Cdk 093 Kesehatan Penerbangan

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 093 Kesehatan Penerbangan as PDF for free.

More details

  • Words: 38,903
  • Pages: 65
Cermin Dunia Kedokteran 1994

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

93. Kesehatan Penerbangan Juni 1994

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan – Sukotjo Danusastro 18. Aspek Kesehatan Bandar Udara – Suroso Wirosoekarto 22. Kesiapan Kesehatan Penumpang Airline – Yusbar Mira, Bintarti Sampurna, Lukman Hakim 28. Lakespra Saryanto sebagai Pusat Pembina Kesehatan Penerbangan – Hartono 31. Peranan UNS dalam Kedokteran Dirgantara – A.A. Subiyanto, Ambar Mudigdo, Sutrisno Danusastro 34. Prospek Penelitian Biomedik di Luar Angkasa – Pratiwi Sudarmono 37. Various Types of Specific Acquired Deficient Immune Status (SADIS) following Various Kinds of Microbial Infection - 5a. the clinical management of diseases that may produce SADIS with lymphocyte predominance – RA Handoyo, Anggraeni Inggrid Handoyo 47. Staple Food – Based Oral Rehydration Solutions – Sukwan Handali, Hao Liying, Martha Kombong, Ata Naiun 49. Sindrom Hemolitik Uremia – laporan kasus – Nuchsan Ūmar Lubis 51. Sindrom Guillain-Barre dan Typhus Abdominalis – laporan kasus – A. Munandar 53. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27 positif laporan kasus – Suhardjo, Wasisdi Gunawan 56. Distribusi Geografis Pola Resistensi Salmonella terhadap Khloramfenikol dan Antibiotik Pilihan Lainnya di Daerah Jakarta dan Palembang – Pudjarwoto Triatmodjo 60. Informasi Obat : Clamobit®, Motipep® 62. Abstrak 64. RPPIK

Barangkali belum banyak di antara para sejawat yang menyadari bahwa masalah kesehatan dalam dunia penerbangan mempunyai aspekaspek khusus, baik yang mengenai para awak/personilnya, maupun bagi para awam yang menikmati pelayanan penerbangan tersebut. Hal ini perlu diperhatikan mengingat akan makin banyak di antara kita yang menggunakan jasa penerbangan, baik orang sehat maupun orang sakit yang karena sesuatu hal perlu dipindahkan ke tempat lain melalui udara; dalam hal ini pengaruh ketinggian dan lingkungan yang khas perlu diperhitungkan. Hal-hal tersebut merupakan topik pembahasan Cermin Dunia Kedokteran edisi ini, yang sebelumnya telah didiskusikan di Seminar Kēsehatan Penerbangan yang berlangsung di Surakarta pada tanggal 30 Oktober 1993. Artikel lain yang melengkapi edisi ini ialah mengenai penggunaan bahan makanan biasa sebagai upaya rehidrasi oral dan beberapa laporan kasus. Selamat membaca, Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995

Cermin Dunia Kedokteran 1995

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar

TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

PELAKSANA Sriwidodo WS

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

– Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

REDAKSI KEHORMATAN

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

English Summary GUILLIAN-BARRE SYNDROME AND TYPHUS ABDOMINALIS A. Munandar Neurology Unit, Jakarta, Indonesia.

Husada

Hospital,

Guillain-Barre syndrome is very rarely seen as a cause of muscle weakness in typhoid fever. The author reports a case of GuillainBarre syndrome in a typhoid fever patient, adding to a same case previously reported by Chanamugam. Cermin Dunia Kedokt. 1994; 93:51–52 am

CLINICAL FEATURE OF ACUTE ANTERIOR UVEITIS IN HLA-B27 POSITIVE : CASE REPORT Suhardjo, Wasisdi Gunawan Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine University of GadJah Mada, Jogjakarta, Indonesia

There is a strong relationship between acute anterior uveitis and ankylosing spondylitis, especially in the presence of HLA-B27. The HLA-B27 positive acute anterior uveitis patients showed the following characteristics: younger age at onset, high male to female ratio, severe ocular symptoms during activity, and frequent association with sero-negative spondyloarthropathies. A 34 years-old female suffered from acute anterior uveitis, arthri4

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995

tis coxae-sacroiliaca, and HLAB27 positive were reported. The main symptoms were blurred vision, ciliary injection, photophobia; fibrin in anterior chamber, and low back pain. Tissue typing for HLA-B27 antigen was positive. The patient have severe acute inflammatory, with low back pain. The patient was controlled with topical steroid, systemic steroid, and sulfas atropine drops. Cermin Dunia Kedokt. 1994;93:53–55 s/wrg

GEOGRAPHICAL DISTRIBUTION OF SALMONELLA RESISTANCE TOWARDS CHLORAMPHENICOL AND OTHER ANTIBIOTIC IN JAKARTA AND PALEMBANG Pudjarwoto Triatmodjo Communicable Diseases Research Centre, Health Research and Development Board, Department of Health, Jakarta, Indonesia.

Resistance of Salmonella towards five kinds of antibiotics was studied. Salmonellae were isolated from patients with gastroenteritis in Jakarta area and from patients with typhoid fever in Palembang area. The resistance test was performed in vitro using the disk diffusion method (KirbyBauer, 1966). Disk potencies were 30 ug each for chloramphenicol, kanamycin and tetracycline, 10 ug for ampicillin and 25 ug for cotrimoxazole.

The results showed that in Jakarta area the lowest resistance were against cotrimoxazole (5%) and against kanamycin (12,5%). The resistance towards chloramphenicol, ampiclllin and tetracycline were higher, reaching 20% and over, signifying that for Jakarta area co-trimoxazole.and kanamycin and ampicillin (resistance = 0%), while for co-trimoxazole, chloramphenicol and tetracycyline the resistance were varied from 5,0% to 6,6%. This study showed that 5% of the Samonella isolates from Jakarta area were multiresistant towards all five antibiotics tested, while In Palembang area 5% of the Salmonella isolated were multiresistant towards chloramphenicol and co-trimoxazole, and 1,6% were multiresistant towards chloramphenicol and tetracycline. Cermin Dunla Kedokt. 1994; 93: 56–59 ssz/olh

Artikel Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan Dr. H. Sukotjo Danusastro, DSKP, MBA Perkespra Pusat, Jakarta

ABSTRAK Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat dan semua organ tubuh dapat bekerja dan berfungsi dengan baik dalam kondisi lingkungan darat yang mengelilinginya. Akan tetapi manusia sejak zaman dahulu ingin terbang seperti burung dan akhirnya berhasil terbang dengan balon pada abad ke-18. Sejak abad tersebut dunia penerbangan berkembang sangat pesat baik jarak tempuh, kecepatan, ketinggian dan daya angkat maupun kegiatannya. Keberhasilan ini telah dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia, namun bukannya tanpa risiko karena manusia memang tidak terbiasa tinggal di ketinggian. Untuk menghadapi hal tersebut maka Ilmu Kesehatan harus mengembangkan diri untuk mempelajari bahaya-bahaya penerbangan bagi tubuh manusia dan cara-cara penanggulangannya. Maka lahirlah Ilmu Kesehatan Penerbangan sebagai salah satu cabang Ilmu Kesehatan, yang dilandasi oleh Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi. Faktor-faktor ketinggian yang mempengaruhi faal tubuh manusia adalah menurunnya tekanan udara, tekanan parsiil oksigen, suhu udara dan gaya berat dan lain-lain. Di samping itu manouvre penerbangan dapat mengganggu faal tubuh seperti faal sistem kardio-vaskuler, sistem pernapasan, penglihatan, keseimbangan, pendengaran dan lainlain. Karena itu mempelajari aspek aerofisiologi dalam penerbangan adalah penting agar kita dapat mencegah dan mengatasi pengaruh buruk penerbangan. Dengan demikian kita dapat memanfaatkan udara bagi penerbangan dengan selamat, nyaman, aman dan cepat.

PENDAHULUAN Umum Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat. Sebagai makhluk daratan manusia telah terbiasa dan menyesuaikan diri untuk hidup di lingkungan daratan atau pada, atmosfer yang paling rendah. Namun sejak zaman dahulu manusia ingin terbang seperti burung, suatu hal di luar kebiasaannya. Setelah melalui Makalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta 30 Oktober 1993.

perjuangan tanpa kenal lelah dan gigih akhirnyapada abad ke-18 manusia dapat terbang dengan balon, diikuti dengan keberhasilan terbang dengan pesawat terbang. Bahkan sekarang manusia telah berhasil mengarungi ruang angkasa luar. Dewasa ini banyak orang-orang yang memilih profesinya dalam penerbangan, yang berbeda dengan kebiasaan hidupnya di darat. Hal ini tentu saja akan membawa konsekuensi atau risiko-

risiko yang harus dihadapinya. Namun demikian merekapun menginginkan keamanan dalam menjalankan tugasnya ini, sehingga Ilmu Kesehatan harus membuka cabangnya untuk mempelajari bahaya-bahaya penerbangan. Hal ini menyebabkan lahirnya Ilmu Kesehatan Penerbangan, yang dilandasi oleh Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi. Ilmu Kesehatan Penerbangan atau Aviation Medicine akhirakhir ini berkembang menjadi Ilnpu Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa atau Aerospace Medicine, karena perkembangan teknologi penerbangan yang memungkinkan menerbangkan orang ke ruang angkasa. SEJARAH ILMU KESEHATAN PENERBANGAN Pada abad ke 13 dua saudara Montgolfier berhasil membuat balon yang dapat terbang dengan membawa muatan. Balon yang pertama ini diterbangkan di Versaille, Perancis, tanggal 19 September 1963 dengan muatan ayam, bebek dan kambing dan dapat mencapai ketinggian 1.500 kaki. Sebulan kemudian diadakan penerbangan balon lagi yang membawa penumpang manusia, yaitu Pilatre de Rozier, seorang apoteker, dan Marquis di Arlandes. Percobaan ini berhasil dengan selamat. Pada tanggal 23 November 1784, seorang dokter Amerika John Jeffries tertarik akan penerbangan dan ingin mengetahui susunan dan sifat atmosfer bagian atas. Ia melakukan penerbangan dengan balon, dengan membawa termometer, hydrometer, barometer dan elektrometer, sampai ketinggian 9.250 kaki. Dalam penerbangan ini ia mencatat adanya perubahan suhu di ketinggian dari + 51°F menjadi 28,5°F,, sedangkan tekanan udara menurun dari 30 inci Hg menjadi 21,25 inci Hg. Pada tahun 1862, Claisher dan Coxwell terbang dengan balon sampai setinggi 29.000 kaki dengan tujuan yang sama. Di samping itu mereka melakukan observasi pada dirinya sendiri. untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang akan terjadi pada ketinggian. Selama terbang, Clasher mengalami gejalagejala aneh pada tubuhnya, yaitu tajam penglihatan dan pendengaran menurun, kedua belah anggota badan menjadi lumpuh dan akhirnya jatuh pingsan. Coxwell juga mengalami kejadian yang serupa, hanya sebelum pingsan berusaha menarik tali pengikat katup balon guna menurunkan balonnya. Usaha ini hampir gaga!, karena kedua tangannya tidak dapat digerakkan lagi, sehingga dia menarik tali tadi dengan menggigitnya. Dari pengalaman kedua orang ini dapat diambil kesimpulan bahwa terbang tinggi dapat membahayakan jiwa manusia. Paul Bert, seorang ahli ilmu faal Perancis, sangat tertarik dengan kejadian tadi dan pada tahun 1874 mengadakan percobaan dengan menggunakan kabin bertekanan rendah untuk melihat perubahan apa yang dapat terjadi pada ketinggian atau tempat yang tekanan udaranya kecil. Dari salah satu basil percobaan-percobaannya didapatkan adanya hipoksia atau kekurangan oksigen pada ketinggian yang dapat diatasi dengan pemberian oksigen pada penerbangan. Hasil penelitian Paul Bert ini dipraktekkan oleh Sivel dan Groce Spinelli, yang terbang sampai 18.000 kaki dengan menggunakan kantong oksigen tanpa mengalami gangguan. Pada tahun 1875, Sivel dan Groce-Spinelli melakukan pe-

nerbangan lagi bersama Tissander, yang juga menggunakan kantong oksigen dengan kadar 72%. Penerbangan mereka ini mencapai ketinggian 28.000 kaki dan berakhir dengan kematian Sivel dan Groce-Spinelli karena hipoksia sedang Tissander hanya pingsan saja. Tissander membuat catatan yang sangat lengkap tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam penerbangan ini. Dari catatan ini dapat disimpulkan bahwa ada gejala euphoria sebelum hipoksia dan oksigen tidak mencukupi untuk penerbangan tinggi. Dengan munculnya pesawat terbang, bertambahlah kesukaran dan bahaya penerbangan yang dapat mengancam jiwa penerbang. Pada waktu pesawat udara masih sederhana, yang tinggi terbangnya belum besar dan kecepatannya masih rendah, telah banyak kecelakaan-kecelakaan yang terjadi; sebagian besar ternyata disebabkan oleh kurang mampunya tubuh penerbang menghadapi perubahan-perubahan atau bahaya-bahaya yang timbul pada penerbangan. Hal ini terbukti pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada perang dunia pertama; kira-kira 90% kecelakaan udara disebabkan karena penerbang tidak atau kurang tahan uji terhadap bahaya penerbangan. Sejak Perang Dunia ke I selesai Ilmu Kesehatan Penerbangan mendapat tempat yang layak dalam dunia kesehatan, sehingga perkembangannya makin pesat. Sedang pada akhir-akhir ini dengan kemajuan teknologi penerbangan, Ilmu, Kesehatan Penerbangan berkembang dan bahkan sekarang telah menjadi Ilmu Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa. RUANG LINGKUP DAN SISTEMATIKA Ruang lingkup naskah ini meliputi fisiologi penerbangan atau Aerofisiologi yang mendasari Ilmu Kesehatan Penerbangan dan kelainan-kelainan yang timbul dalam tubuh manusia akibat penerbangan, dan disusun dengan sistematika sebagai berikut : 1. Pendahuluan 2. Atmosfer 3. Pengaruh ketinggian pada faal tubuh 4. Pengaruh percepatan dan kecepatan terhadap tubuh 5. Pengaruh penerbangan pada alat keseimbangan 6. Pengaruh penerbangan pada alat penglihatan 7. Penutup ATMOSFER Pengertian Atmosfer adalah selubung gas atau campuran gas-gas, yang menyelimuti bumi. Campuran gas-gas ini disebut udara. Di atas atmosfer disebut ruang angkasa. Ruang angkasa adalah ruang dimana tidak ada lagi udara, bila masih ada udara atau gas maka daerah itu masih atmosfer, karena molekul gas yang sangat ringan dapat terlepas dari gaya tarik bumi dan beredar ke ruang angkasa. Oleh karena itu dibuat perjanjian tentang batas antara atmosfer dan ruang angkasa. Batas ini di Rusia, menurut A.A. Lavikov adalah 3.000 km, sedang di Amerika, menurut Armstrong adalah 6.000 mil. Susunan Atmosfer Susunan atmosfer pada zaman dahulu berbeda dengan su-

sunan atmosfer pada zaman sekarang. Susunan atmosfer pada zaman dahulu, yaitu pada saat pembentukan atmosfer, terdiri dari gas-gas Hidrogen, Amoniak, Methan, Helium dan uap air dan disebut protoatmosfer. Dengan berbagai perubahan terjadilah atmosfer seperti sekarang ini, yang disebut neoatmosfer dan selanjutnya kita sebut atmosfer. Gas-gas pada neoatmosfer terdiri dari : Nitrogen dengan prosentase 70,09%, Oksigen dengan prosentase 20,95%, Argon 0,93%, Karbon Dioksida 0,03% dan sisanya terdiri dari gas-gas yang sangat kecil jumlahnya, yaitu Helium, Neon, Hidrogen dan Xenon. Pembagian Atmosfer Berdasar Sifat-sifatnya Berdasarkan sifat-sifatnya atmosfer dapat dibagi menjadi 4 (empat) lapisan, yaitu : 1) Lapisan Troposfer Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tipis dan terletak dari permukaan bumi sampai ke ketinggian 10–12 km. Sifat-sifat troposfer pada umumnya adalah: suhu berubahubah, makin tinggi suhu makin rendah, arah dan kecepatan angin berubah-ubah, ada uap air dan hujan, serta ada turbulensi. Oleh karena sifat troposfer yang sering berubah-ubah ini, maka sebenarnya tempat ini kurang ideal untuk penerbangan; tetapi pada kenyataannya banyak penerbangan dilakukan di lapisan ini, sehingga kemungkinan bahaya penerbangan menjadi lebih besar. 2) Lapisan Stratosfer Lapisan stratosfer terbentang di atas lapisan troposfer sampai ke ketinggian 50–80 km. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh lapisan tropopause. Sifat-sifat stratosfer ialah: suhu tetap walaupun ketinggian berubah yaitu –55°C, tidak ada uap air dan turbulensi. Oleh karena sifat-sifat stratosfer lebih stabil dibandingkan dengan troposfer, maka stratosfer ini sebenarnya adalah tempat yang ideal untuk kegiatan penerbangan. 3) Lapisan lonosfer Lapisan ionosfer terbentang dari atas stratosfer sampai ke ketinggian antara 600-1.000 km. Pada lapisan ini udara sangat renggang dan terjadi reaksi fotokhemis dan fotoelelektris, sehingga atom-atom dan molekul-molekul gas ada yang menerima muatan listrik, menjadi ion-ion. Oleh karena pembentukan ionion inilah maka terjadi panas yang tinggi sehingga suhu udara di sini sampai 2.000°C. 4) Lapisan Eksosfer Lapisan Eksosfer adalah lapisan atmosfer yang paling atas, di sini gas-gas tidak kontinu lagi hubungan molekulnya; atomatom dan molekul-molekulgas membentuk pulau-pulau udara yang satu sama lain dipisahkan oleh ruang hampa. Oleh karena sifat inilah maka lapisan ini dibedakan dengan ketiga lapisan di atas. Ketiga lapisan atmosfer yang berada di bawah eksosfer disebut pula atmosfer, sedang eksosfer disebut outer atmosfer (Tabel 1).

Pembagian Atmosfer Berdasarkan Ilmu Faal Atmosfer juga dapat dibagi dalam 3 (tiga) daerah berdasar'kan ilmu faal, yaitu :

Tabel 1.

Skema Pembagian Atmosfer

Atmospheres Space Outer Inner

Spheres Exosphere Ionosphere

Layers

Atomic F (F–1 + F–2) E F Stratosphere Upper Mixing Warm Isothermal Troposphere Advertion Ground Bottom

Aproximate Height (mis) Above 1.200 600 to 1.200 250 to 600 95 to 250 60 to 95 30 to 60 30 to 50 15 to 30 8 to 15 1.2 to 8 6 ft to 1.2 miles 0 to 6 ft

1) Physiological Zone Daerah ini terbentang dari permukaan bumi sampai ke ketinggian 10.000 kaki. Di daerah ini orang praktis tidak mengalami perubahan faal tubuhnya, kecuali daya adaptasi gelapnya saja yang memanjang bila berada pada ketinggian lebih dari 5.000 kaki. 2) Physiological Defficient Di daerah ini orang akan mengalami kekurangan fisiologi atau mengalami kelainan faal tubuh berupa hipoksia, tetapi masih dapat ditolong dengan pemberian oksigen saja. Daerah ini terbentang dari ketinggian 10.000 kaki sampai 50.000 kaki. 3) Space equivalent zone Atmosfer di atas 50.000 kaki dinamakan space equivalent zone, karena di sini orang akan mengalami hipoksia berat dan canapertolongan atau perlindungan sama seperti di ruang angkasa. OZONOSFER Di samping lapisan-lapisan atmosfer di atas, kita mengenal suatu lapisan dalam atmosfer yang disebut ozonosfer karena mengandung banyak gas ozone. Lapisan ini terbentang antara ketinggian 12 km sampai 70 km dan yang terbanyak ozonenya berada pada ketinggian antara 45 km sampai 55 km. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ozonosfer adalah payung bumi terhadap sinar ultra violet. Tekanan Atmosfer Seperti benda-benda lain, gas juga mempunyai berat. Berat 1 meter kubik udara pada permukaan laut dengan tekanan 760 mmHg dan suhu 0°C adalah 1.293 gram. Oleh kanena berat udara inilah maka tiap permukaan atau bidang di dalam atmosfer menerima tekānan, yang besarnya sesuai dengan berat udara yang ada di atasnya. Tekanan inilah yang disebut tekanan atmosfer atau tekanan barometer bila diukur untuk tiap sentimeter persegi. Padapermukaan laut tekanan ini besarnyasama dengan 1,033 kg/ cm2. Telah dilakukan pengukuran tekanan atmosfer ini pada garis lintang 45° pada permukaan laut dan suhu 0°C pada luas permukaan 1 cm2. Hasilnya sama dengan tekanan satu kolom air raksa setinggi 760 milimeter dengan penampang dan suhu yang sama. Oleh kanena itu 760 mmHg ini disebut 1 atmosfer. Satu atmosfer juga sering dinyatakan dengan 14,7 PSI (pound per Square Inch). Tekanan satu atmosfer ini juga sering digunakan

untuk menyatakan tekanan pada permukaan laut. Makin tinggi makin kurang tekanan udaranya, karena jumlah udara yang berada di atasnya makin kurang pula. Jadi tekanan barometer mengecil bila ketinggian bertambah (Tabel 2). Tabel 2.

Tekanan Barometer pads Ketinggian

Tinggi (Km)

0

16

32

48

64

80

Tekanan (Atm)

1

0,1

0,01

0,00

0,0001

0,00001

Tekanan Parsiil Gas Gas-gas yang menyusun udara mempunyai berat sendiri, sehingga mempunyai tekanan masing-masing pula. Tekanan tiap-tiap gas ini disebut tekanan parsiil gas itu. Jadi tekanan barometer adalah jumlah tekanan parsiil gas-gas yang berada di udara. Cara menghitung tekanan parsiil gas : PxB P = –––– 100 P = Tekanan parsiil suatu gas C = Prosentase gas tersebut B = Tekanan barometer Oksigen adalah unsur terpenting untuk kehidupan manusia. Prosentase oksigen dalam udara sampai ke ketinggian 110 km adalah tetap, yaitu sekitar 21%. Maka mudahlah bagi kita untuk menghitung tekanan parsiil oksigen dalam udara pada beberapa ketinggian. Misalnya : pada permukaan laut P02 = 159 mmHg, pada ketinggian 6 km PO2 = 74 mmHg. Tekanan parsiil oksigen ini penting diketahui untuk menjelaskan masalah hipoksia. Atmosfer Standar Karena sifat-sifat atmosfer sering berubah-ubah, terutama bagian bawah, maka perlu diadakan suatu perjanjian mengenai sifat-sifat atmosfer yang tetap pada tiap ketinggian. Ketentuanketentuan ini merupakan suatu daftar dan disebut susunan atmosfer standard. Tabel 3 merupakan susunan atmosfer standard yang digunakan di Amerika. Tabel 3.

USA Standard Atmosphere

Ketinggian (kaki) 0 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 16.000 18.000 20.000 22.000 24.000 26.000 28.000 30.000 32.000 34.000 35.000 36.000 38.000 40.000

Tekanan (mmHg)

Temperatur (°C)

760,0 706,0 656,3 609,3 564,4 522,6 483,3 446,4 411,8 379,4 349,1 370,8 294,4 269,8 246,9 225,6 205,8 187,4 175,9 170,4 154,9 140,7

15,0 11,0 7,1 3,1 – 0,8 4,8 – 8,9 – 12,7 – 16,7 – 20,7 – 24,6 – 28,6 – 32,5 – 36,5 – 40,5 – 44,4 – 48,4 – 52,4 – 55,0 – 55,0 – 55,0 - 55,0

42.000 44.000 46.000 48.000 50.000 52.000 54.000 56.000 58.000 60.000

127,9 116,3 105,7 96,05 87,30 79,34 72,12 65,55 59,58 54,15

– 55,0 – 55,0 – 55,0 – 55,0 – 55,0 – 55,0 – 55,0 – 55,0 – 55,0 – 55,0

Suhu Atmosfer Semakin tinggi kita naik semakin rendah temperatumya. Pada lapisan atmosfer bagian bawah, berlaku suatu ketentuan, bahwa suhu akan menurun 2°C setiap kita naik 300 m ke atas atmosfer. Pada lapisan stratosfer suhu telah menjadi sekitar –55°C. Pada lapisan ionosfer terjadi reaksi pembentukan ion, sehingga suhu pada lapisan ini naik menjadi 2.000°C. Jelas bahwa pada penerbangan tinggi dengan menggunakan pesawat yang ada pada dewasa ini, yang terpenting adalah problem penurunan suhu sehingga perlu dilengkapi dengan alat pemanas. Radiasi Radiasi di atas atmosfer berasal dari matahari atau dari planet-planet lain. Radiasi ini berupa gelombang-gelombang elektromagnetik. Bumi kita diselubungi oleh suatu atmosfer yang dapat menahan atau mengabsorbsi sinar-sinar radiasi tersebut, sehingga sampai di permukaan bumi tidak lagi membahayakan. Lapisan ozon mempunyai daya untuk mengabsorbsi sinar ultra violet sehingga jumlah kecil saja dari sinar tersebut yang sampai di permukaan bumi; di samping itu atmosfer juga memantulkan kembali radiasi dari beberapa gelombang elektromagnetik. Jadi intensitas radiasi akan makin meningkat bila kita naik ke atas atmosfer, sedangkan radiasi yang intensitasnya tinggi membayakan tubuh manusia. Magnit Bumi dan Sabuk Radiasi Bumi memiliki magnit yang kutub-kutubnya berada di utara dan selatan. Akibat adanya magnit bumi ini, maka radiasi yang berbentuk partikel bermuatan listrik akan bergerak mengikuti garis medan magnit, sehingga terbentuklah daerah yang intensitas radiasinya sangat tinggi. Dr. James A Van Allen menemukan sabuk radiasi yang intensitasnya sangat tinggi ini yang terkenal dengan nama Van Allen Belt. Intensitas radiasi ini demikian besarnya sehingga dapat mematikan manusia yang berada di tempat tersebut. Van Allen Belt ini mengganggu gelombang radio yang dipakai untuk komunikasi ke planit lain. Sabuk radiasi ini dibagi dalam dua bagian, yaitu inner belt dan outer belt. Di belahan bumi bagian barat, batas bawahnya antara 500 – 600 km, sedang di belahan bumi sebelah timur batas bawahnya pada ketinggian 1.600 km. Batas luar sabuk ini antara 7.000 km – 10.000 km. Di atas daerah kutub bumi didapatkan daerah yang bebas dari sabuk radiasi ini. Oleh karenanya penerbangan ruang angkasa akan lebih aman bila keluar dari atmosfer bumi melalui

daerah kutub. Hukum Gas Hukum gas berguna untuk menjelaskan gangguan fisiologi pada penerbangan. Hukum gas yang penting adalah : 1) Hukum Difusi Gas Hukum difusi gas ini penting untuk menjelaskan pernapasan, baik pernapasan luar maupun dalam. Hukum ini mengatakan bahwa gas akan berdifusi dari tempat yang bertekanan parsiilnya tinggi menuju ke tempat yang tekanan parsiilnya rendah. Sedang kecepatan berdifusi ini ditentukan oleh besarnya selisih tekanan parsiil tersebut dan tebalnya dinding pemisah. 2) Hukum Boyle Hukum ini penting untuk menjelaskan masalah penyakit dekompresi. Hukum Boyle ini mengatakan bahwa apabila volume suatu gas tersebut berbanding terbalik dengan tekanannya. P.V = C

P V C

= = =

Pressure atau tekanan Volume atau isi Constant atau tetap

3) Hukum Dalton Hukum ini penting untuk menghitung tekanan parsiil gas dalam suatu campuran gas, misalnya menghitung tekanan parsiil oksigen dalam udara pernapasan pada beberapa ketinggian guna menjelaskan masalah hipoksia. Hukum ini mengatakan bahwa tekanan total suatu campuran gas sama dengan jumlah tekanan parsiil gas-gas penyusun campuran tersebut. pt = P1 + P2 + …….. + Pn Pt = Tekanan total campuran gas P1, P2 dan seterusnya adalah tekanan parsiil masing-masing gas.

4) Hukum Henry Hukum ini penting untuk menjelaskan penyakit dekompresi, seperti bends, chokes, dan sebagainya yang dasarnya adalah penguapan gas yang larut. Hukum ini mengatakan bahwa jumlah gas yang larut dalam suatu cairan tertentu berbanding lurus dengan tekanan parsiil gas tersebut pada permukaan cairan itu. A P

Al x P2 = A2 x P2 = jumlah gas yang larut = Tekanan parsiil gas pada permukaan cairan.

5) Hukum Charles Hukum ini penting untuk menjelaskan tentang turunnya tekanan oksigen atau berkurangnya persediaan oksigen bila isi tetap, maka tekanan gas tersebut berbanding lurus dengan suhu absolutnya. Jadi bila kita membawa oksigen dalam botol pada penerbangan tinggi, suhunya akan lebih rendah, maka tekanan gas tersebut akan menurun pula. Atau dengan kata lain persediaan oksigen akan berkurang. Bila isi tetap : P1 : P2 = P1 = Tekanan semula P2 = Tekanan yang baru T1 = Suhu absolut mula-mula T2 = Suhu absolut kemudian

T1 : T2

PENGARUH KETINGGIAN PADA FAAL TUBUH

Umum Ada empat perubahan sifat atmosfer pada ketinggian yang dapat merugikan faal tubuh khususnya dan kesehatan pada umumnya, yaitu : 1) Perubahan atau mengecilnya tekanan parsiil oksigen di udara. Hal ini dapat mengganggu faal tubuh dan menyebabkan hipoksia. 2) Perubahan atau mengecilnya tekanan atmosfer. Hal ini dapat menyebabkan sindrom dysbarism. 3) Berubahnya suhu atmosfer. 4) Meningkatnya radiasi, baik dari matahari (solar radiation) maupun dari kosmos lain (cosmic radiation). Dari keempat perubahan ini yang akan dibahas adalah masalah hipoksia dan dysbarism. Masalah pengaruh perubahan suhu hanya dibahas secara umum karena akan lebih banyak dibahas pada masalah survival dan masalah bail out. Sedang masalah radiasi tidak dibahas di sini, karena pengaruhnya pada penerbangan biasa kurang berarti dan hanya penting dibicarakan bila kita membahas masalah penerbangan ruang angkasa. Hipoksia Pengertian : Hipoksia adalah keadaan tubuh kekurangan oksigen untuk menjamin keperluan hidupnya. Dengan menipisnya udara pada ketinggian, maka tekanan parsiil oksigen dalam udara menurun atau mengecil. Mengecilnya tekanan parsiil oksigen dalam udara pernapasan akan berakibat terjadinya hipoksia. Sifat-sifat hipoksia : 1) Tidak terasa datangnya, sehingga orang awam tidak tahu bahwa bahaya hipoksia ini telah menyerangnya. 2) Tidak memberikan rasa sakit pada seseorang, bahkan sering memberikan rasa gembira (euphoria) pada permulaan serangannya, kemudian timbul gejala-gejala lain yang lebih berat sampai pingsan dan bila dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Macam hipoksia Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam, yaitu . 1) Hypoxic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena menurunnya tekanan parsiil oksigen dalam paru-paru atau karena terlalu tebalnya dinding paru-paru. Hypoxic-Hypoxia inilah yang sering dijumpai pada penerbangan, karena seperti makin tinggi terbang makin rendah tekanan barometernya sehingga tekanan parsiil oksigennyapun akan makin kecil. 2) Anaemic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang disebabkan karena berkurangnya hemoglobin dalam darah baik kanena jumlah darahnya sendiri yang kurang (perdarahan) maupun karena kadar Hb dalam darah menurun (anemia). 3) Stagnant-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bendungan sistem peredaran darah sehingga aliran darah tidak lancar, maka jumlah oksigen yang diangkut dari paru-paru menuju sel persatuan waktu menjadi kurang. Stagnant hipoksia ini sering terjadi pada penderita penyakit jantung. 4) Histotoxic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bahan racun dalam tubuh sehingga mengganggu kelancaran pemapasan dalam.

Gejala-gejala hipoksia Gejala yang timbul pada hipoksia sangat individual, sedang berat ringannya gejala tergantung pada lamanya berada di daerah itu, cepatnya mencapai ketinggian tersebut, kondisi badan orang yang menderitanya dan lain sebagainya. Gejala-gejala ini dapat dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu : 1) Gejala-gejala Obyektif, meliputi : a) Air hunger, yaitu rasa ingin menarik napas panjang terusmenerus b) Frekuensi nadi dan pernapasan naik c) Gangguan pada cara berpikir dan berkonsentrasi d) Gangguan dalam melakukan gerakan koordinatif misalnya memasukkan paku ke dalam lubang yang sempit e) Cyanosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir menjadi biru f) Lemas g) Kejang-kejang h) Pingsan dan sebagainya. 2) Gejala-gejala Subyektif, meliputi : a) Malas b) Ngantuk c) Euphoria yaitu rasa gembira tanpa sebab dan kadang-kadang timbul rasa sok jagoan. Rasa ini yang harus mendapat perhatian yang besar pada awak pesawat, karena euphoria ini banyak membawa korban akibat tidak adanya keseimbangan lagi antara kemampuan yang mulai mundur dan kemauan yang meningkat. Pembagian hipoksia berdasarkan ketinggian Gejala-gejala hipoksia yang timbul ditentukan oleh ketinggian tempat orang tersebut berada. Ketinggian ini dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu : 1) The Indifferent Stage, yaitu ketinggian dari sea level sampai ketinggian 10.000 kaki. Biasanya yang terganggu oleh hipoksia di daerah ini hanya penglihatan malam dengan daya adaptasi gelap terganggu. Pada umumnya gangguan ini sudah mulai nyata pada ketinggian di atas 5.000 kaki; oleh karena itu pada latihan terbang malam para awak pesawat diharuskan memakai oksigen sejak di darat. 2) Compensatory Stage, yaitu ketinggian dari 10.000 sampai 15.000 kaki. Pada daerah ini sistem peredaran darah dan pernapasan telah mengadakan perubahan dengan menaikkan frekuensi nadi dan pernapasan, menaikkan tekanan darah sistolik dan cardiac output untuk mengatasi hipoksia yang terjadi. Pada daerah ini sistem saraf telah terganggu, oleh karena itu tiap awak pesawat yang terbang di daerah ini harus menggunakan oksigen. 3) Disturbance Stage, yaitu ketinggian dari 15.000 kaki sampai 20.000 kaki. Pada daerah ini usaha tubuh untuk mengatasi hipoksia sangat terbatas waktunya, jadi pada daerah ini orang tidak akan dapat lama tanpa bantuan oksigen. Biasanya tanda-tanda serangan hipoksia ini tidak terasa hanya kadang-kadang saja timbul rasa malas, ngantuk, euphoria dan sebagainya, sehingga tahu-tahu orang tersebut menjadi pingsan. Gejala-gejala obyektif antara lain pandangan menjadi menyempit (tunnel vision), kepandaian menurun, judgement ter-

ganggu. Oleh karena itu pada daerah ini merupakan keharusan mutlak seluruh awak pesawat maupun penumpang untuk menggunakan oksigen. 4) Critical Stage, yaitu daerah dari ketinggian 20.000 kaki sampai 23.000 kaki. Pada daerah ini dalam waktu 3 – 5 menit saja orang sudah tidak dapat menggunakan lagi pikiran dan judgement lain tanpa bantuan oksigen. Time of Useful Consciousness (TUC) Adalah waktu yang masih dapat digunakan bila kita menderita serangan hipoksia pada tiap ketinggian; di luar waktu itu kita akan kehilangan kesadaran. Waktu itu berbeda-beda pada tiap ketinggian, makin tinggi waktu itu makin pendek. TUC ini juga dipengaruhi oleh kondisi badan dan kerentanan seseorang terhadap hipoksia. TUC ini perlu diperhatikan oleh para awak pesawat agar mereka dapat mengetahui berapa waktu yang tersedia baginya bila mendapat serangan hipoksia pada ketinggian tersebut. Sebagai contoh : TUC pada ketinggian 22.000 kaki =10 menit, 25.000 kaki = 5 menit, 28.000 kaki = 2,5–3 menit, 30.000 kaki = 1,5 menit, 35.000 kaki = 0,5 – 1 menit, 40.000 kaki = 15 detik dan 65.000 kaki = 9 detik. Pengobatan hipoksia Pengobatan hipoksia yang paling baik adalah pemberian oksigen secepat mungkin sebelum terlambat, karena bila terlambat dapat mengakibatkan kelainan (cacat) sampai ke kematian. Pada penerbangan bila terjadi hipoksia harus segera menggunakan masker oksigen atau segera turun pada ketinggian yang aman yaitu di bawah 10,000 kaki. Pencegahan hipoksia Pencegahan hipoksia dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai dari penggunaan oksigen yang sesuai dengan ketinggian tempat kita berada, pernapasan dengan tekanan dan penggunaan pressure suit, pengawasan yang baik terhadap persediaan oksigen pada penerbangan, pengukuran pressurized cabin, mengikuti ketentuan-ketentuan dalam penerbangan dan sebagainya. Cara lain untuk pencegahan yaitu latihan mengenal datangnya bahaya hipoksia agar dapat selalu siap menghadapi bahaya tersebut. Dysbarism Pengertian Menurut Adler yang dimaksud dengan dysbarism adalah semua kelainan yang terjadi akibat berubahnya tekanan sekitar tubuh, kecuali hipoksia. Banyak istilah yang telah digunakan orang untuk memberi nama sindrom ini seperti penyakit dekompresi, aeroembolisme, aeroemphysema dan sebagainya. Tetapi istilah dysbarism lebih tepat karena istilah-istilah tidak mencakup keseluruhan pengertian atau seluruh kejadian. Di samping hipoksia masalah dysbarism juga termasuk masalah yang penting dalam ilmu faal penerbangan. Dysbarism ini telah sejak abad ke XVII dibicarakan orang dan sampai sekarangpun masih ramai didiskusikan karena etiologinya atau patofisiologinya belum dapat dijelaskan secara sempuma. Banyak teori yang timbul tetapi selalu saja ada kelemahannya. Pembagian dysbarism

Dysbarism dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1) Sebagai akibat pengembangan gas-gas dalam rongga tubuh. Golongan ini sering juga disebut : pengaruh mekanis pengembangan gas-gas dalam rongga tubuh atau pengaruh mekanis akibat perubahan tekanan sekitar tubuh. 2) Sebagai akibat penguapan gas-gas yang terlarut dalam tubuh. Kelompok ini kadang-kadang jul;a disebut penyakit dekompresi, sehingga kadang-kadang mengaburkan pengertian penyakit dekompresi yang digunakan orang untuk istilah pengganti dysbarism. Pengaruh Mekanis Gas-gas dalam Rongga Tubuh Berubahnya tekanan udara di luar tubuh akan mengganggu keseimbangan tekanan antara rongga tubuh yang mengandung gas dengan udara di luar. Hal ini akan berakibat timbulnya rasa sakit sampai terjadinya kerusakan organ-organ tertentu. Rongga tubuh yang mengandung gas adalah : 1. Traktus Castro Intestinalis Gas-gas terutama berkumpul dalam lambung dan usus besar. Sumber gas-gas tersebut sebagian besar adalah dani udara yang ikdt tertelan pada waktu makan dan sebagian kecil timbul dari proses pencernaan, peragian atau pembusukan (dekomposisi oleh bakteri). Gas-gas tersebut terdiri dani O2, CO2, metan, H2S dan N2 (bagian terbesar). Apabila ketinggian dicapai dengan perlahan, maka perbedaan antara tekanan udara di luar dan di dalam tidak begitu besar sehingga pressure equalisation yaitu mekanisme penyamanan tekanan berjalan dengan lancar dengan jalan kentut atau melalui mulut. Gejala-gejala yang dirasakan adalah ringan yaitu rasa tidak enak (discomfort) pada perut. Sebaliknya apabila ketinggian dicapai dengan cepat atau terdapat halangan dalam saluran pencernaan maka pressure equalisation tidak berjalan dengan lancan, sehingga gas-gas sukar keluar dan timbul rasa discomfort yang lebih berat. Pada ketinggian di atas 25.000 kaki timbul rasa sakit perut yang hebat; sakit perut ini secara reflektoris dapat menyebabkan turunnya tekanan darah secara drastis, sehingga jatuh pingsan. Tindakan preventif agar tidak banyak terkumpul gas dalam saluran pencernaan, meliputi : a) Dilarang minum bir, air soda dan minuman lain yang mengandung gas CO2 sebelum terbang. b) Makanan yang dilarang sebelum terbang adalah bawang merah, bawang putih, kubis, kacang-kacangan, ketimun, semangka dan chewing gum. c) Tidak dibenarkan makan dengan tidak teratur, tergesa-gesa dan sambil bekerja. Tindakan regresif bila gejala sudah timbul, adalah : a) Ketinggian segera dikurangi sampai gejala-gejala ini hilang. b) Diusahakan untuk mengeluarkan udara dani mulut atau kentut c) Banyak mengadakan gerakan. 2. Telinga Bertambahnya ketinggian akan menyebabkan tekanan dalam telinga tengah menjadi lebih besar dari tekanan di luar tubuh, sehingga akan terjadi aliran udara dani telinga tengah ke luar

tubuh melalui tuba Eustachii. Bila bertambahnya ketinggian terjadi dengan cepat, maka usaha mengadakan keseimbangan tidak cukup waktu; hal ini akan menyebabkan rasa sakit pada telinga tengah karena teregangnya selaput gendang, bahkan dapat merobekkan selaput gendang. Kelainan ini disebut aerotitis atau barotitis. Kejadian serupa dapat terjadi juga pada waktu ketinggian berkurang, bahkan lebih sering terjadi karena pada waktu turun tekanan di telinga tengah menjadi lebih kecil dari tekanan di luar sehingga udara akan mengalir masuk telinga tengah, sedang muara tuba eustachii di tenggorokan biasanya sering tertutup sehingga menyukarkan aliran udara. Bila ada radang di tenggorokan lubang tuba Eustachii makin sempit sehingga lebih menyulitkan aliran udana melalui tempat itu; hal ini berarti kemungkinan terjadinya banotitis menjadi lebih besar. Di samping itu pada waktu turun udara yang masuk ke telinga tengah akan melalui daerah radang di tenggorokan, sehingga kemungkinan infeksi di telinga tengah sukar dihindarkan. Tindakan preventif terhadap kelainan ini adalah : a) Mengurangi kecepatan naik maupun kecepatan turun, agar tidak terlalu besar selisih tekanan antana udana luan dengan telinga tengah. b) Menelan ludah pada waktu pesawat udana naik agar tuba Eustachii terbuka dan mengadakan gerakan Valsava pada waktu pesawat turun. Gerakan Valsava adalah menutup mulut dan hidung kemudian meniup dengan kuat. c) Melarang terbang para awak pesawat yang sedang sakit saluran pernapasan bagian atas. d) Penggunaan pesawat udana dengan pressurized cabin. Tindakan represif pada kelainan ini adalah : a) Bila terjadinya pada waktu naik, dilakukan : 1) Berhenti naik dan datar pada ketinggian tersebut sambil menelan ludah berulang-ulang sampai hilang gejalanya. 2) Bila dengan usaha tadi tidak berhasil, maka pesawat diturunkan kembali dengan cepat sampai hilangnya rasa sakit tadi. b) Bila terjadi pada waktu turun, dilakukan : 1) Berhenti turun dan datar sambil melakukan Valsava berulang sampai gejalanya hilang. 2) Bila usaha di atas tidak berhasil, pesawat dinaikkan kembali sampai rasa sakit hilang, kemudian datar lagi untuk sementara. Bila rasa sakit sudah hilang sama sekali, maka pesawat diturunkan perlahan-lahan sekali sambil melakukan gerakan Valsava . terus menerus. Post Flight Ear Block Ada kejadian seperti barotitis tadi pada waktu selesai terbang tinggi saat penerbangnya sedang tidur pada malam harinya. Banotitis demikian disebut post flight ear block dan terjadi kanena penerbang tersebut menggunakan oksigen terus selamapenerbangan sampai ke bumi, sehingga udana yang masuk ke telinga tengah kaya akan oksigen. Oksigen ini akan diserap oleh selaput pelapis telinga tengah dan tuba Eustachii tertutup sehingga tekanan udara luan menimbulkan rasa sakit. 3. Sinus Paranasalia Muara sinus paranasalis ke rongga hidung pada umumnya sempit. Sehingga bila kecepatan naik atau turun sangat besar, maka untuk penyesuaian tekanan antara rongga sinus dan udara

luar tidak cukup waktu, sehingga akan timbul rasa sakit di sinus yang disebut aerosinusitis. Karena sifat sinus paranasalis yang selalu terbuka, maka aerosinusitis ini dapat terjadi pada waktu naik maupun turun dengan prosentase yang sama. Pada keadaan radang saluran pernapasan bagian atas, kemungkinan terjadinya aerosinusitis makin besar. Aerosinusitis ini lebih jarang bila dibandingkandengan aerotitis, karena bentuk saluran penghubung dengan udara luar. 4. Gigi Pada gigi yang sehat dan normal tidak ada rongga dalam gigi, tetapi pada gigi yang rusak kemungkinan terjadi kantong udara dalam gigi besar sekali. Dengan mekanisme seperti pada proses aerotitis dan aerosinusitis di atas, pada kantong udara di gigi yang rusak ini dapat pula timbul rasa sakit. Rasa sakit ini disebut aerodontalgia. Patofisiologi aerodontalgia ini masih belum jelas. Pengaruh Penguapan Gas yang Larut dalam Tubuh Dengan berkurangnya tekanan atmosfer bila ketinggian bertambah, gas-gas yang tadinya larut dalam sel dan jaringan tubuh akan keluar sebagian dari larutannya dan timbul sebagai gelembung-gelembung gas sampai tercapainya keseimbangan baru. Mekanismenya adalah sesuai dengan Hukum Henry. Pada kehidupan sehari-hari peristiwa ini dapat dilihat pada waktu kita membuka tutup botol yang bersisi limun, air soda atau bir yaitu timbul gelembung-gelembung gas. Gelembung-gelembung gas yang timbul dalam tubuh manusia bila tekanan atmosfer berkurang sebagian besar terdiri dari gas N2. Gejala-gejala pada penerbang baru timbul pada ketinggian 25.000 kaki. Semakin cepat ketinggian bertambah, semakin cepat pula timbul gejala. Pada ketinggian di bawah 25.000 kaki gas N2 masih sempat dikeluarkan oleh tubuh melalui paru-paru. Gas tersebut diangkut ke paru-paru oleh darah dari scl-sel maupun jaringan tubuh. Timbulnya gelembung-gelembung ini berhenti bila sudah terdapat keseimbangan antara tekanan udara di dalam dan tekanan udara di luar. Hal ini dapat dimengerti dengan mengingat Hukum Henry dan Hukum Graham. Gelembung-gelembung ini memberikan gejala karena urat-urat saraf di dekatnya tertekan olehnya, di samping itu tertekan pula pembuluh-pembuluh darah kecil di sekitarnya. Menurut sifat dan lokasinya, gejala-gejala ini terdiri atas : 1) Bends Bends adalah rasa nyeri yang dalam dan terdapat di sendi serta dirasakan terus-menerus, dan umumnya makin lama makin bertambah berat. Akibatnya penerbang atau awak pesawat tak dapat sama sekali bergerak karena nyerinya. Sendi yang terkena umumnya adalah sendi yang besar seperti sendi bahu, sendi lutut, di samping itu juga sendi yang lebih kecil seperti sendi tangan, pergelangan tangan dan pergelangan kaki, tetapi lebih jarang. 2) Chokes Chokes adalah rasa sakit di bawah tulang dada yang disertai dengan batuk kering yang terjadi pada penerbangan tinggi, akibat penguapan gas nitrogen yang membentuk gelembung di daerah paru-paru. Chokes lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan bends, tetapi bahayanya jauh lebih besar, karena dapat

menganqam jiwa penerbang. 3) Gejala-gejala pada kulit Gejala-gejala pada kulit adalah perasaan seperti ditusuktusuk dengan jarum, gatal-gatal, rasa panas dan dingin, timbul bercak kemerah-merahan dan gelembung-gelembung pada kulit. Gejala-gejala ini tidak memberikan gangguan yang berat, tetapi merupakan tanda bahaya atau tanda permulaan akan datangnya bahaya dysbarism yang lebih berat. 4) Kelainan pada sistem syaraf Jarang sekali terjadi dan bila timbul mempunyai gambaran dengan variasi yang besar yang kadang-kadang saja memberikan komplikasi yang berat. Yang sering diketemukan adalah kelainan penglihatan dan sakit kepala yang tidak jelas lokasinya. Dapat pula timbul kelumpuhan sebagian (parsiil), kelainan penginderaan, dan sebagainya. PENGARUH PERCEPATAN DAN KECEPATAN PADA PENERBANGAN TERHADAP TUBUH Umum Benda di udara apabila dilepaskan akan jatuh bebas karena pengaruh gaya tank bumi. Demikian pula dengan tiap benda yang berada dalam keadaan diam di permukaan bumi ini, akan jatuh bebas ke arah pusat bumi apabila tidak ada tanah tempat benda tersebut bersandar. Kekuatan yang bekerja pada massa benda kita kenal sebagai berat benda. Berat flap benda dalam keadaan diam dipengaruhi oleh gaya tarik bumi sebesar 1 g. Percepatan atau akselerasi karena gaya tarik ini adalah sebesar 10 m/detik. Apabila sebuah benda dari keadaan diam lalu bergerak, maka karena adanya percepatan yang bekerja pada benda tersebut, akan terjadi gaya lain pada benda tadi yang arahnya berlawanan dengan arah percepatan penggeraknya. Hal ini disebabkan karena kelembaman benda tersebut seperti hukum inertia dari Newton. Misalnya kita di dalam mobil yang tidak bergerak kemudian sekonyong-konyong mobil tersebut dilarikan dengan cepat, maka akan terasa badan kita terlempar ke sandaran belakang. Sebaliknya bila kita berada pada mobil yang bergerak cepat mendadak berhenti, maka badan kita akan terlempar ke depan. Macam Akselerasi Dalam penerbangan dijumpai macam-macam akselerasi yang terbagi atas : 1) Akselerasi Liniair Akselerasi liniair terjadi apabila ada perubahan kecepatan sedang arah tetap, misalnya terdapat pada take off, catapult take off, rocket take off, mengubah kecepatan dalam straight and level flying, crash landing, ditching, shock waktu parasut membuka atau pada saat landing. 2) Akselerasi Radiair (Sentripetal) Akselerasi radiair terjadi apabila ada perubahan arah pada gerak pesawat sedang kecepatan tetap, misalnya pada waktu turun, loop dan dive. 3) Akselerasi Angulair Akselerasi angulair apabila ada perubahan kecepatan dan

arah pesawat sekaligus, misalnya pada roll dan spin. Gaya Akibat akselerasi timbul gaya yang sama besar akan tetapi berlawanan arahnya (reactive force) yang dikenal sebagai gaya G. Gaya G ini dinyatakan dengan satuan G. Besar tiap-tiap gaya G yang bekerja pada awak pesawat diukur dengan gaya tarik bumi. Pengaruh gaya G pada tubuh dibagi berdasarkan arahnya terhadap tubuh, karena toleransi tubuh terhadap gaya G ini tergantung pada arah tersebut di samping lamanya pengaruh G tersebut bekerja. Ada 3 gaya G, yaitu : 1) Gaya G-transversal Adalah gaya.G yang arahnya memotong tegak lurus sumbu panjang tubuh, jadi dapat dari muka ke belakang atau sebaliknya dan dapat pula dari samping ke samping. 2) Gaya G-Positif Adalah gaya G yang bekerja dengan arah dari kepala ke kaki. 3) Gaya G-Negatif Adalah gaya G yang bekerja dengan arah dari kaki ke kepala. Akibat Gaya G pada Badan Manusia sejak dalam kandungan telah biasa dengan pengaruh gaya tarik bumi sebesar 1 g. Hal ini berarti bahwa alat-alat rongga badan khususnya jantung dan pembuluh darah telah menyesuaikan diri dengan pengaruh tersebut. Tiap gaya G lebih besar atau lebih kecil dari 1 g akan mengakibatkan gejala-gejala pada tubuh manusia yang masih dapat diatasi apabila masih dalam batas-batas toleransi badan. Akibat gaya G badan tergantung pada macam gaya G tersebut. Secara rinci akibat gaya G tersebut adalah : 1) Gaya G-Positif Akibat gaya G-positif pada badan dapat dirasakan apabila kita mengadakan pull-up atau dive. Pada saat pull-up terasa oleh si penerbang badannya tertekan pada tempat duduk karena berat badannya bertambah. Si penerbang kelihatan seperti orang tua karena pipinya tertarik ke bawah. Makin besar gaya G yang mempengaruhinya makin besar perubahan pada mata. Pada+2 G sampai +3 G lantang pandangan menciut (tubular sight). Pada +3 G sampai +4,5 G penglihatan menjadi tampak remang (grey out) dan pada +4 sampai +6 G semuanya tampak gelap (black out), akan tetapi si penerbang masih sadar. Apabila keadaan ini diteruskan dan gaya G bertambah selama lebih dari 3 detik, maka ia akan pingsan. Hal ini disebabkan karena untuk memompa darah ke otak, jantung harus mengeluarkan gaya lebih besar daripada gaya yang biasanya dikeluarkan untuk mengalahkan kolom darah (+30 cm). Akibatnya ialah bahwa suplai oksigen ke mata dan otak sudah demikian kurangnya sehingga terjadi hipoksia akut. Bila keadaan ini berlangsung terlalu lama, maka akan sangat membahayakan jiwa si penerbang. 2) Gaya G-Negatif Pada gaya G-negatif tubuh manusia kurang besar toleransinya, artinya dengan G-negatif yang kecil saja tubuh akan men-

derita bila dibandingkan dengan G-positif. G-negatif ini terjadi pada penerbangan misalnya pada waktu steep climbing mendadak level flight. Di sini darah akan terlempar ke arah otak, sehingga jumlah darah dalam otak meningkat dan tekanannyapun meningkat. Hal ini akan berakibat timbulnya rasa sakit kepala sampai pecahnya pembuluh darah di otak bila G-negatif tersebut sangat besar dan lama. Pada G-negatif sebesar –2 sampai –2,5 G akan terjadi gejala red out, yaitu penglihatan menjadi merah semua. Gerakan-gerakan lain yang menghasilkan G-negatif pada penerbangan adalah pada waktu mengadakan outside loop, outside turn nose over yang tajam kemudian dive, dan bila eject dengan ejection seat dari bawah pesawat. 3) Gaya G-Transversal Toleransi tubuh manusia terhadap gaya G transversal sangat besar, oleh karena itu pada peluncuran pesawat ruang angkasa dengan roket, posisi awak pesawat diusahakan agar gaya G yang timbul pada pelontaran roket tadi menjadi gaya G-transversal pada tubuh. Meningkatkan Ketahanan Tubuh Cara meningkatkan ketahanan terhadap gaya G-transversal tidak diperlukan karena ketahanan kita sendiri sudah cukup besar, sedang usaha peningkatan ketahanan terhadap gaya Gnegatif tidak ada. Oleh karena itu usaha peningkatan terhadap gaya hanya mengenai gaya G-positif saja, yaitu : a) Membungkukkan kepala ke arah dada agar jarak jantung ke mata menjadi lebih pendek, sehingga jantung masih mampu memompa darah ke otak. b) Mengejan atau berteriak agar tekanan dalam perut meningkat, sehingga penumpukan darah (blood storage) dalam traktus digestivus berkurang dan menambah darah yang akan diedarkan ke otak. c) Menggunakan G-suit atau anti G-suit, yang prinsip kerjanya mengadakan penekanan pada bagian bawah tubuh (paha, betis dan perut) pada waktu ada gaya G-positif yang menyerang tubuh. Hal ini juga akan mengurangi penimbunan darah di bagian bawah tubuh sehingga meningkatkan aliran darah ke otak. PENGARUH PENERBANGAN PADA ALAT KESEIMBANGAN Umum Penerbangan dapat pula mempengaruhi alat keseimbangan awak pesawat sehingga dapat membahayakan jiwa. Kelainan yang timbul pada penerbangan ini biasanya berbentuk ilusi atau disorientasi sehingga dikenal sebagai ilusi penerbangan atau juga disebut spatial disorientation tetapi kadang-kadang dinamakan pula pilot's vertigo. Spatial disorientation atau pilot's vertigo adalah suatu fenomena yang sejak dulu merupakan bahaya dalam penerbangan. Khususnya bagi seorang penerbang militer yang harus melaksanakan tugas penerbangan yang cukup kompleks dalam kondisi cuaca apapun. Fenomena ini merupakan suatu masalah yang tidak boleh dianggap enteng. Dengan mengetahui mekanisme pilot's vertigo maupun macam ilusi yang dapat dialami oleh seorang penerbang di-

harapkan dapat diambil langkah-langkah pencegahan demi keamanan dan keselamatan penerbang, pesawat dan orang lain. Fungsi alat-alat keseimbangan Manusia makhluk darat dapat menjaga keseimbangan badannya karena dilengkapi dengan tiga alat/sistem : Sistem Vestibuler, Sistem Visuil dan Sistem Proprioseptif. Selama manusia masih berhubungan dengan bumi seperti berjalan, berlari, melompat dan lain-lain maka ketiga sistem tersebut berfungsi secara adekuat dan alat-alat keseimbangan bekerja secara cermat dan efektif. Akan tetapi apabila ia meninggalkan bumi dan terbang, alat-alat tersebut dapat membuat kesalahan-kesalahan, karena impuls-impuls yang tidak lagi adekuat. Kesalahan tersebut dapat menimbulkan ilusi dan sering mengakibatkan spatial disorientation. 1) Alat Vestibular, mempunyai 3 bagian : a) Tip canalis semicularis (saluran berisi endolymph) yang tegak lurus satu sama lain pada bidang-bidang horisontal, vertikal dan tranversal. Pada muara tiap-tiap saluran ada suatu pelebaran dengan di dalamnya sel-sel berambut. Rambut-rambut tersebut berhimpun menjadi (cupula) dan merupakan reseptor sensorik. Karena gerakan dan aliran endolymph, cupula ikut bergerak sesuai arah aliran. Tiap gerakan/akselerasi angulair (roll, pitch, yaw) menimbulkan impuls mekanis pada otak dan melaporkan bahwa sedang ada gerakan rotasi dari kepala. b) Utriculus dan Sacculus berisi reseptor sensorik yang dapat menerima impuls mekanis akibat gerakan/akselerasi linear. Reseptor terdiri dari membran otolith yang berisi butir-butir kalsium karbonat. Membran ini ada di atas lapisan sel-sel berambut dengan rambut-rambutnya dalam masa clan membran. Gravitasi maupun akselerasi linear dapat menggerakkan membran otolith dan dengan demikian rambut-rambut sel berambut. Impuls ini diterima dan diteruskan lewat syaraf vestibular ke otak. c) Cochlea. Alat ini digunakan untuk proses pendengaran. Pola akselerasi di udara adalah berbeda daripada di bumi, misalnya akselerasi di udara biasanya tidak segera diikuti dengan deselerasi seperti terjadi di bumi. 2) Sistem visuil, adalah alat terpenting dalam menjaga keseimbangan. Dengan menggunakan penglihatan, kita dapat menentukan lokasi dan posisi suatu obyek dalam ruangan. Dengan adanya visual horizon seorang penerbang masih dapat mengadakan orientasi walaupun terjadi ilusi-ilusi akibat persepsi yang salah dari alat vestibular maupun priprioseptif. Di udara sistem visuil adalah orientation sense yang paling dapat dipercaya dan dengan melalui sistem tersebut, si penerbang dapat menginterprestasikan instrumen pesawat. 3) Sistem proprioseptif, adalah reseptor sensorik yang mengadakan respons terhadap tekanan atau tarikan pada jaringan tubuh. Reseptor ini terdapat dalam jaringan antara lain kulit dan sendi, dan dapat dirasakan di bagian-bagian badan apabila duduk, berdiri atau berbaring. Sistem proprioseptif ini dikenal sebagai body sense atau seat of the pants sense. Mekanisme Ilusi 1) Grave Yard Spin dan Grave Yard Spiral

Pada waktu masuk ke dalam spin, maka setelah 15 – 20 detik kecepatan endolymph dalam saluran semisirkuler telah sama dengan kecepatan dinding saluran, sehingga cupula (reseptor) kembali pada keadaan istirahat. Pada waktu pesawat keluar dari spin, cupula akan bergerak dengan arah yang berlawanan sehingga seolah-olah terjadi spin untuk kedua kalinya dengan arah berlawanan. Dengan mengadakan koreksi maka pesawat masuk spin kembali dengan arah semula. Pada grave yard spiral tidak ada spin tetapi banked down. 2) Coriolis Illusion Ini terjadi apabila endolymph dari satu set saluran semisirkuler kiri telah mencapai kecepatan yang sama dengan dinding saluran, kemudian ada gerakan dari satu set lainnya dalam dinding bidang yang lain dari set pertama. Akibatnya ialah suatu perasan seolah-olah badan berputar dalam bidang di luar bidang tersebut misalnya bila ada gerakan yawing dengan kecepatan yang konstan, maka dengan gerakan pitching dari kepala akan terasa seolah-olah badan mengalami roll. Coriolis illusion paling berbahaya dan biasanya terjadi sewaktu dalam manuver yang relatif rendah. 3) Oculo Gyral Illusion Dalam ilusi ini terlihat suatu obyek di muka mata seolaholah bergerak. Hal ini akibat rangsangan pada saluran semisirkuler dan dapat terjadi waktu grave yard spin, grave yard spiral dan coriolis illusion. 4) Oculo Grave Illusion Ilusi ini analog dengan oculo gyral illusion bukan akibat rangsangan dari saluran semisirkuler tetapi rangsangan pada otolith. Ilusi terjadi pada waktu terbang datar dengan high performance air craft dengan kecepatan akselerasi yang tinggi sehingga menimbulkan rasa seolah-olah pesawat dalam nose-up attitude. Bila penerbang mengadakan koreksi, maka ia akan dive dengan akibat crash. Ilusi ini sering terjadi bila terbang malam atau dalam cuaca buruk, dan tidak terjadi bila di luar ada visual reference yang adekuat. 5) Elevator Illusion Ilusi ini juga terjadi akibat makin besarnya gaya gravitasi seperti waktu akselerasi ke atas. Hal ini mengakibatkan suatu refleks bola mata ke bawah sehingga kelihatan seolah-olah panel instrumen dan hidung pesawat naik ke atas. 6) The Keans Ini adalah ilusi vestibuler yang sering terjadi karena saluran semisirkuler tidak dapat mendeteksi akselerasi angular di bawah ambang (2,5/detik). Misalnya pada terbang instrumen mengadakan roll ke kiri tanpa dirasakan karena kecepatannya di bawah ambang. Bila ia mengadakan roll ke kanan ia merasakan pesawatnya dalam keadaan roll ke kanan walaupun sebenarnya datar. Hal ini dapat dilihat dalam sikap badannya. 7) Autokinesis Sebuah titik cahaya dalam ruangan yang cukup gelap setelah dipandang beberapa detik akan kelihatan seolah-olah bergerak. Fenomena ini dikenal sebagai autokinesis effect dan dapat menyebabkan kekeliruan bila terbang formasi malam hari. 8) Kacau antara bumi dan langit Bila terbang malam dan cukup gelap maka lampu-lampu

landasan dilihat sebagai bintang-bintang. Hal ini membahayakan karena horizon yang diterimanya kelihatan lebih rendah dari horizon yang sesungguhnya. Akibatnya pesawat akan diarahkan ke bawah. 9) Permukaan bumi atau awan Terbang di atas daerah yang tidak rata (di atas kaki gunung) atau awan yang miring permukaannya mengakibatkan terbang tidak lurus dan tidak datar. 10) Seat of the pants sense Bila pesawat membelok maka arah gaya sentrifugal dan gravitasi selalu menuju ke arah lantai pesawat. Dengan demikian si penerbang dengan pressure sensors tersebut sukar mengetahui mana bawah. Di samping itu perasaan ini dapat menguatkan oculogravic illusion yang terjadi akibat akselerasi linear pada high performance aircraft. Tindakan Pencegahan 1) Indoktrinasi kepada para penerbang berupa ceramah, demonstrasi dan film mengenai fenomena tersebut untuk mengurangi kecelakaan pesawat karena spatial disorientation. 2) Mengubah kedudukan alat peralatan dalam panel instrumen sedemikian rupa sehingga memerlukan gerakan-gerakan kepala yang ekstrim. 3) Beberapa latihan terbang seperti instrumen take off and night formation rejoin dipandang cukup membahayakan dan tidak diadakan lagi. Mabuk Udara Mabuk udara adalah sebagian dari motion sickness yang disebabkan oleh penerbangan. Mabuk udara ini terjadi karena pengaruh Gaya G yang kecil tetapi terjadi secara berulang-ulang yang menyerang alat keseimbangan. Jadi sebenarnya mabuk udara termasuk kelainan akibat pengaruh penerbangan pada alat keseimbangan. Sekitar 16% penerbang selama belajar terbang pernah mengalami mabuk udara ini dan sekitar 5% siswa penerbang mengalami secara berulang-ulang. Mabuk udara ini akan menurun dengan pengalaman dan peningkatan kepercayaanpada diri sendiri. Mabuk udara juga dialami oleh awak pesawat yang lain dan para penumpang pesawat angkut. Gejala mabuk udara adalah pusing, sakit kepala, perasaan tidak enak pada lambung, mual, muntah-muntah, pucat dan sebagainya. Berat ringannya gejala ini tergantung pada kepekaan seseorang terhadap rangsangan pada alat keseimbangan. Gejala ini akan memberat bila orang tersebut telah lelah, kurang sehat, gangguan pencernaan, mencium bau-bauan yang tidak enak, alkoholism atau takut terbang. Sebaliknya gejala ini dapat melihat benda-benda di luar pesawat sebagai titik pengenal.

PENGARUH PENERBANGAN PADA ALAT PENGLIHATAN Pengaruh Hipoksia Pengaruh hipoksia pada alat penglihatan di siang hari baru terlihat pada penerbangan setinggi 10.000 kaki, dan akan bertambah sampai batas 16.000 kaki; setelah itu tidak dapat diimbangi lagi oleh tubuh dan akan menyebabkan terjadinya

gangguan-gangguan. Pengaruh tersebut meliputi : 1) Gangguan terhadap koordinasi otot-otot mata Koordinasi otot mata tidak sempurna lagi terutama waktu melihat jauh, kedua sumbu bola mata tidak sejajar lagi sehingga terjadi keadaan yang disebut heterophoria. Kalau sumbu membentuk sudut di depan mata disebut esophoria, dan sebaliknya disebut exophoria. Menurut percobaan Powell dalam Decompression Chamber, pada ketinggian 5.000 – 6.000 meter dalam waktu 2 – 3 menit untuk penglihatan jauh akan terjadi esophoria, dan pada penglihatan dekat exophoria. Kelainan ini progesif sehingga dapat menyebabkan mata juling (heterotropia). Dalam keadaan ini benda-benda dilihat ganda (double). Pada esophoria yang ringan maka penafsiran jarak tidak tepat lagi, yaitu terlalu dekat (jarak 10 m ditafsirkan 8 m). Bahayanya ialah pada waktu akan landing penerbang mengalami kesukaran dalam menafsirkan jarak antara pesawat dan landasan. Pesawat yang diperkirakan akan touch (menyentuh bumi) sebenarnya masih harus menempuh jarak yang tertentu untuk betul-betul sampai di landasan hingga terjadi keadaan overshoot. 2) Gangguan terhadap daya konvergensi dan akomodasi Daya konvergensi akan berkurang dengan terjadinya gangguan pada koordinasi otot-otot mata seperti disebut di atas. Daya akomodasi orang berumur 20 – 23 tahun pada ketinggian 5.500 meter adalah : hipoksia derajat sedang tidak memberikan pengaruh pada daya akomodasi bila daya akomodasinya tidak melebihi 3 dioptri dan makin besar kemampuan akomodasi makin sensitif orang itu terhadap kekurangan oksigen. Karena itu penerbang yang menderita hypermetropia atau presbyopia sedapat mungkin menghindarkan penerbangan yang memerlukan oksigen. 3) Gangguan terhadap pengenalan warna (color vision) Daya mengenal warna sudah berkurang pada ketinggian 3.000 meter. Keadaan ini disebut : hypoxia astenopia chromatica, yang akan menghilang setelah menghirup oksigen atau kembali ke tanah. Pengaruh Percepatan Seperti diketahui pada penerbangan aerobatik ataupun combat, penerbang dapat mengalami pengaruh gaya baik Gpositif ataupun G-negatif. Pengaruh kedua macam percepatan tersebut adalah : 1) Pengaruh G-positif terhadap alat penglihatan Kalau penerbang mengadakan pull up maka penerbang akan mengalami suatu G-positif. Otak dan mata kekurangan darah. Dengan talc adanya supply darah dapat terjadi gangguan yaitu penglihatan abu-abu yang disebut grey-out atau kalau G lebih besar dan terjadi kebutaan total disebut black out. G positif sebesar 3,5 – 4 G menyebabkan kehilangan pandangan perifer yang kemudian disusul dengan grey-out. Pada G-positif sebesar +4 – +6, 5 G terjadi black out. 2) Pengaruh G-negatif terhadap alat penglihatan Kalau seorang penerbang membuat dive maka penerbang ini akan mengalami G-negatif; tekanan (gaya) tambahan akan bekerja dengan arah dari perut menuju ke kepala. Akibatnya pembuluh darah di mata penuh dengan darah yang mengakibatkan

penglihatan menjadi merah atau disebut red-out. Biasanya Gnegatif sebesar 2,0 – 2,5 telah menyebabkan red-out. Pengaruh sinae niatahari 1) Sinar ultra violet Sinar ini terdapat banyak di pinggir pantai dan di lereng pegunungan. Sinar ini tidak menembus ke bagian dalam mata (oculus interior). Di dalam alat ini, sinar itu sebagian besar diserap dan sebagian kecil direfleksikan (dipantulkan). Sinar yang diserap ini kemudian menimbulkan reaksi pada alat tersebut di atas dengan gejala : Beberapa jam setelah penyinaran akan timbul gejala peradangan : pengeluaran air mata yang abnormal, mata menjadi merah dan sakit dengan akibat sukar dibuka kelopaknya, banyak keluar kotoran dan dari luar mata nampak membengkak. Pengobatan keadaan ini adalah : a) Jauhkan diri dari sinar matahari yaitu dengan tinggal di dalam kamar cukup gelap untuk beberapa hari. b) Memakai kaca mata hitam untuk beberapa hari atau sampai gejala-gejala hilang sama sekali. c) Kalau perlu diberi salep antibiotika. Biasanya penyembuhan sangat cepat dan tidak akan menimbulkan kelainan-kelainan pada mata (reversibel). 2) Sinar infra merah Sinar ini tersebar di angkasa, dan intensitasnya makin dekat dengan matahari makin tinggi. Sinar ini dapat menembus masuk ke dalam mata bagian dalam (oculus interior), sehingga kerusakan yang diakibatkan terutama pada alat mata bagian dalam yaitu : lensa dan retina. Adanya reaksi panas dari sinar infra merah menyebabkan protein dalam lensa dan retina menggumpal dan terjadi katarak (kekeruhan lensa) kalau kerusakan pada lensa, dan retinitis kalau kerusakan pada retina. Penyinaran yang lama (berhari-hari atau berminggu-minggu bergantung kepada intensitas sinar) baru akan menimbulkan reaksi seperti tersebut di atas. Dan kalau reaksi tadi sudah timbul biasanya akan dapat disembuhkan lagi (irreversibel). Karena hal-hal tersebut di atas maka awak pesawat perlu diperlengkapi dengan alat yang dapat meniadakan atau mengurangkan sinar yang dapat masuk ke dalam mata tadi (alat proteksi). Mata sendiri sebetulnya sudah mempunyai alat itu yaitu: diafragma; proteksi dari luar yang dapat diadakan adalah kacamata atau dalam penerbangan sunvisor pada helmet penerbang. Karena keduanya menyaring sinar maka kita sebut filter. Ada beberapa macam filter, tetapi yang banyak digunakan adalah colored dan neutral filter. Colored filter hanya meneruskan sinar yang warnanya sesuai dengan filter itu dan meneruskan sebagian kecil sinar yang lain. Sebagai contoh : RAYBAN 3 meneruskan : 25% visible rays, 5% sinar ultra violet, 10% sinar infra merah. Untuk ini di belakang kaca tadi diberi lapisan chromium atau nikel untuk merefleksikan pengaruh panas tadi, sehingga terdapat perasaan sejuk pada mata. Sifat neutral filter terhadap sinar ultra violet dan inframerah seperti pada colored filter, keuntungannya adalah tak menyebabkan perubahan warna, contoh : RAYBAN G-15; filter ini

banyak dipakai di USAF. Night Vision Dalam retina terdapat dua macam sel penerima (reseptor) yaitu : Rod dan cone atau batang dan kerucut. Tugas rod adalah : penglihatan malam dan penglihatan global (bukan detail) atau penglihatan dengan kontras. Tugas cone : penglihatan siang hari, penglihatan detail dan membedakan warna. Sel batang terutama terdapat pada bagian pinggir retina sedang kerucut pada bagian tengah retina, sehingga pada malam hari bagian tengah retina merupakan bintik buta dan bagian pinggir merupakan bagian yang penting untuk penglihatan. Dalam rod terdapat rhodopsin dan dalam cone terdapat jodopsin. Jumlah zat yang terdapat pada masing-masing sel ini mempengaruhi sensitivitas sel-sel tersebut, dan dipengaruhi oleh intensitas sinar yang masuk ke dalam mata. Kalau dari kamar yang terang masuk ke dalam kamar yang gelap maka untuk beberapa waktu (detik) kita akan buta atau sama sekali tidak melihat. Baru setelah beberapa menit kita dapat mengadakan orientasi apa yang ada dalam kamar itu. Waktu antara masuk ke dalam kamar dan melihat dengan jelas bentuk apa yang ada dalam kamar itu disebut waktu adaptasi. Waktu adaptasi ini akan lengkap setelah kira-kira 2 jam. Selama adaptasi berlangsung terbentuk rhodopsin dengan perlahan-lahan di dalam rod, yang jumlahnya mencapai maksimal setelah kita berada dalam ruangan gelap tadi selama 2 jam. Rhodopsin yang terbentuk di atas akan luntur atau terurai apabila ada sinar yang masuk ke dalam mata, kecuali sinar merah yang tidak menyebabkan penguraian ini. sinar ––––––––––> Rhodopsin Retinin + Protein <––––––––– gelap │ Vitamin A Vitamin A sangat penting dalam pembentukan rhodopsin, sehingga tidak adanya vitamin A dalam makanan atau dalam darah akan mengganggu pembentukan rhodopsin. Pada keadaan hipoksia, reaksi di atas juga akan dipengaruhi yaitu menjadi lebih lambat. Akibatnya daya penglihatan malam akan menurun. Pada ketinggian 1000 meter daya penglihatan malam menurun 5% dan pada 5.000 m menurun 40%. Juga merokok 3 batang berturut-turut dapat menurunkan daya penglihatan malam sampai 25%. Karena itu para penerbang harus mematuhi peraturan untuk terbang malam, yaitu : a) Makanan penerbang harus cukup mengandung vitamin A, bila perlu diberi tambahan pil vitamin. b) Sebelum terbang dalam harus dites daya adaptasinya dalam gelap dengan adaptometer. c) Pada hari akan terbang malam, tidak boleh merokok atau minum minuman keras. d) Sebelum terbang malam harus mengadakan adaptasi selama 30 menit dalam tempat gelap atau ruangan dengan penyinaran

lampu merah. e) Lampu-lampu dalam cockpit dan instrumen harus merah agar tidak mengganggu adaptasi yang telah ada. PENUTUP Telah dibahas berbagai aspek Ilmu Faal dalam penerbangan atau Aerofisiologi yang mendasari Ilmu Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Aerospace Medicine). Dalam makalah ini hanyadibahas pokok-pokoknya sajadan belum mencakup seluruh permasalahan Aerofisiologi. Dengan mengetahui berbagai aspek Aerofisiologi dalam kegiatan penerbangan maka diharapkan dapat dengan mudah memahami problema yang dihadapi para penerbang, awak pesawat lain maupun para penumpang khususnya di bidang kesehatan. Untuk selanjutnya kita mampu melakukan upaya-upaya pencegahan dan-pertolongan atas pengaruh buruk penerbangan pada tubuh manusia. Dengan demikian kitadapat memanfaatkan udara (atmosfer)

untuk berbagai kegiatan penerbangan dengan aman, nyaman dan cepat, yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan kesejahteraan. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

AFM 160-5. Physiological technician's Training Manual. Department of the Air Force, Washington D.C., 1968. AFP 161-16. Physiology of Flight. Department of the Air Force, Washington D.C., 1968. AFP 161-18. Flight Surgeon Guide. Department of The Air Force, Washington D.C. , 1968. Armstrong HG. Aerospace Medicine. The Williams and Wilkins Baltimore; 1961. Davidovic, Vaazduhoplovna Fiziologija. Osnovi Vazduhoplovne Medicine, Beograd. 1965. Dhenin. Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. The Tri-Med Bokks Limited, London, 1978. Direktorat Kesehatan TNI-AU. Buku Pedoman Dokter Penerbangan TNIAU. Jakarta, 1990. Harding M. Aviation Medicine. The British Medical Association, London, 1968.

Aspek Kesehatan Bandar Udara Dr. Suroso Wirosoekarto Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Jakarta

ABSTRAK Bandar Udara (bandara) merupakan tempat bertemunya banyak orang dari segala penjuru dunia yang datang dan pergi dengan pesawat udara, dan juga tempat berkumpulnya banyak orang yang melakukan kegiatannya masing-masing untuk menunjang operasi penerbangan yang lancar, aman dan nyaman. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya suatu gawat darurat penerbangan, gawat darurat medik, gawat darurat karena bencana alam, atau suatu kecelakaan kerja. Masalah hygiene dan sanitasi di bandara harus diperhatikan dan ditangani sungguh-sungguh karena bandara adalah pintu gerbang suatu negara. Masalah yang juga penting di bandara adalah yang berhubungan dengan gangguan kesehatan karena lingkungan kerja, yaitu karena bising,gelombang mikro, debu radioaktif, dan bahan-bahan kimia yang terdapat di bandara. Akhirnya masalah penanggulangan dan penyelidikan kecelakaan pesawat udara yang terjadi di bandara dan sekitarnya, dan selanjutnya sering melalui bandana diangkut penumpang yang sakit untuk berobat ke kota atau negara.lain; semua ini perlu ditangani.

PENDAHULUAN Dengan perkembangan dunia penerbangan dan mobilitas manusia serta barang yang makin tinggi, maka fungsi bandara (bandara udara) makin bertambah penting. Di daerah-daerah penerbangan perintis, bandara masih sederhana, tetapi di kotakota besar sudah berkembang menjadi besar dan canggih karena merupakan tempat bertemunya banyak orang dari segala penjuru dunia, dan tempat berkumpulnya banyak orang melakukan kegiatannya masing-masing untuk menunjang operasi penerbangan yang aman dan nyaman. Untuk itu dalam pengoperasiannya suatu bandana harus menyediakan fasilitas medik untuk dapat menanggulangi gawat darurat penerbangan, gawat darurat medik, atau gangguan kesehatan lainnya. Lagipula untuk memMakalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta 30 Oktober 1993.

bed kemudahan pada calon penumpang dan pengunjung, di bandara disediakan kafetaria, restoran, coffee-shop, duty-free shop, kantor pos, bank, money changer dsb. Dan di bandara internasional selalu ada kantor/petugas C.I.Q. (Custom, Immigration-Quarantine). Akibat hal-hal di atas timbul masalah hygiene dan sanitasi di bandara yang harus ditangani sungguhsungguh, sebab suatu bandara internasional adalah pintu gerbang suatu negara. Masalah hygiene dan sanitasi di bandana berhubungan erat dengan penyebaran penyakit menular dan juga dengan keselamatan penerbangan. Di samping masalah-masalah tersebut di atas, sering melalui bandana seorang pasien ingin berobat ke rumah sakit yang, besar di kota lain, bahkan ke luar negeri. Ini menimbulkan

masalah, karena tidak semua orang sakit boleh diangkut dengan pesawat udara (pesawat dari airline).

tersebut, misalnya toilet untuk orang cacat, lift khusus, conveyor belt dsb(10) .

DEFINISI BANDAR UDARA Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization) : Airpot is a defined area on land or water (including any buildings, installations, and equipment) intended to be used either wholly or in part for arrival, departure, and movements of aircrafts. Menurut PT (persero) Angkasa Pura : Bandar Udara, ialah lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi angkutan udara untuk masyarakat. Air base : Pangkalan Udara Air field : Lapangan Udara Aerodrome : Airport

KLASIFIKASI BANDAR UDARA Di Indonesia ada lima klas bandar udara, yaitu : 1) Bandar Udara klas I 2) Bandar Udara klas II 3) Bandar Udara klas III 4) Bandar Udara klas IV 5) Bandar Udara klas V Dasar dari pembagian ini diantaranya ialah : jumlah penumpang dan pergerakan pesawat per tahun, jenis pesawat yang terbesar yang mendarat dsb.

PEMILIHAN LOKASI UNTUK SUATU BANDAR UDARA Untuk membangun suatu bandar udara harus dipilih lokasi yang cocok. Lokasi ini harus memenuhi beberapa kriteria(9), yaitu : 1) Dekat dengan sumber lalu lintas 2) Bebas dari rintangan 3) Masih tersedia lahan untuk perluasan/perpanjangan landasan 4) Kecocokan medan di sekitarnya untuk pendaratan 5) Kondisi metereologis 6) Biaya konstruksi dan pemeliharaan 7) Hubungannya dengan airways yang ada. Kriteria-kriteria tersebut tidak selalu sama pentingnya, misalnya jarak dengan sumber traffic tidak begitu penting bila bandar udara yang akan dibangun nanti hanya untuk refueling atau untuk overnight stop (tidak menurunkan penumpang). Di samping kriteria tersebut juga perlu diperhatikan major sanitary conditions, yaitu : 1) Jaraknya ke pemukiman penduduk 2) Jaraknya ke daerah nyamuk berkembang biak, terutama rawa atau genangan air yang tidak mengalir 3) Keberadaan serangga, binatang-binatang kecil dan tikus 4) Arab angin sepanjang tahun yang dapat membawa nyamuk dari tempat jauh 5) Sifat persediaan air, terutama sumbernya, status kontaminasi dan debitnya yang cukup 6) Dalamnya dan sifat permukaan air tanah 7) Drainage daerah itu berlangsung secara alami atau melalui saluran buatan. Semua masalah sanitasi ini harus dianalisis lebih dahulu sebelum pembangunan bandar udara dimulai, hal ini untuk mengindari kesulitan-kesulitan baru atau tambahan selama proses konstruksi bandar udara sedang berjalan. Juga perlu diperhatikan bahwa tidak semua penumpang itu sehat, tetapi ada orang cacat, orang tua, wanita hamil dan anak-anak. Maka dalam membangun suatu bandar udara harus dibuat fasilitas untuk orang-orang

PEMBAGIAN WILAYAH BANDAR UDARA Dalam rangkapengamanan dan menin gkatkan keselamatan wilayah bandar udara dibagi menjadi beberapa area, yaitu : a) Public Area b) Non-Public Area c) Restricted Public Area d) Air Side e) Land-Side Definisi dari istilah-istilah tersebut di atas terdapat dalam Peraturan dan Tata Tertib Bandar Udara, Surat Keputusan nomor : SKEP/100/IX/1985, yaitu : PublicArea/DaerahPublik ialah : bagian bandar udara yang terbuka untuk umum. Non Public Area/Daerah Bukan Publik ialah : bagian dari bandar udara yang tertutup untuk umum. Air-Side/Sisi udara ialah : bagian dari bandar udara untuk operasi pesawat udara dan segala fasilitas penunjangnya yang merupakan Daerah Bukan Publik. Land-Side/Sisi darat ialah : bagian dari bandar udara yang terbuka atau terbatas untuk umum.

FASILITAS-FASILITAS DI BANDAR UDARA Sesuai dengan fungsinya bandar udara harus menyediakan: a) Fasilitas yang berhubungan langsung dengan penerbangan, yaitu landasan pacu, taxiway, apron, tower (ATC), peralatan navigasi, seperti radar, VASI, VOR, ILS, dsb. b) Fasiltas penunjang operasi penerbangan, yaitu : – Terminal dengan isinya : kantor, cafetaria, restoran, checkin counter, duty free shop, dsb. – PKP-PK (Pemadam Kebakaran dan Pertolongan Kecelakaan Penerbangan). – Fasilitas Medik : Airport Medical Center, First Aid Room. c) Kantor C.I.Q. pada bandar udara internasional, yang artinya : C = Custom (Bea Cukai) I = Immigration (Imigrasi) Q = Quarantine (Karantina, termasuk hewan dan tanaman) Jadi di bandar udara internasional terdapat dua unit kesehatan, yaitu : I. Unit Kesehatan yang berasal dari Departemen Kesehatan,

yaitu KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan, dulu Dinas Karantina) yang tugas utamanya adalah mencegah keluar/masuknya penyakit menular lewat bandar udara. II. Unit Kesehatan berasal dari Ditjen Perhubungan Udara, Departemen Kesehatan, seperti di Bandar Udara Soekarno-Hatta; unit ini disebut Seksi Kesehatan PT (Persero) Angkasa Pura II; tugas utamanya adalah : menanggulangi dan mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan dan meningkatkan keselamatan penerbangan aviation safety). MASALAH-MASALAH KESEHATAN DI BANDAR UDARA Bandar Udara yang beroperasi selama 24 jam terus menerus akan dihadapkan pada masalah-masalah sebagai berikut : a) Gawat Darurat Bandar Udara b) Hygiene dan Sanitasi di Bandar Udara c) Keselamatan dan Kesehatan Kerja d) Kedokteran Penerbangan (Aviation Medicine) A) Gawat Darurat Bandar Udara Gawat Darurat Bandar Udara dapat digolongkan menjadi(7): 1) Gawat Darurat yang melibatkan pesawat, yaitu : a) Kecelakaan pesawat udara di bandar udara b) Kecelakaan pesawat udara di sekitar bandar udara c) Insiden pesawat udara dalam penerbangan d) Insiden pesawat udara di darat e) Sabotase, termasuk ancaman bom f) Pembajakan 2) Gawat Darurat yang tidak melibatkan pesawat yaitu : a) Kebakaran bangunan b) Sabotase, termasuk ancaman born c) Bencana alam 3) Gawat Darurat Medik B) Hygiene dan sanitasi di bandar udara Pemeliharaan dan peningkatan hygiene dan sanitasi di bandar udara akan menyangkut empat masalah (3,4,8,9), yaitu : a) Penyediaan air (water supply) b) Kebersihan makanan (food hygiene) c) Pembuangan sampah dan kotoran (waste disposal) d) Pemberantasan serangga/binatang yang dapat menularkan penyakit (vector control) Hygiene dan sanitasi di bandar udara harus ditangani dengan sungguh-sungguh, karena bila tidak, dapat membahayakan keselamatan penerbangan. C) Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari di bandar udara para petugas dihadapakn kepada hal-hal yang dapat merugikan kesehatannya. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut : a) Bising (noise) b) Bahan kimia c) Debu/bahan radioaktif dan Sinar-X, dsb. d) Gelombang mikro, terdapat pada radar e) Keadaan yang berbahaya

f)

Polusi udara Sehubungan dengan hal-hal tersebut perlu diselenggarakan program KKK (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) untuk mencegah timbulnya penyakit akibat kerja(2,3,4,5,9). a) Bising (noise) Bising yang terdapat di bandar udara terutama berasal dari mesin pesawat jet yang mempunyai frekuensi tinggi dan intensitas besar, yaitu 90-110 db atau lebih. Akibat bising yang paling penting adalah menurunnya pendengaran, dan dapat terjadi tuli permanen (sensoric deafness). Hampir 15% dari awak darat airline mengalami gangguan ini secara tak langsung. Dalam hubungannya dengan pesawat tersebut karyawan dibagi dalam golongan, yaitu(3,6) : Golongan I : Mereka yang bekerja dekat sekali dengan pesawat (kurang dari 8 meter) selama runs up. Golongan II : Mereka yang relatif dekat (8 - 50 m) pesawat, misalnya maintenance personnel, starting crew, dan trouble line personnel. Golongan lII : Mereka yang kadang-kadang harus bekerja tidak jauh dari pesawat (50 - 120 m), misalnya pramugari darat, personel kargo, dsb. Menurut tingkatan bising (noise level) daerah sekitar pesawat dibagi menjadi 4 zone yaitu : Zone A : Daerah dengan tingkatan bising antara 150 dB. Zone ini jangan dimasuki sama sekali. Zone B : Daerah dengan tingkatan bising antara 135 - 150 dB. Di daerah ini orang harus berusaha sesingkat mungkin, dan harus memakai earmuff. Zone C : Daerah dengan tingkatan bising antara 115 - 135 dB. Semua orang yang bekerja di sini harus memakai earmuff. Bila hanya sebentar boleh memakai ear-plug. Zone D : Daerah dengan tingkatan bising antara 100 - 115 dB. Mereka yang bekerja di sini harus mekakai ear-plug terus menerus. Untuk mencegah/mengurangi akibat gangguan bising perlu dilakukan Hearing Conservation Program, dengan cara : • Pemeriksaan Audiometris secara berkala pada karyawan tersebut di atas. • Dilakukan usaha-usaha pencegahannya , di antaranya ialah memakai : a) Helmet : Dipakai bila bekerja dekat sekali dengan pesawat yang run-up; diperkirakan sebagian bising diserap oleh tulangtulang kepala, jadi perlu helmet. b) Ear-muff : Dibuat dari plastik atau karet dengan ukuran small, medium dan large. Golongan I memakai helmet dan earplug, golongan II memakai ear-muff, golongan III cukup memakai ear-plug. Dalam pemeriksaan audiometri, dibuat Base-Line Audiogram untuk frekuensi 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 c/s, yang terpenting adalah frekuensi 500, 1000, dan 2000 cis. Bila ada seorang dengan hearing loss 15 dB atau lebih, perlu dibuat audiogram ulangan setelah 48 jam bebas dari bising. Pemeriksaan audiometris secara berkala pada karyawan yang terpapar bising, dilalukan tiap 2 - 4 tahun sekali.

b) Bahan Kimia Para personil darat dihadapkan pada bahan kimia, seperti bahan bakar (bensin, bensol, avtur) minyak hidrolik, larutan desinfektans, insektisid dsb. Bahan-bahan tersebut dapat me nyebabkan dermatitis kontak, dan bila tertelan atau terhirup dapat terjadi intoksikasi yang membahayakan(3,6). Oleh karena itu perlu dicegah dengan cara : – Memakai sarung tangan dan pakaian kerja, bila perlu masker. – Disediakan tempat cuci tangan, kamar mandi dan kamar ganti pakaian. Ventilasi kerja harus baik. – Penyuluhan tentang Kesehatan Kerja. – Pemeriksaan kesehatan berkala (1 - 2 tahun sekalai). c)

Gelombang Mikro (Microwave) Dalam pengoperasian Radar digunakan gelombang mikro. Gangguan yang ditimbulkan gelombang ini akan dirasakan terutama oleh teknisi Radar, jarang pada operator Radar. Gelombang mikro dapat merusak lensa mata dan terjadilah katarak, atau dapat juga merusak kelenjar testis, akibatnya adalah kemandulan. Oleh karena hal-hal tersebut perlu dilakukan usaha pencegahannya. d) Debu/Bahan Radioaktif dan Sinar-X Petugas ground-handling kadang-kadang harus menangani muatan yang berisi bahan radioaktif. Bila terjadi kebocoran dalam pengepakan dapat membahayakan sekitarnya. Dan pesawat udara secara berkala di Rō untuk mengetahui keretakan pada bagian-bagiannya. Kedua radiasi ini dapat membahayakan kesehatan dan perlu dilakukan usaha pencegahannya. Keadaan yang berbahaya Petugas teknik pesawat sering harus bekerja di atas sayap pesawat. Mereka dapat jatuh dan terjadi kecelakaan kerja (ini hanyalah salah satu contoh). f) Polusi udara di Bandar Udara Terjadi karena asap yang keluar dari mesin pesawat, kendaraan ground handling, dan mobil yang lalu lalang. Juga hembusan yang kuat (jet blast) yang keluar dari exhaust pesawat menyebabkan debu beterbangan; ini akan menambah tingkat polusi yang sudah ada.

Udara; tetapi bila seorang pilot asing kebutuhan yang lisensi yang dipunyai habis masa berlakunya, maka Dokter Penerbangan di bandar udara dapat melakukannya. 2) Penanggulangan/Pencegahan Kecelakaan Pesawat Udara. Kecelakaan pesawat paling sering terjadi di bandar udara atau sekitarnya, yaitu pada waktu landing atau take off. Menjadi tugas dokter atau team medis di bandar udara untuk memberi pertolongan pada korban, dan bersama team investigasi dari Ditjen Perhubungan Udara mengadakan penyelidikan tentang setelah kecelakaan, dan mengadakan identifikasi korban. Biasanya bandar udara terletak jauh (20 - 30 km) dad kota, maka bandar udana harus menyediakan fasilitas medis dan protap (prosedur tetap) untuk penanggulangan kecelakaan tersebut(7). 3) Pengangkutan Orang Sakit Lewat Udara dengan Pesawat Udara Tidak semua penumpang pesawat sehat; ada yang cacat atau sakit untuk berobat ke kota/negara lain yang mempunyai fasilitas medis lebih lengkap. Untuk itu dokter Penerbangan harus tabu orang sakit yang boleh dan yang tidak boleh diangkut dengan pesawat udara komersial(11). Bandar udara harus menyediakan beberapa ambulance untuk menjemput pasien dari pesawat terus mengantarkannya ke rumah sakit, atau sebaliknya. Ambulance dari RS/Unit Kesehatan lain tidak diperbolehkan masuk ke daerah parkir (apron), dengan alasan : – Keamanan dan keselamatan – Pengemudi ambulance dari luar belum mengenal daerah dan kode-kode di apron. – Knalpot ambulance dari luar tidak memakai saringan.

e)

KEDOKTERAN PENERBANGAN (Aviation Medicine) Di bandar udara terdapat banyak masalah yang termasuk dalam Kedokteran Penerbangan. Oleh karena hal tersebut, bandar udara merupakan salah satu tempat yang baik bagi Dokter Penerbangan (Flight Surgeon) untuk mempraktekkan ilmunya, dan pejabat Kepala Seksi Kesehatan di bandar udara sebaiknya seorang Dokter Penerbangan(5). Masalah-masalah tersebut diantaranya ialah : 1) Petugas ATC Sesuai dengan ICAO Annex 1 dan CASR (1) semua awak pesawat dan petugas ATC (Air Traffic Control) harus diperiksa kesehatannya secara berkala untuk mendapatkan/memperbahat
KEPUSTAKAAN 1.

CASK (Civil Aviation Safety Regulation) - Part 10 : Pilot Licence - Part 29 : Medical standards. 2. Committee on Aerospace Medicine. Physicians Guide to Airport Medicine. JAMA (Feb. 13) 1967; 3. Ditjen Perhubungan Udara. Petujunjuk-petunjuk tentang Kesehatan Pelabuhan Udara. 4. Siegel S. Airport Health Problems. Dept. of Health, Education, and Welfare, Washington DC. May 7, 1963. 5. Reighart L. Medical Service at Airport. Boston, USA. 6. IATA (International Air Transport Association). Medical Manual. April 13 1970. 7. ICAO (International Civil Aviation Organization). Airport Service, Airport Emergency Planning, Doc 9137-AN.898 Part 7, First Ed, 1980. 8. Bailey J. Guide to Hygiene and Sanitation in Aviation, Geneva : WHO, 1977. 9. Mc. Farland. Human Factors In Air Transportation. First Mc Graw-Hill Book Co 1953, pp. 593 - 632. 405 - 483. 10. Mohler RS et al. Airport Medical Design Guide. Aerospace Medicine (August) 1972; pp 903 - 911. 11. Wirosoekarto, S. Pengakutan Orang Sakit Lewat Udara. Medika 1980; 6 (7):401 - 7.

Kesiapan Kesehatan Penumpang Airline Yusbar Mira, Bintarti Sampurna, Lukman Hakim Garuda Indonesia, Jakarta

ABSTRAK Bepergian dengan menggunakan pesawat udara komersial merupakan cara yang cepat, efisien, aman dan menyenangkan. Akan tetapi bagi pasien-pasien tertentu, naik pesawat udara berarti membuka kemungkinan menerima risiko medis tambahan, yang kadang-kadang tidak disadari baik oleh pasien maupun dokter mereka. Masalah ketinggian yang menyebabkan hipoksi dan dekompresi, masalah ergonomi, kelelahan, irama sirkadian, stress sejak keberangkatan hingga mendarat kembali adalah sebagian dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan risiko medis. Untuk itu dikenal beberapa pertimbangan yang akan menentukan apakah seseorang/pasien cukup fit untuk terbang sebagai penumpang pesawat airline/sipil, atau haruskah ia diperlakukan secara khusus. Dalam makalah ini dikemukakan data pasien yang menggunakan penerbangan Garuda Indonesia dengan penatalaksanaan medis khusus sesuai dengan ketentuan IATA–Fitness for Air Travel. Kata Kunci : fitness - penerbangan - IATA.

PENDAHULUAN Teknologi pembuatan pesawat terbang modern berkembang pesat sekali dalam dekade 90-an, sejalan dengan itu industri jasa penerbangan juga menunjukkan pertumbuhan dengan semakin banyak rute penerbangan dibuka dan penambahan frekuensi penerbangan. Kemajuan teknologi memungkinkan waktu tempuh dipersingkat, sehingga bepergian dengan menggunakan pesawat udara komersial sekarang ini semakin cepat, aman, efisien dan menyenangkan. Pada umumnya orang yang bepergian dengan pesawat udara mempunyai kesehatan yang cukup baik. Terhadap mereka, penerbangan dapat dikatakan tidak mengakibatkan gangguan yang bermakna. Akan tetapi dengan pesatnya perkembangan industri. jasa penerbangan, meningkat pula jumlah orang sakit, lemah dan Makalah ini telah dibacakan pada : Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta 30 Oktober 1993.

cacat yang bepergian dengan pesawat udara komersial; banyak di antara mereka yang mengadakan perjalanan untuk memperoleh pengobatan, maupun pasien yang sengaja ditransportasikan lewat udara. Sedangkan mereka yang berusia lanjut atau mempunyai kelemahan fisik, memilih perjalanan udara karena singkatnya waktu terbang akan sangat mengurangi kelelahan, di samping itu pada umumnya perusahaan penerbangan memberikan pelayanan khusus bagi mereka. Selama penerbangan pesawat terbang merupakan suatu tempat dengan lingkungan khusus yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan pasien tertentu. Efek dari ketinggian, masalah ergonomik, variasi iklim, perubahan zona waktu (irama sirkadian) dan faktor-faktor fisik serta fisiologis lainnya harus diperhatikan. Selain itu juga perlu dipertimbangkan adanya ke-

terbatasan ruang dan fasilitas dalam kabin, stress fisik dan mental selama menunggu pada saat keberangkatan dan kedatangan, kelelahan dalam perjalanan, dan estetika penempatan pasien dalam kabin. Adanya orang sakit dalam pesawat terbang-memerlukan penanganan yang tepat untuk memberikan kenyamanan yang maksimal bagi pasien dan meminimalkan timbulnya gangguan bagi penumpang lain. Beberapa persyaratan harus dipenuhi sebelum diputuskan apakah seorang yang sakit boleh melakukan perjalanan melalui udara. IATA (International Air Transport Association) memberlakukan ketentuan tentang keadaan pasien yang diperkenankan untuk terbang dengan pesawat terbang komersial, dan sebagai salah satu anggota IATA, Garuda Indonesia menggunakan formulir MEDIF (Medical Information Form for Air Travel) yang mengacu pada ketentuan tersebut. Pengambilan keputusan bahwa seorang pasien dapat mengikuti penerbangan Garuda dengan segala persyaratannya, ditentukan oleh Pusat Kesehatan dan Pelayanan Medis Garuda Indonesia. PERSYARATAN PENGANGKUTAN PENUMPANG SAKIT Perusahaan penerbangan komersial tidak dapat menerbangkan penumpang sakit atau cacat dalam penerbangan berjadual, apabila dengan mengangkut mereka akan menimbulkan kerugian/gangguan pada penumpang sehat. Juga tidak diperkenankan mengangkut orang sakit yang sikap dan tingkah lakunya dapat membahayakan atau menimbulkan ketegangan pada penumpang lainnya. Selain itu karena kondisi fisik dan fisiologik selama penerbangan dapat mempengaruhi bahkan memperburuk kondisi pasien dengan penyakit tertentu, maka perusahaan penerbangan mempunyai hak untuk memutuskan dapat tidaknya seorang calon penumpang yang sakit/cacat, ikut dalam penerbangan mereka. Pada prinsipnya penilaian didasarkan atas pertimbangan fisiologis dan fisik, pengambilan keputusan dilaksanakan oleh unit kesehatan perusahaan penerbangan atau dokter yang ditunjuk perusahaan. Informasi lengkap tentang keadaan klinis calon penumpang yang sakit diperlukan untuk pengambilan keputusan dapat tidaknya ditransportasikan dengan pesawat udara, apakah memerlukan pendamping tenaga medis; di samping itu untuk merencanakan persiapan alat yang harus disediakan misalnya stretcher case, kursi roda, oksigen, makanan khusus dan lainlain. Dokter yang menangani pasien yang akan ditransportasikan pesawat Gamda harus mengisi formulir MEDIF dalam rangkap 3 (tiga), kemudian dokter perusahaan akan memeriksa dan memutuskan dapat tidaknya pasien diangkut dengan pesawat terbang. Sekaligus ditentukan pula peralatan yang dibutuhkan untuk mengangkut pasien, serta kebutuhan adanya pendamping, apakah cukup pendamping dari keluarga ataukah diperlukan tenaga medis. Kadang-kadang calon penumpang yang sakit boleh terbang tanpa persyaratan tertentu (seperti penumpang sehat) atau diperbolehkan mengikuti penerbangan dengan syarat-syarat tertentu,

sesuai dengan kondisinya. Akan tetapi tidak jarang dokter perusahaan memutuskan penundaan pengangkutan calon penumpang yang sakit demi keselamatannya, sampai kondisinya dianggap memungkinkan untuk mengikuti penerbangan. Perencanaan yang baik sangat diperlukan untuk memberikan pelayanan bagi pengangkutan penumpang yang sakit, oleh karena itu pembukuan untuk penumpang sakit yang akan ikut dengan penerbangan Garuda minimal harus dilakukan 2 (dua) hari sebelum tanggal keberangkatan. Sewaktu mengurus pembukuan, harus membawa formulir MEDIF yang telah disetujui dan disahkan oleh Pusat Kesehatan dan Pelayanan Medis Garuda Indonesia bila di Jakarta atau dokter langganan Perusahaan bila di daerah. Pada waktu check-in, formulir MEDIF yang telah disetujui harus diserahkan bersama tiket calon penumpang yang sakit, karena pesawat dan pimpinan awak kabin harus mengetahui keberadaan serta kondisi penumpang sakit yang ikut dalam penerbangan mereka. FASILITAS YANG DAPAT DISEDIAKAN Fasilitas khusus untuk pengangkutan penumpang sakit/ cacat/lemah dapat disediakan oleh perusahaan penerbangan, akan tetapi harus tersedia cukup waktu untuk mempersiapkannya. Fasilitas tersebut antara lain adalah kursi roda, stretcher, oksigen selama perjalanan, diet khusus untuk penderita kencing manis, diet rendah kholesterol, diet rendah garam dan lain-lain. Tabung oksigen di pesawat terdapat balk di kokpit maupun di kabin, yang jumlahnya berbeda-beda tergantung tipe pesawat, dan untuk keadaan damrat medik tersedia doctor's kit. Fasilitas yang tidak dapat disediakan adalah fasilitas untuk perawatan khusus, seperti EKG, defibrilator, alat infus. Tenaga medis yang akan mendampingi penumpang sakit sampai saat ini masih harus diusahakan sendiri oleh penumpang. PRINSIP PENILAIAN KESEHATAN CALON PENUMPANG A. Pertimbangan Fisiologik Lingkungan selama penerbangan pada umumnya tidak mengakibatkan gangguan yang bermakna pada penumpang sehat, akan tetapi untuk penumpang yang lemah/cacat atau sedang menderita penyakit dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Penyebab terjadinya perubahan fisiologik selama penerbangan antara lain adalah : 1) Akselerasi dan deselerasi Gaya akselerasi dan deselerasi yang terjadi pada waktu lepas landas dan mendarat bukan merupakan gangguan untuk penumpang sehat dan penerbangan komersial (airline). Bagi penumpang yang duduk, gaya yang bekerja adalah pada arah abdomen-punggung dan sedikit pada arah kepala-kaki sehingga mudah ditoleransi; akan tetapi bagi penumpang sakit yang harus berbaring, maka gaya yang bekerja terjadi sepanjang sumbu badan, sehingga efeknya cukup bermakna. Bila kepala terletak di arah depan pada saat lepas landas, dan pesawat dalam posisi climbing akan terjadi venous pooling, yang

dapat mengakibatkan penurunan output jantung; hal ini mungkin membahayakan pasien-pasien dengan kondisi tertentu. Untuk menghindari hal tersebut, posisi yang dianjurkan kepala di arah belakang, sehingga bila ditakutkan terjadi gangguan pada kepala akibat gaya akselerasi ke kepala, dengan mudah dapat diatasi dengan meninggikan letak kepala dan badannya. 2) Masalah ketinggian dan perubahan tekanan udara Pasien pada umumnya tidak diperkenankan terbang kalau penyakitnya akan memburuk bila terpapar lingkungan yang hipoksik atau tekanan udara yang rendah. Semakin tinggi dari permukaan laut, tekanan udara akan semakin rendah. Pesawat terbang modern pada umumnya beroperasi pada ketinggian di antara 25.000 kaki – 40.000 kaki dengan tekanan dalam kabin yang dipertahankan agar setara dengan tekanan pada ketinggian antara 5.000 kaki – 7.000 kaki, sistem kabin bertekanan pada umumnya dapat mengatasi masalah fisiologis yang timbul pada ketinggian tersebut. Pada ketinggian 6.000 kaki tekanan parsial oksigen di alveoli akan turun dari 103 mmHg menjadi 77 mmHg, dan saturasi oksigen akan turun 3%. Penurunan tekanan parsial oksigen ini tidak akan mengganggu penumpang yang relatif sehat, namun dapat mengganggu penumpang penderita penyakit yang peka dengan keadaan hipoksia seperti beberapa penyakit jantung (gagal jantung, infark miokard), anemia berat, gangguan sirkulasi darah otak, fungsi paru yang kurang baik dan lain-lain. Pasien dengan bronkitis kronik, emfisema, bronkiektasis dan korpulmonale, mungkin membutuhkan O2 tambahan selama penerbangan. Bila waktu penerbangan lama, pemberian O2 murni dilakukan di kabin, sehingga mungkin dapat dipilih cara oximetri-telinga sebagai cara melakukan kontrol selama penerbangan. Terbang dengan tekanan udara kabin yang setara dengan ketinggian 6.000 kaki juga berarti berada pada lingkungan dengan tekanan udara kurang lebih 610 mmHg. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya volume gas di dalam ronggarongga tubuh sesuai dengan Hukum Boyle; 100 ml gas akan mengembang menjadi 130 ml. Keadaan ini akan mengganggu penumpang dengan penyakit THT seperti sinusitis, radang telinga tengah, terutama bila banyak lendir di dalam saluran, yang akan menghambat terjadinya penyesuaian tekanan udara. Demikian juga mereka yang menderita penyakit gigi, penyakit saluran pencernaan, pneumotoraks, dapat terganggu karena mengembangnya gas dalam rongga tubuh. 3) Rasa takut dan cemas Banyak orang yang mempunyai rasa takut atau merasa cemas dengan perjalanan udara. Sebagian memang pada dasarnya takut naik pesawat udara, mereka yang bila dibebaskan untuk memilih, pilihan mereka adalah tidak mengadakan perjalanan atau perjalanan dengan kendaraan darat. Awak pesawat dilatih untuk mengenali, memperkirakan serta menangani penumpang yang takut atau cemas. Biasanya dengan tindakan persuasi sudah berhasil. Penumpang yang mempunyai kecemasan berlebihan sebaiknya meminum obat penenang sebelum terbang.

4) Perbedaan waktu dan irama sirkadian Problem yang terjadi karena penerbangan jarak jauh adalah kelelahan dan gangguan irama sirkadian karena perbedaan waktu. Dalam penerbangan dari timur ke barat dan sebaliknya, dalam beberapa jam akan dilampaui beberapa zona waktu, sehingga sikluskehidupan sehari-hari akan mengalami perubahan. Apabila perbedaan waktu di tempat baru dan di tempat asal mencapai 12 jam, diperlukan waktu kurang lebih satu minggu untuk penyesuaian dan bila perjalanan dari barat ke timur, waktu penyesuaian akan lebih lama dibandingkan bila terbang dari timur ke barat. Gangguan yang timbul adalah kurang tidur karena perbedaan waktu tidur, dan gangguan pencernaan karena perbedaan waktu makan. 5) Stress Stress dapat timbul selama dalam perjalanan, baik stress fisik maupun mental, yang terjadi sewaktu menunggu keberangkatan atau di ruang kedatangan karena ruangan tunggu yang kurang nyaman, penundaan jadual penerbangan, fasilitas yang terbatas selama perjalanan serta perubahan lingkungan/ cuaca/zona waktu. B. Pertimbangan Fisik 1) Masalah Ergonomik Ruangan yang tersedia di pesawat sangat terbatas sehingga menyulitkan posisi pasien yang karena sakitnya masih bisa duduk, tetapi memerlukan tempat yang longgar, seperti kaki yang digips, lutut yang tidak dapat ditekuk dan lain-lain. Di dalam pesawat sebenarnya terdapat beberapa tempat duduk yang lebih longgar dari tempat lainnya, seperti di deretan paling depan dari kelas ekonomi, dan di dekat pintu darurat. Akan tetapi tempat duduk deretan paling depan tersebut biasanya diberikan kepada ibu yang membawa bayi, sedangkan peraturan keselamatan penerbangan melarang ditempatkannya seorang penumpang sakit di depan pintu darurat. Oleh karena itu penumpang yang memerlukan tempat yang lebih longgar harus mempergunakan stretcher atau duduk di first class. 2) Pemakaian stretcher Penumpang sakit yang tidak dapat duduk, atau yang sakitnya cukup berat dan mengharuskannya untuk berbaring, dapat diangkut dengan menggunakan stretcher. Untuk pemasangan stretcher diperlukan sembilan tempat duduk dan ruangan stretcher tersebut dipisahkan dari tempat duduk penumpang dengan menggunakan tirai. Penumpang yang sakit cukup berat harus diantar oleh tenaga kesehatan (dokter atau perawat), karena awak kabin tidak dilatih untuk memberikan perawatan/pengobatan penumpang sakit. Selain itu sebagai pengelola makanan, mereka tidak diperbolehkan memegang peralatan yang dipergunakan penumpang sakit. PENYAKIT/KEADAAN YANG PERLU PERTIMBANGAN MEDIK IATA melaporkan bahwa dari 120 perusahaan penerbangan (airline), selama tahun 1977–1984 telah terjadi 577 kematian penumpang dalam penerbangan. Umumnya mereka adalah penumpang yang tampak sehat, dan meninggal aldbat serangan

jantung. Dari 17 juta penumpang yang diangkut oleh British Airways selama kurun waktu 1979–1980, telah terjadi 1063 medical accident, 8 di antaranya termasuk major accident. Sedangkan 1 dari 350 penumpang yang diangkut oleh British Airways dilaporkan adalah mereka yang mempunyai cacat/ kelemahan fisik (disability). The American Medical Services memperkirakan 46–47 kematian penumpang per tahun terjadi di Amerika. Oleh karena itu penilaian kondisi calon penumpang yang sakit untuk dapat diizinkan melakukan perjalanan dengan pesawat udara sangat penting untuk mencegah terjadinya medical emergency maupun kematian selama penerbangan. Penyakit atau keadaan yang memerlukan pertimbangan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu : 1) Penyakit yang diperberat oleh perjalanan udara Perjalanan dengan pesawat terbang mengakibatkan keadaan yang akan memperberat penyakit, yaitu hipoksia karena berkurangnya suplai oksigen, dan terjadinya pengembangan gas di dalam rongga tubuh. Yang akan diperberat oleh kondisi hipoksia adalah penyakit jantung, paru-paru, kelainan darah, kencing manis, gangguan sistem saraf, epilepsi dan lain-lain. Sedangkan yang diperberat oleh karena terjadinya pengembangan gas dalam rongga tubuh antara lain adalah sinusitis, radang telinga tengah, gangguan pencernaan, pneumotoraks, TBC paru dengan kavitas dan sebagainya. Penyakit Kardiovaskuler Gagal jantung yang tidak terkontrol dan infark miokard yang terjadi kurang dari 6 minggu, adalah kontraindikasi untuk terbang. Penumpang dengan penyakit tekanan darah tinggi yang berat, diperkenankan mengadakan perjalanan dengan pesawat udara bila yang bersangkutan minum obat dan sebaiknya tidak mengadakan perjalanan jauh/lama, karena hipoksia akan menaikkan tekanan darah. Penderita angina pektoris berat sebaiknya juga tidak melakukan perjalanan udara dan bila terpaksa harus disediakan oksigen selama perjalanan. Pasien dengan cardiac reserve yang buruk membutuhkan penilaian yang teliti sebelum diizinkan terbang. Sebagai petunjuk praktis dapat dikatakan bahwa pasien yang dapat berjalan sejauh 80 m dan naik 10–12 anak tangga tanpa gejala sesak nafas, diperkenankan menjadi penumpang pesawat terbang. Penyakit saluran pernafasan Penderita penyakit pm-pm dengan kapasitas vital kurang dari 50% seperti pada pneumonia, bronkhiektasis, emfisema, fibrosis atau keganasan, dapat mengalami hipoksia pada ketinggian rendah, misalnya 5.000 kaki; Oleh karena itu harus tersedia oksigen selama perjalanan. Pasien asma yang tidak dalam serangan atau dalam keadaan terkontrol tidak dilarang untuk terbang, namun bila masih memproduksi banyak sputum sebaiknya tidak diperkenankan terbang, karena selain akan mempengaruhi ventilasi paru, hal tersebut juga akan mengganggu penumpang lain. Pada umumnya, pasien dengan dispnu saat istirahat tidak

diperkenankan terbang. Pasien dengan toleransi rendah terhadap latihan (dispnu setelah berjalan 50 m) memerlukan penilaian lebih lanjut dengan uji fungsi paru. Pasien pasca operasi rongga dada, sebaiknya baru diperkenankan terbang setelah 3 minggu pasca operasi karena adanya bahaya ekspansi udara di rongga dada yang dapat menambah kerusakan jaringan paru-paru. Karena alasan yang sama, pasien pneumotoraks tidak diperkenankan terbang, sampai gambaran radiologik menunjukkan pengembangan paru. Penyakit darah Pasien dengan anemia berat, biasanya bila kadar Hb di bawah 7,5 g/100 ml (50%, atau jumlah sel darah merah kurang dari 2,5 juta per mm3, merupakan kontraindikasi untuk terbang. Penderita leukemia selain karena keadaan anemia juga cenderung mengalami perdarahan; karena itu penderita penyakit ini hanya diperkenankan terbang dalam upaya mendapatkan pengobatan. Penyakit kencing manis Penyakit kencing manis tidak diperkenankan terbang apabila kadar gula darah puasa melebihi 250 mg/100 ml, atau memakai insulin lebih dari 50 unit per hari. Penyakit susunan saraf pusat Pasien yang belum genap 3 minggu mengalami serangan stroke atau infark serebral akut, tidak diijinkan terbang. Dan karena pasien seperti ini sering confused, maka sebaiknya ada yang mendampingi. Adanya udara dalam rongga kepala (karena patah tulang kepala) merūpakan kontraindikasi untuk terbang, tetapi penderita trauma kepala, tumor otak pada umumnya diijinkan terbang dengan perhatian khusus dan persiapan oksigen. Pasien epilepsi sebaiknya dinaikkan dosis obatnya 24 jam sebelum terbang, mengingat kemungkinan timbulnya serangan akibat faktor hipoksia, hiperventilasi, kelelahan dan stress. Penyakit saluran pencernaan Setidaknya dibutuhkan waktu 10 hari, sebelum pasien yang baru mengalami operasi abdomen diperbolehkan terbang. Waktu ini dapat diperpanjang apabila ada komplikasi ileus paralitik. Pasien pasca operasi besar seperti pemotongan usus, baru dapat diizinkan melakukan perjalanan melalui udara 6 minggu setelah operasi. Perdarahan di saluran cerna dapat aktif selama penerbangan, sehingga sebaiknya pasien dilarang terbang sebelum 3 minggu pasca perdarahan terakhir. Pasien dengan ileostomi atau kolostomi perlu membawa dressing lebih banyak selama penerbangan, karena kantong kolostomi akan terisi lebih cepat. Penyakit THT Pasien yang baru mengalami operasi telinga tengah, sebaiknya tidak terbang sampai rongga telinga tengah kering dan luka teratasi dengan baik. Penderita gangguan sinus, infeksi kronis hidung dan radang telinga tengah sebaiknya menunda perjalanan dengan pesawat terbang. Cidera patah tulang Pasien patah tulang dengan gips sebaiknya tidak terbang bila pada daerah yangcedera tersebut masih edema, karena udara yang terjebak di dalamnya akan mengembang dan dapat menim-

bulkan nyeri. Patah tulang belakang dan sendi panggul harus mendapat perhatian khusus, karena goncangan pesawat sewaktu lepas landas atau mendarat akan mempengaruhi pasien. 2) Penyakit menular atau yang membahayakan kesehatan penumpang lain Secara umum perusahaan penerbangan tidak diperkenankan mengangkut seseorang yang menderita penyakit menular, termasuk penyakit karantina, karena risiko terjadinya penularan kepada penumpang lain. 3) Pasien yang ofensif (eenderung menyerang) atau mengganggu penumpang lain Penumpang yang kondisi medis dan perilakunya ofensif, penderita penyakit jiwa dengan perilaku yang mengganggu harus diberi preparat penenang dan disertai pendamping. Penderita psikosis akut merupakan kontra indikasi terbang; psikosis dalam episode tenang apabila menunjukkan gejala agresif harus diikat di tempat duduknya. Calon penumpang yang mabuk minuman keras tidak diperbolehkan naik pesawat terbang. 4) Keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus Kehamilan Hamil tua merupakan kontra indikasi untuk perjalanan dengan pesawat terbang, dan setiap ibu hamil tentu tidak akan pernah membayangkan untuk melahirkan di pesawat terbang. Karena alasan tersebut, dan adanya risiko terjadinya kelahiran prematur akibat stress fisiologik dan psikologik dari lamanya waktu penerbangan, batas usia kehamilan yang masih diperkenankan dalam penerbangan jarak jauh adalah kehamilan kurang dari 36 minggu, untuk primi gravida; sedangkan batas untuk multi gravida adalah 32 minggu. Untuk penerbangan jarak dekat (domestik), tidak ada pembatasan usia kehamilan bagi primi gravida, sedangkan batas usia kehamilan yang masih diperkenankan bagi multi gravida adalah 36 minggu. Semua kondisi di atas masih disertai catatan bahwa kehamilannya normal, dan riwayat persalinan terdahulu juga normal. Bayi Bayi yang lahir cukup bulan, tidak mempunygi kelainan jantung dan sistim pernafasan, umumnya mempunyai toleransi yang cukup baik terhadap perjalanan melalui udara. IATA dalam buku petunjuk pengangkutan penumpang sakit menetapkan umur 7 (tujuh) hari sebagai batas diijinkannya bayi naik pesawat terbang. Pada waktu pesawat turun, sebaiknya bayi dalam keadaan terbangun dan diberi minum, untuk mencegah terjadinya barotitis media. Orang lanjut usia Tidak ada kontra indikasi untuk melakukan perjalanan udara karena faktor usia saja, karena toleransi orang tua sehat terhadap masalah ketinggian adalah sama dengan orang berusia lebih muda. Kasus-kasus terminal Calon penumpang yang sakit berat dan tidak akan bertahan sampai dengan akhir perjalanan, tidak dapat diangkut dengan pesawat terbang. Apabila pasien tersebut sampai meninggal di

pesawat akan menimbulkan kesulitan administratif, di samping terganggunya jadual penerbangan. Selain itu juga mengakibatkan stres pada awak pesawat serta penumpang lainnya. DATA PENUMPANG GARUDA DENGAN PERTIMBANGAN MEDIK KHUSUS SESUAI KETENTUAN IATA SELAMA TAHUN 1991 – 1992 Dalam kurun waktu tahun 1991 dan 1992, jumlah penumpang sakit/cacat/lemah yang terbang dengan Garuda Indonesia setelah mendapat izin dengan penatalaksanaan medik khusus, sesuai ketentuan IATA adalah 208 orang dan 189 orang. Yang paling banyak dijumpai adalah kasus Penyakit Susunan Syaraf Pusat (26%). Hampir setengahnya adalah yang menderita kelainan akibat stroke hemorhagik (12%). British Airways melaporkan keadaan yang sama, bahwa kasus yang paling sering dijumpai adalah masalah medik yang berhubungan dengan gangguan Susunan Syaraf Pusat. Penumpang dengan penyakit saluran cerna, termasuk tumor intra abdomen, tercatat sebagai kasus terbanyak nomor dua, yaitu 14%. Sedangkan kasus penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit saluran nafas, dan pasien dengan stadium lanjut keganasan, jumlahnya kira-kira sama yaitu sekitar 8%. Yang paling sedikit adalah kasus gangguan jiwa, hanya 0,5%. Penanganan untuk penumpang hamil selama dua tahun jumlahnya 30 kasus (7,5%), akan tetapi lebih dari setengah dari kasus yang dijumpai ternyata calon penumpang dengan usia kehamilan kūrang dari 32 minggu (16 kasus), yang sebetulnya tidak memerlukan pertimbangan khusus. Jumlah kasus dengan usia kehamilan 32 – 36 minggu adalah 12, dan hanya satu kasus diketahui usia kehamilannya lebih dari 36 minggu. Lebih dari setengah penumpang sakit yang mengadakan perjalanandenganGarudadiangkutdenganstretcher, yaitu sekitar 63% kasus menggunakan kursi roda, dan sisanya dapat duduk biasa. Dari sejumlah 397 penumpang sakit yang terbang, 367 di antaranya harus didampingi (92%). Pendampingnya adalah keluarga sendiri (49%), perawat (25%), dokter (18%), dokter dan perawat (4%), dokter dengan keluarga (1%), serta sisanya didampingi oleh perawat dan keluarga. Penumpang sakit yang harus diangkut dengan stretcher semuanya membutuhkan tenaga medis sebagai pendamping baik dokter, perawat, bahkan kadang-kadang kedua-duanya. KESIMPULAN Garuda Indonesia telah mentransportasikan penumpang sakit/cacat/lemah sesuai dengan ketentuan IATA. Dengan prosedur yang telah dilaksanakan selama ini, kasus-kasus yang minta izin untuk terbang umumnya memang kasus yang harus mendapatkan pertimbangan medik khusus, kecuali kasus kehamilan yang berusia kurang dari 32 minggu. KEPUSTAKAAN 1. Adi Asmono. Ilmu Kesehatan Penerbangan. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Garuda Indonesia, 1988. pp 103-116. 2. Spoor DH. The Passenger and the Patient in Flight. In de Hart (ed) :

Fundamentals of Aerospace Medicine. Philadelphia: Lea & Febiger, 1985, pp 595–610. 3. Harding RM, Mills FJ. Aviation Medicine. 2nd ed Br Med J 1983, 20–54. 4. Dhenin SG. Aviation Medicine, Health and clinical aspects. Trimed Book limited, London, 1978.

Lampiran 1. Data Penggunaan Form IATA Penumpang Garuda Selama Tahun 1991 dan 1992 Golongan Penyakit I. Penyakit Susunan Saraf 1. Stroke hemorhagik 2. Stroke non hemorhagik 3. Kelumpuhan 4. Tumor otak 5. Hidrosefalus 6. Pasca Peradangan Otak

2.

6

20

7

8

15

6

7

13

13

15

28

VII. Penyakit Tulang, Sendi & Otot

4

9

13

VIII. Penyakit Diabetes Mellitus dengan Penyulit a. Berupa kelainan pembuluh darah, ginjal,

8

7

15

2



2

b.

Patah tulang lainnya

saraf Infeksi/Gangren

23 4 16 9 1 2

25 9 6 5 1 2

48 13 22 14 2 4

55

48

103

4

4

8

2 4 6 2 1

2 1 4 – 1

4 5 10 2 2

19

12

31

10

10

20

3 6 6 1

5 5 7 1

8 11 13 2

26

28

54

3

5

8



3

3

10 3 I 1

9 1 – –

19 4 1 1

Jumlah Jumlah PenumPenum- pang pang Harus Doctor Sakit Didam- (D) pingi

18

18

36

'91 '92 '91 '92 '91 '92 '91

'92 '91 '92 '91 '92 '91 '92 '91 '92

Penyakit Ginjal & Saluran Kemih 1. Kegagalan Ginjal

6

1

7

208 189 193 174 41 26 53

40

2. 3. 4. 5.

3 2 2 1

4 1 – –

7 3 2 1

II. Penyakit Jantung & Pembuluh Darah 1. Gagal Jantung 2. 3. 4. 5. 6.

Infark Miokard Insufisiensi koroner Hipertēnsi Penyakit Jantung Kongenital Aneurisma Aorta

III. 1.

Penyakit Saluran Cerna Tumor Intra Abdomen a. Hepatoma b. 2. 3. 4.

Tumor Sirosis Hepatis Pasca Operasi Laparatomi Ulkus Lambung

IV. Penyakit Saluran Nafas 1. Asma Bronkhial 2. 3.

4.

V.

1991 1992 Total

VI. Patah Tulang 1. Patah tulang Kolumna Vertebralis

14

Penyakit Paru Obstruktif Menahun Keganasan a. Karsinoma Paru b. Karsinoma Nasofaring c. Karsinoma Laring Efusi Pleura

Hipertrof/Karsinoma Prostat Sindrom Nefrotik Karsinoma Ginjal Pasca Transplantasi Ginjal

10

7

17

IX. Manula dengan Kelemahan

3

2

5

X.

18

17

35

XI. Kehamilan

14

16

30

XII. Gangguan Jiwa

2



2

XIII. Lain-lain (Combustio, Trauma, Post Operasi lain, dll).

12

11

23

208

189

397

Keganasan Lain/Stadium Lanjut

Total

Lampiran 2. Data Angkutan Penumpang Sakit Garuda Selama Periode Tahun 1991 dan 1992 Cara Pengangkutan Jumlah

Stretcher Case

Wheel Chair

Sitting Case Accompanied

1991

1992

1991

1992

1991

1992

1991

1992

208

189

132

117

42

41

34

31

Escorted by Nurse (N)

Other (O)

93 86

D+N

3

12

Only the man who knows much can know how little he knows

D+O

1

3

N+O

2

7

Lakespra Saryanto sebagai Pusat Pembinaan Kesehatan Penerbangan Kol. Kes. Dr. Hartono P. DSKP Perkespra Pusat, Jakarta

ABSTRAK TNI Angkatan Udara sebagai pembina berbagai aspek kedirgantaraan nasional pada tahun 1965 telah mendirikan Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra), yang bertujuan untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penerbangan. Lembaga ini didirikan selain untuk menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi kedirgantaraan saat itu, juga disiapkan untuk mengantisipasi perkembangan yang akan timbul dalam dekade berikutnya. Pimpinan Lembaga yang pertama adalah Alm. Dr. Saryanto, yang selanjutnya nama beliau diabadikan pada sebutan resmi Lembaga Kesehatan Penerbangan ini. Tugas pokok dari Lakespra Saryanto adalah membina kesehatan awak pesawat dan petugas khusus TM-AU, agar mereka dapat tetap sehat serta fit untuk menjalankan tugastugas terbangnya. Dalam perkembangan selanjutnya Lembaga ini ternyata tidak saja berfungsi dalam pembinaan kesehatan penerbangan di lingkungan TM-AU, tetapi juga dalam lingkup ABRI maupun Nasional pada umumnya. Bidang-bidang tugas yang selama ini dilaksanakan meliputi antara lain : seleksi calon maupun anggota awak pesawat, Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA), Rehabilitasi medik awak pesat, pemeliharaan dan peningkatan kesempatan jasmani, penelitian dan pengembangan kesehatan penerbangan serta pendidikan di bidang kesehatan penerbangan. Lakespra Saryanto juga aktif dalam membina kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Kedirgantaraan misalnya : Aerosport (FASI), Tim Pendaki Gunung, Human Engineering IPTN, Evakuasi Medik Udara dan lain-lain. PENDAHULUAN TNI Angkatan Udara sebagai Pembina Kedirgantaraan Nasional pada tahun 1985 telah mendirikan Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA), yang bertujuan untuk mewadahi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penanganan masalah-masalah kesehatan dalam dunia penerbangan. Lembaga ini dipimpin pertama kali oleh almarhum dr. Makalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta 30 Oktober 1993.

Saryanto, yang namanya kemudian diabadikan pada nama 1embaga ini menjadi Lakespra Saryanto. Lembaga ini berperan aktif dalam menangani berbagai masalah kesehatan penerbangan di lingkungan TNI-AU/ABRI maupun lingkup Nasional pada umumnya. Secara organisatoris Lakespra Saryanto merupakan satuan pelaksana pusat Direktorat Kesehatan TNI-AU, yang mem-

punyai tugas pokok untuk membina kesehatan awak pesawat serta petugas khusus matra udara lainnya. Termasuk dalam pembinaan ini adalah upaya pemeliharaan dan peningkatan kesaptaan jasmani seluruh anggotaTNl-AU. Dalam program pembinaan awak pesawat ini, Lakespra Saryanto menyelenggarakan uji badan baik yang bersifat seleksi maupun periodik, Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA), serta program rehabilitasi medik terhadap kelainan-kelainan yang berhubungan dengan tugas penerbangan. Sebagai suatu lembaga ilmiah Lakespra Saryanto juga melaksanakan berbagai pendidikan, latihan, penelitian dan pengembangan dalam bidang ilmu pengetahuan serta teknologi kesehatan penerbangan, baik yang diselenggarakan secara mandiri maupun bekerjasama dengan instansi-instansi ilmiah yang terkait misalnya FKUI, IPTN dan lain-lain. ORGANISASI Struktur organisasi Lakespra Saryanto ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kasau No. Kep/20/III/1985 tanggal 11 Maret 1985, yang tertuang dalam bentuk Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Lakespra Saryanto. Secara garis besar susunan organisasi yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut : a. Eselon Pimpinan b. Eselon Pembantu Pimpinan, yang terdiri dari : 1. Sekretaris lembaga 2. Kelompok Ahli c. Eselon Pelaksana, yang terdiri dari : 1. Laboratorium Aerofisiologi 2. Laboratorium Penunjang 3. Aeroklinik 4. Klinik Kesamaptaan Jasmani TUGAS POKOK DAN FUNGSI Tugas pokok Lakespra Saryanto adalah membina awak pesawat dan petugas khusus matra udara TNI-AU/ABRI serta memelihara dan meningkatkan kesamaptaan jasmani anggota TM-AU dalam rangka menunjang terlaksananya tugas-tugas operasional penerbangan dengan sebaik-baiknya. Dalam pelaksanaan tugas pokok tersebut, Lakespra Saryanto menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a) Uji badan calon anggota awak pesawat b) ILA bagi awak pesawat dan petugas khusus matra udara c) Rehabilitasi medik awak pesawat dan petugas khusus matra udara d) Pemeliharaan dan peningkatan kesamaptaan jasmani anggota TM-AU e) Pendidikan di bidang Kesehatan Penerbangan f) Penelitian dan pengembangan ilmu Kesehatan Penerbangan g) Kegiatan Pusat Rujukan Diagnostik bagi jajaran Kesehatan TNI-AU. KEGIATAN LAKESPRA SARYANTO Lakespra Saryanto sejak tahun 1965 hingga saat ini telah melaksanakan kegiatan-kegiatannya dalam lingkup pembinaan

kesehatan awak pesawat TNI-AU/ABRI maupun nasional, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penerbangan yang terjadi. Kegiatan tersebut meliputi aspek seleksi media calon awak pesawat, retensi awak pesawat, ILA, Pendidikan di bidang kesehatan Penerbangan serta upaya-upaya lainnya yang berkaitan dengan dukungan terhadap unsur manusia dalam rangka mewujudkan keamanan serta keselamatan penerbangan. Uji Badan Kegiatan ini dilaksanakan terhadap calon maupun anggota awak pesawat dan petugas khusus matra udara lainnya, dalam rangka program seleksi, retensi serta pemeriksaan atas indikasi medik maupun non medik seperti misalnya : pasca kecelakaan pesawat, pasca perawatan rumah sakit dan lain-lain. Pada tahun 1985 Lakespra Saryanto telah mendapat suatu kehormatan dari pemerintah yang berupa kepercayaan untuk memeriksa dan melakukan seleksi terhadap para calon Antariksawan Indonesia, dalam program penerbangan Space Shuttle. ILA Kegiatan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi ditujukan terhadap penerbang, awak pesawat lain maupun petugas khusus matra udara yang memerlukan penyegaran dan pemantapan pengetahuan di bidang Aerofisiologi. Pengetahuan ini sangat penting dalam rangka menghadapi dampak-dampak fisiologi penerbangan selama menjalankan tugasnya sehari-hari. Lakespra Saryanto juga telah berperan aktif dalam memberikan dukungan sarana, fasilitas, tenaga ahli maupun program ahli tenaga kesehatan penerbangan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan di suatu ketinggian, misalnya : tim pendaki gunung, tim terjun payung, tim olah raga gantolle dan lain-lain. Rehabilitasi Medik Merupakan upaya pemulihan medik terhadap awak pesawat yang mengalami gangguan-gangguan fisik maupun psikologis, sebelum mereka ditugaskan terbang kembali secara cepat dan aman. Upaya ini tidak terbatas pada aspek pemulihan jasmaniah saja tetapi juga menyangkut aspek kejiwaan/psikologi serta perubahan/pemantapan perilaku yang diperlukan sesuai dengan tugas-tugasnya sebagai awak pesawat. Pemeliharaan dan Peningkatan Kesamaptaan Jasmani Merupakan upaya untuk mewujudkan tingkat kesegaran jasmani yang setinggi-tingginya dari para awak pesawat, agar mereka senantiasa nampak memikul beban tugas fisik yang cukup berat dalam tugasnya sehari-hari di angkasa raya. Upaya ini diwujudkan dalam bentuk program-program latihan aerobik maupun non-aerobik (weight training) terhadap awak pesawat dan anggota lainnya, dalam rangka mencapai kesamaptaan pada sistem otot/rangka tubuh. Pendidikan di bidang Kesehatan Penerbangan Sebagai lembaga ilmiah Lakespra Saryanto menyelenggarakan fungsi-fungsi peningkatan kualifikasi dan profesionalisme di bidang Kesehatan Penerbangan & Ruang Angkasa dalam bentuk pelaksanaan sekolah, kursus, penataran dan temu ilmiah

bagi petugas medik maupun paramedik. Kegiatan pendidikan rutin yang hingga kini dilaksanakan di Lakespra Saryanto, antara lain : a) Pendidikan S-2 Kedokteran Penerbangan b) Sekolah Kesehatan Penerbangan & Ruang Angkasa (Sekespra) c) Sekolah Perawat Udara (Sewatud) d) Penataran Kesehatan Penerbangan e) Kursus Aerophysiological Training Operator f) Membantu satuan TNI-AU/ABRI dan instansi pemerintah maupun non pemerintah, dalam menyelenggarakain pendidikan yang berkaitan dengan masalah Kesehatan Penerbangan. Penelitian dan Pengembangan Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di bidang Litbang ini meliputi antara lain : a) Upaya Litbang di bidang keamanan dan keselamatan penerbangan khususnya pengkajian terhadap unsur Manusia dan pengaruh Lingkungan Penerbangan. b) Membantu Satuan-satuan TNI-AU/ABRI dan instansi lainnya dalam menyelenggarakan Litbang yang berkaitan dengan bidang Kesehatan Penerbangan & Ruang Angkasa. c) Melaksanakan uji coba terhadap kegiatan-kegiatan medik dalam penerbangan, yang dapat disimulasikan dengan bantuan peralatan/fasilitas Aerofisiologi yang dimiliki oleh Lakespra Saryanto. d) Membantu satuan-satuan TNI-AU/ABRI dan instansi lainnya dalam menyelenggarakan uji coba terhadap peralatan keamanan dan keselamatan penerbangan, dengan menggunakan peralatan/fasilitas Aerofisiologi yang dimiliki oleh Lakespra Saryanto. Kegiatan Pusat Rujukan Diagnostik Kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan dalam menjalankan fungsinya sebagai Pusat Rujukan Diagnostik ini, Lakespra Saryanto melakukan tugas-tugas : a) Konsultasi dan Evaluasi Medik terhadap awak pesawat dan petugas khusus matra udara yang mengalami permasalahan kesehatan, yang tidak dapat ditangani oleh satuan-satuan bawah. b) Evaluasi Medik terhadap kasus-kasus khusus yang membutuhkan kebijaksanaan waiver dari Pimpinan TNI-AU. c) Evaluasi Medik terhadap kelainan-kelainan di bidang kesehatan yang tidak dapat didiagnosis secara tuntas di fasilitasfasilitas kesehatan TNI-AU di daerah. PERALATAN KESEHATAN MATRA DIRGANTARA Beberapa peralatan kesehatan khas matra dirgantara yang saat ini dimiliki oleh Lakespra Saryanto adalah antara lain : a) Human centrifuge Merupakan sarana pelatihan dan seleksi terhadap awak pesawat dalam hal simulasi gaya G (G forces) yang biasa mereka hadapi dalam manuver-manuver aerobik pesawat tempur. Alat ini dapat menghasilkan gaya sentrifugal terhadap tubuh manusia sampai dengan 8G (8 kali gaya tarik bumi). b) Altitude Chamber

Alat ini disebut juga decompression chamber yang merupakan sarana pelatihan dan seleksi awak pesawat dalam hal simulasi kondisi atmosfir di suatu ketinggian, yang ditandai dengan menurunnya tekanan udara, kandungan oksigen, kelembaban dan suhu udara. Altitude chamber ini dapat mensimulasikan kondisi atmosfir hingga ketinggian 35.000–40.000 kaki. c)

Basic Orientation Trainer (BOT) Merupakan sarana pelatihan awak pesawat untuk mengenali keterbatasan-keterbatasan alat keseimbangan yang dimiliki manusia, khususnya dalam menginterprestasi gerakan-gerakan pesawat di udara serta ilusi-ilusi yang dapat timbul akibat salah persepsi alat keseimbangan tersebut. d) Night Vision Trainer (NVT) Merupakan sarana pelatihan awak pesawat untuk pemahaman tentang mekanisme fisiologik proses penglihatan baik siang maupun malam hari. Khusus untuk penglihatan malam, alat ini dapat mendemonstrasikan keterbatasan-keterbatasan kemampuan mata dalam keadaan gelap. Selain itu dengan menggunakan alat ini, awak pesawat dapat dilatih untuk membiasakan diri dengan cara-cara yang tepat untuk melihat obyek di malam hari secara efektif dan efisien. e)

Ejection Seat Trainer Merupakan sarana pelatihan awak pesawat dalam mensimulasikan gerakan dan mekanisme bekerjanya kursi lontar pada pesawat-pesawat tempur. Melalui pelatihan ini diharapkan penerbang sudah percaya diri apabila suatu saat berada dalam keadaan darurat harus melontarkan dirinya ke luar pesawat, dengan menggunakan kursi pelontar pada pesawat tempur.

f)

Oxy Fault Trainer Alat ini digunakan untuk melatih awak pesawat dalam menanggulangi gangguan-gangguan pada sistem pernafasan oksigen di pesawat terbang, sehingga apabila penerbang tersebut mengalami kejadian yang sebenarnya tidak akan sempat membahayakan keselamatan jiwanya.

g) Positive Pressure Breathing Rig Alat ini merupakan sarana pelatihan awak pesawat dalam membiasakan diri bernafas melalui peralatan oksigen di dalam pesawat, dengan tekanan positif pada maskernya. Hal ini harus dilakukan apabila penerbang tempur menjalankan tugas terbang tinggi (high altitude flying) yaitu sekitar 40.000 kaki, sehingga untuk menghindari keadaan hipoksia penerbang tersebut perlu diberikan aliran oksigen 100% dengan tambahan tekanan dalam masker f 2 mmHg dibandingkan dengan tekanan udara di luar masker. PENUTUP Diuraikan secara ringkas peranan Lakespra Saryanto sebagai Pusat Pembinaan Kesehatan Penerbangan dalam Lingkungan Nasional, yang dirinci dalam tugas pokok, fungsi dan kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Lakespra Saryanto sejak tahun 1965 hingga saat ini.

Peranan UNS dalam Kedokteran Dirgantara A.A. Subiyanto, Ambar Mudigdo, Sutrisno Danusastro Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mencakup Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian serta Pengabdian pada Masyarakat perlu tanggap dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Untuk menghadapi abad 21 yang penuh dengan perkembangan yang menakjubkan, antara lain termasuk kemajuan dalam kedirgantaraan, maka dirasa sudah sangat mendesak adanya usaha untuk mengantisipasi era kemajuan teknologi kedirgantaraan dengan menyiapkan anak didik suatu pemberian bekal ilmu Kedokteran Dirgantara agar alumninya dapat bekerja secara paripurna di berbagai medan tugas. Penggunaan jasa transportasi udara menjadi semakin memasyarakat akibat dari basil pembangunan nasional yang semakin merata, yang menuntut mobilisasi anggota masyarakat yang semakin cepat. Di samping itu adanya kemajuan penggunaan pesawat tempur oleh TNI Angkatan Udara Republik Indonesia yang semakin canggih baik dalam kecepatan maupun kemungkinan adanya manuver-manuver udara yang semakin dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan baik pengguna jasa penerbangan maupun penerbangnya sendiri. Selain itu, sudah merupakan fakta sejarah bahwa Indonesia telah mulai memasuki era penerbangan ruang angkasa dengan terpilihnya calon antariksawan Indonesia yang telah lulus seleksi dan telah menjalani pendidikan di Amerika Serikat. Hal ini selayaknya menjadi- motivator bagi akademisi di Indonesia untuk ikut mengambil saham terutama dari segi sumber daya manusianya. Makalah ini telah dibacakan pada: SeminarKesehatan Penerbangan, Surakarta 30 Oktober 1993.

B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirasa sudah saatnya Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret menyusun kurikulum tentang matra kemiliteran yang meliputi matra kepolisian, darat, laut dan khususnya udara (kedokteran penerbangan). Untuk itu perludiidentifikasi permasalahan yang ada yang merupakan kendala dan keterbatasan baik sumber daya manusia maupun prasarana yang sudah dimiliki institusi Fakultas Kedokteran. Menurut pendapat penulis terdapat beberapa kendala yang harus dipertimbangkan dan dicari solusinya, yaitu : 1) Keterbatasan sumber daya manusia Sangat disadari bahwa muatan kurikulum matra kemiliteran khususnya matra kepolisian, laut dan udara merupakan bidang baru bagi kurikulum kedokteran di Indonesia umumnya dan di Fakultas Kedokteran UNS khususnya, di mana staf pengajar di Fakultas Kedokteran belum memiliki kemampuan untuk mengampunya. 2) Keterbatasan alokasi waktu Mengingat kurikulum di Fakultas Kedokteran sudah sangat padat, terdapat kendala yaitu dengan disusunnya kurikulum matra militer akan mengalami kesulitan alokasi waktu yang diperlukan untuk memberikan mata ajaran kematraan tersebut. 3) Keterbatasan kualitas mahasiswa Untuk menyiapkan mata ajaran matra kemiliteran yang ideal diperlukan kesiapan fisik, mental dan intelektual serta bakat mahasiswa. Padahal sistem seleksi calon mahasiswa yang selama ini dijalankan hanya berdasarkan tes kemampuan kogni-

tif melalui tes tertulis ujian masuk perguruan tinggi (UMPTN) yang tentunya akan mengabaikan kemampuan calon mahasiswa dari aspek mental, fisik maupun bakat yang dimiliki mereka. 4) Keterbatasan prasarana Mengingat penyelenggaraan pendidikan yang ideal harus mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotor, maka diperlukan prasarana yang diperfukan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Selama ini di Fakultas Kedokteran UNS belum pernah menyelenggarakan sebagian besar mata ajaran matra kemiliteran tersebut, khususnya kesehatan penerbangan sehingga institusi ini belum memiliki sebagian besar prasarana dan sarana yang diperlukan guna menunjang penyelenggaraan pendidikan bidang tersebut. C. Tujuan Untuk menghadapi permasalahan di atas, khususnya dalam bidang kesehatan penerbangan, maka Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret perlu menyusun strategi guna mengatasi kendala dan keterbatasan yang ada. STRATEGI PEMECAHAN A. Solusi keterbatasan sumber daya manusia Fakultas Kedokteran UNS memiliki 203 tenaga pengajar yang terdiri 62% tenaga pasca sarjana dan delapan persen tenaga Doktor, namun belum mempunyai tenaga yang mempunyai kualifikasi kedokteran penerbangan. Untuk itu dalam jangka pendek dapat dilakukan kerjasama dengan TNI Angkatan Udara yang kebetulan mempunyai lokasi pusat pendidikan yang dekat dengan UNS yaitu di Panasan Surakarta dan Maguwo Yogyakarta untuk memberikan bantuan tenaga pengajar yang ahli dalam kedokteran penerbangan. Dalam jangka panjang Fakultas Kedokteran UNS perlu mengadakan program pengiriman tenaga pengajar untuk dididik dal am bidang kedokteran penerbangan ke pusat-pusat pendidikan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. B. Solusi keterbatasan alokasi waktu Penyelenggaraan pendidikan di Fakultas Kedokteran UNS selama ini memerlukan 203 satuan kredit semester (SKS) dalam 12 semester terdiri dari 149 SKS program Strata-1 dan 54 SKS program profesi dokter. Dari program Strata-1 terdapat mata ajaran Kewiraan yang mendapat alokasi waktu dua SKS dan dari program profesi dokter terdapat mata ajaran Kedokteran Komunitas/Praktek belajar Lapangan yang mempunyai alokasi waktu alokasi waktu tiga SKS. Berdasarkan pertimbangan alokasi waktu tersebut, maka penyelenggaraan mata ajaran matra militer khususnya kesehatan penerbangan dapat diselenggarakan dengan dua alternatif : 1) Menggunakan sebagian waktu dari alokasi lima SKS tersebut yang merupakan porsi dari mata ajaran Kewiraan dan Kedokteran Komunitas dengan distribusi pemberian dalam bentuk teori sebanyak dua SKS pada program Strata-1 dan dalam bentuk kemampuan afektif 'dan psikomotor diberikan pada program profesi sebanyakl–2 SKS. 2) Muatan mata ajaran kesehatan penerbangan didistribusikan

ke masing-masing laboratorium yang terkait, seperti Lab. Fisiologi Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Masyarakat dan sebagainya tanpa mengganggu atau,mengubah alokasi SKS yang telah berlangsung. Tentunya pilihan ini akan mempunyai keterbatasan dalam pemberian ranah afektif dan psikomotor dan hanya terbatas pada ranah kognitif saja. C. Solusi keterbatasan mahasiswa Persyaratan yang harus dimiliki mahasiswa yang mendapatkan mata ajaran kedokteran penerbangan tentunya berbeda dengan mahasiswa yang dipersiapkan hanya sebagai tenaga medis "konvensional", mengingat intensitas dan ekstensitas pekerjaan yang akan dihadapi para lulusan dokter penerbangan. Dari keterbatasan masukan calon mahasiswa di Fakultas Kedokteran UNS dalam bidang kesamaptaan intelektual, mental, fisik dan bakat yang sesuai dengan tuntutan persyaratan yang spesifik yang harus dipenuhi untuk mengikuti pendidikan kedokteran penerbangan, maka penulis mempunyai usulan dua alternatif : 1) Meningkatkan passing grade yang harus dilewati oleh para calon mahasiswa yang memasuki Fakultas Kedokteran UNS, agar dapat terseleksi calon-calon mahasiswa yang benar-benar memiliki basic qualification yang diperlukan yang meliputi bidang kemampuan intelektual, mental, fisik dan bakat. Sehingga di samping tes tertulis masih perlu diadakan tes kesamaptaan fisik, psikotes maupun tes bakat. 2) Dari calon mahasiswa yang diterima melalui UMPTN diseleksi lagi oleh Fakultas Kedokteran untuk mendapatkan calon mahasiswa yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan kedokteran penerbangan. Penulis berpendapat bahwa dari dua alternatif tersebut di atas, alternatif yang kedualah yang lebih mudah dilaksanakan meskipun hanya akan mendapatkan sebagian kecil mahasiswa.

D. Keterbatasan sarana dan prasarana Untuk mengatasi keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan kedokteran penerbangan, maka dalam jangka pendek dapat ditempuh kerjasama dengan TNI Angkatan Udara yang tentunya sudah memiliki fasilitas yang memadai guna pelaksanaan pendidikan. Menurut pendapat penulis, berdasarkan kendala pada butirbutir di atas, maka penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan dengan tiga pilihan, yaitu : 1) Mata ajaran tersebut merupakan mata ajaran wajib yang harus diikuti seluruh mahasiswa kedokteran. Hal ini tentunya akan memberikan beberapa konsekuensi, antara lain pemberian materi yang sangat terbatas, beban mahasiswa yang semakin berat temtama bagi mahasiswa yang tidak memenuhi persyaratan yang akan berakibat tujuan pendidikan yang sesuai kurikulum sukar tercapai. 2) Mata ajaran ini merupakan mata ajaran pilihan yang diambil berdasarkan bakat dan minat mahasiswa. Hanya mahasiswa yang sudah lolos dari seleksi saja yang dapat mengikuti

program ini. 3) Mata ajaran dapat dipilah menjadi mata ajaran yang elementer dan lanjutan. Bagi seluruh mahasiswa diwajibkan mengikuti mata ajaran yang elementer. Sedang bagi yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti mata ajaran lanjutan yang lebih lengkap. PELAKSANA PENDIDIKAN Penanggung jawab mata ajaran yang berkaitan dengan kesehatan penerbangan dipegang oleh Dekan atau Pembantu Dekan bidang akademis dan pelaksanaannya dapat diampu oleh Biro Koordinasi Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UNS yang sudah terbentuk sejak awal berdirinya UNS. Sedang pengampu mata ajaran tersebut dapat diberikan oleh staf pengajar yang sesuai dengan cabang ilmu yang sesuai dengan kedokteran penerbangan. Menurut penulis laboratorium yang mempunyai kaitan dengan mata ajaran ini adalah dari Laboratorium Fisiologi, Ilmu Kesehatan Masyarakat/Kedokteran Kerja, Mata, THT, Penyakit Dalam dan Patologi. BIDANG MATA AJARAN KESEHATAN PENERBANGAN Kurikulum disusun dengan memuat tujuan pendidikan yang meliputi : 1) Hasil keluaran program S 1 Fakultas Kedokteran UNS mempunyai wawasan luas, sehingga dapat memberikan konsultasi kepada masyarakat khususnya pada instansi seperti TNI Angkatan Udara, perusahaan penerbangan, Lapan, Metereologi & Geofisika dan sebagainya maupun pribadi pengguna jasa penerbangan tentang pengaruh penerbangan baik terhadap penumpang pesawat terbang maupun bagi awak pesawat. 2) Lulusan mempunyai kesamaptaan baik pengetahuan, mental dan fisik bila mereka memasuki dinas matra militer khususnya yang berkaitan dengan penerbangan. 3) Dapat menjadi embrio bila kondisi atau keadaan membutuhkan dibukanya spesialisasi kedokteran penerbangan. Berdasarkan tujuan pendidikan di atas dan mengacu pada masukan Soleh Nugroho dari Mabes TNI-AU, maka kelompok mata ajaran yang perlu diberikan di Fakultas Kedokteran UNS adalah : 1. Kedokteran Penerbangan Dasar Meliputi bidang :

a. Sejarah Kesehatan Penerbangan b. Dasar-dasar Aerodinamika c. Sifat-sifat Atmosfir d. Akselerasi Pesawat Terbang e. Fungsi Alat Keseimbangan dalam Penerbangan f. Fungsi Alat Penglihatan dalam Penerbangan. 2. Kedokteran Penerbangan Terapan Meliputi bidang : a. Pengaruh Hipoksia dan H iperventilasi terhadap Tubuh b. Efek Dekompresi terhadap Tubuh c. Pengaruh Gaya Gravitasi terhadap Manusia d. Kebisingan dan Vibrasi e. Disorientasi dalam Penerbangan f. Evakuasi Aeromedik g. Pertolongan dan Penelitian Kecelakaan Pesawat. 3. Kedokteran Komunitas Penerbangan Meliputi bidang : a. Self Imposed Stress dalam Dunia Penerbangan b. Pembinaan Gizi Awak Pesawat c. Pembinaan Kesamaptaan Jasmani awak Pesawat d. Program Kesehatan dalam Menunjang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

5. 6. 7. 8. 9.

Darmono SS, Yudiono KS. Pamudji S, Rahardjo, Sadono. Perguruan Tinggi Se-Jawa Tengah, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1986. Fakultas Pascasarjana Unpad. Buku Panduan Program Magister dan Doktor, BP Unpad, Bandung, 1984. Guilbert JJ,. Educational Handbook for Health Personnel, World Health Organization, Geneva, 1977. Nugraha S. Bahan Masukan dari Bidang Kedokteran Penerbangan dalam Lokakarya Penyusunan Kurikulum Pendidikan S-1 Unibraw Mata Ajaran Kedokteran Militer, Seminar dan Lokakarya Kesehatan Penerbangan, Malang, 1993. Konsorsium Ilmu Kesehatan. Pola Pengembangan Praktek Belajar Lapangan Pendidikan Dokter Indonesia, Jakarta, 1983. ––––––––– Rencana Pengembangan Staf Akademik Fakultas Kedokteran Negeri Se-Indonesia Tabun 1988/1989 – 1998/1999, Jakarta, 1990. ––––––––– Pola Pengembangan Staf Akademik Fakultas Kedokteran, Jakarta, 1992. Universitas Sebelas Maret. Rencana Induk Pengembangan Akademik 1980-1990, Surakarta, 1980. ––––––––– Buku Pedoman Fakultas Kedokteran, Program D3 Hiperkes dan Kesempatan Kerja, Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta, 1993.

One's eyes is what one is, one's mouth is what one becomes

Prospek Penelitian Biomedik di Luar Angkasa Dr. Pratiwi Sudarmono, PhD Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI

ABSTRAK Semenjak manusia bercita-cita menaklukkan ruang angkasa perhatian yang khusus telah ditujukan kepada berbagai aspek terpenting yaitu perubahan biomedik yang akan dialami oleh seseorang saat ia berada di luar angkasa. Pengaruh yang paling besar adalah dari kondisi mikroorganik dan berbagai pengaruh lingkungan hidup yang sangat sulit untuk disimulasi di bumi. Kondisi mikrogravitasi menyebabkan terjadinyaperubahan fisiologikpada berbagai organ seperti sistim homeostasis, sistim kardiovaskuler, sistim muskulo skeletal dan sebagainya. Kini kondisi mikrogravitasi dianggap menjadi suatu variabel yang penting untuk memahami sistim transport ion dan energi dari sel, untuk memantau proses diferensiasi pada embrio, untuk memahami mekanisme kerja obat dan sebagainya. Penerbangan luar angkasa melalui pesawat ulang alik dengan program space-lab dan spacestationnya kini diarahkan sebagai misi ilmiah murni, antara lain untuk penelitian biomedik ini.

PENDAHULUAN Bila kita naik sampai ketinggian lebih dari 110 km dari permukaan bumi, maka pengaruh kondisi luar angkasa sudah mulai terasa. Mikrogravitasi merupakan faktor yang sangat bermakna, terutama bila dilihat pengaruhnya pada kehidupan jangka panjang di luar angkasa. Namun justru mikrogravitasi merupakan kondisi yang paling sulit disimulasi dibumi. Karena kendala tersebut, penelitian-penelitian untuk melihat efek mikrogravitasi harus dilakukan dalam pesawat ulang alik, space-lab atau spacestation di ruang angkasa. Penelitian biomedik di luar angkasa biomedik di luar angkasa sekarang dirasakan sama pentingnya dengan penelitian ilmu lain. Penelitian biomedik ada yang langsung dikaitkan dengan fisiologi manusia, namun banyak pula yang merupakan penelitian ilmu kedokteran dasar seperti penelitian mikrobiologi, biologi Makalah ini telah dibacakan pada : Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta 30 Oktober 1993.

sel, genetika, embriologi, biologi molekuler dan sebagainya. Dalam makalah ini akan diuraikan berbagai aspek penelitian kedokteran/biomedik dan biologi yang menjadi minat dari para peneliti saat ini. SISTIM MUSKULOSKELETAL Telah diketahui beberapa kelainan dalam sistim muskuloskeletal pada para astronot yang kembali dari ruang angkasa. Ditemukan.adanya indikasi kelainan metabolisme ion kalsium, kelemahan otot-otot motorik dan kelainan pada persendian. Topik penelitian yang kini dilakukan baik oleh NASA maupun Rusia dal am stasiun ruang angkasa MIR meliputi hal-hal sebagai berikut : a) Metabolisrne kolagen jaringan kulit dan tulang tikus selama 7 hari penerbangan luar angkasa.

b) Komposisi jaringan tulang menit pada kondisi hipokinesia. C) Pengukuran kadar kalsium dengan mikro elektroda pada darah para astronot. d) Analisis susunan jaringan periosteal pada tibia tikus, e) Pembentukan tulang pada biakan jaringan tulang embrio di tinjau dari perubahan biokimiawi dan karakteristik ultrastruktural. f) Peranan vitamin D dalam diferensiasi awal dari pembentukan osteoklast. g) Peranan dari hilangnya beban pada tulang menimbulkan hilangnya induksi untuk penyusunan jaringan tulang baru.

SISTIM VESTIBULER Space adaptation syndrome adalah gejala yang paling sering dialami oleh para astronot; bahkan menjadi suatu sindrom yang paling ditakuti karena menyebabkan tidak dapat bekerja dengan layak dalam pesawat ulang alik atau stasiun ruang angkasa. Berbagai upaya medikamentosa dan berbagai latihan untuk melatih adaptasi vestibuler sudah dicoba dengan berbagai inovasi dan modifikasi, tetapi ternyata masih kurang meyakinkan karena jumlah sampel masih sedikit. Diketahui bahwa fungsi vestibuler yang sangat menentukan keseimbangan, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti gerak bola mata, refleks vestibulo-spinal, adanya zat metabolik yang berfungsi sebagai vestibulo protector, lancarnya hemodinamika dalam sistim vestibuler dan sebagainya. Di bumi dapat dilakukan experimental motion sickness yang sedikit banyak akan memberikan informasi yang tepat tentang sekuens dari motions sickness tersebut. Keringat yang berlebihan, kunang-kunang, rasa mual, pusing, muntah dan disorientasi merupakan urutan kejadian yang terjadi pada motion sickness. Penelitian saat ini yang dikerjakan oleh space lab dan space station antara lain : 1) Monitoring respons vestibuler terhadap akselerasi. 2) Pengukuran komparatif terhadap stabilitas-visual di bumi dan di luar angkasa. 3) Penggunaan electro-oculographic signal conditiner dengan rotating chair. SISTIM KARDIOVASKULER Fungsi sistim kardiovaskuler mengalami berbagai penyimpangan antara lain karena dalam kondisi mikrogravitasi terjadi perubahan hemodinamika darah. Dengan hilangnya tekanan perifer, darah dan cairan tubuh cenderung terkumpul di bagian proksimal tubuh, menyebabkan rangsangan pada pusat homeostatis di otak dan ekskresi cairan lewat urine terjadi dengan cepat. Oleh karena itu pada saat-saat awal seorang ada di ruang angkasa, diperlukan minum minimal 2 liter untuk menjaga keseimbangan cairan. Lagipula, karena tonus perifer hilang, jantung tidak mengalami hambatan dalam pemompaan, sehingga denyut jantung melemah namun masih cukup efisien. Berbagai komputer model dirancang untuk memahami hemodinamika di ruang angkasa. Komputer model yang dikembangkan para ahli bertujuan untuk melakukan simulasi di bumi dengan mengubah variabel-variabel seperti volume darah, per-

ubahan ion, tonus otot, jantung dan sebagainya. Penelitian saat ini yang mendapatkan perhatian antara lain : a) Pengaruh kondisi tanpa bobot pada fungsi jantung paru. b) Pengaruh kondisi tanpa bobot pada fungsi cairan. c) Pengaruh penerbangan ruang angkasa pada eritrokinetik manusia. d) Perubahan-perubahan pada deconditioning jantung.

METABOLISME DAN ENDOKRIN Perubahan faal sel tubuh manusia seringkali menyebabkan adanya perubahan metabolisme dan endokrin; atau sebaliknya. Perubahan metabolisme yang terjadi seringkali dapat menerangkan patofisiologi dari suatu kelainan dalam penerbangan luar angkasa. Sedangkan perubahan endokrin sangat erat hubungannya dengan perubahan perilaku, terutama bila penerbangan dilakukan dalam waktu lama. Penelitian yang dikembangkan antara lain : a) Patofisiologi mineral loss selama spaceflight. b) Metabolisme protein selama spaceflight. c) Perubahan endokrin dan metabolit pada diri para astronot. d) Magnetic resonance imaging setelah penerbangan luar angkasa. e) Penelitian metabolit dalam urine. f) Metalisme vitamin D dan demineralisasi tulang. Masih banyak lagi topik yang menarik untuk diteliti di luar angkasa. Space-lab dan space station menyediakan berbagai device yang memungkinkan dilakukannya penelitian tersebut. Di NASA, penelitian ini ditampung oleh suatu tim yang bergabung dalam Life Sciences Project Division yang melibatkan diri sejak perencanaan sampai evaluasi dari seluruh penelitian life sciences di bumi maupun di luar angkasa. Dua topik yang kini sedang berlangsung merupakan topik utama dari LSDP yaitu Life Sciences space biology project dan Extended Duration Crew Operations. Aktivitas LSDP ini nantinya akan terus dilanjutkan bila Space Station Freedom selesai. Space Station Freedom merupakan space station yang dirancang bersama oleh 4 negara yaitu Amerika Serikat, European Space Agency, Jepang dan Kanada. Berbagai kalangan ilmiah dari perguruan tinggi dan industri ikut berpartisipasi dalam penelitian luar angkasa, baik sebagai expertise investigator maupun penyandang dana. Setiap tahun dilakukan review oleh LSDP untuk menentukan urutan prioritas, validitas, aktualitas dari usulan-usulan penelitian yang masuk. Usulan penelitian tersebut seringkali mengajukan pula berbagai modifikasi dan inovasi alat-alat baru atau suatu sistim baru untuk space station agar para astronot dapat lebih mudah dan lebih nyaman tinggal di S.S. Freedom. LSDP tidak saja menampung usulan penelitian biomedik, namun juga penelitian pada sel hewan, sel tanaman, penelitian kimiawi, fisika dan sebagainya. Sejak space lab I diluncurkan pada November 1093, sudah banyak basil penelitian yang dianalisis; sehingga informasi dan penemuan baru dapat dikaji sebagai hal yang sangat berharga untuk kepentingan umat manusia, baik dalam kehidupannya di bumi maupun di luar angkasa.

KEPUSTAKAAN 3. 1. 2.

Life Science Project Division. Johnson Space Center, NASA, USA. SAE Technical Paper Series, The Engineering Society for Advancing Mobility Land, Sea. Air and Space, USA.

4.

1988–1989 NASA Space/Gravitational Biology Accomplishments. NASA Technical Memorandum 4160, 1990. USSR Space Life Sciences Digest, NASA Contractor Report 3922 (24), 1989.

Various Types of Specific Acquired Deficient Immune Status (SADIS) following Various Kinds of Microbial Infection 5a. the clinical management of diseases that may produce SADIS with lymphocyte predominance R.A. Handojo*, Anggraeni Inggrid Handojo** * The Indonesian Association of Pulmonologists, Malang, Indonesia ** The TB Center of Surabaya, Indonesia Diseases that may produce SADIS may have lymphocyte predominance or lymphocyte depletion. There are three categories of diseases that in the advanced stage may produce SADIS (fig. 1), i.e.: Fig. 1. Three categories of specific (SADIS) the Tb-type of SADIS Category I brought about by: • Bacteria : : • DNA-viruses : • RNA-virus : Category 2 the Lk-type of SADIS brought about by: • DNA-virus : • RNA-viruses : Category 3 the Lp-type of SADIS brought about by: • RNA-viruses : • bacterium :

acquired deficient immune status

M. tuberculosis H. pylori HBV, īlPV, HSV-2, EBV HCV. EBV HTLV-I, HTLV-II. HTLV-III (HIV-1), HIV-2 M. leprae.

1) Diseases that may progress to the tuberculosis-type (Tbtype) of SADIS, comprising diseases caused by the tubercle bacillus, the Helicobacter pylori, the hepatitis B virus (HBV), the hepatitis C virus (HCV), the human papilloma virus (HPV), the herpes simplex virus type 2 (HSV-2) and the Epstein Barr virus (EBV). 2) Diseases that may produce the leukemia-type (Lk-type) of SADIS, comprising a disease caused by the EBV, and diseases caused by the human T-cell lymphotrope virus type I (HTLV-I) and the human T-cell lymphotrope virus type II (HTLV-II). 3) Diseases that may progress to the leprosy-type (Lp-type) of SADIS, comprising diseases caused by the human immunodeficiency virus type I (HIV-1), the human immunodeficiency virus type II (HIV-2) and a disease caused by the leprosy bacillus. The Tb-type of SADIS has primary solid malignancy as

disease expression that is located in an organ of the host, e.g. the lung (bronchogenic carcinoma), the nasopharynx (nasopharynx carcinoma), the liver (primary hepatocellular carcinoma) and the cervix of the uterus (cervix carcinoma). The existence of Tlymphocyte predominance is a characteristic of the Tb-type of SADIS. In addition, there is a predominance of the cellular immune system in comparison to the humoral immune system (fig. 2). Fig. 2. Some characteristics of the three types of SADIS Type of SADIS Tb-type Lk-type Lp-type

Disease expression primary malignancy (epithelial carcinoma) primary malignancy (leukemia, NHL,*** Hodgkin's dis.) • AIDS, opportunistic malignancy • KK-type leprosy

Lymphocytes

CMIS* HIS**

predominance

>1

predominance

>1

depletion

<1

depletion

<1

Note: CMIS : cell mediated immune system HIS : humoral immune system NHL : non-Hodgkin's lymphoma

The Lk-type of SADIS has primary hematologic malignancy as disease expression that is located in tissues of organs of the host, e.g. in lymph nodes (malignant lymphoma) and in bone marrow (leukemia). Lymphocyte predominance which is based on neoplastic proliferation of lymphocytes, is a characteristic of the Lk-type of SADIS. There is also predominance of the cellular immune system when compared to the humoral immune system (fig. 2). The Lp-type of SADIS that is brought about by HIV-1 has the acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) as disease

manifestation. It is characterized by the emergence of opportunistic infections and the development of opportunistic malignancies as well. The Lp-type of SADIS which is caused by the leprosy bacillus has the lepromatous leprosy (LL-leprosy) as disease manifestation which is characterized by the existence of primary clinical resistance to antileprosy chemotherapy. It has neither primary nor opportunistic malignancy as disease expression. In addition, it is characterized by the absence of opportunistic infection. There is lymphocyte depletion in both diseases. Predominance of the humoral immune system in comparison to the cell mediated immune system is found in the Lp-type of SADIS (fig. 2). The specific immune spectrum and the specific immunologic characteristics of a disease that in its Advanced stage may produce SADIS, constitute the specific immunologic fingerprint of the disease. Determination of the immunologic fingerprint of diseases following infection with the causative pathogens that can bring about the development of SADIS, may provide rational basis for the proper tackling and solving of problems that may arise in the fight against the causative organisms. Knowledge of immunologic fingerprints not only enables the diagnosis of the related disease to be made more accurately but also provides a more rational basis for effective clinical management to be based on. Diseases of the same category of SADIS may have identical or almost identical principles of clinical management. In addition, knowledge of immunologic fingerprint has substantially broadened our knowledge and understanding of the pathways through which the disease may progress or regress. Achievement of a defined knowledge of clinical management of diseases that have undergone long-term and thorough tackling and solving of the related problems, such as tuberculosis and leprosy, may serve as rational paradigm for effective clinical management to be set up in aid of other diseases that may produce the same category of SADIS. I) THE CLINICAL MANAGEMENT OF DISEASES THAT MAY PRODUCE THE TB-TYPE OF SADIS Based on the characteristics of the immunologic fingerprint, the principles of the clinical management of diseases that may produce the Tb-type of SADIS are divided into the following: A) The clinical management of diseases that emerge as disease expression of the acute (L-type) and the chronic type (K-type) immune status (fig. 3). 1) The institution of "the early kill" of causative microbial pathogens through the advent of specific anti-microbial chemotherapy when disease expression is of the L-type or K-type immune status. 2) The enhancement of the "early kill" of microbial pathogens through the concomitant use of immunomodulators during the early phase of anti-microbial chemotherapy when disease expression is of the K-type immune status at start of chemotherapy. The institution of immunotherapy with BCG following cessation of a successful anti-microbial chemotherapy for the

Fig. 3.

The clinical management of diseases that may bring about development of Tb-type SADIS

Purpose: Back to basic which means back to the L-type immune status Prevailing Immune Status L-type

K-type

• early kill of microbial pathogen thru specific antimicrobial chemotherapy

• early kill of microbial pathogen thru specific antimicrobial chemotherapy • augmentation of early kill of microbial pathogen thru immunomodulator • stabilization of cure thru immunotherapy with BCG

KK-type (Tb-type SADIS) • early kill of microbial pathogen thru: • surgery • chemotherapy • radiotherapy • stabilization of cure thru specific antimicrobial chemotherapy (when available) • stabilization of cure thru immunotherapy with BCG.

stabilization of the cure when disease expression is of the K-type immune status at start of chemotherapy. B) The clinical management of diseases that emerge as disease expression of the KK-type immune status (Tb-type of SADIS) (fig. 3). 1) The institution of the "early kill" of microbial antigen through the advent of: 1.1. surgical resection of the lesion. 1.2. cytotoxic chemotherapy. 1.3. radiotherapy, for the regression of immune status from the KK-type to the Ktype or even further to the L-type immune status. 2) The enhancement of the "early kill" of microbial pathogen through the use of specific anti-microbial chemotherapy for the stabilization of the cure following achievement of complete remission of the lesion. 3) The inoculation of BCG as immuno-therapy for the stabilization of the cure following the achievement of complete remission of the lesion when specific anti-microbial chemotherapy is not available. A1) The institution of the "early kill" of microbial antigen through the advent of specific anti-microbial chemotherapy. The tubercle bacillus is the prototype of microbial pathogens that can bring about the Tb-type of SADIS. The advent of adequate anti-TB chemotherapy is crucial in the fight against the tubercle bacilli before the disease may progress to disease manifestation of the Tb-type of SADIS. Anti-TB chemotherapy has anti-microbial activity and has the added advantage of being able to induce regression of immune status from the K-type to the L-type aiming at the achievement of better protective immunity. The "early kill" of tubercle bacilli through the use of adequate anti-microbial chemotherapy is essential for the achievement of a successful result at end of treatment. Anti-tuberculosis drugs exert bactericidal activity only during a treatment period of six months(1).

During this period, killing of tubercle bacilli and regression of immune status take place. Prolongation of chemotherapy using the same treatment regimen produce enhancement of protective capacity without further anti-microbial activity of the drugs(1). Enhancement of protective immunity is based on the augmentation of bactericidal activity of the macrophage through further regression of immune status to the L-type. The advent of anti-Helicobacterpylori drugs such as tetracycline hydrochloride or amoxicillin, metronidazole and colloidal bismuth subcitrate, known as the triple therapy, has been shown to be effective for the institution of the "early kill" of Helocobacter pylori when disease expression is of the L-type or K-type immune status. A treatment regimen consisting of colloidal bismuth subcitrate, tetracylin hydrochloride and metronidazole has been shown to eradicate Helicobacter pylori infection in 91% of an Australian dyspeptic population (quoted from : Asian Medical News; Medical Tribune International vol. 12, October 2, 1990). Current anti-ulcer regimen using drugs usually termed the HZ receptor antagonists, now designated as immunomodulators, have been successful but the ulcer recurrence is an inconvenient and sometimes a serious problem(2). Almost 80% of duodenal ulcer patients caused by Helicobacter pylori that healed following the advent of H2-receptor antagonists for the duration of 4–6 weeks, developed relapse within one year, but if an antimicrobial regimen consisting of colloidal bismuth subcitrate, metronidazole plus amoxicillin or tetracycline hydrochloride (triple therapy) is used as well to control Helicobacterpylori, the relapse rate is reduced to less than 10% if it is completely eradicated(3,4,5). Two weeks treatment using triple therapy is adequate to achieve eradication of Helicobacter pylori in most patients(2). The result of treatment using interferon and aciclovir in patients suffering from chronic hepatitis B, revealed that both drugs are effective for the institution of the "early kill" of HBV, when disease expression is of the K-type immune status. The result of anti-viral treatment in 12 patients suffering from chronic hepatitis B conducted in 1985 revealed that combination therapy of interferon and aciclovir appeared to be obviously more effective than when interferon or aciclovir was given as monotherapy(6). Alpha-interferon has a favourable effect on viral replication and on the levels of liver enzymes in 25–50% of selected patients with chronic hepatitis B virus infection(7,8). Active viral replication of HBV is characterized by the persistent presence of HBs-Ag, HBe-Ag and HBV-DNA-polymerase in blood. The presence of HBs-Ag only indicates the emergence of virus-latency; anti-HBe-antibody may also be encountered. During the latent phase of virus elimination, HBs-Ag is no longer detectable in blood; anti-HBs-antibody and anti-HBe-antibody may be encountered(9). Anti-viral treatment in chronic hepatitis B patients is exclusively meaningful when active viral replication exists which can be confirmed by a positive result of HBs-Ag and HBe-Ag test(9). Combination of interferon plus aciclovir may induce a state of virus-latency in 80% of chronic HBe-Ag

positive patients(6); some may even be cuffed(10). The accelerated seroconversion of HBe-Ag coincides with the improvement of clinical, biochemical and histological parameters(10). Based on the result of a study on the efficacy of interferon given to 18 patients suffering from clinically apparent cirrhosis of the liver related to chronic hepatitis B, Hoofnagle et al.(11) pointed out that it is quite reasonable to treat patients with cirrhosis of the liver due to chronic hepatitis B with alphainterferon. During treatment for the duration of average 12 weeks, HBe-Ag and hepatitis B-virus-DNA disappeared from blood in 12 patients. One to 14 months following cessation of treatment, hepatitis B-virus-DNA was encountered again in 6 of them. The other 6 patients in whom hepatitis B-virus-DNA was no longer found, remission was achieved in all of them. During a follow-up period of 4.2 years, no signs of cirrhosis were encountered(11). At present, there are no uniformly effective drugs against infection with HCV, an RNA-virus. Clinical drug trials have shown that treatment using recombinant interferon-alpha for six months can normalize liver function in up to 46% of patients. However, the relapse rate following cessation of successful therapy is high (up to 51%)(12). Treatment with interferon-alpha has a favourable effect on serum liver enzyme activities and on the histologic abnormalities in approximately 50% of patients with chronic hepatitis C(13,14). There is correlation of the response to treatment and the decrease of the number of hepatitis C-RNA in serum(15). Alpha-interferon and beta-interferon, derived respectively from leukocyte and from fibroblast, are produced in the body of the host as natural response to viral infection. They have a very broad spectrum of anti-viral activity(16). Gamma-interferon is produced by T-lymphocyte following antigen specific and non-specific activation and is a lymphokine or cytokine with immunomodulating capacity(17). Anti-viral chemotherapy must have the capacity to stop replication of virus, termed the virustatic action, in infected cells without bringing about the development of radical alteration in the normal metabolism of cell. A virologic aspect that deserves attention is that available drugs are in general effective against viruses which are replicating and not effective against viruses which are not replicating in the cell of the host, the latter being encountered in latent herpes virus infection(16). An initial episode of herpes genitalis is a good indication for anti-microbial treatment with aciclovir(16) . Aciclovir has a selective virustatic action. This action is based on the inhibition of the viral DNA-polymerase which is essential for the replication of the viral DNA. The herpes simplex virus type 1 (HSV-1) and the herpes simplex virus type 2 (HSV-2) are sensitive and the varicella zoster virus (VZV) is moderately sensitive to aciclovir in vitro(10). There is some activity of aciclovir against the EBV(16). The cytomegalovirus (CMV) is insensitive to aciclovir(10,16). Aciclovir is not effective against latent herpes virus infection(10,16) and has only a marginal therapeutic effect on recurrent herpes infection of the skin and mucoid membrane, provided it is employed in the early phase of the disease(10). The most striking

characteristic of herpes viruses is that they persist in the body of the host following infection(10) . Aciclovir shortens the duration of viral shedding, the time for the achievement of cure, the duration of symptoms, and inhibits the development of new lesions during treatment of patients suffering from herpes genitalis(16). Treatment using aciclovir doesn't have influence on the rate of development and the severity of herpes genitalis relapses. Foscarnet (phosphonoformate) inhibits the DNA-polymerase of herpes virus(18). It is mainly used in immunocompromised patients with resistent HSV and VZV infections to aciclovir and with resistent CMV infection to ganciclovir(16). An synergistic anti-CMV-effect in vitro of ganciclovir and foscarnet has been reported(19,20). Casuistic reports and observations revealed encouraging results of treatment with the above combination(21,22). A2) The enhancement of the early kill of microbial pathogen through the advent of immuno-modulators. The "early kill" of microbial pathogens through the use of adequate anti-microbial chemotherapy can be augmented by the use of immuno-modulators, such as cimetidine, isoprinosine and levamisole. The advent of cimetidine concomitantly during the early phase of anti-TB chemotherapy accelerate the incidence of sputum negativity(23). Immuno-modulators enhance the microbicidal activity of the macrophage. When given in the absence of anti-microbial chemotherapy, immuno-modulators may delay the progression of immune status from the K-type to the KK-type (SADIS). It is intriguing to speculate that immuno-modulators have the capacity of an immuno-biological response modifier. They likely have the capacity to modify immune status from the prevailing one to a previous one from which it has progressed or regressed. Immuno-modulator as a therapeutic adjunct in the administration of anti-microbial chemotherapy has to be given during the early phase of chemotherapy or even preceding the commencement of chemotherapy. When given following cessation of a successful anti-microbial chemotherapy, immunomodulator may have a deleterious effect on the outcome of chemotherapy; it may accelerate the development of relapse following cessation of successful chemotherapy. It can be expected that the concomitant use of immunomodulator and specific anti-microbial chemotherapy in patients suffering from diseases that can produce the Tb-type of SADIS in their chronic stage (K-type immune status), may accelerate the regression of immune status from the K-type to the L-type. This implies that in patients with gastric ulceration due toHelicobacter pylori infection, healing of ulcer will be accelerated. The use of immuno-modulator in patients with chronic hepatitis can be expected to delay the progression of chronic hepatitis to the development of malignancy. A3) The stabilization of cure through the advent of immunotherapy. Inoculation of BCG for the purpose of immunotherapy following cessation of a successful anti-tuberculosis chemotherapy in patients with chronic tuberculosis, gives rise to further regression of immune status from the K-type to the L-type, resulting in the generation of better protective immunity for

better stabilization of the cure achieved at end of chemotherape(24). Inoculation of BCG as immunotherapy has to be carried out following cessation of a successful anti-TB chemotherapy. When given preceding the commencement of chemotherapy, inoculation of BCG may have a deleterious effect on the prevailing immune status as was evidenced by the development of a downgrading reaction in the immune spectrum of tuberculosis, resulting in a further deterioration of protective immunity(25). When given during the implement of anti-TB chemotherapy, BCG will be killed by the anti-microbial activity of the anti-TB drugs. The result of specific immunotherapy with BCG for the enhancement of protective immunity achieved at end of a successful anti-TB chemotherapy, opens new prospects for the investigation whether inoculation of BCG as non-specific immunotherapy can enhance protective immunity achieved at end of a successful anti-microbial chemotherapy in patients with chronic disease due to for instance theHelicobacterpylori or the hepatitis B virus infection. B1) The institution of the "early kill" of microbial pathogen through the mechanism of regression of the KK-type immune status. The existence of an optimally functioning immune defense system is a conditio sine qua non for the proper functioning of anti-microbial activity of anti-tuberculosis drugs. Progression of the K-type immune status which has chronic TB as disease expression to the KK-type immune status which has primary localized malignancy as disease manifestation, is characterized by the existence of a defective immune defense system especially related to cell mediated immunity. Anti-TB chemotherapy is no longer effective when employed to tuberculosis patients during the advanced stage of the disease that have primary malignancy as disease expression. (unpublished data). It is like doing shadow boxing; much energy is spent without ever hitting the opponent. Based on its localized character, clinical management of primary malignancy as disease manifestation of the TB-type of SADIS, whatsoever is the causative pathogen, should aim at the achievement of rapid complete remission of the lesion, i.e. through the implement of surgical resection of the malignancy as far as it is still operable, curable and resectable. The principal advantage of surgery over radiotherapy or cytotoxic chemotherapy lies in the absence of the development of seccundary malignancy. Lymphocyte predominance is a characteristic of the Tb-type of SADIS. Clinical management of primary malignancy as disease expression of the TB-type of SADIS, no matter what the causative organism may be, should aim at the achievement of a complete remission of the malignancy through normalization of the prevailing lymphocyte predominance by way of the advent of immuno-suppressive medication especially when the disease is no longer resectable or operable. Immuno-suppression through the advent of radiotherapy and/or the use of cytotoxic chemotherapy are eligible tools for the normalization of the lymphocyte predominance. Radiotherapy remains a localized form of treatment for what

is usually a disease that tends to disseminate. Its principal advantage over surgery is the preservation of structure and function of treated organs(26). It is unlikely that a malignancy with a mass greater than 5 cm in diameter can be sterilized by radiotherapy(27). Radiation induces profound lymphopenia in lymphoid organs and in the general circulation as well. In addition, it suppresses most immuno-competent cell function(28). X-ray irradiation has a toxic effect on proliferating and intermitotic cells as well and has the effect of cycle-nonspecific drugs in addition. The great majority of immunologically competent lymphocytes are in the intermitotic phase of the proliferaring cycle. Consequently, radiotherapy may reduce the number of blood or tissue lymphocytes and may cause a generalized depletion of immunologically competent cells(28). Cytotoxic chemotherapy is not selectively toxic for competent lymphocytes but is potentially capable of killing any cell that has the capacity to replicate(28). Based on their capacity to kill cells in different phases of the mitotic cycle, cytotoxic drugs can act as phase-nonspecific drugs, cycle-specific drugs and cyclenonspecific drugs. As cycle-nonspecific drugs, cytotoxic drugs are equally toxic to both proliferating and intermitotic cells(28). Consequently, reduction of the number of lymphocytes or even lymphocyte depletion may be the outcome of therapy as a great deal of the immuno-competent lymphocytes are in an intermitotic phase of the proliferating cycle. In general, cytotoxic chemotherapy and radiotherapy are given separately and in sequence(29) . Corticosteroids are important adjuncts to the advent of immuno-suppressive therapy using cytotoxic chemotherapy and/or radiotherapy. The production of cytotoxic T-lymphocytes from the non-cytotoxic precursor cells is diminished by corticosteroids in vitro and in vivo as wellm. Corticosteroids appear to stop the T-helper cells from secreting T-cell growth factor by an indirect effect. They actively preclude macrophages from secreting interleukin-1 which is known to interact with the T-helper cells that subsequently elaborate T-cell growth factor(30). Consequently, based on their effect on cell mediated immunity, corticosteroids reduce the number of lymphocytes. The effect of corticosteroids on humoral immunity is less profound. Chronic administration of the drug decreases IgG synthesis, while shortcourse treatment doesn't dampen primary or secondary antibody responses(30). The achievement of complete response to radiotherapy and/or cytotoxic chemotherapy as is based on the acievement of complete remission of the disease is a good prognostic sign. Achievement of complete remission of pathologic lesion following surgical resection or following immuno-suppressive medication through the advent of radiotherapy and/or cytotoxic chemotherapy means the achievement of cure which implies the achievement of immune status inherent in healthy naturally infected individuals or in healthy BCG-vaccinated individuals in the immune spectrum of tuberculosis. B2) The enhancement of the early kill of microbial pathogen through the use of anti-microbial chemotherapy.

The institution of specific anti-microbial chemotherapy when available following the achievement of complete remission of malignancy through the advent of surgery, cytotoxic chemotherapy and/or radiotherapy, is essential for the stabilization of cure, the mechanism of which is based on the eradication of the remaining causative microbial pathogens. Beside its killing effect on the remaining causative microbial pathogens, anti-microbial chemotherapy has the added advantage of being able to bring about a further shift of the position of immune status in the immune spectrum of the disease from that of healthy subjects following natural infection to that of subjects following vaccination. B3) Stabilization of the cure following complete remission of malignant lesion through the advent of immuno-therapy. When specific anti-microbial chemotherapy is not available or when the causative pathogen is not known, inoculation of BCG as immuno-therapy is the eligible alternative measure for the stabilization of cure. Immuno-therapy through the advent of BCG is aimed at bringing about further shift of the immune status that has taken place from the KK-type to the K-type following complete remission of malignant lesions through the advent of surgery, radiotherapy or cytotoxic chemotherapy. In other words, immuno-therapy with BCG following complete remission of malignant lesions through the advent of surgery, radiotherapy and/or cytotoxic chemotherapy, may bring about a further shift of the position of immune status in the immune spectrum of the disease from that of healthy individuals following natural infection to that of healthy individuals following vaccination. In cancer therapy, immuno-therapy is usually employed after chemotherapy and radiotherapy. Non-specific systemic immuno-stimulation can be carried out using agents such as BCG, with the aim of general stimulation of immunologic responsiveness. Bacillus Calmette Guerin (BCG) is a viable attenuated strain of M. bovis obtained by progressive reduction of virulence via culture medium enriched with beef bile). It is a whole bacillus vaccine. Bacillus Calmette Guerin acts mainly by stimulating the reticulo-endothelial system, i.e. the activation of T-cell and lymphokine production and the activation of macrophage. It also stimulates natural killer cells which can kill different malignant cells non-specifically and without previous sensitization(31). It is possible that macrophages activated by BCG are more active killer cells and are more efficient in cleaning antigens or antigenantibody complexes, or are capable of inducing active participation of other cells of the immune system in the fight against proliferating tumor cells(31). Bacillus Calmette Guerin appears to enhance the production of stem cells, as was measured by hematopoietic colony formation. In addition, some investigators have made the suggestion that BCG cross-reacts immunologically with hepatoma, melanoma and leukemic cells. Immunotherapy with BCG is employed as adjuvant treatment following cytoreductive treatment of measurable cancer in order to destroy micrometastasis and the residual tumor cells(31).

II. THE CLINICAL MANAGEMENT OF DISEASES THAT MAY PRODUCE THE LK-TYPE OF SADIS. (FIG. 4). Fig. 4. The clinical management of diseases that may bring about development of Lk-type SADIS Purpose: Back to basic which means back to L-type immune status Prevailing Immune Status L-type

K-type

• Early kill of microbial pathogen thru specific antimicrobial chemotherapy

• Early kill of microbial pathogen thru specific antimicrobial chemotherapy • Augmentation of early kill of microbial pathogen thru immunomodulator • Stabilization of cure thru immunotherapy with BCG.

KK-type (Lk-type SADIS) • Early kill of microbial . pathogen thru: • chemotherapy • radiotherapy • Stabilization of cure thru specific antimicrobial chemotherapy (when available) • Stabilization of cure thru immunotherapy with BCG.

Like in patients with the Tb-type of SADIS, there is Tlymphocyte predominance in patients with the Lk-type of SADIS. There is also predominance of the cellular immune system when compared to the humoral immune system (fig. 2). Based on the characteristics of the immunologic fingerprint and its resemblance to the Tb-type of SADIS, the principles of clinical management of diseases that may produce the Lk-type of SADIS are the following: A) The clinical management of diseases that emerge as disease manifestation of the acute (L-type) and chronic (K-type) immune status. 1) The institution of the "early kill" of causative microbial pathogens through the advent of specific anti-microbial chemotherapy when disease expresion is of the L-type or the K-type immune status. 2) The augmentation of the "early kill" of causative microbial pathogens through the advent of immuno-modulators during the early phase of anti-microbial chemotherapy when disease expression is of the K-type immune status at start of chemotherapy. 3) The institution of immuno-therapy following cessation of a successful anti-microbial chemotherapy for the stabilization of the cure when disease expression is of the K-type immune status at start of chemotherapy. B) The clinical management of diseases that emerge as disease expression of the KK-type immune status (Lk-type of SADIS). 1) The institution of the "early kill" of causative microbial pathogens through the advent of: 1.1. cytotoxic chemotherapy 1.2. radiotherapy for the regression of immune status from the KK-type to the Ktype or even further to the L-type immune status. 2) The enhancement of the "early kill" of causative microbial pathogens through the use of specific anti-microbial chemo-

therapy for the stabilization of the cure following achievement of complete remission of the disease. 3) The inoculation of BCG as immuno-therapy for the stabilization of the cure following achievement of complete remission of the disease when specific anti-microbial chemotherapy is not (yet) available. A. The clinical management of diseases that emerge as disease manifestation of the acute (L-type) and the chronic (K-type) immune status (fig. 4). Achievement of cure following EBV-infection occurs spontaneously in general in the course of 4–6 weeks. In some of the patients symptomsa may persist during months or years; these patients are considered as suffering from chronic persistent EBV-infection. Most striking is the presence of antibodies against EBV-early antigen (EBV-EA) ofteen in high titers(32). There is hitherto still no effective drug available for the "early kill" of EBV during the acute and the chronic stage of the disease. According to Lange and Van der Noordam, aciclovir has some activity against EBV. Of the herpes viruses, the herpes simplex virus type 1 (HSV1) and the herpes simplex virus type 2 (HSV-2) are sensitive to concentrations of aciclovir; the Epstein Barr virus and the cytomegalovirus (CMV) are not sensitive to aciclovir. The VaricellaZoster-virus (VZV) is moderately sensitive to aciclovir(11). Aciclovir is a selective virustaticum. The drug is active following conversion into aciclovir-triphosphate which takes place in the cell that is infected with the virus. Aciclovir is much easier bound to viral thymidine-kinase than to thymidine-kinase of the host. The action of aciclovir-triphosphate is based on inhibition of the viral DNA-polymerase which is essential for the viral DNA replication. It is important to note that aciclovir is not effective in latent viral infection(10). No effective drugs are hitherto available for the "early kill" of HTLV-I and HTLV-H during the acute and chronic stage of the disease. In a small group of Japanese patients suffering from HTLV-I infection in the chronic stage of the disease (tropical spastic paraparesis), improvement has been observed following treatment with corticosteroids(32). In other group of patients, this favourable response of treatment was not confirmed(3,4). The result of analysis on the significance of the mobility of the spectrum of the pattern of tuberculin reaction in the immune spectrum of tuberculosis related to the use of immuno-modulator(23), opens new prospects for the investigation whether immunomodulators given to subjects with chronic disease caused by EBV, HTLV-I or HTLV-II can accelerate the achievement of spontaneous cure or delay the progression of the immune status of chronic disease (K-type) to the Lk-type of SADIS. On the basis of the result of the advent of immuno-therapy with BCG in tuberculosis patients following the achievement of successful result of chemotherapy(24), it is intriguing to speculate that immuno-therapy with BCG given to subjects with chronic disease caused by EBV, HTLV-I or HTLV-H following the achievement of successful result of chemotherapy using effective drugs that hopefully will be made available, may stabilize the achievement of cure.

B. The clinical management of diseases that emerge as disease expression of the KK-type immune status (Lk-type of SADIS) (fig. 4). Unlike in patients with the Tb-type of SADIS, in patients with the Lk-type of SADIS, primary malignancy as disease manifestation of SADIS is located in tissues of various organs of the host and tends to have a disseminated rather than a localized character. Surgical resection of the disease is in general not indicated as an effort to achieve complete remission of the lesion. In patients with the adult T-cell leukemia as disease expression of the Lk-type of SADIS due to HTLV-I, the result of treatment with cytostatica is in general bad; remission is not observed or only of short duration (quoted from: S. Daenan; Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1984, 128, 957-960). Aggressive treatment is considered necessary, but the "classical" combination regimens have very little influence on the survival. Usually there is only a response of short duration. Deoxycoformycine (DCF) has been given to a petient with the adult T-cell leukemia with good result. Complete remission was observed. Other cytostatics for further eradication of the abnormal Tcell (a combination of high dosage corticosteroids, cytarabine, vincristine, doxorubicine and cyclophosphamide) were administered following the achievement of complete remission in an effort to "consolidate: this effect. A bone marrow aplasia developed following the use of the above combination treatment. There was no development of relapse during a follow-up period of 12 months and the patient remained in good health without specific treatment (quoted from: S. Daenen, Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1984, 128, 957-960). Treatment with interferon can be considered on the basis of the probable viral genesis(35). Deoxycoformycine (DCF) inhibits specifically the adenosinedeaminase which leads to cumulation of deoxyadenosine and deoxyadenosine triphosphate that are toxic for the cell. A peculiar effect of the drug is that only lymphocytes, in particular T-lymphocytes, are sensitive to DCF (quoted from: S. Daenan: Nederl. Tijdschr. v. Heneesk. 1984. 128, 957-960). Patients suffering from the hairy cell leukemia with splenomegaly and pancytopenia should be treated by splenectomy. Chemotherapy should be reserved for those patients that fail to respond to splenectomy or that exhibit development of relapse after a transient response to splenectomy(36). The non-Hodgkin's lymphomas are a heterogenous group of malignancies which primarily involve lymphoid tissues. Radiotherapy and/or chemotherapy are useful tools of management in patients with NHL. A suitable lymph node, which emerges as a single palpable lymph node, should be identified and the whole node removed at operation with the minimum of trauma(37). In cases with single site involvement of bowel, i.e. at the ileocaecal junction or the stomach, resection with bowel anastomosis is indicated(37). Histopathologic diagnosis is of essential importance for the choice of treatment and the prognosis of patients with NHL. New diagnostic and therapeutic developments in the last decades have shown that more patients with NHL can be cured(38). Beside histopathologic examination, immuno-pheno

typifying has also to be done in order to know whether the NHL is of the B- or the T-cell origine(39). Patients in stage I or II are treated with radiotherapy on the affected lymph node station or on the affected lymph node stations (the socalled involved field radiation therapy(39,40). The disease-free 5-10 year survival is 60% and 50% respectively(41). This latter group of patients are likely cured(39). The involved field radiotherapy is hitherto the only curative treatment modality in patients with low grade non-Hodgkin's lymphoma in stage I or II(39). Young age-group (< 40-60 year) and/or small tumor mass are thereby the most important favourable prognostic factors. More extensive radiotherapy, i.e. on more lymph node stations, or combination therapy with chemotherapy, has not led to an obvious improvement of the chance for the achievement of cure(39). In patients with stage III and IV NHL, the follicular lymphoma is very sensitive to chemotherapy(39,40). In 50-60% of patients, complete remission is achieved and in 10-30% a good partial remission is achieved with cytostatics like chlorambucil, cyclophosphamide, or a combination therapy with cyclophosphamide, vincristine and prednison (CVP). The advantage of the combination treatment is that remission is achieved earlier in the course of treatmentm. The median duration of remission is 2-3 years and afterwards treatment of relapse cases with the socalled second line chemotherapy leads to remission of 2–3 years duration in 60-70% of the patients(42). The mean duration of survival in patients with low grade NHL in stage III or IV is 7 years. Although the results of some investigations reveal a higher remission-percentage and prolongation of disease-free interval, the total survival duration with more intensive chemotherapy does not appear to be prolonged(43). Of much influence on the prognosis is whether or not histologic transformation to a higher degree of malignancy has taken place. In the course of the disease this transformation occurs in 30–40% of the patients. The prognosis hereafter is bad. Despite aggressive chemotherapy, the median duration of survival is only 1 year(39). Long term treatment with interferon-alpha appears to lead to remission in 40% of patients with follicular lymphoma@3> At the moment examinations are done in several clinical investigations to know whether addition of interferon-alpha to conventional chemotherapy leads to improvement of the result of treatment(39). Chemotherapy is given to almost every patient suffering from NHL located in the pancreas. Complete remission during a minimal follow-up period of 18 months was observed in 50% of patients under treatment with chemotherapy as was reported by de Jong et al.(44). Treatment of NHL of intermediate and high grade malignancy consists primarily of combination chemotherapy. In some treatment schedule, radiotherapy is added as consolidation treatment, but its additive value has still to be confirmed in an at random investigation(45,46). Patients with localized intermediate grade lymphoma may be put under treatment with radiotherapy alone, but apart from the large cell lymphomas, the risk of relapse is high(37).

Patients with stage II–IV large cell lymphoma are at present treated intensively with combination chemotherapy. Complete remission rate as high as 80% or more have been reported and as many as 40% of patients are cured(37). Patients with stage I (10–20% of all patients with an intermediate or high grade NHL) can for the greater part (80–90%) be cured with a limited number of CHOP-courses (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison) followed by involved field radiotherapy(45,46). In stage II–N, a remission percentage of 40–60% is observed with the standard treatment CJOP. With this treatment, 30% of all patients may be cured(47). Hodgkin's disease (HD) is a multifocal disease(48). The disease begins in a single lymph node followed by dissemination to adjacent lymph nodes and then to other organs in a fairly consistent pattern(49). There are the lymphocyte predominance and the lymphocyte depletion type in HD. Lymphocyte predominance type is observed in younger patients, is usually limited in extent and has an excellent prognosis. Most investigators feel that the lymphocyte-infiltrate found in HD lesion represents the cellular immune response against the tumor and correlates with a more favourable prognosis. Lymphocyte depletion type is at the opposite end of the spectrum, usually presenting with wide-spread disease and constitutional symptoms and having a poor prognosis(50). Depletion of lymphocyte is comparatively rare in HD(51,52). Progression from lymphocyte predominance to lymphocyte depletion is associated with worse prognosis(53). The prognosis of patients suffering from HD is markedly better than that of patients suffering from NHL as was based on survival chances(54). There is no standard treatment in patients with HD(55). Radiotherapy is used in patients with HD; chemotherapy is at least a component of treatment for advanced disease(52). Since the advent of radiotherapy and chemotherapy for treatment of patients suffering from HD, the prognosis is impressively improved; 70% of the patients under treatment may even make recovery(51). Both chemotherapy and radiotherapy eradicate the disease under certain circumstances. At present time, the best approach to treatment is to use either radiotherapy or combination chemotherapy alone in the appropriate stage(48). Radiotherapy and chemotherapy are also recommended for treatment of HD(56). For most patients with early HD (stages I-IIA), radiotherapy to a mantle field remains the treatment of choice. Approximately 70% of patients will be cured using radiotherapy alone. Patients in whom relapse develops are put under treatment with chemotherapy(52). It is unlikely that a tumor with a mass greater than five centimeter in diameter can be sterilized and the dose of radiation would have to be very high(57). Patients with bulky mediastinal lymph node enlargement are usually treated with chemotherapy initially as are patients with advanced HD, many older patients and those with B symptoms or unfavourable histology(52). Approximately 30% of patients have B symptoms as defined by the Ann Arbor staging classification. B-symptoms include night sweat, unexplained weight loss of more than 10% in 6 months

before diagnosis and fever of more than 38°C with no obvious infection(52). Patients with advanced HD (stages IIB-IVB) should be put under treatment with chemotherapy. Evidence reported by a number of clinical trials now suggests, that adriamycin containing combinations should have a role in the primary treatment of advanced HD. Adriamycin, bleomycin, vinblastine and dacarbazine (ABVD) have been used alone or in combination with MOPP (mustine, vincristine, procarbazine, prednisolon) by a number of centers, and existing data suggest that this may be associated with improved cure rates(52). On account of the prolonged survival in patients that have been put under treatment, late adverse reaction due chemotherapy may emerge, especially the development of neoplasia, in particular the hematologic malignancies(51). Since the application of the megavolt apparatus and later the polychemotherapy it is possible to obtain spectacular response percentages, resulting in 80–90% disease-free interval in the early stages(58,59) and 60–70% in the advanced stages of the disease(60). A child with HD should be treated primarily with chemotherapy(61). Radiotherapy in children has important disadvantages. Radiotherapy in the period of growth and development appears to be able to bring about growth disturbances of the tissue under treatment which results in misformation. Besides, secondary tumor may develop following radiotherapy. In a study on the efficacy of cytostatic therapy alone without additional radiotherapy in children with HD of all stages, Behrendt(61) has given to children with small (less than 4 cm) lymph node tumors cytostatic therapy according to MOPP scheme. Children with initially big (more than 4 cm) lymph node tumors have been given the same cytostatic therapy plus involved field radiotherapy as complementary therapy. The result of the study revealed that of the 16 children treated with chemotherapy alone, survival was 100% during follow-up periods ranging from 27 to 123 months (median 74 months). Recurrence-free survival in this group of children amounted to 87.5%. The survival of the 14 children given additional radiotherapy amounted to 93% during follow-up periods ranging from 26 to 92 months (median 58 months). Recurrence-free survival in this group of children amounted to 85%. Behrendt(61) made the conclusion that a child with HD should be treated primarily with chemotherapy. The achievement of complete remission of disease manifestations of the Lk-type of SADIS means the achievement of cure and the regression of immune status from the KK-type to the K-type or even to the L-type, resulting in the augmentation of the microbicidal activity of the macrophage. Like in the Tb-type of SADIS, it can be expected that in the Lk-type of SADIS specific chemotherapy against the causative organism (when available) may be given following the achievement of complete remission of the disease with chemotherapy and/or radiotherapy in order to stabilize the cure. When specific chemotherapy against the causative organism is not available, inoculation of BCG as immuno-therapy may then be contemplated. Bacillus Calmette Guerin was first tried by Mathd and

coworkers in patients that suffer from acute lymphocytic leukemia. The attempt was based on the experimental observation that drugs were not able to kill all the tumor cells and that other means, such as immuno-therapy, were therefore considered necessary to kill the residual leukemic cells(31). Bacillus Calmette Guerin was found to be effective in leukemic mice if the number of residual malignant cells did not exceed 105 (31). The rationale behind the above finding must be based not on the direct killing effect of BCG but on the effect of BCG on the bactericidal effect of the macrophage. Patients receiving weekly doses of BCG by scarification for a total duration of 5 years following complete remission of acute lymphocytic leukemia through the advent of chemotherapy and radiotherapy (of the central nervous system) appear to have responded best since 7 of 20 (35%) are still in remission 19 years after initiation of treatment. In contrast, only 21 of 269 children (17.8%) receiving maintenance chemotherapy alone survive for more than five years(31). Immuno-therapy with intradermal BCG (approximately 106 viable bacilli) following radiotherapy in patients with lymphoma (stage IA and stage IIA) give rise to a lower incidence of relapses and longer duration of remission(31).

14.

15.

16. 17.

18. 19.

20.

REFERENCES 1.

2. 3. 4. 5. 6.

7.

8. 9. 10. 11.

12.

13.

Wibisono J. The duration of augmentation of protective immunity during anti-tuberculosis chemotherapy. Joint International Congress, 2nd Asian Pacific Society of Respirology, 5th Indonesian Association of Pulmonologists.1990, 233 (Abstract). Douglas Piper, Adrian Lee. Duodenal ulcer triple therapy for eradication of Helicobacter pylori. Medical Progr 1993; 20: 7–9. Marshal BJ et al. Prospective double blind trial of duodenal ulcer relapse after eradication of Campylobacter pylory. Lancet 1988; 2: 1437. Quoted from: Douglas Piper, Adrian Lee, Med Progr 1933; 20: 7–9. George LL et al. Cure of duodenal ulcer after eradication of Helicobacter pylori. Med J Austral 1990, 153, 145. Quoted from: Douglas Piper, Adrian Lee. Med Progr 1993; 20: 7–9. Rauws EAJ, Tytgat GNJ. Eradication of Helicobaeterpylori cures duodenal ulcer. Lancet 1990, 1: 1233. Quoted from: Douglas Piper, Adrian Lee. Med Progr 1993; 20: 7–9. Schalm SW, Heytink RA, Buuren HR van, Man RA de. Aciclovir enhances the antiviral effect of interferon in chronic hepatitis B. Lancet 1985; 1: 358–60. Quoted from: Schalm SW: Nederl Tijdschr v Geneesk 1987; 131: 1209–11. Thomas HC. Treatment of hepatitis B viral infection. In: Zuckerman AJ. Viral hepatitis and liver disease. Ndw York, Liss, 1988, 817–22. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J: Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992, 136: 958–64. Hoofnagle JH, Di Bisceglie AM. Antiviral agents and viral diseases of man. New York: Raven Press. 1990; 415–59. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J: Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Schalm SW. Antivirale therapie bij chronische hepatitis B; een wens of een werkelijkheid? Nederl Tijdschr v Geneesk, 1987; 131: 1209–11. Van der Veen J. Voorlopige plants bepaling van het nieuwe virustaticum aciclovir. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1986; 130: 246–9. Hoofnagle JH, Bisceglie AM di, Waggoner JG, Park Y. Interferon-alpha for patients with clinically apparent cirrhosis due to chronic hepatitis B. Gastro-enterology 1993; 104: 1116–21. Quoted from: Hart W. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1993; 137: 1736–7 (Referaat). Davis GL, Balart LA, Schiff ER et al. Treatment of chronic hepatitis C with recombinant interferon-alpha; a multicenter randomized controlled trial. N Engl J Med 1989; 321: 1501–6. Quoted from: Lim Che Kit et al. JAMA, 1993; 9: 7–9 (Editorial). Davis GL, Balart LA, Schiff ER et al. Treatment of chronic hepatitis C with recombinant interferon-alpha; a multicenter randomized controlled trial.

21.

22.

23. 24.

25.

26. 27. 28.

29. 30. 31.

32. 33.

N Engl J Med 1989; 321: 1501-6. Quoted from: Lange JMA en Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Di Bisceglie AM, Martin P, Kassiandes C et al. Recombinant interferonalpha therapy for chronic hepatitis C; a randomized, double-blind, placebocontrolled trial. N Engl J Med 1989; 321: 1506-10. Quoted from: Lange JMA en Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Shindo M, Di Bisceglie AM, Cheung Let al. Decrease in serum hepatitis V viral DNA during alpha-interferon therapy for chronic hepatitis C Ann Intern Med, 1991; 115: 700–4. Quoted from: Lange JMA en Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Lange JMA, Van der Noordaa J. Ontwikkeling en plants bepaling van antivirale middelen. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Nokta MA, Reichman RC, Pollard RB: Pathogenesis of viral infection. In: Galasso GJ, Whitley RJ, Merigan TC eds. Antiviral agents and diseases of man. New York: Raven Press, 1990; 49–85. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Oberg B: Antiviral effects of phosphonoformate. Pharmacol Ther 1983,19: 387–415. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Freitas VR, Fraser-Smith EB, Matthews TR. Increased efficacy of ganciclovir in combination with foscarnet against cytomegalovirus and herpes simplex type 2 in vitro and in vivo. Antiviral Res. 1989; 12: 205–12. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64, Manischewitz JF, Quinnan Jr GV, Lane HC, Wittek AE. Synergistic effect of ganciclovir and foscarnet on cytomegalovirus replication in vitro. Antimicrobial Agents Chemotherapy 1990; 34: 333–5. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Nelson MR, BarterG, Hawkins D, Gazzard BG. Simultaneous treatment of cytomegalovirus retinitis with ganciclovir and foscarnet. Lancet 1991; 338: 250. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Coker RJ, Tomlinson D, Hooner P, Migdal C, Harris JRW. Treatment of cytomegalovirus retinitis with ganciclovir and foscarnet. Lancet 1991; 338' 574–5. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 958–64. Lusiana. Pengaruh penggunaan immuno-modulator dan immuno-therapy terhadap keberhasilan pengobatan. Pam 1987; 1–2: 24–7. Lusiana Djunaedi, Adhinata K, Henny CK. How pattern of tuberculin reaction may elucidate the mechanism of action of immuno-therapy with BCG. Joint International Congress, 2nd Asian Pacific Soc of Respirologists, 5th Indonesian Association of Pulmonologists 1990; 234 (Abstract). Liunanda S, Handojo RA, Liunanda D. A down-grading reaction in the immune spectrum of tuberculosis observed following intradermal inoculation of BCG in healthy infected individuals. Joint International Congress, 2nd Asian Pacific Society of Respirologists, 5th Indonesian Association of Pulmonologists 1990, 154 (Abstract). Brada M, Robinson MH. Radiotherapy. Medicine Internat 1991; 4: 3834–41. Spiro SG. Lung Cancer, presentation and treatment. Medicine Internat 1991; 4: 3798–804. Webb DR, Winkelstein A. Immuno-suppression, Immuno-potentiation and anti-inflammatory drugs. In: Basic and Clinical Immunology, 4th Ed. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen Asian Edition. Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 272–92. Grattan (Ben) Mead. Principles of Medical Oncology. Medicine Internat 1991; 4: 3824–7. Strom TB. Clinical transplantation. In: Basic and Clinical Immunology, 4th Ed. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen Asian Ed. Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 189–97. Fudenberg HH, Wybran J. Experimental Immuno-therapy. In: Basic and Clinical Immunology, 4th Ed. Eds: Stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH, Wells JV. Maruzen Asian Ed. Lange Medical Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 718–34. Kulberg BJ, Van der Meer JWM, Bolk JH. Het zal wel een virus zijn Nederl Tijdschr v Geneesk, 1988; 132: 193–5. Osame M, Matsumoto M, Usuku K et al. Chronic progressive myelopathy associated with elevated antibodies to human T-lymphotropic virus type I and adult T-cell leukemia-like cells. Ann Neurol 1987; 21: 117–22. Quoted from: Portegies P, Goudsmit J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135:

1302-6. 34. Portegies P, Goudsmit J. Humaan T-cell lymphotroop virus type I (HTLV I) als oorzaak van progressive myelopathie. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 1302-6. 35. Nieweg HO, De Wolf J. Lymphoma malignum en virus. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1984; 128: 961-2. 36. Wells JV, Ries CA. Hematologic diseases. In: Basic and Clinical Immuno logy, 4th Eds. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen Asian Edition, Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 460-97. 37. Michael Whitehouse. Non-Hodgkin's lymphomas. Medicine Internat 1991; 4: 3878-81. 38. Tweet JG van den. De classificatie van de non-Hodgkin lymfomen; over wegingen bij de "working formulation". Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2327-30. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7. 39. Hagenbeek A, Mellink WAM. De behandeling van het non-Hodgkin lymfoom, anno 1991; is meer beter? Nederl Tijdschry Geneesk, 1991; 135: 2213-7. 40. Ossenkoppele GJ, Huygens PC, Langenhuysen MMAC. Stadidring van het non-Hodgkin lymfoom; resultaten bij 221 patienten. Nederl Tijdfschr v Geneesk, 1986; 130: 1016-9. 41. Laurence TS, Urba WJ, Steinberg SM et al. Retrospective analysis of stage I and II indolent lymphomas at the National Cancer Institute. Internal J Radiat Oncol Biol Phys 1988; 14: 417-24. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7. 42. Lister TA. The management of follicular lymphoma. Ann Oncol, 1991; 2: 131-5. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7. 43. Gilewski TA, Richards JM. Biologic response modifiers in non-Hodgkin's lymphomas. Semin Oncol 1990; 17: 74-8. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7. 44. de Jong RS, Damen RMPC, Westerveld BD, Nelis GF. Twee patienten met non-Hodgkin lymfoom gelokaliseerd in het pancreas. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 432-4. 45. Longo DL, Glatstein E, Duffey PL et al. Treatment of localized aggressive lymphomas with combination chemotherapy followed by involved field radiation therapy. J Clinic Oncol, 1989; 7: 1295-302. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7. 46. Jones SE, Miller TP, Connors JM. Long term follow-up and analysis for prognostic factors for patients with limited-stage diffuse large cell lym phoma treated with initial chemotherapy with or without adjuvant radio therapy. J Clinic Oncol 1989; 7: 1186-91. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.

47. Coltman CA, Dahlberg S, Jones SE et al. CHOP is curative in thirty percent of patients with large cell lymphoma; a twelve-year South-West Oncology Group follow-up. In: Skarin AT ed. Advances in cancer chemotherapy. New York: NY Park Row 1986; 71-7. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7. 48. Ultman JE, Vincent T, DeVito JR. Hodgkin's disease and other lymphomas. In: Harrison's Principles of Internal Medicine, 10th Eds. Eds: Petersdorf, Adams, Braunwald, Isselbacher, Martin, Wilson. Taipen: Mei YaPubl Inc. New York: Mc Graw-Hill Book Co, 1983; 751-65. 49. Govan ADT, Macfarlane PS, Callender R. Pathology illustrated (2). Edin burg, London, Melbourne, New York: Churchill Livingstone, 1981. 50. Wells JV, Ries CA. Hematologic diseases. In: Basic and clinical Immuno logy, 4th eds. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen Asian Ed. Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 460-97. 51. Coleman NC, Williams CJ, Flint A et al. Hematologic neoplasia in patients treated for Hodgkin's disease. N Engl J Med 1977; 297: 1249-52. Quoted from: Soesan M. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1987; 131: 1140-1. 52. Mead G (Ben). Hodgkin's disease. Medicine Int 1991; 4: 3875-7. 53. Dorreen MS. Hodgkin's disease. Medicine Int 1987; 2: 1667-70. 54. van den Tweel JG. De classificatie van de non-Hodgkin lymfomen; over wegingen bij de working formulation. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2327-30. 55. Mauch P, Larson D, Osteen R et al. Prognostic factors for positive surgical staging in patients with Hodgkin's disease. J Clin Oncol, 1990; 8: 257-65. Quoted from: Noordijk, Kluin-Nekemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2423-25. 56. Hancock SL, Cox RS, McDougall IR. Thyroid disease after treatment of Hodgkin's disease. N Engl J Med 1991; 225: 599-605. Quoted from: Gittay EJ, Schuurman B. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2400 (Referaat). 57. Spiro SG. Lung cancer; presentation and treatment. Medicine Int 1991; 4: 3798-804. 58. Carde P, Burgers JMV, Henry-Amar M et al. Clinical stages I and II Hodgkin's disease; a specifically tailored therapy according to prognostic factors.. Clin Oncol 1988; 6: 239-52. Quoted from: Noordijk, Kluin Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2423-25. 59. Rosenberg SA, Kaplan HS. The evolution and summary results of the Stanford randomized clinical trials of the management of Hodgkin's disease 1962-1984. Intemat J Radiat Oncol Biol Phys, 1985; 11: 5-23. Quoted from: Noordijk, Kluin-Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2423-5. 60. Longo DL, Young RC, Wesley M et al. Twenty years of MOPP therapy for Hodgkin's disease. J Clin Oncol, 1986; 4: 1285-306. Quoted from: Noordijk, Kluin-Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2423-5. 61. Behrendt H. De ziekte van Hodgkin bij kinderen; behandeling, resultaten met of zonderradiotherapie. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1986; 130: 865-8.

Kegiatan Ilmiah August 16–18, 1994 – 7th ASEAN Congress of Plastic and Reconstructive Surgery Bangkok Information : Congress Secretariat, Dept of Plastic Surgery, Siriraj Hospital, Bangkok 10700, Thailand.

Staple Food – Based Oral Rehydration Solutions Sukwan Handall*, Hao Llying*, Martha Kombong**, Ata Nalun*** * District Health Office, PO Box 108, Wamena 99501 ** Irian Jaya Training, World Vision International, Wamena *** Regional Health Laboratory, Jayapura

INTRODUCTION Diarrhea is still one of the major killers of children under five in the Central Highlands of Irian Jaya. One of the causes of this high mortality is related to the delay of the treatment for the dehydrated children. To overcome this problem, Sugar Salt Solution (SSS) and even WHO-UNICEF Oral Rehydration Salt Solution (ORS) have been used for home-based treatment for early diarrhea with or without dehydration. Unfortunately, these solutions do not shorten the duration of diarrhea and/or decrease stool's volume and do not encourage parents to rely on these solutions only(1-6). Rice-based oral rehydration solution was developed in some countries and the benefits of this solution have been proven by several studies(1-6). Unfortunately, rice is a luxurious thing and not always available for the people in the Central Highlands of Irian Jaya where sweet potato, banana, sago and corn are their staple foods. Developing staple food-based oral rehydration solutions in. the Central Highland will benefit the community.

MATERIALS AND METHODS Preparation of the materials Sweet potato (Ipoema batatas) and banana (Musa domestica) were peeled, then sliced very thin and dried under the sun for 4 hours. The dried slices of sweet potato, banana and corn were pounded with a simple wood mortar. The powder produced was dried again under the sun for 4 hours. The powder yielded from sweet potato, corn and banana were 19.2%, 20,8% and 18.2%, respectively. Fifty grams of each powder boiled and stirred with distilled water for about 20 minutes [added until 1 liter of solution] and cooled in the air. Then all the samples were centrifuged, using

Heuich EBA 3S in 1000 rpm for 5 minutes. The supernatants were taken and two samples were prepared from each kind of powder. Measurement of Sodium, Potassium and Glucose 1) Sodium and Potassium (Flame photometer method) A standard solution (140 mmol/l of Sodium and 5 mmol/lof Potassium) was prepared (4 ml distilled water and 200 µl standard solution). Two samples of 200µl materials each were added into 4 ml distilled water. As the concentration of sodium was low, the solution was not diluted further. But, for potassium measurement, dilution of 2 times was made. The concentrations of sodium and potassium were examined by a 400 flame photometer [Corning Medical, England], with Acetylene gas pressure 1 kg/cm2. 2) Glucose (GOD-PAP method [Boehringer Manheim]) A standard solution was made (100 µl standard solution and 23 ml Reagent Glucose). Two samples of 10µl materials each added to 2.5 ml Reagent Glucose. All the materials were warmed at 37°C for 15 minutes in Waterbath model YB-131 (American Scientific Products). All materials absorbences were examined on Spectronic 21, (Bausch & Lomb) with filter 610 nm. RESULTS The concentrations of sodium, potassium and glucose in each sample were quite similar, except of the concentration of glucose in sweet potato (yellow). Banana has the highest sodium in the solution, and the potassium was not much different. Corn has the lowest sodium and potassium concentration. Compared with the WHO-UNICEF Oral Rehydration Salt solution, all the staple food-based Oral Rehydration Solutions are hyponatremic, hypokalemic, and hyperglycemic (except yellow sweet potato, which is a hypoglycemic solution). Unfortunately,

the osmolarity of the solution were not examined so comparisons could not be made with the WHO-UNICEF ORS (Table 1). Table 1.

Concentrations of Sodium, Potassium and Glucose

Staple Food Sweet potato, white Sweet potato, yellow Corn Banana WHO-UNICEF Oral Rehydration Sa1ts(7,8) Rice Fluor Solution(3)

Sodium (Mmol/l)

Potassium (Mmol/l)

Glucose (mg %)

15.6 – 23.7 28.0 – 37.3 9.3 37.3 – 46.6

9.8 – 11.6 8.7 3.7 7.5

174 – 175 47 – 49 112 –113 168 –171

90

20

111

1.4

2.0

DISCUSSION The sodium content of the solutions examined in this study did not differ very much from the concentration of sodium in Sugar-Salt Solution and was in the safety range of oral rehydration therapy used for home-treatment(2). Compared with a study of Rice Flour Solution(3), the sodium content in banana, corn and sweet potato solutions are higher. It means that the risk of hyponatremia with sweet potato, corn or banana solutions will be less than that of Rice-based Oral Rehydration Solution and the risk of hypernatremia is lower than WHO-ORS(8). The glucose content in corn is acceptable according the glucose content of home-made Sugar-Salt Solution and WHOUNICEF ORS(2,7,8). The other solutions have higher glucose content and this might be related to an increase of osmolarity(6). Unfortunately, osmolarity of these solutions were not examined. Although glucose (monosaccharides and dissacharides) increased the osmolarity, starch in its polymeric form was found in the solution which decreased the osmolarity(6), so the osmolarity might not be so high in these solutions. The high content of glucose in the solutions (except yellow sweet potato and corn) does not discourage the use of these solutions as the maximum glucose that can be absorbed in acute diarrhoea is around 2%. If the concentration was over 2%, it may cause osmotic diarrhoea(2). Besides those materials, the solutions could have some amount of protein, dipeptides, neutral amino acids or hydrolysed proteins which help to couple and to enhance the absorption of natrium and then, osmotically, water flow in the same direction(1). All of the contents found in the study of these solutions made

these staple food-based oral rehydration solutions suitable to be used as home-treatment of diarrhoea with or without dehydration. Although preparing powders from the staple food are timeconsuming, the benefit of preparing the powder does not only lie in using the powder as a home-based oral rehydration solution, but also can be used as the weaning food for babies in the Central Highland of Irian Jaya. A further study is needed to assess the impact of these staple food-based oral rehydration solutions use in the treatment of dehydration among children under five in the highlands of Irian Jaya. CONCLUSION The staple food (sweet potato, corn and banana)-based oral rehydration solutions have quite similar contents of minerals and glucose as in Sugar-Salt Solution, Rice-based Oral Rehydration Solution and WHO-UNICEF ORS. ACKNOWLEDGEMENT We thank Dr. Yenni, Head of Health Laboratory Department in Jayapura for the permission to use the laboratory, Ms. Andy Hajrah and Ms. Kamla for assisting on the measurement Sodium, Potassium and Glucose concentration. We also appreciate the help of Dr. B. Sandjaja MS(PH) and Dr. Budi Subianto MPH, Provincial Health Office for their suggestions and critics. We also thank Sue Trenier RN for English language corrections.

REFERENCES 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Mahalanabis D. Development of an improved formulation of oral rehydration salts with antidiarrhoeal and nutritional properties: a "Super ORS". Geneva: CDD/DDM/85.3, 1985. Anonymous. Oral rehydration therapy for treatment of diarrhoea in the home. Geneva: WHO/CDD/SER/86.9, 1986. Mota-Hemandez F, Bross-Soriano D, Perez-Ricardez ML. Velasquez-Jones L. Rice Solution and World Health Organization Solution by gastric infusion for high stool output diarrhea. AJDC 1991; 145: 937-40. Gore SM, Fontaine 0, Pierce NF. Impact of rice based oral rehydration solution on stool output and duration of diarrhoea: meta-analysis of 13 clinical trials. BMJ 1992; 304: 287–91. Anonymous. Solving the weanling's dilemma: power-flour to fuel the gruel? Lancet 1991; 338: 605–5. Anonymous. Cereal-based oral rehydration solutions-bridging the gap between fluid and food. Lancet 1992; 339: 219–20. ME Avery et al. Oral Therapy for Acute Diarrhea: the underused simple solution. NEJM 1990; 323(13): 891–3. Gracey M. Oral therapy for acute diarrhoea. Med 'Austral 1984; 140: 348-9.

Nothing is more exhausting than searching for easy ways to make a living

Sindrom Hemolitik Uremia - laporan kasus Dr M. Nuchsan Umar Lubis DSA Belgian Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur

PENDAHULUAN Sindrom Hemolitik Uremia (SHU) adalah penyakit akut dengan ditandai gejala anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopeni dan gagal ginjal akut(1). Timbul pada semua usia, tetapi lazimnya pada usia anak-anak, khususnya pada usia prasekolah(2). Sindrom ini di negara barat merupakan penyebab utama kegagalan ginjal akut pada bayi dan anak(3).

ringan demam, lesu, muntah, diare. Gejala yang paling menonjol dan hampir selalu terjadi adalah gastroenteritis(6). 2) Fase akut Gejala penderita bertambah berat dengan adanya(3) : a. Oliguri, hipertensi, edema, hematuri. b. Anemia hemolitik. c. Trombositopeni.

TINJAUAN PUSTAKA Secara epidemiologik terdapat 3 tipe SHU yang secara klinis berbeda meskipun secara patologi mempunyai karakteristik yang same(4). 1) Purpura Thrombotik Thrombositopenik Dapat mengenai segala umur, terutama wanita 10–50 tahun, dan jarang terjadi. Tanda karakteristik yang menonjol: demam, trombositopeni, gangguan neurologik, gagal ginjal akut dan anemia hemolitik mikroangiopatik. 2) Sindrom Hemolitik Uremia pada anak (SHU anak) Di negara maju, SHU anak merupakan penyebab terbanyak (40% dari Gagal Ginjal Akut internal pada usia 0–4 tahun. Sedang serangan dapat bersifat endemik maupun non endemik. 3) Sindrom Hemolitik Uremia pada orang dewasa (SITU dewasa) SHU dewasa merupakan tipe SHU yang tidak banyak dijumpai, biasanya tidak bersifat sporadik. Gambaran klinik mirip SHU anak.

PENATALAKSANAAN SHU Pemantauan berupa evaluasi gagal ginjal akut dan kelainan hematologi, serta elektrolit(4). 1) Terapi suportif terhadap anemia Penyebab anemia dalam hal ini hemolisis dan perdarahan, packed red cell (PRC) dapat diberikan bila Hb kurang dari 20% atau apabila ada gejala klinis akibat anemia, PRC diberikan perlahan-lahan 10 ml KgBB atau 6 X BB X Hb yang diinginkan. Transfusi trombosit jarang diperlukan karena dapat menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah ginjal. 2) Terapi terhadap infeksi Infeksi dapat terjadi mendahului SHU, clan penggunaan antibiotik harus tepat dan tidak nefrotoksik. 3) Terapi terhadap hipertensi Hipertensi terjadi terutama sebagai reaksi renin angiotesin sehingga obat hipertensi yang dipilih adalah golongan ACE inhibitor.

ETIOLOGI Diduga penyebab SHU adalah infeksi bakteri spesifik, misalnya infeksi demam tifoid dan shigella (terutama pada daerah endemi). Di samping itu dapat juga disebabkan virus, riketsia, imunologik; dan idiopatik(5). GAMBARAN KLINIS DAN LABORATORIUM 1) Fase prodromal Penderita tampak sehat dengan gizi baik. Umumnya gejala

LAPORAN KASUS A, perempuan 12 tahun, dirawat untuk pertama kali di bagian Anak RSU Langsa pada tanggal 25 April 1993 dengan keluhan utama pucat; 3 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita menderita demam tinggi dan lemas, 2 hari kemudian muntahmuntah, pusing, buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan, tidak ada riwayat perdarahan sebelumnya dan tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti pasien ini. Riwayat kehamilan ibu, persalinan ibu dan perkembangan pasien kesan normal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan seorang anak perempuan dengan kesadaran kompos mentis, pucat, tidak sesak, tidak

sianosis, tidak ikterus, Berat badan 25 kg, tinggi badan 135 cm, suhu 37°C. Frekuensi napas 22/menit teratur, frekuensi nadi = frekuensi jantung 120/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, jantung dan paru tidak ada kelainan. Perut teraba lemas, tidak nyeri tekan, hati dan limpa tidak teraba; ekstremitas tidak ada kelainan. Pemeriksaan laboratorium: Hb 6,2 gr/dl, leukosit 8.660/ul, trombosit 86000/ul, golongan darah A, eritrosit 2,52 juta/ul, dan hitung jenis: eosinofil 0%, basofil 0%, neutrofil batang 2%, neutrofil segmen 64%, limfosit 32%, monosit 2%, sedangkan pemeriksaan urine menunjukkan adanya proteinuri (2+) eritrosit 15–20/Ipb dan leukosit 1–3/1pb pada sedimen. Diagnosis kerja saat itu: Anemia aplastik dan observasi hematuri. Terapi diberikan transfusi PRC 250 ml. Sehari kemudian didapati penderita demam tinggi 39,7°C, kelopak mata sedikit membengkak, warna urine air cucian daging. Tekanan darah 120/80 mmHg; pada jantung, paru dan abdomen tidak ada kelainan. Penderita ditangani sebagai glomerulonefritis akut, diberi pengobatan antibiotika dan diuretika serta diet rendah garam. Tangga1 30 April 1993 dilakukan pemeriksaan laboratorium selanjutnya : Hb 5,2 gr/dl, leukosit 7600/ul, trombosit 76000/ul, ureum 425 mg/dl, kreatinin 16,7 mg/dl, ASTO 200S1/ml. Urine : protein (+), eritrosit 20–35/1pb dan leukosit 4–5/Ipb dalam sedimen. Diagnosis kerja menjadi anemia hemolitik dan uremia, dengan kemungkinan Sindroma Uremik Hemolitik. Diberi pengobatan infus cairan D109b/NaCI 0,9% sebanyak 25 ml/kgbb dan PRC 10 ml/kgbb dengan pengawasan atas tanda-

tanda kemungkinan kelebihan cairan. Diet nefritis I 2000 kal, protein 20 g dan rendah garam. Furosemid 5 mg. Keadaan pasien agak membaik, selanjutnya pasien dirujuk kebagian Neprologi Anak Propinsi. ANALISIS KASUS Penderita diduga menderita anemia aplastik; setelah dilakukan penjajakan selanjutnya terjadi hemolisis darah; ini terlihat setelah ditransfusi terjadi penurunan Hb dan adanya tendensi terjadinya gagal ginjal dilihat dengan meningkatnya kadar ureum. Pada pemeriksaan urine tampak proteinuri, eritrosit, silinder granuler dan pada darah tepi menunjukkan perubahan morfologi dan trombositopeni. Penyakit SHU merupakan penyakit yang jarang yang membawa keterlambatan dalam diagnosis.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Setiaty Ga TE. Sindroma Hemolitik Uremia. Simposium Nasional Nefrologi Anak V, dan Simposium Nasional Gawat Danrat II, Medan 1992. Hall-1. Tune BM. Tice Heanolitic Uremic Syndrome. In: Lieberman. Clinical Pediatrics Nephrology. Toronto: J.B. Lippincott, 1976. p. 294-300. Royer P, Habib R, Mathieu H, Broyer M. Hemolytic Uremic Syndrome. In Royer. Pediatric Nephrology. Major problem in clinical pediatric, VoL XL Philadelphia-Toronto: W.B. Saunders, 1974. pp. 291-301. Setiaty Ga TE. Sindroma Hemolitik Uremia, Simposium National Nefrologi Anak dan Simposium National Gawat Darirat II, Medan 199Z Hall 5. Bahrum D, Bahar A, Enggar S. Sindrom Uremik HemolitiL Simposium Nasional Nefrologi Anak, Bandung 1986; Hal. 89-116. Gianantanio C. Hetnolitic Uremic Syndrome. In: Edelmann. Pediatric Kidney Disease; 1st ed., Vol. 2. Boston: Little Brown 1978. pp. 724-736.

Sindrom Guillain- Barre dan Typhus Abdominalis - laporan kasus A. Munandar Unit Neurologi, Rmmah Sakit Husada, Jakarta

ABSTRAK Sindrom Guillain-Barre sebagai bentuk kelumpuhan pada demam tifoid sangat jarang ditemukan. Penulis melaporkan satu kasus sindrom Guillain-Barre path penderita demam tifoid, menambah kasus serupa yang sebelumnya telah dilaporkan Chanmugam.

PENDAHULUAN Manifestasi kelumpuhan yang dapat terjadi pada demam tifoid mungkin berupa miopati, sindrom Guillain-Barre dan polineuropati(1). Bentuk sindrom Guillain-Barre sangat jarang ditemukan dan dalam kepustakaan pernah dilaporkan oleh Chanmugam(2). Kasus yang dilaporkan penulis berbeda dengan yang telah diuraikan itu dalam hal penanganannya. Kasus dikenal pertama sebagai sindrom Guillain-Barre dan mendapat penanganan sesuai dengan itu dan baru kemudian diketahui merupakan kasus tifoid, sedangkan kasus penulis sejak pertama diobati sebagai tifoid (mungkin karena pasien datang ke dokter penyakit dalam) dan setelah demamnya mereda baru dikonsulkan ke unit neurologi. Namun kedua-duanya ialah sindrom Guillan-Barre yang timbul pada infeksi Salmonella. URAIAN KASUS Seorang anak laki-laki Indonesia berumur 14 tahun pada saat masuk perawatan telah menderita demam di rumah selama empat hari. Bersamaan dengan demamnya ia merasa kesemutan pada kedua betisnya dan kemudian kedua tungkainya menjadi lemah. Kelemahan itu bertambah hari bertambah parah sehingga ia tidak mampu berjalan sendiri. Ia kemudian masuk perawatan di rumah sakit. Hasil pemeriksaan laboratorium ialah : Hb 13,6 g%; leukosit 7300/mm3; hitung jenis menunjukkan eosinofil 0, batang 5, segmen 84, limfosit 11; tes aglutinasi S typhi O 1/80 dan H 1/160 positif; biakan darah juga S typhi positif; urine tidak ada

kelainan. Ia mendapat pengobatan dengankloramfenikol 4 x 500 mg dan pada hari perawatan ke enam ia menjadi afebril. Pada hari perawatan kelima ia dikonsulkan ke unit neurologi. Pada pemeriksaan neurologi ditemukan tetraparesis flaksid dengan tenaga 3, refleks tendo dan refleks patologi negatif. Gangguan sensorik tidak ditemukan. Pemeriksaan EMG memperlihatkan penurunan kecepatan hantar saraf, penurunan gelombang F dan hilangnya refleks H. Cairan serebrospinal : jumlah se157/mm', segmen 21 dan limfosit 79; protein 479 mg/ 100 ml, gula 57 mg/100 ml; tidak ditemukan bakteri. Atas dasar penemuan itu ditegakkan diagnosis sindrom Guillain-Barre. Pengobatan dengan kloramfenikol 4 x 500 mg diteruskan sampai 10 hari dan kemudian dilanjutkan dengan kloramfenikol 4 x 250 mg. Untuk sindrom Guillain-Barre ia mendapat terapi penunjang dan fisioterapi. DISKUSI Sindrom Guillain-Barre biasanya didahului infeksi virus di saluran nafas, saluran cerna, (mungkin juga AIDS), vaksinasi, tindakan bedah atau menjadi penyulit pada proses keganasan. Mungkin juga terjadi pada difteri dalam minggu ke 5-8, atau kadang-kadang pads penderita uremi yang kehabisan gizi(3,4). Dalam kepustakaan baru satu kali dilaporkan sindrom ini pada demam tifoid(2). Awitan sindrom ini biasanya akut atau subakut dengan keluhan kesemutan, baal dan nyeri otot, disusul kelemahan otot

yang mulai, sedikit banyak secara simetri, di tungkai dan kemudian dapat menjalar ke proksimal ke lengan dan saraf otak. Suhu tubuh biasanya normal. Salah satu ciri utama lain ialah kelemahan otot yang mencolok dan tidak ada atau hanya sedikit gangguan sensorik. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal(3). Penyakit ini secara alami pulih. Pada terapi yang penting ialah kesiapan untuk bantuan pernafasan. Baik pada kasus Chanmugam maupun kasus penulis ditemukan demam tinggi pada penderita, yang biasanya tidak ditemukan pada sindrom Guillain-Barre(3,4). Demam itu baru hilang setelah penderita mendapat pengobatan terhadap demam tifoidnya sungguhpun padakasus Chanmugam dari segi susunan saraf sudah terjadi kemajuan secara lambat clan tetap. Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit menular kedua terbesar setelah gastroenteritis(1). Oleh karena itu sindrom Guillain-Barre sebagai bentuk kelumpuhan pada demam tifoid mungkin lebih sering dijumpai asalkan diwaspadai. Pengenalan sindrom ini sebagai penyulit demam tifoid perlu disadari karena berpotensi fatal akibat kegagalan pernafasan; sehingga tidak boleh dianggap sebagai suatu polineuropati. Polineuropati biasa-

nya melibatkan komponen motorik, sensorik dan vegetatif. Sebaliknya mengenali sindrom Guillain-Barre tanpa mengetahui kemungkinan kaitannya dengan demam tifoid mungkin juga berakibat fatal karena infeksi Salmonella tidak diatasi. KESIMPULAN Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih merttpakan penyakit menular yang besar. Sungguhpun sindrom Guillain-Barre umumnya pulih dengan baik namun mungkin terjadi kegagalan pernafasan yang dapat menimbulkan akhir yang fatal. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

Dody Ranuhardy, Djoko Widodo. Manifestasi kelumpuhan pads Demam Tifoid, Medika, 7, 18, 1992; 18(7): 57-59. Chanmugam D, Waniganetti A. Guillain-Barre Syndrome associated with Typhoid Fever. BMJ 1969; 1: 95-6. Adams RD, Victor M. Principles of Neurology, 4th ed. New York: McGrawHill, 1989: 1035-40. Pryse-Philips W, Murray TJ. Essential Neurology, 2nd ed. 1984 : 591-3.

Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27 positif - laporan kasus Suhardjo, Wasisdi Gunawan Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta

PENDAHULUAN Uveitis anterior merupakan radang iris dan badan siliar bagian depan atau pars plikata. Berdasarkan reaksi radang, uveitis anterior dibedakan tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat eksogen dan endogen. Untuk selanjutnya, yang banyak dibicarakan adalah uveitis anterior endogen. Penyebab uveitis anterior meliputi: infeksi, proses autoimun, yang berhubungan dengan penyakit sistemik, neoplastik, dan idiopatik(1). Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik(2). Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindromaReiter, artritis psoriatika,penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple(1). Keterkaitan antara uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi genetik HLA-B27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al(3). Angka prevalensi uveitis anterior sekitar 0,19%; namun angka tersebut meningkat menjadi 1% pada kelompok.populasi HLA-B27 positif(4). Uveitis anterior merupakan salah satu radang di dalam bola mata yang paling sering dijumpai, dengan insidensi pertahun bervariasiantara 8,2–12 setiap 100.000 penduduk(5,6). Uveitis anterior akuta pada HLA-B27 positif lebih sering terjadi pada orang Kaukasia dibandingkan orang Jepang. Umur penderita biasanya bervariasi antara usia prepubertal –50 tahun(5). Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotoDisajikon pads Konas III Peratnu ni, di Bandung, 22–26 Juni 1993

fobia, lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab. Uveitis anterior yang disebabkan oleh reaksi anafilaksis terhadap protein lensa akan didominir oleh adanya sel-sel besar di bilik mata depan; sedang jika disebabkan oleh sindroma Reiter justru didominir oleh eksudat fibrin dan sel-sel kecil atau lazim disebut radang non granulomatosa. Dalam menentukan penyebab uveitis anterior, sering dijumpai banyak kendala di Indonesia. Pemeriksaan cairan hasil parasentesis dari bilik mata depan merupakan pemeriksaan yang lazinrdikerjakan untuk menegakkan diagnosis, namun hal tersebut masih sulit diterima para pasien mengingat risiko tindakan juga tidakringan. Di samping itu, beberapa teknik pemeriksaan laboratorium terutama yang menyangkut pemeriksaan imunologik masih relatif mahal. Teknik pemeriksaan histokompatibilitas HLA-B27 relatif langka dan tidak terjangkau pada pasien uveitis anterior umumnya. Pemeriksaan HLA-B27 pada uveitis anterior dapat untuk menentukan diagnosis dan prognosis penyakit(7). Di Indonesia belum pernah dilaporkan mengenai gambaran klinis uveitisanterior pada pasien dengan HLA-B27 positif. Kasus demikian mungkin saja banyak dijumpai, namun sehubungan dengan beberapa keterbatasan dalam pemeriksaan HLA-B27 sehingga tidak pemah ditelaah di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk melaporkan kasus uveitis anterior akuta dengan gejala sangat spesifik yang disertai adanya spondilitis ankilosing. Diharapkan tulisan ini dapat menambah wawasan dalam penanganan uveitis anterior, serta agar dapat difahami tentang pentingnya pemeriksaan HLA-B27.

LAPORAN KASUS Seorang wanita Ny. M umur 34 tahun, alamat: Jetis, Pedan, Klaten, Jawa Tengah; pada tanggal 7-11-1992 masuk RSUP Dr Sardjito dengann keluhan mata kanan sakit, penglihatan sangat kabur, mata merah, dan berair. Keluhan tersebut diderita sejak 7 hari sebelumnya, dan sudah berobat ke RSU Tegalyoso namun tidak ada perbaikan. Berdasarkan basil pemeriksaan didapatkan: visits matakanan 1/300, palpebra bleparospasmus berat, injeksi siliar pada konjungtiva, kornea udem, bilik mata depan flare 4+, set 3+, eksudat fibrin hampir menutup pupil, hipopion setinggi 2 mm, lensa dan belakang lensa tidak dapat dinilai. Mata kiri visus 6/6, dan tidak dijumpai kelainan. Riwayat keluarga: ayah pasien menderita sakit sendi tulang belakang. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin didapatkan: angka leukosit 14.400, Hb 13,6 g%, laju endap darah 74 mm, persentase jenis leukosit batang 1%, segmen 90%, dan limfosit 9%. Kadar glukosa darah puasa 75 mg%. Kadar enzim fosfatase alkali 66 lU/ml, dalam batas normal. Hasil pemeriksaan imunologik: faktor reumatoid negatif, CRP 1/40, ASO 200 lU/ml (+), VDRL negatif, IgG Tokso 600 lU/ml, IgM Tokso-ISAGA negatif, HLA-B27 positif. Uji PPD pada kulit negatif. Hasil pemeriksaan foto Ro: artritis sakroiliaka dan coxae. Hasil konsultasi antar unit didapatkan: status reumatologis didapatkan spondilitis ankilosa, status THT didapatkan etmoiditis, status ortopaedis didapatkan skoliosis torakolumbal yang balanced, status dermato-venerologis ada persangkaan servisitis Gonore, status gigi dan mulut didapatkan gigi L 6 gangren. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium penunjang, dan pemeriksaan konsultasi antar unit, dibuat diagnosis: mata Icarian uveitis anterior akuta pada HLAB27 positif, spondilitis ankilosa, etmoiditis, gigi L 6 gangren, dan persangkaan servisitis gonore. Dilakukan terapi non spesifik pada mata yang meliputi: steroid topikal tiap jam, sulfas atropin tetes 1%, injeksi steroid sub-tenon anterior 0,8 ml deksametason/hari selama 5 hari, injeksi deksametason 2 ml intra muskuler/hari dap pagi selama 5 had. Untuk etmoiditis, diberikan amoksilin 3x500 mg selama 5 hari. Tiamfenikol 3 g/hari selama 2 hari diberikan untuk menanggulangi persangkaan servisitids gonore. Untuk spondilitis ankilosa perlu diberikan senyawa anti radang non steroid, serta dilakukan fisioterapi. Gigi L 6 gangren yang diduga sebagai fokal infeksi dilakukan ekstraksi. Pemeriksaan setelah 7 hari mendapatkan: visus mata kanan 6/60, segmen depan dijumpai reaksi radang ringan, kornea tidak udem, bilik mata depanflare 2+, sel 1+, beberapa eksudat fibrin, hipopion tidak ada, pupil luas dengan tepi kurang rata akibat adanya sinekia posterior, terdapat beberapa sisa fibrin dan pigmen iris di permukaan depan lensa. Segmen belakang tidak dijumpai kelainan. Dosis terapi steroid diturunkan secara bertahap sampai dosis rumat, sedang pemberian steroid topikal masih tetap. Setelah perawatan 14 hari diperoleh hasil: visus mata kanan 6/6, segmen depan tenang, bilik mata depan flare 0, se10, pupil luas, ada beberapa pigmen iris menempel pada kapsul lensa, sisa

serabut fibrin di tepi iris, lensa jemih, segmen belakang tidak dijumpai kelainan. Pasien diperbolehkan pulang, dan bisa dilakukan rawat jalan. Hasil pemeriksaan terakhir tanggai 4-2-1993 didapatkan status oftalmologis: tidak dijumpai adanya tanda-tanda uveitis anterior. Penderita masih sering mengeluh adanya nyeri punggung bawah yang hilang timbul. Status reumatologis: spondilitis ankilosa; karena penderita tidak tahan terhadap efek samping obat anti radang non steroid per oral, disarankan pemberian secara topikal. Penderita tetap dianjurkan fisioterapi, guna menghindarkan gejala sisa yang timbul akibat spondilitis ankilosa. DISKUSI Reaksi radang yang didominir oleh eksudat fibrin, reaksi seluler yang kurang menonjol, adanya hipopion, dan proses radang bersifat mendadak menunjukkan suatu radang non granulomatosa. Reaksi radang yang berat pada kasus ini ditunjukkan dengan rasa sakit yang memaksa pasien harus dirawat, di samping visus yang turun sampai tingkat kebutaan. Menurut Rao et al (1992) gambaran Minis uveitis anterior pada HLA-B27 bersifat akut, berat, sering kambung, dwipihak tetapi biasanya tidak bersamaan(1). Kekambuhan biasanya terjadi walaupun penyembuhan uveitis anterior telah menyeluruh. Lama serangan uveitis anterior jarang melebihi 6 minggu(8). Uveitis anterior akuta yang disertai spondilitis ankilosa sering mirip dengan sindrom Reiter, karena secara imunologik sama-sama memikiki HLA-B27 positif dan faktor Rheuma yang negatif. Pada sindrom Reiter dikenal tiga jelala utama: uretritis, poll artritis, dan konjungtivitis. Gejala pada mata ini dapat diikuti adanya uveitis anterior, walaupun sangat jarang(1,5). Pada kasus ini tidak dijumpai adanya: konjungtivitis, artritis sendi lutut, sendi mata kaki dan tendo Achilles. Pada sindrom Reiter dapat ditemukan bakteri spesies Chlamydia, Mycoplasma dan spesies Salmonella baik dalam discharge uretra maupun cairan sendi yang mengalami peradangan. Pada kasus ini terdapat persangkaan servisitis Gonore yang ditandai dengan adanya discharge mukopurulen serta bakteri Gram negatif. Keberadaan infeksi bakteri Gram negatif pada saluran genitourinarius dapat dianggao sebagai pencetus terjadinya uveitis anterior akuta maupun spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi genetik HLAB27(9). Menurut Rothova et al(10) uveitis anterior pada HLA-B27 positif mempunyai karakteristik: umur rerata yang terkena 34,9 tahun, lama serangan 6,1 minggu, interval kekambuhan 100,6 minggu, dan visus turun rerata 3,2 baris Snellen. Bila dibandingkan dengan kelompok uveitis anterior dengan HLA-B27 negatif: umur rerata 43,2 tahun, lama serangan 4,4 minggu, interval kekambuhan 58,3 minggu, visus turun rerata 2,1 bans Snellen. Keberadaan eksudat fibrin di bilik mata depan, hal itu merupakan tanda karakteristik pada uveitis anterior dengan HLA-B27 positif. Pengamatan terhadap 73 penderita uveitis anterior dengan HLA-B27 positif ternyata 56% menjumpai adanya fibrin di bilik mata depan; namun sebaliknya hanya 10% path kelompok uveitis anterior dengan HLA-B27 negatif(10). Disimpulkan bahwa

prognosis dan penyulit yang terjadi pada kelompok HLA-B27 positif ternyata lebih serius(10). Pada kasus ini juga dijumpai adanya hipopion; keberadaan hipopion menunjukkan bahwa reaksi radang sangat berat dan bersifat hiperakut(5). Penyebab uveitis anterior pada kasus ini menyangkut beberapa hal, antara lain: tingginya titer anti streptolisin 0, adanya infeksi bakteri Gram negatif pada saluran genitourinarius, adanya etmoiditis, dan terjadinya gangren pada gigi L 6. Woods (1956) melaporkan bahwa keberadaan bakteri streptokokus, gonokokus, pneumokokus, pseudomonas, dan bakteri koliform dalam suatu fokus infeksi akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas dengan sasaran jaringan uvea anterior. Namun teori tersebut sudah mulai ditinggalkan, semenjak ditemukannya faktor predisposisi genetik HLA-B27. Infeksi dianggap sebagai pencetus, khususnya infeksi Gram (–) pada saluran gastro intestinal(11). Antigen bakteri dan HLA-B27 pada membran sel akan menimbulkan reaksi sitotoksis sel T, dan mengakibatkan respons imunologik yang tidak lazim(12). Pada kasus ini mungkin yang berperan sebagai pencetus adalah infeksi bakteri Gram (–) pada saluran genitourinarius. Beberapa penyulit yang sering timbul pada uveitis anterior dengan HLA-B27 positif antara lain: sinekia posterior, katarak, glaukoma sekunder, edema makula kistoid, kebutaan, dan beberapa kasus perlu intervensi pembedahan(10). Kelompok HLAB27 negatif ternyata mempunyai penyulit jauh lebih ringan. Pada kasus ini walaupun terjadi sinekia posterior, tetapi dapat dihilangkan; sedang penyulit yang lain tidak dijumpai. Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mencegah sinekia posterior, mengurangi kekambuhan, mencegah kerusakan vasa darah iris, mencegah terjadinya penyulit yang mampu menurunkan visus secara permanen termasuk di sini katarak komplikata dan edema makula kistoid(5,8). Pada kasus ini reaksi radang sangat berat, terapi pilihan yang tepat adalah steroid dosis tinggi baik topikal, peri okuler, maupun sistemik. Perjalanan klinis uveitis anterior akuta terutama yang menyangkut visus tergantung berat ringannya serangan, jumlah angka kekambuhan, dan responsibilitas terhadap terapi steroid(7). Pada kasus ini keberhasilan terapicukup menggembirakan, mengingat penderita datang dalam kondisi buta dan pulang dengan visus normal. Pemberian anti radang non steroid pada uveitis anterior agak mengecewakan hasilnya, walaupun mampu sedikit mengurangi beratnya reaksi radang(5): Mungkin secara analogis dapat mengurangi penyulit edema mākula kistoid, berhubung preparat tersebut mampu mencegah edema makula kistoid pasca bedah katarak(1). Keterkaitan uveitis anterior dengan penyakit sistemik meliputi spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, artritis psoriatika, penyakitCrohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Uveitis anterior akuta merupakan pengejawantahan ekstraartikuler yang paling serius pada spondilitis ankilosa. Uveitis anterior akuta terjadi pada 20–30% pasien spondilitis ankilosa(3). Pasien uveitis anterior akuta dengan HLA-B27 positif harus dikonsulkan ke rheumatologist untuk mengetahui ada tidaknya spondilitis ankilosa; hal ini mengingat diagnosis awal spondilitis ankilosa sangat penting. Serangan awal spondilitis ankilosa umumnya sudah terjadi 10 tahun sebelum diagnosis ditegakkan(4). Walaupun

penyebab spondilitis ankilosa tidak diketahui, namun predisposisi genetik HLA-B27 dan faktor lingkungan dihipotesiskan ikut berperanan(4). Menurut Rothova et al (1987), pada pasienpasien spondilitis ankilosa yang disertai serangan akut uveitis anterior dijumpai kenaikan kadar IgA dan IgA circulatory immune complex serum yang berhubungan dengan adanya infeksi bakteri Gram (–) di usus(9). Dalam hal ini antigen bakteri yang menembus mukosa usus dianggap sebagai faktor pencetus pada orang dengan predisposisi genetik HLA-B27. Terjadinya deposisi kompleks imun pada uvea anterior dalam waktu tertentu dapat menimbulkan reaksi radang. Pada kasus ini ternyata sudah terjadi deformitas berupa skolibsis, dan diperlukan fisioterapi guna mencegah terjadinya penyulit lebih lanjut. KESIMPULAN Pada setiap kasus uveitis anterior non granulomatosa perlu diperiksa keberadaan HLA-B27, serta kemungkinan infeksi bakteri Gram () pada saluran gastro intestinal maupun genitourinarius. Pada uveitis anterior yang disertai hipopion dan fibrin harus dicurigai adanya predisposisi genetik HLAB27. Kasus demikian perlu dikonsulkan untuk dicari kemungkinan adanya penyakit sistemik yang berkaitan khususnya spondilitis ankilosa, dan sindrom Reiter. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola gambaran klinis penderita uveitis anterior pada HLA-B27 positif di Indonesia, mengingat adanya perbedaan etnik maupun lingkungan geografik dibandingkan di negara-negara Barat.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14.

Rao NA, Forger DJ, Augsburger H. The Uvea, Uveitis and Intra ocular Neoplasms. London: Gower Med. Publ, 1992. Baohua F. Endogenous uveitis of the Cantonese. Proc 9th Congres APAO, Hongkong, 1983. Brewerton DA, Caffrey M, Nicholls A. Acute anterior uveitis and HLAB27, Lancet 1973; 2: 41-5. Linssen A, Deller-Says AJ, Dandrieu MR. The HLA-B27 Associated Syndrome, Excerpta Medics 1982; 134: 85-8. Smith RE, Nozik RA. Uveitis, A Clinical Approach to Diagnosis and Management. London: Williams & Wilkins, 1983. Vadot E, Barth E, Billet P. Epidemiology of Uveitis, Preliminary results of prospective study in Savoy. Amsterdam: Elsevier Science Publ, 1984. Feltkamp TEW. H:LA-B27, acute anterior uveitis and ankylosing spondilitis, In: Ziff M, Cohan SB (eds.): Advances in Inflammation Research, Vol. 9, New York: Raven Press, 1985. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach 2nd ed. London: Butterworth-Heinemann, 1989. Rothova A, Luyendijk L, Linssen A, Kijlstra A. IgA serum levels and circulating immune complexes containing IgA in different uveitis entities. In: Fregona I, Secchi AG (eds): Proc 4th International Symposium on the Immunology and Immunopathology of the Eye. Padua, 1987. Rothova A, Veenendaal WB, Linssen A. Clinical features of Acute Anterior Uveitis, Am J Ophthalmol 1987; 100: 375-9. Saari KM, Laitinen 0, Leirisals M. Ocular inflammation associated with Yersinia infection, Am J Ophthalmol 1980; 89: 84-8. Simonsen M, Olsson L. Possible roles of compound membrane receptors in the immune system, Ann Immunol 1983; 134: 85-9. Linssen A, Rothova A, Luyendijk L. Acute anterior uveitis in relation to Ankylosing Spondilitis and HLA-B27, An epidemiologic survey, 1987. Woods AC. Endogenous Uveitis. Baltimore: Williams & Wilkins, 1956.

Distribusi Geografis Pola Resistensi Salmonella terhadap Khloramfenikol dan Antibiotik Pilihan Lainnya di Daerah Jakarta dan Palembang Pudjarwoto Triatmodjo Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

RINGKASAN Untuk mengetāhui pola resistensi Salmonella di berbagai daerah terhadap antibiotik, telah dilakukan uji resistensi isolat Salmonella yang berasal dari pendefita gastroenteritis di Jakarta dan Salmonella dari penderita demam typhoid di Palembang terhadap 5 jenis antibiotik yaitu Khloramphenikol dengan potensi disk sebesaz 30 µg, Kanamisin 30 µg, Ampisilin 10 µg, Tetrasiklin 30µg dan Kotrimoxazol 25 µg. Uji resistensi ini dilakukan secara in-vitro dengan cara Disk Diffusion (Kirby-Bauer, 1966). Hasil pengujian menunjukkan, untuk daerah Jakarta tingkat resistensi Salmonella paling rendah terjadi pada antibiotik Kotrimoxazol sebesar 5,0% dan Kanamisin 12,5%. Terhadap 3 jenis antibiotik yang lain yaitu Khloramphenikol, Ampisilin dan Tetrasiklin tingkat resistensi Salmonella mencapai 20,0% ke atas. Ini berarti Kotrimoxazol dan Kanamisin adalah dua jenigantibiotik yang paling efektif untuk Salmonella khususnya di Jakarta. Untuk daerah Palembang umumnya ke lima jenis antibiotik yang diujikan di sini masih cukup efektif terhadap Salmonella. Namun di antara ke lima jenis antibiotik tersebut yang paling efektif adalah Kanamisin dan Ampisilin karena tingkat resistensi Salmonella terhadap kedua jenis antibiotik masih 0,0%. Sedangkan terhadap Kotrimoxazol, Khloramphenikol dan Tetrasiklin tingkat resistensinya antara 5,0% — 6,6%. Kejadian multiresisten dalam pengujian ini menunjukkan bahwa 5,0% isolat Salmonella di Jakarta bersifat multiresisten terhadap 5 jenis antibiotik yaitu terhadap Khloramphenikol, Tetrasiklin, Ampisilin, Kanamisin dan Kotrimoxazol. Di Palembang 5,0% isolat Salmonella bersifat multiresisten terhadap dua jenis antibiotik yaitu terhadap Khloramphenikol dan Kotrimoxazol,1,696 multiresisten terhadap Khloramphenikol dan Tetrasiklin. PENDAHULUAN Infeksi Salmonella dapat muncul sebagai gastroenteritis, typhus abdominalis dan septikemia(1). Pada gastroenteritis prevalensi Salmonella bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya dan lebih banyak disebabkan oleh infeksi Salmonella oranienburg, S. krefeld dan S. paratyphi B. Typhus abdominalis umumnya disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi, tapi dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi A, B dan C(3).

Resistensi S. typhi terhadap Khloramphenikol dilaporkan secara sporadik di beberapa daerah di Indonesia, tetapi persentasenya antara tahun 1975 sampai dengan tahun 1983 tidak meningkat, dengan derajat sensitivitas terhadap Khloramphenikol sebesar 97,8%, Sulfametaxazol-Trimetoprim 99,0%, meskipun terhadap Ampisilin sudah menunjukkan resistensi yang cukup tinggi(1). Gambaran meningkatnya resistensi suatu mikroba terhadap

antibiotik adalah sejalan dengan usia penggunaan antibiotik(4), peningkatan resistensi ini dipercepat akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam hal indikasi, dosis, dan lama terapi. Oleh karena itu test sensitivitas organisme yang mempunyai kecenderungan untuk resisten seperti halnya Salmonella sangatlah penting. Pola kuman dan sensitivitasnya dapat bervariasi pada waktu dan tempat yang berbeda sehingga perlu dilakukan surveilans resistensi secant berkala, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Hal ini dimaksudkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ialah untuk meningkatkan kualitas penulisan resep dokter, mempengaruhi kebijakan penggunaan antibiotik di Rumah Sakit, membantu pemerintah dan swasta untuk membuat kebijakan dalam suplai dan promosi antibiotik(4,5,6). Untuk menambah -informasi mengenai pola resistensi Salmonella secara geognlfrs terhadap beberapa jenis antibiotik pilihan, claim makalah ini disajilcan data basil penelitian uji resistensi isolat Salmonella yang berasal dari daerah Jakarta dan Palembang terhadap 5 jenis antibiotik pilihan untuk Salmonella yaitu Khloramphenikol, Tetrasiklin, Ampisilin, Kanamisin dan Kotrimaxazol (Sulfametaxazol-Trimetoprim). Uji resistensi ini dilakukan secara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966), sifatnya Walsh in-vitro. Cara ini tidak memberi keterangan tentang kadar that yang dibutuhkan in-vivo, tetapi memberikan petunjuk terhadap pemilihan obat secara tepat. BAHAN DAN CARA 1) Cara mendapatkan isolat Salmonella Isolat Salmonella yang akan diuji resistensinya terhadap antibiotik diperoleh dari basil isolasi sampel rectal swab yang berasal dari penderita gastroenteritis dan sampel darah vena (5 ml) dari penderita demam tifoid. Terhadap sampel-sampel tersebut dilaakukan identifikasi Salmonella dengan melalui 3 cara pemeriksaan yaitu plating media (penanaman sampel pada media perbenihan), test biokimia dan test serologi. Isolat Salmonella yang diperoleh dari penderita gastroenteritis (diare) merupakan isolat Salmonella yang berasal dari penderita gastroenteritis yang berobat ke beberapa rumah sakit di Jakarta. Isolat Salmonella dari penderita demam tifoid berasal dari sampel darah dari penderita demam tifoid yang berobat ke Rumah Sakit Pertamina Plaju, Palembang. 2) Uji resistensi Salmonella terhadap antibiotik Lima jenis antibiotik (Product BBL) yang diujikan secara disk diffusion dalam penelitian ini adalah khloramphenikol dengan potensi disk sebesar 30 µg, ampisilin 10µg, kanamisin 30 µg, tetrasiklin 30 µg dan kotrimoxazol 25 µg. Ketentuan mengenai resistensi dan sensitivitasnya didasarkan pads besarnya zona bebas bakteri di sekitar disk antibiotik dengan berpedoman pads National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS, 1976). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari daerah Jakarta telah dapat diperoleh 40 isolat Salmonella dan dari daerah Palembang diperoleh cukup banyak isolat,

tetapi hanya 60 isolat yang dilakukan uji resistensinya terhadap antibiotik. Distribusi spesies Salmonella untuk daerah Jakarta meliputi Salmonella typhi , S. paratyphi B dan C serta Salmonella Group D dan E. Untuk daerah Palembang ditemukan 2 spesies yaitu Salmonella typhi dan S. paratyphi A (Tabel 1). Tabel 1.

Distribusi species Salmonella pads penderita Gastroenteritis di Jakarta dan penderita Demam tifoid di Palembang tahun 1987–1989

Species Salmonella

Jakarta (n = 40)

Palembang (n = 60)

Jumlah

%

Jumlah

%

2 0 14 7 4 13

2,0 0,0 35,0 17,5 10,0 32,5

48 12 0 0 0 0

80,0 20,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Salmonella typhi Salmonella paratyphi A Salmonella paratyphi B Salmonella paratyphi C Salmonella Group D Salmonella Group B

Keterangan : n = Jumlah isolat Salmonella

Di Jakarta prevalensi S. typhi pada gastroenteritis dalam periode 10 tahun tidak banyak berubah. Tabun 1981/1982 ditemukan S. typhi sebesar 1,2%, sedangkan penelitian ini mendapatkan 2,0%(2). Pada gastroenteritis tidak ditemukan Salmonella paratyphi A, tetapi pada kasus-kasus demam tifoid prevalensi S. paratyphi A cukup menonjol (di Palembang) sedangkan S. paratyphi B dan C damn pemeriksaan ini prevalensinya sangat kecil sehingga tidak dilakulcan uji resistensi untuk isolat tersebut. Pola resi stensi Salmonella penyebab gastroenteritis di Jakarta dan penyebab demam tifoid di Palembang dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Dalam tabel 2 tampak bahwa dun jenis antibiotik yang masih cukup efektif untuk Salmonella penyebab gastro-enteritis di Jakarta adalah kanamisin dan kotrimoxazol karena Tabel 2.

Pola resistensi Salmonella penyebab Gastroenteritis di Jakarta terhadap 5 jenis antibiotik pada pengujian dengan Disk Diffusion Method, 1989 (n = 40). Antibiotik/Potensi

Khloramphenikol/30 µg Tetrasiklird30 µg Kanamisin/30 µg Ampisilin/10 µg Sulfametoxaavl-Trimetoprim/25 µg

Jumlah Isolat redden n

%

8 10 5 7 2

20,0 25,0 12,5 17,5 5,0

Tabel 3. Pola resistensi Salmonella penyebab Demam tifoid di Palembang terhadap 5 jenis antibiotik pads pengujian dengan Disk Diffusion Methods, 1989 (n = 60) Antibtotik/Potenal Khloramphenikoy30 µg Tetrariklird30 its Kanamisin/30 µg Ampisilin/10 µg Sulfametoxazol-Trimetoprim/25 µg

Jumlah isolat resisten n

96

4 3 0 0 3

6,6 5,0 0,0 0,0 5,0

tingkat resistensi Salmonella terhadap kedua jenis antibiotik tersebut masih cukup rendah yakni sebesar 12,5% dan 5,0%. Tiga jenis antibiotik yang lain yaitu ampisilin, khloramphenikol dan tetrasiklin efektivitasnya di bawah kanamisin dan kotrimoxazol. Di sini terlihat bahwa tingkat resistensi Salmonella terhadap. ampisilin sebesar 17,5%, khlorampheniko120,0% dan tetrasiklin 25,0%. Mengingat tingkat resistensi Salmonella terhadap khloramphenikol telah mencapai 20,0%, barangkali perlu dipertimbangkan kembali kedudukan khloramphenikol yang sampai saat ini merupakan antibiotik pilihan utama untuk kasus infeksi Salmonella. Bila dibandingkan dengan tahun 1983, terlihat penurunan sensitivitas Salmonella terhadap khloramphenikol; tahun 1983 sensitivitas Salmonella sebesar 97,8%, tetapi tahun 1989 sebesar 80,0%. Jadi telah terjadi penurunan sensitivitas sebesar 17,8% dalam kurun waktu sekitar 6 tahun. Berbeda dengan Jakarta, di Palembang antibiotik ampisilin dankanamisin efektivitasnya terhadap Salmonella paling tinggi dibandingkan dengan kotrimoxazol, tetrasildin dan khloramphenikol. Dalam uji resistensi ini derajat efektivitas kanamisin dan ampisilin terhadap Salmonella masih mencapai 100%, sedangkan kotrimoxazol sebesar 95% (Gambar 1). Umumnya efektivitas kotrimoxazol terhadap golongan enterobakteri patogen lebih baik daripada ampisilin seperti halnya di Jakarta dan daerah lain. Tetapi di Palembang terjadi hal yang sebaliknya, efektivitas ampisilin lebih tinggi daripada kotrimoxazol. Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan antibiotik kotrimoxazol lebih menonjol secara tidak terarah, se-

hingga mempercepat timbulnya resistensi(7). Kejadian multiresisten yang timbul pada isolat Salmonella untuk daerah Jakarta dan Palembang tertera pada tabel 4 (untuk daerah Jakarta) dan tabel 5 (untuk daerah Palembang). Dalam tabel 4 terlihat bahwa di Jakarta 5,0% isolat Salmonella dalam pengujian ini bersifat multiresisten terhadap 5 jenis antibiotik yaitu tetrasildin, ampisilin, kanamisin, khloramphenikol dan kotrimoxazol. Keadaan ini dapat merisaukan kalangan medis/ klinisi karena bila terjadi outbreak yang disebabkan oleh kuman tersebut maka tidak ada lagi obat pilihan yang mampu membunuh kuman secara sempurna sehingga penderita bisa terancam jiwanya. Kejadian multiresisten pada isolat Salmonella dari daerah Palembang (tabel 5) belum begitu complicated. Di sini terlihat bahwa 5,0% isolat Salmonella bersifat multiresisten terhadap dua jenis antibiotik yaitu terhadap khloramphenikol dan kotrimoxazol dan 3,3% multiresisten terhadap khloramphenikol dan tetrasiklin. Timbulnya resistensi kuman terhadap berbagai jenis antibiotika terjadi karena adanya superinfeksi akibat penggunaan Tabel 4.

Pola Resistensi Isolat Salmonella yang diperoleh dari penderita diare di Jakarta terhadap 5 jenis antibiotik dengan cara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966) (n = 40) Multi antlbiotik

Jumlah isolat resisten

96

C, Te, K, Am, SxT C,Te,K,Am C, Te, Am

2 1 4

5,0 2,5 10,0

Gambar 1. Diagram resistensi isolat Salmonella (dalam %) yang berasal dari Jakarta dan Palembang terhadap 5 jenis antibiotik tahun 1989

Tabel 5.

Pula Resistensi Isolat Salmonella yang berasal dari penderita demam tifold dl Palembang terhadap 5 jenis antibiotik dengan cara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966) (n = 60) Multi antlbiotlk C, SxT C, Te

Jumiah isolat resisten

96

3 1

5,0 1,6

Keterangan : C = Chloramphenieol Te = Tetracyclin X = Kanamrycin Am = Ampicillin SxT = Sulfametoxazol-Trimetoprim (Kotrimoxazol)

Salmonella typhi dan S. paratyphi A. Di Jakarta 2 jenis antibiotik yang paling efektif untuk Salmonella adalah kotrimoxazol (sulfametoxazol-trimetoprim) dan kanamisin, sedangkan di Palembang adalah ampisilin dan kanamisin. Multiresistensi isolat Salmonella di Jakarta lebih complicated daripada multiresistensi di Palembang. Di Jakarta multiresistensi isolat Salmonella mencapai 5 jenis antibiotik yaitu khloramphenikol, kanamisin, ampisilin, tetrasiklin dan kotrimoxazol, sedangkan di Palembang hanya dua jenis antibiotik yaitu terhadap khloramphenikol dan kotrimoxazol. KEPUSTAKAAN

(5)

antibiotik secara berlebihan . Mekanisme multiresistensi ini telah dapat diungkapkan oleh beberapa ahli pada tahun 1970(7) yang ternyata berlangsung secara genetik, di mana terdapat suatu segmen DNA bersifat mobil yang disebut R-Plasmid yang dapat berpindah dari plasmid yang satu ke plasmid yang lain atau dari plasmid ke khromosom. R-Plasmid sebagai faktor pembawa sifat resisten mengkode resistensi kuman terhadap antibiotika. Transfer R-Plasmid di dalam tubuh manusia terjadi karena hilangnya flora normal usus akibat penggunaan antibiotik secara berlebihan. Dalam hubungan ini apakah proporsi penggunaan antibiotik secara berlebihan di Jakarta lebih besar daripada di Palembang sehingga multiresistensi yang timbul di Jakarta menjadi lebih complicated merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. KESIMPULAN Distribusi spesies Salmonella untuk penyebab diare di Jakarta meliputi Salmonella typhi, S. paratyphi B dan C, S. Group D dan E. Untuk penyebab demam tifoid di Palembang ditemukan

1.

Anonimous. Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Test. National Committee for Clinical Laboratory Standards, 1976. 2. Simanjuntak CH. Aspek mikrobiologi penyakit diare (Review). Proc Patemuan British Penelitian Penyakit Dice di Indonesia. Badan Penelitian dan Pergembangan Kesehatan Dep Kes RI. Jakarta. 21–23 Oktober 1982. Hal: 199-208. 3. Haeruddin Pagam, Ch. Makaliwy. Demam Tifoid pads Antic di RSU Ujung Pandang. Medika (Jull)1986;12(7): 622-6. 4. Gan, R. Setiabudy. Antimikroba. Fannakologi dan Terapi, Edisi III. Penerbit: Bagian Farmakologi FKUI 1987. Hal: 514-526. 5. Sudannato P. Kebijakan pemakaian antibiotika dalam kaitannya dengan resistensi kuman. Mikrobiologi Klinik Indonesia 1986; I: 22-7. 6. Anonimous. Pilihan antimikroba pads berbagai infeksi. Infornatorium Obat Generik. Direktorat Jenderal POM, Dep Kes RI, 1989. 7. Muhario LH. Aspek genetik resistensi kuman. Kumpulan Makalah Simposium Perkembangan Antibiotika pads Penanggulangan Infeksi dan Resistensi Kuman. Jakarta, 6 September 1986. 8. WHO. CDD Program for Control Diarrhoeal Diseases. Manual for Laboratory Investigation of Acute Enteric Infection, 1987. 9. Suparnan dkk. Ilmu Penyakit. Dalam. Jilid I, Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1987. hal: 32-48. 10. Rianto Setiabudi. Pemilihan antibiotik secara rational. Maj Farmakol dan Terapi Indon 1988; 5(1): 29–36.

Kegiatan Ilmiah October 9–14, 1994 – 20th International Congress of the International Academy of Pathology & 11th World Congress of Academic and Environmental Pathology Hong Kong Information : Congress Coordinator, Department of Anatomical and Cellular Pathology, The Chinese University of Hong Kong, Room 38019, 1/F, Prince of Wales Hospital, Shatin, Hong Kong.

Informasi Obat Clamobit® KOMPOSISI : Setiap kaplet Clamobit® 500 mg mengandung : Amoksisilin trihidrat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 578 setara dengan Amoksisilin anhidrat . . . . . . . . . . . 500 Kalium klavulanat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 148,75 setara dengan Asam Klavulanat . . . . . . . . . . . . . . 125

Clamobit ® 250 mg. mg mg mg mg

INDIKASI : Untuk pengobatan : – Infeksi traktus respiratorius bagian atas – Infeksi traktus respiratorius bagian bawah – Infeksi traktus urinarlius – Infeksi kulit dan urinarlius – Infeksi kulit dan jaringan lunak – Gonorhoea. termasuk yang disebabkan oleh kuman penghasil penisilinase POSOLOGI : Dewasa dan anak di atas 12 tahun (> 40 kg) infeksi berat 1 kaplet, 500 mg 3 x sehari. Infeksi ringan sampai dengan sedang, 1 kaplet 250 mg 3 x sehari. Pemakaian 1 kaplet Clamobit 500 mg tidak dapat diganti dengan 2 kaplet Clamobit® 250 mg karena kadar asam klavulanat dalam satu kaplet Clamobit® 500 mg tidak sama dengan dua kaplet

PERINGATAN DAN PERHATIAN : – Kadang-kadang menimbulkan reaksi hipersensitif pada penderita yang mempunyai riwayat sensitif terhadap bermacam alergi. – Hati-hati bila diberikan pada wanita hamil dan pada bayi yang ibunya sensitif terhadap amoksisilin. – Pengobatan hendaknya tidak melebihi 14 hari tanpa peninjauan kembali. EFEK SAMPING : Amoksisilin/kalium klavulanat umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping kadang-kadang bisa terjadi diare, mual, urtikaria. Rēaksi kepekaan yang serius dan fatal adalah anatilaksis terutama terjadi pada penderita yang hipersensitif terhadap penisilin. KONTRA INDIKASI : Penderita yang hipersensitif terhadap penisilin. CARA PENYIMPANAN : Simpan di tempat sejuk dan kering. KEMASAN : Clamobit® 500 mg. botol isi @ 15 kaplet No. Reg. DKL930280850981

Motipep® Komposisi : Motipep® 20 : Setiap kaplet mengandung Famotidine 20 mg Motipep ® 40 : Setiap kaplet mengandung Famotidine 40 mg Cara Kerja Obat : Motipep® suatu antagonis reseptor Histamin H2 yang bekerja menghambat sekresi asam lambung dan menurunkan sekresi pepsin yang dirangsang oleh pentagastrin. pH intragastric noctural meningkat dengan pemberian Motipep® per malam hari yaitu 5,0 dan 6,4.

Motipep® mengalami metabolisme lintas pertama secara minimal. Setelah pemberian dosis oral kadar puncak plasma tercapai dalam 1 - 2 jam. Kadar plasma setelah pemberian dosis berulang sama dengan pemberian dosis tunggal. Waktu paruh eliminasi Famotidine 2 - 3 jam. Indikasi : – Pengobatan jangka pendek pada duodenal ulcer aktif. – Terapi pemeliharaan pada penderita yang baru sembuh dari

– –

duodenal ulcer aktif. Pengobatan pada kondisi hipersekresi patologis seperti sindrom Zallinger-Ellison & adenoma endokrin multipel.

Posologi: – Terapi akut 40 mg sekali sehari sebelum tidur: atau 20 mg dua kali sehari. Biasanya pengobatan cukup dilakukan selama 4 minggu dan jarang diperlukan pengobatan lebih dan 6 – 8 minggu. – Terapi pemelihanaañ 20 mg sekali sehari, sebelum tidur. Kondisi hipersekresi patologis : 20 mg setiap 6 jam. Peringatan Dan Perhatian: – Sebelum memulai tetapi dengan Famotidine, malignansi gaster harus disingkirkan dahulu. – Pengalaman penggunaan pada anak-anak, wanita hamil dan menyusui belum mencukupi. – Dosis Famotidine pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang berat perlu dikurangi. – Hati-hati bila digunakan pada penderita gangguan fungsi hati.

Efek Samping: Headache, dizziness, konstipasi, diare, thrombocytopenia dan arthralgia. Kontra Indikasi: Hipersensitif terhadap Famotidine. Interaksi Obat: Obat mi tidak menimbulkan efek bermakna pada disposisi obat-obat yang dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom p450 hati seperti teofihin, warfanin, diazepam dan lain-lain. Cara Penyimpanan : Simpan di tempat sejuk dan kering.

Kemasan: Moltipep® 20 No. Reg. DKL 9302808/09 Al - 1 Box isi 3 Strip @ 10 kaplet. Motipep® 40 No. keg. DKL 9302806709 Bl - 1 Box 3 strip @ 10 kaplet. HARUS DENGAN RESEP DOKTER

ANDA MEMBUTUHKAN MAJALAH CERMIN DUNIA KEDOKTERAN EDISI LAMA ? Di dalam persediaan kami masih terdapat Cermin Dunia Kedokteran dan Cermin Dunia Farmasi, sebagai berikut : Cermin Dunia Farmasi No. 11 50 eksemplar Cermin Dunia Farmasi No. 12 100 eksemplar Cermin Dunia Farmasi No. 14 300 eksemplar Cermin Dunia Farmasi No. 15 200 eksemplar Cermin Dunia Farmasi No. 18 100 eksemplar Cermin Dunia Kedokteran No. 72 – Sanitasi dan Kesehatan Cermin Dunia Kedokteran No. 80 – Edisi Khusus Ulang Tahun USU Cermin Dunia Kedokteran No. 81 – Edisi Khusus RS Sumber Waras

50 eksemplar 100 eksemplar 300 eksemplar

Sekiranya edisi tersebut di atas masih diperlukan, sejawat dapat memberitahukan kepada kami melalui surat; kami akan mengirimkannya selama persediaan masih ada secara cuma-cuma. Redaksi

ABSTRAK CIMETIDINE MENGURANGI BERAT BADAN ? Menurut penelitian orang Norwegia, cimetidine membantu pasien mengurangi berat badan. Baik resipien cimetidine maupun plasebo diminta mengikuti diet rendah kalori. Berat badan resipien cimetidine rata-rata berkurang lebih banyak 7,3 kg daripada resipien plasebo setelah 8 minggu. Dr Stoa - Birketvedt memberi postulat bahwa cimetidine dapat mengurangi rasa lapar sehingga pasien-pasien menjadi lebih ketat terhadap dietnya. Mekanismenya belum diketahui tapi mungkin karena hambatan sekresi asam lambung yang berperan terhadap nafsu makan. Namun menurut penelitian orang Denmark, yang mengulangi penelitian orang Norwegia tidak ada efek cimetidine terhadap berat•badan atau rasa lapar, sehingga basil penelitian menyimpulkan cimetidine tidak efisien dalam pengobatan kegemukan. Prof. John Garrow, St. Bartholemew's Hospital Medical College, London, UK menentang penemuan Dr. Stoa - Birketvedt. Beliau menyatakan, beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pola penurunan berat badan dengan cimetidine adalah : − Penurunan berat badan adalah tetap setelah 8 minggu. Umumnya, penurunan berat badan pada orang-orang gemuk lebih besar pada minggu-minggu pertama diet, kemudian berkurang. − Laju penurunan berat badan adalah sama pada individu-individu dengan berat badan awal yang lebih tinggi ataupun yang lebih rendah. Kedua hal tersebut masih sulit dijelaskan dan belum diteliti. Kesimpulannya adalah tetap "mengherankan" bahwa cimetidine dan plasebo memberi efek yang berbeda di Norwegia dan Denmark. Inpharma 1993; 885: 15 Id

EFEK SAMPING KLOZAPIN Klozapin merupakan antipsikotik yang efektif terutama untuk kasus-kasus skizofreniarefrakter; tetapipenggunaannya menyebabkan risiko agranulositosis. Analisis data mengenai penggunaan klozapin atas 11.555 pasien menunjukkanbahwa agranulositosis dideteksi pada 73 pasien, 2 pasien di antaranya meninggal dunia akibat komplikasi infeksi. Sebanyak 61 pasien di antaranya telah dapat dideteksi dalam 3 bulan pertama. Analisis statistik menunjukkan bahwa angka kejadian kumulatif adalah sebesar 0,80% (95%CI: 0,61-0,99) pada satu tahun dan 0,91% (95%CI: 0,62–1,20) pada satu setengah tahun. Risiko ini lebih besar pada wanita dan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.

SALBUTAMOL UNTUK HIPERKALEMIA Menurut peneliti-peneliti Turki, inhalasi salbutamol dosis rendah efektif dalam mengobati hiperkalemia pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan karena itu mungkin juga bisa digunakan secara intravena. Konsentrasi Kalium plasma turun secara bermakna pada kedua kelompok pasien setelah 30 menit mendapat salbutamo10,18 mg (n=50) atau glukosa IV + insulin IV (n=20). Sebaliknya, kelompok kontrol yang sehat (n=20) tidak menunjukkan efek hipokalemia secara bermakna setelah menghirup salbutamol.

N. Engl. J. Med. 1993; 329: 162–7 Hk

PEMBASMIAN H. PYLORI Menurut Prof. James Freston, University of Connecticut, US, adalah tindakan gegabah kalau pasien-pasien yang menderita ulkus duodeni hanya diobati dengan pembasmian Helicobacter pylori karena pembasmian Helicobacter pylori bukan merupakan jawaban terhadap penyembuhan tapi hanya merupakan "strategi dominan". Menurut Prof. H Festen dari Groot Hospital, Netherlands, regimen standard yang digunakan saat ini adalah metronidazol, bismuth, dan amoksisilin mempunyai efek merugikan yang tidak dapat diterima pada 40% pasien. Prof. Freston menambahkan lagi bahwa terapi kombinasi omeprazole dan amoksisilin mempunyai efek merugikan yang lebih kecil dan basil yang lebih baik daripada regimen triple tersebut.

BLOKADE ANDROGEN PADA KANKER PROSTAT Terapi kombinasi gonadorelin dan antiandrogen dapat memperpanjang masa hidup penderita kanker prostat. Pengobatan dengan gonadorelin saja hanya menurunkan 50 – 60% level hormon prostat (karena tidak terjadi blokade androgen yang dilepas dari kelenjar adrenal). Dengan penambahan antiandrogen, terjadi hambatan uptake androgen dan ikatan pada jaringan target mengakibatkan blokade androgen secara sempurna. Penelitian Institut Kanker Nasional, US pada 603 penderita kanker prostat lanjut, menemukan bahwa pengobatan dengan gonadorelin, leuprorelin, antiandrogen, flutamide meningkatkan masa hidup 6 bulan dan pada salah satu kelompok terjadi perpanjangan 2 tahun. Pada penelitian lain, 23% pasien yang mendapat regimen kombinasi keadaannya membaik dibanding dengan kelompok kontrol, 54% bertambah parah.

Inpharma 1993; 885: 7 Id

Inpharma 1993; 885: 18 Id

Inpharma 1993; 893: 15 Id

ABSTRAK DEBAT KOLESTEROL Tingginya kadar kolesterol dalam darah sampai saat ini dianggap sebagai biang keladi berbagai penyakit, seperti aterosklerosis dan penyakit-penyakit kardiovaskular. Tetapi apakah menurunkan kadar kolesterol betul bermanfaat menurunkan mortalitas ? Akhir-akhir ini antusiasme terhadap penurunan kadar kolesterol darah agak berkurang karena adanya data yang menunjukkan kemungkinan kenaikan mortalitas akibat sebab-sebab non kardiovaskular. Beberapa penelitian yang membandingkan obat penurun kolesterol dengan plasebo menjumpai kenaikan angka kematian akibat trauma (kecelakaan atau bunuh diri) dan akibat kanker di kelompok yang mendapat obat. Masalah ini agaknya bukan sekedar kebetulan, dan studi epidemiologik menunjukkan kemungkinan adanya kaitan antara rendahnyakadarkolesterol darah (kurang dari 4 mmol/1) dengan meningkatnya risiko kanker, kecelakaan dan infeksi. Beberapa peneliti mengkhawatirkan pengaruh kadar kolesterol yang rendah terhadap integritas membran sel, sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk beradaptasi pada keadaan infeksi, defisiensi imun atau perubahan-perubahan prekanker. Prof. Oliver dari Wynn Institute, London mengamati rendahnya kadar serotonin dalam otak pada keadaan tersebut; padahal serotonin merupakan salah satu neurotransmiter otak yang penting. Penelitian masih terus berlanjut, sementara itu British Hyperlipidemia Association telah mengeluarkan pedoman sebagai berikut (tabel) : Langkah pertama ialah modifikasi diet; pemberian obat dipertimbangkan bila usaha diet tidak berhasil. Scrip 1993 (April); 13: 6–7 Brw

Tabel SUPLEMENTASI VITAMIN A Health Study yang melibatkan 1455 anak usia 6-59 bulan telah dilakukan di Ghana untuk melihat pengaruh suplementasi vitamin A atas morbiditas dan mortalitas. Anak-anak tersebut dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing menerima 200.000 IU retinol (100.000 U untuk anak usia kurang dari 12 bulan) atau plasebo setiap 4 bulan selama 26 bulan; percobaan ini merupakan bagian dari Survival Study yang melibatkan 21.906 anak usia 6-90 bulan yang diamati sampai 26 bulan. Ternyata tidak ada perbedaan bermakna dalam hal pievalensi diare ataupun infeksi saluran napas bagian atas; meskipun demikian, kelompok vitamin A lebih jarang mengunjungi klinik (rate ratio 0,88, 95%CI: 0,81 - 0,95, p = 0,001), lebih jarang dirawat di rumah sakit (rate ratio 0,62, 95%CI: 0,42 – 0,93, p = 0,02), lebih sedikit yang meninggal dunia (rate ratio 0,81, 95%CI: 0,68 - 0,98, p = 0,03) dibandingkan dengan kelompok plasebo. Angka mortalitas akibat gastroenteritis akut juga lebih rendah di kalangan vitamin A (0,66, 95%CI: 0,47 - 0,92, p = 0,02), juga akibat penyakit lain, kecuali akibat infeksi saluran nafas bawah dan ma-

laria, meskipun tidak bermakna secara statistik. Lancet 1993; 342: 7–12 Hk

PEDOMAN PENGOBATAN. HIPERTENSI Pedoman pengobatan hipertensi edisi terbaru yang dikeluarkan oleh British Hypertension Society untuk pertama kalinya mencantumkan obat anti hipertensi baru - penyekat ACE, antagonis kalsium dan penyekat alfa - sebagai obat-obat yang dapatdigunakan sebagai pilihan pertama pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan penyekat beta atau diuretik akibat kemungkinan efek samping, seperti pasien-pasien dengan diabetes melitus, asma atau impotensi. Selain itu pedoman tersebut menganjurkan pengobatan atas orang-orang dengan tekanan diastolik90-100 mmHg yang juga mempunyai faktor risiko seperti penyakit jantung koroner, diabetes, pria usia lanjut, perokok dan hiperlipidemi. Tiazid masih dianjurkan sebagai pilihan pertama pada pasien usia lanjut (lebih dari 60 tahun) dan pada pasien hipertensi sistolik. Scrip 1993; 1812: 34 Brw

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? menggunakan : a) Helmet. b) Ear-muff: c) Ear plug. d) Head cap. e) Semua perlu. 7. Masalah kesehatan utama pada penerbangan berkaitan dengan : a) Kecepatan terbang. b) Tekanan udara dalam kabin. c) Ruangan yang relatif sempit. d) Posisi badan yang statis. e) Semua benar. 8. Usia kehamilan yang merupakan kontraindikasi terbang bagi primigravida : a) 36 minggu. b) 34 minggu. c) 32 minggu. d) 30 minggu. e) Tidak ada pembatasan. 9. Batas yang diperbolehkan bagi penderita stroke untuk ter bang ialah setelah : a) 1 minggu b) 2 minggu c) 3 minggu d) 4 minggu e) Sama sekali tidak tidak diperbolehkan 10. Batas minimal Hb seseorang agar diperbolehkan terbang (g/100 ml) : a) 5 b) 7,5 c) 8 d) 10 e) 12

JAW ABAN RPPIK

:

1. Physiological zone - daerah yang masih dapat ditoleransi oleh manusia tanpa perubahan faal yang nyata, beradā dari permukaan tanah sampai ke tinggian : a) 5000 kaki. b) 10000 kaki. c) 15000 kaki. d) 25000 kaki. e) 50000 kaki. 2. Gejala awal hipoksi yang perlu diwaspadai karena sering menyesatkan ialah : a) Menguap. b) Mengantuk (sedation) c) Lesu. d) Gembira (euphoria) e) Disorientasi. 3. Gaya gravitasi yang paling dapat ditoleransi tubuh ialah : a) Gaya G positif. b) Gaya G negatif. c) Gaya G transversal. d) Gaya G horisontal. e) Semua sama toleransinya. 4. Gaya G negatif akan menyebabkan gejala : a) Red-out b) Black-out. c) Grey-out d) Tubular sight e) Diplopia. 5. Daerah bising yang sama sekali tidak dapat dimasuki ialah bila tingkat kebisingannya lebih dari : a) 100 dB. b) 115 dB. c) 135 dB. d) 150 dB. e) 180 dB. 6. Untuk melindungi daya pendengaran, pramugari dianjurkan

1. B 2. D 3. C 4. A 5. D

6. C 7. B 8. A 9. C 10. B

Related Documents