A g u s t u s
2 0 0 9
Vol. 22 th. 2009
buletin Risalah Kemanusiaan untuk Komunitas
Daftar Isi:
1 FOKUS
Dari Studi Banding COP: Berguru Polmas pada Yogyakarta dan Surabaya
2 SALAM REDAKSI
FKPM Didewasakan melalui Hadap Masalah
2 GERBANG
Belajar Menjadi Paham foto: dok. fahmina FKPM Tridaya, FKMC fahmina-institute berbagi pengalaman dengan FKPM Putat Jaya Surabaya saat berkunjung dalam rangka Study Banding
Dari Studi Banding COP di Yogyakarta dan Surabaya:
10 LAPORAN KHUSUS
Kisah TKW Asal Cirebon “Anak saya selalu bilang ingin pulang…”
12 OPINI
Raperda Anti Trafiking dan Polmas, Nasibmu Kini...
14 SOSOK
Sunarno: Hobi Aktif di Masyarakat Kartono: Bagai Kepompong
16 SRIKANDI
Sjamsudjiwati “Kesulitan Saya, Mengetuk Hati Nurani…”
18 POTENSI
Menengok Perajin Gamelan Mini di Kondangsari Beber Kabupaten Cirebon Bertahan di Tengah Desakan Modernitas
20 FATWA
Wajib Memberikan Perlindungan kepada Korban Perkosaan
22 INFO JARINGAN
Pemda Cirebon Komitmen Tindaklanjuti Raperda Anti Trafiking
Berguru Polmas pada Yogyakarta dan Surabaya
K
alimat bijak itu sesekali “Semua orang adalah terlontar di sela guru, semua orang adalah perbincangan sejumlah aktifis Forum Kemitraan Polisi dan siswa, dan semua tempat Masyarakat (FKPM) Semampir adalah sekolah…” Surabaya, dalam sebuah forum sharing (berbagi) antara FKPM Cirebon dan Surabaya. Ya, perjalanan dilaksanakan pada Jumat-Senin (1720/7/09) lalu. Peserta studi banding “Studi Banding Community Oriented yang diselenggarakan LSM FahminaPolycing (COP) di Yogyakarta dan Surabaya” masih jelas terekam dalam Institute, ini terdiri dari 5 aktifis LSM Fahmina-Institute, 5 aktifis memori kami (reporter Blakasuta). FKPM Tridaya, serta 5 aktifis Forum Bagaimana tidak, banyak pelajaran Komunikasi Masyarakat Ciboralang berharga yang bisa dipetik oleh aktifis sosial terutama FKPM Cirebon (FKMC). Di edisi sebelumnya, Blakasuta yang tergolong masih “seumur edisi 21/bulan Juli 2009, telah jagung” menjadi aktifis FKPM. Setidaknya itulah yang dirasakan bersambung ke hal. 3 15 peserta studi banding yang Edisi 22
Agustus 2009
salam redaksi
FKPM Didewasakan oleh Masalah
gerbang
Menengok saudara-saudara sesama aktifis FKPM di Yogyakarta dan Surabaya, kami semakin yakin bahwa ada sesuatu yang membuat mereka kian dewasa dan tangguh. Sesuatu itu adalah ‘masalah’ itu sendiri. Jelas sekali mereka, para aktifis FKPM, itu Oleh Nurul Huda SA tak pernah berhenti belajar untuk berpikir keluar dari kotak ( Think Out Of Box ). Tidak pernah terpaku pada permasalahan secara fisik, tapi melihat substansi What I hear I forger; What I see I remember; What I do I understand permasalahan yang ada, kemudian membiarkan Apa yang aku dengar aku lupa; apa yang aku lihat aku ingat; apa yang pikiran mereka untuk surfing mencari solusi dari aku lakukan aku paham (Confusius, 551 SM- 479 SM) permasalahan itu kemanapun ia mengarah. Ikutilah aliran pikiran anda kemana pun, earning from Monkeys (Belajar dari Monyet) adalah judul buku biarkan ia rileks untuk menemukan jawaban karya Rung Kaewdang, ketua reformasi pendidikan Thailand. Buku permasalahannya. Percaya pada diri anda sendiri, ini mengisahkan seorang guru Akademi Pelatihan Monyet Surat yakinkan bahwa setiap masalah adalah sebuah pintu Thani bernama Khruu Somporn. Khruu Somporn adalah sosok guru menuju tempat yang lebih baik, bahwa masalah yang mengandrungi teori Bhudish dan tokoh pendidikan John Dewey adalah jalan menuju kehidupan yang lebih indah, bahwa cara belajar yang paling baik adalah dengan melakukan. dan bahwa masalah adalah tangga menuju ke tingkat Rung Kaewdang melirik Khruu Somporn ketika pendidikan di yang lebih tinggi. Karena setiap orang besar selalu Thailand berada di bibir jurang kehancuran. Pendidikan model kasih dibesarkan oleh masalah, didewasakan oleh masalah sayang, belajar dengan melakukan, bergerak dari yang mudah ke yang dan dibijaksanakan oleh masalah. Pada dasarnya, kita sulit, membuat belajar menyenangkan menginspirasi dan menjadi adalah seorang Problem Solver (penyelesai masalah) obor kebangkitan dari kebangkrutan. Akademi monyet melahirkan yang handal. Bahkan sejak sebelum kita terbentuk lulusan yang memiliki standart mutu tinggi, mulai dari sekadar menjadi menjadi sebuah janin, saat sel spermatozoa monyet pemetik buah kelapa, monyet penjaga rumah, monyet pemain dihadapkan pada permasalahan-permasalahan untuk sirkus, hingga menjadi monyet bintang film. Monyet-monyet yang ada menuju sel telur. dalam film-film produksi Amerika-Eropa mayoritas jebolan Akademi Dengan gagah berani ia hadapi semua Peatihan Monyet Surat Thani asuhan Khruu Somporn. permasalahan itu, ia jalani dengan penuh semangat Benar, manusia tidak sama dengan monyet. Tetapi prinsip perjuangannya menuju sel telur. Dan saat semua perhatian, keramahan, toleransi, inovasi, dan penemuan teknik-teknik permasalahan telah diselesaikannya maka siapakah baru dapat diterapkan dalam pendidikan manapun. Kalimat penutup dia? Itulah diri kita. Lalu pantaskah kita lemah buku ini sungguh menantang, “monkey’s can learn, Why can’t out menghadapi masalah? Lalu pantaskah kita sedih students?” (monyet dapat belajar, kenapa anak didik kita tidak?). menghadapi masalah? Lalu pantaskah kita goyah Belajar dan menemukan pengetahuan baru adalah puncak upaya menghadapi masalah? Ingatlah bahwa kita diciptakan manusia dan akan membantu sesama manusia untuk mendapatkan sebagai ”Problem Solver Sejati!”. Jangan pernah berkata: “Tuhan, saya memiliki masalah yang sangat pengetahuan yang terbaik. Pembaruan pendidikan di Thailand dengan besar!”. Tapi katakanlah : ”Wahai masalah, ketahuilah model ini, kini menjadi rujukan hampir seluruh dunia. bahwa saya memiliki Tuhan Yang Maha Besar!”. Apa yang dilakukan Khruu Somporn bagi kaum pergerakan bukanKami hanya bisa berharap, agar refleksi ini lah hal baru. Bahkan, salah satu sumbangan terbesar bagi kelompok menjadi refleksi semua aktifis FKPM yang ada di tiga gerakan sosial adalah mengenalkan, mengampanyekan dan menewilayah Cirebon serta aktifis-aktifis sosial lainnya. rapkan model “belajar dengan melakukan” (I do I understand) kepada Karena sosok mereka memang harus ada di bumi ini. seluruh masyarakat termasuk penyelenggara negara di hampir seluruh Begitupun kami yang seharusnya memberikan referensi sebagai pembelajaran bagi pembaca Susunan Redaksi: Penanggung Jawab: KH. Husein Muhammad, Pemimpin Umum: Marzuki Wahid, Redaksi Ahli: Affandi Mochtar, semua. Di edisi kali ini, kami mencoba Lies Marcoes-Natsir, Ahmad Suaedy, Kamala Chandrakirana, Debra Yatim, Faqihuddin Abdul Kodir, Maman mengambil hikmah dari kunjungan kami dalam Imanulhaq, Pemimpin Redaksi: Nurul Huda SA, Redaksi Pelaksana: Alimah, Tim Redaksi: Roziqoh, Erlinus Thahar, Satori, Ali Mursyid, Marzuki Rais, Rosidin, Obeng Nurosyid, Kontributor: Saptaguna, Setting Layout: “Studi Banding COP Yogyakarta-Surabaya”. an@nd, Printing: CV. Teguh Gemilang Cirebon, Penerbit: fahmina-institute, Alamat Redaksi: Jl. Suratno No. 37 Tak lupa pula, beberapa kisah nyata persoalan Cirebon, Jawa Barat 45124 Telp./Fax. (0231) 203789 website: www.fahmina.or.id e-Mail:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan yang berkaitan dengan upaya penguatan masyarakat perempuan dan sejumlah even lainnya.(red)
Belajar Menjadi Paham
L
Selamat membaca…
sipil dan proses kemandirian warga di pedesaan/kelurahan. Redaksi berhak mengedit tulisan tersebut dengan tidak mengubah substansi. Setiap tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dalam Rubrik Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis bersangkutan.
Edisi 22
Agustus 2009
fokus dunia. Model ini tidak begitu tampak bersinar dalam waktu lama karena mengajarkan cara berfikir kritis, sehingga banyak ditampik oleh penguasa. Baru belakangan model pendidikan dari kelompok gerakan sosial dijadikan alternatif, meskipun ternyata tidak tuntas. Belajar dengan melakukan dalam program COP dapat dijadikan salah satu contoh, bagaimana program ini menjadi katalisator perubahan dan penemuan baru yang menjadi genius lokal di masing-masing tempat. Di Jawa Timur yang salah satunya difokuskan di Gang Dolly, konon tempat lokalisasi (prostitusi) terbesar di asia tenggara. Melalui FKPM Gang Dolly, masyarakat setempat misalnya menyepakati tidak menerima atau mempekerjakan anak-anak. Bila ada yang melanggar maka akan dikenai sanksi sosial sesuai kesepakatan. COP di Jogja juga memiliki kekhasan, terutama yang ada di Malioboro. Jogja yang dikenal sebagai Indonesia mini, bahkan miniatur dunia, sesungguhnya pertemuannya tumpah di Malioboro. Sebagai pusat pertemuan, Malioboro bukanlah wilayah yang setara dengan daerah lain. Malioboro penuh dengan eksotisme. Segala binar kemewahan hingga kejamnya kriminal jalanan dan keserakahan memanunggal. Aktifis COP yang digalang Pusham UII bergerak di wilayah unik ini dan mampu menjalin silaturahim dan kemesraan untuk kebajikan bersama. Fahmina-institute juga mampu menyelami denyut nadi problem sosial kemasyarakat di Cirebon dan sekitarnya. Selain memelopori perspektif gender dalam program COP, Fahmina cancut tali wandha pada problem lumuran gelimang trafiking (perdagangan orang). Bersama elemen-elemen lainnya Fahmina membuktikan diri dapat mengungkap, menganalisis, dan menemukan jalan keluar (meski belum tuntas) atas kejamnya perdagangan orang. Atas kedigdayaan belajar menjadi paham dengan melakukan, ke semua fakta-fakta di atas terjadi dan menjadi mungkin. Salam
Dari studi banding COP di Yogyakarta dan Surabaya: Berguru Polmas pada Yogyakarta dan Surabaya
sambungan hal. 1
mengangkat berita singkatnya dengan judul “Menyelesaikan Persoalan Dengan Pola Kebersamaan”. Di Fokus edisi kali ini, kami masih tertarik untuk mengupas lebih dalam tentang pelajaran-pelajaran berharga itu. Terutama pelajaran “bagaimana aktifis COP maupun FKPM di Yogyakarta dan Surabaya dalam menghadapi sekian persoalan keamanan, sosial dan kemanusiaan.” Sekadar Mengingatkan Istilah Polmas, COP, dan FKPM Sebelum melenggang lebih jauh, kami ingin mengingatkan kembali tentang istilah Polmas, COP, dan FKPM. Sejak terpisahnya Polri dari struktur TNI, wacana perpolisian masyarakat (Polmas) di berbagai struktur kepolisian dan masyarakat banyak dibicarakan di berbagai forum. Secara konsep, Polmas atau Community Oriented Policing (COP) merupakan kegiatan perpolisian terhadap komunitas-komunitas dalam masyarakat diberbagai Negara seperti USA, Inggris, Kanada, Jepang dan Singapura, serta negara-negara lainnya. Konsep Polmas yang diadopsi Polri sekarang ini, bervariasi. Ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Konsep tersebut tidak bisa secara bulat-bulat diterapkan di Indonesia, karena budaya masyarakat kita juga berbeda. Untuk itu perlu adanya penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran dari konsep Polmas tersebut yang disesuaikan dengan kebutuhan karakteristik masing-masing komuniti di masyarakat kita. Memang selama ini kita telah mengenal program Kamtibmas semacam Siskamling dan Pamswakarsa. Begitu juga dengan terbentuknya Babinkamtibmas, yang meniru model Babinsanya TNI, namun sepertinya tidak cocok lagi di era sekarang. Karena tujuannya adalah hanya membuat masyarakat yang patuh pada aturan-aturan Kamtibmas, bukan masyarakat yang sadar akan pentingnya Kamtibmas. Meski demikian, pengertian Polmas sampai awalnya belum tercapai suatu kesepakatan istilah. Para pakar, instansi pemerintah maupun Polri sendiri masih menafsirkan pengertian konsep Polmas sendiri-sendiri sehingga sangat membingungkan bagi anggota-anggota di lapangan. Ada yang mengartikan sebagai pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing (COP). Namun setelah dikeluarkan Surat keputusan Kapolri No. 737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri, maka sebutannya menjadi perpolisian masyarakat (Polmas). Dengan berbekal Skep tersebut, bagian Bina Mitra, ujung tombak kemitraan dengan masyarakat. Polri di tingkat Polres, merancang dan mendesain kegiatan Polmas dengan merangkul berbagai lapisan masyarakat, secara kewilayahan maupun sektoral. Terbentuknya sejumlah Forum Komunikasi Polisi Masyarakat (FKPM) merupakan wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat dalam ruang yang mengedepankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan. Tidak melulu dalam soal Kamtibmas, tetapi juga dalam isu-isu sosial lainnya. FKPM dalam proses berikutnya, tidak mesti melembaga bernama FKPM, tetapi bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada, semisal Karang Taruna,
Edisi 22
Agustus 2009
foto: dok. fahmina
fokus
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, warga siap dan lain-lainnya. Dalam hal inilah pentingnya program Polmas atau dulu dikenal dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil. Program ini merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan sesuai yang diamanatkan dalam TAP MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 Tentang Kedudukan TNI dan Polri. Berdasarkan dua TAP MPR tersebut Polri telah dinyatakan terpisah dari TNI. Diperkuat dengan keluarnya Keppres No 89 tahun 2000 Tentang Kedudukan Polri yang menyatakan Polri berkedudukan langsung dibawah presiden. Diperkuat juga UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia. Baiklah, kini saatnya kami mengupas pengalaman berharga kami dari studi banding COP di Yogyakarta dan Surabaya.
Peserta Study Banding berkesempatan berfoto bersama aktifis COP Umbulharjo
Pelajaran Berharga dari Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan kota pertama yang kami kunjungi sebelum ke Surabaya. Di sana kami berkunjung ke kantor Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII Yogyakarta, yang bertempat di Jeruklegi RT 13 RW 35 Gang Bakung No 517 A, Banguntapan Bantul Yogyakarta. Di Pusham UII, para peserta bertemu dengan aktifis COP seYogyakarta yang tergabung dalam Presedium COP Yogyakarta. Di sana, peserta juga berbagi pengalaman dengan sejumlah aktifis COP Yogyakarta. Beberapa di antaranya seperti COP Umbulharjo, Sawahan, Malioboro, Depok, Mataram. Di Yogyakarta, memang lebih memilih istilah COP daripada Polmas, sedangkan aktifisnya menyebut diri sebagai aktifis COP. Para aktifis COP tersebut, diberdayakan oleh Pusham UII Yogyakarta. Di Cirebon, posisi Pusham UII sama halnya dengan LSM Fahmina-Institute yang juga telah mendirikan dua FKPM di tiga wilayah Cirebon, yaitu FKPM Tridaya di tiga desa yang ada di Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon dan FKMC di Ciborelang Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka. FKPM bentukan Fahmina lebih banyak menangani persoalan perdagangan orang (trafiking) dan persoalan perempuan secara umum. Sedangkan COP bentukan Pusham UII lebih kepada isu yang muncul di wilayah DIY. Tidak se-ekstrem trafiking memang, tetapi lebih kepada persoalan structural, sporadic, dan juga sisitematis. Ada juga program jangka panjang seperti yang berkaitan dengan penanganan Narkoba. Karena Polmas sendiri didesain sebagai kebutuhan masyarakat, maka harus tanggap dengan isu-isu sosial aktual yang kini tengah hangat dibicarakan, baik dalam agenda lokal maupun internasional. Di beberapa tempat, isu yang muncul tak semata soal Kamtibmas dalam pengertian selama ini, tetapi mengangkat isu-isu humanis lainnya seperti pendidikan,
Edisi 22
Agustus 2009
fokus politik hingga trafiking. Seperti di Yogyakarta, Pusham UII, juga mengarahkan program Polmasnya untuk pemulihan pasca bencana gempa. Polisi dan masyarakat yang telah terjalin kerjasama, bahu-membahu mengembalikan Yogya pasca gempa dari puing-puing bencana. Aktifis COP itu muncul dari berbagai wilayah dan kawasan. Di Yogyakarta memang menerapkan FKPM kawasan dan wilayah. Para aktifis FKPM ini, tidak hanya mendapat laporan dari polisi. Sering juga, persoalan yang muncul, hanya limpahan persoalan. Berikut adalah pelajaran berharga dari pengalaman aktifis COP di Yogyakarta, beberapa di antaranya COP Umbulharjo dan Malioboro. Memulai dari Rasa Sosial yang Tinggi Merangkul dan mempersatukan masyarakat, akan menjadi sulit jika tidak dimulai dari rasa sosial yang tinggi. Setidaknya demikian salah satu pengalaman sejumlah aktifis COP di Yogyakarta. Karena dalam perkembangannya, mempertemukan dan mempersatukan polisi dan masyarakat adalah hal tersulit. Namun seiring berjalannya waktu, lama-lama semakin cair. Bahkan kini sudah lama menerapkan patroli bersama, antara polisi dan aktifis COP. Dalam hal ini tetap disesuaikan dengan karakter masing-masing. Sampai sekarang COP di Malioboro sering sekali dijadikan sebagai studi banding Akademi Kepolisian (Akpol). Seperti dalam penyelesaian konflik, selama ini selalu melibatkan polisi, seperti kasus tawuran. Jadi banyak kasus yang dilimpahkan kepada FKPM, sehingga selesai tanpa harus melaporkannya kepada polisi dan tidak harus melalui jalur hukum. Karena yang diinginkan masyarakat bukan hanya masalah keamanan, tapi juga kenyamanan. Sosialisasi COP kepada masyarakat Yogyakarta, selama ini memang lebih banyak melalui media. Adapun terkait ketersediaan sumber dana, Pusham UII dalam hal ini sebagai sumber anggaran terbesar. Artinya bagaimana agar masyarakat bisa
berperan serta. Serta untuk sosialisasi dalam menggiring masyarakat. Menurut Sjamsudjiiwati atau yang biasa dijuluki bu Ketik, salah satu aktifis FKPM Malioboro, COP Malioboro dilaunching oleh Gubernur DIY, Kapolda dan Walikota. “Karena kita mendapatkan anggaran dari dana APBD senilai 180 juta. Pokja COP ada dari masyarakat, pengusaha Toko, dll, tergabung dengan wilayah COP. Kita bersama-sama, karena selalu mengadakan patroli bersama,” tutur Bu Ketik dengan logat Yogyakartanya. COP Malioboro juga bermitra dengan Trantib. Tak jarang mereka berpatroli mulai dari ujung Stasiun Tugu dan Selatan Yogyakarta, agar bisa menertibkan. Mereka berjalan bersama-sama menyisir sepanjang jalan Malioboro. Mereka lebih memahami. Setelah itu, ketidaktertiban di Malioboro pun menurun drastis. Komunikasi yang Sehat, Trust, Transparansi, dan Power Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Selain itu dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi yang baik sangat penting untuk berinteraksi antar personal maupun antar masyarakat agar terjadi keserasian dan mencegah konflik dalam lingkungan masyarakat. Dalam hubungan bilateral
Edisi 22
Agustus 2009
antar negara diperlukan juga komunikasi yang baik agar hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar. Dengan adanya komunikasi yang terjalin dengan baik, maka timbul kerjasama dalam berbagai bidang yang mana berdampak positif bagi kedua negara tersebut. Sebaliknya, terjadinya kesalahan dalam salah satu proses komunikasi (Miss Communication), akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan atau misi yang hendak dicapai. Komunikasi sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan. Hal inilah, yang menjadi kunci suksesnya COP Yogyakarta dalam menyelesaikan suatu persoalan. Seperti ditegaskan salah satu staf Presidium Pusham UII. Menurut La Ode Irham, awalnya respon polisi sangat kurang terhadap program COP, sehingga pada dasarnya hampir sama dengan Polmas di daerah lainnya. Namun menurutnya, ada tiga hal yang harus dijalankan oleh Pokja. Pertama, adanya komunikasi yang sehat. Kedua, trust (membangun kepercayaan). Ketiga, transparansi (jangan ada yang ditutup-tutupi). “Jadi, semua harus terbuka agar Polsek mempunyai respon yang kuat. Polisi harus ditujukan sebagai pelindung. Ini agak terkait dengan respon yang kurang. Kita punya metode, memberikan pendidikan public ke masyarakat, tentang HAM, hukum, serta peran serta masyarakat itu sendiri, kita berikan peran kepada mereka,” paparnya. Selain ketiga hal tersebut, La Ode juga menambahkan, FKPM harus memiliki power yang kuat di kepolisian. “COP itu sebenarnya bukan bentukan dari polisi, tapi dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Kalau FKPM dipertegas oleh Perkap 37/1998. Jadi solusinya, komunikasi untuk menjalin kedekatan. Awalnya, berikan satu pertemuan. kalau bisa, hadirkan Kapolsek-nya. Selain itu, anggota FKPM juga harus memiliki Power yang kuat di kepolisian.” Eksekusi di lapangan, lanjutnya, itu yang paling penting. Kebetulan saat itu di kepolisian-nya berpikir baik dan reformis, sehingga berjalan baik. Power itu penting dalam mempersatukan masyarakat dan kepolisian. “Sehingga Pokja diperkuat dulu. Pada dasarnya polisi juga suka dengan masyarakat. Jadi, ada pertemuan dan follow up setelah itu. Babin biasanya tidak bisa mengambil kebijakan, jadi seharusnya polisi yang harus pro Aktif. Polisi harus pro Aktif, kalau tidak, maka diganti saja!” tandasnya. Komunikasi yang sehat juga diterapkan oleh FKPM Umbulharjo. Seperti diakui Sunarno, Ketua FKPM Umbulharjo, dalam proses menyelesaikan sebuah persoalan, harapannya adalah bagaimana agar mudah melakukan koordinasi. Karena persoalan bisa terjadi lintas Kelurahan.
Berdasarkan catatan Bambang, Wakil Ketua FKPM Umbulharjo, kini FKPM Umbulharjo telah menyelesaikan 20 macam persoalan yang muncul di masyarakat. Di antaranya: 1) Peristiwa dalam Pemilihan Legislatif, COP memfasilitasi agar persoalan segera diselesaikan. 2) Persoalan penanganan limbah. 3) Persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 4) Persoalan pertengkaran antar warga. 5) KNS. 6) Menangani pedagang kaki lima (PKL) di trotoar, seperti terjadinya penganiayaan. 7) Menangani kafe dan billiard plus-plus. 8) Menangani persoalan lingkungan. 9) Menangani persoalan di hotel. 10) Menangani persoalan kekerasan antara orang pribumi dan anak kos. 11) Persoalan pengamen jalanan yang mengamen di kaki lima. 12) Menangani persoalan Pribumi dan Deph Collector barang antik (pribumi dan preman bali). 13) Menangani persoalan sertifikat ganda.14) Menangani perpakiran ijin. 15) Menangani pencurian sepeda motor sampai ke Subang. 16) Menagani penjualan Miras. 17) Ada institusi dari pemerintah. 18) Dibentuknya mandat oleh walikota, tentang tempat esek-esek. 19) Persoalan terkait tempat untuk ibadah. 20) Menangani persoalan kontrakan rumah. “Dalam komunikasi kita itu fleksibel dan tidak formal. Kita adalah mitra masyarakat dalam hal apapun. Tapi, sebagai pribadi kita jangan sampai punya masalah. Jangan hanya memberi contoh, tapi juga harus menjadi contoh. Terutama sebagai pengurus COP, minimal berbuat sebaik mungkin. Ada FKPM kawasan dan kewilayahan. FKPM ini seirama dengan COP. Sehingga, akar permasalahan itu bisa kita ketahui.” Berfikir Kreatif Sebagai aktifis FKPM, selain harus memiliki sensitifitas terhadap persoalan sosial dan kemanusiaan, juga memiliki kreatifitas dalam berorganisasi. Kreatifitas di sini dalam hal menciptakan dan mengembangkan sebuah program, dan bagaimana cara mendatangkan dananya. Hal ini juga dilakukan oleh FKPM Umbulharjo. Contohnya dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Terkadang tidak hanya pikiran dan tenaga kita saja yang dibutuhkan, karena dalam beberapa hal juga memerlukan dana baik sedikit maupun banyak. Menurut Bambang, ini merupakan salah satu upaya mengantisipasi birokrasi untuk menyelesaikan masalah. “RT/RW memang memiliki aturan, maka kita harus menyesuaikannya. Jadi kita juga harus faham, ada pembelajaran dari situ. Pelajari dan Kreatif. Pendanaan memang dibutuhkan, lalu bagaimana agar dana datang tanpa kita minta. Kita harus memberdayakan anggota dan pengurus, kita mencoba mendata toko-toko atau usaha apa yang ada di lingkungans sekitar kita. Misalnya, di situ ada perusahaan apa? warung apa?
Edisi 22
Agustus 2009
warung makan apa?, lalu kita kumpulkan datanya, kita datangi, kita rapatkan bersama bagaimana caranya,” jelasnya. Karena Pokja keamanan, lanjut dia, maka kita konsentrasikan hingga akhirnya ada satu kuesioner. Setelah kita kumpulkan, baru kita ada pembekalan setelah itu ada keputusan bersama, seperti untuk kontrol. “Jadi, bagaimana berupaya agar masyarakat merasa terlindungi. Kita bekerja dulu, baru kita dapat keuntungannya. Ini yang namanya kreatif. Kita buat proposal. Jadi, jangan terus berharap dibekali terus oleh Pusham UII. Jangan menunggu diperintah saja. Karena sejatinya, menjadi aktifis sosial itu amanah, jadi kita harus bergerak tanpa pamrih,” ungkap Bambang. Kebersamaan, Keterbukaan, dan Pemerataan. Meskipun dalam lingkup FKPM, namun dalam hal anggaran tetap harus ditata. Harus teta adanya kebersamaan, keterbukaan, dan pemerataan. Setidaknya, upaya tersebut yang dilakukan COP Umbulhajo agar mampu bertahan dan menghalau persoalan internal. COP Umbulharjo terdiri dari FKPM se-Kecamatan Umbulharjo. COP Umbulharjo merupakan pusat pemerintahan, di dalamnya ada pasar dan sekolahsekolah. Sementara ini, yang aktif ada 30 orang anggota. Setiap sebulan sekali, COP Umbulharjo mengadakan rapat koordinasi internal dan eksternal. Rapat koordinasi eksternal dilakukan setiap akhir bulan. Sedangkan rapat internal sifatnya lebih kondisional. “Kita sering mengadakan rapat, untuk menjalin kerjasama. Selama ini masih difasilitasi oleh Pusham UII. Dana disupport oleh Pusham, dengan uang senilai 300 ribu rupiah per bulan dan Koran,” ungkap Bambang. Dalam berorganisasi, COP Umbulhajo mengutamakan keterbukaan. Karena bagi mereka, organisasi sosial, jika ada uang malah pecah. Bahkan dalam hal kaderisasi, mereka tetap terbuka. “Dalam hal keuangan, kita selalu mencoba terbuka dan merata, agar semua kebagian. Di Umbulharjo, meski sudah ada Perda kos-kosan baik, tapi realisasi di masyarakat masih kurang. Seperti harus ada induk semang, harus ada ruang tamu. Jadi belum menyentuh asusila, sehingga akan didiskusikan lagi. Dalam hal ini, harus ada kerjasama polisi, Pemkot, dan masyarakat. Termasuk pengamanan Perda.” Tertib Administrasi dan Dokumentasi Administrasi adalah suatu proses kegiatan secara
bersama atau menyeluruh mengenai perencanaan, pengkordinasian, serta pembinaan dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia baik materil, personal, maupun fasilitas yang lain dalam usaha mencapai tujuan. Meski bukan organisasi besar, bagi COP Umbulharjo, persoalan administrasi harus tetap dipikirkan. Karena administrasi merupakan komponen yang sangat menentukan dalam suatu organisasi. Keberhasilan dan kemajuan organisasi juga dapat dilihat dari penyelenggaraan administrasinya. “COP dan FKPM, satu kata yang bekerjasama dalam menangani masalah sosial. Belum berarti semua masalah diselesaikan secara kekeluargaan atau persuasive. Kami juga selalu berharap masyarakat dapat langsung berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan. Apalagi masalah terus bermunculan, sehingga penting bagi kami memikirkan masalah administrasi dari hal yang terkecil, begitupun masalah dokumentasi. Bagaimana caranya agar persoalan yang ada itu terdata dan terdokumentasikan. Jadi jangan sampai mengabaikan masalah dokumentasi,” papar Bambang. Dalam hal rekrutmen pengurus baru, FKPM Umbulharjo juga tidak asal dalam merekrut. “Ada tiga hal yang penting dipertimbangkan. Yaitu: mau, ada waktu, dan mampu. Karena ini kegiatan sosial. Kita juga ada kode etik dan ada batasan-batasan. Kode etik kami berdasarkan Skep dan tambahan dari warga (FKPM). Kalau COP ada kode etiknya. Rekrutmen juga kita ada batasan. Setiap rapat, itu sangat mengikat. Yang tidak mau, itu sangat kelihatan. Jadi itu bisa kita baca yang tidak komitmen. Dalam rekrutmen juga, kita ada jurnalis, biodata, sekaligus surat pernyataan.”
Edisi 22
Agustus 2009
Pelajaran Berharga dari Surabaya Usai menimba pengalaman dari Yogyakarta, kami pun melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Hari pertama di Surabaya, kami berkunjung ke kantor Pusham Unair Surabaya, yang bertempat di Jl Karang Menur IV No 14 Surabaya. Seperti halnya Fahmina-Institute Cirebon dan Pusham UII Yogyakarta, Pusham Unair Surabaya juga mendirikan FKPM dalam program Polmas ini. Pusham Unair sendiri, wilayah kerjanya di Jombang, Bangyuwangi, dan Surabaya. Dari Pusham Unair, kami diperkenal dengan sejumlah aktifis FKPM yang didirikan oleh Pusham Unair yang kini telah berumur sekitar lima tahunan. Pertama kami berkunjung ke FKPM Putat Jaya di kawasan Jarak sampai Dolly. Kemudian di hari kedua, kami berkunjung ke wilayah Semampir. Menurut Lutfi, Program Officer (PO) Pomas Pusham Unair, apa yang dialami COP di Surabaya tidak jauh berbeda dengan di daerah lainnya. Awalnya selalu ada kendala dalam sosialisasi. “Apalagi semua kegiatan dihitung dengan uang, ini menjadi kesulitan tersendiri bagi kami. Seperti di desa Kutajaya. Awalnya kami tidak langsung berbicara tentang Polmas, tapi dengan diskusi panjang di luar wacana Polmas. Sehingga sekitar satu tahunan mereka mulai berfikir kalau mereka membutuhkan Polmas. Karena kompleks lokalisasi itu sangat kompleks dan rentan terjadi trafiking. Mulai dari pendidikan, trafiking, KDRT, dan hak-hak lainnya yang tidak terpenuhi,” papar Agus. Dari situ kami menceritakan metoda yang cukup beragam, lanjutnya. Di Kutajaya juga kami menggunakan metoda drama untuk anak-anak. Kemudian di Semampir, yang merupakan wialayah transit dimana banyak hal yang tidak terorganisir. Apalagi penduduknya sangat padat. Masalahnya pun cukup kompleks, mulai dari persoalan KDRT hingga gizi buruk. “Jadi, Kamtibmas di sini tidak hanya ngomongin masalah keamanan, tapi sudah kemiskinan dan lain-lain. Persoalan structural yang sudah harus diselesaikan oleh negara. Kami juga mendirikan Pos Kesehatan dan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan untuk membicarakan gizi buruk.” Selain Putat Jaya dan Semampir, sebenarnya masih ada beberapa FKPM di daerah seperti Wonokusumo,
Sudotopo, Petemon, Jakir Wonokromo, Rungkut, Menowo, dan beberapa daerah lain yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Sayangnya, karena keterbatasan waktu, kami hanya bisa berkunjung di dua FKPM, yaitu FKPM di Kawasan Putat Jaya dan Wilayah Semampir. Di sana kami disambut dengan hangat. Berikut adalah beberapa pelajaran berharga dari pengalaman kami di Surabaya. Mempersiapkan Data Sebelum Advokasi Sebelum melakukan advokasi, Pusham Unair
Edisi 22
foto: dok. fahmina
Agustus 2009
lebih dahulu melakukan pendataan. Hal itu dilakukan agar masyarakat memiliki persepsi tersendiri. Seperti yang pernah dilakukan di Kawasan Putat Jaya dalam pembuatan kartu Gakin, yang mendapatkan hanya mereka yang menerima kartu Gakin. Dalam perkembangannya, kini semakin berkurang. “Di sana yang bergerak pranata-pranata formal yang telah menjadi dunia hitam dan terlibat dengan perijinan prostitusi. Dimana, menjadi Lurah itu menjadi rebutan dan mereka mau menghabiskan banyak uang. Institusi di tempat lain itu berwibawa dalam proses penyelesaian masalah, namun di sini malah berkurang fungsinya hanya dalam level administrasi. Di sana, kalau mau main (dengan PSK) itu mekanismenya pasca bayar (dibayar setelah melakukan). Sehingga, rentan untuk ditinggalkan,” jelas Agus. Meskipun ada lembaga khusus yang selalu konsen pada anak, perempuan, dan kesehatan. Masyarakat malas untuk mengecek kesehatannya. Padahal, adanya lokalisasi itu karena agar dapat dipantau. “Kita juga sering melakukan sosialisasi dalam peraturan perekrutan terhadap anak. Lama kelamaan, Pokja COP muncul di Jarak, karena mucikari di sana akan merasa banyak diancam.” Masalah kompleks juga terjadi di Semampir. Dimana sebagian besar masyarakatnya dari Madura. Secara administratif mereka tidak faham, mereka tidak pernah mau mengurus layanan-layanan administratif. Seperti untuk anak-anaknya dalam pengurusan akte kelahiran. Persoalan perebutan tanah orang juga tidak jarang terjadi, apalagi orang Madura memiliki filosofi
bahwa dimanapun tanah dipijak, maka bumi itu adalah bumi Allah. Begitupun persoalan gizi buruk, mereka tidak bisa menjaga asupan gizinya dengan baik. Bahkan pernah ada dua anak yang meninggal dunia karena gizi buruk dan tidak terekspos oleh media. Jadi, data juga penting, karena FKPM juga harus kritis. Menyelesaikan Persoalan Secara Gotong Royong Dalam menyelesaikan suatu persoalan, selama ini Pusham Unair juga selalu memunculkan stakeholder dalam menyelesaikan setiap persoalan. Sehingga selalu ada jalan keluar dengan melibatkan semua lembaga. Selain itu juga mampu mencairkan monopoli kekuasaaan agar tidak lagi diambil dari satu kekuasaan. Seperti pengalaman FKPM di Semampir dalam menyelesaikan persoalan gizi buruk. Mereka melibatkan perempuan, tetapi tidak dengan cara memaksa perempuan harus ikut, seperti PKK. “Jadi, kita tidak harus merekrut perempuan untuk menjadi aktifis dalam pemberdayaan perempuan. Dan tidak semua pencatat PKK di sana adalah pengurus COP, mereka sudah memiliki jaringan yang kuat. Dalam persoalan COP, semua persoalan mengaitkan semua lembaga,” ungkap Agus. Menurut Bambang Budiono, Direktur Pusham Unair, dalam menentukan prioritas kasus, diserahkan oleh masyarakat. “Jadi sesuai dengan yang ada di lapangan. Biasanya, memang lembaga yang disorot. Tapi kita tidak mengkonfrontasi, kita sama-sama mencari solusi. Jadi supaya tidak disalahartikan, maka mereka (stakeholder) harus ada di tengah-tengah forum. Ini menarik jika berdasarkan data dan pengalaman.” Dari Masalah Keamanan Hingga Kemanusiaan FKPM didewasakan oleh masalah. Kalimat tersebut sepertinya memang berlaku bagi FKPM yang ada di Surabaya. Mulai dari persoalan keamanan, KDRT, Trafiking, hingga kasus gizi buruk, telah mereka rasakan. Apalagi dalam menentukan alternatif persoalan, diserahkan langsung kepada masyarakat. Seperti kasus gizi buruk, muncul dari ibu-ibu PKK yang belum memiliki potensi untuk diungkapkan. “Memangkas jalur-jalur birokrasi terlalu rumit. Dari gizi buruk, kita bisa menangkap berbagai persoalan selain gizi buruk. Selain itu, ada kesenjangan budaya di Madura, jika menikah, mereka tidak faham harus memiliki buku nikah. Dari situ, kami mulai menyarankan agar mereka mau membuat buku nikah. Dalam hal ini, fungsi COP bukan hanya di keamanan saja, tapi juga sudah pada fungsi publik. Mau tidak mau kita membutuhkan semacam Agent of Change. Jadi bertahap, tunjukkan dulu aksinya dan kreatifitasnya. Masalah itu semuanya ada. Yang penting sensitifitasnya,” tandas Agus.(a5)
Edisi 22
Agustus 2009
10 laporan khusus
Kisah TKW Asal Cirebon
“Anak saya selalu bilang ingin pulang…”
Harapan Yanti (25) (bukan nama sebenarnya), tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Cirebon, untuk segera pulang ke rumahnya tak kunjung terpenuhi. Hingga akhirnya dia tidak lagi berdaya apapun. Dia meninggal dunia di rumah majikannya di Oman, Arab Saudi. Namun kapan tanggal maupun hari meninggalnya, tak satupun dari keluarganya mengetahui. Kecuali jenazahnya setiba di Terminal I Bandara Soekarno Hatta, pada 14 Mei 2009 lalu. Meski pihak keluarga almarhumah terkesan menutup-nutupi kematian Mur, kami (reporter Blakasuta) sedikit banyak mendengarkan curahan hati Mur (56), ibu kandung almarhumah Yanti. Edisi 22
M
ur terlihat begitu tegar, seakan telah memiliki firasat kematian putrinya. Tapi memang itulah yang diakui Mur. Dia memiliki firasat yang tidak menyenangkan akan kondisi putrinya. Apalagi terakhir kali menerima telfon interlokal dari Yanti. Sembari menggendong anak perempuan almarhumah, perlahan Mur menuturkan isi hatinya. “Dua mingguan sebelum Yanti pulang, dia telfon minta di-do’a-kan dan dicarikan air bening. Dia juga berkali-kali bilang ingin pulang karena sudah tidak sanggup untuk bekerja lagi. Namun karena kontraknya belum habis, maka majikannya masih menunda kepulangannya. Setelah itu kami usaha mencari air bening dan mendo’akannya. Berselang dua minggu kemudian, majikannya telfon bahwa dia sudah meninggal,”ungkap Mur yang sesekali menenangkan putri yang ditinggalkan almarhumah. Belum Jelas Sementara itu menurut Roni, kakak kandung almarhumah. Kabar meninggalnya Yanti bukan dari majikannya langsung. Melainkan dari temannya sesama TKW di Oman. Selama sekitar 19 bulanan
Agustus 2009
laporan khusus 11 menjadi TKW, Yanti dikabarkan sering sakit-sakitan. Roni juga mengungkapkan, kematian adiknya karena pendarahan akibat operasi sesar sebelum berangkat ke Oman. Karena harus melakukan tanggungjawabnya sebagai pekerja rumah tangga (PRT), maka luka bekas operasi tersebut rusak dan ketika dibawa ke rumah sakit sudah tidak tertolong lagi. “Tapi ketika kami melihat jenazahnya, kami tidak melihat bekas luka apapun. Jadi sampai sekarang penyebab kematiannya masih belum jelas. Pihak PT juga tidak pernah menjawab pertanyaan kami. Kami hanya disuruh diam dan segala hak-haknya akan dibereskan,” papar Roni yang juga mengungkapkan, jenazah Yanti
sempat tertahan selama 15 hari di Arab Saudi. Ketika ditanya berapa nominal yang sudah dibayarkan pihak kedutaan, Roni memilih untuk tidak mengungkapkannya. Hal itu dipilihnya karena tidak ingin mempermasalahkannya lagi, apalagi dari pihak kedutaan juga telah melarangnya untuk tidak mengatakan apapun pada pihak manapun. Kini, anak almarhumah diurus sendiri oleh Mur. Hal itu dikarenakan mantan suami Yanti tidak jelas di mana keberadaannya. Menjadi TKW di Oman merupakan kali kedua bagi Yanti. Setelah pulang dari keberangkatan pertamanya sebagai TKW, Yanti menikah dan melahirkan seorang anak perempuan yang kini akan berusia tiga tahun.
Satu bulan setelah melahirkan di rumah sakit karena harus operasi sesar, Yanti kembali bekerja sebagai TKW di Oman. Namun Yanti yang dikenal baik, ceria, mudah bersosialisasi, ini harus menerima kenyataan dicerai oleh suaminya. “Sebenarnya saya masih sedih, tapi mau bagaimana lagi. Dulu saya sudah melarang Yanti untuk berangkat lagi. Tapi dia memaksa, jadi saya hanya bisa merestui. Anaknya (anak Yanti) juga sampai sekarang masih takut sama bapaknya (suami Yanti), jadi sekarang diurus sama saya. Bapaknya pernah beberapa kali ke sini dan hanya memberi uang 50.000-100.000 rupiah,” tutur Mur ketika ditemui Blakasuta, pada Kamis (2/7/09). (a5)
momen
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI
H
ari ulang tahun Kemerdekaan ke-64 Republik Indonesia menjadi momentum penting untuk kembali memperkuat persatuan seusai penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden tahun 2009. Tahun ini, Hari Peringatan HUT Kemerdekaan 2009 yang digelar oleh Pemerintah RI mengambil tema besar ”Bersatu, Bangkit dan Maju”. Dalam pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengungkapkan agar sebagai bangsa memiliki tekad lebih bersatu lagi, kemudian bangkit dan maju. Hanya dengan persatuan bangsa, kita akan selamat dari berbagai ujian, lalu bangkit menuju kehidupan bangsa yang lebih aman, damai, dan sejahtera. SBY juga menambahkan, seusai penyelenggaraan pemilu menjadi momentum yang tepat untuk menguatkan persatuan karena pada saat pemilu, kompetisi dan perbedaan pendapat di antara berbagai lapisan masyarakat kerap tak terhindarkan. Setelah pemilu, dibutuhkan kembali kerja sama untuk membangun. Sebelumnya, pagi hari dalam rangkaian peringatan HUT Kemerdekaan RI, Presiden menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, dan Bintang Budaya Parama Dharma kepada 42 penerima. Peneliti senior Soegeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit, di Jakarta, kemarin menegaskan, hingga 64 tahun usia kemerdekaannya, Indonesia belum memiliki mimpi besar yang mampu mengarahkan bangsa menuju kejayaannya. Menurut
Foto: http://rosodaras.wordpress.com
dia, mimpi besar itulah yang akan menyemangati anak bangsa untuk menjadi bangsa yang unggul dan setara dengan bangsabangsa lain. Untuk mewujudkan mimpi besar dan perubahan atas paradigma pembangunan, program kebijakan yang dibuat pemerintah, khususnya pendidikan, harus diarahkan agar mampu berkompetisi dengan negara-negara lain. Penguasaan atas nanoteknologi, bioteknologi, teknik informasi, dan neurosains menjadi sebuah kemutlakan. Sayangnya, kesadaran bangsa Indonesia akan mimpi besar dan perubahan paradigma pembangunan belum terwujud. Upaya penanggulangan kemiskinan dan kebodohan sebagai persoalan mendasar bangsa hingga kini masih sebatas retorika. Pola pendidikan yang dibangun justru mewujudkan kastanisasi pendidikan dan mempersempit peluang generasigenerasi cerdas yang tak mampu secara ekonomi untuk berkontribusi besar membangun bangsa. (http://kompas.com)
Edisi 22
Agustus 2009
12 opini
foto: http://sikat.or.id
Raperda Anti Trafiking dan Polmas,
Nasibmu Kini... Oleh Marzuki Wahid (Direktur Lembaga Fahmina Cirebon)
P
ada hari ke-6 bulan Puasa, 27/08/2009, kami bersama Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (Jimat) audensi dengan Pemerintah Kabupaten Cirebon, Wakil Bupati beserta seluruh jajarannya, terkait dengan problema trafiking di daerah Kabupaten Cirebon. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) anti trafiking yang telah kami usung dan usulkan sejak tahun 2005 akhirnya [baru] direspon secara positif. Pemerintah berjanji akan mengusulkan Raperda anti trafiking—sebagaimana draft kami--kepada DPRD pada anggaran tahun 2010. Ini satu hal yang menggembirakan. Namun demikian, beberapa saat sebelum audensi, sebagai warga negara hati saya ’menggugat’: “Apa sih makna penting keberadaan Pemerintah dan DPR bagi rakyat? Sekumpulan orang terhormat yang memperoleh fasilitas mewah dari
uang rakyat itu beberapa waktu lalu seolah ’cuek bebek’ dengan kenyataan trafiking yang terus menggerus korban rakyat. Sensitifitas mereka seakan mati, buta dengan kenyataan trafiking. Berulang kali dialog, hearing, dan lobby dilakukan ke sejumlah anggota DPRD, Fraksi DPRD, instansi Pemerintah, namun mereka tetap bergeming menganggap bahwa Raperda anti trafiking belum penting. Ini sungguh aneh bin ajaib! Berdasarkan data Jimat sejak tahun 2002, sedikitnya terdapat 775 kasus trafiking terjadi di Kabupaten Cirebon. Jika trafiking yang telah menelan korban rakyat sebanyak itu masih dianggap belum penting untuk dibuatkan Perda—instrumen hukum pencegahannya, hatiku jadi semakin meronta: lalu apa sebetulnya yang ada dalam cairan otak-politik mereka di dalam ’gedung mewah’ di Sumber itu? Bukankah pencegahan
Edisi 22
Agustus 2009
trafiking melalui Raperda merupakan bagian dari kewajiban Pemerintah dan DPRD untuk melindungi warga negaranya dari kejahatan kemanusiaan yang kejam itu? Raperda Instrumen Hukum yang Tepat Terus terang, saya sempat kesal dan kecewa dengan sikap Pemerintah dan DPRD yang seolah menutup mata dengan kegagalan mereka melindungi warganya dalam bekerja, menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai, mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan, sehingga sebagian rakyat terjebak ke dalam jaring-jaring setan pelaku trafiking. Pemerintah dan anggota DPRD selaku pemegang amanat rakyat semestinya tanggap, peduli, dan prihatin dengan kondisi rakyat yang terus terjerat kemiskinan hingga
opini 13 masuk ke dalam kubangan trafiking. Kepedulian dan keprihatinan mereka seharusnya diwujudkan dengan membangun sistem dalam bentuk kebijakan daerah yang menjamin, melindungi, dan memenuhi hakhak warga, baik dalam bekerja, bermigrasi, maupun pelayanan publik yang lain. Perda anti trafiking atau dengan nama sejenis adalah instrumen hukum yang tepat bagi daerah (kabupaten/kota) untuk menanggulangi, mencegah, menangani, dan mengurangi korban trafiking. Perda, selain wujud komitmen Pemerintah dan DPRD, juga dapat memaksa seluruh komponen (Pemerintah Daerah dan masyarakat) untuk bersungguh-sungguh melakukan penanggulangan secara sistematis dan terencana segala bentuk tindak kejahatan perbudakan moderen lintas negara yang terorganisir itu. Pelanggaran HAM karena Mengabaikan Sering disederhanakan bahwa trafiking seolah hanya masalah ketenagakerjaan dan perburuhan migran. Sebetulnya tidak salah, tetapi pemahaman itu tidak tepat, karena tidak menyentuh substansi permasalahan yang mendasar. Trafiking bisa terjadi di dalam atau luar negeri dengan berbagai modus operandinya, juga tidak selalu dalam hubungan ketenagakerjaan. Permasalahan mendasar dari trafiking sesungguhnya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam rangkaian tindak kejahatan trafiking, hak kemerdekaan seseorang diberangus, hak keamanan dan keselamatan tidak tersedia, hak untuk hidup dan memperoleh kehidupan yang layak terancam, eksploitasi dan kekerasan terjadi. Ini semua adalah pelanggaran HAM. Pengabaian jaminan, perlindungan dan pemenuhan HAM oleh Pemerintah
adalah pelanggaran HAM itu sendiri. UUD 1945 Pasal 28I Ayat 4 dan 5 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Untuk kabupaten/kota, Perda adalah instrumen peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Pentingnya Peran FKPM Dalam konteks sistem keamanan dan ketertiban, polisi dan masyarakat selalu menempati posisi strategis. Maraknya tindak kejahatan trafiking merupakan indikator rapuhnya sistem keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Dari sini timbul pertanyaan juga: apa sih yang dilakukan polisi dan masyarakat dalam FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat) sehingga memungkinkan pelaku trafiking secara bebas bergentayangan mengais-ngais korban di dalam ’lumpur kemiskinan dan kebodohan’? Mengapa polisi dan masyarakat kita pertanyakan? Sebab, mereka adalah benteng sistem keamanan dan ketertiban kita. Sekali benteng ini bocor, maka kerawanan sosial menjadi aura kecemasan masyarakat. Renteng gandeng polisi dan masyarakat sangat penting untuk mendeteksi ulah licin dan licik pelaku trafiking di tengah arus gerak masyarakat. Pelaku trafiking pada umumnya berbentuk sindikasi kejahatan yang rapih, seolah legal, sehingga menggiurkan banyak orang yang segera ingin lepas dari derita dan nestapa kemiskinan. Kepedulian antarsesama, kerjasama polisi-masyarakat, kewaspadaan terhadap gerak-gerik
Edisi 22
Agustus 2009
kejahatan, dan pengembangan sikap hidup sederhana, merupakan sejumlah ”kata kunci” penting untuk penanggulangan kultural kejahatan trafiking. Sementara Perda, komitmen Pemerintah dan DPRD, serta kesungguhan penegakan hukum adalah instrumen politik yang niscaya bagi upaya sistematis dan strategis penanggulangan menyeluruh trafiking. Akan tetapi, menuntut peran polisi dan masyarakat belaka dalam penanggulangan trafiking, tanpa memiliki payung hukum yang kuat di tingkat daerah (Perda) serta nihil dari komitmen Pemerintah dan DPRD adalah upaya yang rapuh. Ini ibarat menjaring belut di dalam lobang air keruh dengan tangan telanjang, tanpa jala dan alat penangkap. Hasilnya bisa diduga, belut yang licin itu akan mudah lolos dari cengkeraman tangan kosong. Apalagi para pelaku kejahatan trafiking yang lebih licin, lebih licik, dan terorganisir secara canggih laksana mafia ”pembudakan moderen di tengah kemerdekaan global” tentu lebih canggih untuk lolos. Tidak ada harapan lain untuk menanggulangi kejahatan kemanusiaan trafiking di daerah, kabupaten/kota kecuali komitmen Pemerintah dan DPRD diwujudkan dalam Perda anti trafiking dan konsisten melaksanakannya. Perda ini adalah payung hukum bagi daerah untuk mengoptimalkan dan mensinergikan unsur pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat dalam penanggulangan trafiking secara sungguh-sungguh, menyeluruh, dan melibatkan multi-pihak. Kami menunggu janji Pemerintah Kabupaten Cirebon bahwa pada tahun 2010 Perda anti trafiking akan telah disahkan dan efektif dilaksanakan. Mari kita dukung Pemerintah dan DPRD ’menggolkan’ Perda anti trafiking! []
14 sosok
Sunarno:
Hobi Aktif di Masyarakat
L
foto: dok. fahmina
aiknya pejabat tinggi yang memiliki segudang aktifitas, itulah yang dirasakan Sunarno (65th) semenjak menjadi aktifis FKPM Umbulharjo. Apalagi kini, posisinya sebagai Ketua FKPM Umbulharjo membuatnya harus tanggap pada persoalan di sekitarnya. Tapi memang benar adanya. Setiap detik yang dimilikinya hanya untuk masyarakat. Dia begitu sibuk wara-wiri dalam setiap pertemuan di masyarakat. Sebagai pensiunan, biasanya orang menghabiskan waktu untuk istirahat tenang bersama keluarga atau menekuni hobinya. Tapi dia memilih mengabdikan dirinya pada Masyarakat. Sehari-harinya, seakan tak ada waktu untuk berkumpul dengan keluarganya. “Tapi keluarga saya terus mendukung, terutama isteri. Menjadi aktifis masyarakat merupakan hobi saya. Karena ini hobi, maka saya sungguh sangat menikmati aktifitas ini. Jadi faktor keluarga sangat penting,” ujarnya sumringah. Sosok yang akrab disapa Nano ini, juga merelakan halaman depan rumahnya sebagai tempat pertemuan FKPM Umbulharjo. Dalam perekrutan pengurus baru FKPM Umbulharjo, Nano juga menerapkan tiga hal seperti pengalaman yang pernah dirasakannya. “Dalam perekrutan, kami menekankan tiga hal, yaitu mau, ada waktu, dan mampu. Karena ini kegiatan sosial. Memang belum terwujud sepenuhnya, tapi kami akan memulainya. Jika hanya memiliki kemauan tetapi tidak ada waktu, maka belum bisa. Tidak ada waktu di sini, maksudnya tidak fokus. Sedangkan kami membutuhkan mereka yang benar-benar berkomitmen,” paparnya ketika ditemui di sela-sela kunjungan Studi Banding COP Yogyakarta dan Surabaya. Di tengah-tengah obrolan, Nano juga seakan ingin menunjukkan kehidupannya yang kian berarti bagi masyarakat.(a5)
Edisi 22
Agustus 2009
sosok 15
Kartono:
Bagai Kepompong
foto: dok. fahmina
K
artono merupakan sosok yang telah berhasil melalui fase kepompong dalam kehidupannya. Namun bukan sebuah proses merubah ulat menjadi kupu-kupu. “Kepompong”-nya adalah merubah dirinya dari seorang mucikari di kompleks pelacuran Dolly hingga menjadi aktifis sosial kemanusiaan. Semua itu berawal dari pertemuan-pertemuan yang pernah dilakukan Pusat Studi HAM (Pusham) Unair di Kantor Kelurahan Putat Jaya, Surabaya. Hingga akhirnya dia merasa terketuk pintu hatinya untuk menjadi bagian dari penyelesai masalah (problem solver) di lingkungan sekitarnya. Apalagi persoalan di kawasan Jarak-Dolly sungguh kompleks. Mulai dari persoalan kesehatan hingga kekerasan terhadap perempuan pekerja seks komersial (PSK). Namun merubah diri bukanlah proses yang mudah dan singkat. “Di awal-awal, saya masih belum bisa melepas usaha saya sebagai mucikari. Jadi saya nyambi menjadi aktifis FKPM. Hingga akhirnya saya mulai melepasnya dan mengabdikan diri melayani masyarakat sebagai aktifis sosial,” ungkapnya yang mengaku sangat berterima kasih pada Pusham Unair yang telah memberdayakannya. Kini dia dikenal sebagai single fighter di kalangan teman-temannya sesama mucikari. Dia pantang menyerah, juga getol memerangi perdagangan anak. Kini selain sebagai aktifis COP, dia juga memimpin LSM Mitra Baca Anak. Berkat kegigihannya, satu persatu sejumlah orang bergabung dengannya menjadi aktifis COP di Putat Jaya. Melalui COP inilah, Kartono berhasil membangun kesepakatan antarpengusaha hiburan di Putat Jaya dan sekitarnya. Di antaranya agar mereka tidak memperkejakan anak dan perempuan di bawah umur 20 tahun. Sanksinya, jika melanggar bisa dipolisikan dan tempat usahanya ditutup.(a5)
Edisi 22
Agustus 2009
16 srikandi
Sjamsudjiwati
“Kesulitan Saya, Mengetuk Hati Nurani…” Konon, di sekitar pasar Bringharjo dan Malioboro, perempuan yang akrab disapa bu Ketik ini tak pernah luput dari perhatian para pedagang. Sosoknya sangat dihormati, terutama para ibu-ibu pedagang pinggiran Malioboro. Bu Ketik sendiri tak jarang merasa risih dengan perhatian itu. Mulai dari sapaan, jabat tangan, hingga diajak makan gratis. Laiknya selebritis, inilah yang terkadang dirasakan bu Ketik. Lalu, siapa sebenarnya bu Ketik?
B
u Ketik adalah salah satu aktifis community oriented policing (COP) di kawasan Malioboro Yogyakarta. COP Malioboro merupakan salah satu COP yang diberdayakan oleh Pusat Studi HAM (Pusham) UII Yogyakarta. Dia mengaku hanya seorang ibu rumah tangga biasa, namun kepeduliannya terhadap persoalan sosial, membawanya menjadi sosok yang begitu berarti bagi banyak orang. Kiprahnya sebagai aktifis COP, juga dipercaya mewakili Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dalam program Polmas atas kerjasama Markas
Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) dan Japan Internasional Coorperation Agency (JICA) 10-22 Juli 2008. Keberhasilan COP dalam membangun citra “aman” di Malioboro, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan di balik keberhasilan COP Malioboro, ada tangan tangguhnya yang pantang menyerah. Rasa “aman” yang dimaksudnya, tidak sebatas dirasakan para pengunjung dan pembeli, tapi juga dirasakan oleh para pedagang yang ada di Malioboro. Para pedagang yang dimaksudnya, pun sangat Edisi 22
Agustus 2009
banyak ragamnya. Mulai dari para pengusaha dengan kiosnya, pedagang kaki lima, asongan, jasa parkir, dan pedagang lainnya . Kesulitan terbesarnya adalah menyatukan perbedaan dan mengetuk hati nurani masyarakat. Menyamakan Persepsi Menurut istri dari Muhammad Agus Salim ini, awalnya sangat sulit menyamakan persepsi di kalangan warga Malioboro. Apalagi sebelum COP muncul, sudah ada celah kontradiktif antar-kelompok. Dari sinilah Pusham UII kemudian mulai memberikan pembinaan hingga
srikandi 17 persoalan kontradiktif yang terjadi antar-kelompok kian berkurang. “Dari kekurangan-kekurangan itu, rekan-rekan saya mulai mempelajari. Bahwa timbulnya kejahatan, itu tidak selalu karena kegagalan polisinya, tapi dari masyarakat-nya sendiri. Sehingga dari Pusham mulai memberikan pelajaran tentang rasa aman. Dari situ, kami mulai mendudukkan polisi pada tugasnya yang lebih spesifik. Ini dilakukan secara terus menerus,” paparnya ketika ditemui pada Studi Banding COP Yogyakarta dan Surabaya. “Awalnya kita juga melakukan pertemuan, mereka yang kita undang adalah ketua paguyuban di Malioboro. Mulai dari angkringan, pengamen, pengusaha hotel, penjual, dan tukang becak. Dan ternyata dari masing-masing paguyuban banyak sekali persoalan. Dari situ, mereka mulai bergabung dengan COP,” lanjutnya. Upaya menyamakan persepsi, juga dilakukan dengan memaparkan setiap permasalahan. Hingga akhirnya setiap persoalan mulai terkuak satu persatu. Munculnya COP juga kian menyadarkan
masyarakat agar mengetahui, bahwa untuk mengamankan itu tidak hanya diri sendiri, tapi juga lingkungannya. Dari situ, masyarakat mulai melakukan semacam kesepakatan paguyuban. Hingga berlanjut dengan melakukan patroli rutin bersama dengan dinas kepolisian, pariwisata, Satlantas dan COP. “Karena sebelumnya, meskipun disebabkan karena persoalan sepele, tetapi mampu menimbulkan citra negatif di Malioboro. Contohnya, jangan makan di emperan Malioboro karena harganya mahal dan lain-lain, itu adalah citra yang sulit dibuang. Dari situ kegiatan kita didengarkan Pemda,” jelas bu Ketik. Pernah Difitnah Di balik kesuksesan COP Malioboro, ternyata ada saja persoalan besar yang berdampak pada perpecahan anggotanya. “Saya mendapat fitnah yang luar biasa. Untung didukung anak-anak dan keluarga, saya semakin kuat. Tapi namanya organisasi, selalu ada perpecahan dan anggota Pokjanya sendiri,” ungkap bu Ketik mengawali kisahnya yang pernah difitnah terkait penggunanaan bantuan dana
APBD untuk kegiatan COP. Terwujudnya bantuan dana tersebut, menurutnya dikarenakan kedekatan-kedekatannya dengan Dewan dan Polisi. Tapi prosedurnya tidak segampang yang dipikirkan. Sayangnya, setelah munculnya dana bantuan tersebut, muncul ketidaksolidan antarPokja. Ada Pokja yang tidak sepakat, sehingga ada perpecahan. “Dari pengalaman ini, saya berfikir bahwa untuk menjadi enak itu belum tentu enak. Hingga akhirnya dana bantuan tersebut kami kembalikan lagi. Dana APBD itu fitnahnya luar biasa.” Alhasil, kini bu Ketik lebih banyak mengandalkan persoalan dana dengan uang pribadi. Seperti ketika menggelar senam pagi bersama ibu-ibu kompleks, dia juga tak luput mensosialisasikan program-program COP. Dia juga memberikan doorprize atau hadiah pada peserta dengan dana bantuan dari suaminya. “Hal ini terus kami lakukan, karena kesulitan saya selama ini adalah mengetuk pintu hati masyarakat. Terutama berpartisipasi dalam setiap programprogram Polmas,” tegasnya.(a5)
Tertarik dengan isu-isu seputar perempuan dan Islam?
klik di:
www.fahmina.or.id Edisi 22
Agustus 2009
18 potensi
Menengok Perajin Gamelan Mini di Kondangsari Beber Kabupaten Cirebon.
Bertahan di Tengah Desakan Modernitas
foto: dok. fahmina
Gamelan-gamelan itu laris manis bak kacang goreng. Terutama gamelan berukuran mini. Awalnya, kami (reporter Blakasuta) mengira gamelan-gamelan itu hanya mainan biasa untuk anak-anak. Tapi ternyata memang asli gemelan, bisa membunyikan nada sesuai dengan kunci nada dari lagu yang kita inginkan. Hanya saja, sebagian besar bentuknya mini. Untuk sebuah gamelan yang bisa membunyikan nada do re mi dengan sempurna, harganya masih sangat terjangkau. Di desa Kondangsari, masih dijual senilai 3500 rupiah per gamelan, di tiga wilayah Cirebon dijual senilai 4000 rupiah per gamelan, sedangkan untuk luar tiga wilayah Cirebon dan luar Jawa, dijual senilai 5000 rupiah per gamelan. Ya, gamelan-gamelan itu sampai sekarang masih dibuat para perajin gamelan di Desa Kondangsari, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon. Edisi 22
K
ami juga sempat heran, ketika pertama kali melihat tumpukan gamelan yang siap dijual ke Kalimantan. Karena di tengah menjamurnya mainan-mainan modern, gamelan mini itu tetap bertahan. Uniknya, para perajin di desa Kondangsari tidak hanya membuat gamelan mini, mereka juga masih banyak yang membuat mainan jaman dulu. Para perajin itu bisa ditemukan di tiap rumah. Mainan yang pernah popular di tahun 1960-an. Seperti manuk-manukan (burung-burungan) yang terbuat dari kertas dengan hiasan plastik warna-warni emas perak, ada juga terompet dari kertas dan dihiasi dengan plastik warna-warni hingga terkesan meriah. Namun yang sampai sekarang masih mendatangkan untung besar adalah gamelan. Alat musik tradisional yang membunyikan nada do re mi. Kenapa kami menyebutnya nada do re mi, karena sebelumnya nada gamelan itu hanya dibuat khusus nada lagu-lagu Sunda dan belum dibuat khusus nada-nada lagu modern. Asal mulanya, alat musik ini hanya untuk menghantarkan wayang kulit. Kini, karena sengaja dibuat nada do re mi, maka lagu apapun bisa dibunyikan. Seperti diakui Oyo Darmaya (53), dibandingkan kerajinan lainnya, gamelan sudah dibuat perajin di Desa Kondangsari dari tahun 1956. “Tahun 1956 itu baru ada satu perajin, bernama Agustus 2009
19 pak Soleh. Kemudian tahun 1960-an sudah muncul tiga perajin handal. Mereka membuat dan menjualnya. Ini kan do re mi, salendro, jaman dulu lebih khusus untuk lagu-lagu Sunda. Salendro itu dari Jawa. Kalau yang dibuat sekarang ini do re mi, kalau dulu namanya lerog,” paparnya sambil menunjukkan bagian-bagian dari gamelan mini di depannya. Mandiri Seperti para perajin dan pengusaha gamelan lainnya, Oyo tidak hanya menjual gamelangamelan mininya ke Cirebon, kini telah merambah ke Jakarta dan luar Jawa seperti Palembang, Sumatra, dan Riau. Sebagai perajin sekaligus penjual gemelan, Oyo mengaku masih baru. Baru dua tahun. Karena sebelumnya dia hanya membuat saja, alias mengikuti orang tuanya. Dalam satu hari, kini dia dan beberapa pekerjanya mampu membuat 6000 do re mi. “Selama ini, selalu laku karena ini murah. Pasarannya juga semakin ramai. Untuk jaman sekarang memang aneh. Kita sering bikin 15 ribuan do re mi dan dalam sebulan tetap habis. Menjual mainan ini seperti menjual sayuran, karena selalu laris manis,” jelas Oyo. Kendati begitu, Oyo masih mengaku menjual secara mandiri. Maksudnya, dia mempekerjakan orang lain untuk menawarkan dagangannya hingga ke luar Jawa. Biasanya mereka akan kembali lagi setelah sebulanan dan terjual habis. Seperti di Kalimantan, Oyo mengaku dagangannya cepat laku. Hal itu diakuinya karena gamelan yang dijualnya memiliki keunikan tersendiri. Baik dari proses pembuatannya maupun bahanbahan yang dipilih untuk membuat gamelan tersebut. “Tapi mereka (para pekerjanya) juga tak jarang melebihi sebulan, jika kesulitan mendapatkan transportasi dengan biaya miring. Mereka
mau tidak mau harus menunggu sekitar 4-5 harian,” ujarnya. Diakui Oyo, selama ini peran pemerintah masih sangat mini. Terutama dlam upaya melestarikan produk budaya, terbukti belum adanya bantuan dari pemerintah baik modal maupun pelatihan. Oyo sendiri, pertama kali membuka usahanya, cukup dengan modal 3 juta. Tapi kini, dengan uang 3 juta belum bisa. “Sekarang harus 10 juta punya modalnya. 3 juta itu hanya cukup untuk 50 ribu brim. Karena 30 brim saja itu sudah 2 juta,” jelas Oyo. Butuh Ketrampilan Khusus Membuat gamelan mini yang dijual Oyo ternyata tidak segampang yang terlihat. Karena menurutnya, selain membutuhkan para perajin handal, mengolah bahan-bahannya juga harus teliti dan jeli. Seperti salah satu perajin yang disewanya, namanya Maman (21), warga Kondangsari. Dibandingkan perajin seumurannya, Maman tergolong perajin yang cukup handal menciptakan irama do re mi. Proses pembuatan dan bahan yang dipilihnya juga cukup unik. Contohnya, ketika membuat alas penyangga yang ditempatkan untuk menyangga besi, Maman membutuhkan waktu sekitar tiga tahunan agar handal membuat nada do re mi yang dibunyikan dari besi. Besi yang digunakan juga harus melalui proses pembakaran terlebih dahulu. Sedangkan sumbu sebagai alas besi tersebut, dibuat dari rumput (eri) khusus yang dibungkus dengan kertas semen. Bahan-bahannya, biasanya mereka beli di Cikalahang. Sekarang, sumbu-sumbu itu mudah didapat alias harganya mulai turun,
Edisi 22
Agustus 2009
karena masyarakat lebih banyak menggunakan gas. Maman mendapatkan bayaran senilai 100 rupiah per besi do re mi. Sehingga, jika dalam sehari kerja mendapatkan 400 besi, maka Maman mendapatkan upah senilai 40.000 rupiah. Selain Maman, juga ada pekerja yang khusus mengecat papannya, yang memaku besi ke papan, yang membakar besi, dan yang membunyikan irama. Menurut Maman, tingkat kesulitan membuat do re mi, ini tergantung bahannya. Kalau besinya lebih tebal, biasanya kurang pas nadanya. Cara pembuatannya juga harus rapih. Kalau tidak, maka tidak menarik. “Kalau membakarnya kelamaan, maka tidak enak bunyinya. Jadi harus dikontrol. Kalau pengen bisa, itu sekitar 3 tahunan agar bisa memadukan nada do re mi. Harus hapal juga bunyi do re mi-nya,” papar Maman. Maman juga mengaku tertarik menekuni ketrampilan membuat nada do re mi. Karena selain bayarannya lebih, juga ada kesenangan tersendiri. Tak banyak orang yang mampu memadukan nada do re mi. Sehingga, Maman tak jarang diminta bekerja oleh lebih dari satu pengusaha.(a5)
20 fatwa
Rubrik ‘fatwa’ ini diperuntukkan sebagai dialog anggota komunitas dengan para pegasuh pesantren di Cirebon, seputar isu sosial kemasyarakatan yang dihadapi oleh salah seorang pengasuh pesantren Arjawinangun, Kempek, Babakan dan Buntet. Untuk nomer ini, jawaban diberikan oleh KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.
Wajib Memberikan Perlindungan kepada Korban Perkosaan Pertanyaan: Assalamu’alaikum Wr Wb, Saya adalah aktifis salah satu organisasi di desa saya. Selama ini saya merasa prihatin dengan meningkatnya perempuan korban kekerasan, terutama perempuan pekerja migran sangat rentan terhadap tindak perkosaan. Anehnya, ketika mereka nyata menjadi korban perkosaan, mereka justru menerima perlakuan buruk dari masyarakat sekitar, majikan, tetangga, agen, pejabat, bahkan kadang teman sejawat. Perempuan korban perkosaan seringkali dicap sebagai orang yang genit, berdandan menor, dan dianggap sebagai penyebab dari kejahatan tersebut. Sehingga, tidak sedikit yang membiarkan mereka tetap mengalami persoalan akibat perkosaan tersebut, bahkan ada juga yang melakukan kekerasan, baik dengan kata-kata maupun tindakan yang tidak manusiawi. Saya juga banyak mengetahui, baik di media maupun dari tetangga-tetangga tentang alasan mengapa beberapa perempuan dimasukkan ke dalam penjara Riyadh Saudi Arabia. Sebagian besar diperkosa oleh anak majikan, hamil karena kekerasan seksual, melahirkan karena perkosaan dan melapor karena dipaksa berbuat zina oleh majikan. Dalam hal ini saya ingin mengerti lebih banyak, tentang bagaimana fiqh memandang kasus perkosaan yang terjadi pada perempuan? Selain itu, bagaimana memandang perempuan sebagai korban perkosaan? Wassalamu’alaikum Wr Wb. Dari Tuti di Kabupaten Cirebon Jawaban: Perkosaan lebih dari sekadar perzinahan. Jika perzinahan dianggap dosa besar dan dihukum dengan hukuman yang sangat berat, maka perkosaan harus lebih berat dari perzinahan. Karena di dalam tindak perkosaan ada perzinahan dan ada pidana pemaksaan bahkan ancaman. Pemaksaan dalam fiqh Islam menjadi salah satu unsur yang bisa memberatkan hukuman. Karena itu, pidana perkosaan bisa ditindak dua kali lipat, dengan dosa yang dilakukan dan akibat yang dirasakan korban. Memang di dalam fiqh, lebih banyak membahas mengenai perzinahan sebagai pidana kehormatan. Perzinahan adalah perbuatan hubungan kelamin [coitus] yang dilakukan di luar perkawinan yang sah. Unsur utama dalam pidana perzinahan adalah perbuatan jimâ’ di luar perkawinan. Perzinahan mungkin bisa menjadi landasan awal bagi rumusan tindak perkosaan, tetapi perkosaan tidak identik dengan perzinahan. Tindak perkosaan memiliki unsur tambahan dari sekadar hubungan kelamin, yaitu pemaksaan dan kekerasan yang sering berakibat trauma yang berkepanjangan bagi si korban. Tindak perkosaan pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, seperti yang terungkap dalam sebuah teks hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzi dan Abu Dawud, dari
sahabat Wail bin Hujr ra: “Suatu hari, ada seorang perempuan pada masa Nabi SAW yang keluar rumah hendak melakukan shalat di masjid. Di tengah jalan, ia dijumpai seorang laki-laki yang menggodanya, dan memaksanya (dibawa ke suatu tempat) untuk berhubungan intim. Si perempuan menjerit, dan ketika selesai memperkosa, si laki-laki lari. Kemudian lewat beberapa orang Muhajirin, ia mengarahkan: “Lelaki itu telah memperkosa saya.” Mereka mengejar dan menangkap laki-laki tersebut yang diduga telah memperkosanya. Ketika dihadapkan kepada perempuan tersebut, ia berkata: “Ya, ini orangnya.” Mereka dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Ketika hendak dihukum, si laki-laki berkata: “Ya Rasul, saya yang melakukannya.” Rasul berkata kepada perempuan: “Pergilah, Allah telah mengampuni kamu.” Lalu, kepada laki-laki tersebut Nabi menyatakan suatu perkataan baik (apresiatif terhadap pengakuannya) dan memerintahkan: “Rajamlah.” (Hadîst Riwayat Imam Turmudzi). Pemerkosa memang dihukum pada masa Nabi SAW, dan korban perkosaan dilepaskan dengan harapan akan memperoleh ampunan dari Allah SWT. Pada saat itu, hukuman pemerkosaan—yang dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan—sama persis dengan hukuman perzinahan, yang
Edisi 22
Agustus 2009
fatwa 21 tidak dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Karena itu, mayoritas ulama hadits dan ulama fiqh menempatkan tindak perkosaan sama persis dengan tindak perzinahan. Hanya perbedaannya, dalam tindak perzinahan kedua pelaku harus menerima hukuman, sementara dalam tindak perkosaan hanya pelaku pemerkosa yang menerima hukuman, sementara korban harus dilepas. Tetapi ancaman hukuman terhadap kedua kasus tersebut adalah sama. Beberapa teks hadits lain memperkuat sinyalemen ini. Seperti dalam riwayat Imam at-Turmudzi: Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, Juz IV, hlm. 270, Nomor Hadîts: 1823. “Dari Wa’il bin Hajar berkata: “Bahwa ada seorang perempuan yang diperkosa pada masa Rasulullah SAW, maka ia dilepaskan dari ancaman hukuman perzinahan, sementara pelakunya dikenakan hukuman had. At-Turmudzi berkata: “Hal ini diamalkan para ulama dari sahabat Nabi SAW dan lainya, bahwa perempuan yang diperkosa tidak dikenai had.” (Hadîst Riwayat Imam at-Turmudzi). Dalam redaksi Imam Bukhari, dari Nafi’ Mawla Ibn ‘Umar ra, berkata: bahwa Shafiyyah bin Abi Ubaid mengkhabarkan: “Bahwa seorang budak laki-laki berjumpa dengan seorang budak perempuan, dan memaksanya berhubungan intim, maka Khalifah ‘Umar menghukumnya dengan cambukan dan mengusirnya (dari kota), dan tidak menghukum si perempuan karena ia dipaksa.” Teks-teks hadîts di atas, bagi ulama hadîts dan fiqh, dijadikan dasar argumentasi untuk melepaskan hukuman dari orang yang dipaksa untuk melakukan tindak kejahatan [mukrah]. Dalam fiqh, disebutkan bahwa seseorang tidak dikenai dosa maupun. Konsekuensi dari tindakan di mana ia dipaksa melakukanya. Pernyataan Ibn Hajar di atas, sangat jelas menafikan kemungkinan ‘berdosa’ bagi korban perkosaan. Teks hadîts yang sering disitir dalam hal ini adalah: Dari Abu Dzarr al-Ghiffari ra, berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mengangkat dari umat ini (dosa dan tuntutan hukum) karena tiga hal: ketidaksengajaan, lupa, dan karena dipaksa orang lain.” (Hadîst Riwayat Ibnu Majah). Dalam fiqh, unsur pemaksaan tindak kejahatan memang diperbincangkan sebagai unsur yang bisa meringankan atau melepaskan korban yang dipaksa dari jeratan hukum. Tetapi, unsur tersebut tidak banyak diperbincangkan sebagai unsur pemberat terhadap ancaman hukuman suatu tindak kejahatan bagi pelaku. Apalagi menjadikannya tindakan kejahatan tersendiri, misalnya dalam kasus perkosaan. Tetapi pemaksaan dan kekerasan dalam kasus perkosaan, tidak layak kalau hanya dijadikan pertimbangan untuk mengangkat ancaman hukum bagi korban. Karena, korban memang tidak melakukan tindak kejahatan, sehingga tidak pantas sama sekali untuk dikenai ancaman hukum. Bahkan ia menjadi korban yang pasti akan mengalami trauma berkepanjangan, sehingga perlu pendampingan dan penguatan untuk memulihkan kepercayaan dirinya. Sebaliknya, pelaku perkosaan harus diancam hukuman yang seberat mungkin, karena tidak saja ia melakukan perbuatan zina yang diharamkan, tetapi juga melakukan pemaksaan dan kekerasan yang mencederai si korban, baik fisik maupun psikis.
Persoalan utama pada kasus-kasus perkosaan adalah kenistaan yang menimpa korban perkosaan. Yang tidak saja terjadi pada saat kejadian pemerkosaan, tetapi juga paskakejadian. Penderitaan paska kejadian pemerkosaan adalah yang terburuk. Karena korban terus terbayangi trauma yang mengenaskan, yang mengganggu selama kehidupannya. Baik dalam pergaulan sosial, maupun relasi seksual dengan pasangannya. Yang menjadi korban pun seringkali tidak hanya individu korban langsung, tetapi juga keluarga, teman, dan sahabat yang memberikan dukungan moral. Tidak sedikit dari korban-korban pemerkosaan yang mengalami kesulitan untuk bergaul dan melakukan interaksi sosial dengan baik. Di antara mereka, banyak yang terganggu hubungan seksualnya dengan suaminya. Tidak sebatas tidak bisa menikmati hubungan seks (frigiditas dan anorgasmus), tetapi mungkin sampai sama sekali tidak bisa melakukan hubungan intim (dyspareunia). Bagi anak gadis yang di bawah umur, incest dan perkosaan berakibat lebih buruk lagi. Yang paling umum adalah kegelisahan yang berlebihan, ketakutan, mimpi buruk, gangguan mental, perilaku sosial dan seksual yang menyimpang. Kondisi demikian menuntut semua pihak untuk segera memberi dukungan dan pendampingan terhadap korban. Sangat disayangkan, para aparatur dan penegak keadilan dalam hal ini, sering bertindak menyudutkan dan melecehakan korban. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang justru cenderung mempermalukan korban. Perilaku demikian tentu akan menambah beban trauma semakin berat dan berkepanjangan. Kalangan agamawan juga dituntut—dengan fatwa dan pandangan keagamaanya—untuk memberikan empati dan pendampingan terhadap korban. Seperti yang dilakukan Uzma Mazhar, salah seorang pemikir Pakistan, dengan memperberat hukuman terhadap para pelaku pemerkosaan dan penyelewangan seksual terhadap anak-anak perempuan. Bagi Mazhar, perilaku ini bisa dikatagorikan dalam fiqh Islam sebagai kejahatan hirâbah yang merupakan puncak konsepsi kriminalitas dalam fiqh. Fiqh yang berkeadilan harus berorientasi kepada pembelaan korban, yang dalam hal ini adalah perempuan. Pertama, ia semestinya tidak lagi menganggap seksualitas perempuan sebagai penyebab terjadinya perkosaan, sehingga kasus perkosaan tidak menjadi berbalik menyudutkan perempuan. Kedua, fiqh diharapkan bisa memunculkan moralitas perlindungan, pelayanan, dan tanggung jawab terhadap korban. Misalnya, soal hukum aborsi bagi perempuan korban perkosaan harus dikaitkan dengan semangat perlindungan dan pelayanan, bukan sekadar melarang tanpa memberikan pendampingan dan jalan keluar. Dengan demikian, trauma kejiwaan perempuan korban perkosaan, setidaknya bisa sedikit diminimalisir. Karena dalam Islam, pendampingan terhadap korban adalah salah satu jalan pendekatan kepada Allah Swt [taqarrub ilâ Allâh]. Dalam suatu teks hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi SAW menyatakan: “Allah akan mendampingi orang yang selalu memberikan pendampingan kepada saudara-saudaranya).” (Hadîst Riwayat Imam Muslim). []
Edisi 22
Agustus 2009
22 info jaringan
Pemda Cirebon Komitmen Tindaklanjuti Raperda Anti Trafiking
foto: by a5/dok fahmina
Pemerintah Daerah (Pemda) Cirebon menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Anti Trafiking, yang disusun oleh Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (Jimat) Cirebon. Komitmen itu dinyatakan langsung oleh Wakil Bupati (Wabup) Cirebon, Ason Sukasa, mewakili Bupati Cirebon yang berhalangan hadir dalam audiensi bersama Jimat, di Ruang Rapat Bupati Cirebon, pada Kamis (27/08).
D
alam audiensi yang difasilitasi Fahmina-Institute, juga dihadiri sejumlah LSM yang tergabung dalam Jimat. Di antaranya LSM Balqis, Bannati, Forum Warga Buruh Migran (FWBMI), Warga Siaga, serta dinas terkait seperti Staf ahli, Kabag
Hukum, Disdukcapil, Disnakertrans, BPMPD, Kesra dan Kesbang Cirebon. Dalam sambutannya, Ason mengaku prihatin atas merajalelanya kejahatan perdagangan orang (trafiking), terutama di Kabupaten Cirebon. Menurutnya, memberantas kejahatan trafiking merupakan
Edisi 22
Agustus 2009
perjuangan bersama. “Kami juga manusia yang memiliki hati nurani, kami tidak menuntup mata. Raperda ini tentunya akan kita masukkan ke tim Raperda. Kami senang dan setuju menerima informasi ini. Ini merupakan salah satu bentuk kepedulian kami. Jadi akan kita pelajari bersama, karena ini merupakan hal yang perlu kita sikapi,” ungkap Ason yang mengaku tidak bisa mengikuti audiensi sampai selesai, sehingga dia menyerahkannya kepada Asisten Daerah (Asda), M Irman. M Irman menambahkan, Raperda yang diusulkan Jimat masih perlu didiskusikan kembali dan akan diinventarisir, serta dimasukkan di tahun 2010. “Hasil pertemuan ini akan kami sampaikan ke Bupati dan
info jaringan 23 ke depannya akan ditindaklanjuti. Kita sependapat dan akan berusaha mendorong bagaimana caranya agar Perda itu lahir. Jadi kesimpulannya, kita akan bicarakan dengan tim Perda,” papar Irman. Pentingnya Perda anti trafiking juga ditekankan Direktur FahminaInstitute, Marzuki Wahid. Marzuki memaparkan, Raperda Anti Trafiking tersebut diperjuangkan Jimat dari tahun 2005. Trafiking merupakan kejahatan manusia yang sungguh sangat biadab dan merampas kemerdekaan manusia. Trafiking juga sudah sangat teroganisir. Sehingga sudah seharusnya memperoleh respon, dukungan dan komitmen Pemda, salah satunya dengan mengesahkan Raperda perlindungan dan pencegahan trafiking menjadi Perda. Marzuki mencatat, ada 775 kasus trafiking di Kabupaten Cirebon yang tercatat oleh Jimat sejak tahun 2002. “Ini bukan angka yang kecil. Ini baru yang terlaporkan, saya yakin yang tidak terlaporkan lebih dari ini. Jadi sudah seyogyanya kita harus bertindak. Oleh karena itu, kami mau memohon respon terutama dari pemerintah daerah terutama wakil pemerintah daerah. Ini sekadar inspirasi. Karena Raperda ini sudah disusun tahun 2005, dan selalu ada perbaikan,” jelas Marzuki. Jimat juga telah melakukan hearing dengan DPRD dan eksekuitf, beberapa diantaranya; Pemberdayaan Perempuan (PP), Biro Hukum, dan Disnakertrans. “Tinggal satu hal saya kira, yaitu landasan hukum dari daerah. Karena secara yuridis, ini sudah sangat cukup kuat, mulai dari Undang-undang Perlindungan Anak, PKDRT, sampai yang terahir UU PTPPO. Kami membuka tangan lebar-lebar untuk bersama-sama Pemda dan legislatif dalam menggolkan Perda ini,” lanjut Marzuki. Marzuki menambahkan, upaya tersebut sebagai bagian dari
komitmen bangsa dan pemerintah untuk melindungi warganya. Karena menurutnya, faktor utama dari terjadinya kejahatan trafiking adalah tidak ada sistem perlindungan dan jaminan keamanan serta keselamatan bagi warga. Baik sebagai buruh migran maupun lokal.(a5) Rakom Sebagai Media untuk Mendorong Proses Demokratisasi Pada hari Minggu (26/07) lalu, para penggiat radio komunitas yang tergabung dalam Jaringan Radio Komunitas (JARiK) Cirebon berkesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik radio bersama Asia Calling Radio KBR 68 H, Jakarta. Pelatihan yang difasilitasi oleh Fahmina-Institute dan jaringan radio komunitasa (JARiK) itu diikuti oleh 40 orang dari 16 radio komunitas yang berada di wilayah Kab. Majalengka, Cirebon, Indramayu, dan Kuningan. Pelatihan menghadirkan 2 (dua) orang narasumber, Besty Siregar dan Brigitta Kutrimaning Hardi. Walaupun berlangsung santai, namun pelatihan tetap menarik. Para peserta cukup antusias mengikutinya sebab tidak hanya teori yang diberikan, namun mereka langsung dibimbing praktik bagaimana membacakan berita. Peserta juga dilatih gerakan senam untuk meningkatkan power dan stamina sebelum siaran. “Sebaiknya 10 menit sebelum siaran atau rekaman kita rutin lakukan gerakan senam khusus agar kita betul-betul siap dan fit baik mental maupun fisik,” ujar Besty. Selain soal pentingya senam, banyak tips lain seputar teknik-teknik kepenyiaran yang disampaikan oleh Besty kepada peserta pelatihan. Kehadiran Besty Siregar sendiri memberikan nuansa lain. Bagi sebagian peserta, Besty sudah tidak asing lagi. Suara dari perempuan yang memegang posisi sebagai Asisten Program Asia Calling di radio
Edisi 22
Agustus 2009
KBR 68 H, ini telah cukup akrab khususnya di telinga para penggiat dan pendengar radio komunitas AJ, Caraka, Best, dan Bhuana FM. Sebab Besty adalah pengisi suara dalam produk-produk feature Asia Calling yang selama ini diputar di radioradio tersebut. Dalam pemaparannya, Besty berpesan agar para peserta pelatihan memperhatikan 3 (tiga) hal sebagai modal menjadi penyiar atau pembaca berita yang berkarakter serta profesional. Pertama Aksentasi, hal ini terkait dengan pelafalan dan artikulasi. Hal kedua yang tidak boleh dikesampingkan adalah ekspresi. Menurut Besty, ekspresi menyangkut intonasi. Hal ini penting agar berita pada saat dibacakan terdengar lebih hidup tidak kaku atau monoton. Hal berikutnya yang tidak kalah urgent, kata Besty adalah kecepatan atau speed dalam pembacaan. “Ketiga hal itu penting sekali, tidak usah takut semuanya itu bisa dilatih sehingga pembacaan berita atau feature terkesan natural atau alami,” terang Besty. Besty mengungkapkan apresiasinya yang luar biasa atas tingginya antusiasme yang ditunjukkan oleh radio-radio komunitas JARiK dalam mengikuti pelatihan kali ini. Hal ini menunjukkan bahwa Rakom-Rakom Cirebon dan wilayah sekitarnya memiliki keinginan kuat mengembangkan diri. “Posisi penting dari radio komunitas yang tidak boleh dilupakan adalah perannya dalam merangkul komunitas di sekitarnya sebagai upaya untuk mendorong demokratisasi informasi lokal di tingkat bawah atau akar rumput,” pungkas Besty.(AD)
24 info jaringan
Marhaban Ya Ramadhan Allahumma barik lana fi rajaban wa sya’bana wa ballighna syahra ramadhana wa a’inna ‘ala sh-shiyami wal-qiyami wa hifzhil lisan wa ghadhdhil bashari, wa la taj’al hazhzhana minhul ju’a wal-’athsy. Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami ke bulan Ramadhan. Bantulah kami untuk melaksanakan puasa, melakukan shalat malam, menjaga lisan dan memelihara pandangan, dan jangan jadikan puasa kami hanya sekadar lapar dan dahaga
Seluruh Tim Redaksi Blakasuta mengucapkan
Selamat menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1430 H. Edisi 22
Agustus 2009