Berumur Panjang itu Ternyata Tidak Selalu menyenangkan Bagikan Kemarin jam 21:00 Seorang kenalan yang sudah sekian lama tidak ketemu, datang ke Malang. Kebetulan ia berniat singgah di kampus, ingin menemui saya. Semula tidak menyangka kalau akan ketemu, karena bentuk bangunan kampus yang dulu ia kenali, ternyata sudah berubah. Bahkan dia menyangka, bahwa kampus dengan tampilan baru yang ia lihat, sudah ganti pemilik. Ia menyangka, oleh pemilik baru itulah bangunan lama dirombak, disesuaikan dengan keinginannya. Setelah mencoba masuk, ternyata ketemu saya. Ia sangat terkejut, menyaksikan kampus yang pada sekitar 15 tahun lalu, berukuran kecil dengan bangunan lama yang sederhana, telah dirombak menjadi baru, yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Ia mengatakan hampir tidak percaya bahwa yang sedang ditemuinya adalah saya, yang sudah sekian lama tidak ketemu. Kenalan yang saya maksud tersebut memang tahu banyak tentang IAIN Malang. Karena beberapa tahun, dulu ia ikut mengajar Bahasa Inggris di kampus ini. Dalam kesempatan itu, dia menunjukkan keheranannya atas perubahan wajah kampus. Saya juga jelaskan bahwa sekarang IAIN malang yang ia kenal dulu telah berubah menjadi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Saya juga menjelaskan bahwa di kampus ini tidak saja dikembangkan ilmu pendidikan agama sebagaimana dulu, tetapi sudah dibuka beberapa fakultas lain, yaitu Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Humaniora dan Budaya, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Syariáh dan Fakultas Sains dan Teknologi. Lebih kaget lagi, dia setelah tahu bahwa jumlah mahasiswa, dosen, dan karyawan sudah bertambah berlipat ganda dibanding dulu ketika sehari-hari dia masih ikut mengajar Bahasa Inggris di IAIN Malang ini. Sudah lebih dari 15 tahun Warga Negara Swiss ini meninggalkan Malang. Sejak itu, dia mengaku telah berpindah dari satu negara ke negara lain. Terakhir, sudah lima tahun ini tinggal di Pilipina. Tetapi dia mengaku terus terang, bahwa sekalipun lama meninggalkan Indonesia dan berpindah-pindah ke beberapa negara lain, ia merasa masih
sebagai penduduk Indonesia. Ia mengaku sangat mencintai dan karena itu betah tinggal di Indonesia. Dia mengatakan bahwa bangsa Indonesia sangat ramah, penuh persaudaraan, dan yang lebih penting lagi, bahwa hidup di negeri ini sangat murah, sehingga menjadikannya berat meninggalkan negeri ini. Dalam pertemuan dengan saya ketika itu, tidak sebagaimana biasa dulu, ia banyak bercerita tentang kehidupan orang tuanya yang masih tinggal di Swiss. Hal itu saya rasakan aneh, karena dulu ia tidak pernah bercerita tentang itu. Ia mengaku bahwa pada akhir-akhir ini kemanapun pergi, pada setiap natal, ia mengharuskan dirinya pulang menengok orang tuanya. Sekalipun sesungguhnya, di mana-mana semua orang bisa merayakan natal, tetapi dirasakan sekali ada perasaan beda bernatalan dengan kedua orang tuanya. Mendengar cerita itu, saya teringat kebiasaan kaum muslimin Indonesia, ke mana pun mereka pergi, maka pada hari raya idul fitri selalu mudik, merayakan hari besar Islam bersama sanak pamili di kampung kelahirannya masing-masing. Dia menceritakan bahwa ayahnya saat ini sudah terlalu tua, berumur lebih dari 98 tahun. Sedangkan ibunya lebih muda, selisih 7 tahun dari ayahnya, tetapi kondisinya sudah lebih lemah. Ayahnya, sekalipun kondisi badannya sudah lemah, tetapi pikiran dan ingatannya masih kuat. Ayahnya masih bisa bermain kartu sebagaimana dilakukan oleh orang tua di panti jompo. Berbeda dengan ayahnya, ibunya sudah lemah, sudah tidak bisa berjalan, termasuk mengurus kebutuhannya sendiri, seperti mandi, berpakaian, termasuk makan sehari-hari. Semua memerlukan pertolongan pembantunya yang harus dibayar mahal setiap bulannya. Orang tuanya, selain dia masih punya dua anaknya lagi yang bertempat tinggal di Swiss. Tetapi sebagaimana tradisi masyarakat di negeri itu, tidak lazim anak dibebani tanggung jawab mengurus orang tua, sekalipun mereka itu adalah ayah dan ibunya sendiri. Sebagaimana pada umumnya di Swiss, orang tua yang sudah udzur lebih suka tinggal di panti jompo. Demikian pula orang tua kenalan saya tersebut, menyewa semacam kamar khusus, dengan biaya dan perawatan khusus pula. Setiap bulan, mereka harus membayar ongkos panti jompo, jika dirupiahkan sekitar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta) setiap bulannya. Besarnya ongkos itu belum termasuk, biaya obat-
obatan manakala mereka sakit. Pada natal yang lalu, ketika pulang ke Swiss, ia hanya mendapatkan keluhan dari orang tuanya, bahwa mereka tidak memiliki keinginan lain di usia setua itu kecuali segera mati. Dia ceritakan bahwa tatkala masih berusia kerja, ayah dan ibunya tergolong orang yang bersemangat, memiliki cita-cita, dan atau kemauan tinggi. Tetapi pada saat ini, semua itu sudah hilang. Mereka sudah tidak memiliki cita-cita, harapan, keinginan, dan bahkan kemauan hidup lebih lama lagi. Sehari-hari, mereka hanya tidur dan beristirahat di tempat tidur, menuruti instruksi, dan kemauan pembantunya, yang setiap bulan juga harus dibayarnya sendiri di panti jompo itu. Kadang, katanya orang tuanya masih malas bangun dari tidur, tetapi pembantunya memanggilnya agar segera bangun untuk menjaga kesehatannya. Mendengar cerita itu, saya pun terbayang apa yang seringkali saya saksikan sendiri. Banyak orang berdoa agar dikaruniai umur panjang. Juga banyak orang yang merasa sedih tatkala orang tuanya baru berumur antara 70 sampai 80 tahun sudah meninggal. Menngikuti cerita itu, semestinya menyadarkan pada siapapun, bahwa seseorang yang berumur terlalu panjang, ternyata menyusahkan diri sendiri dan bahkan mungkin juga terhadap keluarganya. Orang yang berumur menjelang seratus tahun, ternyata yang diharapkan olehnya bukan umurnya bertambah, melainkan sebaliknya, justru berharap agar segera meninggal dunia. Belajar dari kenyataan tersebut, tatkala orang telah berumur sekitar 80 tahun lalu meninggal, maka sesungguhnya justru beruntung. Sekalipun pada awalnya diratapi, -----karena lazimnya begitu, Ia tidak menyusahkan dirinya sendiri dan juga merepotkan keluarganya. Tetapi sesungguhnya, lebih dari itu semua, kapan pun orang meninggal, entah di umur berapa, yang terpenting adalah yang bersangkutan dalam keadaan beriman kepada Allah swt., berakhlak mulia, dan kaya amal sholeh. Insya Allah, justru selamat dan bahagia. Wallahu a’lam.