Biodiversitas Ekosistem Mangrove Di Jawa; Tinjauan Pesisir Utara Dan Selatan Jawa Tengah

  • Uploaded by: Biodiversitas, etc
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Biodiversitas Ekosistem Mangrove Di Jawa; Tinjauan Pesisir Utara Dan Selatan Jawa Tengah as PDF for free.

More details

  • Words: 102,378
  • Pages: 175
B BU UK KU U A AJ JA AR R

Biodiversitas Ekosistem Mangrove di Jawa; T Tiin njjaau waa T uaan Teen nP ng Peessiissiirr U gaah h Uttaarraa d daan nS Seellaattaan n JJaaw

A Ahhm maadd D Dw wii S Seettyyaaw waann

BIODIVERSITAS EKOSISTEM MANGROVE DI JAWA; TINJAUAN PESISIR UTARA DAN SELATAN JAWA TENGAH

Ahmad Dwi Setyawan

Buku Ajar:

Biodiversitas Ekosistem Mangrove di Jawa; Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah

Penulis (Editor): Ahmad Dwi Setyawan, S.Si., M.Si.

Co-author: Ari Susilowati, S.Si., M.Si., Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si., Drs. Kusumo Winarno, M.Si. (alm.), Purin Candra Purnama, S.Si., Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D., Drs. Wiryanto, M.Si.

© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penulis dan penerbit, kecuali untuk tujuan pengajaran di ruang kuliah dan laboratorium.

Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta

Cetakan Pertama 2008

Prakata

Pemanasan global kini telah menjadi isu penting yang menarik perhatian banyak peneliti, pemerintah maupun masyarakt awam. Kenaikan suhu global sekitar 0,5oC selama tiga decade terakhir diyakini telah meningkatkan tidak saja panas di permukaan bumi tetapi juga mempengaruhi iklim secara keseluruhan, seperti terjadinya kekeringan panjang atau sebaliknya hujan sepanjang tahun. Pemanasan global terjadi akibat meningkatnya produksi gas-gas rumah kaca, khususnya CO2, terutama karena meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil. Meningkatnya industrialisasi sepanjang 30 tahun terakhir merupakan penyebab utama pemanasan global. Apabila hal ini tidak dikendalikan, dengan laju konsumsi bahan bakar fosil pada saat ini maka pada tahun 2050 suhu permukaan bumi diperkirakan akan meningkat hingga 2oC dan permukaan air laut akan naik sekitar 25 m karena mencairnya es di kutub, sehingga menjadi ancaman serius bagi negara kepulauan seperti Indonesia beserta kota-kota pantainya. Ekosistem mangrove retan terhadap pemanasan global, perubahan permukaan laut akan menyebabkan perubahan garis pantai, sehingga ekosistem mangrove harus beradaptasi terhadap kondisi ini, namun perubahan yang cepat dapat menyebabkan kegagalan proses adaptasi sehingga menyebabkan terancamnya keberadaan ekosistem mangrove. Di sisi lain, mangrove memiliki beberapa manfaat ekologi yang dapat mengurangi dampak negatif pemanasan global. Secara kasat mata, mangrove dapat meredam badai yang terus meningkat kualitas dan kuantitasnya sejalan dengan meningkatnya perubaan iklim bumi akibat pemanasan global. Mangrove juga dapat menyerap gas-gas rumah kaca yang bertanggungjawab terhadap pemanasan global ini, seperti CO2 dan CH4 melalui proses sekuestrasi karbon. Di samping itu, mangrove juga masih memiliki banyak manfaat lain, baik manfaat ekonomi secara langsung seperti kayu dan ikan, manfaat sosial-budaya seperti pariwisata dan pendidikan, maupun manfaat ekologi seperti perlindungan pantai dari abrasi. Namun perkembangan terakhir menunjukkan adanya tekanan kuat terhadap eksistensi ekosistem mangrove. Ditemukannya sistem pertambakan udang secara intensif pada tahun 1970-an, menyebakan sejumlah besar ekosistem mangrove dunia diubah menjadi tambak udang intensif yang tidak berkelanjutan. Sebelumnya sejak sekitar 500 tahun yang lalu di Jawa telah dikenal tambak ikan bandeng yang relatif lebih berkelanjutan, meskipun nilai ekonominya lebih rendah dari pada tambak udang intensif.

Di Indonesia, sebagai pemangku ekosistem mangrove terluas di dunia, konversi lahan mangrove menjadi tambak udang, ikan, dan penggunaan lainnya telah mengakibatkan hilangnya lebih dari 50% ekosistem mangrove dari luasan awal sekitar 4 juta ha. Kerusakan ini menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem, khususnya pada perairan dangkal di sekitar pantai, serta menyebabkan menurunnya produktivitas perairan dan menurunnya kesejahteraan nelayan kecil (subsisten) yang menggantungkan pendapatannya dari perairan dangkal tersebut. Sebagai ekoton kawasan daratan dan lautan, ekosistem mangrove dipengaruhi dan mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di kedua kawasan tersebut. Pada masa lalu, Propinsi Jawa Tengah merupakan pemiliki lahan mangrove tunggal terluas di pulau Jawa, yakni di Segara Anakan, Cilacap. Namun tingginya laju sedimentasi dari sungai Citanduy dan sungai-sungai lainnya yang bermuara di dalamnya menyebabkan kawasan tersebut cenderung berubah menjadi ekosistem daratan, sehingga keberadaan mangrove menjadi terdesak. Hal ini diperparah dengan tingginya laju penebangan pepohonan untuk pembuatan arang. Ekosistem mangrove di Jawa Tengah juga menarik dikaji karena adanya perbedaan menyolok antara fisiografi pantai utara yang bertanah lempung dan berombak relatif tenang dengan pantai selatan yang bertanah pasir dan berombak sangat kuat. Oleh karena itu, ekosistem mangrove di kawasan ini perlu dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan gambaran kondisi terkini, memahami kondisi-kondisi yang dapat mengancam kelestariannya, serta upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga kelestariannya. Pemahaman yang spesifik terhadap kondisi mangrove di Jawa Tengah perlu pula dipahami dari sudut pandang yang lebih luas kondisi keseluruhan di pulau Jawa, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan lengkap. Buku berjudul “Biodiversitas Ekosistem Mangrove di Jawa; Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah” ini disusun terutama dari kumpulan artikel-artikel publikasi yang penulis persiapkan selama menjalani pendidikan S-2 di Ps. Biologi UGM Yogayakarta dan Ps. Ilmu Lingkungan UNS Solo. Dalam penulisan artikelartikel tersebut penulis banyak dibantu oleh kolega yang namanya tercantum sebagai tim penyusun buku ini maupun tidak. Beberapa di antaranya adalah Dr. Tjut Sugandawaty Djohan, M.Sc dari UGM Yogyakarta yang memberi banyak masukan awal hingga menumbuhkan ketertarikan penulis akan ekosistem mangrove, dan Drs.

ii Kusumo Winarno, M.Si (Alm) dari UNS Solo yang banyak memberi bantuan fasilitas laboratorium. Dalam koleksi data lapangan, data laboratorium, dan penyusunan manuskrip artikel-artikel tersebut penulis banyak mendapatkan bantuan antara lain dari dari Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D., Dr. Sugiyarto, M.Si., Ari Susilowati, S.Si., M.Si., Cahyanto Mukti, S.Si., Ainur Rohimah, S.Si., Asriyati Asih Lestari, S.Si., dan Sugito. Penulis juga mendapat kawan seperjalanan antara lain Suhar Irianto, S.Si., Udhi Eko Hernawan, S.Si., Prandaya Umaro, S.Si., Guntur Trimulyono, S.Si., Dwi Yulianti, S.Si., dan Vina Rahmawati, S.Si. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih. Tiada gading yang tak retak. Buku ini juga masih menyisakan sejumlah permasalahan yang belum sempat tergarap. Buku ini disusun berdasarkan asumsi bahwasanya ekosistem mangrove tersusun atas tumbuhtumbuhan mangrove. Adapun keberadaan hewan yang sangat melimpah dan beragam sepenuhnya tergantung pada keberadaan tumbuh-tumbuhan tersebut, oleh karena itu dalam buku ini hanya dibahas tentang ekosistem mangrove dalam perspektif tumbuhan

mangrove. Dalam buku ini penulis juga belum melakukan kajian kondisi ekosistem mangrove dengan metode GIS (geographycal information system), suatu perangkat standar yang biasa digunakan untuk menggambarkan kondisi ekosisten mangrove di suatu kawasan, meskipun citra satelit dan peta topografinya telah penulis tampilkan di buku ini Akhirnya, selain memberikan informasi kondisi mangrove di JawaTengah, penulis juga berharap kiranya buku ini dapat menjadi sumber kajian bagi para peneliti mangrove serta menjadi masukan bagi pengelola lingkungan untuk manjaga kelestarian mangrove di Jawa Tengah pada khususnya. Bogor, 10 Nopember 2008 Penulis (Editor)

Ahmad Dwi Setyawan

ii

Daftar Isi

Prakata Daftar isi BAGIAN I: Pendahuluan 1. Ekosistem Mangrove di Jawa 2. Mangrove: Ekoton Perairan Tawar dan Laut

3 15

BAGIAN II: Kajian Terkini Mangrove di Jawa Tengah 3. Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove 4. Komposisi dan Struktur Vegetasi 5. Diagram Profil Vegetasi 6. Keanekaragaman Isozim Sonneratia alba 7. Kandungan Nutrien Sedimen Tanah 8. Pencemaran Logam Berat Fe, Cd, Cr, dan Pb 9. Pemanfaatan Langsung, Penggunaan Lahan, dan Restorasi

33 45 51 61 73 80 86

BAGIAN III: Beberapa Permasalahan dan Penanganannya 10. Habitat Reliks Mangrove di Pantai Selatan Jawa 11. Konservasi Mangrove di Kabupaten Rembang 12. Konservasi Mangrove di Segara Anakan melalui Penyudetan Sungai Citanduy 13. Tumpahan Minyak Bumi, Mitigasi dan Restorasinya BAGIAN IV: Penutup 14. Restorasi Ekosistem Mangrove di Jawa Bibliografi Key words index Lampiran

103 115 121 130 143 157 158 159

1

BAGIAN I Pendahuluan

2

3

Ekosistem Mangrove di Jawa

ABSTRACT Mangrove ecosystem is a specific ecosystem that only take about 2% of total land in the earth. Indonesian mangrove ecosystem is the widest in the world and as a center of distributioan and ecosystem biodiversity, however it undergoes rapid and dramatic destruction. In just 11 years, between 19821993, more than 50% of Indonesian mangrove disappeared. The most factor threatening the mangrove ecosystem is human activities, including convertion to aquaculture, deforestation, and environmental pollution. Other factors such as reclamation, sedimentation, and natural disturbance are also contributed to the disappearance of the mangrove. Mangrove ecosystem is very important in term of socio-economic and ecology functions. Because of its functions, wide range of people alaways paid attention whenever mangrove restoration taken place. Mangrove restoration potentially increases mangrove resource value, protect the coastal area from destruction, conserve biodiversity, fish production and both of directly and indirectly support the life of surrounding people. Key words: mangrove, restoration, management, Java.

PENDAHULUAN Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi manggurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove (Jayatissa et al., 2002; Ng dan Sivasothi, 2001). Sedang menurut MacNae (1968) kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (belukar), yakni belukar yang tumbuh di tepi laut. Kata ini dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau komunitas (FAO, 1982; Ng dan Sivasothi, 2001). Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon dan semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut dengan salinitas tinggi (MacNae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Nybakken, 1993; Kitamura et al., 1997). Dalam bahasa Indonesia hutan mangrove disebut juga hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan bakau (Kartawinata, 1979). Namun untuk menghindari

kesalahan literasi dianjurkan penggunaan istilah mangrove karena bakau adalah nama generik anggota genus Rhizophora (Widodo, 1987). Komunitas mangrove tersusun atas tumbuhan, hewan dan mikroba, namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove komunitas ini tidak dapat disebut ekosistem mangrove (Jayatissa et al., 2002). Vegetasi mangrove berperan besar dalam ekologi ekosistem ini, dimana tumbuhan mangrove mayor merupakan penyusun utamanya (Lugo dan Snedaker, 1974; Hamilton dan Snedaker, 1984; Tomlinson, 1986). Identifikasi komposisi vegetasi mangrove merupakan prasyarat untuk memahami semua aspek struktur dan fungsi mangrove, sebagaimana kondisi biogeografi, konservasi dan manajemennya (Jayatissa et al., 2002). Ekosistem mangrove merupakan kawasan ekoton antara komunitas laut dengan pantai dan daratan, sehingga memiliki ciri-ciri tersendiri (Dahuri et al., 1996). Komunitas ini sangat berbeda dengan komunitas laut, namun tidak berbeda tajam dengan komunitas daratan dengan terbentuknya rawa-rawa air tawar sebagai zona antara. Tomlinson (1986) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi. Tumbuhan mangrove mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang surut, dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui peneumatofora, embryo vivipar, mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, serta secara taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat. Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya membentuk tegakan murni, sedangkan tumbuhan asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas dan dapat berinteraksi dengan mangrove mayor. Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat (Walsh, 1974; Goldman dan Horne, 1983). Proses internal pada komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara sangat dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut, suplai hara dan stabilitas sedimen (Blasco, 1992). Faktor utama yang mempengaruhi komunitas ini adalah salinitas, tipe tanah, dan resistensi terhadap arus air dan gelombang laut (Chapman, 1992; Steenis, 1958). Faktorfaktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi laut ke daratan, sehingga dalam kondisi alami, dimana campur tangan manusia terbatas, dapat terbentuk zonasi vegatasi (Giesen, 1991).

Publikasi asli: Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P.C. Purnama. 2003. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Biodiversitas 4 (2): 130-142.

4

23.36%

Amerika 27% Asia Tenggara & Selatan 41%

Indonesia (42.550 km2) Brazil (13.400 km2) Australia (11.500 km2)

36.63%

Nigeria (10.515 km2) Kuba (7.848 km2) 7.36%

India (6.700 km2) M alaysia (6.424 km2) Banglades (5.767 km2)

6.31%

Af rika Barat 16%

2.92%

Afrika Timur & Timur Tengah 6%

Aust ralia & Oseania 10%

5.77%

2.96%

4.31%

3.17%

Papua Nugini (5.399 km2) M eksiko (5.315 km2 Lain-lain (66.727 km2)

3.68%

3.53%

Gambar 1. Distribusi mangrove dunia dari total luas 18.107.700 ha (FAO 1985; Spalding et al., 1997).

DISTRIBUSI MANGROVE Tumbuhan mangrove diperkirakan berasal dari IndoMalaysia, kawasan pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies ini terbawa arus laut ke seluruh pantai daerah tropis dan subtropis dunia, pada garis lintang 25oLU dan 25o LS, karena propagulnya dapat mengapung. Dari kawasan Indo-Malaysia, mangrove tersebar ke barat hingga India dan Afrika Timur, serta ke timur hingga Amerika dan Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari pantai barat Amerika ke laut Karibia, terjadi pada jaman Cretaceous atas dan Miocene bawah, antara 66-23 juta tahun yang lalu, melewati selat yang kini menjadi tanah genting negara Panama. Penyebaran ke timur diikuti penyebaran ke utara hingga Jepang dan ke selatan

hingga Selandia Baru. Sehingga sebagai perkecualian, o mangrove ditemukan di Selandia Baru (38 LS) dan o Jepang (32 LU). Cara dispersal propagul di atas menyebabkan mangrove di Amerika dan Afrika Barat (Atlantik) memiliki luas dan keragaman lebih rendah, karena harus melewati Samudera Pasifik, sedangkan mangrove di Asia, India, dan Afrika Timur memiliki keragaman lebih tinggi (Walsh, 1974; Tomlison, 1986). Hal ini menginspirasi Walsh (1974) untuk membagi dunia mangrove menjadi dua kawasan utama, yaitu IndoPasifik Barat yang meliputi Asia, India dan Afrika Timur, serta Amerika - Afrika Barat (Gambar 1.). Mangrove dari kawasan Indo-Pasifik Barat sangat terkenal dan beragam, terdiri lebih dari 40 spesies, sedangkan di Atlantik hanya sekitar 12 spesies.

5

10.89% 6.43% 4.48% 4.29% 1.44% 0.29% 0.01%

Indonesia (42.550 km2)

5

29

Malaysia (6.420 km2)

29

Myanmar (3.790 km2) Thailan (2.640 km2) Vietnam (2.530 km2)

31 35

Kamboja (850 km2) Brunei (170 km2) 72.17%

Singapura (6 km2)

24

45 36

B

A 2

Gambar 2. Distribusi luasan hutan mangrove di Asia Tenggara dengan luas keseluruhan sekitar 61.250 km (A) dan jumlah spesies pada setiap negara (B) (Spalding et al., 1997).

Tumbuhan mangrove dari kedua kawasan ini substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang dan memiliki perbedaan keanekaragaman spesies cukup kadang-kadang pada batuan, namun paling baik tumbuh menyolok. Rhizophora dan Avicennia, dua genus utama di pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang dan mangrove, diwakili spesies yang berbeda di kedua mendapat masukan air sungai. Tumbuhan mangrove di kawasan tersebut, mengindikasikan adanya spesiasi Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dapat mencapai yang mandiri. Di Indo-Pasifik Barat ditemukan Avicennia tinggi 50 m dengan diameter 50 cm, meski umumnya hanya setinggi 25 m dengan diameter 18 cm oficinalis, A. marina, Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorhiza, dan Sonneratia alba, (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989). Keragaman spesies sedangkan di Atlantik ditemukan A. nitida, R. racemosa, pada setiap lokasi berbeda-beda, di seluruh Indonesia R. mangle, R. harrissonii, dan Laguncularia racemosa jumlah tumbuhan mangrove sekitar 47 spesies (Anonim, (Marius, 1977; Aksornkoae, 1997). 1997). Informasi lain menyatakan jumlahnya lebih dari 37 Indonesia merupakan negara besar, terdiri lebih dari spesies (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989) atau 45 17.000 pulau, terletak di garis katulistiwa antara 6oLUspesies (Spalding et al., 1997). Spesies utama berasal 11oLS, dan 95-110oBT, jarak dari barat ke timur 5.000 dari genera Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, km, dan dari utara ke selatan 2.000 km. Luas daratan Bruguiera, Ceriops, Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera, Nypa, Xylocarpus, dan Aegiceras (Soemodihardjo dan sekitar 1.900.000 km2, dengan panjang garis pantai Sumardjani, 1994). sekitar 81.000 km (Hadianto, 1998). Pantai yang panjang dengan kondisi geomorfologi dan hidrologi yang beragam memungkinkan terbentuknya berbagai tipe ekosistem mangrove. Sekitar 61.250 km2 atau sepertiga PERAN EKOSISTEM MANGROVE mangrove dunia terdapat di Asia Tenggara, dimana 2 42.550 km terdapat di Indonesia (Spalding et al., 1997) Hutan mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi dan (Gambar 2.). Ekosistem mangrove hanya mencakup 2% ekologi sangat penting (Bennett dan Reynolds, 1993). daratan bumi, sehingga secara global sangat langka dan bernilai dalam konservasi (Ong, 2002). Ekosistem ini merupakan 2.35% bagian dari wilayah pesisir, 1.22% 2.35% pertemuan darat dan laut, yang 0.13% mencakup 8% permukaan bumi Irian (2.943.000 ha) 9.02% (Birkeland, 1983; Ray dan Sumatera (667.340 ha) McCormick, 1994; Clark, 1996). Kalimantan (383.450 ha) Ekosistem mangrove di 15.70% Indonesia umumnya terpencarMaluku (100.000 ha) pencar dalam kelompokSulaw esi (99.830 ha) kelompok kecil, sebagian besar terletak di Irian (Papua) (Gambar Jaw a dan Bali (51.890 ha) 69.23% 3.). Mangrove di Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara (5.510 ha) Sulawesi, Kalimantan dan Irian sudah terpengaruh kegiatan pembangunan, sedangkan di Maluku dan Nusa Tenggara relatif masih alami. Di Indonesia Gambar 3. Distribusi luasan hutan mangrove di Indonesia (FAO 1985). mangrove tumbuh pada berbagai

6 Selama berabad-abad ekosistem mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi berupa: kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap, tannin kulit kayu, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat hipokotil dan bahan pewarna (Hamilton dan Snedaker, 1984; IPIECA, 1993a; Spaninks dan Beukering, 1997; Bandaranayake, 1998; Dahdouh-Guebas et al., 2000; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002). Mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah penting, antara lain untuk sekuestrasi karbon, menyaring dan menangkap bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan badai, membentuk daratan baru, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, memijah dan membesarkan anak berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung, dan fauna lain, serta memiliki fungsi sosial sebagai area konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan identitas budaya (Thom, 1967; Tomlison, 1986; Sukardjo, 1989; Howe et al., 1992; IPIECA, 1993a; Tanaka, 1994; Spaninks dan Beukering, 1997; Anonim, 2001b; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002), namun nilai penting ekologi masih sering diabaikan (Coulter et al., 2001). Hasil kajian analisis biaya dan manfaat hutan mangrove di beberapa daerah menunjukkan total nilai ekonominya dapat mencapai triliunan rupiah. Total economic value (TEV) ekosistem mangrove per tahun di Pulau Madura Rp 49 trilyun, Irian Rp 329 trilyun, Kalimantan Timur Rp 178 trilyun, Jawa Barat Rp 1,357 trilyun, dan untuk seluruh Indonesia Rp 820 trilyun (Republika, 23/7/2002). Di teluk Bintuni, Irian, ekosistem mangrove seluas 300.000 ha setiap tahun mendukung pemanfaatan secara tradisional Rp. 100 milyar, perikanan Rp. 350 milyar, dan kayu Rp. 200 milyar (Ruitenbeek, 1992). Hutan mangrove merupakan komunitas paling produktif di dunia (Clough, 1992). Sebagian besar biomassa mangrove dihasilkan dari guguran daun ( ± 90%), yang selanjutnya disimpan dalam sedimen ( ± 10%), terdekomposisi (± 40%), atau terbawa ke ekosisten lain (± 30%) (Duarte dan Cebrián, 1996). Biomassa ini merupakan makanan bagi organisme detritus yang hidup pada ekosistem mangrove dan pantai di sekitarnya (Manassrisuksi et al., 2001).

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE Di seluruh dunia aktivitas manusia telah mengurangi luasan ekosistem alami dan menurunkan keanekaragaman hayati hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Keanekaragaman hayati kawasan tropis merupakan yang tertinggi di dunia (Ligtvoet et al., 1996). Hutan mangrove diperkirakan menempati 75% luas kawasan pantai tropis (Chapman, 1976), tetapi tekanan antropogenik telah menurunkan luas hutan ini secara global hingga di bawah 50% dari luas awal (Saenger et al., 1983; Spalding et al.1997). Luasan hutan mangrove dunia sangat beragam tergantung metode dan referensi yang dijadikan acuan oleh penulisnya. Dengan teknologi remote sensing luas hutan mangrove dunia diperkirakan sekitar 18,1 juta ha

(Spalding et al. 1997). Sedangkan sumber lama menyebutkan bahwa luas hutan mangrove dunia sekitar 15,9 juta ha (FAO, 1982), data yang diperbaharui luasnya sekitar 16,9 juta ha (Saenger et al, 1983). Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove dunia tersebut, sekitar 4,25 juta ha (27%) berada di indonesia (FAO, 1982). Penurunan luasan mangrove paling cepat dan dramatis terjadi di Asia Tenggara (Gómez 1988; Aksornkoae, 1993). Di Indonesia luas hutan ini terus menurun dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.237.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 11 tahun (1982-1993), terjadi penurunan hutan mangrove lebih dari 50% dari total luasan semula (Dephut, 1994; Soenarko, 2002). Penurunan luasan hutan mangrove disebabkan oleh reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan garam (Terchunian et al., 1986; Primavera, 1993), penebangan hutan secara berlebih (Walsh, 1974; Hussein, 1995; Semesi, 1998), pertambangan, pencemaran, pembendungan sungai (Lewis, 1990), pertanian, bencana alam (Nybakken, 1993; Jimenez, 1985; Knox dan Miyabara, 1984), serta tumpahan minyak (Ellison dan Farnsworth, 1996), namun yang terakhir ini belum banyak didokumentasikan (Burns et al., 1994; 1999). Degradasi ekosistem mangrove di atas didorong faktor-faktor berikut: pertambahan penduduk, hingga dibutuhkan lebih banyak jalan, permukiman, kawasan industri, pelabuhan dan lain-lain; keuntungan jangka pendek, seperti tambak ikan dan udang, tambak garam dan sawah; kurangnya perhatian pemerintah; peraturan yang tidak jelas; teknik penebangan hutan yang tidak lestari; serta lemahnya sumberdaya manusia dan alokasi dana (Choudhury, 1996). Kerusakan hutan mangrove dapat pula terjadi karena konversi ke jenis hutan lainnya, misalnya sejak tahun 1997 Perhutani mengubah 6000 ha dari 11.263 ha hutan mangrove Segara Anakan menjadi perkebunan kayu putih (Suara Merdeka, 16/6/2001). Hal yang sama telah lebih dahulu dilakukan di hutan mangrove Indramayu (Machfud, 1990). Penurunan luasan mangrove mendorong terjadinya intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga menurunkan produktivitas perairan pantai (Aksornkoae, 1993). Untuk mengatasi hal ini banyak negara mengkampanyekan upaya konservasi, manajemen, dan restorasi hutan mangrove (Manassrisuksi et al., 2001; Hong dan San, 1993). Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menilai, kondisi kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang di wilayah pesisir Indonesia sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Untuk itu dibutuhkan kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil (Suara Pembaruan, 29/7/2002). Kehidupan yang lestari tergantung pada berlanjutnya ekosistem alami yang menyediakan sumberdaya bagi manusia. Kawasan alami dan dilindungi harus beragam dan menyertakan berbagai kelompok habitat yang khas, sehingga nilai sosialekonomi dan ekologinya juga beragam. Kawasan lindung dapat menjadi sumber bahan baku kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, sarana wisata, menjadi identitas budaya dan spiritual, serta memberikan jasa ekologi bagi lingkungan di sekitarnya (Miller, 1999). Ekosistem mangrove bersifat dinamis, setiap tempat memiliki komposisi spesies tersendiri. Ekosistem ini memiliki kemampuan tinggi untuk kembali terbentuk

7 setelah kerusakan hebat selama pola hidrologi kembali stabil dan tersedia sumber propagul (Manassrisuksi et al., 2001). Perubahan fisik seperti pengeringan, pembangunan kanal, dan pemakaian pupuk dapat mempengaruhi habitat mangrove, sehingga struktur dan komposisinya dapat berubah-ubah (Tanaka, 1992; Odum, 1971).

ANCAMAN KELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE DI JAWA Pertambahan penduduk, penebangan hutan dan pertambakan merupakan tiga ancaman utama kelestarian hutan mangrove di Jawa (Hasmonel et al., 2000), namun mangrove dapat pula rusak akibat reklamasi dan sedimentasi berlebih, pencemaran lingkungan, dan pertambangan. Jawa merupakan kawasan dengan penduduk paling padat di dunia (Ligtvoet et al., 1996), dimana 60% peduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta tinggal di pulau yang luasnya hanya seperlima luas negeri (Hadianto, 1998), sehingga tingkat perubahan habitat alami sangat tinggi, termasuk untuk permukiman (Silvius et al., 1987). Kebanyakan kota-kota besar dunia terletak di pantai. Di Indonesia 75% kota yang ditinggali 100.000 penduduk terletak di tepian pantai, dimana hutan mangrove juga berada (Choudhury 1996). Di ibukota negara Jakarta, upaya perluasan kawasan permukiman ke arah selatan terbentur kendala alam berupa kawasan puncak yang menjadi daerah penyangga sumberdaya air. Upaya perluasan kota ke arah utara dengan mereklamasi kawasan pantai, tampaknya menjadi pilihan yang paling memungkinkan, namun hal ini perlu didukung pembentukan ekosistem mangrove baru untuk menjaga keberlanjutan fungsi ekologi mangrove bagi ekosistem di sekitarnya (Ligtvoet et al., 1996). Terlebih sebagian pantai utara telah mengalami pencemaran, eksploitasi sumber daya yang berlebih, dan degradasi habitat akibat pembangunan di wilayah pantai dan laut lepas (ButarButar, 1996). Hutan mangrove di pulau Jawa, pada tahun 1985 seluas 170.500 ha, namun pada tahun 1997 tinggal 19.077 ha (11,19%). Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha tinggal 500 ha (8%), di Jawa Barat dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha (7,5%), dan di Jawa Tengah dari 46.500 ha tinggal 13.577 ha (29%). Sementara luas tambak di pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jawa Barat (50.330 ha), Jawa Tengah (30.497 ha), dan Jawa Timur (47.913 ha). Apabila ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove terus dilakukan, maka kemungkinan besar akan sangat sulit menemukan hutan mangrove di Jawa (Giesen, 1993; Republika, 23/7/2002). Pada masa lalu hutan Segara Anakan merupakan hutan mangrove terluas di Jawa, dimana luasnya mencapai 15.145 ha (Wirjodarmodjo et al., 1979) atau bahkan 21.500 ha (Sasaki dan Sunarto, 1994). Pada masa kini luasnya sulit diprediksi akibat tingginya sedimentasi hingga terbentuk dataran-dataran baru yang diinvasi mangrove, serta banyaknya perubahan peruntukan area vegetasi mangrove lama yang telah mapan (Setyawan et al., 2002). Tingkat perubahan habitat yang sangat tinggi menyulitkan upaya untuk mengukur luasan hutan mangrove dan rawa-rawa air

tawar di sekitarnya (Silvius et al., 1987). Hampir semua ekosistem mangrove di Jawa mengalami gangguan sangat serius, hanya di beberapa taman nasional ekosistem ini masih dijumpai asli. Hutan mangrove di Jawa Timur umumnya menempati daerah muara sungai dan dataran lumpur (tidal flat) di pantai utara. Kawasan terluas adalah daerah delta Brantas yang meliputi Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan sebagian Probolinggo. Sedimentasi yang cukup besar ditunjang kondisi pantai yang landai berombak tenang menyebabkan terbentuknya dataran lumpur secara terus menerus, suatu bentang geomorfologi yang sangat sesuai bagi pertumbuhan mangrove. Pada tahun 1970-an kawasan delta Brantas merupakan belantara mangrove dengan keanekaragaman hayati tinggi, dan menjadi daerah persinggahan burung-burung migran dari Asia ke Australia. Jenis burung air yang saat itu mudah dijumpai antara lain kuntul (Egretta alba), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), belibis kembang (Dendrocygna arquata), dan pecuk ular (Anhinga melanogaster). Pada saat ini delta Brantas telah banyak diubah untuk tambak, pemukiman, kawasan industri, rekreasi, pelabuhan, dan sawah. Pengembangan industri sejak tahun 1970-an merupakan salah satu pemicu parahnya kerusakan wilayah ini (Arisandi, 2001; Kompas, 31/7/2002). Di sepanjang pantai utara Jawa Timur terdapat lebih dari 25 jenis tumbuhan mangrove, dimana jenis-jenis Rhizophora dan Avicennia relatif dominan (Arisandi, 2001). Penelitian yang lebih mendetail di TN Baluran menunjukkan adanya 36 spesies mangrove (Saraswati, 2001). Pantai utara Jawa Barat merupakan lokasi yang sangat potensial untuk pertumbuhan mangrove. Kawasan ini menjadi muara sekurang-kurangnya 15 sungai besar dan panjang, seperti Citarum, Cimanuk, Ciujung, dan Cisadane, sehingga menjamin terbentuk dataran lumpur yang cukup luas dan kontinyu. Kawasan ini telah lama dikenal sebagai tempat persinggahan terbesar burung-burung air yang bermigrasi dari daratan Asia. Jenis burung migran di pantai utara Jawa Barat antara lain trinil (Tringa glareola), ayam-ayaman (Gallicrex cinerea), blekek (Gallinago sp.), curek (Callidris ruficolis), betonan (Charadrius dubius) dan seriwut (Tringa hypoleucos). Perburuan burung air merupakan ancaman serius konservasi biologi di kawasan ini (Iskandar, 1987; The Jakarta Post, 29/1/2002). Pantai utara Jakarta masih menyisakan ekosistem mangrove, antara lain di cagar alam Muara Angke dekat pantai Kapuk seluas 25 ha, namun tekanan untuk mengubahnya menjadi lahan permukiman, tambak atau sawah sangat tinggi (Anonim, 1998). Di samping itu sedang diusulkan untuk merestorasi ekosistem mangrove di muara sungai Cisadane sebagai penyeimbang hilangnya mangrove dari pantai Kapuk akibat reklamasi. Keberadaan ekosistem mangrove sangat penting sebagai sarana parkir luapan air hujan dari sungai-sungai sebelum masuk ke laut sehingga dapat mencegah dan mengurangi volume banjir (Ligtvoet et al., 1996). Kenyataan empiris membuktikan banjir di jalan menuju Bandara Sukarno-Hatta, baru timbul setelah kawasan mangrove pantai Kapuk direklamasi untuk permukiman dan sarana kelengkapannya. Ekosistem mangrove di pantai utara Jawa Tengah juga terbentuk pada dataran lumpur di muara-muara

8 sungai. Namun nilai penting kawasan ini lebih rendah di banding pantai utara kedua propinsi tetangganya mengingat luasannya yang jauh lebih sempit, akibat pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai ini. Sebaliknya Jawa Tengah memiliki ekosistem mangrove yang sangat penting di pantai selatan,. Segara Anakan merupakan hutan mangrove yang sangat menarik karena keadaan geomorfologinya mendukung terbentuknya ekosistem yang dinamis (Sukardjo, 1985). Sedimentasi yang tinggi dari sungai Citanduy, Cikoneng/Cimeneng, dan sungai-sungai lain menyebabkan terbentuk daratan baru yang didominasi tumbuhan pioner Avicennia dan Sonneratia, sedangkan Rhizophora menempati bagian kecil yang airnya tetap mengalir (Sasaki dan Sunarto, 1994). Pengecekan oleh Setyawan et al., (2002) terhadap seluruh muara sungai di pantai selatan Jawa mulai dari teluk Pacitan hingga muara sungai Donan dan Segara Anakan menemukan 29 spesies mangrove, terdiri dari 9 spesies mayor, 2 spesies minor dan 18 spesies tumbuhan asosiasi, dimana Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Avicennia alba dan Nypa fruticans merupakan spesies yang paling sering ditemukan. Menurut Nurwanto (2001), kawasan Segara Anakan juga menjadi tempat perlindungan burung migran dari Asia, antara lain trinil (Tringa stagnita), grajahan (Numentus spp), dan cerek (Charadrius javanicum). Berdasarkan kondisi lingkungannya hutan mangrove Segara Anakan dapat dikelompokkan dalam zona akresi, zona alami, dan zona terpolusi minyak (Soewarno, 1982). Permasalahan serius di kawasan Segara Anakan selain kemungkinan hilangnya laguna karena sedimentasi adalah kerusakan habitat dan berkembangnya desadesa di sekitar yang membutuhkan perumahan, jalan, tambak dan lain-lain (Dudley, 2000). Sedimen yang utamanya dibawa Sungai Citanduy dan Cikoneng/Cimeneng secara signifikan mengubah ekosistem payau menjadi ekosistem daratan. Usulan pembendungan dan penyudetan Sungai Citanduy agar langsung bermuara di laut selatan diharapkan dapat mengurangi laju sedimentasi. Namun bagaikan buah simalakama upaya ini dapat menyebabkan terbentuknya ekosistem baru yang dapat mempengaruhi kegiatan pariwisata di Pantai Pangandaran, Ciamis yang menjadi tumpuan hidup banyak penduduk (Winarno dan Setyawan, 2003). Pantai selatan Jawa memiliki geomorfologi khas pada muara sungai dengan terbentuknya gumuk pasir (sand dunes). Gumuk pasir menyebabkan terbentuknya laguna yang terlindung dari hempasan gelombang laut sehingga memungkinkan kehidupan komunitas mangrove. Pada musim hujan, gumuk pasir terbuka oleh besarnya debit air sungai sehingga laguna memiliki ekosistem pasang surut, sedangkan pada musim kemarau dengan sedikitnya debit air sungai, maka gumuk pasir sepenuhnya menutupi muara sungai sehingga air sungai menggenang dan salinitas laguna menurun. Spesies mangrove yang tumbuh di muara sungai diperkirakan melakukan adaptasi terhadap salinitas dan air yang menggenang tersebut (Djohan, 2000, komunikasi pribadi). Di pantai selatan Jawa Timur ekosistem mangrove dijumpai di Teluk Grajakan Segara Anak, TN Alas Purwo (Anonim, 2000), Pulau Sempu (Kompas, 31/5/2002) dan Teluk Pacitan. Di pantai Selatan Jawa Tengah ditemukan terutama di muara sungai Bogowonto, di samping Segara Anakan,

Cilacap (Setyawan et al., 2002). Di Jawa Barat antara lain ditemukan di teluk Pelabuhan Ratu, sedangkan di Banten utamanya di TN Ujung Kulon (Blower dan Zon, 1977; Hommel, 1987).

EKOSISTEM ALAMI MANGROVE DI JAWA Jawa masih menyisakan hutan mangrove yang alami, sehingga dapat menjadi sumber propagul untuk merestorasi ekosistem yang rusak. Ekosistem alami ini terdapat di beberapa kawasan taman nasional, antara lain TN Baluran dan TN Alas Purwo di Jawa Timur, serta TN Ujung Kulon di Banten. Adapun beberapa cagar alam yang diharapkan dapat mengkonservasi mangrove tampaknya tidak lagi mampu melaksanakan fungsinya, seperti Muara Angke serta Nusakambangan barat dan timur. Di lepas pantai utara Jawa, terdapat dua taman nasional laut yang juga menyimpan ekosistem mangrove, yaitu TNL Karimunjawa dan TNL kepulauan Seribu, di samping itu di pulau Bawean terdapat sekelompok masyarakat yang secara sengaja menjaga dan memperluas kawasan mangrove. Taman Nasional Ujung Kulon terletak di ujung barat pulau Jawa. Sejak tahun 1991 kawasan ini dimasukkan dalam daftar warisan dunia pada kriteria (iii) yakni memiliki fenomena alam yang luar biasa dan (iv) yakni merupakan habitat konservasi in situ spesies langka (Anonim, 2002). TN Ujung Kulon memiliki hutan mangrove di sepanjang pantai utara tanah genting, sungai Cikalong, Pulau Handeuleum, dan Pulau Panaitan. Spesies yang dominan antara lain S. alba, Lumnitzera racemosa, N. fruticans, Avicennia, Rhizophora, dan Bruguiera (Blower dan Zon, 1977; Hommel, 1987). TN Baluran di ujung timur laut pulau Jawa, memiliki 36 spesies mangrove yang letaknya terpencar-pencar, delapan diantaranya baru diidentifikasi yaitu Acrostichum aureum, Osbornea octodonta, Bruguiera sexangula, B. gymnorrhiza, Rhizophora lamarckii, R. mucronata, R. stylosa, dan Heritiera littoralis (Saraswati, 2001). TNL Karimunjawa memiliki 25 spesies mangrove mayor dan minor, antara lain: Bruguiera, Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, dan Xylocarpus (Martoyo, 2000). Terdapat banyak faktor yang menyebabkan rusaknya ekosistem mangrove di Jawa. Dalam tulisan ini akan diketengahkan beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan tersebut, antara lain: pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan, khususnya oleh minyak bumi.

PERTAMBAKAN Hilangnya hutan mangrove terutama disebabkan pembuatan tambak ikan dan udang, khususnya dalam dua dekade terakhir (Kairo et al., 2001; Ong, 2002; The Jakarta Post, 29/1/2002). Nilai ekonomi udang yang tinggi menjadikannya mata dagangan penting di dunia (Martinez-Alier, 2001; Ong, 2002). Keberhasilan teknik budidaya udang di Taiwan pada tahun 1970-an mendorong upaya pertambakan udang secara modern dalam skala luas di Asia Tenggara, Karibia dan Amerika Selatan (Phillips et al., 1993; Primavera, 1993, 1995;

9 Ellison dan Farnsworth, 1996; Naylor et al. 1998). Hingga tahun 1991, hutan mangrove seluas 1,2 juta hektar di kawasan Indo-Pasifik Barat telah diubah menjadi tambak (Primavera, 1995). Sejak tahun 1990 sekitar 269.000 ha hutan mangrove Indonesia dikonversi menjadi tambak (Choudhury, 1996). Konversi mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi di pantai utara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Anonim, 2001a). Di Indonesia pembuatan tambak udang pada awalnya di mulai di pantai utara Jawa, dimana mendorong perusakan hutan mangrove secara besarbesaran antara pertengahan tahun 1970-1990-an. Kini kebanyakan tambak tersebut tidak lagi produktif, sehingga dicari lahan baru seperti di Irian, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Beberapa tambak besar di Indonesia merupakan milik pengusaha Thailand. Mereka memindahkan lokasi usahanya ke Indonesia karena areal pertambakan di negerinya tidak lagi produktif akibat kerusakan ekosistem mangrove (Martinez-Alier, 2001). Pembuatan tambak di sekitar muara sungai dan dataran pantai utara Jawa menyebabkan perubahan vegetasi muara secara nyata. Ekosistem mangrove hanya tersisa pada tempat-tempat tertentu yang sangat terisolasi atau ditanam di tepi tambak yang berbatasan dengan pantai atau sungai untuk mencegah abrasi (Anonim, 1995). Pengamatan penulis pada tahun 2002 di sepanjang pantai utara Jawa menunjukkan adanya tambak-tambak ikan yang dikelola secara intensif hingga jauh ke arah daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak. Secara intensif hal ini berlangsung antara lain di pantai Indramayu, Brebes, Pekalongan, Demak, Pati, Rembang, Lamongan, Gresik dan Situbondo, meskipun beberapa areal tambak tampaknya tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan pencemaran lingkungan. Hal ini dapat dijumpai di Brebes, Situbondo dan Probolinggo dimana ratusan hektar tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus. Pengamatan yang sama di pantai selatan Jawa menunjukkan pula adanya upaya mengubah lahan basah mangrove menjadi tambak udang. Dalam jumlah terbatas hal ini dijumpai di muara Sungai Lokulo, Cakrayasan, Bogowonto, dan Ijo, sedang dalam skala besar dilakukan di Segara Anakan, namun upaya terakhir ini gagal karena adanya akumulasi pirit yang beracun (tanah sulfat asam), di samping penjarangan oleh masyarakat karena tidak adanya kepastian hukum atas tanah timbul yang digunakan (Kompas, 7/3/1998; Republika, 24/3/2001).

PENEBANGAN HUTAN Kerusakan ekosistem mangrove tidak hanya terjadi di luar kawasan hutan namun juga di dalam hutan yang dikelola Perhutani. Berdasarkan identifikasi Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutaan Sosial Departemen Kehutanan, kerusakan mangrove di dalam hutan mencapai 1,7 juta hektar (44,73%), sedangkan di luar hutan mencapai 4,2 juta hektar (87,5%). Pembukaan lahan untuk tambak udang memiliki andil besar bagi kerusakan mangrove di luar hutan, sedangkan

penebangan secara tidak lestari merupakan penyebab utama kerusakan mangrove di dalam hutan (Suara Pembaruan, 11/8/2002). Penebangan hutan hingga tingkat yang tidak memungkinkan penyembuhan secara alami merupakan ancaman serius ekosistem mangrove (Hasmonel et al., 2000). Keterkaitan mangrove dengan produktivitas perikanan telah banyak dilaporkan (e.g. Lewis et al. 1985; Twilley, 1993; Primavera, 1995; Ellison dan Farnsworth, 1996). Pembabatan ekosistem mangrove selalu diikuti penurunan hasil tangkapan ikan dan udang pada perairan pantai di sekitarnya (Martosubroto dan Naamin, 1977), termasuk pembabatan mangrove untuk pertambakan. Oleh karena itu perlu adanya manajemen yang terintegrasi antara pengelola hutan mangrove dan perikanan, sehingga terbuka kesempatan untuk melakukan akuakultur dan marikultur secara berkelanjutan (Kairo et al., 2001). Kerusakan hutan mangrove dan daerah aliran sungai di Indramayu menyebabkan muara-muara sungai mengalami pendangkalan hebat, sehingga menghambat lalu lintas perahu nelayan. Ketiadaan mangrove menyebabkan sedimen yang dibawa aliran sungai tidak tertangkap dan terendapkan, sehingga menyebar di alur pelayaran. Upaya pengerukan sedimen sangat mahal dan diperkirakan akan sia-sia apabila perusakan daerah aliran sungai, pembabatan pepohonan, dan konversi menjadi lahan terbuka masih berlanjut. Pembabatan hutan mangrove menyebabkan abrasi di Indramayu dan Jepara, hingga menghapus beberapa kawasan permukiman dari peta. Sebaliknya pengelolaan hutan mangrove yang baik di sekitar teluk Grajakan, Banyuwangi menyebabkan kawasan yang menghadap ke pantai selatan Jawa tersebut aman dari abrasi dan badai. Badai tsunami merupakan salah satu bencana alam paling merusak di kawasan pantai. Tsunami di Flores 12 Desember 1992 menelan korban 2100 jiwa, di Banyuwangi 2 Juni 1994 menelan 223 jiwa, dan di Biak 17 Februari 1996 menelan 104 jiwa (Suara Pembaruan, 11/8/2002).

REKLAMASI DAN SEDIMENTASI

Reklamasi Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan telah banyak dilakukan di pantai utara Jawa, namun reklamasi besar-besaran tampaknya baru akan dilakukan dalam megaproyek Jakarta Waterfront City di pantai utara Jakarta dan Jawa Barat. Di pantai ini kawasan pasang surut seluas 8000 ha dan sepanjang 30 km direklamasi untuk area perumahan, perdagangan, marina, perkantoran, area rekreasi dan padang golf. Kawasan yang direklamasi meliputi 4000 ha laut Jawa dengan kedalaman 5 m dan 4000 ha bekas tambak dan hutan mangrove (150 ha). Reklamasi akan mempengaruhi ekosistem terumbu karang (Hasmonel et al., 2000), dan merombak zona jeluk dangkal pantai utara Jakarta secara kompleks, dimana terjadi perubahan secara tiba-tiba antara ekosistem daratan dan laut (Ligtvoet et al., 1996). Tanggul-tanggul pemecah gelombang dan waduk-waduk lapangan golf akan menggantikan hutan mangrove dan rawa-rawa yang saat ini masih diperlukan untuk menahan abrasi

10 pantai dan menampung kelebihan air hujan (Hasmonel et al., 2000). Pada tahun 1940-an, kawasan pantai utara Jakarta memiliki area mangrove setebal 2-7 km. Kini kawasan mangrove hanya berupa garis tipis, terpisah-pisah di sepanjang tepian pantai akibat konversi ke tambak dan sawah. Di sisi timur pantai Jakarta tersisa hutan lindung Anke-Kapuk dan cagar alam Muara Angke, yang sangat miskin spesies dan rusak akibat pencemaran limbah kimia, sampah kota, perubahan hidrologi dan sedimentasi, sehingga secara ekologi tidak banyak berperan terhadap ekosistem perairan pantai Jakarta dan laut Jawa. Restorasi hutan Anke-Kapuk tidak praktis karena tekanan pembangunan yang cenderung mematikan habitat ini (Ligtvoet et al., 1996; Hasmonel et al., 2000). Oleh karena itu perlu adanya hutan mangrove baru yang bernilai ekologi, edukasi dan pariwisata. Salah satu lokasi yang sangat menjajikan adalah muara sungai Cisadane, dimana daratan lumpur terbentuk sejauh 3050 meter per tahun dengan potensi luas mencapai 400 ha dan kolonisasi tumbuhan mangrove relatif cepat. Kawasan ini kurang terpolusi dibanding lokasi lain, memiliki berbagai bentuk lanskap seperti tepian sungai, laguna, dataran lumpur, dan pulau-pulau baru, sehingga sangat sesuai bagi pembentukan ekosistem mangrove yang lengkap (Ligtvoet et al., 1996). Sebelumnya reklamasi pantai sudah dilakukan di kawasan pantai Ancol tahun 1960-an. Tanah hasil reklamasi digunakan untuk area industri, perumahan, dan rekreasi. Konversi mangrove untuk pemukiman juga pernah dilakukan pada tahun 1990-an di Pantai Kapuk. Reklamasi, seharusnya tidak hanya memperluas daratan tetapi juga dapat memperbaiki lingkungan sekitarnya (Hasmonel et al., 2000). Tujuan akhir pengelolaan wilayah pesisir adalah memberi kesempatan masyarakat memanfaatkan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup (ButarButar, 1996). Sedimentasi Sedimentasi merupakan masalah serius pada semua sungai-sungai besar di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini terkait dengan intensitas kegiatan manusia di daerah aliran sungai, sehingga menjadi suatu hal yang tampaknya sulit dihindari, khususnya di Jawa mengingat tingginya populasi penduduk. Sedimentasi yang berdampak serius terhadap kelangsungan ekosistem mangrove terjadi di Segara Anakan. Hal ini terkait dengan sifat lagunanya yang tertutup hingga terjadi akumulasi sedimen luar biasa. Setiap tahun sungai 3 Citanduy mengangkut 5 juta m sedimen dan sungai 3 Cikonde/Cimeneng 770.000 m , dimana sebagian besar diendapkan di Segara Anakan. Sedimentasi di pantai pantai utara Jawa, tampaknya tidak banyak mempengaruhi ekosistem mangrove walaupun sangat merugikan perekonomian (Anonim, 2001a). Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang mendorong terbentuknya ekosistem mangrove, namun sedimentasi yang berlebih di Segara Anakan akan mengubur laguna dan merubahnya menjadi ekosistem daratan. Pada saat ini luasan Segara Anakan diperkirakan hanya tinggal 600ha, dengan kedalaman pada saat surut tidak lebih dari 50 cm. Pada tahun 1903 perairan laguna itu masih sekitar 6.450 ha dengan kedalaman antara 30-40 m (ECI, 1994). Pengerukan Segara Anakan dan penyudetan muara Sungai

Cintanduy diharapkan dapat mengurangi pelumpuran di laguna (Winarno dan Setyawan, 2003). Kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan dan pengasuhan berbagai biota laut, serta menyuplai beraneka bibit jenis ikan dan udang di sepanjang pantai selatan Jawa, mulai dari Pelabuhan Ratu hingga Gunung Kidul. Pelumpuran Segara Anakan yang menyebabkan menyempitnya luas laguna dan dangkalnya sungai menyebabkan banjir di Kecamatan Kawunganten, Sidareja, dan Patimuan di Kabupaten Cilacap, serta Kalipucang, Padaherang dan Banjarsari di Kabupaten Ciamis (Pikiran Rakyat, 7/9/2002). Sebaliknya pada musim kemarau berkurangnya hutan bakau menyebabkan intrusi air asin di kawasan permukiman, seperti Panikel, Motean, Bugel, Ciawitali, Cibeureum, Karanganyar, dan Majingklak, serta menyebabkan air sungai Cikonde/Cimeneng dan Citanduy menjadi payau sehingga tidak dapat digunakan untuk minum dan memasak (Suara Pembaruan, 21/10/2002).

PENCEMARAN LINGKUNGAN Kawasan mangrove merupakan habitat antara laut dan daratan, sehingga pencemaran yang terjadi di laut maupun di daratan dapat berdampak pada kawasan ini. Sekitar 80% pencemaran di laut berasal dari daratan, seperti dari industri, pertanian, dan rumah tangga. Sumber pencemar terbesar di laut berasal dari aliran permukaan dari daratan (44%), emisi pesawat terbang (33%), pelayaran dan tumpahan minyak (12%), pembuangan limbah ke laut (10%), dan kegiatan penambangan lepas pantai (1%) (Anonim, 2001a). Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan respirasi, osmoregulasi, dan mati. Tumpahan minyak mendapat perhatian besar karena menyebabkan banyak kerusakan jangka panjang pada ekosistem mangrove (Wardrup, 1987; Burns et al., 1993; Duke et al., 1997), sedangkan logam berat memiliki toksisitas, persistensi dan prevalensi yang sangat tinggi (Shriadah, 1999). Tumpahan minyak di laut akan terbawa ke kawasan mangrove pada saat air pasang, lalu terdeposit di permukaan sedimen dan akar pohon ketika air surut. Pola pasang harian yang berubah-ubah menyebabkan setiap tempat mendapatkan pengaruh yang berbedabeda. Pada pencemaran berat, tumbuhan mangrove dapat mati akibat lentisel pneumatofora tertutup minyak. Mangrove juga dapat mati akibat terserapnya minyak oleh sedimen. Senyawa aromatis minyak bumi dengan berat molekul rendah dapat merusak membran sel akar yang terletak di dalam sedimen, sehingga garam dapat masuk ke jaringan dan terjadi keracunan (IPIECA, 1993a). Selama paruh akhir abad ke-20 kebutuhan industri di negara-negara maju akan minyak bumi berkembang pesat, sehingga operasi pelayaran kapal tangker - satusatunya moda transportasi pengangkut minyak bumi antara benua - berlangsung sangat intensif. Salah satu akibatnya adalah kecelakaan kapal tangker dimana jutaan liter minyak bumi tumpah ke laut dan tersebar hingga kawasan pesisir di sekitarnya. Kejadian terbaru adalah tenggelamnya kapal tangker Prestige yang membawa 76 juta liter minyak di pantai utara Spanyol

11 pada bulan Nopember 2002. Kecelakaan kapal tangker paling terkenal adalah tenggelamnya Exxon Valdez pada tahun 1989 di Alaska yang menyebabkan tumpahnya 40 juta liter minyak bumi (Bragg et al., 1994; Pickrell, 2002). Di perairan laut sekitar Jawa, kecelakaan kapal tangker minyka bumi telah beberapa kali terjadi (Tabel 1.).

Tabel 1. Kejadian tumpahan minyak bumi di perairan laut sekitar Jawa sejak tahun 1990-an (Anonim, 2003; 2001a). Tahun 1994

Lokasi Cilacap

1997

Selat Madura

1998

Tanjung Priok

1999

Cilacap

2000

Cilacap

2001

Tegal-Cirebon

2002

Yogyakarta

Kejadian Tabrakan antara kapal tanker MV. Bandar Ayu dengan kapal ikan. Tenggelamnya kapal tanker SETDCO. Kandasnya kapal Permina Supply No. 27 dengan muatan solar. Robeknya kapal tanker MT. King Fisher yang menumpahkan 640.000 liter minyak dan mencemari teluk Cilacap sepanjang 38 km. Tenggelamnya kapal tangker HHC yang memuat 9000 ton aspal. Tenggelamnya kapal tangker Steadfast yang megangkut 8001200 ton minyak. Tenggelamnya M.V. Kalla Lines di pantai Congot yang membawa aspal.

Dampak tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal tangker masih akan terasa hingga puluhan tahun kemudian. Kecelakaan kapal tangkel di teluk Buzzards, Massachusetts, pada bulan September 1969 yang menumpahkan 700.000 liter minyak disel hingga kini masih menyisakan residu pada sedimen rawa, sehingga tingkat kerugian pada ekosistem sulit dipastikan. Meskipun lapisan minyak telah hilang dari permukaan air, hidrokarbon minyak masih tetap bertahan dalam sedimen pada kedalaman 6-28 cm. Degradasi minyak bumi sangat lambat bahkan setelah 30 tahun. Hal ini disebabkan ketiadaan oksigen dan sulfat dari sedimen yang dibutuhkan bakteri pendegradasi untuk bertahan hidup (Pickrell, 2002). Di kawasan tropis laju degradasi minyak biasanya lebih cepat, hambatan degradasi selain akibat sifat sedimen mangrove yang anaerob, juga karena tingginya konsentrasi tannin pada lumpur mangrove sehingga menghambat kehidupan bakteri pendegradasi (IPIECA, 1993a). Berbagai teknik untuk membersihkan lingkungan dari pencemaran minyak telah ditemukan dan dapat diterapkan secara baik, namun beberapa teknik dapat menghambat penyembuhan habitat tertentu (Sell, 1995). Hingga kini cara terbaik adalah mengambil tumpahan minyak langsung secara mekanis, baik dengan menyendok, menyedot, menyerap atau cara lain. Penggunaan dispersan agar minyak mengendap hanya memindahkan pencemaran dari permukaan air ke permukaan sedimen (IPIECA, 1993b). Sedimen mangrove didominasi lumpur anaerob dan mengandung sulfur (Alongi dan Saeskumar, 1992). Permukaan sedimen yang mengandung oksigen kurang dari 1 cm, bahkan pada hutan Rhizophora hanya sedalam 1-2 mm (Duke et al., 1999). Ketersediaan oksigen dan nutrien merupakan faktor pembatas

kehidupan bakteri pendegradasi hidrokarbon (Swannell et al., 1994; Scherrer dan Mille, 1989; Oudot dan Dutrieux, 1989; Burns et al., 1999). Pendekatan bioremediasi dapat digunakan untuk biodegradasi minyak, dimana mikroba diberi tambahan akseptor elektron dan nutrien, sehingga pertumbuhan dan perkembangnya lebih cepat. Teknik ini telah berhasil diterapkan pada lingkungan pantai berpasir, berkerikil dan berkerakal (Prince, 1993; Bragg et al., 1994; Swannell et al.,1994, 1996, 1999). Meskipun masih jarang dilakukan pada lingkungan mangrove (Burns et al., 1999), penambahan aerasi dan nutrien terbukti dapat mempercepat pertumbuhan organisme pendegradasi hidrokarbon minyak bumi di kawasan mangrove (Ramsay et al., 2000). Pengaruh tumpahan minyak pada sedimen mangrove dapat berlangsung selama puluhan tahun, namun di kawasan tropis setahun setelah terjadinya tumpahan, restorasi mangrove sudah dapat dilakukan. Semakin lama masa jeda, maka semakin tinggi tingkat keberhasilan pertumbuhan propagule. Hal ini tergantung pada jenis minyak yang tumpah, tipe tanah, pola pasangsurut dan intensitas hujan (IPIECA, 1993a). Di Refineria Panama, dua tahun setelah tumpahnya minyak, sebanyak 86.000 sedling mangrove dengan tinggi ratarata 1 m ditanam pada area seluas 75 ha, dari hasilnya 90% sedling tersebut dapat tumbuh dan bertahan hidup (Teas, 1989).

PENUTUP Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan sangat drastis, akibat tingginya tekanan populasi penduduk yang berimplikasi pada besarnya kegiatan pertambakan, penebangan hutan mangrove, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Hal ini menimbulkan kesadaran akan pentingnya upaya konservasi, manajemen, dan restorasi hutan mangrove, untuk menjaga kelestarian fungsi sosial-ekonomi, sosialbudaya, dan peran ekologinya. Hambatan utama pemanfaatan mangrove secara lestari adalah pengelolaan yang bersifat sektoral, lemahnya keikutsertaan masyarakat, kemiskinan, dan kurangnya kepedulian terhadap nilai ekologi mangrove. Permasalahan manajemen ini bergabung dengan lemahnya pengetahuan mengenai teknik silvikultur, potensi penggunaan, dan teknik regenerasi. Restorasi mangrove berpotensi besar menaikkan nilai sumber daya ini, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, dan produksi perikanan. Hal ini akan dibahas dalam bagian kedua tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Alongi, D.M. and A. Sasekumar. 1992. Benthic communities. In Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American Geophysical Union. Anonim. 1995. Summary Environmental Impact Assesment of the North Java Flood Control Sector Project in the Republic of Indonesia. July

12 1995. Jakarta: Directorate General of Water Resources Development (DGWRD). Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation. Anonim. 1998. Muara Angke Nature Reserve. http://users.bart.nl/ ~edcolijn/angke.html Anonim. 2000. Pesona Alas Purwo. http://siklusits.tripod.com/ alas_purwo.htm Anonim. 2001a. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Anonim. 2001b. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau Anonim. 2002. Brief Descriptions of Sites Inscribed on the World Heritage List. Paris: UNESCO World Heritage Centre. Anonim. 2003. The Mariner Group - Oil Spill History. http://www.marinergroup.com/oil-spill-history.htm Arisandi, P. 2001. Mangrove Jawa Timur, Hutan Pantai yang Terlupakan. Gresik: Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON). Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Bennett, E.L. and C.J. Reynolds. 1993. The value of mangrove area in Sarawak. Biodiversity Conservation 2: 359-375. Birkeland, C. 1983. Influences of Topography of Nearby Land Masses in Combination with Local Water Movement Patterns on the nature of Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in Island Marine Ecosystem. Dunedine: UNESCO Report in Marine Science No. 27. Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Blower, J.H. and A.P.M. van der Zon. 1977. Ujung Kulon National Park Management Plan 1977-1981. Field report. Bogor: UNDP/FAO Nature Conservation and Wildlife Management Project INS/73/013.. Bragg, J. R., R.C. Prince, E.J. Harner, and R.M. Atlas. 1994. Effectiveness of bioremediation for the Exxon Valdez oil spill. Nature 368: 413-418. Burns, K.A. 1993. Evidence for the importance for including hydrocarbon oxidation products in environmental assessment studies. Marine Pollution Bulletin 26: 77-85. Burns, K.A., S. Codi, R.J.P. Swannell, and N.C. Duke. 1999. Assessing the petroleum hydrocarbon degradation potential of endogenous tropical marine wetland microorganisms: Flask experiments. Mangroves and Salt Marshes 3: 67-83. Burns, K.A., S.D. Garrity, D. Jorissen, J. MacPherson, and M. Stoelting. 1994 The Galeta oil spill. II: Unexpected persistence of oil trapped in mangrove sediments. Estuarine Coastal and Shelf Science 38: 349364. Butar-Butar. M. 1996. Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Penggunaan Pantai untuk Kepentingan Pribadi/Perorangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein J.Cramer Verlag. Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and PapuaNew Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: Asia Development Bank. Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest management. In Hussain Z, and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol. 2: Bangladesh. Gland, Switzerland: IUCN Wetlands Program. Clark, R. J. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Boca Raton: CRC Lewis Publishers. Clough, B.F. 1992. Primary productivity and growth of mangrove forests. In Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American Geophysical Union. Coulter, S.C., C.M. Duarte, S.T. Mai, H.T. Nguyen, T.H. Hoang, H.G. Le, and N.G. Phan. 2001. Retrospective estimates of net leaf production in Kandelia candel mangrove forests. Marine Ecology Progress Series 221: 117-124. Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000. Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) among subsistence and commercial users. Economic Botany 54: 513-527. Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: P.T. Saptodadi.

Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Duarte, C.M. and J. Cebrián. 1996. The fate of marine autotrophic production. Limnology and Oceanography 41:1758-1766 Dudley, R.G. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plant. Cilacap: Segara Anakan Conservation and Development Project. Duke, N.C., K.A. Burns, and R.P.J. Swannell. 1999. Research into the Bioremediation of Oil Spills in Tropical Australia: with Particular Emphasis on Oiled Mangrove and Salt Marsh Habitat. Final report to the Australian Safety Maritime Authority. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Duke, N.C., Z.S. Pinzon, and M.C.Prada, M.C. 1997. Large-scale damage to mangrove forests following two large oil spills in Panama. Biotropica 29: 2-14. ECI, 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project. Jakarta: Asian Development Bank. Ellison, A.M. and E.J. Farnsworth. 1996. Anthropogenic disturbance of Caribbean mangrove ecosystems: past impacts, present trends, and future predictions. Biotropica 24: 549-565. FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3. Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian Fresh Water Aquatic Herbs. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 27. Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia. Giesen, W. 1993. Indonesian mangroves: an update on remaining area and main management issues. International Seminar on Coastal Zone Mangement of Small Island Ecosystem, Ambon, 7-10 April 1993. Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Company. Gómez, E.G. 1988. Overview of environmental problems in the East Asian seas region. Ambio 17:166-169. Hadianto. 1998. Geological data processing activities in the directorate of environmental geologi for anticipated develop-ment in large urban areas. The DCGM Phase III Coordinator's Meeting, Bangkok, Thailand, January 12-14, 1998. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West Center. Hasmonel, M.W. Purwaningdyah, dan R. Nurhayati. 2000. Reklamasi Pantai dalam Hubungannya dengan Pendaftaran Tanah (Studi Kasus di Pantai Utara Jakarta). Jakarta: Universitas Terbuka. Hommel, P.W.F.M. 1987. Landscape-ecology of Ujung Kulon (West Java, Indonesia). Wageningen: Soil Survey Institute. Hong, P.N. and H.T. San. 1993. Mangroves of Vietnam. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, and Zuwendra. 1992. Manual of Guideline for Scoping EIA in Indonesia Wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No. 6B. Jakarta: Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau Indonesia Hussain, Z. and G. Acharya, 1994. (ed.). Mangroves of the Sundarbans. Vol, 2: Bangladesh. Bangkok: International Union for the Conservation of Nature. Hussein, M.Z. 1995. Silviculture of mangroves. Unasylva 46: 36-42. IPIECA. 1993a. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA Report No. 4. London: International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. IPIECA. 1993b. Dispersants and their Role in Oil Spill Response. IPIECA Report No. 5. London: International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. Iskandar, J. 1987. Stop perburuan burung air. Suara Alam 49: 47-50. Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A revi-ew of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43. Jimenez, J.A., R. Martinez, and L. Encarnocion. 1985. Massive tree mortality in Puerto Rican mangroves forests. Caribbian Journal of Science 21: 75-78. Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Restoration and management of mangrove systems — a lesson for and from the East African region. South African Journal of Botany 67: 383-389. Kartawinata, K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Knox, G.A. and T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in South East Asia, with special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO.

13 Kompas, 31/5/2002. Panorama Cagar Alam Pulau Sempu. Kompas, 31/7/2002. 90 Persen Pantura Jatim Rusak. Kompas, 7/3/1998. Massa Rusak Sarana Tambak Udang. Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Lewis, R.R., R.G. Gilmore, D.W. Crewz, and W.E. Odum. 1985. Mangrove habitat and fishery resources of Florida. In Seaman, W. (ed.) Florida Aquatic Habitat and Fishery Resources. Kissimee: Florida Chapter American Fisheries Society. Ligtvoet, W., R.H. Hughes, and S. Wulffraat. 1996. Recreating mangrove forest near Jakarta, Conserving biodiversity in an urban environment. Land and Water International 84: 8-11. Lugo A.E. and S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves. Annual Review of Ecology and Systematics 5: 39-63. Machfud, D.S. 1990. Social Forestry Network: Social Forestry in Disputed upland Areas in Java. Jakarta: Perum Perhutani, State Forest Corporation, Java, Indonesia. MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology 6: 73-270. Manassrisuksi, K., M. Weir, and Y.A. Hussin. 2001. Assesment of mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS: a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Eastern Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensisng, Singapore 59 November 2001. Marius, C. 1977. Propositions pour une classification française des sols de mangroves tropicales. Cah. ORSTOM 15 (1): 89-102. Martinez-Alier, J. 2001. Ecological Conflicts and Valuation - Mangroves vs. Shrimp in the Late 1990s. Barcelona: Universitat Autònoma de Barcelona. Martosubroto, P. and M. Naamin. 1977. Relationship between tidal forests (mangroves) and commercial shrimp production in Indonesia. Marine Research Indonesia 18: 81-86. Martoyo, I.D. 2000. Taman Nasional Karimunjawa, potensi dan hambatan pembentukan kawasan konservasi biodiversitas di Propinsi Jawa Tengah. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu. Prosiding Semi-loka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa, Surakarta 17-20 Juli 2000. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS. Miller, K.R. 1999. International wilderness provides ecological services for sustainable living. International Journal of Wilderness 5 (3): 3539. Naylor, R.L., R.J. Goldburg, H. Mooney, M. Beveridge, J. Clay, C. Folke, N. Kautsky, J. Lubchenco, J.H. Primavera, and M. Williams. 1998. Nature's subsidies to shrimp and salmon farming. Science 282: 883884. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nurwanto, Y.A. 2001. Keanekaragaman Vegetasi Hutan Mangrove di Segara Anakan Cilacap. [Tesis]. Surakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana UNS. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third edition. Philadelphia: W.B. Sounders Company. Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START. Oudot, J. and E. Dutrieux. 1989. Hydrocarbon weathering and biodegradation in a tropical estuarine ecosystem. Marine Environmental Research 27: 195-212. Phillips, M.J., C.K. Kwei-Lin, and M.C.M. Beveridge. 1993. Shrimp culture and the environment: lessons from the world’s most rapidly expanding warmwater aquaculture sector. In Pullin, R.S.V., H. Rosenthal and J.L. MacLean (ed.) Environment and Aquaculture in Developing Countries. ICLARM Conference Proceedings 31. Pickrell, J. 2002. Oil spills pollute indefinitely and invisibly, study says. National Geographic News, November 22, 2002. Pikiran Rakyat, 7/9/2002. Melihat Segara Anakan yang Nyaris Rusak Total: Pangandaran Menolak, Karanganyar Ancam Bendung Citanduy. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. Reviews in Fisheries. Science 1 (2): 151-201 Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. Prince, R.C., R.E. Bare, G.N. George, C.E. Haith, M.J. Grossman, J.R. Lute, D.L. Elmendorf, V. Minak-Bernero, J.D. Senius, L.G. Keim, R.R. Chianelli, S.M. Hinton, and A.R. Teal. 1993. The effect of bioremediation on the microbial populations of oiled beaches in

Prince William Sound, Alaska. In Proceedings of the 1993 Oil Spill Conference. Washington DC: American Petroleum Institute. Rahman, L.M. 2000. The Sundarbans: A Unique Wilderness of the World. In McCool, S.F., D.N. Cole, W.T. Borrie, and J. O’Loughlin (ed.). Wilderness science in a time of change conference—Volume 2: Wilderness within the context of larger systems; 1999 May 23-27; Missoula, MT. Proceedings RMRS-P-15-VOL-2. Ogden: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, and Rocky Mountain Research Station. Ramsay, M.A., R.P.J. Suwannell, W.A. Shipton, N.C. Duke, and R.T. Hill. 2000. Bioremediation on the microbial community in oiled mangrove sediments. Marine Pollution Bulletin 41 (7-12): 413-419. Ray, C.C. and R.G. McCormick. 1994. Coastal marine protected areas, a moving target. Proceeding from the International Workshop on Coastal Marine Protected Areas and Biosphere Reserves. Canberra: ANCA/UNESCO. Republika, 23/7/2002. Kajian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Mengejutkan. Republika, 24/03/2001. Hutan Mangrove di Cilacap Menyusut . Ruitenbeek, J.H. 1998. Mangrove Management: An Economic Ana-lysis of Management Options with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI Environmental Reports 8. Jakarta: Environmental Management Development in Indonesia Project (EMDI). Saenger, P., E.J. Hegerl, and J.D.S Davie. 1983. Global status of mangrove ecosystems. The Environmentalist 3: 1-88. Also cited as: IUCN. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. Gland: International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources. Saraswati, A. 2001. 8 Spesies As New Mangrove In Baluran National Park. Banyuwangi: Baluran Breaking News. Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (ed.). Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program. Scherrer, P. and G. Mille. 1989. Biodegradation of crude oil in an experimentially polluted peaty mangrove soil. Marine Pollution Bulletin 20: 430-432. Sell, D. 1995. The effect of oil spill clean-up on shore recovery times. Proceedings of the Second International Oil Spill Research and Development Forum, London, 23-26 May 1995. London: The International Maritime Organization. Semesi, A.K. 1998. Mangrove management and utilization in eastern Africa. Ambio 27: 620-626. Setyawan, A.D., A. Susilowati dan Wiryanto. 2002. Habitat reliks vegetasi mangrove di pantai selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256. Shriadah, M.M.A. 1999. Heavy metals in mangrove sediments of the United Arab Emirates shoreline (Arabian Gulf). Water, Air, and Soil Pollution 116: 523-534, 1999. Silvius, M.J., A.P.J.M. Steeman, E.T. Berczy, E. Djuharsa and A.W. Taufik. 1987. The Indonesian Wetland Inventory. A Preliminary Compilation of Existing Information on Wetlands of Indonesia, Vol. I and II. Bogor: PHPA, AWB/INTERWADER, EDWIN. Soemodihardjo, S and S. Ishemat. 1989. Country Report: Indonesia, The Status of Mangrove Forests in Indonesia, Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication No 37. Soemodihardjo, S. and L. Sumardjani. 1994. Re-afforestation of mangrove forests in Indonesia. Proceeding of the Workshop on ITTO Project. Bangkok, 18-20 April 1994. Soenarko. 2002. Kebijakan KIMPRASWIL dalam Rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Jakarta, 30 Mei 2002. Soewarno, H. 1982. The Cilacap Mangrove Ecosystem. Jakarta: Lapan. Spalding, M., F. Blasco, and C. Field. 1997. World Mangrove Atlas. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems. Spaninks, F. and P. van Beukering. 1997. Economic Valuation of Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations. CREED Working Paper No 14, July 1997. London and Amsterdam: International Institute for Environment and Development, and Institute for Environmental Studies. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Suara Merdeka, 16/6/2001. Hutan Mangrove Dimodifikasi dengan Kayu Putih. Suara Pembaruan 29/7/2002. Kerusakan Hutan Bakau Mengkhawatirkan. Suara Pembaruan, 11/8/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa Mengkhawatirkan. Suara Pembaruan, 21/10/2002. Warga Segara Anakan Kesulitan Air Bersih Suara Pembaruan, 29/7/2002a. 10 Ha Hutan Bakau di Cilacap Kekeringan. Sukardjo, S. 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128137

14 Sukardjo, S. 1989. The mangrove forests of Java and Bali (Indonesia). Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication No 37. Swannell, R.P.J., A. Basseres, K. Lee, and F.X. Merlin. 1994. A direct respirometric method for the in situ determination of bioremediation efficacy. In 17th Arctic and Marine Oil Spill Program Technical Seminar. Ottawa: Environment Canada. Swannell, R.P.J., D. Mitchell, D.M. Jones, S. Petch, I.M. Head, A. Willis, K. Lee, and J. Lepo. 1999. Bioremediation of oil contaminated fine sediments. In Proceedings of 1999 International Oil Spill Conference. Washington: The American Petroleum Institute. Swannell, R.P.J., K. Lee, and M. McDonagh. 1996. Field evaluations of marine oil spill bioremediation. Microbiological Reviews 60: 342-365. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Teas, H.J. 1989. Mangrove restoration after the 1986 Refineria Panama oil spill. Proceedings 1989 Oil Spill Conference. Washington, D.C.: American Petroleum Institute. Terchunian, A., V. Klemas, A. Alvarez, B. Vasconez, and L. Guerrero. 1986. Mangrove mapping in Ecuador: The impact of shrimp pond construction. Environmental Management 10: 345-350 The Jakarta Post, 29/1/2002. Development Sends Waterfowl to Brink. Thom, B.G. 1967. Mangrove ecology and deltaic geomorphology: Tabasco, Mexico. Journal of Ecology 55: 301-343

Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University Press. Twilley, R.R. 1993. Mangrove ecosystem biodiversity and conservation in Ecuador. In Potter, C.S., J.I. Cohen, and D. Janczewski (ed.). Perspectives on Biodiversity: Case Studies of Genetic Resource Conservation and Development. Washington DC: American Association for the Advancement of Science. UNDP. 1998. Integrated resource development of the Sundarbans Reserved Forests, Bangladesh. Volume I Project BGD/84/056. Dhaka: United Nations Development Programme, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press. Wardrup, J.A., 1987. The effects of oils and dispersants on mangroves: a review and bibliography. Occasional paper no. 2: Environmental Studies. Adelaide: University of Adelaide. Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kulala Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6 Widodo, H. 1987. Mangrove hilang ekosistem terancam. Suara Alam 49: 11-15. Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. Penyudetan Sungai Citanduy, buah simalakama konservasi ekosistem mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72. Wirjodarmodjo, H., S.D. Soeroso dan S. Bambang. 1979. Pengelo-laan Hutan Payau Cilacap. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional LIPI.

15

Mangrove: Ekoton Perairan Tawar dan Laut

ABSTRACT Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan sosial-ekonomi dan ekologi yang sangat penting. Fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove meliputi sumber kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap huma, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat dan bahan pewarna. Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan badai, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, pembentuk daratan, serta memiliki fungsi sosial sebagai areal konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Akan tetapi tingkat kerusakannya ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia, sangat cepat dan dramatis. Ancaman utama kelestarian ekosistem mangrove adalah kegiatan manusia, seperti pembuatan tambak (ikan dan garam), penebangan hutan, dan pencemaran lingkungan. Di samping itu terdapat pula ancama lain seperti reklamasi dan sedimentasi, pertambangan dan sebab-sebab alam seperi badai. Restorasi hutan mangrove mendapat perhatian secara luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi ini berpotensi besar menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas dan produksi perikanan. Kata kunci: mangrove, ekosistem, ekoton.

PENDAHULUAN Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh pohon dan semak tumbuhan bunga (angiospermae) terestrial yang dapat menginvasi dan tumbuh di lingkungan air laut (MacNae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Hutan mangrove disebut juga vloedbosh, hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan adalah hutan

mangrove atau hutan bakau (Kartawinata, 1979). Namun untuk menghindari kesalahan literasi dianjurkan penggunaan istilah mangrove karena bakau adalah nama lokal anggota genus Rhizophora (Widodo, 1987). Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi manggurm. Keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove (Jayatissa dkk., 2002; Ng dan Sivasothi, 2001). Pakar lain berpendapat kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (belukar), yakni belukar di tepi laut (MacNae, 1968). Kata mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau komunitas (FAO, 1982; Ng dan Sivasothi, 2001).

ASAL DAN DISTRIBUSI

Asal usul spesies mangrove Para peneliti berteori bahwa mangrove berasal dari kawasan Indo-Malaysia, karena kawasan ini merupakan pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies mangrove tersebar ke seluruh dunia karena propagul dan bijinya dapat mengapung dan terbawa arus laut. Dari IndoMalaysia, spesies mangrove tersebar ke barat hingga India dan Afrika Timur, serta ke arah timur hingga Amerika dan Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari pantai barat Amerika ke laut Karibia melewati selat yang kini menjadi negara Panama, antara 66 s.d. 23 juta tahun yang lalu, tanah genting ini masih berupa laut. Selanjutnya propagul mangrove terbawa arus hingga pantai barat Afrika. Mangrove di Afrika Barat dan Amerika dikolonisasi oleh spesies yang sama dan keragamannya lebih rendah, karena harus melewati samudera Pasifik yang luas, sedangkan mangrove di Asia, India, dan Afrika Timur memiliki lebih banyak spesies, karena jaraknya yang lebih dekat dengan kepulauan Nusantara (Walsh, 1974; Tomlison, 1986).

Publikasi asli: (i) Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40. (ii) Setyawan, A.D., Sutarno, dan A. Susilowati. 2002. Biodiversitas pada Tingkat Genetik, Spesies, dan Ekosistem Mangrove di Jawa. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.

16 Distribusi mangrove Mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, pada garis lintang di antara 25oLU dan 25oLS, meliputi Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Sebagai perkecualian, mangrove ditemukan di selatan hingga Selandia Baru (38oLS) dan di utara o hingga Jepang (32 LU). Faktor lingkungan setempat seperti aliran laut yang hangat, embun beku, salinitas, gelombang laut, dan lain-lain mempengaruhi distribusi mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Berdasarkan keanekaragaman spesiesnya, Walsh (1974) membagi dunia mangrove menjadi dua kawasan utama, yaitu kawasan Indo-Pasifik Barat yang meliputi Asia, India dan Afrika Timur, serta kawasan Amerika Afrika Barat. Mangrove dari kawasan Indo-Pasifik Barat sangat terkenal dan beragam, terdiri lebih dari 40 spesies, sedangkan di Afrika Barat dan Amerika hanya sekitar 12 spesies (Gambar 1.). Tumbuhan mangrove dari kedua kawasan tersebut memiliki perbedaan cukup menyolok. Rhizophora dan Avicennia, dua genus utama mangrove, diwakili spesies yang berbeda mengindikasikan adanya spesiasi yang mandiri. Di Indo-Pasifik Barat ditemukan Avicennia oficinalis, A. marina, Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorhiza, dan Sonneratia alba, sedang di Atlantik ditemukan A. nitida, R. racemosa, R. mangle, R. harrissonii, dan Laguncularia racemosa (Marius, 1977; Aksornkoae, 1997). Mangrove di Indonesia Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. 2 Sekitar 61.250 km atau sepertiga mangrove dunia terdapat di Asia Tenggara, dimana 42.550 km2 terdapat di Indonesia (Spalding et al., 1997). Ekosistem mangrove hanya mencakup 2% daratan bumi, sehingga secara global sangat langka dan bernilai dalam konservasi (Ong, 2002). Ekosistem ini merupakan bagian dari wilayah pesisir yang mencakup 8% bumi (Birkeland, 1983; Ray dan McCormick, 1994; Clark, 1996). Mangrove di Indonesia umumnya terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian besar terletak di Irian Jaya (Papua). Mangrove tumbuh pada berbagai substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang dan kadang-kadang pada batuan, namun paling baik tumbuh di pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang dan mendapat masukan air sungai. Tumbuhan mangrove di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dapat mencapai tinggi 50 m dengan diameter 50 cm, meski umumnya hanya setinggi 25 m dengan diameter 18 cm (FAO, 1985).

Jumlah tumbuhan mangrove di Indonesia masih diperdebatkan. Jumlah yang sering diacu adalah 37 spesies (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989) atau 45 spesies (Spalding et al., 1997) atau 47 spesies (Anonim, 1997). Spesies utama berasal dari genera Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus, Avicennia, Ceriops, Excoecaria, Nypa, Lumnitzera, Sonneratia, Heritiera, dan Aegiceras (Soemodihardjo dan Sumardjani, 1994). Ciri-ciri tumbuhan mangrove Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan berpembuluh, dapat menggunakan air garam sebagai sumber air, dengan adaptasi daun keras, tebal, mengkilat, sukulen, serta memiliki jaringan penyimpan air dan garam. Tumbuhan mangrove memiliki mekanisme untuk mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan dapat mengekskresi atau menyimpan kelebihan garam. Biji dapat mengapung terbawa arus ke area yang luas dan dapat berkecambah saat masih di pohon induk (vivipar), serta tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon. Akar memiliki struktur tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat pasang, sehingga dapat tumbuh pada tanah anaerob (Tomlinson, 1986).. Tumbuhan mangrove berbentuk pohon dan semak dengan bentuk dan ukuran beragam. Semuanya termasuk dikotil kecuali Nypa fruticans. Mangrove mudah dikenali karena tumbuh pada area di antara rata-rata pasang dan pasang tertinggi, serta pembentukan akar yang sangat menyolok untuk menyokong dan mengait. Sebagian sistem akar terletak di atas tanah dan berfungsi untuk menyerap oksigen selama surut. Acrostichum merupakan satu-satunya Pterydophyta terestrial mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

KLASIFIKASI MANGROVE Klasifikasi taksonomi Terdapat berbagai macam klasifikasi tumbuhan mangrove. Menurut Tomlinson (1986), mangrove meliputi 16-24 familia terdiri dari 54-75 spesies. Sedangkan menurut Field (1996), spesies mangrove sejati sekurang-kurangnya terdiri dari 17 familia, meliputi sekitar 80 spesies, dimana 50-60 diantaranya memberi kontribusi nyata dalam pembentukan hutan mangrove. Menurut Lovelock (1993) di dunia terdapat 69 spesies mangrove tergolong dalam 20 familia.

Gambar. Morfologi khas tumbuhan mangrove.

17 mangrove mayor merupakan penyusun utamanya (Lugo dan Snedaker, 1974; Hamilton dan Snedaker, 1984; Tomlinson, 1986). Identifikasi komposisi vegetasi mangrove merupakan prasyarat untuk memahami semua aspek struktur dan fungsi mangrove, sebagaimana kondisi biogeografi, konservasi dan manajemennya (Jayatissa et al., 2002).

Gambar xxx. Tipe ekosistem mangrove.

Klasifikasi vegetasi mangrove Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove beragam, tergantung kondisi geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, tanah, dan kondisi lingkungan lainnya. Tomlinson (1986) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi. Tumbuhan mangrove mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang surut, dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui pneumatofora, embryo vivipar, serta mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, secara taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat setidaknya hingga tingkat genus, antara lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia. Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya membentuk komponen utama yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni, dan hanya menempati tepian habitat, misalnya: Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria, Heritiera, Osbornia, Pemphis, Scyphiphora, dan Xylocarpus. Tumbuhan asosiasi mangrove adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, tidak hanya ditemukan di hutan mangrove, merupakan vegetasi transisi ke daratan atau lautan, dan dapat berinteraksi dengan mangrove mayor, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina, Ipomoea pescaprae, Sesuvium portucalastrum, Salicornia arthrocnemum, Cocos nucifera, Metroxylon sagu, Dalbergia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain.

EKOSISTEM MANGROVE Komunitas mangrove tersusun atas tumbuhan, hewan dan mikrobia, namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove, komunitas ini tidak dapat disebut ekosistem mangrove (Jayatissa et al., 2002), karena tumbuhan

Ekosistem peralihan Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan atau ekoton antara komunitas laut dengan komunitas perairan tawar di pantai dan daratan, sehingga memiliki kekhasan tersendiri (Dahuri dkk., 1996). Komunitas ini sangat berbeda dengan komunitas laut, namun memiliki beberapa persamaan dengan komunitas daratan dengan terbentuknya rawa-rawa air tawar sebagai zona antara. Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat (Walsh, 1974; Goldman dan Horne, 1983). Proses internal pada komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara sangat dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut, serta suplai hara dan stabilitas sedimen (Blasco, 1992). Faktor utama yang mempengaruhi komunitas ini adalah salinitas, tipe tanah, dan resistensi terhadap arus air dan gelombang laut (Chapman, 1992; Steenis, 1958). Faktor-faktor ini bervariasi dari laut ke daratan hingga terbentuk zonasi (Giesen, 1991). Ekosistem mangrove merupakan bentuk pertemuan lingkungan darat dan laut, sehingga hewan dari kedua lingkungan ini dapat ditemukan di dalamnya. Sebagian kecil hewan menggunakan mangrove sebagai satusatunya habitat, sebagian dapat berpindah-pindah meskipun lebih sering ditemukan di hutan mangrove, sedang lainnya berpindah-pindah berdasarkan musim, tahapan siklus hidup, atau pasang surut laut (Ng dan Sivasothi, 2001; Tomlinson, 1986). Komponen abiotik ekosistem mangrove Faktor lingkungan yang mempengaruhi mangrove dalam jangka panjang adalah ketinggian dan fluktuasi permukaan laut. Adapun faktor-faktor jangka pendek yang berpengaruh adalah suhu, salinitas, arus laut, angin badai, kemiringan pantai, dan substrat sedimen tanah. Kebanyakan mangrove tumbuh di tanah lumpur, namun dapat pula tumbuh di tanah gambut, pasir, dan batu karang. Apabila kondisi pasang surut optimal, mangrove dapat tumbuh jauh ke pedalaman sepanjang muara sungai dan teluk (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Di Kalimantan, hutan ini dapat menjorok

18 hingga 150 km ke hulu sungai, bahkan di Sungai Kapuas hingga 240 km (Steenis, 1958). Tanah. Tanah mangrove merupakan tanah sedimen alluvial yang dibawa dan diendapkan oleh sungai dan laut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai pasir (sand), lumpur/ debu halus (silt) dan lempung/tanah liat (clay). Tanah disusun oleh ketiganya dengan komposisi berbeda-beda. Topsoil tanah mangrove biasanya bertipe pasir atau lempung. Topsoil pasir berwarna lebih terang, porous, dapat dilewati air pada saat pasang dan mengalami aerasi pada saat surut, sedangkan topsoil lempung berwarna lebih gelap, kurang porous dan tidak teraerasi dengan baik. Tanah subsoil selalu jenuh air atau tergenang, sehingga hanya teraerasi sedikit, sangat kaya bahan organik, namun terurai sangat lambat. Tanah ini berwarna abu-abu gelap atau hitam (gleying), dan menghasilkan bau menyengat menunjukkan adanya hidrogen sulfida (H2S), hasil kegiatan bakteri anaerob pereduksi belerang (e.g. Desulfovibrio). Variasi setempat dapat terjadi karena adanya hewan-hewan liang seperti udang dan kepiting, yang menyebabkan udara masuk melalui lubang-lubang di tanah. Kondisi tanah merupakan penyebab terbentuknya zonasi hewan dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda menempati kondisi tanah yang berbeda pula, di sisi lain tumbuhan Avicennia dan Sonneratia hidup dengan baik pada tanah berpasir, sedangkan Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut, adapun Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Derajat keasaman (pH). Adanya kalsium dari cangkan moluska dan karang lepas pantai menyebabkan air di ekosistem mangrove bersifat alkali. Namun tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam, karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam. Aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan oleh tanah gelap, asam dan berbau telur busuk (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Oksigen. Berbeda dengan tanah kering, lumpur hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya lebih rendah daripada di laut terbuka. Kandungan ini semakin rendah pada tempat yang kelebihan bahan organik, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan organik tersebut, sehingga terbentuk zona anoksik. Oksigen pada permukaan sedimen (sediment water interface) digunakan bakteri untuk mengurai bahan organik dan respirasi. Oksigen ini diperoleh dari sirkulasi pasangsurut dan pengaruh atmosfer. Di bawahnya lumpur yang mengandung bahan organik dan partikel-partikel halus menghasilkan kondisi anoksik, yang hanya ditumbuhi bakteri anaerob yang dapat mengurai bahan organik tanpa oksigen dan menghasilkan H2S (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Nutrien. Nutrien yang dihasilkan produser primer hutan mangrove dilepaskan ke komunitas dalam bentuk detritus melalui peruraian serasah daun dan kayu. Dapat pula melalui perumputan yang dilakukan herbivora sehingga terjadi pemindahan energi. Nutrien ekosistem mangrove tidak hanya dihasilkan oleh ekosistem itu sendiri (autochthonous), tetapi juga dari sungai atau laut di luar ekosistem (allochthonous). Hujan secara teratur menyapu detritus dari tepian pantai dan daerah aliran sungai ke dalam mangrove. Pada saat pasang naik, laut

membawa bahan organik atau mikroorganisme tersuspensi ke ekosistem mangrove. Bersama dengan surutnya air laut, mikroorganisme ini tersaring oleh tanah. Sebaliknya pada saat surut nutrien dari daratan pantai juga terbawa ke laut (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Sinar, suhu dan kelembaban. Kondisi di atas dataran terbuka dan di bawah kanopi hutan sangat berbeda. Dataran lumpur yang tersinari matahari langsung pada saat laut surut di siang hari menjadi sangat panas dan memantulkan cahaya, sedangkan permukaan tanah di bawah kanopi hutan mangrove terlindung dari sinar matahari dan tetap sejuk. Tingkat kelembaban hutan mangrove lebih kering dari pada hutan tropis pada umumnya karena adanya angin. Suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies di suatu habitat (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Angin dan arus laut. Secara garis besar iklim di Indonesia dibagi menjadi musim hujan (Oktober-April) dan kemarau (April-Oktober), namun secara lebih detail dapat dibagi menjagi empat musim (monsoon), yaitu: musim timur laut (Desember-Maret) dengan angin kuat dan hujan lebat, khususnya dua bulan pertama; antar musim (pancaroba) yang pertama (April) dengan angin tidak terlalu kuat; musim barat daya (Mei-September) dengan angin kuat dan hujan sangat sedikit; serta antar musim yang kedua (Oktober-Nopember) seperti antar musim yang pertama, namun curah hujannya kadangkadang lebih tinggi. Arus laut terbentuk oleh musim angin, sehingga ketinggian gelombang laut mengikuti musim ini (Ng dan Sivasothi, 2001). Aliran pasang-surut. Laut mengalami aliran air pasang (HW; high water, rising, flood tide) dua kali sehari, bergantian dengan aliran air surut (LW; low, receding, ebb tide). Hal ini disebabkan tarikan gravitasi dan gaya sentrifugal rotasi bumi, bulan dan matahari, serta kondisi geografi setempat. Aliran pasang surut biasanya campuran semi-diurnal, yakni dua pasang tinggi dan dua pasang rendah yang dalam satu hari tingginya tidak sama. Waktu pasang bergeser 50 menit sehari, karena tergantung peredaran bulan, yaitu 24 jam 50 menit. Ketika bulan dan matahari sejajar pada bulan purnama terjadi aliran pasang tertinggi (high water spring tide; HWST). Kondisi yang sama pada bulan baru menyebabkan terjadi surut terendah (low water spring tide; LWST). Keduanya terjadi secara bergantian setiap dua minggu sekali. Rata-rata jangkauan antara pasang dan surut pada bulan baru dapat mencapai 3,5 m, sedangkan pada bulan purnama dapat mencapai 10 m. Daerah pantai yang terletak di antara pasang tertinggi (highest high water spring tide; HHWST) dan surut terendah (lowest low water spring tide; LLWST) dikenal sebagai zona pasang surut (intertidal). Hutan mangrove tumbuh di antara rata-rata pasang (mid-tide level; MTL) dan pasang tertinggi (HHWST). Pola pasang surut bervariasi tergantung lokasi dan waktu. Tingginya jangkauan pasang-surut dan faktor-faktor lain menyebabkan terbentuknya zonasi horizontal dan vertikal spesies mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001). Salinitas. Salinitas kawasan mangrove sangat bervariasi, berkisar 0,5-35 ppt, karena adanya masukan air laut pada saat pasang dan air tawar dari sungai, khususnya pada musim hujan. Air tawar memiliki salinitas 0-0,4 ppt. Air payau merupakan air pada derajat oligohalin (0,5-5 ppt) hingga mesohalin (5-18 ppt),

19 sedangkan air laut umumnya berderajat polihalin (18-30 ppt). Salinitas juga bervariasi tergantung kedalaman badan air di muara sungai. Garam yang terkandung dalam air laut cenderung tenggelam karena berat jenis (BJ)-nya lebih tinggi. Pada saat laut surut, kolam-kolam yang terbentuk pada saat laut pasang dapat menjadi hipersalin (>30 ppt), karena naiknya konsentrasi garam akibat evaporasi. Sungai-sungai kecil dalam hutan mangrove bersifat oligohalin dan semakin ke dalam semakin tawar (Ng dan Sivasothi, 2001). Gambar xxx. Kristal garam pada permukaan daun Acantus illicifolius.

ADAPTASI TUMBUHAN MANGROVE TERHADAP LINGKUNGAN Proses evolusi menyebabkan spesies mangrove memiliki beberapa sifat biologi yang khas sebagai bentuk adaptasi, yang terutama ditujukan untuk mengatasi salinitas yang fluktuatif, kondisi lumpur yang anaerob dan dan tidak stabil, serta untuk reproduksi. Salinitas Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas, sehingga tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih encer daripada air laut, akibatnya air dari dalam jaringan tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga tumbuhan kekeringan, menjadi layu, dan mati. Lingkungan yang keras ini menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada umumnya hutan hujan tropis (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Tumbuhan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar dan air laut dengan perbandingan seimbang (1:1). Salinitas yang tinggi pada dasarnya bukan prasyarat untuk tumbuhnya mangrove, terbukti beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera cylindrica tumbuh selama ribuan tahun pada danau air tawar, sedangkan di Kebun Raya Bogor B. sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke lingkungan perairan tawar tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies lain, sehingga mengembangkan adaptasi untuk tumbuh di air asin, dimana tumbuhan lain tidak mampu bertahan. Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar ekskresi untuk membuang kelebih garam dari dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke dalam jaringan. Tumbuhan mangrove dapat mencegah lebih dari 90% masukan garam dengan filtrasi pada akar. Garam yang tetap terserap dengan cepat diekskresikan oleh kelenjar garam di daun atau disimpan dalam kulit kayu dan daun tua yang hampir gugur (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Ekskresi garam. Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia, Acanthus dan Aegiceras memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi garam dalam getah biasanya tinggi, sekitar 10% dari air laut. Sebagian garam dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya diterbangkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan menjilat daun tumbuhan mangrove atau bagian lainnya (Ng dan Sivasothi, 2001).

Ultrafiltrasi. Tumbuhan mangrove seperti Bruguiera, Lumnitzera, Rhizophora, dan Sonneratia tidak memiliki alat ekskresi garam. Untuk itu membran sel di permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam dan secara selektif menyerap ion-ion tertentu melalui proses ultrafiltrasi. Namun hal ini tidak selalu berlangsung sempurna, kelebihan garam yang terserap dibuang melalui transpirasi lewat stomata atau disimpan dalam daun, batang dan akar, sehingga seringkali daun tumbuhan mangrove memiliki kadar garam sangat tinggi (Ng dan Sivasothi, 2001). Akar napas Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah yang lembut, asin dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu. Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas). Akar yang menjulang di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak pori-pori pecil di kulit kayu sehingga oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah tanah. Akar ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong pohon di tanah lumpur yang lembut. Tumbuhan mangrove memiliki bentuk akar napas yang berbeda-beda (Ng dan Sivasothi, 2001). Akar horizontal yang menyebar luas, dimana pneumatofora tumbuh vertikal ke atas merupakan jangkar untuk mengait pada lumpur. Terdapat empat tipe pneumatofora, yaitu akar penyangga (stilt, prop), akar pasak (snorkel, peg, pencil), akar lutut (knee, knop), dan akar papan (ribbon, plank). Tipe akar pasak, akar lutut dan akar papan dapat berkombinasi dengan akar tunjang pada pangkal pohon. Sedangkan akar penyangga akan mengangkat pangkal batang ke atas tanah (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Akar penyangga (sangga). Pada Rhizophora akar panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada akhirnya akan menjadi stilt root apabila batang yang disangganya terangkat hingga tidak lagi menyentuh tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon karena memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu aerasi ketika terekspos pada saat laut surut (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Akar pasak. Pada Avicennia dan Sonneratia, pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil atau pasak dan umumnya

20 hanya tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan pada Sonneratia tumbuh lebih lambat namun dapat membentuk massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan setinggi 50 cm. Di teluk Botany, Sidney dapat dijumpai Avicennia marina dengan pneumatofora setinggi lebih dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar 4 m (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan tanah, dan secara teratur dan berulang-ulang tumbuh vertikal ke atas kemudian kembali ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan menjadi tempat bertahan di lumpur yang tidak stabil. Lumnitzera membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan kombinasi akar lutut dan akar pasak (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Akar papan. Pada Xylocarpus granatum akar horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas, sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Struktur ini terbentuk mulai dari pangkal batang. Akar ini juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak dan bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal memudahkan aerasi dan tersebarnya akar secara luas membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Sistem reproduksi Mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji (spermatophyta), dan bunganya sering kali menyolok. Biji mangrove relatif lebih besar dibandingkan biji kebanyakan tumbuhan lain dan seringkali mengalami perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk (vivipar). Pada saat jatuh, biji mangrove biasanya akan mengapung dalam jangka waktu tertentu kemudian

tenggelam. Lamanya periode mengapung bervariasi tergantung jenisnya. Biji beberapa jenis mangrove dapat mengapung lebih dari setahun dan tetap viabel. Pada saat mengapung biji terbawa arus ke berbagai tempat dan akan tumbuh apabila terdampar di areal yang sesuai. Kecepatan pertumbuhan biji tergantung iklim dan nutrien tanah. Biji yang terdampar di tempat terbuka karena pohon mangrove tua telah mati dapat tumbuh sangat cepat, sedangkan biji yang tumbuh pada tegakan mangrove mapan umumnya akan mati dalam beberapa tahun kemudian. Pada familia Rhizophoraceae biji berbentuk propagul yang memanjang; apabila masak akan jatuh ke air dan tetap dormansi hingga tersangkut di tanah yang aman, menebarkan akar dan mulai tumbuh, misalnya Rhizophora, Ceriops dan Bruguiera. Beberapa mangrove menggunakan cara konvensional (biji normal) untuk reproduksi seperti Heritiera littoralis, Lumnitzera, dan Xylocarpus (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Embryo vivipari. Vivipari adalah kondisi dimana embryo pertama kali tumbuh, memecah kulit biji dan keluar dari buah pada saat masih melekat pada tumbuhan induk, misalnya Bruguiera, Ceriops, Kandelia dan Rhizophora. Kriptovivipari (Yunani: kryptos, tersembunyi) adalah kondisi dimana embryo tumbuh dan memecah kulit biji, namun tidak keluar dari kulit buah hingga lepas dari tumbuhan induk, misalnya Aegiceras, Avicennia dan Nypa. Para pakar banyak berspekulasi mengenai fungsi vivipari atau kriptovivipari dalam kaitannya dengan morfologi, ekologi, dan fisiologi tumbuhan. Vivipari atau kriptovivipari tidak ditemukan pada tumbuhan halofita atau tumbuhan rawa-rawa air tawar, sehingga kondisi ini tidak disebabkan salinitas atau tanah yang jenuh air (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

A

B

C

D

Gambar xxx. Bentuk morfologi akar napas (pneumatofora) tumbuhan mangrove. A. Akar penyangga Rhizophora, B. Akar pensil Sonneratia, C. Akar lutut Bruguiera, D. Akar papan/banir Xylocarpus.

21

↑ Gambar xxx. Vivipari pada Aegiceras corniculata

← Gambar xxx. Vivipari pada Bruguiera cylindrica

Gambar: Pembentukan propagul Rhizophora

Gambar xxx. Biji dan propagul berbagai jenis tumbuhan mangrove.

Vivipari merupakan mekanisme adaptasi untuk mempersiapkan seedling tersebar luas, dapat bertahan dan tumbuh dalam lingkungan asin. Selama pembentukan vivipari, propagul diberi makan pohon induk, sehingga dapat menyimpan dan mengakumulasi karbohidrat atau senyawa lain yang nantinya diperlukan untuk pertumbuhan. Struktur kompleks seedling pada awal pertumbuhan ini akan membantu aklimatisasi terhadap kondisi fisik lingkungan yang ekstrim. Kebanyakan seedling tidak tumbuh di sekitar induk, namun mengapung selama berminggu-minggu hingga jauh dari induknya. Pada kondisi tanah yang sesuai seedling ini dapat berakar dan tumbuh dengan cepat. Vivipari dan propagul yang berumur panjang, menyebabkan mangrove dapat tersebar pada area yang luas (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

22

HEWAN MANGROVE Ekosistem mangrove merupakan bentuk pertemuan lingkungan darat dan laut, sehingga hewan dari kedua lingkungan ini dapat ditemukan di ekosistem mangrove. Sebagian kecil hewan menggunakan mangrove sebagai satu-satunya habitat, sebagian dapat berpindah-pindah meskipun lebih sering ditemukan di hutan mangrove, sedang lainnya berpindah-pindah berdasarkan musim, tahapan siklus hidup, atau pasang surut laut. Kebanyakan orang menganggap mangrove sebagai tempat berlumpur dan rawa-rawa becek, yang penuh dengan nyamuk, ular, laba-laba, dan memberi rasa tidak nyaman. Namun apabila diperhatikan lebih teliti berjalanjalan di kawasan mangrove merupakan perburuan besar. Di bawah kerimbunan hutan terdapat berbagai jenis arthropoda, moluska, burung, ikan, reptilia, mamalia dan lain-lain, sehingga menarik untuk ditelusuri. Mangrove merupakan salah satu habitat paling penting di dunia. Mangrove memiliki fungsi ekologi sangat penting. Sesendok teh lumpur mangrove mengandung lebih dari 10 juta bakteri, lebih kaya dari lumpur manapun. Bakteri ini membantu peruraian serasah daun dan bahan organik lain, sehingga hutan mangrove menjadi sumber nutrisi penting bagi tumbuhan dan hewan, serta ikut pula menjaga daur nutrisi pada habitat perairan pantai. Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik, proteolitik dan mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik yang besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmengragmen lebih kecil yang bermanfaat. Alga tingkat tinggi biasa ditemukan menempel pada tumbuhan mangrove, khususnya di akar penyangga dan akar napas (pneumatofora) lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi, dan alga hijau-biru (Cyanobacteria) merupakan elemen tanah mangrove yang penting. Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove umumnya adalah artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove. Serangga. Insekta merupakan taksa yang sangat banyak ditemukan di hutan mangrove, berupa berbagai jenis ngengat, kutu (bug), kumbang, lalat, semut dan jengkerik. Bersama dengan Crustacea dan Chelicera, serangga merupakan Arthropoda yang banyak ditemukan di mangrove. Custacea. Crustasea seperti remis, udang dan kepiting sangat melimpah di hutan mangrove. Salah satu yang terkenal adalah kepiting lumpur (Thalassina anomala) yang dapat membentuk gundukan tanah besar di mulut liangnya, serta kepiting biola (Uca spp.) yang salah satu capitnya sangat besar. Terdapat sekitar 60 spesies kepiting di hutan mangrove. Kebanyakan memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau detritus di sedimen tanah dan membuang sisanya dalam gumpalan-gumpalan pelet. Moluska. Moluska, beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling banyak dijumpai di hutan mangrove, baik Gastropoda maupun Bivalvia. Chelicera. Chelicera yang dapat dijumpai di hutan mangrove antara lain laba-laba, kutu (mite), dan kepiting ladam. Laba-laba paling banyak dijumpai.

Ikan. Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung dan ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang hidup di mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di hutan mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda dan musim kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor penting yang menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini. Ikan gelodok (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu dari sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area mangrove. Mereka membentuk lubang dalam tanah dan dapat berenang seperti ikan dengan menggunakan sirip pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau melewati tanah dengan sirip tersebut. Terdapat beberapa jenis ikan gelodok. Burung. Beberapa spesies burung pada musim tertentu membutuhkan mangrove untuk mencari makanan dan perlindungan. Burung pemakan madu dan loriket mengunjungi mangrove pada musim berbunga. Burung lain seperti merpati imperial juga tinggal di mangrove selama musim kawin. Mangrove merupakan habitat penting bagi migrasi tahunan dan dapat menjadi tempat berlindung pada musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebangi. Burung air yang sering mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau, heron, sedangkan robin, kutilang, burung madu, dan raja udang merupakan burung daratan yang secara tetap menggunakan ekosistem mangrove. Amfibia. Katak jarang dijumpai di kawasan mengrove. Airnya yang asin barangkali kurang cocok dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Jenis katak yang kadang-kadang dapat ditemukan di kawasan mangrove adalah Rana cancrivora. Reptilia. Buaya muara (Crocodilus porosus) merupakan hewan mangrove paling buas. Mereka tidak selalu bersarang di mangrove, tertapi dapat bersarang pada vegetasi di sekitar mangrove atau pada sungaisungai kecil yang terhubung ke pantai. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk mencari makan. Buaya muda memakan kepiting, udang, ikan gelodok dan ikan kecil lainnya, ketika dewasa mereka juga memakan burung dan mamalia. Ular laut dan ular darat kadang-kadang ditemukan sebagai pengunjung mangrove. Ular piton merupakan pengunjung paling sering dijumpai di mangrove. Di kawasan mangrove sendiri terdapat beberapa jenis ular yang menggunakan mangrove sebagai habitat primernya. Kadal dan biawak yang memakan insekta, ikan, kepiting dan kadangkadang burung juga menggunakan mangrove sebagai habitat utama. Mamalia. Kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni besar di hutan mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mamalia lain yang dapat dijumpai di tempat ini antara lain barang-barang, bajing, anjing, tikus, kera, demikian pula babi dan kerbau air.

ZONASI MANGROVE Hutan mangrove di daerah tropis relatif heterogen. Spesies yang tumbuh di bibir pantai cenderung berhabitus rendah, sedang yang jauh berhabitus tinggi. Pada ekosistem alami tumbuhan mangrove membentuk

23

Odites (ngengat)

Crypticerya jacobsoni (kutu)

Elleipsa quadrifasciata (lalat)

Tetraponera (semut)

Dysdercus kapuk)

decussatus

Apteronemobius (jengkerik)

Uca vocans kuning)

Thalassina lumpur)

Nerita lineata

Penaeus (udang laut)

equidens Caridina propinqua

(kepiting

anomala

asahinai

Chicoreus capucinus

Marcia marmorata

Macrobrachium (udang muara)

(kutu Monolepta (kumbang)

biola

Onchidium griseum

Uca rosea (kepiting biola merah)

Varuna (kepiting pendayung) Scylla (kepiting lumpur kuning)

cavipes (kepiting Coenobita pongan/kelomang)

(pong- Euraphia withersi (teritip)

Myomenippe harwicki (kepiting batu)

Hyllus diardii (laba-laba)

Carcinoscorpius rotundicauda (ladam; mimi-mituno). Argiope mangal (laba-laba)

Ligurra latidens (laba-laba)

Trombiculus (mite)

24

Periophthalmodon schlosseri

Periophthalmus novemradiatus

Stigmatogobius sadanundio

Chanos chanos (bandeng)

Mystus gulio

Scatophagus argus

Oryzias javanicus (wader pari)

Nycticorax nycticorax

Todirhamphus chloris (raja udang)

Egretta garzetta (bangau)

Boleophthalmus boddarti

Trynga totanus (wader)

Rhiphidura javanica (kutilang) Amaurornis phoenicurus (punik) Acridotheres javanicus (gagak)

Haliastur indus (elang)

Cosymbotes platyurus (tokek)

Rana cancrivora

Trimeresurus purpureomaculatus (ular pohon)

Emoia atrocostata

Varanus salvator Crocodilus (buaya) Cynopterus brachyotis (kalong) Amblonyx cinereus (berangberang) Gambar xxx. Keanekaragaman hewan pada ekosistem mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001).

zonasi. Zona luar yang terbuka didominasi Avicennia dan Sonneratia, diikuti Rhizophora pada bagian sedikit agak dalam. Zona tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza. Zona tiga didominasi Xylocarpus dan Heritiera. Zona dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera. Adapun zona transisi didominasi Cerbera manghas. Pada

perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh tegakan Nypa fruticans, diikuti Cyperus portulacastrum, Fimbristylis ferruginea, Scirpus litoralis dan S. Malaccensis (Sasaki dan Sunarto, 1994). Pada hutan mangrove alami dapat terbentuk zonasi spesies tunggal sejajar dengan garis pantai dan tepian sungai, mulai dari tepi pantai ke arah daratan. Beting

25 lumpur yang luas atau beting pasir yang dangkal di tepi laut ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia. Rhizophora ditemukan lebih ke dalam pada tepian sungai, adapun Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus dan Heritiera membentuk bagian belakang mangrove. Pada lingkungan yang cocok, dimana terdapat pasir dan lempung, Nypa fruticans dapat menjadi tumbuhan utama pada tepi sungai atau laguna (Chapman, 1992). Penyebab zonasi ini masih diperdebatkan dan kemungkinan disebabkan kombinasi berbagai faktor seperti salinitas, kondisi tanah, tingkat genangan, ukuran dan ketersediaan propagul, serta kompetisi antar spesies. Tumbuhan mangrove memiliki tanggapan yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut, sehingga tumbuh tersebar dalam zonasi yang karakteristik. Beberapa spesies mangrove tumbuh di garis pantai, tepian pulau, teluk yang terlindung, atau jauh ke pedalaman hulu sungai yang masih dipengaruhi pasang surut (Ng dan Sivasothi, 2001). Pada sebagian besar hutan mangrove yang sudah dipengaruhi kegiatan manusia (antropogenik), zonasi sulit ditentukan akibat tingginya sedimentasi dan perubahan habitat. Dalam hal ini ketersediaan propagul diduga lebih berpengaruh dari pada faktor lain, dimana beting lumpur baru akan didominasi tumbuhan yang propagulnya paling banyak sampai di tempat tersebut, misalnya di Segara Anakan (Djohan, 2001, komunikasi pribadi).

HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM DI SEKITARNYA Aliran energi Hutan mangrove merupakan ekosistem produktif yang mendukung sejumlah besar kehidupan melalui rantai makanan yang dimulai dari tumbuh-tumbuhan. Daun tumbuhan mangrove, sebagaimana semua tumbuhan hijau, menggunakan sinar matahari untuk mengubah karbon dioksida menjadi senyawa organik melalui proses fotosintesis. Karbon yang diserap tumbuhan selama fotosintesis, bersama-sama dengan nutrien yang diambil dari tanah, menghasilkan bahan baku untuk pertumbuhan. Pertumbuhan pohon mangrove sangat penting bagi keberlanjutan hidup semua organisme. Terurainya daun, ba-tang, dan akar mangrove yang mati mengha-silkan karbon dan nutrien yang digunakan oleh organisme lain (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993; Clough, 1992). Tidak ada yang menjadi sampah dalam ekosistem mangrove. Tumbuhan mangrove merupakan lumbung sejumlah besar daun yang kaya nutrien yang akan diuraikan oleh fungi dan bakteri atau langsung dimakan kepiting. Material organik yang mati diuraikan menjadi partikel-partikel kecil (detritus) oleh bakteri yang kaya protein. Detritus merupakan sumber makanan bagi beberapa spesies moluska, kepiting, udang dan ikan, yang selanjutnya dimakan hewan yang lebih besar. Nutrien yang dilepaskan ke dalam air selama periuraian daun, kayu dan akar juga dimakan plankton dan alga (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993; Clough, 1992). Detritus mangrove merupakan nutrien autochthonous bagi ekosistem mangrove dan ekosistem perairan laut. Hal ini mendukung berbagai jenis hidupan laut dalam jaring-jaring makanan yang kompleks yang terhubung

dengan plankton dan alga. Plankton dan alga merupakan sumber utama karbon pada ekosistem mangrove di samping detritus. Nutrien di bawa pula dari kawasan hulu sebagai allochthonous (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993; Clough, 1992). Hubungan mangrove, rumput laut dan karang Ekosistem mangrove, rumput laut dan karang disatukan oleh massa air yang mengalir keluar masuk pada saat pasang dan surut, serta oleh hewan-hewan yang hidup di kesua habitat tersebut. Berbagai ikan dan udang yang biasa ditemukan di lepas pantai menggunakan mangrove selama sebagian siklus hidupnya. Sebaliknya kepiting lumpur (Thalassina anomala), menghabiskan besar hidupnya di mangrove dan bergerak ke laut hanya untuk bertelur. Aliran pasang surut dan arus membawa nutrien dari mangrove ke rumput laut dan karang, dan sebaliknya. Saling pengaruh ini tergantung jauh-dekatnya habitat satu dengan habitat lain. Ekosistem mangrove juga dapat mencegah sedimentasi berlebih pada ekosistem rumput laut dan terumbu karang, sehingga mencegah kematian (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

MANFAAT MANGROVE Ekosistem mangrove menghasilkan sejumlah barang dan jasa yang tidak seluruhnya laku di pasaran. Beberapa diantaranya diteruskan sebagai pelayanan untuk ekosistem pantai dan lepas pantai. Nilai ini sulit ditentukan dan sering tidak disadari, sehingga hutan mangrove seringkali diubah untuk menghasilkan produk yang langsung laku di pasaran, misalnya pertambakan. Kegunaan mangrove banyak dan beragam. Referensi tertua mengenai pemanfaatan spesies mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni penggunaan seedling Rhizophora sebagai sumber pangan, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua untuk kayu bakar, tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman yang memiliki efek aprodisiak bagi lelaki dan efek pengasihan bagi wanita (Bandaranayake, 1998). Manfaat ekonomi Hutan mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi dan ekologi sangat penting (Bennett dan Reynolds, 1993). Selama berabad-abad ekosistem mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi berupa: kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap, tannin kulit kayu, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat hipokotil dan bahan pewarna (Hamilton dan Snedaker, 1984; IPIECA, 1993a; Spaninks dan Beukering, 1997; Bandaranayake, 1998; Dahdouh-Guebas et al., 2000; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002). Kayu bangunan. Secara tradisional masyarakat lokal menggunakan mangrove untuk memasak, membangun rumah dan perahu secara lestari, namun bertambahnya penduduk menyebabkan penggunaan secara lestari sulit dipertahankan. Kayu Nypa digunakan untuk dermaga atau bangunan bawah air karena tahan terhadap kebusukan, serangan fungi dan hewan pelubang, sedangkan daunnya untuk atap. Heritiera dan

26 Xylocarpus menghasilkan kayu gergajian berkualitas tinggi. Tiang utuh Rhizophora merupakan hasil hutan mangrove paling utama, mudah ditebang, dan masa panennya pendek (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Kayu bakar dan arang. Kayu mangrove sering digunakan secara langsung sebagai kayu bakar atau diolah lebih dahulu menjadi arang. Kayu Rhizophora dan Avicennia memiliki nilai kalor tinggi dan menghasilkan panas sangat tinggi, sehingga sangat sesuai untuk kayu bakar dan arang. Di Indonesia hal ini telah dilakukan secara komersial sejak tahun 1887 (Ng dan Sivasothi, 2001). Tanin. Kulit kayu mangrove mengandung metabolit sekunder tanin, terutama pada Rhizophoraceae. Tanin digunakan dalam industri penyamakan kulit, merawat jaring ikan, sumber warna, dan bahan obat tradisional. Tanin mengandung dua kelompok fenol, dapat dihidrolisis dan tidak, yang diperlukan untuk sintesis obat-obatan tertentu. Tumbuhan mangrove memiliki sifat sitotoksis, antineoplastis, dan antimikrobia. Tumbuhan mangrove merupakan sumber saponin, alkaloid dan flavonoid. Saponin memiliki aktivitas biologi penting sebagai spermisida dan moluskisida. Ekstrak akar penyangga Rhizophora apiculata dapat menghambat aktivitas larva nyamuk. Ekstrak Aegiceras mengandung saponin beracun untuk menangkap ikan (Ng dan Sivasothi, 2001). Bahan baku industri. Mangrove dieksploitasi untuk menghasilkan lignosellulosa, bubur kertas, dan rayon. Rhizophora apiculata menghasilkan lignosellulosa yang dibutuhkan industri tekstil. Serat dan kertas dapat dihasilkan dari Hibiscus, Thespesia, dan Pandanus (Ng dan Sivasothi, 2001). Bahan pangan. Produk kawasan mangrove yang langsung dapat dimakan antara lain madu, lilin, daging hewan, ikan, buah-buahan, minuman dan gula. Daun Osbornia octodonata digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Buah Avicennia marina biasa digunakan sebagai sayuran. Buah Kandelia candel dan Bruguiera gymnorrhiza mengandung pati. Daun muda Acrostichum dan hipokotil Bruguiera merupakan makanan beberapa suku di Irian. Sagu dari batang Metroxylon sagu digunakan sebagai makanan pokok. Nypa dapat menghasilkan gula, alkohol, dan cuka. Ekstrak kayu Avicennia alba dan A. officinalis menghasilkan tonikum. Seedling Avicennia dan Bruguiera dapat dimasak dan dimakan (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Kegunaan lain. Daun Nypa fruticans dapat digunakan atap, kertas sigaret, serta kerajinan tangan seperti keranjang dan topi. Gabus dapat diperoleh dari pneumatofora berbagai tumbuhan mangrove, khususnya Avicennia dan Sonneratia. Propagul Rhizophora dan Bruguiera dapat ditanam dalam pot dan menjadi tanaman hias. Garam dapat diperoleh dengan memasak daun Avicennia. Batang dan cabang Rhizophora mucronata, R. apiculata dan Lumnitzera racemosa, dapat digunakan untuk membuat joran pancing. Daun beberapa tumbuhan mangrove dapat digunakan sebagai makanan ternak seperti sapi, kambing, onta, dan kerbau. Beberapa tumbuhan mangrove menghasilkan obat penguat rambut, rempah-rempah, obat kuat, kemenyan dan parfum (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

Manfaat ekologi dan sosial-budaya Mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah penting, antara lain sekuestrasi karbon, menyaring dan menangkap bahan pencemar yang terbawa air sungai atau limpasan hujan, menjaga stabilitas pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan badai, menjaga kealamiahan habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran anak berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, pembentukan daratan baru, serta memiliki fungsi sosial sebagai area konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya (Thom, 1967; Tomlison, 1986; Sukardjo, 1989; Howe et al., 1992; IPIECA, 1993a; Tanaka, 1994; Spaninks and Beukering, 1997; Anonim, 2001b; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002), namun nilai penting ekologi masih sering diabaikan (Coulter et al., 2001). Perikanan dan daur hara. Mangrove merupakan pelayan ekosistem laut dan kawasan di sekitarnya. Mangrove menyuplai makanan ke komunitas laut melalui rantai makanan detritus serasah mangrove. Mangrove merupakan tempat persembunyian dan perkembangbiakan ikan, kepiting, udang, dan moluska. Mangrove juga merupakan tempat bersarang dan tempat singgah ratusan jenis burung. Di samping itu duyung, kera, kucing hutan, kadal monitor, penyu laut, ikan gelodog, dan buaya muara berhabitat di hutan mangrove. Konservasi mangrove akan menjaga keberlanjutan rantai makanan dan industri perikanan (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Proteksi pantai. Akar mangrove yang jalin-menjalin, beserta pneumatofora dan batang mangrove dapat mengurangi kecepatan arus air, menangkap sedimen untuk menjaga ketinggian daratan pantai dan mencegah siltasi pada lingkungan laut di sekitarnya. Keberadaan mangrove dapat mengurangi kerusakan akibat anginbadai dan gelombang laut. Mangrove dapat menjaga stabilitas dan mencegah perubahan garis pantai dan rawa-rawa di sekitarnya. Mangrove dapat menjadi daerah penyangga untuk mengurangi kerusakan akibat badai dan tsunami. Di tempat-tempat dimana hutan pantai telah ditebangi, terjadi erosi dan pendangkalan pantai. Mangrove dapat mempengaruhi daur hidrologi, menghambat intrusi air laut ke daratan, dan mempengaruhi mikroklimat (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Instalasi pengolah limbah. Dalam kondisi yang baik dan jumlah sesuai, komunitas mangrove dapat berfungsi sebagai instalasi pengolah limbah. Bahan pencemar dan sampah secara alamiah dapat terbenam dan terurai dalam ekosistem mangrove. Demikian pula kelebihan nutrisi kimia dari areal pertanian dapat ditangkap dan di daur ulang di hutan mangrove. Ekosistem ini, mampu menyerap kelebihan nitrat dan fosfat dari lahan pertanian di hulu sungai, sehingga tidak mencemari perairan pantai. Namun sebaliknya volume limbah yang berlebihan dapat meracuni dan merusak ekosistem mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Budaya tradisional. Bagi jutaan masyarakat asli yang tinggal di tepi pantai, hutan mangrove menjadi tempat mencari nafkah dan memenuhi berbagai kebutuhan dasar selama ratusan tahun, sehingga terbentuk budaya tradisional yang terkait dengan ekosistem ini. Misalnya Cerbera manghas digunakan untuk membuat topeng dalam perayaan tradisional di Sri Langka (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

27 Ekowisata dan pendidikan. Salah satu nilai komersial hutan mangrove adalah ekowisata. Kehidupan liar mangrove merupakan atraksi wisata yang menarik, misalnya migrasi burung-burung air. Sekolah juga menggunakan kawasan ini untuk praktikum (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Bioprospeksi mangrove Hutan mangrove alami yang masih memiliki keanekaragaman spesies tinggi, berpotensi untuk menghasilkan produk yang dapat dieksploitasi di masa depan (bioprospeksi). Berbagai spesies yang digunakan dalam pengobatan tradisional merupakan titik awal kajian ilmiah dalam pengobatan modern. Tumbuhan mangrove sangat potensial sebagai sumber baru pestisida, agrokimia, bahan obat, serta senyawasenyawa bioaktif lain. Kerusakan pada ekosistem darat dan laut yang berdampak pada mangrove menyebabkan penelitian untuk menemukan obat baru dari bioaktif mangrove mendesak dilakukan (Lovelock, 1993). Senyawa-senyawa kimia dengan struktur kimia baru dan kelas tersendiri telah dikarakterisasi dari tumbuhan mangrove. Penelitian kandungan kimia tumbuhan mangrove memiliki dua alasan utama: Pertama, mangrove tumbuh di lokasi penuh stres seperti lingkungan yang fluktuatif, kelembaban tinggi, mikroorganisme dan insekta melimpah. Mangrove tumbuh dengan subur pada lingkungan yang sangat khusus dan berperan sebagai jembatan antara ekosistem tawar dan laut, karena modifikasi untuk mengatur air dan garam, serta modifikasi fisiologis dalam metabolisme karbohidrat, sintesis polifenol dan lain-lain. Oleh karena itu mangrove diduga memiliki senyawa kimia khas yang melindunginya dari berbagai tekanan ini. Kedua, berbagai tumbuhan mangrove telah digunakan dalam pengobatan tradisional, dan ekstraknya diketahui memiliki aktivitas melawan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan, namun masih sedikit penelitian untuk mengidentifikasi metabolit yang bertanggungjawab terhadap bioaktivitas ini (Lovelock, 1993).

ANCAMAN DAN KONSERVASI EKOSISTEM MANGROVE Ancaman kelestarian Di seluruh dunia aktivitas manusia telah mengurangi luasan ekosistem alami dan menurunkan keanekaragaman hayati hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Keanekaragaman hayati kawasan tropis merupakan yang tertinggi di dunia (Ligtvoet et al., 1996). Hutan mangrove diperkirakan menempati 75% luas kawasan pantai tropis (Chapman, 1976), tetapi tekanan antropogenik telah menurunkan luas hutan ini secara global hingga di bawah 50% dari luas awal (Saenger et al., 1983; Spalding et al.1997; Ong, 2002). Penurunan luasan mangrove paling cepat dan paling dramatis terjadi di Asia Tenggara (Gómez 1988; Aksornkoae, 1993). Di Indonesia luas hutan ini terus menurun. Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), terjadi penurunan hutan mangrove lebih dari 50% dari total luasan semula (Dephut, 1994; Soenarko, 2002). Hal ini disebabkan reklamasi untuk membangun tambak perikanan dan garam (Terchunian et al., 1986;

Primavera, 1993), penebangan hutan secara berlebih (Walsh, 1974; Hussein, 1995; Semesi, 1998), pertambangan, pencemaran, pembendungan sungai (Lewis, 1990), pertanian, bencana alam (Nybakken, 1993; Knox dan Miyabara, 1984), serta tumpahan minyak (Ellison dan Farnsworth, 1996), meski yang terakhir ini belum banyak didokumentasikan (Burns et al., 1994; 1999). Kerusakan hutan mangrove dapat pula terjadi karena konversi ke jenis hutan lainnya, misalnya sejak tahun 1997 Perhutani mengubah 6000 ha dari 11.263 ha hutan mangrove Segara Anakan menjadi perkebunan kayu putih (Suara Merdeka, 16/6/2001). Hal yang sama telah lebih dahulu dilakukan di hutan mangrove Indramayu (Machfud, 1990). Penurunan luasan mangrove mendorong terjadinya intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga menurunkan produktivitas perairan pantai (Aksornkoae, 1993). Untuk mengatasi hal ini banyak negara mengkampanyekan upaya konservasi, restorasi, (Hong dan San, 1993) dan manajemen hutan mangrove (Manassrisuksi et al., 2001). Menteri Kelautan dan Perikanan menilai, kondisi kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang di wilayah pesisir Indonesia sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Untuk itu dibutuhkan kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil (Suara Pembaruan, 29/7/2002b). Konservasi ekosistem mangrove Mangrove telah lama menjadi sumber kekaguman banyak orang. Bagi masyarakat yang hidup di kawasan Indo-Pasifik Barat dan Amerika-Afrika Barat, istilah mangrove sangat familiar. Hutan mangrove sering diangankan sebagai area yang selalu tergenang, dengan tumbuhan yang memiliki sistem perakaran aerial yang khas. Namun banyak pula orang yang menganggap mangrove sebagai rawa-rawa yang menjadi sarang nyamuk, lalat, ular, tidak sehat dan berbahaya. Sehingga konsep pengelolaan hutan mangrove tidak dimiliki kebanyakan orang, termasuk para pengambil keputusan (Lovelock, 1993). Restorasi mangrove. Restorasi ekosistem mangrove ditujukan untuk mengembalikan ekosistem mangrove yang telah diubah ke kondisi normal seperti semula, atau sekurang-kurangnya pada kondisi yang efektif (Kairo et al., 2001; Morrison, 1990; Field, 1998b). Tujuan utama restorasi mangrove adalah memantapkan kembali habitat dan fungsi mangove yang telah atau akan hilang (Morrison, 1990). Tujuan lainnya adalah memperkaya landskap dan meningkatkan kualitas lingkungan, menjaga keberlanjutan sumber daya alam, dan melindungi kawasan pantai (Field, 1996; Morrison, 1990). Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji (propagul) atau seedling. Oleh kerena itu sebelum dilakukan restorasi hambatan yang dapat mencegah suksesi sekunder harus dihilangkan. Mangrove juga dapat dibuat dengan menghutankan dataran pasang surut yang gundul dan tempat-tempat yang dalam kondisi normal tidak ditumbuhi mangrove. Restorasi tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk melakukan penyembuhan akan menyia-nyiakan investasi yang besar (Kairo dkk., 2001).

28 Penanaman dan pengelolaan mangrove di Asia Tenggara telah lama dilakukan (e.g. Watson, 1928), meskipun catatan sejarah pengelolaan mangrove paling tua dilakukan di Sundarbans. Hutan mangrove 2 Sundarbans di Bangladesh dan India seluas 6000 km (577.000 ha) telah dikelola sejak tahun 1764 dan rencana kerja secara detail telah dibuat pada tahun 1893-1894 (Chowdhury dan Ahmed, 1994; Hussain dan Acharya 1994; UNDP, 1998; Rahman, 2000). Hutan mangrove di Matang, Malaysia seluas 40.000 ha telah dikelola sejak tahun 1902 untuk menghasilkan arang (Watson, 1928). Manajemen penebangan hutan dilakukan melalui rotasi selama 30 tahun (Ong, 2002). Hutan Matang memberi lapangan kerja dan sumbangan ekonomi cukup berarti bagi Malaysia (Chan, 1996). Hutan ini juga menjadi sumber kayu bakar, bahan bangunan, mencegah erosi, dan menjadi tempat pemijahan ikan. Pada saat ini telah dilakukan pengelolaan secara terintegrasi untuk perikanan (Primavera, 1995) dan ekowisata (Bacon, 1987). Strategi manajemen. Ekosistem mangrove sangat kompleks sehingga pengelolaannya harus terintegrasi dengan lingkungan alam di sekitarnya, bahkan hingga daerah aliran sungai di hulu. Rencana manajemen mangrove harus diikuti sebanyak mungkin elemen stakeholders, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha hutan, masyarakat setempat dan ilmuwan. Peningkatan kepedulian masyarakat dilakukan dengan meningkatkan nilai mangrove yang terkait langsung dengan kepentingannya. Untuk itu diperlukan penelitian yang sistematis, komitmen politik yang kuat, serta integrasi konsep dan pengalaman lapangan (Choudhury, 1996). Suaka mangrove. Ekosistem mangrove mempengaruhi hutan mangrove sendiri dan perairan di sekitar pantai. Pembuatan suaka mangrove merupakan strategi penting untuk melindungi mangrove dan ekosistem di sekitarnya, termasuk flora, fauna, komponen biotik dan abiotik. Suaka mangrove diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap konservasi biodiversitas. Penerapan pendekatan konservasi harus dilakukan secara tegas. Pemanenan produk dan jasa pada bagian tertentu kawasan suaka ini tidak dapat dilakukan (Choudhury, 1996). Kepemilikan hutan mangrove. Hak kepemilikan hutan mangrove umumnya tidak jelas, sehingga penanggung jawab kawasan ini tidak pasti. Hal ini menyebabkan tingginya degradasi hutan mangrove, dimana pemberian kompesasi kepada pemilik lahan untuk mencegah perusakan sulit dilakukan. Konsesi hak pengusahaan hutan mangrove telah mengurangi luas dan kerapatan mangrove, serta menekan ekosistem yang tersisa secara nyata. Untuk itu kepemilikan hutan mangrove perlu dipertegas, termasuk kawasan terbuka yang potensial untuk ditanami mangrove. Selanjutnya dibuat peraturan yang jelas dan penegakan hukum secara konsisten, sehingga ekosistem mangrove dapat terjaga kelestariannya (Choudhury, 1996).

PENUTUP Ekosistem mangrove menyimpan sejumlah besar permasalahan yang menunggu untuk segera dipecahkan, mengingat Indonesia merupakan pusat

distribusi mangrove dunia. Permasalahan yang menarik untuk diteliti antara lain: (i) floristik, morfologi, fenologi, distribusi, biogeografi, dan genetika tumbuhan mangrove, (ii) ekologi ekosistem mangrove, (iii) pengaruh stres lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan, rekruitmen, dan regenerasi mangrove, (iv) pengaruh tumpahan minyak bumi, serta (v) restorasi dan rehabilitasi habitat mangrove (Lovelock, 1993).

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation. Anonim. 2001b. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular Caribbean. Annals of Tourism Research 14: 104-117. Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Bennett, E.L. and C.J. Reynolds. 1993. The value of mangrove area in Sarawak. Biodiversity Conservation 2: 359-375. Birkeland, C. 1983. Influences of Topography of Nearby Land Masses in Combination with Local Water Movement Patterns on the nature of Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in Island Marine Ecosystem. Dunedine: UNESCO Report in Marine Science No. 27. Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Burns, K.A. 1993. Evidence for the importance for including hydrocarbon oxidation products in environmental assessment studies. Marine Pollution Bulletin 26: 77-85. Burns, K.A., S. Codi, R.J.P. Swannell, and N.C. Duke. 1999. Assessing the petroleum hydrocarbon degradation potential of endogenous tropical marine wetland microorganisms: Flask experiments. Mangroves and Salt Marshes 3: 67-83. Burns, K.A., S.D. Garrity, D. Jorissen, J. MacPherson, and M. Stoelting. 1994 The Galeta oil spill. II: Unexpected persistence of oil trapped in mangrove sediments. Estuarine Coastal and Shelf Science 38: 349364. Chan, H.T. 1996. Mangrove reforestation in peninsular Malaysia: a case study of Matang. In Field, C. (ed.) Restoration of Mangro-ve Ecosystems. Okinawa: International Timber Trade Organi-zation and International Society for Mangrove Ecosystems. Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein J.Cramer Verlag. Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and PapuaNew Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: Asia Development Bank. Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest management. In Hussain Z, and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol. 2: Bangladesh. Gland, Switzerland: IUCN Wetlands Program. Clark, R. J. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Boca Raton: CRC Lewis Publishers. Clough, B.F. 1992. Primary productivity and growth of mangrove forests. In Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American Geophysical Union. Coulter, S.C., C.M. Duarte, S.T. Mai, H.T. Nguyen, T.H. Hoang, H.G. Le, and N.G. Phan. 2001. Retrospective estimates of net leaf production in Kandelia candel mangrove forests. Marine Ecology Progress Series 221: 117-124. Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000. Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) among subsistence and commercial users. Economic Botany 54: 513-527. Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: P.T. Saptodadi.

29 Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Ellison, A.M. and E.J. Farnsworth. 1996. Anthropogenic disturbance of Caribbean mangrove ecosystems: past impacts, present trends, and future predictions. Biotropica 24: 549-565. FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3. FAO. 1985. Mangrove Management in Thailand, Malaysia and Indonesia. Rome: FAO Environment Paper 3. Field, C. 1996. Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Tropical Timber Organization and International Society for Mangrove Ecosystems. Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian Fresh Water Aquatic Herbs. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 27. Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia. Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Company. Gómez, E.G. 1988. Overview of environmental problems in the East Asian seas region. Ambio 17:166-169. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West Center. Hong, P.N. and H.T. San. 1993. Mangroves of Vietnam. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, and Zuwendra. 1992. Manual of Guideline for Scoping EIA in Indonesia Wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No. 6B. Jakarta: Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau Indonesia Hussain, Z. and G. Acharya, 1994. (ed.). Mangroves of the Sundarbans. Vol, 2: Bangladesh. Bangkok: International Union for the Conservation of Nature. IPIECA. 1993a. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA Report No. 4. London: International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A revi-ew of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43. Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Restoration and management of mangrove systems — a lesson for and from the East African region. South African Journal of Botany 67: 383-389. Kartawinata, K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Knox, G.A. and T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in South East Asia, with special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO. Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Ligtvoet, W., R.H. Hughes, and S. Wulffraat. 1996. Recreating mangrove forest near Jakarta, Conserving biodiversity in an urban environment. Land and Water International 84: 8-11. Lovelock, C. 1993. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of Marine Science. www.aims.gov.au Lugo A.E. and S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves. Annual Review of Ecology and Systematics 5: 39-63. Machfud, D.S. 1990. Social Forestry Network: Social Forestry in Disputed upland Areas in Java. Jakarta: Perum Perhutani, State Forest Corporation, Java, Indonesia. MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology 6: 73-270. Manassrisuksi, K., M. Weir, and Y.A. Hussin. 2001. Assesment of mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS: a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Eastern Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensisng, Singapore 59 November 2001. Marius, C. 1977. Propositions pour une classification française des sols de mangroves tropicales. Cah. ORSTOM 15 (1): 89-102. Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous disturbance. In Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity and Disturbance. New York: Springer-Verlag. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and

Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers. Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. Reviews in Fisheries. Science 1 (2): 151-201 Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. Rahman, L.M. 2000. The Sundarbans: A Unique Wilderness of the World. In McCool, S.F., D.N. Cole, W.T. Borrie, and J. O’Loughlin (ed.). Wilderness science in a time of change conference—Volume 2: Wilderness within the context of larger systems; 1999 May 23-27; Missoula, MT. Proceedings RMRS-P-15-VOL-2. Ogden: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, and Rocky Mountain Research Station. Ray, C.C. and R.G. McCormick. 1994. Coastal marine protected areas, a moving target. Proceeding from the International Workshop on Coastal Marine Protected Areas and Biosphere Reserves. Canberra: ANCA/UNESCO. Saenger, P. and N.A. Siddique. 1993. Land from the sea: the afforestation program of Bangladesh. Ocean and Coastal Management 20: 23-39 Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (ed.). Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program. Semesi, A.K. 1998. Mangrove management and utilization in eastern Africa. Ambio 27: 620-626. Soemodihardjo, S and S. Ishemat. 1989. Country Report: Indonesia, The Status of Mangrove Forests in Indonesia, Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication No 37. Soemodihardjo, S. and L. Sumardjani. 1994. Re-afforestation of mangrove forests in Indonesia. Proceeding of the Workshop on ITTO Project. Bangkok, 18-20 April 1994. Soenarko. 2002. Kebijakan KIMPRASWIL dalam Rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Jakarta, 30 Mei 2002. Spalding, M., F. Blasco, and C. Field. 1997. World Mangrove Atlas. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems. Spaninks, F. and P. van Beukering. 1997. Economic Valuation of Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations. CREED Working Paper No 14, July 1997. London and Amsterdam: International Institute for Environment and Development, and Institute for Environmental Studies. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Suara Merdeka, 16/6/2001. Hutan Mangrove Dimodifikasi dengan Kayu Putih. Suara Pembaruan 29/7/2002b. Kerusakan Hutan Bakau Mengkhawatirkan. Suara Pembaruan, 29/7/2002a. 10 Ha Hutan Bakau di Cilacap Kekeringan. Sukardjo, S. 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128137 Sukardjo, S. 1989. The mangrove forests of Java and Bali (Indonesia). Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication No 37. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Terchunian, A., V. Klemas, A. Alvarez, B. Vasconez, and L. Guerrero. 1986. Mangrove mapping in Ecuador: The impact of shrimp pond construction. Environmental Management 10: 345-350 Thom, B.G. 1967. Mangrove ecology and deltaic geomorphology: Tabasco, Mexico. Journal of Ecology 55: 301-343 Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University Press. UNDP. 1998. Integrated resource development of the Sundarbans Reserved Forests, Bangladesh. Volume I Project BGD/84/056. Dhaka: United Nations Development Programme, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press. Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kulala Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6 Widodo, H. 1987. Mangrove hilang ekosistem terancam. Suara Alam 49: 11-15.

30

31

BAGIAN II Kajian Terkini Mangrove di Jawa Tengah

32

33

Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove

ABSTRACT The study was intended to observe the diversity and the distribution of mangrove plants species on southern and northern coast of Central Java Province. This research was conducted in July till December 2003, at 20 sites. Laboratory assay was conducted in Laboratory of Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, and Central Laboratory of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University (UNS) Surakarta. Plant specimens were collected by using survey method, than it was identified and preserved as herbaria. The result indicated that there was 55 species (27 families) of mangrove plants in Central Java, composed by major (17), minor (12), and association (26) plants, with habits i.e. trees (32), bushes (13), and herbs (10). The species of major mangrove plant with the broadest range of site distribution were R. mucronata (16), followed by S. alba (15), N. fruticans (12), A. alba and A. marina (each was 11). The species of minor mangrove plant with the broadest range of site distribution was A. aureum (11). The associative plant of mangrove with the broadest range of site distribution was A. ilicifolius (16), D. trifoliata (15), C. gigantea (13), H. tiliaceus (11), T. catappa (11), and I. pes-caprae (10). The other species were distributed in less than 10 sites. The location with the most varied species diversity was Wulan (35), the next was Motean and Muara Dua (each was 29), Bogowonto (19), Pasar Banggi (18), Tritih (17), Sigrogol (15), Juwana and Ijo (each was 14), Cakrayasan (12), Lasem and Serang (each was 11), Bulak, Telukawur, Cingcingguling and Bengawan (each was 9), Pecangakan (8), Serang (6), and the last was Tayu (5). Key words: mangrove plants, species diversity, Central Java Province.

PENDAHULUAN Tumbuhan mangrove memiliki ciri-ciri (i) tumbuhan berpembuluh (vaskuler), (ii) beradaptasi pada kondisi salin, dengan mencegah masuknya sebagian besar garam dan mengeluarkan atau menyimpan kelebihan garam, (iii) beradaptasi secara reproduktif dengan menghasilkan biji vivipar yang tumbuh dengan cepat dan dapat mengapung, serta (iv) beradaptasi terhadap kondisi tanah anaerob dan lembek dengan membentuk struktur pneumatofor (akar napas) untuk menyokong dan mengait, serta menyerap oksigen selama air surut (Nybakken, 1993; Whitten dkk., 2000; Odum, 1971).

Komunitas mangrove terdiri dari tumbuhan, hewan, dan mikrobia, namun tanpa kehadiran tumbuhan mangrove, kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem mangrove (Jayatissa et al., 2002). Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003). Tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri dari 47 spesies pohon, 5 spesies semak, 9 spesies herba dan rumput, 29 spesies epifit, 2 spesies parasit, serta beberapa spesies algae dan bryophyta (MoE, 1997). Formasi hutan mangrove terdiri dari empat genus utama, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera (Nybakken, 1993; Chapman, 1992), terdapat pula Aegiceras, Lumnitzera, Acanthus illicifolius, Acrosticum aureum, dan Pluchea indica (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1965). Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans dan beberapa jenis Cyperaceae (Sukardjo, 1985; Odum, 1971). Hutan mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Bagian paling luar didominasi Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza, bagian ketiga didominasi Xylocarpus dan Heritieria, bagian dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi Cerbera manghas (de Haan dalam Steenis, 1958). Pada masa kini pola zonasi tersebut jarang ditemukan karena tingginya laju perubahan habitat akibat pembangunan tambak, penebangan hutan, sedimentasi/ reklamasi, dan pencemaran lingkungan (e.g. Walsh, 1974; Lewis, 1990; Primavera, 1993; Nybakken, 1993), meskipun masih dapat dirujuk pada pola zonasi tersebut (Sasaki dan Sunarto, 1994). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan lokasi sebaran vegetasi mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d. Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20

Publikasi asli: Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, & A. Susilowati. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis. Biodiversitas 6 (2): 90-94.

34

Gambar xxx. Sebaran lokasi penelitian berdasarkan letak dan batas peta administratif kabupaten di Propinsi Jawa Tengah.

habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Alat dan bahan Koleksi. Alat yang digunakan adalah: ransel, gunting tanaman, pisau, beliung, pensil, buku lapangan, etiket gantung, peta topografi, kompas dan teropong. Dalam hal ini diperlukan pula perahu motor sebagai sarana transportasi di kawasan mangrove, khususnya di Wulan dan Segara Anakan yang luas. Identifikasi. Alat yang digunakan adalah: mikroskop, mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa pembesar, cawan petri, jarum pemisah, pisau, pinset, dan buku identifikasi. Pembuatan herbarium. Alat dan bahan yang diperlukan dalam pembuatan herbarium kering adalah:

sasak, kertas koran, kertas kardus, tali, gunting, pisau, oven, kertas herbarium, label herbarium, amplop herbarium, etiket herbarium dan lem/selotip bening. Sedangkan pada pembuatan herbarium basah adalah: botol kaca bening, gelas ukur, alkohol 70%, dan air. Cara kerja Koleksi. Koleksi dilakukan dengan metode survei (penjelajahan), baik bersamaan dengan pelaksanaan sampling vegetasi atau sendiri. Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi dan dicatat sifat-sifat morfologinya. Sebagian diawetkan, difoto penampakan umum, bunga, dan buah, serta dibuat deskripsinya. Identifikasi. Identifikasi spesies mangrove mayor, minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada pustakapustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963; 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986). Identitas tumbuhan yang meragukan dicocokkan dengan koleksi Herbarium Bogoriense, Bogor. Pembuatan herbarium. Herbarium dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau kerusakan fisik lain. Tumbuhan berhabitus pohon dan semak disertakan ujung batang, daun, bunga dan buah, sedang tumbuhan berbentuk herba disertakan seluruh habitus. Herbarium kering digunakan untuk spesimen yang mudah dikeringkan, misalnya daun, batang, bunga dan akar. Sedang herbarium basah digunakan untuk spesimen yang berair, lembek, dan sulit dikeringkan, misalnya buah (Lawrence, 1951).

35 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dari 20 lokasi yang diamati dalam penelitian ini, ditemukan 55 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri mangrove mayor (17), mangrove minor (12), dan tumbuhan asosiasi (26). Sebagian besar tumbuhan tersebut berhabitus pohon (32), diikuti berhabitus semak (13), dan herba (10). Secara taksonomi tumbuhan tersebut tergolong dalam 27 familia, familia dengan jumlah spesies terbanyak adalah Rhizophoraceae (9), diikuti Avicenniaceae, Sonneratiaceae, Meliaceae, Verbenaceae, Cyperaceae, dan Gramineae, masingmasing dengan tiga spesies. Lokasi penelitian dengan keanekaragaman spesies tumbuhan mangrove terbanyak adalah Wulan (35), diikuti Motean dan Muara Dua (laguna Segara Anakan), masing-masing dengan 29 spesies. Adapun lokasi dengan keanekaragaman jenis tumbuhan terendah adalah Tayu (5). Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Keanekaragaman tumbuhan Dalam penelitian ini, jumlah spesies tumbuhan mangrove mayor, minor, dan asosiasi paling banyak ditemukan di Wulan (35) yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, diikuti Motean dan Muara Dua (masingmasing 29) yang terletak di Segara Anakan, pantai selatan Jawa Tengah. Urutan selanjutnya adalah Bogowonto (19), Pasar Banggi (18), Tritih (17), Sigrogol (15), Juwana dan Ijo (masing-masing 14), Cakrayasan (12), Lasem dan Serayu (masing-masing 11), Bulak, Telukawur, Cingcingguling dan Bengawan (masingmasing 9), Pecangakan (8), Serang (6), serta Tayu (5) (Tabel 1.). Luas kawasan mangrove sangat menentukan keanekaragaman spesies tumbuhan di dalamnya. Area yang luas memungkinkan adanya ruang yang cukup untuk tumbuh dan mengurangi kompetisi antar spesies dalam memperebutkan ruang, unsur hara, dan cahaya matahari. Area yang luas juga memungkinkan menyebarnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan mangrove, sehingga disturbansi terhadap ekosistem ini dapat teredam. Apabila di suatu lokasi terjadi kerusakan vegetasi, misalnya akibat pembabatan hutan, maka pada saat yang sama di tempat lain sedang terjadi penyembuhan (restorasi), sehingga pertumbuhan dan keanekaragaman mangrove dapat dipertahankan. Kawasan mangrove yang luas juga memungkinkan terjadinya pertukaran genetik di dalam populasi secara luas. Banyaknya individu anggota populasi memungkinkan terbentuknya kombinasi gen-gen baru, yang diperlukan sebagai tanggapan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Pada kawasan mangrove yang luas, kemungkinan untuk menerima sumber biji (propagul) dari kawasan mangrove lain juga besar, sebagai penyuplai sumber genetik baru. Adanya mutasi di dalam populasi dan masukan gen baru dari luar populasi memungkinkan tingginya daya adaptasi tumbuhan mangrove, sehingga pada kawasan mangrove yang luas keberadaan dan kelestarian suatu spesies lebih terjaga. Pada masa lalu Segara Anakan dikenal sebagai lokasi mangrove paling kaya dan paling luas di pulau Jawa, namun seiring dengan berjalannya waktu luasannya mulai menyusut, terutama akibat penebangan hutan dan sedimentasi berlebih dari sungai Citanduy, Cimeneng/ Cikonde, dan lain-lain. Sedimentasi

menyebabkan naiknya dasar laguna dan menyempitnya luasan laguna, serta cenderung berubahnya menjadi ekosistem daratan (ECI, 1994; Suara Pembaruan, 09/04/2002). Sebaliknya pada masa lalu Wulan hanyalah sebuah kanal yang dibuat pada awal abad ke-19 untuk mengeringkan banjir pada musim hujan yang selalu menggenangi kawasan di selatan Gunung Muria (Pati, Demak, dan Kudus). Oleh karena itu, berkebalikan dengan kawasan mangrove di Segara Anakan yang menyusut akibat sedimentasi, di Wulan sedimentasi menyebabkan akresi pantai yang memungkinkan terus meluasnya kawasan mangrove ke arah laut. Besarnya jumlah spesies di Wulan dibandingkan di Segara Anakan (Motean dan Muara Dua), lebih disumbangkan oleh tumbuhan asosiasi, bukan oleh tumbuhan mangrove mayor dan minor. Hal ini kemungkinan disebabkan Wulan terletak di pesisir pantai sedangkan Segara Anakan terletak di dalam laguna. Tumbuhan asosiasi umumnya merupakan tumbuhan pantai. Tumbuhan ini merupakan bentuk peralihan (ekoton) antara formasi hutan pantai dan hutan mangrove, sehingga tumbuh pada tepian hutan mangrove yang berbatasan dengan daratan pantai. Keterbatasan jumlah jenis mangrove di Segara Anakan juga disebabkan posisi geografinya yang khas. Secara geografi kawasan ini telah terisolasi dalam jangka panjang, mengingat besarnya ombak laut selatan yang menghambat datangnya propagul dari lokasi mangrove lain, serta tidak adanya kawasan mangrove yang cukup luas di sekitarnya. Kawasan mangrove cukup luas yang paling dekat denga Segara Anakan terletak di TN Alas Purwo (Teluk Grajakan), di ujung timur Pulau Jawa, dan di TN Ujung Kulon, di ujung barat Pulau Jawa. Adapun kawasan mangrove Wulan, merupakan bagian dari kawasan mangrove yang sangat luas di pantai utara Jawa. Kawasan ini terletak pada area antara Jepara hingga Teluk Banten, pada masa lalu merupakan ekosistem mangrove yang bersambung terus menerus tanpa putus, sehingga suplai tumbuhan baru dari ekosistem mangrove di sekitarnya lebih terjamin (Whitten dkk., 2000). Sedikitnya jumlah spesies mangrove di luar kawasan Wulan dan Segara Anakan, disebabkan besarnya pengaruh antropogenik yang mengubah habitat mangrove untuk kepentingan lain, sehingga luasan ekosistem ini terbatas. Di pantai utara Jawa Tengah, habitat mangrove banyak dikonversi menjadi lahan tambak dan sawah, sedangkan di pantai selatan biasanya dikonversi menjadi sawah. Di pantai selatan keterbatasan luasan mangrove dapat pula merupakan akibat alamiah, mengingat hanya kawasan laguna yang sangat sempit di muara sungai yang dapat ditumbuhi mangrove. Keanekaragaman tumbuhan mangrove yang tinggi juga dapat disebabkan pemeliharaan oleh manusia. Secara nyata hal ini dapat diamati di Pasar Banggi, salah satu kawasan yang tingkat keperdulian masyarakat (kelompok tani-nelayan) terhadap mangrove paling tinggi dibandingkan kawasan lain yang diteliti. Di kawasan ini, pemerintah membentuk kelompok-kelompok tani yang masing-masing “menguasai” luasan mangrove tertentu. Para petani-nelayan diperbolehkan memanfaatkan kayu dan hasil lain dari kawasan mangrove dengan tetap menjaga kelestariannya. Pengikutsertaan masyarakat ini tampaknya berhasil dalam memelihara kelestarian ekosistem mangrove setempat.

36

Tabel 1. Keragaman spesies tumbuhan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

Cakrayasan

Lukulo

Cingcingguling

Ijo

Bengawan

Serayu

Tritih

Motean

Muara Dua

+ + + +

+ + + -

+ -

+ -

+ -

+ + + + + -

+ + + -

+ + -

+ + + + + + + + -

+ + + + + + + + + + + + + -

+ + + + + + + + + + + + + -

12 11 5 5 5 1 2 2 4 2 12 5 16 1 15 4 1

-

+ + -

+ + -

-

+ -

+ + -

-

+ -

+ + + -

+ + + + + + + + +

+ + + + + + + + +

11 4 7 1 6 2 1 1 3 2 2 2

+ + + + + + + 11

+ + + + + + + + + + + + + + 19

+ + + + + + + + + 12

+ + + + + + + + + + + + 13

+ + + + + + + 9

+ + + + + + + + 14

+ + + + + + 9

+ + + + + + + + 11

+ + + + + + 17

+ + + + + + + 29

+ + + + + + + 29

16 1 7 13 2 3 3 3 15 1 3 3 11 10 7 3 3 4 1 5 9 7 5 11 1 1

Jumlah

Bogowonto

Mangrove mayor Avicennia alba Avicenniaceae p + + + + + + + Avicennia marina Avicenniaceae p + + + + + + + + Avicennia officinalis Avicenniaceae p + + Bruguiera cylindrica Rhizophoraceae p + + Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae p + + Bruguiera parviflora Rhizophoraceae p Bruguiera sexangula Rhizophoraceae p Ceriops decandra Rhizophoraceae p Ceriops tagal Rhizophoraceae p + + Lumnitzera littorea Combretaceae p + + Nypa fruticans Araceae p + + + + Rhizophora apiculata Rhizophoraceae p + + Rhizophora mucronata Rhizophoraceae p + + + + + + + + + Rhizophora stylosa Rhizophoraceae p + Sonneratia alba Sonneratiaceae p + + + + + + Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae p + + Sonneratia ovata Sonneratiaceae p Mangrove minor Acrostichum aureum Pteridaceae s + + + Acrosticum speciosum Pteridaceae s Aegiceras corniculatum Lythraceae p + + + + Aegiceras floridum Lythraceae p + Excoecaria agallocha Euphorbiaceae p + + + Heritiera littoralis Sterculiaceae p Osbornia octodonta Myrtaceae s + Pemphis acidula Lythraceae s Scyphiphora hydrophyllacea Rubiaceae s + Xylocarpus granatum Meliaceae p Xylocarpus moluccensis Meliaceae p Xylocarpus rumphii Meliaceae p Tumbuhan asosiasi Acanthus ilicifolius Acanthaceae s + + + + + + Barringtonia asiatica Lecythideceae p Calophyllum inophyllum Guttiferae p + Calotropis gigantea Asclepiadaceae s + + + + + + + Cerbera manghas Apocynaceae p Cynodon dactylon Gramineae h + + Clerodendrum inerme Verbenaceae s Cyperus sp. Cyperaceae h + + + Derris trifoliata Leguminosae s + + + + + Ficus microcarpa Moraceae p + Fimbristylis ferruginea Cyperaceae h Finlaysonia maritima Asclepiadaceae s + + Hibiscus tiliaceus Malvaceae p + + + Ipomoea pescaprae Convolvulaceae h + + + Pandanus tectorius Pandanaceae s + Paspalum spp Gramineae h + Pongamia pinnata Leguminosae p + Phragmites karka Gramineae h + + Scaevolia taccada Goodeniaceae s + Scirpus sp Cyperaceae h + + h + + + + + + + Sesuvium portulacastrum Aizoaceae Spinifex littoreus Gramineae h + + Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae h + + + Terminalia catappa Combretaceae p + + Thespresia populnea Malvaceae p + Vitex ovata Verbenaceae s + Jumlah 27 35 15 6 9 9 5 14 8 18 Keterangan: “+”hadir; “-“ tidak hadir. p = pohon, s = semak, h = herba/rumput.

Lasem

Pasar Bangi

Pantai Selatan Pecangakan

Juwana

Tayu

Telukawur

Bulak

Serang

Wulan

Familia Habitus

Nama Spesies

Sigrogol

Pantai Utara

37 Sebaran lokasi pertumbuhan Dalam penelitian ini spesies tumbuhan mangrove mayor dengan sebaran lokasi tumbuh yang paling luas adalah R. mucronata (16 lokasi), diikuti S. alba (15 lokasi), N. fruticans (12 lokasi), A. alba (11 lokasi) dan A. marina (11 lokasi). Spesies mangrove minor paling luas sebarannya adalah Acrostichum spp. (11 lokasi). Tumbuhan asosiasi mangrove yang paling luas sebarannya adalah A. ilicifolius (16 lokasi), diikuti D. trifoliata (15 lokasi), C. gigantea (13 lokasi), H. tiliaceus (11 lokasi), T. catappa (11 lokasi), dan I. pes-caprae (10 lokasi). Sedangkan spesies-spesies lainnya ditemukan kurang dari 10 lokasi (Tabel 1.). Luasnya sebaran tumbuhan tergantung pada faktor lingkungan abiotik, biotik, dan budaya masyarakat. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam beradaptasi terhadap faktor biotik (kompetisi dan herbivori) dan faktor lingkungan abiotik, sehingga sebaran setiap spesies tidak selalu sama. Tumbuhan mangrove memilih habitat di kawasan pantai sebagai strategi untuk memenangkan kompetisi dengan tumbuhan darat pada umumnya, di samping untuk menghindari herbivori dari hama dan penyakit yang biasa menyerang tumbuhan darat. Pada dasarnya tumbuhan mangrove dapat hidup pada perairan tawar yang jauh dari pantai. Dalam penelitian ini penanaman S. alba di Solo yang ditujukan bagi penyediaan ekstrak daun pada pengujian isozim (data tidak disajikan) menunjukkan bahwa tumbuhan ini mampu tumbuh dengan baik selama dilakukan perawatan, terutama untuk menjaga ketersediaan air serta memberantas hama dan penyakit yang menyerang. Di Kebun Raya Bogor terdapat beberapa koleksi tumbuhan mangrove yang telah ditanam selama lebih dari 100 tahun (Ng dan Sivasothi, 2001). Sebaran spesies tumbuhan mangrove juga terkait dengan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan (faktor abiotik). Tumbuhan mangrove umumnya memiliki bentuk morfologi dan mekanisme fisiologi tertentu untuk beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Bentuk adaptasi ini umumnya terkait dengan adaptasi terhadap garam, adaptasi sistem reproduksi (propagul), dan adaptasi terhadap tanah yang gembur dan bersifat anoksik (anaerob). Spesies mangrove mampu tumbuh pada lingkungan dengan salinitas rendah hingga tinggi. Kemampuan ini disebabkan adanya mekanisme ultrafiltrasi pada akar untuk mencegah masuknya garam, adanya sistem penyimpanan garam dan adanya sistem ekskresi pada daun untuk membuang garam yang terlanjur masuk ke jaringan tubuh. Mekanisme terakhir ini menyebabkan kebanyakan daun tumbuhan mangrove berasa asin, misalnya daun A. illicifolius. Propagul beberapa spesies tertentu seperti Rhizophora spp. umumnya telah tumbuh sejak masih menempel pada batang induknya (vivipari), sedang pada beberapa spesies lainnya belum tumbuh (kriptovivipari), seperti N. fruticans. Propagul umumnya dapat mengapung dan tersebar pada kawasan yang luas.Tumbuhan mangrove juga memiliki sistem perakaran yang khas untuk beradaptasi terhadap tanah lumpur yang lembut dan anaerob, berupa akar napas (pneumatofora) yang bentuknya beragam tergantung spesiesnya. Pneumatofora dapat berbentuk penyangga (Rhizophora spp.), pensil (Avicennia spp., Sonneratia spp.), lutut (Xylocarpus spp.), dan banir/papan (Bruguiera spp.). Bentuk-bentuk adaptasi di atas tidak

dimiliki tumbuhan darat pada umumnya, sehingga kebanyakan tumbuhan darat tidak dapat tumbuh di lingkungan mangrove. Sejumlah kecil tumbuhan darat yang mampu tumbuh di daerah ekoton antara lingkungan mangrove dan darat dikenal sebagai tumbuhan asosiasi mangrove, yang umumnya merupakan tumbuhan pantai. Secara kultural, kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi keberadaan tumbuhan mangrove di suatu lokasi. Masyarakat pantai utara yang mengembangkan pertambakan dan pertanian, serta masyarakat pantai selatan yang mengembangkan pertanian, tentunya memiliki persepsi berbeda terhadap ekosistem mangrove dibandingkan dengan masyarakat Kampung Laut di Segara Anakan, yang secara subsisten menggantungkan mata pencahariannya pada ekosistem mangrove. Masyarakat petani dan petambak umumnya cenderung mengkonversi ekosistem mangrove, sedangkan masyarakat Kampung Laut cenderung mempertahankan eksistensi eksositem ini. Sehingga jumlah spesies mangrove di Segara Anakan (29) lebih tinggi dari tempat-tempat lain, kecuali Wulan (35), suatu kawasan akresi mangrove yang sedang bertumbuh. Kebutuhan masyarakat terhadap spesies tertentu juga dapat mempengaruhi keberadaannya, seperti kebutuhan terhadap N. fruticans. Dalam penelitian ini R. mucronata memiliki daerah penyebaran paling luas (16 lokasi). Sebaran ini jauh lebih luas dari dua kerabat dekatnya, yaitu R. apiculata (5 lokasi) dan R. stylosa (1 lokasi). Hal ini boleh jadi disebabkan bentuk propagul R. mucronata jauh lebih besar dengan cadangan makanan lebih banyak, sehingga memiliki kesempatan hidup lebih tinggi dan dapat disebarkan arus laut secara lebih luas. S. alba tersebar di 15 lokasi, jauh lebih luas dari pada kedua kerabat dekatnya, yaitu S. caseolaris (4 lokasi) dan S. ovata (1 lokasi). Hal ini kemungkinan juga disebabkan sistem penyebaran propagulnya, dimana ukuran biji buah S. alba lebih besar dari pada ukuran biji buah S. caseolaris dan S. ovata, sehingga memiliki kemungkinan tumbuh lebih tinggi. S. alba memiliki sebaran merata baik di pantai utara maupun selatan, sedangkan R. mucronata sebarannya lebih merata di pantai utara dari pada pantai selatan. Hal ini disebabkan S. alba mampu tumbuh pada lingkungan bertanah pasir maupun lumpur, sedangkan R. mucronata cenderung hanya tumbuh pada lingkungan bertanah lumpur yang terus tergenang (becek). Pantai utara umumnya didominasi lumpur sedangkan pantai selatan banyak dijumpai pasir. A. alba (12 lokasi) dan A. marina (11 lokasi) tersebar lebih luas dari pada A. officinalis (5 lokasi). Mengingat ketiganya merupakan satu genus yang pada dasarnya sama-sama dapat tumbuh pada lokasi yang sama, maka perbedaan ini kemungkinan juga disebabkan perbedaan kemampuan biji dalam menyebar. A. alba memiliki ukuran buah lebih besar dengan cadangan makanan lebih banyak dari dua kerabatnya tersebut, sehingga memiliki kemungkinan tumbuh lebih besar. Adapun keberhasilan N. fruticans (12 lokasi) untuk tumbuh pada lokasi yang luas, selain disebabkan kemampuannya untuk berkembangbiak secara vegetatif dan membentuk massa yang rapat, juga disebabkan pemeliharaan oleh manusia, seperti di Cingcingguling, Ijo, Serayu, Segara Anakan, dan Wulan. Pemeliharaan ini ditujukan untuk memperkuat tanggul sungai, sumber pangan dari buah, dan atap bangunan dari daunnya.

38 Aktivitas antropogenik dapat menyebabkan rusaknya ekosistem mangrove secara permanen. Di pantai selatan Jawa Tengah, antara muara Sungai Bogowonto dan laguna Segara Anakan, habitat reliks tumbuhan mangrove hanya tidak dijumpai di muara Sungai Wawar, Purworejo. Kawasan muara tersebut mengandung pasir bijih besi cukup tinggi dan dikeruk untuk keperluan bahan baku industri, sehingga ekosistem muara di kawasan tersebut rusak, termasuk musnahnya sisa-sisa vegetasi mangrove. Tanpa campur tangan manusia tampaknya akan sulit mengembalikan mangrove di kawasan ini. Di muara Sungai Serayu, aktivitas pertanian dan penambangan pasir besi menyebabkan jumlah jenis tumbuhan mangrove sangat sedikit (11), dibandingan luas kawasan muara tersebut.

KESIMPULAN Di pantai utara dan selatan Jawa Tengah ditemukan tumbuhan mangrove sebanyak 55 spesies (27 familia), terdiri dari mangrove mayor (17), minor (12), dan tumbuhan asosiasi (26), dengan bentuk habitus pohon (32), semak (13), dan herba (10). Tumbuhan mangrove mayor dengan lokasi sebaran paling luas adalah R. mucronata (16), diikuti S. alba (15), N. fruticans (12), A. alba (11) dan A. marina (11). Tumbuhan mangrove minor paling luas lokasi sebarannya adalah Acrostichum spp. (11). Tumbuhan asosiasi mangrove yang lokasi sebarannya paling luas adalah A. ilicifolius (16), D. trifoliata (15), C. gigantea (13), H. tiliaceus (11), T. catappa (11), dan I. pes-caprae (10). Sedangkan spesies-spesies lainnya ditemukan kurang dari 10 lokasi. Lokasi dengan keanekaragaman spesies paling banyak adalah Wulan (35), diikuti Motean dan Muara Dua (masing-masing 29), Bogowonto (19), Pasar Banggi (18), Tritih (17), Sigrogol (15), Juwana dan Ijo (masing-masing 14), Cakrayasan (12), Lasem dan Serang (masingmasing 11), Bulak, Telukawur, Cingcingguling dan Bengawan (masing-masing 9), Pecangakan (8), Serang (6), dan Tayu (5).

DAFTAR PUSTAKA Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff

Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: P.Noordhoff Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and PapuaNew Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. ECI. 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project. Jakarta: Asian Development Bank. Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A review of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: Joh Wiley and Sons. Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.) Wetland Creation and Resto-ration: The Status of Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. MoE (Minister of Environment). 1997. National Strategy for Mangrove Management in Indonesia. Volume 2 (mangrove in Indonesia current status). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs and The Mangrove Foundation. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia: W.B. Sounders Co. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. reviews in fisheries. Science 1 (2): 151-201 Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (eds.) Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program. SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Suara Pembaruan, 09/04/2002. Segara Anakan Kian Dangkal. Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128137 Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A review. In Reinhold, R. J. and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press.

39 Lampiran xxx. Keanekaragaman spesies tumbuhan mangrove mayor, minor, dan sebagian tumbuhan asosiasi yang ditemukan di lokasi penelitian (sebagian gambar bersumber dari Kitamura dkk., 1997) Mangrove mayor

Gambar 82. Avicennia alba

Gambar 83. Avicennia marina

Gambar 84. Avicennia officinalis

Gambar 85. Sonneratia alba

Gambar 86. Sonneratia caseolaris

Gambar 87. Sonneratia ovata

Gambar 88. Bruguiera cylindrica

Gambar 89. Bruguiera gymnorrhiza

Gambar 90. Bruguiera parviflora

40

Gambar 91. Bruguiera sexangula

Gambar 94. Lumnitzera littorea

Gambar 96. Rhizophora apiculata

Gambar 92. Ceriops decandra

Gambar 93. Ceriops tagal

Gambar 95. Nypa fruticans

Gambar 97. Rhizophora mucronata

Gambar 98. Rhizophora stylosa

41 Mangrove minor

Gambar 99. Acrostichum aureum

Gambar 100. Acrostichum speciosum

Gambar 101. Aegiceras corniculatum

Gambar 102. Aegiceras floridum

Gambar 103. Excoecaria agallocha

Gambar 104. Heritiera littoralis

Gambar 105. Osbornia octodonta

Gambar 106. Pemphis acidula

42

Gambar 107. Scyphiphora hydrophyllacea

Gambar 108. Xylocarpus granatum

Gambar 109. Xylocarpus moluccensis

Gambar 110. Xylocarpus rumphii

Tumbuhan asosiasi

Gambar 111. Acanthus ilicifolius

Gambar 112. Barringtonia asiatica

Gambar 113. Calophyllum inophyllum

Gambar 114. Calotropis gigantea

43

Gambar 115. Cerbera manghas

Gambar 116. Clerodendrum inerme

Gambar 117. Derris trifoliata

Gambar 118. Finlaysonia maritima

Gambar 119. Hibiscus tiliaceus

Gambar 120. Ipomoea pes-caprae

Gambar 121. Pandanus tectorius

Gambar 122. Pongamia pinnata

44

Gambar 123. Scaevolia taccada

Gambar 124. Sesuvium portulacastrum

Gambar 125. Spinifex littoreus

Gambar 126. Stachytarpheta jamaicensis

Gambar 127. Terminalia catappa

Gambar 128. Thespresia populnea

Gambar 129. Vitex ovata

Gambar 130. Cyperaceae

45

Komposisi dan Struktur Vegetasi

ABSTRACT The study was intended to observe the vegetation composition and structure of mangrove plants on southern and northern coast of Central Java Province. This research was conducted in July till December 2003, at 20 sites. Laboratory assay was done in Laboratory of Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, and Central Laboratory of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University (UNS) Surakarta. Data was collected by using belt transect method, from coast line into landward. The result indicated that in common, the trees strata which also have shoots strata and strata of germs (seedlings); and bushes strata which also have strata of germs (seedlings), if they were compared to the same species then their important value tend to be stable. So it was predictable that in the disturbance condition, the preservation of mangrove was guaranteed, as long as there was no great change on a broad scale.

Key words: mangrove plants, Central composition and vegetation structure.

Java

Province,

PENDAHULUAN Tumbuhan mangrove umumnya mudah dikenali karena memiliki sistem perakaran yang sangat menyolok, serta tumbuh pada kawasan pantai di antara rata-rata pasang dan pasang tertinggi (Ng dan Sivasothi, 2001). Hutan mangrove atau mangal adalah vegetasi yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis dan subtropis, didominasi tumbuhan bunga terestrial umumnya berhabitus pohon dan semak, dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut, dengan tanah bersalinitas tinggi dan anaerob (Mac-Nae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Aksornkoae, 1993; Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003), namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove, kawasan ini tidak dapat disebut ekosistem mangrove (Jayatissa dkk., 2002). Komposisi dan struktur vegetasi mangrove berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat pengaruh geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, faktor edafik dan kondisi lingkungan lainnya (Bandaranayake, 1998).

Kawasan pantai utara dan selatan Jawa Tengah, merupakan bagian pulau Jawa yang secara dinamis mengalami perubahan. Ekosistem mangrove di kawasan ini memiliki bentuk yang beragam. Pantai utara Jawa Tengah berbatasan dengan laut pedalaman, Laut Jawa, dengan hempasan gelombangnya relatif kecil. Sebaliknya pantai selatan berbatasan langsung dengan laut lepas, Laut Selatan (Samudera Hindia), dengan kondisi gelombangnya sangat besar. Hal ini menyebabkan fisiognomi dan fisiografi vegetasi mangrove di kedua kawasan tersebut berbeda (Steenis, 1958). Di pantai utara Jawa Tengah, sedimen dari sungai dan laut terendapkan pada lokasi-lokasi tertentu yang terlindung dan membentuk tidal flat (tanah lumpur pasang surut). Di pantai selatan, sedimen yang terbawa sungai dan laut mengendap di muara sungai membentuk tanggul dan gumuk pasir (sand dune), sehingga terbentuk laguna (Steenis, 1958; 1965; Whitten dkk., 2000). Di pantai utara mangrove tidak hanya tumbuh di muara sungai, namun terutama pada kawasan tidal flat, sedangkan di pantai selatan hanya tumbuh di muara sungai. Di pantai selatan terdapat kawasan mangrove terluas di Jawa, yaitu laguna Segara Anakan, Cilacap, yang terbentuk karena adanya perlindungan dari gelombang laut oleh Pulau Nusakambangan dan masukan air tawar dari Sungai Citanduy dan lain-lain (Winarno dan Setyawan, 2003). Struktur dan komposisi vegetasi tumbuhan merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi, energi dan keanekaragaman hayati (Dubayah dkk., 1997). Kanopi hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan (Walters dan Reich, 1997; Fahey dkk., 1998). Pengetahuan tentang struktur dan komposisi vegetasi hutan dapat menjadi dasar untuk memprediksi kemungkinan perubahan lingkungan yang akan terjadi di masa depan (Aumeeruddy, 1994). Kesempatan sebuah pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung penampakan anak pohonnya (Clark dan Clark, 1991; Kobe dkk., 1995). Variasi ketersediaan sumberdaya ini beserta perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam menggunakannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan (Latham, 1992; Pacala dkk., 1996). Perbedaan kemampuan antara spesies anakan

Publikasi asli: Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198.

46 pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan (Finzi dan Canham, 2000). Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar (Kobe dkk., 1995), sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996). Tumbuhan sering dibedakan berdasarkan habitusnya menjadi pohon, semak, dan herba. Pohon memiliki diameter batang > 10 cm, semak memiliki diameter < 10 cm, tetapi tingginnya > 1,5 m, sedangkan herba memiliki tinggi < 1,5 m. Dalam hal ini anak pohon dapat dikategorikan sebagai semak, sedangkan bibit pohon dan bibit semak dapat dikategorikan sebagai herba (Kusmana dan Istomo, 1995). Suksesi di hutan mangrove sangat aktif, arus pasang surut memungkinkan masuknya sedimen dan invasi berbagai spesies dari berbagai lokasi, dengan tingkat adaptasi yang berbeda-beda. Perubahan fisik di dalam hutan mangrove seperti pengeringan, pembangunan kanal-kanal air dan pemakaian pupuk dalam pengelolaan tambak, menyebabkan perubahan habitat mangrove (Tanaka, 1992), sehingga komposisi dan struktur vegetasi hutan ini dapat berubah-ubah (Odum, 1971). Deposisi sedimen dalam jumlah banyak juga dapat mempengaruhi ketinggian tanah, sehingga mempengaruhi distribusi dan komposisi tumbuhan mangrove (Callaway dan Zedler 1998). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah, mencakup strata berhabitus: (i) pohon, (ii) semak dan anak pohon, serta (iii) herba, bibit (seedling) semak dan bibit pohon.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d. Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20 habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di bibir/tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke-18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Alat dan bahan Untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan mangrove dilakukan tahap-tahap sebagai berikut: koleksi, identifikasi, pembuatan herbarium, dan analisis vegetasi. Dalam hal ini diperlukan perahu motor sebagai sarana transportasi di kawasan mangrove,

khususnya di Wulan dan Segara Anakan yang luas. Koleksi. Alat yang digunakan adalah: ransel, gunting tanaman, pisau, beliung, pensil, buku lapangan, etiket gantung, peta topografi, kompas dan teropong. Identifikasi. Alat yang digunakan adalah: mikroskop, mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa pembesar, cawan petri, jarum pemisah, pisau, pinset, dan buku identifikasi. Pembuatan herbarium. Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan herbarium kering adalah: sasak, kertas koran, kertas kardus, tali, gunting, pisau, oven, kertas herbarium, label herbarium, amplop herbarium, etiket herbarium dan lem/selotip bening. Sedangkan pada pembuatan herbarium basah adalah: botol kaca bening, gelas ukur, alkohol 70%, dan air. Analisis vegetasi. Alat yang digunakan pada dasarnya sama dengan alat untuk koleksi ditambah peralatan untuk membuat plot kuadrat meliputi: meteran, tali plastik, dan patok. Cara kerja Koleksi, identifikasi, dan pembuatan herbarium. Koleksi dilakukan di dalam plot kuadrat untuk sampling vegetasi. Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi. Identifikasi spesies mangrove mayor, minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada pustakapustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963; 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986). Identitas tumbuhan, yang meragukan dicocokkan dengan spesimen kering koleksi Herbarium Bogoriense, Bogor. Herbarium dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau kerusakan fisik lain. Tumbuhan berhabitus pohon dan semak disertakan ujung batang, daun, bunga dan buah, sedang tumbuhan berbentuk herba disertakan seluruh habitus. Herbarium kering digunakan untuk spesimen yang mudah dikeringkan, misalnya daun, batang, bunga dan akar, sedangkan herbarium basah digunakan untuk spesimen yang berair dan lembek, misalnya buah (Lawrence, 1951). Analisis vegetasi. Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode belt transect, yakni dengan 2 meletakkan belt transect ukuran 10X60 m , dari bibir pantai atau muara sungai ke arah daratan, yang di dalamnya terdapat 6 plot kuadrat untuk setiap strata, dengan ukuran 10X10 m2 (habitus pohon), 5X5 m2 2 (habitus semak dan anak pohon), serta 1X1 m (habitus herba, bibit semak, dan bibit pohon). Pada setiap lokasi dari ke-20 lokasi penelitian dibuat 18 plot kuadrat, sehingga terdapat 360 plot untuk setiap strata habitus. Semua spesies tumbuhan di dalam plot diidentifikasi dan diambil sampelnya untuk herbarium. Diukur nilai penutupan dan frekuensi setiap spesies pada setiap strata habitus. Data komposisi dan struktur vegetasi ditampilkan dalam bentuk nilai penting. Nilai penting merupakan penjumlahan nilai penutupan dan frekuensi relatif yang dibagi dua (Odum, 1971; Barbour dkk., 1987).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dalam penelitian ini, tidak semua spesies yang dijumpai di area penelitian tercakup dalam analisis

47 vegetasi, mengingat metode yang digunakan adalah belt transect, sehingga kawasan yang dicakup relatif terbatas. Dalam penelitian yang dilakukan pada lokasi dan waktu yang sama dengan metode survai

(penjelajahan) ditemukan 55 spesies (Setyawan dkk., 2005, dalam jurnal ini). Nilai penting setiap spesies untuk setiap strata habitus disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai penting spesies tumbuhan mangrove strata habitus pohon, strata habitus semak dan anak pohon, serta strata habitus herba, bibit semak, dan bibit pohon di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

Telukawur

Tayu

Juwana

Pecangakan

Pasar Bangi

Lasem

Bogowonto

Cakrayasan

Lukulo

Cingcingguling

Ijo

Bengawan

Serayu

Tritih

Motean

Muara Dua

Jumlah

Rata-rata

0,15 0 0,36 0 0 0 0 0

0,22 0,09 0,42 0 0,08 0 0 0

0,15 0 0,33 0 0 0 0 0

0,07 0,08 0,06 0,06 0 0 0 0

0,51 0 0,22 0 0 0 0 0

0,09 0,06 0,83 0 0 0 0 0

0,42 0,06 0,33 0 0 0 0 0

0 0,6 0 0 0 0,17 0 0

0 0,18 0 0 0 0 0 0

0 0,13 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0,46 0 0

0,1 0,04 0,25 0 0 0,25 0 0

0 0,27 0,1 0 0 0,2 0 0

0 0,1 0 0 0 0,42 0 0

0,18 0,12 0,63 0 0 0 0 0,07

0,16 0,13 0,17 0 0,48 0,12 0,04 0,04

0,11 0,07 0,21 0 0,35 0,07 0,04 0,03

3,71 2,26 4,70 0,06 0,91 1,69 0,08 0,14

0,186 0,113 0,235 0,003 0,046 0,085 0,004 0,007

0,19 0 0,19 0 0 0 0 0

0,18 0,10 0,26 0 0,17 0 0 0

0,16 0 0,29 0 0 0 0 0

0,10 0,21 0,11 0,10 0 0 0 0

0,34 0 0,23 0 0 0 0 0

0,10 0,09 0,45 0 0 0 0 0

0,32 0,06 0,46 0 0 0 0 0

0 0,50 0,12 0 0 0,19 0 0

0 0,20 0 0 0 0 0 0

0 0,16 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0,34 0 0

0,10 0 0,28 0 0 0,20 0 0

0 0,28 0,13 0 0 0,19 0 0

0 0,03 0 0 0 0,34 0 0

0,23 0,19 0,48 0 0 0 0 0,14

0,19 0,19 0,17 0 0,52 0,10 0,04 0,04

0,19 0,19 0,17 0 0,47 0,07 0,04 0,07

3,26 2,52 4,25 0,10 1,16 0,08 0,08 0,25

0,163 0,126 0,213 0,005 0,058 0,004 0,004 0,013

0 0 0 0 0,17

0 0 0 0 0,2

0,14 0 0,15 0 0

0,18 0 0,18 0 0,13

0,17 0 0 0 0

0,10 0,03 0 0 0,04

0,17 0 0,07 0,07 0

0,20 0,10 0,23 0 0,09

0,17 0,08 0,11 0,20 0,13

0,06 0 0 0,17 0

0 0 0,07 0 0,17

0,18 0 0,14 0 0

0,22 0 0,18 0 0

0,25 0 0,11 0 0,17

0,23 0,07 0,14 0 0

0,39 0,13 0,18 0 0

0,52 0,10 0,21 0 0

3,49 0,51 2,18 0,44 1,50

0,175 0,026 0,109 0,022 0,075

0,26 0 0,33 0 0 0 0 0

0,24 0,11 0,30 0 0,18 0 0 0

0,18 0 0,34 0 0 0 0 0

0,10 0,22 0,17 0,11 0 0 0 0

0,43 0 0,26 0 0 0 0 0

0,13 0 0,68 0 0 0 0 0

0,32 0 0,46 0 0 0 0 0

0 0,58 0,1 0 0 0,23 0 0

0 0,20 0 0 0 0 0 0

0 0,20 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0,35 0 0

0,1 0 0,32 0 0 0,21 0 0

0 0,30 0,20 0 0 0,21 0 0

0 0,32 0,25 0,04 0,21 0,21 0,62 0,25 0 0 0 0 0 0,50 0,35 0 0,11 0 0 0,04 0 0,14 0,04

0,21 0,25 0,28 0 0,37 0,07 0,04 0,07

3,79 2,72 1,15 0,11 1,05 1,53 0,08 0,25

0,190 0,136 0,058 0,006 0,053 0,077 0,004 0,013

0 0 0 0 0,17

0 0 0 0 0,20

0,14 0 0,15 0

0,13 0 0,18 0 0,12

0,17 0 0 0 0

0,1 0 0 0 0

0,17 0 0,07 0,07 0

0,20 0,20 0,23 0 0,06

0,17 0,08 0,05 0,17 0,13

0,06 0 0 0,17 0

0 0 0,07 0 0,16

0,18 0 0,14 0 0

0,22 0 0,18 0 0

0,25 0 0,11 0 0,10

0,23 0,07 0,14 0 0

0,39 0,13 0,18 0 0

0,51 0,1 0,21 0 0

3,41 0,58 2,12 0,41 0,57

0,171 0,029 0,106 0,021 0,029

0 0 0,11 0 0

0 0,11 0 0,16 0,07

0 0,11 0 0,15 0

0 0,07 0,13 0 0,07

0 0,11 0,20 0 0,10

0 0,10 0 0,11 0,07

0 0,14 0,23 0 0

0 0 0,61 0 0

0 0 0,55 0 0,08

0,21 0 0,83 0 0

0,04 0 0 0,14 0

0,14 0 0 0,17 0

0,14 0 0 0,20 0,08

0,07 0 0,20 0 0

0 0 0 0,20 0

0 0 0 0 0,14

0 0 0 0 0,14

0,60 0,81 3,24 1,26 0,88

0,030 0,041 0,162 0,063 0,044

Serang

Sigrogol

Wulan

Kategori

Nama Spesies

Strata habitus pohon Avicennia spp. MAY 0,45 0,69 0,41 Sonneratia spp. MAY 0,19 0,04 0,1 Rhizophora spp. MAY 0,51 0,1 0,18 Excoecaria agallocha MIN 0 0 0 Aegiceras corniculatum MIN 0 0 0 Nypa fruticans MAY 0 0 0 Xylocarpus spp. MIN 0 0 0 Bruguiera spp. MAY 0 0 0 Strata habitus anak pohon dan semak Anak pohon Avicennia spp. MAY 0,40 0,39 0,37 0,13 Sonneratia spp. MAY 0,19 0 Rhizophora spp. MAY 0,52 0,20 0,19 Excoecaria agallocha MIN 0 0 0 Aegiceras corniculatum MIN 0 0 0 Nypa fruticans MAY 0 0 0 Xylocarpus spp. MIN 0 0 0 Bruguiera spp. MAY 0 0 0 Semak Acanthus ilicifolius ASO 0,33 0,18 0 Acrostichum spp. MIN 0 0 0 Derris trifoliata ASO 0,29 0,12 0 Pandanus tectorius ASO 0 0 0 Calotropis gigantea ASO 0,14 0,13 0,13 Strata habitus bibit pohon, bibit semak, dan herba Bibit pohon Avicennia spp. MAY 0,49 0,43 0,33 0,17 Sonneratia spp. MAY 0,23 0 Rhizophora spp. MAY 0,54 0,27 0,23 Excoecaria agallocha MIN 0 0 0 Aegiceras corniculatum MIN 0 0 0 Nypa fruticans MAY 0 0 0 Xylocarpus spp. MIN 0 0 0 Bruguiera spp. MAY 0 0 0 Bibit semak Acanthus ilicifolius *) ASO 0,31 0,18 0 Acrostichum spp.*) MIN 0 0 0 Derris trifoliata *) ASO 0,29 0,12 0 Pandanus tectorius *) ASO 0 0 0 Calotropis gigantea ASO 0,17 0,10 0,13 Herba Ipomoea pescaprae ASO 0 0 0 Sesuvium portulacastrum ASO 0,10 0,07 0 0,15 Rumput (Gramineae) **) ASO 0,23 0 Rumput liar lainnya ***) ASO 0 0,13 0 0 Teki (Cyperaceae) ****) ASO 0,13 0

Pantai Selatan

Bulak

Pantai Utara

Keterangan: MAY = mayor, MIN = minor, ASO = asosiasi *) Umumnya berkembangbiak secara vegetatif, sedangkan perkembangbiakan secara generatif cenderung kurang berarti. **) Rumput (Gramineae) meliputi: Cynodon dactylon, Paspalum spp., Phragmites karka; Spinifex littoreus ***) Rumput liar lain: belum teridentifikasi. ****) Teki (Cyperaceae) meliputi: Cyperus spp., Fimbristylis ferruginea; Scirpus spp.

48 Dalam analisis vegetasi tumbuhan berhabitus pohon yang tercakup sebanyak 8 spesies, semak 5 spesies, adapun herba 5 spesies/kelompok spesies. Kedelapan tumbuhan berhabitus pohon tersebut adalah Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, Nypa fruticans, Xylocarpus spp., dan Bruguiera spp. Kelima tumbuhan berhabitus semak tersebut adalah Acanthus ilicifolius, Acrostichum spp., Derris trifoliata, Pandanus tectorius, dan Calotropis gigantea. Adapun kelima tumbuhan berhabitus herba tersebut adalah Ipomoea pes-caprae, Sesuvium portulacastrum, kelompok rumput, rumput liar lain (belum teridentifikasi), serta kelompok teki. Kelompok rumput (Gramineae) meliputi: Cynodon dactylon, Paspalum spp., Phragmites karka; Spinifex littoreus, sedangkan kelompok teki (Cyperaceae) meliputi: Cyperus spp., Fimbristylis ferruginea; Scirpus spp. Tidak semua spesies yang tercakup dalam analisis vegetasi memiliki nilai penting cukup besar, beberapa di antaranya memiliki nilai penting sangat rendah karena penyebarannya yang terbatas dan/atau nilai penutupannya yang kecil, sehingga pengaruhnya terhadap ekosistem relatif dapat diabaikan. Pada habitat yang terfragmentasi, kebanyakan spesies berada pada populasi yang memiliki ciri-ciri tersendiri, mereka dihubungkan oleh migrasi. Lingkungan memperlihatkan dinamika tertentu akibat disturbansi dan suksesi komunitas tumbuhan (Stacey dan Taper, 1992; Crawley, 1997). Selama perubahan kondisi ekologi ini, lokasi boleh jadi kurang sesuai untuk jenis tertentu, sebaliknya sangat cocok bagi spesies pendatang. Dalam kondisi ini banyak komunitas berada dalam suatu kesetimbangan antara pemunahan populasi lokal dan pemantapan populasi baru, yakni mereka tinggal di metapopulasi (Hanski dan Gilpin, 1997). Strata pohon Dalam penelitian ini nilai penting paling besar ditemukan pada Rhizophora spp. (0,235), disusul Avicennia spp. (0,186) dan Sonneratia spp. (0,113). Ketiga spesies ini merupakan tumbuhan mangrove mayor yang biasa mendominasi kawasan mangrove. Dalam penelitian ini penyebaran ketiganya cukup merata, baik di pantai utara maupun selatan Jawa Tengah. Nilai penting terbesar berikutnya adalah N. fruticans (0,085), diikuti A. corniculatum (0,046) dan Bruguiera spp. (0,007). N. fruticans memiliki nilai penting cukup tinggi karena mampu membentuk tegakan murni melalui perkembangbiakan vegetatif yang mendominasi tempat-tempat tertentu pada batas antara ekosistem laut dan tawar. Vegetasi ini membentuk massa yang dominan di Cingcingguling, Ijo, Bengawan, dan Serayu. Ketiadaan atau sedikitnya jenis tumbuhan mangrove lain akibat penebangan oleh penduduk, serta pemeliharaan N. fruticans oleh masyarakat untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti sebagai penahan tanah dari abrasi serta untuk dipanen buah dan daunnya, boleh jadi menyebabkan kesuksesan tumbuhan ini dibandingkan tumbuhan mangrove lain di kawasan tersebut. Dua spesies yang memiliki nilai penting paling kecil adalah E. agallocha (0,003) dan Xylocarpus spp. (0,004). Keduanya memiliki distribusi sangat terbatas. E. agallocha hanya ditemukan di Juwana, sedangkan Xylocarpus spp. hanya ditemukan di Motean dan Muara Dua (Segara Anakan).

Strata semak dan anak pohon Semak dan anak pohon memiliki habitus dan strata yang cenderung serupa, sehingga memiliki peran ekologi yang diperkirakan sama. Dalam penelitian ini anak pohon yang memiliki nilai penting tinggi merupakan genus yang sama dengan pohon, yaitu Rhizophora spp. (0,213), Avicennia spp. (0,163) dan Sonneratia spp. (0,126). Hal ini sangat wajar mengingat hanya pohonpohon yang telah mapan yang mampu beregenerasi melahirkan keturunan dengan jumlah melimpah, meskipun tidak tertutup kemungkinan adanya suplai baru dari luar kawasan. Dalam penelitian ini rata-rata nilai penting anak pohon tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai penting pohon, sehingga diperkirakan kelestarian jenis-jenis pohon akan bertahan dalam jangka waktu lama, selama kondisi lingkungan tidak mengalami perubahan yang drastis. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa di dalam ekosistem tersebut terjadi disturbansi, tegakan tidak atau belum mencapai klimaks, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya tumbuhan muda. Pada kondisi klimaks biasanya bibit pohon akan mulai mati pada saat mencapai umur anak pohon, mengingat pada kondisi ini terjadi kompetisi dengan tumbuhan dewasa, khususnya untuk memperebutkan ruang dan cahaya matahari. Adapun dalam kondisi masih berupa bibit, tumbuhan biasanya masih dapat bertahan karena adanya sisa-sisa cadangan makanan dari biji dan ruang yang cukup, meskipun dengan cahaya matahari yang terbatas karena berada di bawah naungan pepohonan. Semak dengan rata-rata nilai penting paling tinggi dimiliki oleh A. ilicifolius (0,175), diikuti oleh D. trifoliata (0,109). Kedua tumbuhan ini dapat berkembangbiak secara vegetatif serta membentuk massa lebat/tebal yang menghambat pertumbuhan spesies lain. Pada kawasan terbuka akibat penebangan hutan, sebagaimana banyak terjadi di Segara Anakan, keduanya dapat tumbuh lebat dan mendominasi kawasan tersebut. Hal ini merupakan langkah awal proses suksesi sekunder. Keduanya juga tumbuh pada tanah akresi yang baru terbentuk, sebagai langkah awal proses suksesi primer, misalnya di Segara Anakan dan Wulan. Semak lain memiliki nilai penting sebagai berikut: C. gigantea (0,075), Acrostichum spp. (0,026), dan P. tectorius (0,022). P. tectorius merupakan bagian dari formasi hutan pantai yang umumnya ditemukan pada kawasan berpasir dan kering. Adapun C. gigantea merupakan tumbuhan dataran kering dengan penyebaran sangat luas, termasuk di kawasan pedalaman pulau Jawa. Kemampuannya beradaptasi terhadap salinitas dan kekeringan menyebabkannya mampu tumbuh sebagai tumbuhan asosiasi mangrove. Dalam penelitian ini keduanya sering ditemukan pada pematang tambak yang keras dan kering. Sebaliknya Acrostichum spp., sebagai tumbuhan mangrove minor, hanya mampu tumbuh pada tanah mangrove yang becek (water logged). Strata herba, bibit pohon dan bibit semak Herba memiliki habitus serupa dengan bibit pohon dan bibit semak, sehingga secara ekologi diperkirakan memiliki peranan yang sama pula. Besarnya nilai penting bibit pohon, tidak berbeda jauh dengan nilai penting anak pohon dan pohon. Avicennia spp. (0,190), Sonneratia spp. (0,136), dan Rhizophora spp. (0,058) memiliki nilai

49 penting yang cukup tinggi, sehingga dalam jangka panjang diperkirankan kelestariannya akan terjaga. Nilai penting bibit Rhizophora spp. yang lebih kecil dari kedua genus lainnya disebabkan bentuk kanopi bibit pohon ini relatif lurus ke atas, dengan proyeksi ke permukaan tanah lebih sempit sehingga nilai penutupan lebih kecil untuk jumlah individu bibit yang sama. Strata bibit pohon lainnya yang memiliki nilai penting cukup tinggi adalah N. fruticans (0,077). Hal ini terjadi karena tumbuhan tersebut mampu berkembangbiak secara vegetatif membentuk tegakan murni, di samping mampu pula berkembang biak secara generatif. Besarnya nilai penting bibit semak hampir sama dengan nilai penting semak. Hal ini boleh jadi disebabkan hampir semua tumbuhan semak yang ada dapat berkembangbiak secara vegetatif. Dari lima spesies semak tersebut, hanya C. gigantea yang tidak dapat berkembangbiak secara vegetatif. Sebaliknya Acrostichum spp. dan D. trifoliata perkembangbiakan secara vegetatif jauh lebih maju dari pada perkembangbiakan secara generatif. Dalam penelitian ini kelompok herba yang memiliki nilai penting terbesar adalah rumput (rata-rata keseluruhan 0,162), diikuti rumput liar lain (rata-rata keseluruhan 0,063), dan teki (rata-rata keseluruhan 0,044). Adapun dua spesies sisanya adalan I. pescaprae (0,030) dan Sessuvium portulacastrum (0,041). Kelima spesies/kelompok spesies tersebut memiliki penyebaran yang relatif merata, baik di pantai utara maupun selatan, kecuali I. pes-caprae yang dalam penelitian ini hanya dijumpai di pantai selatan. Spesies ini merupakan bagian dari formasi hutan pantai yang umumnya hanya tumbuh di kawasan pantai berpasir yang kering, sehingga tidak dijumpai di lokasi penelitian di pantai utara yang umumnya berupa kawasan pantai didominasi lumpur. Penelitian Suranto dkk. (2000) menunjukkan bahwa di pantai utara Tuban yang berpasir dan kering terdapat komunitas tumbuhan I. pes-caprae. Secara umum strata pohon yang sekaligus memiliki strata anak pohon dan bibit pohon, serta strata semak yang sekaligus memiliki strata bibit semak, apabila diperbandingkan dalam satu spesies yang sama maka nilai pentingnya cenderung tetap. Kondisi ini merupakan sinergi dari banyak faktor mulai dari faktor biotik, abiotik, dan sosial budaya masyarakat yang telah mapan, sehingga diperkirakan kelestarian tumbuhan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa dalam jangka panjang akan lestari.

KESIMPULAN Secara umum strata pohon yang sekaligus memiliki strata anak pohon dan bibit pohon, serta strata semak yang sekaligus memiliki strata bibit semak, apabila diperbandingkan dalam satu spesies yang sama maka nilai pentingnya cenderung tetap. Pada tiga besar tumbuhan mangrove mayor, yaitu Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp. nilai penting pada strata pohon secara berturut-turut adalah 0.190, 0.136, dan 0.058; strata anak pohon 0.163, 0.126, dan 0.213, strata bibit pohon 0.186, 0.113, dan 0.235. Oleh karenanya kelestarian tumbuhan mangrove di Jawa Tengah diperkirakan akan terjamin, meskipun dalam kondisi disturbansi, selama tidak terjadi perubahan-

perubahan lingkungan secara besar-besaran dalam skala luas. Data ini sekaligus menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik, yang menyebabkan disturbansi ekosistem, sehingga tegakan tidak mencapai klimaks, dengan nilai penting tumbuhan muda relatif tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of Agroforests on the Periphery of Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia, People and Plants Working Paper 3. Paris: UNESCO. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: P.Noordhoff Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo Park CA.: The Benjamin Cummings Pub. Co. Inc. Callaway J.C, and J.B. Zedler. 1998. Tidal wetland sedimentation impacts: flood-caused bare zones sustained by trampling and high salinities. ASLO/ESA Joint Conference on the Land-Water Interface. St. Louis, June 1998. Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer Verlag. Clark, D.A. dan D.B. Clark. 1991. The impact of physical damage on canopy tree regeneration in tropical rain forests. Journal of Ecology 79: 447-457. Crawley, M.J. 1997. Plant Ecology. Oxford: Blackwell Science. Dubayah, R., J.B. Blair, J.L. Bufton, D.B. Clark, J. Jaja, R. Knox, S. Luthcke, S. Prince and J. Weishampel. 1997. The vegetation canopy lidar mission, Land Satellite Information in the Next Decade II: Sources and Applications. ASPRS Proceedings: 100-112. Fahey, T.J., J.J. Battles, and G.F. Wilson. 1998. Responses of early successional hardwood forests to changes in nutrient availability. Ecology Monograph 68 (2): 183-212. Finzi, A.C and C.D. Canham. 2000. Sapling growth in response to light and nitrogen availability in a southern New England forest. Forest Ecology and Management 131: 153-165. Hanski I, and M.E. Gilpin. 1997. Metapopulation Biology: Ecology, Genetics, and Evolution. San Diego, CA: Academic Press. Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A review of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kobe, R.K., S.W. Pacala, J.A. Silander Jr., and C.D. Canham. 1995. Juvenile tree survivorship as a component of shade tolerance. Ecology Applied 5 (2): 517-532. Kusmana, C. dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Latham, R.E. 1992. Co-occurring tree species change rank in seedling performance with resources varied experimentally. Ecology 73: 2129-2144. Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: Joh Wiley and Sons. MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology 6: 73-270. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia: W.B. Sounders Company. Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E. Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph 66 (1): 1-44.

50 Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, Kusumo Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan mangrove di Propinsi Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman jenis. Biodiversitas 6 (1): 00-00 (submitted). SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Stacey P.B. and M. Taper. 1992. Environmental variation and the persistence of small populations. Ecological Applications 2: 18-29. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Suranto, Sajidan, Harliyono, K. Winarno, dan S.E. Hariningsih. 2000. Studi variasi populasi Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. BioSMART 2 (1): 28-33.

Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. Walters, M.B., and P.B. Reich, 1997. Growth of Acer Saccharum seedlings in deeply shaded understories of northern Wisconsin: effects of nitrogen and water. Canadian Journal of Forest Research 27: 237-247. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus. Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama Konservasi Ekosistem Mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.

Lampiran xxx. Struktur vegetasi mangrove pada beberapa lokasi penelitian.

Gambar xxx. Strata bibit Rhizophora di Pasar Banggi

Gambar xxx. Strata bibit Avicennia di Wulan

Gambar xxx. Strata pohon Rhizophora di Pasar Banggi

Gambar xxx. Strata pohon Rhizophora di Bulak

Gambar xxx. Strata anak pohon Sonneratia di Wulan

Gambar xxx. Dominasi semak-semak A. ilicifolius pada lahan terbuka

51

Diagram Profil Vegetasi

ABSTRACT The study was intended to observe the horizontal and vertical diagram of mangrove vegetation profile on southern and northern coast of Central Java Province. This research was conducted in July until December 2003, at 20 sites. Analysis of profile diagram was done in Laboratory of Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University (UNS) Surakarta. Data was collected by using belt transect method, from coast line into landward. The result indicated that the diagram profile of vegetation showed the height of anthropogenic influence, where the vegetation was dominated by young plants; there were only (1)-2-(3-4) strata of canopy (storey). Human disturbance caused most of the vegetation was in the secondary succession; almost it has not in the climax condition. The area in the belt transect that used to build diagram usually have canopy gap or bare land caused by logging, or to be converse into another land use, especially sawah (rice field) and tambak (fish pond and salt extraction). The resistance of young plant gives hope to the sustainability of the mangrove plant in Central Java, but width scale of environmental changes can degraded this habitat completely. Key words: mangrove vegetation profile diagram.

plants,

Central

Java

Province,

PENDAHULUAN Kawasan pesisir pantai utara dan selatan Jawa Tengah, merupakan bagian pulau Jawa yang secara dinamis mengalami perubahan. Kegiatan antropogenik telah merambah hampir seluruh jengkal permukaan tanah Jawa, termasuk kawasan mangrove yang sering dianggap terpencil, kotor, dan dijauhi. Ekosistem mangrove di Jawa Tengah memiliki bentuk yang beragam, karena perbedaan fisiografi pantainya. Pantai utara cenderung berlumpur dengan hempasan gelombang yang relatif kecil, sedangkan pantai selatan cenderung bertanah pasir dan berbatu-batu dengan kondisi gelombang yang sangat kuat. Tumbuhan mangrove memiliki preferensi yang berbeda-beda terhadap kondisi ini (Steenis, 1958; 1965). Kondisi lingkungan di masa depan dapat diprediksi dari komposisi dan struktur biota pada saat ini. Spesies atau komunitas tertentu yang interaksinya unik dalam ekosistem dapat digunakan sebagai bioindikator untuk

mengetahui kualitas lingkungan, mengidentifikasi permasalahan kawasan, dan memberikan peringatan awal berbagai perubahan yang kemungkinan terjadi pada masa depan. Pengetahuan tentang pola pertumbuhan berbagai vegetasi hutan dapat menjadi dasar untuk memprediksi kemungkinan perubahan lingkungan yang akan terjadi di masa depan (Aumeeruddy, 1994). Formasi hutan mangrove terdiri dari empat genus utama, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera (Chapman, 1992; Nybakken, 1993). Hutan mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Bagian paling luar didominasi Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah Bruguiera gymnorrhiza, bagian ketiga Xylocarpus, dan Heritieria, bagian dalam Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi Cerbera manghas (de Haan dalam Steenis, 1958). Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans (Odum, 1971; Sukardjo, 1985; Tomlison, 1986). Pada masa kini pola zonasi tersebut jarang ditemukan karena tingginya laju konversi habitat mangrove menjadi tambak, penebangan hutan, sedimentasi/reklamasi, dan pencemaran lingkungan (Walsh, 1974; Lewis, 1990; Nybakken, 1993; Primavera, 1993). Struktur vegetasi tumbuhan, seperti tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi dan energi, serta keanekaragaman ekosistem (Dubayah dkk., 1997). Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan (Walters dan Reich, 1997; Fahey dkk., 1998). Keberhasilan sebuah pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter/ penampakan anak pohon (Clark dan Clark, 1991; Kobe dkk., 1995). Variasi ketersediaan cahaya dan perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam memanfaatkannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan (Latham, 1992; Pacala dkk., 1996). Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan (Finzi dan Canham, 2000). Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan

Publikasi asli: Setyawan, A.D., K. Winarno (alm.), Indrowuryatno, Wiryanto, dan A. Susilowati. 2008. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah 3. Diagram Profil Vegetasi. Biodiversitas 9 (4): 315-321.

52 perbedaan mortalitas yang besar (Kobe dkk., 1995), sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996). Stratifikasi kanopi merupakan salah satu konsep tertua dalam ekologi hutan tropis. Konsep ini telah dikembangkan sejak permulaan abad ke-19, namun masih menjadi perdebatan (Richards, 1996; Smith, 1973; Whitmore, 1985). Beberapa peneliti menyatakan adanya strata pada kanopi hutan (Davis dan Richards, 1933; Ashton dan Hall, 1992), namun peneliti lain tidak menemukannya (Paijmans, 1970). Penyebab utama kerancuan ini adalah subyektivitas definisi dan metode yang digunakan. Istilah stratifikasi digunakan untuk tiga perbedaan yang saling terkait, yaitu: stratifikasi vertikal biomassa (Ashton dan Hall, 1992), stratifikasi vertikal kanopi (Grubb dkk., 1963), dan stratifikasi vertikal spesies (Oliver, 1978). Stratifikasi boleh jadi ada berdasarkan salah satu definisi, tetapi tidak ada berdasarkan definisi lainnya. Misalnya, biomassa dapat saja terstratifikasi, tetapi kanopi tidak dapat ditentukan stratifikasinya, atau kanopi spesies yang sama terletak pada strata yang berbeda (Baker dan Wilson, 2000). Namun ada atau tidaknya strata kanopi, konsep stratifikasi tetap merupakan alat yang sangat berguna untuk mengkaji distribusi vertikal tumbuhan dan hewan (Halle dkk., 1978). Metode tertua dan paling banyak digunakan untuk mengkaji stratifikasi/arsitektur kanopi adalah diagram profil hutan secara vertikal dan horizontal (Baker dan Wilson, 2000). Teknik ini pertama kali diterapkan oleh Watt (1924 dalam Baker dan Wilson, 2000) pada hutan temperate, sedangkan Davis dan Richards (1933) adalah orang pertama yang menerapkannya pada hutan tropis. Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, biasanya dengan panjang 40-70 m dan lebar 10 m, tergantung densitas pohon. Kemudian ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif (Aumeeruddy, 1994; Baker dan Wilson, 2000). Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil hutan (Grubb dkk., 1963; Ashton dan Hall, 1992). Stratifikasi di hutan tropis memiliki beberapa variasi, tetapi umumnya terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan pertama terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 30-45 m, lapisan kedua terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 18-27 m, lapisan ketiga terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 8-24 m, lapisan semak terdiri dari anak pohon dan semak dengan ketinggian < 10 m, serta lapisan herba (Euwise, 1980). Hingga kini diagram profil hutan masih merupakan standard untuk mengidentifikasi stratifikasi kanopi hutan, meskipun memiliki beberapa kekurangan, yaitu interpretasinya dapat subyektif, membutuhkan banyak tenaga untuk mengerjakannya, dan dipengaruhi kondisi lokasi (Baker dan Wilson, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diagram profil vertikal dan horizontal vegetasi mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah; sehingga dapat menggambarkan preferensi habitat, strata kanopi, dan pengaruh antropogenik terhadap kelestarian ekosistem ini.

BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan bulan Juli s.d. Desember 2003, pada 20 habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di bibir/tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke-18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai. Cara kerja Pada setiap lokasi di atas dibuat profil hutan secara vertikal dan horizontal, memanjang dari arah bibir pantai atau muara sungai ke arah daratan dengan menggunakan belt transect, dengan tiga kali ulangan. Pemilihan titik untuk meletakkan belt transect didasarkan atas kekayaan dan keanekaragaman jenis tumbuhan di tempat tersebut, serta dengan mempertimbangkan penampakan umum tegakan, sehingga profil diagram yang dibuat dapat mewakili vegetasi mangrove di lokasi tersebut. Ukuran belt transect 60x10 m2, untuk memudahkan penghitungan di dalamnya dibuat 6 plot kuadrat, masing-masing berukuran 10x10 m2. Arah memanjang transek dari laut/muara menuju ke daratan dinyatakan sebagai sumbu x, arah melebar transek sebagai sumbu y, dan arah ke atas sebagai sumbu z, sehingga diperoleh sumbu panjang: x = 60 m, sumbu pendek: y = 10 m, sumbu tegak: z = 20 m. Penentuan sumbu tegak yang hanya 20 m, didasarkan kenyataan bahwa pepohonan mangrove di lokasi penelitian bertinggi < 20 m. Belt transect ini juga digunakan dalam analisis komposisi dan struktur vegetasi (Setyawan dkk., 2005). Semua spesies pohon, anak pohon, dan semak di dalam plot diambil sampelnya untuk herbarium dan diidentifikasi. Pembuatan herbarium merujuk pada Lawrence (1951), sedang identifikasi merujuk pada Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986). Selanjutnya semua pohon, anak pohon, dan semak (θ ≥ 5 cm) diberi nomor dan ditentukan posisinya terhadap sumbu x dan y, lalu diukur tinggi total, tinggi cabang pertama, lebar dan panjang kanopi, serta diameter setinggi dada (diameter at breast high; DBH; 130 cm), serta digambar posisi vertikalnya pada kertas grafik. Pohon yang tumbang dicatat panjang, diameter, dan posisinya terhadap sumbu x dan y, serta digambar. Kemudian data ditabulasi, gambar masing-masing individu pohon dan semak disatukan berdasarkan posisinya dan dibuat gambar diagram profil vegetasi secara vertikal, dilanjutkan diagram profil vegetasi secara horizontal dengan memproyeksikan kanopi ke permukaan lantai hutan. Berdasarkan profil hutan ini ditentukan jumlah strata pohon yang terbentuk (Baker

53 dan Wilson, 2000; Aumeeruddy, 1994). Penentuan jumlah strata sangat tergantung keputusan pribadi peneliti (Grubb dkk., 1963). Dalam penelitian ini, stratifikasi ditentukan berdasarkan modus tinggi kanopi, kemudian dibuat jangkauan tertentu yang tidak tumpang tindih dengan strata di bawah atau di atasnya. Salah satu di antara ketiga diagram pada setiap lokasi ditunjukkan dalam tulisan ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Dalam penelitian ini, tidak semua spesies yang dijumpai di area penelitian tercakup dalam diagram profil vegetasi, mengingat metode yang digunakan adalah belt transect, sehingga kawasan yang dicakup relatif terbatas, serta hanya dilakukan (0-60 m) di sekitar bibir pantai atau bibir muara sungai. Dalam penelitian ini ditemukan delapan spesies pohon dan semak yang memberi bentuk pada profil vegetasi, tediri dari tujuh spesies berhabitus pohon, termasuk satu palem, dan satu spesies berhabitus semak. Sebanyak lima spesies tergolong dalam kategori tumbuhan mangrove mayor, dan tiga tumbuhan mangrove minor (Tabel 1.). Hasil ini sama dengan jenis-jenis pohon yang ditemukan dalam analisis komposisi dan struktur vegetasi, mengingat keduanya menggunakan belt transect yang sama (Setyawan dkk., 2005). Adapun gambar profil vegetasi dari keduapuluh lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1A s.d. 1T. Dalam hal ini hanya ditunjukkan satu gambar untuk setiap lokasi mengingat keterbatasan halaman. Tabel 1. Kenekaragaman jenis tumbuhan yang memberi bentuk diagram profil vegetasi. Nama jenis

Habitus

Kategori

Avicennia spp. Sonneratia spp. Rhizophora spp. Excoecaria agallocha Aegiceras corniculatum Nypa fruticans Xylocarpus spp. Bruguiera spp.

Pohon Pohon Pohon Pohon Semak Pohon/palem Pohon Pohon

Mayor Mayor Mayor Minor Minor Mayor Minor Mayor

Diagram horizontal (preferensi habitat; zonasi) Kedelapan jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan adanya variasi yang luas pada habitat mangrove di Jawa Tengah. Tumbuh-tumbuhan mangrove tersebut tidak sepenuhnya membentuk zonasi berdasarkan toleransinya terhadap periode penggenangan dan salinitas, sebagaimana pendapat umum yang dipegang banyak peneliti (misalnya: de Haan dalam Steenis, 1958). Dalam penelitian ini, mangrove tumbuh baik pada tepian garis pantai (marine environment) maupun tepian muara sungai (riverine environment). Bagian terdepan dari vegetasi mangrove (0-60 m dari tepi pantai atau muara sungai) tidak selalu didominasi tiga besar tumbuhan mangrove mayor, yakni Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp., namun dapat pula berisi Nypa fruticans yang secara tradisional dinyatakan

sebagai tumbuhan rawa burit (back swamp), yang biasa tumbuh pada garis paling belakang ekosistem mangrove, berbatasan dengan perairan tawar dan daratan (Steenis, 1958; 1965; Tomlison, 1986). Pada lingkungan yang cocok, dimana terdapat pasir dan lempung, N. fruticans dapat menjadi tumbuhan utama pada tepi sungai atau laguna (Ng dan Sivasothi, 2001). Pada beberapa lokasi, N. fruticans tumbuh pada perbatasan dengan area persawahan, yang pada masa lalu diperkirakan merupakan area rawa burit. Di Cingcingguling dan Serayu, spesies ini ditemukan baik pada bibir muara sungai yang terpengaruh langsung oleh arus pasang surut, maupun pada areal persawahan yang jauh dari pantai dan relatif tidak terpengarung arus pasang-surut karena adanya tanggul-tanggul buatan. Tumbuhan ini membentuk kantung-kantung yang rimbun di antara persawahan yang ditanami padi. Tidak terbentuknya zonasi, diperkirakan merupakan akibat dari besarnya pengaruh antropogenik, sehingga tumbuhan mangrove tidak lagi tumbuh secara alami, tetapi menjadi bagian dari kultur yang dikembangkan masyarakat khususnya pada kawasan dengan intensitas kegiatan manusia yang tinggi, seperti pantai utara Jawa; atau sekurang-kurangnya telah melakukan adaptasi terhadap aktivitas manusia, khususnya pada lokasi dengan aktivitas manusia lebih rendah seperti Segara Anakan. Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp., baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, hampir selalu dijumpai dalam plot penelitian. Hal ini wajar mengingat ketiganya merupakan tumbuhan mangrove mayor yang selalu berada di garis terdepan berhadapan dengan garis pantai atau muara sungai. Tumbuh-tumbuhan ini telah beradaptasi terhadap pengaruh fluktuasi arus pasang surut yang menyebabkan variasi genangan dan salinitas. Sebaliknya Bruguiera spp., yang juga termasuk tumbuhan mangrove mayor, umumnya hanya dijumpai pada arah daratan yang cenderung lebih kering, bahkan di belakang tanggul-tanggul buatan maupun alami. Spesies ini telah beradaptasi terhadap fluktuasi pasang surut yang lebih rendah, sehingga tanahnya memiliki kadar garam yang cenderung tinggi karena besarnya penguapan. Dalam penelitian ini Bruguiera spp. hanya ditemukan di Muara Dua dan Tritih, yang terletak di laguna Segara Anakan. Suatu kawasan mangrove yang sedang mengalami suksesi menuju ekosistem daratan akibat tingginya sedimentasi. Di Tritih, yang merupakan ekosistem mangrove buatan, spesies ini ditanam pada pematang jalan yang juga menjadi sarang kepiting lumpur (Thalassina anomala), akibat kurangnya perawatan, berupa gundukan-gundukan tanah dengan tinggi 1-1,8 m. Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. dapat ditemukan di pantai utara maupun selatan, namun preferensi Sonneratia spp. terhadap tanah berpasir menyebabkannya lebih mudah ditemukan di pantai selatan, sedangkan preferensi Rhizophora spp. terhadap tanah berlumpur menyebabkannya lebih mudah ditemukan di pantai utara. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwasanya pantai selatan Jawa didominasi pasir, sedangkan pantai utara didominasi lumpur (Steenis, 1958; 1965; Whitten dkk., 2000). Secara umum, Avicennia dan Sonneratia dapat tumbuh dengan baik pada tanah berpasir, sedangkan Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut yang kaya humus, adapun

54 Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik (Ng dan Sivasothi, 2001). Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, dan Xylocarpus spp. merupakan tumbuhan mangrove minor, umumnya tumbuh pada arah daratan, jauh dari fluktuasi genangan pasang-surut, namun dalam penelitian ini tumbuh-tumbuhan tersebut dapat dijumpai pada barisan terdepan, berbatasan langsung dengan tepi pantai atau muara sungai. Hal ini merupakan akibat terjadinya pengeringan area mangrove, baik secara sengaja maupun secara alami. Pengeringan area mangrove secara buatan umumnya terkait dengan pembuatan tambak atau sawah. Tumbuhan mangrove dapat menginvasi pematang/tanggul atau bahkan sengaja ditanam di tempat tersebut untuk memperkuatnya, misalnya E. agallocha di Juwana. Spesies-spesies ini juga dapat tumbuh pada tanah yang mengering karena naiknya permukaan tanah akibat sedimentasi atau pada gundukan-gundukan tanah yang dibuat kepiting lumpur, misalnya Xylocarpus spp. dan A. corniculatum di Segara Anakan. Diagram vertikal (stratifikasi kanopi) Dalam penelitian ini secara keseluruhan dapat ditemukan empat strata kanopi, dengan pohon tertinggi sekitar 18 m, namun pada masing-masing lokasi umumnya hanya ditemukan dua strata kanopi. Dalam penelitian ini, stratifikasi ditentukan berdasarkan modus tinggi kanopi. Di lapangan tinggi strata kanopi sangat terkait dengan spesies dan umur pohon. Setiap spesies memiliki tinggi maksimum yang berbeda-beda, namun mengingat jumlah spesies pohon yang hadir sangat terbatas, seringkali perbedaan ketinggian strata lebih disebabkan umur pohon dari pada jenis pohon. Dalam hal ini kanopi spesies yang sama terletak pada strata yang berbeda (Baker dan Wilson, 2000). Dalam penelitian ini, strata pertama terdiri dari pohon dan semak dengan tinggi 2-6 m, strata berikutnya hanya berupa pohon, yakni strata kedua 7-10 m, strata ketiga 11-14 m, dan strata keempat 15-18 m. Tingkat kerusakan vegetasi atau sebaliknya tingkat kelestarian dan pemeliharaan vegetasi mangrove mempengaruhi jumlah strata kanopi, di samping faktor-faktor lingkungan fisik, seperti jenis tanah dan iklim. Pantai utara Wulan (Gambar 1A) merupakan lokasi dengan jumlah strata kanopi paling banyak, keempat strata di atas semuanya hadir, dengan jenis tumbuhan Avicennia spp. dan sebagian kecil Rhizophora spp. Panjang vegetasi ini mencapai lebih dari 60 m dari bibir muara sungai. Kawasan yang diteliti merupakan bekas tambak yang ditinggalkan dan mengalami regenerasi mangrove kembali, sehingga terdapat pohon dari yang berusia paling muda hingga pohon tua yang pada masa lalu disisakan sebagai naungan dan penahan tanggul. Pada lokasi yang dulunya merupakan kolam tambak, pepohonan telah mencapai strata pertama dan kedua. Pepohonan ini diperkirakan tumbuh secara bersamaan pada saat tambak tersebut ditinggalkan sehingga memiliki ketinggian yang relatif sama. Tambak yang ditinggalkan merupakan fenomena umum di pantai utara Jawa akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit, dan pencemaran lingkungan.

Sigrogol (Gambar 1B) memiliki sejumlah kecil mangrove yang hampir mencapai kondisi klimaks. Panjang vegetasi ini mencapai sekitar 60 m dari bibir muara sungai. Tumbuhan mangrove di area ini hanya terdiri dari Avicennia spp. dan berhasil tumbuh hingga usia tua karena menjadi penyangga tanggul-tanggul di bibir muara sungai dan pantai. Pepohonan yang ada hampir semuanya berada pada strata ketiga. Hal ini menimbulkan dugaan adanya kesengajaan pada saat penanamannya dahulu, namun berdasarkan letak pancang batang pohon di tanah yang cenderung tidak membentuk pola tertentu, maka pepohonan ini kemungkinan tumbuh secara alamiah namun dijaga kelestariannya dan terpelihara. Kondisi pepohonan yang mendekati klimaks, menyebabkan lantai hutan relatif bersih dari herba, semak, maupun anak pohon, karena adanya kompetisi yang kuat dari tumbuhan dewasa dalam hal cahaya matahari, ruang, dan unsur hara. Serang (Gambar 1C) memiliki vegetasi mangrove dalam kondisi muda. Vegetasi ini secara monokultur tersusun atas Avicennia spp., dengan dua strata, yakni strata pertama dan kedua. Panjang vegetasi ini hanya sekitar 30 m dari bibir pantai, lahan selanjutnya merupakan areal pertambakan ikan bandeng. Area kosong di antara kanopi ditumbuhi bibit Avicennia, sedangkan area kosong ke arah darat merupakan tambak ikan. Bulak (Gambar 1E) memiliki vegetasi mangrove monokultur Rhizophora spp. yang tersusun atas satu strata, yakni strata kedua. Vegetasi ini tumbuh rapat dengan jarak yang relatif teratur. Hal ini merupakan hasil restorasi sejak beberapa tahun sebelumnya untuk menahan laju abrasi. Rapatnya penanaman tumbuhan ini menyebabkan hampir tidak ada celah kanopi di antara pepohonan, namun panjang vegetasi ini hanya sekitar 20 m dari bibir pantai, lahan selanjutnya ke arah darat merupakan tambak udang. Terdapat beberapa individu Avicennia spp., yang tumbuh kerdil di pematangpematang tambak. Telukawur (Gambar 1E) memiliki vegetasi dengan dua strata, yaitu strata pertama dan kedua. Tumbuhan yang hadir adalah Avicennia spp., Rhizophora spp., dan A. corniculata. Mengingat penampakannya yang teratur, Rhizophora spp. kemungkinan merupakan hasil penanaman, sedangkan Avicennia spp. dan A. corniculata tumbuh secara liar. Pada arah laut terdapat area tanpa kanopi yang merupakan bekas tambak dan selalu becek, sedangnya pada arah daratan terdapat area kosong di sela-sela A. corniculata yang didominasi rerumputan. Area ini merupakan tanah daratan yang kering. Muara sungai Tayu (Gambar 1F) yang langsung berhadapan dengan laut Jawa memiliki vegetasi mangrove dalam jumlah sangat terbatas. Di sepanjang pantai Tayu vegetasi mangrove hampir sepenuhnya dibersihkan dari tepian pantai. Masyarakan tidak terlalu peduli dengan kelestariannya, mengingat secara fisik abrasi pantai tidak mengancam kawasan ini, bahkan kawasan pantai timur Tayu merupakan area pengendapan lumpur dari banyak sungai kecil. Vegetasi mangrove di tempat ini tebalnya hanya sekitar 10-20 m, didominasi oleh Avicennia spp. dan Rhizophora spp. Pertumbuhannya juga masih sangat muda, bahkan hanya terdiri dari strata pertama saja. Area ke arah daratan telah diubah menjadi tambak ikan.

55 Sama halnya dengan Tayu, vegetasi mangrove di Juwana (Gambar 1G), sangat terbatas, umumnya hanya terletak di tepi sungai Juwana dengan tebal hanya sekitar 10 m, didominasi oleh Avicennia spp. dan Sonneratia spp. Pertumbuhannya juga masih sangat muda, hanya terdiri dari strata pertama saja. Area ke arah daratan telah diubah menjadi tambak ikan. Kondisi dan penggunaan lahan di Juwana dan Tayu relatif sama mengingat kedua kawasan pesisir pantai ini letaknya bersambungan, serta menjadi area sedimentasi sungai Juwana. Pecangakan (Gambar 1H) memiliki area mangrove yang agak luas di bibir muara sungai yang sekaligus berhadapan langsung dengan laut Jawa. Diagram profil vegetasinya didominasi oleh Avicennia spp. secara monokultur. Hal ini terjadi karena adanya upaya penanaman mangrove untuk menjebak lumpur dan memperluas area mangrove ke arah laut yang selanjutnya dapat diubah menjadi tambak ikan. Tebal vegetasi ini sekitar 30 m, dengan dua strata, yaitu pertama dan kedua. Pasar Banggi (Gambar 1-I) merupakan kawasan pantai yang relatif jauh dari aliran sungai besar. Ke arah laut kawasan ini bertanah pasir putih, sedangkan ke arah daratan bertanah lumpur. Kawasan ini memiliki area mangrove yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah setempat, sehingga relatif terjaga. Tumbuhan yang hadir meliputi Avicennia spp., Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. Tumbuhan terakhir relatif dominan karena merupakan hasil restorasi beberapa tahun sebelumnya, sehingga cenderung rapat dan teratur, baik jarak tanam maupun ketinggiannya. Di arah laut yang bertanah pasir tumbuh Sonneratia spp., sedangkan Avicennia spp. terdapat di arah daratan. Diagram profil vegetasi memiliki dua strata yaitu strata pertama dan kedua, dengan tebal vegetasi sekitar 40-50 m. lahan tanpa vegetasi di arah daratan merupakan area tambak garam. Rapatnya penanaman Rhizophora spp. menyebabkan hampir tidak ada celah kanopi di antara pepohonan. Lasem (Gambar 1J) menyisakan vegetasi mangrove yang agak baik di sepanjang tepian sungai-sungai kecil. Vegetasi ini didominasi oleh Rhizophora spp. yang merupakan hasil penanaman untuk memperkuat tepian sungai kecil tersebut, sehingga cenderung memiliki penampilan seragam. Diagram profil vegetasi menunjukkan hanya terdapat strata pertama saja. Area mangrove ini memanjang mengikuti garis tanggul sungai. Area kosong di antara kanopi merupakan bagian tepian sungai yang tidak bervegetasi. Pantai selatan Bogowonto (Gambar 1K) memiliki vegetasi mangrove yang secara alamiah didominasi oleh Sonneratia spp. Hal ini merupakan akibat dari tanahnya yang berpasirlempung. Di samping itu terdapat pula Nypa fruticans yang tumbuh alami dan sejumlah kecil Rhizophora spp. yang merupakan hasil introduksi. Diagram profil hutan menunjukkan adanya dua strata, yaitu strata pertama dan kedua. Vegetasi ini cukup panjang karena mengikuti sungai kecil di dalamnya. Kuatnya angin dari laut selatan, tampaknya menyebabkan pepohonan dewasa di lingkungan ini relatif pendek. Lahan tanpa kanopi di dalam diagram profil didominasi rerumputan. Kawasan mangrove ini merupakan area merumput ternak kerbau penduduk setempat.

Cakrayasan (Gambar 1L) menyisakan sedikit sekali vegetasi mangrove, dengan panjang hanya sekitar 10 m. Sama halnya dengan Bogowonto, vegetasi ini secara alamiah didominasi oleh Sonneratia spp., mengingat tipe tanahnya yang berpasir-lempung. Diagram profil vegetasi menunjukkan adanya strata pertama saja. Area tanpa pohon pada arah ke daratan merupakan padang gembalaan ternak penduduk, yang pada musim hujan kadang-kadang ditanami padi. Lukulo (Gambar 1M) hampir tidak menyisakan lagi vegetasi mangrove. Kawasan mangrove yang ada hanya menyisakan beberapa batang pohon Sonneratia spp., dikelilingi dataran rumput yang menjadi area penggembalaan sapi penduduk. Upaya restorasi ekosistem mangrove beberapa tahun sebelumnya di kawasan ini dengan menanam beberapa jenis mangrove tidak berhasil, kemungkinan karena perumputan oleh ternak, di samping kesalahan pemilihan spesies yang ditanam. Cingcingguling (Gambar 1N) hanya menyisakan N. fruticans sebagai penyusun vegetasi mangrove. Palem ini tumbuh secara monokultur membentuk tegakan murni karena mampu berkembangbiak secara vegetatif dengan membentuk rhizhoma. Vegetasi ini hanya mencakup strata pertama saja. Panjang vegetasi sekitar 30-40 m. Tumbuhan ini dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi perairan tawar, sehingga ditemukan sebagai kantung-kantung mangrove di antara lahan persawahan. Lahan tanpa penutupan kanopi pada diagram profil merupakan sawah. Ijo (Gambar 1-O) memiliki lingkungan mangrove dengan jenis tumbuhan lebih bervariasi, pada diagram profil tercakup Avicennia spp., Rhizophora spp., dan N. fruticans. Pada arah bibir sungai terdapat dominasi Rhizophora spp., sedangkan pada arah daratan terdapat dominasi N. fruticans. Vegetasi didominasi tumbuhan muda dengan strata pertama saja. Panjang vegetasi sekitar 30 m. Area tanpa penutupan kanopi pohon merupakan lahan kosong/ terbuka atau lahan tegalan yang dibiarkan tidak terawat, pada beberapa tempat ditumbuhi Acanthus ilicifolius. Bengawan (Gambar 1-P) memiliki habitat mangrove dengan dominasi Sonneratia spp. dan N. fruticans. Pada arah bibir sungai didominasi Sonneratia spp. sedangkan pada arah daratan didominasi N. fruticans. Vegetasi ini hanya terdiri dari strata pertama saja, dengan panjang vegetasi sekitar 30 m. Sama halnya dengan Ijo, area tanpa penutupan kanopi pohon merupakan lahan kosong/terbuka atau lahan tegalan yang tidak dikelola secara intensif. Serayu (Gambar 1Q) memiliki habitat mangrove yang hanya ditumbuhi Sonneratia spp. dan N. fruticans. Palem ini cenderung tumbuh secara monokultur dan mendominasi area, namun pada tempat-tempat tertentu terdapat Sonneratia spp. yang tumbuh menjulang ke atas. Panjang vegetasi hanya sekitar 20-30 m, dengan dua strata, yaitu strata pertama dan kedua. Lahan tanpa penutupan kanopi pada diagram profil merupakan sawah. Tritih (Gambar 1R) merupakan area wisata mangrove buatan, yang pada akhirnya cenderung dibiarkan tumbuh alami. Jajaran pepohonanya yang rapat dan teratur menunjukkan bahwa tegakan ini merupakan hasil campur tangan manusia. Kawasan yang berbatasan dengan bibir laguna didominasi Avicennia spp. yang sebagian tumbuh secara alami, sedang area pada arah

56 z

z

0

x

z

0

x

y

y

0

x

x

x

x

y

0

x

x

x

0

0

x

x

x

0

x

0

x

P

x

0

x

0

x

x

Q

x

R

0

x

z

0

x

0

x

y

0

x

0

x

O z

0

x

y

0

x

J

z

y

0

x

N

z

y

y

0

y

0

M

z

x

y

0

L

z

x

x

z

z

0

0

I

y

0

K

x

x

E

y

z

y

y

x

0

H

z

0

0

D

x

0

0

y

z

0

G

z

x

y

0

F

x

y

z

0

z

0

C

z

y

x

0

B

z

0

0

y

0

A

z

0

x

y

0

x

S

0

x

T

Gambar 1. Diagram vertikal dan horizontal profil vegetasi di 20 lokasi pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keterangan: A. Wulan, B. Sigrogol, C. Serang, D. Bulak, E. Telukawur, F. Tayu, G. Juwana, H. Pecangakan, I. Pasar Bangi, J. Lasem, K. Bogowonto, L. Cakrayasan, M. Lukulo, N. Cincingguling, O. Ijo, P. Bengawan, Q. Serayu, R. Tritih, S. Motean, T. Muara Dua; 1. Avicennia spp., 2. Sonneratia spp., 3. Rhizophora spp., 4. Excoecaria agallocha, 5. Aegiceras, 6. Nypa fruticans, 7 (-), 8. Xylocarpus spp., 9. Bruguiera spp.; Sumbu panjang: x = 60 m, sumbu pendek: y = 10 m, sumbu tegak: z = 20 m.

57 daratan didominasi oleh Rhizophora spp. yang merupakan hasil penanaman. Pada tanggul-tanggul yang semula dibuat untuk mengatur drainase dan jalan pengunjung ditanam Bruguiera spp. Sebagian tanggul ini sering dibongkar kepiting lumput untuk bersarang. Diagram profil menunjukkan adanya dua strata, yaitu strata pertama dan kedua, dengan panjang 60 m, memenuhi seluruh plot. Area kosong tanpa penutupan vegetasi umumnya merupakan tanggul buatan. Motean (Gambar 1S) dan Muara Dua (Gambar 1T) sama-sama merupakan vegetasi mangrove yang pernah mengalami kerusakan berat akibat penebangan hutan. Spesies mangrove yang hadir adalah Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp. dan A. corniculata. Di Motehan yang berdekatan dengan pulau Nusakambangan terdapat pula Bruguiera spp. Keberadaan A. corniculata cukup menyolok mengingat kawasan ini sedang dalam tahapan suksesi sekunder. Area kosong tanpa penutupan vegetasi pohon atau semak, pada kenyataannya didominasi A. ilicifolius. Pengaruh antropogenik dan suksesi Diagram profil vegetasi secara vertikal dan horizontal menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik terhadap kawasan mangrove di pesisir Jawa Tengah. Dari 20 lokasi penelitian, hampir tidak ditemukan lagi lokasi dengan pepohonan dalam kondisi klimaks, yakni ekosistem yang didominasi tumbuh-tumbuhan tua, kebanyakan berada dalam tahapan suksesi sekunder, dengan dominasi pohon-pohon muda, setelah kerusakan hutan yang umumnya disebabkan penebangan hutan. Gambar-gambar diagram profil vegetasi menunjukkan tingginya dominasi tumbuhan muda (tinggi < 10 m), serta cukup banyak ditemukan anak pohon (θ < 10 cm). Diagram profil dengan kondisi mendekati klimaks, hanya ditemukan di Sigrogol. Kawasan ini merupakan tepian sungai yang dijaga kelestariannya oleh penduduk untuk melindungi tebing sungai dari erosi akibat gelombang laut. Diagram profil vegetasi menunjukkan adanya ruangruang kosong di antara kanopi. Area kosong ini dapat berisikan herba, bibit (seedling) pohon dan bibit semak, namun dapat pula berupa lahan yang betul-betul kosong tanpa vegetasi (Jawa: bera). Sedangkan area kosong pada arah menuju daratan umumnya merupakan lahan yang telah dikonversi menjadi sawah dan tambak. Secara ekologi, celah di antara kanopi tumbuhan (canopy gap), sangat penting untuk mengelola keanekaragaman hayati. Celah tersebut memungkinkan sinar matahari mencapai lantai hutan, sehingga memicu pertumbuhan bibit dan anakan pohon. Bibit pohon umumnya masih dapat bertahan hidup pada kondisi ternaungi oleh pohon dewasa, karena masih adanya persediaan makanan dari hipokotil, namun anakan pohon akan mati tanpa adanya celah kanopi, karena kalah dalam berkompetisi dengan pohon dewasa untuk mendapatkan sinar matahari. Dalam kasus tertentu area kosong tersebut didominasi semak yang membentuk massa sangat rapat, sehingga dapat menghambat regenerasi bibit dan anakan pohon, semak ini tidak terekam dalam diagram profil karena ukuran batangnya yang kecil (θ < 5 cm). Semak A. ilicifolius di Segara Anakan dan Derris trifoliata di Wulan, hampir sepenuhnya menutupi area kosong di antara kanopi pepohonan, baik ruang-ruang kosong ini akibat pembabatan pepohonan maupun sedimentasi dan akresi

yang menyebabkan terbentuknya tanah timbul. Di Wulan dan Bogowonto, D. trifoliata dapat merambat hingga di atas kanopi, bersaing untuk mendapat sinar matahari. Kehadiran semak dalam suksesi sekunder maupun primer merupakan keniscayaan, karena tersedianya sinar matahari yang cukup dan terbukanya lantai hutan. Semak umumnya dapat memenangi kompetisi terhadap herba karena memiliki habitus yang lebih kuat dan lebih tinggi. Semak juga dapat mengalahkan bibit pohon yang masih berada dalam strata herba dalam memperebutkan ruang, namun dengan adanya sisa-sisa pohon tua atau adanya bibit dan anakan pohon yang selamat hingga mencapai usia dewasa, maka akan terbentuk naungan dan – pada kasus tertentu – allelopati, yang mendesak keberadaan semak. Ketersediaan bibit yang cukup dan kemenangan pohon dewasa dalam berkompetisi dengan semak, akan memungkinkan terbentuknya ekosistem klimaks. Namun, di lokasi penelitian kondisi klimaks ini sulit terjadi mengingat tingginya intensitas penebangan pohon, sehingga pepohonan hampir selalu dalam kondisi muda.

KESIMPULAN Diagram profil vegetasi secara vertikal dan horizontal menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik, dimana vegetasi didominasi tumbuhan muda, yang hanya memiliki (1)-2-(3-4) strata kanopi. Disturbansi oleh aktivitas manusia menyebabkan sebagian besar vegetasi dalam kondisi suksesi sekunder, dan hampir tidak ada yang berada dalam kondisi klimaks. Area yang tercakup di dalam belt transect yang digunakan untuk menyusun diagram tersebut seringkali terdapat celah kanopi, tanah kosong akibat penebangan, atau bahkan tanah yang telah diubah menjadi kegunaan lain, terutama sawah dan tambak. Adanya resisitensi tumbuhan muda untuk terus bertahan, pada lingkungan yang mengalami disturbansi ini memberikan harapan akan tetap lestarinya tumbuhan mangrove di Jawa Tengah, namun apabila terjadi perubahan lingkungan secara besar-besaran dalam skala luas, boleh jadi ekosistem ini akan sepenuhnya rusak.

DAFTAR PUSTAKA Ashton, P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons of structure among mixed dipterocarp forests of north-western Borneo. Journal of Ecology 80: 459-481. Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of Agroforests on the Periphery of Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia, People and Plants Working Paper 3. Paris: UNESCO. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff Baker, P.J. and J.S. Wilson. 2000. A quantitative technique for the identification of canopy stratifikasi in tropical and temperate forests. Forest Ecology and Management 127: 77-86 Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and PapuaNew Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Clark, D.A. dan D.B. Clark. 1991. The impact of physical damage on canopy tree regeneration in tropical rain forests. Journal of Ecology 79: 447-457. Davis, T.A.W. and P.W. Richards. 1933. Vegetation of Moraballi Creek, British Guiana: an ecological study of a limited area of tropical rain forest. Part I. Journal of Ecology 21: 350-384. Dubayah, R., J.B. Blair, J.L. Bufton, D.B. Clark, J. Jaja, R. Knox, S. Luthcke, S. Prince and J. Weishampel. 1997. The vegetation canopy

58 lidar mission, Land Satellite Information in the Next Decade II: Sources and Applications. ASPRS Proceedings: 100-112. Euwise, W. 1980. Pengantar Ekologi Tropis. Jakarta: Djambatan. Fahey, T.J., J.J. Battles, and G.F. Wilson. 1998. Responses of early successional hardwood forests to changes in nutrient availability. Ecology Monograph 68 (2): 183-212. Finzi, A.C and C.D. Canham. 2000. Sapling growth in response to light and nitrogen availability in a southern New England forest. Forest Ecology and Management 131: 153-165. Grubb, P.J., J.R. Lloyd, T.D. Pennington, and T.C. Whitmore. 1963. A comparison of montane and lower rain forest in Ecuador. I. The forest structure, physiognomy and floristics. Journal of Ecology 51: 567-601. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kobe, R.K., S.W. Pacala, J.A. Silander Jr., and C.D. Canham. 1995. Juvenile tree survivorship as a component of shade tolerance. Ecology Applied 5 (2): 517-532. Latham, R.E. 1992. Co-occurring tree species change rank in seedling per-formance with resources varied experimentally. Ecology 73: 2129-2144. Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: John Wiley and Sons. Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In: Kusler J.A. and M.E. Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders.

Oliver, C.D. 1978. The development of northern red oak in mixed stands in central New England. Yale University School of Forestry and Environmental Studies Bulletin 91: 63. Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E. Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph 66 (1): 1-44. Paijmans, K. 1970. An analysis of four tropical rain forest sites in New Guinea. Journal of Ecology 58: 77-101. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. reviews in fisheries. Science 1 (2): 151-201 Richards, P.W. 1996. The Tropical Rain Forest. Cambridge: Cambridge Univ. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 2. komposisi dan struktur vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198. Smith, A.P. 1973. Stratification of temperate and tropical forests. American Naturalist 107: 671-683. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128137. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge Univ. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A review. In Reinhold, R. J. and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press. Walters, M.B., and P.B. Reich, 1997. Growth of Acer saccharum seedlings in deeply shaded understories of northern Wisconsin: effects of nitrogen and water. Canadian Journal of Forest Research 27: 237-247. Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford: Clarendon. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus.

Lampiran xxx. Penampakan fisiografi dan fisiognomi setiap lokasi penelitian.

Gambar xxx. Wulan

Gambar xxx. Sigrogol

Gambar xxx. Serang

Gambar xxx. Bulak

59

Gambar xxx. Telukawur

Gambar xxx. Tayu

Gambar xxx. Juwana

Gambar xxx. Pecangakan

Gambar xxx. Pasar Banggi

Gambar xxx. Lasem

Gambar xxx. Bogowonto

Gambar xxx. Cakrayasan

60

Gambar xxx. Lukulo

Gambar xxx. Cingcinggguling

Gambar xxx. Ijo

Gambar xxx. Bengawan

Gambar xxx. Serayu

Gambar xxx. Tritih

Gambar xxx. Motean

Gambar xxx. Muara Dua

61

Keanekaragaman Isozim Sonneratia alba

ABSTRACT The study was intended to observe the diversity and the relationship of Sonneratia alba in southern and northern coast of Central Java Province based on isozymic patterns of esterase and peroxidase. This research was conducted in July until December 2003, at 6 sites, i.e. Wulan (WUL), Juwana (JUW), Pasar Bangi (PAS), in the northern coast, and Bogowonto (BOG), Motean (MOT), and Muara Dua (MUA) in the southern coast. The laboratory assay was conducted in Central Laboratory of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University (UNS) Surakarta. The seedling plant samples that were collected from 6 mangrove habitats had been transplanted in green house in the laboratory. There were 20 individual samples each sites. The result indicated that the individual of S. alba of the same or near location has the same genetic diversity in common, because the genetic change on a same population was higher than on a different population. Therefore, the populations of S. alba from northern coast had higher similarity each others than southern coast one, on the other way the populations from southern coast had higher similarity each others than northern coast one. Key words: Sonneratia alba, isozyme, esterase, peroxidase, Central Java.

PENDAHULUAN Habitat mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah telah mengalami isolasi geografi dalam jangka panjang. Perpindahan propagul maupun materi genetik lain (serbuk sari) secara alamiah dari pantai selatan ke utara atau sebaliknya hampir tidak mungkin terjadi karena adanya barier alam, yakni tanah Jawa. Di pantai selatan sendiri perpindahan propagul dari satu muara sungai ke muara sungai lainnya juga sulit terjadi mengingat besarnya ombak Laut Selatan, sedangkan di pantai utara perpindahan propagul antar pantai lebih mudah karena lemahnya ombak Laut Jawa. Ekosistem mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, di samping itu kawasan ini berbatasan langsung dengan area tempat aktivitas masyarakat, maka diperkirakan kondisi mangrove juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia di samping kondisi lingkungan non biotik dan biotik, sehingga dimungkinkan setiap lokasi memiliki

keanekaragaman tumbuhan mangrove yang berbedabeda, baik pada tingkat genetik, spesies, maupun ekosistem. Pada saat ini ekosistem mangrove di Jawa Tengah umumnya terpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil dan terisolasi. Populasi demikian peka terhadap gangguan lingkungan (Shields, 1993; Caro, dan Laurenson, 1994; Caughley, 1994). Degradasi dan fragmentasi habitat merupakan penyebab utama kepunahan spesies (Falk, 1992), karena dapat mengurangi ukuran populasi dan menarik kedatangan spesies asing (Opdam dkk., 1994). Fragmentasi juga dapat mengubah interaksi antar populasi di dalam satu spesies, interaksi antar spesies, dan interaksi antara spesies dengan lingkungan abiotik (Cooperrider, 1991; Thompson, 1996), serta menaikkan inbreeding dan hanyutan genetik (Barrett dan Kohn, 1991; Ellstrand dan Elam, 1993; Young dkk., 1996). Keanekaragaman genetik terkait dengan tingkat isolasi dan fragmentasi habitat (Treuren dkk., 1991; Godt dan Hamrick, 1993). Seleksi alam dapat menyebabkan terjadinya diferensiasi isozim di antara populasi (Aitken dan Libby, 1994), yang juga mempengaruhi sifat morfologi (Antonovics, 1971). Perbedaan genetik mencerminkan hubungan kekerabatan antara tumbuhan yang merupakan sinergi keseimbangan aliran gen, hanyutan genetik, dan seleksi alam (Max dkk., 1999). Keanekaragaman dan distribusi tumbuhan dipengaruhi oleh asal-usul, sejarah populasi, evolusi, dan faktor-faktor lingkungan seperti distribusi geografi (biogeografi), ekologi reproduksi dan cara dispersal (Armbruster dan Schwaegerle, 1996; Purps dan Kadereit, 1998). Salah satu tumbuhan mangrove yang penyebarannya sangat luas adalah Sonneratia alba. Di Jawa terdapat pula S. ovata, dan S. caseolaris sebagai kerabat dekatnya (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968; Whitten dkk., 2000). Ketiganya dapat melakukan hibridisasi dan menghasilkan keturunan fertil, sehingga sering menyulitkan identifikasi secara morfologi; hal ini menarik untuk diteliti (Tomlison, 1986). Hibridisasi alami sering terjadi pada banyak kelompok tumbuhan bunga (Angiospermae) (Knobloch, 1972; Ellstrand dkk., 1996). Hibridisasi merupakan masalah yang cukup mengganggu pada konsep jenis berdasarkan isolasi reproduktif, dan dapat mengaburkan pembedaan di

Publikasi asli: Setyawan, A.D., K. Winarno, Indrowuryatno, Wiryanto, dan Suranto. 2008. Keanekaragaman Sonneratia alba di Pesisir Pantai Jawa Tengah Berdasarkan Pola Pita Isozim Esterase dan Peroksidase. (tidak dipublikasikan).

62 antara unit-unit ekologi (Mayr, 1992; Gornall, 1997). Perbedaan morfologi yang umum digunakan untuk membedakan ketiga spesies Sonneratia adalah bunga, buah, daun, dan batang. Bunga S. caseolaris, yakni petala dan tangkai sari hampir sepenuhnya berwarna merah, sedangkan pada S. alba petala dan tangkai sari hampir sepenuhnya berwarna putih, meskipun bagian pangkalnya kadang-kadang berwarna merah, pada S. ovata petala dan tangkai sari sepenuhnya berwarna putih (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968; Ng dan Sivasothi, 2001). Buah S. caseolaris, umumnya pipih dengan arah bukaan kelopak mendatar dan dasar buah tidak menonjol, sedangkan buah S. alba umumnya membulat dengan dasar buah menonjol dan kelopak membalik, pada S. ovata buah membulat dengan dasar buah tidak menonjol dan kelopak menutupi buah (Whitten dkk., 2000). Daun S. alba umumnya bulat dengan ujung melekuk ke dalam, sedangkan daun S. ovata bulat dengan ujung membulat, adapun daun S. caseolaris umumnya lebih pipih dengan ujung meruncing, namun keanekaragaman bentuk daun dapat pula ditemukan pada S. alba (Tomlison, 1986). Bentuk batang S. alba biasanya lebih kuat, besar, dan tegak dengan kulit kayu lebih halus dan lebih putih dibandingkan kedua spesies lainnya (Ng dan Sivasothi, 2001). Di Jawa Tengah, S. alba mampu tumbuh pada habitat reliks mangrove, yang spesies lain tidak tumbuh, khususnya di pantai selatan yang berpasir, sehingga berpotensi untuk restorasi (rehabilitasi) (Setyawan dkk., 2002). Kegagalan eksperimen penanaman S. alba dengan bibit dari Segara Anakan Cilacap ke muara Sungai Bogowonto oleh Djohan pada tahun 1997, diperkirakan akibat penggenangan, sedangkan bibit lokal yang tumbuh secara alami tetap dapat bertahan (Tjut Sugandawaty Djohan, 2001, komunikasi pribadi). Hal ini menunjukkan adanya keanekaragaman genetik, sebagai tanggapan terhadap kondisi lingkungan, meskipun bukti morfologi sulit digunakan untuk membedakannya. Di musim kemarau muara Sungai Bogowonto mengalami penggenangan sekitar 4-6 minggu, karena terbentuknya gumuk/tanggul pasir yang membendung muara sungai. Bendungan ini akan jebol dengan sendirinya pada musim hujan, ketika volume air melimpah. Tumbuhan S. alba di atas dapat bertahan selama dua tahun hingga tahun 1999. pada tahun 1997-1998 tidak terjadi genangan yang cukup berarti karena rendahnya curah hujan dan debit air sungai, namun pada musim kemarau tahun 1999, terjadi lagi genangan selama enam minggu sebagaimana tahun-tahun normal sebelumnya, sehingga hampir semua populasi S. alba dari Segara Anakan Cilacap terendam dan mati. Menurut McPhaden (1999), badai El Nino South Oscillation (ENSO) pada tahun, 1997-1998 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah, o suhu permukaan laut naik sebesar 1-4 C serta menimbulkan kekeringan dan kebakaran hebat, termasuk di Indonesia. Keanekaragaman genetik pada suatu populasi dapat ditelusuri menggunakan penanda genetik yang didasarkan pada separasi elektroforesis protein/isozim dan DNA (McDonald dan McDermont, 1993). Data isozim dan DNA sangat berguna apabila sifat pembeda morfologi tumpang tindih (Karp dkk., 1996). Isozim adalah enzim-enzim yang memiliki molekul aktif dan struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalis reaksi kimia yang sama (Tanksely, 1983; Beer dkk., 1993;

Murphy dan Phillips, 1993). Isozim diproduksi dalam sitosol, organel, atau pada keduanya; umumnya berasal dari bagian vegetatif (Weeden dan Wendel, 1989). Istilah isozim atau isoenzim pertama kali diperkenalkan oleh Market dan Moller (1959, dalam Acquaah, 1992). Isozim dapat dipisahkan dengan metode elektroforesis pada gel pati atau gel poliakrilamid, hasilnya berupa zimogram pola pita yang diperoleh setelah dilakukan pewarnaan histokimia. Zimogram hasil elektroforesis bercorak khas sehingga dapat digunakan sebagai ciri untuk mencerminkan perbedaan genetik (Indriani dkk., 2002). Metode ini sangat berguna untuk studi tingkatan taksa yang rendah, seperti spesies, subspesies, dan populasi (Crawford, 1983, 1989; Riesenberg dkk., 1988; Brown, 1990), termasuk identifikasi varietas dan hibridanya (Pierce dan Brewbaker, 1973; Beer dkk., 1993; Murphy dan Phillips, 1993), sehingga sangat penting dalam kajian biologi populasi tumbuhan (Tanksely, 1983; Wendel dan Weeden, 1989; Comps dkk, 2001). Isozim biasanya diatur oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisan sifat (Arulsekar dan Parfitt, 1986). Isozim dapat mendeteksi tiga kondisi genetik dan biokimia yang berbeda, yaitu: (i) allel ganda pada lokus tunggal, (ii) allel tunggal atau ganda pada lokus ganda dan (iii) isozim sekunder (Rothe, 1994; Micales dan Bonde, 1995). Pita-pita ini dikode oleh lebih dari satu lokus gen struktural, apabila dikode allel yang segregasi pada lokus tunggal disebut allozim (Brown, 1990). Allel adalah unit keanekaragaman genetik, sebagaiman jenis adalah unit keanekaragaman ekologi (Butlin dan Tregenza, 1998). Isozim banyak digunakan karena metodenya mudah, murah, cepat, polimorfisme diperoleh dari molekul tunggal (Auler dkk., 2002). Menurut Suranto (1991), penggunaan data isozim untuk studi populasi lebih baik menggunakan beberapa enzim dari pada hanya satu. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman dan kekerabatan populasi Sonneratia alba di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah berdasarkan pola pita isozim esterase (EST) dan peroksidase (PER, PRX).

BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d. Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada enam lokasi. Tiga lokasi terletak di pantai utara Jawa Tengah, yaitu Wulan (WUL), Juwana (JUW), Pasar Banggi (PAS), dan tiga lokasi sisanya di pantai selatan Jawa Tengah, yaitu Bogowonto (BOG), Motean (MOT), dan Muara Dua (MUA). Pemilihan keenam lokasi tersebut didasarkan pada ketersediaan bibit S. alba. Berdasarkan survei pendahuluan pada bulan Maret s.d. Mei, 2002, serta Oktober s.d. Nopember, 2002 setiap lokasi tersebut sekurang-kurangnya memiliki 20 individu S. alba. Penelitian laboratorium dilakukan di Sub-Lab Biologi, Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penanaman sampel tumbuhan dilakukan pada fasilitas rumah kaca di laboratorium tersebut. Cara kerja Penelitian ini dimulai dengan koleksi bibit S. alba yang selanjutnya ditanam di rumah kaca, dilanjutkan

63 dengan dengan prosedur elektroforesis yang mencakup koleksi daun, pembuatan buffer, pembuatan larutan stok, pembuatan gel, ekstraksi daun, pelaksanaan elektroforesis, dan pembuatan pewarna isozim (esterase dan peroksidase). Prosedur elektroforesis merujuk pada Weeden dan Wendel (1989), Crawford (1990), dan Suranto (1991). Koleksi bibit dan penanaman di rumah kaca. Pada enam lokasi yang telah ditentukan diambil 20 individu bibit S. alba untuk diuji keanekaragaman pola isozimnya. Bibit ditanam di rumah kaca dengan komposisi tanah dari lingkungan mangrove asal dan humus (1 : 1), hingga tumbuh tunas baru. Koleksi daun. Dipilih daun urutan ketiga dari ujung cabang yang pertumbuhannya optimum dengan penampilan, umur dan ukuran yang relatif seragam. Koleksi daun disimpan dalam lemari pendingin bersuhu o 4 C. Daun dapat bertahan dalam penyimpanan selamalamanya 14 hari, setelah itu isozim tidak aktif lagi. Sebaiknya daun digunakan selama-lamanya tujuh hari pasca pemotongan. Penyimpanan dalam bentuk ekstrak daun pada lemari pendingin bersuhu 4oC dapat bertahan selama 30 hari. Pembuatan buffer. Buffer yang diperlukan meliputi tank buffer, buffer ekstraksi, dan running buffer. • Tank buffer. Tank buffer dibuat dengan melarutkan: asam boraks 14,4 g dan boraks 31,5 g, dalam akuades hingga mencapai volume 2 liter. • Buffer ekstraksi sampel. Buffer sampel dibuat dengan melarutkan 0,018 g sistein, 0,021 g asam askorbat, dan 5 g sukrosa (PA) dalam 20 ml boraks buffer pH 8,4. Perbandingan antara buffer ekstraksi dengan sampel daun adalah 3: 1, dalam satuan μl buffer ekstraksi dan μg sampel daun. • Running buffer. Running buffer yang digunakan ialah TAE (Tris-Acetic-Acid EDTA) 50x yang diencerkan sampai konsentrasi 1x. Pembuatan larutan stok. Untuk menyiapkan gel akrilamid, terlebih dahulu dibuat larutan stok yaitu: larutan “L”, “M”, “N”, dan loading dye (penanda warna). • Larutan "L": 27,2 g Tris dan 0,6 g SDS dilarutkan dalam 120 ml akuabides, diatur sampai pH 8,8 dengan menambahkan HCl, lalu ditambahkan akuabides hingga volumenya 150 ml. • Larutan "M": 9,08 g Tris dan 0,6 g SDS dilarutkan dalam 140 ml akuabides, diatur sampai pH 6,8-7,0 dengan penambahan HCl, lalu ditambahkan akuabides hingga volumenya 150 ml. • Larutan "N": 175,2 g akrilamid dan 4,8 g bisakrilamid dilarutkan dalam 400 ml akuabides dan buat volumenya hingga 600 ml. • Loading dye: 250 μl gliserol ditambah 50 μl bromphenol blue dilarutkan dalam 200 μl akuades. Pembuatan gel. Penyiapan cetakan gel dimulai dengan merangkai cetakan gel, yaitu cetakan kaca yang dilengkapi spacer (pemisah) yang ditempatkan di belakang cetakan kaca yang berukuran lebih kecil. Cetakan kaca tersebut dipasang pada casting frame, selanjutnya dipasang pada casting stand. Untuk membuat discontinuous gel 12,5%, bahan yang dicampur ialah: • Gel pemisah: 3,15 ml larutan "L", 5,25 ml larutan "N", 4,15 ml H2O, 5 μl TEMED, dan terakhir dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi 10%. Gel pemisah dituang pada cetakan, lalu

ditambahkan iso-butanol jenuh. Setelah terbentuk gel yaitu kurang lebih 45 menit, iso-butanol jenuh tersebut diserap dengan kertas tisu dan dibuang, lalu dibilas dengan air dan diserap kembali air yang tersisa dengan kertas tisu. Setelah itu disiapkan bahan-bahan untuk pembuatan stacking gel. • Stacking gel: 1,9 ml larutan "M", 1,15 ml larutan "N", 4,5 ml H2O, 5 μl TEMED, dan terakhir dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi 10%. Setelah stacking gel dituang di atas gel pemisah, sisir dipasang. Apabila telah terbentuk gel, sisir dilepas dari cetakan. Gel yang telah terbentuk dipindahkan ke clamping frame dan dimasukkan ke dalam buffer tank, diisi dengan running buffer sampai terendam. Ekstraksi daun. Jaringan segar daun dimasukkan dalam buffer ekstraksi, dengan perbandingan 1: 3 (w/v), yakni 68 μg (0,068 g) sampel daun dilumatkan dalam 204 μl (0,204 ml) buffer ekstraksi. Lalu digerus dalam cawan porselen yang diletakkan di atas serpihano serpihan kristal es, agar tetap dingin (suhu 4 C). Sampel yang akan digunakan disentrifugasi dengan kecepatan o 8500 rpm selama 20 menit pada suhu 4 C, lalu direndam dalam serutan kristal es. Supernatan yang terbentuk segera di masukkan dalam slot gel elektroforesis. Pelaksanaan elektroforesis. Supernatan sampel daun diambil dengan menggunakan mikropipet sebanyak 10 μl dan dengan ditambah loading dye dan dibantu sample loading guide, sampel tersebut ditempatkan pada gel yang telah tercetak. Lalu sampel dielektroforesis awal dengan menggunakan tegangan 200 volt, 60 mA selama 5 menit sampai sampel memasuki gel pemisah. Kemudian sampel dielektroforesis lanjutan dengan tegangan listrik konstan 150 V, 400 mA, selama 90-120 menit. Elekroforesis diakhiri apabila penanda warna bromfenol biru mencapai sekitar 56 mm dari slot ke arah anoda. Setelah itu gel dipindah ke nampan plastik dan diwarnai dengan enzim pewarna. Pembuatan pewarna. Pola pita isozim dideteksi menggunakan dua sistem enzim yaitu esterase dan peroksidase. Adapun langkah pembuatannya sebagai berikut: • Esterase. Sebanyak 0,0125 g α-naftil asetat dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, kemudian ditambahkan 50 ml 0,2 M buffer fosfat pH 6,5 dan 0,0125 g fast blue BB salt. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan dalam larutan pewarna tersebut dan diinkubasi selama 10 menit sambil digoyang secara perlahanlahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna dibuang dan dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan kamera atau scanner. • Peroksidase. Sebanyak 0,0125 g o-Dianisidine dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, lalu ditambahkan 50 ml 0,2 M buffer asetat pH 4,5 kemudian ditambahkan 2 tetes H2O2. Gel yang telah dielektroforesis direndam dalam larutan pewarna selama + 10 menit sambil digoyang perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna dibuang dan dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan kamera atau scanner.

64

A

B

C

Gambar xxx. Keanekaragaman bentuk morfologi daun S. alba. A. Wulan, B. Juwana, C. Segara Anakan (Motean dan Muara Dua).

Analisis data Tingkat kesamaan genetik S. alba dari keenam lokasi penelitian ditentukan dengan indeks similaritas Jaccard, berdasarkan hadir tidaknya pita isozim. Dendrogram hubungan kekerabatan dibuat dengan koefisien asosiasi, adapun pengelompokannya dengan UPGMA (Unweighted Pair Group Method using Averages) (Sneath dan Sokal, 1973).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian keanekaragaman genetik dengan isozim esterase secara keseluruhan memunculkan 9 pita, yaitu pada nilai Rf (retardantion factor) 0,04, 0,11, 0,16, 0,21, 0,29, 0,33, 0,37, 0,41, dan 0,45. Kesembilan pita tersebut membentuk 12 variasi pola pita isozim (genotipe) (Gambar 3A), sedangkan isozim peroksidase memunculkan 6 pita, yaitu pada nilai Rf 0,09, 0,20, 0,29, 0,33, 0,37, dan 0,47. Keenam pita tersebut membentuk 11 variasi genotipe (Gambar 3B). Intepretasi pola pita esterase disajikan pada Gambar 1, sedangkan intepretasi pola pita peroksidase disajikan pada Gambar 2. Dendrogram hubungan kekerabatan berdasarkan pola pita esterase menunjukkan adanya 13 kelompok, masing-masing mewakili genotipe yang berbeda. Kelompok ke-13 merupakan individu S. alba yang tidak memunculkan pita esterase; kecuali kelompok ke-13, semua individu menyatu pada tingkat kesamaan 67% (Gambar 4A). Adapun dendrogram hubungan kekerabatan berdasarkan pola pita peroksidase menunjukkan adanya 12 kelompok, masing-masing mewakili genotipe yang berbeda. Kelompok ke-12 merupakan kumpulan individu S. alba yang tidak memunculkan pita peroksidase; kecuali kelompok ke-12, semua individu mengumpul pada tingkat kesamaan 66% (Gambar 4B). Pemilihan populasi S. alba untuk mewakili spesies tumbuhan mangrove yang diuji keanekaragaman genetiknya, didasarkan kenyataan bahwa S. alba merupakan salah satu spesies yang paling luas penyebarannya, yakni ditemukan pada 15 lokasi dari 20 lokasi penelitian, dengan penyebaran yang relatif merata baik dipantai utara maupun selatan Jawa Tengah (Setyawan dkk., 2005a), sehingga berpotensi untuk restorasi ekosistem mangrove yang rusak. Di samping

itu, secara morfologi, S. alba dan dua kerabat dekatnya S. caseolaris dan S. ovata memiliki bentuk morfologi yang sangat mirip, dengan sifat-sifat yang tumpang tindih sehingga sering merancukan dalam identifikasi. Adapun secara genetik (reproduksi) ketiga spesies ini dapat berkawin dan menghasilkan keturunan yang fertil. Hal ini tampaknya semakin menyulitkan identifikasi secara morfologi tersebut, karena terbentuknya sifat-sifat antara. Adapun secara ekologi, eksperimen penanaman bibit S. alba yang berasal dari laguna Segara Anakan ke muara Bogowonto, umumnya gagal beradaptasi dengan genangan dan mati, sedangkan bibit lokal dari Bogowonto sendiri dapat tumbuh dengan baik. Esterase dan peroksidase banyak digunakan dalam studi keanekaragaman genetik tumbuhan karena penyebarannya yang sangat luas. Peroksidase merupakan enzim yang mengandung heme yang menggunakan hidrogen peroksida dalam oksidasi satuelektron dari substrat organik (Howes dkk., 1999). Peroksidase mempengaruhi berbagai proses fisiologi pada tumbuhan, seperti pertumbuhan sel, biosintesis lignin dan suberin, metabolisme auksin, daya tahan terhadap penyakit dan penyembuhan luka (Gross, 1977; Gaspar, 1982; Espelie dkk., 1986; Kennedy dkk., 1996). Enzim esterase dan peroksidase cenderung tahan terhadap gel SDS-PAGE yang digunakan dalam elektroforesis. Enzim yang terurai oleh SDS dengan segera dapat kembali ke bentuk asli, sehingga aktivitasnya tetap dapat terdeteksi dalam elektroforesis (Rothe, 1994). Pola pita esterase Berdasarkan pola pita (genotipe) esterase, populasi S. alba dengan keanekaragaman genetik tertinggi dijumpai pada sampel dari Motean (6 genotipe), disusul Muara Dua dan Juwana (masing-masing 5), Wulan (4), serta Pasar Banggi dan Bogowonto (masing-masing 3). Di samping itu, terdapat pula sampel yang tidak menunjukkan aktivitas pita isozim esterase, yaitu Pasar Banggi (3 individu) dan Bogowonto (1). Penyebaran genotipe antar lokasi sangat bervariasi. Dalam penelitian ini tidak ada genotipe yang dijumpai pada semua lokasi. Genotipe yang paling sering dijumpai adalah a dan c (masing-masing 5 lokasi), disusul genotipe f (4), genotipe j (3), genotipe b dan g (masing-masing 2), serta genotipe d, e, h, i, k, dan l (masing-masing 1). Genotipe a ditemukan pada semua lokasi kecuali di Bogowonto. Genotipe c dijumpai di semua lokasi kecuali

65 di Pasar Banggi. Genotipe f dijumpai di semua lokasi kecuali Wulan dan Bogowonto. Genotipe j dijumpai di Bogowonto (10 individu), Motean (1) dan Muara Dua (5). Genotipe b dijumpai di Wulan (1) dan Motean (2). Adapun genotipe-genotipe khas yang hanya dijumpai pada satu lokasi, sebagai berikut: genotipe d hanya dijumpai di Wulan (3), genotipe e hanya dijumpai di Juwana (1), genotipe i hanya dijumpai di Pasar Banggi (10), genotipe h hanya dijumpai di Juwana (2), genotipe k hanya dijumpai di Bogowonto (2), dan genotipe l hanya dijumpai di Motean (1). Adanya genotipe yang dijumpai pada banyak lokasi, seperti genotipe a dan c (masing-masing 5 lokasi), serta genotipe f (4), menunjukkan adanya pembagian materi genetik tertentu secara merata pada S. alba. Hal ini wajar mengingat mereka tergolong dalam spesies yang sama. Menurut Wang dkk. (2000), pola isozim pada kebanyakan sistem enzim tidak terpengaruh oleh perbedaan lingkungan dan banyak di antaranya yang secara ontogeni stabil. Adapun genotipe j yang hanya dijumpai di pantai selatan saja, mengindikasikan masih adanya pertukaran genetik antar lokasi yang relatif berdekatan tersebut, meskipun terdapat ombak besar laut selatan.Sedangkan banyaknya genotipe yang hanya dijumpai pada satu lokasi, Pasar Banggi, yakni enam genotipe (d, e, h, i, k, l) menunjukkan adanya variasi kondisi lingkungan lokal yang tinggi. Hal ini direspon secara secara genetik dalam bentuk adaptasi terhadap kondisi lokal. Salah satu penyebab sedikitnya keanekaragaman genetik dalam penelitian ini kemungkinan karena ukuran populasi S. alba yang tersisa pada setiap lokasi relatif kecil. Menurut Sokal dan Oden (1978), pada populasi kecil dengan luas area terbatas maka akan terjadi peningkatan inbreeding dan penurunan arus gen, namun di sisi lain tingkat diferensiasi melalui seleksi atau hanyutan genetik lebih tinggi sebagai respon terhadap kondisi lokal. Menurut Fitzpatrick (2002) isolasi dapat meningkatkan keragaman genetik di antara populasi. Terbatasnya luasan habitat menyebabkan populasi yang tumbuh relatif kecil, sehingga lebih retan terhadap perubahan lingkungan (Menges, 1991; Holsinger, 2000). Di samping itu terbatasnya ukuran populasi dapat mengurangi keberhasilan penyerbukan (Groom, 1998; Richards dkk, 1999; Lennartsson, 2002). Bibit dari populasi yang ukurannya kecil mengalami penurunan kemampuan perkecambahan dan ketahanan hidup (Newman dan Pilson, 1997). Dalam jangka panjang kelestarian populasi ini dapat terancam karena menurunkannya kualitas habitat akibatnya tekanan manusia dan penurunan kesuburan tanah (Kleijn dan Verbeek, 2000; Garbutt dan Sparks, 2002; Blomqvist dkk., 2003). Dendrogram hubungan kekerabatan berdasarkan pola pita esterase, menyatukan ke 120 individu S. alba dari enam lokasi dalam 13 kelompok, dimana kelompok XIII merupakan kelompok spesies yang tidak memberikan pita dengan pewarnaan esterase. Kelompok I terdiri dari 38 individu yang didominasi dari Wulan, Juwana, Motean, dan Muara Dua dengan komposisi yang seimbang. Kelompok II terdiri dari lima individu dari Wulan, Motean, dan Muara Dua. Kelompok III terdiri dari 16 individu yang didominasi dari Bogowonto dan Moara Dua. Kelompok IV terdiri dari tiga individu dari Wulan.

Kelompok V berisi dua individu dari Juwana. Kelompok VI berisi 16 individu dari Juwana, Pasar Banggi, Motean, dan Muara Dua. Kelompok VII berisi empat individu dari Juwana dan Motean. Kelompok VIII berisi tiga individu dari Juwana dan Motean. Kelompok IX berisi 10 individu dari Pasar Banggi. Kelompok X berisi 17 individu yang didominasi dari Juwana. Kelompok XI berisi dua individu dari Bogowonto. Kelompok XII berisi satu individu dari Motean. Kelompok XIII berisi tiga individu dari Pasar Banggi (Gambar 4A). Perhitungan indeks similaritas Jaccard menunjukkan bahwa kelompok I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, X menyatu pada nilai 0,89, artinya kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik dengan isozim esterase hingga 89%. Kemudian gabungan kelompok tersebut menyatu dengan kelompok XII pada nilai 0,78, artinya kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik hingga 78%. Di sis lain kelompok IX dan XI menyatu pada nilai 0,78, artinya kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik hingga 78%. Selanjutnya kedua gabungan kelompok tersebut menyatu pada nilai 0,67, artinya kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik hingga 67%. Kelompok XIII berdiri sendiri mengingat anggota-anggotanya tidak memiliki pita esterase. Tingginya tingkat kesamaan genetik pada penelitian ini wajar, mengingat pada spesies yang sama umumnya memiliki tingkat keanekaragaman sekitar 60% atau lebih. Hasil di atas menunjukkan bahwa individu dari lokasi yang sama umumnya memiliki keanekaragaman genetik yang cenderung sama pula, sebagaimana tampak pada kelompok IV, V, IX, XI, dan XIII. Hal ini wajar mengingat pertukaran genetik di dalam satu populasi umumnya lebih intensif dari pada dengan populasi lain. Meskipun demikian pada setiap lokasi umumnya terdapat lebih dari satu komposisi genotipe, bahkan terdapat genotipe yang penyebarannya sangat luas, misalnya pada kelompok I, III, dan VI. Kelompok I yang anggotanya berasal dari lokasi yang relatif lebih beragam dibandingkan kelompok-kelompok lainnya menunjukkan bahwa di antara populasi S. alba terdapat individu-individu dengan komposisi genetik sama yang tersebar secara luas. Hal ini terjadi karena mereka masih satu spesies, sehingga cenderung berbagi sifat-sifat yang sama. Meskipun demikian terdapat pula individu-individu yang penyebarannya terbatas, seperti kelompok IV, V, IX, XI, XII, dan XIII. Individu demikian boleh jadi terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan setempat. Keunikan genetik ini sangat diperlukan dalam proses evolusi untuk menjaga keanekaragaman genetik di dalam populasi. Individu dengan komposisi genetik yang khusus ini dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk bertahan terhadap perubahan lingkungan (adaptasi). Tidak terdeteksinya pita isozim esterase pada kelompok XIII juga membuktikan adanya keunikan genetik, terdapat individu-individu yang dapat bertahan hidup tanpa mensintesis enzim esterase, meskipun enzim ini sangat luas penyebarannya dan diperlukan dalam metabolisme tubuh seperti dalam degradasi lemak. Namun tidak menutup kemungkinan, ketidakmunculan pita ini disebabkan oleh kekurangsempurnaan pelaksanaan teknik laboratorium.

66

A

B

C

D

E

F

Gambar 1. Pita isozim esterase S. alba dari pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keterangan: A = Wulan (WUL), B = Juwana (JUW), C = Pasar Banggi (PAS), D = Bogowonto (BOG), E = Motean (MOT), F = Muara Dua (MUA).

A

B

C

D

E

F

Gambar 2. Pita isozim peroksidase S. alba dari pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keterangan: A = Wulan (WUL), B = Juwana (JUW), C = Pasar Banggi (PAS), D = Bogowonto (BOG), E = Motean (MOT), F = Muara Dua (MUA).

A

B

Gambar 3. Variasi genotipe S. alba di pantai utara dan selatan Jawa Tengah: A. berdasarkan pita isozim esterase; B. berdasarkan pita isozim peroksidase.

67

A

B

Gambar 4. Dendrogram hubungan kekerabatan S. alba dari pantai utara dan selatan Jawa Tengah: A. berdasarkan pita isozim esterase; B. berdasarkan pita isozim peroksidase. Keterangan: WUL = Wulan, JUW = Juwana, PAS = Pasar Banggi, BOG = Bogowonto, MOT = Motehan, MUA = Muara Dua. Pada kelompok VII = pita isozim tidak muncul.

Pola pita peroksidase Berdasarkan pola pita (genotipe) peroksidase, populasi S. alba dengan keanekaragaman genetik tertinggi dijumpai pada sampel dari Pasar Banggi (8 genotipe). Pada lokasi lain hanya dijumpai 3 genotipe (Wulan dan Juwana) atau hanya 2 genotipe (Bogowonto, Motean, dan Muara Dua). Di samping itu, terdapat pula sampel yang tidak menunjukkan aktivitas pita isozim peroksidase, yaitu Pasar Banggi dan Bogowonto (masing-masing 1 individu). Penyebaran genotipe antar lokasi sangat bervariasi. Dalam penelitian ini tidak terdapat genotipe yang dijumpai pada semua lokasi. Genotipe e dan k ditemukan pada empat lokasi yang sama, yaitu Pasar Banggi (masing-masing 1 dan 2 individu), Bogowonto (11, 8), Motean (16, 4) dan Muara Dua (13, 7). Genotipe b ditemukan pada tiga lokasi, yaitu Wulan (8 individu), Juwana (11), dan Pasar Banggi (4). Genotipe a ditemukan pada dua lokasi, yaitu Wulan (14)

dan Juwana (9). Genotipe c ditemukan pada dua lokasi, yaitu Wulan (2) dan Juwana (3). Adapun genotipe khas, yakni genotipe yang hanya dijumpai pada satu lokasi, dalam penelitian ini hanya terdapat di Pasar Banggi, yaitu: genotipe d, f, g, h, i, j secara berturut-turut masing-masing sebanyak 1, 1, 3, 1, 2, 2 individu. Dalam penelitian ini, genotipe dari pantai utara umumnya memiliki kemiripan dengan sesama mereka, demikian pula genotipe dari pantai selatan umumnya memiliki kemiripan dengan sesamanya, kecuali beberapa genotipe dari Pasar Banggi yang dapat dijumpai di pantai selatan dan utara. Genotipe a, b, c hanya dijumpai di pantai utara baik pada dua atau tiga lokasi. Sebaliknya genotipe e dan k hanya ditemukan pada ketiga lokasi di pantai selatan, kecuali sejumlah kecil di Pasar Banggi, masing-masing secara berturutturut diwakili 1 dan 2 individu. Hal ini menunjukkan intensitas pertukaran materi genetik (propagul) antar

68 sesama populasi dari pantai utara, dan antar sesama populasi dari pantai selatan relatif tinggi, sebaliknya pertukaran genetik antara populasi dari pantai utara dengan pantai selatan relatif terbatas. Hal ini merupakan keniscayaan akibat adanya barier alam yang menyebabkan isolasi geografi. Tingginya genotipe khas di Pasar Banggi (6 genotipe), kemungkinan disebabkan lokasi tersebut terletak di bagian paling timur habitat mangrove di pantai utara Jawa, sebelum berhubungan dengan habitat mangrove di delta Bengawan Solo yang dipisahkan oleh pantai karst Tuban, Lamongan, dan Gresik yang cukup panjang, sehingga menjadi penerima pertama propagul dari arah timur, di samping itu sebagai lokasi yang dikelola tidak tertutup kemungkinan adanya penanaman secara sengaja S. alba dari lokasi lain dengan materi genetik yang berbeda, serta adanya kemungkinan terjadinya hibridisasi dengan kerabat dekatnya S. caseolaris dan S. ovata. Dalam penelitian ini, di Pasar Banggi selain S. alba terdapat pula S. caseolaris, sedangkan di Lasem yang terletak tidak jauh di sebelah timurnya ditemukan S. ovata, satu-satunya sampel yang tercatat dari 20 lokasi di pantai utara dan selatan Jawa Tengah (Setyawan dkk., 2005a). Pengujian dengan isozim peroksidase menunjukkan adanya 12 kelompok, kelompok XII berisi dua individu yang tidak menghasilkan pola pita isozim peroksidase. Kelompok I berisi 16 individu dari Wulan dan Juwana. Kelompok II berisi 23 individu dari Wulan, Juwana, dan Pasar Banggi. Kelompok III berisi 6 individu dari Wulan dan Juwana. Kelompok IV berisi satu individu dari Pasar Banggi. Kelompok V berisi 41 individu yang umumnya berasal dari pantai selatan, yaitu Bogowonto, Motean, dan Muara Dua. Kelompok VI berisi satu individu dari Pasar Banggi. Kelompok VII berisi lima individu dari Pasar Banggi. Kelompok VIII berisi satu individu dari Pasar Banggi. Kelompok IX berisi dua individu dari Pasar Banggi. Kelompok X berisi dua individu dari Pasar Banggi. Kelompok XI berisi 21 individu, terutama dari Bogowonto, Motean, dan Muara Dua. Kelompok XII berisi dua individu dari Pasar Banggi dan Bogowonto (Gambar 4B). Perhitungan indeks similaritas Jaccard menunjukkan bahwa kelompok I, II, III, IV, V, VI, VII, IX, dan X menyatu pada nilai 0,83, artinya kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik dengan isozim peroksidase hingga 83%. Di sis lain kelompok VIII dan XI secara terpisah menyatu pula pada nilai 0,83, artinya kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik hingga 83%. Selanjutnya keduanya bergabung pada nilai 0,66, artinya kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik hingga 66%. Kelompok XII berdiri sendiri mengingat anggota-anggotanya tidak memiliki pita peroksidase. Sama halnya dengan isozim esterase, pada dendrogram hubungan kekerabatan berdasarkan pola pita peroksidase ini individu-individu dari lokasi yang sama atau lokasi yang berdekatan cenderung memiliki komposisi genetik yang serupa, sebagaimana kelompok I, II, dan III yang didominasi oleh individu-individu dari pantai utara, serta kelompok V dan XI didominasi oleh individu-individu dari pantai selatan. Hal ini wajar mengingat populasi dari lokasi yang sama atau bertetangga memiliki kemungkinan bertukar materi genetik secara lebih intensif. Meskipun demikian terdapat pula sejumlah individu dari lokasi yang berjauhan, namun menyatu dalam satu

kelompok, misalnya sejumlah kecil individu dari pantai utara yang menyatu dengan kelompok V dan XI yang didominasi oleh individu-individu dari pantai selatan. Hal ini menunjukkan bahwa individu-individu S. alba masih berbagi kesamaan sifat genotipe meskipun lokasi tumbuhnya berjauhan. Hal ini wajar mengingat mereka masih tergolong dalam satu spesies. Pada pola pita isozim peroksidase ini, keunikan genetik disumbangkan oleh kelompok IV, VI, dan VII yang masing-masing hanya beranggotakan satu individu, serta kelompok IX, X, dan XIII yang masing-masing hanya beranggotakan dua individu. Kenyataan bahwa eksperimen penanaman bibit S. alba dari Segara Anakan ke Bogowonto yang menemui kegagalan, tidak berhasil dideteksi dalam penelitian ini. Hal ini kemungkinan disebabkan gen-gen yang menyandi pertahanan individu terhadap genangan, secara metabolisme kurang atau tidak terkait dengan sintesis enzim esterase maupun peroksidase, sehingga dengan kedua enzim ini sulit dibedakan adanya perbedaan komposisi genetik yang cukup antara spesies dari Segara Anakan dengan Bogowonto. Pada pengujian dengan isozim esterase terbukti bahwa individu-individu dari Bogowonto umumnya bergabung dengan individuindividu dari Motean dan Muara Dua (Segara Anakan), sebagaimana tampak pada kelompok III dan X. Begitu pula pada pengujian dengan isozim peroksidase, individu-individu dari Bogowonto umumnya bergabung dengan individu-individu dari Motean dan Muara Dua, sebagaimana tampak pada kelompok V dan XI. Hal ini mengindikasikan masih adanya pertukaran sumberdaya genetik antar kedua lokasi tersebut, mengingat masih terletak di garis pantai yang sama meskipun terdapat gelombang ombak yang cukup besar.

STRUKTUR GENETIK DAN RESTORASI HABITAT Struktur genetik populasi Dalam penelitian ini, tampak bahwa S. alba memiliki keanekaragaman genetik, baik dikaji berdasarkan isozim esterase maupun peroksidase. Dalam hipotesis biodiversitas alfa dinyatakan bahwa keanekaragaman yang tinggi akan menyebabkan terjadinya kestabilan ekosistem, karena produktivitas dan penyimpanan nutriennya tinggi (Tilman, 1999). Populasi dengan keanekaragaman genetik tinggi dapat lebih mempengaruhi ekosistem (Heywood, 1995). Di pantai selatan dan utara Sonneratia spp. bersama dengan Avicennia spp., dan Rhizophora spp. selalu memiliki nilai penting tertinggi (Setyawan dkk., 2005b). Faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman tumbuhan adalah sebaran geografi (32%), bentuk hidup (25%), dan sistem perkawinan (17%) (Hamrick dkk, (1979; 1991). Hal ini teramati dari perbedaan keragaman genetik pada individu yang tumbuh di pantai utara dan selatan, yaitu sesama spesimen dari pantai utara umumnya memiliki keseragaman yang lebih tinggi dibandingkan spesimen dari pantai selatan, begitu pula sebaliknya. Kemampuan dispersal merupakan salah satu karakteristik utama untuk merespon fragmentasi habitat (Bawa dkk., 1991; Vankat dkk., 1991; Fore dkk., 1992). Dispersal merupakan proses utama yang mempengaruhi ekologi, genetika, dan distribusi geografi spesies (Van der Pijl, 1969; Sauer, 1988; Dingle, 1996). Kondisi gelombang

69 laut pantai pantai utara yang relatif tenang menyebabkan pertukaran sumberdaya genetik antar habitat mangrove yang bersebelahan relatif lebih tinggi dari pada di pantai selatan. Kecenderungan terjadinya keragaman genetik S. alba, boleh jadi akibat tingginya fragmentasi habitat dimana ekosistem mangrove terpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil. Salah satu bentuk perubahan lanskap alami oleh aktivitas manusia adalah fragmentasi habitat utuh menjadi beberapa kelompok kecil, terpencar-pencar, dan terisolasi (Barrett dan Kohn, 1991; Fenster dan Dudash, 1994; Fore dan Guttman, 1996, 1999). Hilangnya habitat alami akibat aktivitas manusia merupakan faktor utama yang menyebabkan kepunahan spesies (Sih dkk., 2000). Fragmentasi menyebabkan jarak di antara populasi semakin jauh, sehingga menghambat migrasi antar populasi tetangga, dan meningkatkan terjadinya isolasi (Fahrig dan Merriam, 1994). Fragmentasi dan isolasi geografi habitat S. alba di pantai utara dan selatan menyebakan meningkatnya keseragaman genetik dalam setiap fragmen habitat, sebaliknya meningkatkan keragaman genetik antara fragmen. Hal ini terjadi karena keterbatasan arus gen dari luar populasi dapat meningkatkan diferensiasi genetik antar populasi (Dickinson dan Antonovics, 1973; Fore dan Guttman, 1992; Rhodes dan Chesser, 1994; Husband dan Barrett, 1996). Diferensiasi genetik antar populasi menurunkan kemungkinan restorasi keanekaragaman genetik secara alami dari populasi di sekitarnya (Ellstrand, 1992; Newman dan Tallmon, 2001; Hewitt dan Kellman, 2002). Keragaman genetik sangat penting untuk ketahanan spesies dalam jangka panjang, karena mempengaruhi kemampuan spesies dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan (e.g. Westemeier dkk, 1998; Knapp dan Connors, 1999; Keller dan Waller, 2002). Oleh karena itu restorasi suatu habitat mangrove seringkali memerlukan bibit lokal, introduksi bibit baru dari lokasi lain kadang-kadang gagal tumbuh meskipun dari jenis yang sama. Restorasi dan struktur genetik populasi Struktur genetik di dalam dan di antara populasi penting dalam restorasi ekosistem yang rusak (Brown, 1989; Ceska dkk., 1997). Ketiadaan pengetahuan struktur genetik populasi asli sebelum disturbansi merupakan masalah serius dalam restorasi ekosistem, serta untuk memelihara keanekaragaman dan mengurangi perubahan genetik pasca disturbansi (Young dkk., 1996; Fore dan Guttman, 1999). Prakiraan keanekaragaman genetik dapat dimasukkan dalam rancangan manajemen restorasi, misalnya dalam pemilihan bibit untuk meningkatkan keberhasilan restorasi (Hamrick dan Godt. 1989; Brown dan Briggs, 1991; Holsinger dan Gottlieb, 1991). Keberhasilan restorasi ekosistem mangrove di pesisir utara Rembang tampaknya oleh pemilihan bibit lokal sebagai sumber eksplan (Setyawan dan Winarno, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman pada tingkat ekologi juga mempengaruhi keanekaragaman genetik pada tingkat molekular, misalnya: fragmentasi, penyiangan, dekomposisi nutrien, peracunan tanah, perubahan temperatur global, dan aspek kehutanan (Linhart dan Grant, 1996; Tilman, 1999). Informasi tentang keanekaragaman genetik pada tingkat spesies di dalam ekosistem membantu

penentuan strategi pembibitan, serta manajemen dan konservasi genetik (Auler dkk., 2002). Pada populasi yang direstorasi, ketahanan jangka panjang dapat ditentukan melalui pemilihan benih lokal atau non lokal, sumber tungga atau banyak, varietas alami atau dibudidayakan, serta daya adaptasi dan daya kompetisi bibit pada lingkungan baru. Perkawinan antara sesama individu dari lokasi yang sama dapat menurunkan daya tahan karena tekanan inbreeding, sebaliknya perkawinan silang antar populasi yang berbeda dapat menurunkan daya tahan karena tekanan outbreeding (Fenster dan Dudash, 1994; Gustafson dkk, 2001). Pemahaman yang lebih baik mengenai interaksi antar daya tahan, persamaan dan keanekaragaman genetik, serta daya saing suatu spesies tumbuhan akan bermanfaat untuk memelihara ekosistem yang masih ada dan merestorasi ekosistem yang terganggu (Gustafson dkk., 2002). Perbedaan daya saing antar populasi dapat mempengaruhi struktur genetik populasi (Aarssen dan Turkington. 1985; Turkington, 1994). Dalam proyek restorasi sebaiknya bibit tumbuhan yang digunakan berasal dari lingkungan yang serupa dengan kondisi habitat yang direstorasi, karena bibit introduksi dengan daya kompetisi yang lebih kuat dapat mendesak sisasisa tumbuhan asli (Etterson dan Shaw, 2001). Apabila populasi bibit introduksi dan bibit asli berbeda secara genetik, maka dapat terjadi tekanan outbreeding yang mempengaruhi keberhasilan restorasi. Populasi kemungkinan memerlukan waktu beberapa generasi untuk menyembuhkan diri akibat perkawinan silang tersebut (Emlen, 1991). Namun pada spesies langka sering diperlukan tekanan outbreeding untuk konservasi dan restorasi populasi tersebut (Gerard dkk, 1995; Byers, 1998). Tekanan outbreeding yang menyebabkan perkawinan silang sangat mungkin terjadi apabila dua populasi dari lokasi berbeda disatukan (Montalvo dan Ellstrand, 2001). Pemilihan S. alba dalam program restorasi mangrove perlu dilakukan secara hati-hati, agar tarik menarik antara tekanan inbreeding dan outbreeding tidak menghasilkan resultan negatif, mengingat adanya keanekaragaman genetik pada populasi ini. Pemilihan eksplan dari lokasi setempat dapat menyebabkan tekanan inbreeding akibat perkawinan sedarah. Hal ini dapat menyebabkan homogenitas populasi sangat tinggi sehingga daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan menurun, di sisi lain homogenitas yang tinggi tersebut merupakan bentuk adaptasi spesifik terhadap kondisi lingkungan selama ini. Pemilihan eksplan dari lokasi lain dapat menyebabkan tekanan outbreeding akibat perkawinan silang, sehingga dapat menyebabkan berubahnya struktur genetik populasi tersebut. Hal ini diperlukan untuk menyuplai gen baru sehingga eksplan dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, namun di sisi lain perubahan struktur genetik ini dapat menyebabkan kegagalan untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan lokal selama ini. Manajemen konservasi Pengetahuan tentang struktur genetik S. alba diperlukan dalam program restorasi mangrove dan konservasi tumbuhan ini, yaitu (i) mengidentifikasi dan mengevaluasi ancaman yang membahayakan kelestariannya; dan (ii) menentukan disain program restorasi (Vrijenhoek, 1994). Pada program restorasi, pengetahuan mengenai distribusi keanekaragaman

70 genetik merupakan panduan dalam pengelolaan sumberdaya genetik yang penting (Barrett and Kohn, 1991). Keanekaragaman genetik merupakan wadah untuk adaptasi dan evolusi, sehingga pemeliharaan keanekaragaman genetik sangat penting dalam konservasi biodiversitas (Thomas dkk., 1999). Prakiraan tingkat dan distribusi keanekaragaman genetik dalam spesies tumbuhan dapat digunakan sebagai panduan dalam manajemen spesies dengan sebaran terbatas (Hamrick dkk, 1991). Tumbuhan dengan distribusinya terbatas cenderung memiliki lebih sedikit keanekaragaman isozim dibandingkan dengan spesies yang distribusinya luas (Hamrick dan Godt, 1989; Hamrick dkk., 1992), meskipun, sebaran geografi tidak selalu mempengaruhi struktur genetik suatu spesies (Soltis dan Soltis, 1991; Lewis dan Crawford, 1995). Pemilihan S. alba lokal sebagai sumber eksplan secara manajemen perlu diutamanakan, mengingat sasaran utama konservasi adalah memelihara biodiversitas dengan menjaga keberadaan spesies asli di dalam ekosistem selama mungkin (Harrison dkk., 1984; Falk, 1992). Penurunan daya tahan spesies pada habitat yang mengalami degradasi dan fragmentasi memerlukan tindakan untuk melindungi habitat dari kerusakan, memperlambat hilangnya habitat dan fragmentasi, serta melestarikan dan memperkaya biodiversitas (Noss dkk., 1997). Konservasi genetik dapat dilakukan secara in situ dan ex situ. Konservasi in situ dilakukan untuk mengembalikan potensi evolusi suatu populasi termasuk pengayaan dan pembentukan populasi baru bersamasama dengan manajemen ekologi. Konservasi ex situ mencakup pembentukan koleksi yang mengandung keanekaragaman genetik paling tinggi. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila struktur genetik spesies dan populasi telah diketahui (Machon dkk., 2001).

KESIMPULAN Pengujian keanekaragaman genetik S. alba dengan isozim esterase secara keseluruhan memunculkan 9 pita, dengan 12 variasi genotipe, sedangkan isozim peroksidase memunculkan 6 pita, dengan 11 variasi genotipe. Dendrogram hubungan kekerabatan berdasarkan pola pita esterase menunjukkan adanya 13 kelompok, yang menyatu pada tingkat kesamaan 67% (kecuali kelompok ke-13 yang tidak memunculkan pita esterase). Adapun dendrogram berdasarkan pola pita peroksidase menunjukkan adanya 12 kelompok, yang juga menyatu pada tingkat kesamaan 66% (kecuali kelompok ke-12 yang tidak memunculkan pita peroksidase). Individu S. alba dari lokasi yang sama atau berdekatan umumnya memiliki keanekaragaman genetik yang cenderung sama, mengingat pertukaran genetik di dalam satu populasi atau di antara populasi yang berdekatan umumnya lebih tinggi dari pada dengan populasi lain, sehingga populasi S. alba dari pantai utara memiliki kesamaan genetik yang lebih tinggi di antara sesamanya dibandingkan dengan populasi dari pantai selatan, begitu pula sebaliknya populasi dari pantai selatan memiliki kesamaan genetik yang lebih tinggi di antara sesamanya dibandingkan dengan populasi dari pantai utara.

DAFTAR PUSTAKA Aarssen, L.W. and R. Turkington. 1985 Biotic specialization between neighbouring genotypes in Lolium perenne and Trifolium repens from a permanent pasture. Journal of Ecology 73: 605-614. Acquaah, G. 1992. Practical Protein Electrophoresis for Genetic Research. Portland, OR.: Dioscorides Press.. Aitken, S.N. and W.J. Libby. 1994. Evolution of the pygmy-forest edaphic subspecies of Pinus contorta across an ecological staircase. Evolution 48: 1009-1019. Antonovics, J. 1971. The effects of a heterogeneous environment on the genetics of natural populations. American Scientist 59: 593-599. Armbruster, W.S., and K.E. Schwaegerle.. Causes of covariation of phenotypic traits among populations. Journal of Evolutionary Biology 9: 261-276. Arulsekar, S. and D.E. Parfitt. 1986. Isozyme analysis procedures for stone fruits, almond, grape, walnut, pistachio and fig. Horticulture Science 21 (4): 928-933. Auler, N.M.F., M. Sedrez dos Reis, M.P. Guerra, and R.O. Nodari. 2002. The genetics and conservation of Araucaria angustifolia: I. Genetic structure and diversity of natural populations by means of nonadaptive variation in the state of Santa Catarina, Brazil. Genetics and Molecular Biology, 25 (3): 329-338. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: P.Noordhoff Barrett, S.C.H. and J.R. Kohn. 1991. Genetic and evolutionary consequences of small population size in plants: implications for conservation. In: Falk D.A. and K.H. Holsinger (ed.). Genetics and Conservation of Rare Plants. Oxford: Oxford University Press. Bawa, K., B. Schaal, O.T. Solbrig, S. Stearns, A. Templeton, and G. Vida. 1991. Biodiversity from the gene to the species. In Solbrig, O.T. (ed.). From Genes to Ecosystem: a Research Agenda for Biodiversity. Paris: International Union of Biological Sciences,. Beer, S.C., J. Grofeda, T.D. Philips, J.P. Murphy, and M.E. Sorrels. 1993. Assesment of genetic variation in Avena sterilis using morphological traits, isozyme and RFLPs. Crop Science 33: 13861393. Blomqvist, M.M., P. Vos, P.G.L. Klinkhamer, and W.J. ter Keurs. 2003. Declining plant species richness of grassland ditch banks-a problem of colonization or extinction? Biology Conservation 109: 391-406. Brown A.H.D., and J.D. Briggs. 1991. Sampling strategies for genetic variation in ex situ collections of endangered plant species. In: Falk D.A. and K.H. Holsinger (ed.). Genetics and Conservation of Rare Plants. Oxford: Oxford University Press. Brown, A.D.H. 1989. Genetic characterization of plant mating system. In: Brown, A.H.D., M.T. Clegg, A.L. Kahler, and B.S. Weir (eds.). Population Genetics and Germplasm Resources in Crop Improvement. Sunderland, MA: Sinauer Associates. Brown, A.D.H. 1990. The role of isozyme studies in molecular systematics. Australian Systematics of Botany 3: 39-46. Butlin, R.K. and T. Tregenza. 1998. Levels of genetic polymorphism: marker loci versus quantitative traits. Phillosophy Transaction Royal Society of London B 353: 187-198. Byers, D. L. 1998. Effect of cross proximity on progeny fitness in a rare and a common species of Eupatorium (Asteraceae). American Journal of Botany 85: 644-653. Caro, T.M. and Laurenson, M.K. (1994) Ecological and genetic factors in conservation: a cautionary tale. Science 263: 485-486 Caughley, G. 1994. Directions in conservation biology. Journal of Animal Ecology 63: 215-244. Ceska, J.F., J.M. Affolter, and J.C. Hamrick. 1997. Developing a sampling strategy for Baptisia arachnifera based on allozyme diversity. Conservation Biology 11: 1133-1139. Comps, B., D. Gömöry, J. Letouzey, B. Thiebaut, and J. Petit, 2001. Diverging trends between heterozygosity and allelic richness during postglacial colonization in European beech. Genetics, 157: 389-97 Cooperrider, A. 1991. Conservation of biodiversity of western rangelands. In W. E. Hudson [ed.], Landscape linkages and biodiversity. Washington, D.C.: Island Press. Crawford, D.J. 1983. Phylogenetic and systematic inferences from electrophoretic studies. In Tanksley S.D. and T.J. Orton (ed.). Isozymes in Plant Genetics and Breeding, Part A. New York: Elsevier. Crawford, D.J. 1989. Enzyme electrophoresis and plant systematics. In Soltis, D.E. and P.S. Soltis (ed.). Isozymes in Plant Biology. Portland, OR.: Dioscorides Press. Crawford, D.J. 1990. Plant Molecular Systematics, Macromolecular Approaces. New York: John Wiley and Sons. Dickinson, H. and J. Antonovics. 1973. Theoretical considerations of sympatric divergence. American Naturalist 107: 256-274. Dingle, H. 1996. Migration: the biology of life on the move. New York: Oxford University Press.

71 Ellstrand, N.C. and D.R. Elam. 1993. Population genetic consequences of small population size: implications for plant conservation. Annual Review of Ecology and Systematics. 24: 217-242 Ellstrand, N.C. 1992. Gene flow by pollen: implications for plant conservation genetics. Oikos 63: 77-86. Ellstrand, N.C., R. Whitkus, and L.H. Rieseberg. 1996. Distribution of spontaneous plant hybrids. Proceedings of the National Academy of Sciences 93: 5090-5093. Emlen, J.M. 1991. Heterosis and outbreeding depression: a multilocus model and an application to salmon production. Fisheries Research 12: 187-212. Espelie, K.E., V.R. Franceschi, and P.E. Kolattukudy. 1986. Immunocytochemical localization and time course of appearance of an anionic peroxidase associated with tuberization in potato. Archives on Biochemistry and Biophysics 240: 539-545. Etterson, J.R. and R.G. Shaw, 2001 Constraint to adaptive evolution in response to global warming. Science 294: 151-154. Fahrig, E. and G. Merriam. 1994. Conservation of fragmented populations. Conservation Biology 8: 50-59. Falk, D.A. 1992. From conservation biology to conservation practice: strategies for protecting plant diversity. In Fiedler P.L. and S. K. Jain [eds.]. Conservation Biology: Theory and Practice of Nature Conservation and Management. New York: Chapman and Hall. Fenster CB, MR Dudash, 1994 Genetic considerations for plant population restoration and conservation. In Bowles, M.L., and C.J. Whelan (eds.). Restoration of Endangered Species. Cambridge: Cambridge University Press. Fitzpatrick, B.M. 2002. Molecular correlates of reproductive isolation. Evolution 56 (1): 191-198. Fore, S.A. and S.I. Guttman, 1992 Genetic structure after forest fragmentation: a landscape ecology perspective of Acer saccharum. Canadian Journal of Botany 70: 1659-1668. Fore, S.A. and S.I. Guttman. 1996. Spatial and temporal genetic structure of Asclepias verticillata L. (whorled milkweed) among prairie patches in a forested landscape. Canadian Journal of Botany 74: 1289-1297. Fore, S.A. and S.I. Guttman. 1999. Genetic structure of Helianthus occidentalis (Asteraceae) in a preserve with fragmented habitat. American Journal of Botany 86 (7): 988-995. Fore, S.A., R.J. Hickey, J.L. Vankat, and S. I. Guttman. 1992. The effect of forest fragmentation on genetic diversity and structure: a landscape ecology perspective. Canadian Journal of Botany 70: 1659-1668. Garbutt, R.A. and T.H. Sparks. 2002. Changes in the botanical diversity of a species rich ancient hedgerow between two surveys (19711998). Biological Conservation 106: 273-278. Gaspar, T., C. Penel, T. Thorpe, and H. Greppin. 1986. Peroxidases 1970-1980: A Survey of their Biochemical and Physiologic Roles in Higher Plants. Geneva, Switzerland: University of Geneva Press. Gerard, J., B. Oostermeijer, R.G.M. Altenburg, and H.C.M. den Nijs. 1995. Effects of outcrossing distance and selfing on fitness components in the rare Gentiana pneumonanthe (Gentianaceae). Acta Botanica Neerlandica 44: 257–268. Godt, M.J.W. and J.L. Hamarick. 1993. Genetic diversity and population structure in Tradescantia hirsuticaulis (Commelinaceae). American Journal of Botany 80: 959-966. Gornall, R.J. 1997. Practical aspects of the species concept in plants. In Claridge, M.F., H. A. Dawah and M.R. Wilson (eds.). Species: the Units of Biodiversity. London: Chapman & Hall. Groom, M.J. 1998.-Allee effects limit population viability of an annual plant. American Naturalist 151: 487-496. Gross, G.G. 1977. Biosynthesis of lignin and related monomers. Recent Advanced in Phytochemistry 11: 141-184. Gustafson, D.J. 2001. Characterizing three restored Andropogon gerardii Vitman (big bluestem) populations established with Illinois and Nebraska seed: established plants and their offspring. In Bernstein, N.P. and L.J. Ostrander (eds.). Proceedings of the 17th North American prairie conference. Seeds for the future; roots of the past. Mason City: North Iowa Area Community College. Gustafson,D.J., D.J. Gibson, and D.L. Nickrent. 2002. Genetic diversity and competitive abilities of Dalea purpurea (Fabaceae) from remnant and restored grasslands. International Journal of Plant Science 163 (6): 979-990. Hamrick, J.L. and M.J.W. Godt. 1989. Allozyme diversity in plant species. In: Brown, A.H.D., M.T. Clegg, A.L. Kahler, and B.S. Weir (eds.). Plant Population Genetics, Breeding, and Genetic Resources. Sunderland, MA.: Sinauer Associates. Hamrick, J.L., M.J.W. Godt, D.A. Murawski, and M.D. Loveless. 1991. Correlations between species traits and allozyme diversity: implications for conservation biology. In: Falk D.A. and K.H. Holsinger (ed.). Genetics and Conservation of Rare Plants. Oxford: Oxford University Press. Hamrick, J.L., M.J.W. Godt, and S.L. Sherman-Broyles. 1992. Factors influencing levels of genetic diversity in woody plant species. New Forests 6: 95-124.

Harrison, J., K. Miller, and J. McNeely. 1984. The world coverage of protected areas: development goals and environmental needs. In McNeely, J.A. and K.R. Miller (eds.). National Parks, Conservation and Development: the Role of Protected Areas in Sustaining Society. Washington, D.C.: Smithsonian Institution. Hewitt, N. and M. Kellman. 2002. Tree seed dispersal among forest fragments: II. Dispersal abilities and biogeographical controls. Journal of Biogeography 29: 351-363. Heywood, V.H. 1995. Global Biodiversity Assessment. Cambridge: Cambridge University Press. Holsinger, K.E. 2000. Demography and extinction in small populations. In: Young, A.G. and G.M. Clarke. (eds). Genetics, Demography and Viability of Fragmented Populations. Cambridge: Cambridge University Press. Holsinger, K.E. and L.D. Gottlieb, 1991 Conservation of rare and endangered plants: principles and prospects. In: Falk D.A. and K.H. Holsinger (ed.). Genetics and Conservation of Rare Plants. Oxford: Oxford University Press. Howes, B.D., C.B. Schiødt, K.G. Welinder, M.P. Marzocchi, J.G. Ma, J. Zhang, J.A. Shelnutt, and G. Smulevich. 1999. The Quantum mixedspin heme state of barley peroxidase: a paradigm for class III peroxidases. Biophysics Journal: 478-492. Husband B.C. and S.C.H. Barrett. 1996. A metapopulation perspective in plant population biology. Journal of Ecology 84: 461-469. Indriani, F.C., L. Soetopo, Sudjindro, dan A.N. Sugiharto. 2002. Keragaman genetic plasma nutfah kenaf (Hibisus cannabinus L.) dan beberapa spesies yang sekerabat berdasarkan analisis isozim. Biosain 2 (1): 29-39. Karp, A., O. Seberg, and M. Buiatti. 1996. Molecular techniques in the assessment of botanical diversity. Annals of Botany 78: 146-149. Keller, L.F. and D.M. Waller. 2002. Inbreeding effects in wild populations. Trends in Ecology and Evolution 17 (5): 230-241. Kennedy, K., C. Biles, B.Bruton, and J. Zhang. 1996. Peroxidase activity and isozymes of cantaloupe tissue. Abstracts from the 85th Technical Meeting, Oklahoma State University-OKC, 8 November, 1996. Kleijn D. and M. Verbeek. 2000. Factors affecting the species composition of arable field boundary vegetation. Journal of Applied Ecology 37: 256-266. Knapp, E.E. and P.G. Connors. 1999. Genetic consequences of a singlefounder population bottleneck in Trifolium amoenum (Fabaceae). American Journal of Botany 86: 124-130. Knobloch, I.W. 1972. Intergeneric hybridization in flowering plants. Taxon 21: 97-103. Lennartsson, T. 2002. Extinction thresholds and disrupted plant-pollinator interactions in fragmented plant populations. Ecology 83: 3060-3072. Lewis, P.O. and D.J. Crawford. 1995. Pleistocene refugium endemics exhibit greater allozymic diversity than widespread congeners in the genus Polygonella (Polygonaceae). American Journal of Botany 82: 141-149. Linhart, Y.B. and M.C. Grant. 1996. Evolutionary significance of local genetic differentiation in plants. Annual Review of Ecology and Systematics 27: 237-277. Machon, N., J.M. Guillon, G. Dobigny, S. Le Cadre, and J. Moret. 2001. Genetic variation in the horsetail Equisetum variegatum Schleich., an endangered species in the Parisian region. Biodiversity and Conservation 10: 1543-1554. Max, K.N., S.K. Mouchaty, and K.E. Schwaegerle. 1999. Allozyme and morphological variation in two subspecies of Dryas octopetala (Rosaceae) in Alaska. American Journal of Botany 86 (11): 16371644. Mayr, E. 1992 A local flora and the biological species concept. American Journal of Botany 79: 222-238. McDonald, B.A. and J.M. McDermont. 1993. Population genetics of plant pathogenic fungi. BioScience 43 (5): 311-319. McPhaden, M.J. 1999. Genesis and evolution of the, 1997-1998 El-Nino. Science 283: 950-954. Menges, E.S. 1991. The application of minimum viable population theory to plants. In: Falk D.A. and K.H. Holsinger (eds.). Genetics and Conservation of Rare Plants. Oxford: Oxford University Press. Micales, J.A. and M.R. Bonde. 1995. Isozymes: methods and applications. In Singh, R.P. and U.S. Singh (eds.). Molecular Methods in Plant Pathology. Boca Raton: CRC Press-Lewis Publishers. Montalvo, A.M. and N.C. Ellstrand. 2001. Nonlocal transplantation and outbreeding depression in the subshrub Lotus scoparius (Fabaceae). American Journal of Botany 88 (2): 258-269. Murphy, J. and T.D. Philips. 1993. Isozyme variation in cultivated oats and its progenitor species Avena sterilis. Crop Science 33: 13661372. Newman, D. and D. Pilson, 1997 Increased probability of extinction due to decreased genetic effective population size: experimental populations of Clarkia pulchella. Evolution 51: 354-362.

72 Newman D. and D. A. Tallmon. 2001. Experimental evidence for beneficial fitness effects of gene flow in recently isolated populations. Conservation Biology 15: 1054-1063. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (eds.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Noss, R.F., M.A. O’Connell, and D. Murphy. 1997. The Science of Conservation Planning: Habitat Conservation under the Endangered Species Act. Covelo, CA.: Island Press. Opdam, P., R. Foppen, R. Reijnan, and A. Schotman. 1994. The landscape ecological approach in bird conservation: integrating the metapopulation concept into spatial planning. Ibis 137: S139-S146. Pierce, L.C. and J.L. Brewbaker. 1973. Application of isozyme analysis in horticultural science. Horticulture Science 8 (1): 17-22. Purps, D.M. and J.W. Kadereit. 1998. RAPD evidences for a sister group relationship of the presumed progenitor-derivative species pair Senecio nebrodensis and S. viscosus (Asteraceae). Plant Sistematics and Evolution 211: 57-70. Rhodes, O.E. and R.K. Chesser. 1994. Genetic concepts for habitat conservation: the transfer and maintenance of genetic variation. Landscape and Urban Planning 28: 55-62. Richards, A. 1999. Plant Breeding Systems, 2nd ed. London: Chapman and Hall. Riesenberg, L.H., S.D. Soltis, and P.S. Soltis. 1988. Genetic variations in Helianthus annus and H. bolanderi. Biochemical Systematics and Ecology 4: 393-399. Rothe, G.M. 1994. Electrophoresis of Enzymes, Laboratory Methods. Berlin: Springer Verlag. Sauer, J. D. 1988. Plant migration: the dynamics of geographic patterning in seed plant species. Berkeley, CA.: University of California Press. Setyawan A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005a. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis. Biodiversitas 6 (1): 57-61. Setyawan A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005b. Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 2. komposisi dan struktur vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198. Setyawan, A.D., A. Susilowati, dan Wiryanto. 2002. Habitat reliks vegetasi mangrove di pantai selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242256. Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Permasalahan konservasi ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 160-164. Shields, W.M. 1993. The natural and unnatural history of inbreeding and outbreeding. In Thornhill, N.W. (ed.). The Natural History of Inbreeding and Outbreeding. Chicago: University of Chicago Press. Sih, A., B.G. Jonsson, and G. Luikart. 2000. Habitat loss: ecological, evolutionary and genetic consequences. Trends in Ecology and Evolution 15: 132-134. Sneath, P.H.A and R.R. Sokal. 1973. Numerical Taxonomy. San Francisco: W.H. Freeman and Co. Sokal, R.R. and D.E. Wartenburg. 1983. A test of spatial auto-correlation analysis using an isolation-by-distance model. Genetics 105: 219237. Sokal, R.R. and N.L. Oden. 1978. Spatial autocorrelation in biology. 1. Methodology. Biological Journal of the Linnean Society 10: , 199249.

Soltis, D.E. and P.S. Soltis. 1989. Polyploidy, breeding systems, and genetic differentiation in homosporous pteridophytes. In Soltis, D.E. and P.S. Soltis (ed.). Isozymes in Plant Biology. Portland, OR.: Dioscorides Press. Suranto. 1991. Studies of Population Variations in Species of Ranunculus. (M.Sc. thesis). Hobart: Departement of Plant Science University of Tasmania. Tanksely, S. D. 1983. Molecular markers in plant breeding. Plant Molecular Biology Report 1: 3-8. Thomas, B.R., S.E. Macdonald, M. Hicks, D.L. Adams, dan R.B. Hodgetts. 1999. Effects of reforestation methods on genetic diversity of lodgepole pine: an assessment using microsatellite and randomly amplified polymorphic DNA markers. Theoritical and Applied Genetics 98: 793-801. Thompson, J.N. 1996. Evolutionary ecology and the conservation of biodiversity. Trends in Ecology and Evolution 11: 300-303. Tilman, D. 1999. Diversity and production in European grasslands. Science 286: 1099-1100. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. Treuren, R. van, R. Bulsma, W. van Velden, and N.J. Ouborg. 1991. The significance of genetic erotionin the process of extiction. 1. Genetic differentiation in Salvia pratensis and Scabiosa columbaria in relation to population size. Heredity 66: 181-189. Turkington, R, 1994 Effect of propagule source on competitive ability of pasture grass: spatial dynamics of six grasses in simulated swards. Can J Bot 72: 111-121. Van der Pijl, L. 1969. Principles of dispersal in higher plants. SpringerVerlag, Berlin, Germany. Vankat, J.L., J. Wu, and S.A. Fore. 1991. Old-growth by design: applying the concepts of landscape ecology. In Henderson D. and L.D. Hedrick (eds.). Restoration of Old Growth Forests in the Interior Highlands of Arkansas and Oklahoma. Arkansas: Ouachita National Forest and Winrock International Institute for Agricultural Development, AR. Vrijenhoek, R.C. 1994. Genetic diversity and fitness in small populations. In: Loeschcke, V., J. Tomiuk, and S.K. Jain (eds.). Conservation Genetics. Sunderland, MA.: Sinauer Associates. Wang, X.R., A.E. Szmidt, and N.H. Nghia, 2000. The phylogenetic position of the endemic flat-needle pine Pinus krempfii (Pinacea) from Vietnam, based on PCR-RFLP analysis of chloroplast DNA. Plant Systematics and Evolution 220: 21-36 Weeden, N.F. and J.F. Wendel. 1989. Genetic and plant isozymes. In Soltis, D.E. and P.S. Soltis (eds.). Isozymes in Plant Biology. Portland, OR.: Dioscorides Press. Westemeier, R.L., J.D. Brawn, S.A. Simpson, T.L. Esker, R.W. Jansen, J.W. Walk, E.L. Kershner, J.L. Bouzat, and K.N. Paige. 1998. Tracking the long-term decline and recovery of an isolated population. Science 282: 1695-1698. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus. Young, A., T. Boyle, and T. Brown. 1996 The population genetic consequences of habitat fragmentation for plants. Trends in Ecology and Evolution 11: 413-418.

Kandungan Nutrien Sedimen Tanah

ABSTRACT The aims of this research were to find out the content of nutrient parameters at mangrove habitat in northern and southern coast of Central Java Province, namely total organic matter (TOM), + 3nitrate (NO3 ), ammonium (NH4 ), and phosphate (PO4 ), and it potential eutrophycation in this habitat. This research was conducted in July until December 2003, at 20 sites of mangrove habitat. The result indicated that the content of total organic material varied from 8.308% (Wulan) to 15.361% (Bulak) with + the average of 11.260%. The NO3 content varied from 0.327 mg/100g (Cincingguling) to 0.671 mg/100g (Bulak) with the + average of 0.4224 mg/100g. The NH4 content varied from 0.174 mg/100g (Wulan) to 0.409 mg/100g (Ijo) with the average 3of 0.2847 mg/100g. The PO4 content varied from 4.73 mg/100g (Cincingguling) to 8.39 mg/100g (Ijo) with the average of 6.80 mg/100g. This result indicated that the content of nitrogen was far below the recommended standard quality of sewage. The high concentration of phosphate was the consequence of marine environment in mangrove ecosystem. It can be concluded that was not eutrophycation yet in soil sediment of mangrove environment in Central Java Province.

Key words: nutrient, organic matter, nitrate, ammonium, phosphate, mangrove environment, Central Java.

PENDAHULUAN Proses pembangunan secara nyata telah menyebabkan berubahnya penggunaan lahan/habitat, kandungan kimia udara, tanah dan air, laju dan keseimbangan proses-proses biokimia, serta keanekaragaman hayati (Vitousek dkk., 1997a, b). Perubahan penggunaan lahan sangat mempengaruhi siklus nutrien dan dapat mempengaruhi masa depan ekosistem perairan tawar dan laut. Hutan tropis banyak diubah menjadi lahan pertanian atau dibuka dan dibiarkan menjadi lahan kritis, sehingga sering kali kurang efisien dalam menyerap karbon dan elemen lain, mengubah siklus hidrologi setempat dan kehilangan sejumlah besar unsur nutrien seperti nitrogen dan fosfor melalui pelindihan aliran permukaan. Hal ini berdampak pada ekosistem akuatik yang secara berkala mendapat masukan berlebih sedimen, air, dan nutrien dari daratan (Downing dkk., 1999).

Salah satu aktivitas manusia yang berpengaruh nyata terhadap siklus nutrien adalah peningkatan sumbangan unsur nutrien nitrogen (N) dan fosfor (P). Sumbangan ini berasal dari limbah domestik dan pertanian, termasuk kotoran ternak dan pupuk, meningkatnya aliran permukaan akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman, serta pembakaran bahan bakar fosil (Cole dkk., 1993; Nixon, 1995; Howarth, 1998). Ketersediaan nutrien sering kali menjadi faktor pembatas produktivitas primer. Dari semua nutrien yang ada, nitrogen dan fosfor merupakan dua unsur yang paling sering membatasi pertumbuhan produsen primer (Hauxwell dkk., 2001). Ekosistem perairan tawar dan laut memiliki perbedaan pola siklus kedua nutrien tersebut. Fosfor merupakan faktor pembatas produktivitas primer pada lingkungan perairan tawar, sedangkan nitrogen merupakan faktor pembatas pada lingkungan perairan laut (Smith, 1984; Downing dkk., 1999; Hauxwell, dkk. 2001), sehingga terjadi perubahan besar komposisi komunitas pada kawasan mangrove dan terumbu karang. Perubahan siklus nitrogen berdampak besar terhadap ekosistem akuatik (Downing dkk., 1999). Secara alamiah nutrien terdapat di alam dan mendukung terbentuknya ekosistem yang subur, namun aktivitas manusia dapat meningkatkan masukan nutrien hingga tingkat yang tidak diinginkan (Hauxwell, dkk. 2001). Aktivitas manusia dapat meningkatkan jumlah nitrogen dan fosfor, serta mempengaruhi siklus biogeokimianya (Schlesinger 1991; Vitousek dkk., 1997a, b). Kelebihan nutrien ini memasuki ekosistem muara dan perairan pantai melalui sungai, air tanah, dan transpor udara (Howarth dkk., 1996; Nixon dkk., 1996). Kesehatan ekosistem pantai sangat terancam akibat berlebihnya nutrien ini (eutrofikasi) (Hauxwell, dkk. 2001). Nutrien pada ekosistem mangrove tidak hanya dihasilkan oleh ekosistem itu sendiri (autochthonous), tetapi juga berasal dari sungai atau laut di sekitarnya (allochthonous) (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Di samping kedua unsur nutrien inorganik, nitrogen dan fosfor, ekosistem mangrove dapat menyimpan sejumlah besar nutrien organik/detritus (Matsui, 1998; Fujimoto dkk., 1999), bahkan pada ekosistem mangrove tertentu ketebalan sedimen yang kaya bahan organik dapat mencapai beberapa meter (Twilley dkk., 1992;

Publikasi asli: Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2005. Potensi Eutrofikasi Kandungan Nutrien pada Sedimen Tanah Mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5 (1): 12-17.

74 Lallier-Verges dkk., 1998). Tingginya produksi daun dan serasah, serta cepatnya laju penguraian detritus menyebabkan hutan mangrove menjadi salah satu ekosistem yang paling produktif dan mendukung berbagai kehidupan liar dengan kemelimpahan tinggi (Aksornkoae, 1986; Ong, 1995). Sekitar 30-60% total produksi primer ekosistem mangrove adalah serasah (Bunt dkk., 1979). Serasah daun sangat penting dalam menjaga rantai makanan yang berbasis detritus (Ong dkk., 1984; Lee, 1995). Sifat kimia detritus mangrove berubah selama dekomposisi dan penuaan (Rice dan Tenore, 1981). Dedaunan yang jatuh ke dalam air dan basah akan segera mengalami pelindihan bahan organik, termasuk karbon organik, nitrogen organik, dan tanin (Newell dkk., 1984; Robertson, 1988; Steinke dkk., 1993a, b). Ekosistem mangrove merupakan jalur penting bagi siklus bahan organik di lingkungan tropis, khususnya karbon. Hutan mangrove memiliki produktivitas primer sangat tinggi, serta dapat mempengaruhi dan mengatur siklus nutrien, selanjutnya mengirimkan bahan organik ke laut terbuka dan lingkungan akuatik di sekitarnya, dalam bentuk serasah dan bahan organik partikulat atau terlarut (Clough, 1992; Lee, 1995; Lovelock, 1993; Jickells 1998; Ng dan Sivasothi, 2001); dapat pula melalui perumputan yang dilakukan herbivora, sehingga dipindahkan dalam bentuk energi (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Tumbuhan mangrove dapat meningkatkan sedimentasi bahan terlarut selama banjir dan mengendapkan material allochtonous (Furukawa dkk., 1997). Sekitar 90% partikel bahan organik yang memasuki kawasan pantai diendapkan ke dalam sedimen melalui flokulasi kimia, adsorbsi dan deposisi fisik akibat pertemuan air tawar dan air laut (Lisitzyn, 1999). Peningkatan nutrien antropogenik dalam jumlah besar dapat mempengaruhi komposisi dan kemelimpahan produsen primer, sehingga berdampak pada siklus biogeokimia nutrien secara keseluruhan (Worm dkk., 2000). Tumbuhan mangrove sangat penting dalam penyampuran nutrien dan partikulat di kawasan pantai, karena dapat memperlambat arus, memperkuat deposisi dan menyerap nutrien (Levin dkk., 2001). Keragaman spesies yang tinggi dapat membantu keberlanjutan produktivitas melalui stabilisasi komunitas dalam berbagai kondisi lingkungan (McNaughton, 1993). Peningkatan pembuangan limbah di sungai yang dikombinasi dengan peningkatan konsentrasi nutrien dalam sungai menyebabkan meningkatnya nutrien di kawasan muara (Wosten dkk., 2003). Proses biogeokimia pada sedimen di kawasan muara sangat bervariasi tergantung beberapa faktor, seperti: sumber bahan organik dari laut dan darat; variasi salinitas, proses remineralisasi sediment anoksik, adanya makrofauna bentos, dan kondisi redoks sedimen (Burdige, 2001), sehingga status nutrient dapar bervariasi antar tempat. Tumbuhan mangrove berpotensi untuk mitigasi kelebihan nitrogen dan fosfor, karena dapat melepaskan kedua unsur tersebut selama pertumbuhannya. Di samping itu, sedimen mangrove merupakan habitat yang cocok bagi bakteri denitrifikasi, untuk mengubah NO3 menjadi gas N2. Hal ini dapat mengurangi kelebihan nutrien bagi produsen primer di pantai dan mencegah eutrofikasi di laut (Hauxwell, dkk. 2001). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan bahan organik total (BOT), nitrat (NO3-), ammonium (NH4+), dan fosfat

(PO43-) pada lingkungan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d. Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20 habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian laboratorium dilakukan di Sub-Lab Kimia, Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bahan dan alat Preparasi sampel tanah. Alat yang digunakan meliputi: soil core, ember plastik, kantung plastik hitam atau botol polietilen, nampan plastik, kipas angin, timbangan, mortar porselen, saringan stainless steel atau nilon berdiameter 0,5 mm dan 2 mm. Pengukuran kadar bahan organik total (BOT). Bahan yang diperlukan adalah: K2Cr2O7, H2SO4, H3PO3 85%, indokator difenilamin, akuades, dan FeSO4 1N. Alat yang digunakan adalah: timbangan analitik, gelas arloji, gelas beker 50 ml, gelas ukur 10 ml, pipet, labu elenmeyer 50 ml, dan labu titrasi. Pengukuran kadar nitrat (NO3 ). Bahan yang diperlukan adalah: pelarut ekstraktan, asam fenol disulfonat, larutan ammonium, larutan nitrat standard, campuran bubuk Ca(OH)2 dan MgCO3. Alat yang digunakan adalah: timbangan analitik, gelas arloji, cawan evaporasi, pipet volumetri 100 ml, labu elenmeyer 500 ml, shaker, penangas air, dan AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometer). Pengukuran kadar ammonium (NH4+). Bahan kimia yang diperlukan adalah: KCl 10%, MgO 10%, indikator asam borat 2%, dan larutan standar H2SO4 0,01 N. Alat yang digunakan adalah: timbangan analitik, labu elenmeyer 300 ml, shaker, corong gelas, kertas Whatman 42, gelas arloji, pipet volumetri 20 ml, buret, oven, dan alat destilasi semi-mikro Kjehldal. 3Penentuan kadar fosfat (PO4 ). Bahan kimia yang diperlukan adalah: HClO4 dan HNO3 pekat, larutan HCl, larutan molibdat-vanadat, HNO3 2N, larutan fosfat standard (P 20 ppm; 250 ppm). Alat yang digunakan adalah: labu Kjeldahl 100 ml, apparus digesti elektris, pipet, corong gelas, kertas Whatman 42, pipet volumetri 100 ml, tabung gradasi 20 ml, labu volumetri 200 ml dan AAS. Cara kerja Pengukuran parameter nutrien merujuk pada: Tan (1996), Prawirowardoyo, dkk. (1987), Hidayat (1978), dan APHA (1969).

75 Preparasi sampel tanah. Sampel sedimen tanah diambil dengan soil core di kedalaman + 20 cm dari permukaan sedimen pada lima titik yang ditentukan secara random, dengan jarak sekurang-kurangnya 10 m antara satu dengan lainnya, lalu dicampur dan diaduk secara merata dalam ember plastik. Proporsi sedimen tanah dari kelima titik tersebut relatif sama, dengan hasil akhir sekitar 1-2 kg basah. Di laboratorium, sisa-sisa akar, batu dan material organik dibuang dan disaring dengan saringan berdiameter 2 mm, lalu dilanjutkan dengan saringan berdiameter 0,5 mm. Pengukuran kadar bahan organik total (BOT). Sebanyak 1 g sampel tanah kering angin dimasukkan dalam gelas beker 50 ml, ditambah 10 ml K2Cr2O7 dan 10 ml H2SO4 dengan gelas ukur, lalu dikocok hingga homogen. Didiamkan 30 menit hingga larutan menjadi dingin. Ditambahkan 5 ml H3PO3 85% dan 1 ml indikator difenilamin, lalu ditambahkan akuades hingga volume mencapai 50 ml, dikocok hingga homogen dan dibiarkan mengendap. Sebanyak 5 ml larutan yang jernih diambil dengan pipet dan dimasukkan dalam labu elenmeyer 50 ml, dan ditambah 15 ml akuades. Kemudian dititrasi dengan FeSO4 1N hingga berwarna kehijauan. Langkah tersebut dilakukan pula tanpa sampel tanah sebagai blanko. Pengukuran kadar nitrat (NO3 ). Sebanyak 20 g sampel tanah dimasukkan dalam labu elenmeyer 500 ml yang telah diisi 100 ml larutan ekstraktan. Ditambah 0,7 g campuran Ca(OH)2 dan MgCO3 dan ditutup dengan sumbat karet. Lalu digojok selama 10 menit dengan shaker, dibiarkan beberapa menit dan disaring dengan kertas saring Whatman 42. Dipipet 25 ml ekstrak ke cawan penguap dan dikeringkan di atas penangas air. Setelah dingin ditambahkan 2 ml asam fenol disulfonat dengan pipet dan cawan diputar-putar hingga merata, didiamkan 10 menit. Ditambahkan 15 ml akuades dan diaduk hingga seluruh residu terlarut. Lalu ditambahkan larutan NH4OH dan diaduk hingga berwarna kuning alkali. Dipindahkan ke dalam labu volumetri 100 ml dan ditambahkan akuades hingga tanda. Kemudian absorbansi diukur dengan AAS pada panjang gelombang 410 mμ. Proses di atas lakukan pula terhadap larutan nitrat standard (NO3-: 20 ppm; 250 ppm). + Pengukuran kadar ammonium (NH4 ). Sebanyak 20 g sampel tanah dimasukkan dalam labu elenmeyer 200 ml yang telah diisi 100 ml KCl 10%, lalu digojok selama 30 menit dengan shaker dan disaring dengan kertas saring Whatman 42. Setelah itu labu elenmeyer 100 ml berisi 5 ml asam borat 2% sebagai indikator diletakkan di bawah kondensor. Sebanyak 20 ml larutan dipipetkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 10 ml suspensi magnesium oksida 10% dan dibersihkan dengan akuades. Didistilasi selama 5 menit, hingga hasil distilasi tinggal sekitar 35 ml. Ujung kondensor dicuci dengan akuades, setelah dingin dititrasi dengan H2SO4 0,01 N hingga berwarna merah muda. Langkah tersebut dilakukan pula tanpa sampel tanah sebagai blanko. Pengukuran kadar fosfat (PO43-). Sebanyak 2 g sampel tanah dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml yang telah diisi 2 g pasir kuwarsa. Ditambahkan 6 ml HNO3 pekat, dipanaskan dan digojok pelahan-lahan dalam apparatus digesti elektris pada suhu di bawah 80oC. Setelah gas NO2 menguap sempurna dan dingin, ditambahkan 6 ml HClO4 pekat dan suhu dinaikkan hingga 120oC, serta digojok hingga diperoleh larutan jernih. Didinginkan dan ditambah 1 ml HCl pekat, lalu

dipanaskan 30 menit dan didinginkan lagi. Kemudian leher labu Kjeldahl dicuci dengan air dan disaring ke dalam labu volumetri 100 ml, ditambahkan akuades hingga tanda batas dan digojok pelahan-lahan. Sebanyak 1 ml larutan dipipetkan ke dalam tabung gradasi 20 ml, ditambahkan 5 ml HNO3 2N dan akuades hingga mencapai 15 ml. Ditambahkan 2 ml molibdatvanadat dan akuades hingga 20 ml, serta digojok dan dibiarkan selama 20 menit. Kemudian absorbansi diukur dengan AAS pada panjang gelombang 420 mμ. Proses di atas lakukan pula terhadap larutan fosfat standard (P: 20 ppm; 250 ppm). Analisis data Untuk mengetahui kemungkinan telah terjadinya pencemaran lingkungan (i.e. eutrofikasi) oleh unsur nutrien, maka data dianalisis dengan membandingkan kandungan nutrien dalam sedimen tanah dengan ketentuan dalam Kepmen LH No. Kep51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair dan PP 82/2001 tentang Kriteria Mutu Air berdasarkan Kelas untuk kelas I, yakni air dengan kualitas terbaik. Hal ini dilakukan mengingat peraturan yang secara khusus dibuat untuk menerangkan kandungan nutrien yang diperkenankan dalam tanah sedimen tidak ada. Dari perbandingan tersebut diharapkan dapat diketahui ada tidaknya pencemaran nutrien (eutrofikasi) pada sedimen lingkungan mangrove.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Parameter nutrien yang diamati dalam penelitian ini adalah kandungan bahan organik total (BOT), nitrat + 3(NO3 ), ammonium (NH4 ), fosfat (PO4 ). Parameterparameter di atas, merupakan beberapa parameter yang memiliki karakteristik khas untuk lingkungan mangrove. Data pengamatan selengkapnya tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengukuran karakter fisik-kimia pada kawasan ekosistem mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

Lokasi Wulan Sigrogol Serang Bulak Telukawur Tayu Juwana Pecangakan Pasar Banggi Lasem Bogowonto Cakrayasan Lukulo Cingcingguling Ijo Bengawan Serayu Tritih Motean Muara Dua Rata-rata

Unsur hara/nutrien + NH4 PO4 3 BOT NO3 (mg/100gr) (mg/100gr) (mg/100gr) (%) 8,308 0,354 0,174 4,86 12,355 0,438 0,316 6,68 10,337 0,412 0,223 6,02 15,361 0,671 0,401 8,05 11,738 0,512 0,251 7,36 11,435 0,477 0,203 7,44 13,068 0,414 0,328 7,79 9,194 0,379 0,235 6,07 11,010 0,405 0,308 7,13 13,523 0,425 0,345 7,87 9,986 0,565 0,304 6,26 11,203 0,361 0,340 7,15 11,080 0,354 0,215 6,71 9,160 0,327 0,263 4,73 14,564 0,391 0,409 8,39 11,136 0,459 0,365 6,96 9,766 0,366 0,267 5,73 10,403 0,333 0,240 6,99 10,148 0,396 0,230 6,77 11,429 0,408 0,276 7,06 11,260 0,4224 0,2847 6,80

76 Bahan organik total (BOT) Bahan organik total sering kali diartikan sebagai bahan organik karbon, karena karbon merupakan unsur utama penyusun makhluk hidup. Unsur karbon merupakan kerangka dasar (backbone) semua senyawa yang ada dalam tubuh makhluk hidup. Kandungan bahan organik dalam sedimen tanah mangrove berasal dari produktivitas primer setempat yang sebagian besar disumbangkan oleh tumbuhan mangrove (autochthonous) dan masukan yang terbawa oleh aliran aliran permukaan dari daerah aliran sungai yang bermuara padanya (allochthonous). Oleh karena itu kelebatan vegetasi hutan mangrove maupun hutan-hutan di sepanjang daerah aliran sungai, serta kegiatan antropogenik dapat mempengaruhi kandungan bahan organik total di lingkungan mangrove. Bahan organik total sangat penting dalam menentukan derajat keasaman (pH) tanah sedimen, namun bukan merupakan satu-satunya faktor penentu pH tanah. Menurut Rao (1994) kandungan bahan organik sangat menentukan stabilitas tanah yang mengandung lempung, karena bahan prganik beserta kondisi alami mikroba dapat menyatukan partikel-partikel tanah menjadi suatu agregat. Tekstur tanah sangat mempengaruhi keberhasilan hidup tumbuhan dan mikrobia di habitat. Dalam penelitian ini BOT tertinggi dijumpai di Bulak (15,361%), sedangkan terendah di Wulan (8,308%), adapun rata-ratanya adalah 11,260%. Bahan organik bukan merupakan bahan pencemar sehingga tidak diatur dalam Kepmen LH No. Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair maupun PP 82/2001 tentang Kriteria Mutu Air berdasarkan Kelas. Rendahnya BOT di Wulan kemungkinan disebabkan tanahnya merupakan tanah akresi yang umurnya relatif muda, dengan vegetasi mangrove yang relatif masih muda pula, sehingga akumulasi serasah relatif terbatas. Adapun tingginya BOT di Bulak karena pengambilan sampel tanah dilakukan pada tempat-tempat cekung, tempat mengumpulnya serasah dan air saat laut surut, sehingga memiliki akumulasi bahan organik yang cukup tinggi. Pada lingkungan mangrove yang vegetasinya relatif lebih mapan, namun masih mengalami akresi lumpur, seperti Segara Anakan dan sekitarnya, kadar BOT berada pada kisaran rata-rata, yakni sebesar 10,403% (Tritih), 10,148% (Motean), dan 11,429% (Muara Dua). Penelitian Sudarmadji (2000) di kawasan mangrove Taman Nasional Baluran menunjukkan kadar bahan organik karbon berkisar antara 18,98-36,36% Siklus biogeokimia karbon di lingkungan banyak dibantu oleh makhluk hidup, yang melakukan transformasi kimia dan penyimpanan. Karbon di dalam tanah terdiri dari dua komponen, yaitu karbon organik yang umumnya terletak hingga kedalaman 1 m dari permukaan tanah, serta karbon inorganik. Karbon di dalam tanah jumlahnya 3,3 kali lebih banyak dari pada di atmosfer, sedangkan karbon pada biomassa tumbuhan 4,0 kali lebih banyak dari pada di atmosfer (Lal, 1999). Tanah merupakan tempat penyimpanan utama karbon dan berperan penting dalam pengaturan siklusnya. Namun penyimpanan karbon di atmosfer terus meningkat setiap tahun, kebanyakan dalam bentuk CO2. Kegiatan antropogenik merupakan faktor utama yang menyebabkan perubahan siklus karbon di lingkungan. Penyebab utama peningkatan ini adalah (i) pembakaran bahan bakar fosil, (ii) aktivitas pabrik semen, serta (iii)

deforestasi, penggunaan lahan, dan pengolahan tanah (Subramanian dan Verma, 2000). Faktor lingkungan fisik dan biotik pada ekosistem mangrove dapat mempengaruhi dinamika karbon organik dalam sedimen, misalnya terjadinya sinergi antara periode genangan (fisik) dengan konsumsi detritus oleh invertebrata bentos (biotik) (Lee, 1995; Bouillon dkk., 2003). Kemampuan hutan untuk menyimpan dan mensekuestrasi karbon, menjadi perhatian dunia sehubungan dengan upaya mitigasi efek rumah kaca. Kegiatan manusia dan gangguan alam, seperti konversi hutan ke penggunaan di luar kehutanan, serta degradasi hutan akibat pemanenan berlebih, kebakaran, meledaknya hama dan penyakit, dan lain-lain dapat menyebabkan hutan menjadi sumber CO2. Hal ini terjadi karena produktivitas primer dari fotosintesis dilampaui oleh total respirasi dan oksidasi tumbuhan, tanah dan sisa-sisa bahan organik (Brown, 2002). Dalam skala global, perubahan penutupan hutan akan menaikkan emisi gas CO2 ke atmosfer sehingga menyumbang terjadinya efek rumah kaca (Houghton, 1999; Houghton dan Hackler, 2001). Pembukaan ekosistem mangrove diyakini turut menyumbangkan emisi CO2 dan CH4 ke atmosfer mengingat ekosistem ini kaya akan bahan organik, baik yang terkumpul sebagai autochthonous dari lingkungan mangrove itu sendiri maupun sebagai allochthonous dari kawasan sungai dan laut di sekitarnya, sehingga harus dilakukan dengan manajemen yang tepat. Kadar nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+) Dalam penelitian ini unsur nitrogen yang diamati dalam sedimen hanya NO3- dan NH4+, mengingat hanya keduanya yang dapat diserap langsung tumbuhan dan produsen primer lainnya. Adapun NO2- biasanya hanya terdapat dalam jumlah kecil pada tanah yang teraerasi dengan baik (Schroth dkk., 2003). Nitrogen sangat penting bagi kehidupan, karena menjadi komponen utama dalam (i) klorofil, pigmen hijau produsen primer yang menyerap sinar matahari selama fotosintesis, (ii) asam amino, kerangka dasar protein, dan (iii) material genetik, termasuk asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA). Nitrogen merupakan unsur keempat yang paling banyak dijumpai pada jaringan tubuh makhluk hidup, setelah oksigen, karbon, dan hidrogen (Hauxwell, dkk. 2001). Kebanyakan nutrien penting yang dibutuhkan tumbuhan dan produsen primer lainnya diperoleh dari pelapukan batuan, kecuali nitrogen yang tersedia melimpah sebagai gas dinitrogen (N2), yakni 78% penyusun udara. Nitrogen alami dapat bersumber dari fiksasi oleh bakteri, mineralisasi bahan organik tanah, dan deposisi dari udara, sedangkan sumber nitrogen antropogenik antara lain: pupuk dan limbah peternakan, pembakaran bahan organik atau bahan bakar fosil, dan dekomposisi bahan organik (Vitousek dkk., 1997a, b; Nasholm dkk., 2000; Hauxwell, dkk. 2001). Adapun kehilangan nitrogen di alam dapat disebabkan pelindihan nitrat, volatilisasi, dan denitrifikasi (Schroth dkk., 2003). Kebanyakan tumbuhan tidak dapat menggunakan N2 secara langsung, karena tidak mampu memecahkan ikatan dinitrogen tersebut. Energi kilat dapat mematahkan ikatan N2, serta menghasilkan NO2-, NO3-, dan NH4+. Organisme pemfiksasi nitrogen, sepertti mikorhiza, bakteri bintil akar dan cyanobacteria, dapat mengubah N2 menjadi NH4+, dan selanjutnya dioksidasi

77 oleh bakteri tanah menjadi NO2 dan NO3 , melalui proses nitrifikasi. Terdapat pula proses reduksi NO3 menjadi NO2 , yang hanya terjadi pada kondisi teraerasi dengan baik. Tumbuhan dapat menyerap NO3-, dan + mengubahnya menjadi NH4 sebelum digunakan dalam sintesis protein (Herbert, 1999; Hauxwell, dkk. 2001; Silver dkk., 2001). Faktor utama yang mempengaruhi konsentrasi nitrogen inorganik, terutama NO3- dan NH4+, di perairan pantai adalah masukan nutrien dari daratan/sungai dan kondisi fisika-kimia di permukaan sedimen (sedimen-water interface). Perubahan nutrien ini sangat ditentukan oleh laju sedimentasi, dekomposisi detritus, dan transportasi nutrien dari dan ke badan air oleh infauna. Laju ammonifikasi (pelepasan NH4+ dari + bahan organik), nitrifikasi (oksidasi NH4 menjadi NO3 ) dan denitrifikasi (reduksi NO3 menjadi N2 dan N2O) + dapat diestimasi dari perubahan NO3 dan NH4 di permukaan sedimen (Jensen dkk., 1990). Dalam penelitian ini, kadar NO3- bervariasi antara 0,327 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 0,671 mg/100g (Bulak), dengan rata-rata 0,4224 mg/100g. Kadar NH4+ bervariasi antara 0,174 mg/100g (Wulan) s.d. 0,409 mg/100g (Ijo) dengan rata-rata 0,2847 mg/100g. Sebagai pembanding dalam Baku Mutu Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep-51/MENLH/10/1995 ditetapkan baku mutu untuk NO3- sebesar 20-30 mg/L (200-300 + mg/100mL); sedangkan untuk NH3 (NH4 ) sebesar 1-5 mg/L (10-50 mg/100mL). Adapun dalam Kriteria Mutu Air berdasarkan Kelas menurut PP 82/2001 untuk kelas I, ditetapkan kadar NO3- sebesar 10 mg/L (100 mg/100mL); + sedangkan untuk NH3 (NH4 ) sebesar 0,5 mg/L (5 mg/100mL). Angka hasil penelitian di atas relatif rendah dan tidak terlalu berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Hasil di atas berbeda dengan anggapan umum bahwa kawasan di sekitar lahan pertanian intensif akan cenderung memiliki kandungan unsur-unsur nutrien kimia inorganik, seperti NO3- dan NH4+, yang relatif lebih tinggi karena adanya sumbangan pupuk dari lahan pertanian. Dalam penelitian ini, kawasan mangrove Cingcingguling yang dikelilingi areal pertanian ternyata memiliki kadar NO3-, paling rendah dari pada lokasi lainnya. Sebaliknya pada proses pengambilan data secara berurutan (simultan) di Ijo yang daerah aliran sungainya juga mencakup areal pertanian ternyata kandungan NH4+ paling tinggi. Hal ini kemungkinan dikarenakan jumlah pupuk kimia yang ditebarkan di lahan pertanian dan selanjutnya terbawa ke kawasan mangrove tidak cukup besar, sehingga kadar NO3 dan + NH4 , di kawasan tersebut lebih tergantung pada proses biogeokimia secara umum dari pada sumbangan input nutrien dari lahan pertanian. Meskipun demikian tingginya kadar NO3- di Bulak yang merupakan area pertambakan dibandingkan kawasan lain, kemungkinan disumbangkan oleh kegiatan pemupukan tambak, mengingat tidak adanya sumber antropogenik lain yang cukup besar. Adapun rendahnya kadar NH4+ di Wulan dapat pula disebabkan sedimen tanah akresinya didominasi material lempung. Muatan listrik pada + permukaan jenis tanah ini dapat berikatan dengan NH4 membentuk koloid, sehingga keberadaannya tidak terdeteksi, meskipun pada akhirnya nutrien ini dapat pula dilepaskan kembali (Herbert, 1999).

Kadar fosfat (PO43-) Unsur fosfor yang diteliti hanya senyawa PO43-, mengingat hanya senyawa ini yang berada dalam keadaan tersedia bagi tumbuhan dan produsen primer lainnya. Fosfor merupakan komponen penting dalam DNA, suatu molekul hereditas, ditemukan pula dalam adenosin trifosfat (ATP), suatu molekul yang diperlukan dalam pemindahan dan penyimpanan energi, fosfor juga diperlukan dalam berbagai reaksi enzimatis (Marschner, 1995; Hauxwell dkk. 2001). Hampir semua fosfor alami di dalam tanah berasal dari pelapukan mineral primer, terutama apatite (Mott, 1988). Pengukuran kandungan fosfor di dalam tanah sangat krusial, mengingat sifatnya yang sangat immobil, sehingga pengambilan sampel pada kedalaman yang berbeda dan/atau pada lokasi yang berbeda dapat menghasilkan kandungan fosfor yang jauh berbeda (Schroth dkk., 2003). Untuk itu dalam penelitian ini digunakan teknik pengambilan sampel komposit, dengan mencampur homogen sampel tanah dari beberapa titik. 3Dalam penelitian ini kadar PO4 bervariasi antara 4,73 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 8,39 mg/100g (Ijo) dengan rata-rata 6,80 mg/100g. Dalam Baku Mutu Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep51/MENLH/10/1995 baku mutu untuk PO43- tidak ditetapkan. Adapun dalam Kriteria Mutu Air berdasarkan Kelas menurut PP 82/2001 untuk kelas I ditetapkan kadar PO43- sebesar 0,2 mg/L (2 mg/100mL), sehingga kadar fosfat di lokasi penelitian semuanya berada di atas ambang yang diperkenankan. Kadar PO43- di Cingcingguling merupakan yang terendah, yaitu 4,73 mg/100g. Hal ini kemungkinan disebabkan daerah aliran sungai tersebut sebagian berhulu di Pegunungan Gombong yang merupakan pegunungan karst (gamping), sehingga memiliki sedimen yang kaya kalsium karbonat (CaCO3). Senyawa PO43- dapat berikatan dengan kalsium karbonat, sehingga keberadaannya tidak terukur dalam pengujian di laboaratorium. Bentuk senyawa kompleks ini juga kurang dapat diserap tumbuhan, sehingga unsur fosfor menjadi faktor pembatas pertumbuhan (Mott, 1988; Hauxwell dkk. 2001). Hal yang sama kemungkinan juga terjadi di 3hampir sama Wulan, yang memiliki kadar PO4 rendahnya dengan Cingcingguling, yaitu 4,86 mg/100g. Sebagian kawasan hulu daerah aliran sungai ini adalah Pegunungan Kendeng Utara yang merupakan pegunungan karst pula. Rendahnya kadar PO43- di Wulan dapat pula disebabkan karena sedimennya bersifat lempung (clay). Kawasan karst disusun oleh batuan gamping, yang di sela-selanya terdapat tanah lempung dengan jumlah yang beragam antar lokasi. Menurut Mott (1988) tanah lempung, kalsium, dan aluminium dapat berikatan dengan fosfor. 3Kadar PO4 yang paling tinggi ditemukan di Ijo (8,39 mg/100g), diikuti Bulak (8,05 mg/100g). Ijo merupakan sungai yang melewati lahan pertanian sawah cukup luas, sehingga diperkirakan terdapat masukan pupuk inorganik fosfat dari kawasan tersebut. Adapun Bulak merupakan kawasan pantai yang dikelilingi area tambak cukup luas pada sisi yang mengarah ke laut, serta lahan pertanian sawah pada sisi yang mengarah ke daratan. Limpahan pupuk yang digunakan untuk menyuburkan sawah dan tambak ini kemungkinan menjadi penyebab tingginya kadar fosfat. Secara umum dalam penelitian ini, kadar PO43- berada di atas persyaratan kriteria air Kelas I menurut PP 82/2001, hal ini terjadi karena

78 3adanya suplai PO4 dari laut, sebagaimana diketahui 3bukan merupakan faktor pembatas pada PO4 lingkungan perairan laut, sebaliknya ketersediaannya di laut sangat melimpah.

KESIMPULAN Kadar nutrien pada sedimen tanah mangrove di Jawa Tengah masih berada jauh di bawah kisaran baku mutu limbah cair, khususnya untuk unsur nitrogen, sedangkan kandungan fosfat yang tinggi merupakan konsekuensi dari keberadaan mangrove di lingkungan laut. Kadar bahan organik total bervariasi antara 8,308% (Wulan) s.d. 15,361% (Bulak), adapun rata-ratanya adalah 11,260%. Kadar NO3 bervariasi antara 0,327 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 0,671 mg/100g (Bulak), dengan rata-rata 0,4224 mg/100g. Kadar NH4+ bervariasi antara 0,174 mg/100g (Wulan) s.d. 0,409 mg/100g (Ijo), dengan rata-rata 0,2847 mg/100g. Kadar PO43- bervariasi antara 4,73 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 8,39 mg/100g (Ijo) dengan rata-rata 6,80 mg/100g. Hal ini mengindikasikan belum adanya eutrofikasi pada sedimen tanah di lingkungan mangrove Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae, S., 1986. Mangrove ecosystem general background. In: Training Course on Life History of Selected Species of Flora and Fauna in Mangrove Ecosystems. Bangkok: UNDP/UNESCO Regional Project. APHA. 1969. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. New York: APHA (American Public Health Association). Bouillon, S., F. Dahdouh-Guebas, A.V.V.S. Rao, N. Koedam, dan F. Dehairs. 2003. Sources of organic carbon in mangrove sediments: variability and possible ecological implications. Hydrobiologia 00: 17. (article in press). Brown, S. 2002. Measuring carbon in forests: current status and future challenges. Environmental Pollution 116: 363-372. Bunt, J.S., K.G. Boto, and G. Boto. 1979. A survey method for estimating potential levels of mangrove forest primary production. Marine Biology 52: 123-128. Burdige, D.J. 2001. Dissolved organic matter in Cheaseapeake Bay sediment pore water. Organic Geochemistry 32: 487-505. Clough, B.F. 1992. Primary productivity and growth of mangrove forests. In Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American Geophysical Union. Cole, J.J., B.L. Peirls, N.F. Caraco, and M.L. Pace. 1993. Nitrogen loading of rivers as a human driven process. In: McDonnell, M.J. and S.T.A. Pickett (eds.) Humans as Components of Ecosystems: The Ecology of Subtle Human Effects and Populated Areas. New York: Springer-Verlag. Downing, J.A., M. McClain, R. Twilley, J.M. Melack, J. Elser, N.N. Rabalais, W.M. Lewis, R.E. Turner, J. Corredor, D. Soto, A. YanezArancibia, J.A. Kopaska, and R.W. Howarth. 1999. The impact of accelerating land-use change on the N-Cycle of tropical aquatic ecosystems: Current conditions and projected changes. Biogeochemistry 46: 109-148. Fujimoto, K., A. Imaya, R. Tabuchi, S. Kuramoto, H. Utsugi, and T. Murofushi. 1999. Belowground carbon storage of Micronesian mangrove forests. Ecological Research 14: 409-413. Furukawa, K., E. Wolanski, and H. Mueller. 1997. Currents and sediment transpor in mangrove forests. Estuary and Coastal Shelf Science 44: 301-310. Hauxwell, J., C. Jacoby, T.K. Frazer, and J. Stevely. 2001. Nutriens and Florida’s Coastal Waters: The Links between People, Increased Nutriens, and Changes to Coastal Aquatic Systems. Gainesville FL.: Florida Sea Grant, University of Florida. Herbert, R.A. 1999. Nitrogen cycling in coastal marine ecosystems. FEMS Microbiology Reviews 23: 563-590. Hidayat, A. 1978. Methods of Soil Chemical Analysis. Bogor: Japan International Cooperation Agency (JICA). Houghton, R.A., 1999. The annual net flux of carbon to the atmosphere from changes in land use 1850-1990. Tellus 50B: 298-313.

Houghton, R.A., and J.L. Hackler. 2001. Carbon Flux to the Atmosphere from Land-Use Changes: 1850-1990. Oak Ridge TN: Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory. Howarth, R.W. 1998. An assessment of human influences on fluxes of nitrogen from the terrestrial landscape to the estuaries and continental shelves of the North Atlantic Ocean. Nutrient Cycling in Agroecosystems 52: 213-223. Howarth, R.W., and 15 others. 1996. Regional nitrogen budgets and riverine N and P fluxes for the drainages to the North Atlantic Ocean: Natural and human influences. Biogeochemistry 35: 75-139. Jensen, H.M., E. Lomstein, and J. Sorensen. 1990. Benthic NH4+ and NO3- flux following sedimentation of a spring phytoplankton bloom in Aarhus, Denmark. Marine Ecology 61: 87-96. Jickells, T.D. 1998. Nutrien biogeochemistry of the coastal zone. Science 281: 217-222. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Lal, R. 1999. World soils and the greenhouse effect. Global Climate Change Newsletter, IGBP 37: 4-5. Lallier-Verges, E., B.P. Perrussel, J.R. Disnar, and F. Baltzer. 1998. Relationships between environmental conditions and the diagenetic evolution of organic matter derived from higher plants in a modern mangrove swamp system (Guadeloupe, French West Indies). Organic Geochemistry 29: 1663-1686. Lee, S.Y., 1995. Mangrove outwelling: a review. Hydrobiologia 295: 203212. Levin, L.A., D.F. Boesch, A. Covich, C. Dahm, C. Erseus, K.C. Ewel, R.T. Kneib, A. Moldenke, M.A. Palmer, P. Snelgrove, D. Strayer, and J.M. Weslawski. 2001. The function of marine critical transition zones and the importance of sediment biodiversity. Ecosystems 4: 430-451 Lisitzyn, A.P. 1999. The continental–ocean boundary as a marginal filter in the world oceans. Environment 59:69-103. Lovelock, C. 1993. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of Marine Science. www.aims.gov.au Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Hinger Plants. London: Academic Press. Matsui, N., 1998. Estimated stocks of organic carbon in mangrove roots and sediments in Hinchinbrook Channel, Australia. Mangroves and Salt Marshes 2: 199-204. McNaughton, S.J., 1993. Biodiversity and function of grazing ecosystems. In Schulze, E.D. and H.A. Mooney (eds.). Biodiversity and Ecosystem Function. Berlin: Springer Verlag. Mott, C.J.B. 1988. Surface chemistry of soil particles. In Wild, A. (ed.) Russell’s Soil Conditions and Plant Growth. Harlow: Longman. Nasholm, T., K. Huss-Danell, and P. Hogberg. 2000. Uptake of organic nitrogen in the field by four agriculturally important plant species. Ecology 81: 1155-1161. Newell, S.Y., J.W. Fell, A. Statzell-Tallman, C. Miller, and R. Cefalu. 1984. Carbon and nitrogen dynamics in decomposing leaves of three coastal marine vascular plants of the subtropics. Aquatic Botany 19: 183-192. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (eds.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nixon, S.W, and 15 others. 1996. The fate of nitrogen and phosphorus at the land-sea margin of the North Atlantic Ocean. Biogeochemistry 35: 141-180. Nixon, S.W. 1995. Coastal marine eutrophication: a definition, social causes, and future concerns. Ophelia 41:199-219 Ong, J.E., 1995. The ecology of mangrove conservation and management. Hydrobiologia 295: 343-351. Ong, J.E., W.K. Gong, C.H. Wong, and G. Dhanarajan. 1984. Contribution of aquatic productivity in managed mangrove ecosystem in Malaysia. In Soepadmo, E., A.N. Rao, and D.J. Macintosh (eds.). Proceeding UNESCO: Asian Symposium on Mangrove Environment, Resources, and Management. University of Malaya. Kuala Lumpur, Malaysia: 209-215. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; Kriteria Mutu Air berdasarkan Kelas I. Prawirowardoyo, S., A. Rosmarham, Dj. Shiddieq, M.S. Hidayat, and M. Ma’shum. 1987. Prosedur Analisa Kimia Tanah. Yogyakarta: FMIPA UGM. Rao, N.S. 1994. Mikroorganism Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Rice, D.L. and K.R. Tenore. 1981. Dynamics of carbon and nitrogen during the decomposition of detritus derived from estuarine macrophytes. Estuary and Coastal Shelf Science 13: 681-690. Robertson, A.I.. 1988. Decomposition of mangrove leaf litter in tropical Australia. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 116: 235-247.

79 Schlesinger, W.H. 1991. Biogeochemistry: An Analysis of Global Change. New York: Academic Press. Schroth, G., J. Lehmann, and E. Barrios. 2003. Soil nutrient availability and acidity. In Schroth, G. and F.L. Sinclair. (eds.). Trees, Crops and Soil Fertility. New York: CAB International. Silver, W.L., D.J. Herman, and M.K. Forestone. 2001. Dissimilatory nitrate reduction to ammonium in upland tropical forest soil. Ecology 82: 2410-2416. Smith, S.V. 1984. Phosphorus versus nitrogen limitation in the marine environment. Limnology and Oceanography 29: 1149-1160 Steinke, T.D., A.J. Holland, and Y. Singh. 1993a. Leaching losses during decomposition of mangrove leaf litter. South Africa Journal of Botany 59: 21-25. Steinke, T.D., A. Rajh, and A.J. Holland. 1993b. The feeding behaviour of the red mangrove crab Sesarma meinerti De Man, 1887 (Crustacea: Decapoda: Grapsidae) and its effect on the degradation of mangrove leaf litter. South Africa Journal of Marine Science 13: 151-160. Subramanian, V. and A. Verma. 2000. Energy and the carbon cycle. TERI Information Monitor on Environmental Science (TIMES) 5 (2): 91-103.

Sudarmadji. 2000. Vegetation Structure and Edaphic factors of Mangrove Forest at Baluran National Park, East Java Indonesia. [Dissertation]. Los Banos: University of the Philippines at Los Banos (UPLB). Tan, K.H. 1996. Soil Sampling, Preparation and Analysis. New York: Marcel Dekker, Inc. Twilley, R.R., R.H. Chen, and T. Hargis. 1992. Carbon sinks in mangrove forests and their implications to the carbon budget of tropical coastal ecosystems. Water, Air and Soil Pollution 64: 265-288. Vitousek, P.M., H.A. Mooney, J. Lubchenco, and J.M. Melillo. 1997. Human domination of earth's ecosystems. Science 277: 494-499. Vitousek, P.M., J. Aber, R.W. Howarth, G.E. Likens, P.A. Matson, D.W. Schindler, W.H. Schlesinger, and G.D. Tilman. 1997. Human alteration of the global nitrogen cycle: causes and consequences. Ecological Applications 7: 737-750. Worm, B., H.K. Lotze, and U. Sommer. 2000. Coastal food web structure, carbon storage, and nitrogen retention regulated by consumer pressure and nutrien loading. Limnology and Oceanography 45 (2): 339-349. Wosten, J.H.M., P. de Willigen, N.H. Tri, T.V. Lien, and S.V. Smith. 2003. Nutrien dynamics in mangrove areas of the Red River Estuary in Vietnam. Estuary and Coastal Shelf Science 57: 65-72.

80

Pencemaran Logam Berat Fe, Cd, Cr, dan Pb

ABSTRACT The aims of the research were to find out the heavy metals concentration of Fe, Cd, Cr, and Pb at mangrove environment in northern coast and southern coast of Central Java Province. This research was conducted in July until December 2003, at 20 sites. Laboratory assay was conducted in Central Laboratory of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University (UNS) Surakarta. Soil samples were collected by soil core at + 20 cm in depth at five sites, which definite randomly, at least 10 m in distance between each others. The contents of Fe, Cd, Cr, and Pb were analyzed by using AAS method (Atomic Absorbance Spectrophotometer). The result indicated that the Fe content varied from 42.682 mg/100g (Bulak) to 282.098 mg/100g (Lukulo) with the average of 225.853 mg/100g. The Cd content varied from 0.0662 mg/100g (Tayu) to 0.3270 mg/100g (Bulak) with the average of 0.1215 mg/100g. The Cr content varied from 0.3042 mg/100g (Bengawan) to 3.0808 mg/100g (Lukulo) with the average of 1.0583 mg/100g. The Pb content varied from 0.7026 mg/100g (Cingcingguling) to 2.1304 mg/100g (Serayu) with the average of 1.3885 mg/100g. This result indicated that the content of heavy metals was high enough, but still below the recommended standard quality of sewage. Key words: heavy metals, Fe, Cd, Cr, Pb, mangrove, Central Java.

PENDAHULUAN

Mangrove atau mangal adalah vegetasi yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis dan sub-tropis, didominasi tumbuhan bunga terestrial umumnya berhabitus pohon dan semak, dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut, dengan tanah bersalinitas tinggi dan anaerob (MacNae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Aksornkoae, 1993; Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003). Sebagian besar ekosistem mangrove di Jawa telah mengalami degradasi. Hal ini umumnya disebabkan pembangunan tambak, penebangan hutan, sedimentasi/ reklamasi, dan pencemaran lingkungan (Walsh, 1974; Lewis, 1990; Nybakken, 1993; Primavera, 1993). Salah satu bentuk pencemaran lingkungan di kawasan

mangrove dan pantai adalah pencemaran logam berat, yang akhir-akhir ini menjadi isu hangat. Pencemaran Hg di Teluk Minamata, Jepang (1953), merupakan tonggak awal perhatian dunia terhadap pencemaran logam berat. Kasus terbaru adalah pencemaran As dan Hg di Teluk Buyat, Sulawesi Utara (Polii dkk., 2001; Suhendrayatna, 2001). Menurut US. EPA (US. Environmental Protection Agency) dalam Novotny (1995), terdapat 13 jenis logam berat yang berbahaya bagi makhluk hidup, yaitu: antimon (Sb), arsen (As), berilium (Be), kadmium (Cd), kromium (Cr), tembaga (Cu), timbal (Pb), merkuri (Hg), nikel (Ni), selenium (Se), perak (Ag), stronsium (Sr), dan seng (Zn). Beberapa jenis logam berat merupakan komponen penting dalam ekosistem. Cu dan Zn dibutuhkan bagi kehidupan, namun logam berat lainnya seperti Pb dan Hg tidak diketahui fungsi biokimianya (Pinto dkk., 2003). Logam berat di lingkungan dapat berasal dari dari sumber alami maupun sumber buatan/ aktivitas antropogenik. Logam berat yang menjadi bahan pencemar umumnya berasal dari sumber antropogenik (Adriano, 1986; Bilos dkk., 2001; Pinto dkk., 2003). Sumber alami dapat berupa pelapukan batu-batuan, aktivitas gunung berapi, badai pasir, semburan ombak laut dan partikel-partikel hayati. Adapun sumber antropogenik mencakup limbah pertambangan, industri, pertanian, transportasi, dan limbah domestik. Kontaminasi dari sumber antropogenik terus meningkat karena meningkatnya eksploitasi pertambangan dan industrialisasi (Jones dkk., 2000; Bilos dkk., 2001; Pinto dkk., 2003). Limbah cair dari kawasan pemukiman dan industri merupakan sumber utama pencemaran di perairan, adapun gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran di udara (Adriano, 1986; Storelli dkk., 2001). Limbah ini dapat terbawa jauh dari sumber asalnya (Pinto dkk., 2003). Limbah di udara pada akhirnya akan terdeposisi dari atmosfer, lalu bersama-sama limbah cair dan padat akan terangkut oleh air hujan, sungai dan laut ke lingkungan mangrove dan pantai, serta terendap dan terakumulasi pada sedimen tanah (Kim dkk., 1998; Prange dan Dennison, 2000). Sedimen merupakan material yang tersusun atas detritus, partikel organik dan inorganik, dengan sifat-sifat fisika, kimia dan biologi yang beragam. Sebagian besar logam berat dalam sedimen dapat mengalami perubahan ke bentuk larutan, baik melalui presipitasi sebagai oksida

Publikasi asli: Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2004. Pencemaran Logam Berat Fe, Cd, Cr, dan Pb pada Lingkungan Mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 4 (2): 45-49..

81 atau karbonat, maupun melalui pembentukan campuran padat dengan logam lain (Kim dkk., 1998; Li dkk., 2000). Logam berat dapat terserap biota melalui in-take langsung maupun rantai makanan (Prange dan Dennison, 2000; Pinto dkk., 2003). Biota yang mengakumulasi logam berat antara lain makroalgae, organisme bentos, dan padang lamun (Prange dan Dennison, 2000; Storelli dkk., 2001). Logam berat merupakan bahan pencemar yang berbahaya karena bersifat toksik dan dapat mempengaruhi berbagai aspek ekologi dan biologi. (Dahuri dkk., 1996; Suhendrayatna, 2001). Mekanisme toksisitas logam berat tidak selalu jelas, namun kebanyakan terkait dengan tingkat oksidasinya. Logam berat dapat menyebabkan kerusakan oksidatif, melalui peningkatan konsentrasi oksigen reaktif (radikal bebas) dalam sel, serta penurunan kapasitas antioksidasi sel. Organisme merespon logam berat dengan membentuk berbagai antioksidan, termasuk berbagai jenis enzim dan senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah (Pinto dkk., 2003). Pembuangan limbah logam berat ke lingkungan muara dan pantai mendapat perhatian serius dari para pemerhati lingkungan, karena (i) beracun bagi organisme dan persisten di lingkungan akuatik; (ii) kebanyakan berasal dari sumber antropogenik yang terus meningkat; (iii) informasi mengenai perilaku dan biotoksisitasnya masih terbatas; dan (iv) terjadi akumulasi dan biomagnifikasi pada organisme akuatik (Cohen dkk., 2001). Dari sudut pandang toksikologi, partikulat logam berat yang terbawa udara dapat mempengaruhi kesehatan. Partikel-partikel kecil (θ ≤ 10 mm) yang terhirup saat menghirup udara dapat terserap alveoli paru-paru. Pb, Cd, dan Cr merupakan partikel-partikel logam berat yang banyak terhirup dan mempengaruhi kesehatan masyarakat (Bilos dkk., 2001). Vegetasi mangrove berpotensi mengeliminasi pencemaran logam berat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb pada lingkungan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d. Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20 habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian laboratorium dilakukan di Sub-Lab Kimia, Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Alat dan bahan Preparasi sampel tanah. Alat yang digunakan meliputi: soil core, ember plastik, kantung plastik hitam atau botol polietilen, nampan plastik, kipas angin, timbangan, alu dan lumpang porselen, saringan stainless steel atau nilon berdiameter 0,5 mm dan 2 mm. Pengukuran kadar logam berat. Bahan kimia yang digunakan adalah: hidrogen peroksida 20%, dan asam hidroklorat. Alat yang digunakan adalah botol polipropilen, timbangan analitik, corong, kertas saring Whatman 42, gelas ukur 50 ml, penunjuk waktu, dan perangkat AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometer). Cara kerja Pengukuran bahan pencemar logam berat merujuk pada: Tan (1996), Prawirowardoyo, dkk. (1987), Hidayat (1978) dan APHA (1969). Preparasi sampel tanah. Sampel sedimen tanah diambil dengan soil core di kedalaman + 20 cm dari permukaan sedimen pada lima titik yang ditentukan secara random, dengan jarak sekurang-kurangnya 10 m antara satu dengan lainnya, lalu dicampur dan diaduk secara merata dalam ember plastik. Proporsi sedimen tanah dari kelima titik tersebut relatif sama, dengan hasil akhir sekitar 1-2 kg basah. Di laboratorium, sisa-sisa akar, batu dan material organik dibuang dan disaring dengan saringan berdiameter 2 mm, lalu dilanjutkan dengan saringan berdiameter 0,5 mm. Pengukuran kadar logam berat. Sampel tanah di atas siap untuk dianalisis kandungan logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb dengan AAS. Apabila tanah tidak segera dianalisis maka perlu disimpan dalam plastik hitam atau botol polietilen, udara dalam plastik dikeluarkan, diikat rapat dan dimasukkan dalam lemari pendingin. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil penelitian kadar Fe, Cd, Cr, dan Pb di lingkungan mangrove pantai utara dan selatan Jawa Tengah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb di lingkungan mangrove pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Lokasi Wulan Sigrogol Serang Bulak Telukawur Tayu Juwana Pecangakan Pasar Banggi Lasem Bogowonto Cakrayasan Lukulo Cingcingguling Ijo Bengawan Serayu Tritih Motean Muara Dua Rata-rata

Kadar logam berat (mg/100 gr) Fe Cd Cr Pb 235.000 0.1447 1.1001 1.8268 255.746 0.1228 0.7234 1.5064 217.958 0.1122 0.6687 1.3434 42.682 0.3270 0.7325 2.0854 277.646 0.1155 1.3037 1.0455 232.672 0.0662 1.0333 1.1411 216.196 0.1133 1.3006 1.9393 234.976 0.0780 1.1335 1.7257 139.648 0.1268 1.0576 1.6807 176.396 0.0679 1.3188 1.9168 274.506 0.1245 0.6627 1.2816 277.896 0.1167 0.7811 1.3884 282.098 0.1189 3.0808 1.2085 240.288 0.0847 0.7599 0.7026 210.230 0.0942 0.3498 1.0568 208.602 0.1840 0.3042 0.8937 227.632 0.1021 0.7629 2.1304 253.962 0.1105 1.8383 0.8994 262.074 0.1223 1.2520 1.2254 250.842 0.0976 1.0029 0.7813 225.853 0.1215 1.0583 1.3885

82 Kandungan logam berat Kadar besi (Fe) Kadar Fe bervariasi antara 42,682 mg/100g (Bulak) s.d. 282,098 mg/100g (Lukulo), dengan rata-rata 225,853 mg/100g (Tabel 1.). Sebagai pembanding dalam Baku Mutu Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep51/MENLH/10/1995 ditetapkan baku mutu untuk Fe sebesar 5-10 mg/L (50-100 mg/100 ml). Fe tidak termasuk logam berat berbahaya dalam kriteria US. EPA. Tingginya kadar Fe dapat disebabkan tipe/jenis tanah dan proses biogeokimia di dalamnya. Oleh karena itu, pada lingkungan mangrove, tingginya kadar Fe tidak selalu identik dengan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh proses-proses antropogenik. Pengamatan di pantai selatan menunjukkan tingginya kadar Fe dapat disebabkan tipe tanah pasirnya mengandung bijih besi, misalnya Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, dan Serayu. Muara Serayu merupakan salah satu sumber bijih besi untuk pabrik semen di Cilacap. Kawasan Segara Anakan tidak memiliki tipe tanah berpasir besi dan memiliki kandungan Fe pada kadar di sekitar rata-rata. Hal ini kemungkinan akibat proses biogeokimia di dalamnya. Kadar Fe di atas rata-rata juga terukur di Wulan, Sigrogol, Telukawur, Tayu, dan Pecangakan. Fe memiliki peranan penting pada lingkungan mangrove. Bersama dengan belerang, elemen ini dapat membentuk kompleks pirit (FeS2) yang dapat menurunkan pH tanah. Kondisi asam ini terjadi berdasarkan empat kemungkinan, yaitu (Dent, 1980): • Fe teroksidasi semua dan terbentuk Fe3+ FeS2 + 15/4 O2 + ½ H2O Æ Fe3+ + 2 SO42- + H+ • Pelepasan ion Fe2+ FeS2 + 7/2 O2 + H2O Æ Fe2+ + 2 SO42- + 2 H+ • Fe teroksidasi semua dan terbentuk besi (III) hidroksida FeS2 + 15/4 O2 + 7/2H2O Æ Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4 H+ • Pembentukan jarosit: 15 1 + FeS2 + /4 O2 + 5/2 H2O + /3 K Æ 1 /3 KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3 SO42- + 3 H+ Proses di atas secara langsung maupun tidak dapat mempengaruhi kadar Fe dalam sedimen. Bahan pencemar Cd, Cr, dan Pb Kawasan mangrove merupakan daerah peralihan (ekoton) antara lingkungan darat dan laut, sehingga bahan pencemar dari darat, pantai, maupun laut dapat terakumulasi di kawasan ini dan mempengaruhi kehidupan mangrove. Pb, Cd, dan Cr merupakan jenisjenis logam berat pencemar lingkungan yang banyak dihasilkan dari aktivitas manusia. Sumber utama limbah Pb adalah gas buang kendaraan bermotor dan industri, serta sisa-sisa baterai. Limbah Cr umumnya berasal dari industri perkulitan, sedangkan limbah Cd banyak digunakan dalam industri yang membutuhkan bahan warna, seperti tekstil. Bahan-bahan tersebut sangat berbahaya karena mengganggu metabolisme tubuh, hingga dapat menimbulkan kangker karena menghasilkan radikal bebas yang berlebihan, serta dapat mengganggu sistem syaraf akibat impuls yang ditimbulkan ion-ion logam berat. Hal ini tampak pada kasus pencemaran logam berat di Teluk Minamata, Jepang dan Teluk Buyat, Sulawesi Utara.

Bahan-bahan pencemar tersebut semakin berbahaya karena dapat terakumulasi pada makhluk hidup yang terpapar dan mengalami biomagnifikasi pada tingkatan trofik rantai makanan yang lebih tinggi. Bahan pencemar ini sangat berbahaya bagi manusia karena manusia menempati tingkatan trofik paling tinggi dalam jaringjaring makanan, akibatnya kemungkinan akumulasi logam berat pada tubuh manusia sangat tinggi. Menurut Koyama dkk. (2000), kandungan logam berat yang tinggi pada mamalia dan burung laut, misalnya Cd, dapat diperoleh dari cumi-cumi yang menjadi mangsanya. Cumi-cumi sendiri mendapatkan logam berat dari air dan bahan makanan. Kadar logam berat pada cumi-cumi liar umumnya lebih rendah dari kadar di air laut, namun sama tingginya dengan kadar pada mangsanya. Menurut Rai dkk. (1981), semakin tinggi kandungan logam berat dalam perairan, maka semakin tinggi pula kandungan logam berat yang terakumulasi dalam tubuh biota akuatik. Dalam penelitian ini, kawasan mangrove yang mendapatkan aliran permukaan dari daerah pemukiman padat dan industri umumnya memiliki tingkat pencemaran logam berat lebih tinggi dari pada kawasan mangrove yang mendapatkan aliran permukaan dari daerah aliran sungai yang lebih alami. Meskipun telah jamak diketahui pula bahwa pelapukan bantuan dan aktivitas gunung berapi di hulu sungai merupakan salah satu sumber utama logam berat, di samping kegiatan antropogenik. Menurut Shriadah (1999), variasi tingkat logam berat di lingkungan mangrove secara umum dipengaruhi oleh: (i) kandungan bahan organik; (ii) adanya vegetasi mangrove yang baik; dan (iii) masukan antropogenik. Selanjutnya menurut Luque dkk. (1995), area yang tidak dipengaruhi pasang surut atau sebaliknya terekspos langsung ke laut mengandung bahan pencemar logam berat paling rendah, adapun lapisan sedimen yang lebih dalam mengandung bahan pencemar lebih tinggi. Hal ini boleh jadi karena terjadinya akumulasi logam berat pada lapisan rhizosfer akar. Kadar kadmium (Cd) Kadar Cd bervariasi antara 0,0662 mg/100g (Tayu) s.d. 0,3270 mg/100g (Bulak) dengan rata-rata 0,1215 mg/100g (Tabel 1.). Dalam Baku Mutu Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep-51/MENLH/10/1995 baku mutu untuk Cd tidak ditetapkan. Meskipun tidak ditetapkan ambang batas amannya, Cd merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi hidupan. Pantai Tayu terletak jauh dari kawasan pemukiman padat dan tidak terdapat industri besar yang cukup berarti, sehingga kadar logam berat terukur relatif rendah. Sebaliknya Bulak memiliki sungai-sungai kecil yang menjadi tempat pembuangan limbah beberapa industri rumah tangga dan kawasan pertanian, sehingga kadar logam berat terukur relatif tinggi. Cd merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena dapat mempengaruhi sistem pembuluh darah, serta terakumulasi dalam tubuh, khususnya di hati dan ginjal, dengan membentuk ikatan dengan protein-protein yang ada didalamnya, sehingga pengaruhnya dapat bersifat jangka panjang. Pada kadar rendah logam ini dapat menyebabkan gangguan terhadap paru-paru, emfisema pada hati dan gagal ginjal yang kronis (Suhendrayatna, 2001). Jumlah normal kadar Cd di dalam tanah kurang dari 1 ppm, tetapi di kawasan pertambangan dapat mencapai 1700 ppm

83 (Fairbridge dan Finkl, 1994). Cd lebih mudah diakumulasi oleh tanaman dari pada ion logam berat lainnya seperti Pb (Barchan dkk., 1998). Logam berat ini bersama-sama dengan Pb dan Hg dikenal sebagai tiga jenis logam berat dengan tingkat bahaya paling tinggi terhadap kesehatan manusia (Widle dan Benemann, 1993). Menurut FAO/WHO, konsumsi Cd per minggu yang dapat ditoleransi manusia adalah 400-500 µg per orang atau 7 µg per kg berat badan (Barchan dkk., 1998). Kadar kromium (Cr) Kadar Cr bervariasi antara 0,3042 mg/100g (Bengawan) s.d. 3,0808 (Lukulo), dengan rata-rata 1,0583 mg/100g (Tabel 1.). Sebagai pembanding dalam Baku Mutu Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep51/MENLH/10/1995 ditetapkan baku mutu untuk Cr sebesar 0,1-0,5 mg/L (1-5 mg/100 ml). Bengawan merupakan sungai dengan aliran pendek dan tidak melewati kawasan pemukiman padat atau industri. Sebaliknya Lukulo memiliki daerah aliran sungai cukup luas dan melewati kawasan pemukiman padat dan industri, misalnya kota Kebumen. Cr merupakan logam berbahaya di permukaan bumi dan dijumpai dalam kondisi oksida antara Cr(II) sampai Cr(VI), tetapi hanya Cr(III) dan Cr(VI) yang memiliki kesamaan sifat biologi. Cr(III) merupakan bentuk yang umum dijumpai di alam, bahkan dalam tubuh makhluk hidup Cr selalu bervalensi tiga. Cr(VI) merupakan salah satu materi organik pengoksida tinggi, sehingga dapat memperpendek umur sel dan organel-organel di dalamnya. Sifat racun Cr(III) jauh lebih rendah dibandingkan dengan Cr(VI) (Suhendrayatna, 2001). Pada bahan makanan dan tumbuhan mobilitas Cr relatif rendah (Fairbridge dan Finkl, 1994; Barchan dkk., 1998). Konsumsi harian Cr yang diperkenankan pada manusia adalah di bawah 100 µg. Konsumsi ini kebanyakan berasal dari makanan, sedang dari air dan udara sangat sedikit (Barchan dkk., 1998). Kadar timbal (Pb) Kadar Pb bervariasi antara 0,7026 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 2,1304 mg/100g (Serayu) dengan rata-rata 1,3885 mg/100g (Tabel 1.). Sebagai pembanding dalam Baku Mutu Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep-51/MENLH/10/1995 ditetapkan baku mutu untuk Pb sebesar 0,01-1 mg/L (0,1-10 mg/100 ml). Cingcingguling merupakan sungai yang relatif kecil, alirannya pendek, dan daerah aliran sungainya sempit. Sungai ini juga tidak melewati kawasan pemukiman padat atau kawasan industri, sehingga dalam penelitian ini kadar bahan pencemar Pb paling rendah. Sebaliknya Serayu merupakan sungai yang besar, panjang dan daerah aliran sungainya luas. Sungai ini juga menjadi tempat pembuangan limbah dari kawasan pemukiman padat dan industri, termasuk limbah dari kota Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, dan Wonosobo yang padat kendaraan bermotor. Hal ini menyebabkan kadar Pb pada muara Serayu sangat tinggi. Menurut Shriadah (1999), konsentrasi Pb yang tinggi dapat disumbangkan oleh tumpahan minyak, buangan limbah kendaraan bermotor, baterai dan terutama pembakaran minyak yang mengandung Pb untuk meningkatkan angka oktannya.

Mengingat penggunaannya yang luas dalam dunia industri dan perdagangan, siklus biogeokimia Pb lebih rumit dari pada kebanyakan logam berat lain. Produksi limbah Pb sekitar 20 kali lebih tinggi dibandingkan laju peruraiannya, sehingga sejumlah besar Pb antropogenik terakumulasi di biosfer, dan menjadi pencemar utama (Cao dkk., 2003). Sumber utama limbah Pb adalah komponen gugus alkil-Pb yang digunakan sebagai bahan tambahan bensin, untuk menaikkan nilai oktan agar mudah dibakar. Umumnya Pb masuk ke tubuh melalui makanan dan minuman (Widle dan Benemann, 1993). Pb beracun terhadap seluruh aspek kehidupan, seperti sistem saraf, hemetologis, hemetotoksis, dan ginjal. Menurut WHO toleransi konsumsi mingguan Pb pada orang dewasa adalah 50 µg/kg berat badan, sedang pada bayi atau anak 25 µg/kg berat badan (Barchan dkk., 1998). Mobilitas Pb di tanah dan tumbuhan cenderung lambat, kadar normal pada tumbuhan berkisar antara 0,5-3 ppm (Fairbridge dan Finkl, 1994). Pb yang sangat beracun ini dapat ditemukan pada setiap benda mati maupun sistem biologi. Dalam ekosistem akuatik, Pb terutama dihasilkan dari aktivitas antropogenik. Pb mencapai kawasan mangrove melalui aliran sungai, deposisi dari atmosfer, pelindihan tanah, dan rembesan air tanah. Ketersediaan oksigen di badan air dan reaktivitas antara Pb dengan partikel-partikel oksida yang tinggi menyebabkan terjadinya absorbsi dan akumulasi Pb dari badan air ke dalam sedimen tanah secara terus-menerus. Pb mengalami remobilisasi pada sediment-water interface, saat pelarutan partikel-partikel redoks yang sensitif di badan air. Pb dapat diserap dari air anoksik melalui presipitasi dengan sulfida atau FeS, tetapi penyerapan Pb tidak dapat terjadi selama aktivitas produk ionik melampaui kelarutan PbS (Taillefert dkk., 2000). Fitoremediasi Pencemaran logam berat dapat diatasi dengan perlakuan kimia, namun proses remediasi ini seringkali sangat mahal dan tidak berlaku spesifik untuk logam berat tertentu, karena adanya kompetisi antar ion. Beberapa jenis perlakuan kimia tidak dapat diterapkan secara murah dalam skala luas. Di sisi lain, perlakuan biologi berpotensi untuk mengambil logam berat beracun secara sangat selektif dan fleksibel, karena dapat digunakan secara in situ atau ex situ tergantung bentuk bioreaktornya. Kebanyakan proses ini menggunakan mikroorganisme yang secara alamiah berperan penting dalam siklus biogeokimia logam berat tersebut (Lloyd dan Lovley, 2001). Ekosistem mangrove merupakan barier biogeokimia terhadap bahan pencemar logam berat dalam sedimen tanah. Tumbuhan mangrove sebagaimana beberapa jenis bakteri dapat bertindak sebagai pengeliminasi logam berat. Peran ini pada tumbuhan dikenal sebagai fitoremediasi, sedangkan pada bakteri dikenal sebagai bioremediasi. Tumbuhan dapat mengeliminasi logam berat melalui beberapa cara, seperti (i) fitostabilisasi: tumbuhan menstabilkan limbah di dalam tanah; (ii) fitostimulasi: akar tanaman menstimulasi penghancuran limbah dengan bantuan bakteri rhizosfer; (iii) fitodegradasi: tanaman mendegradasi limbah; (iv) fitoekstraksi: jaringan tanaman, terutama daun mengakumulasi limbah; (v) fitovolatilisasi: limbah diubah menjadi senyawa yang mudah menguap; serta (vi)

84 rhizofiltrasi: akar menyerap limbah dari air (Kompas, 31/08/2004). Tumbuhan mangrove dapat menyerap logam berat dan menyimpannya dalam jaringan tubuh, seperti daun, batang dan akar, sehingga dapat mengurangi tingkat pencemaran di tanah sedimen dan air. Namun berbeda dengan bakteri yang dapat mengubah tingkat oksidasi dan ordinasi logam berat menjadi kurang berbahaya, pada fitoremediasi sebagian logam berat yang diserap tetap dalam kondisi membahayakan manusia, sehingga kayu atau panenan lain dari tumbuhan tersebut harus diperlakukan secara khusus karena tetap mengandung zat beracun, meskipun tingkat peracunan ini umumnya terbatas karena logam berat yang tertahan di lapisan akar umumnya tidak berada dalam kondisi dapat diserap makhluk hidup. Tumbuhan mangrove mampu mengalirkan oksigen melalui akar ke dalam sedimen tanah untuk mengatasi kondisi anaerob pada sedimen tersebut, kemudian dengan bantuan bakteri tertentu menghasilkan lapisan rhizosfer yang mengandung oksigen dan mampu memfiksasi logam berat dalam bentuk nonbioavailable. Di samping itu, sistem perakaran tumbuhan mangrove yang besar dan luas dapat menahan dan memantapkan sedimen tanah, sehingga mencegah tersebarnya bahan pencemar ke area yang lebih luas dan memungkinkan remobilisasi bahan pencemar secara fisik. Terserap dan tertahannya logam berat oleh lapisan rhizosfer di sekitar akar menyebabkan terjadinya penurunan tajam konsentrasi logam berat pada permukaan atas lapisan sedimen dan mencegah perpindahan ke perairan pantai disekitarnya. Logam berat di lapisan rhizosfer ini umumnya dalam bentuk kimia yang sulit diserap akar tumbuhan (Lacerda dkk., 1993). Proses remediasi terjadi karena tumbuhan dapat melepaskan senyawa kelat, seperti protein dan glukosida, yang berfungsi mengikat logam dan dikumpulkan di jaringan tubuh. Sistem fitoremediasi berbiaya murah, efektif, dan dapat dikerjakan secara in situ, tetapi memerlukan waktu lama dan pemeliharaan terhadap tumbuhan yang digunakan (Stomp et al., 1993, Schnoor dkk., 1995; Jones dkk., 2000). Kemajuan pemahaman pengaruh logam berat terhadap makhluk hidup dan potensi untuk mengatur aktivitasnya menggunakan biologi molekuler, membuka cakrawala pengembangan proses bioremediasi logam berat yang lebih baru atau diperkaya (Lloyd dan Lovley, 2001). Perpaduan proses fitoremediasi yang memiliki keterbatasan-keterbatasan di atas dengan proses bioremediasi yang diperkaya di lapisan rhizosfer tanah, di masa depan diharapkan dapat menjadi sarana pengeliminasi logam berat di lingkungan secara efektif dan efisien.

KESIMPULAN Kadar Fe pada lingkungan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah bervariasi antara 42,682 mg/100g (Bulak) s.d. 282,098 mg/100g (Lukulo), dengan rata-rata 225,853 mg/100g. Kadar Cd bervariasi antara 0,0662 mg/100g (Tayu) s.d. 0,3270 mg/100g (Bulak) dengan rata-rata 0,1215 mg/100g. Kadar Cr bervariasi antara 0,3042 mg/100g (Bengawan) s.d. 3,0808 (Lukulo), dengan rata-rata 1,0583 mg/100g. Kadar Pb

bervariasi 0,7026 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 2,1304 mg/100g (Serayu) dengan rata-rata 1,3885 mg/100g. Kadar tersebut relatif tinggi, namun masih pada kisaran baku mutu yang diperkenankan.

DAFTAR PUSTAKA Adriano, D.C., 1986. Trace Element in the Terrestrial Environment. New York: Springer. Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. APHA. 1969. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. New York: APHA (American Public Health Association). Barchan, V.S.H., E.F. Kovnatsky, and M.S. Smetannikova. 1998. Water, Air, and Soil Pollution 103: 173-195. Bilos, C., J.C. Colombo, C.N. Skorupka, and M.J. Rodriguez-Presa. 2001. Sources, distribution and variability of airborne trace metals in La Plata City area, Argentina. Environmental Pollution 111: 149-158 Cao X, L.Q. Ma, M. Chen, D.W. Hardison, W.G. Harris. 2003. Lead transformation and distribution in the soils of shooting ranges in Florida, USA. The Science of the Total Environment 307: 179-189. Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer Verlag. Cohen, T., S.S. Que-Hee, and R.F. Ambrose. 2001. Trace metals in fish and invertebrates of three California Coastal Wedlands. Marine Pollution Bulletin 42 (3): 224-232. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dent, D.L 1980. Acid sulphate soils: morphology and prediction. Journal of Soil Science 37: 97-99. Fairbridge, R.W. and C.W. Finkl Jr. 1994. The Encyclopedia of Soil Science Part 1. New York: Dowden, Hutchinson and Ross Inc. Hidayat, A. 1978. Methods of Soil Chemical Analysis. Bogor: Japan International Cooperation Agency (JICA). Jones, G.B., P. Mercurio, and F. Olivier. 2000. Zinc in Fish, Crabs, Oysters, and Mangrove Flora and Fauna from Cleveland Bay. Marine Pollution Bulletin 41 (7-12): 345-352. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Kim, K.-W., J.-H. Myung, J.S. Ahn, and H.-T. Chon. 1998. Heavy metal contamination in dusts and stream sediments in the Taejon area, Korea. Journal of Geochemical Exploration 64: 409–419. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kompas, 31/08/2004. Cara Alternatif untuk Mengolah Limbah Padat yang Mengandung Merkuri dan Arsen; Merujuk Kasus Buyat. Koyama, J., N. Nanamori, and S. Segawa. 2000. Bioaccumulation of waterborne and dietary cadmium by oval squid, Sepioteuthis lessoniana, and its distribution among organs. Marine Pollution Bulletin 40 (11): 961-967. Lacerda, L.D., C.E. Carvalho, K.F. Tanizaki, A.R.C. Ovalle, and C.E. Rezende. 1993. The biogeochemistry and trace metals distribution of mangrove rhizospheres. Biotropica 25: 252-257. Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler, J.A. and M.E. Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Li, X, Z. Shen, O.W.H. Wai, and Y. Li. 2000. Chemical partitioning of heavy metal contaminants in sediments of the Pearl River Estuary. Chemical Speciation and Bioavailability 12 (1): 17-25. Lloyd, J.R. and D.R. Lovley. 2001. Microbial detoxification of metals and radionuclides. Current Opinion in Biotechnology 12: 248–253. Luque, C.J., E.M. Castellanos, J.M. Castillo, M. Gonzalez, M.C. Gonzalez-Vilches, and M.E. Figueroa. 1995. Distribucion de metales pesados en sedimentos de las Marismas del Odiel (Huelva, SO. Espana). Cuaternario y Geomorfología 12 (3-4): 77-85. MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology 6: 73-270. Novotny, V. 1995. Diffuse sources of pollution by toxic metals and impact on receiving waters. In Allan R., U. Forstner, and W. Salmons (ed.). Heavy Metals. Berlin: Springer. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd edition. New York: Harper Collins College Publishers.

85 Pinto, E., T.C.S. Sigaud-Kutner, M.A.S. Leitao, O.K. Okamoto, D. Morse, and P. Colepicolo. 2003. Review: Heavy metal–induced oxidative stress in algae. Journal of Phycology 39: 1008–1018. Polii, B., L.A.J. Waworuntu, V.A. Kumurur, M.T. Lasut, dan H. Simanjuntak. 2001. Status pencemaran logam & sianida di perairan Teluk Buyat dan sekitarnya, Propinsi Sulawesi Utara, tahun 1999. Ekoton 1 (1): 16-23. Prange, J.A. and W.C. Dennison. 2000. Physiological responses of five seagrass species to trace metals. Marine Pollution Bulletin 41 (7-12): 327-336. Prawirowardoyo, S., A. Rosmarham, Dj. Shiddieq, M.S. Hidayat, and M. Ma’shum. 1987. Prosedur Analisa Kimia Tanah. Yogyakarta: FMIPA UGM. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. reviews in fisheries. Science 1 (2): 151-201 Rai, L.L., J.P. Gaur and H.D. Kumar, 1981. Phycology and heavy metal pollution. In Biological Review of The Phycology Society. London: Cambridge University Press. Schnoor, J.L., L.A. Licht, S.C. McCutcheon, N.L. Wolfe, and L.H. Carreira. 1995. Phytoremediation of organic and nutrient contaminants. Environmental Science and Technology 29: 318A– 323A. Shriadah, M.M.A. 1999. Heavy metals in mangrove sediments of the United Arab Emirates shoreline (Arabian Gulf). Water, Air, and Soil Pollution 116: 523-534, 1999.

SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Stomp, A.M., K.H. Han, and M.P. Gordon. 1993. Genetic improvement of tree species for remediation of hazardous wastes. In Vitro Cell. Development Biology 29P: 227–232. Storelli, M.M., A. Storelli, and G.O. Marcotrigiano. 2001. Heavy metals in the aquatic environment of the Southern Andriatic Sea, Italy; Macroalgae, sediments and benthic species. Environment International 26: 505-509. Suhendrayatna. 2001. Bioremoval logam berat dengan menggunakan mikroorganisme: suatu kajian kepustakaan. Seminar on-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21. Sinergy Forum - PPI Tokyo Institute of Technology, 1-14 Februari 2001 Taillefert, M., C.P. Lienemann, J.F. Gaillard, and D. Perret. 2000. Speciation, reactivity, and cycling of Fe and Pb in a meromictic lake. Geochimica et Cosmochimica Acta 64 (2): 169–183. Tan, K.H. 1996. Soil Sampling, Preparation and Analysis. New York: Marcel Dekker, Inc. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A review. In Reinhold, R. J. and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press. Widle, E.W. and J.R. Benemann. 1993. Biotechnology Advanced 11: 781-812.

86

Pemanfaatan Langsung, Penggunaan Lahan, dan Restorasi

ABSTRACT The aims of the research were to find out (i) the direct exploitation in the mangrove ecosystem, (ii) the land use in its surrounding, and (iii) the restoration activities in the mangrove ecosystem in northern coast and southern coast of Central Java Province. This was descriptive research that was done qualitatively, in July until December 2003, at 20 sites of mangrove habitat. The data was collected in field surveys, indepth interview to local people and/or local government, and examination of topographic maps of Java (1963-1965) and digital satellite image of Landsat 7 TM (July-September 2001). The result indicated that the direct exploitation in the mangrove ecosystem included fishery, forestry, food stuff, cattle woof, medicinal stuff, industrial material, and also tourism and education. The land use around mangrove ecosystem included fishery/embankment, agriculture, and the area of developing and building. The anthropogenic activities had been degraded mangrove ecosystem, it was called for restoration. The mangrove restoration had been done success in Pasar Banggi, but it failed in Cakrayasan and Lukulo. Key words: direct use, land use, mangrove ecosystem, Central Java Province.

PENDAHULUAN Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting. Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan tekanan badai, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran anakan berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta pembentuk daratan. Fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove meliputi kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap huma, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat, dan bahan pewarna, serta memiliki fungsi sosial-budaya sebagai areal konservasi,

pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia, sangat cepat dan dramatis. Ancaman utama kelestarian ekosistem mangrove adalah kegiatan manusia, seperti pembuatan tambak (ikan dan garam), penebangan hutan, dan pencemaran lingkungan. Di samping itu terdapat pula ancaman lain seperti reklamasi dan sedimentasi, pertambangan dan sebab-sebab alam seperti badai. Restorasi hutan mangrove mendapat perhatian secara luas mengingat tingginya nilai sosialekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi berpotensi besar menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002). Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan menjadi pemanfaatan ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produkproduk yang dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial ekonomi dan budaya). Secara tradisional, masyarakat setempat menggunakan mangrove untuk memenuhi berbagai keperluan secara lestari, tetapi meningkatnya jumlah penduduk dapat menyebabkan terjadinya tekanan yang tidak terbaharukan pada sumber daya ini. Referensi tertua mengenai pemanfaatan tumbuhan mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni penggunaan bibit (seedling) Rhizophora sebagai sumber pangan, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua untuk kayu bakar, tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman yang memiliki efek afrodisiak bagi lelaki dan pengasihan bagi perempuan (Bandaranayake, 1998). Ekosistem mangrove di Jawa Tengah memiliki bentuk yang beragam. Pantai utara berbatasan dengan Laut Jawa yang hempasan gelombangnya relatif kecil. Sebaliknya pantai selatan berbatasan langsung dengan Laut Selatan (Samudera Hindia) yang kondisi gelombangnya sangat besar. Hal ini menyebabkan penampakan fisiografi dan fisiognomi vegetasi mangrove di kedua kawasan tersebut berbeda. Di pantai utara, sedimen dari sungai dan laut terendapkan pada lokasilokai tertentu yang terlindung dan membentuk tidal flat atau mud flat (dataran lumpur pasang surut). Di pantai selatan sedimen yang terbawa sungai dan laut mengendap di muara sungai membentuk tanggul dan

Publikasi asli: Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Biodiversitas 7 (3): 282-291.

87 gumuk pasir (sand dunes) yang menghambat masuknya air sungai ke laut, sehingga terbentuk laguna. Di pantai utara mangrove tidak hanya tumbuh di muara sungai, namun juga pada kawasan tidal flat, sedangkan di pantai selatan mangrove hanya tumbuh pada laguna di muara sungai, termasuk laguna Segara Anakan, Cilacap, kawasan mangrove terluas di Jawa (Steenis, 1958; 1965). Keragaman bentuk fisiografi pantai ini mempengaruhi kultur masyarakat termasuk dalam menyikapi kondisi ekosistem mangrove. Perubahan fisik di dalam hutan mangrove seperti pengeringan, pembangunan kanalkanal air dan pemakaian pupuk dalam pengelolaan tambak, menyebabkan perubahan habitat mangrove (Tanaka, 1992), sehingga komposisi dan struktur vegetasi hutan ini dapat berubah-ubah (Odum, 1971). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (i) jenisjenis pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove, (ii) jenis-jenis penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove, serta (iii) kerusakan dan upaya restorasi ekosistem mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah.

BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20 habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di tepi pantai (marine environment) dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke-18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai (riverine environment). Tabulasi data dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Cara kerja Dalam penelitian ini, batas terluar ekosistem mangrove adalah jarak 100 m ke arah luar dari titik terluar habitat yang masih ditumbuhi satu atau lebih tumbuhan mangrove mayor (dbh > 10 cm). Seluruh lahan yang terletak di dalam garis batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di dalam ekosistem mangrove; sedangkan lahan yang terletak di luar garis batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di luar atau di sekitar ekosistem mangrove. Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove adalah pemanfaatan yang dilakukan oleh penduduk setempat atau masyarakat lain secara langsung di dalam ekosistem mangrove, baik dengan tetap mempertahankan kondisi aslinya atau dengan mengubahnya dalam bentuk baru. Sedangkan penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove adalah bentuk-bentuk konversi lahan alami ke bentuk antropogenik di luar batas ekosistem mangrove.

Kegiatan koleksi data dalam penelitian ini mencakup pengamatan (survei) lapangan, wawancara (in-depth interview), serta kajian peta topografi dan citra satelit. Alat dan bahan yang digunakan meliputi: daftar pertanyaan, alat perekam audio dan video, kamera, dan alat tulis. Pengamatan langsung dilakukan dengan menjelajahi seluruh area, baik dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan bermotor dan perahu. Wawancara dilakukan dengan sekurang-kurangnya 10 orang penduduk dan/atau aparat pemerintah setempat pada setiap lokasi. Di samping itu dilakukan pula kajian pustaka terhadap peta topografi tahun 1963-1965 (US. Army Map Services, 1963-1965) dan citra satelit Landsat 7 TM periode Juli-September 2001. Data hasil penelitian ditabulasikan dalam satu kesatuan dan dipaparkan secara dekriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove Nilai ekonomi kawasan mangrove yang muncul sebagai akibat dari peran ekologi dan produk panennya sering diabaikan sehingga kawasan ini banyak diubah menjadi kawasan pertanian, pertambakan ikan, tambak garam, kehutanan, dan infrastruktur (Ronnback, 1999). Dalam penelitian ini, tidak ada satupun dari ke-20 lokasi yang diteliti telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, sehingga aktivitas manusia di dalamnya relatif tinggi. Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove, baik dengan mengubah area tersebut maupun tidak mencakup tambak ikan/udang, pemasangan jaring apung (karamba), tempat penangkapan langsung, sumber kayu bakar dan arang, sumber kayu bangunan, sumber bahan pangan, pakan ternak, bahan obat, bahan baku industri, serta kepentingan sosial-budaya berupa pariwisata dan pendidikan (Tabel 1). Perikanan Perikanan merupakan sumber daya ekonomi paling utama di kawasan mangrove. Di Wulan dan Segara Anakan, sebagian vegetasi mangrove ditebang untuk tambak ikan/udang. Hampir semua tambak tersebut menggunakan sistem tambak intensif, hampir tidak ada yang melakukannya dengan sistem empang parit (tambak tumpang sari). Pada tambak intensif, semua tumbuhan mangrove dibersihkan, tumbuhan mangrove hanya disisakan di tepian tambak, khususnya yang berbatasan dengan sungai untuk mencegah abrasi, sedangkan pada sistem empang parit luasan tambak dan luasan vegetasi mangrove yang disisakan relatif sama (Hartina, 1996; Anonim, 1997), sehingga tetap memungkinkan tumbuhnya vegetasi mangrove. Sama halnya dengan tambak, jaring apung/karamba juga dikembangkan secara luas di kedua lokasi tersebut. Jaring apung ini sekaligus digunakan untuk menangkap anakan biota laut yang menggunakan lingkungan mangrove untuk berkembangbiak, seperti udang dan ikan bandeng, sehingga dalam sudut pandang konservasi jaring apung dapat mengganggu suplai bibit ke perairan laut demersal di tepi pantai. Perikanan tangkap merupakan produk mangrove yang bernilai ekonomi paling tinggi (Hamilton dkk., 1989). Perikanan tangkap juga dilakukan di dalam kawasan mangrove, khususnya pada kawasan yang memiliki perairan luas

88 seperti Wulan dan Segara Anakan. Di tempat-tempat lain juga terjadi penangkapan langsung, tetapi jumlahnya relatif terbatas, mengingat terbatasnya luasan ekosistem mangrove. Perikanan tangkap langsung di kawasan mangrove yang memberi dampak langsung terhadap ekonomi masyarakat secara luas terjadi di Segara Anakan, jenis-jenis yang ditangkap beragam dari udang, ikan, kerang, hingga kepiting. Hasil tangkapan ini banyak dijual di pasar-pasar kota Cilacap. Di samping itu, jenisjenis ini juga menjadi sumber protein utama masyarakat Kampung Laut yang tinggal di dalam kawasan tersebut. Ikan yang menggunakan mangrove sebagai habitat tetap relatif terbatas, namun sejumlah besar ikan dan spesies laut menggunakan mangrove sebagai tempat berkembangbiak dan membesarkan anak. Ikan-ikan ini banyak ditangkap nelayan di tepian pantai maupun di lepas pantai dengan nilai ekonomi tinggi. Mangrove merupakan area pembibitan yang penting bagi udang dan kepiting komersial. Di selat Malaka, sekitar 49% ikan demersal, serta di keseluruhan Asia Tenggara sekitar 30% ikan dan hampir 100% udang kehidupannya secara langsung terkait dengan lingkungan mangrove. Kepiting mangrove merupakan salah satu produk ekonomi terpenting lingkungan mangrove, termasuk Scylla serrata

yang berharga mahal. Mangrove juga menjadi habitat sejumlah besar spesies kerang, karena tersedianya cukup bahan organik yang diperlukan hewan penyaring ini (Ronnback, 1999), misalnya kerang thokthok (Gelonia erosa) yang banyak dipanen masyarakat Kampung Laut. Keterkaitan mangrove dengan produktivitas perikanan telah banyak dilaporkan (e.g. Primavera, 1995). Kawasan mangrove sangat diperlukan untuk perikanan pantai di daerah tropik. Habitat ini merupakan tempat persembunyian utama dan tempat mencari makan berbagai ikan dan kerang komersial yang penting. Pembabatan hutan mangrove, dapat menyebabkan hancurnya perikanan pantai secara permanen, sehingga terdapat perhatian besar untuk membentuk hutan mangrove (Bashan dkk., 1998). Pembabatan ekosistem mangrove selalu diikuti penurunan hasil tangkapan ikan dan udang pada perairan pantai di sekitarnya (Martosubroto dan Naamin, 1977), termasuk pembabatan mangrove untuk pertambakan. Oleh karena itu perlu adanya manajemen yang terintegrasi antara pengelola hutan mangrove dan perikanan, sehingga terbuka kesempatan untuk melakukan budidaya tambak secara berkelanjutan (Kairo dkk., 2001).

Tabel 1. Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di sekitar (di luar tegakan) ekosistem mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

Industri besar

Jalan negara/ prop.

Kecil/ Dermaga ikan & TPI

Besar

Urban

Rural

Pastoral

Tegalan

Sawah

Penggunaan lahan di sekitar/di luar ekosistem mangrove Pertam Pertanian Pengembangan/ Bangunan bakan Pemukiman Pelabuhan

Garam

Pendidikan

Pariwisata

Bahan industri ****)

Bahan obat

Pakan ternak ***)

Sosial

Bahan pangan **)

Kayu bangunan

Kayu bakar & arang

Tangkap langsung

Jaring apung

Tambak

Lokasi

Kayu

Udang/ ikan

Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove Perikanan

9 9 9 9 9 9 1) • • • 9 9 • 9 • 9 • 9 Wulan • • • • • 9 • 9 • 9 • Sigrogol • • 9 • • 9 1) • • • • • • • • • • 9 • 9 • 9 • Serang • • 9 9 • 9 1) • • • • • • • • • • 9 9 9 • • 9 • Bulak • • • • • • • • • • • • • • • 9 9 • • Telukawur • • • • • • • • • • • • • 9 • • • • 9 • • 9 9 • Tayu • • • • • • • 9 1) • • • • • • 9 • 9 9 • • 9 9 Juwana • • 9 • • • • • • • • • • 9 • • 9 9 • 9 • 9 9 • 9 9 9 1) • • • Pecangakan • • • • • • • 9 9 9 9 • 9 9 • Pasar Banggi • • 9 9 9 9 1) 9 • • • • • 9 • 9 9 • 9 • • 9 9 • Lasem • • 9 • • • • • • • • • • 9 9 • 9 9 • • 9 9 9 • 9 9 • Bogowonto • • • • • • • • 9 9 • • 9 • • 9 9 9 • Cakrayasan • • • • • • • • • • • 9 • • 9 • • 9 9 9 • Lukulo • • • • • • • • • • • • 9 • • 9 • Cingcingguling • • • • • • • • • • 9 • • • • • • 9 9 • • 9 • 9 • 9 9 • Ijo • • 9 2) 9 • • • • • • • 9 • 9 • Bengawan • • • • • • • • • • • • • 9 9 • • • 9 • 9 1) • 9 • 9 9 • Serayu • • • 9 9 • • • • • • • • 9 9 • 9 • 9 9 9 9 Tritih • • 9 9 9 9 3) • • 9 2) 9 • • 9 9 9 9 9 9 9 3) • 9 9 3) 9 9 9 • • 9 • Motean • • • • • • 9 9 • • 9 • 9 9 9 9 9 9 3) • 9 9 3) 9 Muara Dua • • • • • • Keterangan: 9 = hadir, • = tidak hadir *) Sumber: pengamatan (survei) lapangan, wawancara (in-depth interview), serta kajian peta topografi dan citra satelit. **) Bahan pangan dari tumbuhan yang kadang-kadang masih dijual di pasar: 1) buah Avicennia, 2) buah Nypa fruticans, 3) berbagai jenis tetapi tidak dijual di pasar, seperti buah Nypa fruticans, buah Sonneratia, propagul Rhizophora. ***) Pakan ternak umumnya mencakup: daun/ranting Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, dan rumput-rumputan (Gramineae). ****) Jenis bahan baku industri: 1) pasir bijih besi; 2) lempung campuran semen; 3) kepala shuttlecock dari pneumatofora Sonneratia.

89 Kayu Kawasan mangrove merupakan sumber kayu yang penting bagi masyarakat pesisir. Penebangan kayu ditujukan untuk bahan baku pembuatan arang, kayu bakar, dan bahan bangunan. Penebangan pohon untuk pembuatan arang hanya dilakukan di Segara Anakan, namun penebangan untuk tujuan kayu bakar lebih luas cakupan lokasinya. Sedangkan penggunaan kayu mangrove untuk bangunan rumah dalam jumlah besar juga hanya ditemukan di Segara Anakan, meskipun dalam jumlah terbatas juga dilakukan di Wulan, Pecangakan dan Pasar Banggi. Jenis pohon yang ditebang untuk pembuatan arang umumnya Rhizophora spp. karena memiliki kalori yang cukup tinggi, sedangkan untuk kayu bakar hampir semua pohon digunakan. Adapun untuk bahan bangunan, selain digunakan Rhizophora spp., digunakan pula Sonneratia spp. dan Bruguiera spp., sedangkan daun N. fruticans untuk atap rumah masih dijumpai di Wulan. Pembabatan pepohonan merupakan penyumbang utama kerusakan ekosistem mangrove di dalam kawasan hutan, sebagaimana kawasan hutan mangrove Segara Anakan. Penebangan hutan hingga tingkat yang tidak memungkinkan penyembuhan secara alami merupakan ancaman serius ekosistem mangrove (Hasmonel dkk., 2000). Pembabatan hutan mangrove menyebabkan abrasi di Bulak dan Telukawur, hingga menghapus beberapa kawasan dari peta. Sebaliknya pengelolaan hutan mangrove yang baik di sekitar Pasar Banggi menyebabkan kawasan tersebut aman dari abrasi dan badai. Badai tsunami merupakan salah satu bencana alam paling merusak di kawasan pantai. Bahan pangan Ekosistem mangrove sebagai sumber protein hewani telah dikenal luas sejak lama, tetapi sebagai sumber protein dan bahan makanan nabati relatif belum banyak dikenal. Dalam penelitian ini, banyak lokasi yang masyarakatnya memanfaatkan tumbuhan mangrove untuk bahan makanan, namun kuantitas dan kualitasnya relatif terbatas. Beberapa jenis bahan pangan dari tumbuhan mangrove masih dapat dijumpai di pasar. Buah Avicennia spp. biasa dimakan sebagai sayuran di kawasan pantai utara Jawa Tengah, bahkan masih dijual di pasaran, misalnya di Wulan dan Pasar Banggi. Sedangkan buah N. fruticans banyak dikonsumsi di kawasan pantai selatan, khususnya di Cingcingguling dan Ijo, bahkan kadang-kadang dijual sebagai buah tangan untuk wisatawan, sebagaimana di kawasan wisata pantai Lohgending, Ayah, Kebumen yang terletak di muara sungai Ijo. Adapun di Segara Anakan, buah N. fruticans, buah Sonneratia spp., dan propagul Rhizophora spp. masih dikonsumsi penduduk namun tidak diperdagangkan. Pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai bahan pangan di lokasi penelitian ini, jauh lebih rendah dari pada potensi yang ada. Di seluruh dunia, pada dasarnya tumbuhan mangrove menyediakan banyak bahan makanan. Buah/hipokotil Bruguiera spp., Sonneratia caseolaris, dan Terminallia catapa mengandung pati dan dapat menjadi sumber karbohidrat. Daun muda Acrostichum aureum, Avicennia marina, dan Pluchea indica, hipokotil B. gymnorrhiza dan B. sexangula, serta buah, biji, dan seedling A. marina, A. officinalis, B. sexangula dapat dijadikan sayuran. Ekstraks galih kayu Avicennia alba dan A. officinalis dapat digunakan

sebagai tonik; buah Rhizophora spp. dan Sonneratia caseolaris secara berturut-turut dapat dijadikan tuak dan sari buah. Nira bunga N. fruticans dapat diolah menjadi gula merah dan tuak, karena kandungan sukrosanya yang tinggi. Nipah juga dapat menghasilkan minyak goreng, daunnya untuk kertas rokok, dan abunya untuk sumber garam (Bandaranayake, 1998). Rendahnya pemanfaatan tumbuhan mangrove di lokasi penelitian sebagai bahan pangan, selain disebabkan karena rasa, warna, dan penampilannya, diduga karena adanya kesan bahwa bahan makanan tersebut hanya layak dikonsumsi orang miskin atau pada masa paceklik, serta adanya kemudahan mendapatkan uang dari tangkapan biota laut untuk ditukar dengan beras atau bahan pangan lainnya. Bahan pakan ternak Pakan ternak dari tumbuhan mangrove umumnya mencakup daun/ranting Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, serta jenis rumput-rumputan (Gramineae). Hal ini dilakukan baik di pantai utara maupun selatan. Di pantai selatan, kawasan yang sering tergenang banjir di musim hujan atau dikenal dengan nama bonorowo, biasa digunakan sebagai lokasi penggembalaan ternak, baik sapi maupun kerbau, seperti di Bogowonto dan Lukulo. Di Bogowonto dan sekitarnya yang kawasan bonorowonya cukup luas dan sering tergenang, masyarakat banyak memelihara ternak kerbau yang relatif tahan terhadap rerumputan basah di area penggembalaan; rerumputan dari kawasan ini merupakan pakan utama hewan ternak tersebut. Di Lukulo yang kawasan bonorowo-nya lebih sempit dan cenderung kering, masyarakat umumnya memelihara sapi; rerumputan dari kawasan tersebut hanya menyumbangkan sebagian kecil dari komposisi pakan ternak. Di Segara Anakan pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai pakan ternak sangat terbatas, karena budaya beternak tidak dilakukan masyarakat Kampung Laut. Di pantai utara, pemanfaatan kawasan mangrove untuk pengembangan peternakan relatif kurang berkembang. Hal ini antara lain di sebabkan kawasan pertanian terletak jauh dari tempat tumbuhnya mangrove di tepian pantai. Berbeda dengan pantai selatan yang kawasan mangrove dan lahan pertanian hanya dipisahkan tanggul-tanggul, di pantai utara kedua kawasan ini umumnya dipisahkan area pertambakan yang cukup luas, misalnya di sepanjang pesisir Kabupaten Jepara dan Demak. Orientasi masyarakat di pantai utara cenderung ke arah penangkapan ikan di laut atau budidaya perairan payau, sedangkan di pantai selatan ke arah budidaya pertanian, mengingat ombak lautnya yang besar dan kurang sesuai untuk perahu nelayan tradisional. Bahan obat Secara tradisional, kandungan bioaktif tumbuhan mangrove banyak digunakan sebagai bahan obat, yang mencakup anti-helmintik, anti mikrobia, anti virus, anti jamur; kanker, tumor; diare, pendarahan; analgesik, inflamasi, disinfektan; serta anti oksidan dan astringen. Di samping itu digunakan pula sebagai racun yang mencakup moluskisida, insektisida, racun ikan, dan spermisida. Bangsa Arab merupakan bangsa yang pertama-tama menyusun farmakope yang sangat baik mengenai berbagai spesies mangrove, sehingga Linnaeus menamai salah satu spesies mangrove paling

90 penting dan penyebarannya paling luas berdasarkan nama Ibnu Sina (Avicennia; 980-1036), seorang dokter dan filosof Arab paling dihormati dan termashur (Bandaranayake, 1998). Dalam penelitian ini, pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai bahan obat masih sangat terbatas. Obat-obatan tradisional Jawa umumnya bersumberkan tumbuhan darat, sangat jarang digunakan spesimen mangrove atau laut. Dalam kajian dari berbagai pustaka, Bandaranayake (1998) hanya menemukan penggunaan Pluchea indica di Jawa sebagai tumbuhan obat. Daun dan akar tumbuhan ini digunakan sebagai astringen dan antipiretik, serta digunakan sebagai diaforetik pada demam. Daun segar digunakan sebagai tapal melawan lemah daya dan borok. Yayasan Prosea Bogor yang mengkompilasi beberapa tumbuhan mangrove dari Asia Tenggara, terutama mengelompokkannya dalam “tumbuhan penghasil pewarna dan tannin” (Lemmens dan Wulijarni-Soetjipto, 1992), bukan dalam kelompok “tumbuhan obat dan racun” (Padua dkk., 1999; Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2002; Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003). Hal ini menunjukkan nilai obat tumbuhan ini relatif kurang diperhatikan. Pengetahuan manfaat obat tumbuhan mangrove umumnya diperoleh masyarakat setempat dari masyarakat luar yang mencari tumbuhan tersebut, bukan sebagai pengetahuan tradisional warisan nenek moyangnya. Dalam pengobatan tradisional masyarakat Segara Anakan, yang merupakan keturunan prajurit Kerajaan Mataram, digunakan tumbuhan darat sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya. Meskipun demikian di Bogowonto dan Segara Anakan masyarakat mengetahui potensi obat beberapa tumbuhan mangrove, seperti buah (biji) Acanthus ilicifolius yang berpotensi untuk pengobatan hepatitis. Menurut Bandaranayake (1998), tumbuhan ini berperan sebagai afrodisiak, asma, pembersih darah (buah), diabetes, diuretik, dispepsia, hepatitis, lepra (buah, daun, akar), neuralgia, paralisis, cacingan, rematik, penyakit kulit, gigitan ular, dan sakit perut (kulit kayu, buah, daun). Kurang berkembangnya pemanfaatan tumbuhan mangrove dalam farmakope Jawa, yang juga menjadi pegangan masyarakat pantai dalam pengobatan tradisional, diduga terkait dengan kuatnya kultur Jawa pedalaman yang dikembangkan raja-raja Mataram, yang mendasarkan kekuasaannya pada budaya pertanian, sehingga kawasan pantai dan laut dijadikan halaman belakang yang kurang diperhatikan serta potensinya kurang dikembangkan. Potensi tumbuhan mangrove sebagai bahan obat sangat besar, pada saat ini kandungan metabolit sekunder tumbuhan mangrove mulai banyak terungkap. Tumbuhan ini kaya akan steroid, triterpen, saponin, flavonoid, alkaloid, dan tannin (Bandaranayake, 1995). Kajian kandungan kimia tumbuhan mangrove sangat penting karena merupakan jenis hutan yang paling mudah tumbuh dan dapat tumbuh pada lingkungan marjinal, sehingga diperkirakan menghasilkan berbagai metabolit sekunder yang khas untuk beradaptasi. Kandungan kimia tumbuhan mangrove sangat berpotensi sebagai sumber senyawa baru agrokimia dan senyawa bernilai obat (Bandaranayake, 1998). Perkembangan ini diharapkan dapat membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat sebagai penyuplai bahan baku, sehingga memacu upaya perlindungan ekosistem mangrove.

Bahan baku industri Pemanfaatan kawasan mangrove sebagai sumber bahan baku industri dapat berasal dari hidupan liar setempat maupun bahan galian C. Kawasan mangrove di muara Serayu merupakan tempat penambangan pasir besi, sedangkan di Kecamatan Kawunganten, Cilacap yang membawahi Segara Anakan terdapat penambangan lempung untuk bahan baku semen. Dalam penelitian ini, satu-satunya bahan baku industri dari tumbuhan mangrove yang memberi kontribusi langsung terhadap kesejahteraan masyarakat adalah pemanfaatan pneumatofora Sonneratia spp. untuk pembuatan kepala shuttlecock di sekitar Segara Anakan. Hidupan liar lainnya yang menjadi bahan baku industri umumnya terkait dengan perikanan. Potensi tumbuhan mangrove sebagai bahan baku industri cukup luas. Menurut Walsh (1977) pneumatofora Sonneratia alba dan S. caseolaris, dapat digunakan untuk sol sepatu. Kayu berbagai jenis tumbuhan mangrove, seperti Heritiera spp. dan Rhizophora spp. dapat digunakan untuk menghasilkan pulp. Menurut Field (1995) beberapa tumbuhan mangrove lainnya juga berpotensi sebagai bahan baku industri, misalnya pneumatofora B. gymnorrhiza dan B. sexangula dapat menghasilkan parfum dan rempah-rempah. Ekstrak Acanthus spp. dan Xylocarpus spp. dapat menghasilkan penguat rambut, ekstrak S. caseolaris untuk losion kulit, ekstrak Excoecaria agallocha untuk afrodisiak, ekstrak Avicennia spp. untuk sabun, ekstrak kulit kayu B. gymnorrhiza, B. sexangula, dan Ceriops tagal untuk lem. Tumbuhan mangrove juga dikenal sebagai sumber utama tanin untuk bahan pewarna dan penyamak dalam dunia industri. Menurut Lammens dan Wulijarni-Soetjipto (1992), getah dan kulit kayu Ceriops spp. secara tradisional diolah menjadi bahan pewarna kain batik dan dikenal sebagai soga, sedangkan kulit kayu H. littoralis, R. mucronata, S. caseolaris dan lain-lain banyak diolah menjadi bahan penyamak kulit dan memperkuat jala yang terbuat dari serat tumbuhan. Namun dalam penelitian ini tidak tercatat adanya penggunaan tumbuhan mangrove untuk pewarna dan penyamak, penggunaan bahan-bahan sintetis tampaknya telah menggantikan peran bahan alami ini, misalnya digunakannya pewarna sintetis dari unsur logam yang sebenarnya berbahaya bagi kesehatan, serta penggunaan jaring nilon menggatikan jaring serat tumbuhan, sehingga tidak memerlukan penguatan dengan tanin. Pengembangan potensi ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan pada akhirnya turut mendorong upaya pelestarian ekosistem mangrove. Pariwisata dan pendidikan Penggunaan kawasan mangrove sebagai lokasi wisata telah dikembangkan sejak lama. Tritih merupakan lokasi wisata yang dibangun Perhutani pada pertengahan tahun 1970-an untuk tujuan konservasi dan pendidikan ekosistem mangrove, namun fasilitas ini kini telah terbengkalai. Salah satu kawasan mangrove alami yang berpotensi untuk ekowisata adalah Segara Anakan, mengingat kelengkapan atraksi alam dan sarana akomodasinya yang memadahi. Di kawasan ini terdapat fasilitas kapal penyeberangan yang sekaligus merupakan kapal wisata, terdapat pula perahu-perahu nelayan yang berukuran lebih kecil dan dapat disewa untuk mengelilingi kawasan, serta terdapat sarana

91 penginapan yang mudah dijangkau di kota Cilacap. Dalam jumlah terbatas, arus turis ke kawasan mangrove juga teramati di Wulan, Bulak, Juwana, Pasar Banggi, dan Ijo. Kawasan Pasar Banggi sangat potensial sebagai lokasi wisata karena areanya cukup luas, dikelola dan diawasi masyarakat sehingga cukup lestari, serta letaknya strategis di tepi jalan negara pantai utara. Kawasan mangrove dapat menjadi lokasi pendidikan konservasi. Dalam penelitian ini, beberapa lokasi telah dikunjungi para pelajar dan mahasiswa untuk tujuan pendidikan, seperti Bulak, Telukawur dan Pasar Banggi yang banyak digunakan penelitian mahasisiwa Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Bogowonto banyak didatangi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Institut Pertanian ‘Instiper’ Yogyakarta. Segara Anakan banyak diteliti mahasiswa UGM Yogyakarta, Universitas Jenderal Sudirman (UNSOED) Purwokerto dan lain-lain. Adapun mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta antara lain menggunakan mangrove di Pasar Banggi dan Segara Anakan untuk praktikum dan penelitian. Penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove Dalam penelitian ini, penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove, meliputi pertambakan (udang/ikan, garam), pertanian (sawah, tegalan, ladang penggembalaan/ pastoral), pemukiman (rural, urban), pelabuhan (besar; kecil/dermaga ikan dan tempat pelelangan ikan/TPI), jalan negara dan propinsi, serta kawasan industri (Tabel 2). Tata guna lahan sangat terkait dengan kelestarian ekosistem mangrove. Perubahan lahan mangrove ke pertambakan ikan merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem ini. Di samping itu terdapat pula kerusakan akibat penebangan kayu, pembangunan kawasan industri dan pemukiman (Pagiola, 2001). Pertambakan Jenis penggunaan lahan yang paling sering ditemui di sekitar ekosistem mangrove adalah pertambakan ikan/udang, baik di pantai utara maupun di pantai selatan, di samping itu terdapat pula tambak garam yang hanya ditemukan di pantai utara. Tambak ikan atau udang banyak ditemukan di pantai utara dan selatan Jawa Tengah, meskipun dalam skala besar hanya dijumpai di pantai utara. Tambak tidak ditemukan di Cingcingguling, Bengawan dan Serayu karena lahan disekitarnya digunakan penduduk untuk bertanam padi sawah yang menghasilkan panen lebih stabil dan kepastian harganya lebih terjamin. Konversi kawasan mangrove menjadi lahan tambak ikan dan udang merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem mangrove. Nilai ekonomi udang yang tinggi menjadikannya mata dagangan penting di dunia. Keberhasilan teknik budidaya udang pada tahun 1970-an mendorong upaya pertambakan udang secara modern dalam skala luas. Di Indonesia pembuatan tambak udang pada awalnya di mulai di pantai utara Jawa. Hal ini mendorong perusakan hutan mangrove secara besarbesaran antara pertengahan tahun 1970-1990-an. Pembuatan tambak di sekitar muara sungai dan dataran pantai utara Jawa menyebabkan perubahan vegetasi muara secara nyata. Ekosistem mangrove hanya tersisa pada tempat-tempat tertentu yang sangat terisolasi atau ditanam di tepi tambak yang berbatasan dengan pantai

atau sungai untuk mencegah abrasi. Di sepanjang pantai utara, tambak ikan dikelola secara intensif hingga jauh ke arah daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak. Secara intensif hal ini berlangsung antara lain di pantai Demak, Pati, dan Rembang, meskipun beberapa areal tambak tampaknya tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan pencemaran lingkungan, misalnya di Pati, puluhan hektar tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus. Di pantai selatan terdapat pula upaya mengubah lahan mangrove menjadi tambak. Dalam jumlah terbatas hal ini dijumpai di muara Sungai Lokulo, Cakrayasan, Bogowonto, dan Ijo, sedang dalam skala besar dilakukan di Segara Anakan. Usaha pertambakan ini sering gagal karena adanya akumulasi pirit yang beracun (tanah sulfat asam) dan tidak adanya kepastian hukum atas tanah yang digunakan (Yudho, 1988). Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung usaha pertambakan ikan/udang. Vegetasi mangrove yang subur dapat mencegah erosi, menjaga area dari banjir, badai dan bencana alam lain, sehingga tidak diperlukan biaya tinggi untuk membangun infrastruktur tambak, misalnya pembuatan sabuk hijau mangrove di sepanjang tepian pantai dan tebing muara sungai pada kawasan pertambakan di pantai utara Jawa. Di sisi lain mangrove juga dapat mengurangi tingkat polusi secara alamiah, sehingga mencegah jatuhnya usaha tambak intensif akibat limbah cair yang dihasilkannya, seperti tingginya kadar nitrogen dan fosfor (Ronnback, 1999). Nilai ekonomis tambak tergantung daya dukung lingkungan mangrove di sekitarnya, namun nilai ini jarang dihitung dalam biaya produksi. Tambak garam dalam skala luas hanya dijumpai di Pecangakan, Pasar Banggi dan Lasem, kesemuanya di Kabupaten Rembang, kabupaten penghasil garam terbesar di Propinsi Jawa Tengah (Kompas, 03/03/2003). Pada musim kemarau saat ketersediaan air melimpah dan intensitas sinar matahari lebih rendah, tambaktambak garam ini banyak yang diubah menjadi tambak ikan bandeng. Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak ikan merupakan tekanan utama terhadap kelestarian ekosistem mangrove di dunia, sehingga harus dikendalikan dan dikelola dengan baik. Pertanian Konversi ekosistem mangrove menjadi lahan pertanian pangan umumnya kurang berhasil, seperti yang dilaksanakan di Kecamatan Kawunganten, Cilacap sejak jaman kolonial. Upaya ini dilakukan dengan mengubah arah aliran air sungai, sehingga sedimentasi mengumpul pada area tertentu yang akhirnya menjadi daratan, selanjutnya untuk mengurangi tingkat salinitas, dilakukan penggelontoran secara teratur tanah tersebut dengan air tawar untuk mendesak keluarnya kandungan garam dari dalam sedimen. Upaya ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap kecenderungan berubahnya ekosistem mangrove di Segara Anakan menjadi ekosistem daratan, namun upaya ini pada akhirnya berhenti dengan sendirinya akibat sulitnya menemukan varietas padi dengan produktivitas tinggi untuk lahan tersebut, serta menyebabkan ketidakpastian penghasilan nelayan akibat berkurangnya luasan laguna (Winarno dan Setyawan, 2003; ECI, 1975).

92 Tabel 2. Kegiatan restorasi ekosistem mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah *). Tingkat **) RestoPerkiraan Spesies utama Inisiatif Tujuan keberhasilan rasi luas yang ditanam 9 Wulan Pemerintah 5-10 ha Rhizophora spp. Menjaga stabilitas garis pantai ++ Memperluas area mangrove 9 Sigrogol Masyarakat ± 1 ha Avicennia spp. Menjaga stabilitas tebing sungai dan garis pantai ++ Serang • 9 Bulak Pemerintah, 1-2 ha Rhizophora spp. Menjaga stabilitas garis pantai +++ Univ. Membangun kawasan wisata dan pendidikan 9 Telukawur Pemerintah, ± 1 ha Rhizophora spp. Menjaga stabilitas garis pantai + Univ. Tayu • Menjaga stabilitas tebing sungai + Juwana Masyarakat < 1 ha Exoecaria • agallocha Sonneratia spp. 9 Pecangakan Masyarakat 1-2 ha Avicennia spp. Memperluas area mangrove. ++ Menjaga stabilitas garis pantai Menahan hempasan gelombang laut 9 Pasar Banggi Pemerintah, 15-20 ha Rhizophora spp. Memperluas area mangrove. ++++ masyarakat Menjaga kawasan sekitarnya dari sedimentasi Membangun kawasan wisata dan pendidikan Menahan hempasan gelombang laut Menyediakan suplai kayu masyarakat 9 Lasem Masyarakat ± 1 ha Rhizophora spp. Menjaga stabilitas tebing sungai dan garis pantai ++ 9 Bogowonto Pemerintah, 1-2 ha Rhizophora spp., Mengembalikan fungsi ekosistem yang hampir + Univ., Sonneratia spp. hilang Masyarakat Menjaga warisan ekosistem mangrove satu-satunya di Yogyakarta 9 Cakrayasan Pemerintah ± 1 ha Rhizophora spp. Mengembalikan fungsi ekosistem yang hampir hilang 9 Lukulo Pemerintah ± 1 ha Rhizophora spp. Mengembalikan fungsi ekosistem yang hampir hilang 9 Cingcingguling Masyarakat < 1 ha Menjaga stabilitas tebing sungai + Nypa fruticans Menyediakan suplai bahan pangan 9 Ijo Masyarakat < 1 ha Menjaga stabilitas tebing sungai ++ Nypa fruticans Menyediakan suplai bahan pangan Bengawan • Serayu • 9 Tritih Pemerintah ± 10 ha Rhizophora spp. Membangun kawasan wisata alam dan pendidikan +++ (Perhutani) Menjaga keanekaragaman hayati Membangun kawasan konservasi ex situ 9 Rhizophora spp. Mengembalikan fungsi ekosistem yang rusak Motean Pemerintah ± 5 ha + Menjaga keanekaragaman hayati (tempat untuk (BPKSA) berbiak, mencari makan dan membesarkan anak berbagai fauna) Menyediakan suplai kayu masyarakat Menyediakan suplai bahan pangan Menjaga nilai budaya Menyediakan sarana pendidikan dan wisata 9 Muara Dua sda sda sda sda sda Keterangan: 9 = hadir, • = tidak hadir; *) ++++ = sangat berhasil, +++ = berhasil, ++ = sedang, + = hampir gagal, - = gagal atau tidak ada restorasi. **) Sumber: pengamatan (survei) lapangan, wawancara (in-depth interview), serta kajian peta topografi dan citra satelit. Lokasi

Usaha untuk mengubah kawasan mangrove menjadi area pertanian pangan (sawah) sering kali berhasil pada lokasi yang berbatasan langsung dengan ekosistem air tawar, misalnya di Serayu, Bengawan, dan Cingcingguling yang terletak di pantai selatan, serta Wulan, Sigrogol, dan Serang di pantai utara. Sawahsawah tersebut umumnya dapat dipisahkan dengan ekosistem mangrove atau area tambak yang berair asin dengan bendungan atau tanggul. Di pantai utara, dengan ketinggian lahan persawahan sangat rendah dan luas, biasanya sungai-sungai dilengkapi dengan bendung gerak untuk mencegah membanjirnya air laut pada saat pasang. Sedangkan di pantai selatan, dengan aliran keluar masuknya air pasang terbatas hanya di sungaisungai besar, maka biasanya dibuat tanggul di

sepanjang garis sempadan sungai tersebut, seperti di Cingcingguling. Pada masa lalu tanggul-tanggul ini diperkuat dengan vegetasi N. fruticans yang memiliki batang bawah tanah (rhizoma) sangat kuat, namun pada saat ini perannya digantikan batu gunung, beton tetrapod, dan tanggul yang diperkeras, meskipun biaya pemeliharaan vegetasi tersebut lebih murah dan daya tahan tanggulnya tidak kalah dengan bangunan penahan. Berbeda dengan konversi ke area pertambakan yang menjadi penyebab utama kerusakan mangrove di pantai utara Jawa, maka di pantai selatan Jawa konversi ke lahan sawah diperkirakan merupakan penyebab utama berkurangnya area mangrove dan rawa burit/belakang (back swamp).

93 Selain pertanian sawah basah terdapat pula pertanian tegalan kering di sekitar ekosistem mangrove, misalnya di Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, Bengawan, dan Serayu. Terutama pada tempat-tempat yang sedikit lebih tinggi dari lahan mangrove sehingga cenderung bertanah kering. Area ini banyak ditanami sayuran dan palawija, namun pada musim hujan tetap ditanami padi. Ladang penggembalaan (pastoral) ditemukan di Bogowonto, Cakrayasan, dan Lukulo, terutama pada lahan kering yang tidak dapat diolah karena terlalu asin dan berpasir, sehingga tidak cocok untuk tanaman budidaya. Kegiatan pertanian dapat menyebabkan hilangnya area mangrove karena dikonversi menjadi sawah atau tegalan. Kegiatan penggembalaan juga dapat mengganggu kelangsungan ekosistem mangrove karena perumputan terhadap bibit-bibit mangrove. Kegiatan pertanian intensif juga dapat menyebabkan eutrofikasi apabila penggunaan pupuk kimia dilakukan secara berlebihan. Kawasan pengembangan dan bangunan Kawasan pantai merupakan sumber yang kaya akan pangan, energi, dan mineral, sehingga menjadi sumber mata pencaharian utama banyak masyarakat. Kawasan pantai juga menjadi sumberdaya biologi dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, pembangunan ekonomi, pertambahan penduduk yang cepat dan migrasi dari kawasan pedalaman menyebabkan peningkatan terkanan terhadap kawasan pantai. Pada saat ini, sejumlah besar kawasan pantai khususnya di dunia ketiga mengalami penurunan produktivitas dan peran ekologinya mulai jatuh. Oleh karena itu pengelolaan kawasan pantai harus dilakukan lebih baik dengan mengintegrasikan keseluruhan rencana pembangunan mulai dari tingkat nasional hingga lokal (Pappas dkk., 1994.) Kawasan mangrove tidak lepas dari tekanan kepadatan penduduk, hingga area mangrove yang sering diasumsikan dengan lokasi terpencil, pada kenyataannya tetap menjadi salah satu lokasi dengan jumlah penduduk cukup padat. Kawasan pemukiman dengan tingkat kepadatan rendah (rural) dengan mudah dapat ditemukan di semua lokasi penelitian, termasuk di Segara Anakan yang terletak di tengah-tengah laguna dan dikelilingi hutan mangrove. Beberapa area mangrove bahkan terletak di dekat kawasan pemukiman padat (urban), seperti Cilacap, Jepara, Juwana (Pati), serta Rembang dan Lasem (Rembang). Aktivitas pemukiman secara nyata dapat mempengaruhi kawasan mangrove karena limbah yang dihasilkannya, serta adanya aktivitas kehidupan sehari-hari. Kawasan mangrove juga sering terletak di dekat pelabuhan, baik pelabuhan besar maupun kecil (dermaga ikan atau tempat pelelangan ikan/TPI). Dalam penelitian ini pelabuhan samudera yang cukup besar terdapat di Cilacap, beberapa kilometer dari lokasi penelitian Tritih, sedangkan pelabuhan ikan yang cukup besar terdapat di Juwana, pelabuhan ikan kedua terbesar di Propinsi Jawa Tengah. Adapun pelabuhan kecil/TPI ditemukan pada hampir semua lokasi penelitian lainnya. Kegiatan pelabuhan dapat menghasilkan limbah seperti sisa-sisa bahan bakar, di samping itu arus gelombang air laut yang disebabkan pergerakan kapal dapat menghambat pemantapan dan pertumbuhan bibit mangrove.

Jalan negara dan jalan propinsi yang merupakan kelas jalan dengan kepadatan lalu lintas tertinggi dalam sistem transportasi di Indonesia, dapat dijumpai pada hampir semua lokasi yang diteliti, kecuali di Motean dan Muara Dua yang terletak di tengah-tengah laguna Segara Anakan. Hal ini menunjukkan besarnya arus barang dan manusia di lokasi-lokasi penelitian. Kegiatan transportasi ini juga menghasilkan bahan pencemar logam berat, khususnya Pb, yang dapat mengganggu kehidupan mangrove. Industri besar dalam penelitian ini hanya dijumpai di Cilacap. Kota ini merupakan kota pelabuhan terbesar di pantai selatan Jawa dan telah dikembangkan sejak jaman kolonial, sehingga sejak lama telah menjadi tempat manusia beraktivitas. Di kota ini terdapat pula instalasi pengilangan minyak mentah dan industri semen yang cukup besar. Aktivitas pelabuhan, pengilangan minyak, industri semen, dan kawasan perumahan secara kontinu menghasilkan bahan pencemar yang dapat mengganggu kehidupan di kawasan mangrove. Pada saat-saat tertentu aktivitas kapal tangker dapat mengalami kecelakaan, sehingga menumpahkan limbah minyak dalam jumlah cukup besar dan dapat mematikan mangrove secara masal. Industri semen yang mengambil tanah liat di Kawunganten dan tanah karst (gamping) di Nusakambangan dapat meningkatkan sedimentasi, sehingga memperparah laju sedimentasi di Segara Anakan. Debu dari pabrik semen dapat menutupi stomata dan lentisel tumbuhan mangrove, sehingga mengganggu fotosintesis dan respirasi. Limbah domestik seperti sampah padat dapat mengganggu perakaran mangrove dan pertumbuhan bibit mangrove. Kerusakan dan upaya restorasi Jenis-jenis pemanfaatan langsung dalam ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di sekitarnya merupakan proses antropogenik yang secara nyata mempengaruhi kelestarian ekosistem mangrove di Jawa Tengah. Beberapa aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mangrove secara luas adalah: konversi habitat ke pertambakan (ikan/udang dan garam), penebangan pohon secara berlebih untuk diambil kayunya, sedimentasi, dan pencemaran lingkungan. Lemahnya pemahaman mengenai nilai khas dari jasa ekologi dan produk panen ekosistem mangrove, menyebabkan ekosistem ini sering kurang dihargai dan cenderung dikonversi ke penggunaan lain. Penilaian yang rendah juga merupakan akibat sulitnya menerapkan standar moneter pada faktor-faktor yang terkait dengan peran ekologi dan produk panen ekosistem mangrove. Hal ini memerlukan pengetahuan yang mendalam dan holistik (Bandaranayake, 1998; Ronnback, 1999). Pembuatan tambak merupakan ancaman utama kelestarian ekosistem mangrove dunia (Hamilton dkk., 1989; Primavera, 1998). Di Jawa budidaya tambak, khususnya ikan bandeng (Chanos chanos), memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan sejak 500 tahun yang lalu (Schuster, 1952), namun penemuan teknologi pertambakan udang pada tahun 1970-an telah mengubah orientasi tambak tradisional yang lebih ramah lingkungan menjadi tambak modern yang sarat dengan bahan kimia, seperti antibiotik, makanan tambahan, dan pupuk kimia. Keuntungan besar dari tambak udang telah menyebabkan dikonversinya hampir seluruh ekosistem mangrove di pantai utara Jawa Tengah menjadi lahan

94 tambak. Ironisnya, produktivitas tambak sangat tergantung pada kondisi alami ekosistem mangrove di sekitarnya, yang menjadi penyuplai air bersih, bibit, pakan, dan lain-lain (Hamilton dan Snedaker, 1984; Larsson dkk., 1994; Beveridge dkk., 1997). Kini banyak tambak yang tidak produktif lagi karena akumulasi bahan kimia, pirit, penyakit, perubahan pola hidrologi, dan pencemaran lingkungan. Tambak yang gagal ini banyak dijumpai di pantai utara Demak, Jepara, Pati dan Rembang, serta Segara Anakan. Masa produktif tambak ikan/udang yang dikelola secara intensif atau semi intensif umumnya hanya sekitar 5-10 tahun (Gujja dan Finger-Stich, 1996), dan sekitar 70% tambak yang semula produktif pada akhirnya akan ditinggalkan (Stevenson, 1997). Penebangan pohon menjadi ancaman serius terhadap kelestarian ekosistem mangrove, karena tidak hanya menyebabkan hilangnya pepohonan yang ditebang namun juga mengubah iklim mikro sehingga mengganggu kehidupan ekosistem secara keseluruhan. Penebangan pepohonan mangrove secara intensif di Segara Anakan menyebabkan berubahnya penampakan vegetasi kawasan tersebut dari hutan berpohon menjadi semak-semak belukar yang didominasi A. ilicifolius yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Penebangan pohon untuk berbagai keperluan, termasuk untuk pembukaan tambak juga ditemukan di Wulan dan Pecangakan. Sedimentasi dibutuhkan untuk pemantapan ekosistem mangrove, namun sedimentasi yang berlebih dapat mengubah ekosistem ini menjadi ekosistem darat. Di Segara Anakan sedimentasi merupakan masalah utama yang mengancam kelestarian laguna dan hutan mangrove. Sifat laguna Segara Anakan yang tertutup, muara sungai tidak langsung terhubung dengan laut bebas, menyebabkan sejumlah besar sedimen didepositkan dalam laguna. Setiap tahun sungai Citanduy dan Cimeneng/Cikonde masing-masing 3 3 mengangkut 5 juta m dan 770.000 m sedimen, 3 3 sebanyak 740.000 m dan 260.000 m di antaranya diendapkan di Segara Anakan (ECI, 1994). Pelumpuran ini menyebabkan menjoroknya daratan sejauh 17-30 m per tahun, sehingga dalam jangka panjang akan mengubah ekosistem mangrove menjadi ekosistem daratan, dengan jenis komponen biotik (flora dan fauna) yang berbeda (Tjitrosoepomo, 1981), sehingga tidak hanya mempengaruhi ekosistem alami, namun juga mempengaruhi kultur masyarakat. Hal ini sudah terbukti dengan perubahan konstruksi rumah penduduk Kampung Laut, yakni dari rumah panggung di atas permukaan laut menjadi rumah tembok di daratan. Perubahan ekosistem ini mendorong penduduk untuk mengubah mata pencaharian dari nelayan menjadi petani (Brotosusilo, 1988). Sebaliknya sedimentasi di kawasan pantai utara Jawa Tengah, seperti Wulan, Juwana, dan Pecangakan menyebabkan bertambahnya luasan area mangrove secara terus menerus ke arah laut. Sedimentasi di pantai utara Jawa, tampaknya tidak banyak mempengaruhi ekosistem mangrove walaupun sangat merugikan perekonomian (Anonim, 2001a). Pencemaran lingkungan dapat menjadi ancaman serius terhadap ekosistem mangrove. Sebagai kawasan peralihan dari darat ke laut, maka semua jenis bahan pencemar dari kedua lokasi tersebut dapat terakumulasi di kawasan mangrove. Dalam penelitian ini, bahan pencemar yang secara kasat mata mudah dijumpai dan

mempengaruhi ekosistem mangrove adalah minyak bumi dan sampah domestik padat. Pencemaran minyak bumi ditemukan di Segara Anakan akibat aktivitas pengilangan minyak dan pelabuhan besar Cilacap, serta tumpahan minyak dari kecelakaan kapal tangker. Sampah domestik padat dapat dijumpai di semua lokasi penelitian. Sampah ini dapat mengganggu pertumbuhan bibit mangrove sehingga menghambat regenerasi dan menggagalkan upaya restorasi, seperti di Lukulo, Cakrayasan, dan Pasar Banggi. Munculnya kesadaran akan pentingnya konservasi ekosistem mangrove, meskipun tidak selalu dengan tujuan dan intensitas pemahaman yang sama di antara para pihak telah memunculkan upaya-upaya restorasi (rehabilitasi) (Tabel 2.). Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola struktur, fungsi, dan prosesproses ekologi di dalamnya, serta mencegah kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut dari ekosistem ini (Anonim, 2001b). Restorasi diperlukan apabila ekosistem yang rusak tidak dapat memperbaharui diri dan melaksanakan fungsinya secara normal, karena homeostasisnya secara permanen terhenti (Stevenson dkk., 1999; Morrison, 1990). Dalam restorasi mangrove kadang-kadang hanya fungsi tertentu yang ingin dikembalikan, karena telah terjadi perubahan faktor edafik dan keanekaragaman jenis (Lewis, 1990, 1992). Tujuan restorasi lainnya adalah memperkaya keanekaragaman hayati landskap, mempertahankan suplai produksi sumberdaya alam, terutama perikanan dan kayu, melindungi kawasan pantai, dan fungsi sosial budaya (Ronnback dkk., 1999). Di Wulan, kegiatan restorasi ditujukan terutama untuk memperluas area mangrove. Tumbuhan mangrove dapat memantapkan garis pantai dan mendorong terbentuknya daratan, menguatkan tanggul-tanggul lumpur, mengurangi hembusan angin, mengurangi energi gelombang laut dan air pasang. Penanaman tumbuhan mangrove relatif lebih murah dan tidak kalah efektif sebagai pelindung pantai. Tumbuhan mangrove dapat memecahkan gelombang dan menahan sedimen sehingga memantapkan garis pantai (Broom dkk., 1981). Hal ini dapat mengurangi laju sedimentasi pada kolam pelabuhan, maupun kawasan pantai yang menjadi lokasi wisata (Bandaranayake, 1998). Di Sigrogol penanaman tumbuhan mangrove terutama untuk menjaga tebing sungai dari abrasi, sehingga dapat menjaga kelancaran lalu lintas perahu nelayan. Di Bulak dan Telukawur restorasi terutama ditujukan untuk menjaga stabilitas garis pantai, mengingat beberapa tahun sebelumnya kawasan ini terkena abrasi yang cukup luas. Penanaman Rhizophora spp. di Bulak pada akhirnya juga menyediakan kawasan pendidikan dan wisata bagi masyarakat. Di Tayu aktivitas reboisasi hampir tidak ada, bahkan terdapat sejumlah besar area mangrove di tepian pantai yang dibersihkan untuk diambil kayunya dan dibuat tambak. Pesisir Tayu merupakan daerah penumpukan lumpur/akresi dari sungai Juwana dan sungai-sungai kecil di sekitarnya, sehingga relatif tidak terdapat ancaman abrasi terhadap pantai yang gundul. Di Juwana aktivitas reboisasi sangat terbatas, terutama hanya pada tepian sungai Juwana untuk memperlambat runtuhnya tebing sungai. Kawasan ini sangat sesuai untuk pertambakan bandeng sehingga hampir tidak ada lahan yang disisakan kecuali untuk tambak. Tipisnya vegetasi mangrove di tebing sungai dan tepian garis pantai

95 menyebabkan alur pelayaran di sungai ini harus sering dikeruk mengingat seringnya tebing sungai longsor, di samping tingginya sedimentasi dari daerah hulu. Di Pecangakan, reboisasi ditujukan untuk memperluas area mangrove, menjaga stabilitas garis pantai, dan menahan gelombang laut. Tanah yang terbentuk sekitar 3-5 tahun sejak penanaman mangrove tersebut akan dibuka untuk tambak, namun sebelum dibuka area mud flat di arah laut telah ditanami pula dengan mangrove lagi. Kegiatan ini menyebabkan garis pantai secara terus-menerus mengarah ke laut. Teknik ini sangat efektif untuk memperluas area daratan, namun dataran baru yang terbentuk umumnya sangat rendah, hampir sejajar dengan permukaan laut sehingga rawan terhadap penggenangan, khususnya pada saat pasang purnama atau pasang perbani, dimana rata-rata permukaan air laut dapat naik hingga 1-2 m di atas ratarata pasang harian. Restorasi mangrove di Pasar Banggi merupakan yang paling berhasil di antara lokasi-lokasi yang diteliti. Restorasi di kawasan ini juga memiliki tujuan yang lebih beragam, yakni memperluas area mangrove, menahan hempasan gelombang laut, mengurangi sedimentasi, membangun kawasan wisata dan pendidikan, serta menyediakan suplai kayu bagi masyarakat. Tujuan yang beragam ini sangat didukung oleh masyarakat setempat yang diikutsertakan dalam manajemen pengelolaan, mereka diberi hak untuk mengambil panen dari kawasan mangrove tanpa merusak, serta diikutsertakan dalam program restorasi secara berkala sebagai penyedia bibit mangrove. Tujuan yang beragam ini juga didukung lokasinya yang strategis di tepian jalan negara sehingga memudahkan akses ke kawasan. Kawasan ini merupakan area akresi tidal flat, namun terdapat pelabuhan perikanan yang cukup besar, sehingga adanya area mangrove diharapkan dapat mengurangi sedimentasi. Di Lasem, restorasi terutama ditujukan untuk menjaga tebing sungai dan memantapkan garis pantai. Di pantai selatan Jawa Tengah, upaya restorasi ekosistem mangrove relatif terbatas, mengingat terbatasnya luasan mangrove, serta kecilnya peran sosial ekonomi, ekologi, dan sosial budaya ekosistem ini, kecuali di Segara Anakan yang luasan ekosistem mangrovenya cukup signifikan. Kegiatan restorasi di kawasan ini terutama ditujukan untuk menghadirkan kembali ekosistem mangrove yang hampir hilang. Di Bogowonto, restorasi juga ditujukan untuk menyelamatkan satusatunya warisan ekosistem mangrove di Yogyakarta. Di Cakrayasan dan Lukulo restorasi ditujukan untuk mengembalikan ekosistem mangrove yang hilang, namun kegiatan ini relatif kurang berhasil. Beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah perumputan oleh hewan ternak, penutupan oleh sampah, kesalahan pemilihan spesies bibit, dan tiadanya pemeliharaan yang cukup berarti. Di antara Cakrayasan dan Lukulo terdapat muara sungai Wawar yang telah musnah ekosistem mangrovenya. Hal ini mengindikasikan kemungkinan hilangnya ekosistem mangrove sepenuhnya di Cakrayasan dan Lukulo, mengingat kondisi lingkungan biotik, abiotik, dan kultur masyarakatnya yang tidak berbeda jauh. Di Cingcingguling dan Ijo aktivitas restorasi ditujukan untuk menjaga stabilitas tanggul pada tebing sungai dan menyediakan suplai pangan berupa N. fruticans. Aktivitas ditujukan untuk membangun kawasan wisata alam dan pendidikan, serta menjaga

keanekaragaman hayati ekosistem mangrove, termasuk konservasi ex situ beberapa burung dari kawasan mangrove Segara Anakan. Di Motean dan Segara Anakan, keduanya di laguna Segara Anakan, aktivitas restorasi ditujukan untuk mengembalikan fungsi ekosistem yang rusak, menjaga keanekaragaman hayati (misalnya tempat untuk berbiak, mencari makan dan membesarkan anak berbagai fauna), menyediakan suplai kayu masyarakat, menyediakan suplai bahan pangan, menjaga nilai budaya, menyediakan sarana pendidikan dan wisata. Bagi masyarakat Kampung Laut, mangrove di sekitarnya tidak hanya menjadi sumber mata pencaharian, namun telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat, mengingat mereka telah tinggal selama ratusan tahun. Upaya restorasi ekosistem mangrove untuk menghidupkan kembali fungsi semula, dengan menghadirkan (penanaman) bibit-bibit mangrove mayor, seperti Rhizophora, Sonneratia, dan Avicennia, telah dilakukan, baik oleh pemerintah, perhutani, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat awam. Dalam skala besar, kegiatan ini antara lain pernah atau sedang dilakukan di Wulan, Pasar Banggi, Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, dan Segara Anakan. Keberhasilan upaya restorasi terkait banyak faktor, baik faktor biotik, abiotik maupun budaya masyarakat setempat. Kegagalan penanaman S. alba di Bogowonto antara lain disebabkan kesalahan pemilihan spesies bibit, yakni bibit yang diambil dari Segara Anakan ternyata tidak dapat bertahan terhadap genangan di Bogowonto, di samping akibat perumputan oleh kerbau (Bos bubalis). Kegagalan restorasi mangrove di Cakrayasan dan Lukulo antara lain disebabkan karena timbunan sampah domestik pada bibit, sehingga mengakibatkan kematian bibit tersebut. Keberhasilan restorasi mangrove (R. mucronata) di Pasar Banggi antara lain dikarenakan peran aktif masyarakat setempat, yang diikutsertakan dalam pengelolaan kawasan mangrove tersebut.

KESIMPULAN Pemanfaatan langsung dalam ekosistem mangrove di Jawa Tengah mencakup perikanan, kayu, bahan pangan, pakan ternak, bahan obat, bahan baku industri, serta pariwisata dan pendidikan. Adapun penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove, mencakup perikanan/tambak, pertanian, serta kawasan pengembangan dan bangunan. Kegiatan antropogenik tersebut telah menurunkan peran ekologi, ekonomi dan sosial budaya ekosistem mangrove, oleh karena itu banyak dilakukan upaya restorasi. Upaya restorasi yang cukup berhasil terjadi di Pasar Banggi, keberhasilan ini tampaknya karena pengikutsertaan masyarakat dalam manajemennya. Kegiatan restorasi yang gagal terjadi di Cakrayasan dan Lukulo; penyebab utama kegagalan ini tampaknya adalah kesalahan pemilihan bibit dan tiadanya pemeliharaan yang cukup berarti.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Empang parit di Desa Randusanga Kulon, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Kehutanan Indonesia 6: 31-34.

96 Anonim. 2001a. Mangroves, Multi-Species Recovery Plan for South Florida. southeast.fws.gov/vbpdfs/commun/mn.pdf. Anonim. 2001b. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau. Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangroves and Salt Marshes 2: 133-148. Bandaranyake, W.M. 1995. Survey of mangrove plants from Northern Australia for phytochemical constituents and UV-absorbing compounds. Current Topics in Phytochemistry (Life Science Advances) 14: 69-78. Bashan, Y., M.E. Puente, D.D. Myrold, and G. Toledo. 1998. In vitro transfer of fixed nitrogen from diazotrophic lamentous cyanobacteria to black mangrove seedlings. FEMS Microbiology Ecology 26: 165170. Beveridge, M.C.M., M.J. Phillips, and D.J. Macintosh. 1997. Aquaculture and the environment: the supply of and demand for environmental goods and services by Asian aquaculture and the implications for sustainability. Aquaculture Research 28: 797-807. Broom, S.W., E.D. Seneca, and W.W. Woodhouse, Jr. 1981. Planting marsh grasses for erosion control. North Carolina: North Carolina University Sea Grant Program. Brotosusilo, A. 1988. Social change in Segara Anakan-Cilacap, Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988 ECI (Engineering Consultant Inc.). 1975. The Citanduy River Basin Development Project Segara Anakan. Denver: Banjan. ECI. 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project. Jakarta: Asian Development Bank. Field, C. 1995. Journeys Amongst Mangroves; International Society for Mangrove Ecosystems, Okinawa, Japan. Hong Kong: South China Printing Co. Gujja, B. and A. Finger-Stich, 1996. What price prawn? Shrimp aquaculture’s impact in Asia. Environment 38: 12-39. Hamilton, L. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West Center. Hamilton, L., J. Dixon, and G. Miller. 1989. Mangroves: an undervalued resource of the land and the sea. Ocean Yearbook 8: 254-288. Hartina. 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. [Tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM. Hasmonel, M.W., Purwaningdyah, dan R. Nurhayati. 2000. Reklamasi Pantai dalam Hubungannya dengan Pendaftaran Tanah (Studi Kasus di Pantai Utara Jakarta). Jakarta: Universitas Terbuka. Kairo, J.G., F. Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Restoration and management of mangrove systems-a lesson for and from the East African region. South African Journal of Botany 67: 383-389. Kompas, 03/03/2003. Kabupaten Rembang. Lammens, R.H.M.J. and N. Wulijarni-Soetjipto (eds.). 1992. Plant Resources od Southeast Asia No. 3 Dye and Tannin-Producing Plants. Bogor: Prosea. Larsson, J., C. Folke, and N. Kautsky, 1994. Ecological limitations and appropriation of ecosystem support by shrimp farming in Colombia. Environmental Management 18: 663-676. Lemmens, R.H.M.J. and N. Bunyapraphatsara (eds.). 2003. Plant Resources of South-East Asia No. 12 (3), Medicinal and Poisonous Plants 3. Bogor: Prosea. Lemmens, R.H.M.J. and W. Wulijarni-Soetjipto (eds.). 1992. Plant Resources of South-East Asia No. 3, Dye and Tannin-Producing Plants. Bogor: Prosea. Lewis, R.R. 1990b. Wetlands restoration/creation/ enhancement terminology: suggestions for standardization. In J.A. Kusler and M.E. Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The Status of the Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Lewis, R.R. 1992. Coastal habitat restoration as a fishery management tool. In Stroud, R.H. (ed.) Stemming the Tide of Coastal Fish Habitat Loss; Proceedings of a Symposium on Conservation of Coastal Fish

Habitat, Baltimore, MD, USA, March 7-9 1991. National Coalition for Marine Conservation, Inc., Savannah, Georgia, USA. Martosubroto, P. and M. Naamin. 1977. Relationship between tidal forests (mangroves) and commercial shrimp production in Indonesia. Marine Research Indonesia 18: 81-86. Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous disturbance. In: Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity and Disturbance. New York: Springer-Verlag. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia: W.B. Sounders Company. Padua, L.S. de, N. Bunyapraphatsara, and R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1999. Plant Resources of South-East Asia No. 12 (1), Medicinal and Poisonous Plants 1. Bogor: Prosea. Pagiola, S. 2001. Land use change in Indonesia. In: Indonesia: Environment and Natural Resource Management in a Time of Transition. Jakarta: Environment Department, World Bank. Pappas, E., J. Post, and C.G. Lundin. 1994. Coastal Zone Management and Environmental Assessment. In Environmental Assessment Sourcebook Updates. Washington, D.C.: The World Bank Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. Primavera, J.H., 1998. Tropical shrimp farming and its sustainability. In: de Silva, S. (ed.), Tropical Mariculture. London: Academic Press. Ronnback, P. 1999. The ecological basis for economic value of seafood production supported by mangrove ecosystems. Ecological Economics 29: 235-252 Ronnback, P., M. Troell, N. Kautsky, JH. Primavera. 1999. Distribution pattern of shrimps and fish among Avicennia and Rhizophora microhabitats in the Pagbilao mangroves, Philippines. Estuarine Coastal Shelf Science 48: 223-234. Schuster, W.H., 1952. Fish culture in the brackish water ponds of Java. IPFC Special Publication 1: 1-143. Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40. SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Stevenson, N.J., 1997. Disused shrimp ponds: options for redevelopment of mangroves. Coastal Management 25: 425-435. Stevenson, N.J., R.R. Lewis, and P.R. Burbridge. 1999. Disused shrimp ponds and mangrove rehabilitation. In Streever, W. (ed.). An International Perspective on Wetland Rehabilitation. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Tjitrosoepomo, G. 1981. Pembangunan wilayah pantai Cilacap. Paper presented at a panel discussion on urban and rural planning in Semarang, Central Java. US. Army Map Services. 1963-1965. Sheets Map of Java. Washington, D.C.: Corps of Engineers. Valkenburg, J.L.C.H. van and N. Bunyapraphatsara (eds.). 2002. Plant Resources of South-East Asia No. 12 (2), Medicinal and Poisonous Plants 2. Bogor: Prosea. Walsh, G.E. 1977. Exploitation of Mangal. In: Chapman, V.J. (ed), Ecosystems of the World. New York: Elsevier Scientific. Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan sungai Citanduy, buah simalakama konservasi ekosistem mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72. Yudho, W. 1988. Local environment awareness and attitudes toward coastal resources management in Segara Anakan-Cilacap, Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988.

97 Lampiran xxx. Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di sekitarnya, serta upaya restorasinya.

Gambar xxx. Tambak ikan bandeng di Juwana

Gambar xxx. Tambak garam di Pasar Banggi

Gambar xxx. Jaring apung di Wulan

Gambar xxx. Perahu nelayan di Segara Anakan

Gambar xxx. Penebangan kayu dan konversi ke pertambakan di Pecangakan

Gambar xxx. Penebangan kayu dan konversi ke pertambakan di Wulan

Gambar xxx. Pemanenan kayu bakar di Wulan

Gambar xxx. Penggembalaan ternak di Lukulo

98

Gambar xxx. Buah A. ilicifolius sebagai bahan obat hepatitis

Gambar xxx. Gumuk pasir sebagai bahan baku semen (bijih besi)

Gambar xxx. Potensi ekowisata di Pasar Banggi

Gambar xxx. Potensi pendidikan di Bogowonto

Gambar xxx. Sawah di sekitar ekosistem mangrove di Cingcingguling

Gambar xxx. Pelabuhan ikan di Juwana

Gambar xxx. Sampah domestik di Wulan

Gambar xxx. Tipikal pemukiman di Segara Anakan

99

A B Gambar xxx. Hambatan pertumbuhan bibit Rhizophora di Pasar Bangi oleh: A. sampah plastik, B. rumput laut Ulva.

A B Gambar xxx. Papan penunjuk restorasi ekosistem mangrove. A. Pasar Banggi (2002, berhasil); B. Lukulo (2000, gagal)

100

101

BAGIAN III

Beberapa Permasalahan dan Penanganannya

102

103

Habitat Reliks Mangrove di Pantai Selatan Jawa

ABSTRACT Mangrove vegetation is one of the most richness ecosystems in tropical forest. It has high value economically and ecologically. Mangrove product can be used directly as timber, firewood, charcoal, tannin, dyes, food, medicine, raw material of industries, etc. It also can be used indirectly as fisheries, wastes processing, seashore protection, ecoturisms, educations, etc. In the past time, river estuaries in south coast of Java was mangrove habitat. However, anthropogenic activities had been reduced mangrove vegetation into relix habitat. The aim of the research was to know (1) sites of mangrove vegetation in river estuaries in south coast of Java, (2) diversity of mangrove vegetation, (3) density of Sonneratia alba J.E. Smith, and (4) physical and chemical properties of these sites. The research was conducted in March-April 2002, at 20 river estuaries from Pacitan until Cilacap, south coast of Java. The results indicated that mangrove remnant could be met in 10 river estuaries, namely Grindulu, Teleng, Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, Cincingguling, Ijo, Bengawan, Serayu, and Jeruk Legi-Donan. There were 29 mangrove species in estuaries, consist of major components (9 sp.), minor components (2 sp.), and mangrove associated (18 sp.). The density of Sonneratia alba J.E. Smith varied from 0 till > 250 individual per hectare. The soil sediment could be grouped into sand, silt, and clay, where silt and clay could support mangrove growth finely. The average of environmental parameters as follows: temperature of water and o o sediment respectively were 32.0 C and 31.4 C, pH of water and sediment respectively were 7.29 and 6.96, total dissolved solid of water was ~ 2000 ppm, dissolved oxygen of water was 9.29 ppm, and water salinity was 16 ppt. Key words: mangrove remnant, Sonneratia alba, diversity, density.

PENDAHULUAN Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon dan semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut (Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Hutan mangrove disebut juga hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan bakau (Kartawinata, 1979). Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa

Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove. Kata mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau komunitas (Ng dan Sivasothi, 2001). Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan bangunan, kayu bakar, arang, tanin, bahan pewarna, bahan makanan, bahan obat, serta bahan baku industri, seperti pulp, rayon dan lignoselulosa (Ng dan Sivasothi, 2001; Inoue dkk., 1999; Bandaranayake, 1998; Anonim, 1997a; Tanaka, 1992). Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi besar untuk menghasilkan produk berguna di masa depan (bioprospeksi). Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti secara mendalam hingga diperoleh obat modern (Ng dan Sivasothi, 2001). Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga intrusi air laut, menahan limbah dari darat dan laut, tempat lahir dan bersarangnya ikan, udang, kerang, burung, dan biota-biota lain, serta berperan dalam ekoturisme dan pendidikan (Ng dan Sivasothi, 2001; Inoue dkk., 1999; Howe dkk., 1992). Namun sejumlah besar area hutan mangrove di dunia telah hilang karena pengambilan kayu, kegiatan pertanian, perikanan, industri, perdagangan, perumahan dan gangguan alam (Nybakken, 1993; Knox dan Miyabara, 1984). Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Pada tahun 1982 luasnya sekitar 4,25 juta hektar, sumber lain mengatakan pada tahun itu luasnya sekitar 3,24 juta hektar dan pada tahun 1993 tinggal tersisa 3 juta hektar. Di Jawa Tengah luas hutan ini tinggal sekitar 13.577 hektar (Anonim, 1997b), umumnya tersebar di Karimunjawa, pantai utara dan Segara Anakan. Pada masa lalu luas hutan mangrove di Segara Anakan mencapai 15,145 hektar (Wirjodarmodjo dkk., 1979) atau bahkan 21.500 hektar (Sasaki dan Sunarto, 1994). Pada masa kini luasnya sulit diperdiksi akibat tingginya sedimentasi hingga terbentuk dataran-dataran baru yang diinvasi mangrove, serta banyaknya perubahan peruntukan area vegetasi mangrove lama.

Publikasi asli: Setyawan, A.D., A. Susilowati, dan Wiryanto. 2002. Habitat Reliks Vegetasi Mangrove di Pantai Selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256.

104 Hutan mangrove di daerah tropis relatif heterogen. Spesies yang tumbuh di bibir pantai cenderung berhabitus rendah, sedang yang jauh berhabitus tinggi (Tomlison, 1986). Tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri dari 47 spesies pohon, lima spesies semak, sembilan spesies herba dan rumput, 29 spesies epifit dan dua spesies parasit, serta beberapa spesies alga dan bryophyta (Anonim, 1997b). Kompilasi yang dilakukan Sasaki dan Sunarto (1994) menunjukkan ekosistem mangrove Segara Anakan disusun oleh 64 spesies. Pada ekosistem alami tumbuhan mangrove membentuk zonasi (Nybakken, 1993; Chapman, 1992). Zona luar yang terbuka didominasi Avicennia dan Sonneratia, diikuti Rhizophora pada bagian sedikit agak dalam. Zona tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza. Zona tiga didominasi Xylocarpus dan Heritiera. Zona dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Schyphiphora dan Lumnitzera. Adapun zona transisi didominasi Cerbera manghas (Ng dan Sivasothi, 2001; Chapman, 1992; de Haan dalam Steenis, 1958). Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh tegakan Nypa fruticans, diikuti Cyperus partulacastrum, Fimbristylis ferruginea, Scirpus litoralis dan Scirpus malaccensis (Sukardjo, 1985; Odum, 1971). Pada masa kini pola zonasi tidak jelas karena adanya sedimentasi dan perubahan habitat. Tumbuhan mangrove memiliki beberapa ciri antara lain: akar dangkal, menyebar, dan kadang-kadang tumbuh ke atas membentuk pneumatofora (akar napas); daun keras, tebal, mengkilat, sukulen, memiliki jaringan penyimpan air dan garam; beberapa tumbuhan memiliki kelenjar garam untuk mengatur osmosis (Nybakken, 1993; Whitten dkk., 1987; Odum, 1971). Suksesi di hutan mangrove sangat aktif, arus pasang surut memungkinkan terangkutnya propagul berbagai spesies. Perubahan fisik di hutan mangrove seperti pengeringan, pembangunan kanal-kanal air dan pemakaian pupuk dalam pengelolaan tambak, dapat menyebabkan perubahan habitat mangrove, sehingga struktur dan komposisinya berubah-ubah (Tanaka, 1992; Odum, 1971). Pantai selatan Jawa secara dinamis mengalami perubahan. Pertambahan penduduk dan kepadatannya yang tinggi menyebabkan besarnya kebutuhan akan lahan, sehingga hampir semua ekosistem alami diubah menjadi antropogenik dan eksistensinya terancam. Topografi muara sungai di kawasan ini relatif beragam. Beberapa muara terletak di kawasan pegunungan gamping dengan tepian yang terjal dan sangat berpasir, sehingga mengurangi kesempatan tumbuhnya mangrove. Muara lainnya terletak di kawasan yang relatif datar, bertanah lumpur atau liat, dengan gosong (gumuk) pasir menutupi muara sungai dan membentuk laguna, sehingga memungkinkan pertumbuhan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (i) tempattempat tumbuhnya mangrove pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa, dari Pacitan hingga Cilacap, (ii) keaneka-ragaman spesies vegetasi mangrove (iii) kerapatan Sonneratia alba J.E. Smith, dan (iv) kondisi fisik-kimia lingkungan di tempat-tempat tersebut. BAHAN DAN METODE Prosedur pencarian data penelitian pada garis besarnya meliputi: (1) pengecekan muara-muara sungai di pantai selatan Jawa untuk mengetahui tempat-tempat

tumbuhnya mangrove, (2) identifikasi keragaman spesies vegetasi mangrove, (3) pengukuran kerapatan S. alba, dan (4) pengukuran parameter fisik-kimia lingkungan yang terkait dengan keberadaan mangrove. Area kajian Lokasi penelitian meliputi 20 sungai yang bermuara di pantai selatan Jawa mulai dari Pacitan, Jawa Timur hingga Cilacap, Jawa Tengah (Tabel 1.). Kesemua sungai tersebut secara langsung bermuara di Samudera Hindia, kecuali Sungai Jeruk Legi-Donan yang selain bermuara di Samudera Hindia, juga bermuara di kawasan Segara Anakan. Pada Sungai Jeruk LegiDonan karena luasnya muara, maka sampel diambil pada tiga stasiun yang berjauhan, yaitu di sekitar Pelabuhan, Karangtalun dan Tritih. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret s.d. April 2002. Bahan dan Alat Pengecekan kondisi mangrove. Alat yang digunakan meliputi: peta topografi, kompas, teropong, rol meter, dan alat tulis. Keanekaragaman spesies mangrove. Alat dan bahan yang digunakan meliputi: vaskulum, pisau, gunting tanaman, tali, pensil, buku lapangan, label, sasak herbarium, kertas koran, kardus, serta kertas dan label herbarium. Pengukuran kerapatan S. alba. Alat yang digunakan meliputi: hand counter, patok, tali rafia, rol meter, dan meteran kecil. Pengukuran parameter lingkungan. Alat yang digunakan meliputi: termometer, pH meter, TDS-meter, oksigenmeter, refraktometer, meteran, dan alat tulis. Cara kerja Pengecekan kondisi mangrove Pengecekan kondisi terkini sisa-sisa vegetasi mangrove dilakukan dengan mendatangi langsung seluruh muara sungai di sepanjang pantai selatan Jawa, mulai dari Pacitan hingga Cilacap, dengan merujuk pada peta topografi US Army Map Service (1963; 1964). Di samping itu dilakukan pula wawancara dengan aparat pemerintah dan penduduk lokal. Dalam pengamatan tersebut ditentukan luasan lahan yang berpotensi mendukung pertumbuhan mangrove dan pada masa lalu diperkirakan menjadi habitat mangrove. Lahan ini dapat berupa sawah, tambak atau semak-semak tidak terurus. Di samping itu ditentukan pula luasan lahan yang pada saat ini secara realitas masih ditumbuhi vegetasi mangrove. Keanekaragaman spesies mangrove Identifikasi keanekaragaman spesies vegetasi mangrove dilakukan dengan metode survei. Semua tumbuhan komponen mayor, minor dan tumbuhan asosiasi mangrove dicatat jenisnya dan dikoleksi sampelnya untuk herbarium. Adapun tumbuhan pendatang yang dijumpai pada lingkungan mangrove di muara-muara sungai ini, namun tidak pernah dicatat keberadaannya pada ekosistem mangrove alami diabaikan. Identifikasi spesies merujuk pada Ng dan Sivasothi (2001), Kitamura dkk. (1997), Tomlison (1986), serta Backer dan Bakhuizen v.d. Brink (1963; 1965; 1968). Selain itu dilakukan pula pemeriksaan Sonneratia koleksi Kebun Raya Bogor dan Herbarium Bogoriense.

105 Tabel 1. Lokasi penelitian habitat reliks mangrove di pantai selatan Jawa. No. Muara sungai *) Kabupaten 1. Wiyoro Pacitan, Jawa Timur 2. Kitri Pacitan, Jawa Timur 3. Padi Pacitan, Jawa Timur 4. Grindulu Pacitan, Jawa Timur 5. Teleng Pacitan, Jawa Timur 6. Barong Pacitan, Jawa Timur 7. Sadeng Wonogiri, Jawa Tengah 8. Baron (bawah tanah) Gunung Kidul, Yogyakarta 9. Opak Bantul, Yogyakarta 10. Progo Kulon Progo, Yogyakarta 11. Serang Kulon Progo, Yogyakarta 12. Bogowonto Kulon Progo, Yogyakarta 13. Cakrayasan (Jali) Purworejo, Jawa Tengah 14. Wawar Purworejo, Jawa Tengah 15. Lukulo Kebumen, Jawa Tengah 16. Cincingguling/Kr. bolong Kebumen, Jawa Tengah 17. I j o (Logending) Kebumen, Jawa Tengah 18. Bengawan Cilacap, Jawa Tengah 19. Serayu Cilacap, Jawa Tengah 20. Jeruk Legi-Donan **) Cilacap, Jawa Tengah *) US Army Map Service (1963; 1964).

Sebagai pembanding dilakukan pula pengecekan jenis-jenis tumbuhan mangrove di Segara Anakan dengan metode survei. Adapun kawasan yang disurvei meliputi: Alas Kitiran, Alas Malang, Arus Gede, Bagian, Bondan, Gombol dan alur perairan di sepanjang kawasan tersebut yang kesemuanya terletak di kawasan Kampung Laut. Dilakukan pula pengecekan di sepanjang alur penyeberangan dari pelabuhan Cilacap hingga Motean, yang melewati sebagian Sungai Donan, Sapuregel dan Kembang Kuning. Pengukuran kerapatan Sonneratia alba Pada setiap lokasi penelitian, tegakan S. alba yang diamati ditentukan secara purposif pada area-area dengan kerapatan paling tinggi. Pada setiap lokasi ditentukan tiga buah stasiun. Pada masing-masing stasiun diletakkan sebuah plot kuadrat dengan ukuran 20 x 20 m2, selanjutnya rata-rata kerapatan dikonversi 2 dalam 1 hektar (10.000 m ). Semua S. alba yang dijumpai dalam plot dihitung. Tegakan dengan diameter setinggi dada (DBH) > 10 cm dinyatakan sebagai pohon, kurang dari itu dinyatakan sebagai anak pohon, sedang tegakan < 50 cm dinyatakan sebagai seedling. Pada pohon yang ditebang di bawah DBH namun kembali tumbuh (trubus), pengukuran diameter dilakukan pada bagian batang teratas yang memungkinkan. Pengukuran parameter lingkungan Parameter lingkungan yang diukur dan diamati meliputi: suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, kadar total padatan terlarut (TDS), kadar oksigen terlarut (DO), kadar salinitas, pola genangan, dan tekstur sedimen tanah. Pengukuran dilakukan pada siang hari antara pukul 09.00-15.00 wib. Suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, serta total padatan terlarut diukur dengan Hanna Instrument HI 991300, USA. Kadar oksigen terlarut (DO) diukur dengan oksigenmeter merek Oxi 330/SET, Jerman. Kadar salinitas diukur dengan refraktometer merek N.O.W, 0-100%, Jepang (selanjutnya dikonversi dalam ppt; part per thousand). Pola genangan dicatat pada lembar kertas sebagai hasil wawancara dengan aparat pemerintah dan penduduk

Letak geografi *) o o o o 111 18’00” – 111 19’00” BT; 8 15’00” – 8 15’45” LS o o o o 111 17’00” – 111 18’00” BT; 8 15’00” – 8 15’45” LS o o o o 111 12’30” – 111 13’30” BT; 8 15’00’ – 8 15’45” LS o o o o 111 05’30” – 111 06’30” BT; 8 12’00” – 8 13’15” LS o o o o 111 04’00” – 111 04’15” BT; 8 13’15’ – 8 14’00” LS o o o o 110 57’00” – 110 57’30” BT; 8 12’30” – 8 14’15” LS o o o o 110 47’00” – 110 47’30” BT; 8 11’00” – 8 11’30” LS o o o o 110 32’15” – 110 32’45” BT; 8 07’45” – 8 08’00” LS o o o o 110 15’45” – 110 17’45” BT; 7 58’45” – 8 00’45” LS o o o o 110 12’00” – 110 14’30” BT; 7 55’30” – 7 58’45” LS o o o o 110 03’45” – 110 04’30” BT; 7 54’30” – 7 55’15” LS o o o o 110 00’45” – 110 01’45” BT; 7 53’00” – 7 53’45” LS o o o o 109 53’30” – 109 54’45” BT; 7 50’45” – 7 51’30” LS o o o o 109 48’30” – 109 49’30” BT; 7 48’45” – 7 50’15” LS o o o o 109 35’30” – 109 37’45” BT; 7 46’00” – 7 47’00” LS o o o o 109 27’15” – 109 28’45” BT; 7 44’00” – 7 45’30” LS o o o o 109 22’45” – 109 23’30” BT; 7 42’00” – 7 43’00” LS o o o o 109 09’00” – 109 09’45” BT; 7 39’45” – 7 41’15” LS o o o o 109 05’00” – 109 07’45” BT; 7 39’45” – 7 41’15” LS o o o o 108 59’00” – 109 02’00” BT; 7 39’00” – 7 44’00” LS

lokal; sedang tekstur tanah digolongkan sebagai pasir, lumpur (silt), lempung (tanah liat), atau campurannya. Setiap parameter diukur sebanyak 3-5 kali, tergantung keanekaragaman fisiografinya. Analisis data Data hasil penelitian dijelaskan secara deskriptif komparatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi habitat mangrove Hutan mangrove dapat mencapai lebar beberapa meter di bibir pantai hingga ratusan kilometer ke hulu sungai (Chapman, 1992; Wainwright, 1984). Pada sungai-sungai besar formasi hutan ini dapat menjorok hingga ratusan kilometer ke daratan. Di Pulau Kalimantan, tepatnya di Sungai Baram hutan ini menjorok hingga 150 km ke hulu, bahkan di Sungai Kapuas hingga 240 km (Steenis, 1958). Sekitar 60-75% panjang garis pantai daerah tropis ditumbuhi hutan mangrove (Walsh, 1974 dalam Chapman, 1992). Pantai selatan Jawa memiliki cukup banyak muara sungai yang berpotensi menjadi habitat mangrove. Muara-muara sungai ini membentuk laguna karena adanya gosong pasir di mulut muara. Hal ini terjadi karena aliran air sungai yang mengandung sedimen tanah dari daratan menuju laut bertemu dengan gelombang laut menuju daratan yang membawa butiranbutiran pasir. Laguna ini merupakan kawasan potensial bagi pertumbuhan mangrove dan pada masa lalu diduga merupakan habitat mangrove. Dalam penelitian ini, sebanyak 10 dari 20 muara sungai yang diamati masih memiliki sisa-sisa tumbuhan mangrove (Tabel 2). Pada dasarnya semua sungai yang diteliti memiliki sebagian daerah pasang surut yang potensial bagi pertumbuhan mangrove. Proses perubahan habitat tampaknya menjadi masalah pokok yang menyebabkan komunitas mangrove hilang dari sebagian muara sungai tersebut. Kebanyakan habitat mangrove telah diubah menjadi lahan persawahan atau bahkan

106 pemukiman. Pada beberapa muara sungai, area ini telah diubah menjadi tambak, seperti di sepanjang tepian Sungai Ijo.

No.

Muara sungai

Hadir

Tabel 2. Distribusi mangrove pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa. Estimasi luas mangrove (ha) Dahulu

Kini

1. Wiyoro 50-100 0 • 2. Kitri 100-150 0 • 3. Padi 100-200 0 • 9 4. Grindulu 200-300 100 9 5. Teleng 50-100 50 6. Barong 50-100 0 • 7. Sadeng 25-50 0 • 8. Baron 25-50 0 • 9. Opak 200-250 0 • 10. Progo 300-350 0 • 11. Serang 50-100 0 • 9 12. Bogowonto 100-200 100 9 13. Cakrayasan 100-150 50 14. Wawar 100-150 0 • 9 15. Lukulo 250-300 50 9 16. Cincingguling 300-400 100 9 17. Ijo 200-250 100 9 18. Bengawan 200-250 150 9 19. Serayu 400-500 50 9 20. Jeruk Legi-Donan > 1000 > 1000 Keterangan: “9” salah satu komponen mayor atau minor hadir; “•“ komponen mayor atau minor tidak hadir, meskipun tumbuhan asosiasi hadir.

Hilangnya mangrove pada beberapa sungai selain dikarenakan perubahan habitat juga disebabkan jenis sedimentasi dari daerah aliran sungai yang tidak sesuai bagi pertumbuhan mangrove, misalnya Sungai Serayu dimana dominasi sedimen pasir di tepian sungai sangat tinggi, sehingga pertumbuhan mangrove umumnya terpencar dalam kelompok-kelompok kecil pada anakanak sungai dan kolam-kolam di sekitar sungai utama yang memiliki jenis sedimen lempung atau lumpur. Di kawasan ini pertumbuhan mangrove tidak dapat mencapai klimaks. Kondisi demikian telah terjadi sejak lama. Dalam peta topografi US Army Map Service (1963; 1964) ekosistem lahan basah di sungai ini digambarkan terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil pada kawasan yang sangat luas. Di tempat ini Acanthus illicifolius yang menyukai lahan terbuka lebih mudah dijumpai dari pada spesies mangrove lainnya. Kabupaten Pacitan, Wonogiri, Gunung Kidul, serta sebagian Kabupaten Bantul dan Kulon Progo terletak di kawasan pegunungan kapur, sehingga muara-muara sungai di tempat ini umumnya memiliki tebing yang curam dengan luas tepian muara sungai sempit, beberapa diantaranya didominasi sedimen pasir. Hal ini secara umum tidak cocok bagi pertumbuhan mangrove, namun di tempat-tempat tertentu masih dijumpai lahan basah dengan dominasi lempung atau lumpur, meskipun lahan ini umumnya sudah diubah menjadi sawah. Pada masa lalu area ini dimungkinkan merupakan habitat mangrove. Mangrove di Pacitan hanya dijumpai di muara Sungai Teleng dan Grindulu, dimana keduanya terletak di Teluk Pacitan, yakni pada dataran alluvial kota tersebut. Tempat ini sangat cocok bagi pertumbuhan mangrove mengingat adanya masukan lumpur dan air tawar oleh

aliran sungai yang melewati dataran alluvial tersebut, serta adanya perlindungan dari gelombang laut oleh teluk dan masukan air laut melalui mekanisme pasang surut. Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap keberadaan habitat mangrove, secara nyata dapat diamati di muara Sungai Cincingguling. Muara sungai ini semula memiliki ekosistem lahan basah sangat luas, terdiri dari meander, laguna dan sungai-sungai kecil yang sangat banyak dan terletak pada area yang luas, namun dalam upaya pengendalian banjir dan ekstensifikasi pertanian, sungai-sungai kecil tersebut diubah menjadi kanal-kanal lurus dengan tebing yang diperkeras, sedangkan meander dan laguna diubah menjadi sawah, sehingga luasan habitat mangrove menjadi sangat tereduksi. Sisa-sisa vegetasi mangrove di kawasan ini terpencar-pencar di antara lahan pertanian pada kawasan yang cukup luas. Namun pada tempat-tempat tertentu masih dijumpai beberapa spesies mangrove yang tumbuh mengelompok dalam jumlah agak banyak, misalnya N. fruticans. Keanekaragaman spesies mangrove Tomlinson (1986) memilahkan spesies penyusun hutan mangrove menjadi komponen mayor, minor dan tumbuhan asosiasi mangrove. Komponen mayor memiliki ciri-ciri: (i) hanya dapat tumbuh pada ekosistem mangrove; (ii) merupakan penyusun utama hutan mangrove dan dapat membentuk tegakan murni; (iii) beradaptasi secara morfologi terhadap lingkungan mangrove, misalnya dengan membentuk akar napas dan embryo vivipar; (iv) dapat bertahan dalam kondisi asin karena memiliki mekanisme fisiologi untuk membuang kelebihan garam; dan (v) berbeda secara taksonomi dengan tumbuhan terestrial, setidaknya hingga tingkat genus. Komponen minor adalah tumbuhan mangrove yang tidak mampu membentuk tipe vegetasi yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni dan hanya menempati bagian tepi habitat. Adapun tumbuhan asosiasi adalah spesies tumbuhan yang berasosiasi dengan hutan pantai dan dapat disebarluaskan oleh arus air laut. Dalam penelitian ini jumlah keseluruhan spesies mangrove komponen mayor, minor dan tumbuhan asosiasi pada 10 muara sungai di pantai selatan Jawa lebih banyak dari pada di Segara Anakan, masingmasing 29 dan 27 spesies (Tabel 3). Spesies yang ditemukan di Segara Anakan umumnya merupakan kelompok mayor dan minor, sedang spesies dari 10 muara sungai umumnya dari kelompok tumbuhan asosiasi. Hal ini terjadi karena pengamatan di Segara Anakan di lakukan pada pusat-pusat distribusi mangrove, dimana invasi tumbuhan asosiasi masih sangat terbatas. Sebaliknya pada 10 muara sungai yang diamati, kecuali Sungai Jeruk Legi-Donan, komunitas mangrove hanya tinggal sisa-sisa (relik), dimana invasi tumbuhan pantai dan spesies asosiasi lainnya sangat tinggi. Apabila pengamatan vegetasi mangrove di Segara Anakan juga dilakukan pada area tepi vegetasi, boleh jadi jumlah spesies asosiasi yang ditemukan akan bertambah. Dalam penelitian ini spesies mangrove komponen mayor, minor dan tumbuhan asosiasi yang dijumpai di 10 muara sungai secara berturut-turut sebanyak 9, 2 dan 18 spesies, sedangkan di Segara Anakan dijumpai secara berturut-turut sebanyak 13, 8, dan 6 spesies.

107

18

13

19 20

14

7

15

8

2

16

9

3

17

10

4

11

5

12

6

1

1

4

2

3

4&5

6

7

8

5

108

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

Gambar 1. Peta lokasi penelitian: 1. Wiyoro, 2. Kitri, 3. Padi , 4. Teleng, 5. Grindulu, 6. Barong, 7. Sadeng, 8. Baron (bawah tanah), 9. Opak, 10, Progo, 11. Serang, 12. Bogowonto, 13. Cakrayasan, 14. Wawar, 15. Lukulo, 16. Cincingguling, 17. Ijo, 18. Bengawan, 19. Serayu, dan 20, Jeruk Legi-Donan. Garis = 2 Km. Daerah yang diarsir menunjukkan keberadaan sisa-sisa vegetasi mangrove pada saat ini.

20

109

Komponen mayor Avicennia alba Avicennia lanata Avicennia marina Avicennia officinalis Bruguiera cylindrica Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera parviflora Bruguiera sexangula Ceriops decandra Ceriops tagal Lumnitzera littorea Lumnitzera racemosa Nypa fruticans Rhizophora apiculata Rhizophora lamarckii Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Komponen minor 20. Acrosticum aureum 21. Aegiceras corniculatum 22. Aegiceras floridum 23. Excoecaria agallocha 24. Heritiera littoralis 25. Osbornia octodonta 26. Pemphis acidula Scyphiphora hydrophyllacea 27. 28. Xylocarpus granatum 29. Xylocarpus moluccensis 30. Xylocarpus rumphii Tumbuhan asosiasi 31. Acanthus ilicifolius 32. Barringtonia asiatica 33. Calophyllum inophyllum 34. Calotropis gigantea 35. Cerbera manghas 36. Clerodendrum inerme 37. Derris trifoliata 38. Finlaysonia maritima 39. Hibiscus tiliaceus 40. Ipomoea pescaprae 41. Pandanus tectorius 42. Pongamia pinnata 43. Sesuvium portulacastrum 44. Spinifex littoreus Stachytarpheta jamaicensis 45. 46. Terminalia catappa 47. Thespresia populnea 48. Scirpus littoralis 49. Welingi (Cyperaceae) 50. Jumlah spesies Keterangan: “9”hadir; “•“ tidak hadir. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

Jumlah muara

Segara Anakan

Jeruk Legi-Donan

Serayu

Bengawan

Ijo

Cingcing-guling

Lukulo

Teleng

Cakrayasan

Nama Spesies

Grindulu

No.

Bogowonto

Tabel 3. Keragaman spesies tumbuhan mangrove di pantai selatan Jawa.

9 • • • • • • • • • • • • • • • • 9 •

9 • • • • • • • • • • • • • • • • 9 •

• • • • • • • • • • • • 9 • • 9 • 9 •

• • • • • • • • • • • • • • • • • 9 •

• • • • • • • • • • • • • • • • • 9 •

• • • • • • • • • • • • 9 • • • • • •

9 • 9 • • • • • • • • • 9 • • 9 • 9 •

• • • • • • • • • • • • 9 • • 9 • 9 •

• • • • • • • • • • • • 9 • • • • 9 •

9 • • • 9 9 9 • • • • • 9 9 • 9 • 9 •

9 • 9 9 9 9 • 9 9 9 • • 9 9 • 9 • 9 9

4 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 6 1 0 4 0 9 0

• • • • • • • • • • •

• • • • • • • • • • •

9 • • • • • • • • • •

9 • • • • • • • • • •

• • • • • • • • • • •

• • • • • • • • • • •

9 • • • • • • • • • •

• • • • • • • • • • •

9 • • • • • • • • • •

9 • • 9 • • • • • • •

9 9 • 9 9 • • 9 9 9 9

5 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

9 • 9 • • • 9 • 9 9 9 • • • • 9 • • • 9

9 • • • • • 9 • • 9 • • • • • 9 9 • • 7

9 • 9 9 • • 9 • 9 9 9 9 • 9 9 9 • • • 15

9 • 9 9 • • 9 •

9 9 9 • • • • • 9 9 9 • 9 • 9 • • • • 9

• • • 9 • • • • 9 9 9 • • • • 9 • • • 6

9 • 9 • • • 9 9 9 9 • 9 • • • 9 • • • 14

• • • • • • 9 • 9 9 • • • • • 9 • • 9 8

9 • • 9 • • • • 9 9 9 • • 9 • 9 • • • 10

9 • 9 • • 9 9 • • • • • • • • 9 • • • 15

9 • • 9 9 9 • • • • • • • • • • • 9 9 27

8 1 6 4 0 1 7 1 7 9 6 2 1 2 2 9 1 1 1 29

Tumbuhan mangrove komponen mayor yang paling sering dijumpai pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa adalah S. alba (9 sungai), disusul N. fruticans (6 sungai), R. mucronata dan A. alba (4 sungai). Sedangkan A. marina, B. cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, dan R. apiculata masing-

9 9 • • 9 • 9 • 9 • 11

masing hanya ditemukan pada satu sungai. S. alba selaku tumbuhan pionir tampaknya memiliki pola pemencaran dan daya adaptasi lebih baik dari pada spesies lain sehingga mampu tumbuh pada lebih banyak muara sungai. Tumbuhan mangrove komponen minor yang dapat dijumpai di tempat ini hanya dua spesies,

110 yaitu A. aureum (5 sungai) dan E. agallocha (1 sungai). Tumbuhan asosiasi yang paling sering dijumpai pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa adalah I. pescaprae dan T. catappa (9 sungai), diikuti A. ilicifolius (8 sungai), D. trifoliata dan H. tiliaceus (7 sungai), C. inophyllum dan P. tectorius (6 sungai), C. gigantea (4 sungai), serta P. pinnata, S. littoreus dan S. jamaicensis (2 sungai). Adapun spesies yang hanya ditemukan pada satu sungai adalah B. asiatica, C. inerme, F. maritima, S. portulacastrum, T. populnea, S. littoralis, dan Welingi (Cyperaceae). C. manghas merupakan satu-satunya tumbuhan asosiasi yang ditemukan di Segara Anakan, namun tidak ditemukan pada muara-muara sungai. I. pescaprae merupakan tumbuhan khas pantai sehingga sangat wajar apabila ditemukan sebagai tumbuhan asosiasi di muara-muara sungai, sedangkan T. catappa merupakan tumbuhan daratan rendah yang sangat tinggi daya adaptasinya, termasuk adaptasi terhadap salinitas, sehingga banyak dijumpai sebagai tumbuhan asosiasi mangrove di muara-muara sungai. Sungai yang memiliki paling banyak spesies mangrove, baik komponen mayor, minor maupun tumbuhan asosiasi secara berturut-turut adalah: Sungai Jeruk Legi-Donan dan Bogowonto (15 sp.), Ijo (14 sp.), Cakrayasan (11 sp.), Serayu (10 sp.), Grindulu (9 sp.), Lukulo (9 sp.), Bengawan (8 sp.), Teleng (7 sp.), dan Cincingguling (6 sp.). Banyaknya spesies mangrove yang ditemukan di Sungai Jeruk Legi-Donan merupakan hal yang wajar mengingat kawasan ini berbatasan langsung dengan Segara Anakan yang merupakan pusat ekosistem mangrove di pantai selatan Pulau Jawa, hingga memungkinkan adanya suplai biji dan propagul lain dari tempat tersebut. Kerapatan Sonneratia alba Sonneratia alba J.E. Smith merupakan salah satu dari tiga anggota genus Sonneratia yang tumbuh di Jawa. Kerabat dekatnya adalah Sonneratia caseolaris (L.) Engl. dan Sonneratia ovata Back. S. alba memiliki penyebaran paling luas. Spesies ini dibedakan dari kedua kerabatnya karena memiliki kuncup bunga berbentuk elips, tabung kelopak memiliki tulang rusuk, tidak berbulu, bagian dalam kemerah-merahan, cuping sepala cenderung melekuk ke luar; mahkota kecil, putih atau separuh merah-putih, filamen cenderung putih. Daun membulat, ujung meruncing, tanpa pembalikan (Tomlison, 1986; Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1963). Kulit batang putih hingga coklat dan memiliki celah-celah memanjang (Ng dan Sivasothi, 2001). Dalam indentifikasi, S. alba seringkali dikacaukan dengan S. caseolaris dan S. ovata. Dalam penelitian ini semua semua spesies Sonneratia yang ditemukan pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa diidentifikasi sebagai S. alba, terutama karena batangnya berwarna putih dan bercelah-celah memanjang, dengan tinggi dapat mencapai 20 m. S. caseolaris memiliki batang berwarna coklat kelam dengan tinggi hampir sama dengan S. alba, namun batang/ cabang cenderung tumbuh miring, sedang S. ovata memiliki batang berwarna coklat mengkilat dan jauh lebih pendek dari kedua spesies lain. Batang kayu S. alba merupakan bahan bangunan yang baik, berbeda dengan kedua spesies lainnya. S. alba menempati posisi khusus dalam komunitas mangrove. Spesies ini merupakan tumbuhan pionir yang mampu menginvasi tanah timbul (delta) yang baru

terbentuk akibat sedimentasi. Selaku tumbuhan pionir daya tahan dan daya adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda relatif tinggi. Dalam penelitian ini, S. alba merupakan komponen mayor vegetasi mangrove yang paling sering dijumpai di muara-muara sungai pantai selatan Jawa. Dari 10 muara sungai yang memiliki komunitas mangrove, hanya satu sungai yang tidak memiliki tumbuhan ini, yakni Sungai Cincingguling. Oleh karena itu secara khusus S. alba dipilih untuk mengetahui kerapatan tegakan pohon, anak pohon (sapling) dan bibit (seedling), sehingga prediksi keberlanjutan keberadaannya pada masa depan dapat ditentukan. Tabel 4. Kerapatan S. alba pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa. Estimasi jumlah individu/ha P AP S 1. Grindulu 25 100 100 2. Teleng 125 125 150 3. Bogowonto 125 200 100 4. Cakrayasan 75 75 50 5. Lukulo 50 25 25 6. Cincingguling *) 0 0 0 7. Ijo 25 25 25 8. Bengawan 100 125 125 9. Serayu ~ 25 ~ 25 ~ 25 10. Jeruk Legi-Donan > 250 > 250 > 250 Keterangan: *) Sungai Cincingguling merupakan satu-satunya kawasan mangrove tanpa S. alba. No.

Muara Sungai

Berdasarkan estimasi jumlah individu dalam setiap hektar (Tabel 4), hanya di Sungai Jeruk Legi-Donan yang berbatasan langsung dengan kawasan Segara Anakan keberadaan S. alba cukup melimpah, dengan proporsi pohon, anak pohon dan sedling ideal sedangkan pada sungai-sungai lain yang bermuara langsung di pantai selatan Jawa, kerapatannya cenderung rendah. Keberadaan S. alba di Sungai Grindulu, Teleng, Bogowonto, dan Bengawan relatif lebih baik dari pada di Sungai Lukulo, Ijo dan Serayu. Pada kelompok pertama jumlah anak pohon dan sedling relatif lebih banyak dibandingkan pohon sehingga diharapkan regenerasi berjalan dengan baik. Sedang pada kelompok kedua jumlah anak pohon dan sedling relatif sedikit, sehingga keberlanjutan hidupnya diragukan. S. alba tidak ditemukan di Sungai Cincingguling, meskipun kawasan ini masih menyisakan vegetasi mangrove. Menurut kesaksian penduduk pada masa lalu S. alba juga dapat ditemukan di kawasan ini, namun pertanian yang ekstensif menyebabkan sebagian besar habitat mangrove diubah menjadi lahan pertanian, di samping itu sungai-sungai diluruskan dan dibuat kanal-kanal dengan tebing lebih padat, sehingga mengurangi habitat S. alba. Di Sungai Bogowonto banyaknya jumlah pohon dan anak pohon tidak secara linier diikuti banyaknya jumlah sedling. Hal ini disebabkan pohon-pohon tersebut merupakan sisa-sisa mangrove yang tumbuh alami, sedang anak pohon merupakan hasil proses rehabilitasi. Pada tegakan pohon tua, sedling umumnya ternaungi sehingga pertumbuhannya tidak optimum, sedangkan pada tegakan anak pohon, lantai mangrove yang terkena sinar matahari langsung didominasi sejenis Gramineae, sehingga sedling tertekan dalam kompetisi. Dalam hal

111 ini, anak pohon S. alba dengan diameter batang 5-10 cm sudah mampu bereproduksi, tidak harus menunggu menjadi pohon dengan ukuran > 10 cm. Pemerintah beberapa kabupaten di pantai selatan Jawa bersama dengan berbagai lembaga lain, secara proaktif telah melakukan upaya rehabilitasi lahan mangrove, khususnya dengan penanaman S. alba, namun upaya ini cenderung tidak berhasil. Pada tahun 2000 Pemerintah Kabupaten Purworejo melakukan penanaman S. alba cukup luas di muara Sungai Cakrayasan, sedangkan Pemerintah Kabupaten Kebumen melakukan penanaman spesies yang sama di muara Sungai Lukulo, namun pengamatan lapangan pada bulan April 2002 menunjukkan bahwa hampir semua bibit yang ditanam gagal tumbuh, sedangkan spesies yang dijumpai merupakan sisa-sisa vegetasi lama. Dalam upaya rehabilitasi ini selain harus diperhatikan prosedur budidaya yang benar, tampaknya perlu pula dipilih bibit dari induk lokal yang telah terbukti mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan lokal. Sungai Serayu memiliki jaringan anak sungai cukup banyak sehingga kawasan lahan basah yang memungkinkan pertumbuhan mangrove relatif luas, namun jenis tanahnya yang cenderung berpasir menyebabkan mangrove hanya tumbuh di tempattempat tertentu, dimana kandungan lumpur dan tanah liat cukup. Di kawasan ini, S. alba dan spesies mangrove lainnya ditemukan dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar-pencar pada daerah sangat luas (Gambar 1), sehingga kerapatannya rendah. Parameter lingkungan Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air tawar dari sungai, sedimentasi dan aliran air pasang surut (Goldman dan Horne, 1983). Proses internal dalam komunitas, seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara sangat dipengaruhi proses eksternal, seperti suplai air tawar dari sungai dan pasang surut air laut, suplai hara dan stabilitas sedimen (Blasco, 1992). Faktor utama yang mempengaruhi komunitas mangrove adalah salinitas, tipe tanah, serta daya tahan terhadap arus air dan gelombang laut (Chapman, 1992; Steenis, 1958). Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi

pantai ke daratan, sehingga dapat terbentuk zonasi (Giesen, 1991). Salinitas Komunitas hutan mangrove memiliki rentang toleransi yang luas terhadap garam, mulai dari halofit sejati yang sangat tahan hingga glikofit yang sangat rentan (Barbour dkk., 1987). Salinitas dipengaruhi oleh aliran pasang surut dan musim (Goldman dan Horne, 1983). Kadar garam biasanya dinyatakan sebagai bagian per seribu (parts per thousand; ppt), yakni jumlah garam (gram) yang larut dalam 1.000 gram air, namun sering pula dinyatakan dalam persentase. Kadar garam air laut biasanya berkisar 35 ppt. Berdasarkan tingkat salinitasnya perairan dapat digolongkan menjadi perairan oligohalin, dengan salinitas rendah (0,5-5 ppt), mesohalin dengan salinitas sedang (5-18 ppt) dan polihalin dengan salinitas tinggi (18-35 ppt). Air payau biasanya bersifat oligihalin atau mesohalin, namun kadar salinitas perairan mangrove dapat bervariasi dari 0,5-35 ppt. Hal ini disebabkan adanya pasang naik, dimana air laut dapat membanjiri hutan mangrove dan salinitas menjadi polihialin (Ng dan Sivasothi, 2001). Dalam penelitian ini variasi tingkat salinitas sangat menyolok, mulai dari 1-34 ppt, dengan rata-rata 16 ppt (Tabel 5). Pola pasang surut air laut dan lokasi yang dipilih untuk pengukuran sangat berpengaruh terhadap besarnya salinitas. Penelitian ini dilakukan pada perpindahan musim hujan ke musim kemarau, dimana debit air sungai relatif masing tinggi dan secara periodik mampu menembus gosong pasir di muara sungai, sehingga gosong pasir tidak terlalu tinggi dan dapat dilewati arus pasang, akibatnya pola genangan pada laguna bersifat harian mengikuti pola pasang surut air laut. Nilai salinitas yang tinggi umumnya diperoleh apabila pengukuran dilakukan pada saat laut sedang mengalami pasang, misalnya pengukuran di Sungai Cakrayasan (34 ppt), Bengawan (31 ppt), Ijo (29 ppt) dan Cincingguling (25 ppt). Pengukuran salinitas di Sungai Jeruk Legi-Donan juga dilakukan pada saat air laut pasang, namun hasilnya lebih rendah (21 ppt), hal ini terjadi karena kawasan tempat pengukuran (Tritih dan sekitarnya) relatif jauh dari muara yang terhubung langsung dengan laut bebas.

Tabel 5. Pengukuran parameter fisik-kimia vegetasi mangrove pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa. o

Suhu ( C)

pH

TDS air (ppm)

DO air (ppm)

Salinitas air (ppt)

No.

Muara sungai

1.

Grindulu

38,2

35,1

7,96

7,03

~ 2000

6,69

1

2. 3. 4.

Teleng Bogowonto Cakrayasan

36,7 31,6 30,0

34,5 31,4 29,5

7,81 6,98 7,17

7,06 6,72 6,81

~ 2000 ~ 2000 2000

7,02 6,62 10,14

2 4 34

5.

Lukulo

32,7

32,3

7,52

7,13

~ 2000

8,23

6

6.

Cincingguling

30,8

30,6

7,24

7,04

2000

9,75

25

7. 8.

Ijo Bengawan

28,6 28,8

28,9 28,9

6,94 6,95

6,93 6,94

2000 2000

7,43 11,27

29 31

9.

Serayu

31,3

30,9

7,34

6,97

2000

9,19

5

10.

Jeruk Legi-Donan Rata-rata

31,6 32,0

31,8 31,4

6,97 7,29

6,94 6,96

2000 ~ 2000

16,55 9,29

21 16

air

sed

air

sed

Sedimen Tekstur Lempung-pasir; hitam-kelabu; padat Lumpur halus; kelabu; becek Lempung; kelabu; padat Lumpur halus-lempung; kelabumerah;becek Lempung-pasir; hitam-merah; padat Lempung-pasir; hitam-merah; padat Lempung; merah; padat Lumpur-lempung; kelabumerah; padat Lempung-pasir; hitam-merah; padat Lumpur halus; kelabu; becek -

Kedalaman (cm) 0-25 50-75 25-50 50-75 0-25 0-25 25-50 25-50 0-25 50-100 -

112

Di hutan mangrove masukan air tawar sangat berpengaruh, sehingga laguna muara sungai dan meander di sekitarnya bersifat oligohalin bahkan kadangkadang bersifat tawar. Nilai salinitas rendah yang didapat karena pengukuran dilakukan pada saat laut surut terjadi di Sungi Grindulu (1 ppt), Teleng (2 ppt), Bogowonto (4 ppt), dan Lukulo (6 ppt). Pengukuran salinitas pada sungai-sungai ini dilakukan pada kubangan-kubangan air di antara vegetasi mangrove. Hasil pengukuran menunjukkan kadar salinitas yang relatif rendah, hal ini terjadi karena sisa-sisa garam dalam badan air diikat oleh tanah lumpur atau lempung dan terendapkan. Hal sebaliknya dapat terjadi apabila pengukuran dilakukan pada kubangan air laut yang terletak di atas pasir, dimana sinar matahari akan menguapkan air sedangkan butir-butir pasir cenderung tidak mampu mengikat garam, sehingga kadar salinitas dapat naik. Menurut Ng dan Sivasothi (2001), dalam kondisi demikian kolamkolam yang terbentuk dapat bersifat hipersalin (>30 ppt). Dalam penelitian ini pengukuran salinitas di Sungai Serayu dilakukan pada sisa-sisa vegetasi yang tidak terhubung langsung dengan laut yang sedang pasang, sehingga diperoleh salinitas rendah (5 ppt). Pada tanggal bulan baru atau bulan purnama, serta 2-3 hari sesudahnya kawasan ini tetap terendam air pasang, mengingat pada hari-hari tersebut air laut yang sedang pasang dapat mencapat 3-5 meter di atas garis surut terendah. Tekstur tanah Tanah kawasan mangrove di pantai selatan Jawa, merupakan tanah alluvial dari laut dan daratan yang diangkut oleh sungai dan arus laut dan diendapkan sebagai sedimen. Tanah terdiri dari pasir, lumpur (silt) dan lempung dengan komposisi berbeda-beda tergantung lokasi dan geomorfologi daerah aliran sungai. Beberapa muara sungai yang memiliki daerah aliran sungai di kawasan pegunungan kapur, dominasi sedimen pasir sangat menonjol sehingga keragaman dan kepadatan vegetasi mangrove relatif rendah atau bahkan tidak ada. Hal ini teramati pada sebagian sungaisungai di Pacitan, Wonogiri, dan Yogyakarta. Di kawasan ini vegetasi mangrove hanya ditemukan di Teluk Pacitan dan Sungai Bogowonto, dimana komposisi sedimen lempung dan lumpur lebih tinggi dari pada pasir. Sedimen muara-muara sungai di sebelah barat Sungai Bogowonto umumnya disusun oleh lumpur dan lempung, dimana keduanya kaya akan bahan organik sehingga mampu mendukung pertumbuhan mangrove. Namun pada Sungai Serayu dan Wawar dominasi pasir relatif tinggi dan miskin hara, sehingga pertumbuhan mangrove relatif rendah. Bahkan di muara Sungai Wawar vegetasi ini tidak ditemukan. Sungai Wawar merupakan satu-satunya sungai di antara Sungai Bogowonto dan Segara Anakan yang tidak ditumbuhi mangrove. Pada beberapa muara sungai permukaan topsoil umumnya terlihat sebagai tanah pasir atau lempung. Tanah pasir umumnya berwarna lebih terang, porous, lebih mudah tergenang pada waktu pasang dan mengalami aerasi pada waktu surut. Sedangkan tanah lempung berwarna lebih gelap dan proses aerasi lebih lambat, namun keberadaan hewan pembuat lubang seperti kepiting dan ikan gelodok dapat membantu aerasi. Tanah di bawah permukaan (subsoil) hampir

selalu tergenang air. Semakin dalam tanah maka semakin sedikit tingkat aerasinya, sehingga proses dekomposisi bahan organik juga semakin lambat. Pada beberapa lokasi seperti di Sungai Teleng dan Jeruk LegiDonan, serta sebagian lokasi di Sungai Bogowonto dan Cakrayasan, tanah berwarna kelabu gelap hingga hitam dan di beberapa tempat, secara samar-samar berbau seperti telur busuk. Hal ini menunjukkan adanya gas H2S sebagai hasil aktivitas bakteri aerobik pereduksi sulfur. Perbedaan kondisi tanah dapat menyebabkan terjadinya zonasi distribusi hewan dan tumbuhan. Namun dalam penelitian ini pembentukan zonasi tumbuhan mangrove sulit diamati mengingat jumlah vegetasi yang tersisa pada setiap muara sungai relatif sedikit dan kegiatan antropogenik sangat tinggi. Zonasi merupakan kombinasi dari faktor salinitas, kondisi tanah, ketinggian pasang surut, ketersediaan propagul dan kompetisi. Umumnya Avicennia dan Sonneratia tetap dapat tumbuh pada tanah yang mengandung pasir meskipun lebih menyukai tanah lempung atau lumpur, sedangkan Rhizophora tumbuh dengan baik pada tanah lumpur lembut yang kaya humus, adapun Bruguiera menyukai tanah lempung keras yang mengandung sedikit bahan organik. Di beberapa muara, seperti Sungai Bengawan, Ijo dan Cincingguling dimana campuran substrat lumpur dan tanah liat cukup, N. fruticans tumbuh melimpah di sepanjang tepian sungai. Hara tanah di hutan mangrove dapat dihasilkan sendiri oleh komunitas setempat (autochthonous) melalui produsen primer atau diperoleh dari luar (allochthonous) melalui sungai dan laut. Muara sungai pada dasarnya merupakan kawasan yang kaya hara. Hujan secara teratur membawa hara dari daerah aliran sungai ke dalam mangrove, sedangkan laut membawa bahan organik terlarut termasuk organisme-organisme kecil ke hutan mangrove pada saat laut pasang. Dalam penelitian ini material padat yang terlarut dalam air (TDS) relatif tinggi dengan rata-rata mendekati 2000 ppm. Hal ini disebabkan tingginya tingkat sedimentasi, dimana secara visual terlihat dari warna air yang hampir selalu berwarna coklat keruh. Jumlah total padatan terlarut boleh jadi lebih besar dari angka tersebut, mengingat alat yang digunakan hanya mampu mendeteksi hingga 2000 ppm. Derajat keasaman (pH) Perairan di kawasan mangrove umumnya bersifat alkali, hal ini merupakan akibat kalsium dari cangkang dan terumbu karang lepas pantai yang larut di dalamnya. Namun tanah mangrove cenderung netral hingga sedikit asam, hal ini merupakan akibat aktivitas bakteri pereduksi sulfur dan adanya tanah liat yang asam. Dalam penelitian ini, pH air hampir selalu sedikit lebih tinggi dari pada pH sedimen, secara berturut-turut nilai rata-rata keduanya adalah 7,29 dan 6,96. Kadar oksigen Kadar oksigen terlarut di perairan hutan mangrove biasanya lebih kecil dari pada laut bebas. Kadar ini semakin rendah pada tempat-tempat yang mengalami pencemaran bahan organik, sehingga terbentuk zona anoksik pada badan air. Oksigen dipermukaan sedimen tanah digunakan bakteri untuk pembusukan dan respirasi. Permukaan tanah sedalam beberapa milimeter (sediment water interface) selalu mengandung oksigen

113 yang berasal dari sirkulasi pasang surut dan pertukaran dengan atmosfer. Di bawah lapisan ini, bahan organik dan partikel lumpur halus berada dalam kondisi anoksik, dimana hanya bakteri anaerob yang dapat menguraikan materi organik. Hasilnya berupa gas H2S yang menyebabkan tanah berwarna gelap dan berbau telur busuk. Dalam penelitian ini rata-rata kadar oksigen terlarut dalam air sebesar 9,29 ppm. Pada beberapa lokasi yang lumpurnya berbau telur busuk, kadar oksigen terlarutnya relatif rendah, misalnya di Sungai Grindulu, Teleng dan Bogowonto. Sedang pada lokasi yang airnya cenderung mengalir karena arus air atau gerakan angin, kadar oksigen terlarutnya relatif lebih tinggi, misalnya di Sungai Jeruk Legi-Donan. Suhu Dalam penelitian ini, kerapatan vegetasi mangrove pada semua muara sungai di pantai selatan Jawa relatif rendah, sehingga sinar, matahari dapat mencapai permukaan tanah. Akibatnya suhu air dan sedimen tanah relatif tinggi, dimana rata-ratanya secara berturut-turut adalah 32,0oC dan 31,4oC. Pada kawasan ini invasi jenis-jenis Gramineae yang tidak tercatat sebagai tumbuhan asosiasi mangrove sering ditemukan dan berkompetisi dengan sedling tumbuhan mangrove. Pengecekan pada tegakan alami ekosistem mangrove di Segara Anakan menunjukkan bahwa rata-rata suhu di tempat ini lebih kecil dari pada di muara-muara sungai (data tidak ditunjukkan). Hal ini wajar mengingat sinar matahari tertahan kanopi hutan dan tidak langsung mengenai lantai hutan. Pasang surut Pada musim kemarau rendahnya debit air sungai menyebabkan gosong pasir di muara sungai tidak dapat ditembus, sehingga air sungai menggenang dan salinitas laguna menurun. Dalam setiap tahunnya, genangan penuh ini berlangsung selama kurang lebih 1-2 bulan. Genangan umumnya terjadi pada bulan Oktober s.d. Desember tergantung lokasi dan kondisi iklim. Di luar masa tersebut, khususnya pada musim hujan besarnya debit air sungai menyebabkan terbukanya gosong pasir dan laguna terhubung langsung dengan laut bebas, sehingga terjadi genangan harian sejalan dengan pasang-surut air laut dan salinitasnya lebih bervariasi. Di pantai selatan Jawa pasang naik dan pasang surut terjadi dua kali dalam sehari. Hal ini disebabkan oleh gaya gravitasi dan sentrifugal bumi, bulan dan matahari, serta dipengaruhi pula kondisi geografi. Tinggi genang pada kedua pasang dalam sehari ini tidak selalu sama. Pada saat bulan purnama atau bulan baru yang secara bergiliran terjadi setiap dua minggu sekali, posisi bulan dan matahari terletak pada garis lurus, sehingga terjadi pasang tertinggi sekaligus surut terendah. Dalam hal ini perbedaan ketinggian pasang surut dapat mencapai 3,5 meter, bahkan hingga 5 meter. Di luar itu dapat terjadi pasang perbani dimana perbedaan pasang tertinggi dan surut terendah hanya sekitar 0,5 meter. Perilaku pasang surut berbada-beda tergantung lokasi dan waktu (musim).

KESIMPULAN Vegetasi mangrove masih dapat dijumpai pada beberapa muara-muara sungai di pantai selatan Jawa, yaitu: Sungai Grindulu, Teleng, Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, Cingcingguling, Ijo, Bengawan, Serayu dan Sungai Jeruk Legi-Donan. Di tempat tersebut ditemukan 29 spesies mangrove, terdiri dari komponen mayor (9 sp.), minor (2 sp.), dan tumbuhan asosiasi (18 sp.). Kerapatan Sonneratia alba J.E. Smith pada sungaisungai tersebut sangat bervariasi, mulai dari 0 s.d. > 250 individu per hektar. Tekstur tanah pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa berupa pasir, lempung dan liat, dimana tekstur lempung dan liat dapat mendukung pertumbuhan mangrove dengan lebih baik. Adapun ratarata nilai parameter lingkungan sebagai berikut: suhu air o o dan sedimen masing-masing 32,0 C dan 31,4 C, pH air dan sedimen masing-masing 7,29 dan 6,96, total padatan terlarut ~ 2000 ppm, DO air 9,29 ppm, dan salinitas air 16 ppm.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997a. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 1 (strategy and action plan). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation. Anonim. 1997b. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 2 (mangrove in Indonesia current status). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation. Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff. Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff. Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: P.Noordhoff. Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Barbour, M.G., J.H. Burk dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo Park: The Benjamin Cummings Publishing Company Inc. Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and PapuaNew Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian fresh water aquatic herbs (including an introduction to fresh water aquatic vegetation). PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report no.27. Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia. Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Company. Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, Zuwendra, 1992. Manual of guideline for scoping EIA in Indonesia wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No.6B. Jakarta: Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau Indonesia Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, dan I.N. Budiyana. 1999. Sustainable Management Models for Mangrove Forests. Jakarta: Ministry of Forest and Estate Crops. Kartawinata. K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Knox, G.A. dan T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in South East Asia, with Special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO.

114 Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (editors). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third edition. Philadelphia: W.B. Sounders Company. Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (eds.). Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128137

Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. US Army Map Service. 1963; 1964. Far East, Sheet Nos. 4719 I, 4720 II, 4819 I, 4819 IV, 4919 I, 4919 II, 4919 IV, 5018 I, 5019 II, 5019 III, 5118 II, 5118 III, 5118 IV, 5218 II, 5218 III. Jakarta: Direktorat Topografi Angkatan Darat Indonesia. Wainwright, S.J. 1984. Adaptation of Plant to Flooding with Salt Water. New York: Academic Press Inc. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 1987. Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus. Wirjodarmodjo. H., S.D. Soeroso, dan S. Bambang. 1979. Pengelolaan hutan payau Cilacap. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional LIPI.

115

Konservasi Mangrove di Kabupaten Rembang

ABSTRACT The aims of the research were to find out (i) species diversity of mangrove plats, (ii) the conservation problems of mangrove ecosystem, and (iii) restoration efford of mangrove ecosystem at coastal area of Rembang Regency, Central Java. This was descriptive research that was done qualitatively, in July until December 2003, at 3 sites of mangrove habitat in Rembang Regency, namely Pecangakan, Pasar Banggi, and Lasem. The data was collected in field surveys, in-depth interview to local people and/or local government, and examination of topographic maps of Java (1963-1965) and digital satellite image of Landsat 7 TM (July-September 2001). The result indicated that northern coast of Rembang had 27 mangrove species, i.e. 12 species of major mangrove, 2 species of minor mangrove, and 13 species of associated plants. Rhizophora had been dominated mangrove ecosystem in Lasem and Pasar Bangi; while Avicennia had been dominated in Pecangakan. The most degrading factors of mangrove ecosysrems were aquaculture and salt pond, timber logging, land reclamation and soil sedimentation, and environmental pollution. Mangrove restoration by Rhizophora in coast of Pasar Bangi had been successfully, because community based management. Key words: conservation problems, mangrove ecosystem, Rembang Regency, Central Java Province.

PENDAHULUAN Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosialekonomi, dan sosia-budaya yang sangat pentin; misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi

dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002). Ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, sebagaimana pantai utara Jawa Tengah lainnya tidak hanya terbentuk di kawasan muara sungai namun terutama terbentuk pada lokasi-lokai tertentu yang terlindung dari gelombang laut, dimana sedimen dari sungai dan laut terendapkan dan membentuk tidal flat atau mud flat (dataran lumpur pasang surut). Sifat Laut Jawa yang merupakan laut pedalaman dengan jeluk yang dangkal dan arus gelombang yang relatif tenang sangat mendukung proses ini (Steenis, 1958; 1965). Pantai utara Jawa kebanyakan berupa lumpur atau tanah lempung yang ditumbuhi mangrove, pantai terbuka yang berpasir jarang dijumpai, gumuk pasir hampir tidak ada. Pantai berkarang dan kadang-kadang bergamping/ karst hanya dijumpai di sebagian tempat, seperti bagian timur Rembang. Vegetasi hutan primer dan sekunder hampir tidak ada lagi, karena telah diubah menjadi lahan budidaya seperti tambak dan sawah (Steenis, 1965). Pada masa lalu ekosistem mangrove sangat melimpah di pantai utara Jawa mulai dari Banten hingga Jepara, “cekungan” antara Pati dan Rembang, serta delta SoloBrantas. Di pantai selatan ekosistem ini tumbuh di Teluk Grajakan, Pulau Sempu, Segara Anakan, dan Ujung Kulon (Whitten dkk., 2000). Keragaman bentuk fisiografi pantai mempengaruhi kultur masyarakat dalam menyikapi kondisi ekosistem mangrove, hal ini berdampak pada kelestarian ekosistem tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (i) keanekaragaman hayati tumbuhan mangrove, (ii) permasalahan ekosistem mangrove, dan (iii) upaya restorasi ekosistem mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada tiga habitat mangrove di pantai utara Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yaitu: (i) Pecangakan, Kaliori, (ii) Pasar Bangi,

Publikasi asli: Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163.

116 Rembang, dan (iii) Lasem. Ekosistem mangrove di lokasi tersebut terletak di lingkungan muara sungai (riverine environment). Tabulasi data dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

wawancara (in-depth interview), serta kajian peta topografi dan citra satelit. Alat dan bahan yang digunakan meliputi: daftar pertanyaan, alat perekam audio dan video, kamera, dan alat tulis. Pengamatan langsung dilakukan dengan menjelajahi seluruh area, baik dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan bermotor dan perahu. Wawancara dilakukan dengan sekurang-kurangnya 10 orang penduduk dan/atau aparat pemerintah setempat pada setiap lokasi. Di samping itu dilakukan pula kajian pustaka terhadap peta topografi tahun 1963-1965 (US. Army Map Services, 1963-1965) dan citra satelit Landsat 7 TM periode Juli-September 2001. Data hasil penelitian ditabulasikan dalam satu kesatuan dan dipaparkan secara dekriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Kawasan muara sungai yang menjadi lokasi penelitian: 1. Pecangakan, Kaliori, 2. Pasar Bangi, Rembang, dan 3. Lasem.

Cara kerja Dalam penelitian ini, batas terluar ekosistem mangrove adalah jarak 100 m ke arah luar dari titik terluar habitat yang masih ditumbuhi satu atau lebih tumbuhan mangrove mayor (dbh > 10 cm). Seluruh lahan yang terletak di dalam garis batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di dalam ekosistem mangrove; sedangkan lahan yang terletak di luar garis batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di luar atau di sekitar ekosistem mangrove. Keanekaragaman tumbuhan dan analisis vegetasi. Koleksi jenis-jenis tumbuhan mangrove dilakukan dengan metode survei (penjelajahan). Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi dan dicatat sifat-sifat morfologinya. Sebagian diawetkan, difoto penampakan umum, bunga, dan buah, serta dibuat deskripsinya. Identifikasi spesies mangrove mayor, minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963; 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986). Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode belt transect, yakni dengan meletakkan belt transect ukuran 10X60 m2, dari bibir pantai ke arah daratan, yang di dalamnya terdapat 6 plot kuadrat untuk setiap strata, dengan 2 2 ukuran 10X10 m (pohon), 5X5 m (semak dan anak 2 pohon), serta 1X1 m (herba, bibit semak, dan bibit pohon). Semua spesies tumbuhan di dalam plot diidentifikasi. Diukur nilai penutupan dan frekuensi setiap spesies pada setiap strata habitus. Data komposisi dan struktur vegetasi ditampilkan dalam bentuk nilai penting yang merupakan penjumlahan nilai penutupan dan frekuensi relatif yang dibagi dua (Odum, 1971; Barbour dkk., 1987). Cara ini menyebabkan tidak semua jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan melalui metode survei dapat tercakup dalam belt transect. Permasalahan ekosistem mangrove dan restorasi. Kegiatan koleksi data untuk mengetahui permasalahan ekosistem mangrove dan upaya restorasinya mencakup pengamatan (survei) lapangan,

Deskripsi lokasi Wilayah Kabupaten Rembang, secara geografis terletak pada koordinat 110º15'-111º40' BT dan 6º40'6º55' LS. Adapun batas administrasinya, di sebelah utara berupa Laut Jawa, sebelah timur adalah Kabupaten Tuban, sebelah selatan adalah Kabupaten Blora, sebelah barat adalah Kabupaten Pati. Asal nama Rembang belum dapat dibuktikan dengan tepat, karena ketiadaan bukti-bukti tertulis. Salah satu cerita rakyat menuturkan bahwa nama Rembang berasal dari “ngrembang” yang berarti membabat tebu (Kompas, 03/03/2003; Darmawan dkk., 2003). Kabupaten Rembang terdiri dari 14 kecamatan dan 294 desa, dengan jumlah penduduk 565.860 jiwa. Kabupaten Rembang tergolong daerah "minus". Dari total luas wilayah 101.408 ha, sebanyak 34% (34.968 ha) berupa tanah tegalan, 29% (29.044 ha) berupa sawah, 28% (23.625 ha) berupa hutan, 8% (8.500 ha) tanah pekarangan dan sisanya berupa padang rumput dan tambak. Curah hujan rata-rata 1.500 mL per tahun (Kompas, 12/10/2002). Pesisir utara Kabupaten Rembang, secara geomorfologi terbagi dalam dua bentangan yang sangat berbeda. Pada kaki Gunung Lasem ke arah timur terbentuk dataran bergelombang yang tersusun atas batu kapur dan berbatasan langsung dengan laut Jawa, di antara kaki perbukitan kapur tersebut terbentuk pantaipantai berpasir, termasuk pantai pasir putih akibat pelapukan koral di laut. Pada kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang umumnya berhulu di Pegunungan Kendeng, sehingga jarak alirannya cukup pendek, sebagian besar sungai-sungai ini mengering atau alirannya tidak mencapai laut pada musim kemarau. Sebaliknya kawasan di sebelah barat Gunung Lasem merupakan dataran lumpur/aluvial (tidal flat) sebagai akibat sedimentasi. Kawasan ini dipengaruhi beberapa sungai yang umumnya berhulu di Pegunungan Kendeng. Mengingat jarak alirannya yang pendek, sebagian besar sungai-sungai ini merupakan sungai kecil yang kering atau alirannya tidak mencapai laut pada musim kemarau. Beberapa sungai yang alirannya cukup besar dan berair sepanjang tahun adalah Sungai Delok, Sungai Anyar, dan Sungai Lasem. Pada musim hujan, sungai-sungai besar ini dapat meluap dan menyebabkan banjir, seperti di Kaliori dan Lasem (Darmawan dkk., 2003). Oleh karena itu, tumbuhan mangrove hanya terkonsentrasi di sisi barat, mencakup Kecamatan Kaliori, Rembang, dan

117

Lasem

Pasar Bangi

Familia

Pecangakan

Nama Spesies

Habitus

Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan mangrove di pesisir Kabupaten Rembang (Setyawan dkk., 2005a).

Mangrove mayor Avicenniaceae p + + + Avicennia alba Avicenniaceae p + + Avicennia marina Avicenniaceae p + + Avicennia officinalis Rhizophoraceae p + Bruguiera cylindrica Rhizophoraceae p + Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae p + Ceriops tagal Araceae p + Nypa fruticans Rhizophoraceae p + Rhizophora apiculata Rhizophoraceae p + + + Rhizophora mucronata Sonneratiaceae p + Sonneratia alba Sonneratiaceae p + Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae p + Sonneratia ovata Mangrove minor Pteridaceae s + Acrostichum aureum Lythraceae p + Aegiceras floridum Tumbuhan asosiasi Acanthaceae s + + + Acanthus ilicifolius Asclepiadaceae s + Calotropis gigantea Gramineae h + Cynodon dactylon Cyperaceae h + + Cyperus sp. Leguminosae s + + Derris trifoliata Malvaceae p + Hibiscus tiliaceus Convolvulaceae h Ipomoea pescaprae Pandanaceae s + Pandanus tectorius Gramineae h + Phragmites karka Aizoaceae h + + + Sesuvium portulacastrum Gramineae h + Spinifex littoreus h Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae Combretaceae p + Terminalia catappa Jumlah 27 8 18 11 Keterangan: “+”hadir; “-“ tidak hadir. p = pohon, s = semak, h = herba/rumput.

Lasem

Pasar Bangi

Nama Spesies

Pecangakan

Keanekaragaman tumbuhan mangrove Di pesisir kabupaten Rembang, ditemukan 27 spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 12 spesies mangrove mayor, 2 spesies mangrove minor, dan 13 spesies tumbuhan asosiasi mangrove. Tumbuhan mangrove yang ditemukan di Pecangakan, Pasar Banggi, dan Lasem secara berturut-turut sebanyak 8, 18, dan 11 spesies (Tabel 1). Spesies yang paling umum dijumpai adalah Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. Tumbuhan mangrove di pesisir Lasem didominasi oleh Rhizophora, di Pecangakan didominasi Avicennia, sedangkan di Pasar Bangi didominasi oleh Rhizophora, dengan beberapa tegakan Sonneratia di arah laut dan Avicennia tumbuh di arah daratan (Tabel 2). Semua ekosistem mangrove di ketiga lokasi tersebut sangat terpengaruh kegiatan manusia, dan umumnya merupakan hasil penanaman program rehabilitasi dan restorasi, baik oleh pemerintah kabupaten, maupun masyarakat setempat. Ekosistem mangrove di kawasan ini, tinggal berupa segaris mangrove di tepi laut (mangrove fringe). Di Pasar Bangi lebarnya dapat mencapai 100-300 m, sedangkan di kedua lokasi lainnya, umumnya kurang dari 100 m, bahkan sebagian hanya berupa sebaris pohon mangrove yang memisahkan laut dengan area pertambakan rakyat.

Tabel 2. Nilai penting jenis-jenis tumbuhan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah, termasuk di pesisir Kabupaten Rembang (data selengkapnya tidak ditunjukkan)(Setyawan, 2005b).

Kategori

Lasem.

Strata habitus pohon Avicennia spp. MAY 0,51 0,09 0,42 Sonneratia spp. MAY 0 0,06 0,06 Rhizophora spp. MAY 0,22 0,83 0,33 Strata habitus anak pohon dan semak Anak pohon Avicennia spp. MAY 0,34 0,10 0,32 Sonneratia spp. MAY 0 0,09 0,06 Rhizophora spp. MAY 0,23 0,45 0,46 Semak ASO 0,17 0,10 0,17 Acanthus ilicifolius Acrostichum spp. MIN 0 0,03 0 ASO 0 0 0,07 Derris trifoliata ASO 0 0 0,07 Pandanus tectorius ASO 0 0,04 0 Calotropis gigantea Strata habitus bibit pohon, bibit semak, dan herba Bibit pohon Avicennia spp. MAY 0,43 0,13 0,32 Rhizophora spp. MAY 0,26 0,68 0,46 Bibit semak Acanthus ilicifolius *) ASO 0,17 0,1 0,17 Derris trifoliata *) ASO 0 0 0,07 Pandanus tectorius *) ASO 0 0 0,07 Herba ASO 0,11 0,10 0,14 Sesuvium portulacastrum Rumput (Gramineae) **) ASO 0,20 0 0,23 Rumput liar lainnya ***) ASO 0 0,11 0 Teki (Cyperaceae) ****) ASO 0,10 0,07 0 Keterangan: MAY = mayor, MIN = minor, ASO = asosiasi.

Rhizophora dan Avicennia merupakan tumbuhan yang sering dipilih untuk restorasi dan rehabilitasi mangrove. Proyek rehabilitasi hutan mangrove yang didanai pemerintah kabupaten hampir selalu memilih Rhizophora, seperti di Pasar Bangi. Adapun spesies Avicennia biasa dipilih petambak untuk ditanam ditepian pantai untuk menjaga hempasan ombak laut. Pemilihan Rhizophora tampaknya terkait dengan bentuk perakarannya yang khas, sehingga secara awam diidentikkan dengan mangrove (bakau). Tumbuhan ini cenderung membutuhkan area yang luas untuk pertumbuhannya. Sedangkan pemilihan Avicennia untuk restorasi oleh masyarakat tampaknya terkait dengan ukurannya yang relatif lebih kecil sehingga untuk pertumbuhan optimal tidak memerlukan ruangan yang luas dan tidak memakan ruang untuk tambak, misalnya di Pecangakan. Di pesisir Rembang, Sonneratia hampir tidak pernah dipilih untuk program restorasi, tampaknya karena pertumbuhannya yang cenderung lebih lambat. Pemilihan spesies mangrove untuk restorasi juga sangat terkait dengan ketersediaan propagul. Di Pasar Bangi, spesies Rhizophora yang dipilih adalah Rhizophora stylosa (bakau putih) karena lebih mudah dijumpai dan pada awal program restorasi tahun 1980-an merupakan spesies yang ditanam, sedangkan di Pecangakan dipilih Avicennia, karena banyak tumbuh di lokasi tersebut.

118 Permasalahan ekosistem mangrove Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang adalah: pertambakan, penebangan pepohonan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Pertambakan udang/ikan dan garam Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab hilangnya hutan mangrove dunia, tidak terkecuali di pesisir Kabupaten Rembang. Di kawasan ini tambak merupakan pemandangan umum, baik tambak udang dan bandeng maupun tambak garam. Pada musim penghujan, tambak garam yang bersalinitas tinggi biasanya juga diubah menjadi tambak bandeng, sehingga kawasan ini menjadi pemasok bandeng budidaya terbesar di Jawa Tengah setelah kabupaten tetangga baratnya, Pati. Kawasan pesisir Rembang juga menjadi penghasil garam terbesar di Jawa Tengah. Pertambakan ditemukan sepanjang pantai mulai dari Pecangakan hingga Lasem. Tambak-tambak ikan dan udang di kawasan ini dikelola secara intensif hingga jauh ke arah daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak, meskipun beberapa areal tambak yang jauh dari bibir pantai tampaknya tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan pencemaran lingkungan, sehingga tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus. Pertambakan rakyat secara nyata mempengaruhi keberadaan mangrove di sekitarnya. Pada saat ini tidak lagi tersisa ekosistem mangrove alami. Ekosistem mangrove yang ada merupakan ekosistem buatan yang diupayakan oleh pemerintah, masyarakat, dan para pihak lain. Penebangan vegetasi mangrove Pembukaan lahan untuk tambak udang memiliki andil besar bagi kerusakan mangrove di luar hutan, sedangkan penebangan secara tidak lestari merupakan penyebab utama kerusakan mangrove di dalam hutan (Suara Pembaruan, 11/08/2002). Di pesisir kabupaten Rembang, tidak ada lagi hutan alami mangrove, meskipun demikian tumbuhan mangrove hasil restorasi di Pasar Banggi sudah menyerupai hutan kembali mengingat usianya sudah lebih dari 15 tahun, waktu yang diperlukan ekositem mangrove yang rusak untuk menyembuhkan diri sebagaimana kondisi asli. Ekosistem mangrove di kawasan ini relatif terjaga mengingat adanya perhatian serius dari pemerintah kabupaten dan kelompok-kelompok tani yang memiliki hak mengelolanya, yakni terdapat kesepakatan bahwa setiap luasan hutan yang dibuka harus didahului dengan penanaman mangrove hingga kondisi mapan pada dataran lumpur dan pasir di arah laut. Namun kawasan ini tidak bebas sama sekali dari ancaman penebangan, terdapat pencurian kayu untuk bangunan rumah maupun kayu bakar, meskipun demikian besarnya peran kelompok tani dapat meminimalkan ancaman tersebut. Salah satu kawasan yang dibabat sisa-sisa ekosistem mangrove untuk pertambakan dapat dijumpai di Pecangakan, Kaliori.

Reklamasi dan sedimentasi Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan telah banyak dilakukan di pantai utara Jawa. Di Kabupaten Rembang, reklamasi pantai untuk kegiatan usaha relatif masih terbatas. Salah satu rencana reklamasi pantai yang tampaknya akan berdampak serius adalah rencana pembangunan pelabuhan pendaratan ikan di pusat kota Rembang yang tidak jauh dari kawasan mangrove Pasar Bangi. Dermaga pelabuhan direncanakan jauh menjorok di tengah laut, untuk menghindari kawasan mangrove yang dangkal dan berlumpur, namun aktivitas pelabuhan ikan yang besar dengan segala hiruk-pikuk perahu, manusia, dan sarana lainnya diyakini akan berdampak pada ekosistem mangrove. Besarnya volume kedatangan perahu nelayan dapat menimbulkan riak di laut sehingga menghambat pemantapan bibit baru dan menggerus lumpur yang ada. Kegiatan ini dipastikan juga akan menghasilkan limbah yang dapat mencemari ekosistem mangrove. Kabar terakhir menyatakan rencana tersebut ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan, meskipun pemancangan tiang-tiang dermaga telah dilakukan. Tampaknya telah terjadi kesalahan perencanaan. Kawasan di sekitar rencana lokasi pelabuhan, merupakan kawasan akresi lumpur dari daratan dan pasir putih dari laut, sehingga umur kolam pelabuhan diperkirakan akan pendek dan pemaksaan pembuatan pelabuhan ikan di kawasan ini diyakini berbiaya mahal mengingat harus dilakukan pengerukan sedimen secara periodik, sehingga tidak veasible. Kesombongan para penentu kebijakan tampaknya telah menyia-nyiakan dana pajak dari masyarakat karena memaksakan diri membuat pelabuhan ikan di kawasan tersebut. Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang dapat mendorong terbentuknya ekosistem mangrove, namun sedimentasi dalam skala besar dan luas dapat merusak ekosistem mangrove karena tertutupnya akar nafas dan berubahnya kawasan rawa menjadi daratan. Sedimentasi di pesisir Kabupaten Rembang memungkinkan terus bertambah luasnya daratan ke arah laut, dan memungkinkan pertumbuhan ekosistem mangrove. Namun sesuai dengan pola masyarakat yang terus membuka tambak ke arah laut mengikuti arah pertumbuhan mangrove, maka pada dasarnya perluasan daratan ini tidak menyebabkan bertambah luasnya ekosistem mangrove, kecuali di Pasar Bangi, yang hutan mangrovenya cenderung lebih sulit dibuka untuk tambak karena adanya campur tangan kelompok-kelompok tani yang berusaha mempertahankannya. Sebaliknya perluasan tambak ke arah laut menyebabkan tambaktambak lama menjadi terletak jauh dari bibir pantai dan terjadi perubahan pola hidrologi, air tidak lagi dapat menggenangi tambak pada saat pasang surut harian, akibat buruknya manajemen drainase. Kawasan tambak ini pada akhirnya banyak yang dipusokan akibat tingginya biaya operasional dan tidak lagi ekonomis. Pencemaran lingkungan Pencemaran yang terjadi baik di laut maupun di daratan dapat mencapai kawasan mangrove, karena habitat ini merupakan ekoton antara laut dan daratan. Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan respirasi dan osmoregulasi tumbuhan mangrove, dan pada akhirnya menyebabkan kematian. Di pesisir pantai Rembang bahan pencemar

119 yang umum dijumpai di kawasan mangrove adalah sampah domestik, seperti lembaran plastik, kantung plastik, sisa-sisa tali dan jaring, botol, kaleng dan lainlain. Secara khas di pesisir Pasar Bangi, terdapat Ulva yang dapat mengapung dan menutupi bibit mangrove sehingga mengganggu upaya restorasi. Menurut Setyawan dkk. (2004) pencemaran logam berat (Fe, Cd, Cr, dan Pb) belum menjadi ancaman serius kawasan mangrove di pesisir Rembang, selanjutnya Setyawan dkk. (2005c) juga menyatakan bahwa pupuk kimia (NO3 , + NH4 ) juga belum menjadi ancaman bagi ekosistem ini, meskipun demikian perkembangan kota dan pertanian tetap berpotensi untuk menyumbangkan bahan pencemar di masa depan, termasuk adanya upaya membangun pelabuhan ikan di Pasar Banggi. Restorasi dan rehabilitasi ekositem mangrove Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan sangat drastis, akibat tingginya tekanan pertambahan penduduk yang berimplikasi pada besarnya kegiatan pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan, sehingga perlu dilakukan restorasi untuk mengembalikan karakteristik dan fungsi ekosistem ini. Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji (propagul) atau bibit. Tindakan sengaja dengan restorasi buatan seringkali diperlukan untuk memastikan berhasilnya proses penyembuhan alami tersebut. Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem mangrove tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini terlibat dalam kegiatan ini meskipun jumlahnya relatif terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil adalah penanaman Rhizophora, di sepanjang pesisir Pasar Bangi. Pemerintah Kabupaten Rembang berupaya merestorasi ekosistem mangrove, khususnya di Pasar Bangi, yang termasuk kecamatan kota dan berpenduduk padat. Pada tahun 1980-an, pemerintah setempat bersama para pihak melakukan restorasi ekosistem mangrove pada area dengan panjang sekitar 3000 m, dan lebar antara 100-300 m. Tujuan kegiatan ini selain untuk menjaga garis pantai dari abrasi dan badai, juga untuk menjaga salah satu identitas lanskap kabupaten ini, yakni ekosistem mangrove. Upaya ini telah menarik hidupan alami, seperti burung-burung dan benih ikan (khususnya nener). Untuk menjaga kelestarian tumbuhan ini, masyarakat setempat diikutsertakan dalam kelompok-kelompok tani yang memiliki hak memanen ekosistem yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Pada akhirnya lokasi ini bernilai konservasi karena menarik berbagai hidupan liar, khususnya spesies-spesies burung air; serta terdapat pula nilai edukasi dan pariwisata, dimana sering disinggahi pelancong di jalur pantura dan menjadi lokasi praktikum dan penelitian mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Diponegoro Semarang, dan lain-lain. Penanaman mangrove oleh para petani tambak biasanya secara khusus ditujukan untuk menjaga garis pantai dan menjebak lumpur. Apabila lumpur yang terjebak sudah cukup tinggi, area ini biasanya diubah menjadi tambak, dengan terlebih dahulu menanami

mangrove pada batas daratan dengan laut, misalnya di Pecangakan, dimana sejumlah tumbuhan mangrove di muara sungai dibabat untuk tambak, setelah area baru mangrove di arah laut mulai tumbuh subur dan berumur sekitar dua tahun. Pantai utara Rembang merupakan tidal flat bagi sungai-sungai di sekitarnya, seperti Sungai Delok, Sungai Anyar, dan Sungai Lasem, sehingga memungkinkan terus berlanjutnya perluasan ekosistem mangrove ke arah laut. Kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan kesalahan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat. Di pesisir Pasar Bangi, partisipasi kelimpok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan mangrove sangat menentukan keberhasilan restorasi mangrove. Masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian mangrove, sebagi imbalannya mereka mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis pantai dan terjaganya biodiversitas ikan, serta manfaat ekonomi secara langsung berupa produk kayu Rhizophora dan bibit Rhizophora yang dijual untuk kepentingan program restorasi. Kawasan ini merupakan salah satu salah pusat pembibitan Rhizophora terbesar di Jawa. Dalam program restorasi, sampah domestik seperti lembaran plastik, kantung plastik, tali dan lain-lain dalam menjadi masalah karena menutupi area penanaman sehingga anakan mangrove tidak dapat tumbuh sempurna, bahkan dapat menyebabkan seedling yang perakarannya masih lemah ikut terhanyut ke laut. Di pesisir Pasar Bangi “penjeratan” ini juga dilakukan oleh sejenis algae lembaran, Ulva, Spesies ini hidup mengapung di tepi pantai dangkal terbuka, yang juga merupakan lokasi yang umum didatangi propagul alami mangrove, dan dipilih dalam program restorasi dan rehabilitasi. Pada saat air pasang, Ulva akan terangkat ke atas, dan ketika air surut akan tersangkut, melekat, dan mati pada bibit mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan dan mematikan bibit tersebut. Kondisi ini menyebabkan kerugian yang cukup berarti pada program rehabilitasi bakau di tepi pantai Pasar Banggi.

KESIMPULAN Di pesisir kabupaten Rembang, ditemukan 27 spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 12 spesies mangrove mayor, 2 spesies mangrove minor, dan 13 spesies tumbuhan asosiasi mangrove. Tumbuhan mangrove di pesisir Lasem dan Pasar Bangi didomimasi oleh Rhizophora, sedangkan di Pecangakan didominasi Avicennia. Penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, antara lain: pertambakan, penebangan pepohonan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Restorasi mangrove di pesisir Pasar Bangi, Rembang dengan penanaman Rhizophora cukup berhasil, salah satu penyebabnya adalah keikutsertaan masyarakat dalam manajemen pengelolaannya.

120 DAFTAR PUSTAKA Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: P.Noordhoff Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo Park CA.: The Benjamin Cummings Pub. Co. Inc. Darmawan, A., S.K. Purba, dan Hermawan. 2003. Pemetaan Geologi Teknik Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Bandung: Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kompas, 03/03/2003. Kabupaten Rembang. Kompas, 12/10/2002. Waduk Banyukuwung Kering Total. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia: W.B. Sounders Company.

Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2004. Pencemaran logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb pada lingkungan mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 4 (2): 45-49. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005a. Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 1. keanekaragaman jenis. Biodiversitas 6 (2): 90-94. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005b. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2005c. Potensi eutrofikasi kandungan nutrien pada sedimen tanah mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5 (1): 12-17. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Suara Pembaruan, 11/08/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa Mengkhawatirkan. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. US. Army Map Services. 1963-1965. Sheets Map of Java. Washington, D.C.: Corps of Engineers. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus.

121

Konservasi Mangrove di Segara Anakan melalui Penyudetan Sungai Citanduy

ABSTRACT Mangrove ecosystem at Segara Anakan lagoon, Cilacap having specific characteristics so that in developing this area should consider the conservation aspect. This area is the widest conserved-mangrove ecosystem at Java, and the place for breeding of many species of fish, crustacean and others. Thousand families of fisheries were supported both direct and indirectly from this ecosystem. However, along with the development activities in the watershed of Citanduy, Cimeneng/Cikonde and other rivers connected to the area has brought about the increase of sediment, and threaten the existence of the lagoon and surrounding mangrove ecosystem. Diversion of Citanduy river, dredging sediment, and reboisation of the watershed river was a preference of conserving the ecosystem, however, the diversion could be forming a new ecosystem, that actually threat the fisheries and tourism activities at Pangandaran, Ciamis. Key words: mangrove, Citanduy river, Segara Anakan lagoon, sedimentation, diversion.

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara pemiliki ekosistem mangrove terluas di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove dunia, sekitar 4,25 juta ha (27%) berada di Indonesia (FAO, 1982), namun luasan mangrove berkurang sangat cepat. Pada tahun 1982-1993 luas hutan mangrove berkurang sekitar 50%, hingga tinggal 2.496.185 ha (Dephut, 1994). Pada tahun 1985 luas hutan mangrove di Jawa masih 170.500 ha dan di Jawa Tengah masih 46.500 ha (Giesen, 1993), namun pada tahun 1997 secara berturut-turut luasnya tinggal 19.077 ha (11,19%) dan 13.577 ha (29%) (Republika, 23/7/2002). Pada tahun 1942 luas hutan mangrove di Segara Anakan masih 22.512 ha, namun pada tahun 1997 tinggal 8.958 ha (Suara Pembauran, 25/8/2002). Bahkan kajian terbaru menunjukkan luasnya tinggal 1.800 ha (Republika, 24/3/2001) atau tinggal 1.125 ha (Pikiran Rakyat, 1/5/2002). Kawasan Segara Anakan sendiri mencakup wilayah seluas 34.018,62 ha, meliputi 26.780,65 ha daratan dan 7.237,97 ha perairan (Suara Merdeka, 26/5/2001).

Degradasi hutan mangrove umumnya disebabkan reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan garam (Terchunian et al., 1986; Primavera, 1993), di samping itu diakibatkan pula oleh penebangan hutan (Walsh, 1974; Hussein, 1995), konversi hutan kayu putih (Kedaulatan Rakyat, 27/9/2001; Suara Merdeka, 16/6/2001), pertambangan, pembendungan sungai, pencemaran lingkungan (Lewis, 1990), tumpahan minyak (Ellison dan Farnsworth, 1996; IPIECA, 1993), pertanian, dan bencana alam (Nybakken, 1993; Knox dan Miyabara, 1984). Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekonomi, ekologi dan sosial-budaya sangat penting. Nilai ekonomi meliputi: kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, karbohidrat, madu, bahan obat, tannin, dan bahan pewarna (Ong, 2002; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Dahdouh-Guebas et al., 2000; Bandaranayake, 1998; Spaninks dan Beukering, 1997; IPIECA, 1993; Hamilton dan Snedaker, 1984). Nilai ekologi mangrove paling utama adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan biota lain (Haroen, 2002), di samping itu berperan pula sebagai penyerap karbon dioksida, filtrasi limbah, pembentuk daratan, menjaga kealamian habitat, menjaga pantai dari erosi, intrusi air laut, dan badai. Adapun nilai sosial-budayanya meliputi fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan identitas budaya (Ong, 2002; Anonim, 2001; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Spaninks dan Beukering, 1997; Tanaka, 1994; IPIECA, 1993; Howe et al., 1992; Sukardjo, 1989; Tomlison, 1986; Thom, 1967). Laguna Segara Anakan merupakan pertemuan muara sungai Citanduy, Cimeneng/Cikonde, Cibereum, Palindukan, serta beberapa sungai kecil lain yang dilindungi Pulau Nusakambangan dari gelombang laut selatan (Moeljono, 1982). Kawasan ini berair payau karena terhubung dengan laut melalui kanal barat dan timur. Kondisi itu sangat potensial bagi pertumbuhan hutan mangrove, serta menjadi daerah pemijahan,

Publikasi asli: Winarno, K., dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama Konservasi Ekosistem Mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.

122 asuhan, dan mencari pakan berbagai jenis ikan, udang, kepiting, kerang, dan biota lain (Suara Pembauran, 25/8/2002; Haroen, 2002). Sehingga Segara Anakan sangat bernilai untuk mendukung perikanan di dalam laguna itu sendiri, dan di laut lepas pantai, serta merupakan sisa-sisa terakhir hutan mangrove terluas di pulau Jawa (Schweithelm, 1988; Amin dan Hariati, 1988). Kini, sekitar 13.500 jiwa menempati tiga desa di Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap yang dikenal sebagai Kampung Laut, yaitu: Desa Ujung Alang meliputi: Motean, Klaces, dan Mangunjaya; Ujung Gagak meliputi: Cibereum, Karanganyar, Karangsari, Karangmulyo, dan Palindukan; serta Desa Panikel meliputi: Kalibener, Bugel, Muaradua, dan Panikel (Suara Pembauran, 9/4/2002; 25/8/2002; Nurwanto, 2001), serta satu desa Majingklak di Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis. Akibat sedimentasi, Lempong Pucung (Suara Hidayatullah, 5/1999) dan Klaces (Kompas, 21/12/2002) praktis menyatu dengan Nusakambangan, sehingga orang luar dengan leluasa dapat masuk ke pulau tersebut tanpa meminta izin kepada pihak berwenang karena dengan berjalan kaki, terlebih pada musim kemarau sudah dapat memasukinya.

KEANEKARAGAMAN HAYATI EKOSISTEM MANGROVE SEGARA ANAKAN Segara anakan merupakan barier yang mencegah masuknya manusia ke kawasan Nusakambangan, sehingga pulau yang luasnya sekitar 12.106,43 ha ini menjadi salah satu warisan terakhir ekosistem hutan pantai dan hutan tropis dataran rendah di Jawa (Akar, 2001), sehingga terdapat upaya untuk mendirikan Pusat Riset Ekosistem Tropis di Cilacap (Kompas, 16/11/2002). Hutan Nusakambangan berperan dalam pengaturan tata lingkungan di sekitarnya, mencegah erosi, dan merupakan habitat berbagai jenis fauna langka, antara lain macan kumbang (Panthera pardus), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica), ular sanca (Python sp), dan berbagai jenis burung seperti rangkong (Buceros sp). Di pulau ini telah berdiri empat kawasan konservasi alam kecil, yaitu Cagar Alam (CA) Nusakambangan Barat (928 ha), CA Nusakambangan Timur (277 ha), CA Wijayakusuma (1 ha), dan CA Karangbolong (0,5 ha) yang telah ditetapkan statusnya sejak jaman penjajahan Belanda (Sinar Harapan, 11/1/2003). Hutan mangrove Segara Anakan di sebelah utara Nusakambangan merupakan ekosistem mangrove terluas di Jawa. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Flora tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri dari 47 spesies pohon, 5 spesies semak, 9 spesies herba dan rumput, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit, di samping beberapa spesies algae dan bryophyta (Anonim, 1997). Di Segara Anakan terdapat 27 spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 13 spesies mayor, 8 spesies minor, dan 6 spesies tumbuhan asosiasi (Setyawan dkk., 2002). Jenis pohon mangrove yang mudah ditemukan adalah Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, and Aegiceras corniculatum, sedangkan Avicennia, Sonneratia banyak dijumpai

sebagai tumbuhan pioner daerah akresi (Soeroyo dan Soemodihardjo, 1990; Soemodihardjo et al., 1988), dimana Avicennia tumbuh pada endapan tanah yang lebih lembek daripada Sonneratia (Harjosuwarno, 1978). Selama beberapa tahun hutan ini mengalami kerusakan terbukti adanya dominasi tumbuhan muda berupa pohon-pohon kecil yang membentuk semak dengan tinggi sekitar 5 m, sedangkan pohon-pohon besar telah ditebang dan banyak dijual sebagai kayu bakar (Harjosuwarno, 1978; Soemodihardjo et al., 1988). Tempat-tempat tebuka bekas penebangan didominasi Derris trifoliata, Finlaysonia maritima, dan Acanthus illicifolius yang berkompetisi dengan sedling pohon mangrove (Soemodihardjo et al., 1988). Ekosistem mangrove juga kaya berbagai fauna. Laguna Segara Anakan menyediakan habitat bagi sekitar 85 spesies burung, fauna akuatik, rusa, monyet dan berbagai mamalia kecil lainnya (Segara Anakan, 1998). Nontji (1987) melaporkan bahwa kurang lebih 80 spesies dari Crustaceae dan 65 spesies Mollusca hidup pada ekosistem mangrove di Indonesia. Menurut Haroen (2002), tanaman dan seresah mangrove menjadi habitat berbagai fauna akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat untuk bertelur, memelihara larva, dan tempat pakan berbagai spesies akuatik, khususnya udang Penaeidae dan ikan bandeng (Chanos chanos). Di perairan Segara Anakan, selain hidup ribuan jenis biota, hidup pula satwa langka yang dilindungi dan terancam punah, yaitu lumba-lumba khas yang disebut wersut (Orcaella sp.), kerabat dekat pesut sungai Mahakam dan lumba-lumba sungai Irrawaddy di Myanmar. Populasi satwa tersebut semakin menurun akibat perubahan habitat alami, seperti pembuatan dermaga, pembabatan hutan mangrove, lalu lintas air yang semakin ramai, kurangnya sumber pakan, pencemaran lingkungan, dan pendangkalan (Sinar Harapan, 11/1/2003). Burung bangau (Ciconia episcopus) dan bangau tong-tong (Myceteria cinerea) masih ditemukan di hutan mangrove Segara Anakan. Unggas yang semakin langka ini termasuk binatang dilindungi, namun penangkapan burung masih terus berlangsung, baik ditangkap hiduphidup untuk dijual di pasar burung, ataupun dibunuh untuk dimakan dagingnya. Pemburuan liar ini dapat mengancam kelestarian kehidupan bangau tersebut. Padahal upaya penangkaran seperti dilakukan Perhutani di Wana Wisata Hutan Mangrove Tritih Kulon, Cilacap masih jauh dari berhasil (Suara Pembaruan, 25/11/2001; Segara Anakan, 1998). Di samping itu, kawasan Segara Anakan juga menjadi tempat perlindungan burung migran dari Asia, antara lain trinil (Tringa stagnita), grajakan (Numentus spp), dan cerek (Charadrius javanicum) (Nurwanto, 2001).

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE SEGARA ANAKAN Indikasi kerusakan ekosistem hutan mangrove secara sederhana dapat diukur dari penurunan luas hutan. Penurunan luas terjadi oleh karena memang secara fisik tidak memungkinkan lagi berkembangnya tumbuhan mangrove, misalnya akibat sedimentasi yang

123 tinggi dan abrasi, atau perubahan fisik lahan akibat intervensi manusia (Buana Katulistiwa, 2002). Luas hutan mangrove Segara Anakan terus berkurang. Pada saat ini luasnya diperkirakan tinggal 1.800 ha (Republika, 24/03/2001) atau bahkan tinggal 1.125 ha (Pikiran Rakyat, 1/5/2002), sedangkan pada tahun 1942 masih 22.512 ha (Suara Pembauran, 25/8/2002). Di sisi lain luas laguna Segara Anakan juga terus menyusut. Pada tahun 1903 luasnya 6.450 ha, dan pada tahun 2000 diperkirakan luasnya tingga 600 ha (Gambar 1.) (ECI, 1994), citra satelit pada bulan September 2002 menunjukkan luasnya tinggal 550 ha (Kompas, 21/12/2002). Sedimentasi tidak hanya mempersempit luas laguna namun juga membuatnya dangkal, pada tahun 1903 kedalaman laguna mencapai 30-40 m, namun pada tahun 2002 umumnya tinggal 0,51 m (Pikiran Rakyat, 7/11/2002; Suara Pembaruan, 9/4/2002).

Gambar 1. Penurunan luas laguna Segara Anakan 1903-2000 (ECI, 1994).

Sedimentasi merupakan masalah utama yang mengancam kelestarian laguna dan hutan mangrove Segara Anakan. Di samping itu terdapat pula ancaman lain seperti penebangan hutan, pertambakan, dan berkembangnya desa-desa yang membutuhkan sarana dan prasarana kehidupan (Dudley, 2000), hingga muncul usulan untuk membatasi jumlah penduduk Segara Anakan (Suara Merdeka, 4/7/2001). Jumlah ideal penduduk pada kawasan pemukiman berkisar 80-150 jiwa/ha (Suara Merdeka, 26/5/2001). Sedimentasi merupakan syarat utama terbentuknya ekosistem mangrove, di samping perlindungan dari ombak, masukan air tawar, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat (Walsh, 1974). Namun sedimentasi di Segara Anakan secara serius mengancam eksistensi kawasan mangrove. Sifat lagunanya yang tertutup, dimana muara sungai tidak langsung terhubung dengan laut bebas, menyebabkan sejumlah besar sedimen didepositkan dalam laguna. Sungai Citanduy membawa sejumlah besar lumpur erosi dari daerah hulu dan diendapkan di dalam laguna (Wirjodarmodjo dkk., 1978). Setiap tahun sungai Citanduy dan Cimeneng/ 3 Cikonde masing-masing mengangkut 5 juta m dan 770.000 m3 sedimen, dimana 740.000 m3 dan 260.000 3 m di antaranya diendapkan di Segara Anakan (ECI, 1994). Pelumpuran ini menyebabkan menjoroknya daratan antara 17-30 m per tahun. Tanpa upaya yang berarti untuk mengatasinya, dalam jangka panjang ekosistem mangrove akan berubah menjadi ekosistem daratan, dengan jenis komponen biotik (flora dan fauna) yang berbeda (Tjitrosoepomo, 1981). Sehingga tidak hanya mempengaruhi komunitas alami dan habitatnya, namun juga mempengaruhi kultur masyarakat Kampung Laut (Hardoyo, 1982). Hal ini sudah terbukti dengan perubahan konstruksi rumah penduduk, dimana rumahrumah penduduk yang sebagian besar nelayan semula merupakan rumah panggung di atas permukaan laut, namun kini sebagian besar sudah berubah menjadi rumah tembok di daratan (Pikiran Rakyat, 22/1/2001). Sedimentasi menyebabkan berbagai permasalahan, seperti turunnya pendapatan nelayan yang merupakan pekerjaan sebagian besar penduduk (70-87,5%, tahun 1987), diubahnya area mangrove menjadi areal pertanian, munculnya konflik kepentingan antara penduduk setempat dengan Perhutani mengenai penggunaan tanah timbul, dan terancamnya Segara Anakan sebagai tempat pembibitan perikanan lepas pantai (Brotosusilo, 1988; Budihardjo, 1988). Bertambahnya daratan juga menimbulkan sengketa antara Perhutani yang ingin mempertahankannya sebagai hutan dan pemerintah daerah yang ingin mengubahnya menjadi lahan budidaya (Yudho, 1988). Perubahan ekosistem perairan menjadi daratan mendorong penduduk untuk mengubah mata pencaharian dari nelayan menjadi petani (Brotosusilo, 1988), termasuk merambah hutan untuk mengambil kayu dan dijual sebagai kayu bakar atau arang. Meskipun mereka menyadari hal ini akan menurunkan produktivitas ikan dan udang (Republika, 24/03/2001). Pada tahun 2002 saja, untuk merestorasi hutan mangrove seluas 202,5 ha yang rusak akibat penebangan dan pertambakan, serta memelihara 700 ha hutan yang terancam rusak, diperlukan 470.575 berbagai jenis bibit mangrove (Pikiran Rakyat, 3/8/2002). Pada masa lalu banyak digunakan Bruguiera gymnorrhiza dan

124 Rhizophora mucronata sebagai pohon penghijauan (Haditenojo dan Abbas, 1982; Moeljono, 1982). Kebanyakan peneliti meyakini adanya hubungan positif antara besarnya hasil tangkapan ikan, udang dan biota laut komersial lainnya dengan kondisi ekosistem mangrove di wilayah pesisir, dimana semakin luas hutan mangrove maka semakin banyak udang yang tertangkap (Kompas, 18/4/2002; Sukartika, 1980). Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove dapat menangkap bahan organik sehingga memiliki produktivitas tinggi sebagai sumber pakan ikan, perairan mangrove yang keruh dapat menurunkan jarak pandang predator, serta keanekaragaman struktur dan relung habitat mangrove menyediakan ruang yang luas untuk beragam spesies. Jumlah hasil tangkapan perikanan komersial juga sangat dipengaruhi oleh kondisi geografi lokasi penangkapan, luas penutupan mangrove, luas wilayah pesisir, panjang garis pantai, luas area pasang surut, karakter sungai, dan masukan bahan organik (Haroen, 2002). Kerusakan hutan mangrove menyebabkan merosotnya nilai potensi ekonomi Segara Anakan, karena berkurangnya tempat pemijahan udang, ikan dan biota lain yang bernilai ekonomi tinggi. Nilai total ekonomi ekosistem mangrove Segara Anakan sebesar Rp. 140.880.427.700 per tahun atau Rp. 8.188.980 per hektar per tahun, dimana sebagian besar berupa sumberdaya alam perairan (Paryono dkk., 1999). Penelitian pada tahun 1999-2000 menunjukkan 8% ikan dan 34% udang yang ditangkap nelayan di perairan pantai Cilacap dan Ciamis menetas dan dibesarkan di Segara Anakan, angka ini senilai Rp. 62 milyar per tahun (Dudley, 2000). Rusaknya lingkungan di Segara Anakan mengancam nasib sekitar 22.000 nelayan (Pikiran Rakyat, 1/5/2002). Sedimentasi tidak hanya menimbulkan kerugian material namun juga menyebabkan kematian akibat bencana banjir (Kompas, 30/10/2001). Faktor utama penyebab banjir adalah melimpahnya curah hujan, hingga tidak dapat diserap tanah dan tidak dapat ditampung sungai-sungai (Buana Katulistiwa, 2002). Sedimentasi menyebabkan laguna Segara Anakan menyempit, dangkal, dan menaikkan dasar sungai terutama di kawasan muara, sehingga daya tampungnya berkurang. Akibatnya dataran di sepanjang tepian sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan menjadi langganan bajir rutin setiap musim hujan (Suara Pembaruan, 26/5/2002; Mitra Bisnis, 11/2001; Kompas, 30/10/2001; ). Kepadatan penduduk di daerah aliran sungai (DAS) menyebabkan besarnya permintaan akan sumberdaya, sehingga ekosistem alami diubah menjadi lahan pemukiman, pertanian, usaha, jalan dan lain-lain, akibatnya terjadi penurunan kemampuan tanah dalam menyerap air. Kegiatan yang paling serius menyebabkan terjadinya banjir adalah penggundulan hutan, baik oleh pencuri kayu dan perambah hutan ataupun oleh aparat Perhutani dengan dalih penjarangan tanaman. Hal ini terbukti pada kasus banjir besar pada bulan Oktober 2000 di Cilacap (Buana Katulistiwa, 2002; Kompas, 21/03/01). Penyudetan sungai Citanduy dan Cimeneng/Cikonde diperkirakan dapat mengurangi banjir di Kecamatan Kawunganten, Sidareja, dan Patimuan, Kabupaten Cilacap, serta di Kecamatan Kalipucang, Padaherang, dan Lakbok, Kabupaten Ciamis (Suara Pembaruan, 6/7/2002; 26/5/2002; Mitra Bisnis, 11/2001).

PENYUDETAN SUNGAI CITANDUY Sungai Citanduy berasal dari mata air di Gunung Cakrabuana (1.921 m dpl), dengan luas daerah aliran sungai sekitar 279.830 ha, dimana hampir 70% berbukitbukit. Jumlah penduduk kawasan ini lebih dari 2 juta jiwa 2 dengan kepadatan 704 orang per km DAS Citanduy hulu, semakin kritis dengan semakin sedikitnya lahan berhutan dan intensifnya eksploitasi lahan. Kawasan ini mencakup enam kabupaten, yakni Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, Kuningan, dan Cilacap, sehingga harus dikelola secara adil dimana setiap wilayah memiliki hak dan kewajiban, serta integratif untuk mengakomodasi kemungkinan konflik kepentingan antar wilayah. Di Jawa Barat, Citanduy hulu merupakan salah satu daerah aliran sungai yang mendapat prioritas untuk ditangani karena tingginya tingkat erosi, sedimentasi, dan sampah. Sedimentasi dari Citanduy merupakan penyebab utama atau 70% penyempitan laguna Segara Anakan, tingkat erosinya mencapai 19,15 mm/tahun (Kompas, 25/1/2001). Untuk mengurangi laju sedimentasi, serta menyelamatkan laguna dan ekosistem mangrove Segara Anakan, pada tahun 1996 Pemerintah Indonesia dengan dana hutang dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank; ADB) menggelar proyek konservasi dan pembangunan Segara Anakan (SACDP) selama lima tahun (1997-2002). Pekerjaan ini terdiri dari tiga komponen. Komponen A meliputi: penyudetan sungai Citanduy kurang lebih 3 km, penyudetan sungai Cimeneng kurang lebih 8 km, pengerukan Segara Anakan sekitar 600 ha, dan normalisasi sungai di DAS Segara Anakan kurang lebih 20 km. Komponen B berupa pembangunan desa yang meliputi: rehabilitasi hutan mangrove rakyat seluas 1125 ha, pengelolaan hutan mangrove rakyat seluas 5.000 ha, pembuatan percontohan akuakultur seluas 20 ha, perbaikan prasarana desa (jalan, air minum, kantor desa, dan lainlain), konservasi tanah dan pengendalian erosi seluas 5.000 ha di DAS Cimeneng. Komponen C berupa pelaksanaan dan pengawasan proyek yang meliputi: pengelolaan administrasi dan program pembangunan desa, pelaksanaan dan pengawasan program di laguna Segara Anakan, persiapan dan administrasi pelatihan dan kepedulian masyarakat, orthophoto, survey kepemilikan tanah, dan pembuatan foto udara (Pikiran Rakyat, 20/11/2002; Akar, 2001). ADB menyediakan 60% kebutuhan dana, sebesar US$ 76.89 juta, sedangkan pemerintah Indonesia menyediakan sisanya (ADB News Release, 1996). Sejarah penyudetan Sejarah pengelolaan laguna Segara Anakan dapat dirujuk dari studi de Haan pada tahun 1865 yang menyatakan perlunya menciptakan sebuah reservasi hutan mangrove untuk menjamin ketersediaan kayu bagi penduduk Segara Anakan. Studi lebih lanjut menunjukkan sedimentasi yang tinggi di laguna berpotensi mengubah ekosistem mangrove menjadi ekosistem terestrial, sehingga masyarakat harus berganti profesi dari nelayan menjadi petani. Hal ini menginspirasi Blommenstain untuk mengubah tanah timbul menjadi areal pertanian. Bahkan untuk mempercepat sedimentasi, pada tahun 1972 PT Indah Karya menyarankan pelurusan aliran sungai Citanduy ke

125 laguna Segara Anakan melalui kanal Nusawulung. Namun pada tahun 1975, ECI memberi rekomendasi bahwa reklamasi laguna menyebabkan ketidakpastian penghidupan nelayan, sebaliknya menyarankan peningkatan usaha nelayan tradisional menjadi nelayan modern, dengan mengembangkan laguna sebagai sumber pemijahan biota akuatik. Tetapi lembaga ini juga melaporkan adanya percepatan sedimentasi di laguna melebihi perkiraan semula (Pikiran Rakyat, 20/11/2002; ECI, 1975). Kajian ECI ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana pengembangan DAS Citanduy secara integral dengan tujuan mengendalikan banjir, irigasi pertanian, serta konservasi daerah hulu dan hilir Segara Anakan. Pada tahun 1979, ECI melakukan studi kelayakan irigasi Citanduy hilir, diikuti pelaksanaan konstruksi irigasi Sidareja-Cihaur pada tahun 1982 yang diperluas pada tahun 1993. Pada tahun 1980, LIPI melakukan penelitian ekologi ekosistem Segara Anakan, beserta beberapa aspek lainnya dengan memfokuskan pada manajemen sumber daya kelautan (Pikiran Rakyat, 20/11/2002). Hasil kajian menarik perhatian ADB antara lain dengan membiayai proyek pemantauan dan rencana penggunaan optimal periode 1981-1985. Kegiatan yang dianggap layak adalah pengerukan sedimen, serta pembentukan area pertanian dengan menaikkan daratan dan meningkatkan pembilasan (Ludwig, 1985). Pada tahun 1987 kembali ADB membiayai studi rencana pekerjaan umum (ECI, 1987) yang hasilnya menarik minat pemerintah Amerika Serikat untuk membiayai studi rencana manajemen terpadu Segara Anakan oleh ICLARM (International Center for Living Aquatic Resources Management) yang diselesaikan pada 1988 (Pikiran Rakyat, 20/11/2002). Berdasarkan studi ECI pada tahun 1994, Departemen Pekerjaan Umum dan ADB mengusulkan beberapa alternatif pengelolaan laguna Segara Anakan, diantaranya adalah tidak melakukan tindakan apapun, mengeruk sedimen, membangun pintu gerak atau bendungan di kanal barat, dan membangun sudetan sungai Citanduy (Pikiran Rakyat, 20/11/2002; ECI, 1994). Usul penyudetan sungai Citanduy semakin mengkristal dengan adanya pertemuan antara Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Kehakiman dengan ADB, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah setempat yang menyepakati perlunya upaya penyelamatan Segara Anakan. Sasaran adalah upaya konservasi areal seluas 12.000 ha meliputi laguna (1.800 ha), hutan mangrove (5.200 ha), dan tanah daratan (5.000 ha). Fokus pekerjaannya meliputi: penanganan penyebab sedimentasi pada daerah aliran sungai dengan metode agroteknik, yaitu perbaikan lahan, penghijauan, dan pengaturan sedimentasi, pengalihan sedimen yang masuk ke laguna sebelum agroteknik efektif, pengerukan sedimen di laguna, dan penanganan aspek sosial. Hasilnya pada tahun 1995-1997 dilakukan pengerukan sedimen untuk menjamin tempat tumbuh vegetasi mangrove dan mencegah penyempitan laguna (Pikiran Rakyat, 20/11/2002). Selanjutnya pada tahun 1996, pemerintah dan ADB sepakat menggelar proyek konservasi dan pembangunan Segara Anakan selama lima tahun dengan rencana kerja sebagaimana telah disebutkan di atas, dimana upaya penyudetan sungai

Citanduy menjadi masalah paling kontroversial (Pikiran Rakyat, 20/11/2002; Berita KAI, 14/8/2002; Akar, 2001). Setelah uji kelayakan, pemerintah dalam hal ini Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) tampaknya bermaksud segera melaksanakan proyek tersebut. Sungai Citanduy yang bermuara di Segara Anakan, dekat ujung barat Pulau Nusakambangan, di wilayah Kabupaten Cilacap, akan dibuatkan kanal sejauh 3 km ke laut selatan, sehingga alirannya langsung masuk ke perairan laut Nusawere di sebelah timur Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Program ini mendapat tantangan warga Pangandaran, yang umumnya hidup sebagai nelayan dan pelaku pariwisata. Mereka mendesak Pemerintah Kabupaten Ciamis untuk mencabut persetujuan yang pernah diberikan kepada pemerintah pusat terhadap proyek penyudetan tersebut (Media Indonesia, 29/8/2002; Mitra Bisnis, 11/2001). Kegiatan proyek ini menimbulkan keragu-raguan di kalangan masyarakat Pangandaran, karena khawatir nutrien yang dibawa sungai Citanduy akan langsung terbuang ke laut, terjadi perubahan salinitas di Segara Anakan yang mengganggu keanekaragaman hayati dan memusnahkan tempat pemijahan berbagai jenis biota laut, bertumpuknya lumpur dan sampah di pantai Pangandaran, serta terjadinya banjir di daratan rendah pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Pikiran Rakyat, 20/11/2002; Mitra Bisnis, 11/2001). Sebelumnya permasalahan hilangnya nutrien dan berubahnya salinitas telah disinggung dalam laporan ECI (1994) yang menjadi dasar ADB membiayai proyek penyudetan ini. Laporan tersebut meyakinkan bahwa penyudetan tidak akan mempengaruhi daur nutrien pada ekosistem mangrove, suatu hal yang menimbulkan pertanyaan mengingat daur nutrien pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi masukan dari sungai dan laut. Selanjutnya laporan tersebut mengakui kemungkinan terjadinya peningkatan salinitas hingga tiga kali lipat, sehingga biota akuatik tertentu diperkirakan tidak akan bertahan hidup. Namun dari segi akuakultur, hal ini dapat di atasi dengan didatangkannya spesies bernilai ekonomi yang tahan salinitas dari luar, misalnya dengan membuat tambak udang (Pudjiastuti dan Siregar, 2002). Potensi konflik Permasalahan lingkungan merupakan salah satu problem besar yang akan muncul dalam penerapan otonomi daerah, terutama apabila otonomi diartikan secara sempit. Lingkungan hidup sebagai ruang interaksi antara sesama makhluk hidup dan dengan makhluk tidak hidup, tidak mengenal batas wilayah. Kasus penyudetan sungai Citanduy merupakan konflik lingkungan terbesar yang muncul pada awal penerapan otonomi daerah, yang implikasinya dapat menimbulkan benih-benih perselisihan menuju krisis sosial. Di satu sisi pemerintah Kabupaten Cilacap bermaksud melakukan penyudetan untuk menyelamatkan Segara Anakan dari pendangkalan akibat sedimentasi sungai Citanduy yang utamanya berasal dari Kabupaten Ciamis. Di sisi lain upaya ini mendapat tantangan keras dari anggota DPRD Ciamis, warga dan LSM, karena dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap lingkungan pantai Pangandaran. Menanggapi keberatan ini Pemerintah Kabupaten Cilacap mengancam akan membendung sungai tersebut di daerah Plawangan, ujung barat

126 Nusakambangan yaitu tempat bertemunya perairan Segara Anakan dengan laut selatan (Pikiran Rakyat, 17/5/2000). Jika penyudetan ini direalisasikan diduga banyak nelayan dan pelaku wisata Pangandaran yang menderita dan sebaliknya penduduk Segara Anakan akan menikmati panen berlimpah dari hasil perikanan. Penyelesaian konflik lingkungan memerlukan pemahaman yang mendalam secara keilmuan dan kemampuan analisis secara holistik (Media Indonesia, 9/6/2000). Benturan antara dua atau lebih wilayah akibat persoalan lingkungan harus diselesaikan dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan. Suatu wilayah yang menjadi biang pencemaran di wilayah lain tidak dapat menutup mata atas kerugian yang ditimbulkannya. Saling mengancam antara para elite politik tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat menimbulkan persoalan baru yang melibatkan masyarakat banyak. Otonomi daerah bukan sarana untuk membentuk tirani baru, namun suatu keberkahan sehingga perlu dipahami semangat di belakang kelahirannya. Para politisi tidak dapat menganggap ringan potensi berkembangnya konflik, karena dampaknya sangat dekat dengan persoalan disintegrasi bangsa (Media Indonesia, 9/6/2000). Upaya konservasi dan pengembangan Segara Anakan secara integratif sebagaimana direncanakan harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tidak menggunakan pendekatan proyek sebagaimana umum dilakukan pada masa lalu. Konsep tersebut perlu dipadukan antara Kabupaten Ciamis dan Cilacap sehingga tidak mewariskan masalah bagi pemerintahan selanjutnya (Republika, 16/1/2002). Kajian teknis dan sosialisasi rencana harus diberikan secara jujur dan terbuka agar masyarakat dapat mempelajari dan mengantisipasi berbagai dampak yang dapat timbul, sehingga persetujuan masyarakat bukan merupakan hasil penggiringan opini, namun merupakan pemahaman atas kekurangan, kelebihan dan konsekuensi yang harus ditanggung apabila penyudetan dilaksanakan atau dibatalkan (Sinar Harapan, 11/3/2002; Republika, 16/1/2002;). Pelaksanaan penyudetan sungai Citanduy tanpa melibatkan kesertaan masyarakat dapat memunculkan gejolak yang pada akhirnya membuat proyek menjadi mubasir (Republika, 16/1/2002). Kaji ulang Tarik ulur upaya penyudetan menyebabkan rencana yang sedianya dilaksanakan pada tahun anggaran 1999/2000 ditunda dan dikaji ulang, khususnya oleh pemerintah Kabupaten Ciamis. Sebelumnya pihak proyek Citanduy telah bekerja sama dengan para pakar untuk meneliti segala kemungkinan yang dapat terjadi sebagai dampak penyudetan. Namun tingginya tantangan atas penyudetan tersebut menyebabkan pengkajian yang melibatkan para pakar itu harus dilaksanakan kembali. Kaji ulang dilakukan oleh tim gabungan perguruan tinggi, di antaranya dari Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Galuh. Dengan kaji ulang diharapkan dapat diperoleh hasil yang obyektif dan komprehensif, termasuk kemungkinan ditemukannya alternatif baru agar sedimen dari sungai Citanduy yang masuk ke perairan Segara Anakan dapat ditekan (Suara Merdeka, 14/8/2002; Suara Pembaruan, 26/5/2002; Kompas, 11/5/2001; Pikiran Rakyat, 22/1/2001).

Para pakar berkesimpulan bahwa penanganan sedimentasi di Segara Anakan dengan atau tanpa penyudetan sungai Citanduy sama-sama mengandung risiko, namun penanganan dengan penyudetan memiliki risiko lebih kecil daripada tanpa penyudetan. Berdasarkan hasil kaji ulang yang pembahasan finalnya telah dilaksanakan di Depkimpraswil (24/8/2001), maka diputuskan untuk melanjutkan upaya penyudetan sungai Citanduy. Untuk itu pemerintah dan ADB sepakat memperpanjang proyek hingga tahun 2004, selanjutnya hal ini menunggu "lampu hijau" dari Pemerintah Kabupaten dan DPRD Ciamis (Suara Merdeka, 14/8/2002; Mitra Bisnis, 11/2001). Terbentuknya ekosistem baru Penyudetan sungai Citanduy dengan memindahkan muaranya dari laguna Segara Anakan langsung ke laut selatan dapat mengakibatkan terjadinya pelumpuran, pengeruhan, dan penumpukan sampah di kawasan pantai, serta menimbulkan banjir di sepanjang tepi kanal sudetan. Di samping itu memungkinkan terbentuknya ekosistem baru menggantikan ekosistem lama khususnya terumbu karang yang banyak dijumpai di sepanjang pantai, khususnya di CA Pananjung, Pangandaran. Dampak ekologis terbentuknya ekosistem baru ini sulit diprediksi dan diperkirakan akan memunculkan permasalahan sosial baru pula (Suara Pembaruan, 25/8/2002; Sinar Harapan, 11/3/2002; Republika, 16/1/2002; Mitra Bisnis, 11/2001). Perubahan pola aliran sungai menyebabkan arus balik ombak dan arus pasang surut laut selatan, lambat laun dapat menyebabkan pendangkalan di muara barat Segara Anakan dan memungkinkan bersatunya Pulau Jawa dengan Nusakambangan. Tertutupnya kanal barat di Plawangan ini dapat menyebabkan sedimen dari sungai Cibeureum, Palindukan, dan sungai-sungai lain yang tidak disudet dan tetap bermuara di Segara Anakan akan tertahan dan tertimbun di dalam laguna, sehingga tetap menjadi ancama eksistensi Segara Anakan. Di samping itu gundulnya bukit-bukit di Nusakambangan akibat masuknya pendatang turut menyumbang peningkatkan sedimentasi (Pikiran Rakyat, 23/11/2000). Potensi sedimentasi dari Nusakambangan Sampai tahun 1980-an, Nusakambangan masih merupakan kawasan yang benar-benar tertutup. Akan tetapi sejalan dengan upaya pemanfaatan potensi alamnya, berbagai aktivitas mulai dilakukan. Penambangan batu kapur untuk keperluan pabrik semen diduga menjadi katalis utama masuknya manusia ke kawasan ini (Kompas, 24/2/2001). Pemukim pertama didatangkan pada tahun 1997, sebagai buruh tani oleh sebuah proyek penanaman pisang cavendish yang gagal, yakni 400 KK dari Banjarpatoman, Ciamis. Selanjutnya masuk pendatang lain hingga jumlahnya mencapai sekitar 900 KK (Kompas, 29/5/2001; 24/2/2001; Akar, 2001). Akibatnya sekitar 1.000 ha hutan lindung rusak parah karena pencurian kayu atau dikoversi menjadi ladang, di luar kerusakan akibat penambangan batu kapur (Suara Merdeka, 8/5/2000; Kompas, 9/8/2000; 29/5/2001; 22/6/2002). Para pendatang seringkali menanami lahan miring tanpa pembuatan teras, sehingga menyebabkan terjadinya erosi. Penertiban pendatang pernah dilakukan pada bulan Januari-Pebruari 2001, namun pada bulan

127 Juni 2001 mereka kembali datang (Suara Merdeka, 16/6/2001; Akar, 2001), bahkan kembali mencapai sekitar 300 KK pada awal tahun 2002 (Suara Merdeka, 28/3/2002). Kehadiran pendatang yang cenderung dibiarkan mendorong penduduk asli ikut menjamah hutan Nusakambangan, terlebih sedimentasi telah menyatukan kampung mereka dengan pulau tersebut seperti di Lempong Pucung (Suara Hidayatullah, 5/1999) dan Klaces (Kompas, 21/12/2002). Sehingga semakin meningkatkan sedimentasi dari sisi selatan laguna Segara Anakan. Tidak ada jaminan terhentinya sedimentasi Hingga kini tidak ada jaminan bahwa pelumpuran di Segara Anakan akan terhenti setelah muara sungai Citanduy dan Cimeneng dialihkan ke laut selatan, mengingat tingginya arus degradasi hutan Nusakambangan dan adanya pelumpuran dari sungai-sungai kecil lain, meskipun tidak sebesar kedua sungai tersebut (Republika, 16/1/2002). Di samping itu sudetan dapat patah oleh proses geologi yang belum ditelaah, sehingga tidak menyelesaikan masalah bahkan sebaliknya menimbulkan permasalahan baru, seperti terhentinya pasokan air tawar di Majingklak, terputusnya transportasi air sungai dari Kalipucang-Majingklak, dan terjadinya perebutan lahan bekas hutan mangrove (Sinar Harapan, 11/1/2003). Dalam hal ini alasan penolakan masyarakat, LSM, dan DPRD Ciamis memiliki pembenaran yang kuat. Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang pernah menjadi tim konsultan pada proyek konservasi dan pembangunan Segara Anakan juga berpendapat penyudetan tersebut kurang tepat karena hanya mengalihkan permasalahan lama ke permasalahan baru. Proyek sudetan tidak akan efektif, kecuali secara teknis tidak berdampak negatif pada ekosistem (Suara Pembauran, 25/8/2002). Akan tetapi pada bulan Juli 2002 pejabat Depkimpraswil kembali menetapkan jadwal rencana penyudetan sungai Citanduy yang akan dimulai pada bulan September 2002, dengan alasan pembebasan tanah dan kekhawatiran terhadap dampak negatif proyek tersebut telah dapat diatasi (Suara Pembaruan, 6/7/2002). Namun sebulan kemudian ribuan nelayan dan warga Pangandaran kembali menyatakan keberatannya dengan mendatangi kantor Gubernur Jawa Barat (Media Indonesia, 29/8/2002). Penyelamatan Segara Anakan merupakan komitmen nasional (Kompas, 5/10/2002). Dalam Rakorbangnas 22 Oktober 2002 dinyatakan bahwa permasalahan sudetan sungai Citanduy dan pendangkalan Segara Anakan masih terus diupayakan untuk diselesaikan bersama antara Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Pemerintah Pusat c.q. Depkimpraswil, sehingga babak akhir kelanjutan penyudetan ini masih ditunggutunggu. Banyaknya kepentingan yang turut ambil bagian tampaknya menjadi penyebab tertunda-tundanya rencana penyudetan tersebut (Suara Merdeka, 14/8/2002). Hambatan lain Di samping tekanan masyarakat Ciamis, terutama Pangandaran untuk membatalkan penyudetan sungai Citanduy, Cimeneng/Cikonde, dan sungai-sungai di sekitarnya, upaya ini juga mendapat hambatan dari para

pemilik jaring apung dan pemilik tanah pendatang yang meminta harga ganti jauh di atas nilai jual obyek pajak (NJOP) (Pikiran Rakyat, 12/3/2002; 1/5/2002; Sinar Harapan, 1/5/2002). Misalnya seorang pengusaha yang menguasai tanah seluas 125 ha meminta agar seluruh tanahnya dibebaskan dengan harga jauh di atas NJOP, sedangkan proyek hanya memerlukan 25 ha tanahnya (Mitra Bisnis, 11/2001). Berlarut-larutnya upaya penyudetan sungai ini menyebabkan ADB selaku lembaga donor mengancam untuk menarik pinjamannya (Pikiran Rakyat, 12/3/2002), sebaliknya pemerintah Indonesia tetap diwajibkan membayar biaya komitmen atas janji hutang tersebut (Jawa Pos, 22/10/2002). Proyek konservasi lingkungan demikian selayaknya didanai dengan hibah bukannya dana hutang (Suara Pembauran, 25/8/2002; Media Indonesia, 29/8/2002), sebagaimana jargon hutang ditukar lingkungan (environtmental debt swap). Penghijauan dan pengerukan Penyudetan sungai Citanduy bukan merupakan satusatunya cara untuk mengurangi pelumpuran di Segara Anakan. Pembenahan lingkungan daerah aliran sungai, penghijauan, dan pengerukan sedimen secara rutin diharapkan dapat mengurangi laju sedimentasi (Koran Tempo, 6/6/2002; Suara Pembauran, 25/8/2002; Media Indonesia, 29/8/2002). Namun dalam prakteknya penghijauan sulit dilaksanakan, mengingat kawasan hulu sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan umumnya merupakan tanah milik pribadi. Para petani yang kebanyakan juga miskin, menanaminya dengan tanaman pangan yang lebih cepat dipanen dari pada tanaman tahunan yang lebih bernilai konservasi (Akar, 2001). Di sisi lain tanpa pembenahan dan penghijauan di daerah aliran sungai, maka upaya pengeruhan sedimen dapat dipastikan tidak efektif, mengingat tidak diputusnya sumber pelumpuran. Sebagai jalan pintas yang segera dapat dilihat hasilnya adalah dibuatnya kanal penyudetan. Adapun upaya pembenahan dan penghijauan harus tetap dilakukan. Untuk kawasan sempadan sungai sebenarnya telah dibuat aturan perlindungan, yakni Keppres No. 20 Tahun 1990, yang menyatakan bahwa di sepanjang sungai besar harus dibuat sabuk hijau (green belt) selebar 100 m di sebelah kanan sungai dan 60 m di sebelah kiri sungai yang harus ditanami aneka jenis pohon (Suara Pembauran, 25/8/2002). Namun luasan ini tampaknya terlalu sempit untuk daerah aliran sungai Citanduy dan sungai-sungai lain yang bermuara di Segara Anakan. Di kawasan Segara Anakan, jalur hijau yang mutlak harus dilindungi terdiri dari sempadan laguna seluas 101,64 ha, sempadan sungai seluas 2.095 ha, sempadan pantai Nusakambangan seluas 5.674,08 ha, hutan mangrove seluas 2.769,11 ha, dan hujan tropis dataran rendah di Nusakambangan seluas 9.939,30 ha (suara Merdeka, 26/5/2001).

PENUTUP Uraian di atas menunjukkan upaya penyudetan sungai Citanduy bagaikan buah simalakama, disudet ataupun tidak disudet masing-masing memiliki kerugian dan kelebihan, meskipun secara umum – dari segi konservasi ekosistem mangrove – tampaknya upaya

128 penyudetan lebih memberikan harapan bagi perpanjangan umur ekosistem tersebut dari pada tanpa penyudetan. Mengingat tanpa penyudetan hilangnya laguna dan menciutnya ekosistem mangrove di Segara Anakan merupakan sebuah kepastian dan tinggal menunggu waktu. Sebenarnya dalam kultur masyarakat Ciamis selatan terdapat pembenaran atas upaya penyudetan sungai ini, dimana petuah leluhur (uga kawasen) menyatakan bahwa kelak kawasan Lakbok, Ciamis dan sekitarnya akan subur makmur dan sejahtera, apabila sungaisungainya sudah bermuara ke selatan (Pikiran Rakyat, 11/10/2002). Namun pendekatan kultural tampaknya diabaikan pelaksana proyek, yang lebih mementingkan aspek teknis dan mengabaikan aspek nonteknis. Pelibatan masyarakat dan pihak-pihak terkait (stakeholders) dalam perencanaan, dapat menghasilkan proyek yang lebih sesuai dengan kepentingan masyarakat, karena masyarakat yang membiayai, memanfaatkan dan menanggung risiko apabila terjadi kegagalan (Suara Publik, 2002). Sebagai suatu tata lingkungan, kawasan laguna, hutan mangrove Segara Anakan, dan hutan Nusakambangan perlu dikelola menurut perencanaan terpadu, baik dalam aras manajemen konservasi maupun administrasi antar pemerintah daerah, masyarakat maupun pihak-pihak terkait lainnya sehingga terjadi keselarasan dalam upaya perlindungan, penelitian dan pemanfaatannya.

DAFTAR PUSTAKA ADB News Release. 1996. ADB lends US$ 45.6 million to Indonesia to save Java ecosystem. ADB News Release No. 119/96, 17 Oktober 1996. Akar. 2001. Konflik di Segara Anakan: kelalaian pemerintah Orde Baru, tantangan bagi pemerintah sekarang. Akar 2 (1): www. arupa.or.id/publications/akar2-1/konflik_di_segara_anakan. htm Amin, E.M. dan T. Hariati. 1988 The capture fisheries of Segara Anakan, Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988. Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation. Anonim. 2001. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Berita KAI. 14/8/2002. Proyek Sudetan Citanduy Masih Kontroversi. Brotosusilo, A. 1988. Social change in Segara Anakan-Cilacap, Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988 Buana Katulistiwa. 2002. Beberapa Indikasi Terjadinya Degradasi Lingkungan Hidup dan Kegiatan Masyarakat sebagai Faktor Pendorongnya di Indonesia. Depok: Buana Katulistiwa - NGO for Spatial Information, Jawa Barat, Indonesia Budihardjo. 1988. Economic analysis of existing income sources of Kampung Laut, Segara Anakan-Cilacap, Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988. Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000. Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) among subsistence and commercial users. Economic Botany 54: 513–527. Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Dudley, R.G. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plant. Cilacap: Segara Anakan Conservation and Development Project.

ECI (Engineering Consultant Inc.). 1975. The Citanduy River Basin Development Project Segara Anakan. Denver: Banjan. ECI. 1987. Segara Anakan Engineering Measurement Study. Jakarta: Ministry of Public Work. ECI. 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project. Jakarta: Asian Development Bank. Ellison, A.M. and E.J. Farnsworth. 1996. Anthropogenic disturbance of Caribbean mangrove ecosystems: past impacts, present trends, and future predictions. Biotropica 24: 549–565. FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3. Giesen, W. 1993. Indonesian mangroves: an update on remaining area and main management issues. International Seminar on Coastal Zone Mangement of Small Island Ecosystem, Ambon, 7-10 April 1993. Haditenojo, P.S. dan T.S. Abbas. 1982. Pengalaman pengelolaan hutan mangrove di Cilacap. Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturraden, 3-5 Agustus 1982. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West Center. Hardoyo, S.R. 1982. The Kampung Laut of the Segara Anakan: A study of socio-economic problems. In Bird, E.C.F., A. Soegiarto, and K. A. Soegiarto (eds.). Workshop on Coastal Resources Management in the Cilacap Region. Jakarta: Indonesian Institute of Sciences and the United Nations University. Harjosuwarno, S. 1978. Aspek sosial ekonomi hutan mangrove Cilacap. Seminar I Ekosistem Mangrove Jakarta 27 Pebruari – 1 Maret 1978. Haroen, Z.A. 2002. Konsiderasi Komunitas dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Mangrove; Suatu Filosofi. Program Pasca Sarjana: Institut Pertanian Bogor. Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, and Zuwendra. 1992. Manual of Guideline for Scoping EIA in Indonesia Wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No. 6B. Jakarta: Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau Indonesia Hussein, M.Z. 1995. Silviculture of mangroves. Unasylva 46: 36-42. IPIECA. 1993a. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA Report No. 4. London: International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. Jawa Pos, 22/10/2002. Indonesia Dapat Kolaps. Kedaulatan Rakyat, 27/9/2001. Pasca Penjarahan Hutan Jateng Selatan; Lolos dari Mulut Buaya, Masuk Mulut Harimau. Knox, G.A. and T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in South East Asia, with special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO. Kompas, 11/5/2001, Dikaji Ulang, Proyek Konservasi Segara Anakan Kompas, 16/11/2002. Cilacap, Pusat Riset Ekosistem Tropis. Kompas, 18/4/2002. Mangrove Hancur, Perikanan Terancam. Kompas, 21/03/01. Hutan Jati Cilacap Dijarah Massa. Kompas, 21/12/2002. Nusakambangan Menyatu dengan Kampung Klaces. Kompas, 22/6/2002. Hutan Nusakambangan Menjadi Incaran Pencuri. Kompas, 24/2/2001. Nusa Kambangan, Pulau Wisata atau Pusat Judi. Kompas, 25/1/2001. DAS Citanduy Hulu Semakin Kritis. Kompas, 29/5/2001. Penduduk Liar Ancam Konservasi Air Nusakambangan. Kompas, 30/10/2001. Banjir Melanda Berbagai Daerah; Di Cilacap Tiga Orang Tewas Kompas, 5/10/2002. Penyelamatan Segara Anakan, Komitmen Nasional. Kompas, 9/8/2000. 600 Kubik Kayu Nusakambangan Disita. Koran Tempo, 6/6/2002. Penyedotan Citanduy Sebaiknya Diurungkan. Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Ludwig, E.H.F., 1985. Final Report of Consult Phase I Report Segara Anakan. Bandung: Segara Anakan Environtmental Monitoring and Optimal Use Planning Project, IHE-ARD. Manassrisuksi, K., M. Weir, and Y.A. Hussin. 2001. Assesment of mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS: a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Eastern Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensisng, Singapore 59 November 2001. Media Indonesia, 29/8/2002. Pemprov Jabar Cari Solusi Soal sungai Citanduy. Media Indonesia, 9/6/2000. Otonomi Daerah dan Konflik Lingkungan Mitra Bisnis. 11/2001. Segara Anakan Perlu Segera Diselamatkan, Sudetan Sungai Citanduy Salah satu Solusinya Moeljono, H.S. Pemilihan jenis pada rehabilitasi hutan payau Cilacap. Duta Rimba 8 (52): 12-15. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre.

129 Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Nurwanto, Y.A. 2001. Keanekaragaman Vegetasi Hutan Mangrove di Segara Anakan Cilacap. [Tesis]. Surakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers. Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START. Paryono, T.J., T. Kusumastanto, R. Dahuri dan D. G. Bengen. 1999. Kajian ekonomi pengelolaan tambak di kawasan mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pesisir & Lautan 2 (3): 8-16. Pikiran Rakyat, 1/5/2002. Kawasan Segara Anakan dan Hutan Mangrove Rusak Mafia Tanah Hambat Penyudetan Citanduy. Pikiran Rakyat, 11/10/2002. Menyelamatkan Segara Anakan Citanduy Tak Perlu Disudet. Pikiran Rakyat, 12/3/2002. Soal Pembebasan Tanah Segara Anakan. Pikiran Rakyat, 17/5/2000. Penyudetan sungai Citanduy. Pikiran Rakyat, 20/11/2002. Di Balik Pro-Kontra Sudetan Citanduy Pikiran Rakyat, 22/1/2001. Dekan Fisip Unigal: Jangan Hanya Konsultasi Publik Proses Kajiulang Citanduy Harus Bersifat Teknis. Pikiran Rakyat, 23/11/2000. Disudet, Ekosistem Bisa Rusak, Akan Terjadi Pendangkalan di “Oulet” Segara Anakan Pikiran Rakyat, 3/8/2002. Perlu 470.000 Bibit Mangrove. Pikiran Rakyat, 7/11/2002. Melihat Segara Anakan yang Nyaris Rusak Total; Pangandaran Menolak, Karanganyar Ancam Bendung Citanduy. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. Reviews in Fisheries. Science 1 (2): 151-201 Pudjiastuti, S. and P.R. Siregar. 2002. The Citanduy River Diversion Project some critical thoughts. In Good Governance or Bad Mangement; An Overview of the ADB's Decision Making Processes and Policies. Bangkok: Focus on the Global South, Chulalongkorn University, Bangkok. Rakorbangnas. 2002. Notulensi Persidangan Hari Kedua Selasa, 22 Oktober 2002. Jakarta: Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Republika, 23/7/2002. Kajian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Mengejutkan. Republika, 24/03/2001. Hutan Mangrove di Cilacap Menyusut. Republika, 16/1/2002. Sudetan Citanduy: Menghitung Dampak Mengurai Harapan Schweithelm, J. 1988. Watershed land use and coastal sedimentation: the Citanduy/Segara Anakan system. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988. Segara Anakan. 1998. Introduction of the official home page of the Segara Anakan Conservation and Development Project (SACDP), Directorate General for Regional Development, Ministry of Home Affairs, the Republic of Indonesia http://members.tripod.com/~sacdp/intro.html Setyawan, A.D., A. Susilowati dan Wiryanto. 2002. Habitat reliks vegetasi mangrove di pantai selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256. Sinar Harapan, 1/5/2002. Akibat Sedimentasi, Segara Anakan Menyempit. Sinar Harapan, 11/1/2003. Mendesak, Konservasi Ekosistem Nusakambangan. Sinar Harapan, 11/3/2002. Pakar Lingkungan Tolak Proyek Sudetan sungai Citanduy. Soemodihardjo, S., Suroyo, Suyarso. 1988. The mangroves of Segara Anakan: An assessment of their condition and prospects.

ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988 Soeroyo dan S. Soemodihardjo. 1990. Tumbuhan gulma dan semai alami di hutan mangrove Segara Anakan, Cilacap. Seminar IV Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990. Spaninks, F. and P. van Beukering. 1997. Economic Valuation of Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations. CREED Working Paper No 14, July 1997. London and Amsterdam: International Institute for Environment and Development, and Institute for Environmental Studies. Suara Hidayatullah. 5/1999. Kampung "Pensiun" di Nusakambangan. Suara Merdeka, 14/8/2002. Pro Kontra Sudetan Citanduy; Tertunda akibat Banyak Kepentingan. Suara Merdeka, 16/6/2001. Hutan Mangrove Dimodifikasi dengan Kayu Putih. Suara Merdeka, 16/6/2001. Penduduk Liar Rambah Nusakambangan Lagi. Suara Merdeka, 26/5/2001. Segara Anakan Ditetapkan sebagai Kawasan Lindung. Suara Merdeka, 28/3/2002. Penduduk Liar di Nusakambangan Marak Lagi. Suara Merdeka, 4/7/2001. Penduduk Segara Anakan Harus Dibatasi. Suara Merdeka, 8/52000. Polres Kejar Pencuri Kayu Nusakambangan. Suara Pembaruan, 25/11/2001. Bangau Segara Anakan Kian Langka Suara Pembaruan, 26/5/2002. Segara Anakan yang Terus Menyusut. Suara Pembaruan, 6/7/2002. Proyek Sudetan Citanduy Dimulai September 2002. Suara Pembaruan, 9/4/2002. Segara Anakan Kian Dangkal. Suara Pembauran, 25/8/2002. Sudetan Laguna Segara Anakan Tak Efektif . Suara Publik, 2002. Training Workshop Pelibatan Stakeholders da-lam Proses Pengambilan Keputusan Pembangunan Prasarana Sumberdaya Air; Melibatkan Stakeholder, Menggeser Paradigama Lama. Jakarta: LP3ES. Sukardjo, S. 1989. The mangrove forests of Java and Bali (Indonesia). Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication No 37. Sukartika, B. 1980. Intensifikasi tumpangsari tambak di Cilacap. Kertas Kerja pada Lokakarya Pengalaman dengan Agroforestry di Jawa. Yogyakarta: UGM. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Terchunian, A., V. Klemas, A. Alvarez, B. Vasconez, and L. Guerrero. 1986. Mangrove mapping in Ecuador: The impact of shrimp pond construction. Environmental Management 10: 345–350 Thom, B.G. 1967. Mangrove ecology and deltaic geomorphology: Tabasco, Mexico. Journal of Ecology 55: 301–343 Tjitrosoepoma, G. 1981. Pembangunan wilayah pantai Cilacap. Paper presented at a panel discussion on urban and rural planning in Semarang, Central Java. Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University Press. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press. Wirjodarmodjo, H., Soeroso, dan B. Soekartiko. 1978. Pengelolaan hutan payau Cilacap. Seminar I Ekosistem Mangrove Jakarta 27 Pebruari – 1 Maret 1978. Yudho, W. 1988. Local environment awareness and attitudes toward coastal resources management in Segara Anakan-Cilacap, Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988.

130

Tumpahan Minyak Bumi, Mitigasi dan Restorasinya

ABSTRACT Ekosistem mangrove dicirikan oleh sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi angiospermae berhabitus pohon dan semak, serta dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut dengan salinitas tinggi. Ekosistem ini bersifat unik dan langka karena hanya menutupi 2% luas permukaan bumi. Indonesia merupakan pemilik mangrove terluas di dunia, namun tingkat keterancaman ekosistem ini relatif tinggi. Salah satu ancaman terhadap ekosistem mangrove yang mendapat perhatian luas adalah tumpahnya minyak bumi, baik yang berasal dari fasilitas pengeboran dan pengolahan minyak bumi maupun dari kecelakaan kapal tanker. Hal ini terjadi karena akibat yang ditimbulkannya bersifat massal dan berlangsung lama. Minyak bumi dapat menutupi pori-pori akar nafas dan terserap dalam sedimen tanah, sehingga tumbuhan mangrove kekurangan oksigen dan permeabilitas membran sel dalam menjaga salinitas tidak berfungsi. Pada saat ini terdapat beberapa cara untuk mencegah masuknya tumpahan minyak bumi ke ekosistem mangrove, antara lain mengambil tumpahan minyak langsung secara mekanis, baik dengan menyendok, menyedot, menyerap atau cara lain, membakar dengan api, menggunakan dispersan, dan bioremediasi. Di samping itu secara alamiah angin dan ombak dapat pula mendispersikan minyak ke air laut. Dua tahun setelah tumpahan minyak, kawasan mangrove baru dapat direstorasi kembali dengan penanaman bibit atau rekruitmen alami. Key words: mangrove, oil spills, restoration, management, Java.

PENDAHULUAN Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon dan semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut dengan salinitas tinggi (MacNae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Nybakken, 1993; Kitamura et al., 1997). Dalam bahasa Indonesia hutan mangrove disebut juga hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan bakau (Kartawinata, 1979). Namun untuk menghindari kesalahan literasi dianjurkan penggunaan istilah mangrove karena bakau adalah nama generik anggota genus Rhizophora (Widodo, 1987).

Tumbuhan mangrove diperkirakan berasal dari IndoMalaysia, kawasan pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies ini terbawa arus laut ke seluruh pantai daerah o tropis dan subtropis dunia, pada garis lintang 25 LU s.d. o 25 LS, karena propagulnya dapat mengapung (Walsh, 1974; Tomlison, 1986). Sekitar sepertiga hutan mangrove dunia terdapat di Asia Tenggara (61.250 km2), dimana 42.550 km2 terdapat di Indonesia (Spalding et al., 1997). Ekosistem mangrove hanya mencakup 2% daratan bumi, sehingga secara global sangat langka dan bernilai dalam konservasi (Ong, 2002). Ekosistem ini merupakan bagian dari wilayah pesisir, pertemuan darat dan laut, yang mencakup 8% permukaan bumi (Birkeland, 1983; Ray dan McCormick, 1994; Clark, 1996). Ekosistem mangrove di Indonesia umumnya terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian besar terletak di Irian (Papua). Di samping itu ditemukan pula di Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Di Indonesia mangrove tumbuh pada berbagai substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang, dan kadang-kadang pada batuan, namun paling baik tumbuh di pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang dan mendapat masukan air sungai (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989). Keragaman spesies pada setiap lokasi berbeda-beda, di seluruh Indonesia jumlah tumbuhan mangrove sekitar 47 spesies (Anonim, 1997). Informasi lain menyatakan jumlahnya sekitar 37 spesies (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989) atau 45 spesies (Spalding et al., 1997), dimana spesies utama berasal dari genera Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera, Nypa, Xylocarpus, dan Aegiceras (Soemodihardjo dan Sumardjani, 1994). Jumlah spesies tumbuhan mangrove di Indonesia masih diperdebatkan. Jumlah yang sering diacu adalah 37 spesies (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989), 45 spesies (Spalding et al., 1997) atau 47 spesies (Anonim, 1997). Hutan mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi dan ekologi sangat penting (Bennett dan Reynolds, 1993). Selama berabad-abad ekosistem mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi berupa: kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap, tannin kulit

Publikasi asli: Setyawan A.D. 2008. REVIEW: Pengaruh Tumpahan Minyak Bumi terhadap Ekosistem Mangrove, Upaya Mitigasi dan Restorasinya. Ekosains 1 (1): 30-40.

131 kayu, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat hipokotil dan bahan pewarna (Hamilton dan Snedaker, 1984; IPIECA, 1993a; Spaninks dan Beukering, 1997; Bandaranayake, 1998; Dahdouh-Guebas et al., 2000; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002). Mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah penting, antara lain untuk sekuestrasi karbon, menyaring dan menangkap bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan badai, membentuk daratan baru, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, memijah dan membesarkan anak berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung, dan fauna lain, serta memiliki fungsi sosial sebagai area konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan identitas budaya (Thom, 1967; Tomlison, 1986; Sukardjo, 1989; Howe et al., 1992; IPIECA, 1993a; Tanaka, 1994; Spaninks dan Beukering, 1997; Anonim, 2001b; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002), namun nilai penting ekologi masih sering diabaikan (Coulter et al., 2001).

EKOSISTEM MANGROVE Ekosistem mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat (Walsh, 1974; Goldman dan Horne, 1983). Proses internal pada komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara sangat dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut, suplai hara dan stabilitas sedimen (Blasco, 1992). Faktor utama yang mempengaruhi komunitas ini adalah salinitas, tipe tanah, serta resistensi terhadap kekuatan arus air dan gelombang laut (Chapman, 1992; Steenis, 1958). Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi laut ke daratan, sehingga terbentuk zonasi vegetasi (Giesen, 1991). Komunitas mangrove tersusun atas tumbuhan, hewan, dan mikroba, namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove komunitas ini tidak dapat disebut ekosistem mangrove (Jayatissa et al., 2002). Vegetasi mangrove berperan besar dalam ekologi ekosistem ini, dimana tumbuhan mangrove mayor merupakan penyusun utamanya (Lugo dan Snedaker, 1974; Hamilton dan Snedaker, 1984; Tomlinson, 1986). Identifikasi komposisi vegetasi mangrove merupakan prasyarat untuk memahami semua aspek struktur dan fungsi mangrove, sebagaimana kondisi biogeografi, konservasi, dan manajemennya (Jayatissa et al., 2002). Klasifikasi vegetasi mangrove Ekosistem mangrove merupakan kawasan ekoton antara komunitas laut dengan pantai dan daratan, sehingga memiliki ciri-ciri tersendiri (Dahuri et al., 1996). Komunitas ini sangat berbeda dengan komunitas laut, namun tidak berbeda tajam dengan komunitas daratan dengan terbentuknya rawa-rawa air tawar sebagai zona antara. Tomlinson (1986) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi. Mangrove mayor (true mangrove) adalah tumbuhan yang sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang surut, dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui peneumatofora, embryo vivipar, mekanisme filtrasi dan

ekskresi garam, serta secara taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat setidaknya hingga tingkat genus. Mangrove minor pada dasarnya sama dengan mangrove mayor, namun tidak mampu membentuk tegakan murni, sedangkan tumbuhan asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas dan dapat berinteraksi dengan mangrove mayor. Ciri-ciri tumbuhan mangrove Tumbuhan mangrove berbentuk pohon dan semak dengan bentuk dan ukuran beragam. Semuanya termasuk dikotil kecuali Nypa fruticans. Acrostichum merupakan satu-satunya Pterydophyta di lingkungan mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan berpembuluh, dapat menggunakan air garam sebagai sumber air, dengan adaptasi daun keras, tebal, mengkilat, sukulen, serta memiliki jaringan penyimpan air dan garam. Tumbuhan mangrove memiliki mekanisme untuk mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan dapat mengekskresi atau menyimpan kelebihan garam. Biji dapat mengapung terbawa arus ke area yang luas dan dapat berkecambah saat masih di pohon induk (vivipar), serta tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon. Akar memiliki struktur tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat pasang, sehingga dapat tumbuh pada tanah anaerob (Tomlinson, 1986). Kondisi tanah lingkungan mangrove Terdapat banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan di kawasan mangrove, seperti salinitas, tipe tanah, derajat keasaman (pH), kandungan oksigen, kandungan unsur hara, intensitas sinar matahari, suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin dan arus laut, serta fluktuasi aliran pasang-surut (Ng dan Sivasothi, 2001). Dalam tulisan ini hanya dikemukakan kondisi tanah. Tanah mangrove berupa sedimen alluvial yang dibawa dan diendapkan oleh sungai dan laut. Lapisan atas tanah (topsoil) biasanya bertipe pasir atau lempung. Topsoil pasir berwarna lebih terang, porous, dapat dilewati air pada saat pasang, dan mengalami aerasi pada saat surut, sedangkan topsoil lempung berwarna lebih gelap, kurang porous dan tidak teraerasi dengan baik. Tanah subsoil selalu jenuh air atau tergenang, sehingga hanya sedikit teraerasi. Kondisi tanah merupakan penyebab terbentuknya zonasi hewan dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda menempati kondisi tanah yang berbeda pula, di sisi lain tumbuhan Avicennia dan Sonneratia hidup dengan baik pada tanah berpasir, sedangkan Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut, adapun Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik. Derajat keasaman (pH) Tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam, karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam. Aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan oleh tanah gelap, asam dan berbau telur busuk (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Berbeda dengan tanah kering, lumpur hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya lebih rendah daripada di laut terbuka. Kandungan ini semakin rendah pada tempat yang kelebihan bahan

132 organik, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan organik tersebut, sehingga terbentuk zona anoksik. Oksigen pada permukaan sedimen (sediment water interface) digunakan bakteri untuk mengurai bahan organik dan respirasi. Oksigen ini diperoleh dari sirkulasi pasang-surut dan pengaruh atmosfer. Di bawahnya lumpur yang mengandung bahan organik dan partikelpartikel halus menghasilkan kondisi anoksik, yang hanya ditumbuhi bakteri anaerob yang dapat mengurai bahan organik tanpa oksigen dan menghasilkan H2S (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Adaptasi tumbuhan mangrove terhadap kondisi tanah Proses evolusi menyebabkan spesies mangrove memiliki beberapa sifat biologi yang khas sebagai bentuk adaptasi, yang terutama ditujukan untuk mengatasi salinitas yang fluktuatif, kondisi lumpur yang anaerob dan dan tidak stabil, serta untuk reproduksi. Sejalan dengan judul makalah, dalam tulisan ini hanya dikemukakan kondisi tanah. Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah yang lembut, asin dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu. Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali anaerob, maka tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas). Akar yang menjulang di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak pori-pori kecil di kulit kayu (lentisel), sehingga oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah tanah. Akar pneumatofora ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong atau jangkar untuk menahan tetap tegaknya pohon di tanah lumpur yang lembut. Tumbuhan mangrove memiliki bentuk akar napas yang berbedabeda. Terdapat empat tipe pneumatofora, yaitu akar penyangga (stilt, prop), akar pasak (snorkel, peg, pencil), akar lutut (knee, knop), dan akar papan (ribbon, plank) (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Akar penyangga (sangga). Pada Rhizophora akar panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada akhirnya akan menjadi stilt root apabila batang yang disangganya terangkat hingga tidak lagi menyentuh tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon karena memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu aerasi ketika terekspos pada saat laut surut (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Akar pasak. Pada Avicennia dan Sonneratia, pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil atau pasak dan umumnya hanya tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan pada Sonneratia tumbuh lebih lambat namun dapat membentuk massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan setinggi 50 cm. Di teluk Botany, Sidney dapat dijumpai Avicennia marina dengan pneumatofora setinggi lebih dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar 4 m (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan tanah, dan secara teratur dan berulang-ulang tumbuh vertikal ke atas kemudian kembali ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan menjadi tempat

bertahan di lumpur yang tidak stabil. Lumnitzera membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan kombinasi akar lutut dan akar pasak (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Akar papan. Pada Xylocarpus granatum akar horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas, sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Struktur ini terbentuk mulai dari pangkal batang. Akar ini juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak dan bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal memudahkan aerasi dan tersebarnya akar secara luas membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE Di seluruh dunia aktivitas manusia telah mengurangi luasan ekosistem alami dan menurunkan keanekaragaman hayati hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Keanekaragaman hayati kawasan tropis merupakan yang tertinggi di dunia (Ligtvoet et al., 1996; Groombridge, 1990). Hutan mangrove diperkirakan menempati 75% luas kawasan pantai tropis (Chapman, 1976), tetapi tekanan antropogenik telah menurunkan luas hutan ini secara global hingga di bawah 50% dari luas awal (Saenger et al., 1983; Spalding et al.,1997). Luasan hutan mangrove dunia sangat beragam tergantung metode pengukuran dan referensi yang diacu para penulis. Dengan teknologi remote sensing luas hutan mangrove dunia diperkirakan sekitar 18,1 juta ha (Spalding et al., 1997). Sedangkan sumber lama menyebutkan bahwa luas hutan mangrove dunia sekitar 15,9 juta ha (FAO, 1982), data yang diperbaharui luasnya sekitar 16,9 juta ha (Saenger et al., 1983). Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove dunia tersebut, sekitar 4,25 juta ha (27%) berada di Indonesia (FAO, 1982). Penurunan luasan mangrove paling cepat dan dramatis terjadi di Asia Tenggara (Gómez 1988; Aksornkoae, 1993). Di Indonesia luas hutan ini terus menurun dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.237.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 11 tahun (1982-1993), terjadi penurunan hutan mangrove lebih dari 50% dari total luasan semula (Dephut, 1994; Soenarko, 2002). Penurunan luasan hutan mangrove disebabkan oleh reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan garam (Terchunian et al., 1986; Primavera, 1993), penebangan hutan secara berlebih (Walsh, 1974; Hussein, 1995; Semesi, 1998), pertambangan, pencemaran lingkungan, pembendungan sungai (Lewis, 1990), pertanian, bencana alam (Nybakken, 1993; Jimenez, 1985; Knox dan Miyabara, 1984), serta tumpahan minyak (Ellison dan Farnsworth, 1996), namun yang terakhir ini belum banyak didokumentasikan (Burns et al., 1994; 1999). Kegiatan yang menjadi ancam ekosistem mangrove tersebut dapat dikelompokkan dalam dua katogeri, yaitu: pemanfaatan langsung (konsumtif) dan kegiatan lain di luar mengrove yang berpengaruh terhadap ekosistem ini (non konsumtif). Di kawasan tropis keterancaman ekosistem mangrove terus meningkat sejalan dengan tingginya angka pertumbuhan penduduknya dan adanya tuntutan modernisasi kehidupan masyarakat pantai (IOI, 1999).

133 Penurunan luasan mangrove mendorong terjadinya intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga menurunkan produktivitas perairan pantai (Aksornkoae, 1993). Untuk mengatasi hal ini banyak negara mengkampanyekan upaya konservasi, manajemen, dan restorasi hutan mangrove (Manassrisuksi et al., 2001; Hong dan San, 1993). Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menilai, kondisi kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang di wilayah pesisir Indonesia sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Untuk itu dibutuhkan kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil (Suara Pembaruan, 29/7/2002). Kehidupan yang lestari tergantung pada berlanjutnya ekosistem yang mampu menyediakan sumberdaya bagi manusia (Miller, 1999).

PENCEMARAN MINYAK BUMI Kawasan mangrove merupakan habitat antara laut dan daratan, sehingga pencemaran yang terjadi di laut maupun di daratan dapat berdampak pada kawasan ini. Sekitar 80% pencemaran di laut berasal dari daratan, seperti dari industri, pertanian, dan rumah tangga. Sumber pencemar terbesar di laut berasal dari aliran permukaan (44%), emisi pesawat terbang (33%), pelayaran dan tumpahan minyak (12%), pembuangan limbah ke laut (10%), dan kegiatan penambangan lepas pantai (1%) (Anonim, 2001a). Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan respirasi, osmoregulasi, dan mati. Tumpahan minyak mendapat perhatian besar karena menyebabkan banyak kerusakan jangka panjang dan massif. Pencemaran ini umumnya terjadi akibat kecelakaan kapal tanker pengangkut minyak bumi atau kecelakaan dari fasilitas produksi seperti kebakaran pada anjungan pengeboran minyak bumi (Wardrup, 1987; Burns et al., 1993; Duke et al., 1997). Tumpahan minyak mentah berdampak sangat serius terhadap ekosistem mangrove, karena dapat menghambat pertukaran gas di permukaan akar aerial, sehingga menyebabkan kematian tumbuhan mangrove akibat kekurangan oksigen. Substansi racun dari tumpahan minyak mentah juga dapat meracuni akar di bawah tanah dan mikroorganisme tanah. Dampak tumpahan minyak terhadap ekosistem mangrove, teramati dengan jelas di Puerto Rico, dimana pada kawasan yang tercemar berat, kanopi hutan akan rontok hingga 50% dalam wakru 43 hari, dan 95% setelah 85 hari (IOI, 1999). Tumpahan minyak bumi yang terbawa hingga ke pantai, dapat mengakibatkan kerusakan serius pada ekosistem perairan pantai, khususnya kawasan intertidal. Mangrove merupakan salah satu ekosistem pantai yang sangat retan terhadap ancaman tumpahan minyak, karena deposit tumpahan minyak di atas permukaan tanah akan menutupi akar napas, di bawah permukaan tanah akan menutupi akar pencari makan, serta mematikan sejumlah besar fauna dan mikrobia yang berasosiasi dengannya (Duke dan Burns, 1999). Kejadian utama tumpahan minyak bumi Selama paruh akhir abad ke-20 kebutuhan industri di negara-negara maju akan minyak bumi berkembang pesat, sehingga operasi pelayaran kapal tangker – satu-

satunya moda transportasi pengangkut minyak bumi antara benua – berlangsung sangat intensif. Salah satu akibatnya adalah kecelakaan kapal tangker dimana jutaan liter minyak bumi tumpah ke laut dan tersebar hingga kawasan pesisir di sekitarnya (Bragg et al., 1994; Pickrell, 2002). Tumpahan minyak bumi dalam skala besar pertama kali dilaporkan di Inggris pada tahun 1967, dimana 119.000 ton minyak bumi tumpah di lepas pantai Torrey Canyon, Cornwall (ITOPF, 2002). Kejadian terbaru adalah tenggelamnya kapal tangker Prestige yang membawa 76 juta liter minyak di pantai utara Spanyol pada bulan Nopember 2002. Kecelakaan kapal tangker paling terkenal adalah tenggelamnya Exxon Valdez pada tahun 1989 di Alaska yang menyebabkan tumpahnya 37.000 ton minyak bumi (Bragg et al., 1994; Pickrell, 2002). Di Indonesia, tumpahan minyak bumi dalam skala besar pertama kali dilaporkan pada tangga 19 September 1992, dimana kapal tanker Nagasaki Spirit tenggelam di Selat Malaka dan menumpahkan 12.000 ton minyak mentah. Sebelumnya juga pernah terjadi tenggelamnya kapal Showa Maru di Selat Malaka yang sangat menghebohkan karena tingkat kerusakan lingkungan yang sangat besar. Dua puluh tumpahan minyak terbesar akibat kecelakaan kapal tanker sejak tahun 1967 disajikan dalam Tabel 1. Sedangkan tumpahan minyak yang cukup besar di Indonesia sejak tahun 1990-an disajikan dalam Tabel 2 (ITOPF, 2002; Anonim, 2001a; 2003). Pencemaran minyak bumi dari instalasi produksi Pengeboran minyak di dalam atau di dekat kawasan mangrove secara nyata dapat mempengaruhi kawasan tersebut (Longley et al. 1978). Minyak mentah dan residunya dapat membunuh tumbuhan mangrove dengan melapisi akar aerial dan akar di bawah tanah, serta melalui penyerapan secara langsung (Odum dan Johannes 1975, Carlberg 1980). Berbagai macam pengaruh dapat terjadi, termasuk kematian pohon, yang terjadi beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah tumpahnya minyak (Lewis, 1979; 1980). Hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan yang terjadi. Dispersan yang sering digunakan untuk mengatasi tumpahan minyak bersifat racun terhadap tumbuh-tumbuhan (Baker, 1971). Kerusakan akibat abrasi mekanis, terinjak-injak atau pemadatan selama pembersihan dapat berpengaruh negatif terhadap lingkungan (IPIECA, 1993a). Sehingga larangan untuk menggunakan kawasan mangrove untuk mengebor minyak dan pengapalannya merupakan cara yang paling baik untuk mencegah kerusakan ekosistem ini, meskipun hal ini bertentangan dengan tuntutan ekonomi. Di Indonesia terdapat banyak instalasi pengeboran dan pengolahan minyak bumi yang terletak di kawasan mangrove. Salah satu yang terbesar terletak di delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola oleh PT. Total Indonésie. Kawasan industri ini sesuai dengan buku amdalnya dinyatakan berpotensi merusak ekosistem mangrove. Pengaruh yang bersifat langsung antara lain pembersihan hutan, pembuatan kanal, pemasangan pipa, serta kecelakaan pada aktivitas pengeboran dan produksi. Di samping itu kegiatan rutin dapat menyebabkan berbagai pengaruh tidak langsung terhadap flora dan fauna. Oleh karena itu semua kegiatan harus mengacu pada buku amdal untuk mencegah kerusakan yang lebih besar (TOTAL, 2003).

134 Tabel 1. Kejadian 20 kecelakaan tanker minyak bumi terbesar di dunia (ITOPF, 2002). Tahun 1967 1972 1975 1976 1977 1978 1979 1979 1980 1983 1988 1989 1989 1991 1991 1992 1992 1993 1996 2002

Nama Torrey Canyon Sea Star Jakob Maersk Urquiola Hawaiian Patriot Amoco Cadiz Atlantic Empress Independenta Irenes Serenade Castillo de Bellver Odyssey Khark 5 Exxon Valdez ABT Summer Haven Aegean Sea Katina P. Braer Sea Empress Prestige

Lokasi Kepulauan Scilly, Inggris Teluk Oman Oporto, Portugal La Coruna, Spanyol 300 mil laut dari Honolulu, Hawaii Lepas pantai Brittany, Perancis Lepas pantai Tobago, Amerika Selatan Selat Bosphorus, Turki Teluk Navarino, Yunani Lepas pantai Saldanha, Afrika Selatan 700 mil laut dari Nova Scotia, Kanada 120 mil laut dari pantai Maroko Selat Prince William, Alaska 700 mil laut dari pantai Angola Genoa, Italia La Coruna, Spanyol Lepas pantai Maputo, Mozambique Pulau Shetland, Inggris Milford Haven, Inggris Lepas pantai Spanyol

Jumlah (ton) 119.000 115.000 88.000 100.000 95.000 223.000 287.000 95.000 100.000 252.000 132.000 80.000 37.000 260.000 144.000 74.000 72.000 85.000 72.000 77.000

Tabel 2. Kejadian tumpahan minyak bumi di perairan laut Indonesia sejak tahun 1990-an (Anonim, 2001a; 2003). Tahun 1992

Lokasi Selat Malaka

1992

Laut Andaman

1994 1997 1998 1999

Cilacap Selat Madura Tanjung Priok Cilacap

2000 2000 2001 2002

Cilacap Batu Berhanti, Riau Tegal-Cirebon Yogyakarta

Kejadian Nagasaki Spirit bertabrakan dengan kapal barang Ocean Blessing, menumpahkan 12.000 ton minyak mentah. Maersk Navigator bertabrakan dengan Sanko Honour menumpahkan 255.312 ton minyak dan mengotori pantai Sumatra sepanjang 56 km. MV. Bandar Ayu dengan kapal ikan. Kapal tanker SETDCO tenggelam. Kapal Permina Supply No. 27 dengan muatan solar kandas. MT. King Fisher robek menumpahkan 640.000 liter minyak dan mencemari teluk Cilacap sepanjang 38 km. Tenggelamnya kapal tangker HHC yang memuat 9000 ton aspal. Natuna Sea menabrak karang menumpahkan sekitar 7.000 ton minyak. Tenggelamnya kapal tangker Steadfast yang megangkut 800- 1200 ton minyak. MV. Kalla Lines yang membawa aspal tenggelam di pantai Congot, Kulonprogo.

Dampak pencemaran minyak bumi Tumpahan minyak bumi dapat mempengaruhi aktivitas di pantai dan eksploitasi sumberdaya lautan, sehingga berdampak serius terhadap perekonomian. Dalam banyak kasus, kerusakan ini bersifat temporer akibat sifat fisik minyak yang menyebabkan kondisi tidak nyaman dan berbahaya. Dampak terhadap kehidupan biota laut terkait dengan toksisitas dan menempelnya senyawa minyak bumi, serta sensivitas makhluk hidup terhadap polusi minyak bumi. Hal ini dapat menurunkan diversitas dan variabilitas mahluk hidup (ITOPF, 2002). Pemahaman sifat kimia minyak bumi yang tertumpah sangat penting untuk merunut akibat yang mungkin ditimbulkan terhadap makhluk hidup. Minyak bumi dapat mempengaruhi fungsi fisiologi makhluk hidup dan meracuni kehidupan. Misalnya, senyawa alifatis minyak dengan berat molekul rendah bersifat anastesi dan senyawa aromatis seperti benzin bersifat karsinogen dan sangat beracun. Senyawa aromatis ini dapat terkonsentrasi pada jaringan makanan, khususnya pada jenis-jenis kerang dan bentos lain (Etkin, 1997). Komponen volatil minyak bumi dapat memerahkan mata, kulit, iritasi, dan mengelupaskan selaput tipis pada hidung, mata, dan mulut. Hidrokarbon dapat memicu pneumonia jika mencapai paru. Benzin, toluen, dan

hidrokarbon ringan lainnya apabila terhirup akan segera diangkut ke aliran daran sehingga dapat merusak sel darah merah, menurunkan sistem kekebalan hati, limpa, dan ginjal, serta mempengaruhi sistem reproduksi pada hewan dan manusia (AMSA, 1998). Minyak bumi yang telah dikilang umumnya lebih toksik terhadap manusia, namun lebih mudah didegradasi oleh lingkungan. Komposisi minyak bumi mempengaruhi perilaku, daya tahan terhadap cuaca, dan pengaruh buruknya terhadap lingkungan. Hal ini meliputi volatilitas hidrokarbon ke udara, kelarutan komponen toksis ke laut, pembentukan dan stabilitas emulsi, laju dispersi, daya tahan mengapung, dan laju biodegradasi alami. Setiap fraksi minyak hasil kilangan memiliki perilaku yang berbeda-beda, sehingga pengaruhnya sulit diprediksi. Misalnya, beberapa fraksi akan segera menguap di udara sebaliknya fraksi lain cenderung bertahan lama di alam. Kondisi angin dan air laut dapat mengubah pengaruh minyak terhadap hidupan liar. Misalnya, di laut yang hangat dengan angin kuat, evaporasi dapat menghilangkan senyawa aromatis dengan berat molekul rendah, sehingga tidak terlarut dalam air, mempengaruhi kehidupan laut, dan memasuki rantai makanan (AMSA, 1998). Tumpahan minyak di laut akan terbawa ke kawasan mangrove pada saat air pasang, lalu ketika air surut

135 akan terdeposit di permukaan sedimen dan akar pohon. Pola pasang harian yang berubah-ubah menyebabkan setiap tempat mendapatkan pengaruh yang berbedabeda. Pada kondisi pencemaran berat, tumbuhan mangrove dapat mati akibat pori-pori pneumatofora tertutup minyak. Mangrove juga dapat mati akibat terserapnya minyak oleh sedimen. Senyawa aromatis minyak bumi dengan berat molekul rendah yang terserap sedimen tanah dapat merusak membran sel akar, sehingga garam dapat masuk ke jaringan dan terjadi keracunan (IPIECA, 1993a). Tumpahan minyak dapat menyebabkan kerusakan yang akut dan kronis, termasuk reduksi tinggi batang, kerapatan pohon dan biomassa, serta kematian tumbuhan (Krebs dan Tanner, 1981, Ferrell et al., 1984, Alexander dan Webb, 1987, Lin dan Mendelssohn, 1996). Respon tumbuhan terhadap kontaminasi minyak berbeda-beda tergantung spesiesnya, sehingga pencemaran minyak dapat mengubah komposisi spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Lin dan Mendelssohn, 1998). Pengaruh hidrokarbon minyak terhadap vegetasi umumnya tergantung volume dan konsentrasinya dalam tanah (Alexander dan Webb, 1987, Lin dan Mendelssohn, 1996) dan tingkat ketahanan minyak terhadap cuaca sebelum berkontak dengan vegetasi (Cowell, 1969). Tumpahnya minyak pada akar dan sedimen menyebabkan kematian sejumlah besar pepohonan, di samping itu deposit minyak ini juga dapat menghambat pertumbuhan pohon-pohon yang bertahan hidup, mempengaruhi rekrutmen bibit dan kembalinya hewan yang selamat. Dalam kasus-kasus tertentu, terjadi pengaruh yang segera dan besar-besaran berupa kematian fauna laut dan pohon dalam jangka beberapa hari hingga beberapa bulan pasca tumpahan minyak. Dalam jangka panjang, daat terjadi kematian secara pelah-lahan tumbuhan dan hewan yang selamat, termasuk rekruitmen baru. Pengaruh sublethal ini dapat bertahan selama puluhan tahun dan dapat mengurangi luas kanopi hutan (20-30%) dan memusnahkan sebagian bentuk habitat (Duke dan Burns, 1999). Dampak pencemaran minyak terhadap ekosistem masih akan terasa hingga puluhan tahun kemudian. Kecelakaan kapal tangkel di teluk Buzzards, Massachusetts, pada bulan September 1969 yang menumpahkan 700 ton minyak disel hingga kini masih menyisakan residu pada sedimen rawa. Meskipun lapisan minyak telah hilang dari permukaan air, hidrokarbon minyak masih tetap bertahan dalam sedimen pada kedalaman 6-28 cm. Degradasi minyak bumi sangat lambat bahkan setelah 30 tahun. Hal ini disebabkan ketiadaan oksigen dan sulfat dari sedimen yang dibutuhkan bakteri pendegradasi untuk bertahan hidup (Pickrell, 2002). Di kawasan tropis laju degradasi minyak biasanya lebih cepat, hambatan degradasi selain akibat sifat sedimen mangrove yang anaerob, juga karena tingginya konsentrasi tannin pada lumpur mangrove sehingga menghambat kehidupan bakteri pendegradasi (IPIECA, 1993a).

MITIGASI PENCEMARAN MINYAK BUMI Daya tahan minyak terhadap cuaca umumnya tergantung evaporasi, dissolution, oksidasi, dan

biodegradasi (Boesch et al., 1974), yang dapat mengubah komponen-komponen minyak mentah. Selama proses penguraian minyak oleh cuaca ini, senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah yang lebih toksik dari pada senyawa-senyawa dengan berat molekul tinggi, diuapkan atau didegradasi lebih cepat, sehingga toksisitas minyak berkurang (Lin dan Mendelssohn, 1998). Hal ini menyebabkan vegetasi yang tertumpahi minyak segera setelah kecelakaan mengalami kerusakan jauh lebih besar daripada vegetasi yang berkontak dengan minyak yang telah beberapa jam berada di laut (Cowell, 1969). Degradasi minyak di dalam tanah tergantung kondisi lingkungan tanah seperti status oksidasi, kesuburan, pH, konsentrasi bahan organik, dan mikrobia tanah (Sims, 1986, Mahaffey et al., 1991). Minyak yang terserap dalam tanah anaerob, suatu kondisi umum di lahan basah, dapat bertahan lebih lama karena proses degradasi memerlukan waktu lebih lama akibat ketiadaan oksigen (Hambrick et al., 1980, Getter et al., 1984, Baker et al., 1993). Keberadaan vegetasi tumbuhan juga dapat mereduksi kandungan minyak dalam tanah karena diserap oleh tumbuhan. Hidrokarbon minyak ini diserap dari sedimen dan diakumulasi dalam bentuk hidrokarbon atau total lipid pada bagian aerial tumbuhan (Lytle dan Lytle, 1987). Tanah yang subur, misalnya karena pemupukan, dapat meningkatkan biomassa tumbuhan sehingga memperbesar kemampuan menyerap minyak dari tanah. Di samping itu bertambahnya biomassa tumbuhan menyebabkan lebih banyak bahan organik dilepaskan dari akar tumbuhan ke rhizosfer, membentuk mikrohabitat kaya bahan organik yang sesuai untuk pertumbuhan mikrobia sehingga mendorong terjadinya degradasi minyak oleh mikrobia. Aktivitas mikrobia lebih tinggi pada rhizosfer daripada bagian tanah lainnya (Sandmann dan Loos, 1984; Walton dan Anderson, 1990). Hal ini disebabkan adanya pelepasan enzim-enzim, zat hara, dan sumber karbon dari akar tumbuhan untuk digunakan mikrobia (Lin dan Mendelssohn, 1998). Tindakan yang dapat dilakukan Tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani minyak bumi yang tumpah minyak ke ekosistem mangrove, sebagai berikut (Duke dan Burns, 1999): Sebelum tumpahan minyak. Perlu diperhatikan dengan cermat cara penanganan minyak bumi pasca kecelakaan tumpahan dan dibandingkan tindakan yang berhasil dan tidak berhasil. Perlu dilakukan riset untuk memperbaiki teknik dan pengetahuan untuk mengatur, mengumpulkan dan menenggelamkan minyak ke laut. Minyak yang kurang toksik apabila memungkinkan dipindahkan. Perlu ditingkatkan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Perlu penelitian ekologi bagi pemantauan pasca tumpahan dan penelitian khusus untuk memahami pengaruh tumpahan minyak terhadap ekosistem mangrove. Segera setelah tumpahan minyak. Jumlah minyak yang memasuki area mangrove dikurangi dengan menyekop dan mengumpulkannya. Dispersan yang memilik tingkat toksisitas rendah dapat digunakan pada perairan mangrove yang lebih dalam. Tingkat toksisitas minyak yang menuju mangrove dikurangi dengan memperlambat penyebarannya. Degradasi minyak dipercepat dengan weathering dan biodegradasi. Apabila minyak tidak dapat dapat dicegah masuk ke area

136 mangrove, maka masuknya minyak dikontrol pada tingkat pasang yang pengaruhnya paling kecil terhadap ekosistem, agar pohon-pohon utama yang menyusun mangrove tetap selamat untuk menjaga ketersediaan bibit mangrove. Setelah minyak mencapai mangrove. Luasan habitat mangrove yang tercemar dan jumlah minyak yang menjadi residu dipetakan. Survei ini perlu diperkuat dengan koleksi sedimen tanah untuk analisis hidrokarbon. Jumlah dan tipe fauna, serta bibit mangrove yang tercemar dan mati juga dipetakan. Setelah kematian mangrove. Area yang mengalami deforestasi dipetakan dan spesies-spesies yang musnah dideskripsikan. Diukur pula tingkat hidrokarbon dalam sedimen. Selanjutnya diupayakan rehabilitasi pada area yang rusak dengan mengkondisikan bibit alami untuk tumbuh dan diupayakan penanaman buatan apabila diperlukan Pertumbuhan pohon dan rekruitmen baru yang dapat bertahan dipelihara dan dijaga hingga tegakan baru mampu mandiri. Teknik pembersihan tumpahan minyak Berbagai teknik untuk membersihkan lingkungan dari pencemaran minyak telah ditemukan dan dapat diterapkan secara baik, namun beberapa teknik dapat menghambat penyembuhan habitat mangrove(Sell, 1995). Teknik pembersihan minyak bumi yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan yang diakibatkan proses mekanik pembersihan tersebut jauh lebih besar dari pada tumpahan minyak itu sendiri, sehingga membiarkan saja lebih baik dari pada membersihkannya (IPIECA, 1993a). Hingga kini cara terbaik adalah mengambil tumpahan minyak langsung secara mekanis, baik dengan menyendok, menyedot, menyerap atau cara lain. Penggunaan dispersan agar minyak mengendap hanya memindahkan pencemaran dari permukaan air ke permukaan sedimen (IPIECA, 1993b). Sedangkan membakar minyak dapat menyebabkan percemaran baru di udara. Alternatif yang mulai dimanfaatkan adalah bioremediasi. Di samping itu secara alamiah angin dan ombak dapat pula mendispersikan minyak. Dispersan adalah kelompok bahan kimia yang didesain untuk dapat disemprotkan di atas tumpahan minyak untuk mempercepat proses dispersi alamiah. Penyemprotan dispersan kadang-kadang merupakan satu-satunya cara untuk mencegah minyak menyebar ke area yang lebih luas, terutama apabila pengambilan secara mekanis tidak dapat dilakukan. Dispersi secara alamiah akan terjadi apabila angin dan arus laut menyebabkan lapisan minyak menjadi butiran-butiran (droplet) yang dapat tenggelam dalam badan air. Dispersan berfungsi mempercepat proses tersebut.

Gambar 1. Mekanisme dispersi minyak bumi.

Dispersan memiliki dua komponen utama, yaitu surfaktan dan pelarut. Surfaktan adalah molekul yang memiliki affinitas terhadap dua cairan yang berbeda dan bertindak sebagai penyatu keduanya. Satu bagian molekul surfaktan yang digunakan sebagai dispersan memiliki sifat dapat melekat pada minyak (oleofilik), sedang bagian lainnya dapat melekat pada air (hidrofilik). Apabila dispersan diseprotkan di atas minyak, maka tegangan permukaan antara air dan minyak menurun sehingga terbentuk droplet yang dapat tersuspensi ke dalam air (Gambar 1.). Dispersan memiliki keterbatasan berupa kekurangmampuannya untuk mendispersikan minyak yang viskositasnya tinggi, sehingga sebelum minyak tenggelam dapat sampai di ekosistem mangrove (ITOPF, 2002). Sedimen mangrove didominasi lumpur anaerob dan mengandung sulfur (Alongi dan Saeskumar, 1992). Permukaan sedimen yang mengandung oksigen kurang dari 1 cm, bahkan pada hutan Rhizophora hanya sedalam 1-2 mm (Duke et al., 1999). Ketersediaan oksigen dan nutrien merupakan faktor pembatas kehidupan bakteri pendegradasi hidrokarbon (Swannell et al., 1994; Scherrer dan Mille, 1989; Oudot dan Dutrieux, 1989; Burns et al., 1999). Pendekatan bioremediasi dapat digunakan untuk biodegradasi minyak, dimana mikroba diberi tambahan akseptor elektron dan nutrien, sehingga pertumbuhan dan perkembangnya lebih cepat. Teknik ini telah berhasil diterapkan pada lingkungan pantai berpasir, berkerikil dan berkerakal (Prince, 1993; Bragg et al., 1994; Swannell et al.,1994, 1996, 1999). Meskipun masih jarang dilakukan pada lingkungan mangrove (Burns et al., 1999), penambahan aerasi dan nutrien terbukti dapat mempercepat pertumbuhan organisme pendegradasi hidrokarbon minyak bumi di kawasan mangrove (Ramsay et al., 2000).

RESTORASI EKOSISTEM MANGROVE Restorasi ekosistem mangrove ditujukan untuk mengembalikan ekosistem mangrove yang telah diubah ke kondisi normal seperti semula, atau sekurangkurangnya pada kondisi yang efektif secara ekologi (Kairo et al., 2001; Morrison, 1990; Field, 1998). Tujuan utama restorasi mangrove adalah memantapkan kembali habitat dan fungsi mangove yang telah atau akan hilang (Morrison, 1990). Tujuan lainnya adalah memperkaya landskap, meningkatkan kualitas lingkungan, menjaga keberlanjutan sumber daya alam, dan melindungi kawasan pantai (Field, 1996; Morrison, 1990).

137 Pengaruh tumpahan minyak pada sedimen mangrove dapat berlangsung selama puluhan tahun, namun di kawasan tropis setahun setelah terjadinya tumpahan, restorasi mangrove sudah dapat dilakukan. Semakin lama masa jeda, maka semakin tinggi tingkat keberhasilan pertumbuhan propagul (biji). Regenerasi baik oleh rekruitmen alami maupun penanaman buatan yang dilakukan segera setelah tumpahan minyak umumnya tidak berhasil, mengingat masih terdapatnya sisa-sisa minyak bumi yang akan kembali membunuh atau menghambat pertumbuhan bibit mangrove. Kesiapan area mangrove yang tercemar untuk kembali menerima tumbuhan mangrove juga dipengaruhi oleh jenis minyak yang tumpah, tipe tanah, pola pasang-surut, dan intensitas hujan (IPIECA, 1993a). Di Refineria Panama, dua tahun setelah tumpahnya minyak, sebanyak 86.000 bibit mangrove dengan tinggi rata-rata 1 m ditanam pada area seluas 75 ha, hasilnya 90% dapat tumbuh dan bertahan hidup (Teas, 1989; Teas et al., 1989). Propagul yang ditanam tiga bulan dan enam bulan pasca tumpahan minyak semuanya mati keracunan, namun sebagian propagul yang ditanam sembilan bulan setelah tumpahan minyak dan sejumlah besar yang ditanam kemudian dapat bertahan hidup (IPIECA, 1993a). Dengan berlalunya waktu, toksisitas minyak bumi terhadap tanah mulai menurun dan tidak lagi bersifat racun terhadap propagul alami atau bibit yang ditanam. Keberhasilah hidup bibit tergantung pada berbagai faktor seperti macam tanah yang tercemari, jenis tanah, arus pasang surut dan curah hujan. Keberhasilan tumbuh mangrove tidak mengharuskan hilangnya seluruh minyak dari dalam tanah. Mangrove dapat mapan dan tumbuh normal pada tempat-tempat yang tertumpahi minyak dimana masih terdapat residu minyak mentah, seperti tampak dari struktur tanah, bau dan film minyak di permukaan air. Pada beberapa kejadian, tumpahan minyak dapat bertahan di dalam tanah mangrove lebih dari satu dekade (IPIECA, 1993a). Regenerasi alami hutan mangrove yang mati akibat tumpahan minyak bumi dapat saja terjadi, namun proses ini dapat berlangsung lambat akibat adanya residu racun dari minyak atau mungkin juga propagul yang biasanya disebarkan air pasang tidak dapat mencapai bekas hutan akibat banyaknya batang, dahan, akar aerial yang mati dan menghalanginya. Pada kasus tertentu, regenerasi dapat berlangsung lambat karena tidak terdapat cukup pohon hidup di sekitarnya untuk menyuplai bibit (IPIECA, 1993a). Pada kasus restorasi hutan mangrove di Refineria Panama, tanah mangrove yang tercemari minyak disingkirkan dan diisi dengan tanah dari daratan yang bebas pencemaran, lalu ditanami bibit mangrove. Sebagian bibit dilindungi dari tanah yang tercemar minyak, sejalan dengan berjalannya waktu maka bibit semakin membesar dan kuat, sebaliknya tingkat toksisitas tanah yang tercemari minyak semakin menurun akibat pengaruh cuaca, pasang surut dan pencucian oleh hujan, sehingga bibit dapat tumbuh dengan baik. Restorasi hutan mangrove yang rusak sebaiknya dipersiapkan segera, hal ini penting untuk mempersiapkan pembibitan dimana mangrove dapat segera tumbuh dan siap ditanam di lapangan segera setelah toksisitas minyak bumi menurun (IPIECA, 1993a).

Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji (propagul) atau bibit. Oleh kerena itu sebelum dilakukan restorasi hambatan yang dapat mencegah suksesi sekunder harus dihilangkan. Mangrove juga dapat dibuat dengan menghutankan dataran pasang surut yang gundul dan tempat-tempat yang dalam kondisi normal tidak ditumbuhi mangrove. Restorasi tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk melakukan penyembuhan akan menyia-nyiakan investasi yang besar (Kairo dkk., 2001). Rehabilitasi mangrove umumnya difokuskan pada satu hingga beberapa spesies kunci, sedangkan restorasi mangrove secara keseluruhan tergantung pada proses alam (IPIECA, 1993a). Penanaman dan pengelolaan mangrove di Asia Tenggara telah lama dilakukan (e.g. Watson, 1928), meskipun catatan sejarah pengelolaan mangrove paling tua dilakukan di Sundarbans. Hutan mangrove 2 Sundarbans di Bangladesh dan India seluas 6000 km (577.000 ha) telah dikelola sejak tahun 1764 dan rencana kerja secara detail telah dibuat pada tahun 1893-1894 (Chowdhury dan Ahmed, 1994; Hussain dan Acharya, 1994; UNDP, 1998; Rahman, 2000). Hutan mangrove di Matang, Malaysia seluas 40.000 ha telah dikelola sejak tahun 1902 untuk menghasilkan arang (Watson, 1928). Manajemen penebangan hutan dilakukan melalui rotasi selama 30 tahun (Ong, 2002). Hutan Matang memberi lapangan kerja dan sumbangan ekonomi cukup berarti bagi Malaysia (Chan, 1996). Hutan ini juga menjadi sumber kayu bakar, bahan bangunan, mencegah erosi, dan menjadi tempat pemijahan ikan. Pada saat ini telah dilakukan pengelolaan secara terintegrasi untuk perikanan (Primavera, 1995) dan ekowisata (Bacon, 1987).

PENUTUP Mangrove telah lama menjadi sumber kekaguman banyak orang. Bagi masyarakat yang hidup di kawasan tropis dan sub tropis di Indo-Pasifik Barat dan AmerikaAfrika Barat, istilah mangrove sangat familiar. Hutan mangrove sering diangankan sebagai area yang selalu tergenang, dengan tumbuhan yang memiliki sistem perakaran aerial khas. Namun banyak pula orang yang menganggap mangrove sebagai rawa-rawa berbahaya yang menjadi sarang nyamuk, lalat, ular, tidak aman, dan berbahaya. Konsep pengelolaan hutan mangrove tidak dimiliki kebanyakan orang, termasuk para pengambil keputusan (Lovelock, 1993). Ekosistem mangrove sangat kompleks sehingga pengelolaannya harus terintegrasi dengan lingkungan alam di sekitarnya, bahkan hingga daerah aliran sungai di hulu. Rencana manajemen mangrove harus diikuti sebanyak mungkin elemen stakeholders, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha hutan, masyarakat setempat dan ilmuwan. Peningkatan kepedulian masyarakat dilakukan dengan meningkatkan nilai mangrove yang terkait langsung dengan kepentingannya. Untuk itu diperlukan penelitian yang sistematis, komitmen politik yang kuat, serta integrasi konsep dan praktek pengelolaan di lapangan (Choudhury, 1996).

138 DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Alexander, S.K. and J.W. Webb, 1987. Relationship of Spartina alterniflora growth to sediment oil content following an oil spill. Proceeding of the 1987 Oil Spill Conference. Washington, D.C.: American Petroleum Institute. Alongi, D.M. and A. Sasekumar. 1992. Benthic communities. In Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American Geophysical Union. Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation. Anonim. 2001a. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Anonim. 2001b. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau Anonim. 2003. The Mariner Group - Oil Spill History. http://www.marinergroup.com/oil-spill-history.htm Australian Maritime Safety Authority (AMSA). 1998. Environmental & Scientific Coordinators Toolbox: The Effects of Maritime Oil Spills on Wildlife including Non-Avian Marine Life. http://www.amsa.gov.au/me/natplan/toolbox/wildlife/non_avian.htm. Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular Caribbean. Annals of Tourism Research 14: 104–117. Baker, J.M., L.M. Guzman, P.D. Bartlett, D.I. Little, and C.M. Wilson, 1993. Long-term fate and effects of untreated thick oil deposits on salt marshes. Proceeding of the 1993 International Oil Spill Conference. Washington, DC.: American Petroleum Institute. Baker, J.M.. 1971. The effects of oil on plant physiology. Pages 88-98 in E.B. Cowell (ed.), Ecological Effects of Oil Pollution. London: Applied Science Publishers. Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Bennett, E.L. and C.J. Reynolds. 1993. The value of mangrove area in Sarawak. Biodiversity Conservation 2: 359-375. Birkeland, C. 1983. Influences of Topography of Nearby Land Masses in Combination with Local Water Movement Patterns on the nature of Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in Island Marine Ecosystem. Dunedine: UNESCO Report in Marine Science No. 27. Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Bragg, J. R., R.C. Prince, E.J. Harner, and R.M. Atlas. 1994. Effectiveness of bioremediation for the Exxon Valdez oil spill. Nature 368: 413-418. Burns, K.A. 1993. Evidence for the importance for including hydrocarbon oxidation products in environmental assessment studies. Marine Pollution Bulletin 26: 77-85. Burns, K.A., S. Codi, R.J.P. Swannell, and N.C. Duke. 1999. Assessing the petroleum hydrocarbon degradation potential of endogenous tropical marine wetland microorganisms: Flask experiments. Mangroves and Salt Marshes 3: 67-83. Burns, K.A., S.D. Garrity, D. Jorissen, J. MacPherson, and M. Stoelting. 1994 The Galeta oil spill. II: Unexpected persistence of oil trapped in mangrove sediments. Estuarine Coastal and Shelf Science 38: 349364. Carlberg, S.R. 1980. Oil pollution of the marine environment-with an emphasis on estuarine studies. In Olausson, E. and I. Cato (ed.). Chemistry and Biogeochemistry of Estuaries. New York: John Wiley and Sons. Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein J.Cramer Verlag. Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and PapuaNew Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: Asia Development Bank. Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest management. In Hussain Z, and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol. 2: Bangladesh. Gland, Switzerland: IUCN Wetlands Program. Clark, R. J. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Boca Raton: CRC Lewis Publishers. Coulter, S.C., C.M. Duarte, S.T. Mai, H.T. Nguyen, T.H. Hoang, H.G. Le, and N.G. Phan. 2001. Retrospective estimates of net leaf production

in Kandelia candel mangrove forests. Marine Ecology Progress Series 221: 117-124. Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000. Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) among subsistence and commercial users. Economic Botany 54: 513-527. Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: P.T. Saptodadi. Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Duke, N.C. and K.A. Burns. 1999. Fate and effects of oil and dispersed oil on mangrove ecosystems in Australia. Final Report to the Australian Petroleum Production Exploration Association, 12 June 1999. Australian Institute of Marine Science and CRC Reef Research Centre. http://www.aims.gov.au. Duke, N.C., K.A. Burns, and R.P.J. Swannell. 1999. Research into the Bioremediation of Oil Spills in Tropical Australia: with Particular Emphasis on Oiled Mangrove and Salt Marsh Habitat. Final report to the Australian Safety Maritime Authority. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Duke, N.C., Z.S. Pinzon, and M.C.Prada, M.C. 1997. Large-scale damage to mangrove forests following two large oil spills in Panama. Biotropica 29: 2-14. Ellison, A.M. and E.J. Farnsworth. 1996. Anthropogenic disturbance of Caribbean mangrove ecosystems: past impacts, present trends, and future predictions. Biotropica 24: 549-565. Etkin D.S. 1997. The Impact of Oil Spills on Marine Mammals. OSIR Report 13 March 1997 Special Report. FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3. Field, C. 1996. Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Tropical Timber Organization and International Society for Mangrove Ecosystems. Field, C. 1998. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview. Marine Pollution Bulletin 37: 383–392. Getter, C.D., G., Cintron, B., Dicks, R.R. Lewel, and E.D. Seneca, 1984. The recovery and restoration of salt marshes and mangroves following an oil spill. In: Cairns, J. Jr. and A.L. Buikema, Jr. (ed.). Restoration of Habitats Impacted by Oil Spills. Stoneham, MA.: Butterworth Publishers. Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian Fresh Water Aquatic Herbs. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 27. Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia. Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Company. Gómez, E.G. 1988. Overview of environmental problems in the East Asian seas region. Ambio 17:166-169. Hambrick, G.A., R.D. DeLaune, and W.H. Patrick, Jr. 1980. Effect of estuarine sediment pH and oxidation-reduction potential on microbial hydrocarbon degradation. Applied Environmental Microbiology 40: 365-369. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West Center. Hong, P.N. and H.T. San. 1993. Mangroves of Vietnam. Bangkok: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, and Zuwendra. 1992. Manual of Guideline for Scoping EIA in Indonesia Wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No. 6B. Jakarta: Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau Indonesia Hussain, Z. and G. Acharya, 1994. (ed.). Mangroves of the Sundarbans. Vol, 2: Bangladesh. Bangkok: International Union for the Conservation of Nature. Hussein, M.Z. 1995. Silviculture of mangroves. Unasylva 46: 36-42. IOI. 1999. Mangroves: threat to mangrove ecosystem. IOI Online Services. http://hypnea.botany.uwc.ac.za/marbot/mangroves/ mangrove-threats.htm IPIECA. 1993a. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA Report No. 4. London: International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. IPIECA. 1993b. Dispersants and their Role in Oil Spill Response. IPIECA Report No. 5. London: International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. ITOPF. 2002. Effects of Marine Oil Spills. http://www.itopf.com/effects.html Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A revi-ew of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43. Jimenez, J.A., R. Martinez, and L. Encarnocion. 1985. Massive tree mortality in Puerto Rican mangroves forests. Caribbian Journal of Science 21: 75-78.

139 Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Restoration and management of mangrove systems — a lesson for and from the East African region. South African Journal of Botany 67: 383-389. Kartawinata, K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Knox, G.A. and T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in South East Asia, with special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO. Krebs, C.T. and C.E. Tanner, 1981. Restoration of oiled marshes through sediment stripping and Spartina propagation. Proceeding of the 1981 Oil Spill Conference. Washington, D.C.: American Petroleum Institute. Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Lewis, R.R. III. 1979. Oil and mangrove forests: the aftermath of the Howard Starr oil spill. Florida Scientist (supplement) 42:26. Lewis, R.R. III. 1980. Oil and mangrove forests: observed impacts 12 months after the Howard Starr oil spill. Florida Scientist (supplement) 43:23. Ligtvoet, W., R.H. Hughes, and S. Wulffraat. 1996. Recreating mangrove forest near Jakarta, Conserving biodiversity in an urban environment. Land and Water International 84: 8-11. Lin, Q. and I. A. Mendelssohn. 1998. Phytoremediation for oil spill cleanup and habitat restoration in Louisiana coastal marshes: Effects of marsh plant species and fertilizer. Louisiana Applied Oil Spill Research and Development Program, OSRADP Technical Report Series 97-006. http://www.osradp.lsu.edu/1997_Deliverables/Lin97/Lin97.htm Lin, Q., and I.A. Mendelssohn, 1996. A comparative investigation of the effects of Louisiana crude oil on the vegetation of fresh, brackish, and salt marsh. Marine Pollution Bulletine 32: 202–209. Longley, W.L., R. Jackson, and B. Snyder. 1978. Managing oil and gas activities in coastal environments. U.S. Fish and Wildlife Service, Office of Biological Services, Washington, D.C. FWS/OBS-78/54. Lovelock, C. 1993. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of Marine Science. www.aims.gov.au Lugo A.E. and S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves. Annual Review of Ecology and Systematics 5: 39-63. Lytle, J.S. and T.F. Lytle. 1987. The role of Juncus roemerianus in cleanup of oil-polluted sediments. In: Proceedings of the 1987 Oil Spill Conference. Washington, DC.: American Petroleum Institute. MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology 6: 73-270. Mahaffey, W.R., M. Nelson, J. Kinsella, and G. Compeau, 1991. Developing strategies for PAH and TCE bioremediation. Water Environment Technology 10: 83–88. Manassrisuksi, K., M. Weir, and Y.A. Hussin. 2001. Assesment of mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS: a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Eastern Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensisng, Singapore 59 November 2001. Miller, K.R. 1999. International wilderness provides ecological services for sustainable living. International Journal of Wilderness 5 (3): 3539. Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous disturbance. In Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity and Disturbance. New York: Springer-Verlag. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum,W.E., and R.E. Johannes. 1975. The response of mangroves to man-induced environmental stress. In Wood, E.J.F. and R.E. Johannes (ed.). Tropical Marine Pollution. Amsterdam: Elsevier (Oceanography Series). Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START. Oudot, J. and E. Dutrieux. 1989. Hydrocarbon weathering and biodegradation in a tropical estuarine ecosystem. Marine Environmental Research 27: 195-212.

Pickrell, J. 2002. Oil spills pollute indefinitely and invisibly, study says. National Geographic News, November 22, 2002. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. Reviews in Fisheries. Science 1 (2): 151-201 Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. Prince, R.C., R.E. Bare, G.N. George, C.E. Haith, M.J. Grossman, J.R. Lute, D.L. Elmendorf, V. Minak-Bernero, J.D. Senius, L.G. Keim, R.R. Chianelli, S.M. Hinton, and A.R. Teal. 1993. The effect of bioremediation on the microbial populations of oiled beaches in Prince William Sound, Alaska. In Proceedings of the 1993 Oil Spill Conference. Washington DC: American Petroleum Institute. Rahman, L.M. 2000. The Sundarbans: A Unique Wilderness of the World. In McCool, S.F., D.N. Cole, W.T. Borrie, and J. O’Loughlin (ed.). Wilderness science in a time of change conference—Volume 2: Wilderness within the context of larger systems; 1999 May 23-27; Missoula, MT. Proceedings RMRS-P-15-VOL-2. Ogden: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, and Rocky Mountain Research Station. Ramsay, M.A., R.P.J. Suwannell, W.A. Shipton, N.C. Duke, and R.T. Hill. 2000. Bioremediation on the microbial community in oiled mangrove sediments. Marine Pollution Bulletin 41 (7-12): 413-419. Ray, C.C. and R.G. McCormick. 1994. Coastal marine protected areas, a moving target. Proceeding from the International Workshop on Coastal Marine Protected Areas and Biosphere Reserves. Canberra: ANCA/UNESCO. Saenger, P., E.J. Hegerl, and J.D.S Davie. 1983. Global status of mangrove ecosystems. The Environmentalist 3: 1-88. Also cited as: IUCN. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. Gland: International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources. Sandmann, E.R.I.C., and M.A. Loos, 1984. Enumeration of 2,4-Ddegrading microorganisms in soil and crop plant rhizospheres using indicator media: high population associated with sugarcane (Saccharum officinarum). Chemosphere 13, 1073–1083. Scherrer, P. and G. Mille. 1989. Biodegradation of crude oil in an experimentially polluted peaty mangrove soil. Marine Pollution Bulletin 20: 430-432. Sell, D. 1995. The effect of oil spill clean-up on shore recovery times. Proceedings of the Second International Oil Spill Research and Development Forum, London, 23-26 May 1995. London: The International Maritime Organization. Semesi, A.K. 1998. Mangrove management and utilization in eastern Africa. Ambio 27: 620-626. Sims, R., 1986. Water:soil treatability studies for four complex wastes: methodologies and results. US EPA Publication No. EPA:600:686:003b. Soemodihardjo, S and S. Ishemat. 1989. Country Report: Indonesia, The Status of Mangrove Forests in Indonesia, Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication No 37. Soemodihardjo, S. and L. Sumardjani. 1994. Re-afforestation of mangrove forests in Indonesia. Proceeding of the Workshop on ITTO Project. Bangkok, 18-20 April 1994. Soenarko. 2002. Kebijakan KIMPRASWIL dalam Rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Jakarta, 30 Mei 2002. Spalding, M., F. Blasco, and C. Field. 1997. World Mangrove Atlas. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems. Spaninks, F. and P. van Beukering. 1997. Economic Valuation of Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations. CREED Working Paper No 14, July 1997. London and Amsterdam: International Institute for Environment and Development, and Institute for Environmental Studies. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Suara Pembaruan 29/7/2002. Kerusakan Hutan Bakau Mengkhawatirkan. Sukardjo, S. 1989. The mangrove forests of Java and Bali (Indonesia). Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication No 37. Swannell, R.P.J., A. Basseres, K. Lee, and F.X. Merlin. 1994. A direct respirometric method for the in situ determination of bioremediation efficacy. In 17th Arctic and Marine Oil Spill Program Technical Seminar. Ottawa: Environment Canada. Swannell, R.P.J., D. Mitchell, D.M. Jones, S. Petch, I.M. Head, A. Willis, K. Lee, and J. Lepo. 1999. Bioremediation of oil contaminated fine sediments. In Proceedings of 1999 International Oil Spill Conference. Washington: The American Petroleum Institute. Swannell, R.P.J., K. Lee, and M. McDonagh. 1996. Field evaluations of marine oil spill bioremediation. Microbiological Reviews 60: 342-365. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project.

140 Teas, H.J. 1989. Mangrove restoration after the 1986 Refineria Panama oil spill. Proceedings 1989 Oil Spill Conference. Washington, D.C.: American Petroleum Institute. Teas, H.J., A.H. Lasday, L.E. Luque, R.A. Morales, M.E.D. Diego, and J.M. Baker, 1989. Mangrove restoration after the 1986 refineria Panama oil spill. In: Proceedings of the 1989 Oil Spill Conference. Washington, DC.: American Petroleum Institute. Terchunian, A., V. Klemas, A. Alvarez, B. Vasconez, and L. Guerrero. 1986. Mangrove mapping in Ecuador: The impact of shrimp pond construction. Environmental Management 10: 345-350 Thom, B.G. 1967. Mangrove ecology and deltaic geomorphology: Tabasco, Mexico. Journal of Ecology 55: 301-343 Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University Press. TOTAL. 2003. Environmental management in action: a sensitive mangrove ecosystem remains unharmed by 20 years of oil production. TOTAL in the Mahakam Delta, Indonesia. http://www.ipieca.org/downloads/biodiversity/sens_envir_case_studs /total_mahakam.html.

UNDP. 1998. Integrated resource development of the Sundarbans Reserved Forests, Bangladesh. Volume I Project BGD/84/056. Dhaka: United Nations Development Programme, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press. Walton, B.T., and T.D. Anderson, 1990. Microbial degradation of trichloroethylene in the rhizosphere: potential application to biological remediation of waste sites. Applied Environmental Microbiology 56: 1012–1016. Wardrup, J.A., 1987. The effects of oils and dispersants on mangroves: a review and bibliography. Occasional paper no. 2: Environmental Studies. Adelaide: University of Adelaide. Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kuala Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6 Widodo, H. 1987. Mangrove hilang ekosistem terancam. Suara Alam 49: 11-15.

141

BAGIAN IV Penutup

142

143

Restorasi Ekosistem Mangrove di Jawa

ABSTRACT The restoration of mangroves has received a lot of attentions world wide for several reasons. Mangrove ecosystem is very important in term of socio-economic and ecology functions. Because of its functions, wide range of people paid attention whenever mangrove restoration taken place. Mangrove restoration potentially increases mangrove resource value, protect the coastal area from destruction, conserve biodiversity, fish production and both of directly and indirectly support the life of surrounding people. This paper outlines the activities of mangrove restoration on Java island. The extensive research has been carried out on the ecology, structure and functioning of the mangrove ecosystem. However, the findings have not been interpreted in a management framework, thus mangrove forests around the world continue to be over-exploited, converted to aquaculture ponds, and polluted. We strongly argue that links between research and sustainable management of mangrove ecosystem should be established. Key words: mangrove, restoration, management, Java.

PENDAHULUAN Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan sangat drastis, akibat tingginya tekanan penduduk yang berimplikasi pada besarnya kegiatan pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Ekosistem mangrove memiliki fungsi sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan peran ekologi yang sangat penting, sehingga banyak pihak (stakeholders) yang memberi perhatian lebih untuk mengembalikan fungsi ekosistem ini melalui restorasi. Restorasi mangrove dapat menaikkan nilai sumber daya ini, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, menjaga hasil tangkapan perikanan, serta mempengaruhi kehidupan masyarakat di sekitarnya baik secara langsung atau tidak langsung (Setyawan dkk., 2003). Terdapat tiga kata kunci yang penting dalam manajemen ekosistem mangrove, yaitu restorasi, kreasi (pembentukan), dan pengkayaan spesies (Lewis, 1990; Mish, 1989). Restorasi adalah tindakan untuk mengembalikan sesuatu ke kondisi semula; kreasi adalah tindakan untuk membuat, menemukan atau menghasilkan sesuatu; sedangkan pengkayaan adalah

menambahkan atau menaikkan sesuatu (Mish, 1989). Selanjutnya muncul istilah rehabilitasi sebagai payung yang mencakup istilah restorasi dan kreasi (Streever, 1999). Menurut Whitten et al., (2000) restorasi adalah suatu taktik untuk mengembalikan lahan yang terdegradasi ke kondisi asli atau mendekati kondisi asli, sedangkan rehabilitasi adalah suatu strategi manajemen untuk mencegah degaradasi suatu lanskap dan menjadikannya bermanfaat. Di samping itu terdapat pula istilah reforestasi dan afforestasi. Menurut Lewis dan Streever (2000), reforestasi adalah penanaman mangrove pada bekas area hutan mangrove, sedang afforestasi adalah penanaman mangrove pada area yang semula bukan hutan mangrove. Tulisan ini bermaksud menjelaskan aktivitas restorasi ekosistem mangrove khususnya di Jawa, sehingga fungsinya dapat kembali seperti semula. Penelitian yang luas telah dilakukan untuk memahami ekologi, struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Namun, temuantemuan tersebut belum diterapkan dalam kerangka kerja manajemen, terbukti hutan mangrove di seluruh dunia terus mengalami penurunan terutama akibat eksploitasi berlebih, konversi ke tambak ikan dan udang, serta pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu kiranya mengaitkan penelitian mangrove dengan manajemen lestari ekosistem tersebut.

SEJARAH RESTORASI MANGROVE Penanaman dan pengelolaan mangrove memiliki sejarah panjang di Asia Tenggara (Watson, 1928), meskipun catatan tertua mengenai manajemen mangrove sebagai penghasil kayu terdapat di 2 Sundarbans, suatu hutan mangrove seluas 6.000 km di perbatasan India dan Banglades, yang dikelola sejak 1769, dimana rencana kerja lengkap pengelolaannya telah disempurnakan pada tahun 1893-1894 (Chowdhury dan Ahmed, 1994). Hutan mangrove seluas 40.000 ha di Matang, Malaysia yang dikelola sejak 1902 untuk menghasilkan kayu bakar (Watson, 1928), merupakan contoh tertua dan terbaik manajemen hutan mangrove (Khoon dan Eong, 1995). Pada saat ini mangrove dikelola secara terintegrasi untuk budidaya ikan dan udang (Primavera, 1995),

Publikasi asli: Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P. C. Purnama. 2004. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi. Biodiversitas 4 (2): 105-118.

144 ekoturisme (Bacon, 1987), mencegah erosi (Teas, 1977), eksperimen biologi (Rabinowitz, 1978), melindungi dari badai (Hamilton dan Snedaker, 1984), dan merestorasi kerusakan ekosistem akibat tumpahan minyak (Duke, 1996). Restorasi ekosistem mangrove yang rusak antara lain dibahas oleh Watson (1928), Noakes (1951), Chapman (1976), Lewis (1982), Hamilton dan Snedaker (1984), Lewis (1990a, 1990b), Crewz dan Lewis (1991), Cintron-Molero (1992), Saenger dan Siddiqi (1993), Siddiqi et al. (1993), dan Field (1996). Penanaman kembali hutan-hutan daratan yang rusak (reboisasi) telah dilakukan selama ratusan tahun, namun reboisasi ekosistem mangrove baru akhir-akhir ini mendapatkan perhatian serius, seperti di Indonesia, Malaysia, Banglades, dan Cina. Banglades mempelopori penghutanan mangrove dengan sukses sejak 1966 di atas tanah seluas 113.000 ha (Choudhury, 2000). Malaysia sejak 1980 menanam berbagai tumbuhan mangrove untuk membatu regenerasi alami dan memantapkan penutupan hutan (Hassan, 1981). Penghutanan mangrove di Cina dimulai pada akhir 1950an dan diaktifkan lagi pada tahun 1980 (Baowen et al., 1997). Di Indonesia, reboisasi mangrove diawali di Sinjai, Sulawesi pada tahun 1985 diprakarsai sekelompok nelayan. Kesuksesan upaya ini mendorong reboisasi mangrove di seluruh Indonesia (Choudhury, 1996). Di atas kertas, rehabilitasi mangrove mendapatkan perhatian cukup besar dalam Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Anonim, 2003), namun implementasi di lapangan tampaknya masih jauh dari harapan. Kegagalan beberapa kegiatan restorasi ditengarai karena pendekatan “proyek” yang menyebabkan lemahnya manajemen pelaksanaan. Silvikultur mangrove (penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan) telah dilaksanakan sejak abad ke-19 di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam (Teas, 1980; Teas et al., 1975). Kegiatan manajemen meliputi penanaman, penjarangan, penyiangan spesies yang tidak dikehendaki, dan persemaian propagul, khususnya Rhizophora. Informasi silvikultur mangrove untuk restorasi relatif masih sedikit. Pada saat ini telah diketahui spesies-spesies pohon yang dapat digunakan untuk restorasi, namun kegiatan penciptaan ekosistem yang bernilai bagi perikanan dan konservasi masih jarang (Kaly dan Jones, 1996). Salah satu upaya mengintegrasikan perikanan dan konservasi mangrove dilakukan oleh Perhutani dan masyarakat di pantai utara Jawa dengan sistem “empang parit” (“tambak tumpangsari”). Sistem ini merupakan pengetahuan asli masyarakat Indonesia, dimana pada hutan mangrove dibuat lajur-lajur tambak untuk memelihara ikan, atau sebaliknya di atas tambak dibuat lajur-lajur tumbuhan mangrove, misalnya di Brebes, Pemalang, Cirebon, Indramayu, Purwakarta, Karawang, dan Tanggerang (Anonim, 1991, 1997; Fitzgerald dan Savitri, 2002; Fitzgerald, 1997, 2002; Tessar dan Insan, 1993; Hartina, 1996; Widiarti dan Effendi, 1989). Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem mangrove tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini terlibat dalam kegiatan ini meskipun jumlahnya relatif terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil adalah penanaman Rhizophora spp. di sepanjang pantai utara Rembang, khususnya di kecamatan kota. Pada tahun 1980-an,

pemerintah setempat bersama para pihak melakukan restorasi ekosistem mangrove pada area dengan panjang sekitar 3000 m, dan lebar antara 100-300 m. Pada saat ini tegakan yang terbentuk sudah dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai penahan gelombang laut, angin dan mencegah pantai dari abrasi. Untuk menjaga kelestarian tumbuhan ini, masyarakat setempat diikutsertakan dalam kelompok-kelompok tani yang memiliki hak untuk memanen ekosistem yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Salah satu kegiatan terkait konservasi yang cukup berhasil adalah pembibitan Rhizophora spp. untuk memenuhi kebutuhan bibit proyek-proyek rehabilitasi hutan bakau di Jawa. Kawasan ini merupakan salah satu pusat pembibitan Rhizophora spp. terbesar di Jawa. Pantai utara Rembang merupakan tidal flat bagi sungai-sungai di sekitarnya, seperti Sungai Delok, Sungai Anyar, dan Sungai Lasem, sehingga memungkikan terus berlanjutnya perluasan ekosistem mangrove ke arah laut. Suatu tindakan yang hingga saat ini masih terus dilakukan oleh pemerintah setempat. Pada akhirnya lokasi ini bernilai konservasi karena menarik berbagai hidupan liar yang megah, khususnya spesies-spesies burung air. Di samping itu terdapat pula nilai edukasi dan turisme, dimana sering disinggahi pelancong di jalur pantura dan menjadi lokasi praktikum dan penelitian mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas Diponegoro Semarang, dan lain-lain (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Upaya restorasi mangrove dengan pola serupa, yakni memberi peran aktif kepada masyarakat juga dilakukan di Probolinggo, Jawa Timur (Sudarmadji, 2003, komunikasi pribadi). Tampaknya pelibatan aktif masyarakat merupakan salah satu unsur utama keberhasilan pengelolaan kawasan pesisisir (Suara Pembaruan, 03/03/2002). Salah satu contoh upaya restorasi mangrove yang kurang berhasil terjadi di muara Sungai Bogowonto, satu-satunya ekosistem mangrove di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan berbatasan dengan Pro-pinsi Jawa Tengah. Upaya ini telah dilakukan sejak tahun 1990an, namun hasilnya tidak memuaskan. Tidak adanya kesamaan persepsi antara para pihak yang berkepentingan tampaknya menjadi penyebab utama kegagalan. Universitas, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagian organ pemerintah setempat merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Pengusaha dan sebagain organ pemerintah lainnya mencoba mengambil keuntungan ekonomi dengan membuat tambak. Adapun masyarakat setempat secara turun-temurun memanfaatkan tepian lahan untuk bertani dan bagian tengah untuk padang penggembalaan kerbau (Bos bubalis). Semua kepentingan tersebut tidak dikelola secara integratif, sehingga boleh jadi saling merugikan. Upaya konservasi dengan mengembalikan lahan menjadi hutan mangrove dapat menafikan upaya pengusaha untuk membuat tambak dan upaya petani untuk terus memanfaatkannya sebagai lahan bertani dan menggembalakan ternak. Upaya pembuatan tambak dapat menggusur lahan bercocok tanam dan penggembalaan ternak, serta berpotensi menghancurkan lahan mangrove yang tersisa. Sedangkan upaya petani mempertahankan lahan untuk bertanam dan menggembala ternak dapat menghambat upaya perluasan tambak dan mematikan benih mangrove yang diharapkan dapat menyebar dan menutupi seluruh laguna sebagaimana dahulu. Apabila

145 tidak dikelola dengan tepat, permasalahan ini akan menghabiskan energi, dana, dan sumber daya tanpa hasil yang memadahi (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Kegiatan restorasi lahan mangrove di Jawa dengan ukuran yang signifikan, antara lain juga telah dilakukan di teluk Jakarta, Muara Angke, Bekasi, Indramayu, Pemalang, Tegal, dan Demak dengan dipelopori oleh Yayasan Mangrove Indonesia) (Anonim, 2003). Kegiatan restorasi juga dilakukan di Segara Anakan oleh Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) (Suara Pembaruan, 19/04/2003), muara sungai Porong oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo (Republika Online, 15/07/2002), Telukawur-Semat, Jepara oleh Universitas Diponegoro Semarang (Suara Merdeka, 09/04/2003), dan lain-lain. Dalam jumlah yang lebih kecil, kegiatan ini diyakini banyak di lakukan di berbagai lokasi, termasuk pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa, misalnya di Purworejo dan Kebumen (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).

sungai. Pada akhirnya, preservasi ekosistem mangrove membantu menjaga keseluruhan kondisi alami dan keindahan panorama muara sungai dan nilai ekonomi kawasan pesisir (Anonim, 2001). Dalam restorasi mangrove kadang-kadang hanya fungsi tertentu saja yang ingin dikembalikan, karena beberapa parameter seperti kondisi dan tipe tanah, serta spesies tumbuhan dan hewan telah berubah (Lewis, 1990b, 1992). Restorasi yang bertujuan mengembalikan suatu area sepenuhnya ke kondisi alami seperti sebelum dibangun, memiliki tingkat kegagalan jauh lebih tinggi dibandingkan restorasi karakter dan fungsi ekosistem tertentu saja (Lewis et al., 1995). Restorasi ke tipe habitat asli kemungkinan juga bukan pilihan terbaik untuk skala regional, khususnya apabila ekosistem yang rusak hanya bagian kecil dari suatu tipe ekosistem yang umum, namun apabila tipe ekosistem tersebut sangat langka maka restorasi ke kondisi asli barangkali diperlukan (Cairns, 1988). Dalam tulisan ini, hanya disinggung praktek restorasi mangrove dengan tujuan melindungi pantai, mengembalikan tambak yang rusak, serta mengatasi kerusakan akibat tumpahan minyak.

TUJUAN RESTORASI Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut (Anonim, 2001). Restorasi diperlukan apabila ekosistem telah terdegradasi dan berubah jauh, tidak dapat memperbaharui diri secara alami untuk kembali ke kondisi semula, serta tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, sehingga memerlukan pengelolaan dan perlindungan (Stevenson et al., 1999; Morrison, 1990). Pada kondisi ini, homeostasis ekosistem secara permanen terhenti, sehingga menghambat proses suksesi sekunder secara normal untuk menyembuhkan area yang rusak (Stevenson et al., 1999). Konsep ini belum banyak dibahas, pembahasan baru dilakukan antara lain oleh Detweiler et al. (1976), Ball (1980), dan Lewis (1982). Tujuan restorasi lainnya adalah memperkaya landskap, mempertahankan keberlanjutan produksi sumberdaya alam (khususnya perikanan dan kayu), melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial budaya (Watson, 1928; Field, 1996; Morrison, 1990; Lewis, 1992, Aksornkoea, 1996; Stevenson et al., 1999). Tujuan restorasi perlu ditetapkan berdasarkan masukan dari para pihak dan merupakan konsensus bersama, sehingga mendapat dukungan secara luas (Fitzgerald, 1997), tanpa dukungan para pihak setempat keberhasilan restorasi dalam jangka panjang sangat kecil (Primavera dan Agbayani, 1996). Keuntungan restorasi komunitas mangrove meliputi: konservasi dan pengembalian spesies yang pernah ada, spesies yang memiliki daerah jelajah luas, dan burungburung migran; mendaur-ulang nutrien dan menjaga keseimbangan nutrisi pada muara sungai; melindungi jaring-jaring makanan pada hutan mangrove, muara, dan laut; menjaga habitat fisik dan tempat pembesaran anakan berbagai spesies laut komersial; melindungi lahan dari badai, menjaga garis pantai, dan mengendapkan lumpur; meningkatkan kualitas dan kejernihan air dengan menyaring dan menjebak sampah dan sedimen yang dibawa air permukaan dari hulu

Pelindung pantai Di kawasan yang penuh aktivitas dan padat penduduk, restorasi dapat ditujukan untuk melindungi pantai (Stevenson et al., 1999). Di pantai utara Jawa, abrasi merupakan fenomena yang sering terjadi, seperti di Tangerang (Media Indonesia, 19/08/2002, 03/10/2003), Jakarta (Media Indonesia, 17/06/2002), Indramayu (Pikiran Rakyat, 27/12/2002; Republika Online, 17/04/2002; Suara Pembaruan, 07/07/2002, 11/12/2002; Pikiran Rakyat, 14/03/2003), Cirebon (Media Indonesia, 08/04/2003), Brebes (Media Indonesia, 28/07/2003), Tegal (Kompas, 06/08/2002), Pemalang, Pekalongan (Media Indonesia, 31/05/2002; Republika Online, 15/07/2003), Kendal, Semarang, Demak, Jepara, dan Pati (Kompas, 15/08/2002; Suara Merdeka, 26/01/2003). Pembabatan mangrove di beberapa kawasan terkait erat dengan kerusakan ekosistem ini, meskipun dapat pula terjadi karena perubahan arus laut akibat pengerukan pasir (Pikiran Rakyat, 04/04/2002; Media Indonesia, 15/09/2003), reklamasi pantai (Kompas, 06/10/2003), gangguan/pemindahan muara sungai (Kompas, 10/11/2002), dan kerusakan terumbu karang (Whitten et al., 2000). Restorasi ekosistem mangrove diharapkan dapat memulihkan kondisi lingkungan seperti semula, meskipun harapan ini tidak selalu berhasil mengingat pada kasus tertentu kerusakan yang timbul bersifat permanen sehingga penanaman mangrove tidak dapat mengatasi, tanpa perubahan kondisi-kondisi lain yang menyebabkan perubahan arus laut. Di samping itu kesembuhan ekosistem mangrove bersifat jangka panjang, dimana pada kasus tertentu, kecepatan abrasi jauh melebihi kemampuan tumbuhnya mangrove. Meskipun pada akhirnya abrasi akan terhenti dengan sendirinya apabila pola arus laut kembali seimbang. Dalam hal ini pembangunan tanggul dan pemecah gelombang tampaknya lebih sesuai (Pikiran Rakyat, 27/12/2002). Restorasi mangrove pada bekas tambak udang Restorasi secara khusus dapat pula ditujukan untuk mengembalikan bekas tambak udang ke ekosistem

146 mangrove. Hingga kini sangat sedikit laporan berkenaan dengan restorasi tambak (Stevenson dkk., 1999). Pembangunan tambak udang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove di Jawa. Tambak ikan memiliki sejarah panjang di Jawa, dimana bandeng (Chanos chanos) telah dibudidayakan sejak abad ke-15, namun pada tahun 1970 terjadi akselerasi pertambakan, khususnya dengan ditemukannya metode budidaya intensif udang di tambak (Fitzgerald dan Savitri, 2002), sehingga sejumlah besar area mangrove di pantai utara Jawa diubah menjadi tambak. Namun tambak udang intensif berkonsekuensi pada perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit, dan pencemaran lingkungan, sehingga ratusan hektar tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus (Setyawan dkk., 2002). Dalam kondisi demikian, Stevenson et al. (1999) menyarankan agar dilakukan restorasi mangrove pada tambak udang yang rusak, diikuti pembukaan area mangrove baru untuk tambak udang. Pengamatan di beberapa kawasan pantai utara Jawa menunjukkan, tingginya sedimentasi menyebabkan garis pantai cenderung terus menuju ke arah laut, dengan segaris mangrove tepi sebagai batas antara laut dengan lahan budidaya masyarakat, umumnya berupa tambak bandeng, tambak udang atau tambak garam. Mangrove tepi ini sekaligus berfungsi sebagai pelindung dari ombak, badai, dan abrasi. Dalam periode tertentu, luasan dataran lumpur yang ditumbuhi mangrove cukup untuk diubah menjadi tambak dengan menyisakan segaris mangrove tepi, biasanya berupa tegakan Avicennia atau Rhizophora. Pembukaan kawasan mangrove ini umumnya dimulai dengan proses pelelangan oleh aparat desa setempat, sehingga area ini berubah dari tanah publik menjadi tanah pribadi. Dalam hal ini, tambak lama letaknya akan semakin jauh dari pantai, akumulasi perubahan kondisi hidrologi, edafit, penyakit, dan pencemaran lingkungan menyebabkan tambak ini tidak lagi ekonomis untuk diusahakan. Upaya untuk mengembalikan area ini kembali ke ekosistem mangrove merupakan tindakan mahal, mengingat tanah tersebut merupakan milik pribadi, serta adanya perubahan pola hidrologi. Akibatnya banyak bekasbekas tambak yang dibiarkan tidak terawat (Jawa: bera). Dalam jumlah cukup signifikan, kondisi demikian dapat dijumpai pada “cekungan” antara gunung Muria dan gunung Lasem, salah satu produsen bandeng budidaya terbesar di Jawa, yang meliputi Kabupaten Pati dan Rembang. Pada kondisi ketersediaan air tawar mencukupi, secara gradual bekas tambak dapat diubah menjadi sawah, seperti di sepanjang pesisir Demak, meskipun untuk itu perlu dibangun tanggul dan bendungan untuk mencegah masuknya air laut di kala pasang (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Di Indonesia, upaya restorasi mangrove pada bekas tambak udang dalam luasan yang signifikan dan cukup berhasil antara lain dilakukan di teluk Benoa, Bali. Budidaya udang di kawasan ini dimulai pada tahun 1991, dan program restorasi dimulai sejak tahun 1995, dimana sekitar 350 ha tambak udang rusak ditanami mangrove kembali. Penanaman dimulai dari bekas tambak paling dekat daratan menuju arah laut (Stevenson dkk., 1999). Restorasi akibat tumpahan minyak Mangrove yang mati akibat tumpahan minyak dapat direstorasi untuk mengembalikan fungsi dan

penampakannya. Langkah ini dapat mempercepat kesembuhan ekosistem. Biasanya restorasi hanya ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci, restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara keseluruhan tergantung pada proses alami. Regenerasi baik secara alami maupun buatan segera setelah tumpahan minyak tidak mungkin dilakukan, karena minyak yang tersisa akan mematikan atau menghambat pertumbuhan mangrove. Contoh toksisitas pasca tumpahan minyak ditunjukkan di Panama tahun 1986, dimana propagul Rhizophora yang ditanam 4 dan 6 bulan pasca kecelakaan semuanya mati, sedang propagul yang ditanam 9 bulan atau lebih setelah kecelakaan dapat hidup (IPIECA, 1993). Lama waktu degradasi racun minyak bumi tergantung tipe tanah, arus pasang surut, dan curah hujan. Penanaman mangrove tidak harus menunggu racun tersebut sepenuhnya hilang. Regenerasi alamiah mangrove yang mati akibat tumpahan minyak dapat terjadi, tetapi proses ini kemungkinan sangat lambat karena adanya sisa-sisa minyak yang beracun, kurangnya suplai propagul dari kawasan sekitarnya atau hambatan propagul untuk mencapai lokasi, akibat adanya sisa-sisa batang dan akar mangrove mati yang menghalanginya (IPIECA, 1993). Regenerasi buatan atas ekosistem mangrove yang rusak oleh tumpahan minyak dapat dipercepat dengan mengganti tanah tercemar pada lubang penanaman dengan tanah dari daratan, baru ditanami propagul. Dapat pula dengan menanam bibit pada wadah yang memisahkannya dari tanah tercemar, dengan berjalannya waktu wadah ini akan rusak dan toksisitas tanah akan menurun, sehingga bibit dapat tumbuh normal. Dapat pula dilakukan pembibitan propagul, sehingga bibit akan siap ditanam pada saat toksisitas tanah sudah menurun. Cara regenerasi di atas berhasil diterapkan di Panama, dimana area seluas 75 ha ditanami lebih dari 86.000 bibit mangrove. Dua tahun pasca tumpahan minyak, saat regenerasi alami mulai terbentuk, bibit hasil penanaman telah mencapai tinggi 1 meter dengan tingkat keberhasilan hidup lebih dari 90% (IPIECA, 1993). Di Jawa restorasi ekosistem mangrove yang rusak akibat tumpahan minyak bumi tampaknya belum pernah dilakukan. Dalam skala Indonesia, hal ini pernah dilakukan di delta Mahakam, Kalimantan Timur dengan bibit Sonneratia caseolaris (Dutrieux et al., 1990). Di Jawa, dampak negatif tumpahan minyak bumi terhadap ekosistem mangrove dapat diamati di sekitar sungai Donan, Segara Anakan, Cilacap dimana terdapat industri pengilangan minyak. Kawasan ini secara periodik terpengaruh tumpahan minyak baik dari industri tersebut maupun kapal-kapal tangker yang melayaninya. Ukuran pohon mangrove yang dekat dengan lokasi tersebut umumnya lebih kecil, lebih pendek, dan lebih jarang dibandingkan lokasi yang jauh (Hardjosuwarno, 1989).

KERANGKA KERJA RESTORASI Secara umum dapat diformulasikan tiga langkah utama untuk meriset restorasi habitat mangrove, yaitu: (i) menggambarkan status ekosistem, serta menentukan tujuan dan kriteria keberhasilan restorasi (Lewis, 1990; Kusler dan Kentula, 1990; Pratt, 1994), (ii)

147 pengembangan teknologi, meliputi pemilihan spesies, penentuan perlu tidaknya pekerjaan fisik dan restorasi buatan (Kaly dan Jones, 1996), (iii) menilai keberhasilan restorasi, berdasarkan besarnya biaya dan kecepatan kesembuhan ekosistem (Henry dan Amoros, 1995), yakni kembalinya aspek fungsional ekosistem tersebut (Kaly dan Jones, 1996). Restorasi biasanya ditekankan pada penanaman tumbuhan mangrove, namun sebelumnya perlu diketahui penyebab kerusakan, menghilangkan penyebab tersebut, dan membiarkan proses penyembuhan secara alami (Lewis dan Streever, 2000; Hamilton dan Snedaker, 1984). Keberhasilan restorasi mangrove akan meningkat apabila kondisi habitat telah diidentifikasi; memperhatikan hak milik atas tanah dan rencana perlindungan habitat liar secara menyeluruh; pengelolaan hidrologi dan introduksi tumbuhan asing untuk memperkaya, merestorasi, dan menjaga keanekaragaman spesies; dan terdapat peraturan perundang-undangan yang tegas (Anonim, 2001). Hutan mangrove dapat memulihkan diri sendiri tanpa upaya restorasi melalui suksesi sekunder pada periode 15-30 tahun, apabila siklus hidrologi normal dan tersedia biji atau propagul dari ekosistem mangrove di sekitarnya (Watson, 1928; Lewis, 1982; Cintron-Molero, 1992). Regenerasi buatan hanya diperlukan untuk mempercepat proses alami (McKee dan Faulkner, 2000) atau apabila kesembuhan alami tidak mungkin terjadi akibat perubahan homeostasis yang terlalu jauh (Lewis dan Streever, 2000). Kegagalan melihat penyebab degradasi merupakan penyebab utama kegagalan restorasi mangrove. Menurut Sanyal (1998) antara tahun 1989-1995 area seluas 9,050 ha di Bengali Barat, India ditanam mangrove, namun tingkat keberhasilannya hanya 1,52%. Sebaliknya Soemodihardjo et al. (1996) melaporkan bahwa hanya 10% area yang ditebangi di Tembilahan, Indonesia (715 ha) yang memerlukan penanaman ulang, sebab kawasan tersebut masih menyisakan lebih dari 2.500 seedling alami setiap ha. Mangrove dapat juga dibentuk dengan menghutankan kawasan intertidal yang tidak bervegetasi atau area lain yang secara alami tidak memungkinkan kedatangan propagul mangrove, misalnya tanah timbul, namun area ini sering juga melayani tujuan ekologis lain seperti menjadi tempat mencari makan burung-burung air (Lewis dan Streever, 2000). Penanaman ini juga dapat mempengaruhi vegetasi akuatik lain seperti padang lamun (Phillips dan McRoy, 1980). Terdapat lima langkah penting bagi keberhasilan restorasi mangrove (Lewis dan Marshall, 1997): (i) Pemahaman autekologi setiap spesies mangrove, meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan pemantapan seedling. (ii) Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies mangrove yang diinginkan. (iii) Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat mencegah suksesi sekunder secara alami. (iv) Restorasi sifat hidrologi, dan bila memungkinkan penggunaan propagul alami. (v) Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen alami tidak mencukupi untuk penyembuhan. Keberhasilan dan Kegagalan restorasi Pada bagian pertama tulisan ini telah dikemukakan kondisi terkini ekosistem mangrove di Jawa, termasuk

keterancaman dan kerusakan (Setyawan dkk., 2003). Keberhasilan restorasi mangrove antar lokasi sulit digeneralisasikan, karena tergantung kondisi lingkungan setempat dan spesies yang ditanam, sehingga perlu diketahui pola yang mendasari terbentuknya tegakan mangrove (Field, 1998a). Umumnya pola hidrologi dianggap sebagai faktor utama yang mempengaruhi daya tahan dan pertumbuhan seedling mangrove (Field, 1996, 1998b). Oleh karena itu, mangrove ditanam pada lokasi dengan ombak kecil, dimana tingkat erosi pantai minimal. Pengetahuan zonasi spesies mangrove diperlukan untuk menentukan area yang sesuai untuk spesies yang berbeda (Kairo et al., 2001). Zonasi ini merupakan hasil toleransi lingkungan dan pilihan fisiologis setiap spesies (Rabinowitz, 1978). Setiap spesies mangrove mempunyai suatu cakupan toleransi yang spesifik terhadap parameter-parameter lingkungan, seperti kadar garam, genangan pasang surut, keteduhan, elevasi daratan dan lain-lain. Hal ini membatasi zona yang sesuai bagi keberadaannya. Sonneratia alba dan Rhizophora akan tumbuh pada perbatasan ekosistem mangrove dengan laut, sebab tidak mampu menoleransi fluktuasi konsentrasi garam yang besar, sedang Ceriops tagal dan Avicennia marina dapat menoleransi kadar garam yang tinggi sehingga ditemukan pada batas ekosistem mangrove dengan daratan. Oleh karena itu, Sonneratia dapat ditanam pada dataran lumpur yang berbatasan langsung dengan laut, sedangkan Ceriops dan Avicennia dapat ditanam pada lokasi kering yang berbatasan dengan daratan (Kairo et al., 2001). Faktor penting lainnya yang menentukan keberhasilan proyek restorasi adalah tingkat kerjasama dari masyarakat dan para pemimpin lokal. Tekanan populasi lokal akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem mangrove di sekitarnya. Pendidikan lingkungan dapat mendorong keterlibatan aktif dan keikutsertaan publik yang lebih besar. Keduanya merupakan isu penting dalam manajemen dan konservasi mangrove. Keputusan manajemen menyertakan masukan lokal akan lebih berhasil dan mendapatkan dukungan politis lebih besar. Dua pendekatan telah digunakan di restorasi area mangrove yang terdegradasi, yaitu regenerasi buatan dan alami (Kairo et al., 2001). Keberhasilan harus dapat diukur sebagai derajat dimana fungsi ekosistem alami yang digantikan dapat ditingkatkan. Hal ini tidak hanya ditentukan berdasarkan spesies yang hadir dan fungsi yang terkait denganya, tetapi juga sifat fisik, kimia dan biologi habitat. Ekosistem yang direstorasi juga harus dapat merespon cekaman dan perubahan lingkungan sepanjang waktu sebagaimana ekosistem alami. Beberapa faktor penting yang terkait dengan keberhasilan restorasi wetland adalah kemampuan untuk mengakses dan membuat kembali hidrologi, serta mengelola dan melindungi wetland baru dalam jangka panjang (Kusler dan Kentula, 1990). Secara ringkas, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam restorasi mangrove mencakup stabilitas tanah dan pola penggenangan (Pulver, 1975), pasang surut dan ombak (Lewis, 1992, Field, 1996), elevasi (Hoffman et al., 1985), salinitas dan aliran air tawar permukaan (Jiminez, 1990), ketersediaan propagul (Loyche, 1989, Kairo et al., 2001), predasi propagul (Dahdouh-Guebas et al., 1997, 1998), jarak dan kerapatan (FAO, 1985, Kairo et al., 2001), eradikasi gulma (Saenger dan

148 Siddique, 1993), teknik pembibitan (Siddique et al., 1993), pemantauan (Lewis, 1990b), keikutsertaan masyarakat (Kairo dkk., 2001) dan biaya yang dibutuhkan (Field, 1998a). Di Jawa, kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan oleh kesalahan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Kelemahan manajemen dan tidak adanya peran aktif masyarakat merupakan penyebab utama kegagalan restorasi di beberapa lokasi di Jawa, selain akibat melanggar langkah-langkah penting lain. Kegagalan restorasi mangrove di muara Bogowonto antara lain juga disebabkan kesalahan pemilihan sumber propagul dan pemahaman pola genangan. Penanaman Sonneratia spp. dengan bibit dari Segara Anakan Cilacap ke Sungai Bogowonto pada tahun 1997 menunjukkan kegagalan pertumbuhan akibat adanya genangan. Secara alami, setiap tahun di musim kemarau muara Sungai Bogowonto mengalami penggenangan sekitar 4-6 minggu. Hal ini terjadi karena terbentuknya gumuk pasir (sanddunes) yang membendung muara sungai. Bendungan ini akan jebol dengan sendirinya ketika volume air yang terbendung melimpah. Bibit Sonneratia spp. dapat bertahan hingga tahun 1999, karena pada tahun 1998 tidak terjadi genangan yang cukup berarti akibat curah hujan dan debit air sungai cukup tinggi sepanjang tahun sehingga mampu menembus gumuk pasir di muara sungai. Namun pada musim kemarau tahun 1999, kembali terjadi genangan selama 6 minggu, sehingga hampir semua populasi Sonneratia spp. dari Segara Anakan Cilacap mati terendam, namun populasi lokal tetap bertahan (Tjut S. Djohan, 2001, komunikasi pribadi). Pengamatan isozim oleh penulis menunjukkan adanya perbedaan pola pita isozim populasi Sonneratia spp dari kedua lokasi tersebut. Menurut McPhaden (1999), badai El Nino South Oscillation (ENSO) pada tahun 1997-1998 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah, hingga mencurahkan cukup banyak air ke kawasan barat Pasifik, setelah sebelumnya menyebabkan kekeringan hebat. Di samping itu kegagalan juga disebabkan perumputan oleh kerbau, sebagaimana terjadi pada populasi Rhizophora spp (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Di pantai selatan Jawa, kegagalan restorasi juga terjadi di muara sungai Cakrayasan, Purworejo dan muara sungai Luk Ulo, Kebumen. Pada tahun 2000, dilakukan restorasi ekosistem mangrove di kedua lokasi ini dengan spesies Rhizophora spp. Di muara sungai Cakrayasan, kegagalan restorasi kemungkinan besar disebabkan akumulasi sampah dari hulu sungai pada awal musim hujan. Sampah, seperti lembaran plastik, kantung plastik, tali dan lain-lain menutupi area penanaman sehingga anakan mangrove tidak dapat tumbuh sempurna, bahkan sebagian besar seedling yang perakarannya masih lemah ikut terhanyut ke laut. Di pantai utara Jawa, di sepanjang muara-muara sungai di Demak, Jepara, Pati, dan Rembang, kematian seedling akibat “terjerat” sampah domestik merupakan kejadian umum. Secara unik “penjeratan” ini juga dilakukan oleh sejenis algae lembaran, Ulva spp. Spesies ini hidup mengapung di tepi pantai dangkal terbuka, yang juga merupakan lokasi yang umum didatangi propagul alami, dan dipilih dalam program

penghijauan mangrove. Pada saat air pasang, Ulva akan terangkat ke atas, dan ketika air surut akan tersangkut, melekat, dan mati pada seedling mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan dan mematikan seedling tersebut. Kondisi ini menyebabkan kerugian yang cukup berarti pada program penghijauan bakau di tepi pantai Pasar Banggi, Rembang. Di Segara Anakan, kegagalan restorasi akibat sampah, kurang teramati mengingat luasnya area mangrove tersebut (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Ancaman terbesar ekosistem mangrove di kawasan ini adalah sedimentasi (Winarno dan Setyawan, 2002). Di muara sungai Luk Ulo, Kebumen selain sampah, pola genangan, dan jenis tanah berpasir yang cenderung kurang cocok bagi Rhizophora; tampaknya penggembalaan merupakan penyebab utama kegagalan restorasi. Lokasi mangrove yang direstorasi merupakan area penggembalaan ternak sapi (Bos sondaicus), sehingga seedling yang ditanam tidak tersisa akibat perumputan. Hal sama terjadi di muara sungai Bogowonto, dimana area mangrove merupakan kawasan penggembalaan kerbau (Bos bubalis), sehingga seedling alami hanya dapat bertahan di kawasan yang sulit dijangkau ternak, sedangkan penanaman sengaja hanya dapat dilakukan pada area yang dipagari, yang biasanya telah rusak sebelum seedling cukup tinggi, sehingga akan dimakan kerbau (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Di pantai utara Jawa, kegagalan restorasi juga dapat disebabkan perubahan arus laut. Hal ini terjadi pada pantai-pantai terabrasi, dimana penanaman mangrove akan sia-sia, selama penyebab utama abrasi belum diatasi, karena seedling yang ditanam ikut tergerus arus laut. Salah satu contoh keberhasilan penanaman mangrove untuk mencegah abrasi ditemukan di kawasan Bulak-Semat, Jepara. Pada tahun 1980-an pantai di kawasan ini terabrasi akibat kerusakan terumbu karang dan pembabatan hutan mangrove. Pembuatan tanggul pemecah gelombang dan penanaman mangrove terbukti dapat mengurangi efek abrasi. Pada saat ini Rhizophora yang ditanam langsung berbatasan dengan bibir laut, dan tanah dibawahnya ditutupi pasir putih, menunjukkan garis pantai berhenti di bawah tegakan komunitas ini (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).

TEKNIK RESTORASI Kebanyakan restorasi hanya bertumpu pada penanaman pohon mangrove, kurang memperhatikan struktur komunitas dalam jangka panjang atau kaitannya dengan ekosistem di sekitarnya (Kusler dan Kentula, 1990; Simberloff, 1990). Kebanyakan proyek restorasi mangrove hanya bersangkutan dengan introduksi pohon mangrove, dengan harapan hidupan lain seperti kepiting, meiofauna, algae, ikan, dan fauna mangrove lain akan mengikuti dengan sendirinya ketika habitat yang dibuat telah mapan (Kaly dan Jones, 1996). Biasanya restorasi hanya ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci, restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara keseluruhan tergantung pada proses alami berikutnya (IPIECA, 1993). Teknik restorasi meliputi introduksi biji atau propagul, anakan pohon, atau pohon yang lebih besar. Penanaman biji atau propagul dapat dilakukan secara langsung di area yang direstorasi, atau disemaikan dahulu hingga

149 setinggi 0,3-1,2 m (Thorhaug, 1990). Penyemaian biji atau propagul menjadi anakan pohon dapat meningkatkan keberhasilan penanaman dibandingkan menanamnya secara langsung (Hannan, 1975; Thorhaug, 1990), meskipun demikian suatu eksperimen di kawasan tropis Australia menunjukkan bahwa keberhasilan hidup dan pertumbuhan bibit mangrove tidak ada perbedaan signifikan antara benih hasil semaian, cangkokan, dan benih yang ditanam langsung (Kaly dan Jones, 1996). Strategi menghilangkan makrofauna pada awal restorasi dapat membantu pertumbuhan mangrove, karena menjadi pemangsa atau parasit propagul dan tumbuhan muda. Smith (1987a,b,c) menemukan bahwa kepiting merupakan predator bibit mangrove yang signifikan, dan dapat mempengaruhi distribusi spesies di hutan mangrove. Kepiting dapat memusnahkan sama sekali Avicennia marina dengan mengkonsumsi 100% propagul. Menurut Tampa dan Tampa (1988), Kumbang parasit Coccotrypes fallax (Scolytidae) dapat mengerumuni sampai 95% propagul dan seedling. Menurut Kitamura et al. (1997), jenis hama dan penyakit utama seedling mangrove pada kebun bibit di Bali adalah kepiting, kumbang dan tikus.

RESTORASI FISIK HABITAT Sebelum dilaksanakan penanaman tumbuhan mangrove, perlu dilakukan restorasi fisik habitat sehingga memungkinkan tumbuhan mangrove yang ditanam dapat tumbuh sehat. Secara umum habitat fisik yang perlu diperhatikan mencakup pola hidrologi, kondisi tanah dan adanya bahan pencemar. Hidrologi. Ekosistem mangrove sudah lama dikenal sebagai pelindung dan pemantap garis pantai (Othman, 1994), sehingga selamat dari angin topan dan gelombang laut, namun mangrove hanya dapat mempengaruhi tingkat pengendapan sedimen atau erosi, tetapi tidak mengendalikannya (Gill, 1971; Hannan, 1975). Oleh karena itu pada pantai yang terabrasi akibat perubahan arus laut, tetap memerlukan tanggul pemecah ombak seperti batu, kuadrapot, tiang pancang, karung goni atau bekas ban (Teas et al., 1975; Hannan, 1975). Struktur tersebut dapat mempercepat kesembuhan ekosistem mangrove (Lin dan Beal, 1995) dan mendorong terbentuknya mangrove baru pada kawasan sekitarnya. Hidrologi yang mempengaruhi keberhasilan restorasi mangrove, meliputi: pola pasang surut (frekuensi dan periode), ketinggian sedimen dan drainase, serta masukan air tawar (Kaly dan Jones, 1996). Kegagalan restorasi seringkali akibat sulitnya memperbaiki pola hidrologi (Kusler dan Kentula, 1990). Pada area dimana terjadi sedimentasi pasir, kemungkinan diperlukan pengerukan untuk mencapai tanah mangrove yang kaya bahan organik. Restorasi hidrologi termasuk menghubungkan kembali area dengan laut terbuka sehingga terjadi arus pasang surut yang normal (Brockmeyer et al., 1997, Turner dan Lewis, 1997), serta pembatasan pengaruh gelombang akibat lalu lintas perahu (Knutson et al., 1981). Kondisi tanah. Tanah sulfat asam (acid soil), yang umum ditemukan pada area mangrove di seluruh dunia tropis serta diakibatkan oleh oksidasi dan asidifikasi sedimen yang mengandung pirit ketika penggalian dan pengeringan, merupakan tantangan potensial dalam

restorasi ekosistem mangrove (Brinkman dan Singh, 1982). Tanah ini dapat memiliki pH 2 (Kaly dan Jones, 1996). Brinkman dan Singh (1982) mengurangi kondisi sulfat asam dengan mengeruk tanah di permukaan tambak yang dikeringkan setebal 15 cm dan ditambahkan kapur untuk mencegah pelepasan asam. Cara lain adalah menggenangi tanah dengan air pasang dan membiarkan waktu untuk mengoksidasi asam sebelum ditanami kembali. Tanah dikembalikan ke kondisi anoksik sebagaimana area lumpur pasang surut alami. Di ekosistem mangrove tropis, bakteri tanah memainkan peranan penting dalam jejaring makanan benthos, seperti memineralisasikan detritus organik dan mendaur ulang nutrien penting (Kaly dan Jones, 1996). Oleh karena itu, proses biogeokimia alami perlu didorong untuk menumbuhkan bakteri (Alongi, 1994). Polutan. Mangrove merupakan ekoton antara kawasan daratan dan laut, sehingga pencemaran yang terjadi di darat maupun di laut dapat menumpuk di kawasan ini. Salaha satu jenis bahan pencemar yang menarik adalah tumpahan minyak bumi. Dalam suatu studi, Sonneratia caseolaris, digunakan sebagai tumbuhan pionir dan ditanam pada tanah yang terpolusi minyak di delta Mahakam, sebagian dari lokasi ini juga terpolusi pupuk nitrat dan sisa-sisa dispersan minyak. Dalam hal ini restorasi diarahkan hanya untuk mengembalikan satu spesies mangrove yang paling kuat sebagai starter. Minyak mempengaruhi kematian dan pertumbuhan seedling yang ditanam, tetapi dispersan berpengaruh lebih buruk lagi. Untuk itu area mangrove yang tertumpahi minyak sebaiknya tidak disemprot dispersan dan penanaman ditunda hingga beberapa bulan (Dutrieux et al., 1990).

REGENERASI ALAMI Regenerasi mangrove secara alami menggunakan biji dan propagul alami (wildlings) sebagai sumber bibit, sehingga komposisi spesies yang tumbuh tergantung pada populasi mangrove tetangganya. Kemampuan mangrove menyebar dan tumbuh dengan sendirinya tergantung pada kondisi hutan, arus pasang surut, dan stabilitas tanah (Kairo et al., 2001). Pada famili Rhizophoraceae, propagul dilengkapi dengan hipokotil runcing yang akan jatuh dan menanam diri sendiri pada lumpur tidak jauh dari induknya (La Rue dan Muzik, 1954), namun apabila propagul tersebut jatuh pada saat air pasang atau ombak tinggi, kadang-kadang tidak dapat menancap di lumpur, bahkan tersapu dan terbawa arus laut, hingga tumbuh jauh dari induknya (Rabinowitz, 1978; van Speybroeck, 1992). Penebangan hutan mangrove secara berlebihan dapat menurunkan stabilitas tanah, sehingga propagul dan anak pohon mudah dihanyutkan ombak dan regenerasi alami sulit terbentuk (Kairo et al., 2001). Di Malaysia, direkomendasikan agar disisakan sebanyak 12 pohon induk per ha, sebagai penyuplai biji regenerasi alami (Tang, 1978, FAO, 1994), namun pada lokasilokasi dengan tingkat regenerasi rendah jumlah tersebut dapat dinaikkan. Di Thailand, penggunaan pohon induk diganti lajur-lajur mangrove yang tidak ditebangi untuk menjaga regenerasi (FAO, 1985). Kelebihan dan kekurangan regenerasi alami dan regenerasi buatan tersaji pada Tabel 1.

150 Tabel 1. Kelebih dan kekurangan regenerasi secara alami (Kairo et al., 2001). Kelebihan i. Lebih murah. ii. Tidak memerlukan tenaga kerja dan peralatan. iii. Lebih sedikit disturbansi pada tanah. iv. Pertumbuhan anakan pohon lebih subur. Kekurangan i. Spesies pengganti kemungkinan berbeda dengan spesies semula. ii. Ketiadaan pohon induk menyebabkan bibit sedikit atau tidak ada. iii. Pengkayaan genetika sulit terjadi. iv. Ombak laut dapat menyebabkan sulit mapan. v. Terjadi predasi bibit oleh makrofauna (seperti kepiting dan siput). vi. Jarak tanam, asal dan komposisi spesies bibit sulit dikontrol.

REGENERASI BUATAN Regenerasi mangrove secara alami dapat berlangsung lambat, karena perubahan kondisi tanah, pola hidrologi, dan terhambatnya suplai bibit. Regenerasi buatan pertama-tama harus memperbaiki pola hidrologi dan penanaman hanya dilakukan jika rekrutmen alami tidak mencukupi atau kondisi tanah menghalangi pemantapan alami. Penanaman mangrove telah berhasil dilaksanakan di Indonesia, Malaysia, India, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Kebanyakan spesies yang ditanam termasuk dalam famili Rhizophoraceae, Avicenniaceae, dan Sonneratiaceae (Kairo et al., 2001). Teknik regenerasi buatan umumnya menggunakan propagul, kadang-kadang anak pohon (tinggi < 1,2 m), tetapi jarang menggunakan pohon kecil (tinggi > 6 m). Metode ini sudah digunakan sejak Watson (1928) hingga kini (Kogo et al., 1987, Qureshi, 1990, Siddique et al., 1993). Propagul Rhizophora sering dipilih karena memiliki hipokotil panjang sehingga dapat ditancapkan langsung di lapangan, namun teknik ini tidak dapat digunakan pada anggota genus mangrove lain. Pada umumnya, propagul ditanam dengan jarak 1 meter (10.000 per ha). Pada mangrove, angka kematian bibit awal relatif rendah, tetapi tingkat daya hidup yang diharapkan biasanya hanya sekitar 50%, sehingga diperoleh kepadatan hutan mangrove dewasa yang ideal, sekitar 1.000 pohon per hektar (1 pohon per 10 m2). Penanaman anak pohon sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan, meskipun dapat pula ditanam sepanjang tahun (Kairo et al., 2001). Pada spesies mangrove tertentu ketersediaan propagul tergantung musim. Propagul mangrove yang telah masak dikoleksi dari pohon induk, dari bawah pohon atau dari pantai. Pada Rhizophora dan Ceriops warna hipokotil dapat digunakan untuk membedakan propagul muda dari yang masak. Pada Avicennia, propagul masak dapat dipetik dengan mudah dari induknya dengan meninggalkan kelopak. Propagul hasil koleksi dapat disimpan dalam kantung plastik lembab selama tiga hari hingga beberapa minggu, di tempat teduh, untuk meningkatkan daya tahan terhadap serangan kepiting (Watson, 1928, Dahdouh-Guebas et al., 1997). Propagul juga dapat dilindungi dengan mengecat hipokotil atau meletakkannya dalam buluh

bambu (FAO, 1994). Sepanjang kelembaban dijaga, propagul mangrove dapat disimpan selama enam bulan (Kairo et al, 2001). Pada saat penanaman anak pohon baik dari kebun pembibitan atau hutan alam perlu dilakukan upaya melindungi akar, baik ketika dicabut atau ditanam. Hal ini biasanya dilakukan dengan menyekop anak pohon dengan diameter tanah separuh tinggi anak pohon. Daya tahan propagul atau anak pohon lebih baik (80-100% dari 70.000 setelah 24 bulan) dibanding pohon kecil (< 5% setelah 12 bulan). Anak pohon dari kebun pembibitan memiliki daya tahan lebih tinggi (80-100% setelah 24 bulan) dibandingkan seedling alami (Kairo et al., 2001). Bibit mangrove dapat pula diperoleh dengan mencangkok, misalnya pada Rhizophora mangle, Avicennia germinans, dan Laguncularia racemosa (Calton dan Moffler, 1978). Keberhasilan teknik ini tergantung spesies, terdapat perbedaan signifikan (p<0,001) keberhasilan pertumbuhan akar antara Sonneratia alba (58,8%), Lumnitzera racemosa (36,5%), dan Xylocarpus granatum (4,4%). Regenerasi buatan memiliki beberapa keuntungan antara lain: distribusi dan komposisi spesies dapat diatur, tumbuhan dapat diperkaya secara genetik, dan serangan hama dapat dikendalikan (Field, 1998a).

SPESIES UNTUK RESTORASI Informasi teknik pembibitan mangrove memusat pada beberapa spesies mangrove mayor. Dari sekitar 60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi, hanya 12 spesies yang biasa digunakan untuk restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus. Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan, serta iklim mikro lainnya (Choudhury, 1996; 2000). Di kebanyakan negara, pada mulanya penanaman mangrove dilakukan dengan propagul atau seedling yang dikumpulkan dari lantai hutan. Sekarang material yang digunakan adalah seedling alami, biji atau propagul, dan seedling pembibitan. Hutan mangrove alami biasanya memiliki sejumlah besar seedling alami. Mereka sering kali sama tingginya umurnya bervariasi mulai dari 1-6 tahun. Seedling alami yang bangsor, halus, dan sehat memiliki kemampuan tumbuh lebih baik (Choudhury, 1996). Penggunaan biji dan propagul di penghutanan mangrove biasa dilakukan, khususnya propagul vivipar. Beberapa spesies tumbuhan mangrove memerlukan kebun pembibitan. Di Bali, pembibitan dilakukan terhadap Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Sonneratia alba, Avicennia marina, Ceriops tagal, dan Xylocarpus granatum (Kitamura dkk., 1997). Di Jawa, pembibitan umumnya dilakukan terhadap Rhizophora spp. seperti dilakukan kelompok tani di pesisir Rembang, Probolinggo, dan Perhutani di Indramayu. Para petani membibitkan Rhizophora untuk memenuhi kebutuhan proyek-proyek restorasi mangrove. Proyek-proyek ini sering kali identik dengan penanaman bakau yang memiliki bentuk perakaran khas. Masyarakat di pantai utara Jawa juga biasa menggunakan seedling alami Rhizophora,

151 Avicennia dan Sonneratia untuk menguatkan tanggultanggul tambak, terutama yang berbatasan langsung dengan sungai atau laut (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Teknik pembibitan dan penanaman Di Bali, pembibitan dilakukan di kebun persemaian yang letaknya di lokasi mangrove, sehingga bibit dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan di area penanaman. Seedling ditanam dalam polibag yang diisi tanah, dimana penyiraman umumnya mengikuti arus pasang laut. Penanaman langsung propagul Rhizophora dimungkinkan pada lokasi yang dangkal (Kitamura dkk., 1997). Di Rembang, pembibitan tidak dilakukan pada area khusus, tetapi di bawah tegakan mangrove yang agak terbuka atau di tepian area mangrove, pada batas dengan daratan. Propagul ditanam pada polibag yang cukup tinggi untuk mengurangi pemangsaan oleh kepiting (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Cara pembibitan berbagai spesies mangrove antara lain dipublikasikan oleh Choudhury (1994, 1996, 2000) berdasarkan penelitian di Banglades, namun dalam tulisan ini hanya dikemukan cara pembibitan mangrove tujuh spesies di Bali oleh Kitamura et al. (1997), mengingat kedekatan ekosistemnya dengan Jawa (Tabel 2.). Penanaman seedling umumnya dilakukan pada bulan Desember s.d. Januari, pada awal musim hujan. Waktu penanaman juga memperhatikan kalender hijriah, dimana penanaman dilakukan seminggu setelah tanggal 14 atau 15 saat pasang sedang rendah. Bibit yang digunakan biasanya berketinggian sekitar 60 cm, bibit yang lebih tinggi dapat ditanam pada area dengan tingkat penggenangan lebih dalam, tetapi bibit dengan ketinggian lebih dari 1,5 m sebaiknya tidak digunakan. Di Indonesia dan Malaysia biasanya dipilih propagul dalam praktek penanaman, sehingga spesies yang ditanam umumnya Rhizophora (Choudhury, 2000). Penanaman mangrove memerlukan masa perawatan intensif sekitar 75 hari setelah tanam, dimana diperlukan penggantian bibit yang tersapu ombak, tererosi, dimakan kepiting, bibit yang tidak sehat dan mati serta menjaga drainase, membuang sampah, dan menjaga dari erosi. Semak-semak mangrove yang tebal dapat terbentuk setelah 5 tahun. Adapun pohon mangrove dewasa dengan tinggi lebih dari 5 m, akar penyangga kuat, rangkaian akar nafas luas, dan kanopi rapat dapat terbentuk dalam waktu 15 tahun (Choudhury, 1996).

Perbedaan signifikan komposisi dan keanekaragaman fauna mulai teramati 5 tahun setelah penanaman. Kepadatan makrofauna tanah pada ekosistem yang direstorasi lebih tinggi daripada ekosistem yang dibiarkan terbuka, serta sama dengan ekosistem alami (Kairo et al., 2001). Pemantauan area restorasi Area restorasi mangrove perlu dipantau (Tabel 3). Pemantauan tumbuhan mangrove yang telah ditanam sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan program restorasi. Parameter yang perlu diperhatikan dalam proyek restorasi disajikan pada Tabel 3. Aktivitas ini serupa dengan aktivitas yang dilakukan pada proyek kehutanan pada umumnya (Field, 1998b).

PENUTUP Mangrove merupakan ekosistem yang menghubungkan hidupan laut dan daratan, serta menjadi daerah penyangga dan ekoton antar kedua hidupan tersebut. Semua aktivitas yang dilakukan di darat dan di laut dapat mempengaruhi eksistensi ekosistem ini. Nilai penting ekosistem mangrove telah diketahui secara luas, namun hingga kini penurunan luasan mangrove di seluruh dunia yang terus berlanjut. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara teori yang menyatakan perlunya pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari dan praktek yang menunjukkan dilaksanakannya pemanfaatan secara tidak lestari. Mangrove merupakan ekosistem yang sangat viabel. Ekosistem mangrove yang rusak dapat memulihkan diri sepanjang faktorfaktor lingkungan seperti pola hidrologi, kondisi tanah, dan ketersediaan propagul mendukung, namun pada kondisi daya lenting terpatahkan perlu dilakukan campur tangan dengan melakukan regenerasi secara buatan. Teknik manajemen mangrove yang ada saat ini sering kali gagal untuk mempertahankan kelestarian sumber daya ini. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan yang lebih luas dengan mengintegrasikan manajemen kawasan pesisir, dengan memasukkan unsur-unsur penting seperti ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya sehingga dapat memenuhi hajat hidup orang banyak, sekaligus memelihara biodiversitas secara luas.

Tabel 3. Aktivitas pemantauan setelah penanaman mangrove (Field, 1998b). Aktivitas

Tindakan di lapangan

Memantau perkembangan spesies Memantau laju pertumbuhan sejalan dengan umur

Mengecek kebenaran asal usul propagul dan biji Mengamati kerapatan sapling dan pohon, diameter batang, tinggi dan volume pohon. Mengukur pertambahan tahunan. Mengamati struktur batang, nodus, fenologi, pembuahan, serta resistensi terhadap hama dan penyakit. Menyiapkan penjelasan ilmiah mengenai kegagalan ini. Mencatat asal sampah dan langkah yang diambil untuk mengatasinya. Mencatat tingkat kelebatan, regenerasi buatan atau alami. Mencatat pertumbuhan pohon. Mencatat semua pengeluaran, meliputi persiapan lokasi, koleksi propagul, pembibitan di kebun, penanaman di lapangan dan lain-lain. Hal ini merupakan catatan restorasi jangka panjang

Memantau pertumbuhan sifat-sifat khusus Mencatat tingkat kegagalan anak pohon Mencatat tingkat akumulasi sampah Mengatur kerapatan seedling dan anak pohon pada tingkat optimum Memperkirakan total biaya akhir proyek restorasi Memantau dampak penebangan hutan mangrove di sekitarnya Memantau sifat-sifat ekosistem mangrove yang direstorasi

Mengukuran secara terinci mengenai fauna, flora dan parameter lingkungan dari ekosistem hasil restorasi dan membandingkannya dengan ekosistem mangrove alami.

152 Tabel 2. Teknik penanaman beberapa spesies mangrove yang utama di Bali (Kitamura dkk., 1997). Rhizophora mucronata Musim buah SeptemberDesember

Rhizophora apiculata DesemberPebruari

Bruguiera gymnorrhiza Mei-Desember

Kriteria buah Kotiledon hijau muda atau kuning, panjang > 50 cm, dipilih propagul yang bebas penyakit.

Kotiledon merah, panjang > 20 cm, diameter > 1,4 cm, dipilih propagul yang bebas penyakit

Kotiledon hijau tua hingga merah, panjang > 20 cm.

Media tanam Tanah tepi tambak.

Tanah tepi tambak.

Tanah tepi tambak.

Sonneratia alba April-Juni dan SeptemberOktober Buah jatuh dari pohon, biji mengapung di air tawar.

Avicennia marina DesemberPebruari

Ceriops tagal

Berat buah tanpa kelopak 1,5 g, panjang > 1,8 cm. Sebelum ditanam direndam air semalam untuk membuang kulitnya.

Kotiledon kuning, panjang > 20 cm, dipilih propagul yang bebas penyakit.

Buah kuning hingga cokelat, permukaan biji cokelat kekuningan dengan bintikbintik kelabu, tali ari tampak.

Tanah yang dicampur 30% pupuk kandang.

Tanah tepi tambak.

Tanah tepi tambak.

Tanah tepi tambak.

AgustusDesember

Xylocarpus granatum SeptemberDesember

Pembibitan

Propagul Propagul Propagul ditancapkan ditancapkan ditancapkan sedalam 10 cm. sedalam 5 cm. sedalam 5 cm.

Biji dipendam sedalam separuh panjangnya, dua biji per pot.

Biji dipendam Biji dipendam sedalam 1/3 sedalam 5 cm. panjangnya, diletakkan bebas dari pasang surut hingga berakar.

Biji diletakkan di atas tanah dengan posisi radikula di bawah.

Naungan

50%

30%.

30%.

50%.

30%.

Pengairan

Mengikuti arus Mengikuti arus Mengikuti arus pasang-surut. pasang-surut. pasang-surut.

Mengikuti arus pasang-surut dan pengairan buatan setiap hari.

Disiram dua kali sehari pada saat tidak ada pasang, dan sekali ketika ada pasang, saat air surut.

Mengikuti arus pasang surut, dan disiram pada saat air surut.

Mengikuti arus pasang surut, dan disiram pada saat air surut.

Hama dan penyakit

Kepiting, ulat, kumbang.

Tikus, kepiting, Tikus, kepiting, Tidak ada yang Tidak ada yang dan ulat. dan ulat. penting. penting.

Cara mengatasi

Kepiting memakan propagul baru, diatasi dengan meletakkan pangkal bibit setinggi 20 cm di atas dasar. Ulat dan kumbang memakan ujung propagul, diatasi secara manual.

Lama pembibitan

Penanaman

50%.

30%.

Tidak ada yang Tidak ada yang penting. penting.

Tikus memakan biji, daun muda dan tunas muda, diatasi dengan jaring keliling kebun. Kepiting memakan tunas muda dan daun, diatasi dengan lembaran plastik keliling kebun. Ulat diatasi dengan jaring halus keliling kebun. 4-5 bulan, tinggi 4-5 bulan, 3-4 bulan, tinggi 5-6 bulan, seedling > 55 tinggi seedling seedling > 35 tinggi seedling cm, jumlah > 30 cm, cm, jumlah daun > 15 cm, daun 2 pasang. jumlah daun 2 > 3 pasang. jumlah daun > pasang. 3 pasang. Polibag Polibag Polibag dibuang Polibag dibuang dan dibuang dan dan 1/3 bagian dibuang. 1/3 bagian 1/3 bagian propagul propagul propagul dibenamkan, dibenamkan. dibenamkan. pada penaman langsung kelopak tidak dibuang.

Tikus memakan biji, , diatasi dengan jaring keliling kebun. Kepiting memakan tunas muda dan daun, diatasi dengan lembaran plastik keliling kebun. Ulat diatasi dengan jaring halus keliling kebun. 3-4 bulan, tinggi seedling > 30 cm, jumlah daun > 3 pasang. Polibag dibuang.

6-7 bulan, tinggi seedling > 20 cm, jumlah daun > 2 pasang. Polibag dibuang dan 1/3 bagian propagul dibenamkan.

3-4 bulan, tinggi seedling > 20 cm, jumlah daun > 2 pasang. Polibag dibuang.

153

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae, S. 1996. Reforestation in mangrove forests in Thailand, A case study in Pattani Province. In Field, C.D. (ed.) Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems. Alongi, D.M. 1994. The role of bacteria in nutrient recycling in tropical mangrove and other coastal benthic ecosystems. Hydrobiologia 285: 19-32. Anonim. 1991. Application social forestry strategy by using silvofishery system for supporting national food production. Bandung: Perum Perhutani Unit III West Java. Anonim. 1997. Empang parit di Desa Randusanga Kulon, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Kehutanan Indonesia 6: 31-34. Anonim. 2001. Mangroves, Multi-Species Recovery Plan for South Florida. southeast.fws.gov/vbpdfs/commun/mn.pdf. Anonim. 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular Caribbean. Annals of Tourism Research 14: 104-117. Ball, M. C. 1980. Patterns of secondary succession in a mangrove forest in south Florida. Oecologia (Berl.) 44: 226-235. Baowen, L. 1997. The present situation and prospects of mangrove afforestation in China. World Forestry Congress 1997. Brinkman, R., and V.P. Singh, 1982. Rapid reclamation of fishponds on acid sulphate soils. In Dost, H. & N. van Breemen (ed.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI. Wageningen, Nederlands, Publication 31: 318-330. Brockmeyer, R.E. Jr., J.R. Rey, R.W. Virnstein, R.G. Gilmore, and L. Ernest. 1997. Rehabilitation of impounded estuarine wetlands by hydrologic reconnection to the Indian River Lagoon, Florida (USA). Wetlands Ecology and Management 4 (2): 93-109. Cairns, J. 1988 Restoration ecology: the new frontier. In Restoration of Damaged Ecosystems, Volume 1. Boca Raton, Flo.: CRC Press. Calton, J.M. and M.D. Moffler. 1978. Propagation of mangroves by airlayering. Environmental Conservation 5: 147-150 Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer Verlag. Choudhury, J.K. 1994. Mangrove re-afforestation in Bangladesh. Proceedings on the Workshop on ITTO Project Development and Dissemination of Re-afforestation Techniques on Mangrove Forests: 18-20 April 1994. Bangkok Thailand. Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: Asia Development Bank. Choudhury, J.K. 2000. Sustainable management of coastal mangrove forest development and social needs. Mangroves and Other Coastal Forests. www.fao.org/montes/ foda/wforcong/ PUBLI/PDF/V6E_T386.PDF. Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest management. In Hussain Z. and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol. 2: Bangladesh. Gland, Switzerland: IUCN Wetlands Program. Cintron-Molero, G. 1992. Restoring mangrove systems. In Thayer, G.W. (ed.). Restoring the Nation’s Marine Environment. Maryland: Maryland Seagrant Program, College Park. Crewz, D.W. and R.R. Lewis. 1991. An evaluation of historical attempts to establish emergent vegetation in marine wetlands in Florida. Florida Sea Grant Technical Publication No. 60, Gainesville, Flo:.Florida Sea Grant College. Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, and N. Koedam. 1997. Food preferences of Neosarmatium meinerti de Man (Decapoda: Sesarminae) and its possible effect on the regeneration of mangroves. Hydrobiologia 347: 83-89 Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, D. Van Speybroeck, and N. Koedam. 1998. Propagule predators in Kenyan mangroves and their possible effect on regeneration. Marine and Freshwater Research 49: 345-350 Detweiler, T.E., F.M. Dunstan, R.R. Lewis, and W.K. Fehring. 1976. Patterns of secondary succession in a mangrove community. Proceedings of the Second Annual Conference on Restoration of Coastal Plant Communities in Florida. Tampa, FL: Hillsborough Community College. Duke, N. 1996. Mangrove reforestation in Panama: an evaluation of planting areas deforested by a large oil spill. In: Field C. (ed.) Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Tropical Timber Organization and International Society for Mangrove Ecosystems. Dutrieux, E., F.Martin, and A. Debry. 1990. Growth and mortality of Sonneratia caseolaris planted on an experimentally oil-polluted soil. Marine Pollution Bulletin 21: 62-68. FAO. 1985. Mangrove Management in Thailand, Malaysia and Indonesia. Rome: FAO Environment Paper.

FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. Rome: FAO Forestry Paper. Field, C. 1996. Restoration of mangrove Ecosystems. Okinawa: International Tropical Timber Organization and International Society for Mangrove Ecosystems. Field, C. 1998a. Rationales and practices of mangrove afforestation. Marine and Freshwater Research 49: 353-358 Field, C. 1998b. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview. Marine Pollution Bulletin 37: 383-392 Fitzgerald, B. 2002. Case study 5: integrated mangrove forest and aquaculture systems (silvofisheries) in Indonesia. In Macintosh D.J., M.J. Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture. Case studies 1-6. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Public Discussion. Published by the Consortium. Fitzgerald, B. and L.A. Savitri. 2002. Case study 6: integration of silvofisheries into coastal management and mangrove rehabilitation in Java, Indonesia. In Macintosh D.J., M.J. Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture. Case studies 1-6. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Public Discussion. Published by the Consortium. Fitzgerald, W.J. 1997. Silvofisheries-an environmentally sensitive integrated mangrove forest and aquaculture system. Aquaculture Asia 2 (3): 9-17. Gill, A. M. 1971. Mangroves-is the tide of public opinion turning? Fairchild Tropical Garden Bulletin 26: 5-9. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West Center. Hannan, J. 1975. Aspects of red mangrove reforestation in Florida. Proceedings of the Second Annual Conference on the Restoration of Coastal Vegetation in Florida. Hardjosuwarno, S. 1989. The impact of oil refinery on the mangrove vegetation. BIOTROP Special Publications 37: 187-192. Hartina, 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. [Tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM. Hassan, H.H.A. 1981. A Working Plan for the Second 30-year Rotation of the Matang Mangrove Forest Reserve Perak 1980-89. Perak, Malaysia: State Forestry Department Publication. Hoffman, W.E., M.J. Durako, and R.R. Lewis. 1985. Habitat restoration in Tampa bay. In: Simon, S.A.F., R.R. Lewis, and R.R. Whiman. (eds.) Treat, Proc. Tampa Bay Area Scientific Inf. Symp. Tampa: Florida Sea Grant College & Bellwether Press. IPIECA. 1993. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA Report No. 4. London: International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. Jimenez, JjA. 1990. The structure and function of dry weather mangroves on the Pacific coast of Central America, with emphasis on Avicennia bicolor forests. Estuaries 13: 182-192 Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Restoration and management of mangrove systems — a lesson for and from the East African region. South African Journal of Botany 67: 383-389. Kaly, U.L. and G.P. Jones. 1996. Mangrove Restoration: a Potential Tool for Ecosystem Management of Coastal Fisheries. Queensland: Department of Marine Biology, James Cook University, Queensland, Australia. Khoon, G.W. and O.J. Eong. 1995. The use of demographic studies in mangrove silviculture. Hydrobiologia 295: 255-261. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Knutson, P.L., J.C. Ford, M.R. Inskeep, and J. Oyler. 1981. National survey of planted salt marshes (vegetative stabilization and wave stress), Journal of the Society of Wetland Scientists 1, 129-156. Kogo, M., D. Kamimura, and T. Miyagi. 1987. Research for rehabilitation/reforestation of mangroves in Truk Island. In: Mangroves of Asia and the Pacific: Status and Management. Technical Report of the UNDP/UNESCO Research and Training Pilot Programme on Mangrove Ecosystems in Asia and the Pacific (RAS/79/002). Quezon City, Phillipines: UNESCO. Kompas, 06/08/2002. 29 Hektar Pantai Muara Reja Terkena Abrasi Kompas, 06/10/2003. Reklamasi Pantai Jakarta Memperparah Abrasi Kompas, 10/11/2002. Pantai Dadap Direklamasi Untuk Tempat Wisata Kompas, 15/08/2002. Parah Abrasi di Pantura

154 Kusler, J.A. and M.E. Kentula. 1990. Wetland Creation and Restoration: The Status of the Science. Washington: Island Press. La Rue, C.D. and T.J. Muzik. 1954. Does mangrove really plant its seedling. Nature 114: 661-662 Lewis, R.R. 1982. Low marshes, peninsular Florida. In Lewis, R.R. (ed.). Creation and restoration of coastal plant communities Boca Raton, FL.: CRC Press. Lewis, R.R. 1990a Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler, J.A. and M.E. Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science. Washington: Island Press. Lewis, R.R. 1990b. Wetlands restoration/creation/enhancement terminology: suggestions for standardization. In J.A. Kusler and M.E. Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The Status of the Science. Island Press, Washington, D.C., USA. Lewis, R.R. 1992. Coastal habitat restoration as a fishery management tool. In Stroud, R.H. (ed.) Stemming the Tide of Coastal Fish Habitat Loss; Proceedings of a Symposium on Conservation of Coastal Fish Habitat, Baltimore, MD, USA, March 7-9 1991. National Coalition for Marine Conservation, Inc., Savannah, Georgia, USA. Lewis, R.R. and M.J. Marshall. 1997. Principles of successful restoration of shrimp aquaculture ponds back to mangrove forests. Programa/resumes de Marcuba ‘97, September 15/20, Palacio de Convenciones de La Habana, Cuba. Lewis, R.R., and B. Streever. 2000. Restoration of mangrove habitat. WRP Technical Notes Collection (ERDC TN-WRP-VN-RS-3.2). Vicksburg, MS.: U.S. Army Engineer Research and Development Center. www.wes.army.mil/el/wrp. Lewis, R.R., J.A. Kusler, and K.L. Erwin. 1995. Lessons learned from five decades of wetland restoration and creation in North America. pp. 107-122 In Montes, C., G. Oliver, F. Molina, and J. Cobos (eds.) Bases Ecologicas para la Restauracion de Humedales en la Cuenca Mediterranea. Proceedings of a meeting held at the University of La Rabida, Spain. 7-l 1 June 1993. Junta de Andaluca, Spain. Lin, J. And J.L. Beal. 1995. Effects of mangrove marsh management on fish and decapod communities. Bulletin of Marine Sciences 57: 193201. Loyche M. 1989. Mangrove of West Africa — the forest within the sea. Mangroves and Fish. IDAF Newsletter 9: 18-31 McKee, K.L., and P.L. Faulkner. 2000. Restoration of biogeochemical function in mangrove forests. Restoration Ecology 8: 274-259 McPhaden, M.J. 1999. Genesis and evolution of the 1997-1998 El-Nino. Science 283: 950-954. Media Indonesia, 03/10/2003. Abrasi Pantura Tangerang Makin Mengkhawatirkan Media Indonesia, 08/04/2003. 20 Km Pantura Cirebon dan Indramayu Mengalami Abrasi Media Indonesia, 15/09/2003. Nelayan Keluhkan Pengerukan Pasir Laut Media Indonesia, 17/06/2002. 124 Pantai di Indonesia Mengalami Kerusakan Media Indonesia, 19/08/2002. Desa-desa di Pesisir Tangerang Makin Terancam Abrasi Media Indonesia, 28/07/2003. Ribuan Hektare Tambak di Brebes, Cirebon, dan Indramayu Lenyap Terkena Abrasi Media Indonesia, 31/05/2002. Pantai Slamaran di Pekalongan Alami Abrasi Mish, F.C. (ed.). 1989. Webster’s ninth new collegiate dictionary. Springfield, MS.: Merriam-Webster Inc. Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous disturbance. In: Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity and Disturbance. New York: Springer-Verlag. Noakes, D.S.P. 1951. Notes on the silviculture of the mangrove forest of Matang, Perak. Malaysian Forester 14: 183-196. Othman, M.A. 1994. Value of mangroves in coastal protection. Hydrobiologia 285: 277-282. Phillips, R.C. and C.P. McRoy (eds.). 1980. Handbook of Seagrass Biology and Ecosystem Perspective. New York: Garland STPM Press. Pikiran Rakyat, 04/04/2002. Pantai Pakisjaya Dikeruk Warga Khawatirkan Abrasi. Pikiran Rakyat, 14/03/2003. Ribuan Hektare Pantai Habis Digerus Abrasi. Pikiran Rakyat, 27/12/2002. 20 Kilometer Pantai Rusak Karena Abrasi. Pratt, J.R. 1994. Artificial habitats and ecosystem restoration: Managing for the future. Bulletin of Marine Sciences 55: 268-275. Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. Primavera, J.H. and R.F. Agbayani. 1996. Comparative strategies in community based mangrove rehabilitation programs in the Philippines. Proceedings of the ECOTONE V Regional Seminar: Community Participation In Conservation, Sustainable Use and Rehabilitation of Mangroves In Southeast Asia. Ho Chi Minh City, Vietnam, 8-12 January, 1996. Mangrove Ecosystem Research Centre (MERC), and Vietnam National University.

Pulver, T.R. 1975. Suggested mangrove transplanting techniques. Proceedings of the Second Annual Conference on the Restoration of Coastal Vegetation in Florida. Qureshi MT. 1990. Experimental plantation for rehabilitation of mangrove forests in Pakistan. Mangrove Ecosystem Occasional Papers 4. UNESCO, COMAR, UNDP Rabinowitz, D. 1978. Early growth of mangrove seedlings in Panama, and hypothesis concerning the relationship of dispersal and zonation. Journal of Biogeography 5: 113-133. Republika Online, 15/07/2002. Kawasan Pantai Sidoarjo Akan Ditanami 20.000 Pohon Mangrove. Republika Online, 15/07/2003. Sejumlah Tambak Terkena Dampak Abrasi. Republika Online, 17/04/2002. Abrasi Laut Ancam Permukiman Ratusan Warga Indramayu. Saenger, P. and N.A. Siddique. 1993. Land from the sea: the mangrove afforestation proqramme of Bangladesh. Ocean and Coastal Management 20: 23-29. Sanyal, P. 1998. Rehabilitation of degraded mangrove forests of the Sunderbans of India. Program of the International Workshop on the Rehabilitation of Degraded Coastal Systems. Phuket Marine Biological Center, Phuket, Thailand. 19-24 January 1998. Setyawan, A.D., K. Winarno, P.C. Purnama. 2003. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Biodiversitas 4 (2): 133-145. Siddique, N.A., M.R. Islam, M.A.S. Khan, and M. Shahidullah. 1993. Mangrove nurseries in Bangladesh. International Society for Mangrove Ecosys stems Occasional Papers No.1. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems. Simberloff, D. 1990. Reconstructing the ambiguous: Can island ecosystems be restored? In Towns, D.R., C.H. Daugherty, and I.A.E. Atkinson. Ecological Restoration of New Zealand Islands; Conservation Sciences Publication No. 2. Wellington: Department of Conservation, New Zealand. Smith, T.J. 1987a. Seed predation in relation to tree dominance and distribution in mangrove forests. Ecology 68: 266-273. Smith, T.J. 1987b. Effects of seed predators and light level on the distribution of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. in tropical, tidal forests. Estuarine, Coastal and Shelf Science 25: 43-51. Smith, T.J. 1987c. The influence of seed predators on structure and succession in tropical tidal forests. Proceedings Ecological Society Australia 15: 203-211. Soemodihardjo, S., P. Wiroatmodjo, F. Mulia, and M.K. Harahap. 1996 Mangroves in Indonesia, a case study of Tembilahan, Sumatra. In Fields, C. (ed.) Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems. Stevenson, N.J., R.R. Lewis, and P.R. Burbridge. 1999. Disused shrimp ponds and mangrove rehabilitation. In Streever, W. (ed.). An International Perspective on Wetland Rehabilitation. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Streever, W. (ed.). 1999. An International Perspective on Wetland Rehabilitation. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Suara Merdeka, 09/04/2003. Kampanye Tanam Bakau di Telukawur. Suara Merdeka, 26/01/2003. Abrasi Pantai di Kendal dan Demak. Suara Pembaruan, 03/03/2002. Pengelolaan Pesisir Harus Libatkan Warga Lokal Suara Pembaruan, 07/07/2002. Abrasi Mengancam Desa Limbangan Suara Pembaruan, 11/12/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa Mengkhawatirkan Suara Pembaruan, 19/04/2003. 25.000 Batang Mangrove Ditanam di Segara Anakan Suara Pembaruan, 30/06/2002. Dilema Lingkungan Akibat Tambak Udang Tampa, S. and P. Tampa. 1988. Establishment and growth of mangrove seedlings in mangrove forests of southern Thailand. Ecological Research 3: 227-238. Tang, H.T. 1978. Regeneration stocking adequacy standards. Malaysian Forester 41: 176-182 Teas, H.J. 1977. Ecology and restoration of mangrove shorelines in Florida. Environmental Conservation 4: 51-58 Teas, H.J. 1980. Saline silviculture. 2nd International Workshop on Biosaline Research, La Paz, Baja, California sur, Mexico. Teas, H.J., W. Jurgens, and M.C. Kimball. 1975. Planting of red mangroves (Rhizophora mangle L.). In: Lewis RR (ed.) Proceedings of the 2nd Annual Conference on the Restoration of Coastal Vegetation, Florida; May 17, 1975, Hillsborough Community College, Tampa, Florida. Tessar, B. dan K.I. Insan. 1993. Melacak gubug akhir hutan bakau. Warta Konservasi Lahan Basah 2 (2): 8-9. Thorhaug, A. 1990. Restoration of mangroves and seagrasses-economic benefits for fisheries and mariculture. In Berger, J.J. (ed.) Environmental Restoration: Science and strategies for restoring the earth ed. Washington, D.C.: Island Press. Turner, R.E. and R.R. Lewis. 1997. Hydrologic restoration of coastal wetlands. Wetlands Ecology and Management 4 (2): 65-72.

155 van Speybroeck, D. 1992. Regeneration strategy of mangroves along the Kenyan coast: A first approach. Hydrobiologia 247: 243-251 Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kulala Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6 Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus.

Widiarti, A. and R. Effendi. 1989. Socio-economic aspects of brackishwater pond forest in mangrove forest complex. Symposium Mangrove Management in Indonesia. Biotrop Special Publication No. 37: 275-279. Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai Citanduy, buah simalakama konservasi ekosistem mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.

156

157

Bibliografi Publikasi Asli

BAGIAN I: Pendahuluan 1. Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P.C. Purnama. 2003. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Biodiversitas 4 (2): 130-142. 2. Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40. 2b. Setyawan, A.D., Sutarno, dan A. Susilowati. 2002. Biodiversitas pada Tingkat Genetik, Spesies, dan Ekosistem Mangrove di Jawa. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS. BAGIAN II: Kajian Terkini Mangrove di Jawa Tengah 3. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis. Biodiversitas 6 (2): 90-94. 4. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198. 5. Setyawan, A.D., K. Winarno, Indrowuryatno, Wiryanto, dan A. Susilowati. 2008. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah 3. Diagram Profil Vegetasi. Biodiversitas (submitted). 6. Setyawan, A.D., K. Winarno, Indrowuryatno, Wiryanto, dan Suranto. 2008. Keanekaragaman Sonneratia alba di Pesisir Pantai Jawa Tengah Berdasarkan Pola Pita Isozim Esterase dan Peroksidase. Biodiversitas (submitted). 7. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2005. Potensi Eutrofikasi Kandungan Nutrien pada Sedimen Tanah Mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5 (1): 12-17. 8. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2004. Pencemaran Logam Berat Fe, Cd, Cr, dan Pb pada Lingkungan Mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 4 (2): 45-49. 9. Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Biodiversitas 7 (3): 282-291. BAGIAN III: Beberapa Permasalahan dan Penanganannya 10. Setyawan, A.D., A. Susilowati, dan Wiryanto. 2002. Habitat Reliks Vegetasi Mangrove di Pantai Selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256. 11. Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163. 12. Winarno, K., dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama Konservasi Ekosistem Mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72. 13. Setyawan, A.D. 2003. R E V I E W: Pengaruh Tumpahan Minyak Bumi terhadap Ekosistem Mangrove, Upaya Mitigasi dan Restorasinya. Enviro (submitted). BAGIAN IV: Penutup 14. Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P. C. Purnama. 2004. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi. Biodiversitas 4 (2): 105-118.

158

Key words index:

ammonium, phosphate Cd Central Java Central Java Province Citanduy river composition and vegetation structure conservation problems Cr density direct use diversion diversity ecosystem ecotone esterase Fe heavy metals isozyme Java land use

73 80 61, 73, 80, 33, 45, 86, 115 121 45 115 80 103 86 121 103 15 15 61 80 80 61 3, 130, 143 86

management mangrove mangrove ecosystem mangrove environment mangrove plants mangrove remnant nitrate nutrient oil spills organic matter Pb peroxidase Rembang Regency restoration sedimentation Segara Anakan lagoon Sonneratia alba species diversity

3, 130, 143 3, 15, 80,121, 130, 143 86, 115 73 33, 45 103 73 73 130 73 80 61 115 3, 130, 143 121 121 61, 103 33

159

Lampiran:

Lampiran xxx. Bentuk lanskap dan penutupan vegetasi/lahan pada 20 area mangrove di Jawa Tengah berdasarkan peta topografi tahun 1963-1965 dan citra satelit Landsat 7 TM periode Juli-September 2001. Kotak = 1 km2.

Gambar xxx. Muara sungai Wulan, Demak

Gambar xxx. Muara sungai Sigrogol/Lobang (Babalan), Demak

160

Gambar xxx. Muara sungai Serang (Kedung), Demak

Gambar xxx. Pesisir pantai Bulak, Jepara

Gambar xxx. Pesisir pantai Telukawur, Jepara

161

Gambar xxx. Pesisir pantai Tayu, Pati

Gambar xxx. Muara sungai Juwana, Pati

Gambar xxx. Pesisir pantai Pecangakan, Pati

162

Gambar xxx. Pesisir pantai Pasar Banggi, Rembang

Gambar xxx. Pesisir pantai Lasem, Rembang

Gambar xxx. Muara sungai Bogowonto, perbatasan Purworejo-Kulonprogo

163

Gambar xxx. Muara sungai Cakrayasan, Purworejo

Gambar xxx. Muara sungai Wawar, Purworejo

Gambar xxx. Muara sungai Lukulo, Kebumen

164

Gambar xxx. Muara sungai Cingcingguling, Kebumen

Gambar xxx. Muara sungai Ijo (Pantai Lohgending, Ayah), Kebumen

Gambar xxx. Muara sungai Bengawan, Cilacap

165

Gambar xxx. Muara sungai Serayu, Cilacap

166

18 20

19

Gambar xxx. Laguna Segara Anakan, Cilacap: 18 = Tritih, 19 = Motean, 20 = Muara Dua.

Pada masa lalu, Propinsi Jawa Tengah merupakan pemiliki lahan mangrove 167 tunggal terluas di pulau Jawa, yakni di Segara Anakan, Cilacap. Namun tingginya laju sedimentasi dari sungai Citanduy dan sungai-sungai lainnya yang bermuara di dalamnya menyebabkan kawasan tersebut cenderung berubah menjadi ekosistem daratan, sehingga keberadaan mangrove menjadi terdesak. Hal ini diperparah dengan tingginya laju penebangan pepohonan untuk pembuatan arang. Ekosistem mangrove di Jawa Tengah juga menarik dikaji karena adanya perbedaan menyolok antara fisiografi pantai utara yang bertanah lempung dan berombak relatif tenang dengan pantai selatan yang bertanah pasir dan berombak sangat kuat. Oleh karena itu, ekosistem mangrove di kawasan ini perlu dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan gambaran kondisi terkini, memahami kondisi-kondisi yang dapat mengancam kelestariannya, serta upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga kelestariannya. Pemahaman yang spesifik terhadap kondisi mangrove di Jawa Tengah perlu pula dipahami dari sudut pandang yang lebih luas kondisi keseluruhan di pulau Jawa, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan lengkap.

Related Documents


More Documents from "Firdaus_prtm"

B010105
December 2019 2
B040215
December 2019 2
B050102
December 2019 2
B050103
December 2019 2
B050108
December 2019 2
B050109
December 2019 3