Case Mata - Dry Eyes

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Mata - Dry Eyes as PDF for free.

More details

  • Words: 6,136
  • Pages: 26
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA SMF ILMU PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI – BOGOR Nama

: Rasita Zahrina

NIM

: 406161027

Tanda Tangan ........................................

Dokter Pembimbing/Penguji: dr. Nanda Lessi, Sp.M

I. IDENTITAS Nama Umur Agama Pekerjaan Alamat Tanggal pemeriksaan

..………………………..

: An. DS : 7 tahun : Islam : Pelajar : Kp Pasnggrahan : 27 Februari 2017

II. ANAMNESIS Autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 27 Februari 2017, Pkl. 11:00 WIB Keluhan utama : Penglihatan mata kanan silau sejak 9 bulan yang lalu. Keluhan tambahan : Mata kanan terasa perih dan gatal. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poli Mata dengan keluhan Penglihatan mata kanan terasa silau sejak 9 bulan yang lalu. Keluhan ini disertai dengan perih (+) dan gatal (+) dan mata merah (+). Pasien mengatakan penglihatan mata kanan juga terasa kabur dan kadang terasa ‘sepet’. Ibu pasien mengatakan terdapat kotoran mata terutama saat bangun tidur. Pasien mengatakan tidak ada keluhan pada mata kiri. Ibu pasien mengatakan belum pernah memiliki keluhan seperti ini.

Riwayat Penyakit Dahulu 1. Umum a. Asma

: tidak ada

b. Alergi obat

: Paracetamol dan Amoxycilin

c. DM

: tidak ada

d. Hipertensi

: tidak ada

e. Dislipidemia

: tidak ada 1

f. Lain2

: Pasien pernah di rawat inap 10 hari karena SJS 11 bulan yang

lalu 2. Mata a. Riwayat sakit mata sebelumnya : tidak ada b. Riwayat penggunaan kaca mata : tidak ada c. Riwayat operasi mata

: tidak ada

d. Riwayat trauma mata sebelumnya

: tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga a. Penyakit mata serupa

: tidak ada

b. Penyakit mata lainnya

: tidak ada

c. Hipertensi, DM, Jantung, Asma

: tidak ada

d. Alergi

: tidak ada

Riwayat Pengobatan Tidak ada

III.PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis a. Keadaan umum

: Baik

b. Kesadaran

: Compos mentis

c. Tanda Vital

: HR 84 x/menit; RR 20 x/menit; T 36,8o C

d. Kepala/leher

: Normocephali, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

e. Mulut

: Tidak dilakukan pemeriksaan

f. Paru

: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

g. Jantung

: BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)

h. Abdomen

: Supel, bising usus (+), nyeri (-)

i. Ekstremitas

: Dalam batas normal

Status Ophtalmologi KETERANGAN 1. VISUS - Visus - Koreksi

OD

OS

20/60 PH -

20/30 PH 2

2. 3. 4. 5. 6. -

Addisi Distansia pupil Persepsi warna KEDUDUKAN BOLA MATA Normal Ukuran Eksoftalmus Endoftalmus Deviasi Baik ke segala arah Gerakan Bola Mata SUPERSILIA Hitam Warna Normal Simetris PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR Edema Nyeri tekan Ekteropion Entropion Blefarospasme Trikiasis Sikatriks Normal Punctum lakrimal Fissure palpebral Tidak dilakukan Tes anel KONJUNGTIVA SUPERIOR DAN INFERIOR + Hiperemis Folikel Papil Sikatriks Hordeolum Kalazion KONJUNGTIVA BULBI Sekret Injeksi Konjungtiva + Injeksi Siliar Perdarahan Subkonjungtiva/kemosis - Pterigium - Pinguekula - Flikten - Nevus Pigmentosus - Kista Dermoid 7. SKLERA Putih - Warna - Ikterik - Nyeri Tekan 8. KORNEA

Normal Baik ke segala arah Hitam Normal Normal Tidak dilakukan Putih 3

- Kejernihan - Permukaan - Ukuran - Sensibilitas - Infiltrat - Keratik Presipitat - Sikatriks - Ulkus - Perforasi - Arcus senilis - Edema - Test Placido 9. BILIK MATA DEPAN - Kedalaman - Kejernihan - Hifema - Hipopion - Efek Tyndall 10. IRIS - Warna - Kripta - Sinekia - Kolobama 11. PUPIL - Letak - Bentuk - Ukuran - Refleks Cahaya Langsung - Refleks Cahaya Tidak Langsung

Agak keruh Tidak Rata Normal Menurun + Tidak dilakukan

Jernih Rata Normal Baik Tidak dilakukan

Cukup Jernih -

Cukup Jernih -

Coklat -

Coklat -

Tengah Bulat, isokor 3 mm + +

Tengah Bulat, isokor 3 mm + +

12. LENSA Jernih - Kejernihan Tengah - Letak Tidak dilakukan - Test Shadow 13. BADAN KACA Jernih - Kejernihan 14. FUNDUS OCCULI : Tidak dilakukan - Batas - Warna - Rasio arteri : vena - C/D rasio - Makula lutea - Eksudat - Perdarahan - Sikatriks

Jernih Tengah Tidak dilakukan Jernih 4

- Ablasio 15. PALPASI - Nyeri tekan - Masa tumor - Tensi Occuli - Tonometry Schiotz 16. KAMPUS VISI - Tes Konfrontasi

-

-

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes Schirmer Tes Fluoresein

V. RESUME Pasien mengeluh mata kanan silau sejak 9 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan perih (+), gatal (+), dan mata merah (+). Penglihatan mata kanan juga kabur dan terasa ‘sepet’. Terdapat kotoran mata (+). Pasien memiliki alergi Paracetamol dan Amoxycilin. Pasien pernah di rawat inap 10 hari karena SJS. Status Oftalmologi: Visus Palpebra Cts Cti Cb C CoA

OD 20/60 PH Tenang Hiperemis Hiperemis Hiperemis Agak keruh, Infiltrat (+) Cukup

OS 20/30 PH Tenang Tenang Tenang Tenang Jernih Cukup

P I L

Bulat, Ø 3 mm, RC + Sinekia (-) Jernih

Bulat Ø, 3 mm, RC + Sinekia (-) Jernih

VI. DIAGNOSIS KERJA Dry Eyes + Keratitis Bakterial OD VII. DIAGNOSIS BANDING Dry Eyes + Keratitis virus OD Dry Eyes + Konjungtivitis OD VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN a. Slitlamp 5

b. Uji Sensibillitas Kornea IX. PENATALAKSANAAN Medikamentosa: a. Cendo hyalub (Sodium Hyaluronate 1mg/ml) 6x1 tetes. b. Cendo lyteers (Kalium Chloride 0,8 mg/ml; Sodium Chloride 4,4 mg/ml) 6x1 tetes. c. Mycetin (Kloramfenikol 1%, Polimiksin B Sulfat 5000 iu/gram) 1x1 oles Edukasi: a. Menjelaskan tentang penyakit yang dideritanya. b. Menjelaskan kepada pasien untuk memakai tetes mata dan salep mata sesuai dengan X.

yang disarankan dokter. PROGNOSIS OKULO DEXTRA (OD) Ad Vitam

:

OKULO SINISTRA (OS)

ad bonam

ad bonam

Ad Fungsionam :

dubia ad bonam

ad bonam

Ad Sanationam :

ad bonam

ad bonam

Tinjauan Pustaka

Dry Eyes Anatomi Kompleks lakrimalis terdiri atas glandula lakrimalis, glandulae lakrimalis aksesori, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis. Glandula lakrimalis terdiri atas struktur dibawah ini: 1. Bagian orbita Berbentuk kenari yang teretak didalam foss lakrimalis di segmen temporal atas anterior dari orbita, dipisahkan dari bagian palpebra oleh kornu lateralis dari muskulus levator palpebrae. Untuk mencapai bagian ini dari kelenjar secara bedah, harus diiris kulit, muskulus orbikuaris okuli, dan septum orbitale. 2. Bagian Palpebra Bagian palpebra yang lebih kecil terletak tepat di atas segmen temporal dari forniks konjungtivae superior. Duktus sekretorius lakrimalis, yang bermuara kira-kira sepuluh lubang kecil, menghubungkan bagian orbital dan palpebrae glandula lakrimalis dengan forniks konjungtivae superior. Pembuangan bagian palpebrae dari kelenjar memutuskan semua saluran penghubung dan dengan demikian mencegah kelenjar itu bersekresi. Glandula lakrimalis aksesori (glandula Krause dan Wolfring) terletk di dalam 6

substansia propia di konjungtiva palpebrae. Air mata mengalir dari lakuna lakrimalis melalui punktum superior dan inferior dan kanalikuli ke sakus lakrimalis, yang terletak di dalam fossa lakrimalis. Duktus nasolakrimalis berlanjut kebawah dari sakus dan bermuara ke dalam meatus inferior dari rongga nasal, lateral terhadap turbinatum inferior. Air mata diarahkan kedalam punktum oleh isapan kapiler dan gaya berat dan berkedip. Kekuatan gabungan dari isapan kapiler dan gaya berat berkedip. Kekuatan gabungan dari isapan kapiler dalam kanalikuli, gaya berat dan dan kerja memompa dari otot Horner, yang merupan perluasan muskulus orbikularis okuli ke titik di belakang sakus lakrimalis, semua cenderung meneruskan aliran air mata ke bawah melalui duktus nasolakrimalis ke dalam hidung.

Fisiologi Sistem Sekresi Air Mata Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimalis yang terletak di fossa glandulae lacrimalis yang terletak di kuadran temporal atas orbita. Kelenjar yang berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil, masing-masing dengan sistem duktulus yang bermuara ke forniks temporal superior. Persarafan kelenjar utama datang dari nucleus lacrimalis di pons melalui nervus intermedius dan menempuh suatu jaras rumit cabang maxillaris nervus trigeminus. Kelenjar lakrimal assesorius, walaupun hanya sepersepuluh dari massa kelenjar utama, mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama, namun tidak memiliki ductulus. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama di forniks superior. Sel-sel goblet uniseluler, yang juga tersebar di konjungtiva, mensekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea 7

meibom dan zeis di tepian palpebra memberi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang ikut membentuk tear film. Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata mengalir melimpah melewati tepian palpebra (epifora). Kelenjar lakrimal assesorius dikenal sebagai ”pensekresi dasar”. Sekret yang dihasilkan normalnya cukup untuk memelihara kesehatan kornea. Hilangnya sel goblet, berakibat mengeringnya korena meskipun banyak air mata dari kelenjar lakrimal. Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 µm yang menutup epitel kornea dan konjungtiva. Fungsi lapisan ultra tipis ini adalah 1. Membuat

kornea

menjadi

permukaan

optik

yang

licin

dengan

meniadakan

ketidakteraturan minimal di permukaan epitel. Tear film adalah komponen penting dari “the eye’s optical system”. Tear film dan permukaan anterior kornea memiliki mekanisme untuk memfokuskan refraksi sekitar 80%. Bahkan sebuah perubahan kecil pada kestabilan dan volume tear film akan sangat mempengaruhi kualitas penglihatan (khususnya pada sensitivitas pada kontras). “Tear break up” menyebabkan aberasi optik yang akan menurunkan kualitas fokus gambaran yang didapatkan retina. Oleh karena itu, ketidakteraturan pada tear film preocular merupakan penyebab munculnya gejala visual fatigue dan fotofobia. 2. Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut. Pergerakan kelopak mata dapat menimbulkan gaya ± 150 dyne/cm yang mempengaruhi tear film. Lapisan musin pada tear film dapat mengurangi efek yang dapat mempengaruhi epitel permukaan. Pada keratokonjungtivitis, perubahan lapisan musin menyebabkan epitel permukaan semakin mudah rusak akibat gaya tersebut yang menyebabkan deskuamasi epithelial dan menginduksi apoptosis. 3. Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan mekanik dan efek antimikroba. Permukaan okuler adalah permukaan mukosa yang paling sering terpapar lingkungan. Bagian ini selalu terpapar suhu yang ekstrim, angin, sinar UV, alergen dan iritan. Tear film harus memiliki stabilitas untuk menghadapi paparan lingkungan tersebut. Komponen tear film yang berfungsi untuk perlindungan adalah IgA, laktoferin, lisozim dan enzim peroksidase yang dapat melawan infeksi bakteri maupun virus. Lapisan lipid mengurangi penguapan komponen akuos akibat perubahan lingkungan. Selanjutnya, tear 8

flim dapat membersihkan partikel, iritan dan alergen akibat paparan lingkungan. 4. Menyediakan substansi nutrien yang dibutuhkan kornea. Karena kornea merupakan struktur yang avaskuler, epitel kornea bergantung pada growth factors yang terdapat pada tear film dan mendapat nutrisi dari tear film. Tear film menyediakan elektolit dan oksigen untuk epitel kornea sedangkan glukosa yang dibutuhkan kornea berasal dari difusi dari aqueous humor. Tear film terdiri dari ± 25 g/mL glukosa, kira-kira 4% dari konsentrasi glukosa pada darah,

yaitu konsentrasi yang

dibutuhkan oleh jaringan non-muskular. Antioksidan yang terdapat pada tear film juga mengurangi radikal bebas akibat pengaruh lingkungan. Tear film juga mengandung growth factor yang penting untuk regenerasi dan penyembuhan epitel kornea.

Gambar.1. Lapisan tear film (Sumber: http://tearscience.com/image )

Lapisan-Lapisan Tear Film Lapisan air mata melapisi permukaan okuler normal. Pada dasarnya, lapisan air mata terdiri dari 3 lapisan yang terdiri dari: a. Lapisan tipis superfisial (0.11um) diproduksi oleh kelenjar meibomian dan fungsi utamanya adalah menahan evaporasi air mata dan mempertahankan penyebaran air mata b. Lapisan tengah, lapisan tebal (lapisan aqueous, 7um) diproduksi oleh kelenjar lakrimalis utama ( untuk refleks menangis), seperti halnya kelenjar lakrimalis asesoris dari kelenjar Krause dan Wolfring. c. Lapisan terdalam, lapisan musin hidrofilik diproduksi oleh sel-sel goblet konjunctiva dan epitel permukaan okuler dan berhubungan dengan permukaan okuler melalui ikatan jaringan longgar dengan glikokalik dari epitel konjunctiva. Adanya musin yang bersifat hidrofilik membuat lapisan aqueous menyebar ke epitel kornea.

9

Gambar 2. Tear film layer (Sumber: http://lasik1.com/322208 )

Disfungsi Tear Film Abnormalitas kuantitas maupun kualitas tear film terjadi akibat 1. Perubahan jumlah tear film. 2. Perubahan komposisi tear film. 3. Penyebaran tear film yang tidak merata akibat permukaan kornea yang irregular. Perubahan

jumlah dan komposisi tear film dapat terjadi karena defisiensi aqueous,

difisiensi musin atau sebaliknya kelebihan aqueous dan musin dan /atau abnormalitas lipid (disfungsi kelenjar meibom). Contohnya, peningkatan osmolaritas tear film terlhat pada pasien dengan keratoconjunctivitis sicca atau pada blefaritis dan pada orang yang menggunakan lensa kontak. Penyebaran air mata yang tidak merata dapat terjadi bersamaan dengan permukaan kornea atau limbus yang tidak rata (inflamasi, jaringan parut, perubahan distropi) atau penggunaan lensa kontak yang tidak benar. Dapat juga terjadi akibat gangguan pada kelopak mata akibat kelainan kongenital, disfungsi kelopak mata neurogenik, atau disfungsi mekanisme berkedip. Definisi Sindrom mata kering, atau keratoconjunctivitis sicca (KCS) adalah penyakit mata dimana jumlah atau kualitas produksi air mata berkurang atau penguapan film air mata meningkat. Terjemahan dari "keratoconjunctivitis sicca" dari bahasa Latin adalah "kekeringan kornea dan konjungtiva". Etiologi Banyak diantara penyebab sindrom mata kering mempengaruhi lebih dari satu komponen film air mata atau berakibat perubahan permukaan mata yang secara sekunder menyebabkan film air mata menjadi tidak stabil. Ciri histopatologik termasuk timbulnya bintik-bintik kering pada kornea dan epitel konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel 10

goblet konjungtiva, pembesaran abnormal sel epitel non-goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan penambahan keratinasi. A. Kondisi ditandai hipofungsi kelenjar lakrimal 1. Kongenital a. Dysautonomia familier (sindrom Riley-Day) b. Aplasia kelenjar lakrimal (alakrima kongenital) c. Aplasia nervus trigeminus d. Dysplasia ektodermal 2. Didapat a. Penyakit sistemik b. Infeksi Trachoma c. Cedera d. Medikasi e. Neurogenik-neuroparalitik (fasial nerve palsy) B. Kondisi ditandai defisiensi musin 1. Avitaminosis A 2. Sindrom steven-johnson 3. Pemfigoid okuler 4. Konjungtivitis menahun 5. Luka bakar kimiawi 6. Medikasi-antihistamin, agen muskarin, agen Beta-adregenic blocker C. Kondisi ditandai defisiensi lipid: 1. Parut tepian palpebra 2. Blepharitis D. Penyebaran defektif film air mata disebabkan: 1. Kelainan palpebra a. Defek, coloboma b. Ektropion atau entropion c. Keratinasi tepian palpebra d. Berkedip berkurang atau tidak ada e. Lagophthalmus 2. Kelainan konjungtiva a. Pterygium b. Symblepharon 3. Proptosis Epidemiologi Mata kering merupakan salah satu gangguan yang sering pada mata, terutama pada orang yang usianya lebih dari 40 tahun dan 90% terjadi pada wanita.. Manifestasi Klinis Pasien dengan mata kering paling sering mengeluh tentang sensasi gatal atau berpasir (benda asing). Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus berlebihan, tidak mampu menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas, merah, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra. Pada kebanyakan pasien, ciri paling luar biasa pada pemeriksaan 11

mata adaah tampilan yang nyata-nyata normal. Ciri yang paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benangbenang mukuskental kekuning-kuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix conjungtivae inferior. Pada konjungtiva bulbi tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal, beredema dan hiperemik. Epitel kornea terlihat bertitik halus pada fissura interpalpebra. Sel-sel epitel konjungtiva dan kornea yang rusak terpulas dengan bengal rose 1% dan defek pada epitel kornea terpulas dengan fluorescein. Pada tahap lnjut keratokonjungtivitis sicca tampak filamen-filamen dimana satu ujung setiap filamen melekat pada epitel kornea dan ujung lain bergerak bebas. Pada pasien dengan sindrom sjorgen, kerokan dari konjungtiva menunjukkan peningkatan jumlah sel goblet. Pembesaran kelenjar lakrimal kadang-kadang terjadi pada sindrom sjorgen. Diagnosis dan penderajatan keadaan mata kering dapat diperoleh dengan teliti memakai cara diagnostik berikut: A. Tes Schirmer Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam cul de sac konjungtiva inferior pada batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebra inferior. Bagian basah yang terpapar diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10 mm tanpa anestesi dianggap abnormal. Bila dilakukan tanpa anestesi, tes ini mengukur fungsi kelenjar lakrimal utama, yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring itu. Tes Schirmer yang dilakukan setelah anestesi topikal (tetracaine 0.5%) mengukur fungsi kelenjar lakrimal tambahan (pensekresi basa). Kurang dari 5 mm dalam 5 menit adalah abnormal. Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata. Dijumpai hasil false positive dan false negative. Hasil rendah kadang-kadang dijumpai pada orang normal, dan tes normal dijumpai pada mata kering terutama yang sekunder terhadap defisiensi musin.

Gambar 3. Test Fluoresin

12

(Sumber : http://webeye.ophth.uiowa.edu/233120#/fluoresin-test )

B. Tear film break-up time pengukuran tear film break-up time kadang-kadang berguna untuk memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin mungkin tidak mempengaruhi tes Schirmer namun dapat berakibat tidak stabilnya film air mata. Ini yang menyebabkan lapisan itu mudah pecah. Bintik-bitik kering terbentuk dalam film air mata, sehingga memaparkan epitel kornea atau konjungtiva. Proses ini pada akhirnya merusak sel-sel epitel, yang dapat dipulas dengan bengal rose. Sel-sel epitel yang rusak dilepaskan kornea, meninggalkan daerah-daerah kecil yang dapat dipulas, bila permukaan kornea dibasahi flourescein. Tear film break-up time dapat diukur dengan meletakkan secarik keras berflourescein pada konjungtiva bulbi dan meminta pasien berkedip. Film air mata kemudian diperiksa dengan bantuan saringan cobalt pada slitlamp, sementara pasien diminta agartidak berkedip. Waktu sampai munculnya titik-titik kering yang pertama dalam lapisan flourescein kornea adalah tear film break-up time. Biasanya waktu ini lebih dari 15 detik, namun akan berkurang nyata oleh anestetika lokal, memanipulasi mata, atau dengan menahan palpebra agar tetap terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan defisiensi air pada air mata dan selalu lebih pendek dari normalnya pada mata dengan defisiensi musin.

Gambar 4. Indeks Perlindungan Okular ( Sumber : http://www.systane.ca )

C. Tes Ferning Mata Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti mukus konjungtiva dilakukan dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca obyek bersih. Arborisasi (ferning) mikroskopik terlihat pada mata normal. Pada pasien konjungtivitis yang meninggalkan parut (pemphigoid mata, sindrom stevens johnson, parut konjungtiva difus), arborisasi berkurang atau hilang. D. Sitologi Impresi 13

Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada permukaan konjungtiva. Pada orang normal, populasi sel goblet paling tinggi di kuadran infra-nasal. Hilangnya sel goblet ditemukan pada kasus keratokonjungtivitis sicca, trachoma, pemphigoid mata cicatrix, sindrom stevens johnson, dan avitaminosis A. E. Pemulasan Flourescein Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berflourescein adalah indikator baik untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata mudah terlihat. Flourescein akan memulas daerah-daerah tererosi dan terluka selain defek mikroskopik pada epitel kornea. Terapi Pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah keadaan menahun dan pemulihan pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan konjungtiva masih reversibel. Air mata buatan adalah terapi yang kini dsering digunakan. Salep berguna sebagai pelumas jangka panjang, terutama saat tidur. Fungsi utama pengobatan ini adalah penggantian cairan. Pemulihan musin adalah tugas yang lebih berat. Tahun-tahun belakangan ini, ditambahkan polimer larut air dengan berat molekul tinggi pada air mata buatan, sebagai usaha memperbaiki dan memperpanjang lama pelembaban permukaan.agen mukomimetik lain termasuk Na-hialuronat dan larutan dari serum pasien sendiri sebagai tetesan mata. Jika mukus itu kental, seperti pada sindrom Sjorgen, agen mukolitik (mis, acetylcystein 10%) dapat menolong. 

Topikal cyclosporine A



Topikal corticosteroids



Topikal/sistemik omega-3 fatty acids: Omega-3 fatty acids menghambat sintesis dari mediator lemak dan memblok produksi dari IL-1 and TNF-alpha. Pasien dengan kelebihan lipid dalam air mata memerlukan instruksi spesifik untuk menghilangkan lipid dari tepian palpebrae. Mungkin diperlukan antibiotika topikal atau sistemik. Vitamin A topikal mungkin berguna untuk memulihkan metaplasia permukaan mata. Semua pengawet kimiawi dalam air mata buatan akan menginduksi sejumlah

toksisitas kornea. Benzalkonium chlorida adalah peparat umum yang paling merusak. Pasien yang memerlukan beberapa kali penetesan sebaiknya memakai larutan tanpa bahan pengawet. Bahan pengawet dapat pula menimbulkan reaksi idiosinkrasi. Ini paling serius dengan timerosal.

14

Pasien dengan mata kering oleh sembarang penyebab lebih besar kemungkinan terkena infeksi. Blepharitis menahun sering terdapat dan harus diobati dengan memperhatikan higiene dan memakai antibiotika topikal. Acne rosacea sering terdapat bersamaan dengan keratokonjungtivitis sicca, dan pemgobatan dengan tetrasklin sistemik ada manfaatnya. Tindakan bedah pada mata kering adalah pemasangan sumbatan pada punktum yang bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu lebih lama (silikon), untuk menahan sekret air mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat dilakukan dengn terapi themal (panas), kauter listrik atau dengan laser. Komplikasi Pada awal perjalanan keratokonjungtivitis sicca, penglihata sedikit terganggu. Dengan memburuknya keadaan, ketidaknyamanan sangat menggangu. Pada kasus lanjut, dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea, dan perforasi. Kadang-kadang terjadi infeksi bakteri sekunder, dan berakibat parut dan vaskularisasi pada kornea, yang sangat menurunkan penglihatan. Terapi dini dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini. Prognosis Secara umum, prognosis untuk ketajaman visual pada pasien dengan sindrom mata kering baik.

Keratitis DEFINISI Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan oedema kornea, infiltrasi seluler dan kongesti siliar. PATOFISIOLOGI KERATITIS Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik. Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap. 15

Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, stroma yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia merupakan pathogen kornea bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:    

Lesi pada kornea Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan



membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan

 

berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan) Patogen akan menginvasi seluruh kornea. Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana hanya membaran descement



yang intak. Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.

KLASIFIKASI Terdapat bermacam-macam pembagian dari keratitis yaitu: 1. Menurut penyebabnya : a. Keratitis bakterial Bakteri-bakteri yang biasa menyebabkan keratitis bakterialis, yaitu : 

Streptokokus pneumonia



Pseudomonas aeroginosa



Streptokokus hemolitikus



Moraxella liquefaciens



Klebsiella pneumoniae

b. Keratitis viral Virus lain yang dapat menyebabkan keratitis, yaitu : 16

c.



Herpes simpleks



Herpes zoster



Variola (jarang)



Vacinia (jarang)

Keratitis jamur Jamur - jamur yang biasa ditemukan pada keratitis, diantaranya : 

Candida



Aspergilin



Nocardia



Cephalosporum

d. Keratitis lagoftalmus Keratitis yang terjadi akibat adanya lagoftalmus dimana kelopak mata tidak dapat menutup dengan sempurna sehingga mata terpapar dan terjadi kekeringan pada kornea dan konjungtiva yang memudahkan terjadinya infeksi. Dapat dikarenakan parese Nervus VII. e.

Keratitis neuroparalitik akibat kerusakan Nervus V Keratitis neuroparalitik merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan saraf ke-5 ini dapat terjadi akibat Herpes zoster, tumor fosa posterior kranium dan keadaan lainnya. Pada keadaan anestesi kornea kehilangan daya pertahanannya terhadap iritasi dari luar. Hal ini dapat menyebabkan kornea mudah terjadi infeksi sehingga mengakibatkan terbentuknya ulkus kornea.

f.

Keratokonjungtivitis sika Suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan: 1)

Defisiensi komponen lemak air mata, misalnya blefaritis menahun

2)

Defisiensi kelenjar air mata, misalnya sindrom Sjorgen, alakrimal kongenital, obat diuretik, atropin, dan usia tua.

3)

Defisiensi komponen musin: defisiensi vitamin A, trauma kimia, sindrom Stevens Johnson.

4)

Penguapan yang berlebihan, misalnya pada keratitis neuroparalitik, hidup di padang gurun, keratitis lagoftalmus.

5)

Karena parut pada kornea. 17

2. Menurut tempatnya : a. Keratitis superfisial 

Keratitis epitelial Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis serta pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang terlibat (misalnya: pada keratitis punctata superficialis). Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembentukan filament, keratinisasi partial dan lain-lain. Lesi-lesi ini juga bervariasi pada lokasinya di kornea. Semua variasi ini mempunyai makna diagnostik yang penting



Keratitis subepitelial Lesi-lesi ini sering terjadi karena keratitis epithelial (misal infiltrat subepitelial pada keratokonjungtivitis epidemika, yang disebabkan adenovirus 8 dan 19). Umunya lesi ini dapat diamati dengan mata telanjang namun dapat juga dikenali pada pemeriksaan biomikroskopik terhadap keratitis epitelia.



Keratitis stromal Respons stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema muncul sebagai penebalan kornea, pengkeruhan, atau parut; penipisan dan perlunakan yang dapat berakibat perforasi; dan vaskularisasi.

b. Keratitis profunda 

Keratitis interstitial Merupakan keratitis yang ditemukan pada jaringan yang lebih dalam, yaitu keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan neovaskularisasi. Terjadi akibat alergi, infeksi lues, dan tuberkulosis.



Keratitis sklerotikans Merupakan kekeruhan berbentuk segitiga pada kornea, terlokalisasi, berbatas tegas unilateral yang menyertai radang sklera atau skleritis. Kadang-kadang mengenai seluruh limbus. Kornea terlihat putih menyerupai sklera. Diduga terjadi karena perubahan susunan serat kolagen yang menetap.



Keratitis disiformis Disebut juga keratitis sawah karena banyak mengenai petani. Keratitis memberikan kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong di jaringan kornea. 18

Diduga merupakan reaksi alergi ataupun imunologik terhadap virus Herpes simpleks. Selain keratitis yang dijelaskan di atas, masih terdapat beberapa jenis keratitis lainnya: a. Keratitis pungtata superfisial Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran infiltrat halus bertitiktitik pada permukaan kornea, memberikan hasil positif pada tes fluorescein. Etiologinya adalah sindrom dry eye, blefaritis, keratopati, lagoftalmus, keracunan obat topikal (neomycin, tobramycin), sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak. b. Keratitis numularis atau dimmer Keratitis numularis merupakan bentuk keratitis dengan ditemukannya infiltrat yang bundar berkelompok dan tepinya berbatas tegas sehingga memberikan gambaran halo. Keratitis ini berjalan lambat dan sering ditemukan pada petani sawah. c. Keratokonjungtivitis epidemika Keratitis ini terjadi akibat peradangan kornea dan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi adenovirus tipe 8. Penyakit ini dapat timbul sebagai suatu epidemik. d. Keratitis marginal Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus akibat infeksi lokal konjungtiva. Bila tidak diobati dapat menyebabkan ulkus kornea. e. Keratokonjungtivitis flikten Merupakan radang kornea dan konjungtiva yang merupakan reaksi imun yang mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Terdapat daerah berwarna keputihan yang merupakan degenerasi hialin. Terjadi pengelupasan lapis sel tanduk epitel kornea. f. Keratokonjungtivitis vernal Merupakan penyakit rekuren, dengan peradangan tarsus dan konjungtiva bilateral. Penyebab belum diketahui, namun terutama terjadi pada musim panas mengenai anak sebelum berumur 14 tahun. Mengenai kelopak atas dan konjungtiva pada daerah limbus berupa hipertrofi papil yang kadang-kadang berbentuk Cobble stone. 19

GEJALA KLINIS Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen. DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adnya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan keratitis herpetic tidak, penyakitpenyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus. Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan. 20

Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan dengan melihat tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial, perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea. Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat. Berikut ini merupakan jenis keratitis dan bentuknya: No. Jenis keratitis 1. Keratitis stafilokok

Bentuk keratitis Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama sepertiga bawah kornea 2. Keratitis herpetik Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau lonjong) dengan edema dan degenerasi 3. Keratitis varicella-zoster Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang linear (pseudosendrit) 4. Keratitis adenovirus Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus namun paling mencolok di daerah pupil 5. Keratitis sindrom Sjorgen Epitel rusak dan erosi kecil-kecil, pleomorfik, terpulas fluorescein; filament epithelial dan mukosa khas; terutama belahan bawah kornea 6. Keratitis terpapar akibat Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas fluorescein; terutama lagoftalmus atau di belahan bawah kornea eksoftalmus 7. Keratokonjungtuvitis Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan berbercak-bercak vernal kelabu, paling mencolok di daerah pupil atas. Kadang-kadang membentuk bercak epithelium opak 8. Keratitis trofik-sekuele HS, Edema epitel berbercak-bercak; difus namun terutama di HZ dan destruksi ganglion fissure palpebrae, pukul 9-3 gaseri 9. Keratitis karena obatErosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan edema seluler terutama antibiotika berbintik-bintik; lingkaran epitel spectrum luas 10. Keratitis superficial Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau lonjong; menimbul punctata (SPK) bila penyakit aktif 11. Keratokonjungtivitis limbic Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di sepertiga atas kornea; superior filament selama eksaserbasi; hiperemi bulbar, limbus 21

12. Keratitis rubeola, rubella dan parotitis epidemika 13. Trachoma

berkeratin menebal, mikropanus Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah pupil

Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein pada sepertiga atas kornea 14. Keratitis defisiensi vitamin Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel akibat keratinisasi A partial; berhubungan dengan bintik-bintik bitot PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit. PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Sebagian besar pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya.Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial

sehingga

obat

lebih

mudah

mengurangi subepithelial "ghost" opacity Diharapkan debridement juga

mampu

menembus.

Dalam

hal

ini

juga

untuk

yang sering mengikuti keratitis dendritik.

mengurangi

kandungan

virus

epithelial

jika

penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang. Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar 22

dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah virus. Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid. Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala, supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida. Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan efek maksimal dicapai

23

setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli. Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamellar. Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue. KOMPLIKASI & PROGNOSIS Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula, leukoma, leukoma adherens dan stafiloma kornea. Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit lamp. Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat tanpa menggunakan kaca pembesar. Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat dari jarak yang agak jauh sekalipun. Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh ketebalan kornea, terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea (sinekia anterior).

24

Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai perforasi, maka pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut kornea yang disertai dengan sinekia anterior. Bila ulkusnya lebih dalam dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat membahayakan mata, oleh karena timbulnya hubungan langsung dari bagian dalam mata dengan dunia luar, sehingga kuman dapat masuk ke dalam mata dan menyebabkan endoftalmitis atau panoftalmitis. Dengan adanya perforasi, iris dapat menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris. Saat terjadi perforasi, tekanan intraokular menurun. Keratitis subepitel /epitel

Sembuh tanpa bekas

Berlanjut menjadi ulkus

Sembuh dengan parut kornea Nebula

Berlanjut dengan perforasi kornea disertai penonjolan keluar dari kornea dan prolaps iris Sembuh dengan parut :

Makula

Lekoma adheren

Lekoma

Stafiloma kornea

Buta kornea

Berlanjut dengan terjadi -endoftalmitis -panoftalmitis sembuh

Phtysis bulbi

Buta permanen

Operasi / angkat bola mata Abulbi

Bagan 1: Perjalanan Keratitis

DAFTAR PUSTAKA 25

1. Vaugan, Daniel, Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva; alih bahasa : Jan Tamboyang, Braham U. Pendit; editor Y. Joko Suyono. Palpebra dan Apparatus lakrimalis dalam Oftalmologi Umum, edisi 14. Jakarta: 2000. Hal 94. Widya Medika 2. Skuta, Gregory L et al. American Academy of Ophtalmology : Orbit Eyelids and Lacrimal System . San Fransisco: 2011 . American Academi of Ophtalmology 3. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ketiga. Jakarta: 2008. Balai Penerbit FKUI. 4. Plugfelder, Stephen C et al. Dry Eye and Ocular Surface Disorders. New york : 2004. Marcell Decker. 5. Sastrawan D, dkk. Standar Pelayanan Medis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. Palembang , 2007 dkk 6. http://emedicine.medscape.com/article/1210417-overview diakses tanggal 4 Maret 2017 7. Fernando H. Bacterial Keratitis. Diunduh pada 4 Maret 2017. Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com/article/1194028-overview

26

Related Documents