawi Pangan 11, PusatAntarUniversitas Universitas Teknologi Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Macla, Yogyakarta 1992. 7. Mureau C. Moulds, Toxin andFood, 2nd. ccl. Chichester, New York: John Wiley & Sons 1989; 63–143. 8. Wilson BJ, Hayes AW. Toxicant Occuring Naturally in Food and Nutrition Board, National Research Council, USA, 2nd. ed., National Academy of Sciences, Washington. 1973. 9. SiregarC et al. Identifikasi Aflatoksin SecaraMikrobiologi pada Beberapa Simplisia, Phyto Medica 1990; 1(3): 200–9. 10. Hitoko. Fungal Contamination and Mycotoxin Detection of Powdeimi Herbal Drugs, J. AppI. Environ. Microb. 1978; 36: 352–56. 11. RaperKB, Fennel! DI. The Genus Aspergillus, Robert E. Krieger Publ. Co., Malabar, Florida. 1988; 357–405.
Earnestness is the enthusiasm tempered by reason (Pascal)
14
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
HASIL PENELITIAN
Residu Antibiotika dalam Air Susu Sapi dan Peternakan di Jakarta Pudji Lastari, Janahar Murad Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian residu antibiotika dalam air susu sapi sebanyak 120 sampel yang berasal dari 10 peternakan sapi perah di Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan tiap bulan, tiap peternakan diambil 2 sampel dan dilakukan selama 6 bulan berturut-turut. Dari 120 sampel yang diperiksa 27 sampel (22,5%) di antaranya mengandung residu antibiotika yang terdiri dari 5 sampel (4,2%) golongan penisilina, 6 sampel (5,0%) golongan tetrasiklina, 9 sampel (7,5%) golongan aminoglikosida dan 7 sampel (5,8%) golongan makrolida.
PENDAHULUAN Residu antibiotika dalam makanan/minuman kemungkinan merupakan salah satu faktor penyebab resistensi kuman terhadap antibiotika(1). Antibiotika dalam bidang peternakan digunakan untuk tujuan pencegahan dan pengobatan penyakit. Pada sapi perah antibiotika sering digunakan, terutama pada pengobatan mastitis(2). Antibiotika yang sering digunakan dalam peternakan antara lain golongan Penisilina (Prokain Penisilina G, Kalium Penisilina G), golongan Tetrasiklina (Tetrasiklina, Oksitetrasiklina, Klortetrasiklina), golongan Aminoglikosida (Gentamisina Sulfat, Neomisina, Dihidrostreptomisina Sulfat) dan golongan Makrolida (Eritromisina, Tilosina). Residu antibiotika dalam hasil ternak harus dihindarkan, untuk itu ada peraturan perundang-undangan késehatan hewan yang antara lain menyatakan, bahwa dalam hal pemakaian antibiotika pada ternak, hasil ternak baru boleh dikonsumsi oleh
manusia setelah melewati waktu henti (withdrawal time)(3,4). Lamanya waktu henti tergantung dari jenis antibiotika, cara pemberian jenis ternak dan hasil ternak yang dikonsumsi; misal Prokain Penisilina G diberikan secara injeksi pada sapi, bila yang dikonsumsi dagingnya, waktu hentinya 5 hari, sedangkan bila yang dikonsumsi air susunya, waktu hentinya 3 hari. Para peternak mungkin menjual air susu sapi hasil perahannya sebelum melampaui waktu henti karena ketidaktahuan, alasan ekonomi atau alasan lain yang perlu diteliti. Adanya residu antibiotika dalam hasil ternak dapat menimbulkan masalah kesehatan, terutama kemungkinan timbulnya resistensi dari beberapa bakteri dan reaksi alergi pada orang-orang yang sangat peka terhadap antibiotika tertentu, seperti peka terhadap penisilina(2). Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran mengenai residu antibiotika dalam air susu sapi yang berasal dari peternak sapi perah di DKI Jakarta.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
15
BAHAN DAN CARA Bahan 1) Sampel adalah air susu sapi yang diambil dari 10 peternakan sapi perah di DKI Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan tiap bulan, dan tiap peternakan diambil 2 sampel dan dilakukan selama 6 bulan berturut-turut. 2) Media yang digunakan: – Broth media, pH 7,9 – 8,0 – Assay agar, pH 6,9 – 7,0 – NV-4, pH 6,5 – NV-8, pH 8,0 – NV-10,pH5,8 3) Bakteri uji yang digunakan: – Bacillus stearothermophillus var calidolactis C.953 NIZO – Spora dan Bacillus cereus ATCC 11778 – Spora dan Bacillus subtilis ATCC 6633 – Micrococcus luteus ATCC 9247 4) Larutan dapar fosfat pH 6,0 ± 0,05 5) Baku pembanding penisilina 6) Penisilinase 7) Air susu sapi bebas residu antibiotika sebagai kontrol 8) Silinder besi tahan karat dengan garis tengah luar 8 ± 0,1 mm, garis tengah dalam 6 ± 0,1 mm dan tinggi 10 ± 0,1 mm. 9) Cawan petri dengan garis tengah 90 mm Cara Pengujian a) Penetapan ada tidaknya hambatan pertumbuhan jasad renik. – Di atas cawan petri yang telah diisi media assay agar dari bakteri uji Bacillus stearothermophillus var calidolactis C.953 NIZO diletakkan silinder yang berisi sampel dan silinder lain berisi air susu bebas residu antibiotika (kontrol) – Inkubasikan pada suhu 52° – 55°C selama 20–24 jam – Ukur daerah hambatan dengan menggunakan pembaca zone hardened stainless atau alat lain yang cocok – Sampel yang menghambat pertumbuhan jasad renik dilan jutkan pemeriksaannya dengan identifikasi residu antibiotika. b) Identifikasi terhadap adanya residu antibiotika golongan penisilina. – Di atas cawan petri yang telah benisi media assay agar dari bakteri uji Bacillus stearothermophillus var calidolactis C.953 NIZO diletakkan silinder yang berisi sampel dan penisilinase dan silinder lain berisi air susu bebas residu antibiotika (kontrol) – Inkubasikan pada suhu 52°–55°C selama 20–24 jam – Ukur daerah hambatan – Jika di sekitar daerah inokulasi sampel tidak terlihat hambatan, maka sampel dinyatakan mengandung antibiotika golongan penisilina – Sensitifitas metoda ini untuk penisilina = 0,005 UI – Jika di sekitar daerah inokulasi sampel terlihat hambatan pertumbuhan jasad renik, maka sampel kemungkinan mengandung residu antibiotika selain golongan penisilina – Selanjutnya dilakukan uji identifikasi terhadap residu anti biotika selain golongan penisilina. c) Identifikasi terhadap adanya residu antibiotika golongan tetrasiklina aminoglikosida dan makrolida. – Larutkan media NV-4, NV-8 dan NV-b pada suhu 100°C,
16
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
kemudian dinginkan sampai suhu 56°C – Inokulasikan masing-masing media: – Media NV-10 dengan Bacillus cereus ATCC 11778 – Media NV-8 dengan Bacillus subtilis ATCC 6633 – Media NV-4 dengan Micrococcus luteus ATCC 9341 – Media NV-8 dengan Micrococcus luteus ATCC 9341 – Masukkan media yang sudah diinokulasi tersebut sebanyak 25 ml pada setiap cawan petri, biankan media tersebut dingin – Letakkan silinder yang berisi sampel dan silinder lain berisi air susu bebas residu antibiotika di atas media – Inkubasikan pada suhu 36°–37°C selama 20–24 jam – Ukur daerah hambatan – Golongan antibiotika dapat diketahui berdasankan besarnya daerah hambatan, strain bakteri dan media yang digunakan.
HASIL 1) Penetapan ada tidaknya hambatan pertumbuhan jasad renik Tabel 1.
Jumlah sampel yang memberikan hambatan pertumbuhan jasad renik selama 6 bulan Bulan
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam Jumlah
Jumlah Sampel 20 20 20 20 20 20 120
Hambatan (+) (-) 0 20 6 14 5 15 6 14 7 13 3 17 27 93
Dari 120 sampel yang diperiksa, 27 sampel (22,5%) terlihat memberikan hambatan pertumbuhan jasad renik. Pada Tabel 1 terlihat, bahwa bulan pertama pengambilan sampel tidak terlihat adanya daerah hambatan pertumbuhan
jasad renik oleh sampel, sedangkan pada bulan kelima terlihat 7 sampel yang memberikan hambatan pertumbuhan jasad renik. 2) Identifikasi residu antibiotika pada sampel yang terlihat memberikan hambatan pertumbuhan jasad renik
masing ditemukan satu kali dalam air susu sapinya mengandung residu antibiotika. Sedang peternak I dan IV selama 6 kali sampling, 4 kali ditemukan residu antibiotika dalam air susu sapinya.
Tabel 2.
PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dalam skala kecil, bertujuan untuk mendapatkan gambaran ada-tidaknya residu antibiotika dalam air susu sapi yang diperoleh dari beberapa peternakan sapi perah di DKI Jakarta. Dari 120 sampel air susu sapi yang diperiksa, terdapat 27 sampel (22,5%) yang mengandung residu antibiotika dan golongan penisilina, tetrasiklina, aminoglikosida, dan makrolida. Hal ini menunjukkan masih adanya peternak yang menjual air susu sapinya sebelum waktu henti terlampaui. Para peternak menjual air susu sapi sebelum melampaui waktu henti mungkin karena ketidaktahuan, karena alasan ekonomi atau alasan lain yang perlu penelitian tersendiri. Dari 27 sampel yang mengandung residu antibiotika, 18,52% golongan penisilina, 22,22% golongan tetrasiklina, 33,33% golongan aminoglikosida dan 25,92% golongan makrolida. Ternyata tidak ada kecenderungan para peternak menggunakan antibiotika golongan tertentu saja, tetapi antibiotika golongan yang sama digunakan pada bulan-bulan tertentu. Hal ini sesuai dengan pola penyakit ternak pada bulan-bulan tertentu dan sesuai dengan program kesehatan hewan di DKI Jakarta pada saat itu. Dari 10 peternakan yang diambil sampelnya setiap bulan selama 6 bulan, semua peternakan pernah menjual air susu sapi yang mengandung residu antibiotika.
Hasil identifikasi sainpel yang memberikan hambatan pertumbuhan jasad renik
Bulan
Hambatan
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam Jumlah
0 6 5 6 7 3 27
Golongan Penisilina Tetrasiklina Aminoglikosida Makrolida 0 0 0 0 1 0 5 0 0 0 0 5 4 1 1 0 0 3 3 1 0 2 0 1 5 6 9 7 (18,5%) (22,2%) (33,3%) (25,9%)
Pada Tabel 2 terlihat, bahwa pada bulan pertama pengambilan sampel tidak ditemukan adanya residu antibiotika, sedangkan pada bulan ke lima ditemukan 7 sampel yang mengandung residu antibiotika yang terdiri dari 3 golongan tetrasiklina, 3 golongan aminoglikosida dan 1 golongan makrolida. Tabel 3.
Hasil identifikasi residu antibiotika dalam air susu sapi dan 10 peternak DKI Jakarta selama 6 bulan, dan Juli sampal dengan Desember 1987
Peternak Sampel I II 111 IV V VI VII VIII IX X
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 II 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Bulan Juli Agustus September Oktober Nopember Desember – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
– +A +A – – +P +A +A – – – – – – – +A – – – –
+M +M – – +M – +M – +M – – – – – – – – – – –
– – – – +P – +P +P – +P – – – – – – +T – – +A
+T – – – – – – – – – +T +T +A +A +A +M – – – –
– +T – – – – – +M – – – – – – – +T – – – –
Keterangan: +A : Sampel mengandung residu antibiotika golongan aminoglikosida +M : Sampel mengandung residu antibiotika golongan makrolida +P : Sampel mengandung residu antibiotika golongan penisilina +T : Sampel mengandung residu antibiotika golongan let rasiklina – : Sampel tidak mengandung residu antibiotika
Pada Tabel 3 terlihat pada bulan Agustus dan 6 sampel yang mengandung residu antibiotika, 5 di antaranya dari golongan aminoglikosida. Pada bulan September dari 5 sampel yang mengandung residu antibiotika semuanya dari golongan makrolida. Peternak II, VI, VII, IX, dan X selama 6 kali sampling masing-
KESIMPULAN Dari 120 sampel air susu sapi yang berasal dari 10 peternakan di DKI Jakarta yang diperiksa, 27 sampel (22,5%) mengandung residu antibiotika yang terdiri dari 5 sampel (4,2%) golongan penisilina, 6 sampel (5%) golongan tetrasiklina, 9 sampel (7,5%) golongan aminoglikosida dan 7 sampel (5,8%) golongan makrolida. Ada kecenderungan penggunaan antibiotika yang sama dan semua peternakan yang disurvai pada bulan-bulan tertentu, hal ini sesuai dengan pola penyakit pada bulan-bulan tersebut. Dari 10 peternakyang diambil sampelnya setiap bulan selama 6 bulan, semiia peternakan pernah menjual air susu sapi yang mengandung residu antibiotika. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada : 1. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2. Kepala Dinas Peternakan DKI Jakarta. 3. Kepala Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian. 4. Semua peneliti dan pembantu peneliti. KEPUSTAKAAN 1.
Smither R et aI. Antibiotic Residues in Meat in The United Kingdom, J
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
17
2. 3. 4. 5.
18
Hygiene, 1980; 85: 359. Katz SE, Fassbender CA. Improved Microbiological Assay for Penicillin Residue in Milk and Dairy Product; J Assoc Anal Chem 1978; 61(4): 918–22. Lewis B? Jr. Wilken LO. Veterinary Drug Index. USA: WB Saunders Co, 1982. Peraturan Perundang-undangan Kesehatan Hewan Edisi 11, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, 1987. Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Uji Residu AntIbiotika
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
6. 7.
dalam Air Susu Sapi secara Mikrobiologi. Specification for Identity and Purity of Some Antibiotics; FAO, Nutrition Meetings Report Series, No. 45A, WHO/Food Add169.34, WHO-FAO of The United Nations; 1969. Specification for Identity and Purity of Food Additives and Their Toxico logical Evaluation; Sonic Antibiotics; Technical Report Series No. 430; WHO; Geneva; 1969.
HASIL PENELITIAN
Kandungan Logam Kadmium dalam Biota Laut Jenis Kerang-kerangan dari Teluk Jakarta Inswiasri, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Kerang-kerangan yang banyak dibudidayakan di Teluk Jakarta dan sekitarnya merupakan sumber protein bagi masyarakat luas. Selain itu kerang juga dapat merupakan salah satu mata rantai masuknya logam kadmium (Cd) dalam tubuh manusia. Oleh karena itu di perairan yang diduga tercemar seperti Teluk Jakarta perlu diperiksa kadar logam Cd dalam kerang-kerangan untuk melindungi konsumen. Pemeriksaan logam Cd dengan menggunakan alat Spektrofotometer Serapan Atom GBC (AAS). Sebelum dideteksi dengan AAS, pengabuan dilakukan dengan menggunakan asam nitrat. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kadar Cd dalam kerang darah lebih tinggi dibandingkan kadar Cd dalam kerang yang lain. Kadar rata-rata logam Cd dalam kerang hijau dari tahun 1988/1989–1992/1993 makin menurun. Kadar rata-rata Cd yang tertinggi dalam kerang darah adalah 1,06 ± 1,80 ppm. Teluk Jakarta dan sekitarnya yang digunakan sebagai budidaya kerang harus dihindarkan dari pencemaran. Kerang darah lebih baik dipakai sebagai bioindikator karena mampu menyerap logam Cd lebih tinggi daripada jenis kerang lainnya.
PENDAHULUAN Limbah industri, pertanian dan hasil kegiatan manusia lainnya yang mengandung logam berat dapat mengkontaminasi perairan sungai maupun laut dan akan berakumulasi dalam rantai makanan (biota) yang berasal dari perairan tersebut. Berdasarkan pemantauan Puslitbang Oseanologi-LIPI tahun 1974–1979 diketahui bahwa pencemaran berbagai logam berat di perairan Teluk Jakarta cenderung meningkat dari tahun ke tahun(1,2). Hasil pemantauan Teluk Jakarta yang dilakukan oleh Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan (KP2L) DKI Jakarta dan tahun 1983–1990 menyatakan bahwa kandungan
logam berat dalam air laut ternyata cenderung menurun untuk logam Kadmium (Cd) dan Khrom (Cr), tetapi sebaliknya logam berat Tembaga (Cu) dan Timah Hitam (Pb) cenderung makin meningkat. Dinyatakan juga bahwa kandungan logam berat dalam lumpur laut rata-rata meningkat terus untuk semua logam (Cd, Cu, Cr dan Pb) dan kadarnya jauh di atas standar internasiona1(3). Dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani rakyat Indonesia, kerang-kerangan (jenis moluska bivalvia) merupakan sumber protein tinggi (± 20%) dan murah harganya serta dapat dibudidayakan di perairan Indonesia dan perairan tropik lain-
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
19
nya(4,5,6). Moluska bivalvia dapat mengakumulasi Cd sampai 352 kali lebih tinggi dan kadar Cd yang terdapat dalam airnya. Tingginya akumulasi ini berhubungan erat dengan sifat hidupnya sebagai binatang dasar yang mengambil makanan dengan cara menyaring air (filter feeder)(7). Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang kandungan logam berat Cd dalam kerang-kerangan (moluska bivalvia) yang banyak dikonsumsi masyarakat DKI Jakarta dan yang dibudidayakan di Teluk Jakarta dan sekitarnya. BAHAN DAN CARA KERJA Kerang (moluska bivalvia) yang diambil adalah kerang hijau (Mytilus viridus), kerang darah (Anadara viridus), kerang bulu (Anadara indica) dan kerang putib (Cardium uneda). Jenis kerang tersebut untuk penelitian ini dibeli dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke dan Cilincing setiap bulan sekali selama 10 bulan dalam setahun (tahun fiskal) dari tahun 1988/1989 – 1992/1993. Masing-masing kerang tersebut dicuci (dibersihkan dari lumpur) dan dikeluarkan dagingnya daging dan beberapa kerang (± 5 g) kemudian dibungkus dengan alumunium foil untuk disimpan dalam freezer sebelum analisis lebih lanjut. Sekitar 5 gram daging kerang dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 24 jam untuk menghilangkan kadar airnya. Setelah didinginkan dalam desikator, ditimbang kembali dan dicatat beratnya. Analisis dilakukan dengan cara dry digestion dengan menambahkan 5 ml HNO pekat ke dalam contoh kering dan dipanaskan kembali dengan hot plate pada suhu 500°C, sampai terbentuk abu yang berwama putih atau kuning muda. Sete!ah pengabuan sempurna ditambah dengan 15 ml HNO3 encer (1%) dan selanjutnya diperiksa dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom (AAS) pada panjang gelombang 228,8 nm dengan nyala udara asetilen”. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini berjalan dari tahun 1988/1989 – 1992/1993. Jumlah contoh kerang yang diambil dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1.
Jumlah Contob Kerang yang Diambil dari Teluk Jakarta pada Tahun 1988/1989 – 1992/1993 Jenis Kerang
Tahun
Kerang Hijau Kerang Darah Kerang Bulu Kerang Putih
198811989 1989/1990 1991/1992
22 26 40
30 25 36
36 28 42
8 5
1992/1993
34
40
37
19
dibandingkan hasilnya. Dari contoh kerang yang diambil, hasil pemeriksaan kadar logam Cd dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2.
Kisaran Kadar Logam Cd (ppm) per Berat Basah dalam Kerang dari Teluk Jakarta pada Tahun 1988/1989–1992/1993 Jenis Kerang
Tahun
Kerang Hijau Kerang Darah Kerang Bulu Kerang Putih
1988/1989 (n) 1989/1990 (n) 1991/1992 (n) 1992/1993 (n)
tt-4.14 (22) 0,04-0,17 (26) tt-0,77 (40) tt-0,39 (34)
tt-9,35 (30) 0,04-1,44 (25) 0,03-6,90 (36) tt-0,78 (40)
tt-1,58 (36) 0,04-1,16 (28) tt-4,01 (42) tt-0,86 (37)
tt (8) 0,02-0,08 (5) tt-0,35 (19)
Keterangan: tt = tidak terdeteksi * = tidak diperiksa n = jumlah sampel
Dari Tabel 2 terlihat bahwa kadar maksimum Cd yang terdeteksi dari tahun ke tahun sangat berfluktuasi untuk semua jenis kerang. Hal ini mungkin disebabkan karena contoh kerang yang diambil dari TPI tidak diperhatikan besarnya (ukurannya) atau umurnya. Menurut Bryan(8) variasi akumulasi logam dalam kerang disebabkan oleh faktor-faktor individu yang bervariasi misalnya ukuran kerang. Hutagalung(9) menyebutkan bahwa kadar logam Hg dan Cd dalam kerang hijau selalu menurun secara bermakna dengan naiknya ukuran kerang. Kadar Hg dan Cd yang relatif paling tinggi ada dalam kerang yang ukurannya paling kecil. Bila dibedakan menurut jenis kerang, kelihatan bahwa kadar maksimum Cd dalam kerang darah relatif lebih tinggi daripada kadar Cd maksimum dalam kerang yang lain. Kadar rata-rata logam Cd dalam kerang dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3.
Kadar Rata-rata Cd (ppm) Per Berat Basah Dalam Kerang dari Teluk Jakarta pada Tahun 1988/1989–1 992/1993 Jenis Kerang
Tahun 1988/1989 (n) 1989/1990 (n) 1991/1992 (n), 1992/1993 (n)
Kerang Hijau Kerang Darah Kerang Bulu Kerang Putih 0,33 ± 0,90 (22) 0,06 ± 0,03 (26) 0,14±0,17 (40) 0,05 ± 0,09 (34)
1,06 ± 1,80 (30) 0,26 ± 0,32 (25) 0,26±0,34 (36) 0,17 ± 0,17 (40)
0,28 ± 0,41 (36) 0,17 ± 0,22 (28) 0,80±1,35 (42) 0,16 ± 0,24 (37)
0,002 ± 0 (8) 0,05±0,03 (5) 0,09 ± 0,11 (19)
Keterangan: * = tidak diambil contoh
Keterangan: n = jumlah sampel * = tidak diperiksa
Jumlah contoh tidak selalu sama tergantung keadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Kadang-kadang 4 jenis kerang tersebut ada di TPI dan kadang-kadang tidak semuanya ada. Khusus untuk kerang putih sering tidak ditemukan di TPI. Karena itu pada tahun 1989/1990 kerang putih tidak diambil contohnya. Namun tahun berikutnya contoh kerang putih diambil lagi untuk
Dari Tabel 3 terlihat bahwa kadar rata-rata Cd dalam kerang dari tahun ke tahun sangat berfluktuasi untuk kerang hijau dan kerang bulu. Sedangkan kadar rata-rata Cd dalam kerang darah kelihatan makin menurun. Kadar rata-rata Cd dalam kerang putih paling kecil dibandingkan kadar rata-nata Cd dalam kerang yang lain.
20
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
DalamTabel 3 terlihat pula bahwa harga standar deviasi lebih besar dari harga mean. Hal ini dapat terjadi karena sampel yang diambil terlalu kecil jumlahnya dari sampel yang diambil dari TPI tidak diketahui dari mana asalnya (belum tentu berasal dari satu lokasi yang sama) sehingga kisarannya besar sekali. Kadar logam Cd dalam kerang yang terdeteksi pada pemantauan ini dibandingkan dengan standar kadar logam Cd maksimum yang diperbolehkan yaitu 0,2 ppm(10); persentase contoh yang kadar Cd nya melebihi standar dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 4.
Persentase Contoh Kerang dengan Kadar Cd Melebihi Standar pada Tahun 1988/1989–1992/1993
Tahun 1988/1989 (n) 1989/1990 (n) 1991/1992 (n) 1992/1993 (n)
Jenis Kerang (%) Kerang Hijau Kerang Darah Kerang Bulu Kerang Putih 22,73 (22) 0 (26) 13,15 (40) 8,82 (34)
70,00 (30) 34,61 (25) 42,10 (36) 37,50 (40)
38,89 (36) 25,00 (28) 50,00 (42) 27,03 (37)
0 (8) 27,03 (5) 11,11 (19)
Cd adalah 0,03 1 mg (berasal dari beras). Dari segi makanan protein (dengan konsumsi makanan 2.179 cal/orang/hari) porsi makanan pokok (termasuk beras) adalah 50–60%, porsi makanan protein hewani 15%. Masukan Cd harian akan menjadi 0,069 mg (masih dalam batasan menurut Schroder). Tetapi masih penlu diperhatikan masukan Cd dan sumber lain seperti sayuran, minuman, rokok dan sebagainya. KESIMPULAN Teluk Jakarta yang digunakan untuk budidaya kerang harus dihindarkan dari pencemaran agar dapat melindungi kesehatan konsumen kerang. Kerang darah menyerap Cd lebih tinggi dari jenis kerang yang lain, oleh karena itu kerang darah akan lebih baik bila dipakai sebagai bio-indikaton dibandingkan jenis kerang lainnya. Kadar rata-rata Cd dalam kerang hijau dari tahun 1988/ 1989–1992/1993 cendenung makin menurun.
Keterangan: * = tidak ada contoh n = jumlah sampel
Dari Tabel 4 terlihat bahwa persentase contoh kerang dengan kadar Cd melebihi standar untuk kerang darah lebih tinggi daripada jenis kerang lainnya. Sedangkan kalau dilihat dari tahun ke tahun, sangat berfluktuasi. Untuk kerang hijau selama pemantauan 4 tahun kelihatan prosentasenya makin menurun. Makanan yang banyak mengandung logam Cd adalah jenis kerang-kerangan, hati dan ginjal(11). Padahal kerang juga merupakan sumber protein tinggi (± 20%), oleh karena itu banyak dibudidayakan untuk mencukupi kebutuhan protein berasal dari ikan. Karena Cd tidak berguna bagi tubuh dan bersifat akumulatif, masukan logam Cd dalam tubuh manusia perlu dibatasi supaya tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Menurut Schroeder, masukan tiap hari logam Cd dalam tubuh manusia berkisar antara 0,018–0,20 mg(11). Kadar rata-rata Cd dalam kerang yang tertinggi adalah 1,06 ± 1,80 ppm (Tabel 3) dan konsumsi rata-rata ikan segar untuk masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan adalah 0,253 kg/kap/minggu(12). Bila di asumsikan bahwa konsumsi ikan segar tersebut semua berasal darijenis kerang (untuk mengantisipasi masyarakat yang tinggal di daerah budidaya kerang), maka masukan harian logam Cd maksimum bila orang makan kerang darah dengan kadar Cd ratarata 1,06 ppm adalah 0,038 mg. Masukan Cd tersebut baru berasal dari kerang. Menurut Suzuki(13) kadar Cd rata-rata dalam beras yang dihasilkan di Pulau Jawa adalah 0,03 1 ppm. Bila 1 orang setiap hari makan 1 kg beras, maka masukan harian logam
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Hutagalung HP, Hamidah. Kandungan Logam Berat dalam Beberapa Perairan Laut Indonesia. Dalam Kondisi Lingkungan Pesisir dan Laut di Indonesia. 1982. Sofyan Yatim dkk. Distribusi Logam Berat pada Permukaan Air Laut di Teluk Jakarta. Laporan Penelitian PAIR Batam, Jakarta. 1978. Kantor Pemantauan Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta. Pemantauan Teluk Jakarta. 1982. Sivalingan PM. Aquaculture of the Mussel Mytilus viridus. Linnaeus in Malaysia. Aquaculture 1977; 11: 297. Chen FY. Preliminary Observation ofMussel Culture in Singapore. ASEAN 1977; 77/Fa.EG.AIDoc.WP.17: 73. Maria Goeretti Lily Panggabean. Tinjauan tentang Masa Depan Budidaya Kerang-kerang Jenis Pangan di Indonesia. Dibawakan dalam Seminar Ekologi Laut dan Pesisir I di Jakarta 27–29 November 1989. LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teluk Peniantauannya. Dalam Proyek Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Air Tawar. Jakarta. 1991. Bryan GW. Trace Element Content and Body Size in Molluscs. Nature 1974; 251:311–14. Hutagalung HP. Mercury and Cadmium Content in Green Mussel. Mytilus viridus L. from Onrust Waters, Jakarta Bay. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 1989; 42: 814–20. Zook EG et at. National Marine Fisheries Service Preliminary Survey of Selected Seafood for Mercury, Lead, Cadmium and Arsenic Content. J. Agric Food Chem. 1976; 24. Casarett and Doull’s Toxicology. The Basic Science of Poisons, Second Ed. Macmillan Publ Co, Inc. New York. 428. Biro Pusat Statistik. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 1993, Buku I. Suzuki, Shozuke et al. Human Ecological Survey in Rural West Java in 1978 to 1982. Nissan Science Foundation. Tokyo, Japan 1985; p. 155–64.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
21
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Selenosis Ternak Pengaruhnya pada Manusia Harli Novriani Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Indonesia sebagai negara sedang berkembang senantiasa berupaya untuk lebih meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, termasuk kondisi gizi dan kesehatannya. Salah satu upaya peningkatan gizi masyarakat adalah dengan meningkatkan sumber gizi hewani. Sapi dan domba merupakan ternak yang banyak dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan daging masyarakat, sehingga secara tidak langsung kesehatan hewan-hewan tersebut juga akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat. Dunia industri negara kitajuga tengah digalakkan perkembangannya. Sejalan dengan hal itu, selenium yang banyak dipakai dalam industri(1) tentu akan menimbulkan dampak pada hewan ternak dan pada manusia, khususnya selenosis subakut atau kronik. Di samping itu selenium juga terkandung dalam pelbagai jenis tanaman yang sering digunakan sebagai ransum hewan sehingga berpeluang untuk menimbulkan gejala selenosis, baik akut, subakut maupun khronik. Hingga sekarang mekanisme kerja selenium belum diketahui pasti. Diduga selenium menurunkan glutathion bergugus sulthidril (GSH) jaringan, karena selenium merupakan kofaktor atau komponen intrinsik dari enzim GSH peroxidase (GSH-PX) yaitu enzim yang berada pada sitosol dan matriks mitochondria(2,3). GSH penting dalam proses detoksikasi dan untuk mempertahankan keutuhan dinding sel (yang terdiri dari fosfolipid dan protein) dengan cara mengeluarkan peroksida dari dalam sel(4). Oleh karena itu, keracunan selenium pada masa mendatang akan kian banyak diperhatikan khususnya oleh kalangan ilmiah, dan masyarakat pada umumnya.
PENDAHULUAN Selenium (Se) merupakan salah satu metaloid yang dalam dunia kesehatan ikut membuat masalah pencemaran lingkungan, sebagaimana halnya dengan Hg (merkuri), Pb (timah hitam), Cd (cadmium )(5). Menurut sejarah, keracunan Se pertama kali dilaporkan oleh Marco Polo pada tahun 1295 yang ketika itu melaporkan adanya
22
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
hoof rot (kuku membusuk) pada kuda di Turkestan. Namun literatur tentang selenosis amat jarang terdokumentasi hingga Franke melaporkan kasusnya yang terjadi pada sapi di tahun 1934(1). Seperti logam berat lainnya yang banyak dipakai dalam industri, Se dipakai dalam pembuatan pigmen merah dari lampu belakang mobil/motor dan lanipu lalu lintas, pigmen pelbagai
tinta dan cat, bahan pengilap logam dan penghalus logam, bahan antioksidan dan minyak pelumas, bahan penguat untuk cetak fotografik, bahan untuk memvulkanisir karet, bahan pelarut resin sintetik, pelarut cat pernis dan penghapus lem, salah satu komponen bahan kabel listrik tahan api, produk bahan fotoelektnik, recttifier dan isotop scanning, bahan shampo rambut dan kosmetika, bahan baterai tenaga matahari, kamera televisi dan xerography, bahan pengoksida pada pembentukan niasin dan kortison dan pelbagai industri lainnya(1). Oleh karena dalam jaman modern ini banyak terdapat dan berkembang proses industrialisasi, termasuk di negara kita, masalah keracunan Se, baik yang akut maupun yang kronik, pada manusia ataupun pada hewan mungkin terjadi, sehingga pengetahuan yang memadai tentang keracunan Se dengan segala aspeknya mutlak diperlukan. Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas antara lain tentang biotransformasi, patofisiologi, kelainan histopatologi dan gejala klinik keracunan Se pada sapi dan domba. SUMBER SELENIUM Selain dari dunia industri, Sedan alam diperoleh lewat tanah yang ditumbuhi pelbagai jenis tanaman/biji-bijian. Dikenal tiga jenis golongan tanaman yang mengumpulkan Se organik dari tanah. Yaitu pengumpul obligat, pengumpul fakultatif dan pengumpul pasif(6). 1) Pengumpul obligat: Tanaman ini disebut indikator Se karena amat memerlukan Se untuk pertumbuhannya. Contohnya: Astragalus (tanaman beracun), Stanleya (prince’s plume), Oonopsis (golden weed), Xylorrhiza (woody aster). Tanaman ini bisa mengandung antara 1000 ppm sampai 15.000 ppm Se. 2) Pengumpul fakultatif: Tanaman ini tak memerlukan Se, tetapi mampu menyerap Se tanah dengan baik. Kadan Se diperkirakan sekitar 1500 ppm, sehingga masih bisa menyebabkan selenosis. Contoh: Aster, Atriplex (belukar asin), Castilleja (sikat warna), Comandra (bastar toaflax), Grayia (hossage), Grindelia (gumweeds/rumput karet), Siderantus (nimput biji besi), Gutierrezia (rumput ular), Penstemon (lidah janggut) dan Machaemanthera (bunga tansy). 3) Pengumpul pasif: Kadarnya sekitar 150 ppm Se pada tanah yang juga mengandung Se, dan merupakan tanaman yang secara potensial bisa menyebabkan keracunan Se. Pada umumnya bila tanaman ini mengandung Se, menandakan tanah setempat tinggi kadar Senya. Contoh: jagung, gandum, rumput, juwawut dan berbagai jenis lainnya. KEGUNAAN SELENIUM Se juga dikenal sebagai trace element, yakni miknonutrien esensiil yang berguna mencegah beberapa penyakit pada hewan/ manusia. Defisiensi Se pada hewan menimbulkan gejala penyakit distrofi otot nutnisional (white muscle disease). Hewan yang sering terkena penyakit ini antara lain adalah sapi dan domba; otot kelihatan berserat-serat putih, yang sesungguhnya merupakan serabut-serabut otot yang nekrosis(7,8).
Pada WMD biasanya tidak dijumpai kelainan saraf. Domba yang terserang umumnya berusia 3–6 minggu. Adanya nekrosis otot rangka yang biasanya bilateral ini mengakibatkan domba kelihatan pincang dan kaku berjalan. Selain itu diagnosis WMD dibuat atas dasar tingginya Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dalam darah hewan yang bisa mencapai 200 unit/ini, yakni 5–10 kali di atas normal(8). Selain itu, defisiensi Se pada hewan mamalia betina bisa menununkan derajat fertilitas dari sel telur dan menyebabkan kematian embrio pasca konsepsi(9). Adanya Se dalam ransum juga bisa mencegah tenjadmnya nekrosis hati(10). DOSIS ALAMI YANG DIPERLUKAN Sehubungan dengan kemungkinan efek toksik Se dalam ransum hewan, maka oleh Food and Drug Administration di Amerika Serikat pada tahun 1974 ditetapkan bahwa penambahan ransum yang mengandung Se pada hewan hanya diperbolehkan dengan kadan tak iebih dari 0,1 mg Se/kg ransum(7,8). Karena kadar tersebut tidak akan menimbulkan masalah residu dalam daging hewan yang dipotong untuk konsumsi manusia. Analisis rambut manusia memakai neutron activation analysis, oleh beberapa peneliti juga sudah ditera nilai ambang batasnya untuk mengetahui pencemanan logam berat di suatu daerah. Kadar Se dalam nambut manusia normal ialah antara 0,49–0,76 mikrogram/gram rambut(5). Keberadaan Se sebagai mikronutnien esensiil dalam tubuh sapi dan domba dari suatu daerah tententu peniu dipantau untuk mencegah terjadinya defisiensi Se. Untuk itu yang paling praktis adalah memantau kadar Se dalam darah secana kuantitatif; bila kadarnya antara 0,012–0,039 mikrogramlmi atau lebih rendah, hewan tersebut tergolong mendenita defisiensi Se. Peralatan iaboratonium beserta metodenya yang cukup memadai untuk menena kadan Se darah secara kuantitatif dalam batas tersebut adalah fluorometri, hydride-generation atomic absorption spectrophotometry (AAS), graphite-furnace AAS, gas chromatography, neutron activation analysis dan X-ray fluorometry(10). CARA MASUK SELENIUM KE DALAM TUBUH Se memasuki tubuh bisa melalui tiga cara(1), yakni : a) Per oral : Bila hewan menelan Se dalam jumlah banyak (dosis toksik), disenap dalam usus dan disebarkan ke selunuh tubuh, terutama akan dibawa ke hati, ginjal yang limpa dan sebagian kecil dibawa ke otak dan otot(11). Se yang masuk lewat mulut paling toksik dibandingkan dengan yang masuk lewat kulit atau inha1asi(12). b) Per kutan: Bila kulit mengalami kerusakan atau terluka, Se bisa masuk ke tubuh. Tetapi pada kulit yang utuh, tak terjadi penetrasi. c) Per inhalasi Racun Se yang bisa disenap adalah dalam bentuk senyawa onganik yang tergabung dengan asam amino selenomethionin/ cysteine ataupun akhirnya gabungan dengan protein yang semula merupakan selenide yang kemudian diubah menjadi selenite. Setelah diabsorbsi, semua Se ditransport lewat darah, menuju hati.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
23
BIOTRANSFORMASI Se organik yang berbentuk selenide dan Se anorganik yang terbentuk selenate keduanya akan diubah terlebih dulu menjadi bentuk selenite; Se bentuk selenite tak mengalami perubahan bentuk. Dalam tubuh selenite akan disubstitusi oleh sulfur sehingga terbentuk ikatan dengan glutathion dalam hati. Se yang berikatan dengan glutathion ini diekskresikan logam tiga bentuk, yakni a) Terbanyak dalam bentuk ion trimethylselenonium yang diekskresikan melalui urine(1,6). b) Senyawa dimethylselenide organik, yang berbentuk gas dan diekskresikan melalui tubuh lewat udara pernafasan dari paruparu, yang dapat diketahui karena berbau mirip bawang(1). c) Dalam jumlah kecil berbentuk elemen Se atau gabungan logam selenide yang dikeluarkan lewat faeces, keringat ataupun bisa melalui air susu(6,11). Se organik lebih erat diikat oleh tubuh dibandingkan dengan Se anorganik, sehingga Se organik lebih lama bertahan dalam tubuh(5). Se yang masuk dalam waktu singkat bisa semuanya diubah ke dalam bentuk trimethylselenonium dan tidak mengakibatkan perubahan patologis karena hampir semuanya diekskresikan oleh ginjal melalui urine, kadar Se dalam jaringan tubuh juga minimal pada kasus tersebut(1,5). Sebelum diekskresikan, Se akan terkumpul pada alat-alat dalam tubuh dan akan memberikan sekumpulan gejala klinik. Pada sapi yang mengalami selenosis, kadar Se air susunya bisa mencapai 3 ppm sehingga bisa mengakibatkan keracunan khronik pada anak sapi yang disusuinya(6). Kadar Se darah pada kasus keracunan akut berkisar antara 10–25 ppm. Selain itu Se juga terkumpul dalamjumlah banyak pada alat-alat dalam, khususnya hati limpa dan ginjal dalam jumlah sedikit terkumpul pada otak serta jaringan otot(6). Pada selenosis subakut kadar darahnya antara 2–4 ppm dan Se banyuak terkumpul pada rambut dan kuku. Sedangkan pada selenosis khronis antara 1–2 ppm(5). Pada hewan yang terpapar Se cukup lama banyak terproduksi dimethylselenide yang diekskresikan lewat paru-paru dan berbau mirip bawang. Akumulasi Se pada keracunan khronis adalah pada rambut dan kuku(1).. DOSIS LETALIS SELENIUM Dosis letalis Se pada beberapa jenis hewan yang diberi senyawa bentuk selenite bervariasi antara 1,5–17 mg/kg berat badan(5,13). Pada selenosis akut, LD-50 oral beberapa hewan adalah sebagai berikut: a) Sapi : 10 mg/kg berat badan. b) Domba : 6,4 mg/kg berat badan. c) Babi: 17 mg/kg berat badan. Sedangkan LD-50 parenteral antara lain ialah: a) Anak sapi : 0,5 mg/kg berat badan. b) Domba (intramuskuler) : 5 mg/kg berat bada(2,6). Selenosis khronis umumnya terjadi bila dalam pakan ternak terdapat Sc organik dalam jumlah yang cukup(14). Dosisnya adalah a) Babi hutan : 7 ppm. b) Sapi jantan : 8 ppm.
24
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
c) Biri-biri : 10 ppm. d) Domba: 10 ppm. e) Ayam: 15 ppm. GEJALA KLINIK Selenosis pada sapi dan domba menimbulkan gejala akut, subakut ataupun khronis, tergantung pada jumlah, bentuk dan Iamanya hewan terpapar Se. 1) Selenosis Akut: Sapi dan domba yang mengalami selenosis akut menunjukkan gejala kolik, diare dengan tinja encer kehitam-hitaman, anoreksia, salivasi, muntah-muntah, gelisah, poliuri, demam, midriasis, langkah tak menentu, menunjukkan sikap aneh yang menuju ke satu arah dengan kepala dan telinga ke arah bawah, nadi cepat dan lemah, selaput lendir pucat dan sianotik, sesak nafas dengan suara ngorok dalam paru-paru, dan lubang hidung keluar busa berbintik darah. Gejala ini berlangsung beberapa jam hingga sampai 1–2 hari dan dapat menimbulkan kematian. Sebelum mati hewan biasanya sempoyongan, paresis, koma, gigi yang terkatup erat, sesak nafas, akhirnya mati akibat kegagalan pernafasan(8,15). Sapi yang napasnya berbau bawang putih dan rose cold bisa menulari manusia yang menjaganya(1). 2) Selenosis Subakut: Pada tahap awal terdapat gej ala tidak nafsu makan, bergerak tanpa tujuan, berputar-putar, tak bisa melihat dan bisa terjatuh akibat menabrak atau mendorong dengan kepala atau kaki benda di depannya. Suhu dan napas umumnya masih normal. Sering disertai blind staggers (buta sempoyongan) yang sudah sering dikenal oleh para peternak(16). 3) Selenosis Khronis: Dikenal sebagai “penyakit alkali” karena semula penyakit ini diduga ditimbulkan akibat hewan minum air yang banyak mengandung alkali(6). Pada bentuk ini, gejala lebih kronis dibandingkan blind staggers. Kelainan yang paling sering ditemui yaitu pada kuku dan rambut. Namun gejala Iainnya bisa berupa kebutaan parsial, paresis, inkoordinasi, emasiasi, letargi dan insufisiensi sirkulasi perifer, pincang disebabkan erosi permukaan sendi tulang panjang, dan nyeri akibat pecahnya dinding kuku tepat di bawah koroner (coronary band). Kuku lama mulai pecah dan terkelupas tidak sempurna sehingga sebagian masih bergabung dengan kuku baru yang merupakan jaringan tanduk. Akhirnya terbentuk kuku panjang yang berbentuk seperti batu runcing (rocker)(3). HISTOPATOLOGI KERACUNAN SELENIUM Organ tubuh sapi dan domba yang terpengaruh oleb keracunan Se adalah paru-paru, sistem integumen, sistem saluran pencernaan, dan sistem susunan sarafpusat,jantung, otak, ginjal dan limpa(1). Pada nekropsi, gambaran umum kelainani organ selenosis akut adalah pembendungan yang berakibat edema, timbulnya transudat dan perdarahan khususnya pada paru, pleura dan jantung(7,17). Pada selenosis terjadi atonia otot polos sebagai salah satu ciri khas selain perdarahan dan timbulnya transudat(11,15). Pada domba dengan selenosis khronik terdapat fibrosis awal jaringan
hati sedangkan pada selenosis subakut selain fibrosis awal juga disertai dengan proliferasi fibroblast dan nekrosis saluran empedu(16). Penelitian lain menemukan perdarahan pada korteks ginjal, pelebaran pembuluh kapiler, degenerasi lemak dan vakuolisasi sitoplasma sel tubuh ginjal dan eksfoliasi(21). PATOLOGI KERACUNAN SELENIUM Se dapat menghambat aktivitas enzim aryl hydrocarbon hydroxylase (AHH), sebuah enzim jaringan hati yang berguna untuk mencegah terjadinya kanker pada manusia(2). Beberapa dugaan mekanisme kerja Se dalam tubuh adalah sebagai berikut(14) : 1) Mengusir sulfur yang terdapat dalam asam amino tertentu seperti cysteine dan methionine sehingga tercipta susunan asam amino abnormal ataupun protein enzim abnormal. Hal ini ditunjang oleh adanya kelainan kuku dan bulu pada keracunan Se kronis. 2) Menurunkan sintesa ATP, mungkin menghambat enzim yang mengandung gugus-SH (sulfhidril), misal: succinic dehydrogenase. Pemakaian oksigen dalam hati, ginjal dan otak diturunkan namun tidak dalam jaringan otot in vitro. Oksigenasi janin juga dihambat. 3) Intervensi terhadap metabolisme vitamin A dan C sehingga terjadi defisiensi, khususnya vitamin C (karena enzim ascorbic oxidase yang meningkat); penambahan vitamin C dari luar tubuh tak melindungi keracunan Se. 4) Menghambat oksidasi seluler dengan mempengaruhi seleno protein yang mengandung heme, yang terutama ditemukan dalam jaringan otot hewan yang diobati dengan Se. 5) Menurunkan secara bermakna GSH (glutathion yang mengandung gugus sulfhidril) jaringan. Setiap satu ion selenite mampu membuat ikatan kompleks langsung dengan 2 molekul GSH; menurunkan sintesis dan regenerasi GSH akibat terhambatnya gugus suithidril enzim itu atau mungkin ada kompetisi antara Se dan sulfur pada proses tersebut, merangsang aktifitas enzim glutathione peroxidase di hati atau eritrosit atau gabungan dan mekanisme kerja di atas. Selain berpengaruh pada enzim GSH yang amat penting pada proses oksidasi dalam tubuh, ternyata Se memiliki pula efek yang khas pada bagian isoenzim selektifdani cytochrome P-450, karena Se terbukti mampu menghambat obat golongan etil morfin dan aminopirin ketika dilakukan analisis mikrosom hati Se juga mampu menurunkan panjang kromosom rata-rata sebuah sel, sebagaimana efek coichicine dan para fluorophenilalanine, karena menghambat terbentuknya spindle(19). Namun demikian mekanisme kerja Se yang paling mungkin adalah pengaruhnya pada GSH. Se merupakan kofaktor ensim GSH-perokxidase. Pada umumnya jaringan binatang secara normal mengandung 300–2000 ppm GSH, namun bisa hanya menjadi sekitar 25 ppm pada keracunan Se. Bisa diambil kesimpulan bahwa GSH memang merupakan enzim yang penting dalam detoksikasi dan pertahanan keutuhan dinding sel tubuh, termasuk sel sapi dan domba. GSH pada manusia juga mempertahankan keutuhan dinding sel darah
merah(5,20). PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN Selenium merupakan salah satu logam berat yang memiliki dua sifat yang saling bertentangan. Yang pertama, Se berbahaya bagi makhluk hidup karena merupakan racun, namun pada sisi lain Sejuga merupakan suatu trace element yang bisa berguna. Se banyak dijumpai di alam bebas dalam tanah yang dikenal sebagai tanah dan daerah seleniferous. Se alamiah ini diperlukan oleh pelbagai tumbuh-tumbuhan untuk hidupnya, terutama jenis pengumpul Se yang obligat. Bersama jenis tumbuh-tumbuhan pengump Se fakultatif, tumbuhan obligatini merupakan sumber masuknya Se ke dalam tubuh hewan ataupun manusia. Tanaman pengumpul obligat mempunyai kandungan Se sekitar 15.000 ppm, sedangkan pengumpul fakultatif mempunyai kandungan Se sekitar 1500 ppm. Jenis racun Se yang terkandung tanaman ini merupakan Se organik. Selain itu Se yang banyak dipakai dalam dunia industri juga merupakan salah satu sumber potensial bagi timbulnya kasus keracunan. Umumnya racun Se tergolong dalam Se anorganik. Metaloid yang berwarna kemerahan ini karena luas pemakaiannya dalam industri merupakan salah satu metaloid yang dipakai untuk menentukan pencemaran lingkungan, berdasarkan analisis kandungan Se dalam rambut manusia ataupun hewan di suatu daerah tertentu. Kandungan Se sebatas 5 ppm atau lebih dalam ransum/makanan dan atau 0,5 ppm dalam susu/air minum atau lebih berbahaya bagi kesehatan manusia/hewan(6). Bila kadatrnya dalam rambut manusia lebih dari 0,76 mikrogramlgram, berarti daerah tersebut sudah mulai tercemar lingkungannya oleh Se(5). Se masuk ke tubuh melalui tiga jalan, yakni per oral, per kutan dan per inhalasi. Masuknya Se per oral merupakan yang paling penting sebagai penyebab selenosis akut yang berat atau fatal. Setelah Se memasuki tubuh, target organ yang dituju adalah hati, ginjal, limpa, jantung, paru-paru, sistem pencernaan, dan sistem integumen (rambut dan kuku), khususnya pada selenosis kronika; yang terbanyak adalah hati(11). Beberapa ahli membagi gejala klinik keracunan Se dalam 3 kelompok gejala, yakni akut, subakut (penyakit blind staggers) dan khronik (penyakit “alkali”). Ada kaitan antara timbulnya gejala klinik tersebut dengan Se yang masuk ke dalam tubuh sesuai dengan jumlah dari kekerapan terpaparnya. Pada kasus keracunan akut, kadar Se darah bisa mencapai 25 ppm, keracunan subakut mencapai 4 ppm dan keracunan khronik mencapai 2 ppm(7). Keracunan khronis bisa timbul bila hewan mendapat makanan ternak yang mengandung Se antara 7–15 ppm untuk waktu beberapa hari(5). Karenanya, ransum hewan yang dinyatakan aman adalah bila hanya mengandung 0,1 mg Se/kg ransum, sesuai anjuran FDA, berfungsi sebagai mikronutrien esensiil saja(7). Dosis letal Se per oral adalah berkisar antara 1,5 hingga 17 mg/kg berat badan(5) namun pada sapi adalah 10 mg/kg berat badan dan domba 6,4 mg/kg berat badan. Bila parenteral pada anak sapi adalah 0,5 mg/kg berat badan, sedangkan domba 5 mg/ kg berat badan(5,6). Se sebagai trace element berguna untuk mencegah penyakit
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
25
WMD (white muscle disease), yakni penyakit otot kelihatan berserat-serat putih pada domba dan sapi. Dosis yang diperlukan untuk mencegah defisiensi Se ini adalah 0,1 mg/kg dalam ransum. Pada penyakit ini aktivitas sarkotubuler otot turun 12 kali lebih rendah dibandingkan aktivitas otot hewan norma1(20). Selain itu Se juga berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit diatesis eksudatif pada hewan atau kanker pada manusia(1,8). Dalam tubuh, Se dalam jaringan hati diubah bentuknya menjadi tiga bentuk, terbanyak dalam bentuk trimethylselenonium yang diekskresikan lewat urine, demethylselenide organik yang dikeluarkan lewat paru-paru dalam bentuk gas, serta dalam jumlah kecil lewat keringat, faeces, dan air susu dalam bentuk Se elemental, atau gabungan logam se1enide(1,5). Gejala klinis selenosis akut pada sapi dan domba ditandai oleh kolik, diare dengan tinja yang encer dan berwarna kehitamhitaman, poliuria, edema, demam, midriasis, sempoyongan, pulsus naik, kepala dan telinga ke arah bahu dan akhirnya hewan mati akibat kegagalan pernafasan. Gejala selenosis subakut ditandai oleh kelemahan umum, sesak nafas, kolik, sianosis dan blind stagger. Gejala klinis selenosis khronik (penyakit alkali) ditandai oleh kuku berbentuk batu yang mengakibatkan kepincangan, pada kuda kuku-kuku embrionya abnormal, berat badan terus menurun, anemia, sirosis hepatis dan atrofi jantung. Hewan mati akibat anemianya, atau kelaparan hebat yang dideritanya. Gej ala kronis ini dapat menyerang anak sapi yang sedang menyusui pada induk yang mengalami selenosis. Mekanisme kerja pasti Se dalam tubuh memang belum diketahui namun diduga adalah interaksinya dengan glutathione sulfflidril (GSH), Se merupakan kofaktor enzim GSH-peroxidase yang esensiil dalam proses oksidatif tubuh(2,3) dan Se berefek menurunkan GSH tubuh(5). Sebaliknya GSH merupakan unsur mutlak untuk detoksikasi pada selenosis(18). Kadar GSH akan turun dari 2.000 ppm sampai menjadi hanya 25 ppm pada selenosis, sedangkan sudah diketahui bahwa efek GSH adalah amat penting dalam proses detoksikasi dan memelihara keutuhan dinding sel tubuh(5). Gambaran patologis anatomis selenosis, secara umum terdiri atas bendungan dan pengentalan darah, pembentukan edema, transudat dan perdarahan(7), dan atoni otot polos(6,11,17) yang mengenai organ dari sistem tertentu. Sedangkan secara histopatologik ditemukan nekrosis, degenerasi, perdarahan, kongesti, pengurangan sel, fibrosis, vakuolisasi, eksfoliasi, bahkan granuloma dan pada jaringan parenkim hati, ginjal, dan paru-paru (1,6,8,21).
KEPUSTAKAAN 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Diskin CJ, Tomasco CL, Alper JC, Glaser ML, Fliegel SE. Long-term Selenium Exposure. Arch. Intern. Med. 1979; 139: 824–26. Gairola C, Chow CK. Dietary Selenium, Hepatic Aiylhydrocarbon Hydroxylase and Mutagenic Activation of Benzo(a)pyrenà, 2-Aminoanthracene and 2-Aminofluorene, Toxicol Lett, Vol 11, Elsevier Biomedical Press. 1982; 281–87. Huttunen JK. Selenium and cardiovascular disease. Acta Pharmacol Toxi col 1986; 59 (suppi. VII): 311–16. Ringstad J, Thelle D. Risk of myocardial infarction in relation to serum concentration of Selenium. ActaPharmacolToxicol 1986; 59(suppl. VII): 336–39. Johannesson T, Lunde G, Steinnes E. Mercury, Arsenic, Cadmium, Selenium and Zinc in Human Hair and Salmon Fries in Iceland. ActaPharmacol Toxicol 1981; 48: 185–89. Clarke EGC, Clarke ML. Garners Veterinary Toxicology, 3rd ed. London: Bailliere, Tindall & Cassell 1974; 114–119. Boot NH, McDonald LE. Veterinary Pharmacology and Therapeutics, 5th ed., The Iowa State University Press/Ames, USA, 1983; pp. 651–53, 1046–47, 1098–99. Underwood EJ. Trace Elements in Human and Animal Nutrition, 4th ed. New York-San Fransisco-London: Academic Press, 1977; 302–346. Ussing OT, Rugby J, Madsen BM, Danscher G. Selenium accumulation in the oocyte after exposure to soditim selenite, Act Pharmacol Toxicol 1986; 59 (suppl. VII): 139–41. Koh IS. Interlaboratory study of blood selenium determinations, J. Assoc Off Anal Chem 1987; 70(4): 664–67. Bartik M, Piskac A. Veterinary Toxicology. Amsterdam-Oxford-New York: Elsevier Scient PubI Co, 1981; 124–27. Wade A, Reynolds JEF. Martindale The Extra Pharmacopoeia incorporating Squire’s Companion, 27thed. London: The Pharmaceutical Press, 1977; 451–52. Hatch RC. Poisons causing Respiratory Insufficiency (Chapter 57) Dalam: Jones LM, Booth NH, McDonald LE. Veterinary Pharmacology and Therapeutics, 4th ed., Iowa State Univ. Press, USA, 1977; pp. 1170–1176. Jones LM, Booth NH, Detweiler DK et a!. Veterinary Pharmacology and Therapeutics, 3rd ed. Chapter 56, Iowa State University Press, USA, 1975; 967–972. Clarke EGC, Clarke ML. Veterinary Toxicology. London: BailliereTindall, 1982; 95–9. Rechcigl M. CRC Handbook of Naturally Occuring Food Toxicants. Boca Raton, Florida: CRC Press. Inc, 1983; 6–7. Redeleff RD. Veterinary Toxicology, 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1970; 180–82. Early JL, Schnell RC. Effect of Glutathione Depletion on Selenium Le thality and Hepatic Drug Metabolism in Male Rats. Toxicol. Left., Elsevier Biomedical Press, Vol. 11, 1982; 253–57. Andersen 0, Roenne M, Nordberg GF. Effects of inorganic metal salts on chromosome length in human lymphocytes. Hered. (Denmark) 1983; 98(1): 65–70. Willet WC, Starnpfer Ini. Selenium and Human Cancer, Act Pharmacol Toxicol 1986; 59 (suppl. VII): 240–47. Sorensen EMB, Bell JS, Harlan CW. Histopathological changes in Selenium-exposed fish. Am J For Med Pathol 1983; 4(2): 111–23.
Do good, no matter to whom
26
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
HASIL PENELITIAN
Kandungan Boraks pada Makanan Jenis Mie yang Beredar d Kotamadya Padang Akmal, Zulharmita Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan lirnu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Padang
ABSTRAK Telah dilakukan pemeriksaan kandungan boraks pada berbagai makanan jenis mie yang beredar di Kotamadya Padang. Sampel diambil secara acak dari beberapa pasar di Kotamadya Padang dan penentuan kadar dilakukan dengan spektrofometer ultraviolet. Has ii percobaan menunjukkan bahwajumlah rata-rata kandungan boraks yang ditemukan pada mie telur kering sebesar 10,856 ug, miehun 10,614 ug dan mie basah 129,051 ug untuk setiap 100 g sampel.
PENDAHULUAN Pada pertengahan tahun 1994 yang lalu, masyarakat di Kotamadya Palembang, Sumatera Selatan dikejutkan oleh kasus keracunan makanan. Sejumlah warga masyarakat yang baru saja mengkonsumsi makanan jenis mie-instan muntah-muntah dan tak sadarkan din. Sebanyak 56 orang terpaksa dirawat di rumah sakit dan 5 orang di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Dari hasil penyelidikan diduga di dalam makanan jenis mie tersebut terdapat zat tertentu yang dapat menimbulkan keracunan. Kasus di atas merupakan salah satu gambaran bagaimana pentingnya pengawasan mutu bahan makanan yang beredar di masyarakat, terutama penggunaan bahan kimia yang sering ditambahkan ke dalam bahan makanan karena menyangkut keselamatan manusia. Penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan (food additive) saat ini sering ditemui dalam berbagai makanan dan minuman. Bahan tambahan ini dapat digunakan sebagai pengawet, pemberi aroma dan pewarna. Di samping itu juga bertujuan untuk meningkatkan penampilan makanan olahan. Dewasa ini sejumlah zat kimia banyak disalahgunakan pemakai annya oleh para produsen makanan, dengan tujuan untuk mem-
peroleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan akibat yang dapat ditimbulkannya. Boraks atau natrium tetraboraks (Na2B4O710H2O) adalah salah satu bahan kimia yang sering disalahgunakan pemakaiannya oleh masyarakat. Penggunaan boraks ini dimaksudkan untuk mendapatkan efek renyah, kenyal, padat dan tahan lama terutama pada makanan jenis mie, bakso dan tahu. Pemakaian boraks sebagai bahan tambahan makanan telah lama dilarang oleh Departemen Kesehatan karena efek racunnya yang sangat berbahaya. Boraks dapat terakumulasi dalam tubuh dan gejala keracunan boraks ini ditandai dengan rasa mual, pusing, kejang perut dan pada dosis besar dapat menyebabkan pingsan dan kematian(1). Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kemungkinan kandungan boraks pada berbagai makanan jenis mie yang beredar di Kotamadya Padang. METODE PENELITIAN Pengambilan Sampel di Lapangan Sampel yang diambil adalah mie telur kering, miehun dan mie basah dan berbagai jenis yang tersedia. Pengambilan sampel dilakukan secara acak pada beberapa pasar di Kotamadya Padang,
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
27
yaitu : Pasar Raya, Pasar Lubuk Buaya, Pasar Alai dan Pasar Bandar Buat. Operasionalisasi di Laboratorium Sampel yang diduga mengandung boraks diidentifikasi di laboratorium menggunakan beberapa pereaksi spesifik boraks. Kemudian sampel-sampel yang telah diketahui mengandung boraks dilanjutkan penentuan kadarnya dengan prosedur sebagai berikut : Sebanyak 100 g sampel ditambahkan 300 ml air suling panas kemudian dihaluskan. Ditambahkan 20 ml asam khlorida 4 N dan dipanaskan di atas penangas air selama 10 menit sambil diaduk serta kemudian disaring, sisa penyaringan dibilas dengan 100 ml air suling panas. Filtrat yang diperoleh dicukupkan volumenya 500 ml dalam labu ukur. Dipipet sebanyak 50 ml, ditambah 75 ml metanol kemudian didestilasi pada suhu 85–90°C selama 110 menit dan destilat ditampung dengan 10 ml gliserin 3%. Destilat yang diperoleh, dipanaskan pada pelat pemanas sampai kering. Panaskan pada furnace 60°C kemudian didinginkan. Ditambahkan 10 ml iarutan kurkumin dan panaskan pada suhu 55–57°C sampai kering dan kemudian tambahkan etanol sampai volume 25 ml. Larutan yang terbentuk diukur serapannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang serapan maksimun 542 nm. Kadar boraks dalam sampel dapat dihitung berdasarkan kurva kalibrasi yang dibuat dan pembanding kimiaboraks menggunakan prosedur yang sama dengan sampel. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada percobaan ini sampel-sampel yang diperiksa dikelompokkan atas mie telur kering, miehun dan mie basah. Pengelompokan ini sesuai dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa makanan jenis mie umumnya masuk dalam kelompok tersebut. Mie telur kering terdiri dari tiga jenis yang berbeda produsennya, yaitu jenis I, II dan III. Masing-masing jenis ini diambil pada empat tempat penjualan yang berbeda yaitu Pasar Raya, Pasar Lubuk Buaya, Pasan Alai dan Pasar Bandar Buat. Dan penentuan kadar, diketahui bahwa semua sampel yang diperiksa mengandung boraks dengan kadan rata-rata 10,856 ug/ 100 g sampel. Sedangkan antarajenis I, II dan III dan mie telur kering ini, tidak terlihat perbedaan kandungan yang berarti (Tabel 1). Tabel 1.
Hasil Penentuan Kadar Boraks dalam Sampel Mie Telur Kering
Jenis Sampel I
II
III
Tempat Penjualan
Kadar Boraks (ug/100g)
Pasar Raya Pasar Lubuk Buaya Pasar Alai Pasar Bandar Buat Pasar Raya Pasar Lubuk Buaya Pasar Alai Pasar Bandar Buat Pasar Raya Pasar Lubuk Buaya Pasar Alai Pasar Bandar Buat Rata-rata
28
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
9,952 11,320 8,874 12,217 12,420 8,770 9,232 15,448 10,871 9,935 9,621 11,411
Rata-rata 10,591
11,467
10,459
10,856
Pada sampel miehun, juga ditemukan tigajenis yang diproduksi oleh produsen yang berbeda. Pengambilan sampel juga dilakukan pada empat tempat yang berbeda seperti halnya mie telurkering. Kandungan boraks rata-rata pada miehun, ditemukan sebesar 10,614 ug/100 g sampel. Dari ketiga jenis miehun yang diteliti, terlihat bahwa sampel jenis I mempunyai kandungan boraks yang lebih rendah dibandingkan dua jenis lainnya yaitu sebesar 9,225 ug/100 g sampel. Kandungan boraks tertinggi ditemukan pada miehunjenis Ill, yaitu sebesar 11,818 ug/l00 g sampel (Tabel 2). Tabel 2.
Basil Penentuan Kadar Boraks dalam Sampel Miehun
Jenis Sampel, I
Tempat Penjualan Pasar Raya Pasar Lubuk Buaya Pasar Alai Pasar Bandar Buat Pasar Raya Pasar Lubuk Buaya Pasar Alai Pasar Bandar Buat Pasar Raya Pasar Lubuk Buaya Pasar Alai Pasar Bandar Buat Rata-rata
II
III
Kadar Boraks (ug/100 g) 12,148 10,751 10,629 9,672 10,518 7,473 9,931 9,012 13,274 11,449 10,910 11,639
Rata-rata 10,800
9,225
11,818
10,614
Pada mie basah, ditemukan kandungan boraks yang sangat tinggi, yaitu hampir 12 kali dari jumlah yang ditemukan pada mie telur kering dan miehun. Dari empat sampel yang diteliti, diperoleh kandungan boraks rata-rata sebesar 129,051 ug/100 g sampel. Kandungan terendah ditemukan pada sampel IV yaitu sebesar 98,654 ug/100 g dan yang tertinggi pada sampel III sebesar 157,877 ug/100 g sampel (Tabel 3). Tabel 3.
Hasil Penentuan Kadar Boraks dalam Sampel Mie Basah
Nomor Sampel
Kadar Boraks (ug11110 g)
I II III IV
123,209 136,463 157,877 98,654 Rata-rata
Rata-rata 129,051
129,051
Dari ketiga sampel mie yang diteliti pada percobaan ini, terlihat bahwa mie telur kering dan miehun mempunyai kandungan boraks rata-rata yang hampir sama. Sedangkan kandungan boraks tertinggi ditemui pada mie basah (Gambar 1). Tingginya kandungan boraks pada mie basah ini sangat mengkhawatirkan bila dikonsumsi oleh masyarakat luas, karena efek racunnya yang sangat berbahaya. Walaupun jumlah ini masih di bawah ambang dosis fatal, namun bila dikonsumsi dalamjangka waktu yang lama, dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh. Dosis fatal boraks menurut hasil penelitian terdahulu, yaitu sebesar 15–20 g untuk orang dewasa dan 3–6 g untuk anak-anak(2). Data yang diperoleh pada percobaan ini memperlihatkan bahwa masih banyak produsen yang menambahkan boraks kedalam makanan rnie yang diproduksinya dengan tujuan memperoleh keuntungan lebih banyak, tanpa memikirkan faktor ke-
pulan sebagai berikut: 1) Mie telur kering mengandung boraks rata-rata sebesar 10,856 ug untuk setiap 100 g sampel. 2) Miehun mengandung boraks rata-rata sebesar 10,614 ug untuk setiap 100 g sampel. 3) Mie basah mengandung boraks rata-rata sebesar 129,051 ug untuk setiap 100 g sampel.
KEPUSTAKAAN 1.
Gambar 1. Perbandingan Kandungan Boraks yang Ditemukan pada Berbagai Mie yang Diteliti.
amanan konsumen. Oleh karena itu, merupakan tanggungjawab Pemerintah atau Departemen Kesehatan RI untuk menertibkan pada produsen ini. Ironisnya, konsumen tidak bisa membedakan mana mie yang mengandung boraks atau yang tidak mengandung boraks karena untuk itu diperlukan percobaan khusus di laboratorium. Jadi seyogyanya Departemen Kesehatan melakukan pemantauan secara periodik terhadap makanan jenis mie yang beredar di pasaran, agar masyarakat terhindar dari bahaya yang dapat ditimbulkan karena mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks ini. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesim-
Almahdy A,Ahmad A. Toksisitas Boraks padaMencit Hamil dan Fetusnya. Laporan Penelitian FMIPA Unand, 1992. 2. An Encyclopedia of Chemical. Drug and Biological, The Merck Index, l0th,ed., USA 1983. 3. BoItzDF, Howel JA. Colometric Determination of Non Metals, Vol.8,2nd. ed. New York: John Wiley & Sons, 1977. 4. Curry A. Poison Detection in Human Organ, 3rd. ed. Illinois: Charles Thomas PubI. 1970. 5. Ditjen POM Depkes RI. Farmakope Indonesia, Depkes RI, Jakarta 1979. 6. Dreisbach RH. Hand Book ofPoisoning, 9th. ed. California: Lange Medical PubI. 1977. 7. Eldison. Penentuan Boron dan Sumber Air Panas di Sumbar melalui Sistem Pemekatan Destilasi sebagai Trimetil Borat dengan Metode Spektrofoto metn, Skripsi Sarjana Kimia, FMIPA Unand, Padang 1990. 8. Hayes MR, Metcalfe J. The Boron-Curcumin Complex in the determina tion of trace amount of Boron. Analyst 1961; 87. 9. Reed RA. Spectrophotometric Method for the Determination of Boron in Glasses and Ceramic Colours. Analyst 1977; 102. 10. Zulharmita, Lucyda H. Studi Perolehan Kembali Boraks yang Ditam bahkan sebagai Aditif pada Makanan. Laporan Penelitian Universitas Andalas, Padang 1992. 11. Zulharmita. Distribusi dan Akumulasi Boron dalam Tubuh Kelinci Jantan, Jurnal Penelitian Andalas, 1993; V, 12.
Kalender Peristiwa 15 - 17 November 1995
– KONGRES NASIONAL I dan PERTEMUAN ILMIAH II IKATAN DOKTER KESEHATAN KERJA INDONESIA World Trade Center, Surabaya, INDONESIA Sekr. : Jl. Cikini 16 FK Unair Jakarta 10320 Gedung BMS Lt. 3 Tel.: (021) 3153115 Jl. Prof. Dr. Moetopo 47 Fax: (021) 3102913 Surabaya Tel.: (031) 40251 pes. 52 Fax: (031) 522472
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
29
HASIL PENELITIAN
Sigi Status Gizi Balita dari Beberapa Faktor yang Berpengaruh di Desa Tertinggal Alur Bandung Kalimantan Barat Dr. Joni Wahyuhadi Kepala Puskesmas Teluk Batang, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat
ABSTRAK Suatu sigi terhadap masalah gizi balita dan beberapa faktor yang berpengaruh di desa tertinggal atau desa miskin desa Alur Bandung menggunakan indek berat badan terhadap tinggi badan. Sigi dilakukan terhadap 142 balita yang ada di desa Alur Bandung. Hasil menunjukkan 14,1% dan 7,7% dari balita masing-masing menderitagizi kurang dan gizi buruk; 80,3% pendapatan keluarga berasal dari pertanian tradisional, 64,8% ibu balita tidak tamat Sekolah Dasar. Beban keluarga masih cukup tinggi, 41,5% keluarga memiliki anak 3 – 5 orang dan 10,6% memiliki anak hidup 6 – 8 orang. Status gizi balita di desa tertinggal Alur Bandung masih sangat rendah dan diperlukan langkah-Iangkah yang tepat dalam menangani faktor-faktor yang menjadi kendala dalam meningkatkan status gizi balita di desa tertinggal Alur Bandung khususnya dan desa-desa tertinggal lainnya.
PENDAHULUAN Tujuan program perbaikan gizi dalam Repelita Lima adalah menurunkan angka gizi kurang yang pada umumnya banyak diderita masyarakat dengan penghasilan rendah yang terutama pada balita dan wanita. Sampai awal Repelita V masih terdapat 10,8% balita Indonesia menderita gizi kurang dan gizi buruk. Puskesmas adalah merupakan unit kerja terdepan di daerah. Wilayah binaan Puskesmas Teluk Batang terdiri dari enam desa, dua di antaranya dikategorikan sebagai desa miskin atau tertinggal, masing-masing Desa Alur Bandung dan Desa Mas Bangun. Kondisi desa miskin tentunya akan sangat mempengaruhi status gizi masyarakat khususnya pada kelompok rawan gizi yaitu balita. Sigi ini merupakan usaha untuk mengetahui kondisi gizi balita di desa miskin dan upaya rnengatasinya, sehingga kelompok rawan gizi di desa miskin khususnya balita dapat terhindar dari masalah kekurangan gizi.
30
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
TUJUAN 1) Mengetahui status gizi balita pada desa tertinggal dan beberapa faktor yang mempengaruhi. 2) Sebagai Iangkah awal sistim kewaspadaan pangan dan gizi dalam menyusun strategi penanggulangan masalah gizi pada desa tertinggal di wilayah kerja Puskesmas Teluk Batang. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan di desa tertinggal Alur Bandung yang berjarak 6 km dan puskesmas. Luas desa 669 ha, jumlah penduduk tercatat 2025 jiwa, terdiri dari 412 KK. Sasaran sigi adalah seluruh balita di desa. Namun karena sebagian balita mengikuti orang tuanya untuk bermukim sementara di ladang yang tidak terjangkau, maka dari perkiraan balita yang berjumlah 218, hanya 142 balita yang dapat ditemukan di desa tersebut dan dilakukan pengukuran. Pengukuran panjang badan atau tinggi badan dan berat ba-
dan dilakukan dengan menggunakan alat yang sama bagi seluruh balita. Pertimbangan menggunakan indek tinggi badan dan berat badan dalam menentukan status gizi adalah metodanya yang mudah, sederhana; sebagian besar orang tua balita tidak mengingat lagi tanggal lahir anaknya. OIeh karena itu penentuan status gizi berdasarkan indek berat badan dan umur akan mengalami kesulitan. Setelah pengukuran dan mencatat data yang diperlukan, hasilnya dikelompokkan menjadi tiga jenis st gizi dengan kriteria, apabila tinggi badan terhadap berat badan 90% s/d 110% dari berat badan standar adalah gizi normal (N), 80% s/d 90% dari berat badan standar ada!ah gizi kurang (K) dan bila kurang dari 80% berat badan standar adalah gizi buruk (B). Faktor yang mempengaruhi kondisi gizi balita pada daerah miskin kami bagi dalam tiga keadaan yaitu: 1) Pekerjaan orang tua balita Hal ini dapat menggambarkan pendapatan keluarga. Petani tradisional dengan sistim ladang berpindah adalah bentuk pertanian yang ada di desa Alur Bandung. Nelayan tradisisional dengan peralatan yang sangat sederhana juga merupakan bentuk kegiatan nelayan di desa tertinggal tersebut. Oleh karenanya pendapatan dari dua mata pencaharian tersebut dapat menggambarkan pendapatan keluarga. 2) Pendidikan formal orang tua, khususnya ibu balita dapat sebagai gambaran pengetahuan dan tingkat penyerapan informasi yang telah diberikan tentang masalah kesehatan khususnya dalam mengasuh balita. 3) Jumlah anak dalam keluarga khususnya anak yang hidup dan menjadi tanggungan keluarga akan menggambarkan beban keluarga dan perhatian orang tua terhadap perkembangan balitanya. Sigi dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh balita dan ibu balita di balai desa pada bulan Juli 1993, bagi balita yang tidak datang dilakukan kunjungan rumah. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sigi kami sajikan dalam bentuk tabel-tabel. Hasil sigi menunjukkan bahwa status gizi di daerah tertinggal Alur Bandung, masih lebih buruk dibandingkan dengan kondisi gizi balita Indonesia rata-rata pada awal Repelita V yaitu masih terdapatnya 14,1% balita dengan gizi kurang dari 7,7% balita dengan gizi buruk. Pendapatan keluarga 80,3% bersumber dari pertanian menggambarkan rendahnya pendapatan mereka. Pendidikan yang masih sangat rendah 64,8% ibu balita tidak tamat SD dan beban keluarga dapat merupakan faktor kendala yang mengakibatkan buruknya kondisi gizi balita. Besan pengaruh tiga faktor tersebut terhadap status gizi balita masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Sanitasi lingkungan yang masih buruk dan masih tingginya angka kesakitan penyakit menular pada desa miskin, jelas merupakan faktorfaktor yang penlu diperhatikan. Kondisi yang digambarkan dalam hasil sigi jelas memerlukan intervensi yang tepat dan sistematis serta terpadu dalam
Tabel 1.
Status gizi balita di desa tertinggal Alur Bandung berdasar Indek Tinggi badan dan berat badan, Juli 1993
Nomor 1. 2. 3. Tabel 2.
Normal (N) Kurang (K) Buruk (B)
1. 2. 3. 4.
78,2 % 14,1 % 7,7 %
Prosentase 80,3 % 14,8 % 4,2 % 0,7 %
Pendidikan Orang Tua Balita (Ibu Balita) di desa tertinggal Alur Bandung, Juli 1993
1. 2. 3. 4.
Macam Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SUP Tamat SLTA
Prosentase 64,8 % 31 % 2,1 % 2,1 %
Jumlah Keluarga dengan Anak Hidup di desa tertinggal Alur Bandung, Juli 1993
Nomor 1. 2. 3. 4.
Macam Pekerjaan Petani Nelayan Dagang/swasta Pegawai negeri
Nomor
Tabel 4.
Prosentase
Pekerjaan orang tua balita di desa tertinggal Alur Bandung, Juli 1993
Nomor
Tabel 3.
Status Gizi
Jumlah Anak Hidup 0 - 2 orang 3- 5orang 6 - 8 orang 9 - I 1 orang
Prosentase 45,1 41,5 10,6% 2,8%
upaya menangani masalah gizi di desa tentinggal Alur Bandung khususnya dari desa-desa tertinggal lainnya. KESIMPULAN 1) Gizi balita di desa tertinggal Alur Bandung masih buruk – 14,1% dan 7,7% dan balita masing-masing berstatus Gizi Kurang dan Gizi Buruk. 2) Pendidikan ibu balita masih sangat rendah – 64,8% tidak tamat SD. Beban keluanga yang masih tinggi serta penghasilan yang terutama dari pertanian tnadisional (80,3%) akan menjadikan masalah gizi benlarut-lanut apabila tidak ditanggulangi sesegera mungkin. 3) Diperlukan langkah-langkah yang tepat dengan upaya peningkatan UPGK lintas sektonal antara Pemenintah Daerah, sektor Kesehatan, sektor Pertanian dan sektor Pendidikan, secana sistematis dan terpadu dalam meningkatkan dan menggali potensipotensi desa. KEPUSTAKAAN 1. 2.
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Kerja Puskesmas Jilid 11, Jakarta tahun 1989/90; seksi 5. Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Depkes RI, Jakarta, 1992; p. 1–14.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
31
TEKNIK
Beberapa Metoda Penetapan Kadar Hemoglobin Darah Sihadi, Suryana Purawisastra Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Bogor
Salah satu di antara beberapa masalah gizi yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia, adalah anemi gizi. Secara umum prevalensi anemi pada ibu hamil dan anak balita di Indonesia masih tinggi. Angka rata-rata nasional prevalensi anemi gizi besi pada ibu hamil 63,6%, dan pada anak balita 55,1%. Angka prevalensi gizi pada ibu hamil terendah terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 45,5%, sedangkan tertinggi di Sumatera Utara sebesar 77,9%. Untuk anak balita prevalensi anemi gizi terendah terdapat di Provinsi Sulawesi Utara sebear 24,2%, sedangkan yang tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 8l,4%(1). Penelitian tentang hubungan anemi dengan prestasi belajar pada anak sekolah di Bogor dan sekitarnya menghasilkan data bahwa anak yang anemi mempunyai kesulitan dalam berpikir terang dan berpikir secara analog. Anak yang anemi menurun kemampuan berkonsentrasi dalam menyelesaikan coding test, lebih mudah terganggu konsentrasinya oleh musik disco. Hasil penelitianjuga menunjukkan bahwa hasil ujian Ebtanas kelompok anak yang anemi lebih rendah (p <0,05) dibandingkan hasil anak yang tidak anemi(2). Hasil penelitian Karyadi (1974) di daerah perkebunan karet, Sukabumi, menunjukkan bahwa penyadap karet yang anemi mendapatkan lateks hasil sadapan lebih sedikit daripada yang tidak anemi. Penyadap yang anemi mendapat lateks 18,7% lebih rendah daripada yang tidak anemi(3). Penelitian lain yang dilakukan terhadap para pemotong tebu di sebuah perkebunan tebu di Guatemala, menunjukkan bahwa kemampuan kerja fisik yang dinyatakan dalam skor naik-turun bangku Harvard bervariasi menurut kadar hemoglobin (Hb). Apabila kadar Hb rendah maka skor rendah, dan apabila kadar Hb tinggi maka skor juga tinggi(4). Gambaran di atas, barulah sebagian kecil; sebenarnya masih banyak hasil penelitian yang mengungkap akibat negatip lain bila seseorang menderita anemi.
32
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
Untuk mengetahui apakah seseorang menderita anemi, yang paling tepat biasanya dengan cara menentukan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah(5). Penentuan anemi dengan menggunakan parameter Hb telah digunakan secara umum pada berbagai survei untuk menetapkan prevalensi anemi. Apabila kadar Hb darahnya berada di bawah batasan nilai yang ditetapkan, maka ia menderita anemi gizi. Batasan nilai kadar Hb untuk menentukan seseorang menderita anemi atau tidak, bagi orang dewasa adalah berbeda dengan anak-anak, dan juga berbeda bagi wanita hamil dan tidak hamil. Karena itu WHO (1972) telah menetapkan batasan nilai kadar Hb yang dianjurkan untuk digunakan sebagai standar internasional, yaitu seperti berikut(6) : – Anak prasekolah 11 g % – Anak sekolah 12 g % – Laki-laki dewasa 13 g % – Wanita dewasa 12 g % – Wanitahamilil g% Metoda untuk menentukan Hb saat ini banyak macamnya, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Pemilihan metoda yang tepat tergantung pada keadaan serta fasilitas yang tersedia. Tulisan ini menyajikan secara ringkas cara kerja masing-masing metoda dengan kelemahan dan kelebihannya. 1) METODA KERTAS LAKMUS Metoda ini sangat sederhana, praktis tidak memerlukan pereaksi ataupun peralatan tertentu, karena yang dipergunakan adalah kertas yang disebut kertas lakmus, khusus untuk menentukan kadar Hb. Caranya, setetes darah diteteskan di atas permukaan kertas lakmus, didiamkan sebentar pada suhu ruang hingga darah menjadi kering (sekitar 5 menit). Setelah kering, warna darah yang terbentuk dibandingkan secara visual di tem-
pat yang cukup terang dengan sederet warna standar yang disediakan. Deretan warna yang ada pada standar sudah dikalibrasi sedemikian rupa secara kualitatif sehingga setiap warna menunjukkan nilai kadar Hb. Dengan demikian warna standar yang sebanding dengan warna darah yang diuji menunjukkan kadar Hb darah(7). Metoda kertas lakmus ini bisa dilakukan oleh seti orang, cocok untuk dipergunakan di lapangan karena tidak memerlukan peralatan atau. pereaksi khusus, waktu yang çtiperlukan relatif singkat. Tetapi hasil yang diperoleh bisa subjektif, karena kemampuan tiap orang dalam membandingkan warna adalah tidak sama sehingga hasil yang diperoleh akan bervariasi. Walaupun demikian variasi basil bisa diperkecil, apabila orang yang melakukannya telah mempunyai cukup pengalaman dalam menggunakan metoda ini, melakukannya secara berulang, cermat dan teliti.
yang memiliki fasilitas laboratorium yang diperlukan. Di laboratorium, contoh darah yang mengering digunting, lalu direndam dalam 5 ml larutan Drabkin hingga semua noda darah dari kertas saring melarut. Waktu yang diperlukan untuk melarutkan contoh darah kering ini biasanya selama 2 x 24 jam. Setelah semua contoh darah pada permukaan kertas melarut, perlakuan seIanjutnya sama seperti yang telah diuraikan pada metoda sianmethemoglobin. Berdasarkan penelitian, hasil yang diperoleh masih harus dikalikan faktor koreksi yaitu 1,14(5). Contoh darah kering di atas permukaan kertas saring tadi bisa bertahan hingga I bulan. Dengan demikian, pengiriman contoh darah dan tempat jauh dapat dilakukan.
2) SIANMETHEMOGLOBIN Berbeda dengan metoda kertas lakmus, metoda sianmethemoglobin ini memerlukan peralatan dan pereaksi khusus, tetapi hasil yang diperoleh lebih teliti. Darah dipipet dengan menggunakan pipet mikro sebanyak 20 mikroliter, kemudian dilarutkan dalam 5,0 ml larutan Drabkin (1 g NaHCO3, 0,05 g KCN, 0,2 g KF(CN) dalam I liter aquades) yang sudah disediakan sebelumnya di dalam suatu tabung reaksi. Larutan Drabkin dikocok untuk menyempurnakan kelarutan darah sehingga diperoleh warna larutan yang homogen. Kepekatan warna larutan dibaca menggunakan alat spektrophotometer padá panjang gelombang 540 nm. Hasil pembacaan menunjukkan kadar Hb, dihitung berdasarkan hasil pembacaan alat pada larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya(7). Metoda sianmethemoglobin ini sangat dianjurkan oleh WHO (1968) karena sampai saat ini dinilai dapat menghasilkan data yang paling teliti. Kelemahannya adalah ketergantungan pada alat spektrophotometer yang masih terbatas pada instansi tertentu selain sukarnya pemeliharaan photometernya sendiri; alat ini relatif sulit dibawa ke lapangan dan sangat tergantung pada listrik. Di samping itu fasilitas lain yang diperlukan dalam penyiapan larutan Drabkin, listrik dengan voltase yang stabil, biasanya sulit tersedia di lapangan.
4) METODA SAHLI Prinsipnya sama dengan metoda kertas lakmus, yaitu membandingkan warna secara visual, tetapi memerlukan peralatan dan pereaksi tertentu. Berbeda dengan metoda sianmethemoglobin, peralatan yang digunakan sangat sederhana, ringan, sehingga memungkinkan dibawa ke lapangan, dan tidak tergantung pada listnik ataupun baterai. Kira-kira 5 tetes HCL 0,1 N dimasukkan ke dalam tabung khusus yang disebut tabung hemometer. Darah yang akan ditentukan kadar Hb-nya dipipet sebanyak 20 mikroliter, dan dimasukkan ke dalam tabung hemometer tadi. Tabung kemudian ditempatkan dalam alat hemometer. Pada alat tersebut terdapat dua tempat tabung. Tabung pertama berisikan contoh darah yang akan ditentukan kadar Hb-nya, dan tabung ke dua berisikan Jarutan standar. Posisi kedua tabung adalah berdampingan, dan isi kedua tabung bisa dilihat dan satu sisi yang sama. Kemudian tabung yang benisikan contoh darah ditambah aquades secara penlahan hingga warna larutan menyamai warna larutan standar yang ada pada tabung di sebelahnya. Setelah persamaan warna tercapai, kadar Ub dapat diketahui dengan membaca batas permukaan larutan yang berimpit dengan skala yang tertera pada alat hemometer dekat tempat tabung contoh darah(8). Metoda Sahli ini masih dianggap subjektif(7) karena pembandingan warna dilakukan secara visual. Metoda ini bisa dianjurkan bila metoda Sianmethemoglobin tidak bisa dilakukan, dan berdasarkan penelitian, kadar Hb hasil penentuan metoda Sahli perlu dikalikan faktor 1,l(5).
3) SIANMETHEMOGLOBIN TIDAK LANGSUNG Metoda ini merupakan pengembangan metode sianmethemog1obin(5) sebagai usaha untuk mengatasi kelemahannya. Penetapan kadar Hb dengan metoda ini di lapangan sangat praktis, karena darah yang akan diperiksa di laboratorium tidak dalam bentuk cair. Apabila pelaksanaan pengambilan darah di lapangan dalam waktu yang relatif lama, sampel darah yang telah diteteskan dalam kertas dapat dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim ke laboratorium yang dimaksud lewat pos. Darah dipipet dengan menggunakan pipet mikro sebanyak 20 mikroliter, kemudian seluruhnya diteteskan secara bertahap dan perlahan ke atas permukaan kertas saring sehingga membentuk suatu spot darah, selanjutnya dibiarkan mengering pada suhu ruang. Spot darah kering ini kemudian dibawa ke instansi
5) METODA ARTEL HEMOGLOBINOMETER Metoda penentuan Hb darah ini memerlukan peralatan khusus yang disebut Artel Hemoglobinometer. Sebanyak 2 tetes darah berasal dari jan tangan langsung diteteskan di atas permukaan gelas objek. Kemudian diaduk dengan batang saponin agar darah tidak membeku selama ± 45 menit. Darah kemudian dipindahkan ke dalam kuvet (tabung khusus bertutup). Pemindahan darah ini harus dilakukan sécara cermat sehingga tidak timbul gelembung udara, karena bisa mengganggu pembacaan dan terjadi penyimpangan hasil. Kuvet kemudian dimasukkan ke dalam alat Artel Hemoglobinmeter. Alat dinyalakan dengan cara menekan tombol “ON” dan seIanjutnya segera timbul smgnal pada layar baca alat. Kemudian tekan tombol “read”, selanjutnya pada Iayar akan menampilkan
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
33
tanda rd. Kemudian tanda rd berubah menjadi angka yang menunjukkan kadar Hb dalam g/dl(9). Alat ini masih dalam taraf uji coba, sehingga saat ini belum digunakan di tingkat masyarakat. 6) METODA COMBUR Metoda ini menggunakan alat dan pereaksi. Alat ini sangat praktis, ringan, sehingga bisa dibawa ke lapangan, tidak tergantung listrik karena dapat menggunakan baterai. Di samping itu hasilnya sangat teliti, hanya ada ketergantungan pereaksi dan kapiler, selain itu ternyata ada beberapa bahan yang belum beredar di Indonesia. Darah yang akan ditentukan kadar Hb-nya, dimasukkan ke dalam suatu kapiler khusus mempunyai volume tertentu. Kapiler yang berisikan darah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisikan pereaksi standar, kemudian dikocok hingga homogen. Tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat Ames Combur M1000. Pada layar baca alat akan tampil angka yang menunjukkan kadar Hb dalam g/dl(10). 7) METODA HEMOCUE Metoda ini merupakan pengembangan metoda penentuan Hb secara spektrophotometer, karena menurut International Committee of Standarization in Hematology (ICSH), dengan adanya pengenceran yang terlalu tinggi pada persiapan sampel darah sering menimbulkan penyimpangan hasil pembacaan alat spektrophotometer. Di samping itu, padapersiapan sampel darah sering timbul faktor kekeruhan sehingga terjadi kesalahan hasil pembacaan. Metoda HemoCue ini berdasarkan pengukuran optical density pada kuvet yang mempunyai kapasitas volume sebesar 10 mikroliter oleh sinar yang berasal dari lampu yang berjarak 0,133 milimeter sampai pada dinding paralel celah optis tempat kuvet berada. Pereaksi kering dimasukkan dalam kuvet melalui dinding bagian dalam kuvet, kemudian sampel darah dalam tabung kapiler dimasukkan secara cermat ke dalam kuvet. Sampel darah akan bercampur dengan pereaksi kering secara spontan. Kuvet dimasukkan ke dalam alat HemoCue photometer untuk dilaku-
kan pembacaan pada panjang gelombang 565 dan 880 nm. Alat akan menghitung sendiri sehingga angka yang muncul pada layar pembacaan adalah kadar Hb darah yang diperiksa(11). Alat penentuan Hb dengan metoda HemoCue ini juga ringan dibawa, praktis, dapat menggunakan baterai, tidak tergantung listrik, dari hasilnya dapat langsung diketahui pada saat itu juga. Dalam penetapan kadar Hb ada beberapa cara yang dapat dilakukan seperti yang disebutkan di atas, yang masing-masing mempunyai kelebihan dan keiemahannya. Untuk memilih metoda yang akan digunakan tergantung berbagai pertimbangan, di antaranya tujuan atau keperluan penetapan Hb, misalnya untuk penelitianjelas memerlukan metoda yang lebih teliti. Di samping itu juga tergantung pertimbangan biaya, karena ada beberapa metoda walaupun teliti .tetapi peralatan dan bahan pereaksi harganya relatif mahal. Situasi dan kondisi lapangan juga mempengaruhi pemilihan metoda seperti ada tidaknya sarana listrik, jauh tidaknya lapangan dan laboratorium dan lain-lain. KEPUSTAKAAN 1.
Anonim. Keadaan dan masalah gizi di Indonesia. Info Pangan dan Gizi. Jaringan Informasi Pangan dan Gizi, Jakarta 1993; 5(4): 13–4. 2. Soewondo S. Krisdinamurtirin Y. Anemia and some aspects of mental functioning. The Third Asian Congress of Nutrition. Jakarta, 1980; Oct.: 6–10. 3. Karyadi D. Hubungan ketahanan flsik dengan keadaan gizi dan anemi besi. Tesis Doktor. Universitas Indonesia, Jakarta 1974. 4. Viteri FE, Torun E. Anemia and physical work capacity. Clin Haematol 1974; 3: 609–626. 5. Muhilal, Sukati. Ketelitian hasil penentuan hemoglobin dengan cara sianmethemoglobin, cara sahli, dan sianmethemoglobin tidak langsung. Penelitian Gizi dan Makanan, 1980; 4: 15–20. 6. WHO. Nutritional anemias. Tech Rep Ser no 503, 1972. 7. Gandasoebrata R. Penuntun laboratorium klinik. Dian Rakyat, Jakarta 1985. 8. Krupp MA, Sweet NJ, Jawetz E, Amstrong CD. Physician handbook, 9th ed. California: Lange Med PubI 1956; P. 245–56. 9. Muhilal dkk. Laporan Penelitian tentang Penentuan kadar hemoglobin dengan alat artel di tingkatPuskesmas. PuslitbangGizi (belumdipublikasi), 1992. 10. Anonim. Ames mini lab pc-mini photometer. West Germany, 1990. 11. Schenck HV, Galkensson M, Lundberg B. Clinical Chemistry, 1986; 2(3): 526–29. 12. WHO. Nutritional anemias; Report of WHO Scientific Group. Tech Rep Serno4OS, 1968.
Dai1y life is more instructive than the most effective book.
34
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
TEKNIK \
Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat Timbal dalam Air Sungai Suharmiati*, D. Mutiatikum** *) Pusat Penelitian dan Pen gembangan Pelayanan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Surabaya * *) Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Surabaya
ABSTRAK Telah dilakukan studi pustaka tentang cara penentuan tingkat pencemaran logam berat timbal (Pb) dalam air sungai. Untuk menentukan tingkat pencemaran logam berat Pb dalam air sungai yang diduga tercemar oleh beberapa pabrik di sekitarnya, perlu diperhatikan lima hal yaitu : penentuan titik pengambilan contoh, teknik pengambilan contoh, pra perlakuan(pre treatment), teknik pengukuran kadar Pb serta teknik evaluasi tingkat pencemarannya. Untuk mengevaluasi tingkat pencemaran maka hasil pengukuran harus dibandingkan dengan baku mutu air yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup no. Kep-2/MenKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetap an Baku Mutu Lingkungan. Kata Kunci : lead – water pollution – river
PENDAHULUAN Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat berguna bagi kehidupan. Kebutuhan air terutama air bersih makin meningkat sejalan dengan perkembangan masyarakat dan teknologi. Perkembangan penduduk yang pesat membutuhkan berbagai fasilitas antara lain air bersih. Sedangkan dengan bertambahnya industri yang didirikan, bukan tidak mungkin akan timbul pencemaran antara lain berupa buangan limbah industri. Buangan tersebut akan mengalir ke sungai yang ada di sekitarnya, yang biasa digunakan sebagai sumber air minum (setelah diolah), untuk mandi dan mencuci pakaian. Salah satu logam berat yang sering mencemari air sungai adalah timbal (Pb). Gubernur Jawa Timur menetapkan bahwa Sungai Brantas dimasukkan dalam kualitas golongan B, yang menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup kadar maksimum yang diperbolehkan 0,1 mg/liter(1).
Keracunan Pb dapat terjadi secara akut atau kronis. Keracunan akut Pb akan mengganggu saluran pencernaan dan menimbulkan anemia. Jika lebih serius akan mengganggu sistim neuromuskular. Bahkan pemaparan Pb yang hebat akan mengakibatkan ensefalopati. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penulis mencoba memberikan asupan mengenai cara penentuan tingkat pencemaran logam berat timbal (Pb) dalam air sungai. Tujuan penulisan ini untuk menambah wawasan tentang pencemaran air sungai yang sering terjadi akibat limbah industri. CARA PENENTUAN Untuk menentukan tingkat pencemaran logam berat Pb dalam air sungai yang diduga tercemar oleh beberapa pabrik di sekitarnya ada lima hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
35
A. Penentuan titik pengambilan contoh Titik pengambilan contoh harus ditentukan secara cermat agar dapat menggambarkan keadaan sebenarnya. Dalam hal pencemaran air sungai oleh beberapa pabrik di sekitarnya, perlu dipertimbangkan tempat contoh air akan diambil. Di bawah ini dipaparkan gambaran bagaimana suatu cemaran masuk ke dalam aliran air sungai (mixing zone) (Gambar 1).
dan lebar sungai. Cara ini cocok untuk diterapkan pada sungai yang dangkal tetapi lebar. Apabila sampling dilakukan untuk sungai yang sempit dan dalam, maka dapat diambil titik-titik menurut jalur aliran dan kedalaman sungai (Gambar 3).
Gambar 3. Model dua dimensi (two-dimensional model)(2)
Gambar 1. Daerah tempat seluruh limbah tercampur ke seluruh air sungai (mixing zone)(2)
Memperhatikan model ini maka dapat dilihat bahwa daerah pencampuran sempurna akan terjadi setelah jarak x meter dari sumber pencemar. Besarnya X sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran sungai, lebar sungai serta kecepatan masuknya cemaran ke dalam aliran. Oleh karena itu, biasanya titik pengambilan contoh ditentukan pada jarak antara satu sampai lima km dari sumber pencemar. Setelah ditentukan tempat dimulainya pengámbilan contoh, kemudian dipertimbangkan lebar sungal. Pada sungai yang lebarnya antara 30–300 meter, makajalur aliran dibagi menjadi tiga daerah yang sama yaitu samping kin, tengah dan samping kanan. Di tiap daerah ini diambil contoh untuk diuji kadarnya. Apabila lebar sungai melebihi 300 meter, maka paling sedikit harus dibagi menjadi lima daerah yang sama. Dalam pengambilan contoh ini dikenal tiga model penentuan titik yaitu: 1) Model satu dimensi (one-dimensional model) Titik-titik pengambilan contoh dilakukan sepanjang aliran sungai dengan menganggap bahwa daerah yang melebar dan vertikal mempunyai konsentrasi yang homogen. Model ini cocok digunakan untuk sungai yang sempit dan dangkal (Gambar 2).
3) Model tiga dimensi (three-dimensional model) Titik-titik pengambilan dibagi menurut jalur aliran, lebar sungai maupun kedalamannya. Model ini sangat baik digunakan untuk sungai-sungai yang lebar dan dalam (Gambar 4).
Gambar 4. Model tiga dimensi (three-dimensional model)(2)
Perkiraan jumlah sampel yang akan diambil untuk menetapkan harga rata-rata kadar Pb dapat menggunakan rumus : zα2 σ2 ––––– d2 Jumlah sampel (sample size) Harga standar normal (tergantung α, lihat tabel). Variasi populasi yang diestimasikan melalui simpangan baku (s) dari studi pendahuluan atau penelitian sejenis yang dilakukan oleh orang lain Penyimpangan yang masih ditolerir n =
n = z = s = d =
Dengan demikian akan dapat diketahui berapa jumlah sampel yang harus diambil dan di mana letak titik-titiknya.
Gambar 2. Model satu dimensi (one-dimensional model)(2)
2)
Model dua dimensi (two-dimensional model) Titik-titik pengambilan contoh diambil menurut jalur aliran
36
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
B . Teknik pengambilan contoh Untuk memperoleh contoh yang mewakili keadaan yang sesungguhnya dapat dipilih antara tiga metode: 1) Contoh sesaat (grab sample) 2) Contoh gabungan waktu (composite sample) 3) Contoh gabungan tempat (integrated sample) 1) Contoh sesaat Contoh diambil sesaat mewakili keadaan air pada suatu saat di suatu tempat. Metode ini biasanya cukup baik diterapkan untuk suatu sumber air yang karakteristiknya tidak banyak berubah dalam suatu periode tertentu di suatu tempat. Pada umumnya metode ini dipakai untuk sumber air alamiah. Apabila sumber air atau air buangan diketahui mempunyai karakteristik
yang berubah, maka beberapa contoh sesaat diambil berturutturut untuk jangka waktu tertentu, dan pemeriksaannya dilakukan sendiri-sendiri, tidak disatukan seperti pada metode gabungan. Jangka waktu pengambilan berkisar antara lima menit hingga satu jam atau lebih. Umumnya selama 24 jam. Pada kasuskasus tertentu periode m bisa lebih panjang atau lebih pendek. 2) Contoh gabungan waktu Adalah campuran dan contoh-contoh sesaat yang diambil dari suatu tempat yang sama pada waktu yang berbeda. Hasil dan contoh ini menunjukkan keadaan rata-rata dan tempat tersebut dalam suatu periode tertentu. Perlu diperhatikan bahwa tiap contoh yang dicampurnakn harus mempunyai volume yang sama. 3) Contoh gabungan tempat Merupakan campuran dari contoh-contoh sesaat yang diambil dari beberapa tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Hasil pemeriksaan merupakan keadaan rata-rata dari suatu daerah atau tempatpemeriksaan. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan kualitas air dan suatu penampang aliran sungai yang lebar dan dalam. C. Pra perlakuan Contoh air yang diperoleh sebaiknya segera diukur kadarnya, sebab dapat diserap oleh wadah gelas yang digunakan. Apabila terpaksa, harus dilakukan pengawetan dengan jalan pengasaman dengan HCI pekat atau H2SO4 pekat hingga pH 2,0 untuk mengurangi presipitasi dan absorbsi dinding wadah. Karena logam berat segera membentuk ion kompleks dengan bahan organik, maka bahan organik ini harus dihancurkan dulu pada perlakuan pendahuluan. Perlakuan yang dianjurkan adalah penghancuran (digesti) dengan menggunakan campuran asam nitrat dan asam sulfat. Penghancuran dengan asam ini juga menghindari gangguan dan sianida, nitrit, sulfida, sulfit, tiosulfat, dan tiosianat. 1) Cara kerja a) Contoh dikocok dan diambil volume tertentu (tabel), kemudian dimasukkan ke dalam cawan penguap. Apabila volume yang diperlukan lebih dari 250 ml maka penuangan ke cawan dilakukan bertahap. Kadar dalam ppm (mg/1)
Volume yang diambil (ml)
<1 1 – 10 10 – 100 100 – 1000
1000 100 10 1
b) Contoh diasamkan. dengan H2SO4 pekat menggunakan indikator metil jingga, ditambah 5 ml HNO3 pekat serta 2 ml H2O2 30% dan diuapkan di atas penangas air hingga volumenya menjadi 15–20 ml. c) Hasil yang diperoleh dimasukkan ke dalam labu penghancur (digesti) 125 ml, kemudian ditambahkan 5 ml HNO3 pekat (untuk membilas cawan), 10 ml H pekat dan beberapa batu didih. Setelah itu dipanaskan pada plat pemanas (dalam almani asam) hingga timbul asap putih SO3 dan pemanasan dihentikan. Jika larutan tidak jernih, ditambah lagi 10 ml HNO3 pekat dan pemanasan diulangi lagi.
d) Labu didinginkan sampai temperatur kamar dan diencerkan dengan air suling hingga 50 ml. e) Dipanaskan lagi sampai hampir mendidih kemudian disaring dengan sintergiass atau kurs porselin ke dalam labu. Bilas 2 kali dengan 5 ml air suling. Untuk melarutkan PbSO4 dalam saringan, maka perlu dituangkan larutan amonium asetat panas. f) Filtrat dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah air suling hingga tanda. Filtrat ini yang kemudian digunakan dalam pengujian dengan menggunakan alat Spektrofotometer Absorbsi Atom. D. Pengukuran kadar Pb Dianjurkan menggunakan Spektrofotometer Absorbsi Atom (SAA) kanena hasilnya lebih akurat dibanding metode spektrofotometni. 1) Cara kerja a) 100 ml larütan yang telah didigesti di atas ditambah 100 ml air suling bebas logam dan diatur pHnya dengan menggunakan HNO3 1 N atau NaOH 1 N pada pH antara 0,1 – 6,0. b) Masukkan ke dalam corong pisah, tambahkan 1 ml larutan APDC dan 10 ml larutan MIBK dan dikocok selama 30 detik. c) Biarkan kedua campuran memisah. Fasa organik diambil dan dipusing untuk menghilangkan air yang masih terbawa. d) Secepatnya dilakukan pengukuran dengan SAA dan absorbsinya dibandingkan dengan kurva kalibrasi. E. Evaluasi tingkat pencemaran Tingkat pencemaran yang terjadi dibandingkan dengan baku mutu air yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-02/MENKLH/ I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Apabila kadar yang diperoleh melebihi batas peruntukan sumber air sungai menurut ketetapan Gubernur, maka dikatakan bahwa telah terjadi pencemaran dalam lingkungan tersebut. Misalnya Gubernur Jawa Timur telah menetapkan bahwa Sungai Brantas dimasukkan dalam kualitas air golongan B, yang menurut Keputusan Menteri kadar Pb maksimum yang dianjurkan 0,05 mg/ liter dan maksimum yang diperbolehkan 0,1 mg/liter. Jika dalam pemantauan tennyata kadar Pb yang diperoleh melebihi batas tersebut maka Sungai Brantas telah tercemar logam Pb. Untuk menyimpulkan bahwa pencemaran tersebut disebabkan oleh suatu pabnik, maka perlu dibandingkan kadar Pb di tempat sebelum melewati pabnik tersebut dengan kadar Pb di tempat sesudahnya menurut arah aliran air sungai. Dari tiga model penentuan titik pengambilan contoh, gambar 4 dianggap penulis lebih sesuai, karena titik-titik pengambilan dibagi menurutjalur aliran, lebarsungai maupun kedalamannya. Untuk penentuan tingkat pencemaran logam Pb sebaiknya digunakan metode contoh gabungan tempat (B.3) yang diambil pada selang waktu tertentu pada suatu periode, misalnya selama 24 jam. Hal ini disebabkan pengeluaran limbah ke dalam aliran sungai biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu. RINGKASAN Telah disajikan tulisan tentang cara penentuan tingkat pencemaran logam berat timbal (Pb) dalam air sungai.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
37
1) Dalam penentuan titik pengambilan contoh terdapat 3 model penentuan yaitu: model satu dimensi (Gambar 2) yang sesuai untuk sungai yang sempit dan dangkal, model dua dimensi (Gambar 3) sesuai untuk sungai yang dangkal tetapi lebar, sedang model tiga dimensi (Gambar 4) sesuai untuk sungai yang lebar dan dalam. 2) Untuk penentuan tingkat pencemaran logam Pb dalam air sungai sebaiknya digunakan metode contoh gabungan tempat (B3) yang diambil pada selang waktu tertentu pada suatu periode, misalnya selama 24 jam. 3) Untuk pengujian kadar Pb, dianjurkan menggunakan Spektrofotometer Absorbsi Atom (SAA), karena akan diperoleh hasil yang lebih akurat dibanding metode Spektrofotometri.
38
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. KEP 02/MENKLH/1J 1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Rau JG, Wooten DC. Environmental Impact Analysis Hand Book. New York: McGraw-Hill, 1980. Kantor Wilayah Kesehatan Daerah Tingkat I Jawa Timur. Bina Kependu dukan dan Lingkungan Hidup. Baku Cara Uji Air dan Air Limbah di Jawa Timur, Surabaya 1990. Mutiatikum D, Isnawati A, Raini M. Pengembangan Metode Analisis Logam Berat(Pb) dengan cara AAS. Cermin Dunia Farmasi 1993; 16: 31.
HASIL PENELITIAN
Hasil Pemeriksaan Senyawa Kimia dalam Air di Jakarta Barat Mariana Raini, Daroham Mutiatikum, Nikmah Bawahab Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, RI, Jakarta
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian hasil pemeriksaan senyawa kimia dalam contoh air yang diajukan penduduk wilayah Jakarta Barat tahun 1991 – 1992 untuk diperiksa kandungan kimianya di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisika berupa bau, kekeruhan, warna dan kimia yaitu barium, besi, kesadahan, kiorida, mangan, nitrit, pH, sulfat, sulfida, angka permanganat (zat organik). Hasil pemeriksaan mendapatkan, contoh air yang memenuhi syarat sebagai air minum dan air bersih = 43,3%, hanya sebagai air bersih = 31,7% serta tidak memenuhi syarat air minum dan air bersih = 25%. Contoh air yang tidak memenuhi syarat sebagai air minum tetapi masih memenuhi syarat sebagai air bersih umumnya disebabkan oleh kadar mangan, besi dan zat organik tinggi. Contoh air yang tidak memenuhi syarat sebagai air minum dan air bersih umumnya disebabkan oleh kadar mangan yang sangat tinggi.
PENDAHULUAN Air merupakan salah satu materi alam yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat digunakan untuk berbagai keperluan serta memelihara kebersihan lingkungan hidup. Penggunaan air tanah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air minum dan air bersih karena terbatasnya penyediaan air bersih dan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Menurut harian Kompas tanggal 8 Maret 1993, 55,5% warga Jakarta menggunakan air tanah, 44,49% menggunakan air PDAM. Di Indonesia akibat penggunaan air minum yang tidak memenuhi syarat kesehatan, tiap tahun diperkirakan lebih dari 3,5 juta anak di bawah usia tiga tahun terserang penyakit radang saluran pencernaan dan diare dengan jumlah kematian 3% atau sekitar 105.000 jiwa(1). Adanya senyawa kimia berbahaya yang terlarut dalam air dapat berakibat fatal jika kadarnya berlebih dan jika jumlahnya sedikit berlebih pada penggunaan jangka lama akan tertimbun dalam jaringan tubuh(2) dan menimbulkan efek yang merugikan kesehatan
Pencemaran air kanena senyawa kimia yang berbahaya ini sejalan dengan pertambahan penduduk dan industrialisasi. Banyak industri membuang sisa prosesnya ke badan sungai yang dapat menyebabkan penurunan kualitas air permukaan yang terdapat dalam badan sungai tersebut. Tercernarnya air sungai berakibat lanjut berupa pencemaran air tanah. Pencemaran air tanah dapat pula disebabkan oleh adanya peresapan air hujan melalui tempat penimbunan sampah. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan dan pengawasan kualitas air yang digunakan masyarakat serta agar terhindari dari gangguan kesehatan yang tidak diinginkan maka standar kualitas air minum dan air bersih di Indonesia telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor : 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air. Dalam peraturan tersebut air digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu : 1) Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. 2) Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
39
kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. 3) Air kolam renang adalah air di dalam kolam renang yang digunakan untuk olah raga renang dan kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. 4) Air pemandian umum adalah air yang digunakan pada tempat pemandian umum dan tidak termasuk pemandian untuk pengobatan tradisional dan kolam renang yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Syarat kesehatan yang dimaksud meliputi persyaratan mikrobiologi, fisika, kimia dan radioaktif. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar senyawa kimia dan air di wilayah Jakarta Barat yang diajukan masyarakat untuk diperiksa secara fisika dan kirnia di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan pada tahun 1991 – 1992.
Tabel 2.
Jumlah Contoh Air yang Diperiksa berdasarkan Jenis Air Jenis Air Air filter PAM Sumur terbuka Sumur pompa Sumur artesis
Cara Setiap sampel air diperiksa secara: 1) Fisika: – Bau dengan panca indera – Kekeruhan dengan turbidimetri – Warna dengan kolorimetri 2) Kimia: – Barium dengan turbidimetri – Besi dengan kolorimetri – Kesadahan dengan titrasi kompleksometri – Klorida dengan titrasi argentometri (Mohr) – Mangan dengan kolorimetri – Nitrit dengan kolorimetri – pH dengan pH meter – Sulfat dengan turbidimetri – Sulfida dengan kolorimetri – Angka permanganat (zat organik) titrasi dengan KmnO4 Hasil Jumlah contoh air yang masuk Puslitbang Farmasi dari wilayah Jakarta Barat = 60. Kedalaman dan jenis air yang diperiksa dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1.
Jumlah Contoh Air yang diperiksa berdasarkan Kedalaman Kedalaman
N
%
0 m (PAM) 0-31 m 31-100m > loom
19 27 6 8
31,7 45,0 10,0 13,3
60
100
Dari dua tabel di atas dapat dilihat bahwa contoh air yang diperiksa dan wilayah Jakarta Barat terbanyak berasal dari sumu pompa (50%) dengan kedalaman 0 – 30 m (45%).
40
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
% 18,3 15,0 3,3 50,0 13,4
60
100
Hasil pemeriksaan contoh air secara fisika dan kimia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Hasil Pemeriksaan Contoh Air Secara Fisika dan Kimia
BAHAN DAN CARA Bahan Sampel air adalah contoh air yang diajukan penduduk yang berada di wilayah Jakarta Barat yang diperiksa di Laboratorium Kimia Puslitbang Farmasi pada tahun 1991 – 1992. Larutan baku pembanding air adalah air suling (aquadest).
N 11 9 2 30 8
Parameter
Satuan
Kadar maksimum diperbolehkan *
AM
AB
Fisika Bau – tb tb Kekeruhan skala NTU 5 25 Warna skala TCU 15 50 Kimia Barium mg/I 1 – Besi mg/l 03 1 Kesadahan mg/I 500 500 Klorida mg/I 250 600 Mangan mg/I 01 0,5 Nitrit mg/I 1 1 pH 6 5–8,5 6,5–9,0 Sulfat mg/I 400 400 Sulfida mg/I 0,05 – Angka Permanganat mg/l 10 – (Zat Organik)
Hasil Yang memenuhi syarat (N = 60)
Hasil yang ti dak me menuhi syarat
AM %
AB %
AM/AB %
100 95 75
100 100 85
0 0 15
100 78,3 100 98,3 617 98,3 98,3 100 100 81,7
100 100 00 100 91,7 98,3 983 100 100 100
0 0 0 0 8,3 1,7 1,7 0 0 0
Keterangan: * : Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 416/Menkes/Per/IX/1990 AM : Air Minum AB : Air Bersih tb : Tidak berbau
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa dari hasil pemeriksaan secara kimia contoh air tersebut, umumnya kandungan kimia yaitu barium, kesadahan, kiorida, nitrit, pH, sulfat, sulfida hasilnya baik, masih memenuhi syanat sebagai air minum dan air bersih, kecuali besi = 21,7% dan mangan = 30% hanya memenuhi syarat air bersih, mangan = 8,3% tidak memenuhi syarat keduanya. Sedangkan unsur kimia lain (nitrit dan sulfat) yang tidak memenuhi syarat air minum dan air bèrsih sedikit sekali, masingmasing = 1,7%. Selain itu juga terdapat I contoh air yang mempunyai pH rendah. Secara keseluruhan contoh .air yang memenuhi syarat sebagai air minum dan air bersih 43,3%, hanya sebagai air bersih 31,7% dan tidak memenuhi syarat sebagai air minum dan air bersih –25%. PEMBAHASAN Pada penelitian pemeriksaan senyawa kimia dalam air ini
didapat contoh air yang memenuhi syarat sebagai air bersih tetapi tidak digolongkan sebagai air minum umumnya karena air keruh (5%) berwarna (10%), kadar mangan (30%), besi (2 1,7%), zat organik (18,3%) dan klorida (1,7%) tinggi. Sedangkan contoh air yang tidak memenuhi syarat keduanya karena warna (15%), mangan (8,3%), nitrit (1,7%), sulfat (1,7%) sangat tinggi, serta pH yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dapat disebabkan karena lapisan tanah sumber air tersebut mengandung mangan, besi, zat organik, nitrit, sulfat yang tinggi melebihi ambang batas yang diperbolehkan. KESIMPULAN DAN SARAN Contoh air berasal dari Jakarta Barat yang diperiksa pada Laboratorium Kimia Puslitbang Fanmasi tahun 1991 – 1992 terbanyak berasal dari sumurpompa dengan kedalaman 0–30 m. Contoh air yang memenuhi syarat sebagai air minum dan air bersih = 43,3%, hanya sebagai air bersih 3 1,7% serta tidak memenuhi syanat sebagai air minum maupun air bersih = 25%. Contoh air yang tidak memenuhi syarat sebagai air minum tetapi masih memenuhi syarat sebagai air bersih umumnya di-
sebabkan air keruh (5%) dan berwarna (10%), kadar mangan (30%) dan besi (2 1,7%) dan zat organik (18,3%) tinggi. Contoh air yang tidak memenuhi syarat sebagai air minum dan air bersih umumnya disebabkan oleh warna (15%), kadar mangan (8,3%) sangat tinggi serta pH (1,7%) yang rendah. Disarankan agar diadakan penelitian contoh air yang masuk Puslitbang Farmasi diperiksa secara mikrobiologi sehingga dapat diketahui jenis dan kandungan mikroba yang biasa terdapat pada contoh air tersebut. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.
Winarno FG. Air untuk Industri Pangan PT Gramedia, Jakarta, 1986. WHO. Guidelines for Drinking Water Quality. Vol 1, Macmillan/ Ceuterick – 8000. Belgium, 1984. WHO. Guidelines for Drinking Water Quality, Vol 2, Macmillan/ Ceuterick – 8000. Belgium, 1984. Departemen Kesehatan RI. Peraturan Menten Kesehatan RI No. 416/ Menkes/lX/l990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, Berita Negara RI, 1990. Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Pengolahan dan Produksi Air Minum. Air Minum, April 1987.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
41
HASIL PENELITIAN
Perkiraan Kontribusi Tritium (HTO) di Ruang Reaktor terhadap Dosis Seluruh Tubuh Para Pekerjanya Abdul Wa’id, Bunawas, Bambang Priwanto PSPKR - BATAN
ABSTRAK Pekerja radiasi yang bekerja di sekitar reaktor nuklir dengan sistem pendingin primer tipe air kolam mempunyai kebolehjadian terkontaminasi interna oleh tritium melalui paru-paru dan kulit akibat lepasanuap air tritium (HTO).Tingkat kontaminasi interna tritium ini bergantung pada tinggi dan berat tubuh. Berdasarkan pada model metabolisme tritium di dalam tubuh dapat diperlihatkan bahwa dosis ekivalen terikat HTO pada jaringan lunak karyawan Pusat Reaktor Serba Guna (PRSG) berkisar antara 0,56 – 0,73 mSv/th untuk WR (faktor kualitas radiasi untuk tritium) = 1 atau 1,12 – 1,46 Sv/th untuk WR = 2 dan konsentrasi tritium di udara sebesar 11751 Bq/m3.
PENDAHULUAN Dalam pengoperasian reaktor nuklir dengan air sebagai bahan pendingin reaktor, akan dihasilkan limbah radioaktif tritium (H-3) yang terbentuk melalui proses aktivasi neutron terhadap deuterium (H-2) yang terdapat di air pendingin primer reaktor(1). Tritium yang berada di air pendingin primer biasanya berbentuk molekul HTO, yaitu molekul air dengan salah satu atom hidrogennya diganti oleh tritium(2). Mengingat suhu air pendingin lebih tinggi daripada suhu udara di dalam ruang gedung reaktor, maka tritium ini mudah menyebar ke udara dalam bentuk 1110 melalui proses penguapan. Pekerja radiasi yang berada di dalam ruangan yang terkontaminasi tritium dalam bentuk HTO akan mempunyai peluang terkontaminasi interna baik melalui pernapasan, difusi melalui pori-pori kulit dan kontak tubuh dengan permukaan yang terkontaminasi(3). Potensi sebagai sumber radiasi eksterna dapat diabaikan, karena radiasi beta yang dipancarkan cukup rendah (maksimum 18,6 keV, rata-rata 5,7 keV) sehingga penetrasinya hanya 6 µm pada permukaan ku1it(4). Dibawakan pada Presentasi I1miah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan, Jakarta, 23–24 Agustus 1994. 42
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
Pada makalah ini dicoba diulas karakteristik kimia-fisika, pengaruh parameter tubuh terhadap tingkat kontaminasi interna, proses transport biologi, dari perkiraan dosis interna tritium serta risikonya terhadap kesehatan. KARAKTERISTIK TRITIUM Tritium adalah isotop hidrogen radioaktif dengan nomor atom 1 dan berat atom 3 yang disimbolkan sebagai 3H atau T dengan waktu paruh 12,35 tahun dan dalam peluruhannya memancarkan partikel beta (elektron). 3 1H –––––––––> 3He + e – Partikel beta yang dipancarkan ini berenergi rendah (maksimum 18,6 keV, rerata 5,7 keV). Energi sebesar ini dalam lintasannya mampu mengeksitasi molekul dan mengionkan (~ 0,03 keV per pasang ion). Jangkauan energi maksimum 5 mm di udara dan 6 µm di permukaan kulit, padahal sasaran sel kulit yang berpotensi mengakibatkan kanker adalah pada kedalaman 20–100 µm bagian epidermis dan kulit. ini berarti potensi sebagai radiasi eksterna dapat diabaikan(4).
Di lingkungan (khususnya di dalam gedung reaktor) ada dua bentuk tritium yang perlu mendapat perhatian yaitu tritium dalam bentuk gas (HT) dan tritium dalam bentuk uap air (HTO); yang dominan adalah HTO. Gas tritium (HT) di udara dapat berubah menjadi HTO melalui beberapa proses yaitu oksidasi, reaksi pertukaran isotopik dengan air dan oksidasi fotokimia(5). Bahaya radiasi HTO jauh lebih tinggi dibandingkan HT dengan perbandingan 25.000: 1(6). Oleh karena itu dalam makalah ini hanya dibahas tritium dalam bentuk HTO. JALUR KONTAMINASI INTERNA TRITIUM Tritium di udara dan sebagai kontaminan pada permukaan tertentu di tempat kerja dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur pernapasan, difusi melalui pori-pori kulit, melekat bersama makanan dan minuman, dan kontak tubuh (kulit) dengan permukaan bahan yang terkontaminasi(3). Tritium yang masuk lewatjalurpernapasan, sewaktu berada di daerah trachea-bronchi akan terkondensasi sehingga tingkat kelembaban di ruang tersebut mencapai 80–90%. Akibatnya sebagian besar tritium bentuk HTO ini akan diserap oleh paruparu dengan faktor absorbsi 98–99% dan sisanya dilepaskan kembali ke udara bebas(7). Tubuh manusia yang dibungkus kulit dengan luas permulcaan tertentu (bergantung pada tinggi dan berat tubuh), merupakan jalan masuk tritium (HTO) lewat poripori kulit melalui proses difusi. Laju kecepatan difusi tritium pada pori-pori kulit sebanding dengan tekanan uap air di udara dan tebal membran (barrier) kulit, laju kecepatan difusinya sebesar 1,1 1/menit/m2(7,8). Apabila kulit bersentuhan dengan permukaan tertentu (khususnya logam) yang terkontaminasi tritium (HTO), maka tritium tersebut dapat masuk ke lapisan ekstravaskuler kulit seperti halnya tinta yang diserap oleh kertas. Pemasukan lewat jalur ini, melalui proses blotter effect, adalah sebesar 1 gram/m2(9). Kebolehjadian seseorang makan di tempat kerja (khususnya di reaktor) adalah sangat kecil, tetapi kebiasaan minum sulit untuk dihindari, sehingga ada potensi kontaminasi interna tritium melalui jalur minuman. Penlu diketahui bahwa gelas yang berisi air (air teh, air kopi, air putih) dan diberi tutup, tidak akan terhindar dari kontaminasi tritium (HTO) di udara melalui proses difusi lewat celah-celah antara gelas dan tutupnya. Laju difusi efektif uap air HTO ke dalam gelas bergantung pada diameter celah. Mekanisme ini sama dengan sistem pencuplikan tritium secara pasif (tanpa pompa pencuplik) yang dikembangkan di AECL Kanada(10,11). PERKIRAAN LAJU PEMASUKAN TRITIUM KE DALAM TUBUH Dan keempat jalur kontaminasi interna tritium ke dalam tubuh (pemapasan, kulit, pencernaan dan kontak dengan permukaan), hanya dua jalur yang direkomendasikan oleh ICRP 30 yaitu melalui pernapasan dan kulit(6). Kedua jalur yang lain diabaikan sebab sulit diperkirakan dan kontribusinya relatif kecil(9). Perlu diketahui pula bahwa luas permukaan tubuh (kulit), tidak sama untuk setiap orang, bergantung pada tinggi dan berat badan; luas permukaan kulit secara empiris diperkira-
kan dengan persamaan sebagai berikut(12) : (1) S = 0,0072 B0,425 x T0,725 (m2) Mengingat ukuran tubuh antara pria dan wanita tidak sama, dilakukan koreksi sehingga persamaan di atas berubah menjadi sebagai berikut(15) : (2) S = 0,0072 B0,425 x T0,725 x f (m2) dengan B = berat tubuh (kg) T = tinggi tubuh (cm) f = faktor koreksi bentuk tubuh, 1,05 (untuk wanita) dan 0,95 (untuk pria).
Mengingat sifat tritium (HTO) mirip dengan air di dalam tubuh, maka distribusinya bergantung pada kadar air tubuh. Kadar air tubuh (MA) dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan empiris(8). (3) MA = 0,55 B0,53 x T0,4 (liter) Laju pemasukan tritium ke dalam tubuh adalah penjumlahan dan dua jalur utama pemasukan(9). Ao = Ai + Ak (Bq) (4) Ai = RTHN (Bq) (5) Ak = S IT H N (Bq) (6) Keterangan : Ao = total pemasukan tritium ke tubuh pada waktu tertentu (Bq), Ai = pemasukan tritium ke tubuh lewat jalur pernapasan (Bq). Ak = pemasukan tritium ke tubuh lewat jalur kulit (Bq). R = laju pernapasan (10,2 1/menit). T = waktu pernapasan (menit). N = aktivitas spesifik HTO dan uap air (Bqlg). S = luas permukaan kulit (m2) I = laju pemasukan melalui kulit secara difusi (= 5,1 l/menit/m2) H = kelembaban udara (g/l).
DOSIMETRI DAN METABOLISME TRITIUM DIDALAM TUBUH Tritium dalam bentuk HTO yang masuk ke dalam tubuh baik melalui jalur pernapasan, absorbsi kulit atau pencernaan, dengan cepat akan terdistnibusi ke seluruh tubuh, karena sebagian besar tubuh manusia terdiri atas air (~ 70%)(13). Konsentrasi tritium dalam keringat, air liur, urin, darah, dan uap air dalam pernapasan dianggap sama setelah 2–4 jam dari saat pemaparan(6). Waktu panuh biologik HTO di dalam tubuh terdiri atas 3 komponen. Komponen pertama (T1) sekitar 8–12 hari, kedua (T2) antara 21 dan 76 hari dan ketiga antara 280 dan 550 hari(14). Komponen pertama mirip dengan kesetimbangan air pada manusia acuan, T = 0,693 x 42/3 = 9,7 hari (42 adalah kadar air tubuh dan 3 adalah pemasukan air per hari). OIeh karena itu komponen T1 merupakan replikasi dan metabolisme air. Komponen yang kedua (T2) mirip dengan ikatan organik hidrogen (OBT). Bila diperkirakan dari kesetimbangan karbon pada manusia acuan diperoleh T = 0,693 x 16/0,3 = 37 hari (kadar karbon total = 16 kg dan penyerapan kambon harian = 0,3 kg). Waktu paruh yang lebih panjang untuk komponen ketiga (T3) mencerminkan keberadaan tritium di dalam kolagen dan lipid dalam jaringan lemak dan otak pada hewan percobaan(1). Untuk memudahkan dalam mempenkirakan waktu tinggal HTO di dalam tubuh dengan fungsi eksponensial 2 komponen, ICRP menggunakan waktu paruh biologik untuk T1 sebesar 10 hari dan T2 sebesar 40 hari. Untuk memperkirakan dosis tritium, telah dikembangkan
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
43
model kompartemen HTO menggunakan 2 kompartemen(6,15) maupun model 3 kompartemen(16) (Gambar 3 dan 4). ICRP memperkirakan kontribusi dosis tritium di dalam tubuh yaitu 95% berasal dari HTO dan 5% dari OBT Hal ini berarti bahwa apabila tritium dalam bentuk HTO masuk ke dalam tubuh, maka ada 5% bentuk komposisinya diubah menjadi bentuk organik.
Dosis serap terikat (D) yang ditenima tubuh selama waktu t : t
-8
D = 1,1072 x 10
E MA
∫ A(t) dt (Gy)
(10)
o
At = Ao exp (-0,693. t) T1/2
(11)
Dosis ekivalen terikat (H): t
-8
H = 1,1072 x 10
E. WR. Ao / MA
t) dt ∫ exp (-0,693. T o
(12)
1
Untuk keperluan proteksi radiasi, waktu pemaparan dosis interna selama 50 tahun = 11800 hari, sehingga persamaan (12) menjadi: H = 90,5 x 10-11 Ao (Sv) untuk WR = 1 MA = 181,0 x 10-11 Ao (Sv) untuk WR = 2 MA
Gambar 2. Model kompartmen HTO di dalam tubuh(6,15)
dengan Ao Tl/2 E WR
Gambar 2. Model kompartmen HTO di dalam tubuh(6,15)
Mengingat fraksi OBT di dalam tubuh adalah kecil (≈ 5%), maka model untuk memperkirakan dosis interna dapat lebih disederhanakan dengan menganggap bahwa tubuh adalah satu organ dan tritium langsung didistribusikan ke seluruh jaringan lunak. Laju dosis serap dihitung dengan menggunakan persamaan: D = 1,602 x 10-13 E. A (t) (Gy/detik) M
(7)
atau D = 1,384 x 10-8 E. A (t) (Gy/hari) M
(8)
dengan :
D E A(t) M t
= = = = =
Laju dosis serap (Gy/detik). energi beta rerata yang diabsorbsi (MeV). Aktivitas dalam tubuh pada waktti t (Bq). masa jaringan lunak (kg). waktu pemaparan (detik, hari).
Menurut manusia acuan ICRP, bahwa 80% jaringan lunak terdiri atas air, sehingga persamaan di atas menjadi: (9) D = 1,384 x 10-8 0,8. E. A (t) (Gy/hari) MA dengan MA = kadar air tubuh (kg) = .
44
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
= = = =
(13)
aktivitas tritium di tubuh saat t=0 (Bq). waktu paruh Biologi HTO (= 10 hari). energi beta (= 0,0057 MeV). faktor kualitas radiasi untuk tntium = 1 (menurut ICRP 30 tahun 1977) = 2 (menurut ICRU 40 tahun 1986)
PEMBAHASAN Dari data tinggi dan berat tubuh 17 responden karyawan PRSG (Tabel 1), dan konsentrasi tritium (HTO) di dalam ruang gedung reaktor adalah 11751 Bq/m3(17), lama kerja 8jam/ hari dengan 20 hari/bulan, dapat diperkirakan melalui persamaan (4), (5) dan (6) tingkat kontaminasi interna tritium berkisar antara 22,531 dan 24,993 MBq/tahun. Variasi tingkat kontaminasi tritium untuk masing-masing karyawan ini disebabkan karena luas permukaan tubuhnya tidak sama. Padahal jalur pemasukan tritium ke dalam tubuh salah satunya melalui pori-pori kulit. Tingkat kontaminasi tritium ini masih jauh dari batas pemasukan maksimum yang direkomendasikan oleh ICRP sebesar 3000 MBq/tahun(18). Perkiraan dosis ekivalen terikat tritium bendasarkan persamaan (12) hanya bergantung pada 2 parameter yaitu kadar air tubuh dan kadar tritium yang masuk ke dalam tubuh. Untuk laju pemasukan tritium di dalam tubuh berkisar antara 22,531 – 24,993 MBq/tahun maka dosis ekivalen terikat yang diterima oleh karyawan PRSG berkisar antara 0,560 dan 0,730 mSv/ tahun untuk WR = 1 atau antara 1,120 dan 1,460 mSv/tahun untuk WR = 2 (tabel 1). Hasil perkiraan dosis ekivalen terikat menunut ICRP 54 antara 0,383 – 0,425 mSv/tahun untuk WR = 1 dan 0,766 – 0,850 mSv/tahun untuk WR = 2(18).Perbedaan penkiraan dosis ini karena ICRP menggunakan manusia acuan dengan berat badan 75 kg (kadar air tubuh 42 kg). Ini berarti untuk keperluan perkiraan dosis tritium, maka sebaiknya
Tabel 1. Perkiraan dosis ekivalen terikat dan kontaminasi interna Tritium yang diterima oleh responden untuk konsentrasi tritium di udara rata-rata 11751 Bq/m3 No. Rpdn BB (Kg) TB (cm) Ao (MBq/th) H (mSv/th)* 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
02 03 04 05 09 10 11 12 14 15 16 17 19 20 22 23 24
44 54 64 60 47 59 50 37 69 44 53 55 53 54 50 55 51
158 160 165 160 163 173 161 153 168 158 163 160 161 160 160 163 163
22,531 24,539 24,476 23,933 23,012 24,474 23,182 22,560 23,993 23,506 23,522 23,546 23,431 23,466 23,138 23,685 23,356
H (mSv/th)
0,660 0,640 0,580 0,590 0,640 0,590 0,630 0,730 0,560 0,690 0,620 0,610 0,620 0,610 0,630 0,610 0,620
1,320 1,280 1,160 1,180 1,280 1,180 1,260 1,460 1,120 1,380 1,240 1,220 1,240 1,220 1,260 1,220 1,240
Keterangan: * = menggunakan faktor kualitas radiasi (WR) = 1 (JCRP 30) ** = menggunakan faktor kualitas radiasi (WR) = 2 (ICRU 40)
menggunakan data berat kadar air tubuh per individu seperti pada persamaan (13). Faktor berat badan, menentukan besar dosis yang diterima. Sebagai contoh responden 14 dengan berat badan Tabel 2.
69 kg dengan pemasukan tritium 24,993 MBq/tahun dan responden 12 dengan berat badan 37 kg dengan pemasukan tritium 22,560 MBq/tahun, maka dosis ekivalen terikat yang diterima oleh responden 12 adalah 1,3 kali Iebih tinggi daripada responden 14. Hal ini berarti bahwa apabila dua orang tersebut mempunyai jam kerja di tempat yang sama, maka orang yang badannya kurus akan mempunyai faktor risiko kankerdan genetik yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang gemuk. Karena menurut Straum, faktor risiko kanker 81 x 10-3/Sv dan faktor risiko genetik sebesar 7,9 x 10-3/Sv(19). Walaupun perkiraan secara teori dosis dan tritium yang diterima oleh responden karyawan PRSG masih rendah, tetapi perlu diingat ada sumber kontaminan lain yang potensial memberikan kontribusi dosis yaitu gas argon-4 1(20) selain daripada itu ada upaya dan ICRP untuk menurunkan dosis yang diterima pekerja dari 0,5 Sv/tahun menjadi 0,2 Sv/tahun(21). Oleh karena itu program bioassay melalui urine atau pernapasan perlu direalisasikan dalam upaya memberikan rasa aman dan meningkatkan budaya keselamatan terhadap para pekerja. KESIMPULAN DAN SARAN 1) Tingkat kontaminasi interna tritium dari 17 responden karyawan PRSG berkisar antara 22,531–24,993 MBq/tahun, untuk konsentrasi tritium di udara sebesar 11751 Bq/m3. Perbedaan ini disebabkan karena luas permukaan tubuh responden tidak sama,
Konsentrasi Tritium di udara pada beberapa ruangan di RSG GAS Serpong Konsentrasi H–3 di ruangan
Daya
Tanggal
Waktu sampling
Hall reaktor Dpm
C (Bq/m')
Hall eksperimen Dpm
C (Bq/m')
R. Kendali Utama Dpm
Keterangan
C (Bq/m')
30
09.00–09.30 16–11–93 12.00 – 12.30 15.00– 15.30
85,08 50477,95 9097 55325,76 95 30 58889,23
47,47 19522,75 47 99 19950,74 48,83 20642,11
40,23 13563,82 41,77 14831,32 40,25 13580,28
-WL Reaktor Shut Down pk. 15.00
0
09.00–09.30 19–11–93 12.00– 12.30 15.00 – 15.30
35,10 9341,62 35,25 9465,08 35,04 9292,23
35,16 9391,00 35,08 9325,16 35,35 9547,38
3338 7925,87 34,01 8444,40 3390 8353,86
Reaktor tidak beroperasi
25
09.00–09.30 22–11–93 12.00– 12.30 15.00– 15.30
48,37 20263,49 48,50 20370,49 49,27 21004,24
4345 16214,09 43,65 16378,70 43,95 16625,61
3915 12674,91 39,35 12839,52 38,90 12469,15
+WL Reaktor start up pk.08.00
25
09.00 – 09.30 23–11–93 12.00– 12.30 15.00– 15.30
50 37 21909,59 51,34 22707,95 5204 23284,08
43,99 16658,54 4423 16856,07 4437 16971,30
37,30 11152,26 38 23 11917,70 3900 12551,45
+ WL
25
09.00–09.30 24–11–93 12.00– 12.30 15.00 – 15.30
5601 26551,59 59,32 29275,99 64,10 32210,20
44,69 17234,67 44,87 17382,89 44,97 17465,12
36,71 10666,65 37 83 11588,48 39,04 12584,38
- WL
25
09.00 – 09.30 25–11–93 12.00– 12.30 15.00– 15.30
67,34 35876,91 70,92 38823,46 74,78 42000,46
45 35 17777,88 45,66 18033,03 45,89 18222,33
38,18 11876,55 39,55 13004,14 36,05 10123,43
- WL
09.00 – 09.30 26–11–93 12.00–12.30
77,10 43909,95 79,90 46214,51
46,10 18395,17 6673 18913,69
38,18 11876,55 39,10 12633,76
- WL Reaktor Shut
15.00– 15.30
80,83 46486,12
46,93 19078,30
3847 12115,23
Down pk. 11.00
25
Kererangan: Dpm = Disintegrasi per menit (Bq) C = Konsentrasi tritium (Bq/m3)
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
45
padahal kulit merupakan jalur pemasukan tritium ke dalam tubuh. 2) Berdasarkan model dosimetri tritium, dapat diperkirakan dosis ekivalen terikat yang diterima oleh responden karyawan PRSG berkisar antara 0,56–0,73 mSv/tahun untuk WR = 1 dan 1,12– 1,46 mSv/tahun untuk WR =2. Variasi dosis ini disebabkan karena berat badan responden tidak sama, padahal berat tubuh (kadar air tubuh) menentukan besarnya dosis yang diterima. 3) Perlu direalisasi program bioassay melalui urin atau pernapasan untuk memperkirakan dosis tritium secara tepat dan dalarn rangka menyongsong penerapan ICRP 60.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
46
Okada S, Momoshima N. Overview of Tritium: characteristics, sources, and problems. Health Physics 1993; 65. Mukhlis Akhadi. Tinjauan teoritis beberapa pengukuran kadar Tritium dalam udara. Laporan Intern PSPKR-BATAN, 1994. International Atomic Energy Agency. Safe Handling of Tritium. IAEA Technical Series Report No. 234, 1991. International Commission on Radiological Protection. The Biological Basic for Dose Limitation in the Skin. ICRP Publication 59, 1991. Noguchi H, Kato S. Conversion of Tritium Gas to Tritiated Water in the Environment (literatur survey). Hoken-Butsuri 1985; 40: 49–59. International Commission on Radiological Protection. Limits for Intakes of Radionuclides by Workers. ICRP Publication 30(1979–1982).
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
16. 17. 18. 19. 20. 21.
Pinson EA, Cangham WH. Physiology and toxicity of Tritium in man. Health Physics 1980; 30: 1087–10. Osborne RV. Absorbsion of Tritiated Water Vapour by People. Health Physics 1966; 12: 1527–37. Osborne RV. Intake of Tritium when Skin is Splashed with Tritiated Water. Health Physics 1968; 15: 155–56. Woods MJ, Workman WJG. Environmental Monitoring of Tritium in Air with Passive Diffusion Samplers. Fusion Technology 1992; 21 529–35. Stephenson J. Re-evaluation of the Diffusion Sampler for Tritiated Vapor (HTO). Restricted Report HSD-SD-90-20, 1990. Mattar JA. A Simple calculation to estimate body surface area in adult and its correlation with to the Du Bois Formula. Crit. Care Medicine 1989; 17: 846–47. International Commission on Radiation Protection. Reference Man: Anatomical, Physiological and Metabolic Characteristics. ICRP Publication 1977; 26. National Council on Radiation Protection. Tntium and Other Radionuclide Labeled Organic Compounds Incorporated in Genetic material. NCRP Report 1979; 63. Balonov INI, Likhtarev IA, Moskalen Yl. The Metabolisme of Tritium Compund and Limits for Intake by Workers. Radiation Protection Dosimetry 1984; 47: 761–73. Hill RL, Johnson JR. Metabolism and Dosimetry of 3H. Health Physics 1993; 65: 628–47. Bunawas Made Udiyani, Rahma BS. Pengukuran Tritium di Udara RSG GA. Siwabessy. Belum Terbit, 1994. International Commission on Radiation Protection. Individual Monitoring for Intakes of Radionuclide by Workers : Design and Interpretation. ICRP Publication 198 54. Straume 1. TritiumRiskAssessment. Health Physics 1993; 65(6): 673–682. Bunawas, Antony S. Teresia R, Pondi U. Pemantauan Gas Radioaktif di Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy pada Operasi Normal. Belum Diterbitkan, 1994. International Commission on Radiological Protection. Recomendation of The International Commission on Radiological Protection. ICRP Publication 1991; 60.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Perbedaan Osteoporosis dengan Gangguan Muskuloskeletal Lainnya Harry Isbagio Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN Hilangnya sejumlah massa tulang akibat berbagai keadaan dan obat-obatan disebut osteopenia. Osteoporosis merupakan osteopenia yang telah melewati ambang batas untuk terjadi fraktur (fracture threshold). Keadaan ini karakteristik dengan turunnya massa tulang karena jumlah jaringan tulang yang mengisi tulang berkurang, tetapi struktur tulang sendiri masih normal. Osteoporosis dapat dibagi dalam dua golongan besar menurut penyebabnya yaitu disebut primer, bila penyebabnya tidak diketahui, dan sekunder bila osteoporosis itu diakibatkan oleh berbagai kondisi klinik. Deteksi pasien yang mempunyai risiko fraktur osteoporosis adalah sangat penting, karena tidak semua wanita pasca-menopause usia antara 50–60 tahun yang menderita nyeri pinggang disebabkan oleh osteoporosis. Studi epidemiologik dari pengalaman klinik pada wanita kulit putih menunjukkan bahwa hanya sekitar 25% yang berusia 60 tahun ke atas menderita fraktur kompresi vertebra dan hanya 20% yang mengalami fraktur coxae sebelum usia 90 tahun. Anggapan bahwa semua wanita pasca-menopause dengan keluhan nyeri pinggang disebabkan oleh osteoporosis akan menimbulkan terjadinya over diagnosis yang sangat merugikan karena berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh penderita untuk membeli obat dalarn rangka pencegahan dan pengobatan osteoporosis tersebut. Sebaliknya under diagnosis perlu dihindari untuk mencegah keterlambatan diagnosis osteoporosis, jangan sampai baru diketahui setelah adanya fraktur spinal, coxae dan pergelangan tangan. Pada makalah ini secara garis besar berbagai keluhan dan keadaan yang menyerupai osteoporosis dibagi dalam dua ke-
lompok besar, yaitu: 1) Keadaan dan keluhan yang berhubungan dengan berkurangnya sejumlah massa tulang (penyakit tulang osteopenik = osteopenic bone diseases). 2) Keadaan dan keluhan yang tidak berhubungan dengan berkurangnya massa tulang. PENYAKIT TULANG OSTEOPENIK Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai oleh seorang dokter akan kemungkinan adanya penyakit tulang osteopenik ialah patah tulang akibat trauma ringan. Bila tidak ada trauma, gejala yang perlu diperhatikan ialah: tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah dan nyeri tulang. Beberapa penderita osteomalasia dan hiperparatiroidi mengeluh gangguan otot, seperti kaku dan lemah. Sejumlah penderita dicurigai menderita osteopenia dan hasil pemeriksaan radiologik untuk alasan lain. Dalam tabel 1 dapat dilihat diagnosis banding osteopenia pada orang dewasa. Gangguan tersebut meliputi osteoporosis, osteopenia akibat glukokortikoid, osteomalasia, osteitis fibrosa dan penyakit lainnya seperti hiperparatiroidism, keganasan yang melibatkan tulang dan osteogenesis imperfecta tarda. Diperlukan evaluasi lengkap untuk menentukan dan mencan penyebab dari osteopenia; yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologik rutin tulang yang terserang, pengukuran massa tulang dan beberapa pemeriksaan laboratorik yang meliputi kadar serum (puasa) kalsium (Ca), fosfat (PO4)dan fosfatase alkali.Dianjurkan pula untuk melakukan pemeriksaan fungsi (rutin) tiroid, hati dan ginjal. Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan penderita malabsorpsi kalsium (total eskresi 24 jam kurang dari 100 mg) serta untuk penderita yang jumlah ekskresi
Dibacakan pada Simposium Diagnostik dan Penatalaksanaan Terbaru, Hotel Arya Duta, Jakarta, 23 April Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
47
Tabel 1.
Differential Diagnosis of Osteopenia in Adults Disorder
Osteoporosis • Involutional or Senile Form • Postmenopausal Form
• Hypogonadal Form • Idiopathic Form • Disuse of Immobilization Forms Glucocorticoid+induced osteoporosis • latrogenic Form • Spontaneous Form (Cushing's Syndrome) Osteomalacia • Vitamin D Deficiency • Phosphate-Wasting Syndromes • Aluminium Bone Disease • Hypophosphatasia Osteitis fibrosa (hyper parathyroidism) • Primary Hyperparathyroidism (Adenoma) • Secondary Hyperparathyroidism
Tabel 2.
Possible causes and characteristics
Gangguan
• Associated with aging, genetics, leanness, lifetime low calcium intake. Fractures of hip dominate and often occur after age 70. • Associated with menopause, especially before age 45. Fractures of vertebrae, ribs, radius (bones with high trabecular content) dominate, in women in the sixth and seventh decades. • Associated with low luteinizing hormone or androgen levels in men. • No obvious predisposing factors.
Kalsium (Ca)
Fosfat (PO)
Fosfatase Alkali
Osteoporosis idiopatik High turnover Low turnover Osteoporosis Akibat gluko kortikoid Osteomalasia Defisiensi vit. D Deplesi fosfat Hiperparatiroidism primer
Normal Normal
Normal Normal
Sangat naik Normal
Normal
Normal
Normal
Sangat turun Normal
Sangat turun Sedikit naik Sangat turun Sedikit naik
Sedikit naik Normal, sangat turun, sedikit naik
Sangat turun Normal, sedikit naik Sedikit naik, Sedikit naik, normal normal
Osteodistrofi renal Penyakit tulang metastatik
Normal, sedikit Normal naik Normal Normal
Sedikit naik, normal Normal, sedikit naik
Hipertiroidism • Inadequate intake, intestinal malabsorp tion, drug-induced accelerated catabolism of vitamin D. • Acquired renal tubular defects with phos phate loss, renal tubular acidosis, antacid abuse • Dialysis, total parenteral nutrition (TPN)
Hyperthyroidism
• Vitamin D-deficiency states, decreased intestinal calcium absorption with age, chronic renal failure High-turnover osteoporosis
Malignancies
Replacement of bone by tumor
Genetic defects
Osteogenesis imperfecta, disease, lipid storage disorders
sickle
cell
Dikutip dari:Hahn BH. Osteopenic Bone Diseases. Dalam Mc. Carty et al (ed). Arthritis and Allied Condition. A Textbook of Rheumatology. Twelfth ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger 1993. p. 1927–54.
kalsium sangat tinggi (lebih dari 250 mg/24 jam) yang mungkin berbahaya bila diberi suplemen kalsium atau vit. D/metabolitnya. Bila dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroid maka perlu diperiksa kadar hormon paratiroid (PTH). Bila ada dugaan ke arah malabsorpsi maka perlu diperiksa kadar 25-OH D. Bila diagnosis osteopenia telah ditegakkan maka sebagai langkah awal untuk menentukan penyebab, diperiksa kadar serum (puasa) Ca, PO4 normal sedangkan alkali fosfatase sangat meningkat, sedangkan pada low turnover osteoporosis dan akibat glukokortikoid kadar ketiganya normal. Pada osteomalasia akibat defisiensi vitamin D, maka kadar Ca turun, P turun dan alkali fosfatase sedikit meningkat, sedangkan bila akibat deplesi fosfat maka Ca normal, P turun dan alkali fosfatase sedikit meningkat (tabel 2).
48
Kadar Serum Kalsium, Fosfat dan Fosfatase Alkali pada Osteopenia
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
Tabel 3.
Kadar Serum Osteocalcin, PTH dan 25-OH D pada Osteopenla
Gangguan Osteoporosis idiopatik High turnover Low turnover Osteoporosis Akibat gluko kortikoid Osteomalasia Defisiensi vit. D Deplesi fosfat Hiperparatiroidism primer Osteodistrofi renal Penyakit tulang metastatik Hipertiroidism Tabel 4.
Osteocalcin
PTH
25-OH D
Sangat naik Normal
Normal Normal
Normal Normal
Sangat turun
Sedikit naik
Normal
Normal Normal
Sedikit naik Normal
Sangat turun Normal
Sedikit naik Sedikit naik Sedikit naik, normal, sangat turun Sedikit naik
Naik Sedikit naik Normal, sangat naik
Normal Normal Normal
Normal
Normal
Kadar Kalsium, Fosfat dan Hidroksiprolin dalam Urin 24 Jam pada Osteopenia
Gangguan Osteoporosisidiopatik High turnover Low turnover Osteoporosis Akibat glukokortikoid Osteomalasia Defisiensi vit. D Deplesi fosfat Hiperparatiroidism primer Osteodistrofi renal Penyakit tulang metastatik Hipertiroidism
Kalsium (Ca)
Fosfat (PO4)
Sangat naik Normal
Normal Normal
Sangat naik Normal
Normal
Normal
Sangat turun, normal, sedikit naik
Sangat turun Sedikit naik
Sangat turun Normal Sedikit naik, Normal normal
Sedikit naik Sedikit turun Normal, sedikit naik Normal
Sedikit turun Sedikit naik Sedikit turun Sedikit naik Normal Sedikit naik Normal
Hidroksiproline
Sedikit naik
Pemeriksaan serum PTH yang didukung dengan data lain dapat menegakkan diagnosis hiperparatiroidism. Keadaan lain yang dapat meningkatkan PTH ialah osteoporosis akibat glukokortikoid, defisiensi vitamin D, osteodistrofi renal dan metastasis. Pemeriksaan kadar 25-OH D sangat sensitif untuk menilai keadaan vitamin D, kadar normalnya berbeda pada musim dingin dengan musim panas (di negara empat musim); pada defisiensi vitamin D kadarnya sangat rendah. Untuk menentukan turnover tulang maka beberapa ahli memeriksa kadar osteocalcin serum yang kadarnya sangat meningkat pada high turnover osteoporosis. Osteocalcin hanya dibuat oleh osteoblast sehingga pada keadaan sintesis tulang yang meningkat kadarnya akan naik pula. Pemeriksaan ekskresi kalsium urin 24 jam mudah dan sangat berguna, walaupun tidak langsung mendeteksi kelainan metabolisme tulang. Pada orang dengan diet kalsium sekitar 600–800 mg, maka nilai ekskresi kalsium tersebut ialah 100–250 mg/24 jam. Nilai di bawah 100 mg/24 jam menunjukkan kemungkinan malabsorpsi atau akibat peningkatan PTH sekunder yang merangsang retensi kalsium oleh tubulus ginjal. Peningkatan ekskresi kalsium urin disertai asidosis hiperkioremik menunjukkan adanya renal tubulus asidosis. Hidroksiprolin hanya ditemukan dalam kolagen, sehingga peningkatan ekskresi dalam urin 24 jam diakibatkan oleh resorpsi tulang. Uji ini dipengaruhi oleh diet mengandung banyak protein, sehingga agarpemenksaan ini dapat digunakan di klinik, maka sebelumnya penderita harus diet ketat selama 3 – 5 hari. OSTEOPOROSIS PRIMER Osteoporosis primer dapat dibedakan atas tipe 1/osteoporosis postmenopause yang terjadi pada wanita pasca-menopause, tipe 2/senile osteoporosis/ageing-associated osteoporosis yang terjadi pada usia lanjut dan osteoporosis idiopatik ditemukan pada remaja, pria usia pertengahan dan wanita pre-menopause. Osteoporosis idiopatik pada remaj a/osteoporosis juvenil, jarang dijumpai, dapat menyerang seluruh tulang, disertai dengan hambatan pertumbuhan, biasanya self-limiting dan berlangsung tidak lebih dari 4 tahun. Osteoporosis idiopatik pada wanita pre-menopause dan pria usia pertengahan relatif lebih sering dijumpai, yang gejalanya berupa fraktur biasa, fraktur kompresi vertebra multipel disertai nyeri pinggang yang hebat. Penyebab osteoporosis idiopatik tidak jelas. Pada wanita premenopause diduga disebabkan oleh turunnya kadar estrogen sebelum terjadi menopause yang nyata. Pada pria diduga erat hubungannya dengan penyalahgunaan alkohol, merokok dan imobilitas. Penderita osteoporosis senil biasanya berusia 70 tahun atau lebih pria dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama terserang, fraktur biasanya pada tulang paha. Penderita osteoporosis postmenopause wanita biasanya berusia 50 sampat 65 tahun, fraktur biasanya pada vertebra, iga atau tulang radius. Selain fraktur maka gejala yang perlu diwaspadai ialah kifosis dorsalis bertambah, makin pendek dan nyeri tulang kronik. Adanya osteopenia gigi ditandai dengan gejala gigi mudah
tanggal yang disertai resorpsi gusi atau banyak gigi yang goyah, dapat digunakan sebagai patokan kemungkinan adanya osteopenia tulang. Osteoporosis primer mempunyai faktor etiologi multipel akibat bertambahnya usia, merupakan perpaduan antara turunnya pembentukan tulang dan peningkatan resorpsi tulang yang hasil akhirnya ialah hilangnya massa tulang. Beberapa hipotesis yang diajukan antara lain : kegagalan relatif osteoblast; defisiensi vitamin D dan kalsium akibat perubahan diet, penurunan efisiensi absorpsi kalsium di usus dan retensi kalsium di ginjal; penurunan kadar calcitonin dan estrogen dan kenaikan kadar PTH. Perlu dicani adanya faktor predisposisi (tabel 5). Tindakan pencegahan pada wanita pasca-menopause dengan menggunakan terapi pengganti hormon (hormon replacement therapy) perlu memperhatikan kemungkinan adanya sindrom defisiensi estrogen (tabel 6). Tabel 5.
Faktor Predisposisi Osteoporosis Primer
Faktor Umum Usia
Genetik
Ras Menopause Obat Imobilisasi Kebiasaan
Tabel 6.
Faktor Spesifik Penurunan absorpsi kalsium Peningkatan hormon paratiroid Penurunan kalsitonin Senescence tulang Meningkatnya kerentanan pada sekelompok populasi Puncak massa tulang rendah Bentuk badan kecil (kurus) Kembar monozigot Hubungan ibu-anak Insidens osteoporosos: kulit putih>Asia-Hispanik >kulit hitam Penurunan kadar estrogen dan progestin, terutama se ketika seperti pada ooforektomi Glukokortikoid, methotrexate Inaktifitas Kurang beban Asupan kalsium rendah Kurang sinar matahari Merokok Penyalahgunaan alkohol Kurang aktifitas fisik
Sindrom Detisiensi Estrogen
Rasa panas, keringat malam, insomnia, palpitasi, sakit kepala, serangan panik Perubahan mood, anxietas, mudah marah, ingatan buruk, konsentrasi buruk, hilang percaya din, bimbang, depresi, kelelahan, hilang daya Atrofi genital,dispareunia, hilang libido, seringkencing, nokturia, disuria Kulit kenng tipis, rambut kenng, sakit dan nyeri sendi
Pemeriksaan nadiologik baik rutin maupun yang lebih sensitif dengan menggunakan berbagai teknik canggih seperti SPA, DPA, QCT dan DEXA dapat memastikan adanya osteopenia. Pemeriksaan serum menunjukkan kadar kalsium, fosfat, fosfatase alkali, PTH dan 25-OH D normal. Kalsium urin mungkin rendah, tetapi biasanya normal. Penyebab lain osteopenia seperti hipertiroidi, keganasan,. hiperkortisolisme, hiperparatiroidi dan osteomalasia harus disingkirkan. Biopsi tulang dan knista iliaka dilakukan untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder. Selain itu dapat membedakan antara high turnover dengan low turnover, hal ini kadang-
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
49
kadang perlu dilakukan karena respons terhadap pengobatan berbeda. OSTEOPENIA AKIBAT GLUtKOKORTIKOID Hilangnya massa tulang akibat glukortikoid merupakan keadaan lain penyebab kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari pembentukan tulang. Pada keadaan ini mekanisme utamanya ialah supresi pembentukan tulang dan peningkatan resorpsi tulang (Tabel 7). Tabel 7.
Mekanisme Osteopenia Akibat Glukokortikoid
Supresi pembentukan tulang Penurunan konversi dari sel prekursor ke osteoblast Penurunan sintesis osteoid oleh osteoblast matang Supresi faktor lokal pertumbuhan tulang Peningkatan resorpsi tulang Penurunan absorpsi kalsium di usus Penurunan resorpsi kalsium oleh tubulus renal dan peningkatan ekskresi lewat urin Hiperparatiroidi sekunder akibat malabsorpsi kalsium dan pengeluaran lewat urin Aktivasi osteoklast sekunder terhadap hiperparatiroid Hasil akhir Kecepatan Resorpsi > Kecepatan Formasi
Faktor risiko terjadinya osteoporosis akibat glukokortikoid meliputi faktor sex, umur, ras, habitus tubuh, dosis glukokortikoid, lama pengobatan, obat tambahan yang diberikan bersama, tingkat aktifitas fisik, status nutrisi (khususnya asupan vitamin D dan kalsium) dan seringnya terpapar sinar matahari (Tabel 8). Tabel 8.
Faktor Risiko Osteopenia Akibat Glukokortikoid
Faktor Risiko Pasti Glukokortikoid dosis tinggi kumulatif Dosis total (g) Fraktur (%) < 10 22 10–30 33 > 30 53 Peningkatan usia lndividu di atas 50 tahun, pria atau wanita Kemungkinan Faktor Risiko Bertambah lamanya terapi glukokortikoid Dosis glukokortikoid harian yang tinggi Umur < 15 tahun Ukuran tubuh kecil (langsing) Kulit putih Jenis kelamin wanita (sebelum menopause)
Diagnosis dapat ditegakkan dengan cara sederhana dan murah. Dokter dapat mencurigai keadaan ini pada pasien yang mendapat terapi glukokortikoid harian atau yang selang-seling (alternate); bila pada pemeriksaan radiologik vertebra menunjukkan adanya osteopenia maka penderita berisiko tinggi mengalami fraktur. Secara praktis diagnosis osteopenia akibat glukokortikoid dapat dibuat pada setiap penderita dalam terapi glukortikoid berbulan-bulan, yang pada gambaran radiologik menunjukkan massa tulangnya lebih rendah dibandingkan dengan massa tulang individu yang setara dalam umur, jenis kelamin dan ras. Pemeriksaan sederhana lainnya dapat dilakukan untuk m;mbedakan dengan keadaan lain seperti hiperparatiroidi, hipertiroidi, osteomalasia dan keganasan. Kadar kalsium dan fosfat serum biasanya normal, fosfatase alkali dapat meningkat bila
50
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
baru terjadi fraktur. OSTEOMALASIA Osteomalasia ialah perubahan patologik berupa hilangnya mineralisasi tulang yang disebabkan berkurangnya kadar kalsium fosfat sampai tingkat di bawah kadar yang diperlukan untuk mineralisasi matriks tulang normal, hasil akhirnya ialah rasio antara mineral tulang dengan matriks tulang berkurang. Penyebab utama osteomalasia yang terjadi setelah masa anak-anak ialah : • Menurunnya penyerapan vitamin D akibat penyakit bilier, penyakit mukosa usus halUs proksimal dan penyakit ileum. • Peningkatan katabolisme vitamin D akibat obat yang menyebabkan peningkatan kerja enzim-enzim oksidase hati. • Gangguan tubulus renalis yang disertai terbuangnya fosfat (acquired), antara lain pada sindrom Fanconi, renal tubular acidosis yang disertai disproteinemia kronik (misalnya pada sindrom Sjogren, SLE, gamopati monoklonal, keracunan logam berat). • Jarang sekali : pada penderita tukak peptik yang mengalami deplesi fosfat akibat penggunaan kronik antasida magnesium alumunium gel. Gambaran kliniknya berupa keluhan menyerupai penyakit reumatik, seperti nyeri menyeluruh dan kelemahan, miopati proksimal, nyen periartikuler, polineuropati sensorik. Gambaran radiologik menunjukkan demineralisasi generalisata ringan atau patah tulang iga multipel dengan pembentukan callus yang buruk atau pseudofraktur (looser’s zone). Gambaran laboratorik pada osteomalasia aldbat defisiensi vitamin D ialah kadar serum kalsium rendah, hipofosfatemia, alkali fosfatase meningkat, PTH sedikit meningkat, kadar 25-OH D rendah, ekskresi kalsium urin/24 jam turun. Pada osteomalasia akibat kebocoran fosfat renal maka kadar kalsium dan 25-OH D normal, tetapi kadar fosfat serum sangat rendah, ekskresi kalsium urin/24 jam normal. Path kedua jenis osteomalasia, reabsorpsi fosfat oleh tubulus ginjal sangat turun. Biopsi tulang pada osteomalasia akibat defisiensi vitamin D menunjukkan gambaran campuran osteomalasia dan osteitis fibrosa, sedangkan yang akibat defisiensi fosfat terutama osteomalasia. OSTEITIS FIBROSA Osteitis fibrosa adalah diagnosis histopatologik berdasarkan ditemukannya peningkatan jumlah osteoklast disertai resorpsi tulang yang diganti dengan jaringan ikat. Dasar kelainan ini ialah meningkatnya sekresi hormon paratiroid, baik sebagai proses primer maupun sekunder terhadap stimulus hipokalsemi berkepanjangan, misalnya pada malabsorpsi kalsium. Hiperparatiroidism primer gejala kliniknya ialah osteopenia generalisata disertai dengan fraktur kompresi vertebra atau tulang panjang; gejala lain ialah kelemahan, mudah lelah, berat badan menurun, nyeri otot dan kelemahan otot proksimal, artralgia, kaku pagi, pseudogout, nyeri epigastrik dan kolik ginjal. Kadang-kadang ditemukan hipertensi. Pemeriksaan radiologik menunjukkan resorpsi tulang subperiosteal terutama di falang. Se-
ring penyakit ini secara tidak sengaja terdiagnosis pada individu hiperkalsemia asimptomatik. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya peningkatan kadar PTH dan kalsium serum. Kadar alkali fosfatase serum (fraksi tulang) meningkat. Ekskresi kalsium dalam urin sedikit meningkat karena kalsium yang difiltrasi ginjal meningkat. Hiperparatiroidisme sekunder terjadi akibat gangguan yang menyebabkan penurunan absorpsi kalsium oleh usus. Penyebab tersering ialah defisiensi vitamin D atau penurunan absorpsi kalsium idiopatik pada usia lanjut. Pada keadaan defisiensi vitamin D sering ditemukan gejala kelelahan dan miopati. Diagnosis ditegakkan dengan adanya kadar kalsium serum normal-rendah, fosfat serum turun, kadar PTH serum sedikit naik dan ekskresi kalsium unn turun. H1PERTIROIDSM Penyakit tulang pada hipertiroidisme ialah osteoporosis high turnover. Mekanismenya diduga akibat stimulasi langsung resorpsi tulang akibat kadar hormon tiroid yang tinggi dalam darah. Pasien mengeluh nyeri tulang sampai fraktur di samping gejala hipertiroidism Iainnya. Gambaran radiologik menunjukkan osteopenia difus atau garis-garis abnormal pada tulang kortikal. Gambaran biokimia berupa peningkatan ringan kadar kalsium serum, serta peningkatan kadar alkali fosfatase serum. KEADAAN YANG TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN BERKURANGNYA MASSA TULANG Sebagian besarpopulasi penderita usia 50 tahun ke atas yang mengeluh nyeri sendi dan nyeri pinggang bukan disebabkan oleh osteoporosis, tetapi disebabkan osteoartritis, perubahan degeneratifpada diskus, spondilosis, keluhan akibat postur yang salah, hiperlordosis dan obesitas. Semua keadaan ini harus dipikirkan lebih dahulu sebelum mendiagnosis osteoporosis. Dari berbagai penelitian klinik telah terbukti bahwa osteoporosis jarang ditemukan bersama dengan osteoartrosis atau penyakit sendi degeneratif; agaknya kedua hal tersebut merupakan dua kondisi yang sangat berbeda walaupun ditemukan pada usia yang sama tua. Pada tabel 9 dapat dilihat faktor risiko osteoartrosis yang banyak berbeda dengan osteoporosis. Tabel 9.
Faktor Risiko Osteoartrosis Kriteria klinik
1. 2. 3. 4. 5. 5. 6. 7.
Sex Umur Ras Bentuk badan Densitas massa tulang yang tebal Gaya hidup/pekerjaan Perokok berat Faktor sistemik lain (a.l. diabetes)
Osteoartrosis Wanita > Pria 50 tahun+ Hitam > putih Besar, gemuk Meningkatkan risiko Sangat aktif Menurunkan risiko Meningkatkan risiko
Karena nyeri pinggang akut maupun kronik merupakan keluhan yang sering dijumpai baik pada osteoporosis maupun pada osteoartrosis maka Iangkah-langkah diagnosis di bawah ini dapat digunakan sebagai patokan untuk membedakan keduanya (Gambar 1).
Gambar 1. Langkah diagnostik menentukan osteoporosis pada nyeri pinggang akut
KESIMPULAN Deteksi pasien yang mempunyai risiko fraktur osteoporosis adalah sangat penting, karena tidak semua wanita pasca-menopause usia antara 50–60 tahun yang menderita nyeri pinggang disebabkan oleh osteoporosis. Untuk mencegah terjadinya overdiagnosis atau underdiagnosis diperlukan pengetahuan yang cukup untuk membedakan berbagaijenis osteopeni dan keadaan lain yang memberikan keluhan yang mirip dengan keluhan osteoporosis. Osteoporosis dapat dibagi dalam bentuk primer dan bentuk sekunder. Osteoporosis perlu dicurigai pada penderita dengan fraktur tulang aldbat trauma ringan, tubuh makin pendek, lordosis dorsal bertambah dan nyeri tulang (terutama nyeri pinggang). Untuk membedakan berbagai jenis osteopeni perlu dilakukan pemeriksaan biokimia, radiologik termasuk bone densitometri dan bila perlu dilakukan biopsi. Keluhan yang mirip osteoporosis terutama nyeri pinggang dapat diakibatkan oleh penyakit sendi degeneratif, gangguan diskus intervertebralis dan perubahan postur. Diagnosis yang tepat akan memberikan hasil pengobatan yang adekuat. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.
Ang-Sy S. Menopausal Hormone Replacement Therapy : Current Develop ments. Medicine Digest Special Issue Januari 1994. pp. 2–7. Chesnut Ill CH. Osteoporosis. In: Hazzard WR et al ed : Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. McGraw-Hill Inc. second ed. 1990. pp 813–825. Chesnut III CH. Diagnosis of Osteoporosis. In: Chesnut III CH ed. First Asian Simposium on Ostyeoporosis. Proc. Excerpta Medica Asia Pacific Congress Series No 84, 1988. pp 38–42.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
51
4. 5. 6.
52
Dequeker J, Roh JS, Mardjuadi A, hang Y, Zhao J. Clinical Aspect and Diagnosis of Osteoporosis: Western and Oriental Experience. Rheumatology Aplar 1992. PP. 45–49. Francis RM. Osteoporosis. Pathogenesis and Management. Kiuwe Academic Publ, 1990. Hahn BH, Osteopenic Bone Diseases. Dalam: Mc. Carty et al (ed), Arthritis and Allied Conditions. A Textbook of Rheumatology, twelfth ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger. 1993. p. 1927–54.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
7. 8. 9.
Jennings J, Baylink D. Osteoporosis. In Calkins E et al (eds): The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB Saunders Co. first ed. 1986. pp 466–476. Peck WA. Trend and Perspective in Diagnosis and Management of Osteopo rosis. The Parthenon Publishing Group, 1988. Peck WA. Epidemiology and Clinical Presentation of Osteoporosis. In: Chesnut III CH ed. First Asian Simposium on Osteoporosis. Proc. Excerpta Medica: Asia Pacific Congress Series No 84, 1988. Pp. 1–5.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Obat-obat Anti Epilepsi dr. Budi Riyanto W. UPF Mental Organik, Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor, Bogor
PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salab satu penyakit tertua yang tercatat dalam buku-buku kedokteran; meskipun demikian, masih banyak masalah dalam penanganannya, antara lain dalam pemilihan obat antiepilepsi yang tepat dengan efek samping yang minimal. Epilepsi sebenarnya merupakan gejala klinis yang disebabkan oleh cetusan/aktivitas listrik sekilas yang abnormal dan berlebihan dari sel-sel saraf. Cetusan abnormal tersebut dapat melibatkan sebagian otak saja (menimbulkan serangan parsial/ fokal) atau mengenai daerah yang lebih luas di kedua hemisfer (menimbulkan serangan umum). Tanpa melihat penyebabnya, gejala/tanda klinis serangan epilepsi tergantung dari lokasi cetusan abnormal tersebut; dan mengingat otak tersusun atas daerah-daerah dengan fungsi berlainan, maka bentuk klinis serangan epilepsi dapat berbeda pula. KEJADIAN Penelitian epidemiologik yang dilakukan di luar negeri menghasilkan angka yang berbeda-beda, tergantung dari kriteria diagnostik dan definisi klinis yang digunakan. Dari hasil berbagai penelitian tersebut diperkirakan : Insidens pertahun (kasus baru yang timbul dalam masyarakat pertahun) : Epilepsi (tidak termasuk serangan tunggal dan kejang demam : 50/100.000 Serangan tunggal : 20/100.000 Kejang demam : 50/100.000 Prevalensi (semua kasus dalam masyarakat pada suatu saat tertentu : Epilepsi (tidak termasuk kasus remisi dan kejang
demam) : 500/100.000 Kasus yang pernah mengalami kejang (tidak termasuk kejang demam) : 2000/100.000 Insidens berdasarkan usia (pertahun per 1000 orang): Usia (tahun) : Insidens : <4 1,55 5–9 0,53 10 – 14 0,70 15 – 24 0,85 25 – 34 0,13 35 – 44 0,30 45 – 64 0,26 >65 0,60 KLASIFIKASI Terdapat berbagai cara klasifikasi; untuk kepentingan klinis, biasanya digunakan kiasifikasi berdasarkan sifat serangan: I. Serangan parsial A. Serangan sederhana Al. Dengan manifestasi motorik A2. Dengan manifestasi sensorik A3. Dengan manifestasi autonomik A4. Dengan manifestasi psikik B. Serangan parsial kompleks (dapat diikuti dengan automat-isme) B1. Dengan gambaran parsial sederhana (Al–A4) pada awalnya, disusul serangan lena (absence) B2. Dengan serangan lena pada awalnya C. Serangan umum sekunder Dengan evolusi dan serangan parsial sederhana/kompleks menjadi serangan umum. II. Serangan umum
Dibacakan pada : Pelatihan Penggunaan Obat Psikoiropik Standar di RS Jiwa, Cilolo, 12–17 Juni 1995
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
53
A. Serangan lena (petit mal) B. Serangan mioklonik C. Serangan klonik D. Serangan tonik E. Serangan tonik-klonik (grand mal) F. Serangan atonik III. Serangan tak tergolongkan. PEDOMAN PENGOBATAN Setelah seseorang dinyatakan mengidap epilepsi, maka selanjutnya harus direncanakan tindakan pengobatannya, yang meliputi tindakan pencegahan dengan mengenali dan mencegah faktor pencetus dan penggunaan obat antiepilepsi. Keteraturan makan obat harus selalu ditekankan mengingat pengobatan epilepsi merupakan pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin seumur hid up. Dengan banyaknya obat antiepilepsi yang efektif saat ini, pertimbangan pemilihan obat terutama didasarkan pada keserasian, profil efek samping dan biaya mengingat pengobatan harus dijalankan selama paling sedikit 2 – 3 tahun. Selama pengobatan harus diperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping danlatau gejala intoksikasi; umumnya dianjurkan untuk menggunakan sesedikit mungkin obat antiepilepsi (prinsip monoterapi) untuk menghindari kemungkinan intoksikasi dan timbulnya efek samping. Tetapi dewasa ini dengan ditemukannya obat antiepilepsi baru yang lebih aman, penggunaan kombinasi dapat dipertimbangkan. Bila serangan epilepsi telah berhasil dikontrol dan pasien telah bebas serangan selama 2 – 3 tahun, pengobatan dapat berangsur-angsur dikurangi dosisnya sampai berhenti sama sekali. Risiko kambuh setelah penghentian obat bisa sampai 20–50%. Beberapa faktor yang memperbesar risiko kambuh ialah: lama sakit, serangan bersifat parsial dan adanya penyakit struktural otak, serta banyaknya obat yang digunakan; makin banyak obat yang digunakan untuk mengontrol serangan, makin sulit obat dihentikan. Suatu studi yang dilakukan atas 1013 pasien yang telah bebas serangan selama sedikitnya 2 tahun, menunjukkan bahwa 78% pasien yang terus berobat dan 59% pasien yang menghentikan pengobatan tetap bebas serangan selama 2 tahun. Tabel berikut dapat digunakan sebagai pedoman pemilihan obat antiepilepsi berdasarkan jenis bangkitan: Bangkitan parsiil sederhana/ kompleks Bangkitan umum sekunder Bangkitan umum Tonik klonik Lena Mioklonik Atonik
54
Karbainazepin, fenitoin fenobarbital Karbamazepin, fenitoin primidon, fenobarbital valproat (?) Valproat, karbamazepin, fenitoin, fenobarbital Etosuksimid, valproat Valproat, kionazepam Valproat, klonazepam, etosuksimid
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
FENOBARBITAL Struktur kimia fenobarbital :
Merupakan obat antiepilepsi pertama yang telah diketahui manfaatnya sejak tahuñ 1912. Efek antikonvulsiny a diduga berdasarkan kemampuannya untuk mempotensiasi jaras penghambat, secara klinis terbukti meningkatkan ambang kejang dan membatasi penyebaran aktivitas listrik saat rangsang kejang. Pada penggunaan oral, penyerapan berlangsung lambat tetapi sempurna; kadar puncak plasma dicapai setelah beberapa jam. 40%–60% terikat dengan protein. Kira-kira 25% dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk tetap, sisanya dimetabolisme oleh sistim mikrosomal hepar. Obat ini bersifat enzyme inducer sehingga dapat mempercepat metabolisme hepatik obat lain; suatu sifat yang perlu diperhatikan bila digunakan bersama obat lain karena akan mengurangi efektivitas obat tersebut. Waktu paruh plasma berkisar antara 90 jam pada dewasa, sedangkan pada anak lebih bervariasi, tetapi umumnya lebih singkat. Dapat diberikan sekali sehari bila kadar terapeutik plasmanya telah tercapai. Kadar terapeutik plasma berkisar antara 10–25 ug/ml, sedangkan untuk pencegahan kejang demam diperlukan kadar minimum 15 ug/ml. Gejala toksik berupa sedasi berlebihan timbul bila kadarnya > 60 ug/ml. Dosis umum untuk dewasa berkisar 1–5 mg/kgbb/hari, sedangkan untuk anak 3–6 mg/kgbb/hari dibagi dua dosis. Mengingat waktu paruhnya yang panjang, diperlukan waktu beberapa minggu untuk mencapai efek klinis yang diharapkan; tenggang waktu ini dapat dipersingkat dengan jalan memberikan dosis ganda di awal pengobatan. Fenobarbital efektif untuk kejang tonik klonik umum dan kejang fokal; juga digunakan untuk profilaksis kejang demam. Sampai saat ini masih banyak digunakan karena harganya murah, meskipun kadang-kadang dijumpai efek samping yang mengganggu, terutama bila digunakan oleh anak-anak. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah sedasi, terutama di awal pengobatan; umumnya berangsur-angsur menghilang bila pengobatan dilanjutkan. Efek samping yang lebih mengganggu ialah hiperaktivitas dan iritabilitas pada anak dan menurut suatu penelitian, juga menyebabkan rendahnya IQ – rata-rata 8,4 angka lebih rendah pada penggunaan selama 2 tahun.
Fenobarbital tersedia dalam bentuk tablet 30 mg., 50 mg. dan 100 mg. serta preparat injeksi 25 mg/ml. FENITOIN/DIFENILHIDANTOIN Struktur kimia fenitoin/difenilhidantoin:
kadar plasma 30 ug/ml dan sedasi pada kadar plasma 40 ug/ml. Pada anak-anak dapat berupa lesu, tidak nafsu makan dan gerakangerakan tidak stabil. Manifestasi alergi berupa ruam kulit dapat muncul 10–14 hari setelah pengobatan dimulai, juga dapat menyebabkan sindrom Steven-Johnson. Hiperplasi gingiva dan hipertnikosis merupakan efek samping yang tidak tergantung dosis; dijumpai terutama pada anak-anak setelah 2–3 bulan pengobatan. Fenitoin juga pernah dilaporkan meningkatkan kejadian labio/palatoschizis pada bayi yang ibunya menggunakan obat tersebut. Fenitoin tersedia dalam bentuk kapsul/tablet 50 mg., 100 mg. dan preparat per enteral 100 mg/2 ml. (Phenytoin®, Dilantin®). KARBAMAZEPIN
Fenitoin telah diperkenalkan sebagai obat antiepilepsi sejak 1938, merupakan hasil riset yang khusus mencari obat antiepilepsi. Obat ini menekan penyebaran lepas muatan listrik dan fokus epileptik ke korteks normal di sekitarnya; efek ini diduga karena fenitoin mengurangi kadar natrium intraseluler sehingga mengurangi iritabilitas neuron bersangkutan terutama di sel-sel piramidal dan sel-sel neuron perantara. Obat ini efektifdan banyak digunakan untuk epilepsi umum, terutama jenis tonik-klonik, juga untuk jenis fokal dan psikomotor, tetapi tidak efektif untuk jenis lena atau untuk kejang demam. Pada pemberian per oral, diserap di traktus gastrointestinal dan dimetabolisme di hati; waktu paruhnya 22 jam pada pemberian per oral dan 10–15 jam bila diberikan intravena. Konsentrasi maksimal tercapai dalam 4–24 jam dan keadaan mantap tercapai setelah 7–10 hari. Ekskresinya terutama dalam bentuk termetabolisme melalui urine, hanya <5% yang diekskresi dalam bentuk utuh. Obat ini diketahui mempunyai sifat farmakokinetik yang sulit karena adanya sifat kejenuhan atau kemampuan maksimum hepar untuk memetabolisme obat ini sehingga perubahan dosis yang melampaui batas maksimum akan sangat menaikkan kadarnya dalam plasma. Bila efek terapeutiknya belum memuaskan, dianjurkan untuk mengukur kadarnya dalam plasma; bila <8 mg/l (20 umol/l) dosis ditambah 100 mg., bila kadarnya 8–12 mg/I (20–60 umol/I) dosis ditambah 50 mg., sedangkan bila kadarnya> 12 mg/l (60 umol/l) cukup dengan penambahan 25 mg. Dosis umumnya 4–7 mg/kgbb/hari dibagi dalam tiga dosis; terutama efektif untuk jenis tonik-klonik umum atau fokal, dan jenis parsial kompleks. Bila dengan dosis 500–600 mg/hari masih belum memuaskan, pengobatan harus dinilai kembali, baik melalui pengukuran kadar plasma atau dikombinasi dengan obat antiepilepsi lain. Kadar plasma yang diinginkan ialah antara 10–20 ug/ml. Dewasa ini telah tersedia preparat fenitoin parenteral yang dapat digunakan pada status konvulsivus dengan dosis 5–10 mg/kgbb. intravena secara perlahan dalam 5–10 menit. Efek samping yang tergantung dosis berupa nistagmus yang muncul pada kadar plasma 20 ug/ml (80 mmol/I), ataksia pada
Obat ini telah digunakan sebagai obat antiepilepsi sejak 1974, merupakan senyawa iminostilbene. Terutama efektif untuk epilepsi psikomotor, meskipun juga bermanfaat untukjenis tonik-klonik umum atau fokal motorik. Tidak efektif untukjenis lena dan jenis mioklonik Obat ini tidak menimbulkan sedasi dan dilaporkan membenikan efek psikotropik berupa meningkatnya inisiatif dan perbaikan tingkah laku; selain itu juga diduga mempunyai efek antidepresi karena struktur kimianya yang mirip imipramin. Aktivitas antikonvulsinya mirip dengan fenitoin; pada dosis terapeutik mampu menghambat aktivitas fokal yang dibangkitkan oleh rangsàng kimia ataupun elektrik dalam laboratorium. Mekanisme kerjanya secara pasti belum diketahui. Karbamazepin diserap dengan cepat setelah penggunaan peroral, kadar puncak plasma tercapai dalam2–6 jam; waktu paruhnya dalam penggunaan jangka lama berkisar antara 13–17 jam; dalam darah 80% terikat dengan protein. Obat ini dimetabolisme menjadi 10,11-epoksid yang juga mempunyai aktivitas antikonvulsan. Karena merangsang metabolisme hepar, obat ini dapat memperpendek waktu paruh obat (antiepilepsi) lain yang diberikan bersamaan. Obat ini juga bermanfaat untuk mengatasi neuralgia trigeminal. Dosis umumnya berkisan antara 600–1200 mg/hari untuk dewasa dan 20–30 mg/kgbb/hari untuk anak-anak, dibagi 2–3 dosis. Dimulai dari dosis rendah untuk menghindani efek samping dan dinaikkan setiap 4–6 minggu sampai tercapai dosis optimal. Kadar plasma yang efektif berkisar 6–8 ug/ml, efek samping mulai muncul pada kadar plasma 8,5–10 ug/ml. Efek samping yang mungkin dijumpai berupa diplopi, pandangan kabur, mengantuk, pusing, muntah, mual dan ataksia; selain itu pernah dilaporkan menyebabkan depresi sumsum tu-
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
55
lang yang fatal,ikterus dan sindrom Steven-Johnson. Ada yang menganjurkan pemeriksaan darah berkalapadapenggunaan karbamazepin yang terus menerus. Karbamazepin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg., 200 mg., tablet controlled release 200 mg dan sirup 100 mg/5 ml. (Tegretol®, sediaan generik). ASAM VALPROAT
Efek antiepilepsinya ditemukan secara kebetulan ketika zat ini digunakan sebagai pelarutlpencampur zat lain yang sedang diuji efek antiepilepsinya. Mekanisme kerjanya belum diketahui dengan pasti, diduga melalui inhibisi enzim GABA transaminase sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi GABA di celah sinap, atau melalui penghambatan re-uptake GABA di celah sinap. Asam vaiproat diserap dengan cepat dan sempurna pada pemberian oral, kadarpuncak plasma dicapai dalam 1–4jam, bila ditelan bersama makanan akan terlambat sampai beberapa jam. Waktu paruhnya berkisar 15 jam. Dalam tubuh sebagian besar (80–94%) terikat protein plasma. Obat ini terutama efektif untuk serangan lena, juga dapat digunakan untuk serangan miokionik atau tonik-klonik, tetapi kurang efektif untuk serangan parsiil. Efek sampingnya relatif rendah dibandingkan dengan obat antiepilepsi lain, umumnya berupa keluhan gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah. Efek samping lain ialah tremor, penambahan berat badan, rambut rontok. Efek terhadap susunan saraf berupa sedasi, ataksia dan gangguan koordinasi jarang ditemukan, selain itu dilaporkan tidak mengganggu fungsi kognitif. Terdapat laporan mengenai efek hepatotoksik yang pada beberapa kasus menyebabkan gagal hati dan kematian. Kadar terapeutik berkisar 50–100 ug/ml; umumnya digunakan dalam dosis 30–60 mg/kgbb pada anak dan 1000–3000 mg/ hari pada dewasa, dimulai dari dosis rendah yang berangsurangsur dinaikkan; umumnya diberikan dua kali sehari. Tidak ditemukan korelasi antara kadar serum dengan efektivitas klinis maupun dengan toksisitas sehingga pengukuran kadar serum tidak banyak manfaatnya. Bila diberikan bersama fenobarbital akan menyebabkan peningkatan kadar plasma fenobarbital sampai 40%, mungkin akibat inhibisi aktivitas enzim hepar. Sediaan asam valproat bersifat higroskopik, dalam bentuk tablet 150 mg. dan 300 mg. (Leptilan®) atau tablet 250 mg. (Depakote®) dan sirup 250 mg/5 ml. (Depakene®). LAMOTRIGINE Obat ini disintesis sebagai antagonis asam folat berdasarkan asumsi bahwa asam folat merupakan zat perangsang kejang; tetapi ternyata obat ini terutama bekerja menghambat pelepasan
56
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
asam amino tertentu dan menstabilkan membran neuron rnelalui penghambatan aktivitas ion natrium, yang menyebabkan pengurangan pelepasan asam glutamat ke celah sinap. Lamotrigin diserap dengan eepat melalui saluran cerna dan bioavailabilitasnya mendekati 100%; terutama dimetabolisme di hati dengan waktu paruh 29 jam sehingga memungkinkan penggunaan/dosis sekali sehari. Ekskresinya terutama melalui urine (70%), dalam bentuk utuh kurang dari 10%. Waktu paruh dapat Iebih singkal pada anak-anak atau orangtua. Penggunaannya pada pasien-pasien epilepsi yang resisten terhadap pengobatan sebelumnya menunjukkan efektivitas terutama pada jenis tonik klonik umum dan parsial; respon yang baikjuga didapatkan pada kasus-kasus atonik atau jenis lena. Di kalangan anak-anak kelihatannya bermanfaat pada sindrom Lennox-Gastaut. Obat ini diketahui berinteraksi dengan obat antiepilepsi lain; bila digunakan bersama karbamazepin, fenitoin atau fenobarbital waktu paruhnya dipersingkat menjadi hanya rata-rata 15 jam; sebaliknya kombinasi dengan asam valproat memperpanjang waktu paruh menjadi rata-rata 60 jam. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian dosis. Dosis awal yang dianjurkan sebagai pengobatan tambahan pada epilepsi parsiil yang resisten adalah 2 dd 25 mg/hari, dinaikkan sampai 2 dd 50 mg/hari dalam 2–3 minggu; bila dikombinasi dengan asam valproat, dosis awalnya25 mg. selang sehari, dinaikkan sampai 25 mg/hari. Dosis pemeliharaan biasanya berkisar 100–200 mg dua kali sehari, meskipun dapat digunakan sampai 600–700 mg/hari. Anak-anak dapat mulai dari 2 mg/ kgbb/hari dinaikkan sampai 5–15 mg/kgbb/hari; sedangkan bila dikombinasi dengan asam vaiproat dosisnya 0,5–1,5 mg/kgbb/ hari. Efek samping lamotrigin berupa ataksia, diplopi, pandangan kabur, mual, muntah; dan studi atas 572 pasien, efek samping tersering ialah rasa pusing (dizziness) – 14%, diplopia 14%, mengantuk 13%, nyeri kepala 12%, ataksia 11% dan astenia 10% yang umumnya ringan dan hilang bila dosis diturunkan. Lesi kulit (skin rash) timbul pada 3% pasien, umumnya ringan dan timbul pada awal pengobatan. Obat ini agaknya tidak mempengaruhi fungsi kognitif. Tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg. (Lamictal®).
GABAPENTIN
Obat ini mempunyai struktur mirip GABA; meskipun demikian tidak terikat pada reseptor GABA, bukan agonis GABA ataupun mempengaruhi metabolisme GABA. Efek antikonvulsinya mula-mula diketahui dari percobaan binatang dan sampai saat ini mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Gabapentin mencapai kadar plasma maksimum 2–3 jam setelah penggunaan per oral dan mencapai kadar steady state setelah 1–2 hari penggunaan teratur; penyerapannya tidak dipengaruhi makanan. Bioavailabilitasnya mencapai 60% pada dosis 300 mg. Obat ini tidak menginduksi enzim hepar ataupun dimetabolisme, diekskresi 100% melalui ginjal dengan waktu paruh plasma 5–7 jam, sehingga obat ini harus diberikan tiga kali sehari; tetapi di lain pihak kadar plasmanya tidak dipengaruhi oleh obat lain yang dimetabolisme oleh hepar. Sampai saat ini tidak diketahui berinteraksi atau mempengaruhi obat antiepilepsi lain. Obat ini telah digunakan sebagai obat tambahan pada epilepsi yang resisten, dimulai dengan dosis 600–900 mg/hari; dosis umumnya sebesar 600–1800 mg/hari dalam dosis terbagi. Pengurangan frekuensi serangan tercapai bila kadar plasmanya >2 mg/l. Saat ini diindikasikan untuk pasien dewasa dengan kejang parsiil dengan/tanpa kejang umum sekunder yang tidak terkontrol. Dosis 1200 mg/hari diketahui dapat mengurangi frekuensi serangan > 50 % pada 29% dan 66 pasien, sedangkan studi lain menunjukkan pengurangan frekuensi serangan pada 28% pasien. Penggunaannya sebagai monoterapi berhasil pada 10 dari 20 pasien dengan dosis sampai 1800 mg/hari selama 6 bulan. Efek samping yang terutama ialah mengantuk (15%), rasa lelah (13%), pusing (7%) dan kenaikan berat badan (5%); tidak jelas apakah berhubungan dengan dosis. Efek samping lain di antaranya ataksia, sedangkan studi perbandingan dengan karbamazepin tidak menunjukkan adanya gangguan neuropsikologi yang bermakna. Tersediadalam bentuk kapsul 100 mg, 300mg dan 400 mg. (Neurontin®). KLONAZEPAM
Termasuk golongan benzodiazepin yang disetujui penggunaannya sebagai antiepilepsi. Pada percobaan binatang dapat
mencegah kejang yang diinduksi dengan pentilentetrazol; juga terbukti menekan penyebaran aktivitas kejang yang berasal dari fokus epileptogen, meskipun tidak menghilangkan aktivitas tersebut. Seperti golongan benzodiazepin lain, mempunyai efek memperkuat ikatan GABA di reseptornya sehingga memperkuat efek inhibisi. Pada pemberian per oral diabsorbsi dengan cepat dan kadar puncak plasma tercapai dalam 2–4 jam; sekitar 50% terikat protein plasma. Waktu paruh plasmanya 1–2 hari, sebagian besar diekskresi melalui urine dalam bentuk metabolit, hanya < 1% yang diekskresi dalam bentuk utuh. Obat ini telah dicoba dengan hasil baik pada jenis lena, spasmus infantil, jenis miokionik dan akinetik; dan sebagai obat alternatif untuk jenis tonik-klonik, fokal motor dan parsial kompleks. Dosis awal 1,5 mg/hari untuk dewasa dan 0,01–0,03 mg/ kgbb/hari untuk anak-anak; dapat dinaikkan setiap 3–7 hari sebesar 0,5 mg/hari pada dewasa dan sebesar 0,25–0,5 mg/hari pada anak-anak. Dosis maksimum 20 mg/hari untuk dewasa dan 0,2 mg/kgbb/hari untuk anak-anak. Efek samping utama ialah mengantuk, lemah dan letargi yang dialami oleh 50% pasien, tetapi cenderung berkurang bila pengobatan diteruskan. Efek samping lain berupa ataksia, hipotoni, disartri, pusing, kadang-kadang menyebabkan gangguan tingkah laku pada anak-anak. Obat ini juga menyebabkan toleransi pada penggunaan lama. Sediaan dalam bentuk tablet I mg. dan 2 mg. (Rivotril®).
DIAZEPAM
Termasuk dalam golongan benzodiazepin, hanya digunakan untuk mengatasi kejang karena mula kerjanya yang cepat. Diberikan per rektal atau intravena pada bayi/anak kecil dengan dosis 5 mg untuk bayi/anak dan 10 mg untuk dewasa, dapat diulang setiap 2–4 jam dengan dosis maksimum 100 mg/24 jam. Efek samping yang perlu diwaspadai ialah depresi pernapasan dan bradikardi. Akhir-akhir ini ada laporan yang menyatakan bahwa diazepam oral 0,33 mg/kg/bb diberikan tiga kali sehari pada saat demam dapat menurunkan frekuensi bangkitan kejang demam sampai 44%; efek samping yang timbul ialah ataksia, letargi dan iritabilitas. Tersedia dalam bentuk tablet 2 mg, 5 mg, 10 mg dan bentuk injeksi 10 mg/2 ml, serta rektiol (rectal tube) 5 mg dan 10 mg (Valium®, Stesolid® dan lain-lain).
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
57
OBAT ANTIEPILEPSI LAIN Beberapa obat yang juga digunakan untuk menanggulangi epilepsi ialah etosuksimid, kiobazam, primidon, ACTH, di sampAng obat baru yang baru akan beredar dalam tahun-tahun mendatang, antara lain oxcarbazine, vigabatrin, zonisamid dan racemacid. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.
Brodie Ini. Lamotrigine. Lancet 1992; 339: 1397–1400. Chadwick D. Gabapentin. Lancet 1994; 343: 84–91. Epilepsi. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Supl. Media Aesculapius
30 April 1985. Epilepsy Octet Series. Lancet 1990, 336. Goodman and Gilman’s the Pharmacologic Basis of Therapeutics. 6th ed. McMillan Pubi. Co. 1980. 6. IIMS 1994, Vol. 23(3). 7. Kalviainen R, Kevanen T, Riekkivien PJ Sr. Place of newer antiepileptic drugs in the treatment of epilepsy. Drugs 1993; 46(6): 1009–24. 8. Lumbantobing SM. Penatalaksanaan Epilepsi. Monograf. 9. Rosman NPet at. A controlled trial of diazepam administered during febrile seizures. N. Engl. I. Med. 1993; 329: 79–84. 10. Scheuer ML, Pedley TA. The evaluation and treatment of seizures. N. Engl. J. Med. 1990; 323: 1468–73. 11. Shorvon SD. Epilepsi untuk praktek umum. Alihbahasa: Lily Sidiarto. Ciba-Geigy Pharma Indonesia, 1988. 4. 5.
English Summary LIPID A: CENTRE OF ENDOTOXIN ACTIVITIES, ITS CHEMICAL STRUCTURE AND BIOACTIVITY Hendig Winarno Center for Isotope and Radiation Appllication National Atomic Energy Board, Jakarta, Indonesia.
Study on biological activities of endotoxin and lipid A, and structure elucidation of lipid A has been conducted by researchers
in many countries, especially in Japan, Germany, and USA. The synthetic approaches and the biological activity tests of lipid A showed that the proposed-synthetic lipidA had the same activities with the natural lipid A from Escherichia coli. It has also been recognized that lipid A seemed to be the active centre and responsible to endotoxin activities of gram negative bacteria. Furthermore, the biological activ test on many synthetic lipid
A analogs containing different number and combination of fatty acids, showed that fatty acid moieties have an important role in the endotoxin activities of gram negative bacteria. Studies on immunogenicity and antigenicity of lipid A or LPS can be done using synthetics lipid A or LPSlabelled with 14C. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 103: 59-62 Hw
Constancy is the basis of all the virtues
58
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
HASIL PENELITIAN
Lipid A - Pusat Aktif Endotoksin, Struktur Kimia dan Bioaktivitasnya Hendig Winarno Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi - BATAN, Jakarta
ABSTRAK Studi tentang bioaktivitas endotoksin dan lipid A serta penentuan struktur lipid A telah dilakukan oleh para peneliti di berbagai negara, terutama di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat. Pendekatan sintesis dan pengujian bioaktivitas menunjukkan bahwa struktur lipid A sintetik yang diusulkan mempunyai aktivitas yang sama dengan lipid A dan Escherichia coli natural. Diketahui pula bahwa lipid A merupakan active centre dan bertanggung jawab terhadap endotoxin activities bakteri gram negatif. Selanjutnya, pengujian bioaktivitas terhadap berbagai analog lipid A sintetik, menunjukkan bahwa asam lemak yang terikat pada lipid A mempunyai peranan yang penting terhadap aktivitas endotoksin dan bakteri gram negatif. Studi tentang imunogenisitas dan antigenisitas lipid A atau LPS dapat dilakukan dengan menggunakan lipid A atau LPS sintetik bertanda 14C.
PENDAHULUAN Endotoksin Lipopolisakanida (LPS) atau lebih dikenal dengan nama endotoksin, adalah suatu senyawa kompleks yang terdapat pada dinding sel bakteri gram negatif. Senyawa tersebut dapat menyebabkan berbagai penyakit, misalnya demam, kolera, tetanus, lethal shock, tekanan darah rendah, menurunnya sel darah putih, dan lain sebagainya. Di samping mempunyai efek yang merugikan bagi manusia, endotoksin juga mempunyai efek yang berguna, yaitu untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi (menghasilkan antibodi) yang disebabkan oleh bakteri atau virus dan membunuh sel kanker(1). Gambar 1 menunjukkan dinding sel bakteri gram negatif yang terdiri dari lapisan luandan lapisan dalam. Pada lapisan luar terdapat LPS, protein, lipoprotein, dan molekul lain yang banyak mengandung gula, sedangkan lapisan dalam terdiri dari protein dan Iipoprotein Untuk mengetahui bagaimana endotoksin mempunyai dua fungsi yang berlawanan, beberapa peneliti terutama di Institut Penelitian Borstel dan Institut Max Planck untuk Imunologi (German), Fak. MIPA Univ. Osaka (Jepang),
dan Universitas Rockeffeler (USA) telah melakukan penelitian khususnya dalam hubungannya dengan identifikasi struktur dan komponen yang bertanggung jawab terhadap endotoxin activities dan bakteri gram negatif di dalam tubuh. Penelitian dititik beratkan pada isolasi endotoksin dan komponennya dan bakteri Salmonella (typhimurium, minnesota) dan Eschericia (coli), sintesis endotoksin secara sebagian maupun total, serta uji bioaktivitasnya. Pada dasarnya LPS terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian polisakarida dan bagian lipid (Gambar 2). Bagian polisakarida merupakan rangkaian dan berbagai macam gula, yang dibagi lagi menjadi 3 segmen, yaitu segmen rantai O-spesifik (dibentuk oleh sedikitnya 3 rangkaian gula yang berulang). Segmen ini merupakan segmen yang sangat bervariasi dan memberikan efek kekebalan yang spesifik. Berikutnya adalah segmen outer core dan inner core yang merupakan oligosakarida yang relatif tidak bervariasi. Segmen inner core ini mempunyai susunan gula dengan 7 atom karbon (heptose) dan 8 atom karbon yang unik yang disebut dengan Kdo (asam 3-deoksi-D-manno-2oktulosonat). Bagian lipid terdiri dari glukosamin backbone, fosfat, dan asam lemak. Bagian lipid ini selanjutnya dikenal dengan nama lipid A.
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
59
Gambar 1. Bakteri gram negatif dan irisan dinding sel yang dilihat secara mikrograf(1)
Gambar 2. Struktur kimia Lipopolisakarida dan bakteri Salmonella typhimurium Keterangan :
P Kdo
= gula = fosfat = asam 3-deoksi-D-manno-2-oktulosonat
Lipid A Escherichia coli Pada tahun 1954, Westphal dan Luderitz telah mengisolasi bagian lipofilik dan LPS yang dikenal dengan nama lipid A dengan cara menghidrolisis bakteri pada kondisi asam. Sejak saat itu, penelitian mengenai bioaktivitas LPS difokuskan pada lipid A(2). Struktur kimia lipid A dan berbagai spesies bàkteri pada dasarnya adalah identik, berisi D-glukosamin disakarida backbone yang dihubungkan dengan ikatan β-( 1–>6), yang mengan-
dung residu fosfat pada posisi 1 dan 4’ dan residu asam lemak pada gugus B-amino dan gugus hidroksil-3(3). Struktur lipid A dan Eschericia coli Re-mutan adalah seperti struktur I, yaitu 2deoksi- 6–O- {2-deoksi-2-[(R)-3-dodekanoiloksitetradekanoilamino] - 3 - O - [(R)-3-tetradekanoiloksitetradekanoil]-β-Dglukopiranosil} - 3 – O - [(R)-3-hidroksitetradekanoil]-2-[(R)3-hidroksitetradekanoilamino] - α – D - glukopiranosa 1,4’bis(fosfat)(4,5). Struktur tersebut telah dibuktikan melalui isolasi dan pendekatan sintesis total LPS. Selanjutnya, berbagai uji bioaktivitas terhadap analog lipid A sintetik telah dilakukan.
Gambar 1 dan Tabel 2.
Gambar 4. Struktur kimia analog lipid A (lihat Tabel 2)
Tabel 2.
Lipid A sintetik
No. Senyawa Gambar 3. Struktur lipid A LPS dari Escherichia coli
PEMBAHASAN Untuk membuktikan kebenaran struktur lipid A LPS dari Escherichia coli yang diusu1kan maka dilakukan uji bioaktivitas terhadap lipid A sintetik dan lipid A natural dari Escherichia co1i(6,7) (Tabel 1). Selain itu, kedua sampel tersebut juga dianalisis menggunakan NMR dua dimensi. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa kedua sampel tersebut mempunyai aktivitas endotoksin yang sama. Dengan demikian, struktur lipid A Escherichia coli yang diusulkan oleh Imoto et al.(4) menuju pada arah yang benar. Tabel 1.
Aktivitas endotoksin dan lipid A sintetik dan lipid A natural E. Coli(6,7)
Jenis tes endotoksisitas yang dilakukan
Toksisitas letal (LD50)a Respon terhadap demam Reaksi Shwartzman lokal Kemampuan mendorong toleransi endotoksin terhadap LPS dari Salmonella abortus equi Mitogenisitas B-limfosit Aktivasi Machropage (10 ng/ml prostaglandin E2 terlepas)
Lipid A yang diperlukan untuk aktivitas endotoksin (µg)
Jenis hewan percobaan Lipid A E. coli Lipid A E. coli sintetik natural Tikus Kelinci Kelinci
0,01 0,04 12,5
0,01 0,04 12,5
Tikus
30
30
Tikus
2
2
Tikus
1
l
* Tes toksisitas letal dalam tikus yang disensitifkan dengan galaktosamin
Sejalan dengan penentuan struktur lipid A, uji bioaktivitas lipid A dan LPS juga dilakukan. Dari pengujian tersebut diketahui bahwa lipid A merupakan active centre dan endotoxin activities dari bakteri gram negatif Kemudian berbagai analog lipid A dengan berbagai variasi asam lemak dan fosfat-pun telah disintesis(2,4,8). Di antara hasil sintesis lipid A tersebut disajikan pada
R4
R3
R2
R1
P1
P2
1 505 C14-O-C14 C,,--O-C,, C14-0H C14-01-1 PO(OH)2 H 2 504 C14-O-C14 C,470-C,1 C14-0H C14-0H H PO(OH)2 3 503 C14-O-C14 C14-O-C12 C,4 OH C14-OH H H 4 LA-24-PP CIO C,4-OH C14-OH CIO PO(OH)2 PO(OH)2 5 LA-23-PP CIO CIO CIO CIO PO(OH) PO(OH) 6 403 C14-OH C14 OH C14-OH C,,-OH H H 7 404 C14-OH C14-OH C10-0H C14-OH H PO(OH)2 8 405 C14-OH C14-0H C14-OH CI, OH PO(OH)2 H 9 406 C14-0H C14-OH C14 OH C14-OH PO(OH)2 PO(OH) 10 400 CI. OH C14-0H CIO-OH C14 OH PO(OH)2 PO(OH)2 Keterangan: Lihat struktur pada Gambar 4 C10 : dekanoil C10–OH : (R)-3-hidroksidekanoil C14–OH : (R)-3-hidroksitetradekanoil C14–O–C14 : (R)-3-tetradekanoiloksitetradekanoil
Dari perkembangan terakhir mengenai uji bioaktivitas berbagai analog lipid A sintetik yang mengandung asam lemak dengan jenis dan jumlah atom karbon yang bervariasi, diketahui bahwa residu asam lemak yang terkandung pada lipid A mempunyai peranan yang penting terhadap bioaktivitas LPS di dalam tubuh(9-11).. Kenyataan tersebut memberikan dorongan untuk mendesain analog lipid A jenis lain. Diharapkan, pengujian bioaktivitas senyawa analog baru tersebut dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang peranan residu asam lemak yang terikat pada lipid A terhadap endotoxic activities LPS dan bakteri gram negatif. Meskipun berbagai analog lipid A telah disintesis dan diuji bioaktivitasnya, namun para peneliti masih belum dapat mengungkapkan peranan lipid A dan komponen penyusunnya terhadap imunogenisitas dan antigenisitasnya yang berhubungan dengan structure activity & structure function relationships dari lipid A pada tingkat molekuler. Wright et al. yang dikutip oleh Rietschel et al.(1) mengemukakan bahwa di dalam darah, LPS akan berikatan dengan molekul bersirkulasi yang disebut dengan LBP (lipopolysaccharide-binding protein) dan membentuk kompleks LPS-LBP. Selanjutnya kompleks LPS-LBP tersebut bergandengan dengan reseptor yang dikenal dengan nama CD 14 pada permukaan makrofag. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai peranan kompo-
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
61
nen lipid A dan strukturnya terhadap aktivitas endotoksin, telah dicoba sintesis lipid A bertanda 14C(12). Diharapkan, dengan adanya lipid A bertanda 14C tersebut, misteri tentang aktivitas lipid A dapat diungkapkan. Oleh karena itu usaha-usaha untuk mempelajari strategi sintesis, khususnya radiosintesis perlu dikembangkan untuk mendapatkan metode yang praktis dan efisien. KESIMPULAN Melalui isolasi, pendekatan sintesis, dan perbandingan bioaktivitas lipid A sintetik dan lipid A natural dari Escherichia coli, serta analisis menggunakan NMR 2 dimensi, maka struktur lipid A Escherichia coli secara pasti dapat ditentukan. Hasil pengujian bioaktivitas lipid A menunjukkan bahwa lipid A merupakan active centre dan bertanggungjawab terhadap endotoxin activities dan bakteri gram negatif. Asam lemak yang terikat pada lipid A mempunyai peranan yang penting terhadap aktivitas endotoksin dan bakteri gram negatif. Untuk mengetahui lebihjauh mengenai imunogenisitas dan antigenisitas suatu lipid A atau LPS perlu disintesis lipid A atau LPS bertanda 14C. KEPUSTAKAAN 1. 2.
62
Rietschel ET, Brade H. Bacterial endotoxins, Scient Amer 1992; 267: 26. Imoto M, Yoshimura H, Yamamoto M, Shimamoto T, Kusumoto S, Shiba T. Chemical synthesis of a biosynthetic precursor of lipid A with a
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
phosphorylated tetraacyl disaccharide structure. Bull. Chem. Soc. .Jpa 1987; 60: 2197. 3. Webb DR. Immunopharmacology and the regulation of leukocyte function, Marcel Dekker, New York, 1982, hal. 183. 4. Imoto M, Kusumoto S, Shiba T, Rietschel ET, Galanos C, Ludentz 0. Chemical structure of Escherichia coli lipid A, Tetrahedron Lett. 1985; 26: 907. 5. Imoto M, YoshimuraH, ShimainotoT, Sakaguchi S, Kusumoto S, ShibaT. Total synthesis of Escherichia coli lipid A, the endotoxically active principle of cell-surface lipopolysaccharide. Bull. Chem. Soc. Jpn. 1987; 60: 2205. 6. Galanos C, Luderitz 0, Rietschel TH et a!. Biological activities of natural and synthetic lipid A’s with different fatty acid compositions. Eur. J. Biochem. 1985; 148: 1. 7. Kanegasaki S, Tanamoto KI, YasudaT et al. Structure-activity relationship of lipid A: Comparison of biological activities of natural and synthetic lipid A’s with different fatty acid compositions. J. Biochem. 1986; 99: 1203. 8. Winarno H. Synthesis of lipid A analogs containing various fatty acids, BATAN. Disampaikan padaPresentasi Ilmia1 Hasil Studi Program Magister dalam Rangka Peringatan Ulang Tahun BATAN XXXVI, Jakarta, 20-22 Desember 1994. (Risalah dalam proses penerbitan). 9. Wang MH, Flad HD, Feist W et al. Inhibition of endotoxin-induced interleukin-6 production by synthetic lipid A partial structures in human peripheral blood mononuclear cells. Infect. Immun. 1991; 59: 4655. 10. Ulmer AJ, Feist W, Heine H et a!. Modulation of endotoxin-induced monokine release in human monocytes by lipid A partial structures that inhibit binding of ° Infect. Iminun. 1992; 60: 5145. 11. Perera PY, Manthey CL, Stutz PL, Hildebrandt J, Vogel SN. Induction of early gene expression in murine macrophages by synthetic lipid A analogs with differing endotoxic potentials. Infect. Immun. 1993; 61: 2015. 12. Aoki Y. Synthetic studies in the activities of complex lipid A analogs using radiolabelled compound, MasterThesis, Osaka University, Graduate School of Science Ed., Osaka 1994 (In Japanese).
ABSTRAK PENYERAPAN OBAT Makanan atau minuman tertentu dapat mempengaruhipenyerapan obat. Para peneliti di AS menyelidiki pengaruh minum sari buah anggur (grapefruit juice) dan sari buah jeruk (orange juice) terhadap penyerapan sikiosporin yang diberikan per oral. Penelitian dilakukan pada 14 orang dewasa sehat yang diberi 300 mg. sikiosporin, diminum bersama air, sari buah anggur atau sari buah jeruk. Ternyata AUC (area under the curve) tertinggi didapatkan pada yang minum bersama sari buah anggur (rata-rata 7057 ngh/ml) dibandingkan dengan yang minum bersama sari buah jeruk (ratarata 4932 ngh/ml) dan dengan yang minum dengan air biasa (rata-rata 4871 ngh/ml). Perbedaan tersebut bermakna (p <0.0001). Cara ini dapat berguna untuk mendapatkan manfaat maksimum dari dosis obat yang sama.
IMUNITAS POLIO Suatu survai kekebalan terhadap tetanus di AS melibatkan 10.618 orang berusia 6 tahun ke atas; mereka diambil serumnya untuk kemudian dianalisis kadar antitoksin tetanusnya secara enzyme immunoassay; dan kadar yang dianggap protektif ialah 0,15 IU/ml. Secara keseluruhan 69,7% populasi masih mempunyai kadar antibodi protektif; persentase tertinggi didapatkan padagolonganumur6–11 tahun(87,7%) dan terendah pada golongan umur di atas 70 tahun (27,8%). Pria lebih banyak yang kebal daripada wanita (79,0% vs. 62,4%). Mereka yang pernah berdinas militer, berpendidikan lebih tinggi dan berpenghasilan di atas batas kemiskinan Iebih banyak yang mempunyai kekebalan. Kasus polio di AS yang tercatat di tahun 1989–1990 sebanyak 107 orang, 20 orang di antaranya meninggal dunia.
Lancet 1995; 345: 955–6 Hk
N. Engl. J. Med. 1995; 332: 761-6 Hk
TERAPI OSTEOARTRITIS BARU Suatu cara baru pengobatan osteoartritis telah disetujui di Swedia; cara tersebut berupa penyuntikan bahan biopolimer (Synvisc®) ke dalam ruang sendi untuk menambah dan memperbaiki fungsi cairan sinovial.
RISIKO FRAKTUR FEMUR Sebanyak 9516 wanita kulit putih berusia ≥ 65 tahun diperiksa setiap 4 bulan selama rata-rata 4,1 tahun untuk menentukan frekuensi fraktur femur bukan karena kecelakaan lalulintas. Selama waktu tersebut, 192 wanita mengalami fraktur. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko ialah bila ibunya juga mengalami fraktur (RR–2,0; 95%CI: 1,4–2,9); selain itu juga adanya riwayat fraktur apapun setelah usia 50 tahun, jangkung pada usia 25 tahun, menganggap dirinya tidak/kurang sehat, riwayat hipertioid, penggunaan benzodiazepin atau antikonvuisan, menggunakan banyak kafein dan memanfaatkan tungkainya kurang dari 4 jam sehari. Pada pemeriksaan, faktor-faktor ketidakmampuan bangkit dari kursi meng-
Marketletter 1995; March 27: 18 Brw
COGNEX Cognex® (takrin) telah disetujui penggunaannya untuk memperbaiki daya ingat dan kognisi pasien-pasien Alzheimer di AS, Jerman dan Perancis. Meskipun demikian CSM (Inggris) masih menganggap efek sampingnya masih lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya, oleh karena itu obat ini masih belum bisa dipasarkan di Inggris. Market letter 1995; March 27: 22 Brw
gunakan satu tangan, gangguan persepsi ruang, gangguan sensibilitas terhadap kontras dan takikardi juga berperan meningkatkan risiko. Kejadian fraktur femur berkisar antara 1,1 (95%CI: 0,5–1,6) per 1000 woman-years di kalangan dengan ≤ 2 faktor risiko + densitas kalkaneus normal sampai 27 (95%CI:20–34) per 1000 woman years di kalangan yang mempunyai 5 faktor risiko dan densitas tulang di golongan 1/3 terendah untuk usianya. Para peneliti menganjurkan pemeliharaan berat badan, berjalan kaki, menghindari benzodiazepin long-acting, mengurangi kafein dan mengatasi gangguan penglihatan untuk mengurangi risiko fraktur femur. N. Engl. J. Med. 1995; 332: 76 7–73 Hk
NYERI KEPALA AKIBAT ANALGESIK Penggunaan analgesik atau ergotamin dalam dosis besar justru dapat mencetuskan nyeri kepala tegang otot dan/atau migren. Oleh karena itu penggunaan analgetik sebaiknya tidak setiap hari, maksimum 15 hari dalam sebulan; sedangkan ergotamin digunakan tidak lebih dari 10 kali dalam sebulan. Selain itu jangan menggunakan analgetik nankotik untuk nyeri kepala, demikian juga analgetik campuran tidak dianjurkan. Sumatriptan – obat anti migren terbaru–juga ternyata dapat memperberat keluhan nyeri kepala/migren. BMJ 1995; 310: 479–80 Brw
Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
63
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
6. C 7. A 8. A 9. B 10. B Cermin Dunia Kedokteran No. 103, 1995
1. A 2. B 3. C 4. C 5. D
64
a) 0,01 b) 0,05 c) 0,1 d) 0,15 e) 0,5 7. Penyakit tulang/sendi yang tidak berkaitan dengan metabolisme kalsium: a) Osteoartritis b) Osteoporosis c) Osteomalasia d) Osteitis e) Semua salah 8. Hiperaktivitas pada anak merupakan efek samping pengobatan dengan: a) Fenobarbital b) Fenitoin c) Karbamazepin d) Kionazepam e) Diazepam 9. Hirsutisme merupakan efek samping pengobatan dengan: a) Fenobarbital b) Fenitoin c) Karbamazepin d) Kionazepam e) Diazepam 10. Antiepilepsi yang juga digunakan untuk mengatasi neuralgia : a) Fenobarbital b) Karbamazepin c) Diazeparn d) Asam vaiproat e) Kionazepam
JAWABAN RPPIK :
1 Aflatoksin dihasilkan oleh jamur golongan: a) Aspergillus b) Penicillium c) Fusarium d) Trichotecenes e) Semua benar 2. Aflatoksin dikaitkan dengan peningkatan risiko: a) Kanker lambung b) Kanker hati c) Neuropati d) Infertilitas e) Kanker pankreas 3. Hiperestrogenisme dapat disebabkan oleh: a) Aflatoksin b) Islanditoksin c) Zearalenon d) Ochratoksin e) Alkaloidergot 4. Metode penentuan Hb yang dianjurkan WHO: a) Kertas lakmus b) Sahli c) SianmetHb d) SianmetHb tidak langsung e) Hemocue 5. Penentuan Hb dapat dilakukan atas sediaan darah kering melalui cara: a) Kertas lakmus b) Sahli c) SianmetHb d) SianmetHb tidak langsung e) Hemocue 6. Batas maksimum yang diperbolehkan bagi Pb dalam air di Indonesia (mg/I):,