OPINI BUSET Haruskah Kita Bersumpah ? Bulan Oktober ini kita mengenang 80 tahun Sumpah Pemuda 1928. Peristiwa yang selalu diperingati setiap tahun dan dikenal dengan Sumpah Pemuda itu tidak lain adalah Kongres Pemuda II yang diselenggarakan di sebuah gedung di jalan Kramat 106, Jakarta, pada tanggal 28 Oktober 1928. Kiranya setiap orang Indonesia paham, dari pelajaran di sekolah, tentang isi ikrar pemuda kala itu.
M
enilik dari perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, Kongres Pemuda II bukanlah peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Kongres Pemuda II adalah bagian dari kebangkitan kesadaran berbangsa yang memercik di kalangan pemuda, pelajar dan para tokoh masyarakat, beberapa tahun sebelumnya. Kesadaran itu dengan cepat menggelombang dan menjadi momentum luar biasa bagi ke-Indonesia-an kita dengan lahirnya ikrar pemuda atau sumpah pemuda. Indonesia sebagai sebuah bangsa lahir setelah wakil peserta kongres yang berasal dari berbagai pelosok Nusantara mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia; mengaku menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Sumpah para pemuda menjadikan Indonesia sebagai sebuah bangsa memberi kontribusi sangat besar kepada lahirnya Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945. Dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun sejak kesadaran berbangsa tumbuh, jika awal abad ke-20 dianggap sebagai awal kebangkitan nasional Indonesia, para pemuda, pelajar dan tokoh masyarakat jaman dulu berhasil dengan gemilang mengukuhkan kehadiran sebuah bangsa dan akhirnya membentuk sebuah negara. Keberhasilan itu tidak lain adalah cermin dari integritas moral, kemampuan intelektual dan tingginya kesadaran berbangsa para pejuang jaman itu.
Sedangkan sumpah adalah pernyataan integritas moral manusia yang tertinggi. Jika seseorang bersumpah maka apa yang dikatakannya seharusnya adalah yang sebenarnya. Karena itulah sumpah tidak boleh dilanggar. Sumpah harus dilaksanakan. Mereka yang dengan sengaja melanggar sumpahnya sendiri adalah mereka yang integritas moralnya rendah. Jika pada tahun 1928 ikrar pemuda melahirkan Bangsa Indonesia terasa begitu suci dan mulia, itu jelas karena mereka tidak sedang menebar pesona politik ataupun budaya. Mereka melaksanakan sumpah itu terbukti dengan terbentuknya Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945.
‘Mereka akan memperebutkan kursi DPR yang jumlahnya sekitar 500, juga kursi Presiden Republik Indonesia yang jumlahnya hanya satu.’
Setelah 80 Tahun Kini, 80 tahun sejak Sumpah Pemuda 1928 dan 63 tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, tidak ada lagi Jong Sumatera, Jong Java, Jong Celebes dan lain-lainnya. Sebagai gantinya kini ada 34 partai politik yang akan ikut pemilu pada tahun 2009. Mereka akan memperebutkan kursi DPR yang jumlahnya sekitar 500, juga kursi Presiden Republik Indonesia yang jumlahnya hanya satu. Mereka juga memperebutkan kursi eksekutif dan legislatif pada level propinsi, kabupaten dan kotamadya. Untuk mendapatkan kursi itu partai politik harus memperoleh dukungan rakyat. Untuk memperoleh dukungan rakyat mereka harus berkampanye. Dan jurus kampanye paling populer di Indonesia saat ini adalah dengan menjanjikan kemajuan kepada rakyat. Dan karena banyaknya peserta pemilu maka banyak pula janji yang dijanjikan oleh para politisi kepada calon pemilihnya. Akhirnya banyak sekali janji yang bertebaran di radio, televisi, koran, jalan-jalan dan di mana saja angin bisa hinggap. Janji dan sumpah adalah dua kata sakti yang mewakili nilai luhur seorang manusia. Pelajaran moral dasar menyebutkan bahwa jika kita berjanji maka harus ditepati. Jika ada orang yang dengan sengaja ingkar janji maka ia tidak dapat dipercaya. Maka seharusnya berjanjilah hanya jika sanggup menepatinya.
Bandingkanlah ikrar pemuda itu dengan janji para politisi sekarang. Kongres Pemuda II hanya melahirkan satu sumpah berisi tiga hal. Tapi seorang politisi yang mencalonkan diri menjadi bupati dengan mudah bisa menjanjikan 10 hal kepada rakyat. Kongres Pemuda II memikirkan konsep kebangsaan dan bagaimana cara memajukannya. Politisi sekarang biasa mengobral janji dan memikirkan bagaimana caranya merebut. Maka karena demikianlah cara berpikir politisi sekarang sehingga ketika mereka berhasil menduduki jabatannya banyak yang gagal memenuhi obral janjinya. Bukan hanya itu, bahkan sumpah jabatan ketika dilantik yang diucapkan di bawah kitab suci juga dengan mudah dilanggar. Maka banyaklah pejabat eksekutif maupun legislatif yang terjerat kasus pidana korupsi. Jadi jika kita bandingkan integritas moral politisi sekarang dengan para tokoh sebelum kemerdekaan akan terlihat jelas sekali perbedaannya. Rupanya inilah yang menjelaskan mengapa dalam waktu kurang dari 50 tahun sejak kesadaran nasional menyala di hati para pejuang kemerdekaan mereka berhasil mewujudkan Negara Indonesia, dari tidak ada menjadi ada sebuah negara yang berdaulat. Sementara dalam waktu 63 tahun setelah merdeka justru semakin banyak sendisendi bernegara yang semakin rapuh.
Haruskah Pemuda Bersumpah Lagi ? Perilaku politisi yang mudah mengobral janji dan melanggar sumpahnya sendiri menimbulkan kekacauan dalam bernegara. Pada saat yang sama kita sebagai anak bangsa tanpa sadar telah pula kehilangan semangat kebangsaan sebagaimana digelorakan dalam Kongres pemuda II. Gejala pudarnya jiwa kebangsaan itu terlihat pada banyak kasus sosial politik akhir-akhir ini. Sebutlah misalnya perkelahian antar suku, antar desa, antar kelompok pendukung calon kepala daerah yang kalah melawan pendukung yang menang, ketidakharmonisan dengan keturuan Cina padahal mereka telah lahir dan tumbuh di tanah air yang sama, bahkan perkelahian antara oknum TNI melawan oknum POLRI. Inilah kenyataan tragis Bangsa Indonesia sekarang. Padahal Sumpah Pemuda selalu diucapkan kembali pada setiap upacara. Melihat kenyataan yang demikian, haruskah pemudapemudi Indonesia menyelenggarakan kongres dan mengucapkan ikrar mencapai Indonesia yang sejahtera sebagaimana dicitakan dalam pembukaan konsitusi kita ? Dalam kehidupan bernegara yang sungguh hiruk-pikuk dengan berbagai kepentingan sempit seperti sekarang, sangatlah sulit untuk mewujudkan gagasan ini. Setiap elemen bangsa kini sibuk bergerak dengan arahnya masing-masing yang saling berlawanan, atau tidak menuju arah yang sama, bagai gerak molekul dalam sistem yang tidak setimbang. Hampir tidak ada celah untuk memperbaiki keadaan ini. Namun jika setiap individu anak bangsa yang menginginkan perubahan positif untuk Indonesia mempertahankan keluhuran jiwanya, maka jiwa yang luhur itu akan menular kepada yang lain. Getaran jiwa yang luhur itu akan membangkitkan keluhuran budi pada individu yang lain. Demikian seterusnya sehingga di sana-sini akan muncul medan jiwa yang luhur yang memengaruhi sekitarnya. Jika proses ini terus berlangusng maka perubahan positif akan terjadi pada tataran nasional sehingga pada akhirnya kekacauan akan berkurang dan kita menuju kepada kesetimbangan sosial politik. Inilah pemikiran yang pernah dilontarkan oleh seorang budayawan muda (waktu itu), Nirwan Dewanto, sekitar 15 tahun lalu. Jika benar demikian maka tidak perlu bersumpah di depan publik. Cukuplah berketetapan hati untuk menjadi pribadi yang baik, yang tidak ingkar janji, yang tidak melanggar sumpah dan yang taat hukum. Inilah implementasi paling sederhana dari semangat Sumpah Pemuda dalam ruang bernegara dan berbangsa. Sanggupkah kita ? Iman Santosa
36
a
BUSET Vol. 04 - 41, Edisi November 2008
OPINI BUSET
Dari atas : Dalam usia dini mereka terpaksa harus bekerja membantu orang tua demi sesuap nasi. ; Terkadang mereka meratapi nasib mengharapkan belas kasihan dari kolong jembatan
ANAK ANAK ABADI J
uli, dini hari di Griffiss Park, New York (1999). Lidah api menjilat-jilat, membakar apapun di sekitar tempat itu. Pihak keamanan yang ingin mengatasi keadaan justru menjadi korban lemparan botol minuman dan batu oleh penonton, yang didominasi anak-anak muda. Suasana seolah menjadi medan perang yang mencekat karena para remaja merusak apapun yang ditemuinya: Merobohkan menara lampu, menggulingkan mobil, merampok truk limun yang melintas atau memukuli apapun yang mengeluarkan bunyi. Begitulah akhir konser Red Hot Chili Peppers yang semula ingin menghibur dan diilhami semangat peace, love, rock n roll, tapi berujung pada vandalisme. Musik cadas pun dituding sebagai pemutus common ground anakanak muda dengan isme agent of change ataupun social control yang penuh harmoni nan damai. Di Jakarta, kejadian serupa pernah berulang (1993). Stadiun Lebak Bulus pun menjadi saksi mati bagaimana para remaja— yang tak mampu membeli tiket termurah seharga Rp30 ribu di konser Metallica— menghancurkan apapun yang ditemui, menjarah toko-toko di sekitar Pondok Indah, merusak banyak rumah dan melukai banyak orang yang tak sempat menyelamatkan diri.
Inilah yang mungkin disebut proses identifikasi. Sebagian anak muda menganggap semua ideologi atau bagian masa lalu idolanya adalah fase yang patut ditiru atau dialami. Jika Jim Morrison, vokalis The Doors, menyerukan anti kemapanan, maka fans fanatiknya segera merusak apapun yang dianggap mapan seraya meneriakkan bait-bait The Doors. Banyak juga pemuja Kurt Cobain yang memilih mati muda laiknya sang idola: Menembak kepalanya sendiri. Di pihak lain, wujud identifikasi diri anak-anak muda tak selamanya ditunjukkan dengan naluri keinginan merusak diri (thanatos). Banyak orang memanfaatkan musik sebagai sarana membangun ketenangan, melembutkan hati ataupun memaknai hidup. Konon, satu komposisi bertajuk “Jesus, You’re My Desire” sanggup membangunkan orang yang telah koma bertahun-tahun. Dunia anak muda memang selalu dinamis sejak dulu: Dari kesibukan mereka bermain pomade untuk mendapatkan jambul ala Elvis Presley, mengenakan kaca mata jengkol ala John Lennon, hingga memburu kaos ketat bertuliskan “Freedom” dan jean pudar ala Avriel Lavigne. Di balik sifat labilnya, anak-anak muda
akan terus berproses menjadi sesuatu, yang boleh jadi akan terus meningkatkan kualitas hidup mereka di masa tua. Cepat atau lambat, seberapa pun besar signifikansi laju perubahannya, toh anak-anak muda tetap menunjukkan semangat progresifitas untuk terus berubah dan melakukan proses let it be. Wajar jika Iwan Fals kini menjadi pribadi yang jauh lebih tenang ataupun Slank yang kini justru getol menyuarakan anti narkoba. Wajar pula jika banyak orangtua yang tertawa sendiri, menggelengkan dan menganggukkan kepala mengingati masa muda yang barangkali brutal, penuh tawuran, rela menghadang truk demi tumpangan gratis; atau sebaliknya yang hanya anak rumahan dan keringatan saat ngobrol dengan lawan jenis. Sebaliknya, hal yang sama sekali tak wajar, ironis dan menyebalkan menyaksikan para orangtua yang tak pernah mau belajar dari pengalaman mudanya. Para orangtua yang saat ini duduk di legeslatif, eksekutif, yudikatif atau apapun namanya yang memegang kekuasaan publik dan terus melakukan korupsi, kolusi, menjilat sana-sini dan berkampanye bohong demi kemenangan partai belaka di Pemilu 2009 sama saja dengan berperilaku kekanakan. Mereka lah sebenarnya para orangtua yang tak pernah tumbuh matang. Mereka lah anak-anak abadi itu! Eko Dian Nofiandri