Cdk 072 Sanitasi Dan Kesehatan

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 072 Sanitasi Dan Kesehatan as PDF for free.

More details

  • Words: 30,517
  • Pages: 62
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel : 5. Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung 1. Kebiasaan Penduduk yang ada Kaitannya denga Penularan Cacing usus Sepanjang Sungai Ciliwung – Suwarni, Purnomo, Herry Ilahude, Harijani AM 8. Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung 2. Angka Pencemaran Cacing Usus – Suwarni, Herry Ilahude, Harijani AM 12. Penelitian-penelitian “Soil-Transmitted Helminth” di Indonesia – Emiliana Tjitra 17. Epidemiologi Disentri – Cyrus H Simanjuntak 20. Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Penyakit Diare Anak dan Hubungannya dengan Tingkat Pewndidikan, Pengetahuan tentang Penyakit dan Kelompok Umur Kepala Keluarga – Sidik Wasito 24. Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Kesehatan Penduduk Pedesaan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat – Sidik Wasito 30. Infeksi Bakteri Enteropatogen pada Penderita Diare Golongan Umur Balita di Daerah Jawa Barat dan Pola Resistensi terhadap Antibiotik – Pudjarwoto T, Cyrus H Simanjuntak, Eko Rahardjo, Suharyono W, Sutoto, Sri Harjining 36. Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Lima Jenis Antibiotik – Pudjarwoto Triatmodjo 41. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Periodontal – Magdarina Destri Agtini 46. Dosis antibiotika dalam Preskripsi Racikan untuk Anak Suatu Studi Khusus – Ondri Dwi Sampurno, Umi Kadarwati, Vincent HS Gan 50. A Study on Disability in Indonesia – Kartari DS 57. Humor Kedokteran 58. Abstrak 60. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Ivan Illich dalam bukunya yang terkenal – Limits to Medicine – menyatakan bahwa sumbangan terbesar bagi peningkatan taraf kesehatan masyarakat bukanlah dari dunia kedokteran dan farmasi, melainkan dari perbaikan sanitasi dan lingkungan. Pendapat yang seolah-olah menggugat eksistensi para dokter ini, bila dikaji lebih mendalam, sedikit banyak mengandung kebenaran karena manusia memang tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan sekitar termasuk taraf kesehatannya. Untuk lebih mengenal pengaruh lingkungan terhadap kesehatan, edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini menyajikan artikel-artikel yang membahas masalah sanitasi dan penyakit-penyakit yang dapat ditularkannya; yang ter- penting di antaranya ialah diare dan infeksi cacing. Masalah ini masih tetap aktual, terutama di negara-negara berkembang, meskipun secara teoritis dapat ditanggulangi secara adekuat, bahkan mungkin dibasmi sama sekali. Semoga para sejawat (terutama yang di kota-kota besar) dapat tetap mengingat penyakit-penyakit infeksi sebagai masalah kesehatan yang masih harus ditanggulangi.

Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991

International Standard Serial Number: 0125 – 913X KETUA PENGARAH Dr Oen L.H KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Dr Hari Tanudjaja PELAKSANA Sriwidodo WS ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808

REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN – DR. B. Setiawan

– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.

– Drs. Oka Wangsaputra

– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

– DR. Ranti Atmodjo

– DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991

3

English Summary STUDY ON INTESTINAL PARASITES IN CILIWUNG RIVER II. Intestinal helminths contaminations. Suwarni*, Purnomo**, Herry D. Ilahude***, Harijani AM* *

** ***

Research Centre on Communicable Diseases, Helth Research and Development Board, Department of Health, Jakarta, Indonesia US NAMRU-2, Jakarta, Indonesia. Department of Parasitology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta

A preliminary study on the incidence of intestinal helminths contaminations was carried out along the Ciliwung River in 1989. Water samples were taken and examined under cluster random sampling procedure. Four hundred and thirty five samples were collected and examined. Contaminations were found in 15,6% of the samples; 1,6% of those were contaminated by A. lumbricoides and T . t r i c h iur a .

Ciliwung river can be considered as potential source of intestinal parasites transmission. Cermin Dunia Kedokt. 1991; 72: 4-7

brw/olh

HEALTH IMPACT OF IMPROVED RURAL WATER SUPPLY ON DIARRHEAL DISEASE IN CHILDREN. ITS RELATION TO BASIC EDUCATION, KNOWLEDGE OF HEALTHY LIVING, AND THE AGE GROUP OF THE HEAD OF THE HOUSEHOLD. Sidik Wasito Research Centre on Health Ecology, Health Research and Development Board, Department of Health, Jakarta, Indonesia.

A study on the health impact of improved rural water supply with piping system was done in 2 subdistricts of the regency Sumedang, West Java. An analysis was carried out to elaborate the health impact of improved water supply on diarrhea) disease in children between 0 up 10 years-old, particularly in relation to basic education, knowledge of healthy living, and the age-group of the head of the household. The results showed that : 1. The prevalence rate of diarrheal disease correlates significantly with the basic education of the head of the household. 2. The prevalence rate of diarrheal disease correlates significantly with the knowledge of diseases of the head of the household. 3. The prevalence rate of diarrheal disease correlates significantly with the age group of the head of the household. Cermin Dunia Kedokt. 1991; 72: 20-23 brw/olh

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991

EFFECT OF IMPROVED RURAL WATER PIPING SYSTEM ON RURAL HEALTH IN SUMEDANG REGENCY, WEST JAVA. Sidik Wasito Research Centre on Health Ecology, Health Research and Development Board, Department of Health. Jakarta, Indonesia.

A study on the impact of improved rural water with piping system on health was done in two subdistricts Tanjungsari and Rancakalong, Sumedang Regency, West Java. Two desa(s) in each subdistricts have been selected for the study. In each desa, 2 (two) Kampungs supplied with piped water were used as study areas, while 2 (two) other similar kampungs without piped water were used as control areas. The result shows that the prevalence rates of conjunctivitis, skin and diarrheal diseases were significantly lower in the study areas compared to those in the control areas. It was concluded that improved rural water supply resulted in a positive health impact in the study areas, especially in reducing abovementioned diseases. Cermin Dunla Kedokt. 1991; 72: 24-29

brw/olh

Artikel

Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung

I. Kebiasaan Penduduk yang ada Kaitannya dengan Penularan Cacing Usus Sepanjang Sungai Ciliwung Suwarni*, Purnomo**, Harry D. Ilahude***, Harijani AM*. * Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta. ** U.S. Namru-2, Jakarta. ***Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian kebiasaan penduduk di sepanjang sungai Ciliwung yang berkaitan dengan penularan cacing usus. Penelitian dilakukan dengan wawancara. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa berbagai perilaku dan kebiasaan penduduk menunjang meningkatnya penularan cacing usus karena penggunaan air sungai secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan penduduk yang langsung mempengaruhi penularan, adalah mandi termasuk gosok gigi, mencuci perabot dapur dan memakan lalapan yang mungkin tercemar telur cacing usus. Kebiasaan tidak langsung adalah buang air besar di sungai. PENDAHULUAN Infeksi cacing usus khususnya yang ditularkan melalui tanah masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih cukup tinggi, yaitu 60-800/o'. Tingginya prevalensi tersebut ada hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi suatu masyarakat2, yang pada umumnya mempengaruhi tingkat pendidikan dan kebiasaan hidup suatu masyarakat3. Penularan cacing usus dapat pula terjadi akibat makan lalapan mentah yang cara pencuciannya tidak higienis, karena temyata beberapa sayuran dapat tercemar telur/larva caci ig usus4,5,6. Faktor utama dalam pencemaran cacing usus pada sayuran adalah air' mengingat telur Ascari.s dapat bertahan hidup sampai + 100 hari7. Terbatasnya air bersih menyebabkan hanya 50% dari penduduk yang dapat menikmatinya (Ka Kanwil KesJakarta)4.

Hal tersebut memungkinkan timbulnya pola hidup kurang higienis a.l. cara pencucian sayuran; dikombinasi kebiasaan penduduk makan lalapan mentah, memungkinkan tegadinya infeksi melalui lalapan tersebut. Padatnya penduduk dan terbatasnya lahan mengakibatkan penggunaan sungai sebagai tempat buang air besar di samping kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan penggunaan air (mandi, cuci perabot dsb). Hal ini menyebabkan sungai mempunyai resiko sebagai sumber pencemaran telur cacing usus. Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai yang mengalir di Jakarta dan tepiannya juga dipakai sebagai hunian penduduk, oleh karena itu dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui seberapa jauh kebiasaan penduduk di sepanjang sungai Ciliwung berkaitan dengan kemungkinan penularan cacing usus.

Dibacakan pada Seminar & Kongres Nasional Biologi ke-9, Juli 1989, di Padang, Sumatera Barat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991

5

BAHAN DAN CARA

Penelitian dilakukan pada bulan Januari - Februari 1989. Kebiasaan penduduk yang dimaksud dalam penelitian ini adalab : kebiasaan buang air besar (b.a.b), mandi termasuk gosok gigi, mencuci perabot dapur dan makan lalapan mentah. Responden yang diambil adalah kepala keluarga (k.k). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap k.k (responden) dengan menggunakan kuesioner. Wawancara dilakukan terhadap penduduk : a) Luar kota Jakarta di tepi sungai Ciliwung, kira-kita 15 km dari Kotip Depok dan kira-kira 30 km sebelum kota Bogor. b) Pinggiran kota Jakarta (termasuk wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur) yaitu : — Kelurahan (kel.) Tanjung Barat Rt 03/04, Kecamatan Ps. Minggu; Kel. Tanjung Barat Rt 10/50 & Rt 09/05, Kec. Ps. Minggu; Kel. Pejaten Timur Rt 05/08 Kec. Ps. Minggu dan Kel. Balekambang Rt 12/03, Kec. Kramat Jati. 3) Dalam kota Jakarta yaitu penduduk di tepi sungai Ciliwung di dalam kota Jakarta (termasuk wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur) yaitu : − Kel. Kebon Baru Rt 02/02 & Rt 17/04; Kel. Bukit Duri Rt 09/ 09, Rt 12/09, Rt 12/10 & Rt 05/12 dan kel. Manggarai Rt 01/10. − Kel. Kampung Melayu Rt 16/07 dan kel. Bidara Cina Rt 03/ 02; Rt 12/14. Setiap daerah dibagi atas 5 lokasi. Masing-masing lokasi berjarak 1—2 km. Di setiap lokasi diambil 10 kk untuk diwawancarai (sisi kiri 5 kk dan sisi kanan 5 kk). Data yang diperoleh ditabulasi secara manual. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil wawancara tentang kebiasan b.a.b dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 : Jumlah responden menurut tempat buangan air besar dan daerahnya. Tempat buangair besar Daerah

Sungai n

Luar kota Pinggir kota Dalam kota Jumlah

%

Bukan sungai n

%

Jumlah responden

7 13 43

28 54,1 100

18 11 0

72 45,9 0

25 24 43

63

68,5

29

31,5

92

Dari tabel di atas terlihat bahwa lebih 50% dari responden di tepi sungai Ciliwung b.a.b di sungai (68,5%), terutama responden di dalam kota Jakarta. Kebiasaan b.a.b responden di dalam kota Jakarta dengan responden di daerah lainnya mempunyai perbedaan sangat bermakna (p < 0,005). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya faktor kemudahan di samping sempitnya lahan yang tidak memungkinkan pembuatan kakus. Sedangkan di luar kota dan di pinggir kota, tidak semuanya b.a.b di sungai (28% & 54,1%) karena masalah lahan tidak sebesar di daerah perkotaan, ditunjang juga dengan curamnya tepi sungai dan penduduk pada umumnya bertempat tinggal jauh dan sungai.

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Sungai Ciliwung lebih cenderung mempunyai risiko tercemar telur cacing usus apabila penduduk mempunyai kebiasaan b.a.b di sungai. Hasil wawancara tentang kebiasaan makan lalapan yang merupakan faktor penunjang terjadinya infeksi cacing usus terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Jumlah responden' menurut kesukaan makan lalapan dan daerahnya Makan lalapan Daerah

Ya

Tidak

Jumlah

n

%

n

%

Luar kota Pinggir kota Dalam kota

2 21 41

8 87,5 95,4

23 3 2

92 12,5 4,6

25 24 43

Jumlah

64

69,6

28

30,4

92

Dari tabel di atas terlihat bahwa frekuensi kesukaan makan lalapan pada penduduk responden di sungai Ciliwung tinggi (69,6%), terutama daerah pinggiran (87,5%) dan dalam kota (95,4%), sedangkan luar kota hanya 8%. Kebiasaan ini mempunyai perbedaanbermakna (P< 0,01), sehingga dapat dikatakan bahwa makin ke arah kota kesukaan makan lalapan penduduk responden makin tinggi. Hasil penelitian tentang sayur-sayuran untuk lalapan di empat pasar di Bandung a.l. : Sawi putih (Bracia jucea), selada bokor (Lactuca saliva), selada air (Nasturtium officinale), serawung (Ocimum bacilium), mentimun (Cucumis sativus), kacang panjang (Vsna sinensis), tomat (Lycorpecicum esculentum), terong (Solanum melongena), tespong (0enanthe javanica), jotang (Spilanthes sp), kol (Bracica sp) dan tauge (Phaseolus radiatus), telah terkontaminasi telur cacing usus yang ditularkan lewat tanah5 seperti diketahui sayur-sayuran yang dijual di pasar induk Jakarta sebagian berasal dari Bandung, dan sayur-sayuran yang ada di pasar Jakarta pada umunmya berasal dari pasar induk. Pencemaran sayuran oleh telur cacing usus diduga berasal dari air penyiram, karena air penyiram berasal dari kolam yang juga dipergunakan untuk b.a.b. Setelah sayuran dipanen, keesokan harinya dalam perjalanan menuju kota untuk dijual, agar tidak layu, sayuran disiram dengan air selokan yang terdekat. Melihat keadaan tersebut dapat dikatakan bahwa air merupakan media utama penyebaran cacing usus, dan mengingat adanya kebiasaan makan lalapan mentah dengan cara pencucian yang kurang higienis, orang mudah terinfeksi melalui kebiasaan ini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian parasit usus di Jakarta bahwa air mempunyai peran utama dalam pencemaran cacing usus pada sayuran, balk sebagai penyiram maupun pencuci4. Kemungkinan lain, penduduk responden di tepi sungai Ciliwung mendapatkan infeksi cacing usus melalui penggunaan air sungai tersebut untuk mandi (termasuk gosok gigi) dan mencuci perabot dapur. Dari wawancara terhadap penduduk ternyata banyak responden di tepi sungai Ciliwung mempunyai kebiasaan menggunakan air sungai Ciliwung untuk mandi (termasuk gosok gigi) dan mencuci perabot dapur (tabel 3 dan 4).

Tabel 3. Jumlah responden menurut sumber air untuk mandi dan daerahnya Sumber air Daerah

Sungai

Bukan sungai

Jumlah responden

n

%

n

%

Luar kota Pinggir kota Dalam kota

7 4 13

28 16,7 30,2

18 20 30

72 83,3 69,8

25 24 43

Jumlah

24

26,1

68

73,9.

92

Tabel 4. Jumlah responden menurut asal air untuk mencuci perabot dapur dan daerahnya Asa! air Sungal

Daerah

Bukan sungai

Jumlah responden

n

%

n

%

Luar kota Pinggir kota Dalam kota

3 0 11

12 0 25,2

22 24 32

88 100 74,4

25 24 43

Jumlah

14

15,2

78

84,8

92

Penggunaan air sungai untuk mandi di luar kota Jakarta dan di dalam kota Jakarta lebih kurang sama (28% dan 30%). Sedangkan di pinggir kota Jakarta lebih rendah (16,7%), hal ini disebabkan karena tepi sungai di luar kota dan di dalam kota Jakarta landai sehingga mudah dicapai sedangkan di pinggir kota Jakarta curam. Tetapi secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa responden di ketiga daerah penelitian mempunyai kebiasaan mandi termasuk gosok gigi yang tidak berbeda bermakna (0,05 < p < 0,10) (tabel 3). Jadi di antara penduduk responden, kemungkinan mendapatkan infeksi melalui mandi sama; tetapi kemungkinan mendapatkan infeksi melalui cuci perabot berbeda. Perbedaan ini terletak antara penduduk pinggir kota dan dalam kota (P < 0,005). Hal ini disebabkan karena terbatasnya air bersih - hanya 50% penduduk Jakarta yang baru dapat menikmatinya dan 40% yang mempunyai jamban (Ka Kanwil Kes)' - dan terbatasnya lahan yang lebih memungkinkan timbulnya pola hidup kurang higienis di kota (terutama bagi mereka yang belum dapat menikmatinya) misalnya penggunaan sungai untuk tempat buang air besar, air sungai untuk mencuci perabot dapur, cara pencucian sayuran.

Sedangkan di luar kota masih cukup tersedia lahan untuk tempat tinggal dan mendapatkan air bersih melalui sumur. Di sini terlihat bahwa responden di pinggir kota tidak menggunakan air sungai untuk mencuci perabot dapur (tabel 4), karena tepi sungai sangat curam, walaupun penuh dihuni penduduk. Secara keseluruhan 15,2% responden temyata mempunyai kebiasaan mencuci perabot dapur dengan mempergunakan air sungai (tabel 4). Hal ini memungkinkan penularan melalui kebiasaan Mi. Dari basil penelitian in; didapat gambaran bahwa penduduk di tepi sungai Ciliwung, mempunyai kebiasaan yang menunjang penyebaran dan tercemamya sungai Ciliwung oleh telur cacing usus. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan telur cacing usus di sungai Ciliwung. SARAN Di samping perbaikan lingkungan pemukiman pcnduduk dan ruang tata kota oleh Badan Pemerintah, partisipasi swasta dan masyarakat untuk melakukan penyuluhan kesehatan baik perorangan maupun lingkungan, dengan mengubah kebiasaan langsung pemakaian sarana air sungai maupun kebiasaan buang air besar di sungai merupakan saran yang dianjurkan untuk menurunkan angka kecacingan maupun angka pencemaran cacing usus di sungai.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

Direktorat Jenderal P3M. Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah di Indonesia. DepKes RI, Jakarta, 1980. h. 5. Kumiawan L, Marwoto MA, Roesin R, Margono SS, Subijakto. Soil transmitted heiminthic infection among people of different socio-economic level (The prevalence and intensity of infection). Health Studies in Indonesia, 1976; 4:1 - 2. Lila IN, Sudewa AAG, Soewamo H. Infeksi cacing usus pads penduduk desa Trunyan. Medika, 1981; 10 : 680. Dewi RM, Marwoto HA, Renny M. Penelitian parasit usus pada sayuran di Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran, 1987; 45 (Nomor khusus): 64. Safei S. Kontaminasi Telur-telur Nematoda Usus pada Sayuran di Pasar Kotamadya Bandung Skripsi Sarjana Biologi F.IPPA Universitas Padjadjaran, Bandung. 1980. h. 39. Wangsadipura JG, Purnomo, Rahardja A. Parasit-parasit beberapa macam sayuran dari pasar di Jakarta. Dalam: Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional II. Jakarta: Grafiti Medika Pers. 1981. bal. 596. Muthalib MA. Viability of ascaris ova in water (abstract). 11th Asian Parasite Control and Family Planning Conference. APCO, Tokyo, 1984. h. 86.

Experience is what you have when you’ve lost everything Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991

7

else.

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung II. Angka Pencemaran Cacing Usus Suwarni*, Purnomo**, Harry D. Ilahude

***,

Harijani AM*

* Pusat

Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI, Jakarta ** US. Namru-2. Jakarta *"°" Bagian Parasrtologi, Faku/tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

ABSTRAK Penelitian pendahuluan tentang angka pencemaran telur cacing usus telah dilakukan di sepanjang sungai Ciliwung pada tahun 1989. Contoh air sungai diperiksa menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Dari 435 contoh air yang diperiksa, 15,8% tercemar, 1,6% di antaranya tercemar telur Astons lumbricoides dan Trichuris trichiura. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa sungai Ciliwung dapat menjadi sumber penularan cacing usus. PENDAHULUAN Air yang dipergunakan oleh penduduk Jakarta bersumber dari air tanah dan air sungai. Sungai Ciliwung adalah salah satu sumber air, terutama bagi penduduk yang menghuni daerah tepiannya. Penduduk di sin, menunjukkan indikasi adanya kebiasaan meuipergunakan sungai dan air sungai untuk buang air besar, mandi ( t e r asuk gosok gigi) dan mencuci peralatan dapur; di samping itu juga penduduk di tepi sungai Ciliwung ini mempunyai kebiasaan suka makan lalapan mentah (Suwarni dkk, tidak dipublikasi). Terbatasnya air bersih (KaKanwil.Dep. Kes. DHI Jakarta)! memungkinkan cara pencucian lalapan tidak higienis, sehingga penduduk dapat terinfeksi cacing usus melalui lalapan ini. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa berbagai sayuran tercemar telur cacing usus1 2 3 8 9.. Selain itu, masih banyaknya penduduk yang mempunyai kebiasaan buang air besar, mandi (termasuk sikat gigi), cuci peralatan dapur di sungai; dan bahwa telur cacing Astons dapat bertahan hidup selama ± 100 had', maka sungai dapat merupakan sumber penularan. Oleh sebab itu ingin diketahui besarnya angka pencemaran cacing usus di sungai Ciliwung. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran

sejauh mana air sungai Ciliwung sudah tercemar telur cacing usus. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan dengan mengambil contoh air di sepanjang aliran sungai Ciliwung, pada bulan Maret—April 1989, secara Rancangan Acak Kelompok. Daerah penelitian dibagi menjadi 3 stasiun, di setiap stasiun ditentukan 5 titik lokasi pengambilan contoh air. Stasiun A : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang mendekati hulu, terletak antara kota Bogor dan kota administratip Depok (± 30 km dari kota Bogor dan 15 km dari kota Depok). Stasiun B : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang terletak di antara stasiun A dan stasiun C, di tepi kota Jakarta. Stasiun C : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang lebih ke arah hilir hampir tengah kota Jakarta (Gambar 1, 2 dan 3). Pengambilan contoh air sungai Ciliwung, dilakukan di setiap titik lokasi, dari atas jembatan atau perahu dengan menggunakan alat yang dilengkapi tabung sentrifugasi 50 ml (Gam-

Dibacakan di Kongres Nasional Biologi ke-9, Juli 1989, di Padang, Sumatera Barat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991

9

Gambar 2. Lokasi Penelitian di stasiun A (Kec. Bojong Gede, 1987) Gambar 1. Peta Daerah Penelitian (Dit.Jen. Pengairan, 1987)

bar 4). Setiap pengambilan contoh air dilakukan sebanyak 15 kali cidukan dan setiap cidukan sebanyak 50 ml. Contoh air sungai yang telah diambil dibawa ke laboratorium dan diperiksa dengan teknik Pengendapan dan Peng-

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

apungan modifikasi Caldwel dan Caldwel (Masbar dan Purnomo, 1979). Limapuluh ml contoh air dipusing selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm; supernatan dibuang dan endapan dicuci dengan akuades 1-2 kali atau sampai bersih.

Gambar 4. Alat untuk mengambil contoh air.

5' T li

kocok, didiamkan selama 15 menit. Untuk mendapatkan hasil yang lebih peka, kira-kira 20 — 25 ml supernatan disaring dengan nucleopore filter yang berdiameter 25 mm dan berpori-pori 5,0 u. Selanjutnya dibuat sediaan dengan larutan lugol 2% dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan contoh air di 3 stasiun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah contoh air sungai Ciliwung yang diperiksa menurut daerahnya. Hasil pcmeriksaan Daerah Positif Negatif Jumlah

Gambar 3. Lokasi Penelitian di stasiun B dan stasiun C. Lokasi 1 dan 2 di stasiun B tidak terlihat dalam peta. (Peta DI{I Jakarta, 1988)

Kemudian 1—2 tetes endapan diperiksa di bawah mikroskop. Atas semua endapan yang negatif, dilakukan pemeriksaan kenibali dengan teknik pengapungan yaitu endapan ditambah NaCl jenuh (Berat Jenis = 1,2) hingga 50 ml. Setelah di-

n

%

n

%

n

%

Stasiun A Stasiun B Stasiun C

15 15 39

10 11,1 26,0

135 120 111

90 88,9 74,0

150 135 150

100 100 100

Jumlah

69

15,8

367

84,2

435

100

Dari 435 contoh air yang diambil, 15,8% tercemar telur cacing dan larva dari ordo Rhabditorida. Frekuensi kehadiran baik telur cacing maupun larva Rhabditorida lebih besar di stasiun C, mungkin karena di samping adanya telur cacing dan larva tersebut di stasiun C, juga ditambah dengan akumulasi telur dan larva dari stasiun A dan B. Demikian pula halnya pada stasiun B (st. A 10,0% sedangkan st. B 11,1%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Multihartini (1987), bahwa kandungan telur cacing usus di sungai Cikapundung semakin ke hilir semakin bertambah.5

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 11

Dari 69 contoh air yang positif, 7 di antaranya (10,1%) positif telur cacing usus dan 62 (89,8%) positif larva dari ordo Rhabditorida, jenisnya adalah Ascaris /umbricoides dan Trichuris trichiura(Tabel 2). Tabel 2. Jumlabsampelyang positipmenurutjenisparasitdandacrahnya. Jenis parasit

Daerah

T.t

A.1 n %

n

%

Stasiun A Stasiun B Stasiun C

0 0 0 0 4 10,3

0 0 3

0 0 7,6

Jumlah

4 5,8

3

4,3

A.I. T.1. Hw R

Hw

Jumlah

R

n%

n

%

n

%

0 0 0

0 0 0

15 15 32

100 100 82,1

15 15 39

100 100 100

0

0

62

89,8

69

100

= Ascaris lumbricoides = Trichuris trichiura = Hookworm = Rhabditorida

Terlihat pada tabel 2, tidak ditemukan telur cacing tambang; mungkin karena telur cacing tambang cepat menjadi matang dan dalam 24–48 jam mengeluarkan larva rhabditifonn6, sedangkan larva cacing tambang tidak begitu tahan terhadap pengaruh faktor luar; di samping itu juga mungktn telur cacing tambang mudah hancur akibat agitasi air karena mempunyai dinding sel yang lebih tipis'. Dari hasil pemeriksaan air yang positif (tabel 2), terlihat bahwa sebagian besar (89,8%) yang ditemukan adalah larva dari ordo Rhabditorida, yang umumnya hidup bebas di tanah dan hancuran bahan-bahan organik, hanya satu genus, yaitu Strongyloides yang merupakan parasit pada vertebrata tingkat tinggi8. Selain itu, salah satu jenis yaitu Rhabditis axel ditemukan dalam urine pada anak berusia 12 tahun yang menderita nephritis dan seorang ibu muda di Cina (Feng and Li l950)8. Di samping itu juga yang mungkin perlu diperhatikan adalah genus Micronema, anggota dari genus ini juga merupakan nematoda yang hidup bebas dan biasanya apatogen tetapi salah satu jenisnya (Micronema deletrix) dapat menyebabkan luka pada kuda dan meningoensefalomielitis yang fatal pada

manusia9. Tidak ditemukannya telur cacing usus di stasiun A dan B (tabel 2), bukan berarti bahwa di kedua stasiun tersebut tidak ada (negatif), tetapi mungkin tidak terbawa pada waktu pengambilan contoh air. Dari hasil penelitian ini walaupun temyata sebagian besar (14,2%) yang ditemukan adalah larva yang hidup bebas dan apatogen tetapi tidak boleh diabaikan karena ada jenis-jenis tertentu dari ordo ini yang dapat menimbulkan penyakit; dan walaupun telur parasit khususnya soil transmitted helminth yang didapat rendah (1,6%), hal ini sudah menunjukkan bahwa sungai Ciliwung dapat merupakan sumber penularan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat, perlu penelitian lebih lanjut dengan memperbanyak jumlah contoh air, pemeriksaan tinja penduduk setempat maupun tanah dan sayuran. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Kepala Badan Litbangkes Jakarta, Kepala Pus/it Penyakit Menular alas kesempatan yang diberikan, juga terhadap semua fihak yang telah memberikan bimbingan serta bantuan sehingga tulisan ini selesai.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Dewi RM, Marwoto HA, Renny M. Penelitian parasit uses pada sayuran di Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 1987; 45 (Nomor khusus):64. Wangsadipura JG, Purnomo, Rahardja A. Parasit-parasit beberapa macam sayuran dari pasar Jakarta. Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional II. Grafiti Medika Pers Jakarta, 1981. hal. 596. Safei S. Kontaminasi telur-telur nematoda usus pads sayuran di pasar Kotamadya Bandung. Skripsi Sarjana Biologi F. IPPA. Universitas Pajajaran, Bandung, 1980, h. 39. Muthalib MA. Viability of ascaris ova in water. (abstract). Proc 11th Asian Parasite Control and Family Planning Conference. APCO, Tokyo, 1984 h. 86. Multihartini, P. Telur-telur parasit helminthes penyebab gastroententeritis pada manusia di sungai Cikapundung Bandung, Thesis Sarjana Biologi Institut Tehnologi Bandung, 1987. H. 24. Rukmono B, dkk, Edisi ketiga. Jakarta: Gramedia 1979. Sri S. Margono: Komunikasi pribadi. Bagian Parasitologi FKUI Levine ND. Nematode Parasites of Domestic Animals and of Man Burgess Publishing Company, 1968. hal. 62 Hoogstraten J, Connor DH, Neaftl RC. Pathology of Tropical Diseases Armed Forces Institute of Pathology, Washington D.C., I and II: 1979.

A wise man thinks what he says, a fool says what he thinks 12 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Penelitian-penelitian "Soil-Transmitted Helminth." di Indonesia Emiliana Tjitra Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN Soil-transmitted helminth adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektifnya. Di Indonesia golongan cacing ini yang penting dan menyebabkan masalah kesehatan masyarakat adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichinra, dan cacing tambang yaitu : Necator americanus, dan Ankylostoma duodenale. Infeksi cacing terdapatluas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua umur dapat terinfeksi cacing ini dan prevalensi tertinggi terdapatpada anak-anak. Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan. Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, tergantung dari beberapa faktor antara lain : daerah penelitian (desa atau kota, kumuh, dll), kelompok umur yang diperiksa, teknik pemeriksaan, kebiasaan penduduk setempat (tempat buang air besar, cuci tangan sebelum makan, tidak beralas kaki, dll), dan pekerjaan penduduk. Prevalensi di Indonesia antara 60 — 90%01), Di antara ke empat macam cacing tersebut, A. lumbricoides adalah yang tertinggi prevalensinya, dan umumnya penderita menderita infeksi ganda. Penyakit kecacingan ini umumnya tidak akut dan tidak fatal, tetapi menyebabkan penyakit kronis yang sulit diukur invaliditasnya. Gejala klinis yang ditimbulkan terutama berupa sakit perut, diare, anemia, dan gizi kurang. Program pemberantasan penyakit cacing telah dimulai sejak tahun 1975, sejak Pelita IV (1984) program pemberantasan penyakit cacing ini termasuk pada Program Pemberantasan Penyakit Diare (Pl Diare)(2). Penelitian-penelitian epidemiologi dan pemberantasan telāh banyak dilakukan sejak tahun 1970 oleh berbagai pihak. Walaupun telah dilakukan pemberantasan sejak lama dengan

pengobatan dan lain-lain, prevalensi penyakit ini tetap tinggi. Hal ini disebabkan karena sebagian penduduk hidup masih secara tidak sehat. PENELITIAN-PENELITIAN YANG TELAH DILAKUKAN 1. Penelitian epidemiologi Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh propinsi Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis, trichuriasis, dan infeksi cacing tambang path manusia di propinsi DKI Jakarta adalah 4 — 91%, 30 -100%,dan 1— 30%(3,4,5,6,7); Jabar adalah 20 — 90%, 46 — 91%, dan 5 — 67%(8,9); Yogyakarta adalah 12 — 85%, 37 — 95%, dan 25 — 77%(10,11,12).; Jatim adalah 16 — 74%, 1 — 14%, dan 2 — 45%(13,14); Bali adalah 40 — 95%, 25 — 90%, dan 20 — 70%(15); NTT adalah 10 — 75%, 4 — 78%, dan 1— 29%(16.,7,18,19); Sumut adalah 46— 75%, 65%, dan 20%(17,20); Sumbar adalah 2 — 71%, 6 — 10%, dan 20 — 36%(17.21); Sumsel adalah 51— 78%, 37%, dan 23%(17.22); Kalsel adalah 79 — 80%, 78%, dan 82%(17.23); dan Sulut adalah 30 — 72%, 12%, dan 13%(17,24). Bila menurut golongan umur, askariasis dan trichuriasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak, sedangkan infeksi cacing tambang pada dewasa muda dan dewasa(10,11,16,25,26,27). Prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih sedikit tercemar infeksi(15). Penderita askariasis termuda adalah bayi umur 16 minggu, dan 41 minggu pada trichusiasis; sedangkan infeksi cacing tambang tidak diketemukan pada bayi, tetapi dengan bertambahnya umur, prevalensi juga meningkat. Prevalensi askariasis, trichuriasis dan infeksi cacing tambang path bayi 0—1 tahun adalah 82,8%, 11,1%, dan 0%; sedangkan untuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 13

anak 1–2 tahun adalah 100%, 75%, dan 3%(28). Prevalensi menurut jenis kelamin sangat erat hubungannya dengan pekerjaan dan kebiasaan penderita. Di Yogyakarta infeksi cacing tambang lebih banyak ditemui pada penderita lakilaki dibandingkan wanita(10), sedangkan di NTT lebih banyak pada wanita(16). Demikian juga askariasis di Yogyakarta lebih banyak ditemui pada wanita(10), sedangkau di NTT pada lakilaki(7). Prevalensi trichuriasis tidak begitu banyak berbeda antara laki-laki dan wanita(10,16) Prevalensi kecacingan yang berhubungan• dengan jenis pekerjaan adalah infeksi cacing tambang yaitu ditemukan tinggi pada buruh waduk irigasi dan lapangan terbang (84 – 87,3%)(29), buruh kebun karet (93,1%)(30), dan buruh tambang batu bara (79,8%)(31). Prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan status ekonomi dan kebersihan lingkungan diteliti di Cirebon, Jabar. Ternyata prevalensi kecacingan semakin tinggi pada kelompok sosial ekonomi kurang dan kebersihan lingkungan buruk, dibandingkan kelompok sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan yang sedang dan baik. Adapun prevalensi golongan sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan kurang, sedang, dan baik untuk askariasis adalah 80%, 56,6%, dan 33%; untuk trichuriasis adalah 92,4%, 74,1% dan 54%; sedangkan untuk infeksi cacing tambang adalah 82,4%, 41,8%, dan 24%(32). Prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan perbedaan daerah penelitian yaitu antara daerah pedesaan dan perkotaan telah diteliti pada 2 SD di Depok. Ternyata prevalensi askariasis, trichuriasis dan infeksi cacing tambang lebih tinggi di pedesaan yaitu 66%, 63%, 53%; diba:ldingkan daerah perkotaan yaitu 19%, 46%, dan 5%. Intensitas infeksi askariasis, trichuriasis, dan cacing tambang juga terlihat lebih berat di daerah pedesaan yaitu dengan RTPG (rata-rata telur pergram tinja) 12.803, 533, dan 618; dibandingkan di daerah perkotaan yaitu 4.878, 843, dan 360(9). Telur cacing dapat juga ada pada kuku jari tangan. Dua dari 213 anak yatim piatu di Jakarta yang diperiksa, ternyata mengandung telur A. lumbricoides, dan seorang lagi mengandung telur A. lumbricoides dan T. trichiura(33). Telur A. lumbricoides juga ditemukan pada 2 dari 131 anak sekolah di Jakarta yang diperiksa kukunya(34). Selain pada manusia, penelitian epidemiologi juga dilakukan terhadap tanah di Jakarta dan Jawa Barat (Serpong). Di Jakarta, 37,5% (18 dari 48) pekarangan rumah positif telurA. Lumbricoides, dan 18,5% (23 dari 124) sampel tanah yang diperiksa positif telur A. lumbricoides(7). Di Serpong ditemukan 20,8 – 37,5% tanah positif telur A. lumbricoides(35) Beberapa jenis sayuran (terutama kol dan selada) juga mengandung telur cacing (6 – 16%) terutama A. lumbricoides dan cacing tambang(36,37,39). Penelitian pada air dan lumpur yang dipakai untuk menyiram dan menanam sayuran di Bandung, juga mengandung telur A. lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang. Prevalensi pada air adalah 36,8%, dan pada lumpur 21%09). 2. Penelitian pemberantasan Di Indonesia kegiatan pemberantasan dilakukan dengan

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

mengikutsertakan organisasi swasta antara lain PKBI, JOICP, dan P41(2). Pemberantasan dilakukan dengan pengobatan atau terpadu dengan perbaikan kebersihan lingkungan, penyuluhan keschatan atau terpadu dengan program-program lain antara lain KB dan Gizi. PENGOBATAN Obat-obatan yang pernah dipakai dalam pemberantasan adalah: piperazin hidrat, pirantel pamoat (Combantrin®), oxantelpirantel pamoat, mebendazol, flubendazol, albendazol, levamisol, dan Trivexan® (pirantel pamoat dan mebendazol). Karena kasus reinfeksi di Indonesia sangat tinggi, maka perlu dilakukan pengobatan ulangan sesuai prevalensi kecacingan. Pada umumnya dilakukan 3 kali setahun bila prevalensi > 30%, 2 kali setahun bilaprevalensi 20 – 30%, 1 kali setahun bilaprevalensi 10 – 20%, dan bila < 10% maka hanya kasus positip saja yang diobati(17). Piperazin hidrat pernah diberikan kepada 63 anak balita yang menderita askariasis berat dan gizi buruk di Bantul, Yogyakarta; ternyata memberikan angka penyembuhan 42,9% dan angka penurunan jumlah telur 84,9%; dan berat badan anak bertambah(40). Ini berarti piperazin hidrat kurang efektif sebagai obat cacing. Pirantel pamoat 10 mg/kgBB, dosis tunggal sampai saat ini masih banyak dipakai untuk mengobati kecacingan. Diketahui bahwa basil pengobatan dengan obat ini memperbaiki status gizi (berat badan dan tinggi badan)(9A.41); menurunkan prevalensi dan TEPG (total egg count per gram tinja), dan pencemaran tanah(7,35,42). Angka penyembuhan pirantel pamoat terhadap A. lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang adalah 96,6%, 22,6%, dan 81,6%(43). Jadi pirantel pamoat tidak efektif untuk trichuriasis. Efek samping obat yang dilaporkan ringan dan bersifat sementara. Oxantel-pirantel pamoat (150 mg oxantel pamoat dan 150 mg pirantel pamoat) tablet dengan dosis tunggal 10 – 30 mg/ kgBB, memberikan angkapenyembuhan 94–96%,46-97% dan 24% terhadap askariasis, trichuriasis, dan cacing tambang. Di samping itu juga memberikan angka penurunan jumlah telur cacing 98,2 – 99,9%, 82 – 99,7%, dan 89% terhadap askariasis, trichuriasis, dan cacing tambang(13.44.0.46). Ini berarti oxantelpirantel pamoat kurang efektif untuk cacing tambang. Mebendazol (Vermox®) dengan dosis tungga1 500 mg atau 200 mg perhari selama 3 hari berturut-turut, memberi angka penyembuhan terhadap askariasis 93 – 99,8%; trichuriasis 89,7– 92,7%, cacing tambang 88,4 – 100%. Angka penurunan jumlah telur untuk askariasis adalah 99,8%, 89,7%, dan 100%(6). Efek samping obat ini adalah erratic migration dari A. lumbricoides (3,4%)(6), sedangkan efek samping lainnya ringan dan bersifat sementara. Mebendazol tampaknya cukup efektif untuk ke tiga jenis cacing tersebut. Flubendazol 300 mg, memberikan angka penyembuhan terhadap askariasis 82,8%, trichuriasis 15,2%, dan cacing tambang 5,4%; sedangkan angka penurunan jumlah telur askariasis 95,7%, trichuriasis 80,5%, dan cacing tambang 50,4% dari 104 penderita kecacingan yang diobati(43). Ternyata flubendazol hanya efektif untuk askariasis. Albendazol 400 mg, dosis tunggal memberikan angka

penyembuhan 100% untuk askariasis (31 kasus) dan cacing tambang (5 kasus); dan 59,3% untuk trichuriasis (32 kasus). Angka penurunan jumlah telur untuk askariasis dan cacing tambang adalah 100%, sedangkan untuk trichurias is adalah 71,4%. Efek samping ringan dan tampaknya albendazol hanya efektif untuk askariasis dan cacing tambang(48). Levamisol 120 mg dosis tunggal, memberi angka penyembuhan 100% untuk askariasis dan cacing tambang, sedangkan untuk trichuriasis hanya 78,6%. Efek samping obat yang ditemukan adalah mual-mual dan mules pada 2 dari 43 penderita yang diobati. Tampaknya levamisol cukup efektif untuk jenis cacing tersebut(22). Trivexan® telah diteliti dengan 3 macam dosis. Angka penyembuhan dengan dosis pirantel pamoat 100 mg dan mebendazol 150 mg/tablet, 1X 1 tablet/hari, selama 3 hari, pada askariasis 96 – 100%, trichuriasis 75 – 99,3%, dan cacing tambang 98 – 100%(5,14,22,49,50). Angka penurunan jumlah telur untuk askariasis 97% dan trichuriasis 94,1%m). Efek samping obat dengan dosis ini hanya mual-mual(5). Angka penyembuhan Trivexan® dengan dosis pirantel pamoat 60 mg dan mebendazol 200 mg/tablet, 1 tablet/hari, selama 3 hari, pada askariasis 96 -100%, trichuriasis 87 -100%, dan cacing tambang 83 -100%(19,51.52). Dengan dosis ini beratnya infeksi juga dapat diturunkan(1S). Angka penyembuhan Trivexan® dengan dosis tunggal pirantel pamoat 500 mg dan mebendazol 250 mg, pada askariasis 100%, trichuriasis 63,6%, dan cacing tambang 78,8%; sedangkan angka penurunan jumlah telur untuk askariasis 100%, trichuriasis 84,9%, dan cacing tambang 98,5%. Selamapengobatan tak dijumpai efek samping obat(53). Ternyata Trivexan® cukup efektif untuk ke tiga jenis cacing tersebut, terutama dengan pemberian selama 3 hari. PROGRAM TERPADU Pemberantasan dengan program terpadu telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Dengan keterpaduan ini diharapkan kasus reinfeksi dapat dicegah dan prevalensi kecacingan dapat dipertahankan serendah-rendahnya. Pemberantasan dengan melakukan pengobatan massal, penyuluhan kesehatan secara intensif, perumahan yang teratur, tersedianya sarana air minum dan jamban keluarga di dua daerah transmigrasi dapat menurunkan prevalensi kecacingan dan tidak mencemari sekeliling rumah(20,54). Program terpadu pengobatan dengan penyuluhan kesehatan melalui kader Posyandu di daerah pinggiran kota juga telah dilakukan; dan hasilnya cukup baik, prevalensi kecacingan, angka infeksi tanah, angka jumlah telur per gram tinja menjadi menurun; sedangkan pengetahuan kesehatan meningkat(7). Program pemberantasan cacing juga telah dicoba terpadu dengan program Keluarga Berencana dan Gizi di Sawahlunto dan Serpong. Program terpadu tersebut ternyata dapat membangkitkan peran serta masyarakat untuk menciptakan kebersihan lingkungan yang baik, sehingga tujuan untuk mencapai masyarakat dan lingkungan yang sehat dapat tercapai(55). Pro-

gram ini temyata juga meningkatkan status gizi anak (melalui pengukuran berat dan tinggi badan)(56. PENELITIAN-PENELITIAN LAIN Penelitian untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan askariasis telah diteliti oleh Ismid dkk (1988). Ternyata didapat hubungan bermakna antara adanya askariasis dengan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan, tetapi tidak ada hubungan bermakna antara adanya askariasis dengan status gizi(57). Hanya 35% ibu-ibu yang mempunyai balita pernah mendapat informasi mengenai askariasis, dan 87,5% didapat dari media massa. Rendahnya informasi yang didapat dari petugas kesehatan mungkin disebabkan karena kecacingan merupakan program dengan prioritas rendah. Pada penelitian ini didapat hubungan bermakna antara adanya informasi dengan tingkat pengetahuan ibu tersebut, tidak ada hubungan antara penghasilan keluarga dan tingkat pengetahuan ibu, pendidikan formal tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai askariasis, dan peningkatan pengetahuan paralel dengan kenaikan jumlah anak(58). Pada penelitian efek Keluarga Berencana pada infeksi parasit usus pada anak-anak, ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna mengenai prevalensi parasit usus yang ditemukan di antara kelompok yang ber KB dan tidak ber KB. Keadaan gizi dan beratnya infeksi dari beberapa cacing usus (A. lumbricoides dan T. trichiura) pada ke dua kelompok anak tersebut berbeda bermakna(59). Pada penelitian peran serta masyarakat dalam program integrasi Keluarga Berencana, pemberantasan penyakit cacing, dan perbaikan gizi, ternyata peran serta masyarakat dalam program pemberantasan penyakit cacing, secara tidak langsung menaikkan keikutsertaan anal( balita dalam program perbaikan gizi(60). Rampen dkk (1988) membandingkan cara filtrasi dan pengapungan untuk pemeriksaan tanah yang tersangka tercemar telur cacing usus. Ternyata cara filtrasi memberikan basil positif lebih banyak dan berbeda bermakna dibandingkan cara pengapungan untuk telur A. lumbricoides(61) Pada penelitian pengaruh larutan desinfektans terhadap larva cacing tambang manusia, disimpulkan bahwa larutan kresol 1% paling efektif membunuh larva dibandingkan dengan larutan lain (fenol dan denol). Perbedaan pengaruh konsentrasi larutan kresol juga bermakna yaitu antara 0,5% dan 1%. Waktu yang dibutuhkan untuk membunuh larva oleh larutan kresol 1% adalah 8 ± 6 menit(62). Ketahanan hidup telur A. lumbricoides dalam cairan olahan tinja tangki pencerna telah diteliti. Ternyata 43% telurA. lumbricoides dapat didegenerasikan melalui proses kenaikan suhu yang terjadi karena adanya dekomposisi aerobik(63). Pengalaman klinik pada penderita askariasis dilaporkan oleh Hadi dkk. Pada penderita dewasa askariasis yang dirawat di RS ditemukan 2 kasus ikterus kolestatik, 1 kasus ileus obstruktif, 2 kasus apendisitis, 1 kasus esofagogastritis korosiva dan 1 kasus merasa sering tidak enak di perut dan diare(64).

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 15

Dari basil penelitian pola reaksi atopi pada orang-orang dengan infestasi parasit A. Lumbricoides dapat disimpulkan bahwa: askariasis mampu merangsang peningkatan pembentukan Ig E baik total maupun spesifik, askariasis merangsang peningkatan jumlah eosinofil darah tepi, dan tampaknya askariasis menekan reaksi atopi dari aler,gen inhalan(65). Pada penderita penyakit cacing tambang di dua daerah endemik di Jatim, didapat bahwa periode ulang yang tepat untuk pengobatan infeksi cacing tersebut berkisar 18 bulan atau lebih yang didapat dengan memakai rumus : perkembdngan intensitas infeksi cacing tambang di daerah endemik : y = a + bx. Di samping ltu didapatkan beberapa hipotesa : di daerah endemik cacing tambang maka intensitas infeksi terpelihara pada suatu nilai yang senantiasa konstan selama tidak terjadi intervensi pada variabel yang berperan, nampaknya mekanisme yang mengatur stabilitas cacing terkandung adalah mekanisme imun hospes. Fluktuasi kenaikan TPG akibat musiman yang berlangsung periodik dan dibiarkan berkembang secara alamiah merupakan faktor penting terjadinya anemia cacing tambang; bila pengaruh superinfeksi dan reinfeksi sudah dapat dihilangkan maka infeksi cacing tambang lambat laun akan lenyap dengan sendirinya(66). KESIMPULAN 1) Prevalensi soil-transmitted helminth di Indonsia sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain yaitu 1—100% dan prevalensi tertinggi adalah askariasis. 2) Prevalensi yang masih tinggi disebabkan karena banyaknya kasus reinfeksi, adanya kebiasaan buruk, dan kurangnya informasi kecacingan. 3) Tampaknya mebendazol, levamizol, dan Trivexan® cukup efektif untuk ke tiga macam cacing tersebut. 4) Pemberantasan terpadu dengan program kesehatan lainnya merupakan cara yang baik untuk dilakukan.

UCAPAN TERIMA KAS/H

7.

8. 9.

10. 11. 12.

13. 14.

15. 16. 17. 18.

19.

20.

Ucapan ter ima kasih dilujukan kepada BapakDr. Suriadi Gunawan DPII dan lbu Dra. Harijani AM yang mengijinkan ma/co/tab ini sebagai bahan masukan persiapan Lokakaya Nasional Litbangkes 1990, dapat diterbitkan.

21.

22. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Adhyatma. Kebijaksanaan pemberantasan penyakit parasit di Indonesia. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, Depkes RI, Jakarta, 1979. Koinunikasi pribadi dengan Daryono, staf P2 Diare, 1990. Hendarwanto dkk. Prevalensi cacing usus 2ada penderita yang dirawat di RS Persahabatan, Jakarta. Seminar PamsitorogiNasional ke II dan Kongres P4I, 24-27 Juni 1981, Jakarta. Abidin SA. Epidemiologi racing usus yang ditularkan melalui tansh. Seminar Albendazole, Jakarta, 1989. Ismid IS, Rasad R, Rukmono B. Prevalence and treatment of intestinal helminthic infections among children in orphanages in Jakarta, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1981; 12 (3) : 371-5. Abidin SAN, Rasad R. Pengobatan infeksi nematoda usus dengan mebendazole 500 mg dosis tunggaL Medika 1990; 3 : 192-7.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

23.

24.

25. 26. 27.

Margono SS, Ismid SS, Rukmono B. Effect of control of soil-transmitted helminth infections in a suburban area in Jakarta, Indonesia (second year report). The 10th Parasitologist Meeting, Beijing, October 31-November 1, 1988. Clarke MD dkk. Human malaria and intestinal parasites in Kresek, West Java,Indonesia, with a cursory aerological survey for tozoplasmosis and amoebiasis. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1973; 4 : 32-6. Damayanti NA, Mahfudin H, Chaffin A. Prevalensi dan intensitas infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pads dua sekolah dasar dengan lingkungan berbeda. Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I, Bogor, 20-22 Agustus, 1988. Soeripto N, Dulyachman, Sumami S, Sutarti. Soil-transmitted helminths in Yogyakarta. Bull. Penchi. Kea. 1989; 17 (2) : 247-55. Clarke MD, dkk. A parasitological survey in the Yogyakarta area of Central Java, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1973; 4 : 195-201. Soeripto N, Soebagyo L, Mardihusodō SY, Susanto C, Wijono P, Utomo. Pengobatan infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soiltransmitted helminths) dengan pirantel pamoate di Yogyakarta. Perkumpulan Naskah Lokakarya Pemberantasan Penyakit Cacing Tambang Dan Parasit Perot Lain, 1978: 151-66. Soedarto, Ideham B, Machfud, Widodo A, Kusmartisnawati. Pengobatan trikuriasis pada anak sekolah dasar di Sidoardjo, Jawa Timur, dengan Oksantel-pyrantel pamoat. Maj Parasitol Indon 1988; 2 (1&2) : 45-50. Soebaktiningsih dkk. Pengobatan cacing usus dengan kombinasi obat mebendazole dan pyrantel pamoate dosis tunggal pads karyawan-karyawan PTP XXIII, kebun Wonosari, Lawang. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta, 24-27 Juni 1981. Sutisna P. Human parasitic infection in Bali : a review. Bull Pencil' Kes 1989; 17 (2) : 276-83. Joesoef A, Dennis DT. Intestinal and blood parasites of man on Alor island, Southeast Indonesia. Southeast Asian J Trap Med Pub Iilth 1980; 11 (1): 43-7: Kodijat S, Margono SS. Segi biologi dan epidemiologi sehubungan dengan strategi pemberantasan ascariasis. Maj Kedokt Indon 1985, 35 (12) : 738-42. Pumomo, Oemijati S, Soewarta A, Pribadi W, Parton F. Pemberantasan cacing usus yang ditularkan melalui tanah dengan trivexan di desa Pau, Flores Barat, Indonesia. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P41, Jakarta, 24-27 Juni 1981. Pumomo, Partono F, Soewarta A. Human intestinal parasites in Karakuak, West Flores, Indonesia and the effect of treatment with mebendazole and pyrantel pamoate. Southeast Asian I Trop Med Pub Hlth 1980; 11 (3) : 324-7. Depary AA, Kosman ML, Djali D. Helminthiasis di kalangan karyawan di Medan. Medika 1982; 6 : 451-5. Indriyono, Roesin R, Syarifuddin M, Sujono J. Program pemberantasan penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah di kalangan penduduk daerah transmigrasi Sitiung L Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta, 24-27 Juni 1981. Chandra B. Uji cobs banding antara obat cacing kombinasi mebendazole dan pyrantel pamoate dengan levamizole pada soil transmitted helminths. Medika 1990; 2 : 115-7. Masbar S, Pumomo. Preliminary observation of human behavior in connection with the transmission of Ascaris lumbricoides, hookworm, and Trichurir trichiura in South Kalimantan. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bogor, 1977. Mandagi HG, Tumewu M, Kapojos FX, dan Runtuwene J. Pemberantasan cacing usus khusus yang ditularkan melalui tanah pada panti-panti asuhan di kota madya Manado. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta, 24-27 Juni 1981. Cross JH, Gunawan S, Gabs A, Wauen RH, Saroso IS. Survey for human intestinal and blood parasites in Bojolali, Centre Java, Indonesia. Southeast Asian I Trop Med Pub Hlth 1970; 5 (1) : 354-60. Clarke MD, Camey WP, Cross JH, Hadidjaja P, Oemijati S, Joesoef A. Schistosomiasis and other human parasitologis of the lake Lindu in Central Sulawesi (Celebes), Indonesia. Am J Trop Med Hyg 1974; 5 (23) : 385. Cross JH dkk. Parasitological survey and seroepidemilogy of amoebiasis

28. 29. 30. 31. 32.

33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.

41.

42. 43.

44.

45. 46. 47.

48.

in South Kalimantan (Borneo), Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub H1th 1975; 5 (6) : 52—60. Lie KJ dick. Diarrhoea among infants in a crowded area of Jakarta, Indonesia, Bull WHO 1966; 34 : 197. Margono SS, Blahude HD, Rasad R, Oemijati S. Intestinal helminths infection among construction laboures in West Java. Maj Kedokt Indon 1975; 3-4 : 584. Rasidi R, Illahude HD, Oemijati S, Dakung LS, dan Margono SS. Infeksi parasit usus pads buruh perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat. Maj Kedokt Indon 1876; 1—2 : 801—7. Adjung S. Diarhoeal diseases due to intestinal parasites in Inddnesia (a review). NICD, New Delhi, 28 Oktober - 1 Nopember 1985. Margono SS, Oemijati S, Roesin R, Hardjawidjaja L, Rasidi R. Soiltransmitted helminthic infection among people of different socio-economic levels in West Java. ii. The effect of treatment with pyrantel pamoate (Combantrin®).Bull Penelit Kes 1976; 4 : 57—62. Ismid IS, Rukmono B. Nail and dust examination for helminthic eggs in orphanages. Collected papers on the control of soil-transmitted helminthiasis by the APCO resarch group II 1983 : 51—2. Ismid IS, Rasad R. Telur cacing yang ditemukan pada kuku anak sekolah dasar. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung, 29—31 Agustus, 1983. Ismid IS dkk. The effect of mass treatment in different target groups on the dispersion of ascariasis eggs in the soil (research theme 1980, Indonesia). Proceedings Konferensi APC/FP VIII 1981 : 202—4. Harian umum Pikiran Rakyat, 1 Oktober, 1986. Widjana DP, Kapti N. Cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah (soiltransmitted helminth) pads beberapa bahan sayuran dalam lingkungan kotif Denpasar. Maj Kedokt Univ Udayana 1986; 52 : 30—5. Devil RM, Marwoto HA, Marvel Renny. Penelitian parasit usus pads sayuran di Jakarta. Cennin Dunia Kedokt 1987; 45. Kodijat S. Kontaminasi sayuran mentah dengan telur cacing yang ditularkan melalui tanah. Maj Parasitol Indon 1988; 2 (1&2) : 41—3. Noerhajati, Soetarti, Moetrarsi, Baedhowi C, Soemami S, Rahardjo A. Pengaruh pengobatan piperazine hydrate terhadap status gizi soak balita. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. Kapojos FX, Tumewu M, Mandagi HG, Runtuwene J, Tambayong EF. Pemberantasan penyakit cacing usus yang khusus ditularkan melalui tanah pads anak-anak sekolah dasar di desa Pineleng. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung: 29—31 Agustus 1983. Margono SS, Effendi F, Blahude HD, Tantoro I. Pengobatan mas sal parasit usus di Proyek Integrasi Serpong, Jawa Barat. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. Rai T. Intestinal helminthic infestation among the Bali Hyatt Hotel staff and evaluation of mebendazole (Vermox®) and pyrantel pamoate (Combantrin®) in mass treatment. Presented in the 1st Scientific Meeting of the Indonesian Association of Medical Parasitology and Microbiology, Denpasar, 1980. Abidin SAN, Margono SS, Mahfudin H, Rasad R, Rasidi R. Flubendazole dan oksantel-pirantel pamoat untuk pengobatan askariasis, trikhuriasis dan infeksi caning tambang. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. Abidin SAN, Olga TN, Margono SS, Rukmono B. Kombinasi oxantel pamoate dan pyrantel pamoate pada pengobatan askariasis dan trikhuriasis. Medika 1982; 8 : 585—8. Margono SS, Mahfudin H, Rasidi R, Rasad R. Oxantel pyrantel pamoate for the treatment of soil-transmitted hehninthis. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1980; 11 : 384-6. Parton F, Poemomo, Mahfudin H, Sutopo W. Usaha untuk menccgah erratic migration pads pengobatan cacing usus dengan kombinasi mebendazole dan pirantel pamoate (laporan sementara). Kumpulan naskah Kursus Penyegar dan Penambah llmu Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 23—27 Januari 1979 : 672—9. Abidin SAN, Mochtar A, Margono SS, Rukmono B. Albendazole in the treatment of intestinal helminthiasis. Maj Kedokt Indon 1986; 36 (8) : 377.

49. Abidin SAN, Mahfudin H, Rasad R, Rasidi R, Margono SS, Rukmono B. A combination of pyrantel pamoate and mebendazole in the treatment of soil transmitted helmminthics infection. Collected papers on the control of soil transmitted helminths 1980; 1 : 301—8. 50. Lubis RM, Gani EH, Rusaini K, Djali D. Pengobatan kecacingan ascariasis, trichuriasis, dan ankylostomiasis dengan kombinasi 100 mg pyrantel pamoate + 150 mg mebendazole. Seminar Parasitologi Nasional Ice II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. 51. Pasaribu MP, Pumomo. Perbandingan hasil pengobatan cacing usus yang ditularkan melalui tanah dengan Trivexan® dan Combantrin® di Jakarta. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. 52. Pumomo. Usaha mengeluarkan berbagai macam cacing usus dengan pengobatan Trivexan®. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung: 29—31 Agustus 1983. 53. Soebagyo L, Triwibowo, Sumarni S. Pengalaman berbagai dosis kombinasi pyrantel pamoate dan mebendazole dosis tunggal pads pengobatan cacing usus di RS UGM bag Bmu Penyakit Dalam. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. 54. Ismid IS, Rasidi R, Blahude HD, Rasad R. Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada soak balita serta epidemiologi di daerah transmigrasi Batumara, Sumatera Selatan. Seminar Parasitologi Nasional ice III, Bandung: 29—31 Agustus 1983. 55. Indrijono, Suyono D, Rukmono B. The effect of parasite control upon the improvement of environmental sanitation (an Indonesian experience). Presented at the fourth APCO Parasitologist's Meeting 1982. Collected papers on the control of soil transmitted helminthiasis by the APCO Research Group vol II : 261—5. 56. Prihartono J dkk. The effect of regular deworming on the nutritional status of underfives (research theme Indonesia, 1981). Presented at the fourth APCO Parasitologist's Meeting, 1982. Collected papers on the control of soil transmitted helminthiasis by APCO Research Group vol II : 312—9. 57. Ismid IS, Margono SS. Kebersihan pribadi, sanitasi lingkungan dan status gizi anak sekolah yang menderita askariasis. Seminar Parasitologi Nasional ke V dan Kongres P4I ke IV, Ciawi, Bogor: 20—22 Agustus 1988. 58. Ismid IS, Santoso B, Rushwandi, Mulyadi. Pengetahuan mengenai askariasis pada ibu yang mempunyai soak balita. Seminar Parasitologi Nasional ice V, Bogor: 20—22 Agustus 1988. 59. Wijahno RS, Adipoetra S, Soegiyanto S, Gde Ranuh IGN. Efek program Keluarga Berencana pads infeksi parasit usus pads soak-soak. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. 60. Ismid IS, Margono SS, Rukmono B. Peran serta masyarakat dalam program integrasi Keluarga Berencana, Pemberantasan Penyakit Cacing dan Perbaikan Gizi di kelurahan Jembatan Besi, Jakarta Barat. Seminar Parasitologi Nasional IV. Yogyakarta, 1985. 61. Rampen ASL, Suropati RW, Panget S, Tahitoe D, Pumomo. Metode pemeriksaan tanah untuk telur cacing usus yang ditularkan melalui tanah. Maj Parasitol Indon 1988; 2 (1&2) : 9—13. 62. Fimgadi M, Soeripto N, Soemami S, Soetarti. Pengaruh lanttan desinfcktans (kresol, fenol, denol) terhadap larva cacing tambang manusia. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. 63. lladidjaja P, Abidin SAN, Sulistyowani W. Ketahanan hidup (viability) telur Ascaris lwnbricoides dalam cairan olahan tinja tangki pencema. Bull Penelit Kes 1989; 17 (1) : 49. 64. Hadi S, Abdurachman. Pengalaman klinik pads penderita dengan askariasis. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung: 29—31 Agustus 1983. 65. Gde Konthen P. Pola reaksi atopi pads orang-orang dengan infeksi parasit Ascaris l wnbricoides. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi, jilid 3 bidang kesehatan. Dirjen Perguruan Tinggi Depdikbud, 1985. 66. Tantular K. Penyakit racing tambang di dua daerah endemik di Jaws Timur, beberapa aspek epidemiologi serta penanggulangannya. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi, jilid 3 bidang kesehatan. Dirjen Perguruan Tinggi Depdikbud, 1985.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 17

Epidemiologi Disentri Dr. Cyrus H. Simanjuntak Pusat Penelitian Penyakit Menular, Rattan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut sebagai sindroma disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus, 2) berak-berak meperet, dan 3) tinja mengandung darah dan lendir. Adanya darah dan lekosit dalam tinja merupakan suatu bukti bahwa kuman penyebab disentri tersebut menembus dinding kolon dan bersarang di bawahnya1-3. ltulah sebabnya pada akhir-akhir ini nama diare invasif lebih disukai olch para ahli. Dulu, disentri dianggap hanya terdiri dari dua jenis yang didasarkan pada penyebabnya, yakni disentri basiler yang disebabkan oleh basil Shigella spp. dan disentri amuba yang disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica 4. Akan tetapi berkat perkembangan pesat pengetahuan kita tentang mikrobiologi, sindroma disentri di atas temyata disebabkan oleh berbagai mikroba, bakteri dan parasit, yakni: Shigella spp., Salmonella spp., Campylobacter spp., Vibrio parahaemolyticus, I'leisomonas shigelloides, EIEC (Enteriinnasive E. coil), Aeromonus spp., Entamoeba histolytica atau Giardia lambha5.. 1. Shigella spp. Shigelloides terdapat di mana-rnana tapi yang terbanyak terdapat di negara dengan tingkat kesehatan perorangan yang sangat buruk. Manusia sendiri merupakan surnber penularan dan hospes alami dad penyakit ini, yang cara penularannya adalah secara oro- faecal. Shigella spp. sebagai penyebab disentri basiler merupakan kuman yang unik di antara enteropatogen lainnya. Ambang infeksinya rendah yakni 10--100 kuman sudah cukup untuk menularkan penyakit tersebut dari penderita ke orang lain. Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa epidemi penyakit ini bagi penduduk yang kesehatan perorangannya sangat buruk, sulit dicegah. Hal lain yang juga unik ialah sifat basil ini yang rapuh (fragile, cepat rnati di luar tubuh hospesnya), menyebabkan penyakit ini lebih banyak tertular dengan

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

cara kontak langsung (person to person). Inilah sebabnya penyakit ini disebut hand washing disease. Kedua sifat yang kontradiktif yaitu ambang infeksi yang rendah dan sifat rapuh ini mewarnai epidemiologi penyakit ini. Dapatlah dimengerti bahwa penyakit ini akan menimbulkan epidemi yang sulit dicegah di daerah yang kesehatan perorangannya rendah, sedang di daerah dengan kesehatan perorangan cukup baik penyakit ini akan lebih cepat menghilang. Kedua hal yang bertentangan ini akan lebih nyata lagi karena hospes alami (tuan rumah) penyakit ini adalah manusia, walaupun kuman ini dapat diisolasi dari tinja primata yang hidup dekat dengan habitat manusia. Shigella spp merupakan penyebab terbanyak dari diare invasif (disentri) dibandingkan dengan penyebab lainnya. Hal ini tergambar dari penelitian yang dilakukan oleh Taylor dkk. di Thailand pada tahun 1984 5 (Tabel 1). Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa infeksi campuran, yakni ditemukannya dua atau lebih penyebab diare invasif pada seorang penderita, sangat tinggi (48,8%). Hal ini memberi petunjuk dan memberi gambaran bahwa pada umumnya gejala klinik penyakit ini cukup ringan bahkan sering tanpa gejala. Tapi ini bukan berarti bahwa semua penyakit ini memberi gejala ringan. Sebagian ada yang berat dan bahkan dapat merenggut nyawa. Dikenal ada empat spesies dari Shigella berdasarkan reaksi biokimia dan serologi, yaitu: Sh. Jlexneri, Sh. boydii, Sh. dysentriae dan Sh. sonnei. Ketiga spesies pertama masih dibagi lagi dalam serotipe sedang Sh. sonnei dibagi menurut tipe colisin. Hingga sekarang sudah dikenal ada 8 scrotipe Sh. Jlexneri, 15 serotipe Sh. boydii, 10 serotipe Sh. dysentriae dan 15 tipe colisin Sh. sonnei. Berdasarkan isolasi penderita diare dari RS Karantina Jakarta pada tahun 1980—1985 spesies terbanyak dari Shigella ialah Sh. Jlexneri (47,1%) lalu menyusul Sh. dysentriae (27.4%) 6. Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang ditemukan di Singapura dan negara ASEAN lainnya7.

Tabel 1. Enteropatogen yang diisolasi dad 200 anak penderita diare dengan darah dan lendir (Thailand, Januari - Mei 1984). Enteropatogen

Jumlah kuman patogen yang diisolasi/episode diare Satu n=86

Due atau lebih n=82

Jumlah n=168

47 7

41 36

88 43

Aeromonas spp.

6

25

31.

ETEC

6

25

31

Campylobacter spp. Salmonella spp.

8 2

16 17

24

G. lamblia EIEC

3 3

Vibrio spp. * E: histolytica

1 2

16 7 7

EPEC

1

5 1

Jumlah

86

196

Shigella spp, P. shigelloides

4.

19 19 10 8 7 2 282

Keterangan: * V. parahaemolyticus (4), V. cholerae non 01 (3) dan V. cholerae El Tor Inaba (1). Tabel 2. Serotipe Shigella yang diisolasi dari penderita diare akut yang dirawat di RSK dan RSCM, 1 9 8 0 – 1 9 8 5 .

n

%

24 14

47,1 27,4

Sh. boydii

7

13,7

Sh. sonnei

6

11,8

Species Sh. flexneri Sh. dysentriae

Jumlah

51

Diperkirakan unggas merupakan reservoir yang paling potensial. Hal ini amat penting karena Indonesia penduduknya lebih senang makan daging unggas daripada daging sapi. Selain itu telur juga memegang peran penting dalam,penularan penyakit ini. Berbagai letusan penyakit ini di Inggris, Amerika Serikat dan Canada telah dihubungkan dengan susu yang tidak dipasteurisasi. Susu terkontaminasi melalui kontak langsung dengan tinja sapi. C. jejuni akan dapat bertahan selama 22 hari dalam susu yang disimpan pada 4°C tapi segera mati apabila dipasteurisasi.

100

2. Salmonella sp. Beberapa spesies Salmonella yang bukan S. typhi, S. paratyphi A dan B dapat menyebabkan diare invasif. Seperti diketahui Salmonella merupakan penyaldt zoonosis, hewan dan unggas merupakan reservoir penyakit ini, .dan manusia tertular melalui makanan, daging, unggas dan telur. Penyakit ini lebih sering terdapat di negara yang penduduknya pemakan daging. Maka dapat dimengerti bahwa Salmonellosis menjadi problem kesehatan yang lebih besar di negara yang telah maju dibandingkan dengan negara yang sedang berkembang. 3. Campylobacter spp. Pada akhir-akhir ini Campylobacter jejuni (dulu disebut " vibrio lainnya" (related vibrio) mulai muncul sebagai penyebab penting penyakit diare. Penyakit ini umumnya adalah zoonosis walaupun penularan dari orang melalui air yang terkontaminasi. Infeksi Campylobacter terutama terdapat pada masa kanak-kanak8 dan, diare yang ditimbulkannya biasanya lebih dari 7 hari walaupun dengan gejala yang tidak terlalu berat.

EIEC (Entero Invasive E. coli) Sejak 1967, para peneliti di Jepang, Brazil dan negaranegara lain telah membuktikan bahwa serotipe tertentu dari E. coli selain dari yang dinamakan EPEC (serotipe tertentu lainnya dari E. coli), telah berhasil diisolasi dari tinja penderita anak dan dewasa yang menderita diare invasif. Sekarang telah diketahui bahwa serotipe dari I. coli yang invasif ialah: 028ac, 029, 0112ac, 0124, 0136, 0143, 0144, 0152, 0164 dan 0167. Serotipe 0124 merupakan EIEC yang paling sering menimbulkan letusan epidemi, seperti yang terjadi di Hongaria dan USA. EIEC sangat menyerupai Shigella karena sifat biokimia yang sering sama yaitu laktosa negatif, tidak bergerak, dekarboksilase lysin juga negatif9, selain itu mempunyai antigen somatik 0 yang bersamaan10 Kesulitan yang timbul dalam isolasi EIEC dari penderita diare invasif ialah cara membedakannya dari If. coil lainnya. Karena dari 85% orang normal maupun yang diare dapat diisolasi E. coli. Dengan begitu reaksi biokimia dan serologi dari isolat E. coil yang cukup besar tak mungkin dilakukan secara rutin. Penentuan EIEC secara Sereny testil yaitu dengan mempergunakan minimal dua marmut untuk tiap isolat E. coli dari satu penderita, akan memakan biaya yang sangat besar. RINGKASAN DAN KESIMPULAN Disentri merupakan suatu infeksiidengan gejala trias disentri: sakit perut, tenesmus dan berak-berak darah; sekarang lebih disukai disebut sebagai diare invasif. Oulu dikenal hanya dua macam disentri berdasarkan penyebabnya, yakni disentri amuba dan basiler. Tapi sekarang telah diketahui banyak penyebab lain berupa parasit dan bakteri. Shigella terdapat di mana-mana dan merupakan penyebab terbanyak disentri. Penularan secara orofaecal dengan ambang infeksi yang rendah dan merupakan basil yang rapuh sehingga penularannya telah tercegah dengan cuci tangan saja (hand washing disease). Ada empat spesies Shigella, yang berdasarkan urutan frekuensinya di Indonesia ialah Sh. flexneri, Sh. disentriae, Sh. boydii dan Sh. sonnei. Beberapa spesies Samonella, yang umumnya zoonosis dan bukan S. typhi juga merupakan penyebab disentri. Di negara industri/maju yang umumnya pemakan daging, diare invasif lebih . sering terdapat daripada di negara yang sedang berkembang, sehingga sering merupakan problem keracunan makanan di negara maju. Akhir-akhir ini Campylobacter muncul sebagai penyebab

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 19

diare invasif dan terutama terdapat pada anak-anak. Unggas merupakan reservoir yang potensial spesies ini. EIEC (Enteroinvasive E. Coli) juga merupakan penyebab utama dari diare invasif ini. Pemeriksaan EIEC sulit dilakukan secara rutin karena biaya y a n g sangat b e s t i r .

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

Harris JC, Du Pont HL, Hornick RB. Fecal leuqpcytes in diarrheal ilness. Am Intern Med 1972; 76 : 697-3. Pickering LK, Du Pont HL, Olarte J, Conklin R, Ericsson C. Fecal leucocytes in enteric infections. Am J Clin Pathol 1977; 66 :562-5. Vogtlin J, Stalder H, Hurzcler L dkk. Modified Guaiac test may replace search for faecal leucocytes in acute infectious diarrheal. Lancet 1983; ii : 1204. Hoesadha J. Disentri. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam jilid I Ed II, hal: 46-8. Penerbit: Balai Penerbit FKUI. 1983.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

5.

Taylor DN, Echeverria P, Pal T dkk. The role of Shigella spp, Enteroinvasive E. coli, and other Enteropathogens as causes of childhood dysentry in Thailand. J Inf Dis 1986; 153 (6) : 1132-8. 6. Simanjuntak CH, Harjining S, Hasibuan MA, Pyjarwoto, Koiman I (1988). Laboratory aspects of Gastrointestinal Infections in Indonesia, 1 9 8 0 - 1 9 8 5 . Gastrointestinal infections in South East Asia (V); Proceedings of the 14 th SEAMIC Workshop. Ed. SEAMIC. 7. Goh KT. Of communicable diseases in Singapore: Epidemiological surveilance. Eds SEAMIC, Tokyo, 1983; hal. 8 9 - 1 3 0 . 8. Nayyar S, Bhan MK, Gupta dkk. Campylobacter jejuni as a cause of childhood diarrhoea in a North Indian community. J Diaz Dis Res 1983; 1 (1) : 2 6 - 8 . 9. Silvia RM, Toledo MRF, Trabalsi LR. Biochemical and cultural characteristics of invasive E. coli. J Chin Microbiol .1980; 11, 441-4. 10. Ewing WH. Serological relationship between Shigella and Coliform Culture. J Bacteriol 1965; 66 : 3 3 3 - 4 0 . 11. Sereny B. Experimental Shigella heraticonjuctivity. Acta Microbiol Hung 1955; 2 : 1 9 3 - 6 .

Dampak perbaikan Air Minum terhadap Penyakit Diare Anakdan Hubungannya dengan Tingkat Pendidikan, Pengetahuan tentang Penyakit dan Kelompok Umur Kepala Keluarga Drs S idik Wasito MSc Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Penelitian Dampak Perbaikan Air Minum Pedcsaan melalui perpipaan terhadap kesehatan telah dilakukan di dua kecamatan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Analisis lcbih lanjut telah dilakukan terhadap dampak keschatan khususnya path anak bcrumur 0 s/d 10 tahun dalam hubungan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan hidup schat maupun golongan umur kepala kcluarga. Hasil menunjukkan, bahwa : 1. Prevalensi penyakit diare ada hubungan yang sangat bermakna dengan tingkat pendidikan kepala kcluarga. 2. Prevalensi penyakit diare ada hubungan yang bcrmakna dengan pengetahuan hidup sehat kepala keluarga. 3. Prevalensi penyakit diare ada hubungan yang sangat bcrmakna dengan golongan umur kepala keluarga. PENDAHULUAN Penelitian di banyak negara maupun di Indonesia menunjukkan bahwa dengan adanya pengembangan sistem penyediaan air yang cukup dan terjamin, penyakit diare dapat menurun. Satu di antara bcbcrapa penelitian mcngenai masalah ini di Indonesia adalah penclitian yang dilakukan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat; di antaranya dinyatakan, bahwa : z Umumnya terdapat dampak positif dari peningkatan pcnyediaan air terhadap penyakit diare pada anak umur 0 s/d 10 tahun, dikaitkan dengan bcsarnya keluarga, tingkat penghasilan, jenis kelamin dan kclompok umur anak(1). z Adanya hubungan bermakna antara prevalensi penyakit diare anak umur 0 s/d 10 tahun dengan besarnya kcluarga, tingkat penghasilan dan kelompok umur anak(2). z Adanya hubungan bcrmakna antara prevalensi penyakit diare anak umur 0 s/d 10 tahun dengan cara membuang kotoran manusia, namun tidak ada hubungannya dengan cara membuang

sampah(3). Meskipun demikian, dalam kenyataan masih banyak hal yang perlu diketahui mengenai pcnyakit diare ini scbclum dapat diatasi dengan baik. Oleh karcna itu akan dibahas lcbih Ian jut hasil penelitian di Sumedang tersebut; pembahasan masih dibatasi pada segi karakteristik demografik yakni yang bcrkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan hidup sehat, dan kelompok umur kepala keluarga. Mengena i ini sebenarnya ada bebcrapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonsia, hanya hasilnya belum pernah ditcrbiikan; di antaranya dapat discbutkan : z Penelitian "Hubungan Kasus Gastroenteritis padaAnak dengan Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga di R.S. Tjipto Mangunkusumo", menunjukkan bahwa penyakit diare sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala kcluarga(4). Kesimpulan yang sama tclah dihasilkan pula pada penelitian yang sama dan dilakukan di Kelurahan Payang, Kecamatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 21

Botoala, Ujung Pandang tahun 1985(5). Penelitian "Hubungan Pengetahuan, . . . dengan Kejadian Diare Anak Balita di Jakarta Barat, tahun 1985, menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu . . . mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian diare(6) . Perlu dikemukanan di sini, bahwa "Pengetahuan tentang Penyakit bagi Kepala Keluarga" yang dimaksud dalam penelitian di Sumedang adalah pengetahuan kepala, keluarga di daerah penelitian yang diperoleh atau diketahui dari jawaban parā responden alas pertanyaan yang diajukan : "Mengapa air scbelum diminum perlu dimasak lebih dahulu". z

BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan dua daerah penelitian yakni kecamatan Tanjungsari dan Rancakalong. Penelitian di dasarkan atas : 1) Adanya kesamaan sistem penyediaan air minum, yakni di masing-masing kecamatan sebagian penduduk desanya memperoleh air minum perpipaan dan sebagian lainnya memperoleh air dari sumber alam atau mata air yang tidak terlindung. 2) Adanya kesamaan dalam beberapa hal antara lain : z Tingkat perkembangan sosial ekonomi dan budaya. z Jenis mata pencaharian. z Jumlah dan susunan penduduk. z Daerah dataran dan pertanian. z Tahun pembangunan sarana penyediaan air minum perpipaan. z Tingkat kehidupan saniter. Dari 2 kecamatan tersebut dipilih masing-masing 1. dcsa proyek (DP) yang terdiri dari 2 kampung yang memperoleh saran air minum perpipaan, dan 1 desa kontrol (DK) terdiri dari 2 kampung yang sama sekali belum memperoleh sarana air minum perpipaan dan menggunakan sumber air alam yang tidak terlindung. Penelitian bersifat longitudinal, pengumpulan data dilaksanakan dengan wawancara dan observasi lapangan, sebagai responden adalah suami atau isteri yang ada di rumah serta para penanggung jawab sarana penyediaan air minum. Selanjutnya sebagai unit sampel adalah rumah tangga dari desa atau kampung penelitian. Sampel di ambil secara acak sebesar ± 500 kepala keluarga (KK).

HASIL Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Dari 947 sampel kepala keluarga seperti terlihat pada tabel 1, tampak bahwa kepala keluarga yang berpendidikan tamat sekolah dasar (TSD) adalah yang terbanyak — 564 (59,5%), kemudian diikuti tidak tamat sekolah dasar ( M D ) sebanyak 229 (24,2%) dan 122 (12,9%) tidak sekolah (TS), selebihnya tidak tamat sekolah lanjutan pertama (TTSLP) — 7 (0,7%) dan tamat sekolah lanjutan pertama (TSLP) 8 (0,8%), scrta lain-lain 18 (1,9%) orang.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Tabel 1. KarakteristikKepala Keluarga BerdasarkanTingkatPendidikan. Kecamatan Tingkat Pendidikan Jumlah Kepala Rumah Tangga TanJungsarl Rancakalong

1. Tidak sekolah (TS) 2. Tidak tamat sekolah dasar (TTSD) 3. Tamat sekolah dasar (TSD) 4. Tidak tamat sekolah lanjutan pertama (TTSLP) 5. Tamat sekolah lanjutan pertama (TSLP) 6. Lain-lain Jumlah

n

%

n

%

'n

%

71

13,6

51

12,0

122

12,9

166

31,8

63

14,8

229

24,2

266

51,0

297

69,9

563

59,5

5

1,0

2

0,5

7

0,7

6 8

- 1,1 1,5

2 10

0,5 2,3

8 18

0,8 1,9

100

425

100

947

100

522

Pengetahuan tentang Penyakit Kepala Keluarga Dari 947 sampel kepala keluarga yang diteliti diperolch data sebagai berikut : Tabel 2. Pengetahuan Kepala Keluarga tentang Penyakit Ada Kecamatan

Tidak Ada

Jumlah n

n

%

n

%

%

Tanjungsari Rancakalong

455 418

87,2 98,4

67 7

12,8 1,6

522 425

100 100

Jumlah

873

92,2

74

7,8

947

100

Kepala keluarga yang berpengetahuan tentang penyakit jauh lebih banyak daripada kepala keluarga yang tidak berpengetahuan tentang penyakit di dua daerah penelitian. Ini diketah ui dari jawaban para responden alas pertanyaan yang diajukan: "Mengapa air sebelum diminum perlu dimasak lebih dahulu". 92,2% menyatakan agar tidak sakit, dan sisanya 7,8% menyatakan karena kebiasaan (artinya mereka tidak mengerti bahwa perlakuan demikian dimaksudkan untuk mencegah penyakit. Jumlah Anak Berumur 0 — 10 Taun dan Kasus Diare Penelitian ini memperoleh data bahwa jumlah anak berumur 0 -10 tahun di daerah penelitian adalah sebanyak 582 anak, dan jumlah kasus diare di antara mereka adalah sebanyak 181 (di Tanjungsari 108 dan di Rancakalong 73). 1. PrevalensiDiarepadaAnakdanHubungannyadenganTingkat Pendidikan Kepala Keluarga Dari tabel 3 tampak bahwa prevalensi diarc di dacrah penelitian lebih tinggi pada kelompok keluarga yang kepala keluarga (responden)nya mempunyai tingkat pendidikan tamat sekolah dasar (TSD) daripada kelompok keluarga yang kepala keluarga (responden)nya mempunyai tingkat pendidikan tidak tamat sekolah dasar (TTSD). Prevalensi dare di daerah proyek (DP) umumnya lebih rendah daripada di daerah kontrol (DK), baik itu pada ke-

lompok keluarga yang kepala keluarganya tidak tamat sekolah dasar (TTSD) maupun pada kelompok keluarga yang kepala keluarganya tamat sekolah dsar (TSD); terdapat hubungan yang sangat bermakna antara kedua variabel tersebut, (X2= 36,8, X2k = 95% = 384, KK = 0,7). Tabel 3. Prevalensi Mare Anak di Kecamatan Tanjungsarl dan Rancakalong serta Hubungannya dengan Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga (Responden). Desa

1. Desa Proyek (DP) 2. Desa Kontnol (DK)

Jumlah Anak (0-10 thn)

Jumlah Kasus/100 Anak Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Jumlah Kasus Per 100 Anak

TTSD

TSD

318

7,2

14,5

21,7

264

27,7

14,7

42,4

582

16,5

14,6

31,1

Setelah uji korelasi terdapat hubungan yang sangat bermakna antara golongan umur kepala keluarga dengan prevalensi diare di desa tersebut, (X2= 32,7, X2K = 95% = 12,6, KK = 0,5). Tabel 5. Angka Prevalensi Diare pads Anak di Kecamatan Tanjungsarl dan Rancakalong serta Hubungannya dengan Golongan Umur Kepala Keluarga. Kasus/180anak Jumlah Seluruh Anak (0-10 thn)

Desa

Deaa Proyek (DP) Deis Laurel (DK)

Umur kepala keluarga (tahun) >10-20 >20~30

>30-40 >40-50

Jumlah >50-60

318

0,6

14,2

4,4

1,9

0,6

21,7

264

3,8

22,0

11,6

5,7

04

42,4

582

2,1

17,7

7,2

3,6

0,5

31,1

DISKUSI 2. Prevalensi Diare pada Anak dan Hubungannya dengan Pengetahuan Kepala Keluarga (Responden) tentang Penyakit. Seperti tampak pada tabel 4 angka prevalensi diare baik di desa proyek maupun di desa kontrol, jauh lebih tinggi pada kelompok keluarga yang kepala keluarganya mempunyai pengetahuan tentang penyakit daripada kelompok keluarga yang kepala keluarganya tidak mempunyuai pengetahuan tentang penyakit. Adapun mengenai prevalensi diare di desa proyek pada kelompok keluarga yang kepala keluarganya mempunyai pengetahuan tentang penyakit angkanya lebih rendah daripada di desa kontrol, sebaliknya prevalensi diare pada kelompok keluarga yang kepala keluarganya tidak mempunyai pengetahuan tentang penyakit angkanya sedikit lebih tinggi di desa proyek daripada di desa kontrol. Walaupun demikian, bila dilihat terdapat hubungan yang bermakna antara kedua variabel tersebut, (X2= 12,4, X2K = 95% = 3,84, KK = 0,5). Tabel 4. Angka Prevalensi Diare pads Anak di Kecamatan Tanjungsarl dan Rancakalong serta Hubungannya dengan Ada/tldaknya Pengetahuan Kepala Keluarga (Responden) tenting Penyakit. Jumlah Kasus/100 soak Desa

Jumlah Anak 0 -10 tahun

Berpenge- Tidak Berpetahuan ngetahuan

Seluruh Kasus

Desa Proyek (Di) Desa Kontrol (DK)

318 264

17.9 42.0

3.8 0.4

21.7 42.4

Jumlah/Rata-rata

582

28.9

2.2

31.1

3. Prevalensi Diare pada Anak dan Hubungannya dengan Golongan Umur Kepala Keluarga. Dari tabel 5 tampak bahwa pada umumnya angka prevalensi diare pada semua golongan umur kepala keluarga di desa proyek lebih rendah dari pada di desa kontrol kecuali pada golongan umur 50 - 60 tahun, dimana di desa proyek prevalensi diare adalah 0,6% dan di desa kontrol 0,4%.

Seperti tampak pada tabel 3, angka prevalensi diare di desa proyek lebih rendah daripada di desa kontrol, baik pada kelompok keluarga yang tingkatpendidikannya tidak tamat sekolah dasar (TTSD) maupun pada kelompok yang tamat sekolah dasar (TSD). Setelah uji korelasi, terbukti bahwa tingkat pendidikan orangtua mempunyai hubungan sangat bermakna dengan prevalensi diare pada anak berumur 0 -10 tahun di desa tersebut. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di Ujungpandang dan di Jakarta Barat tahun 1985. Mengenai prevalensi diare pada anak dan hubungannya dengan pengetahuan ten tang penyakit di kalangan kepala keluarga (responden), tampak pada label 4. Yang menarik perhatian ialah bahwa prevalensi diare di desa proyek maupun di desa kontrol, angkanya jauh lebih tinggi di kelompok keluarga yang kepala keluarganya berpengetahuan tentang penyakit, daripada yang tidak; sedangkan prevalensi diare di desa proyek kenyataannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan di desa kontrol (tabel 5). Hal ini dapat disebabkan karena populasi kepala keluarga yang tidak berpengetahuan tentang penyakit jauh lebih kecil baik di daerah proyek maupun di daerah kontrol - dibandingkan dengan populasi kepala keluarga yang berpengetahuan. (Tabel 2). Perlu dicatat pula bahwa populasi kepala keluarga yang tidak berpengetahuan tentang penyakit di daerah proyek lebih banyak daripada di daerah kontrol. Setelah uji korelasi, terbukti bahwa ada tidaknya pengetahuan tentang penyakit di kalangan kepala keluarga mempunyai hubungan bermakna dengan prevalensi diare di kalangan anak usia 0-10 tahun di desa tersebut; demikian pula mengenai prevalensi diare pada anak dan hubunganya dengan usia kepala keluarga. Semakin muda usia orangtua, anaknya yang berusia kurang dari 10 tahun lebih banyak yang menderita diare. KESIMPULAN Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan, bahwa :

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 23

1) Terdapat hubungan yang cukup bermakna antara prevalensi diare pada anak berumur 0 sampai 10 tahun di desa proyek maupun di desa kontrol dengan tingkat pendidikan para kepala keluarga. 2) Terdapat hubungan yang bermakna antara prevalensi diare pada anak berumur 0 sampai 10 tahun di desa proyek maupun di desa kontrol dengan ada atau tidaknya pengetahuan tentang penyakit para kepala keluarga. 3) Terdapat hubungan yang cukup bermakna antara prevalensi diare pada anak berumur 0 sampai 10 tahun di desa proyek maupun di desa kontrol dengan golongan umur para kepala keluarga.

2. 3. 4.

5.

6.

KEPUSTAKAAN 1.

Sidik Wasito, Sri Soewasti, Ida Bagus Indra Gotama. Pola distribusi dampak perbakan air minum terhadap penyakit diare pada anak umur0 sampai dengan

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

7.

10 tahun, Bul Penelit Kes 1987; 15 : 3. Abstrak Penelitian Ekologi Kesehatan di Indonesia 1969 — 1989. Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 1989. Dampak perbaikan air minum pads kesehatan anak : Ditinjau dari segi kejadian diare dan hubungannya dengan kebiasaan membuang kotoran dan sampah, Medika 1989;15 (9). Alih G. Kodyat. Hubungan antara tingginya kasus gastroenteritis pads anak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Tjipto Mangunkusumo, Jakarta dengan tingkat pendidikan man tua. Akademi Penilik Kesehatan, Jakarta, 1975 (Tidak diterbitkan). SulemanMile.Tinjauantingkatpendidikanibuntmahtanggasettsfaktorlain kaitarnya dengan peristiwa diare pads ball's, Kelurahan Layang, Kecamatan Bontoala, Ujung Pandang. Akademi Penilik Kesehatan, 1987. (Tidak diterbitkan). Adi Hidayat. Hubungan pengetahuan, sikap dan praktek ibu dengan kejadian diare balita di Keluarahan Jelambar, Petamburan, Jak—Bar, APKTS, Jakarta, 1985. (Tidak ditetbitkan). Sidik Wasito. Laporan teknis penelitian dampak pebaikan air minum terhadap kesehatan penduduk pedesaan di Kabupaten Sumedang, Jawa Baru (Tidak diterbitkan).

Dampak perbaikan Air Minum terhadap Kesehatan Penduduk Pedesaan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Drs S idik Wasito MSc Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

TUJUAN

Penyakit diare yang merupakan masalah utama di kalangan anak-anak yang berumur antara 0 sampai dengan 10 tahun, serta penyakit lain yang ada kaitan dengan rendahnya hygiene perorangan seperti penyakit kulit dan mata mempunyai hubungan erat dengan penyediaan air minum. Masalah ini tidak saja ada di Indonesia, tapi juga di sebagian negara khususnya yang belum berkembang; penyakit diare merupakan penyebab kematian dan kesakitan yang terbesar(1). Disentri amuba sebagai salah saw penyakit diare merupakan suatu penyakit utama penyebab kematian pada bayi dan anak-anak di bawah lima tahun(2). Oleh karenanya dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat, khususnya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang disebarkan melalui air, Pemerintah melalui Departemen Kesehatan sejak tahun 1969 telah menyelenggarakan program peningkatan penyediaan air minum pedesaan, yang dari tahun 1974 hingga sekarang telah diselenggarakan melalui Instruksi Presiden yang terkenal dengan sebum Inpres Samijaga (Program Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga). Namun hingga dewasa ini belum dapat diketahui dengan pasti apakah program tersebut telah dapat memperbaiki kesehatan penduduk pedesaan, khususnya bila dilihat dari segi penurunan angka kesakitan. Penelitian mengenai dampak perbaikan air minum tersebut dirasakan perlu dalam rangka meningkatkan program penyediaan air minum. Oleh sebab itu Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan pada tahun 1979 telah melakukan penelitian mengenai : Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Kesehatan Pend uduk Pedesaan di Kabupaten Sumedang, Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Tujuan umum penelitian adalah mendapatkan data perbaikan atau peningkatan sarana air minum, karakteristik penduduk, tingkat kehidupan saniter, serta adanya kejadian penyakit-penyakit diare, kulit dan mata, khususnya pada golongan umur antara 0 sampai 10 tahun, di antara penduduk pedesaan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Tujuan khusus adalah mempelajari hubungan perbaikan air minum dengan penurunan angka penyakit diare, penyakit kulit dan penyakit mata di antara golongan umur 0 sampai dengan 10 tahun; yang pada dasarnya mempelajari dampaknya terhadap kesehatan penduduk pedesaan Kabupaten Sumedang yang diteliti.

BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan dalam tahun 1979 dan berlokasi di Kabupaten Sumedang, Daerah Tingkat I Jawa Barat, melalui cara pengumpulan data awal (base-line data) di dua daerah penelitian yakni: Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Rancakalong. Ditentukannya dua kecamatan tersebut didasarkan alas : 1. Adanya kesamaan sistim penyediaan air minum, yakni di masing-masing kecamatansebagianpenduduk desanya memperoleh penyediaan air minum dari sistim perpipaan dan sebagian lainnya tidak, tetapi memperoleh penyediaan dari sumber air alam (mata air). 2. Adanya kesamaan dalam beberapa hal yakni : 2.1. Jarak dari masing-masing desa penelitian ke ibu kota Kecamatan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 25

2.2. Mempunyai sarana pelayanan kesehatan berupa Puskesmas di masing-masing desa yang diteliti. 2.3. Dapat dicapai oleh kendaraan umum. 2.4. Tingkat perkembangan sosial ekonomi dan budaya. 2.5. Jenis mata pencaharian. 2.6. Jumlah dan susunan penduduk. 2.7. Ketinggian dari permukaan laut. 2.8. Endemisitas gastroenteritis. 2.9. Kesediaan penduduk untuk berpartisipasi dalam penelitian. 2.10. Daerah dataran dan daerah pertanian. 2.11. Tingkat pendidikan. 2.12. Pola makanan. 2.13. Tahun pembangunan sarana penyediaan air. Dari 2 (dua) Kecamatan Tanjungsari dan Rancakalong tersebut telah dipilih masing-masing 2 (dua) Desa Proyek (D.P.) yakni desa yang memperoleh sarana penyediaan air sistim perpipaan, dan 2 (dua) Desa Kontrol (D.K.) yakni desa yang sama sekali belum memperoleh sarana perpipaan, dan mengguna~can sumber air/mata air alam yang tidak terlindung. Desa yang terpilih adalah sebagai berikut : 1. Kecamatan Tanjungsari : 1.1. Desa Proyek (D.P.) 1.1.1. Kampung Pasigaran. 1.1.2. Kampung Tonjong. 1.2. Desa Kontrol (D.K.) 1.2.1. Kampung Cikupa. 1.2.2. Kampung Jaringau. 2. Kecamatan Rancakalong : 2.1. Desa Proyek (D.P.) 2.1.1. Kampung Pasirbiru. 2.1.2. Kampung Cimanglid. 2.2. Desa Kontrol (D.K.) 2.2.1. Kampung Babakan. 2.2.2. Kampung Ciledug. Penelitian bersifat longitudinal dengan pertimbangan bahwa dengan cara ini diperoleh peluang untuk mempelajari kecenderungan prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata (konjungtivitis), karena jumlah kasus akan mencapai jumlah yang memadai untuk analisis. Pengumpulan data dilaksanakan dengan mengadakan survai dan observasi lapangan, setelah sebelumnya dilakukan pengumpulan data awal guna menetapkan daerah penelitian tersebut di alas. Pengumpulan data, balk data awal maupun survai dikerjakan dengan menggunakan kuesioner. Sumber data awal diperoleh baik dari data primer maupun sekunder dengan pengamatan langsung; selanjutnya untuk survai serta observasi lapangan diperoleh melalui cara wawancara langsung dari suami atau istri di rumah masing-masing dan dari para penanggung jawab sarana penyediaan air minum setempat sebagai responden, juga dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Sebagai unit sampel adalah rumah tangga, mengingat keterbatasan biaya dan sarana maka dari setiap kecamatan diambil

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

sampel sebesar ± 500 K.K. yang dipilih secara acak berdasa nomor sensus yang tersedia di daerah tersebut. Sebagai alat pengumpul data digunakan kuesioner yank berisi pertanyaan, mengenai : 1. Sifat atau karakteristik rumah tangga, kondisi sanitasi dan sikap masyarakat terhadap penggunaan air untuk minum dan mandi. 2. Prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata pada anak berumur antara 0 sampai 10 tahun. 3. Pengelolaan sarana air perpipaan. 4. Pemanfaatan luapan air/limbah air dari sumber perpipaan untuk keperluan di luar kebutuhan rumah tangga (misalnya untuk mengisi kolam/empang pemeliharaan ikan). Pengumpulan data pada butir pertama dilakukan satu kali selama survai. Butir ke dua dilakukan melalui surveillance mingguan untuk menanyakan prevalensi penyakit-penyakit ter• sebut dalam waktu seminggu yang lalu. Butir ke tiga dan ke empat dilakukan sebulan sekali. Untuk penyempurnaan alat pengumpulan data tersebut diperlukan pre test. Pelaksanaan survai dilakukan oleh para petugas kesehatan setempat dibantu oleh petugas desa setempat yang telah dilatih sebelumnya secara intensif. Supervisi dilakukan oleh tim peneliti dari pusat. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual. HASIL Hasil penelitian dampak perbaikan air minum terhadap kesehatan penduduk pedesaan di Kabupaten Sumedang, Daerah Tingkat I Jawa Barat ini diperoleh dari 947 sampel rumah tangga dari 8 kampung yang berasal dari 2 kecamatan. Adapun data yang diperolch meliputi : 1. Karakteristik Rumah Tangga. Dari dua kecamatan dengan 947 rumah tangga, didapati 323 (34.1%) rumah tangga yang beranggota 3 jiwa; ini merupakan prosentase yang tertinggi, balk di Kecamatan Tan jungsari maupun Rancakalong, yakni sebanyak 35.1% dan 32.9%. Yang terdiri dari 2 jiwa ataukurang sebanyak 32.7% dan yang lebih dari 3 jiwa sebanyak 33.2%. (Tabel 1) Tabel 1. Karakteristik Rumah Tangga Berdasar Jumlah Anggota Keluarga menurut Kecamatan Kecamatan

Jumlah anggota Rumah Tangga

Tanjungsarl n

1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah

%

Jumlah

Rancakalong n

n

%

%

27 126 183 93 56 28 5 4

5.2 24.1 35.1 17.8 10.7 5.4 0.9 0.8

25 132 140 77 29 13 5 4

5.9 31.1 32.9 18.1 6.8 3.1 1.2 0.9

52 258 323 170 85 41 10 8

5.5 27.2 34.1 18.0 9.0 4.3 1.1 0.8

522

100.0

425

100.0

947

100.0

2. Karakteristik Kepala Rumah Tangga. a) Tingkat Pendidikan. Dan 947 kepala rumah tangga tingkat pendidikan yang tertinggi adalah SD yakni sebanyak rata-rata 59.5%; di kecamatan Tanjungsari 51.0% dan di kecamatan Rancakalong 69.9%. Selebihnya yang tidak sekolah dan tidak tamat SD adalah 37.1% dan yang tidak tamat SLP, tamat SLP, dan lain-lain adalah sebanyak 13.4% (Tabel 2). b) Jenis Pekerjaan. Dan 947 kepala rumah tangga yang dikunjungi prosentase jcnis pekcrjaan yang tertinggi dijumpai adalah pckerjaan pctani, yakni sebanyak 75,2%; di kecamatan Tan jungsari sebanyak 61.1% dan Rancakalong 92.4%. Selebihnya adalah tenaga kerja penggarap tanah, pegawai dan lain-lain (Tabel 2). c) Tingkat Penghasilan. Dari 947 kepala rumah tangga yang dikunjungi, sebanyak 65,3% mempunyai tingkat penghasilan yang tergolong rendah, yakni Rp. 120.000,- setiap tahunnya atau kurang; 25.1% berpenghasilan antara Rp. 120.000,- dan Rp. 240.000,-. Sedangkan yang di alas Rp. 240.000,- per tahun adalah sebanyak 9.6% (TabeL2). Tabel 2. Karakteristik Kepala Rumah Tangga berdasar Tlngkat Pendidikan, Jenis Pekerjaan, Tingkat Penghasilan menurut Kecamatan Kecamatan TanJungsarl Tingkat Pendidikan 1. Tidak Sekolah (TS) 2. Tidak Tamat Sekolah Dasar (TTSD) 3. Tama' Sckolah Dasar (TSD) 4. Tidak Tame Sekolah Lanjutan Panama (TTSLP) 5. Tamat Sckolah Lanjutan Pertama (TSLP) 6. Lain-lain Jenis Pekerjaan 1. Pctani 2. Pcnggarap Tanah 3. Pcgawai 4. Lain-lain Tingkat Pcnghasilan 1. < Rp. 120.000,Rp. 120.000,- Rp. 240.000,3. > Rp. 240.000,-

Rancakalong

Jumiah

n

%

n

%

n

%

71 166

13.6 31.8

51 63

12.0 14.8

122 229

12.9 24.2

266

51.0

297

69.9

563

59.5

5

1.0

2

0.5

7

0.7

6

1.1

2

0.5

8

0.8

8

1.5

10

2.3

18

1.9

319 94 7 102

61.1 18.0 1.4 19.5

393 0 9 23

92.4 0.0 2.1 5.4

712 94 16 125

75.2 9.9 1.7 13.2

275 185

52.7 35.4

343 53

80.7 12.5

618 238

65.3 25.1

62

11.9

29

6.8

91

9.6

3. Jenis Kelamin dan Golongan Umur Penduduk. Mengenai jenis kelamin terdapat sedikit perbedaan dalam jumlah di antara 2 kecamatan penelitian; (Tabel 3). Juga mengenai golongan umur terdapat sedikit perbedaan;

Tabel3. Karakteristik Penduduk menurut Jenis Kelamin menurut Kecamatan Nama Jenis Kelamin Jumlah Kecamatan Laki-laki Wanita

Tanjungsari Rancakalong

n

%

n

877 655

51.1 49.9

838 656

%

N

%

48.9' 50.1

1715 1311

100.0 100.0

prosentase tertinggi di Tanjungsari adalah golongan umur 0 -10 tahun sebesar 21.5%, sedangkan di Rancakalong adalah golongan umur 10 - 20 tahun sebesar 19,2%. Di kedua kecamatan ratarata umur penduduknya adalah 24,8 tahun (Tabel 4). Tabel 4. Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Golongan Umur dalam Keluarga di TanJungsari dan Rancakalong Golongan Umur (tahun

0-10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60

Kecamatan Tanjungsari

Jumlah

Rancakalong

n

%

369 344 360 242 160 240

21.5 20.1 21.0 14.1 9.3 14.0

213 251 247 201 173 226

16.3 19.2 18.8 15.3 13.2 17.2

582 595 607 443 333 466

19.2 19.7 20.1 14.6 11.0 15.4

1715

100.0

1311

100.0

3026

100.0

n

%

N

%

4. Kondisi Sanitasi Rumah Tangga. Kondisi sanitasi yang diteliti dalam hal ini meliputi caracara penanganan atau pembuangan air limbah, sampah dan kotoran manusia. Dan data yang diperolch dapat digambarkan pada Tabel 5 meliputi : a) Pembuangan Air Limbah. Dan 947 rumah tangga di 2 kecamatan yang diteliti didapati prosentase tertinggi menggunakancarapembuangankecomberan, baik di kecamatan Tanjungsari maupun di kecamatan Rancakalong (Tabel 5) yakni sebesar rata-rata 64.3%. Selebihnya 9.8% pembuangan dilakukan di kolam ikan, 22,1% dimaksudkan untuk menyuburkan tanah, dan 3,8% pembuangan dilakukan dengan cara lain-lain. b) Pembuangan Sampah. Dan 947 rumah tangga yang diteliti di 2 kecamatan, rata-rata prosentase tertinggi pembuangan sampah dimaksudkan untuk penyuburan tanah, yakni sebesar 52.1%. Prosentase tertinggi pembuangan sampah untuk maksudpenyuburan ini dijumpai di kecamatan Rancakalong, tapi tidak di kecamatan Tanjungsan. Di Tanjungsari pembuangan sampah terutama dilakukan dengan cara yang sembarangan di permukaan tanah (40,6%). c) Pembuangan Kotoran Manusia. Mengenai cara pembuangan kotoran manusia di 947 rumah tangga nampak bahwa rata-rata prosentase tertinggi adalah

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 27

dengan cara pembuangan ke sungai yakni sebesar 54,2%. Prosentase tertinggi ini dijumpai di kecamatan Tanjungsari tapi tidak di kecamatan Rancakalong. Di Rancakalong dengan 425 rumah tangga, prosentase tertinggi pembuangannya dilakukan ke kolam ikan (49.4%).

6.

Tabel S. Kondisl Sānitasi Rumah Tangga menurut Kecamatan

Tabel

Kecamatan Tanjungsari

Prevalensi Penyakit Diare, Infeksi Kulit, dan Mata. Dari Tabel 7 tampak bahwa prevalensi diare, penyakit kulit dan infeksi mata ditemukan lebih tinggi di desa kontrol, dibandingkan dengan di desa proyek. Perbedaan tersebut cukup bermakna (p < 0,001).

Rata-rata

Rancakalong

No. n

Pembuangan Air Limbah 1. Comberan 2. Kolam ikan 3. Dimaksud untuk

penyuburan tanah 4. Lain-lain

Pembuangan Sampah 1. Pembakaran 2. Dimaksud untuk

%

n

%

N

%

Terbuka di atas permukaan tanah 4. Lain-lain

52,9

333

78,4

609

64,3

1.

Diare

55

10,5

38

8,9

93

9,8

166

31,8

43

10,1

209

22,1

2. 3.

Infeksi Kulit Infeksi Mata

25

4,8

11

2,6

36

3,8

522

100,0

425

100,0

947

100,0

102

19,6

84

33,3

319

19,8 75,1

186

174

493

19,6 52,1

212

40,6

4

0,9

216

22,8

34

6,5

18

4,2

52

5,5

522

100,0

425

100,0

947

100,0

69 76 24

954

169

21,7 23,9 7,5 17,7

Mata

di

Desa Kontrd Jumlah Jumlah Jumlah Anak Kasus Kasus per 108 (0-10Th) anak

264 264 264

112 97 45

792

253

42,4 36,7 17,0 31,9

Dan bila dilihat dari angga prevalensi di masing-masing kecamatan, juga nampak adanya perbedaan yang cukup bermakna (masing-masing p < 0.001) (Tabel 8 dan 9). 8. Angka Prcvalensi Penyakit Kecamatan Tanjungsari

Mare,

Infeksi

Desa Proyek

No. 2

0,4

-

52

9,9

25

3. Sungai

324

4. Kolam Ikan

107

5. Lain-lain

62,1 20,5

37

7,1

522

100,0

-

2

0,2

5,9

77

8,1

189

44,5

513

54,2

210

49,4

317

33,5

1

0,2

38

4,0

425

100,0

947

100,0

5. Sikap Kepala Rumah Tangga terhadap Penggunaan Air. Dari 947 rumah tangga yang diteliti, 92,2% mengarah path segi kepentingan kesehatan, selebihnya (7,8%) mengarah path kebiasaan dan lain-bin. Prosentase tertinggi mengenai hal tersebut dijumpai path masing-masing kecamatan (Tabel 6). Sikap Kepala Rumah Minum dan Mandi

Tangga

terhadap

Penggunaan

Air

Kulit,

dan

Mata di

Desa Kontrol

n

%

Rancakalong

Jumlah

n

N

%

%

455

87,2

418

98,4

873

92,2

54

10,3

6

1,4

60

6,3

13

2,5

1

0,2

14

1,5

522

100,0

425

100,0

947

100,0

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Jumlah anak (0-10Th)

Diare

Jumlah kasus

Jumlah kasus per 100

anak

Jumlah anak (0-10Th)

Jumlah kasus

Jumlah kasus per 100

anak

2. Infeksi Kulit 3. Infeksi Mata

197 197 197

46 52 13

23,4 26,9 6,6

172 172 172

62 90 23

36,1 52,3 16,9

Jumlah

591

111

18,8

516

181

35,1

1.

Keterangan : p < 0,001 Tabel 9. Angka Prevalensi Penyakit Diare, Infeksi Kulit, dan Mata di Kecamatan Rancakalong Desa Proyek

Desa Kontrol

Nama

No.

Penyakit

Jumlah anak (0-10Th)

Jumlah kasus

Jumlah kasus per 100

anak

Jumlah anak (0-10Th)

Jumlah kasus

Jumlah kasus per 100

anak

Diare

2. Infeksi Kulit 3. Infeksi Mata

121 121 121

23 24 11

19,0 19,8 9,1

92 92 92

50 7 16

54,4 7,6 17,4

Jumlah

363

58

16,0

276

73

26,5

1.

Tanjungsari

Penyakit

untuk

Kecamatan Sikap

Agar dapat hidup sehat Kebiasaan Lain-lain

318 318 318

dan

Nama

secara terbuka 2. Jamban Keluarga

6.

Dese Proyek Jumlah Jumlah Jumlah anak Kasus Kasus per 100 (0-10Th) anak

Kulit,

Keterangan : p < 0,001

Tabel

Pembuangan Kotoran Manusia 1. Permukaan tanah

Tabel

Nama Penyakit

276

penyuburan tanah 3. Sembarangan secara

Angka Prevalensi Penyakit Mare, Infeksi Kecamatan TanJungsari dan Rancakalong

7.

Keterangan : p < 0,001

7. Pengelolaan Sarana Air Perpipaan. Dan penelitian ini diperoleh data sebagai berikut : a) Kecamatan Tanjungsari. Dari hasil wawancara setiap bulan dengan penanggungjawab

sarana air perpipaan selama penelitian, diperoleh informasi adanya satu kali permasalahan dalam pengcloiaan sarana tersebut, yakni kebocoran pada minggu-minggu permulaan bulan Maret 1980 akibat pipa utama tengah terbawa tanah longsor. Masalah ini telah dapat diatasi dengan baik mclalui gotong royong masyarakat setempat. b) Kecamatan Rancakalong. Dan hasil wawancara yang dilakukan di kecamatan ini tidak satupun masalah terjadi mengenai pengelolaan sarana air perpipaan selama penelitian. 8. Pemanfaatan Limbah Air Sarana Perpipaan. Di kecamatan Tanjungsari, 55 (10,5%) rumah tangga memanfaatkan air limbah untuk kolam ikan. Di kecamatan Rancakalong, 38 (8,9%) rumah tangga yang memanfaatkan air limbah untuk kolam ikan (Tabel 10). Tabel 10. Pemanfaatan Limbah Air Sarana Perpipaan untuk Kolam Ikan di Kccamatan Tanjungsari dan Rancakalong Kecamatan

Tanjungsari Rancakalong

Jumlah Rumah Tangga

522 425

Jumlah Rumah Tangga Yang Memanfaatkan Air Limbah N

%

55 38

10,5 8,9

Namun ternyata kolam-kolam ikan tersebut tidak semuanya berfungsi untukpemeliharaan ikan, artinya tidak di semua kolam terdapat ikan, seperti terlihat pada Tabel 11. Di kecamatan Tanjungsari hanya 20 rumah tangga yang kolam ikannya masih berfungsi untuk memelihara ikan (3,8%). Di kecamatan Rancakalong hanya 15 rumah tangga yang kolam ikannya masih berfungsi untuk memelihara ikan (3,5%). Tabel 11. Kolam Titan yang Bcrfungsi di Kecamatan Tanjungsari dan Rancakalong Kecamatan

Tanjungsari Rancakalong

Jumlah Rumah Tangga

522 425

Jumlah Kolam Ikan Yang Berfungsi N

%

20 15

3,8 3,5

PEMBAHASAN Dan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas nampak bahwa dua kecamatan yang dipilih scbagai daerah penelitian tidak jauh be rbeda satu sama lain, sebagaimana telah diungkapkan dalam uraian terdahulu mengenai kesimpulan dari hasil data awal. Ini tergambar dari data karakteristik rumah tangga yang diperoleh mengenai : 1) Jumlah anggota keluarga di kedua kecamatan Tanjungsari dan Rancakalong sebagian besar terdiri dari 3 jiwa (35,1% dan 32,9%).

2) Karaktcristik Rumah Tangga mengenai golongan umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan; demikian juga mengenai kondisi sanitasi serta sikap masyarakat nampak tidak jauh berbeda pula. Kemudian mengenai dampak perbaikan air minum yang ada, di sini tampak adanya penurunan prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata di desa proyek secara umum (Tabel 7). Dengan demikian, diperoleh gambaran bahwa program penyediaan air perpipaan di desa proyek mempunyai dampak positif terhadapkesehatan penduduk, khususnya dalam penurunan prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata pada anak-anak berumur antara 0 sampai dengan 10 tahun. Penurunan angka prevalensi tersebut sesuai dengan hasilhasil studi di luar negeri, di mana umumnya terdapat penurunan prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata di daerah penelitian yang telah diberi air perpipaan atau penyediaan air yang terjamin. Antara lain dapat disebutkan di sin : • Studi di distrik Gorakhpur, Uttar Pradesh, India, tentang dibangunnya penyediaan air perpipaan di beberapa desa penelitian : tcrdapat penurunan secara umum penyakit-penyakit Ware, disentri, tifus abdominalis, kudis, trakhoma, dan konjungtivitis. • Studi WHO di Venezuela (1965) menunjukkan rendahnya penyakit diare sccara bermakna di Pompanito setelah diperkenalkan sistim penyediaan air; di saat yang sama tidak terdapat perubahan yang berarti mengenai diare di Monay yang penyediaan airnya diperoleh dad truk tanki air. • Studi olch Helen More dick. di Costa Rica (1965–1966) menyatakan bahwa pemberian air dengan sistim perpipaan penting untuk mengurangi infeksi oleh bakteria enteropatogenik. • Studi oleh White dkk. mengenai penggunaan air di kalangan rumah tangga di Afrika Timur (1972) menyatakan bahwa angka diare yang tinggi secara bermakna telah dijumpai di beberapa keluarga yang tanpa penyediaan air secara perpipaan. Penyakit diare diketahui sebagai penyakit yang umum di an tara anak-anak yang bertempat tinggal di daerah-daerah yang tidak menyediakan air perpipaan(5) Penurunan secara umum angka prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata memang terlihat di desa proyek pada penelitian ini (Tabel 8), kecuali di Kecamatan Rancakalong, di sini penyakit kulit tidak menurun (Tabel 9). Hal demikian memang dimungkinkan karena adanya beberapa faktor tertentu yang ikut menentukan, antara lain dari hasil-hasil penelitian di Amerika Serikat di bawah ini : • Penelitian dari Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan Amerika Serikat menyatakan bahwa kejadian penyakit kulit menurun setelah pembangunan sarana sanitasi (termasuk sarana kran air, jamban saniter, pancuran air untuk mandi), namun demikian di kemudian hari naik lagi. Hal ini diduga akibat tanpa adanya sistim pendidikan yang baik tentang penggunaan, cara kerja, serta pemeliharaan sarana dimaksudol. • Azurin & Elvero(7) mengevaluasi upaya peningkatan sanitasi lingkungan dalam melawan penyakit kolera. Mereka menyatakan antara lain, bahwa dengan penyediaan air yang terjamin dapat menurunkan penyakit kolera hingga 73%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 29

r

• Misra dalam penelitiannya mengenai penyediaan air minum pedesaan di Uttar Pradesh, India, menyatakan bahwa dengan diperkenalkannya sistim penyediaan air perpipaan dengan keran rumah-rumah tangga telah dapat menurunkan prevalensi diare hingga 77%, disentri 76%, infeksi kulit (skabies) 98%, infeksi mata (trachoma) 90%. Dan efektifitas penurunan prevalensi diare dengan sistim penyediaan air dengan keran umum (public standposts) diperkirakan hanya sampai 2/3 dari penggunaan keran dalam rumah tangga(6). Selanjutnya meskipun penurunan secara umum itu terjadi di daerah proyek, namun penurunan tersebut belumlah dapat dikatakan besar; hal demikian kiranya dapat dimaklumi, karena sebagaimana diketahui sistim penyediaan air perpipaan di desa proyek di daerah penelitian ini penyelenggaraannya baru sampai ke keran-keran umum (keran air di luar rumah yang digunakan oleh banyak orang), dan bukan keran-keran air per keluarga (keran air di dalam rumah yang dapat digunakan oleh satu keluarga); di samping itu masih ada beberapa faktor lain yang berpengaruh dalam penurunan angka prevelensi penyakit tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adānya program peningkatan penyediaan air minum pedesaan di daerah penelitian : 1) Terdapat penurunan angka prevalensi diare hingga 49%, infeksi kulit 35%, dan infeksi mata 56%. 2) Terdapat penurunan umum angka prevalensi penyakit diare, kulit dan mata yang walaupun belum begitu besar, sudah dapat membuktikan adanya dampak positif terhadap kesehatan penduduk setempat.

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

3) Belum besarnya penurunan tersebut, mungkin akibat adanya faktor lain yang ikut menentukan, antara lain belum masuknya sarana penyediaan air ke dalam rumah (indoor system). Dengan demikian untuk meningkatkan keberhasilan program penyediaan air pedesaan serta program pengawasan atau pengendalian penyakit menular khususnya penyakit diare, kulit dan infeksi mata, disarankan adanya program penyediaan air perpipaan sampai masuk ke rumah dengan keran air perorangan, dan bukan lagi keran umum. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Jawa Barat beserta staf, serta Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang beserta staf juga kepada Kepala Pusat Penelitian Ekologi yang telah mengijinkan, membantu serta memungkinkan pelaksanaan penelitian ini. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Wall J W, Keeve JP. Water supply, diarrheal disease and nutrition : A survey of the literature and recommendation for research,. Draft Working Paper, Washington DC 1974. Stein J. Walter : Life and Death. A Report in preparation for the United Nations Water Conference, Mar del Plata, Argentina, March 1977, International Institute for Environment and Development. Buku Rrencana Pembangunan Lima Tahun Ke Empat, IV. 1984. Ratna Budiarso L, Putrali J, Muchtaruddin M. Laporan Survai Kesehatan Rumah Tangga, 1960. Saunders RJ, Warford JJ. Village water supply, economics and policy in the developing world. Baltimore, London: John Hopkins Univ. Press. 1976. McJunkin FE. Water and Human Health. Second Printing. 1983. Azurin JC, Alvero M. Bull. WHO. 1974; 51 (1) : 19 – 25.

Infeksi Bakteri Enteropatogen pada Penderita Diare Golongan Umur Balita di Daerah Jawa Barat dan Pola Resistensinya terhadap Antibiotik Pudjarwoto T*, Cyrus H. Simanjuntak*, Eko Raharjo*, Suharyono W*, Sutoto**, Sri Harjining* *Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

**Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK Untuik mengetahui spektrum penyebab penyakit diare di Jawa Barat, 461 sampel rectal swab yang berasal dari penderita diare di beberapa daerah di Jawa Barat telah diidentifikasi terhadap Entero-bakteri patogen, serta dilakukan uji resistensi terhadap antibiotikpilihan padabakteri patogen yang ditemukan. Uji resistensi dilakukan terhadap 5 jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, kloramfenikol dan kotrimixazol dengan cara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966). Hasil pemeriksaan menunjukkan, distribusi entero-bakteri patogen pada penderita diare golongan umur balita meliputi Vibrio-cholera dengan positive rate sebesar 4,1%, Shigella 3,1%, E. coli patogen (ETEC) 4,9%, Campylobacter 5,4% dan Vibrio parahaemolyticus0,2%. Dari basil uji resistensi kuman terhadap antibiotik menunjukkan bahwa kotrimoxazol dan kanamisin masih cukup efektif untuk Shigella, E. coli patogen (ETEC) maupun V. cholera. Selain kedua jenis antibiotik tersebut, tetrasiklin juga masih efektif untuk V. cholera. Multi resistensi yang terjadi berbeda antara jenis kuman yang satu dengan jenis kuman yang lain. Pada kuman Shigella 14,2% bersifat multi resisten terhadap 4 jenis antibiotik yaitu terhadap ampisilin, kloramfenikol, tetrasiklin dan kotrimoxazol. Pada V. cholera 4,7% multi resisten terhadap kloramfenikol dan tetrasiklin, sedangkan pada E. coli patogen (ETEC) 25,0% multi resisten terhadap kloramfenikol, tetrasiklin dan ampisilin.

PENDAHULUAN Laporan Dir Jen P2M & PLP Departemen Kesehatan tahun 1987 menyebubkan bahwa propinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah kasus diare terbesar dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonsia. Sampai saat ini penyakit diare di Jawa Barat merupakan salah satu masalah kesehatan utama dengan seringnya kejadian wabah diare yang menimbulkan kepanikan penduduk/masyarakat karena bila tidak segera diobati akan menyebabkan kematian penderita. Seperti KLB (Kejadian Luar Biasa) Muntaber yang timbul pada bulan September 1990 yang

menyebabkan lebih dari 80 penderita meninggal dunia. Suatu hal yang menjadi masalah adalah belum ada informasi mengenai spektrum penyebab penyakit diare sampai saat ini, karena survai mengenai etiologi diare di Jawa Barat belum pernah dilakukan(1). Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa Keputusan Seminar Rehidrasi Tingkat Nasional ke III di Semarang tahun 1982 menyebatkan bahwa bakteri pen yebab diare di Jakarta adalah Vibrio cholera dengan positive rate 0,8%, Salmonella 4,0%, Shigella 0,6%, Vibrie NAG 2,1%, V. parahaemolyticus 1,6%, Campylobacter 1,2% dan E. coli patogen 12,2%. Di sini

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 31

terlihat bahwa penyebab terbesar adalah E. coli patogen. Untuk daerah Yogyakarta infeksi Enterobakteri patogen pada penderita diare golongan anak-anak terdiri dari V. cholera, Salmonella, Shigella dan E. coil patogen (ETEC)(2). Data etiologi dan epidemiologi sangat diperlukan untuk menyusun program penanggulangan penyakit diare secara rasional dan terarah, serta penting untuk membuat kebijakan dalam penyediaan obat-obatan di Rumah Sakit dan Puskesmas. Upaya pengobatan pada penderita diare sebagian besar adalah dengan terapi rehidrasi atau dengan pemberian Oralit, karena sebagian terbesar penyakit diare pada golongan balita adalah disebabkan oleh rotavirus yang bersifat self-limiting. Adapun fungsicairanrehidrasi atau oralitadalah untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat adanya dehidrasi(3). Tetapi sekitar 10% – 20% penvakit diare memerlukan terapi antibiotika, yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi V. cholera, Salmonella, Shigella, ETEC dan Campylobacter(`). Masalah yang timbul dalam kaitannya dengan antibiotik adalah adanya kuman yang resisten terhadap antibiotik yang dapat terjadi secara genetik. Perkembangan resitensi ini dipercepat akibat penggunaan antibiotik yang tidak terarah. Oleh karena itu surveillance tentang resistensi kuman terhadap antibiotik perlu dilakukan untuk menentukān kebijakan pemakaian antibiotik'secara rasional(5). Untuk menambah informasi tentang spcktrum bakteriologi penyebab diare di Jawa Barat dan pola resistensinya terhadap antibiotik, dalam makalah ini disajikan data basil penelitian bakteri enteropatogenik pada penderita diare dan uji resistensinya terhadap beberapa jenis antibiotik pilihan. BAHAN DAN CARA 1). Cara mendapatkan sample rectal swab Rectal swab sebagai bahan penelitian utama di laboratorium diperolch dari penderita diare yang datang berobat ke beberapa rumah sakit di daerah Pandeglang dan daerah Kuningan, Jawa Barat. Rectal swab selanjutnya dimasukkan ke dalam medium Carry & Blair sebagai medium transpor selektip untuk Enterobacteria. 2). Identifikasi bakteri enteropatogen Identifikasi dilakukan untuk mendeteksi Vibrio chiolera, Salmonella, Shigella, E. coil patogen (ETEC, EIEC), V. parahaemolyticus, NAG, Campylobacter. Prosedur identifikasi ini meliputi 3 macam pemeriksaan yaitu plating media (penanaman pada perbenihan), test biokimia dan test serologi. Untuk identifikasi E. coli dan Campylobacter tidak dilakukan test serologi, tetapi dengan test ELISA (untuk E. colt) dan test Oksidasi & Katalase (untuk Campylobacter) (lihat diagram 1). 3). Uji resistensi in-vitro terhadap antibiotik Uji resistensi dilakukan terhadap 5 jenis antibiotik pilihan yaitu kloramfenikol dengan potensi disk sebesar3014, ampisilin 10 µg, tetrasiklin 30 µg, kanamisin 30 µg dan sulfametoxazoltrimetoprim 25 µg. Cara pengujian dilakukan secara Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) dengan menggunakan disk antibiotik ukuran 6 mm (Product BBL). Pengujian ini bersifat in

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

vitro dan berfungsi untuk menentukan obat terpilih dalam sua terapi antibiotik. HASIL DAN PEMBAHASAN Selama lebih kurang 9 bulan penelitian telah dapat diperiksa sejumlah 461 sampel rectal swab. Identifikasi terhadap bakteri enteropatogen menunjukkan bahwa 16,9% kejadian diare di Jawa Barat adalah disebabkan oleh infeksi bakteri enteropatogen. Distribusi spesies yang ditemukan terdin dari V. cholera sebesar 4,1%, Shigella 3,1%,E. coil patogen (ST) 4,9%, Campylobacter 5,4% dan V. parahaemolyticus 0,2% (Tabel 1). Tidak ditemukan spesies dari Salmonella, NAG maupun jenis bakteri enteropatogen lain. Tabel 1. Distribusl bakteri enteropatogen pada kasus-kasus Mare pad golongan umur balita di daerah Jaws' Barat th 1989 (N = 461). Bakteri enteropatogen Vibrio cholera Eltor Ogawa Vibrio cholera Eltor Inaba E. coil patogen (ETEC) : :

Salmonella Shigella Vibrio parahaemolyticus

Vibrio NAG

Campylobacter Yersinia

ST LT

Jumlah

%

19 0 23 0

4,1 0,0 4,9 0,0 0,0 3,1 0,2 0,0 5,4 0,0

0

14 1 0 25 0.

Keterangan: ETEC = Entero Toxigenic Escherichia calf ST = Stabile Toxin; LT = Labile Toxin NAG =Non Aglutinable

Campylobacter jejuni telah diakui sebagai bakteri patogen yang menyebabkan penyakit gastroenteritis, dan telah banyak dibuktikan oleh para peneliti(6). Di Jakarta prevalensinya mencapai 5,3% (1980), sedangkan di Jawa Barat dalam penelitian ini tidak jauh berbeda yakni 5,4% (1989). Adapun gejala klinis gastroenteritis yang ditimbulkannya adalah diare disertai demam, fase berdarah, nyeri abdomen dart muntah. Lama diare berkisar antara 1 s/d 7 hari dengan frekuensi buang air antara 4 20 kali. Sifat feses dapat seperti bubur, encer atau berupa air(6). Antibiotik terpilih adalah eritromisin. Di daerah-daerah endemis diare, ETEC merupakan salah satu penyebab utama diare akut yang menyerupai penyakit kholera balk pada anak-anak maupun golongan umur dewasa. Penderita terbanyak adalah anak-anak di bawah umur 2 tahun dan prevalensinya menurun pada golongan umur 4 tahun serta tetap rendah pada umur-umur selanjutnya. Gejala klinis diare yang disebabkan oleh ETEC berkisar dari gejala ringan sampai berat. Sebagai sumber penularan adalah manusia yang merupakan carrierm. Prevalensi ETEC (ST saja) di Jakarta tahun 1981 mencapai 6,0%, sedangkan di Jawa Barat dalam penelitian ini adalah sebesar 4,9%. Di sini tidal( ditemukan LT maupun kombinasi ST & LT. Shigella pada umumnya terdapat dalam prevalensi yan bervariasi. Di Jakarta berkisar antara 3% s/d 5% (1980), sedangka di Jawa Barat dalam penelitian ini mencapai 3,1%. Umumnya

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 33

Note : * Use only when looking specially for S. Typhi; some pseudomonads and aeromonads may grow in it producing pink colonies

Diagram 1. Pemeriksaan Enterobakteri patogen

Diagram 2. GUIDANCE FOR IDENTIFICATION OF IMPORTANT ENTERIC BACTERIA

Note : *NLF = non-lactose fermenter

terdapat 4 spesies Shigella yaitu S. flexneri, S. dysentriae, S. boydii dan S. sonnei. Di Jawa Barat, S. dysentriae lebih banyak ditemukan yakni sebesar 57%, sedangkan di Jakarta 50% terdiri dari S. flexneri. Campylobacter merupakan golongan bakteri enteropatogen yang paling banyak ditemukan, yakni sebesar 5,4% dibandingkan dengan spesies yang lain seperti ETEC 4,9%, V. cholera 4,1%, Shigella 3,1% dan V. parahaemolyticus 0,2%. Populasi V. cholera Eltor Inaba memang relatif masih rendah. Suatu penelitian tahun 1982 menemukan Eltor Inaba sebesar

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

0,8%, sedangkan Eltor Ogawa 99,2%. Dalam penelitian ini tidak ditemukan Eltor Inaba; mungkin karena sampel yang diperiksa relatif kecil (di bawah 500) sehingga V. cholera Eltor'lnaba belum sempat terjaring. Tentang tidak ditemukannya spesies Salmonella di sini belum diketahui penyebabnya. Uji resistensi isolat bakteri enteropatogen yang berhasil diisolasi terhadap antibiotik terpilih telah dilakukan pada isolat V. cholera, E. coli patogen (ETEC), Shigella dan Vibrio parahaemolyticus terhadap antibiotik tetrasiklin, khloramfei kanamisin, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Hasil uji

resistensi V. cholera menunjukkan bahwa umumnya kelima jenis antibiotik tersebut masih cukup efektif secara in vitro. Ditinjau dari derajat efektivitasnya, kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim masih efektif 100%, sedangkan tetrasiklin 95,3%. Dua jenis lainnya yaitu khloramfenikol dan ampisilin efektivitasnya di bawah antibiotik yang disebutkan terdahulu (Tabel 2). &1asil uji resistensi untuk isolat E. coli patogen (ETEC) menunjukkan bahwa tingkat resistensi ETEC terhadap kelima jenis antibiotik yang diuji masih relatif kecil. Namun derajat efektivitasn ya paling baik yaitu pada antibiotik kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim (Tabel 3). Tabel 2. Pola resistensi isolat V. cholera yang berasal dad Jawa Barat terhadap 5 jenis antibiotik terpilih pada pengujian dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989 (n = 21). Antibiotik/Potensi Disk Tetrasiklin/30 pg Khloramfenikol/30 µg Kanamisin/30 gg Ampisilin/10 gg Sulfametoxazol-trimetoprim/25 pg

Jumlah resistensi 1 2 0 4 0

% 4,7 9,4 0,0 19,0 0,0

Tabel 3. Pola resistensi isolat E. coli patogen (ETEC) yang berasal dari Jawa Barat terhadap 5 jenis antibiotik terpilih pada pengujian dengan Disk Diffusion Method (Kirby Baeuer, 1966) tahun 1989 (n = 23). Antibiotik/Potensi Disk Tetrasiklin/30 µg Khloramfenikol/30 µg Kanamisin/30 µg Ampisilin/10 pg Sulfamctoxazol-trimetoprim/25 µg

Jumlah isolat resistensi 11 10 1 6 0

% 55,0 50,0 5,0 30,0 0,0

Tabel 4. PolaresistensiisolatShigella yang berasaldaridaerahJawaBarat terhadap 5 jenis antibiotik pada pengu jian dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989 (n = 14).

Tetrasiklin/30 µg Khloramfenikol/30µg Kanamisin/30 µg Ampisilin/10 µg Sulfametoxazol-trimetoprim/25 µg

Jumlah Isolat resistensi 12

8 1 11 2

Tabel 5. Pola resistensi multi antibiotik isolat V. cholera di Jawa Barat. (n = 21) Multi antibiotik

Jumlah isolat resistensi

Khloramfenikol dan Tetrasiklin Ampisilin Khloramfenikol

Hasil uji resistensi untuk isolat Shigella menunjukkan bahwa dua jenis antibiotik yaitu kanamisin dan sulfametoxazoltrimetoprim masih cukup efektif, sedangkan pada tiga jenis antibiotik yang lain yaitu tetrasiklin, ampisilin dan khloramfenikol, isolat Shigella sudah menunjukkan tingkat resistensi yang cukup tinggi (Tabel 4).

Antibiotik/Potensi Disk

tidak bisa dilakukan. Dari tabe12, 3 dan 4 terlihatbahwa secara in vitro kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim merupakan dua jenis antibiotik yang masih cukup efektif untuk Shigella dan ETEC di Jawa Barat. Sedangkan untuk V. cholera di samping kedua jenis antibiotik tersebut, tetrasiklin juga masih sangat efektif. Kanamisin adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang besifat bakteriostatik dan efektif untuk bakteri gram negatif. Sifatnya menghambat sintesis protein sel mikroba dan kejadian resistensi bakteri terhadap kanamisin timbul secara perlahanlahan(4). Sulfametoxazol-trimetoprim mempunyai efektivitas tinggi terhadap berbagai jenis bakteri enteropatogen. Hal ini disebabkan karena meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik adalah seining dengan lama (usia) penggunaan antibiotic tersebut; sedangkan sulfametoxazol-trimetoprim adalah antibiotik kombinasi yang relatif baru, sehingga rata-rata tingkat resistensi bakteri terhadap antibiotik ini masih rendah. Informasi tentang distribusi resistensi multi antibiotik di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 5, 6 dan 7.

% 85,7 57,1 7,1 78,5 14,2

Keterangan: n = Jumlah isolat yang dilakukan uji resistensi.

Untuk Vibrio parahaemolyticus hanya terdapat 1 isolat dan hasil uji resistensinya menunjukkan sensitif terhadap semua jenis antibiotik yang diujikan. Disayangkan karena alasan teknis maka uji resistensi isolat Campylobacter terhadap antibiotik

1 4 1

% 4,7 19,0 4,7

Tabel 6. Pala resistensi multi antibiotik isolat Shigella di Jawa Barat. (n = 14). Multi antibiotik

C, Te, Am, Sxt C, Te, Am, K C, Te, Am Te, Am Te

Jumlah isolat resistensi

'%

2 1 5 3 1

14,2 7,1 35,7 21,4 7,1

= Khloramfenikol Am = Ampisilin = Tetrasiklin K = Kanamisin = SulfametoxazolTrimetoprim Tabel 7. Pola resistensi multi antibiotik isolat E. coli patogen (EFEC) di Jawa Barat (n = 20). Keterangan: C Te Sxt

Multi antibiotik

Jumlah isolat resistensi

C, Te, Am C, Te

5 4

%

25,0 20,0

Keterangan : ldem label 6.

Kejadian multiresistensi pada dasarnya disebabkan oleh penggunaan antibiotik secara berlebihanm. Tabel 5 memperlihatkan bahwa multiresistensi V. cholera di Jawa Barat masih rendah yakni pada 2 jenis antibiotik yaitu C dan Te sebesar4,7%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 35

Keadaan ini masih belum menimbulkan kerisauan bagi kalangan medis/klinisi, karena bila sewaktu-waktu terjadi outbreak kholera yang berasal dari isolat yang multiresistcn ini masih terdapat beberapa jenis antibiotik pilihan yang masih efektif untuk jenis baktcri ini. Untuk E. coil patogen, terdapat 25% isolat ETEC yang bersifat multiresisten terhadap 3 jenis antibiotik yaitu terhadap C, Te dan Am (Tabel 6); jadi keragaman sifat multiresistensi ETEC lebih luas dari pada V . cholera. Kejadian multiresistensi yang bervariasi ini sering inenimbulkan kesulitan dalam memilih antibiotik yang tepat bila tidak disokong oleh konfirmasi etiologi dan pola resistensinya terhadap antibiotik. Di daerah endemis diare, ETEC merupakan juga penyebab utama diare akut yang menyerupai penyakit kholera baik pada golongan umur dewasa maupun anak-anak(7). Untuk isolat Shigella keadaan multiresistensi terhadap antibiotik lebih complicated. Dalam tabel 7 terlihat bahwa 14,2% (2 dari 14) isolat Shigella bersifat multiresisten terhadap 4 jenis antibiotik pilihan yaitu C, Te, Am dan SxT, serta 7,1% (1 dari 14) bcrsifat multiresisten terhadap C, Te, Am dan K. Pengobatan terhadap Shigellosis lebih sering dilakukan dengan terapi antibiotik daripada terapi rehidrasi karena pada kasuskasus epidemi Shigella hanya sekitar 10% yang mengalami dehidrasi serius. Dikhawatirkan bila terjadi KLB yang disebabkan oleh kuman Shigella yang bersifat nultiresisten terhadap antibiotik tersebut di atas, tidak ada lagi antibiotika dapat membunuh bakteri penyebab infeksi tersebut sehingga banyak penderita yang terancam jiwanya. KESIMPULAN Spektrum bakteriologi penyebab penyakit diare golongan balita di Jawa Barat terdiri.dari Shigella, Campylobacter, E. coli patogen (ETEC), V. cholera dan V. parahaemolyticus. Positive rate terbesar adalah Campylobacter, sedang E. coli patogen menduduki peringkat kedua.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Antibiotik kotrimoxazol dan kanamisin terbukti masih sangat efektif untuk Shigella dan E. coli patogen. Untuk V. cholera di samping kedua jenis antibiotik tersebut, tetrasiklin juga masih cukup efektif. Kejadian multiresistensi terhadap antibiotik berbeda antara jenis kuman yang satu dengan jenis yang lain. KEPUSTAKAAN 1.

Alibasah Natakusumah. Kejadian Luar Biasa dan Wabah DiareBarat dan Tatralaksana Penanggulangannya. Rehidrasi Oral, Pemantapan dan Pembudayaannya dalam upaya Penanggulangan Diare. Dir Jen PPM & PLP, 1984 hal : 297-307. 2. Keputusan Seminar Rehidrasi Tingkat Nasional ke III. Rehidrasi Oral, Pemantapan dan Pembudayaannya dalam Upaya Penanggulangan Diare. Dit Jen PPM & PLP Dep Kes RI, 1984. hal : 415-42. 3. Sunoto. Penatalaksanaan dan Pengobatan Dietetik Penderita Diare. Rehidarasi Oral, Pemantapan dan Pembudayaannya Dalam Upaya Penanggulangan Diare. Dit Jen PPM & PLP 1984 hal : 180-200. 4. Natrup RS, Ardie AS, Santoso S. Manual of Medical Therapeutics 21st Edition. Edisi Indonesia : Pedoman Pengobatan. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica, 1979. 5. Rianto Setiabudi. Pemilihan Antibiotika secara Rasional. Maj Farmakol dan Terapi Indon 1988; 5 (1) : 29-36. 6. Suharyono, Iskak Koiman. Penelitian Penyebab Mikrobiologis (Entero bakteri + Rotavirus) Penyakit Diare Akut di Klinik 1974 - 1982. Proc Pertemuan IImiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia; Jakarta, 21-23 OkLobar 1982. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep Kes RI 1984. Hal : 199-208. 7. Cyrus H Simanjuntak. Peranan ETEC sebagai Penyebab Diare Akut. Dipresentasikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak, Konika V di Medan, 14-18 Juni 1981. 8. Sudannono P. Kebijakan Pemakaian Antibiotika dalam Kaitannya dengan Resistensi Kuman. Mikrobiologi Klinik Indonesia, 198; I : 22-27. 9. Anonymous. Perforance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Test. National Committee for Clinical Laboratory Standards, 1976. 10. WHO/CDD Program for Central Diarrhoeal Diseases. Manual for Laboratory Investigation of Acute Enteric Infection, 1987. 11. Cyrus H Simanjuntak. Aspek Mikrobiologi Penyakit Diare (Review). Proc Pertemuan llmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dep Kes RI 21-23 Oktober 1982. hal: 176-98.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 35

Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Lima Jenis Antibiotik Pudjarwoto Triatmodjo Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R1., Jakarta

ABSTRAK Untuk mengetahui pola resistensi enterobakteri patogen terhadap antibiotik, telah dilakukan uji resistensi Salmonella, Shigella, Vibrio cholera dan E. coli patogen (ETEC) terhadap 5 jenis antibiotik pilihan yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, khloramfenikol dan kotrimoxazol (sulfametaxazol-trimetoprim) dengan cara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966). Isolat-isolat bakteri yang diuji diperoleh dari basil isolasi sampel rectal swab dari penderita gastroenteritis (diare) di Jakarta dan sekitarnya yang berobat ke beberapa Rumah Sakit di Jakarta, tahun 1987 s/d 1989. Hasil pengujian menunjukkan, 5 jenis antibiotika tersebut secara in vitro masih cukup efektif untuk V. cholera namun dengan derajat efektivitas yang berbeda-beda, khloramfenikol ternyata lebih efektif dari pada tetrasiklin. Tingkat resistensi V. cholera terhadap khloramfenikol adalah sebesar 0,7%, sedangkan terhadap tetrasiklin sebesar 2,9%. Untuk Salmonella dua jenis antibiotik yang cukup efektif adalah kanamisin dan kotrimoxazol dengan tingkat resistensi sebesar 6,2% terhadap kedua jenis antibiotik tersebut. Terhadap 3 jenis antibiotik yang lain yaitu tetrasiklin, ampisilin dan khloramfenikol tingkat resistensinya sudah mencapai > 30%. Untuk Shigella dan E. coli patogen (ETEC) pola resistensinya mirip dengan Salmonella, dua jenis antibiotik yang efektif untuk kuman tersebut adalah kanamisin dan kotrimoxazol. Multiresistensi yang muncul pada enterobakteri patogen bervariasi. Sebesar 5% isolat Salmonella bersifat multiresisten terhadap 5 jenis antibiotik, V. cholera 0,7% terhadap 4 jenis antibiotik, Shigella dan E. coli patogen (ETEC) masing-masing 31,2% dan 26,3% bersifat multiresisten terhadap 3 jenis antibiotik. PENDAHULUAN Diketahui sebagianbesarpenyakitdiare adalah SelfLimiting Disease, ,meskipun secara klinis sulit ditentukan penyebabnya. Pusat-pusat pengobatan di daerah seperti Puskesmas tidak mempunyai sarana laboratorium yang memadai untuk pemericsaan etiologi diare, sehingga untuk menanggulanginya,

selainrehidrasipadaumumnyadokterdiPuskesmas menggunakan antibiotik(1). Hal ini sebenamya tidak sesuai dengan prinsipprinsip penggunaan antibiotik yang seharusnya didasarkan pada diagnosis klinis dan etiologisnye. Penggunaan antibiotik secara tidak tepat ditinjau dari segi indikasi, dosis, saat dimulai dan lama terapi dapat menimbulkan resistensi. Adanya resistensi kuman terhadap antibiotik menim-

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 37

bulkan kerisauan di kalangan klinisi karena infeksi kuman patogen tidak dapat lagi diobati dengan sempurna oleh antibiotik pilihan(3,4). Sekitar 10% – 20% kasus diare memerlukan terapi antibiotik, yaitu diare yang disebabkan oleh Salmonella, Shigella, Vibrio cholera, E. coli patogen dan Campylobacter(2,5). Keputusan Seminar Nasional Rehidrasi ke III di Semarang (1982) menyebutkan bahwa terapi antibiotik pada kasus-kasus diare cholera adalah tetrasiklin dengan dosis untuk anak-anak: 30 mg/ kgbb/hari selama 2 hari; sedangkan untuk dewasa: 4x500 mg/ hari selama 2 hari(3,6). Jenis antibiotik lain yang dianjurkan adalah khloramfenikol, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetroprim(7). Untuk diare yang disebabkan oleh Shigella (disebut juga diare disentri) antibiotik ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim merupakan pilihan utama. Beberapa literatur menyebutkan antibiotik lain yang dianjurkan adalah tetrasiklin dan khloramfenikol. Antibiotik pilihan untuk infeksi Salmonella adalah khloramfenikol, ampisilin dan sulfametoxazol - trimetoprim. Sedangkan antibiotikpilihan untukinfeksiCampylobacter adalah eritromisin(8,9). Walaupun informasi mengenai pola resistensi bakteri enteropatogen terhadap antibiotik telah banyak dilaporkan, namun surveillance mengenai hal ini perlu dilakukan secara berkala, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional, mengingat pola kuman dan resistensinya terhadap antibiotik dapat bervariasi pada tempat dan waktu yang berbeda(2,3). Untuk menambah informasi mengenai resistensi bakteri enteropatogen terhadap antibiotik, dalam makalah ini disajikan hasil uji resistensi kuman dari spesies Salmonella, Shigella, Vibrio cholera dan E. coli patogen (ETEC) terhadap 5 macam antibiotik pilihan yaitutetrasiklin, ampisilin, khloramfenikol, kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim. BAHAN DAN CARA 1) Cara mendapatkan isolat bakteri enteropatogen. Isolat Salmonella, Shigella, V. cholera dan ETEC diperoleh dari hasil identifikasi rectal swab yang berasal dari penderita diare yang berobat ke beberaparumah sakit di Jakarta, antara lain Rumah Sakit Karantina dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo serta sampel-sampel rectal swab yang dikirim oleh beberapa instansi lain. Identifikasi bakteri enteropatogen dilakukan melalui 3 tahap pemeriksaan, yaitu plating media, test biokimia dan test serologi kecuali untuk ETEC. Pada indentifikasi ETEC sesudah test biokimia dilakukan tes ELISA (diagram 1). 2) Cara uji resistensi Ujiresistensidilakukan dengan Disk Diffusion Method dari Kirby Bauer (1966). Dalam pengujian ini media selektif adalah Muller Hinton Agar (Difco product). Antibiotik yang digunakan adalah disk antibiotik (Product BBL) dengan diameter 6 mm, masing-masing dengan potensi disk untuk tetrasiklin sebesar 30 µg, ampisilin 10 pg, khloramfenikol 30 µg, kanamisin 30 µg dan sulfametoxazol-trimetoprim 25 µg.

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Ketentuan mengenai resistensi atau sensitivitasnya mengikuti petunjuk dari Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Tests (NCCLC , 1976).

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pemeriksaan sampel rectal swab terhadap Enterobacteriaceae tahun 1987 s/d 1989 telah dapat diperoleh isolat V. cholera sebanyak 137 spesimen, Salmonella 40 spesimen, Shigella 16 spesimen, E. coli patogen (ETEC) 19 spesimen dan Campylobacter 25 spesimen. Uji resistensi untuk Campylobacter tidak bisa dilakukan karena terjadi kekeliruan pemeliharaan sehinga spesimen mati sebelum dilakukan pengujian. Hasil uji resistensi Salmonella terhadap 5 jenis antibiotik (tabel 1) memperlihatkan sulfametoxazol-trimetoprim merupakan antibiotik yang paling efektif untuk Salmonella dengan derajat resistensi sebesar 5%, kanamisin dan ampisilin nampaknya lebih efektif daripada khloramfenikol; derajat resistensi Salmonella terhadap kanamisin adalah sebesar 12,5%, terhadap ampisilin 17,5%, khloramfenikol 20,0% dan tetrasiklin 25,0%. Tabel 1. Pola resistensi Salmonella sp. terhadap antibiotik tetrasiklin, ampisilin, kanamisin,; khloramfenikol dan sulfametoxazol-trimetoprim pada pengujian dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) th.1989. (N = 40)* Antibiotik

Khloramfcnikol Ampisilin Sulfametoxazol-trimetoprim Tetrasiklin Kanamisin

Potensi disk

30 µg 10 µg 25 µg 30 µg 30 µg

Jumlah isolat resistensi n

96

8 7 2 10 5

20,0 17,5 5,0 25,0 12,5

Keterangan : *) N = Jumlah isolat Salmonella yang diuji.

Untuk isolat V. cholera telah dilakukan uji resistensi terhadap 4 macam antibiotik yaitu tetrasildin, khloramfenikol, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ke empat macam antibiotik tersebut secant in-vitro masih cukup efektif untuk V. cholera (Tabel 2). Dilihat dari derajat efektifitasnya, khloramfenikol merupakan antibiotik yang paling efektif untuk V. cholera, sedangkan peringkatkedua adalah sulfametoxazol -trimetoprim, selanjutnya tetrasiklin dan terakhir ampisilin. Untuk isolat Shigella sp. telah dilakukan uji resistensi terhadap 5 jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, khloramfenikol, kanamisin, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Terlihat bahwa tingkat resistensi Shigella terhadap antibiotik tetrasiklin, khloramfenikol dan ampisilin sudah cukup tinggi. Dua jenis antibiotik pilihan yang masih cukup efektif untuk Shigella sp. adalah kanamisin dan sulfanetoxazol-trimetoprim (Tabel 3). Kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim mempunyai

Diagram 1. Pemeriksaan Enterobakteri patogen(1).

Tabel 2. Pola resistensl V. cholera terhadap antlbiotlk tetraslklin, amp kill n, khioramfenikol din sulfametoxazol-trlmetoprim pads penguJian dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989. (N = 137). Atlbiotik

Tetraaiklin Khlonunfenikol Ampisilin Sulfametoxazol-trintetoprim

Potensi disk

30 µg 30 µg l0 µg 25 µg

Keterangan : N = Jumlah isolat V. cholera yang diuji.

Jumlah isolat resisten n

%

4 1 6 3

2,9 0,7 4,3 2,1

derajat efektifitas yang sama dalam arti tingkat resistensi isolat Shigella terhadap kedua jenis antibiotik ini masih sama rendah yakni 6,25%. Tetrasiklin masih lebih balk daripada khloramfenikol dan ampisilin. Seperti halnya pada Shigella, untuk isolat E. coli patogen (ETEC) telah dilakukan uji resistensi terhadap 5 jenis antibiotik yang sama yaitu tetrasiklin, ampisilin, khloramfenikol, kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 5 jenis antibiotik yang diuji terdapat 2 jenis yang masih efektif untuk E. colt patogen; yaitu kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Terhadap tiga jenis antibiotik yang lain tingkat resistensi E. coli patogen (ETEC) sudah cukup tinggi (tabel 4). Khusus untuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 39

Tabel 3. Pola resistensi Shigella sp. terhadap antibiotik tetrasiklin, khloramfen ikol, ampisilin, kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim pada pengu jian dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer,1966) tahun 1989 (N =16). Antibiotik

Tetrasiklin Khloramfenikol Kanamisin Ampisilin Sulfametoxazol-trimetoprim

Potensi disk

30 µg 30 µg 30 pg 10 µg 25 µg

Jumlah isolat resistensi n

%

5 7 1 8 1

31,2 43,7 6,2 50,0 6,2

Tabel 5. Pola resistensi multipel Salmonella terhadap lima jenis antibiotik (n = 40). Resistensi multipel C, Te, K, Am, SxT C, Te, K, Am C, Te, Am C Te K Keterangan :

C = Te = K =

Resistensi multipel

sulfametoxazol-trimetoprim merupakan jenis antibiotik yang istimewa untuk ETEC karena ternyata masih efektif 100% untuk bakteri tersebut. Tabel 4. Pola resistensi E. cod patogen (ETEC) terhadap antibiotik tetrasikiin, khloramfenikol, ampisilin, kanamisin dan sulfametoxazoltrimetoprim pads pengujian dengan DiskDtffurionMethod (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989 (N = 19).

Tetrasiklin Khloramfenikol Kanamisin Ampisilin Sulfametoxazol-trimetoprim

Potensi disk

30 µg 30 µg 30 µg l0 µg 25 µg

5 1 4 1 3 2 khloramfenikol Tetrasiklin Kanamisin

SxT Am

% 5,0 2,5 10,0 2,5 7,5 5,0

= SulfametoxazolTrimetoprim = Ampisilin

Tabel 6. Pola resistensi multipel Shigella sp terhidap lima jenis antibiotik (n = 16).

Keterangan : N = Jumlah isolat Shigella sp. yang diuji.

Antibiotik

Jumlah spesimen

Jumlah Isolat resistensi n

%

11 12 1 6 0

57,8 63,1 5,2 31,5 0,0

C, Te, Am; C, Am Te, Am K, Am SxT

Jumlah spesimen 5 1 1 1 1

% 31,2 2,5 2,5 2,5 2,5

Keterangan : idem tabel 5. Tabel 7. Pola resistensi multipel V. cholera terhadap lima jenis antibiotik (n = 137). Reslstensi multipel C, Te, Am, SxT; Te, Am; Am, SxT; Te; Am;

Jumlah spesimen

%

1 1 2 2 3

0,7 0,7 1,4 1,4 2,1

Keterangan : idem tabel 5.

Suatu hal yang menimbulkan masalah lebih besar dalam hubungannya dengan resistensi kuman adalah timbulnya jenis kuman yang multiresisten terhadap beberapa antibiotik, yang pada umumnya terjadi karena superinfeksi akibat penggunaan antibiotik secara berlebihan(4). Tabel 5 s/d 8 mengemukakan informasi tentang besarnya resistensi antibiotik multipel dari golongan bakteri enteropatogen terhadap 5 jenis antibiotik. Kejadian multiresistensi terhadap berbagai jenis antibiotik pada golongan bakteri enteropatogen dari spesies Salmonella, Shigella, V. cholera dan ETEC dalam pengujian ini menunjukkan adanya pola multiresistensi yang bervariasi. Pada isolat Salmonella (Tabel 5) terlihat bahwa 5% multiresisten terhadap kelima jenis antibiotik. Pada isolat Shigella terdapat 31,2% bersifat multiresisten terhadap 3 jenis antibiotik yaitu terhadap khloramfenikol, tetrasildin dan ampisilin (Tabel 6). Selanjutnya pada isolat V. cholera terdapat 0,7% (1 isolat) yang bersifat multiresisten terhadap 4 jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, khloramfenikol, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim (Tabel 7). Akhirnya untuk isolat E. coli patogen (ETEC) terdapat 26,3% yang multiresistensi terhadap 3 jenis antibiotik yaitu terhadap tetrasiklin, ampisilin clan khloramfenikol (Tabel 8).

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Tabel 8. Pola resistensi multipel E. coli patogen (ETEC) terhadap lima jenis antibiotik (n =19). Resistensi multipel C, Te, Am; C, Te; K; Te; Am; C;

Jumlah spesimen 5 3 1 2 1 1

% 26,3 15,7 5,2 10,5 5,2 5,2

Keterangan : idem tabel 5.

Multiresistensi yang sudah cukup luas pada golongan bakteri enteropatogen terhadap berbagai jenis antibiotik ini diduga disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang berlebihan serta pemilihan antibiotik yang tidak sesuai dengan etiologinya. Tidak adanyakonfirmasi laboratorium padapraktek-praktekpengobatan penyakit diare (terutama di daerah dengan sarana laboratorium yang kurang memadai) akan memperbesar penyimpangan terapi antibiotik. Dikhawatirkan bila terjadi outbreak dengan bakteri yang multiresisten terhadap antibiotik pilihan ini sebagai penyebab, terapi menjadi tidak efektif lagi karena tidak ada lagi yang mampu membunuh bakteri penyebab sehingga penderita bisa terancam jiwanya. Dirasakan sudah saatnya untuk memikirkan

adanya antibiotik baru yang lcbih potcn untuk pcngobatan diare. WHO (1974) menyebutkan bahwa meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik dapat menyebabkan naiknya angka mortalitas diare(1); dalam hubungan ini angka kematian yang cukup tinggi pada kejadian diare akut di berbagai daerah (terutama Jawa Barat) akhir-akhir ini mungkin akibat dari meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik serta meluasnya resistensi multipel kuman bakteri enteropatogen terhadap antibiotik pilihan. Hal ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. KESIMPULAN Lima jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, khloramfenikol dan kotrimoxazol pada umumnya masih cukup efektif untuk V. cholera; ditinjau dari efektivitasnya, khloramfenikol lebih efektif daripada tetrasiklin. Kanamisin dankotrimoxazol (sulfametoxazol-trimetoprim) masih cukup efektif untuk Salmonella, Shigella dan E. coil patogen (ETEC) sedangkan 3 jenis antibiotik lainnya yaitu tetrasiklin, ampisilin dan khloramfenikol efektivitasnya lebih rendah. Penelitian ini menunjukkan bahwa 5% isolat Salmonella bersifat multiresisten terhadap kelima jenis antibiotik. 0,7% isolat V. cholera bersifat multiresisten terhadap 4 jenis antibiotik yaitu khloramfcnikol, tetrasiklin, ampisilin dan sulfametoxazoltrimeroprim). Untuk Shigella, 31,2% dan untuk E. coli patogen (ETEC) 26,3% bersifat multiresisten terhadap 3 jenis antibiotik

yaitu khloramfenikol, tctrasiklin dan ampisilin.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.

4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11.

WHO. CDD Program for Central Diarrhoeal Diseases. Manual for Laboratory Investigaton of Acute Enteric Infection, 1987. Informatorium Obat Generik. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Dep Kes RI 1989. Sudarmono P. Kebi jakan Pemakaian Antibiotika dalam Kaitannya dengan Resistensi Kuman. Dibacakan pada Simposium Perkembangan Antibiotika pada Penanggulangan Infeksi dan Resistensi Kuman. Jakarta, 6 September 1986. Gan VHS. et al. Antimikroba. Farmakologi dan Terapi. Edisi III. Bagian Farmakologi FKUI, 1987, bal. 514-26. Sunoto. Pembahasan Penatalaksanaan Diare secara Nasional. Pertemuan Ilmiah Teknologi Tepat Guns di bidang Kedokteran. Jakarta, 18-21 September 1985. Keputusan Seminar Rehidrasi Ke III. Semarang, 1982. Rehidrasi Oral. Pemantapan dan Pembudayaannya dalam Upaya Penanggulangan Diare. Dir Jen P2M PLP, Dep Kes RI 1984. Anonymous. Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Tests. National Committee for Clinical Laboratory Standards, 1976. Notrup RS, Ardie AS, Santoso S. (terj.) Manual of Medical Therapeutics. 21st Edition. Edisi Indonesia: Pedoman Pengobatan. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica, 1979. Suharyono, Koiman I. Penelitian penyebab mikrobiologis (Enterobakteri + Rotavirus) penyakit diare akut di klinik (1974 - 1982). Proc Pertemuan Ilmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia. Jakarta, 21-23 Oktober 1982. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dep Kes RI, 1983. Aswita Budiarso et al. Enterobakteri patogen dan resistensi obat pada gastroenteritis. Medika 1977'(Jun); 3 (2) : 39-41. Warta Diare 1988; II (5) : 8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 41

Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Periodontal Magdarina Destri Agtini Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RJ, Jakarta

ABSTRAK Di Asia dan Afrika prevalensi dan intensitas penyakit periodontal terlihat lebih tinggi daripada di Eropa, Amerika dan Australia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok usia 35-44 tahun. Dan merupakan penyebab utama kehilangan gigi pada kelompok usia 35 tahun ke atas. Pada tahap awal scring penyakit periodontal belum menimbulkan keluhan sakit atau hampir tidak terasa sama sekali, dan bila terasa sakit penyakit telah berada pada tahap lanjut. Penyakit periodontal bersifat khronis, kumulatif, dapat menjadi progresif dan mengakibatkan kerusakan tulang penyanggah gigi, sehingga gigi terlepas dari socket nya. Gambaran klinis dan etiologinya sangat kompleks, banyak mengenai usia yang lebih tinggi dan erat hubungannya antara faktor lokal (oral) dan sistemik. Dengan bertambahnya usia harapan hidup di Indonesia dan agar orang tetap produktif, maka perlu dikembangkan penclitian epidemiologi mengenai penyakit periodontal, supaya data ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi dalam rangka perencanaan alternatif prevensi yang disesuaikan dengan keadaan dan situasi setempat. PENDAHULUAN Penyakit periodontal adalah suatu keadaan peradangan dan degencrasi dari jaringan lunak dan tulang penyangga gigi. Penyakit periodontal bersifat khronis, kumulatif dan progresif yang dapat mengakibatkan penderita kehilangan gigi. Etiologi penyakit periodontal ini sangat kompleks, dan merupakan penyebab utama kehilangan gigi pada kelompok usia 35 tahun ke atas(1,2). Di Indonesia penyakit periodontal menduduki urutan ke dua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat. Banyak penelitian mengenai penyakit periodontal telah dilakukan. R.A. Tomasowa dkk di Sukabumi dan Jakarta menemukan prevalensi penyakit periodontal pada kelompok usia produktif berkisar antara 70-90%(3). Kristanti dkk melaporkan bahwa hanya 6% murid SD UKGS di Jawa Tengah bebas dari kelainan periodontal(4). Direktorat Kesehatan Gigi menemukan

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

di 9 propinsi bahwa prevalensi penyakit periodontal adalah 63.59% pada Pelita III dan 77% pada Pelita IV(5). Pada masalah ini selanjutnya akan diuraikan men epidemiologi, patologi klinis dan etiologi Penyakit periodi EPIDEMIOLOGI Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit rongga mulut dengan prevalensi dan intensitas yang masih tinggi, Prevalensi maupun intensitas kelainan periodontal erat hubungannya dengan keadaan geografi, social, kesehatan secara umum keadaan rongga mulut dan kebiasaan-kebiasaan lainnya (oral habits). Prevalcnsi dan intensitas penyakit periodontal di Asia dan Afrika lebih tinggi daripada Eropa, Australia dan Amerika(1). Berdasarkan data dan 35 negara, dilaporkan oleh WHO bahwa prevalensi penyakit periodontal pada kelompok usia 34-441 tahun

terlihat sangat tinggi (> 75%) di 7 negara, tinggi (40-75%) di 13 negara dan sedang (< 40%) di 15 negara. Di Indonesia penyakit periodontal masih merupakan masalah. R.A. Tomasowa dick menemukan prevalensi penyakitperiodontal pada kelompok usia produktif di Jakarta Selatan dan Sukabumi sebesar antara 70-90%(3). Kristanti dick melaporkan bahwa hanya6% dari sampel murid SDUKGS diJawaTengah (Cilacap, Magelang dan Pati) yang bebas dari kelainan periodontal(4). Dari hasil survai di 9 propinsi yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Bali, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara terlihat bahwa prevalensi penyakit periodontal 63,59% dengan rata-rata 2,07 sextan kelainan periodontal pada Pelita III dan 77% dengan rata-rata 2,66 sextan kelainan periodontal pada Pelita IV. Angka tersebut terlihat sangat tinggi pada kelompok usia 35-44 tahun yaitu 73,42% dengan rata-rata 2,62 sextan kelainan periodontal pada Pelita III dan 88,87% dengan rata-rata 3,03 sextan kelainan periodontal pada Pelita IV(S). Pada Grafik 1 terlihat bahwa prevalensi penyakit periodontal pada Pelita III yaitu 54,63% pada kelompok usia 8 tahun, 62,44% pada kelompok usia 14 tahun dan 73,42% pada kelompok usia 35-44 tahun. Pada Pelita IV prevalensi penyakit periodontal 59,78% pada kelompok usia 8 tahun, 82,94% pada kelompok usia 14 tahun dan 88,67% pada kelompok usia 35-44 tahun. Secara keseluruhan terlihat bahwa prevalensi penyakit periodontal pada Pelita III lebih tinggi dari Pelita IV, dan prevalensi yang tertinggi ditemukan pada kelompok umur 35-44 tahun. Pada Grafik 2 terlihat bahwa pada Pelita III prevalensi penyakit periodontal adalah 51,27% di kota dan 57,99% di desa pada kelompok usia 8 tahun; 61,00% di kota dan 63,89% di desa pada kelompok usia 14 tahun; 73,42% di kota pada kelompok usia 35-44 tahun, sedangkan di desa tidak dilakukan survai pada

kelompok usia tersebut. Pada Grafik 3 terlihat bahwa prevalensi penyakit periodontal pada Pelita IV yaitu 59,89% di kota dan 59,67% di desa pada kelompok usia 8 tahun; 72,44% di kota dan 93,44% di desa pada kelompok usia 14 tahun; 88,67% di kota pada kelompok usia 35-44 tahun, sedangkan di desa tidak dilakukan survai pada kelompok usia tersebut. Secara keseluruhan pada Grafik 2 dan 3 di atas terlihat bahwa prevalensi penyakitperiodontal di desa lebih tinggi dari di kota. Pada umumnya penyakit periodontal merupakan akibat dari higiene mulut yang jelek. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keadaan periodontal di negara berkembang sangat buruk dan terlihat keadaan tersebut berkaitan erat dengan keadaan higiene mulut yang jelek(6). Penyakit jaringan gusi ini oleh para ahli disebut juga penyakit sosial karena berhubungan dengan tingkat sosial dan status pendidikae . Hal ini dapat terlihat pada beberapa survai yang menemukan status periodontal yang lebih baik pada kelompok dengan sosial ekonomi dan pendidikan tinggi. Pada umumnya status periodontal pada wanita lebih baik dari pria, mungkin karena wanita lebih memperhatikan higiene mulut daripada pria. Namun, di beberapa negara berkembang terlihat status periodontal yang sangat jelek pada wanita. Hal ini mungkin karena wanita sering melahirkan dan keadaan gizinya yang buruk(1). Dikemukakan oleh para ahli bahwa penyakit periodontal merupakan penyebab utama kehilangan gigi pada usia 35 tahun ke atas. Dari suatu studi yang dilakukan di Amerika dilaporkan, bahwa secara keseluruhan persentase pencabutan gigi akibat penyakit periodontal lebih tinggi daripada persentase pencabutan gigi akibat karies maupun penyakit mulut lainnya, yaitu 50%, dibandingkan dengan 36% pencabutan gigi akibat penyakit

Grafik 1. Prevalensi Penyakit Periodontal berdasarkan Kelompok Umur di 9 Propinsi (5)

Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 43

Grafik 2.

Prevalensi Penyakit Periodontal berdasarkan Kelompok Umur di Kota dan Desa di 9 Propinsi pada Pelita III (5)

Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara.

Grafik 3. Prevalansi Penyakit Periodontal berdasarkan Kelompok Umur di Kota dan Desa di 9 Propinsi pada Pelita IV (5)

Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara.

Karies dan 14,6% pencabutan gigi akibat penyakit mulut lainnya. Persentase tersebut terlihat naik mencolok pada kelompok usia 35-44 tahun, yaitu sekitar 65,5%. Angka ini semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya usia (Grafik 4). PATOLOGI KLINIS Penyebab periodontal bersifat kronis, kumulatif, progresif dan bila telah mengenai jaringan yang lebih dalam menjadi irreversibel. Secara klinis pada mulanya terlihat peradangan jaringan gingiva di sekitar leher gigi dan warnanya lebih merah

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

daripada jaringan gingiva sehat. Pada keadaan ini sudah terdapat keluhan pada gusi berupa perdarahan spontan atau perdarahan yang sering terjadi pada waktu menyikat gigi. Bila gingivitis ini dibiarkan melanjut tanpa perawatan, keadaan ini akan merusak jaringan periodonsium yang lebih dalam. Cemento enamel junction menjadi rusak, jaringan gingiva lepas dan terbentuk periodontal pocket. Pada beberapa keadaan sudah terlihat ada peradangan dan pembengkakan dengan keluhan sakit bila tersentuh. Bilakeparahan telah mengenai tulang rahang maka gigi menjadi goyang dan lepas dari socket nya(1,2).

Grafik 4.

Persentasi Pencabutan Gigi karena Karies Gigi, Penyakit Periodontal dan Penyebab Lain

* Dentistry, dental practice and the community. Third edition, 1983.

ETIOLOGI Etiologi penyakit periodontal sangat kompleks. Para ahli mengemukakan bahwa etiologi penyakit periodontal dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu faktor lokal dan faktor sistemik(1,8), faktor lokal dan faktor sistemik sangat erat hubungannya dan berperan sebagai penyebab terjadinya kerusakan jaringan periodontal. Umumnya, penyebab utama penyakit periodontal adalah faktor lokal; keadaan ini dapat diperberat oleh keadaan sistemik yang kurang menguntungkan, yang memungkinkan terjadinya keadaan yang progresif(1,2,8). Faktor lokal adalah faktor yang berakibat langsung pada jaringan periodonsium; dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu faktor iritasi lokal dan fungsi lokal(8). Yang dimaksud dengan faktor lokal adalah plak bakteri sebagai penyebab utama. Faktorfaktor lainnya antara lain adalah bentuk gigi yang kurang balk dan letak gigi yang tdak teratur, maloklusi, malfungsi gigi, over hanging restoration dan bruksisme(1,2,8). Faktor sistemik sebagai penyebab penyakit periodontal antara lain adalah pengaruh hormonal pada masa pubertas, kehamilan, menopause, defisiensi vitamin, diabetes mellitus dan lain-lain. Terlihat adanya hubungan yang erat antara faktor lokal dan faktor sistemik, yaitu penyakit diabetes mellitus dapat mengakibatkan meningkatnya insiden karies dentis(9) dan memperberat gingivitis maupun penyakit periodontal(9,10,11). Sebaliknya infeksi gigi dan jaringan sekitarnya dapat mempengaruhi stabilitas kadar gula darah(9,10,11,12). Pernah dilaporkan bahwa destruksi jaringan periodontal pada penderita diabetes mellitus lebih parah dibandingkan dengan yang bukan penderita diabetes mellitus(13,14), meskipun penumpukan plak pada kelompok bukan penderita diabetes mellitus lebih banyak dibanding penumpukan plak path penderita diabetes mellitus(15). Banyak ahli yang mengemukakan bahwa faktor hormonal adalah salah satu penyebab penyakit periodontal misalnya pada

keadaan kehamilan, menopause dan pubertas(1,2,8). Dalam hal ini dikemukakan bahwa hormon kelamin berperan penting dalam proses patogenesis penyakit periodontal ini. KESIMPULAN DAN SARAN Dari banyak survai ditemukan bahwa prevalensi penyakit periodontal cukup tinggi dan status periodontal masih kurang baik. Prevalensi tertinggi dijumpai pada kelompok usia 35—44 tahun, angka tersebut semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya usia. Etiologi penyakit periodontal sangat kompleks. Meskipun umumnya faktor higiene mulut merupakan penyebab utama, faktor sistemik maupun faktor lainnya perlu mendapat perhatian antara lain keadaan geografi, sosial, pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Di Indonesia sehubungan dengan bertambahnya usia harapan hidup dan agar orang tetap produktif maka perlu dikembangkan penelitian epidemiologi mengenai penyakit periodontal, supaya data ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi dalam rangka perencanaan alternatif prevensi yang disesuaikan dengan keadaan dan situasi setempat.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.

4.

WHO. Epidemiology, Etiology and Prevention of Periodontal Disease. Geneva: WHO Techn Rep Ser No. 621,1978. WHO. Prevention of Periodontal Disease. In: Prevention of Oral Disease. Geneva: WHO Offset Publication No. 103, 1987. Tomasowa dick. Survai Penyakit Periodontal pads Penduduk Usia Produktif. Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I, Jakarta. Laporan Penelitian : 29 hal, 1981. Kristanti CHM. dick. Survai Kesehatan Gigi pads Anak Sekolah Dasar UKGS di Jawa Tengah. Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I,

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 45

Jakarta. 1985. Laporan Penelitian : 100 hal. Direktorat Kesehatan Gigi Departemen Kesehatan RI. Analisis Derajat Kesehatan Gigi dan Mulut Pelita V. Lokakarya Sistem Informasi Kesehatan Gigi dan Mulut. Ciloto, 1988. 6. Barnes ED. Oral Health in the year 2000, World Health. WHO Magazine, June 1981. 7. Sheiham A. The Prevention and Control of Periodontal Disease. Scientific Group on Etiology, Epidemiology and Prevention of Periodontal diseases, WHO Moscow 23 Nov – 2 Dec 1977. 8. Pawlak EA, Hoag PM. Essential of Periodontics, 2nd ed. St Louis: C.V. Mosby, 1980 hal 18, 19,31. 9. Burket LW. Oral Medicine, 6th ed, Philadelphia, toronto: J.B.Lippincott Co 1971. Hal 462-71 10. Cohen DW, Friedman LA, Shapiro J, Kyle GC, Frankli S. Diabetes Mellitus and Periodontal Disease, two year longitudinal observation, Part 1, J. Periodontal 1970;41 : 709. 11. Grant DA, Stern IB, Everett FG. Periodontics, 5th ed, St. Louis: C.V. Mosby 1979. hal 176, 295-99. 5.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

12. Kerr DA, Ash MM, Millard HD. Oral Diagnosis, 5th ed, St. Louis:C.V. Mosby 1978.hal 384-5. 13. Belting MC, Hiniker JJ, Dummet CO. Influence of diabetes mellitus on the severity of periodontal disease, J.Periodontal 1964;35 : 476. 14. Bergquist JJ, Organ RJ, Ratliff MS. Biologic regulation and periodontal disease, a review. J.Periodontal 1979;50 : 134.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Rudy Salan Kepala Puslit Penyakit tidak Menular, Badan Litbang kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Direktorat Kesehatan Gigi Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I., sejawat lainnya serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan saran-saran yang berharga dalam penulisan makalah ini.

Dosis Antibiotika dalam Preskripsi Racikan untuk Anak Suatu Studi Kasus Ondrl Dwl Sampurno, Umi Kadarwati, Vincent H.S. Gan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK Telah ditelaah secara eksploratif pola dosis antibiotika menurut kelompok umur berdasarkan preskripsi racilcan dalam lembar resep. Studi kasus ini bertujuan mengeksplorasi dosis antibiotika yang digunakan pada anak serta masalah bermakna yang terkait padanya, yang mungkin ada. Sampel lembar resep dari Apotek "X" Jakarta diambil secara sensus untuk dua bulan, masing-masing bulan Maret dan September tahun 1988. Hasil telaah memberikan gambaran sebagai berikut : Dari seluruh lembar resep yang dilayani pada bulan Maret terdapat 237 lembar resep dengan preskripsi racikan antibiotika yang berasal dari 43 orang dokter dengan 5 jenis keahlian; dan dari bulan September terdapat 186 lembar yang berasal dari 40 orang dokter dengan 4 jenis keahlian. Jenis antibiotika yang sering dipreskripsi memberikan gambaran yang sama yaitu amoksisilin. Dengan uji Pearson's r diketahui bahwa pada preskripsi amoksisilin dalam R/racikan untuk anak, terlihathubungan yang linier (p 0,05) antara umur dengan dosis amoksisilin sekali minum dalam kelompok umur <12 bulan dan >1 th — 5 th, tempi tidak dalam kelompok tuna >5 th -12 th. Sedangkan pada preskripsi ampisilin dalam R/racikan untuk anak, terlihat hubungan yang linier (p 0,05) antara umur dengan dosis ampisilin sekali minum dalam kelompok umur >1 th — 5 th, tetapi tidak dalam kelompok umur <12 bulan dan >5 th — 12 th. Hasil penelaahan ini sifatnya hanya eksploratif mengenai kenyataan konkrit. Untuk memahami ada tidaknya masalah pada kenyataan variasi dosis, diperlulcan penelaahan lebih lanjutdengan memperhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya dalam berbagai aspek. PENDAHULUAN Penyakit infeksi masih tetap tinggi prevalensinya; antara lain digambarkan pada Survai Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980 dan tahun 19860.2). Dari basil penelitian lain diungkapkan bahwa antibiotika masih merupakan salah satu kelompok obat yang tertinggi preskripsi clan proporsi penggunaannya(3,4). Untuk mendapatkan basil terapi antibiotika yang sebaik-

baiknya, dosis merupakan salah satu faktor yang menentukan. Dalam penentuan dosis antara lain perlu dipertimbangkan umur pasien yang ada kaitannya dengan keragaman fungsi organ tubuh, khususnya jumlah dan distribusi cairan tubuh (anak berbeda terhadap dewasa)(5). Lebarnya rentang dosis yang dipreskripsikan dapat dijadikan salah satu gambaran konkritkemungkinan adanya masalah dalam penggunaan antibiotika.

Disajikan pada Kongres Nasional VII Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia (IKAFI) tanggal 16 - 1 8 Oktober 1989 di Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 47

Studi kasus ini bertujuan mengeksplorasi dosis antibiotika yang digunakan pads anak serta masalah yang bermakna yang terkait padanya, yang mungkin ada. BAHAN DAN CARA Studi kasus dilakukan dengan menelaah seluruh resep yang dilayani di Apotek "X" Jakarta. Sampel resep diambil secara sensus untuk dua bulan yang mencakup masing-masing bulan Maret dan September 1988. Data : * Jumlah Resep menurut Kategorinya ∗ Jenis Antibiotika ∗ Dosis Antibiotika ∗ Keahlian Dokter ∗ Umur pasien Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan elektronik dengan komputer dan hasilnya dalam bentuk label yang memperlihatkankaitan antara variabel-variabel tersebut di atas. Tabel disajikan d a l a m bentuk univariat dan multivariat. HASIL Pada bulan Maret, jumlah resep yang masuk adalah 1642 lembar, 541 lembar (32,9%) di antaranya terdapat R/ racikan, termasuk 237 lembar (14,4%) R/ racikan antibiotika untuk anak yang berasal dari 43 dokterdengan limajeniskeahlian. Sedangkan pada bulan September, jumlah resep yang masuk adalah 1545 lembar, 473 lembar di antaranya (30,6%) terdapat R/ racikan, termasuk 186 lembar (12,0%) R/ racikan antibiotika untuk anak yang berasal dari 40 dokter dengan 4 jenis keahlian. Tabel 1. Distribusi frekuensi preskripsi R/ radkan antibiotika untuk anak berdasarkan jenis keahlian dokter Jumlah resep (lembar) Jenis keahiian

Maret N

Jumlah dokter (orang)

September

%

1. Umum 2. Anak 3. THT 4. Kulit 5. Psikiater 6. Bedah

127 105 3 1 1 -

53,6 44,3 1,3 0,4 0,4 -

Jumlah

237

100

Maret

September

N

%

89 91 5 1

47,8 48,9 2,7 0,5

21 18 2 1 1 -

19 18 2 1

186

100

53

40

Jumlah rata-rata sampel resep yang berasal dari dokter umum ataupun anak adalah 5 - 6 lembar. Hal ini menunjukkan adanya keragaman sampel sehinggapola yang dipengaruhi faktor pemreskripsi dapat diabaikan. Amoksisilin merupakan antibiotika yang terbanyak dipreskripsi dan berikutnya ampisilin, spiramisin, eritromisin. Sebaliknya kloramfenikol, tersedikit dipreskripsi. Berdasarkan prosentase lembar resep, jenis antibiotika yang dipreskripsi menunjukkan gambaran yang tidak berbeda antar kelompok umur. Untuk selanjutnya, hanya dibahas amoksisilin dan ampisilin. Pada masing-masing kelompok umur, dosis amoksisilin

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

Tabel 2. Distribusi frekuensi prrskripsi R/ radkan antibiotika untuk anak berdasarkan jenls antibiotika Jumlah resep (lembar)

Jenis Antibiotika

Maret N

1. Amoksisilin 2. Ampisilin 3. Ampisilin + Kloksasilin 4. Kloramfenikol 5. Doksisiklin 6. Eritromisin 7. Linkomisin 8. Oksitetrasiklin 9. Rifampisin 10. Spiramisin

%

146 44 5 1 2 14 3 1 2 19

Jumlah

September

61,6 18,6 2,1 0,4 0,8 5,9 1,3 0,4 0,8 8,1

237

100

N

%

116 43 1 1 13 12

62,4 23,2 0,5 0,5 6,9 6,5

186

100

Tabel 3. Distribusi frekuensi preskripsi R/ racikan antibiotika berdasarkan kelompok umur dan jenis antibiotika Jumlah lembar resep (%) Jenis Antibiotika

< 12 bulan Maret n %

September n %

Amoksisilin 38 63,3 25 54,3 Ampisilin 11 18,3 13 28,3 Spiramisin 8 13,3 3 6,5 Eritroq iain 2 3,3 4 8,7 Lain-lain 1 1,8 1 2,2 Jumlah 60 100 46 100

> 1 th - S th Maret n %

>5 th-12th

September n %

68 58,1 59 26 22,2 23 10 8,5 6 6 5,1 6 7 6,1 2 117 100 96

61,5 23,9 6,3 6,3 2 100

Maret n %

September n %

3965 1321,7 1 1,7 610 1 1,6 60100

31 7 3 3

70,5 15,9 6,8 6,8 -44 100

setiap kali minum memberikan gambaran yang tidak berbeda antarabulan Maret dan September. Namun pada kelompok umur > 1 th - 5 th bulan Maret terlihat dosis minimal lebih kecil dibanding kelompok umur < 12 bulan. Berdasarkan asumsi bahwa kondisi dalam bulan Maret berbeda dengan kondisi bulan September, maka pada analisa data digunakan data gabungan (kumulatif). Dengan uji Pearson's r derajat pemaknaan 5%, diketahui bahwa terdapat hubungan linierantara umur dengan dosis amoksisilin setiap kali minum (r = 0,38856, n = 261). Jika ditelaah dalam setiap kelompok umur, maka diketahui bahwa terdapat hubungan yang linier dalam kelompok umur < 12 bulan (r = 0,65918, n = 63), dan > 1 th - 5 th (r = 0,54275, n =127), tetapi tidak dalam kelompok umur > 5 th -12 th (r = -0,18251, n = 71).(Tabel 4) Pada masing-masing kelompok umur, dosis ampisilin setiap kali minum memberikan gambaran yang tidak berbeda antara bulan Maret dan September. Namun pada kelompok umur > 5 th - 12 th bulan Maret terlihat dosis minimal lebih kecil dibanding dua kelompok umur lainnya. (Tabel 5) Dengan uji Pearson's r derajat pemaknaan 5% pada data kumulatif, diketahui bahwa terdapat hubungan yang linierantara umur dengan dosis ampisilin setiap kali minum (r = 0,67173, n = 94). Jika ditelaah dalam setiap kelompok umur, maka diketahui bahwa terdapat hubungan yang limier dalam kelompok umur> 1

Tabel 4. Dosis amoksisilin setiap kali minum berdasarkan kelompok umur D Umur

1. < 12 bulan 2. > 1 th – 5th 3. > 5th – 12 th

Rentang

0

S

I

S

(mg)

Rata-rata

Mode

Maret

September

Kumulatif

Maret

September

Kumulatif

Maret

September

Kumulatif

75– 200 25– 300 150– 275

40 – 250 125 – 250 169 – 300

40 – 250 25 – 300 150 – 300

120 167,3 225,3

117,8 182,7 226,4

119,1 174,4 225,7

75 160 250

100 200 250

100 160 250

Tabel 5. Dosis ampisilin setiap kali minum berdasarkan kelompok umur D O S I S Umur

1. < 12 bulan 2. > 1 th – 5th 3. > 5th – 12 th

Rentang

(mg)

Rata-rata

Mode

Maret

September

Kumulatif

Maret

September

Kumulatif

Maret

September

Kumulatif

60– 150 125– 250 25– 400

62 – 250 100 – 250 200 – 375

60 – 250 100 – 250 25 – 400

108,6 190,9 234,6

129,4 188,9 253,6

120,3 190 241,3

125 200 250

125 200 250

125 200 250

th–5 th (r = 0,47358, n = 49), tetapi tidak dalam kelompok umur < 12 bulan (r = 0,06799, n = 25) dan > 5 th - 1 2 th (r = 0,33386, n = 20). PEMBAHASAN Preskripsi amoksisilin dalam R/ racikan untuk anak lebih sering dibanding ampisilin (tabel 2, 3). Amoksisilin dan ampisi lin adalah derivat penisilin yang merupakan kelompok antibiotika betalaktam<sl. Ditinjau dari segi farmakokinetiknya, absorpsi amoksisilin dalam darah jauh lebih baik dibanding ampisilin. Di samping itu absorpsi ampisilin dihalangi oleh makanan(5,6). Karena itu per-oral, ekivalensi dosis adalah 500 mg ampisilin sama dengan 250 mg amoksisilin atau 2 : 1. Amoksisilin dan ampisilin dieliminasi sama cepat, karena itu tidak perlu mengatur frekuensi dosis yang berbeda(5). Pada basil telaahan (tabel 4, 5), dosis rata-rata pada masing-masing kelompok umur, antara amoksisilin dengan ampisilin menunjukkan perbandingan dosis yang tidak berbeda. Sedangkan frekuensi dosis belum dapat diungkapkankarena data tidak tercatat. Dalam penggunaan antibiotika, di samping dosis setiap kali minum dan frekuensi dosis dalam satu hari, perlu diperhatikan pula jangka waktu pemberian yang disesuaikan dengan basil diagnosis klinis dan bakteriologisnya. Pada tabel 4 terlihat adanya dosis amoksisilin sekali minum untuk kelompok umur> 1 th— 5 th yang diberikan jauh lebih kecil dibandingkan dosis minimal untuk kelompok umur < 12 bulan. Namun dari uji Pearson's r diketahui bahwa pada preskripsi amoksisilin dalam R/ racikan untuk anak dalam kelompok umur > 1 th — 5 th terlihat hubungan yang linier (p 0,05) antara umur dengan dosis sekali minum. Dengan demikian, tampaknya telah menunjukkan kesesuaian antara umur dengan dosis setiap kali minum dalam kelompok tersebut. Hubungan yang tidak tinier antara umur dengan dosis amoksisilin setiap kali minum, ter-

dapat dalam kelompok umur > 5 th — 12 th. Sedangkan pada preskripsi ampisilin, terdapat dalam kelompok umur < 12 bulan clan > 5 th — 12 th (tabel 5). Dalam perhitungan dosis, selain berdasarkan umur, juga dapat dihitung berdasarkan berat badan atau luas permukaan tubuh. Namun pada kenyataannya, berat badan atau luas permukaan tubuh, seringkali tidak tertulis di lembar resep. Jadi seolah-olah perhitungan dosis adalah berdasarkan pada umur. Untuk memahami adatidaknya masalah pada kenyataan variasi dosis, diperlukan penelaahan lebih lanjut dengan memperhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya, dalam berbagai aspek.

KESIMPULAN DAN SARAN Penelaahan dosis antibiotika dalam preskripsi R/ racikan untuk anak dari lembar resep yang dilayani di Apotek "X" Jakarta, pada bulan Maret dan September 1988, memberikan kesimpulan : 1. Terdapat hubungan yang tinier (p 0,05) antara umur dengan dosis amoksisilin setiap kali minum dalam kelompok umur < 12 bulan clan > 1 th — 5 th, tetapi tidak dalam kelompok umur >5th—12th. 2. Terdapat hubungan yang tinier (p 0,05) antara umur dengan dosis ampisilin setiap kali minum dalam kelompok umur > 1 th - 5 th, tetapi tidak dalam kelompok < 12 bulan dan >5th—12th. Hasil penelaahan ini sifatnya hanya eksploratif mengenai kenyataan konkrit. Untuk memahami adatidaknya masalah pada kenyataan variasi dosis, diperlukan penelaahan lebih lanjut dengan memperhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya, dalam berbagai aspek.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 49

1. 2. 3.

KEPUSTAKAAN Budiarso LR dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. 1980. Budiarso LR dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1985 – 1986. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta 1987. Gitawati dkk. Laporan Penelitian Pendahuluan Pola Penggunaan Obat di

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

4. 5. 6.

Puskesmas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta 1984. Sukassediati dkk. Laporan Penlitian Penggunaan Obat Essensial di Puskesmas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta 1984. Gan Sulistia dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi 3, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1987. Farmakon 1989 : IX (4).

A Study on Disability in Indonesia

Kartari D.S. National Institute of Health Research and Development Department of Health, Jakarta

INTRODUCTION Disability is a temporary or long term reduction of a person's capacity to function in daily living. Disability is considered to be a major medical, economic, social or psychological problem that affects no less than 10% of the world population. Few studies has been made in this area and lack comparability because different criteria have been used. The majority of cases of disability is mostly due to conditions such as malnutrition, tuberculosis, leprosy and other acute endemic infectious diseases. About half of all disability can be prevented or postponed but preventive methods have not received sufficient emphasis within the health services in developing countries. As social and economic development proceeds, the individual is exposed to a greater variety of risks of disability such as accident, injuries and chronic diseases. In order to understand the magnitude of the disability problem the National Institute of Health Research and Development with the assistance of the World Health Organization (WHO) conducted in 1976, disability survey in 14 provinces. The main objectives of the survey were : − to find the size of the disability problem, for example the pro portion of the population having long term impairment, functional limitation and disability. − to identify the impairments that contribute to functional limitation and disability. − to analyse the possible preventive actions to diminish and if possible to prevent the onset of disability before it becomes a financial or social burden upon the community. − and to propose intervention of new approaches and techniques so as to reduce the problems of disability through community participation and or if prevention is not feasible, simple rehabilitation delivered through the existing health care system.

Figure 1. Conceptual framework of the disability process

Chronic impairment is defined as a permanent or transitory psychological or anatomical loss or an abnormality, for example a missing or defective part, tissue organ or mechanism of the body, such as an amputated limb, paralysis after poliomyelitis, myocardial infarction, cerebrovascular thrombosis, restricted pulmonary capacity, diabetes, myopia, disfigurement, mental retardation, hypertension, perceptual disturbances etc.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 51

Functional limitation is defined as an impairment, partial or total inability to perform those activities necessary for motor,sensory or mental functions within the range and manner of which a human being is normally capable, such as walking, lifting of heavy loads, seeing, talking, hearing, reading, writing, counting, taking an interest in making contact with the surroundings. Disability is defined where functional limitation and/or impairment is a causative factor, and an existing difficulty in performing one or more activities which,in accordance with the person's age, sex, and normative social role, are generally accepted as essential, basic components of daily living, such as self care, social and economic activity. Depending in part on the duration of the functional limitation, disability may be short term, long term or permanent. In this context only the long term and permanent disability will be dealt. MATERIALS AND METHODS A five stage random sampling design was used and a total of 14 provinces were selected representing 82.4% of the total population both urban and rural having different characteristics. The population selected for the study was based on the 1971 census (population of 118.4 million). Since the majority of the population live in the rural areas this study was predominately rural, making 93 rural and 24 urban regencies/municipalities from 14 provinces, prepared by the Central Bureau of Statistics that a proportional sample from the total population was representative. Each province was divided into urban and rural areas till the enumeration unit and by systematic random sampling households were selected. A special questionnaire form was used to collect the data of each household which was carried out by a medical doctor working in the health centers of the area. All individuals were recorded for name, age, sex, education, profession, socioeconomic status and anyone in the household who had an impairment with more or less persistent symptoms during the last 3 months. The diagnosis were coded into the 4th digit International Classification of Diseases based on the 9th Revision 1977. The conditions recorded were complaints as reported by the respondent, those as observed by the doctor and not perceived by the respondent and those perceived by other household members. The diagnosis was made and recorded by the doctor. RESULTS A total of 22.568 individuals from 4323 households, consisting of 18% urban and 82% rural populations were interviewed. There was an equal distribution of both sexes in all the 14 provinces. The number of individuals in each household ranged from 1— 8 members, and the highest frequency was 4 members, followed by the next highest 5 members. The sex distribution was about equal. The economic status of these households showed 38% falls in just below the average classification, average 28.5%, moderate rich and rich 5.5%, poor 23%, very poor 2.8% and 2.1% un-

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

known. The number of households members by age, showed tha youngest age group of 0 — 14 years had the highest percen (44.3%) followed by age groups 15 — 34 years (30.6%) and 54 years (20.5%) while those above 55 years had the lowe 7.6% (table 1). Table 2 shows the classification of occupation by sex. Ii sample population surveyed, 41.3% were working members and 58.7% have no work which consisted of old people children and housewives. Among the males, 24.8% were working with about an equal distribution who were jobless (25.2%), while in the females, non working members were 33,4% which was two times higher than the working members (16.5%). A total of 25.4% of the working members were engaged in agriculture of which 14.5% were males and 10.8% were females. The remaining 15.9% working members were involved in a range of other jobs. Table 3 shows the number and percentage distribution of persons by levels of education and sex. From the total sample population males and females who are in the pre-school age was 20.2%. Those who have no schooling or had education under 3 years of primary school was 39%. Others who have completed 3 and 6 years schooling was 30% and those who completed high school and university was only 7%. The pre-school age group showed an equal distribution between males (10.4%) and females (9.8%). Those who have no schooling males were slightly lower (7.1%) compared to females (12.8%). There were more males than females who completed high school or university, the percentage being 4.5% compared to 2.5%, and those who finished 6 years schooling, the percentage in males was 7.4% compared to 5.7% in the females. Table 1. Number of household members by age and province

Province 0–14

Number of household members (Age in year) 55 & 15–34 35–54 Total above 1456 952 337 4780 1314 902 328 4260

West Jawa Central Jawa

2035 1716

East Jaws

1981

1638

1247

484

Jogjakarta

210

173

133

55

571

Jakarta

497

194

69

1182

Aceh

215

85

27

470

North Sumatra

935

289

115

1909

West Sumatra

332

207

150

72

761

Riau

205

164

94

40

503

Jambi

162

132

74

30

398 156

Bengkulu

422 143 570

5377

68

44

31

13

South Sumatra

410

283

189

77

959

Lampung

358

207

162

27

754

Bali

187

153

100

48

488

9311 41.3

6906

4629

30.6

20.5

1722 7.6

TOTAL %

22568 100

Tabel 2. Total population examined and classification of profession by sex Male

Type of work

Number

Agriculture

Female %

Number

Total %

Number

%

3279

14.5

2445

10.8

5724

25.4

Industrial

199

0.9

170

0.8

369

1.6

Clerical

133

0.6

23

0.1

156

0.7

Service workers

382

1.7

269

1.2

651

2.9

Shops, market etc.

410

1.8

400

1.8

810

3.6

,. 239

1.1

51

0.2

290

1.3

Constructions workers

162

0.7

11

0.0

173

0.8

Professionals

297

1.3

102

0.5

399

1.8

Combined jobs

495

2.2

240

1.1

735

3.3

Total who are working

5596

24.8

3711

16.5

9307

41.3

Total who are not working, no work, under age, housewives, old people, others

5684

25.2

7555

33.4

13239

58.7

11280

50.0

11266

49.9

22546

100.0

Carpenters etc.

Grand total Note : * 22 omitted

Table 3. Number and percentage distribution of persons by levels of education and sex Category of education

Male Number

Female %

Number

Total %

Number

%

Pre school age

2343

10.4

2216

9.8

4559

20.2

No schooling

1593

7.1

2886

12.8

4479

19.9

Primary school (below 3 years)

2211

9.8

2090

9.3

4301

19.1

Completed 3 years

2086

9.2

1737

7.7

3823

16.9

Finished 6 years

1659

7.4

1293

5.7

2952

13.1

Completed high school/university

1005

4.5

567

2.5

1572

7.0

Others/religion Not stated Total

schools

236

1.0

281

1.2

517

2.3

147

0.7

196

0.9

343

1.5

11280

50.0

11266

49.9

22546

100.0

Note : * 22 omitted

The prevalence of chronic impairments of the sample population of 22.568 individuals examined was 32.7% for both sexes combined. The diagnosis for the different chronic impairments in order of decreasing frequency is listed in table 4. Among the various diseases, symptoms of the oral cavity showed the highest prevalence of 22.6% or 73.68 per 1000, followed by respiratory system with 19.6% or 64.02 per 1000 and circulatory system/ hypertension were 12% or 39.30 per 1000. Symptoms of other chronic impairments were each less than 10% of the people examined. In the category of others are included diagnosis related to the urinary system, female genital system and conditions as perceived by the household members and the doctors during he interview (6.2%). Table 5 shows the number and prevalence rate of chronic

impairments by sex between urban and rural area. In urban area the prevalence rate in females (34.5%) was slightly higher than those of males (30.3%), but in the rural area it was almost the same (males 33.2%, females 32.4%). Respiratory diseases showed a higher prevalence in males than females in the urban than those in the rural area. Teeth problems were more common in males both rural and urban while in females there were no differences between rural and urban area. Hypertension was more prevalent for both sexes in the urban area, while malnutrition and underweight were more common in rural area for both sexes. The prevalence of symptoms of other diseases, such as arthritis, skin, eye etc, range from 1 - 7% and the frequency varied slightly between sex as well as between urban and rural areas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 53

Table 4. The prevalence of diagnosis for the most important symptoms of chronic impairments for both sexes combined (in order of frequency) Diagnosis category

Number of individuals

Ranking

Diseases of oral cavity, salivary glands & jaw Diseases of respiratory system Diseases of circulatory system/hyperten4on Musculo-skeletal and connective tissue Skin & subcutaneous tissue Diseases of digestive system Diseases of eye and adnexa Nutritional deficiencies/ underweight Diseases of ear and adnexa Fevers of unknown origin Accidents, fractures,missing limb Poliomyelitis, paralytic spastic muscles Others

Prevalence rate per 1000

1

1663

22.6

73.68

2

1445

19.6

64.02

3

887

12.0

39.30

4

687

9.3

30.44

5 6 7 8

666 388 369 350

9.0 5.3 5.0 4.7

29.51 17.19 16.35 15.50

9 10 11

232 118 58

3.1 1.6 0.8

10.28 5.23 2.57

12

53

0.7

3.35

457

6.2

20.25

7373

100.0

13

Total Noot :

Proportion percent

% sick 32.7 healthy 67.3

Table 5. Prevalence of diagnosis for the most important symptoms by area of residence and sex Category of symptoms of chronic impairments 1. Respiratory systems, bronchitis, asthma, pulm. tbc, etc.

Male Urban No.

Female

Total

Urban

Total

Rural

No.

%

No.

%

No.

%

No.

%

No.

%

158

7.8

681

7.3

839

7.3

128

6.3

478

5.1

606

5.3

90

4.4

248

2.6

338

2.9

128

6.3

421

4.5

549

4.8

53 40 34

2.6 1.9 1.6

303 162 155

3.2 1.7 1.6

356 202 189

3.1 1.7 1.6

72 52 31

3.5 2.5 1.5

259 134 149

2.8 1.4 1.6

331 186 180

2.9 1.6 1.5

32 55 98 11

1.5 2.6 4.7 0.5

92 309 666 54

0.9 3.3 7.1 0.5

124 364 764 65

1.0 3.2 6.7 0.5

25 53 153 7

1.2 2.6 7.5 0.3

83 249 746 46

0.8 2.6 8.0 0.4

108 302 899 53

0.9 2.6 7.9 0.4

5

0.2

33

0.3

38

0.3

1

0.04

20

0.02

21

0.2

5 0.2 7 - 0.3 26 1.2 614 30.3

30 172 165 3070 33.2

0.3 1.8 1.7

35 179 191 3684 32.6

0.3 1.5 1.6

5 15 28 701 34.5

2. Circulatory system, hypertension + headache 3. Arthritis, etc 4. Peptic ulcer, gastritis 5. Diseases of eye 6. Diseases of ear 7. Diseases of skin 8. Chronic teeth problem 9. Chronic fever, malaria 10. Accident, missing limb, fracture 11. Polio, spastic paralysis 12. Malnutrition/undcrweight 13..Others Total %

Rural

Table 6 shows the prevalence of all types of chronic impairments by age in both sexes. Among the 7373 individuals examined, chronic impairments were 66.9%, mental impairments 3.5%, functional limitations 15.5% and disability 14.1% respectively. In the young adult age specific groups from 0 – 24

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

0.2 0.7 1.3

13 156 237 2988 32.4

0.1 1.6 2.5

18 171 265 3689 32.7

0.16 1.5 2.3

years the highest prevalence rate of chronic impairments is in the 1-4 years group, while in the adult and old age from 25 – 65 years and above is the in 55 – 64 years group. Mental health impairments also show the same trend; it starts to increase and is highest in the age group of 65 years and above.

Females in the urban and rural areas were shown to have a higher frequency of cases than that of the males. This may be due to that females do have a higher blood pressure values than males because of repeated pregnancies thereby causing pressure on the ureter and kidneys. They also tend to have shorter urethras which are more vulnerable to ascending infections. Stress, and probably consumption of more salt in the form of salted fish, a favourite relish, could be also an important cause. The transition of chronic impairments to functional limitation was 15.5% and 14.1% that of disability. The question remains to what extent the most prevalence conditions are related to functional limitations and to disability and to what extent the conditions, if they are related to the presence of functional limitations or disability are themselves preventable or treatable. If the impairments are found to be related to functional limitation and disability and preventable or treatable, this would provide means for reducing the occurrence of the disability in the population at risk. Diseases that lead to the limitation problem are the respiratory diseases, musculoskeletal disorders, hypertension and the unpreventable diseases are senile dementia, mental retardation, congefiital anomalies, blindness, and others. Diseases that mostly lead to disability as diagnosed by physicians can be divided into 3 categories.

Similarly functional limitation and disability showed that in the young adult age the prevalence was low while in the adult and old age showed an increasing prevalence rate. DISCUSSION The study revealed that 32.7%, or one third of the total sample population (22,568 individuals) have some kind of an impairment with persistant symptoms during the last 3months with either permanent or transitory abnormality. Thirteen categories of symptoms of impairments were identified, and the most frequent ones were oral cavity and respiratory diseases. Oral cavity problems for both sexes were shown to have higher prevalence rates in the rural than the urban area. This may be due to ignorance and lack of clean water, poverty, personal hygiene and attitudes towards teeth brushing. Good health education programs regarding personal hygiene from an early age can prevent diseases of the oral cavity, such as caries, periodontitis, gingivitis, missing teeth and others. Respiratory diseases due to such acute symptoms as infections of the upper respiratory system and which are usually transient, were more prevalent in both sexes in the urban than in the rural area. This can be associated to air pollution, congested housing conditions, overcrowding and primarily also due to poverty. The prevalence rates of both sexes in urban were higher than those of the rural. This does not necessary mean that the rural community has less respiratory diseases, since they seem to suffer more from chronic infections, such as chronic bronchitis, tuberculosis, etc. Most of the other diseases, such as diseases of the eyes, malaria, arthritis and related musculoskeletal diseases, do not show marked difference between urban and rural areas. However, hypertension was higher in urban than the rural area.

1. Largely controllable diseases which include vitamin deficiency, tuberculosis, leprosy, chronic anemias due to worm infections, malnutrition, night blindness, xerosis, poliomyelitis chronic malaria, diabetes mellitus, glaucoma, recurrent attack of the respiratory tract, as chronic bronchitis, asthma, accidents, dental caries, primary prevention of hypertension, other cardiovascular diseases. 2. Partially controllable diseases which include some types of heart diseases, musculoskeletal disorders as arthritis, rheu-

Table 6. Age Specific Prevalence of all types of chronic impairments, mental health, Impairments, functional limitation, and disability of both sexes. (No. Interviewed 22.568). Age group in years

Chronic Mental health Impairments Impairments No.

%

55

11.7

1-4

667

23.8

5-9

814

24.0

10 - 14

420

14.5

15 - 19

271

12.0

20 - 24

310

25 - 34

580

35 - 44

No.

Total Impairments

No.

-

1

0.2

6

0.2

56

2.1

20

0.7

749

29.0

13

0.4

86

2.5

1.0

948

27.9

25

0.8

49

1.7

35 46

1.5

540

18.7

30

1.3

38

1.6

46

2.0

385

17.1

17.0

24

1.3

38

2.0

43

2.3

415

22.8

20.3

43

1.5

104

3.6

117

4.1

844

29.6

794

29.1

50

1.8

174

6.3

149

5.4

1167

42.8

45 - 54

580

30.4

31

1.6

222

11.6

180

9.4

1013

53.2

55 - 64

326

31.0

7

0.6

198

18.8

190

18.1

723

68.7

65 & over

113

16.8

26

3.8

179

26.6

215

32.0

533

79.4

-

%

All types of disability

%

less than one

No.

All types of rune. limit.

-

%

No.

%

-

56

11.9

Total

4932

255

1145

1041

7373

%

66.9

3.5

15.5

14.1

100

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 55

matism, spondylosis, lumbago, epilepsy, cerebral palsy, presenile dementia, blindness, paralytic syndroms, hemiplegia, deafness, cataract, peptic ulcer etc. 3. Largely uncontrollable diseases which include congenital defects, cancer, and other neoplasma, arteriosclerosis, infantile hemiplegia, schizophrenia, motor neuron diseases and others. Health problems cannot be solved alone. Community involvement is important in sharing the responsibility and participating actively in planning and organizing health services. The most rational starting point for a consideration of new approaches to effective community participation is a realization of the fact that individual, family and community are responsible for their own health and well being, and that their attitudes, actions or habits either promote or endanger their health. It is the individual who has to agree to carry out specific diseases and accident prevention measures. He has to recognize departures from normal health and seek for medical care. Then he has to accept the treatment given and carry out any supplementary after care or rehabilitation including those prevention

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

of a relapse. This sequence of events occur even in the most simple societies. The difference between developed and developing countries is that the former rely on the services of scientific measure, while the latter have limited facilities at their disposal and tend to rely on the unscientific measures. If preventive measures are not carried out intensively against the diseases that lead to chronic impairments, functional limitations or disability even though they are not all fatal, it may cause a heavy strain on the economic resources. The policy implication is that efforts should be aimed to reduce disability through the prevention of impairments. To prevent the impairments will require attack upon a different set of diagnosis. The question is, what priority is to be given in preventing impairments that lead to disability and whether chronic impairments are amenable to control measures. The health problem of rural communities will not be automatically solved by setting up sophisticated health centres and training special staff, but that the rural services must be integrated in the National Health Services in order to provide a reliable system of primary health care.

Informasi Obat ALBIOTIN, Capsule, Dry Syrup Compositon Each capsule contains : Clindamycin Hydrochloride equivalent to Clindamycin.150 mg. Each capsule, contains : Clindamycin Hydrochloride equivalent to Clindamycin 75 mg. Each 5 ml of suspension contains : Clindamycin Palmitate Hydrochloride equivalent to Clindamycin 75 mg. Pharmacology Albiotin® is a semisynthetic derivative of lincomycin that is more potent and better absorbed than the parent compoundJt is primarily a bacteriostatic. However, depending on the antibiotic concentration, the organism's susceptibility, and the size of the inoculum, bactericidal activity has been demonstrated against some organism. Clindamycin has been shown to have in vitro activity against isolates of the following organisms : — Aerobic gram-positive cocci, including: Staphylococcus aureus, Staphylocuccus epidermidis, Streptococci, and Pneumococci. − Anaerobic gram-negative bacilli, including: Bacteroides species and Fusobacterium species. — Anaerobic gram-positive nonsporeforming bacilli, including: Propionibacterium, Eubacterium, Actinomyces species. — Anaerobic and microaerophilic gram-positive cocci, including: Peptococcus species, Peptostreptococcus species, and Microaerophilic streptococci. Clindamycin Hydrochloride is rapidly absorbed after oral administration. Absorption of an oral dose is virtually complete (90%), and the concomitan administration of food does not appreciably modify the serum concentration;serum levels have been uniform and predictable from person to person and dose to dose. A single oral dose of 150 mg produces peak serum level of 2.50 mcg/ml in 45 minutes. Serum level studies following multiple doses for up to 14 days show no evidence of accumulation or altered metabolism of drug. Clindamycin is widely distributed in body fluids and tissues. The average biologic halflife is 2.4 hours. Approximately 10% of the bio-activity is excreted in the urine and 3.6% in the feces; the remainder is excerted as bio-inactive metabolites. Blood levels studies comparing Clindamycin Palmitate Hydrochloride with Clindamycin Hydrochloride show that both products reach their peak active serum levels at the same time, indicating a rapid hydrolysis of the palmitate to the Clindamycin. Multiple-dose studies in newborns and infants up to 6 months of age show that the drug does not accumulate in the serum and is excreted rapidly.

Indications Albiotin® isindicatedinthe treatment of serious infections caused by susceptible anaerobic bacteria. It is also indicated in the treatment of serious infections due to susceptible strains of streptococci,pneumococci, and staphylococci. Contraindications Individuals with history of hypersensitivity to preparations containing clindamycin or lincomycin. Warning & Precautions 1. Diarrhea and colitis have been reported with the use of clindamycin. The appearance of marked diarrhea should be regarded as an indication that the product should be discontinued immediately. 2. Safety for use in pregnancy has not been established. 3. Should be used with caution in individuals with a history of gastrointestinal disease, particularly colitis. 4. Patients with renal disease and/or hepatic disease should be dosed with caution and periodic liver and kidney function tests and blood counts should be performed. 5. For infection caused by B-hemolytic streptococci a minimum of 10 days treatment is recommended to prevent occurrence of acute rheumatic fever or acute glomerulonephritis. 6. Should superinfections and overgrowth of yeasts occur, appropriate measures should be taken. Adverse Reactions In general Albiotin® is well tolerated. Side effects referable to the gastro-intestinal tract include abdominal discomfort, diarrhea, colitis, nausea, and vomiting. Dosage & Administration Albiotin® Capsules : Adults:Serious infections : 150 to 300 mg every 6 hours. More severe infections : 300 to 450 mg every 6 hours. Albiotin® Dry Syrup : Children: Serious infections : 8to 16mg/kg/day divided into 3 or 4 equal doses. More severe infections : 16 to 20 mg/kg/day divided into 3 or 4 equal doses. Presentation Albiotin® 75 mg capsules : Box of 3 strips of 10 capsules. Reg. No. DKL 9111613101 Al Albiotin® 150 mg capsules : Box of 3 strips of 10 capsules. Reg. No. DKL 9111613101.B 1 Albiotin® Dry Syrup : Bottle of 60 ml. Reg. No. DKL 9111613038 Al VS0 Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 57

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

SELAGI SENGGANG Seorang dokter dalam perjalanan dinas bersama sopirnya mengendari mobil, tetapi karena jalan macet terpaksa berhenti menunggu giliran jalan. Melihat dokternya kecapaian, sopirnya mempersilahkan tidur-tiduran sambil menunggu sampai ke tempat tujuan. Dokter menjawab : “Apa, tidur-tiduran? ............. ini kan baru jam 11, masih jam kerja......................!” Juvelin Jakarta ATAS BAWAH

DEMAM ISTILAH ASING Ada seorang pemuda yang tergila-gila akan istilah asing. Kalau ‘ngomong’ mesti pakai istilah-istilah asing atau ‘semi asing’. Celakanya ia sering tidak paham akan arti istilah itu. Suatu ketika ia jatuh dari sepeda motor. Tangan kanannya remuk. Dibawalah ia ke rumah sakit. “Bagaimana keadaan tangan saya, Dok?” tanyanya kepada dokter. Tahu akan kegemarannya menggunakan istilah asing, dokter itu menjawab: “Agar sembuh mesti diamputasi.” Pemuda itu menyeringai lega, tetapi ia ragu-ragu kemudian bertanya lagi : “Apa itu amputasi, Dok?” “Cutting”, jawab dokter sekenanya. Tambah legalah pemuda itu, pikirnya: amputasi atau cutting tentu pengobatan yang ajaib dan mujarab yang datang menyembuhkan tangan yang remuk. Yon Bandung KEGAGALAN

Suatu ketika ibu-ibu sedang berbincang-bincang tentang penggunaan kaca mata model terbaru : “Satu kaca mata untuk baca dan melihat jauh, jadi yang atas min yang bawah plus”. Seorang ibu lain, yang rupanya tak tahu ujung pangkal pembicaraan langsung menyahut : “Saya malah sebaliknya; suami saya atasnya plus, bawahnya malah minus.................., payah !” Juvelin Jakarta

Dokabu Dokter Dokabu Dokter

: : : :

Dokabu Dokter Dokabu Dokter

: : : :

“Kenapa program KB di daerah anda kurang berhasil?” “Yah, itulah Pak. Mungkin karena saya terlalu jujur.” “Bagaimana itu?” “Pada waktu penyuluhan, saya memperkenalkan diri kepada masyarakat. Pada saat itulah ada pertanyaan yang saya jawab dengan terlalu jujur!” “Pertanyaan apa itu?” “Ada yang bertanya saya anak nomor berapa”. “Apa jawab Anda?” “Saya anak nomor delapan! Lalu ada yang berkata, anak nomor delapan saja bisa jadi dokter!” Hardi C. Yogyakarta

A friend is a present you give yourself. 58 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

ABSTRAK PERBEDAAN ETNIS DALAM FARMAKOKINETIK NIFEDIPIN ORAL Nifedipin merupakan suatu calcium channel blocker derivat dihidropiridin yang banyak digunakan dalam pengobatan hipertensi dan angina. Obat ini mengalami metabolisme pre-sistemik yang ekstensif sehingga bioavailabilitas oralnya hanya 45%. Nifedipin juga menunjukkan klirens plasma yang tinggi yang disebabkan oleh ekstraksi hepatik dan metabolisme berupa oksidasi tahap pertama membentuk metabolit analog piridin yang diikuti dengan pembentukan metabolit asam yang diekskresikan dalam urin. Kleinbloesem et al melaporkan bahwa hampir 20% populasi orang Eropa menunjukkan metabolisme yang kurang sempurna pada pemberian nifedipin dosis oral tunggal berupa kapsul 20 mg. Ahsan CH et al telah melakukan penelitian pada 27 sukarelawan sehat Caucasian/dewasa dan 5 sukarelawan sehat South Asian/dewasa untuk membandingkan profil farmakokinetik nifedipin pada pemberian dosis tunggal 20 mg nifedipin oral dengan hasil sebagai berikut : 1. Luas area di bawah kurva (AUC) nifedipin pada South Asian (323 ± 116 ng ml/jam). Hal ini menunjukkan bahwa bioavailabilitas nifedipin pada South Asian 3 kali lebih tinggi daripada Caucasian. 2. Half-life nifedipin dan metabolit nitropiridin lebih panjang pada South Asian dibandingkan Caucasian. 3. Tidak ada pengaruh pola makanan (spicy curry diet) terhadap farmakokinetik nifedipin. Disimpulkan bahwa populasi South Asian mempunyai kemampuan memetabolisme nifedipin yang lebih rendah dibandingkan Caucasian. Perbedaan ini menyebabkan lebih tingginya kadar nifedipin dalam plasma sehingga

pada South Asian harus diberikan dosis nifedipin yang lebih rendah untuk mencapai efek terapi yang optimal tanpa adanya efek samping yang berlebihan. Hasil ini tentunya menarik bagi peneliti di Indonesia untuk melakukan penelitian yang serupa sehingga dosage adjustment dapat dilakukan untuk populasi Indonesia. Br.J.Clin. Pharmacol. 1991; 31 : 399 – 403 VSR

ROKOK DAN TEKANAN DARAH Pengukuran tekanan darah selama 24 jam menunjukkan adanya perbedaan tekanan darah rata-rata antara kalangan perokok dengan kalangan bukan perokok, meskipun bila diukur sesaat, hasilnya tidak berbeda bermakna. Limapuluh sembilan pasien hipertensi yang merokok mempunyai tekanan darah rata-rata 141/93 mmHg bila diukur di tempat praktek, dibandingkan dengan tekanan darah rata-rata 142/93 mmHg di antara 118 pasien bukan perokok. Dcngan pengukuran tekanan darah secara kontinu, ternyata tekanan darah sistolik rata-rata di kalangan perokok adalah 145 mmHg, dibandingkan dengan 140 mmHg di kalangan bukan perokok; perbedaan tersebut lebih nyata pada usia > 50 tahun (153 vs. 142 mmHg), dan tidak bermakna di saat tidur (121/76 vs. 123/77 mmHg). JAMA 1991;265:2226-8 Brw

SIDS SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) adalah kematian mendadak di kalangan bayi tanpa penyebab yang jelas, dan terjadi di saat tidur. Penelitian prospektif atas 3110 bayi yang lahir antara Januari 1988 sampai

dengan Maret 1990 di Tasmania mendapatkan 23 di antaranya meninggal akibat SIDS. Informasi was posisi tidur didapatkan pada 15 bayi, dan dari analisis statistik, ternyata bahwa posisi telungkup memperbesar risiko SIDS (OR-4.47, 95%CI – 1.30–15.43). Lancet 1991;337:1244-7 Hk

VIRUS SCHIZOPHRENIA ? Penelitian alas catatan kelahiran pasien-pasien schizophrenia di Inggris dan Wales menunjukkan bahwa bayibayi yang dilahirkan ± 5 bulan setelah pandemi influenza A2 di tahun 1957, menderita schizophrenia dengan frekuensi 88% lebih tinggi dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir di bulanbulan yang sama pada 2 tahun sebelum dan 2 tahun sesudahnya. Ini menunjang basil penelitian serupa di Helsinki dan memperkuat teori tentangperanan gangguan perkembangan otak selama masa kandungan dalam patogenesis schizophrenia. Lancet 1991;337:1248-50 Hk

FUNGSI KOGNITIF PADA PENYAKIT HATI Penyakit hati menahun diketahui dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif penderitanya; untuk meneliti penyebabnya, dilakukan studi pengukuran aliran darah otak regional dengan teknik SPECT. Ternyata, bila dibandingkan dcngan kontrol, pasien-pasien sirosis dengan gangguan kognitif menunjukkan peningkatan uptake di daerah ganglia basalis posterior bilateral dan di daerah

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 59

ABSTRAK oksipital kanan, bersamaan dengan penurunan uptake di daerah singuli posterior. Derajat gangguan kognitif berhubungan langsung dengan abnormalitas fungsional dari ganglia basalis dan korteks limbik. Lancet 1991;337:1250-53 Hk

PENTOXIFYLLINE MERANGSANG MOTILITAS SPERMA Kualitas ejakulat semen memegang peranan penting pada fertilitas pria. Pentoxzfylline merupakan suatu hemorheologik yang dapat diberikan per oral dalam pengobatan gangguan vaskular perifer. Obat ini merupakan derivat metilksantin yang dapat meningkatkan kadar cAMP intraseluler melalui penghambatan fosfodiesterase. Atas dasar penelitian Schoenfeld et al yang menunjukkan bahwa derivat metilksantin dapat meningkatkan durasi aktivitas ejakulat spermatozoa, maka Meng-Ru Shen et al meneliti efek pentoxyfilline terhadap motilitas sperma dengan menggunakan metoda migrasi trans-membran dan kaitannya dengan pengobatan infertilitas padapria. Penelitian ini menyimpulkanbahwapentoxyfilline meningkatkan motilitas spermatozoa ejakulat in vitro yang berasal dari sampel ejakulat normal dan asthenozoospermic. Pada pemberian oral pentoxyfilline 800 -1200 mg perhari selama 3 bulan pada penderita asthenozoospermia diperoleh hasil bahwa motilitas sperma meningkat secara signifikan, walaupun konsentrasi sperma tidak meningkat. Disimpulkan bahwa pentoxyftlline merangsang motilitas sperma baik secara in vitro dan in vivo, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan normogonadotropic asthenozoospermia. Br. J. Clin. Pharmacol. 1991; 31: 711-4. VSR

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

INTERAKSI CITRUS JUICE DENGAN NIFEDIPIN Interaksi obat dalam saluran cerna dapat tērjadi bila aksi suatu obat dimodifikasi oleh obat atau senyawa lain yang diberikan bersamaan. Data farmakokinetik suatu obat pada pemberian peroral pada umumnya berdasarkan penelitian pada subyek puasa dengan pemberian obat tunggal; sedang kenyataannya seringkali berbeda. Saat pemberian obat juga bervariasi, sebelum dan sesudah makan atau bersamaan pada waktu makan. Faktor makanan dan minuman di dalam saluran cerna dapat menimbulkan akibat yaitu berupa peningkatan atau penurunan efek terapi dan efek toksik suatu obat. Citrus juice seringkalidikonsumsi pada saat sarapan pagi, dan pada saat yang sama penderita juga dapat meminum obat. Suatu penelitian mengenai interaksi citrus juice dengan nifedipin baru-baru ini dilakukan pada 6 pria sehat yang diberikan nifedipin 10 mg dengan air dan dibandingkan secara cross-over dengan pemberian nifedipin 10 mg dengan citrus juice. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bioavailabilitas nifedipin pada pemberian bersama citrus juice secara rata-rata 34% lebih tinggi dibandingkan pemberian dengan air biasa. Peningkatan bioavailabilitas ini diperkirakan karena berkurangnya metabolismepre-sistemikdari nifedipin. Lancet 1991; 337: 268-9 VSR

EFEK KARDIOTOKSIK ANTIDEPRESAN Meskipun antidepresan trisiklik umumnya dianggap berbahaya bagi jantung, nortriptilin agaknya cukup aman.

Peneliti dari Universitas Columbia, AS, menggunakan nortriptilin pada 8 pasien transplantasi jantung yang menderita depresi mayor menurut kriteria DSM-III. Pasien-pasien tersebut mendapatkan nortriptilin 2 — 28 bulan setelah transplantasi. Obat tersebut cukup efektif dan tidak terlihat efek kardiovaskular yang merugikan, meskipun denyut jantung ratarata dan QRS interval meningkat secara bermakna. Tidak terdapat perubahan bermakna pada tekanan darah, denyut nadi dan QT level. Am J Psychiatr 1991;148:371-3 Hk

PROGNOSIS KARSINOMA PAYUDARA Saat melakukan operasi terhadap karsinoma payudara dapat mempengaruhi prognosis. Selama tahun 1975—1985, 249 wanita penderita karsinoma payudara yang dioperasi dibagi menjadi tiga kelompok menurut saat dioperasinya. Kelompok 1 ialah yang dioperasi pada hari ke 3 — 12 setelah menstruasi terakhir, sedang kelompok 2 ialah yang dioperasi di luar saat-saat tersebut. Ternyata 10-year survival rate di kelompok 1 adalah 54%, sedangkan di kelompok 2 adalah 84%. Perbedaan ini cukup bermakna, bahkan setelah dikoreksi dengan parameter lain, seperti status kelenjar getah bening dan responsnya terhadap estrogen. Lancet 1991;337:1261-64 Hk

* Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkapnya - dalam jumlah terbatas - dapat diminta me/alui alamat redaksi.

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Soil-transmitted helminths yang bukan merupakan masalah kesehatan di Indonesia : a) Ascaris lumbricoides. b) Trichuris trichiura. c) Strongyloides stercoralis. d) Ankylostoma duodenale. e) Necator americanus. 2. Program Pemberantasan Penyakit Cacing termasuk dalam : a) Program Pemberantasan Penyakit Menular. b) Program Pemberantasan Penyakit Diare. c) Program Pemberantasan Penyakit yang Ditularkan melalui Binatang. d) Program Kesehatan Lingkungan. e) Merupakan program tersendiri. 3. Obat cacing yang paling kurang efektif : a) Pirantel pamoat. b) Oxantel pamoat. c) Piperazin hidrat. d) Mebendazol. e) Albendazol. 4. Pengobatan ulangan kecacingan dilakukan dua kali setahun, bila prevalensinya : a) > 30% b) 20 – 30% c) 10 – 20% d) 5 – 10% e) <5%

5. Obat yang dikenal dapat menyebabkan erratic migration A. lumbricoides : a) Pirantel pamoat. b) Oxantel pamoat. c) Piperazin hidrat. d) Mebendazol. e) Albendazol. 6. Obat cacing kombinasi yang dikenal di pasaran : a) Piperazin hidrat – pirantel pamoat. b) Levamizol – pirantel pamoat. c) Mebendazol – pirantel pamoat. d) Levamizol – oxantel pamoat. e) Mebendazol – oxantel pamoat. 7. Desinfektan yang dianggap paling efektif membunuh larva cacing : a) H2O2 b) Fenol. c) Kresol. d) Alkohol. e) Semua sama efektif. 8. Kuman yang tidak menyebabkan gejala sindrom disentri : a) Trichomonas. b) Shigella. c) Salmonella. d) Vibrio. e) Giardia lamblia.

After all is said and done, there is much more said than done.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 61

Related Documents