Memilih Capres Yang Peduli Pendidikan

  • Uploaded by: ari nabawi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Memilih Capres Yang Peduli Pendidikan as PDF for free.

More details

  • Words: 938
  • Pages: 3
Memilih Capres yang Peduli Pendidikan Oleh Thomas Koten Salah satu persoalan krusial, sekaligus memprihatinkan bagi pembangunan bangsa saat ini adalah aspek pendidikan. Ironisnya, meskipun keprihatinan ini sudah demikian sering dikedepankan oleh para pemerhati dan para praktisi pendidikan, tetapi perhatian para penguasa dan calon penguasa atau pemerintah, belum juga maksimal, dan perubahan yang diharapkan, masih jauh panggang dari api. Bahkan, perhatian masyarakat umumnya terhadap dunia pendidikan pun masih cukup minim. Baik dalam kampanye pemilu legislatif (pileg) April lalu maupun kampanye pilpres saat ini, misalnya, fenomena tersebut cukup mencolok. Khususnya dalam pileg April lalu, di antara tiga puluhan parpol peserta pemilu hanya satu partai (Gerindra) yang menampilkan masalah pendidikan dengana cukup eksplisit dalam program kerjanya, namun ternyata presentase pemilihan rakyat terhadap parpol ini sangat minim. Barangkali juga karena program ini tidak digelindingkan secara deras ke tengah masyarakat oleh Gerindra, sehingga masyarakat pun belum memerhatikannya secara serius. Okelah, dapat dipahami bahwa perhatian publik terhadap pendidikan masih cukup minim. Lagi pula dunia pendidikan tidak sanggup dimengerti oleh semua orang. Selain itu, persoalan mendasar bagi bangsa ini, yang sekaligus menjadi pusat perhatian mayoritas rakyat adalah masalah perut; dus yang berkaitan dengan tingginya harga-harga kebutuhan hidup, masalah pengangguran, kemiskinan dan lain-lain. Sehingga, masalahmasalah dasar masyarakat bangsa ini, khususnya kemiskinan masih terus dijadikan tema klasikal dari kampanye-kampanye politik. Namun, menjadi sulit dimaafkan kalau parpol, dan para calon pemimpin bangsa tidak memiliki concern yang tinggi pada dunia pendidikan. Yang dikejar oleh parpol dan politisi dengan menghambur-hamburkan uang, tidak lain adalah merebut kursi untuk bisa memerintah rakyat dan mengatur kehidupan bangsa. Padahal, pendidikan merupakan bagian dari kehidupan bangsa, bahkan yang paling fundamental bagi pembangunan masa depan bangsa dan negara. Sehingga, jika ingin menjadi pemimpin bangsa dan negara, maka mutlak memberikan perhatian yang serius terhadap dunia pendidikan, dan itu harus digariskan secara jelas dalam program kerjanya. Masalah pendidikan Oleh karena kemajuan masa depan bangsa sangat ditentukan oleh kemajuan pendidikan nasional masa kini dan pemimpin yang dipilih pada pilpres bertugas untuk membangun masa depan bangsa, maka konsekuensinya pengembangan pendidikan tidak bisa terabaikan pada masa kini, dan/atau politisi yang ingin memimpin negeri ini tidak bisa mengesampingkan pendidikan. Karena itu, dikatakan pendidikan merupakan suatu upaya pencerdasan bangsa yang dimulai dengan pencerdasan anak-anak bangsa. John Locke, misalnya, menulis, pendidikan harus mampu menciptakan lingkungan dengan nuansa karakter humanis yang memungkinkan terciptanya karakter kebangsaan. Konsekuensinya, efektivitas pendidikan nasional tidak hanya menyangkut masalah kecukupan anggaran, persekolahan gratis, BHP, sekolah bertaraf internasional, otonomi sekolah, sertifikasi guru, dan ujian nasional. Jauh lebih penting dan menentukan

daripada semua praksis teknis pembelajaran itu, adalah sosok pendidikan nasional yang dilandasi oleh suatu konsep relevan, jelas dan terukur yang menjadi pedoman yang memberi arah bagi masa depan pendidikan yang mencerahkan dan mencerdaskan bangsa lewat pemantapan kurikulum dan pemenuhan faktor penunjangnya. Adalah bagaimana pendidikan yang mencerdaskan anak-anak bangsa secara intelektual dan spiritual secara utuh. Pendidikan yang hanya diperhatikan dan ditekankan pada sekolah gratis, otonomi sekolah, dan lain-lain seperti sudah disinggung di atas, sebenarnya hanya menyentuh kulit ari dari sosok pendidikan. Apalagi misalnya, demi proyek “sekolah gratis” departemen pendidikan hingga menghambur-hamburkan uang untuk beriklan ria yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan di mana anak-anak sekolah selalu dibebani tagihan atau pungutan yang macam-macam. Ketimbang meninabobokan rakyat dengan iklan sekolah gratis, bukankah lebih efektif kalau dana itu dipakai untuk memperbaiki sarana fisik pendidikan yang rusak begitu parah, bahkan sudah pernah terjadi insiden yang mencelakakan murid (gedung sekolah roboh)? Apabila pendidikan lebih diperhatikan pada soal-soal perwajahan dan kulit ari semata seperti sekolah gratis dan lain-lain, maka manusia atau anak didik yang dilahirkan akan tidak lebih daripada manusia-manusia yang serba produktif tanpa dukungan mentalitas, moralitas dan spiritualitas yang kuat. Kita memang tidak membutuhkan model pendidikan yang melulu mengembangkan kepribadian paripurna atau manusia sempurna ala negara kota di zaman Plato. Tetapi, kita juga menolak pendidikan yang melahirkan manusia-manusia yang serba produktif seperti manusia-manusia dalam negara Bung Besarnya George Orwel dalam karyanya tahun 1984. Adalah manusia-manusia yang dapat mengerjakan apa saja, tetapi tidak tahu untuk apa, bahkan tidak mengenal dirinya sendiri. Yang diharapkan, pendidikan kita lebih membutuhkan penciptaan atmosfer yang lebih bebas-terbuka yang memungkinkan pengembangan peningkatan kualitas manusia Indonesia tanpa penekanan pada kebijakan yang ketat, kaku, penuh pertentangan dan menakutkan, seperti penerapan ujian nasional yang bukan hanya menakutkan bagi anakanak pedesaan di pelosok-pelosok tanah air, tetapi juga menciptakan peluang bagi praktek kecurangan. Mempertimbangkan capres-cawapres Kini, yang mesti menjadi tugas para capres dan cawapres adalah dalam hal memedomani pendidikan masa depan Indonesia yang berkualitas dengan orientasi utama pada pendidikan nilai. Dan perlu diperhatikan bahwa pendidikan tidak boleh terbatas pada sekadar transfer pengetahuan dan keahlian fungsional, tetapi juga pada pengembangan jati diri, manusia seutuhnya intelektual dan spiritual dan/atau akhlakmental-moral dan lain-lain. Artinya, bolehlah dalam kampanye ini yang ditawarkan oleh para capres dan cawapres terhadap dunia pendidikan ini dengan program-program nyata, yang menyangkut dunia praktis. Tetapi, yang harus diperhatikan bukanlah program yang melulu berbicara tentang “materialisasi” pendidikan yang mengedepankan konsep “siap pakai” yang serba industrialis-produktif, dengan perekonomian sekolah gratis dan lainlain, melainkan pendidikan manusia seutuhnya lahir-intelektual dan batin-spiritual. Keberhasilan pendidikan suatu bangsa hanya ditentukan oleh lahirnya anak-anak didik yang jenial secara intelektual dan cerdas secara spiritual-mental-moral, dan kreatif

dalam berkarya dengan itikad yang jujur dan berbudi luhur. Ingat, korupsi dan merajalelanya kejahatan di negeri ini, tidak lain disebabkan oleh gagalnya pendidikan yang seharusnya berperan menghasilkan manusia yang tidak hanya rasional/cerdas intelektualnya, tetapi juga harus berbudi luhur. Demi kemajuan bangsa, kini hendaknya persoalan substansif dari pendidikan seperti yang diuraikan di atas, harus benar-benar menjadi salah satu kepedulian caprescawapres, dan masuk dalam program utama kerjanya, jika terpilih. Karena itu, di tengah berhamburnya janji-janji surga dan minimnya perhatian capres-cawapres terhadap dunia pendidikan, rakyat-pemilih harus mempertimbangkan pasangan mana yang lebih memiliki concern terhadap dunia pendidikan tatkala hendak menuju kotak pencontrengan. Penulis, Direktur Social Development Center

Related Documents


More Documents from ""