Capres Dan Janji Pendidikan Murah

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Capres Dan Janji Pendidikan Murah as PDF for free.

More details

  • Words: 1,809
  • Pages: 6
Calon Presiden dan Janji Pendidikan Murah Bimo Ario Tejo dan Zainal Alimuslim Tidak seperti pemilihan umum (pemilu) sebelumnya, pada pemilu kali ini, yang untuk pertama kalinya presiden akan dipilih langsung oleh rakyat, pendidikan mulai menjadi isu yang seksi. Semua calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tanpa kecuali menyentuh isu pendidikan sebagai salah satu program kerja yang harus diproritaskan, walaupun baru sebatas janji. Pasangan Amien Rais-Siswono Yudohusodo misalnya, secara gamblang akan mengupayakan agar UU nomor 20 tahun 2003 yang mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dapat terlaksana para era pemerintahannya. Janji yang lebih bombastis muncul dari pasangan yang dibentuk terburu-buru, Hamzah Haz dan Agum Gumelar: pendidikan gratis bagi siswa SD sampai SMU yang kurang mampu, yang saat ini jumlahnya mencapai angka 80 persen, pada tahun pertama mereka memimpin. Ketiga pasangan capres-cawapres yang lain agaknya lebih suka bermain pada tataran normatif ketimbang memberi janji-janji muluk. Pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi misalnya, memilih untuk melanjutkan program yang sudah berjalan, seperti perbaikan gedung-gedung sekolah yang rusak, penambahan jumlah beasiswa, dan penambahan 100 ribu guru untuk lima tahun ke depan. Walaupun selama era pemerintahannya jelas terbukti bahwa sektor pendidikan tidak mendapat perhatian yang selayaknya, tidak satupun pasangan capres-cawapres lain yang menjadikan hal tersebut sebagai isu untuk mendelegitimasi kepemimpinan Megawati. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla dan Wiranto-Sholahuddin Wahid, sama seperti pasangan Megawati-Hasyim, memilih bersikap konservatif dalam menangani masalah pendidikan. Walaupun pasangan WirantoWahid menyebut kata “reformasi“ untuk pendidikan dasar dan menengah, tetapi tidak dijelaskan secara gamblang apa yang dimaksud dengan reformasi tersebut. Pasangan SBYKalla pula menawarkan kebijakan seperti yang sudah-sudah: wajib belajar sembilan tahun, meningkatkan pendidikan keterampilan, meningkatkan penyediaan sarana pendidikan dan tenaga pendidik, meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru, dan manajemen pendidikan. * * *

Walaupun baru sebatas janji, perhatian yang mulai diberikan oleh para kandidat capres-cawapres itu patut disambut gembira walaupun dengan tidak mengurangi kekritisan kita terhadap janji para calon. Laiknya janji, tentu penampilannya harus semenarik mungkin dan, kalau boleh, sanggup menutup pintu-pintu kekritisan dari calon pemilih. Tetapi tentunya kita tidak mau termakan janji begitu saja karena lima tahun ke depan akan sangat menyakitkan jika kita menjatuhkan pilihan pada calon yang salah. Pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah bagaimana para kandidat capres-cawapres mendapatkan dana untuk membiayai program sektor pendidikannya. Tidak ada satupun pasangan kandidat yang menyebutkan secara gamblang bagaimana merealisasikan tuntutan konstitusi bahwa pendidikan harus mendapat jatah 20 persen dari APBN. Amien Rais memang pernah menyebut akan melakukan konsolidasi fiskal, tetapi tidak disebutkan bagaimana caranya, sektor apa yang harus dikorbankan, dan lainlain. Kandidat lain bahkan tidak menyebut metode apa yang akan dilakukannya untuk mencari dana 20 persen itu. Dalam APBN 2004, pengeluaran rutin sektor pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olahraga adalah sebesar Rp 6,3 trilyun, yaitu sekitar 3,4 persen dari total anggaran Rp 184 trilyun. Dari jumlah tersebut, subsektor pendidikan mendapat Rp 5,5 trilyun atau 2,9 persen total anggaran. Dengan asumsi belanja rutin untuk APBN 2005 tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya, maka alokasi 20 persen APBN untuk sektor pendidikan bermakna pemerintah mendatang harus menyediakan dana minimal Rp 36 trilyun. Pertanyaannya, sektor APBN mana yang harus dikurangi jatah anggarannya? Sektor yang mendapat alokasi terbesar dalam APBN 2004 adalah sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan, dan koperasi sebesar Rp 136,4 trilyun atau 74 persen dari total APBN; hal ini diperkirakan tidak akan berubah drastis untuk APBN 2005 yang akan datang. Jika janji 20 persen APBN untuk sektor pendidikan jadi dilaksanakan, kemungkinan besar sektor perdagangan (khususnya sektor keuangan) yang akan dikurangi alokasinya. Tetapi hal ini nampaknya mustahil dilakukan mengingat untuk RAPBN 2005 mendatang, pemerintah (melalui Menteri Keuangan Boediono) dalam rapat kerja dengan Panitia Anggaran DPR pada 4 Mei 2004 telah menegaskan bahwa tidak akan ada kebijakan revolusioner dalam masalah anggaran.

Dengan demikian pemerintah harus mencari sumber pendapatan baru di samping sumber-sumber konvensional seperti pajak, laba BUMN, dan penerimaan komoditi migas/non-migas. Tetapi malangnya, tidak satupun kandidat capres/cawapres yang mengajukan alternatif penerimaan negara selain dengan cara-cara konservatif yang telah ditempuh rezim-rezim sebelum ini. Mungkin para kandidat tersebut berpikir untuk menggenjot penerimaan pajak atau mencari tambahan utang luar negeri, tetapi hal ini diyakini justru akan menciptakan perangkap kemiskinan baru. Isu 20 persen anggaran negara untuk sektor pendidikan adalah gagasan revolusioner, tetapi sayangnya para capres/cawapres kita masih berpikir konservatif untuk mewujudkannya. * * * Pertanyaan kedua, betulkah para capres/cawapres kita serius dengan janjinya dan memang memiliki komitmen tinggi terhadap misi pendidikan yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat? Dilihat dari track record mereka selama 5 tahun terakhir, tidak satupun di antara kelima pasangan ini yang secara tajam mengkritisi kebijakan pemerintahan Megawati dalam sektor pendidikan. Salah satu contoh adalah ketika pemerintah memutuskan untuk mengubah status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN) yang konsekuensinya negara mengurangi jumlah subsidi kepada PTN sehingga biaya operasional sehari-hari (termasuk gaji para dosen) harus diusahakan sendiri oleh masing-masing PTN dan berdampak pada melonjaknya biaya kuliah. Tetapi tidak satupun di antara kelima capres/cawapres ini yang mengambil sikap oposisi terhadap kebijakan tersebut. Jelas bahwa kebijakan pengalihan status PTN menjadi BHMN adalah tindakan lepas tangan negara dari tanggung jawabnya terhadap pendidikan. Apakah pemerintah merasa ada sektor lain yang lebih penting ketimbang membiayai pendidikan rakyatnya sendiri? Apakah pemerintah merasa rakyat Indonesia sudah cukup kaya untuk membayar biaya kuliah anak-anaknya di PTN yang telah melangit sampai melewati angka Rp 1 juta per semester? Sebagai contoh negara tetangga kita, Malaysia, secara ekonomi jauh lebih makmur daripada Indonesia. Pendapatan perkapita mereka sebesar US$ 9300 (ranking 77 dari 231 negara, data tahun 2003); bandingkan dengan Indonesia

yang hanya US$ 3100 (ranking 149). Tetapi tingginya pendapatan perkapita itu tidak menjadi alasan bagi pemerintah Malaysia untuk menetapkan biaya pendidikan yang tinggi di semua peringkat. Untuk pendidikan dasar dan menengah, sejumlah biaya hanya akan dikutip pada saat ujian-ujian besar, yaitu pada tahun ke-6 (UPSR, Ujian Penilaian Sekolah Rendah), ke-9 (PMR, Penilaian Menengah Rendah), dan ke-12 (SPM, Sijil Pelajaran Malaysia). Hasilnya, Malaysia memiliki indeks pembangunan manusia (Human Development Index, HDI) yang lebih baik, yaitu 0,768, berbanding Indonesia yang hanya 0,671 (data tahun 1999). Untuk pendidikan tinggi, negara yang umur kemerdekaanya lebih muda dari Indonesia itu menyediakan beasiswa untuk semua orang yang diterima masuk PTN sebesar 7000 ringgit per tahun (sekitar Rp 16 juta) untuk bidang sains, sedangkan untuk bidang sosial mendapat 6000 ringgit. Dana ini disalurkan melalui Perbadanan Tabung Pendidikan Tinggi Negara (PTPTN) yang dibentuk pemerintah. Tunjangan ini harus dibayar balik oleh si mahasiswa setelah lulus, tetapi bisa diabaikan apabila si mahasiswa melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk negara semakmur Malaysiapun pemerintah masih merasa perlu melindungi dan mensubsidi sektor pendidikan. Anggaran pemerintah Malaysia untuk sektor pendidikan pada tahun 2004 adalah sebesar 20 milyar ringgit atau 17 persen dari total anggaran. Ironisnya, negara semiskin Indonesia justru menetapkan biaya pendidikan yang sangat tinggi di lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan negara. Pemerintah mungkin bisa berdalih bahwa karena miskin itulah maka negara tak sanggup lagi mensubsidi PTN. Tetapi mengapa pemerintah sanggup mengeluarkan uang ratusan trilyun rupiah dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank sakit? Untuk fakta sejelas ini yang telah berlangsung dalam lima tahun terakhir, apakah para kandidat capres/cawapres pernah berdiri pada posisi berlawanan dengan kebijakan pemerintah? Tidak pernah. Sehingga patut diduga munculnya janji-janji pendidikan murah dalam musim kampanye kali ini hanya sekedar gincu politik yang tidak berarti apaapa. * * * Pertanyaan ketiga, apakah kandidat capres/cawapres kita menyadari bahwa isu pendidikan harus diselesaikan secara holistik? Sebagai gambaran sederhana, sebuah keluarga miskin tentu tidak akan menyuruh anaknya pergi ke sekolah

walaupun gratis. Si anak tentu akan disuruh untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarganya. Menilik janji para capres/cawapres yang hanya berkutat pada isu kenaikan anggaran pendidikan, terindikasi bahwa para kandidat tersebut tidak memahami pendidikan lebih dari sekedar jargon politik. Jika memang betul akan ada konsolidasi fiskal demi memenuhi target 20 persen APBN untuk sektor pendidikan, berarti sektor yang berkaitan langsung dengan pemberantasan kemiskinan pun terpaksa dikurangi alokasinya. Bagaimana mengatasi dilema ini? Tidak satupun pasangan capres/cawapres yang pernah menyinggungnya secara serius. Menurut Center for the Betterment of Education (CBE), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menumpukan perhatian pada masalah pendidikan, pemerintah saat ini melihat pendidikan hanya sebatas masalah persekolahan dan pemberantasan buta huruf. Padahal, menyelesaikan masalah dunia pendidikan berkait erat dengan problem kemiskinan, merebaknya eksploitasi pekerja anak, wabah korupsi yang menggila, jeratan hutang luar negeri yang mencekik, dan militerisme yang menguras habis anggaran pembangunan. Kelima problem ini harus diselesaikan sebagai bagian integral dari solusi masalah akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Kemiskinan dan korupsi akan menciptakan materialistic mindset di tengah masyarakat sehingga orang tidak pernah berpikir akan pentingnya pendidikan. Keinginan cepat kaya lebih menguasai pemikiran generasi muda ketimbang masuk sekolah yang dipandang hanya membuang-buang uang. Hal ini diperparah dengan eksploitasi “jalur cepat menuju kaya” oleh televisi-televisi swasta kita; bagaimana seseorang yang sekolahnya tidak selesai, bermodal nekat datang ke Jakarta untuk ikut audisi calon artis, dan sekejap kemudian sudah mampu membeli rumah dan mobil untuk orang tuanya di kampung. Sementara Septinus George Saa, siswa SMU 3 Jayapura yang memenangkan anugerah First Step to Nobel Prize in Physics, justru sepi dari publisitas media. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa siswa SMU kelas 3 ini telah menulis makalah fisika bertajuk Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Network of Identical Resistor yang oleh tim juri dinilai berkualitas lebih baik daripada tesis seorang doktor fisika. Menguatnya militerisme juga harus dipandang sebagai bagian dari masalah pendidikan. Menurut data yang dikumpulkan CBE, dana untuk mencapai target pendidikan dasar secara global memerlukan US$ 8 milyar setiap tahunnya, atau setara dengan dana untuk kegiatan militer

secara global selama 4 hari saja. Dalam setahun, kegiatan militer global menghabiskan biaya sebesar US$ 780 milyar, atau US$ 25 ribu per detik. Untuk Indonesia, APBN 2004 menyediakan anggaran untuk sektor pertahanan keamanan sebesar Rp 21,7 trilyun atau lebih tiga kali lipat anggaran sektor pendidikan. Melihat angka-angka ini, jelas terbukti bahwa pemerintah Indonesia saat ini belum memandang pendidikan sebagai sektor pembangunan yang harus digarap secara serius. Senjata dipandang lebih penting dibanding pendidikan. Anehnya, tidak ada sikap keberatan dari kelima pasangan capres/cawapres mengenai hal ini. * * * Mencermati isi materi kampanye pasangan capres/cawapres kita, bisa disimpulkan bahwa tidak ada satupun kandidat yang berniat serius membenahi dunia pendidikan Indonesia yang carut-marut. Janji memberesi masalah pendidikan tak lebih dari sekedar janji kucuran dana, perbaikan sekolah, pengangkatan guru dan wajib belajar, tetapi tak pernah menempatkan pendidikan sebagai problem sentral yang harus diselesaikan secara holistik. Pendidikan masih dipandang sebagai residu oleh para kandidat pemimpin kita. Bisa jadi karena pembenahan pendidikan hasilnya tidak instan, melainkan baru akan dirasakan puluhan tahun ke depan. Memainkan isu uang dan peningkatan anggaran selama kampanye memang lebih menarik karena sifatnya instan. Tetapi apakah hal ini membenarkan anggapan umum bahwa orang Indonesia memang kurang berorientasi pada masa depan? Entahlah. Tetapi yang pasti akan sangat menyedihkan apabila para calon pemimpin negeri ini pun tidak mampu berpikir tentang masa depan yang lebih baik. Tentang penulis: Bimo Ario Tejo, alumni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia; kandidat Doctor of Philosophy (PhD) bidang biokimia di Universiti Putra Malaysia; peneliti tamu di University of Stuttgart, Jerman. Zainal Alimuslim, alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia; pemerhati masalah sosial-politik.

Related Documents