Koran Tempo_3april09_l_c1_banjir Bandang_terkatung-katung Di Situ Gintung

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Koran Tempo_3april09_l_c1_banjir Bandang_terkatung-katung Di Situ Gintung as PDF for free.

More details

  • Words: 670
  • Pages: 2
KORAN TEMPO › Print Article

Page 1 of 2

Edisi 03 April 2009

Terkatung-katung di Situ Gintung "Sepertinya tak ada yang serius" Pengantar: Musibah jebolnya tanggul Situ Gintung pada 27 Maret dini hari lalu juga menyisakan tanda tanya: kenapa ada ratusan permukiman di sekitar situ? Padahal ada larangan hunian 50 meter dari sempadan. Bagaimana mereka bisa membuat bangunan di sekitar situ? Tempo secara berseri mereportase persoalan itu. Sodikin, 57 tahun, masih syok. Rumahnya yang hanya sekitar 30 meter dari dinding bendungan yang merengkah, telah hilang terseret banjir. "Untung semua keluarga saya selamat," kata dia kepada Tempo kemarin. Pengalaman serupa dialami Laila, 42 tahun. Mereka berdua hanyalah segelintir dari warga yang bermukim di kawasan berbahaya: Situ Gintung yang dinding tanggulnya menahan lebih dari 1,5 juta meter kubik air. Rumah semipermanen yang dihuni Sodikin dan Laila terletak di RT 01 RW 08, Kelurahan Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan. Berdasarkan data di posko bencana Situ Gintung, wilayah RW 08 sedikitnya dihuni oleh 300 hingga 400 keluarga. Menurut Kepala Bidang Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Tangerang Yulianto, sesuai dengan aturan, 50 meter dari permukaan atas situ dilarang ada bangunan permanen. "Ini diatur dalam perda tentang garis sempadan sungai da situ," ujarnya kemarin. Selain peraturan daerah, ia melanjutkan, aturan juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentan Sumber Daya Air. Lalu, bagaimana ratusan warga bisa menghuni kawasan rawan bencana itu? Menurut Sodikin, sejak waduk Situ Gintung dibangun oleh Belanda pada pertengahan 1930-an, kawasan di sekitarnya masih berupa perkebunan dan sawah yang dikuasai oleh Dinas Pengairan. Namun kondisi itu berubah drastis pada 1970 hingga 1980-an. Sodikin menyatakan saat itu sawah yang ada tepat di pinggir waduk itu sudah mengering dan diduduki beberapa rumah. Pada 1988, Sodikin mengaku ditawari untuk membeli sepetak tanah di lokasi situ oleh seseorang yang mengaku kepanjangan tangan Almarhum Haji Bancil, pemilik lahan persawahan. Karena tak memiliki rumah, Sodikin yang sebelumnya menyewa kamar di kawasan Tanah Kusir pun membeli lahan seluas 13 x 3 meter. "Harganya Rp 2.500 per meter. Itu pun saya beli secara mencicil," ujarnya. Yang mengherankan, Sodikin tak mendapatkan sertifikat kepemilikan. Sang penjual mengatakan lahan itu berstatus garapan karena dimiliki oleh Departemen Pekerjaan Umum (PU). "Saya mau karena ada jaminan keamanan dan harganya murah," ujarnya. Sodikin mengungkapkan, lahan yang ditinggali warga sekitar waduk memang di bawah penguasaan Bancil, seorang tuan tanah pendud asli daerah itu. Tapi ia juga menyebut cerita lain, yakni Bancil hanyalah orang yang ditugasi mengawasi lahan milik Departemen PU. "Mana yang benar, saya nggak tahu. Yang jelas, kami membeli lahan berstatus garapan ini dari beliau," ujarnya. Lain lagi cerita Laila. Ia baru saja menempati rumah yang terletak kira-kira 50 meter dari bendungan yang jebol itu sekitar empat bulan lalu. Jika Sodikin menempati lahan di bagian landai, Laila justru membeli sepetak tanah di lahan curam dengan kemiringan sekitar 30 derajat, atau tepat di atas rumah Sodikin. Sejarah kepemilikan lahannya pun sama. Laila membeli tanah itu dari seseorang berinisial MU yang mengaku keturunan Haji Bancil. "Jika dirunut, mungkin saya ini pemilik lahan yang ketujuh karena memang yang punya sudah berganti-ganti." ujarnya. Baik Sodikin maupun Laila mengaku sempat mencoba mengurus sertifikat kepemilikan lahan itu. Tapi Badan Pertanahan Nasional Tangerang menolak mereka dengan alasan lahan tersebut adalah milik negara. Namun selama mereka tinggal di lokasi itu, Departemen PU tak pernah mengeluarkan larangan bermukim ataupun peringatan bahaya. "Sepertinya tak ada yang serius, sekalipun kami menempati lahan negara," tutur Laila. Pembiaran itu pun berlanjut hingga musibah terjadi. Kini, nasib warga sekitar Situ Gintung pun seolah menggantung. FERY FIRMANSYAH|JONIANSYAH

Peraturan Sempadan Situ

http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2009/04/03/Metro/krn.20090403.161314.id.html ... 4/6/2009

KORAN TEMPO › Print Article

Page 2 of 2

Pemerintah ternyata juga sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, dan Bekas Sungai.

„ Pada Pasal 10 butir a dinyatakan: Untuk danau dan waduk, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 50 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pasal 12 Pada daerah sempadan dilarang: a. b.

Membuang sampah, limbah padat, dan atau cair. Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.

ISTIQOMATUL HAYATI

http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2009/04/03/Metro/krn.20090403.161314.id.html ... 4/6/2009

Related Documents