AL MAQASYID SYARIAH DALAM FIKIH MALI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sosiologi system ekonomi syariah
Disusun Oleh : Najmi Suraiya
Dosen Pembimbing: T.Abrar,S.Ag.,MA
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM ALMUSLIM ACEH 2019
KONSEP MAQASHID AL-SYARI’AH
A. Pendahuluan Konsep maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam alSyatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.1 Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga
tingkatan,
yaitu:Maqashid
dharûriyât, Maqashid
hâjiyat, dan Maqashid
tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyâtmaksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan,
semisal
akhlak
yang
mulia,
menghilangkan
najis,
dan
menutup
aurat.Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : 1. menjaga agama (hifzh ad-din); 2. menjaga jiwa (hifzh an-nafs); 3. menjaga akal (hifzh al-‘aql); 4. menjaga keturunan (hifzh an-nasl); 5. menjaga harta (hifzh al-mal)2.
1
Ismail, F. (1995). Asas muamalah dalam Islam. Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.hal 144.
Secara substansial maqasid al-syari'ah mengandung kemashlahatan, baik ditinjau dari maqasid al-syari'(tujuan Tuhan) maupun maqasid al-mukallaf (tujuan Mukallaf).2 Dilihat dari sudut tujuan Tuhan,Maqasid al- Syariah mengandung empat aspek, keempat aspek inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini. 1. Tujuan awal dari Syari' (Allah dan rasul-Nya) menetapkan syariah yaitu untuk kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. 2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami. 3. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan. 4. Penetapan Syari’ah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum yakni terhindar dari mengikuti Hawa nafsu.
B. Pembahasan a. Pengertian Maqashid al-Syari’ah Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء5 artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. Didalam Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura:
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orangorang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)
2
Iswandi, A. (2014). Maslahat memelihara harta dalam sistem ekonomi Islam. Salam; Jurnal Filsafat Dan Budaya Hukum, 1(1), 19–32. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v1i1.1522
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13) Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at.3 Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunyaKonsep Maqashid Syari’ah menurut alSyatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: “Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.” Setelah menjelaskan definisi maqashid dan Syari’ah secara terpisah kiranya perlu mendefinisikan Maqashid Syari’ah setelah digabungkan kedua kalimat tersebut (Maqashid Syari’ah). menurut Asafri Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka.4 Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus, beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah dan funsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat”: وضعت.... لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا هذه الشريعة Artinya:
“Sesungguhnya
syariat
itu
ditetapkan
bertujuan
untuk
tegaknya
(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”. االحكام مشروعة لمصالح العباد Artinya: “Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.
3
4
Jauhar, A. al-M. H. (2009). Maqashid syariah. Jakarta, Indonesia: Amzah.hal 234
Karim, A. A. (2014). Sejarah pemikiran ekonomi Islam (Edisi 4). Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada. Hal 165.
Dari ungkapan al-Syatibi tersebut yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri bisa dikatakan bahwa Al- Syatibi tidak mendefinisikan Maqashid Syariah secara konfrehensif Cuma menegaskan bahwa doktrinMaqasid Al Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi posisi maslahat sebagai ‘illat hukum
meletakkan
atau
alasan
pensyariatan
hukum
Islam,10 berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan
berulang-ulang,
bahwa maslahat itu
bukanlah ‘illat atau motif
(al-
ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.5 Mengapa An-Nabhani mengatakan hikmah tidak dikatakan ‘illat? Karena menurut ia nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya firman Allah Swt dalam Alqur’an Surat al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi:
Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lil (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lil. Jadi maksud ayat ini, bahwa hasil (alnatijah) diutusnya Muhammad saw adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syariat. Dari penjelasan diatas memang tidak ada satu ketegasan tentang definisi Maqashid Syari’ah namun demikian ada sebagian Ulama mendefinisikan Maqashid Syariah sebagai mana penulis kutip ketika kuliah bersama Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A yaitu: المقاصد العام للشارع في تشريعة االحكام هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم وتحسناتهم
5
Hal 150
Mardani. (2013). Fiqh ekonomi syariah: Fiqh muamalah. Jakarta, Indonesia: Kencana.
Artinya: Maqashid Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat dan Tahsiniat mereka. Disini penulis bisa menyimpulkan Bahwa Maqashid Syari’ah adalah: konsep untuk mengetahui Hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitumashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).6
b. Syariah ditetapkan untuk kemaslahatan Hamba didunia dan di akhirat. Ibnu qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hokum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid alKhamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta. Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصدdan التحسينات مقاصد. Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling 6
Nazir, H., & Muhammad, A. (2004). Ensiklopedi ekonomi dan perbankan syariah. Bandung. Hal 132.
bertentangan.
Dalam
konteks
ini
level Dharuriyyat menempati
peringkat
pertama
disusul Hajiyyat dan Tahsiniyyat. level Dharuriat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan diatas. Sementara level Hajiyyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level Tahsiniyyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat.Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.7 Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah, berikut ini akan dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas masing-masing. 1. Memelihara Agama Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama. b. memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya. c. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang
7
Al-Qardhawi, Y. (2007). Fiqih maqashid syariah. Jakarta, Indonesia: Pustaka alKautsar. Hal 160.
terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya. 2. Memelihara jiwa Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia. b. memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya. c. memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang. 3. Memelihara Aqal Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal. b. Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. c. Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi aqal secara langsung. 4. Memelihara keturunan Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam. b. memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis. c. memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan. 5. Memelihara Harta Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta. b. memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal. c. memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama. 8
8
Al-Assal, M. (1999). Sistem, prinsip, dan tujuan ekonomi Islam. Bandung, Indonesia: Pustaka Setia.
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hokum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
3. Kesimpulan Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء5 artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga
tingkatan,
yaitu:Maqashid
dharûriyât, Maqashid
hâjiyat, dan Maqashid
tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyâtmaksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan,
semisal
akhlak
yang
mulia,
menghilangkan
najis,
aurat.Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : 1. menjaga agama (hifzh ad-din); 2. menjaga jiwa (hifzh an-nafs); 3. menjaga akal (hifzh al-‘aql); 4. menjaga keturunan (hifzh an-nasl); 5. menjaga harta (hifzh al-mal).
dan
menutup
Daftar Pustaka Ismail, F. (1995). Asas muamalah dalam Islam. Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.hal 144. Iswandi, A. (2014). Maslahat memelihara harta dalam sistem ekonomi Islam. Salam;Jurnal Filsafat Dan Budaya Hukum, 1(1), 19–32. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v1i1.1522 Jauhar, A. al-M. H. (2009). Maqashid syariah. Jakarta, Indonesia: Amzah.hal 234 Karim, A. A. (2014). Sejarah pemikiran ekonomi Islam (Edisi 4). Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada. Hal 165. Mardani. (2013). Fiqh ekonomi syariah: Fiqh muamalah. Jakarta, Indonesia: Kencana. Hal 150 Nazir, H., & Muhammad, A. (2004). Ensiklopedi ekonomi dan perbankan syariah. Bandung. Hal 132. Al-Qardhawi, Y. (2007). Fiqih maqashid syariah. Jakarta, Indonesia: Pustaka alKautsar. Hal 160. Al-Assal, M. (1999). Sistem, prinsip, dan tujuan ekonomi Islam. Bandung, Indonesia: Pustaka Setia.