Babi dan Domba Di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota. Letaknya di sebuah lembah yang hijau, dengan pepohonan yang rimbun. Disana tinggal beberapa keluarga saja, namun mereka memiliki usaha perternakan babi dan domba yang terkenal. Mereka memperkerjakan beberapa orang dari desa terdekat di sekitar lembah itu. Pekerja-pekerja ini, sehari-hari ditugaskan untuk mengembalakan domba dan memberikan makanan untuk babi. Apabila domba telah memilki bulu yang cukup lebat, mereka akan mengambil bulunya dengan cara memangkas dengan gunting khusus. Kemudian bulu domba tersebut diperdagangkan ke pasar kota atau menunggu pembeli datang. Begitupula dengan ternak babi. Apabila telah cukup besar dan memiliki berat yang cukup, akan diperdagangkan ke kota terdekat atau menunggu para langganannya datang membeli. Jumlah domba dan babi yang dimiliki cukup banyak di kampung itu, sehingga hampir setiap bulan terlihat banyak pembeli dari kota yang datang ke desa tersebut. Konon di zaman itu, binatang dapat berbicara satu dengan lainya dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh manusia. Kebetulan saja, kandang domba dan babi tidak berjahuan. Sehingga mudah diamati oleh para pekerja atau pemiliknya. Tanpa disadari kondisi kandang yang berdekatan itu, membuat babi dan domba kadang berbicara. Sehari-hari, kedua kandang itu ribut dengan suara domba dan babi. Tanpa disadari manusia yang tidak mengenal bahasa binatang pada saat itu, sebenarnya suara gaduh itu bertanda babi dan domba sedang mengejek satu dengan lainnya. Pada saat hari penjualan babi tiba. Beberapa babi besar biasanya dikeluarkan dari kandang untuk ditimbang dan diserahkan kepada pembeli yang telah memilih sebelumnya. Pada suatu ketika, seekor babi muda yang sudah cukup besar dipilih untuk dijual. Pemilik ternak itu menyuruh beberapa pekerja untuk segera mengeluarkan babi tersebut dari kandangnya. Namun tidak disangka, para pekerja sulit untuk menangkapnya. Berbeda dengan babi-babi dewasa pada umumnya. Babi muda itu berlari mengintari kandang agar supaya sulit ditangkap oleh para pekerja. Namun karena pekerja-pekerja tersebut telah berpengalaman, mereka berhasil menangkapnya dan mengikat kedua pasang kakinya dengan tali agar mudah dikeluarkan dari kandang. Terdengar babi muda itu berteriak sambil meronta-ronta. Mendengar teriakan babi muda yang ketakutan, terdengar teriakan dari kawanan domba dari kandangnya. “Penakut!” teriak mereka serentak. Kemudian salah satu dari kawanan domba itu berkata, “Kenapa kamu harus berteriak dan menangis begitu gaduh, padahal teman-temanmu yang lain jarang melakukan hal yang sama. Mereka semua pasrah akan nasibnya, karena pada suatu saat semua ternak akan disembelih para pembeli.” Mendengar ucapan dari domba dari kandang sebelah, seeokor babi dewasa kemudian membalasnya, “Hai domba yang sok bijaksana! Engkau dapat berkata demikian dengan entengnya, karena engkau tidak mengalami hal yang sama. Apabila setiap pekerja datang menghampirimu, dan mengeluarkanmu dari kandang, mereka hanya mencukur bulubulumu, kemudian memasukan kembali engkau kedalam kandang. Tetapi lihatlah kami, setiap kami diambil, tandanya sebentar lagi nyawa kami akan hilang. Disembelih oleh para pedagang kota. Hidup kami tidak lama seperti hidup yang kamu nikmati. Begitu tegakah engkau, melihat seorang anak babi di penghujung kematiannya, kemudian kalian semua metertawai dan mengejeknya?”
Seketika itu juga, terdengar kandang domba sunyi senyap. Mereka semua merenungkan apa yang dikatakan oleh babi dewasa tadi. Mereka kemudian menyadari, begitu beruntungnya mereka, dapat menikmati hidup lebih lama daripada seekor babi. Kemudian domba dewasa meminta maaf kepada babi dewasa tadi, atas perlakuan mereka yang tidak pantas. Babi dewasapun dapat memahami keadaan itu, lalu melanjutkan kegiatanya berguling dalam sedikit lumpur didalam kandangnya. Sementara babi muda tadi, berhasil dibawa oleh pembeli meninggalkan desa. ***
Cerita ini memberikan suatu pelajaran berharga bagi kita. Ketika orang lain mengalami masalah atau sedang kesusahaan, mungkin kita tidak dapat membantu atau memberi lebih banyak, namun bukan berarti kita diam. Berilah dukungan moral untuk menguatkan mereka.
Semut dan Belalang Di tengah hutan, hiduplah seekor semut yang sangat rajin. Setiap hari semut kecil ini selalu berusaha mengumpulkan makanan dan menyimpannya di dalam lumbung. Teriknya matahari dan derasnya air hujan, tidak menyurutkan semangat sang semut untuk mengumpulkan makanan. Dengan bersusah payah, sang semut bekerja keras untuk membawa makanan demi makanan yang berhasil dikumpulkannya untuk disimpan di dalam lumbung rumahnya. Pada suatu hari, ketika sang semut sedang berusaha membawa makanannya untuk di simpan di lumbung, sang semut bertemu dengan seekor belalang yang sedang asyik berjemur sambil bermalas-malasan. “Hai mut.. apa yang sedang kamu lakukan?” tanya belalang. “Aku sedang mengumpulkan makanan untuk kusimpan di lumbung” sahut sang semut. Belalang tertawa “untuk apa bersusah payah mengumpulkan makanan, bukankah di hutan banyak sekali makanan yang bisa kita santap?” “Itu memang betul lang, tetapi aku menyimpan makananku untuk persiapan musim dingin nanti” kata sang semut sambil berusaha mendorong makanan hasil temuannya ke lumbung. Belalang kembali tertawa sambil mengejek sang semut “Musim dingin masih lama, buat apa bersusah-susah sekarang? Toh masih banyak waktu untuk itu. Lebih baik kita bersenang-senang dulu”katanya sambil menyantap daun hijau yang ada di dekatnya. Sang semut tidak memperdulikan belalang yang sedang bermalas-malasan itu, dia tetap saja sibuk untuk mengumpulkan makanan demi makanan yang bisa dijumpainya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sang semut kembali bersiap-siap untuk mencari makanan lagi. Ketika dia membuka pintu rumahnya untuk pergi, dilihatnya belalang sedang asyik duduk sambil bermain gitar dan bermalas-malasan. Sang semut hanya menggelengkan kepala dan segera berlalu. Belalang yang melihat semut sudah mulai sibuk kembali mencari makan, hanya tertawa dan mengejek, “Buat apa susah..buat apa susah..susah itu tak ada gunanya,” senandung sang belalang mengiringi langkah semut yang hendak pergi. Demikianlah sepanjang hari sang semut sibuk mengumpulkan makanannya di lumbung sementara sang belalang asyik-asyikan bermain gitar, berjemur dan bermalas-malasan.
Setelah bekerja hampir sepanjang tahun, lumbung tempat persediaan sang semut hampir penuh, tetapi hal ini tidak membuat sang semut yang rajin itu menjadi malas. Dia masih tetap berusaha untuk mencari makanan untuk disimpan di lumbungnya. “Selagi masih ada kesempatan, aku harus terus berusaha untuk mengumpulkan makanan, sebab tidak ada yang tau berapa lama musim dingin akan berlangsung,” kata sang semut dalam hati. Sementara itu sang belalang, masih tetap saja bermalas-malasan dan bersenang-senang sepanjang hari. Musim gugur pun segera tiba. Pohon-pohon yang tadinya hijau, perlahan-lahan berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Rumput-rumput pun mulai mengering. Udara menjadi semakin dingin. Sang semut yang rajin tak putus harapan. Dia masih tetap berusaha untuk mencari makanan walaupun tempat persediaannya sudah penuh. Sedangkan sang belalang yang malas itu mulai sibuk mengumpulkan makanan untuk persediaan di musim dingin. Akhirnya musim dingin pun tiba. Sang semut yang rajin itu duduk dengan nyaman didalam rumahnya yang hangat sambil menikmati makanannya yang berlimpah. Sedangkan sang belalang yang malas itu hanya menyimpan sedikit persediaan makanan. Sang belalang berpikir, “Musim dingin akan segera berakhir, jadi buat apa susah-susah mengumpulkan makanan di lumbung.” Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tak terasa sudah sebulan berlalu dan musin dingin masih belum berakhir. Persediaan makanan sang belalangpun habis… dia hanya bisa memandang rumah sang semut yang nyaman dan hangat dari balik jendelanya untuk kemudian berusaha mencari makan di tengah-tengah musim dingin, tetapi dia tidak berhasil. Akhirnya dengan menahan malu, dia mengetuk pintu rumah sang semut… tok..tok..tok..tok.. sang belalang mulai mengetuk. Sang semut pun membuka pintu dan berkata “ada apa lang?” katanya. “Tolong berikan aku sedikit dari persediaan makananmu itu, karena persediaanku sudah habis, dan aku sangat kelaparan,” kata belalang mengiba. Sang semut tertawa “Enak saja kau lang… ketika aku bersusah payah mengumpulkan makananku, kau malah mengejekku. Dan sekarang kau minta makanan persediaanku?” kata semut sambil mengejek. “Pergilah, cari sendiri makananmu…,” kata sang semut melanjutkan. Belalang pun pergi meninggalkan rumah sang semut untuk mencari makanannya, tetapi dia tidak berhasil menemukan apa-apa. Ketika sang belalang hampir mati kedinginan dan kelaparan, sang semut datang untuk menolongnya dan mengajak belalang untuk tinggal di rumahnya yang hangat dan nyaman serta berlimpah makanan. ***
Pesan moral dari cerita diatas: Jangan sia-siakan hidup dengan bermalas-malasan. Karena upah kemalasan adalah bencana.
Semut dan Merpati Pada suatu hari, ketika musim panas, segerombolan semut-semut sedang berjalan beriringan sambil membawa makanan diatas kepala mereka. Semut-semut itu terlihat begitu kompak dan sangat bersahabat satu dengan yang lain. Pemimpin mereka adalah seekor semut gagah yang berjalan paling depan yang dengan cekatan selalu memberi aba-aba saat harus berbelok ataupun melangkah, agar makanan yang dibawa mereka, tidak jatuh ke tanah.
“Satu!!..dua!!..kiri!!..kiri..!!” Sang pimpinan memberi komando…”Awas!! di depan ada tanjakan!!” katanya lagi sebagai peringatan. Semut-semut yang lain cepat-cepat bersiapsiap agar makanannya tidak terjatuh dan mulai menanjak. “dibawah ada sungai, kita harus belok kekiri!” kata sang pemimpin lagi, rombongan semut di belakang mengikuti terus petunjuk dari pimpinan mereka hingga akhirnya mereka tiba di sarangnya. Setelah meletakan hasil bawaan mereka, semut-semut itu berpisah untuk mengerjakan tugas-tugas mereka yang lain. Adalah seekor semut yang masih muda belia. Rasa ingin taunya tentang dunia di luar sarangnya, begitu besar sehingga dia memberanikan diri untuk meminta iijin kepada sang pemimpin agar dapat diijinkan keluar dari sarang untuk memulai petualangannya. “ehmm..maaf pak pemimpin” kata semut muda itu terbata-bata. “Apa boleh aku pergi keluar untuk melihat-lihat? Aku berjanji kalau aku tidak akan pergi lama” katanya lagi. Sang pemimpin semut itupun menatap dengan penuh rasa sayang kepada semut muda itu “Anakku, jika engkau ingin pergi berjalan-jalan, aku tidak akan melarangmu. Tetapi berhatihatilah karena dunia di luar sarang ini sangat luas dan kejam” katanya dengan bijaksana. Alangkah senangnya hati semut muda itu. Setelah menyiapkan bekal untuk perjalanannya, berpamitanlah semut muda kepada sang pemimpin “Pak pemimpin, aku akan pergi sekarang,” katanya dengan penuh semangat. “Berhati-hatilah di jalan, dan segeralah pulang,” kata sang pemimpin sambil menepuknepuk bahu semut muda itu. Maka berangkatlah semut muda itu dengan penuh semangat dan sukacita. Kebetulan tak jauh dari sarang semut itu, terdapat sungai dengan air yang jernih. Karena rasa ingin tahunya, semutpun berjalan menelusuri jalan yang lembab, beberapa kali ia harus memanjat beberapa dahan pohon dan rerumputan. Semut muda berjalan tanpa mengenal lelah hingga akhirnya dia merasa sangat haus. Semut muda segera mencari air untuk diminumnya. Di kejauhan, dilihatnya mata air yang sangat jernih, lalu semut muda ini pun segera berjalan menuju mata air yang sejuk itu. Setelah dekat dengan mata air, semut muda sempat kebingungan, karena ternyata setelah dekat, letak mata air itu lebih tinggi dari tanah yang dipijaknya. Tetapi semut muda tidak kehilangan akal. Dia naik perlahan-lahan keatas sebuah batang rumput yang daunnya menjulur ke arah mata air itu. Saat dia hampir saja mencapai puncaknya, tiba-tiba semut muda terpeleset dan jatuh kedalam mata air. Semut muda berusaha untuk menyelamatkan diri, tetapi dia kesulitan karena dia tidak bisa berenang. Saat semut muda sedang bertarung antara hidup dan mati untuk menyelamatkan dirinya, seekor burung merpati yang sejak tadi asyik memperhatikan tingkah semut muda itu, tergerak oleh belas kasihan, lalu segera mematuk daun di pohon yang sedang dihinggapinya hingga jatuh ke dekat semut muda yang hampir tenggelam. Semut muda segera menggapai daun itu dan dengan bersusah payah dia berusaha untuk naik keatas daun. Ketika sampai di atas daun, semut muda menatap burung merpati dengan penuh rasa terima kasih. Burung merpati pun terbang kearah daun itu dan mendorong dengan paruhnya agar daun tersebut menepi kepinggir mata air. “Hai burung merpati, terima kasih atas pertolonganmu hari ini. Jika bukan karena engkau, aku sudah mati tenggelam tadi,” kata semut muda itu sambil berusaha untuk turun dari daun itu menuju ke tanah. Burung merpati menjawab “sama-sama semut. Apa yang sedang kau lakukan di tempat ini?” tanya merpati. “Aku sedang berjalan-jalan untuk melihat dunia di luar sarangku, lalu aku kehausan. Saat aku sedang memanjat rumput itu, aku terjatuh,” kata semut muda. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya merpati lagi.
“Aku akan kembali ke sarangku, karena ibu bapakku pasti sedang mencemaskan diriku,” jawab semut muda lagi. Sementara semut muda dan merpati sedang bercakap-cakap, mereka tidak menyadari bahwa ada bahaya yang sedang mengintai. Seorang pemburu sedang mengarahkan senjatanya kearah burung merpati dan siap menembaknya. Saat burung merpati menyadari keadaan itu, dia pun segera terbang ke atas meninggalkan semut muda sendiri. Melihat kejadian ini, semut muda segera berlari kearah si pemburu dan dengan sigap dia memanjat sepatu si pemburu dan masuk kedalam sepatu itu. Segera digigitlah kaki si pemburu. Pemburu menjerit karena kesakitan lalu segera melemparkan senjatanya ke bawah untuk cepat-cepat melepaskan sepatunya. Semut muda keluar dari sepatu sang pemburu lalu pergi meninggalkan tempat itu. “Terima kasih semut, kau sudah menyelamatkan nyawaku hari ini,” kata burung merpati. “Sama-sama burung merpati. Tadipun engkau sudah menyelamatkan nyawaku,” kata semut muda. Akhirnya merekapun berpisah.