Evaluasi Awal Budidaya Tomat Dataran Rendah-medium

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Evaluasi Awal Budidaya Tomat Dataran Rendah-medium as PDF for free.

More details

  • Words: 6,115
  • Pages: 13
Buletin Penelitian Hortikultura, Tahun 1992, Volume XXI, Nomor (3)

EVALUASI AWAL BUDIDAYA TOMAT DATARAN RENDAH/MEDIUM Witono Adiyoga, Suwandi, Budi Jaya dan Rustaman E.S.*) ABSTRACT Adiyoga, W., Suwandi, Budi Jaya, Rustaman, E.S. 1992. The Preliminary Evaluation of Mid-Low Land Tomato Cultural Practices at the Farmer’s Level. One of the alternatives for increasing farmer’s income in rice based cropping pattern is to include a crop which has high economic value in the pattern itself. Tomato as a crop which can thrive under a wide range of environmental condition, seems compatible wit the farmer’s need. This paper is concerned with the evaluation of mid-low land tomato cultural practices through collecting the information about the existing technology, input-output and farmer, circumstances. A survey was conducted in Pandeglang, Serang, Cianjur and Cicalengka, West Java. The results showed that the performance of the other farms in Pandeglang and Serang. It was indicator by higher yield per hectare and lower cost per unit output. The fact that farmers in all areas were still preferred to use local varieties should be taken into consideration in reviewing the compatibility of recommended varieties with the market demand. Much more technical experiments are needed to increase the resource use efficiency. Creating low cost technology will make a greater contribution of vegetables, especially tomato, to the stability of farmer’s income in the mid-low land areas.

Pilihan petani terhadap berbagai alternatif teknologi tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis tetapi tergantung pula kepada dorongan (insentives) dan kesempatan (opportunities) untuk memperbaiki pendapatan serta meningkatkan kondisi sosialnya. Sementara itu, faktor lain yang juga berperan cukup penting adalah faktor resiko yang terkandung dalam kesempatan-kesempatan ekonomi di atas. Dengan demikian, bantuan teknis yang ditujukan untuk mengadakan perubahan konstruktif harus memperhatikan insentif, kesempatan dan resiko yang dihadapi secara individu. Non-adopsi, adopsi parsial dan adopsi yang lambat dari suatu rekomendasi penelitian merupakan indikasi ketidak-sempurnaan konsep serta prosedur penelitian. Fenomena ini sering disalahtafsirkan sebagai “akibat dari perilaku petani yang tidak rasional”. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu justru dibuktikan bahwa sesungguhnya petani telah bertindak rasional dalam mengelola usahataninya sesuai dengan prioritas dan lingkungan produksi yang dihadapi. Pengalaman menunjukkan bahwa seringkali paket teknologi yang dirancang negara-negara berkembang kurang memperoleh tanggapan dari petani. Norman dan Hays (1971), menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh digunakannya “pendekatan atas ke bawah” (top down approach). Pendekatan ini didasari oleh gagasan bahwa alih teknologi dari negara maju akan memberikan keuntungan bagi negara berkembang tanpa memperhitungkan sasaran, metoda dan infrastruktur yang tersedia bagi petani. Di lain pihak sebenarnya “pendekatan bawah ke atas” (bottom-up approach memperhitungkan kendala-kendala yang dihadapi petani dalam proses perbaikan teknologi. Dengan demikian, pendekatan ini akan memperbesar peluang diterimanya teknologi baru yang direkomendasikan kepada petani. Diusulkan pula oleh Norman dan hays (1979), bahwa agar suatu teknologi baru dapat diterima maka harus memenuhi persyaratan : (1) layak secara teknis dan ekonomis; (2) dapat diterima ditinjau dari aspek sosial; (3) mampu diakomodasikan berdasarkan infrastruktur yang ada. Evaluasi mengenai teknologi budidaya di tingkat petani dapat memacu program penelitian melalui penekanan terhadap topik spesifik tertentu sebagai titik fokus penelitian. Informasi, tentang kelayakan atau kendala pengembangan usahatani di tingkat petani, akan menjembatani senjang keterpaduan antara penelitian dan petani (research/farmer linkage). Langkah ini pada akhirnya diharapkan dapat : (1) meningkatkan efisiensi penelitian sehingga hasil-hasil penelitian yang ada dapat digunakan secara lebih mudah, lebih cepat serta mencakup kelompok sasaran (target group) yang lebih luas; (2) memberikan kemudahan untuk merancang topik penelitian yang secara implisit diusulkan serta ditunjang oleh petani. *)

Masing-masing Staf Peneliti Balithort Lembang 1

METODE PENELITIAN Penelitian ini memanfaatkan metode penelitian evaluasi formatif yang diarahkan untuk mengamati dan meneliti teknologi budidaya tomat di tingkat petani serta mencari bahan masukan bagi perbaikan program penelitian. Sejalan dengan sasaran penelitian dan metode yang digunakan, maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 1986. Lokasi penelitian adalah beberapa sentra produksi tomat dataran rendah/medium di Jawa Barat (Pandeglang, Serang, Cianjur dan Cicalengka) yang dipilih secara pursposif berdasarkan potensi produksinya. Sementara itu, petani contoh dipilih melalui pengambilan contoh acak sederhana. Cakupan informasi yang dihimpun melalui penelitian ini meliputi: (1) Inventarisasi kultur teknis yang dilakukan petani termasuk data input outputnya. (2) Inventarisasi lingkungan produksi yang dihadapi oleh petani yaitu : - lingkungan produksi alamiah - lingkungan produksi eksternal ekonomis - sasaran petani

HASIL DAN PEMBAHASAN Teknologi budidaya tomat di tingkat petani Varietas dan seleksi benih Masalah utama dalam pertanaman tomat di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan varietas unggul dalam artikata berpotensi hasil tinggi, berkualitas buah baik dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit penting seperti penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), penyakit busuk daun (Phytopthora infestans) dan hama ulat buah tomat (Heliothis sp.). Pencarian varietas unggul tomat terus dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian dengan cara-cara pemuliaan antara lain dengan melakukan seleksi, introduksi dan persilangan-persilangan. Dari hasil instruksi, Badan Litbang Pertanian telah mendapatkan 3 varietas unggul selama Pelita III yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah yaitu AV-33 (Intan), VC-11-1 (Ratna) dan AV-15 (Berlian). Ketiga varietas tersebut telah dilepas ke petani melalui SK Menteri Pertanian dan dinyatakan sebagai varietas unggul baru yang mampu berproduksi tinggi serta tahan terhadap serangan penyakit layu. Namun sayangnya ketiga varietas ini peka terhadap penyakit busuk daun. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pemanfaatan varietas tomat untuk varietas-varietas yang telah dilepas di atas ternyata masih rendah. Desa Citalahap dan Sukasari di Kabupaten Pandeglang dengan ktinggian berkisar antara 100 – 300 m di atas permukaan laut merupakan salah satu sentras produksi tomat yang diobservasi. Varietas tomat yang digunakan oleh petani adalah tomat lokal dengan nama lokal Cipanas. Pada kisaran ketinggian tempat yang serupa, petani di desa Sukamanah Kabupaten Serang juga menanam varietas tomat yang sama tetapi lebih dikenal sebagai tomat sayur. Morfologi tanaman tomat yang ditanam di kedua kabupaten ini adalah sama. Di Desa Cikarayak dan Sukamanah Kabupaten Cianjur dengan kisaran ketinggian antara 400600 m di atas permukaan laut, petani menggunakan varietas tomat yang disebut sebagai tomat IR/tomat Lamdbouw/tomat PS. Pada kenyataannya, pertanaman tomat di lapangan menunjukkan heterogenitas yang tinggi. Berdasarkan morfologi tanaman, diduga adanya sifat-sifat varietas Intan, Ratna dan Berlian yang telah dicampur atau tercampur dengan varietas lain. Sementara itu, di desa Warungkondang dapat dijumpai petani yang menanam varietas Gondol. Pengamatan pemanfaatan varietas di sentra produksi lain yaitu Cicalengka/Rancaekek Kabupaten Bandung, menunjukkan bahwa petani banyak menanam varietas tomat dengan nama setempat tomat Bogor/tomat Hijau. Pada umumnya petani menggunakan benih tomat yang diproduksi sendiri. Proses seleksi dan pembuatan benih tomat oleh petani dapat dijelaskan sebagai berikut: pemilihan buah tomat yang baik 2

dan sudah matang dari tanaman yang sehat – dibijikan – direndam selama 1-3 hari – dicuci – dikeringkan – disimpan untuk pertanaman berikutnya. Tampaknya petani kurang memperhatikan keseragaman tanaman atau buah sehingga heterogenitas ini muncul di lapangan. Ketidakseragaman ini dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan petani atau ada pula petani yang dengan sengaja mencampur varietas-varietas yang ditanam berdasarkan pertimbangan kemudahan pasar. Kultur teknis Pengolahan tanah Berdasarkan hasil kunjungan ke petani tomat dataran rendah/medium, yaitu di Kabupaten Pandeglang, Serang, Cianjur dan Cicalengka ternyata lahan yang biasa digunakan untuk penanaman tomat adalah lahan padi sawah, baik lahan yang berpengairan teknis maupun non teknis. Waktu penanaman tomat di keempat kabupaten tersebut bervariasi, namun petani umumnya menanam tomat pada musim kurang hujan atau merencanakan penanaman tomat yang hasilnya diperkirakan panen pada bulan Ramadhan menjelang hari Raya. Pada umumnya frekuensi penanaman tomat dilaksanakan hanya satu kali dalam satu tahun untuk suatu areal lahan tertentu setelah tanaman padi sawah. Sedangkan pada rotasi tanaman yang biasa dilaksanakan adalah Padi – Tomat/Palawija – Padi. Praktek-praktek pengolahan tanah untuk pertanaman tomat di keempat kabupaten tersebut, pada umumnya relatif sama, artinya pengerjaan tanah selalu dilakukan dan “zero tillage” tidak dijumpai. Terdapat dua macam cara pengolahan tanah yaitu: pengolahan tanah yang dicangkul secara konvensional penuh dan pengerjaan tanah awal yang dilaksanakan dengan menggunakan tenaga hewan atau mesin traktor tangan. Di daerah Pandeglang dan Serang, cara-cara pengolahan tanah yang dilakukan petani tidak berbeda, yaitu kombinasi dari pembajakan dengan menggunakan tenaga hewan dan pencangkulan biasa. Sementara itu, di daerah Cianjur, beberapa petani melakukan pengolahan tanah awal dengan menggunakan mesin traktor tangan yang dilanjutkan dengan pengerjaan tanah secara manual. Walaupun demikian cara pengerjaan tanah secara “full manual” nampaknya masih juga dominan di keempat daerah tersebut, terutama bagi petani kecil yang mengelola lahan untuk pertanaman tomat dengan luas kurang dari 100 tumbak (1/7 ha). Selanjutnya suatu hal yang menarik dalam kegiatan pengolahan tanah terjadi/dijumpai di daerah Cicalengka, dimana pengerjaan tanah awal sampai terbentuknya bedengan untuk pertanaman tomat sebagian besar dikerjakan dengan menggunakan tenaga hewan. Fase akhir dari pengolahan tanah diantaranya adalah pembuatan guludan yang berbentuk bedengan dengan ukuran tertentu. Terdapat variasi dalam ukuran pembuatan bedengan, akan tetapi ukuran bedengan antara 80-100 cm lebih sering dijumpai pada penanaman tomat di dataran rendah. Bentuk dan ukuran bedengan tersebut umumnya digunakan pada sistem penanaman tomat dengan barisan ganda. Sedangkan ukuran bedengan yang lebih lebar hanya ditemukan pada salah seorang petani di daerah Cicalengka, yaitu selebar 120 cm yang digunakan untuk sistem penanaman tomat tiga baris dalam satu bedengan. Dipandang dari aspek pengolahan tanah, tampaknya cara yang dilakukan oleh petani di Cicalengka yaitu dengan menggunakan tenaga hewan sampai siap membentuk bedengan-bedengan, merupakan cara pengolahan yang paling efisien. Cara Bertanam Tomat Pada umumnya petani membuat persemaian tomat secara sederhana. Tempat persemaian disiapkan terlebih dahulu atau bersamaan dengan saat penyiapan lahan. Tanah di persemaian dicampur denagn pupuk atau dicampur dengan abu sisa pembakaran. Selanjutnya benih tomat disemai atau ditabur agak jarang. Di semua sentra produksi yang diobservasi, praktek penyapihan tanaman tomat/bibit tomat atau pembumbunan pada saat tanaman masih kecil tidak pernah dilaksanakan, seperti halnya kebiasaan para petani di dataran tinggi. Lamanya benih tomat di persemaian umumnya berkisar antara 3-4 minggu, bahkan dapat pula mencapai 40 hari seperti yang dilakukan oleh petani di Serang. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, lamanya tanaman di persemaian tergantung dari tingkat

3

kesuburan benih dan atau kesiapan lahan yang akan ditanami. Benih tomat tersebut dicabut secara hati-hati dan dipindahkan ke lapangan/transplanitng. Terdapat sedikit variasi jarak tanam tomat di dataran rendah, terutama di daerah Pandeglang, sedangkan untuk daerah lainnya dapat dikatakan seragam. Di daerah Pandeglang, jarak tanam tomat pada sistem bedengan dengan barisan tanaman ganda adalah (20-25) cm dalam barisan tanaman dan antara (50-75) cm antara barisan tanaman. Jarak antara bedengan berkisar antara 50 sampai 100 cm. Penggunaan jarak tanam tomat di daerah Serang, Cianjur dan Cicalengka umumnya relatif seragam. Pada sistem penanaman tomat barisan ganda, jarak tanam antara barisan tanaman adalah 50 cm dan jarak dalam barisan antara 40-50 cm. Sementara itu pada sistem penanaman tomat tiga barisan dalam satu bedengan yang dijumpai di Cicalengka, jarak tanam dari satu tanaman ke tanaman yang lainnya adalah 50 cm. Dpandang dari penggunaan jarak tanam kaitannya dengan efisiensi penggunaan lahan pertanaman tomat di dataran rendah/medium, tampaknya pengaturan yang dilakukan oleh petani di Cianjur dan Cicalengka jauh lebih baik dibandingkan dengan petani pandeglang dan serang. Hal ini terlihat dari cara pembuatan dan pengaturan parit saluran air (drainase) yang memungkinkan penanaman tomat dengan populasi tanaman per satuan luas yang lebih tinggi, tanpa mengganggu kemudahan dalam pemeliharaan. Pengendalian Gulma Berdasarkan hasil wawancara, pengendalian gulma umumnya dilaksanakan secara konvensional yaitu melalui penyiangan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian Balai penelitian Hortikultura Lembang, pengendalian gulma pada pertanaman tomat secara konvensional ini sangat efektif apabila dilaksanakan secara tepat. Penyiangan harus dilakukan pada waktu yang tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman dan tidak mengganggu pertanaman pokok dalam masa kritis pertumbuhannya. Pelaksanaan penyiangan umumnya dimulai pada saat tanaman berumur dua minggu setelah tanam sampai umur satu bulan lebih atau sebelum terjadi pembungaan penuh/fruit-setting. Kebiasaan menyiang tanaman tomat ini umumnya dikaitkan dengan rencana pemupukan susulan. Frekuensi penyiangan tersebut dapat bervariasi dari petani ke petani tergantung dari keadaan pertumbuhan gulma. Menurut petani penyiangan dilakukan antara 2-3 kali dan diikuti dengan pembumbunan tanaman di lapangan. Pengairan/Penyiraman Tanaman Seperti telah dikemukakan sebelumnya, lahan yang digunakan untuk pertanaman adalah lahan padi sawah, sehingga kebutuhan pengairan tanaman tomat di daerah-daerah tersebut tidak menjadi masalah. Pelaksanaan pengairan pada pertanaman tomat biasanya dilaksanakan secara leb/boyor antara seminggu sampai dua minggu sekali tergantung dari keadaan pertanaman. Sementara itu berdasarkan hasil wawancara, ternyata sehubungan dengan pelaksanaan waktu tanam tomat pada musim tanam 1986/1987 masih selalu terdapat hujan, maka pengairan praktis tidak diperlukan dan masalahnya justru dalam mengatasi drainase digunakan. Pemupukan Tanaman Tomat Usaha-usaha untuk meningkatkan produksi diantaranya melalui pemupukan, ternyata bukan hanya disadari oleh para petani sayuran di dataran tinggi, tetapi juga dilaksanakan oleh petani tomat di dataran rendah/medium. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, terdapat variasi yang cukup lebar dalam hal pengelolaan pupuk untuk pertanaman tomat dari satu daerah ke daerah lainnya. Sedangkan variasi yang terjadi diantara petani pada suatu daerah umumnya disebabkan oleh kurangnya informasi, serta adanya perbedaan ketersediaan modal. Variasi yang terjadi dalam hal pengelolaan pupuk tersebut menyangkut penggunaan macam pupuk, jumlah pemakaian dan waktu aplikasi. Pada dasarnya penggunaan pupuk dapat dibedakan atas penggunaan pupuk organik dan pupuk an-organik atau pupuk buatan. Untuk jenis pemakaian pupuk organik petani biasa menggunakan

4

pupuk kotoran ayam atau domba/kambing. Dosis pemakaian pupuk organik pada keempat daerah tersebut berkisar antara 1 sampai 6 ton per hektar, baik berupa kotoran ayam atau domba. Dalam penggunaan pupuk buatan di daerah Pandeglang para petani memakai tiga macam pupuk buatan dengan dosis (80-100) kg Urea, (40-50) kg TSP dan (40-50) kg KCl tiap hektar. Sedangkan di daerah Serang informasi yang diperoleh mengenai penggunaan pupuk buatan berkisar antara (100-300) kg Urea, (50-150) kg TSP tiap hektar, tanpa pupuk Kalium/KCl. Campuran dari ketiga atau dua jenis pupuk tersebut umumnya diaplikasikan dalam dua kali pemberian, yaitu sebagian pada saat tanaman tomat berumur 2 minggu dan sisanya diberikan pada umur 1 bulan setelah tanam. Dipandang dari segi aspek pemupukan, terungkap bahwa petani di daerah Cianjur dan Cicalengka sudah menggunakan pupuk buatan secara lengkap. Untuk daerah Cianjur, dosis pemakaian pupuk buatan berkisar antara (100-200) kg Amonium Sulfat (ZA), (100-1500) kg Urea, 200 kg TSP dan 100 kg KCl tiap hektar. Pupuk ZA, TSP dan KCl diberikan pada saat tanaman tomat berumur satu minggu setelah tanam. Pupuk Urea diberikan sebagai pupuk susulan tiga minggu setelah pemupukan pertama. Disamping itu para petani di daerah ini, beberapa diantarnya telah menggunakan pupuk tambahan berupa pupuk daun yang mengandung pupuk mikro seperti Gandasil D dan B. Di daerah Cicalengka variasi penggunaan pupuk untuk pertanaman tomat, meliputi kombinasi pemakaian pupuk DAP, ZA, TSP dan Urea; kombinasi pemakaian pupuk NPK (15-15-15), Urea dan TSP; kombinasi ZA, TSP dan KCl; dan kombinasi pupuk Urea dengan TSP. Dosis pemakaian pupuk dari kombinasi pertama sampai terakhir adalah rendah untuk kesetaraan NP dan/atau NPK masingmasing kurang dari 50 kg/ha, sampai tinggi untuk tingkat kesetaraan NP dan/atau NPK masing-masing lebih dari 150 kg/ha. Setiap kombinasi pupuk di atas, umumnya diaplikasikan tiga kali berturut-turut, yaitu pada saat tanaman tomat berumur: 0-5 hari, 2-3 minggu dan 5 minggu setelah tanam. Kebutuhan Tenaga Kerja Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada usahatani tomat dataran rendah/medium ternyata masih lebih kecil dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja usahatani tomat dataran tinggi. Hal ini disebabkan oleh tidak dilakukannya beberapa kegiatan yang biasa dilakukan di dataran tinggi. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah penyapihan tanaman tomat serta pemasangan turus yang relatif cukup banyak menyerap tenaga kerja. Sementara itu, penggunaan tenaga kerja hewan atau traktor tangan pada kegiatan pengolahan lahan juga memberikan kemungkinan penghematan pengeluaran upah tenaga kerja. Sebagai salah satu komponen utama dalam pembiayaan usahatani, maka berkurangnya anggaran untuk upah merupakan salah satu indikator bahwa ditinjau dari penggunaan tenaga kerja, usahatani tomat dataran rendah/medium mempunyai peluang keuntungan komparatif yang lebih baik dibandingkan dengan usahatani tomat dataran tinggi. Berpegang pada asumsi bahwa intensitas penggunaan input (current inputs) mempunyai korelasi positif dengan banyaknya tenaga kerja yang digunakan, maka tampak jelas bahwa usahatani Tabel 1 Kebutuhan tenaga kerja usahatani tomat dataran rendah/medium per hektar 1987/Labor needs of tomato farming in lowland and medium land per hectare 1987. Pandeglang (hkp)

Serang (hkp)

Cianjur (hkp)

Cicalengka (hkp)

Persemaian Pengolahan tanah Penanaman Penyulaman dan pengairan Penyiangan Pemupukan Pengobatan Panen

10 70 18 20 35 14 15 36

10 82 15 24 38 11 19 25

12 108 28 24 48 42 65 55

16 116 21 16 50 46 58 45

Total

218

224

382

363

Kegiatan

5

tomat di Cianjur dan Cicalengka diusahakan secara lebih intensif dibandingkan dengan Pandeglang dan Serang. Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa hasil produksi per satuan luas di Cianjur dan Cicalengka juga lebih tinggi. Berikut ini adalah rata-rata kebutuhan tenaga kerja per hektar untuk keempat sentra produksi yang dikontribusikan ke satuan hari kerja pria. Indikator Efisiensi Agro Ekonomi Sebagai porsi dari penerimaan bersih, produktivitas (hasil per satuan luas) merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usahatani. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan produktivitas usahatani tomat di pandeglang dan Serang lebih rendah dibanding dengan Cianjur dan Cicalengka diantaranya adalah lebih rendahnya jumlah populasi tanaman serta intensitas penggunaan input per satuan luas. Walaupun rasio antara penerimaan dengan biaya tidak menunjukkan perbedaan yang menoylok, tetapi lebih rendahnya hasil per satuan luas cenderung menyebabkan biaya per unit output menjadi lebih tinggi. Rangkaian ini menyebabkan tidak tertangkapnya peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih baik, walaupun harga per satuan output lebih tinggi. Tabel 2

Indikator efisiensi agro ekonomi usahatani tomat, 1987/Indicators of agroeconomical eficiency in tomato farming, 1987. Pandeglang

Varietas Hasil Biaya ppk kandang Biaya ppk buatan Biaya pestisida Biaya bibit Biaya T.K. sewa Biaya T.K. klg. Biaya variabel total Biaya tetap total* Biaya produksi total Rata-rata harga jual Penerimaan total Penerimaan bersih

Serang

Cianjur

Cicalengka

Lokal Cipanas 4.320 26.000 24.625 28.500 15.280 184.900 49.450 328.755 115.000 443.755 142,5 615.600 171.845

Lokal Cipanas 4.850 34.500 43.750 32.000 17.250 217.855 43.165 388.520 100.000 488.520 135 654.750 166.230

Lokal IR 12.750 110.000 74.000 116.800 38.000 358.800 80.500 778.100 190.000 968.100 107,50 1 370.625 442.525

Lokal Hijau 13.600 120.000 62.500 95.000 27.500 349.350 113.475 767.825 175.000 942.825 100 1 360.000 417.175

Rasio penerimaan/biaya (%)

139

134

142

144

Titik impas (R/kg)

103

101

76

69

(Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)

* nilai sewa tanah, sewa alat dan perkiraan penyusutan

Lingkungan Produksi Alami Dalam mengambil kepentingan untuk melakukan usahatani tomat, petani dihadapkan kepada berbagai faktor alami yang memegang peranan sebagai pembatas biologis pertumbuhan tanaman. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: iklim (khususnya curah hujan), jenis dan kemiringan tanah serta hama dan penyakit. Pada umumnya kondisi curah hujan rata-rata tidak merupakan masalah bagi petani, walaupun sebagian besar petani menanam tomat pada saat curah hujan relatif rendah (setelah atau sebelum pertanaman padi). Bahkan pada kondisi curah hujan cukup kritis, ketersediaan air untuk penyiraman juga masih mungkin dipenuhi. Dihadapkan kepada pola tanam yang lebih diarahkan untuk padi, maka petani harus mampu mengatur waktu tanam setepat mungkin agar produksi optimal dapat dicapai. Dari observasi lapangan terlihat bahwa daya adaptasi tomat cukup baik pada jenis tanah sawah. Daya adaptasi tomat yang tinggi ini membuka peluang dicapainya produksi optimal jika diimbangi dengan cara pengelolaan yang baik. Penanaman tomat di lahan sawah menghendaki sistem drainase yang baik agar oksigen dalam tanah dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan tanaman. Tampaknya masih mungkin untuk memperbaiki sistem drainase yang dilakukan oleh petani terutama 6

dikaitkan dengan upaya meningkatkan jumlah populasi tanaman per satuan luas. Sementara itu topografi tanah yang datar memungkinkan petani menggunakan tenaga ternak maupun traktor tangan pada pengolahan tanah awal, sehingga relatif dapat mengurangi pengeluaran untuk tenaga sewa. Hama utama yang banyak menyerang tomat dataran medium ini adalah ulat buah (Heliothis sp). Sementara itu karena diusahakan pada areal persawahan menurut petani tanaman tomat ini juga terkadang diganggu oleh tikus terutama pada bagian akarnya. Pada beberapa sentra produksi di Pandeglang dan Serang, kondisi alam yang merupakan kendala biologis tampaknya belum diimbangi oleh kemampuan pengelolaan petani baik dilihat dari sudut penguasaan teknologi maupun permodalan. Lingkungan Produksi Sosial Eksternal Faktor lingkungan ekonomi yang berbeda di luar kekuasaan petani untuk mengendalikannya tetapi berpengaruh terhadap pengambilan keputusan usahatani adalah: struktur dan organisasi kemsyarakatan, prasarana fisik, pasar produk, pasar tenaga kerja, pasar input, status penguasaan lahan, kredit penyuluhan, perubahan sosial ekonomi serta kebijaksanaan pemerintah. Beberapa hal yang akan dibahas berikut ini diantaranya adalah: Prasarana fisik Walaupun belum sempurna prasarana jalan menuju lahan usahatani tomat dataran rendah/ medium ini relatif lebih baik dibandingkan dengan lahan usahatani dataran tinggi. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya pertanaman tomat menempati areal/daerah persawahan yang memang ditunjang oleh prasarana yang memiliki daya jangkau lebih luas. Dengan latar belakang yang sama, fasilitas irigasi juga memberikan kemudahan juga bagi petani dalam aktivitas pengairan/penyiraman. Walaupun demikian di beberapa sentra produksi yang diobservasi tampaknya kemudahan-kemudahan ini belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai contoh daerah Pandeglang yang mnemiliki sarana pengairan cukup baik ternyata rata-rata produksi per satuan luasnya masih berada di bawah 5 ton/ha. Jadi meskipun ditunjang oleh fasilitas prasarana fisik yang lebih baik, ternyata tidak selalu menjamin keberhasilan usahatani, karena keterkaitan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya menyebabkan optimalitas pemanfaatan infrastruktur tersebut tidak dapat dipenuhi. Pasar produk Usahatani tomat dpaat diklasifikasikan sebagai jenis usaha yang berorientasi ke pasar, karena sebagian besar hasil produk/output diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar. Secara teoritis, klasifikasi ini ditandai oleh adanya suatu kenyataan bahwa respon output tidak hanya tergantung kepada produktivitas input dan faktor-faktor alami, tetapi dipengaruhi pula oleh biaya input dan harga pasar komoditi yang diusahakan. Berdasarkan alur pemikiran ini, tampak jelas bahwa peranan pasar produk bukan saja sebagai “market outlet”, tetapi cenderung berfungsi sebagai “stimulator” dalam proses transisi menuju spesialisasi produksi. Rantai pemasaran yeng menghubungkan produsen tomat dengan konsumen menunjukkan variasi yang cukup beragam yaitu: produsen – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer – a. konsumen. b. produsen – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – konsumen c. produsen – pedagang pengumpul antar daerah – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen d. produsen – pedagang pengecer – konsumen e. produsen – konsumen f. produsen/pedagang pengumpul – konsumen lembaga (perusahaan pengolah) Di sentra produksi Pandeglang dan Serang, beberapa petani produsen langsung memasarkan hasil produksinya ke pasar. Hal ini dimungkinkan karena lokasi usahatani berdekatan dengan pasar dan 7

volume transaksi juga relatif kecil. Walaupun didak berhasil diwawancarai, tetapi berdasarkan informasi petani sekitarnya, di Cianjur terdapat petani yang memasarkan hasil produksinya ke perusahaan pengolah di Tangerang. Disamping melakukan kegiatan produksi sendiri, petani tersebut juga menampung hasil produksi dari petani lain. Cara transaksi yang biasa dilakukan petani adalah dengan menjual berdasarkan sistem “kiloan” dan “borongan”. Beberapa petani cenderung memilih sistem “borongan” berdasarkan pertimbangan bahwa biaya panen ditanggung oleh pedagang. Cara borongan ini juga lebih disukai oleh petani penggarap (bukan pemilik tanah), karena waktu aktivitas panen dapat dipergunakan untuk mengerjakan kegiatan lainnya. Oleh karena transaksi borongan ini kebanyakan dilakukan oleh pedagang pengumpul lokal, maka pembayaran seringkali dilunasi seminggu setelah waktu transaksi atau setelah tomat habis terjual. Cara pembayaran ini menimbulkan resiko adanya kemungkinan harga yang dibayarkan lebih rendah dibandingkan dengan harga kesepakatan awal. Transaksi borongan dengan sistem pembayaran keuntungan banyak dilakukan petani di sentra produksi Cicalengka. Negosiasi antara petani dengan pedagang dilakukan menjelang panen pertama tomat atau pada saat tanaman tomat mulai berbunga. Berdasarkan pengalamannya, pedagang mengestimasi nilai total produksi melalui perkiraan hasil produksi (fisik) yang akan diperoleh serta harga tomat pada waktu panen. Setelah harga borongan disepakati, maka untuk selanjutnya pembiayaan serta pengelolaan usahatani sampai panen tomat terakhir ditanggung oleh pedagang. Pengalihan pengelolaan ini juga mencakup pemindahan beban resiko pra panen dan pasca panen. Biasanya para pedagang borongan ini sudah mempunyai langganan petani untuk menjamin ketersediaan poroduk. Modal operasional padagang borongan beberapa diantaranya berasal dari pedagang besar dengan perjanjian bahwa selanjutnya hasil tomat borongan tersebut dipasarkan melalui pedagang besar pemberi modal. Dari empat sentra produksi tomat dataran rendah/medium yang diobservasi ternyata terdapat perbedaan harga yang cukup tinggi. Kisaran harga tomat per kg di masing-masing sentra produksi adalah sebagai berikut: Pandeglang (Rp. 80,- - Rp. 225,-), Serang (Rp. 80,- - Rp. 250,-), Cianjur (Rp. 40,- - Rp. 150,-) dan Cicalengka (Rp. 50,- - Rp. 175,-). Hasil observasi menunjukkan bahwa harga tomat per kg di Pandeglang dan Serang lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang diterima petani Cianjur dan Cicalengka. Hal ini terjadi karena disamping permintaan pasar lokal yang cukup tinggi, juga disebabkan oleh tidak adanya pesaing sentra produksi, tomat dataran tinggi seperti untuk Cicalengka (Lembang, Cisarua) dan Cianjur (Pacet, Cipanas). Sementara itu, kisaran harga borongan di Cicalengka adalah Rp. 1.000,- - Rp. 2.500,- per tumbak. Jika diperkirakan hasil tomat per tumbak mencapai 25 kg, maka harga tomat per kg berkisar antara Rp. 40,- - Rp. 120,- per kg. Melalui sistem transaksi seperti ini menurut petani resiko kerugian sangat kecil karena biaya produksi diperkirakan berkisar antara Rp. 500,- - Rp. 1.250,- per tumbak. Disamping itu petani juga dapat mengalihkan perhatiannya untuk pekerjaan-pekerjaan lain segera setelah transaksi dilakukan (setelah panen pertama tomat). Disamping memenuhi permintaan pasar lokal, sebagian hasil produksi tomat dari Pandeglang dan Serang dipasarkan ke Cilegon, Tangerang dan Jakarta. Sementara itu, sebagian besar hasil tomat dari Cicalengka ternyata juga cukup luas yaitu Bandung, Cirebon, Jawa Tengah, Surabaya dan Pemalang. Seorang pedagang pengumpul antar daerah yang berhasil diwawancarai di Cicalengka, membeli tomat dari petani secara borongan untuk dijual ke pedagang besar di Surabaya. Harga beli dari petani pada saat transaksi Rp. 2.500,- per tumbak dan biaya pemeliharaan sampai panen berakhir Rp. 500,- per tumbak. Jadi harga beli total adalah Rp. 3.000,- per tumbak atau diperkirakan Rp. 120,- per kg. Pedagang besar di Surabaya menerima hasil tomat dengan harga beli Rp. 190,- per kg. Margin pemasaran tomat dari Cicalengka ke pedagang besar di Surabaya sebesar Rp. 70,- per kg terdiri dari keuntungan pedagang Rp. 17,5,- dan biaya pemasaran (sortasi, pengepakan/muat, transportasi, retribusi dan lain-lain) sebesar Rp. 52,5. Pasar input Kondisi pasar input berpengaruh terhadap kombinasi kuantitas faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi dan pada akhirnya akan mempengaruhi kuantitas serta komposisi output. Ditinjau dari ketersediaan serta harga input, tidak terdapat perbedaan menyolok diantara keempat 8

sentra produksi yang diobservasi. Walaupun demikian, ternyata produksi tomat per satuan luas untuk sentra produksi Pandeglang dan serang jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga Cianjur dan Cicalengka. Disamping disebabkan oleh perbedaan kemampuan pengelolaan, hal ini tampaknya merupakan indikasi adanya perbedaan kemampuan permodalan petani. Data input output usahatani menunjukkan bahwa kuantitas penggunaan input di Pandeglang dan Serang memang lebih rendah. Di semua sentra produksi, pupuk buatan urea, TSP, ZA dan KCl sangat mudah diperoleh dengan kisaran harga Rp. 120,- - Rp. 130,- per kg. Sementara itu, pupuk kandang kambing biasanya diperoleh dari petani sekitar yang memiliki ternak dengan harga Rp. 10,- - Rp. 15,- per kg. Walaupun pupuk kandang ayam di beberapa sentra relatif lebih mudah diperoleh, tetapi karena mutunya kurang baik (terlalu banyak campuran gabah), maka petani lebih cenderung memilih pupuk kandang kambing. Kisaran harga pupuk kandang ayam adalah Rp. 15,- - Rp. 20,- per kg. Beberapa petani di Cianjur dan Cicalengka juga menggunakan Gandasil yang dapat diperoleh dengan harga Rp. 1.000,- - Rp. 1.100,per bungkus. Ketersediaan obat-obatan juga terjamin dengan variasi harga berada pada tingkat yang masih dapat ditoleransi. Jenis yang digunakan cukup beragam diantaranya : Sevin, Dursban, Dithane, Basudin, Diazinon, Sumibash, Antracol dan Bayfolan. Agaknya yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan benih tomat unggul. Walaupun umumnya petani menggunakan bibit hasil produksi sendiri, tetapi pada kenyataannya petani di Pandeglang dan Serang menginformasikan sulitnya memperoleh benih tomat di kios-kios saprotan maupun di Balai Benih Induk. Sementara itu benih/bibit tomat hasil produksi petani yang mutunya kurang terjamin dapat diperoleh dengan harga Rp. 400,- - Rp. 600,- per korek api (6-7 gr) atau Rp. 2.5,- - Rp. 5.0,- per tanaman. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecuali untuk input bersih, fasilitas pasar input yang menunjang “rice based cropping pattern” memberikan beberapa kemudahan dalam upaya kemungkinan pengembangan usahatani tomat dataran rendah/medium. Pasar tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja merupakan salah satu faktor pembatas usahatani dalam menentukan jenis tanaman dan intensitas pertanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai respon yang berbeda terhadap kebutuhan tenaga kerja. Tomat merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang mengehendaki penggunaan tenaga kerja intensif. Upah tenaga kerja pria berkisar antara Rp. 1.000,- - Rp. 1.500,- per hari kerja pria, sedangkan tenaga kerja wanita berkisar antara Rp. 950,- - Rp. 1.100,- per hari kerja wanita. Kegiatan yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah pengolahan tanah. Petani yang menggunakan tenaga kerja sewa untuk kegiatan ini cenderung mamilih sistem borongan karena relatif dapat mengurangi biaya. Dengan alasan yang sama beberapa petani di Cicalengka menggunakan tenaga ternak untuk pengolahan tanah. Biasanya sewa yang harus dikeluarkan adalah Rp. 28.000,- per ha. Sementara itu upah panen di Cicalengka adalah Rp. 2.500,-/hkp dan Rp. 1.000,-/hkw, sedangkan di Cianjur, Pandeglang dan serang berkisar antara Rp. 10,- - Rp. 12,5,- per kg. Menurut petani di Cicalengka, sejak tahun 1975 terasa agak sulit untuk memperoleh tenaga kerja sewa. Hal ini dapat dimengerti karena daerah Cicalengka dan sekitarnya termasuk wilayah pengembangan industri non pertanian di Kabupaten Bandung, sehingga merupakan “competing labour opportunities” bagi tenaga kerja pertanian. Disamping itu beberapa petani di cicalengka cenderung memilih tenaga kerja sewa yang telah memiliki pengalaman dalam menanam tomat, sehingga besarnya upah menunjukkan tendensi yang semakin meningkat. Kesulitan tenaga kerja ini juga dialami oleh beberapa petani di cianjur yang pernah mencoba menanam tomat bersamaan dengan musim tanam padi. Tambahan keuntungan yang diharapkan dari harga jual yang lebih tinggi ternyata tidak dapat dicapai, karena meningkatnya pengeluaran untuk tenaga kerja. Mengacu pada kenyataan di atas tampaknya prospek pengembangan tomat dataran rendah/medium mempunyai peluang yang cukup baik jika tetap diarahkan sebagai salah satu komponen dalam pola tanam padi. Sementara itu, lokasi pengembangan juga lebih baik jika dipilih berdasarkan pertimbangan pasar tenaga kerja dikaitkan dengan kemungkinan adanya kesempatan di luar sektor pertanian.

9

Status penguasaan lahan Disamping status pemilik penggarap dan bagi hasil, sebagian petani menggarap lahannya dengan status sewa. Besarnya sewa tanah di Cicalengka pada umumnya dinilai ekivalen dengan 400 kg – 600 kg padi per ha per musim. Sementara itu nilai sewa tanah di Cianjur berkisar antara Rp. 200.000,- - Rp. 300.000,- per ha per musim. Beberapa petani penyakap diperbolehkan oleh pemilik tanah untuk menanam tomat dengan syarat lahan garapan tersebut siap ditanami padi pada musim tanam berikutnya. Di Pandeglang dijumpai sistem bagi hasil 2 : 1 masing-masing untuk penggarap dan pemilik tanah. Sedangkan nilai sewa tanah di pandeglang dan Serang ternyata lebih rendah yaitu berkisar antara Rp. 100.000,- - Rp. 200.000,- per ha per musim. Banyak petani tomat di Pandeglang dan Serang yang sebenarnya berstatus petani penyakap untuk padi. Oleh pemilik tanah, petani tersebut dibeli keleluasaan untuk memilih jenis tanaman yang akan diusahakan sebelum atau setelah menanam padi. Beberapa petani yang berstatus seperti ini menyatakan bahwa tidak ada perjanjian formal dengan pemilik tanah mengenai bagi hasil tanaman penyelang tersebut. Sementara itu, petani yang menyewa tanah khusus untuk mengusahakan tanaman tomat banyak dijumpai di Cianjur dan Cicalengka. Kredit Tidak diperoleh informasi yang terinci mengenai permintaan kredit formal atau informal khususnya untuk usahatani tomat dataran rendah/medium ini. Walaupun demikian pengamatan selintas menunjukkan bahwa tampaknya petani tomat di Pandeglang dan Serang lebih membutuhkan fasilitas kredit tersebut untuk menunjang kegiatan usahataninya. Perlu diperhatikan bahwa kemungkinan pemberian fasilitas kredit ini harus dilaksanakan simultan dengan usaha meningkatkan kualitas kemampuan pengelolaan (managerial skills) petani, agar dampaknya terhadap peningkatan produktivitas dapat dirasakan. Fasilitas kredit murah memang sangat diperlukan oleh petani, sebagai contoh, seorang petani di Cianjur terpaksa meminjam dari Koperasi Simpan Pinjam dengan bunga 20% per bulan karena sukar memperoleh alternatif lain yang lebih ringan. Penyuluhan Patut diakui bahwa bobot serta intensitas penyuluhan untuk usahatani sayuran dataran rendah/medium umumnya masih sangat kurang. Sampai saat ini titik berat penyuluhan masih diarahkan untuk pengembangan komoditi padi dan palawija. Menanggapi respon petani terhadap penanaman sayuran dataran rendah/medium, maka kekurangan di atas sedikit demi sedikit harus diperbaiki. Hal ini cukup mendesak untuk segera dilaksanakan mengingat salah satu upaya dalam meningkatkan pendapatan petani padi adalah dengan menempatkan salah satu komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi pada pola tanamnya. Sasaran dan resiko Berbeda dengan petani tomat di dataran tinggi, sasaran petani tomat dataran rendah/medium ternyata sukar dispesifikasi karena berhubungan erat dengan sasaran untuk mencukupi kebutuhan sendiri (self sufficiency) yang melatarbelakangi usahatani padi sebagai komponen utama dalam pola tanam. Hal ini terungkap dari sasaran petani yang berbeda-beda, diantaranya adalah untuk: memperoleh keuntungan maksimal (orientasi pasar), memperoleh stabilitas pendapatan sepanjang tahun, menciptakan diversifikasi kegiatan, memanfaatkan waktu luang sebelum/setelah tanam padi, memanfaatkan hak penggarapan tanah sebagai penyakap dan lain-lain. Walaupun demikian, pengamatan selintas menunjukkan bahwa sebagian besar petani tomat di Cianjur dan Cicalengka tampaknya sudah mampu memisahkan sasaran subsisten pada usahatani dengan sasaran komersial pada usahatani tomat. Dugaan ini ditunjang oleh kenyataan bahwa kemampuan pengelolaan petani di kedua sentra produksi tersebut relatif lebih baik. Banyaknya petani yang secara tetap menyewa tanah di daerah ini khusus untuk menanam tomat, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi dan pengambilan keputusan petani lainnya. Sementara itu, sasaran yang bervariasi banyak diungkapkan oleh petani tomat di Pandeglang dan Serang, terutama bagi petani yang berstatus 10

penyakap penggarap. Masih berlakunya sistem bagi hasil padi dimana seperti bagian untuk petani penggarap dan seluruh pembiayaan ditanggung oleh penggarap dirasakan oleh petani sebagai faktor pembatas dalam mengusahakan tanaman tomat secara intensif. Beberapa petani bahkan sama sekali tidak menggunakan pestisida karena keterbatasan modal. Adanya konflik dan saling ketergantungan antara sasaran “self sufficiency/subsistence” dengan karakteristik komoditi tomat yang komersial, menyebabkan sukarnya diidentifikasi prioritas sasaran yang hendak dicapai petani. Dari observasi dan wawancara dengan petani di keempat sentra produksi, tidak diperoleh informasi yang pasti mengenai perilaku petani dalam mengantisipasi resiko yang diakibatkan oleh adanya variabilitas harga dan hasil produksi. Beberapa petani menyatakan bahwa untuk mengurangi resiko, seringkali tanaman tomat ditumpangsarikan dengan kacang-kacangan dan mentimun. Walaupun demikian, sistem tumpangsari ini belum dapat dipastikan sebagai bentuk antisipasi petani terhadap resiko, karena kemungkinan di latarbelakangi pula oleh alasan-alasan lainnya. Sebagai contoh, penerapan sistem tumpangsari ini bukan hanya merupakan usaha untuk mengurangi resiko, tetapi konsisten pula dengan sasaran untuk memperoleh penerimaan yang lebih tinggi per unit input. Alasan mana yang bobotnya lebih besar tidak dapat diungkapkan dari penelitian “cross section” ini. Kenyataan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara sasaran petani, perilaku petani dalam menghadapi resiko/ketidakpastian dan kemampuan petani dalam mengelola input. Hubungan ini semakin bertambah kompleks karena pada dasarnya petani bekerja dalam situasi yang dinamis. Oleh karena itu, diperlukan data “time series’ yang dapat menggambarkan variasi keadaan yang dihadapi petani serta variasi usaha petani untuk mengantisipasinya.

KESIMPULAN 1.

Ditinjau secara keseluruhan, keragaan usahatani tomat di Cianjur dan Cicalengka relatif lebih baik dibandingkan dengan usahatani tomat di Pandeglang dan serang. Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa hasil per satuan luas (teknis) yang lebih baik serta biaya per satuan output (ekonomis) yang lebih rendah.

2.

Tingkat pemanfaatan yang rendah dari varietas-varietas tomat rekomendasi (Berlian, Ratna dan Intan) memberikan beberapa bahan masukan yang perlu dikaji lebih lanjut. Perlu ditelusuri kembali faktor-faktor yang menyebabkan petani lebih menyukai penggunaan varietas lokal, misalnya : kemudahan untuk memperoleh benih varietas rekomendasi ditinjau dari aspek penyediaan dan distribusi, kemampuan varietas-varietas rekomendasi untuk bersaing dengan varietas lainnya ditinjau dari aspek preferensi konsumen/pasar. Kebutuhan terhadap benih unggul tampaknya cukup mendesak mengingat tingginya variabilitas hasil per satuan luas antar sentra produksi maupun antar petani individu. Dihubungkan dengan arah pengembangan menuju spesialisasi usahatani tomat konsumsi segar (fresh tomato) dan tomat olahan (processing tomato) maka penggunaan varietas unggul merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi.

3.

Masih diperlukan perbaikan dan pemantapan teknologi budidaya tomat dataran rendah/ medium, terutama menyangkut usaha efisiensi penggunaan sumberdaya berdasarkan lingkungan produksi yang dihadapi petani. Fokus penelitian ke arah terciptanya “low cost technology” (menekan biaya produksi per satuan output) diharapkan dapat meningkatkan kontribusi usahatani tomat sebagai salah satu komponen dalam pola tanam padi.

4.

Penelitian awal ini perlu dilanjutkan dengan pendekatan yang mencakup penelaahan pola tanam secara keseluruhan (cropping pattern oriented), agar formulasi perbaikan teknologi yang diinginkan oleh petani dapat dispesifikasi.

11

PUSTAKA Byerlee, Derek, et al. Planning Technologies Appropriates to Farmers : Concept and Procedure. CIMMYT, Mexico, 1980. Calkins, P.H. Why Farmers Plant What Yhey Do. Tech.Bull. No. 8, AVRDC, 1978. Collinson, M.P. The Use of Farming System Research for Understanding Small Farmers and Improving Relevancy in Adaptive Experimentation. CIMMYT, Mexico. 1980. Normal, D.W. and H.M. Hays. Developing a Suitable Technology for Small Farmers : National Development, Modern Government, 1979.

12

Lampiran/Appendix. 1.

2.

Lokasi pengamatan

:

Ketinggian tempat Tipe pertumbuhan Tinggi tanaman Bentuk penampang Warna batang Warna daun Warna kelopak bunga Warna benang sari Warna putik Warna buah muda Warna buah tua Permukaan buah Jumlah bunga/tandan Jumlah rongga buah Bobot per buah Kualitas buah Potensi hasil Ketahanan terhadap penyakit Nama lokal Penyebaran

: : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Lokasi pengamatan

:

Ketinggian tempat Tipe pertumbuhan Tinggi tanaman Bentuk penampang Warna batang Warna daun Warna kelopak bunga Warna benang sari Warna putik Warna buah muda Warna buah tua Permukaan buah Jumlah bunga/tandan Jumlah rongga buah Bobot per buah Kualitas buah Potensi hasil Ketahanan terhadap penyakit Nama lokal Penyebaran

: : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Desa Sukasari Kecamatan Banjar Kabupaten Pandeglang 260 m d.p.l indeterminate 80 - 150 cm bulat hijau hijau kuning kuning kuning punggung buah hijau atau seragam (50% - 50%) oranye – merah tua (1:1) licin beralur 3–5 5 20 – 30 gram kurang - sedang rendah tahan layu tomat sayur, kemir Pandeglang, Serang dan sekitarnya Desa Rancaekek Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung 500 m d.p.l semi indeterminate - indeterminate 50 - 60 cm bulat, persegi hijau hijau kuning kuning kuning muda punggung buah hijau 40% merah licin kadang-kadang beralur 5–8 3–5 30 gram sedang sedang - tinggi tahan layu tomat Bogor, sayur, IR Cicalengka dan sekitarnya

13

Related Documents