I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah tomat saat ini merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi dan masih memerlukan penanganan serius, terutama dalam hal peningkatan hasilnya dan kualitas buahnya. Apabila dilihat dari ratarata produksinya, ternyata tomat di Indonesia masih rendah, yaitu 6,3 ton/ha jika dibandingkan dengan negara-negara Taiwan, Saudi Arabia dan India yang berturut-turut 21 ton/ha, 13,4 ton/ha dan 9,5 ton/ha. Rendahnya produksi tomat di Indonesia kemungkinan disebabkan varietas yang ditanam tidak cocok, kultur teknis yang kurang baik atau pemberantasan hama atau penyakit yang kurang efisien. Sejak manusia mengenal pertanian, tanah merupakan media tanam yang paling umum digunakan dalam bercocok tanam. Seiring dengan perkembangan jaman dan dipacu oleh keterbatasan lahan yang dimiliki seperti tanah yang sempit atau tanah yang tidak subur, orang mulai bercocok tanam dengan menggunakan media tanam bukan tanah, seperti air, pasir dan lain-lain. Hidroponik merupakan salah satu alternatif cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai media tanamnya. Hidroponik berasal dari kata Hydro (air) dan Ponics (pengerjaaan), sehingga hidroponik bisa diartikan bercocok tanam dengan media tanam air. Pada awalnya orang mulai menggunakan air sebagai media tanam mencontoh tanaman air seperti kangkung, sehingga kita mengenal tanaman hias yang ditanam dalam vas bunga atau botol berisi air. Pada perkembangan selanjutnya orang mulai mencoba media tanam yang lain, kemudian membandingkan keuntungan dan kerugiannya, sehingga selain media tanam air (kultur air) dipakai juga media pasir (kultur pasir) dan bahan porus (kultur agregat) seperti kerikil, pecahan genteng, pecahan batu bata, serbuk kayu, arang sekam dan lain-lain. Sejarah hidroponik dimulai pada 3 abad yang lalu, pada tahun 1669 di Inggeris sudah dilakukan pengujian tanaman hidroponik dalam laboratorium. Kemajuan yang sangat berpengaruh terjadi pada tahun 1936, Dr. W.F. Gericke di
California (AS) berhasil menumbuhkan tomat setinggi 3 m dan berbuah lebat dalam bak berisi air mineral. Pada tahun 1950 Jepang secara besar-besaran menyebarkan cara bercocok tanam hidroponik untuk mensuplai sayuran bagi tentara pendudukan Amerika Serikat. Dari sini hidroponik terus menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia hidroponik mulai dikembangkan pada sekitar tahun 1980. 1.2 Tujuan 1. Untuk mengetahui cara budidaya tanaman tomat secara hidroponik dengan
menggunakan media padat dari bibit. 2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian larutan nutrisi hidroponik terhadap
pertumbuhan bibit tomat.
II. TINJAUAN PUSTAKA Salah satu perkembangan teknologi budidaya pertanian yang layak disebarluaskan adalah teknologi hidroponik. Hal ini disebabkan oleh semakin langkanya sumberdaya lahan, terutama akibat perkembangan sektor industri dan jasa, sehingga kegiatan usaha pertanian konvensional semakin tidak kompetitif karena tingginya harga lahan. Teknologi budidaya pertanian sistem hidroponik memberikan alternatif bagi para petani yang memiliki lahan sempit atau yang hanya memiliki pekarangan rumah untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan yang memadai. Kemampuan tomat untuk dapat menghasilkan buah sangat tergantung pada interaksi antara pertumbuhan tanaman dan kondisi lingkungannya. Faktor lain yang menyebabkan produksi tomat rendah adalah penggunaan pupuk yang belum optimal sertta pola tanam yang belum tepat. Upaya untuk menanggulangi kendala tersebut adalah dengan perbaikan teknik budidaya. Salah satu teknik budidaya tanaman yang diharapkan dapat meningkatkan hasil dan kualitas tomat adalah hidroponik. Dengan sistem hidroponik dapat diatur kondisi lingkungannya seperti suhu, kelembaban relatif dan intensitas cahaya, bahkan faktor curah hujan dapat dihilangkan sama sekali dan serangan hama penyakit dapat diperkecil (Wijayani, 2005). Perbedaan paling menonjol antara hidroponik dan budidaya konvensional adalah penyediaan nutrisi tanaman. Pada budidaya konvensional, ketersediaan nutrisi untuk tanaman sangat tergantung pada kemampuan tanah menyediakan unsur-unsur hara dalam jumlah cukup dan lengkap. Unsur-unsur hara itu biasanya berasal dari dekomposisi bahanbahan organik dan anorganik dalam tanah yang terlarut dalam air. Kekurangan salah satu atau beberapa unsur hara dalam tanah umumnya dipenuhi dengan pemupukan tambahan. Pada budidaya hidroponik, semua kebutuhan nutrisi diupayakan tersedia dalam jumlah yang tepat dan mudah diserap oleh tanaman. Nutrisi itu diberikan dalam bentuk larutan yang bahannya dapat berasal dari bahan organik maupun anorganik. Pemberian nutrisi melalui permukaan media tanam atau akar tanaman. Ketersediaan nutrisi dalam bentuk
cair itulah yang dipakai sebagai awal berpijak penerapan budidaya tanaman hidroponik (Siswadi, 2008). Jenis hidroponik dapat dibedakan dari media yang digunakan untuk tempat berdiri tegaknya tanaman. Media tersebut biasanya bebas dari unsur hara (steril), sementara itu pasokan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dialirkan ke dalam media tersebut melalui pipa atau disiramkan secara manual. Media tanam tersebut dapat berupa kerikil, pasir, gabus, arang, zeolit, atau tanpa media agregat (hanya air). Yang terpenting adalah bahwa media tanam tersebut suci hama sehingga tidak menumbuhkan jamur atau penyakit lainya (Anonim, 2006). Pemenuhan kebutuhan nutrisi bisa anda peroleh dengan cara memberi berbagai macam pupuk khusus hidroponik dengan formulasi tertentu yang banyak tersedia ditoko-toko pertanian. Dalam fase awal pertumbuhan perlu perawatan secara rutin, misalnya dipagi hari tanaman perlu dikenakan sinar matahari. Kemudian juga perlu pemupukan secara rutin dalam setiap dua hingga lima hari sekali. Gunakan pupuk NPK Grand S 15 sebanyak satu sendok makan untuk kemudian larutkan kedalam sepuluh liter air. Masukkan larutan pupuk ini kedalam pot dasar sesuaikan dengan ketersediaan air dalam pot (Anonim, 2007). Menurut Susila (2006), peralatan dasar yang diperlukan untuk memenuhi kriteria tersebut di atas adalah : 1. Tempat tumbuh tanaman, seperti bak atau kolam penampung, pot, dan
bedengan. Diusahakan agar tempat tumbuh tanaman dijaga kebersihannya secara berkala dengan membersihkan dan menghilangkan tumbuhan atau tanaman lain yang tidak diinginkan (terutama dalam bedengan atau kolam penampung). 2. Aerator Alat ini dipakai untuk tercukupinya oksigen untuk pertukaran udara dalam daerah perakaran. Kekurangan oksigen akan mengganggu penyerapan air dan nutrisi oleh akar dan respirasi. 3. Larutan Nutrisi Larutan nutrisi sebagai sumber pasokan air dan mineral nutrisi merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan kualitas hasil tanaman hidroponik, sehingga harus
tepat dari segi jumlah, komposisi ion nutrisi dan suhu. Unsur hara ini dibagi dua, yaitu unsur makro (C, H, O, N, P, S, K, Ca, dan Mg) dan mikro ( B, Cl, Cu, Fe, Mn, Mo, dan Zn). Pada umumnya kualitas larutan nutrisi ini diketahui dengan mengukur electrical conductivity (EC) larutan tersebut. Semakin tinggi konsentrasi larutan semakin tinggi arus listrik yang dihantarkan (karena pekatnya kandungan garam dan akumulasi ion mempengaruhi kemampuan untuk menghantarkan listrik larutan nutrisi tersebut). Larutan nutrisi dapat dibuat sendiri dengan melarutkan pupuk yang diramu khusus untuk tanaman hidroponik atau membeli pupuk hidroponik secara komersial. Agoes (2000), mengatakan bahwa berbeda dengan media tanam tanah yang berfungsi sebagai tempat tumbuh dan sumber makanan, media tanam air, pasir dan agregat hanya sebagai tempat tumbuh saja tidak menyediakan makanan bagi tanaman, sehingga bercocok tanam sistem hidroponik mutlak memerlukan pupuk sebagai sumber makanan bagi tanaman. Pupuk diberikan dalam bentuk larutan dan harus mengandung unsur makro (Nitrogen Fosfor, Kalium, Kalsium, Magnesium dan Belerang) dan unsur mikro (Mangan, Tembaga, Borium, Seng dan Molibdin). Larutan pupuk dapat dicampur sendiri dengan dosis tertentu sesuai dengan kebutuhan tanamannya. Bahan yang sering dipakai antara lain amonium sulfat, potasium nitrat, monocalsium fosfat, magnesium sulfat, iron sulfat, mangan sulfat, bubuk asam boric, seng sulfat dan tembaga sulfat. Kalau yang lebih praktis pakailah nutrien sudah jadi seperti Excell dengan dosis pemakaian sudah tertera pada kemasannya Pupuk untuk tanaman yang ditanam di tanah juga bisa dipakai berhidroponik, yang penting pupuk tersebut mudah larut dalam air dan tahan lama dipakai. Umumnya yang dipakai untuk keperluan berhidroponik adalah pupuk majemuk yang mengandung unsur hara makro dan mikro sekaligus. Unsur makro berfungsi untuk menumbuhkan struktur vegetatif dan produksi. Unsur mikro berfungsi sebagai pelengkap esensial vital bagi rasa, kadar gula, tingkat kemanisan, warna, dan daya tahan tanaman terhadap gangguan penyakit. Beberapa merek dagang pupuk majemuk itu antara lain Vitagro, Vitabloom, Gandasil, Hyponex, dan Gromor. Penggemar hidroponik yang kreatif juga bisa
meramu sendiri kebutuhan nutrisi untuk tanamannya sesuai dengan pupuk buatan yang banyak beredar di pasar. Misal satu sendok makan pupuk yang dicampur dengan 10 liter air dan ditambah satu tetes Atonik sebagai pengganti unsur mikro dan unsur esensial lain, sudah bisa dipakai sumber nutrisi bagi tanaman hias yang dihidroponikkan. Begitu pula satu sendok makan urea, TSP, dan KCl yang dilarutkan dalam 10 liter air ditambah 3 tetes Atonik atau Lauxin dapat dipakai sebagai sumber nutrisi bagi tanaman yang dihidroponikkan. Jika pupuk yang digunakan tidak mudah larut dalam air, larutan itu sebaiknya dibiarkan dulu satu malam sebelum dipakai (Siswadi, 2008). Menurut Wijayani (2005), cara budidaya secara hidroponik dengan membuat formula larutan yang dapat digunakan untuk berbagai macam tanaman sayuran dan hias, anjurannya adalah N 140-300 ppm, P 31-80 ppm dan K 160-300 ppm, tetapi untuk kebutuhan yang optimal belum diketahui secara pasti. Lebih memerinci khusus untuk tanaman tomat secara hidroponik kebutuhan N berkisar 300 ppm, P 80 ppm dan K 200 ppm. Penelitian yang membandingkan formulasi larutan hara dari bahan kimia murni dengan larutan hara siap pakai belum banyak dilakukan. Meskipun penggunaan varietas unggul sering dilaporkan akan meningkatkan hasil tanaman tomat, tetapi pengujian kualitas buah tomat belum banyak diteliti. Kenyataan bahwa kualitas buah tomat Indonesia masih rendah mutunya sangat menarik untuk dikaji lebih jauh mengenai bagaimana meningkatkan kualitas buah tomat dengan pemberian nutrisi yang tepat, disamping tentu saja harus menggunakan varietas unggul. Agoes (2000), mengatakan bahwa ada beberapa keuntungan bercocok tanam secara hidroponik sebagai berikut. 1. Persoalan sempitnya lahan bukan lagi menjadi masalah karena kegiatan bercocok tanam bisa dilakukan di manapun, baik di dalam rumah, di kapal, di lahan kritis, di padang pasir, maupun di tengah kota yang sempit. 2. Penanaman tidak tergantung musim. 3. Media tanam yang digunakan bisa berulang-ulang. 4. Jika penanaman hodroponik diusahakan di dalam rumah kaca, risiko serangan hama dan penyakit menjadi relatif lebih kecil.
5. Penggunaan pupuk lebih efisien dan efektif tetapi tanaman mampu memberikan hasil dengan kualitas dan kuantitas yang maksimal. 6. Bebas dari gulma yang merugikan tanaman pokok. 7. Pertumbuhan tanaman lebih terkontrol. Untuk keperluan hiasan, dengan menggunakan hidroponik dalam pot, maka tanaman akan selalu tampak bersih sehingga peletakan tanaman dalam ruangan akan lebih fleksibel. Selain itu dalam menempatkan pot-pot hidroponik untuk mendesign interior ruangan rumah akan bisa lebih leluasa. Bila tanaman yang digunakan adalah tanaman bunga, untuk bunga tertentu bisa diatur warna yang dikehendaki, tergantung tingkat keasaman dan basa larutan yang dipakai dalam pelarut nutrisinya. Penggunaan tanaman buah-buahan seperti kedondong bangkok misalnya, akan bisa menghasilkan penampakan tanaman yang dapat berbuah lebat sepanjang waktu. Kuncinya adalah dengan mengatur C/N ratio, yakni melalui pemangkasan pada cabang, batang dan daun yang tumbuh berlebihan. Disamping, pemangkasan juga akan merangsang pembungaan dan pembuahan.
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Praktikum Kapita Selekta Hortikultura yang berjudul “Budidaya Tomat Pada Media Hidroponik” dilaksanakan di Green House Fakultas Pertanian Universitas Jember pada hari Rabu, 14 Oktober 2009 pukul 14.30 WIB. 3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan 1. Bibit tomat 2. Nutrisi A, B Mix 3. Pupuk Gandasil B/ Gandapan 4. Pupuk NPK, Urea, KCL dan SP-18 5. Media arang sekam, pupuk organik (bokashi) dan pasir steril 6. Polybag 40 x 35 cm 7. Insektisida dan fungisida 8. Ajir bambu (4 buah panjang ± 2 m) 9. Rafia
3.2.2 Alat 1. Alat ukur volume cairan 2. Cetok 3. Timba plastik 4. Cutter 5. Penggaris 3.3 Cara Kerja 3.3.1 Penyiapan Media Dan Bahan 1. Menyiapkan media tanam arang sekam, pupuk organik dan pasir steril dalam polybag 40 x 35 cm perbandingan media 1 : 1 : 1. 2. Menyiapkan larutan nutrisi A B Mix dalam 30 liter air.
3. Menyiapkan pupuk NPK, Urea, KCL dan SP-36. 4. Menyiapkan nutrisi Gandasil B / Gandapan, Insektisida dan fungisida. 3.3.2. Penanaman Dan Pemeliharaan 1. Masukkan media tanam ke dalam polybag sampai 3/4 bagian dan pasang ajir pada polybag lalu ikat dengan rafia. 2. Tanam bibit ke dalam media dengan terlebih dahulu melepaskan polybag bibit. 3. Memadatkan media di sekitar pangkal bibit. 4. Menyiramkan media dengan air bersih. 5. Melakukan penyiraman nutrisi A, B Mix. 6. Melakukan pemupukan dengan NPK, Urea, KCL dan SP-36. 7. Melakukan perawatan yaitu: Membuang tunas-tunas air, melakukan pengikatan batang ajir, pengendalian OPT. 8. Parameter pengamatan tinggi tanaman, jumlah ruas, jumlah daun lingkar buah dan jumlah bunga.
DAFTAR PUSTAKA Agoes, H. 2000. Mengenal Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Jakarta. Agromedia Pustaka. Anonim. 2006. Budidaya Tomat Secara Komersial. Jakarta. Penebar Swadaya. Anonim. 2007. Panduan Lengkap Budi Daya Tomat. Jakarta. Agromedia Pustaka Siswadi. 2008. Berbagai Formulasi Kebutuhan Nutrisi Pada Sistem Hidroponik. INNOFARM : Jurnal Inovasi Pertanian Vol. 7, No. 1, 2008 (103-110). Susila, A. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bagian Produksi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB. Wijayani, A. dan Wahyu, W. 2005. Usaha Meningkatkan Kualitas Beberapa Varietas Tomat Dengan Sistem Budidaya Hidroponik. Ilmu Pertanian Vol. 12 No.1, 2005: 77 – 83.