Case Report Mitha.docx

  • Uploaded by: claryntafreyaa
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Report Mitha.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,312
  • Pages: 54
CASE REPORT

SEORANG LAKI-LAKI 45 TAHUN DENGAN HEPATOMEGALI E.C SUSPEK HEPATOMA, HEPATITIS B KRONIK, DAN EFUSI PLEURA KANAN

Oleh : Paramitha Fajarcahyaningsih 1102013223

Pembimbing : dr. Hj. Shelvi Febrianti, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF INTERNA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RSUD. Dr. Slamet GARUT Periode 7 Agustus 2017- 13 Oktober 2017

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan case report yang berjudul Seorang Laki-Laki 45 tahun dengan Hepatomegali E.C Suspek Hepatoma, Hepatitis B Kronik, dan Efusi Pleura Kanan dengan baik. Case report ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Penyakit Dalam di RSUD Dr.Slamet Garut. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. selaku dokter pembimbing. 2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Penyakit Dalam RSUD Dr. Slamet Garut. 3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr.Slamet Garut. Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Garut, September 19, 2017

Penulis

2

BAB I LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien Nama

: Tn. Dede R

Jenis kelamin

: Laki-laki

Nomor CM

: 01043962

Umur

: 45 tahun

Alamat

: Sukawening

Agama

: Islam

Suku Bangsa

: Sunda

Status Pernikahan

: Menikah

Status Pekerjaan

: Wiraswasta

Jumlah anak

: 5 anak

Tanggal Masuk

: 07 September 2017

Tanggal Keluar

: 19 September 2017

Ruangan

: Agate Bawah

II. Anamnesis Autoanamnesis, dilakukan tanggal 10 September 2017 di ruang Agate Bawah. A. Keluhan Utama

:

Nyeri perut kanan yang menjalar ke perut kiri selama 2 bulan. B. Riwayat Penyakit Sekarang

:

Seorang laki-laki 45 tahun datang ke IGD RS. Dr.Slamet Garut dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan yang menjalar ke perut sebelah kiri sejak 2 bulan SMRS. Pasien mengatakan 3 bulan SMRS pernah mengalami keluhan yang sama selama 10 hari, lalu pasien berobat ke Puskesmas Maripari kemudian keluhan berkurang. Namun 2 bulan SMRS, keluhan nyeri perut dirasakan kembali oleh pasien, nyeri dirasakan terus-menerus, memberat ketika berbaring. Nyeri perut juga disertai dengan keluhan perut yang dirasakan semakin membesar, terdapat benjolan pada perut kanan yang semakin lama semakin membesar. Perut yang terasa penuh dan membesar membuat pasien kadang merasa sesak disertai nyeri dada yang bersifat hilang timbul dan tidak dipengaruhi aktivitas ataupun cuaca dan debu. Pasien juga mengeluh mual, muntah setiap kali habis makan, muntah isi makanan, muntah darah segar ataupun hitam disangkal. Pasien mengaku bila makan harus sedikit demi sedikit karena perut mudah terasa begah akibatnya nafsu makan berkurang. Pasien juga 3

mengeluhkan batuk kering yang hilang timbul dan sesak yang disertai suara mengi. Pasien mengalami BAB mencret selama 1 bulan SMRS yang terhitung 15 kali/hari, dengan BAB mencret yang berampas dan berlendir tanpa disertai darah, warna hitam, dan dempul. Selama 2 bulan SMRS, pasien hanya berobat ke Puskesmas dan keluhan semakin memberat sehingga pasien memilih untuk berobat ke RSU. Dr Slamet Garut. Keluhan masih dirasakan selama pasien dirawat di RS. Sejak 1 minggu di RS, pasien mengeluhkan demam hilang timbul tanpa menggigil. Mata pasien juga tampak kuning pada sklera dan kedua kaki mengalami bengkak. Saat buang air kecil terasa sedikit dan warna urin seperti teh, nyeri atau panas saat BAK (-), darah (-), keruh (-), dan berpasir (-). Buang air besar sedikit dan konsistensi agak keras, dan 2 hari yang lalu warna BAB seperti dempul. C. Riwayat Penyakit Dahulu

:

Belum pernah mengalami keluhan yang sama. perut membesar karena timbunan cairan, muntah darah dan BAB hitam disangkal. Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, diabetes mellitus, asma dan penyakit jantung disangkal oleh pasien. D. Riwayat Penyakit Keluarga

:

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa. Riwayat penyakit hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, kencing manis dan batuk lama disangkal oleh keluarga. E. Riwayat Pengobatan

:

Pasien mengaku telah berobat ke Puskesmas Maripari dan obat sudah habis. Pasien tidak membawa obat dari Puskesmas. E. Riwayat Alergi

:

Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat, namun terdapat alergi pada makanan laut. F. Keadaan Kebiasaan

:

Riwayat merokok selama 10 tahun, setiap hari, 2 bungkus/hari dan saat ini sudah berhenti sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat minum alkohol selama 2 tahun, 2 kali dalam seminggu sebanyak setengah botol, saat ini sudah berhenti sejak 12 tahun yang lalu. Riwayat penggunaan NAPZA disangkal. OS tinggal di rumah yang ventilasi dan pencahayaan yang kurang bagus. Daerah tempat tinggal cukup padat. Di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

4

G. Faktor Sosial-Ekonomi

:

Pasien merupakan seorang wiraswata, mempunyai 5 orang anak yang tinggal bersama dalam satu rumah. Istri pasien sudah meninggal 2 tahun yang lalu. H. Anamnesis Sistem Organ Tubuh

:

Kulit

: Tampak kuning pada daerah wajah

Kepala

: Tidak ada kelainan

Mata

: Berwarna kuning di sclera

Telinga

: Tidak ada kelainan

Hidung

: Tidak ada kelainan

Mulut

: Tidak ada kelainan

Leher

: Hepatojugular refluks (+)

Toraks

: Tidak ada kelainan

Abdomen

: Nyeri perut (+)

Saluran Kemih / Kelamin

: Tidak ada kelainan

Saraf dan Otot

: Tidak ada kelainan

Ekstremitas

: Bengkak pada kedua kaki (+/+)

III. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan Darah

: 120/90 mmHg

Nadi

: 60 x/menit, reguler, isi cukup

Respirasi

: 24 x/menit

Suhu

: 36,6 oC

Saturasi Oksigen (SPO2)

: 93%

Keadaan Gizi

: Kesan gizi kurang

Sianosis

: Tidak tampak sianosis

Edema

: Asites (-), ekstremitas atas (-), ekstremitas bawah (+)

Cara Berjalan

: Sulit berjalan.

Aspek Kejiwaan

: Tingkah laku

: kooperatif

: Alam Perasaan

: Biasa

: Proses Berpikir

: Normal

: Warna

: Ikterik

: Jaringan Parut

: Tidak ditemukan

Kulit

5

Kepala

: Pembuluh Darah

: Tidak tampak melebar

: Keringat

: Normal

: Lapisan Lemak

: kurang

: Efloresensi

: Tidak ada kelainan

: Pigmentasi

: Tidak ada kelainan

: Suhu Raba

: Hangat

: Kelembapan

: Biasa

: Turgor

: Baik

: Normocephali : Ekspresi Wajah

: Wajar

: Simetrisitas Muka

: Simetris

: Rambut

: Hitam lurus tipis Tidak mudah rontok

Mata

: Exophthalmus

:-/-

: Endophtalmus

:-/-

: Kelopak mata

: Tidak ada kelainan

: Conjungtiva Anemis

:-/-

: Sklera Ikterik

: +/ +

: Lapang Penglihatan

: Tidak diperiksa

: Deviatio Konjugae

: Tidak diperiksa

: Lensa

: Normal

: Visus

: Tidak diperiksa

: Tekanan Bola Mata

: Tidak diperiksa

: Lubang

: Normal

: Serumen

: Tidak diperiksa

: Selaput Pendengaran

: Tidak diperiksa

: Cairan

: Tidak tampak ada cairan

: Penyumbatan

: Tidak tampak

: Perdarahan

: Tidak tampak ada darah

Hidung

: Pernafasan cuping hidung

: Tidak tampak

Mulut

: Bibir

: tidak ada kelainan

: Langit – Langit

: Tidak ada kelainan

: Faring

: Tidak ada kelainan

: Sianosis peroral

: Tidak tampak

Telinga

6

Leher

: Tonsil

: Tidak ada kelainan

: Kelenjar getah bening

: Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening di submentalis, submandibularis, subparotis,supraclavicular, infraclavicula, dan axilla Hepatojugular refluks (+)

Cardio

: Tiroid

: Tidak teraba pembesaran

: Inspeksi

: Iktus cordis tampak di linea Midclavicularis sinistra ICS 4

: Palpasi

: Iktus cordis teraba pada 1 cm medial dari linea Midclavicularis sinistra , Thrill (-)

: Perkusi

:

Batas jantung kiri

: ICS 5 linea midclavicula sinistra

Batas jantung kanan

: ICS 4 linea axillaris anterior dextra

Batas pinggang jantung : Auskultasi

: ICS 2 linea parasternalis sinistra

: Bunyi jantung S1 = S2 murni reguler, Takikardi S3/S4 (- / -) : Murmur (-) Gallop (-)

Pulmo (depan)

: Inspeksi

: Pergerakan dinding dada dalam keadaan asimetris dengan gerakan dinding kiri > kanan. Spider navy (-), sikatrik (-), hematoma (-), Massa (-).

: Palpasi

: Fremitus Taktil dan Vokal kanan melemah (-/+) tidak simetris

: Perkusi

: Sonor di pulmo sinistra dan redup di pulmo dextra, peranjakan paru (-)

: Auskultasi

: Vesicular Breathing Sound kanan menurun dibanding kiri : Ronkhi (-/-), Wheezing (+/-)

Pulmo (belakang)

: Inspeksi

: Gerakan statis dan dinamis pada kedua 7

Hemithorax, tidak tampak adanya sikatrik, hematoma, udem, massa, deformitas dan fraktur pada kedua hemitoraks. Tidak terlihat pengunaan otot nafas tambahan, serta perbandingan dinding dada antero posterior dan lateral 1:2 : Palpasi

: Fremitus Taktil dam Vokal kanan melemah (-/+) tidak simetris, nyeri tekan hemitoraks dextra dan sinistra (-)

: Perkusi

: Redup di sebagian inferior hemitoraks dextra, sonor di hemitoraks sinistra.

: Auskultasi

: Vesicular Breathing Sound kanan menurun dibanding kiri : Ronkhi (-/-), Wheezing (+/-)

Abdomen

: Inspeksi

: Tampak perut membuncit, tidak simetris (kanan atas tampak lebih menonjol), warna kulit ikterik. Luka garukan (+) Venektasi (+)

: Auskultasi

: BU (+) melemah

: Perkusi

: Pekak pada perut kanan dengan Daerah pekak 19 cm

: Palpasi

: Nyeri tekan (+), nyeri ketok CVA (-), defans muskular (-), splenomegali (-), asites (-), kuadran kanan atas teraba massa konsistensi keras, permukaan rata licin, tepi tumpul, bergerak sesuai pernafasan. Hepatomegali (+),lobus kanan teraba 7 cm dibawah arcus costae dextra. Lobus kiri teraba 2 cm dibawah processus xyphoideus, dengan tepi tumpul, permukaan licin, konsistensi keras

Ekstremitas Superior

: Purpura

: Tidak ditemukan

: Petechie

: Tidak ditemukan 8

: Hematom

: Tidak ditemukan

: Edema

: -/-

Pitting Edema: -/-

Ekstremitas Inferior

: Varises

: Tidak tampak varises pada ekstremitas

: Akral

: Hangat (+/+)

: Purpura

: Tidak ditemukan

: Petechie

: Tidak ditemukan

: Hematom

: Tidak ditemukan

: Edema

: +/+

Pitting Edema: +/+

Kelenjar Getah Bening

: Varises

: Tidak tampak varises pada ekstremitas

: Akral

: Hangat (+/+)

: Axilla

: Tidak teraba pembesaran

: Inguinal

: Tidak teraba pembesaran

IV. Pemeriksaan Penunjang Pada pasien ini dilakukan: Tanggal 7 september 2017 1. Hematologi Darah rutin: 1. Hemoglobin

: 15,6 mg/dl

2. Hematokrit

: 49%

3. Leukosit

: 7,500 /mm3

4. Trombosit

: 259,000 /mm3

5. Eritrosit

: 5,61 juta/mm3

Imunoserologi HbsAg

: REAKTIF

Kimia Klinik: 1. AST (SGOT)

: 412 U/L

2. ALT (SGPT)

: 130 U/L

9

2. Foto Rontgen Thorax PA dilakukan tanggal 11 September 2017

Deskripsi: 

Cor tidak membesar



Sinus dan Diafragma kanan berselubung. Kiri normal.



Pulmo :Hilus normal Corakan bronkovaskular bertambah Tampak perselubungan opak homogeny di hemithorax kanan tengah bawah

Kesan: Efusi Pleura Dextra

3.USG Abdomen yang dilaksanakan tanggal 14 September 2017 Hepar: Ukuran membesar, permukaan reguler, tekstur parenkim inhomogeny, tampak bayangan massa isoekhoik inhomogen berbatas tidak tegas di hepar lobus kanan, kapsul menebal. Vena porta dan vena hepatika tidak melebar. Tidak tampak koleksi cairan disekitarnya. Tampak thrombus berdiameter lk 3.16 cm di dalam vena cava inferior. Kandung empedu: Besar normal, dinding tidak menebal, tidak tampak bayangan hiperekhoik dengan acustik shadow. Duktus billiaris intra/ektrahepatal: Tidak melebar, tidak tampak bayangan hiperekhoik dengan acustik shadow. Spleen: 10

Ukuran tidak membesar, tekstur parenkim homogen halus, tidak tampak nodul/massa. Vena lienalis tidak melebar. Pankreas: Besar dan ekhogenitas normal, duktus pankreatikus tidak melebar. Ginjal kanan dan kiri: Ukuran ginjal tampak normal, echogenitas parenkim normal. Batas tekstur parenkim dengan central echocomplek jelas. Tidak tampak bayangan hiperekhoik dengan acoustic shadow. Sistem pelvokalises tidak melebar. Ureter tidak terdeteksi. Vesica Urinaria: Terisi penuh, dinding tidak menebal. Tidak tampak batu/massa.

Kesan: 

Hepatomegali e.c Massa Hepar di daerah lobus kanan?



Suspek thrombus a/r vena cava inferior



USG kandung empedu, pankreas, lien, ginjal kanan dan kiri serta vesika urinaria masih tampak dalam batas normal.

11

4. Cairan Pleura post Pungsi Pleura dilaksanakan tanggal 15 September 2017 

Glukosa C Pleura 102 mg/Dl



Protein C Pleura 4640 mg/dl



Albumin C Pleura 2490 mg/dl



Jumlah Sel 590 sel/dl

Hitung jenis sel 

PMN 10%



MN 90%



Rivalta: POSITIF



Preparat BTA : Negatif

Resume Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas menjalar hingga perut kiri sejak 2 bulan disertai perut yang semakin membesar. Sudah sejak 2 bulan lalu perut teras penuh dan mudah begah sehabis makan. Mual, muntah tiap kali makan, dan nafsu makan berkurang. Batuk kering sejak 2 bulan dan sesak disertai nyeri dada. Diare selama 1 bulan SMRS sebanyak 15 kali/hari namun 2 hari yang lalu BAB dengan konsistensi agak keras dan warna dempul. 1 minggu yang lalu, oliguria dengan warna seperti teh, mata dan kulit menjadi kuning dan demam tanpa menggigil. Pasien memiliki riwayat merokok dan alcohol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan gizi kurang, ikterik pada sclera dan kulit pemeriksaan thoraks didapatkan wheezing (+/-), fremitus taktil dan vocal dextra melemah dan VBS pulmo dextra menurun. Pada pemeriksaan abdomen tampak membesar dengan bising usus (+) melemah, kuadran kanan atas teraba massa konsistensi keras, permukaan rata, licin dan nyeri tekan (+).Teraba hepatomegali, dimana lobus kanan teraba 7 cm dibawah arcus costae dextra sedangkan lobus kiri teraba 2 cm dibawah processus xyphoideus, dengan tepi tumpul, permukaan licin, konsistensi keras, nyeri tekan (+). Edema pada ekstremitas inferior. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan HbsAg(+), SGOT 412 U/L, SGPT 130 U/L. Pada foto thoraks PA tampak perselubungan opak homogeny di hemithorax kanan tengah bawah yang menandakan terjadi efusi pleura dextra.Pada USG Abdomen tampak hepar dengan ukuran membesar, permukaan reguler yang menandakan adanya hepatomegali.

V. Daftar Permasalahan 12

1. Nyeri perut kanan atas 2. Perut membesar 3. Mual dan muntah tiap kali makan 4. Oliguria dan warna seperti teh 5. Sesak 6. Subfebris 7. Gizi kurang 8. Sklera dan kulit ikterik 9. Batuk kering dan wheezing (+/-) 10. Perut membuncit, tidak simetris 11. HbsAg reaktif 12. SGOT dan SGPT meningkat 13. Foto thorax PA tampak perselubungan opak homogeny di hemithorax kanan tengah bawah 14. USG Abdomen tampak ukuran hepar membesar (hepatomegali). VI. Diagnosa Kerja Hepatomegali e.c Susp. Hepatoma Hepatitis B Kronik Efusi Pleura Dextra VI. Perencanaan Diagnostik - USG Abdomen CITO -Rontgen Thorax -Cek Albumin - CT Scan Abdomen - Biopsi Hepar

VII. Perencanaan Terapi - Infus RL: D5 20 gtt -Cefotaxim 1 gr 2x1 vial IV -Omeprazole 1x40 mg IV -Ondansetron 2x4 mg IV 13

- Sucralfat Syr 3 x CI -Curcuma 3x1 -Sistenol 2x1 -Inj. Ketorolac 2x1 (BP)

L. Prognosis Quo ad Vitam

: dubia ad malam

Quo ad Fungsional

: malam

Quo ad Sanationam

: dubia ad malam

14

M. Follow Up Tanggal

S

11 Sept - Mual (+) 2017 - Muntah (-)

O

A

P Pd : USG Abdomen CITO

KU : SS

- Dyspepsia

KS : Composmentis

- Susp. Tumor Intra Rontgen Thorax Abdomen Pt : - Hepatoma - Infus D5 20 gtt

- Nyeri ulu hati T : 130/90 mmHg menjalar (+) N : 63 x / menit - Sesak (+) R : 32 x / menit Batuk kering (+) S : 36,6o C -BAB Mencret (+) SPO2: 94% - BAK sedikit Mata: CA - / -BAK warna seperti : SI + / + teh (+)

-Cefotaxim 1 gr 2x1 vial IV -Omeprazole 1x40 mg IV - Sucralfat Syr 3 x CI

-Demam(+) hilang Hidung: PCH ( - ) timbul Mulut: SPO ( - ) - Pusing (+) Leher: KGB (-)

-Curcuma 3x1 -Inj.

Ketorolac

2x1 (BP)

Cardio : BJ I - II (+/+) reguler BJ III - IV (-/-) M(-)G(-) Pulmo : VBs ki > ka Rh -/Wh -/+ Abdomen : BU (+) melemah NT (+) Asites (-) Edema : atas bawah +/+

-/-

Akral hangat (+/+)

15

Tanggal

S

O

12 Sept - Mual (+) 2017 - Muntah (-) Nyeri menjalar (+)

A

KU : SS KS : Composmentis

- Sesak (+)

N : 71 x / menit

- Batuk kering(+) S : 36,9o C hilang timbul -BAB Mencret (+) - BAK sedikit

Mata: CA - / -

-BAK warna seperti teh (+)

Co/ dr. Sp.P

- Efusi Pleura Pt : Dextra

R : 32 x / menit

SPO2: 93%

- Hepatitis B Pd : Cek Lab kronik Ureum, Creatinin. -Susp. Hepatoma

perut T : 110/70 mmHg

P

- Infus D5 20 gtt -Cefotaxim 1 gr 2x1 vial IV -Omeprazole 1x40 mg IV

: SI + / +

- Sucralfat Syr 3 x CI

Hidung: PCH ( - )

-Demam(+) hilang Mulut: SPO ( - ) timbul Leher: KGB (-)

-Curcuma 3x1 -Inj.

Cardio :

Ketorolac

2x1 (BP)

BJ I - II (+/+) reguler BJ III - IV (-/-) M(-)G(-) Pulmo : VBs ki > ka Rh -/Wh -/+ Abdomen : BU (+) melemah NT (+) Asites (-) Edema : atas bawah +/+

-/-

Akral hangat (+/+)

Laboratorium 12 september 2017 Kimia Klinik: 1. Ureum

: 42 mg/dl

2. Kreatinin : 1.3 mg/dl 16

Tanggal

S

O KU : SS

13 Sept - Mual (+) 2017 - Muntah (-)

KS : Composmentis T : 130/90 mmHg

- Nyeri perut menjalar (+) N : 72 x / menit - Sesak (+) berkurang

R : 32 x / menit

o - Batuk kering (+) hilang S : 36,6 C timbul SPO2: 94%

-BAB Mencret (+)

P

- Hepatitis B Pd : Sputum kronik 3X -Susp. Hepatoma LED

Cek BTA

Efusi Pleura Pt : Dextra -R/ Pleura

Pungsi

Mata: CA - / -

- Infus D5 20 gtt

- BAK sedikit

: SI + / +

-Cefotaxim 1 gr

-BAK warna seperti teh Hidung: PCH ( - ) (+) Mulut: SPO ( - ) -Demam(+) timbul

A

hilang Leher: KGB (-) Cardio :

2x1 vial IV -Omeprazole 1x40 mg IV

BJ I - II (+/+) reguler

- Sucralfat Syr 3 x CI

BJ III - IV (-/-)

-Curcuma 3x1

M(-)G(-)

-Inj. Ketorolac

Pulmo :

2x1 (BP)

VBs ki > ka Rh -/Wh -/+ Abdomen : BU (+) melemah NT (+) Asites (-) Edema : atas -/- bawah +/+ Akral hangat (+/+)

Laboratorium 13 September 2017 Darah rutin: 1. Hemoglobin

: 14,9 mg/dl

2. Hematokrit

: 47%

3. Leukosit

: 7,500 /mm3

4. Trombosit

: 259,000 /mm3

5. Eritrosit

: 5,44 juta/mm3 17

6. Laju Endap Darah : 36/52 mm/jam Mikrobiologi

Tanggal

BTA I

: Negatif

BTA II

: Negatif

BTA III

: Negatif

S

O KU : SS

14 Sept - Mual (+) 2017 - Muntah (-) Nyeri menjalar (+)

KS : Composmentis

perut T : 130/80 mmHg N : 81 x / menit

A

P

- Hepatitis B Pd : kronik -Susp. Hepatoma

Pt :

- Efusi Pleura - Infus D5 20 gtt Dextra -Cefotaxim 1 gr

- Sesak (+)

R : 32 x / menit

-BAB Mencret (+)

S : 36,9o C

2x1 vial IV

- BAK sedikit

SPO2: 93%

-Omeprazole 1x40 mg IV

-BAK warna seperti Mata: CA - / teh (+)

: SI + / +

-Demam(+) hilang Hidung: PCH ( - ) timbul - Sakit Kepala (+)

Mulut: SPO ( - ) Leher: KGB (-)

- Sucralfat Syr 3 x CI -Curcuma 3x1 -Inj.

Ketorolac

2x1 (BP)

Cardio : BJ I - II (+/+) reguler BJ III - IV (-/-) M(-)G(-) Pulmo : VBs ki > ka Rh -/- Wh -/+ Abdomen : BU (+) melemah NT (+) Asites (-) Edema : atas -/- bawah +/+ Akral hangat (+/+) 18

Tanggal

S

O

15 Sept - Mual (+) 2017 - Muntah (+) Nyeri menjalar (+)

A

KU : SS KS : Composmentis

-BAB dempul (+) - BAK sedikit

- Hepatitis B Pd : Tunggu Hasil kronik USG -Susp. Hepatoma

perut T : 120/80 mmHg

- Sesak (+)

Pt : - Efusi Pleura - Infus D5 20 gtt Dextra -Cefotaxim 1 gr

N : 81 x / menit R : 32 x / menit S : 36,9o C

2x1 vial IV

SPO2: 93%

-Omeprazole 1x40 mg IV

-BAK warna seperti Mata: CA - / teh (+) -Demam(+) hilang timbul - Sakit Kepala (+)

P

- Sucralfat Syr 3 x CI

: SI + / + Hidung: PCH ( - )

-Curcuma 3x1

Mulut: SPO ( - )

-Inj.

Ketorolac

Leher: KGB (-)

2x1 (BP)

Cardio :

-Sistenol 2x1

BJ I - II (+/+) reguler BJ III - IV (-/-) M(-)G(-) Pulmo : VBs ki > ka Rh -/Wh -/+ Abdomen : BU (+) melemah NT (+) Asites (-) Edema : atas bawah +/+

-/-

Akral hangat (+/+)

Laporan Pungsi Pleura (15 September 2017): 1. Dilakukan pemeriksaan fisik (Inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi) 2. Pada rontgen thorax terdapat efusi pleura dextra 19

3. Dilakukan asepsis menggunakan povidone iodin dan alcohol 70% pada ICS VI linea axillaris medial dan daerah sekitarnya, secara sirkuler dari central ke perifer 4. Dilakukan anastesi menggunakan lidocaine 2% sebanyak 2 ampul dengan spuit 10 cc pada ICS VI line axillaris medial dan keluar cairan hemoraghic 5. Dengan menggunakan abocath no 16, keluar cairan +- 600cc 6. Pasien mulai sesak, tindakan dihentikan. 7. Luka ditutup dengan kassa steril yang telah diberi ppovidone iodine dan ditutup plester 8. Tindakan selesai Tanggal

S

16 Sept - Mual (+) 2017 - Muntah (+) - Nyeri ulu hati(+)

O KU : SS KS : Composmentis T : 130/90 mmHg

Sesak (+) N : 81 x / menit berkurang (post R : 32 x / menit pungsi pleura) o -BAB dempul 3x S : 36,4 C (+) SPO2: 93% - BAK sedikit Mata: CA - / -BAK warna seperti : SI + / + teh (+) Hidung: PCH ( - ) -Demam(+) hilang timbul Mulut: SPO ( - )

- Sakit Kepala (+)

A

P

- Hepatitis B Pd : Tunggu Hasil kronik USG -Susp. Hepatoma

Pt : - Efusi Pleura - Infus D5 20 gtt Dextra -Cefotaxim 1 gr 2x1 vial IV -Omeprazole 1x40 mg IV - Sucralfat Syr 3 x CI -Curcuma 3x1 -Inj.

Ketorolac

Leher: KGB (-)

2x1 (BP)

Cardio :

-Sistenol 2x1

BJ I - II (+/+) reguler BJ III - IV (-/-) M(-)G(-) Pulmo : VBs ki > ka Rh -/Wh -/+

20

Abdomen : BU (+) melemah NT (+) Asites (-) Edema : atas bawah +/+

-/-

Akral hangat (+/+)

21

PERTANYAAN KASUS 1.Apa diagnosis pada pasien ini? Berdasarkan anamnesis, Berdasarkan anamnesis, didapatkan pasien seorang laki-laki berumur 45 tahun dengan keluhan nyeri perut kanan atas menjalar hingga perut kiri sejak 2 bulan disertai perut yang semakin membesar. Sudah sejak 2 bulan lalu perut teras penuh dan mudah begah sehabis makan. Mual, muntah tiap kali makan, dan nafsu makan berkurang. Batuk kering sejak 2 bulan dan sesak disertai nyeri dada. Diare selama 1 bulan SMRS sebanyak 15 kali/hari namun 2 hari yang lalu BAB dengan konsistensi agak keras dan warna dempul. 1 minggu yang lalu, oliguria dengan warna seperti teh, mata dan kulit menjadi kuning dan demam tanpa menggigil. Pasien memiliki riwayat merokok dan alcohol. Pada pemeriksaan fisik terlihat kesan gizi kurang, ikterik pada sclera dan kulit pemeriksaan thoraks didapatkan wheezing (+/-), fremitus taktil dan vocal dextra melemah dan VBS pulmo dextra menurun. Pada pemeriksaan abdomen tampak perut membesar

dengan bising usus (+) melemah, kuadran kanan atas teraba massa

konsistensi keras, permukaan rata licin, dan nyeri tekan (+).Teraba hepatomegali, dimana lobus kanan teraba 7 cm dibawah arcus costae dextra sedangkan lobus kiri teraba 2 cm dibawah processus xyphoideus, dengan tepi tumpul, permukaan licin, konsistensi keras, nyeri tekan (+). Edema pada ekstremitas inferior. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan HbsAg(+), SGOT 412 U/L, SGPT 130 U/L. Pada foto rontgen Thorax PA tampak perselubungan opak homogeny di hemithorax kanan tengah bawah. Pada USG Abdomen tampak hepar dengan ukuran membesar, permukaan reguler yang menandakan adanya hepatomegali. Adanya hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang tersebut maka diagnosa pada pasien ini adalah hepatomegali yang disebabkan karena dugaan hepatoma dan virus hepatitis B kronik dan juga terdapat efusi pleura dextra. 2.Bagaimana penanganan pada pasien ini? Penatalaksanaan kasus hepatomegali dipengaruhi oleh etiologi dari hepatomegali. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi progresifitas dari penyakit. Menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakaan hati. Pasien diberi nutrisi secara parental dengan pemberian infus kombinasi RL dan dekstrosa 5% dengan jumlah 20 tetesan per menit. Pemberian cefotaxime ditujukan untuk mengurangi jumlah bakteri 22

di usus yang bisa menyebabkan peritonitis bacterial spontan serta mengurangi produksi amonia oleh bakteri di usus yang dapat menyebabkan ensepalopati hepatikum jika terlalu banyak amonia yang masuk ke peredaran darah.

Kemudian dilakukan sterilisasi usus dengan pemberian obat-obatan pelindung mukosa lambung seperti sucralfat 3xCI dilakukan agar tidak terjadi perdarahan akibat erosi gastropati hipertensi porta. Pasien juga mengeluh mual sehingga diberikan ondancentron untuk mengurangi keluhan ini. Pasien diberikan curcuma sirup yang merupakan suplemen yang berfungsi untuk mengatasi anoreksia (kehilangan nafsu makan). Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut dan terdapat demam yang hilang timbul sehingga diberikan obat Ketorolac 2x1 untuk meringankan keluhan nyeri dan diberikan sistenol 2x1 untuk mengurangi demam

A. Infus RL : D5% 20 tpm RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan di metabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium. B. Cefotaxime 2x1 IV Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan atau setelah tindakan parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites. Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompensata yang berat. Pada sirosis hati terjadi permeabilitas usus yang menurun dan mikroba ini berasal dari usus. Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime),secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Cefotaxim merupakan golongan sefalosporin. Cefotaxim mempunyai spektrum luas dan waktu paruh plasma sekitar 1 jam, diberikan tiap 6 sampai 12 jam. Cefotaxim efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Cefotaxim juga sangat stabil terhadap enzim beta laktamase yang dihasilkan oleh bakteri. Indikasi: Infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kemih, infeksi gonore, sepsis, meningitis, infeksi tulang dan jaringan lunak, Infeksi kulit. 23

C. Sucralfat Syr 3x c1 Sukralfat (sucralfate) adalah agen sitoprotektif, obat saluran pencernaan yang digunakan secara oral terutama untuk mengobati ulkus duodenum aktif. Obat ini adalah suatu senyawa kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa sulfat yang berfungsi sebagai antasida minimal. Sukralfat (sucralfate) menempel pada protein di permukaan ulkus, seperti albumin dan fibrinogen, untuk membentuk kompleks larut stabil. Kompleks ini berfungsi sebagai penghalang dan pelindung permukaan ulkus, mencegah kerusakan lebih lanjut yang disebabkan karena asam, pepsin, dan empedu. D. Curcuma 3x1 Merupakan suplemen yang berfungsi untuk mengatasi anoreksia (kehilangan nafsu makan), ikterus (menjadi kuningnya warna kulit, selaput lendir, dan berbagai jaringan tubuh oleh zat warna empedu) akibat obstruksi/penyumbatan saluran empedu, amenore (tidak haid), melihara kesehatan fungsi hati, dan melancarkan buang air besar.

E. Omeprazolc 1X40 mg IV Omeprazole adalah obat yang mampu menurunkan kadar asam yang diproduksi di dalam lambung. Obat golongan pompa proton ini digunakan untuk mengobati beberapa kondisi, yaitu nyeri ulu hati, gastroesophageal reflux disease (GERD), dan tukak lambung akibat infeksi bakteri H. pylori. F. Sistenol 2x1 Sistenol adalah obat golongan antipiretik dan analgesik. Obat ini dapat digunakan untuk meredakan demam yang disertai batuk pada gejala flu. Obat ini mengandung paracetamol dan sehingga dapat juga berfungsi sebagai pereda nyeri (analgesik). Kegunaan lain obat Sistenol, yaitu dapat membantu mengurangi viskositas dahak karena dikombinaasikan dengan penggunaan n-Acetylcysteine. F. Ketorolac 2x1 Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti24

inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat. G. Ondansetron 2x4 mg IV Obat yang digunakan untuk mencegah serta mengobat mual dan muntah yang disebabkan oleh efek samping kemoterapi, radioterapi, atau operasi. Terjadinya mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh yang bernama serotonin.

25

BAB II PEMBAHASAN II.1 Hepatoma II.1.1 Definisi Kanker hati (hepatocellular carcinoma/HCC) adalah suatu kanker yang timbul dari hati. Ia juga dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma. Hati terbentuk dari tipe-tipe sel yang berbeda (contohnya, pembuluh-pembuluh empedu, pembuluhpembuluh darah, dan sel-sel penyimpan lemak). Bagaimanapun, sel-sel hati (hepatocytes) membentuk sampai 80% dari jaringan hati. Jadi, mayoritas dari kankerkanker hati primer (lebih dari 90 sampai 95%) timbul dari sel-sel hati dan disebut kanker hepatoselular (hepatocellular cancer) atau Karsinoma (carcinoma)(1). Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) adalah kanker yang berasal dari sel-sel hati. Hepatoma merupakan kanker hati primer yang paling sering ditemukan. Tumor ini merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel parenkim atau epitel saluran empedu atau metastase dari tumor jaringan lainnya(2). Hepatoma primer secara histologis dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: 3 1. Karsinoma hepatoselular, hepatoma primer yang berasal dari sel hepatosit 2. Karsinoma kolangioselular, hepatoma primer yang berasal dari epitel saluran empedu intrahepatik 3. Karsinoma campuran hepatoselular dan kolangioselular. II.1.2. Epidemiologi Hepatoma meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan sebagai kanker yang paling sering terjadi di dunia, dan urutan ketiga dari kanker system saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Di Amerika Serikat sekitar 80%-

26

90% dari tumor ganas hati primer adalah hepatoma. Angka kejadian tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma yang ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000 populasi. Sekitar 80% dari kasus hepatoma di dunia berada di negara berkembang seperti Asia Timur dan Asia Tenggara serta Afrika Tengah yang diketahui sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus.1,4 Hepatoma jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang endemic infeksi hepatitis B virus (HBV) serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Umumnya di wilayah dengan kekerapan hepatoma tinggi, umur pasian hepatoma 1020 tahun lebih muda daripada umur pasien hepatoma di wilayah dengan angka kekerapan hepatoma rendah. Di wilayah dengan angka kekerapan hepatoma tinggi, rasio kasus laki-laki dan perempuan dapat sampai 8:1. 1 II.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko a.

Infeksi Hepatitis B

Beberapa bukti menunjukan adanya peran infeksi viris hepatitis B (HBV) dalam menyebabkan kanker hati, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Pasien-pasien dengan virus hepatitis B yang berada pada risiko yang paling tinggi untuk kanker hati adalah pria-pria dengan sirosis, virus hepatitis B dan riwayat kanker hati keluarga. Mungkin bukti yang paling meyakinkan, bagaimanapun, datang dari suatu studi prospektif yang dilakukan pada tahun 1970 di Taiwan yang melibatkan pegawai-pegawai pemerintah pria yang berumur lebih dari 40 tahun. Pada studi-studi ini, penyelidik-penyelidik menemukan bahwa risiko mengembangkan kanker hati adalah 200 kali lebih tinggi diantara pegawai-pegawai yang mempunyai virus hepatitis B kronis dibandingkan dengan pegawai-pegawai tanpa virus hepatitis B kronis. Pada pasien-pasien dengan keduanya virus hepatitis B kronis dan kanker hati, material genetik dari virus hepatitis B seringkali ditemukan menjadi bagian dari material genetik sel-sel kanker. Diperkirakan, oleh karenanya, bahwa daerah-daerah 27

tertentu dari genom virus hepatitis B (kode genetik) masuk ke material genetik dari selsel

hati.

Material

genetik

virus

hepatitis

B

ini

mungkin

kemudian

mengacaukan/mengganggu material genetik yang normal dalam sel-sel hati, dengan demikian menyebabkan sel-sel hati menjadi bersifat kanker(2). Manifestasi klinik hepatitis B kronik secara garis besar dibagi 2 

Hepatitis B kronik yang masih aktif - HbsAg (+) , DNA VHB lebih lebih dari 105 copies / ml . didapatkan kenaikan ALT yang menetap atau intermitten. - Tanda – tanda peradangan penyakit hati kronik - Histopatologi hati terjadi peradangan yang aktif.



Carrier VHB inaktif - HbsAg (+), titer DNA VHB kurang dari 105kopi / ml . konsentrasi ALT normal - Keluhan tidak ada - Kelainan kerusakan jaringan hati minimal.

Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi hepatitis B kronik Definisi

Kriteria

Diagnosis

Hepatitis B

Proses nekro-inflamasi kronis hati disebabkan oleh infeksi persisten virus hepatitis B.

1. HBsAg + > 6 bulan

kronis

Dapat dibagi menjadi hepatitis B kronis dengan HBeAg + dan HBeAg -

2. HBV DNA serum > 105copies/ml 3. Peningkatan kadar ALT/AST secara berkala/persisten

28

4. Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis (skor nekroinflamasi > 4)

Carrier

1. HBsAg + > 6 bulan

HBsAg

Infeksi virus hepatitis B persisten tanpa disertai proses nekro-inflamasi

inaktif

yang signifikan

3. HBV DNA serum <105copies/ml

2. HBeAg – , anti HBe +

4.Kadar ALT/AST normal 5. Biopsi hati menunjukkan tidak adanya hepatitis yang signifikan (skor nekroinflamasi < 4

Diagnostik pasti didapatkan dengan Biopsi hati, dengan klasifikasi Histological Activity Index (HAI), system ini digunakan selain untuk diagnosis pasti juga digunakan untuk menilai progresifitas penyakit, prognosis, dan tatalaksana yang sesuai. Terdapat dua golongan pengbatan untuk hepatitis kronik yaitu : 1. Golongan imunomodulasi -

Interferon (IFN)

Interferon adalah kelompok protein intreseluler yang normal ada dalam tubuh, diproduksi oleh sel limfosit dan monosit. Produksinya dirangsang oleh berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus.

29

IFN berkhasiat sebagai antivirus, imuno modulator, anti prolifrative dan antipribotif. Efek anti virus terjadi dimana IFN berinteraksi dengan reseptornya yang terdaftar pada membrane sitoplasma sel hati yang diikuuti dengan diproduksinya protein efektor sebagai antivirus. Pada hepatitis B kronik sering didapatkan penurunan IFN. Akibatnya,terjadi penampilan molekul HLA kelas 1 pada membrane hepatosit yang sangat diperlukan agar sel T sitotoksit dapat mengenali sel – sel hepatosit yang terkena virus VHB. Sel – sel terseut menampilkan antigen sasaran (target antigen) VHB pada membrane hepatosit. IFN adalah salah satu obat pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B kronik dnegan HbeAg positif, dengan aktifitis penyakit ringan – sedang, yang belum mengalami sirosis. IFN telah dilaporkan dapat mengurangi replikasi virus. Beberapa factor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN : -

Konsentrasi ALT yang tinggi

-

Konsentrasi DNA VHB yang rendah

-

Timbulnya flare up selama terapi

-

IgM anti HBc yang positif

Efek samping IFN 1.

Gejala seperti flu

2.

Tanda – tanda supresi sutul

3.

Flare up

4.

Depresi

5.

Rambut rontok

6.

Berat badan turun

7.

Gangguan fungsi tiroid.

30

Dosis IFN yang dianjurkan untuk HBeAg (+) adalah 5 – 10 MU 3x seminggu selama 16 – 24 minggu. Untuk HBe Ag (-) sebaiknya sekurang – kurangnya diberikan selama 12 bulan. -

Timosin alfa

Timosin alfa merangsang fungsi sel limfosit. Pada hepatitis virus B, timosin alfa berfungsi

menurunkan

replikasi

VHB

dan

menurunkan

konsentrasi

atau

menghilangkan DNA VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak efek samping seperti IFN, dengan kombinasi dengan IFN obat ini dapat meningkatkan efektifitas IFN. 2. Golongan antiviral -

Lamivudin

Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3’ tiasitidin yang merupakan suatu analog nukleosid, berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan mencegah infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi tetapi tidak mempengaruhi sel – sel yang telah terinfeksi, karena itu apabila obat dihentikan konsentrasi DNA akan naik kembali akibat diproduksinya virus – virus baru oleh sel – sel yang telah terinfeksi. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan placebo. Namun lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari 32% setelah terapi selama satu tahun dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun. Risiko resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian. Dalam suatu studi di Asia, resistensi genotip meningkat dari 14% pada tahun pertama pemberian lamivudin, menjadi 38%, 49%, 66% dan 69% masing masing pada tahun ke 2,3,4 dan 5 terapi

31

-

Adefovir Dipivoksil

Prinsip kerjanya hamper sama dengan lamivudin, yaitu sebagai analog nukleosid yang menghambat enzim reverse transcriptase. Umumnya digunakan pada kasus – kasus yang kebal terhadap lamivudin, dosisnya 10 – 30 mg tiap hari selama 48 minggu. b.

Infeksi Hepatitis C

Infeksi virus hepatitis C (HCV) juga dihubungkan dengan perkembangan kanker hati. Di Jepang, virus hepatitis C hadir pada sampai dengan 75% dari kasuskasus kanker hati. Seperti dengan virus hepatitis B, kebanyakan dari pasien-pasien virus hepatitis C dengan kanker hati mempunyai sirosis yang berkaitan dengannya. Pada beberapa studi-studi retrospektif-retrospektif (melihat kebelakang dan kedepan dalam waktu) dari sejarah alami hepatitis C, waktu rata-rata untuk mengembangkan kanker hati setelah paparan pada virus hepatitis C adalah kira-kira 28 tahun. Kanker hati terjadi kira-kira 8 sampai 10 tahun setelah perkembangan sirosis pada pasienpasien ini dengan hepatitis C. Beberapa studi-studi prospektif Eropa melaporkan bahwa kejadian tahunan kanker hati pada pasien-pasien virus hepatitis C yang menjadi sirosis berkisar dari 1.4 sampai 2.5% per tahun. Pada pasien-pasien virus hepatitis C, faktor-faktor risiko mengembangkan kanker hati termasuk kehadiran sirosis, umur yang lebih tua, jenis kelamin laki, kenaikkan tingkat dasar alpha-fetoprotein (suatu penanda tumor darah), penggunaan alkohol, dan infeksi berbarengan dengan virus hepatitis B. Beberapa studi-studi yang lebih awal menyarankan bahwa genotype 1b (suatu genotype yang umum di Amerika) virus hepatitis C mungkin adalah suatu faktor risiko, namun studi-studi yang lebih akhir ini tidak mendukung penemuan ini. Caranya virus hepatitis C menyebabkan kanker hati tidak dimengerti dengan baik. Tidak seperti virus hepatitis B, material genetik virus hepatitis C tidak dimasukkan secara langsung kedalam material genetik sel-sel hati. Diketahui, bagaimanapun, bahwa sirosis dari segala penyebab adalah suatu faktor risiko

32

mengembangkan kanker hati. Telah diargumentasikan, oleh karenanya, bahwa virus hepatitis C, yang menyebabkan sirosis hati, adalah suatu penyebab yang tidak langsung dari kanker hati. Pada sisi lain, ada beberapa individu-individu yang terinfeksi virus hepatitis C kronis yang menderita kanker hati tanpa sirosis. Jadi, telah disarankan bahwa protein inti (pusat) dari virus hepatitis C adalah tertuduh pada pengembangan kanker hati. Protein inti sendiri (suatu bagian dari virus hepatitis C) diperkirakan menghalangi proses alami kematian sel atau mengganggu fungsi dari suatu gen (gen p53) penekan tumor yang normal. Akibat dari aksi-aksi ini adalah bahwa sel-sel hati terus berlanjut hidup dan reproduksi tanpa pengendalian-pengendalian normal, yang adalah apa yang terjadi pada kanker(4).

c. Sirosis Individu-individu dengan kebanyakan tipe-tipe sirosis hati berada pada risiko yang meningkat mengembangkan kanker hati. Sebagai tambahan pada kondisi-kondisi yang digambarkan diatas (hepatitis B, hepatitis C, alkohol, dan hemochromatosis), kekurangan alpha 1 anti-trypsin, suatu kondisi yang diturunkan/diwariskan yang dapat menyebabkan emphysema dan sirosis, mungkin menjurus pada kanker hati. Kanker hati juga dihubungkan sangat erat dengan tyrosinemia keturunan, suatu kelainan biokimia pada masa kanak-kanak yang berakibat pada sirosis dini. Penyebab-penyebab tertentu dari sirosis lebih jarang dikaitkan dengan kanker hati daripada penyebab-penyebab lainnya. Contohnya, kanker hati jarang terlihat dengan sirosis pada penyakit Wilson (metabolisme tembaga yang abnormal) atau primary sclerosing cholangitis (luka parut dan penyempitan pembuluh-pembuluh empedu yang kronis). Begitu juga biasanya diperkirakan bahwa kanker hati adalah jarang ditemukan pada primary biliary cirrhosis (PBC). Studi-studi akhir ini, bagaimanapun, menunjukan bahwa frekwensi kanker hati pada PBC adalah sebanding dengan yang pada bentuk-bentuk lain sirosis(4).

33

d. Alkohol Sirosis yang disebabkan oleh konsumsi alcohol (>50-70gr/hari dan berlangsung lama) yang kronis adalah hubungan yang paling umum dari kanker hati di dunia (negara-negara) yang telah berkembang. Adalah selama regenerasi yang aktif ini bahwa suatu perubahan genetik (mutasi) yang menghasilkan kanker dapat terjadi, yang menerangkan kejadian kanker hati setelah minum alkohol dihentikan. Alkohol menambah pada risiko mengembangkan kanker hati pada pasien-pasien dengan infeksi-infeksi virus hepatitis C atau virus hepatitis B yang kronis.

e. Aflatoxin B1 Aflatoxin B1 adalah kimia yang diketahui paling berpotensi membentuk kanker hati. Ia adalah suatu produk dari suatu jamur yang disebut Aspergillus flavus, yang ditemukan dalam makanan yang telah tersimpan dalam suatu lingkungan yang panas dan lembab. Jamur ini ditemukan pada makanan seperti kacang-kacang tanah, beras, kacang-kacang kedelai, jagung, dan gandum. Aflatoxin B1 telah dilibatkan pada perkembangan kanker hati di China Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Ia diperkirakan menyebabkan kanker dengan menghasilkan perubahan-perubahan (mutasi-mutasi) pada gen p53. Mutasi-mutasi ini bekerja dengan mengganggu fungsi-fungsi penekan tumor yang penting dari gen.

f. Obat-Obat Terlarang, Obat-Obatan, dan Kimia-Kimia Tidak ada obat-obat yang menyebabkan kanker hati, namun hormon-hormon wanita (estrogens) dan steroid-steroid pembentuk protein (anabolic) dihubungkan dengan pengembangan hepatic adenomas. Ini adalah tumor-tumor hati yang ramah/jinak yang mungkin mempunyai potensi untuk menjadi ganas (bersifat kanker). Jadi, pada beberapa individu-individu, hepatic adenoma dapat berkembang menjadi kanker. Kimia-kimia tertentu dikaitkan dengan tipe-tipe lain dari kanker yang ditemukan pada hati. Contohnya, thorotrast, suatu agen kontras yang dahulu digunakan 34

untuk pencitraan (imaging), menyebabkan suatu kanker dari pembuluh-pembuluh darah dalam hati yang disebut hepatic angiosarcoma. Juga, vinyl chloride, suatu senyawa yang digunakan dalam industri plastik, dapat menyebabkan hepatic angiosarcomas yang tampak beberapa tahun setelah paparan. II.1.4. Patofisiologi Mekanisme karsinogenesis hepatoma belum sepenuhnya diketahui, apapun agen penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui peningkatan perputaran (turnover) sel hati yang diinduksi oleh cedera (injury) dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat menimbulkan perubahan genetik seperti perubahan kromosom, aktivasi oksigen sellular atau inaktivasi gen suppressor tumor, yang mungkin bersama dengan kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta induksi faktor-faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alkohol dan penyakit hati metabolik seperti hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin-alfa1, mungkin menjalankan peranannya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan sirosis). Aflatoksin dapat menginduksi mutasi pada gen suppressor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga berperan pada tingkat molekular untuk berlangsungnya proses hepatogenesis.1

Gambar 4 pathofisiologi hepatocelluler carcinoma/hepatoma, dikutip dari kepustakaan no 13

35

II.1.5 Manifestasi Klinik 

Hepatoma fase subklinis

Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang tanpa gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan melalui pemeriksaan AFP dan teknik pencitraan. Caranya adalah dengan gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik pencitraan terutama dengan USG lebih dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI. Yang dimaksud kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya adalah: masyarakat di daerah insiden tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat hepatitis atau HBsAg positif; pasien dengan riwayat keluarga hepatoma; pasien pasca reseksi hepatoma primer. 

Hepatoma fase klinis

Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi utama yang sering ditemukan adalah: (1) Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang dan lanjut sering dating berobat karena kembung dan tak nyaman atau nyeri samar di abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul( dullache) atau menusuk intermiten atau kontinu, sebagian merasa area hati terbebat kencang, disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga menambah regangan pada kapsul hati. Jika nyeri abdomen bertambah hebat atau timbul akut abdomen harus pikirkan ruptur hepatoma. (2) Massa abdomen atas: hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di bawah arkus kostae berbenjol benjol; hepatoma segmen inferior lobus kanan sering dapat langsung teraba massa di bawah arkus kostae kanan; hepatoma lobus kiri tampil sebagai massa di bawah prosesus xifoideus atau massa di bawah arkus kostae kiri. (3) Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan gangguan fungsi hati.

36

(4) Anoreksia:

timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran

gastrointestinal, perut tidak bisa menerma makanan dalam jumlah banyak karena terasa begah. (5) Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia. (6) Demam: timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor, jika tanpa bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak disertai menggigil. (7) Ikterus: tampil sebagai kuningnya sclera dan kulit, umumnya karena gangguan fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut, juga dapat karena sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran empedu hingga timbul ikterus obstruktif. (8) Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan perut membuncit dan pekak bergeser, sering disertai udem kedua tungkai. (9) Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang kanan, udem kedua tungkai bawah, kulit gatal dan lainnya, juga manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, palmar eritema, lingua hepatik, spider nevi, venodilatasi dinding abdomen dll. Pada stadium akhir hepatoma sering timbul metastasis paru, tulang dan banyak organ lain II.1.6. Diagnosis Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dan maju pesat, maka berkembang pula cara-cara diagnosis dan terapi yang lebih menjanjikan dewasa ini. Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya dengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 – 95%1 dan pendekatan laboratorium alphafetoprotein yang akurasinya 60 – 70%(4). A. Kriteria diagnosa HCC menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu (1,2,3)

: 1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri. 2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg/mL.

37

3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya HCC. 4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya HCC. 5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan HCC.

B. Diagnosa HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima. Kriteria diagnostik HCC menurut Barcelona EASL Conferece (1) : 1. Kriteria sito histologi 2. Kriteria non invasive (khusus untuk pasien dengan sirosis hati) : a. Kriteria radiologis : koinsidensi 2 cara imaging (USG/CTSpiral/Angiografi): -

Lesi fokal >2 cm dengan hipervaskularisasi arterial

b. Kriteria kombinasi : 1 cara imaging dengan kadar AFP serum : -

Lesi fokal >2 cm dengan hipervaskularisasi arterial

-

Kadar AFP serum ≥ 400 µg/mlPen

C. Stadium penyakit (2) 1. Stadium HCC sistem Okuda ada 4 berdasarkan kriteria, yaitu Ukuran tumor (< atau > 50% hati) , Asites (ada atau tidak), Bilirubin (< atau > 3mg/dl), Albumin (< atau > 3mg/dl). 

Okuda I



Okuda II : Positif 1 atau 2



Okuda III : Positif 3 atau 4

: tidak ada kriteria

2. Sitem stadium TNM (Tumor-Nodul-Metastase)

38



Stadium I

: Satu fokal tumor berdiametes < 3cm yang terbatas hanya pada

salah satu segment tetapi bukan di segment I hati. 

Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segement I atau multi-fokal terbatas pada lobus kanan/kiri



Stadium III : Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atas ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumor dengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (billiary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.



Stadium IV : - Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hati. - atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) - atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis) - atau vena cava inferior - atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium 1. Alfa-fetoprotein (AFP) AFP adalah sejenis glikoprotein, disin-tesis oleh hepatosit dan sakus vitelinus, terdapat dalam serum darah janin. Pasca partus 2 minggu, AFP dalam serum hampir lenyap, dalam serum orang normal hanya terdapat sedikit sekali (< 25 ng/L). Ketika hepatosit berubah ganas, AFP kembali muncul. Selain itu teratoma testes atau ovarium serta beberapa tumor lain (seperti karsinoma gaster, paru dll.) dalam serum pasien juga

39

dapat ditemukan AFP; wanita hamil dan sebagian pasien hepatitis akut kandungan AFP dalam serum mereka juga dapat meningkat. AFP memiliki spesifisitas tinggi dalam diagnosis karsinoma hepatoselular. Jika AFP > 500 ng/L bertahan 1 bulan atau > 200 ng/ L bertahan 2 bulan, tanpa bukti penyakit hati aktif, dapat disingkirkan kehamilan dan kanker embrional kelenjar reproduksi, maka dapat dibuat diagnosis hepatoma, diagnosis ini dapat lebih awal 6-12 bulan dari timbulnya gejala hepatoma. AFP sering dapat dipakai untuk menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah terus menurun dengan waktu paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi dalam 2 bulan kadarnya turun hingga normal, jika belum dapat turun hingga normal, atau setelah turun lalu naik lagi, maka pertanda terjadi residif atau rekurensi tumor. Alpha-

Interpretation

fetoprotein (ng/mL) >400-500

- HCC likely if accompanied by space-occupying solid lesion(s) in cirrhotic

liver

or

levels

are

rapidly

increasing.

- Diffusely growing HCC, may be difficult to detect on imaging. - Occasionally in patients with active liver disease (particularly HBV or HCV infection) reflecting inflammation, regeneration, or seroconversion Normal value to - Frequent: Regeneration/inflammation (usually in patients with elevated <400

transaminases and HCV) - Regeneration after partial hepatectomy - If a space-occupying lesion and transaminases are normal, suspicious for HCC

Normal value

Does not exclude HCC (cirrhotic and noncirrhotic liver)

40

1. Petanda tumor lainnya Zat petanda hepatoma sangat banyak, tapi semuanya tidak spesifik untuk diagnosis sifat hepatoma primer. Penggunaan gabungan untuk diagnosis kasus dengan AFP negatif memiliki nilai rujukan tertemu, yang relatif umum digunakan adalah: des-gama karboksi protrombin (DCP), alfa-L-fukosidase (AFU), gama-glutamil transpeptidase (GGT-II), CA19-9, antitripsin, feritin, CEA, dll. 2. Fungsi had dan sistem antigen antibodi hepatitis B Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar belakang penyakit hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda hepatitis B atau hepatitis C positif, artinya terdapat dasar penyakit hati untuk hepatoma, itu dapat membantu dalam diagnosis. Pemeriksaan pencitraan l. Ultrasonografi (USG) USG merupakan metode paling sering digunakan dalam diagnosis hepatoma. Ke-gunaan dari USG dapat dirangkum sebagai berikut: memastikan ada tidaknya lesi pe-nempat ruang dalam hati; dapat dilakukan penapisan gabungan dengan USG dan AFP sebagai metode diagnosis penapisan awal untuk hepatoma; mengindikasikan sifat lesi penempat ruang, membedakan lesi berisi cairan dari yang padat; membantu memahami hubungan kanker dengan pembuluh darah penting dalam hati, berguna dalam meng-arahkan prosedur operasi; membantu memahami penyebaran dan infiltrasi hepatoma dalam hati dan jaringan organ sekitarnya, memperlihatkan ada tidaknya trombus tumor dalam percabangan vena porta intrahepatik; di bawah panduan USG dapat dilakukan biopsi

41

2. CT CT telah menj adi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis lokasi dan sifat hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis, menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya dengan pembuluh darah penting, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat dilakukan CT dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika disuntikkan lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada waktu ini CT-lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm.

42

3.

MRI MRI merupakan teknik pemeriksaan nonradiasi, tidak memakai zat kontras

berisi iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah dan saluran empedu dalam hati, juga cukup baik memperlihatkan struktur internal jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas aneka terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%

.

4.

Angiografi arteri hepatika Sejak tahun 1953 Seldinger merintis penggunaan metode kateterisasi arteri

femoralis perkutan untuk membuat angiografi organ dalam, kini angiografi arteri hepatika selektif atau supraselektif sudah menjadi salah satu metode penting dalam diagnosis hepatoma. Namun karena metode ini tergolong invasif, penampilan untuk hati kiri dan hepatoma tipe avaskular agak kurang baik, dewasa ini indikasinya adalah: klinis suspek hepatoma atau AFP positif tapi hasil pencitraan lain negatif hasilnya; berbagai teknik pencitraan noninvasif sulit menentukan sifat lesi penempat ruang tersebut

43

5.

Tomografi emisi positron (PET) Dewasa ini diagnosis terhadap hepatoma masih kurang ideal, namun karsinoma

kolangioselular dan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk memiliki daya ambil terhadap 18F-FDG yang relatif kuat, maka pada pencitraan PET tampak sebagai lesi metabolisme tinggi. Pemeriksaan lainnya Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi kelenjar limfe supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam asites, perito-neoskopi dll. juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis hepatoma primer. Diagnosis banding 1.

Diagnosis banding hepatoma dengan AFP positif Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor

embrional kelenjar reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan hepatitis serta sirosis hati dengan peninggian AFP. Pada tumor embrional kelenjar reproduktif, terdapat gejala klinis dan tanda fisik tumor bersangkutan, umumnya tidak sulit dibedakan; kanker gaster, kanker pankreas dengan metastasis hati. Kanker gaster, kanker pankreas kadang kala disertai peninggian AFP, tapi konsentrasinya umumnya relatif; rendah, dan tanpa latar belakang penyakit : hati, USG dan CT serta pemeriksaan minum barium dan pencitraan lain sering kali dapat memperjelas diagnosis. Pada hepatitis, sirosis hati, jika disertai peninggian AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus dilakukan pemeriksaan pencitraan hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang dalam hati, selain secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor perubahan ALT dan AFP.

44

2.

Diagnosis banding hepatoma dengan AFP negatif Hemangioma hati. Hemangioma kecil paling sulit dibedakan dari hepatoma

kecil dengan AFP negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat penyakit yang panjang, progresi lambat, bisa tanpa latar belakang hepatitis dan sirosis hati, zat petanda hepatitis negatif, CT tunda, MRI dapat membantu diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering terdapat riwayat kanker primer, zat petanda hepatitis umumnya negatif pencitraan tampak lesi multipel tersebar dengan ukuran bervariasi. Pada abses hati, terdapat riwayat demam, takut dingin dan tanda radang lain, pencitraan menemukan di dalam lesi terdapat likuidasi atau nekrosis. Pada hidatidosis hati, kista hati, riwayat penyakit panjang, tanpa riwayat penyakit hati, umumnya kondisinya baik, massa besar dan fungsi hati umumnya baik, zat petanda hepatitis negatif, pencitraan menemukan lesi bersifat cair penempat ruang, dinding kista tipis, sering disertai ginjal polikistik. Adenoma hati, umumnya pada wanita, sering dengan riwayat minum pil KB bertahun-tahun, tanpa latar belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif, CT tunda dapat membedakan. Hiperplasia nodular fokal, pseudotumor inflamatorik dll. sering cukup sulit dibedakan dari hepatoma primer II.7. Penatalaksanaan Terapi Operasi 1. Reseksi Hepatik Untuk pasien dalam kelompok non sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Kontra indikasi tindakan ini adalah metastasis ekstrahepatik, hepatoseluler karsinoma difus atau multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi. 1 2. Transplantasi Hati

45

Transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor di dalam maupun di luar transplant. Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5 cm. 1 3. Terapi Operatif non Reseksi Karena tumor menyebar atau alasan lain yang tidak dapat dilakukan reseksi, dapat dipertimbangkan terapi operatif non reseksi mencakup injeksi obat melalui kateter transarteri hepatik atau kemoterapi embolisasi saat operasi, kemoterapi melalui keteter vena porta saat operasi, ligasi arteri hepatika, koagulasi tumor hati dengan gelombang mikro, ablasi radiofrekuensi, krioterapi dengan nitrogen cair, efaforisasi dengan laser energi tinggi saat operasi, injeksi alkohol absolut intratumor saat operasi.3 A. Terapi Lokal 1. Ablasi radiofrekuensi (RFA) Ini adalah metode ablasi local yang paling sering dipakai dan efektif dewasa ini. Elektroda RFA dimasukkan ke dalam tumor, melepaskan energi radiofrekuensi hingga jaringan tumor mengalami nekrosis koagulatifn panas, denaturasi, jadi secara selektif membunuh jaringan tumor. Satu kali RFA menghasilkan nekrosis seukuran bola berdiameter 3-5 cm sehingga dapat membasmi tuntas mikrohepatoma, dengan hasil kuratif.3 2. Injeksi alkohol absolut intratumor perkutan Di bawah panduan teknik pencitraan, dilakukan pungsi tumor hati perkutan, ke dalam tumor disuntikkan alkohol absolut. Penggunaan umumnya untuk hepatoma kecil yang tak sesuai direseksi atau terapi adjuvant pasca kemoembolisasi arteri hepatik.3 B. Kemoembolisasi arteri hepatik perkutan Kemoembolisasi arteri hepatik transketer (TAE, TACE) merupakan cara terapi yang sering digunakan untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut yang tidak sesuai dioperasi reseksi. Hepatoma terutama mendapat pasokan darah dari arteri hepatik, setelah embolisasi arteri hepatik, nodul kanker menjadi iskemik, nekrosis, sedangkan 46

jaringan hati normal mendapat pasokan darah terutama dari vena porta sehingga efek terhadap fungsi hati secara keseluruhan relative kecil. Sesuai digunakan untuk tumor sangat besar yang tak dapat direseksi, tumor dapat direseksi tapi diperkirakan tak tahan operasi, hepatoma rekuren yang tak dapat direseksi, hepatoma rekuren yang tak dapat direseksi, pasca reseksi hepatoma, suksek terdapat residif, dll.3 C. Kemoterapi Hepatoma relatif kurang peka terhadap kemoterapi, efektivas kemoterapi sistemik kurang baik. Yang tersering dipaki adalah 5FU, ADR, MMC, karboplatin, MTX, 5FUDR, DDP, TSPA, kamtotesin, dll.3 D. Radioterapi Radioterapi eksternal sesuai untuk pasien dengan lesi hepatoma yang relatif terlokalisasi, medan radiasi dapat mencakup seluruh tumor, selain itu sirosis hati tidak parah, pasien dapat mentolerir radioterapi. Radioterapi umumnya digunakan secara bersama metode terapi lain seperti herba, ligasi arteri hepatik, kemoterapi transarteri hepatik, dll. Sedangkan untuk kasus metastasis stadium lanjut dengan metastasis tulang, radiasi lokal dapat mengatasi nyeri. Dapat juga memakai biji radioaktif untuk radioterapi internal terhadap hepatoma.3

47

The Barcelona-Clinic Liver Cancer (BCL\C) approach to hepatocellular carcinoma management. Adapted from Llovet JM, Fuster J, Bruix J, Barcelona-Clinic Liver Cancer Group. The Barcelona approach: diagnosis, staging, and t

reatment of hepatocellular carcinoma. Liver Transpl. Feb 2004;10(2 Suppl 1):S115-20.

Bagan 1. Alur penatalaksanaan Hepatoma, dikutip dari kepustakaan 8 Terapi Paliatif Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. TAE/ TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child-Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vaskular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.

48

Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan. Prognosis dari hepatoma lebih dipengaruhi oleh stadium tumor pada saat diagnosis, status kesehatan pasien, fungsi sintesis hati dan manfaat terapi II.2.1. Klasifikasi Efusi Pleura Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan eksudat. 1,2,3 1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan: a. Transudat Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: 1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik 2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner 3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura 4. Menurunnya tekanan intra pleura Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah: a. Gagal jantung kiri (terbanyak)

49

b. Sindrom nefrotik c. Obstruksi vena cava superior d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui saluran getah bening)

b. Exusadat Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain: a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia) b. Tumor pada pleura c. Iinfark paru, d. Karsinoma bronkogenik e. Radiasi, f. Penyakit

dan

jaringan

ikat/

kolagen/

SLE

(Sistemic

Lupus

Eritematosis).

50

II.2.2 Patofisiologi Efusi Pleura Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura. 1,2,3,4 Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial. 1,2,3,4 Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. 1,2,3,4 penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila: 1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior. 51

2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis. 3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura 4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura 5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening. Efusi

pleura

akan

menghambat

fungsi

paru

dengan

membatasi

pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata. Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah. II.2.3. Manifestasi Klinis Efusi Pleura Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan ,dan berat badan yang menurun seperti pada efusi yang lain. 1,2,3,4,5

52

Dari anamnesa didapatkan : a.

Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh

b.

Rasa berat pada dada

c.

Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada karsinoma bronchus atau metastasis

d.

Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema

Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit) a.

Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal

b.

Vokal fremitus menurun

c.

Perkusi dull sampal flat

d.

Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang

e.

Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada treakhea

53

DAFTAR PUSTAKA 1. Budihusodo, Unggul. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1, Edisi IV. Jakarta: Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Harrison’s. 2005. Principles of Internal Medicine, 16th Edition. USA: McGrawHill. 3. Desen, Wan. 2008. Tumor Abdomen. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinik edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 4. Singgih B., Datau E.A., 2006, Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Jacobson R.D.,

2009.

Hepatocelluler

Carcinoma.

Diakses

dari

http://emedicine.medscape.com/article/369226-overview 5. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar Lampung. 6. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC. 7. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid II, edisi ke-3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38 8. HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment in pulmonary medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.

54

Related Documents

Case Report
May 2020 25
Case Report
June 2020 29
Case Report
April 2020 24
Case Report Amira.docx
April 2020 11
Case Report Myelopathy.docx
October 2019 22

More Documents from "Nurul Hasanah Surury"