C. AKIBAT KHULU’ Dalam hal akibat dhulu’, terdapat persoalan, apakah perempuan yang menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau tidak? Imam Malik berpendapat bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaranya bersambung. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa dapat diikuti tanpa memiah-misahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak. Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum talak, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk hukum nikah. Oleh karena itu, ia tidak membolehkan seseorang menikahi perempuan yang saudara perempuannya masih dalam iddah dari talak ba’in. Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum pernikahan, mereka berpendapat bahwa khulu’ tersebut dapat diikuti dengan talak. Sedangkan fuqaha yang tidak berpendapat demikian, mengatakan bahwa khulu’ tersebut tidak dapat diikuti dengan talak. Persoalan lain iala, jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan khulu’ tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyad dan Ibnu Syihab, keduanya mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil dari istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu. Mengenai perpisahan yang dikemukakan oleh Abu Saur adalah antara menggunakan kata-kata talak atau tidak menggunakan kata-kata itu. Persoalan yang lain adalah jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami dapat menikahi mantan istrinya yang di khulu’ pada masa iddahnya dengan persetujuannya. Segolongan fuqaha muta’akhirin berpendapat bahwa suami maupun orang lain tidak boleh menikahinya pada masa iddahnya. Fuqaha berselisih pendaat tentang iddah wanita yang dikhulu’ apabila terjadi persengketaan antara suami dengan istri berkenaan dengan kadar bilangan harta yang dipakai untuk terjadinya khulu’. Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami jika tidak ada saksi. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedua suami istri saling bersumpah, dan atas istri dikenakan sebesar mahar misil. Beliau mempersamakan persengketaan antara suami dengan persengketaan antara dua orang yang jual beli. Adapun Imam Malik memandang istri sebagai pihak tergugat dan suami sebagai pihak penggugat.
D. AKIBAT SUMPAH LI’AN 1. Akibat Sumpah Li’an Bagi Suami Istri Pelaksanaan hukum li’an sangat memberaktkan dan menekan perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang sedang dalam perkara li’an ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah mereka berada dalam ketenangan berfikir dan perasaan kembali. Hal ini tidak lain adalah: a. Karena bilangan sumpah li’an b. Karena tempat paling mulia untuk berli’an. Kalau di Makkah diadakan di anatara Hajar Aswad dan rukun Yamani. Di Madinah di dekat mimbar Rasulullah SAW. Dan kalau di negeri lain diadakan di dalam Masjid Jami’ dekat mimbar. c. Karena masa yang paling penting untuk berli’an, yaitu waktu Ashar sesudah melakukan sholat. d. Karena sumpah itu dilakukan dihadapan jamaah (manusia banyak), sekurangkurangnya berjumlah empat orang. Di samping itu, pengaruh lain akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami istri. Bagi suami, maka istrinya menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumkan tidak termasuk keturunan suaminya.
Dari Ibnu Umar ra. Bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda kepada dua orang (suami istri) yang telah tuduh menuduh, “perhitungan kalian berdua terserah kepada Allah. Salah seorang di antara kamu berdua mesti ada yang berdusta. Tak ada jalan lain bagi engkau untuk kembali kepadanya. Dalam hadits lain, Nabi SAW. juga bersabda:
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa ia telah berkata, dalam hadits dua orang yang tuduh menuduh (suami istri). Dan telah menghukum Rasulullah SAW. bahwa tidak ada tempat kediaman yang hak baginya (istri) yang wajib atasnya (suami), dan tidak pula makanan yang wajib diberikan suami, karena keduanya telah bercerai, bukan karena talak, dan bukan pula karena suaminya meninggal.
2. Akibat Li’an dari Segi Hukum Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan itu antara lain adalah sebagai berikut: a. Gugur had atas istri sebagai had zina. b. Wajjib had atas istr sebagai had zina. c. Suami istri bercerai untuk selamanya. d. Diterapkan berdasarkan pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri istrinya. e. Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya. Sebaliknya si istri dapat menggugurkan hukum had atas dirinya dengan membela li’an suaminya dengan li’annya pula atas suaminya. Dalam Komplikasi Hukum Islam1 Bab XVII dijelaskan tentang akibat putusnya perkawinan sebagai berikut: Bagian Kesatu Akibat Talak Pasal 149 Bilamana perkawinan putu karena talak, maka bekas suami wajib: a. Memberikan Mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul. b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al-dukhul. d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah. Pasal 151 Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain Pasal 152 Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz. 1 Lihat Ibid, h. 149-152
Bagian Kedua Waktu Tunggu Pasal 153 1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla al-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu yang masih haid titetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. c. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan janda tersebut
3. 4.
5. 6.
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid, sedangkan pada waktu menjalani iddah tidak haid karena mnyusui, maka iddah tiga kali waktu suci. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama setahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154 Apabila istri tertalak raj’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5), dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi emapat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suami. Pasal 155 Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’, fasakh dan li’an berlaku iddah talak.
Bagian Ketiga Akibat Perceraian Pasal 156 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh 1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu. 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih unruk mendapatkan hadhanah dari ayah dan ibunya. c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d). f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Pasal 157 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96, 97. Bagian Keempat Mut’ah Pasal 158 Mut’ah wajib diberikan ole bekas suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul. b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159 Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158. Pasal 160 Besarnya Mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Bagian Kelima Akibat Khulu’ Pasal 161 Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk. Bagian Keenam Akibat Li’an Pasal 162 Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah.