Bencana Situ Gintung Edit1

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bencana Situ Gintung Edit1 as PDF for free.

More details

  • Words: 2,267
  • Pages: 6
TINJAUAN BENCANA SITU GINTUNG DARI SUDUT PANDANG PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Firman M. Hutapea, MUM Kasubdit Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan dan Metropolitan Wilayah II (Jawa – Bali)

Pendahuluan Pada tanggal 27 Maret 2009 pagi kita semua dikagetkan oleh berita mengenai jebolnya tanggul Situ Gintung. Kejadian tersebut menyita perhatian masyarakat begitu besar, bahkan Bapak Presiden dan Wakil Presidenpun menyempatkan diri untuk meninjau bencana tersebut langsung di lapangan. Kita semua terkejut dengan terjadinya bencana tersebut, karena selama ini kawasan Situ Gintung dikenal sebagai kawasan yang asri dan menjadi salah satu alternatif tujuan wisata. Tepi Situ Gintung berkembang menjadi tempat wisata yang memanfaatkan keindahan situ tersebut, serta menjadi alternatif bagi yang ingin menikmati makan siang yang nyaman karena di tepi situ tersebut juga berkembang beberapa restoran. Namun tanpa diduga bencana itu terjadi, dan keindahan situpun menjadi hilang. Namun yang paling menyedihkan adalah akibat jebolnya tanggul situ tersebut kawasan perumahan di bagian hilir Situ Gintung disapu oleh air bah dan mengakibatkan 99 korban jiwa, ratusan rumah hancur, dan sekitar 1000 orang harus mengungsi. Bencana tersebut, walaupun tidak sebesar bencana tsunami di Aceh, namun tetap membuat kita terharu, sedih dan tentunya juga bertanya-tanya, kenapa bencana tersebut bisa terjadi dan kenapa begitu besar kerugian yang ditimbulkannya, baik kerugian jiwa maupun materil. Tingginya curah hujan yang terjadi sejak sehari sebelum jebolnya tanggul yang mengakibatkan terjadinya limpasan air di atas tanggul (overtopping) dilaporkan sebagai salah satu penyebab jebolnya tanggul situ tersebut. Namun demikian, yang perlu menjadi perhatian kita adalah kenapa begitu banyak korban jiwa dan kerugian material lainnya. Kenapa di bagian hilir situ berkembang kawasan perumahan yang padat ? Bagaimana arahan pemanfaatan ruang di bagian hilir situ ? Hal-hal itulah yang akan menjadi bahasan dalam tulisan ini.

Perkembangan Kawasan Situ Gintung Situ Gintung adalah sebuah danau kecil buatan yang terletak di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (pemekaran dari Kabupaten Tangerang), Provinsi Banten. Situ tersebut dibangun pada jaman Belanda sekitar tahun 1932 – 1933. Semula situ ditujukan sebagai sumber air irigasi untuk persawahan,, yaitu untuk mengairi 2 (dua) daerah irigasi yang berada di bagian hilir situ tersebut, yakni DI Gintung I seluas 20 Ha dan DI Gintung II seluas 25 Ha. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, kawasan hilir Situ Gintung sampai dengan tahun 80-an masih berupa sawah. Namun demikian, areal persawahan tersebut secara bertahap berubah fungsi menjadi perumahan. Pada tahun 1982 berdiri pula Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Sudah tidak ada lagi lahan sawah di bagian hilir, dan sebaliknya berkembang kawasan perumahan baik perumahan yang kumuh dan padat maupun perumahan elit. Kondisi di bagian hilir Situ Gintung tersebut adalah seperti yang ditunjukan dalam Peta 1. Tidak mengherankan jika kawasan Situ Gintung tersebut berkembang dengan pesat, karena kawasan tersebut mempunyai aksesibilitas yang baik ke Jakarta. Di sekitar kawasan tersebut juga berkembang fasilitas pendidikan tinggi selain UMJ, seperti STIE Achmad Dahlan dan juga UIN Syarifhidayatullah. Fungsi situ pun berubah, tidak lagi berfungsi sebagai sumber air irigasi, tetapi sekarang ini (sampai dengan sebelum bencana) lebih berfungsi sebagai pengendali banjir, sebagai tempat wisata, dan juga sebagai tempat menanam ikan bagi penduduk setempat. Begitupun luasnya yang semakin berkurang dan semakin menyempit. Pada awalnya areal situ gintung mempunyai luas 31 Ha, namun saat ini hanya tinggal 21 Ha. Pada waktu Belanda membangun Situ Gintung, tentunya diyakini bahwa kalau seandainya tanggul situ tersebut jebol pasti tidak akan menimbulkan kerugian yang besar apalagi kerugian jiwa, karena pada saat itu di bagian hilir Situ Gintung terhampar sawah yang pengairannya diambil dari situ tersebut. Namun sekarang ini bagian hilir tersebut telah berubah menjadi tempat hunian penduduk yang padat. Timbul pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi ? sebenarnya ini sudah menjadi fenomena yang umum. Banyak terjadi alih fungsi lahan tanpa adanya kontrol yang kuat dan tegas dan tanpa adanya sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran. Selain kondisi di bagian hilir yang sudah sangat berubah, kondisi di bagian hulu pun demikian. Catchment area Situ Gintung juga merupakan kawasan hunian yang padat. Selain itu, di tepi Situ Gintung berkembang tempat rekreasi, restoran, perumahan, dan juga fasilitas pendidikan. Namun demikian, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa di areal sempadan situ (selebar 50 meter dari tepi situ), yang berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, dilarang mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha, namun di daerah sempadan situ tersebut berkembang bangunan permanen seperti sebagian

komplek dosen UI, fasilitas pendidikan (gedung UIN), dan juga rumah masyarakat umum. Pemanfaatan ruang sempadan situ tersebut adalah seperti yang ditunjukan dalam Peta 2. Bencana Situ Gintung dari Sudut Pandang Penataan Ruang Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa terjadi perkembangan pemanfataan ruang baik di hilir maupun di hulu Situ Gintung, khususnya di sempadan situ, yang demikian seperti yang telah diuraikan diatas ? Apakah tidak ada rencana tata ruang yang mengatur pemanfaatan ruang di sana ? Bagaimana dengan pengendalian pemanfaatan ruangnya ? Pemda Kabupaten Tangerang telah menetapkan RTRW Kabupaten Tangerang melalui Perda Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, yang kemudian dirubah dengan Perda nomor 5 tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Tk. II Tangerang nomor 3 tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Rencana tersebut masih bersifat umum dan belum secara rinci mengatur pemanfaatan ruang di kawasan Situ Gintung. Dalam RTRW Kabupaten Tangerang tersebut, wilayah Kabupaten Tangerang bagian selatan (sekarang menjadi Kota Tangerang Selatan), dimana Situ Gintung berada, diarahkan sebagai kawasan perkotaan, yaitu seperti yang ditunjukan dalam Peta 3. Namun demikian, rencana tersebut belum mengatur secara rinci alokasi ruang menurut jenis dan intensitas

kegiatan yang diarahkan untuk memanfaatkan ruang tersebut, sehingga tidak ada kejelasan kegiatan apa dan seberapa besar yang dapat dikembangkan di kawasan Situ Gintung tersebut. Kabupaten Tangerang belum merinci RTRW tersebut ke dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) khususnya untuk kawasan Situ Gintung, yang seharusnya memuat rencana pemanfaatan ruang secara lebih rinci, yang menyangkut antara lain jenis kegiatan yang dapat dikembangkan, besarannya, KDB dan KLB bangunan, serta peraturan zonasinya. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab kurang terkendalinya pemanfaatan ruang di kawasan Situ Gintung. Dengan tidak adanya RDTR Kawasan Situ Gintung, maka perkembangan pemanfaatan ruang di kawasan Situ Gintung menjadi tidak terkendali. Hasilnya adalah seperti yang telah diuraikan diatas, yaitu terjadinya perubahan fungsi ruang dari persawahan menjadi perumahan bahkan menjadi fasilitas pendidikan tinggi. Sempadan situ pun berkembang menjadi perumahan dan bangunan permanen lainnya. Begitu bencana terjadi, air bah pun menyapu apapun yang ada di bagian hilir situ tersebut terutama area yang dulunya berupa sawah. Area yang terkena air bah tersebut selanjutnya disebut Area Terdampak yang digambarkan dalam Peta 4. Dari uraian diatas dapat disimpulkan pemanfatan ruang di kawasan Situ Gintung, baik di hilir maupun di hulu (khususnya di daerah sempadan) sudah tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang yang seharusnya disesuaikan dengan kaidah-kaidah penataan ruang. Seharusnya arahan pemanfaatan ruang tersebut dimuat dalam rencana tata ruang, mulai dari rencana tata ruang wilayah kabupaten Tangerang yang masih bersifat umum sampai dengan rencana tata ruang yang bersifat rinci yaitu rencana detail tata ruang.

Penanganan Pasca Bencana Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen PU, tanggul Situ Gintung yang jebol akan diperbaiki dengan struktur yang lebih kokoh dan Situ Gintung akan difungsikan kembali seperti semula. Dalam rencana pemulihan Situ Gintung tersebut termasuk didalamnya rencana pembuatan saluran (sungai) untuk mengalirkan air limpahan situ dari spillway sampai ke Kali Pesanggrahan. Sungai tersebut direncanakan akan dibuat dengan lebar 6 meter agar cukup untuk menampung aliran air dari Situ Gintung.

Dalam upaya penanganan pasca bencana, kembali panataan ruang menjadi alat yang sangat vital. Sebelum areal yang terkena bencana (area terdampak) dibangun kembali, terlebih dahulu perlu direncanakan dengan baik bagaimana ruang tersebut sebaiknya dikembangkan. Dengan sudah banyaknya penduduk yang tinggal di kawasan hilir Situ Gintung yang merupakan areal terdampak, bahkan beberapa sudah memiliki serifikat tanah dan juga IMB, tentunya akan sangat tidak mudah untuk menata kembali kawasan situ Gintung. Terdapat beberapa opsi yang dapat diterapkan untuk menata kembali Kawasan Situ Gintung, yaitu : 1. Memindahkan penduduk yang terkena bencana ke tempat lain yang lebih aman, membongkar bangunan-bangunan yang masih ada, dan menjadikan areal terdampak menjadi ruang terbuka hijau, serta dapat pula dikembangkan fasilitas umum seperti lapangan olah raga, dsb. 2. Mengijinkan kembali masyarakat korban bencana untuk membangun kembali di tanah milik mereka semula di area terdampak, dengan harapan bencana tidak akan terjadi lagi karena tanggul akan diperbaiki dan diperkuat strukturnya. Namun demikian tetap diperlukan building code tertentu agar bangunan yang dibangun kembali aman bila seandainya terjadi kembali bencana. Untuk lebih menjamin keamanan masyarakat yang kembali ke area yang beresiko bencana tersebut perlu dilakukan pengawasan secara rutin terhadap tanggul bendungan agar bila terjadi kerusakan bisa ditangani segera. Masyarakat yang tanahnya terpakai oleh alur sungai dan sempadan sungai perlu dipindahkan ke tempat lain, atau diberi ganti rugi yang wajar. 3. Menata kembali kawasan dengan metoda land consolidation agar semua masyarakat yang memiliki tanah dapat kembali ketempat semula, dengan kavling tanah yang lebih teratur walaupun lebih kecil. Dalam hal ini juga diperlukan building code tertentu agar bangunan yang dibangun kembali aman bila seandainya terjadi kembali bencana. Selain itu juga perlu dilakukan pengawasan rutin terhadap tanggul situ, agar keamanan masyarakat yang tinggal di area yang berisiko dapat tetap terjaga. Opsi kesatu merupakan opsi yang paling ideal, karena walaupun tanggul situ akan diperkuat sebaiknya di area terdampak tidak dikembangkan bangunan permanen, baik untuk perumahan maupun fungsi lainnya, karena kekuatiran akan terjadinya bencana kembali masih ada. Namun demikian, opsi tersebut tidak mudah untuk dilaksanakan karena selain membutuhkan biaya yang besar juga tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat yang lebih cenderung untuk kembali ke lokasi semula. Selain itu, di area terdampak tersebut masih terdapat bangunan UMJ yang rasanya tidak mungkin untuk dibongkar dan dipindahkan. Opsi kedua sesuai dengan aspirasi masyarakat namun tidak semua warga asal bisa kembali karena akan terdapat lahan yang terpakai oleh rencana rehabilitasi situ dan pembuatan sungai, termasuk sempadan sungai sehingga akan ada warga yang kehilangan tanahnya dan harus pindah ke tempat lain. Selain itu, walaupun struktur bendung diperkuat, namun tetap perlu ditetapkan building code tertentu yang dapat menjamin bila terjadi bencana kembali tidak akan menimbulkan kerugian yang besar. Untuk mengurangi kemungkinan terjanya kembali bencana jebolnya tanggul diperlukan adanya pengawasan yang ketat serta pemeliharaan terhadap tanggul. Namun demikian opsi ini akan menjadikan kawasan terdampak kembali menjadi kawasan perumahan yang kumuh. Opsi ketiga merupakan opsi yang paling baik untuk diterapkan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, rencana rehabilitasi situ dan alur sungai, meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, dan juga untuk meminimalisir kerugian bila terjadi kembali bencana. Bila opsi ketiga yang dipilih, maka perlu disusun rencana penataan kembali kawasan pasca bencana, agar kawasan tersebut kelak dapat menjadi kawasan yang teratur, aman, serta mempunyai prasarana dan sarana yang memadai. Mengingat areal terdampak tersebut mempunyai luas hanya sekitar 8 Ha, maka rencana yang diperlukan dalam rangka penataan kembali kawasan pasca bencana tersebut adalah rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL).

Saran Berubahnya fungsi Situ Gintung tersebut hanyalah salah satu dari banyak kasus. Masih banyak kasus yang sama terjadi di situ-situ lainnya. Hasil inventarisasi situ-situ di Jabodetabek oleh BBWS-CC yang dilakukan tahun 2008, Jabodetabek yang dulunya memiliki 202 situ tetapi kini hanya tinggal 184 situ. Hilangnya 18 situ tersebut diakibatkan oleh alih fungsi lahan yang dipergunakan untuk peruntukan lainnya. Situ-situ yang tersisa pun saat ini cukup memprihatinkan. Sebanyak 67 situ dari 184 situ dinyatakan rusak dan tiga lainnya dalam kondisi kurang baik. Bila dilihat secara nasional, diyakini bahwa situ yang hilang dan yang kondisinya memprihatinkan tersebut tentu jumlahnya lebih banyak lagi. Belajar dari bencana yang terjadi di Situ Gintung dan juga dengan melihat kondisi situ-situ lainnya yang kondisinya sudah sangat menurun, maka keberadaan situ harus mendapat perhatian yang besar. Selain itu, perlu dilakukan perlindungan terhadap situ-situ tersebut agar tetap lestari dengan fungsi yang tidak berubah. Dalam hal ini peranan rencana tata ruang, baik yang bersifat umum (rencana tata ruang wilayah) maupun rinci (rencana detail tata ruang), menjadi sangat penting, karena dalam rencana tata ruanglah ditetapkan keberadaan situ-situ tersebut dan diatur pemanfaatan ruang di situ dan sekitarnya yang tentunya dengan mempertimbangkan kepentingan kelestarian situ dan juga dengan mencegah atau meminimalisir kemungkinan terjadinya korban bila terjadi bencana. Untuk itu, dan sejalan pula dengan UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sudah saatnya setiap kabupaten/kota memiliki RTRW dan RDTR yang baik yang disusun dengan memenuhi kaidah-kaidah penataan ruang. Selanjutnya, dokumen rencana tata ruang tersebut betul-betul dijadikan sebagai dasar dalam pembangunan wilayah dan seandainya terjadi pelanggaran maka sanksi harus benar-benar diterapkan. Dengan melihat kasus Situ Gintung tersebut maka ke depan Kota Tangerang Selatan yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang harus menyusun rencana tata ruang yang lengkap mulai dari RTRW Kota Tangerang Selatan yang masih bersifat umum sampai dengan rencana rinci yaitu RDTR. Selanjutnya rencana tata ruang tersebut harus benar-benar dijadikan sebagai acuan didalam pemanfaatan ruang. Untuk itu maka pertama-tama rencana tata ruang perlu disusun dengan baik dalam arti memenuhi kaidah-kaidah perencanaan tata ruang, dan selanjutnya rencana tata ruang yang telah disusun tersebut harus dilaksanakan dengan baik dalam arti semua harus mengacu pada rencana tata ruang. Bila terjadi pelanggaran harus dikenakan sanksi kepada pelanggar. Hal-hal tersebut telah diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, yang mengatur bagaimana hirarki rencana tata ruang (mulai dari rencana tata ruang pada tataran nasional sampai dengan rencana detail) berikut muatannya, serta bagaimana rencana tata ruang tersebut disusun serta bagaimana rencana tata ruang tersebut harus dimanfaatkan sebagai acuan dalam pelaksanaaan pembangunan berikut aturan-aturan sanksi bila terjadi pelanggran. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5.

Undang Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah penguasaan sungai dan Bekas Sungai. Djoko Mudjihardjo, Sri Hetty Susantin, A. Zubaidi, ”Keruntuhan Situ Gintung, Pelajaran Mahal Bagi Kita Semua”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air “Situ Gintung Segera Dibangun Lagi”, Kompas 18 Mei 2009

Related Documents