BAB II TINJAUAN PUSTAKA PEDAGANG BESAR FARMASI (PBF) 2.1
Pengertian Pedagang Besar Farmasi (PBF)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi, menyebutkan: 1.
Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF, adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahanobat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan kegiatannya, PBF harus mengacu kepada Cara
Distribusi Obat yang Baik (CDOB). CDOB adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan untuk memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/ penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya. 2.2
Persyaratan Pedagang Besar Farmasi Suatu PBF baru dapat beroperasi setelah mendapat surat izin. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pedagang Besar Farmasi Pasal 4 (ayat 1) dinyatakan bahwa untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi; 2. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 3. Memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung jawab; 4. Komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir. 5. Menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi PBF. 6. Menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang dapat menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan; dan 7. Memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai CDOB. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal, PBF yang akan menyalurkan bahan obat juga harus memenuhi persyaratan: a. Memiliki laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk pengujian bahan obat yang disalurkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal; dan b. Memiliki gudang khusus tempat penyimpanan bahan obat yang terpisah dari ruangan lain. 2.3 Tugas dan Fungsi Pedagang Besar Farmasi Adapun tugas dan fungsi dari pedagang besar farmasi (PBF) itu sendiri dapat dilihat dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi adalah akan diuraikan sebagai berikut : 1.
Tugas Pedagang Besar Farmasi (PBF) a.
Tempat menyediakan dan menyimpan perbekalan farmasi yang meliputi obat, bahan obat, dan alat kesehatan
b.
Sebagai sarana yang mendistribusikan perbekalan farmasi ke sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang meliputi : Apotek, rumah sakit, toko obat berizin dan sarana pelayanan kesehatan masyarakat lain serta PBF lainnya
c.
Membuat laporan dengan lengkap setiap pengadaan, penyimpanan, penyaluran,
perbekalan
farmasi
sehingga
dapat
dipertanggungjawabkan setiap dilakukan pemeriksaan. Untuk toko
obat berizin, pendistribusian obat hanya pada obat-obatan golongan obat bebas dan obat bebas terbatas, sedangkan untuk apotek, rumah sakit dan PBF lain melakukan pendistribusian obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras dan obat keras tertentu 2.
Fungsi Pedagang Besar Farmasi (PBF) a.
Sebagai sarana distribusi farmasi bagi industri-industri farmasi
b.
Sebagai saluran distribusi obat-obatan yang bekerja aktif ke seluruh tanah air secara merata dan teratur guna mempermudah pelayanan kesehatan
c.
Untuk membantu pemerintah dalam mencapai tingkat kesempurnaan penyediaan obat-obatan untuk pelayanan kesehatan
d.
Sebagai penyalur obat-obatan golongan narkotika oleh PBF, yang memiliki izin khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
2.4
e.
Sebagai aset atau kekayaan nasional dan lapangan kerja
f.
Sebagai tempat pendidikan dan pelatihan.
Pemberian Perizinan Pedagang Besar Farmasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 Tahun 2014
Tentang Pedagang Besar Farmasi Pasal 7 (ayat 1 dan 2) dan pasal 8. 1. Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM dengan menggunakan contoh Formulir 1 sebagaimana terlampir. 2. Permohonan harus ditandatangani oleh Direktur/Ketua dan Apoteker calon penanggung jawab disertai dengan kelengkapan administratif sebagai berikut a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua; b. Susunan direksi/pengurus; c. Pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
d. Akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; e. Surat Tanda Daftar Perusahaan; f. Fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan; g. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; h. Surat bukti penguasaan bangunan dan gudang; i. Peta lokasi dan denah bangunan; j. Surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab; dan k. Fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab. 2.4.1 Tata Cara Pemberian Izin Pedagang Besar Farmasi Tata cara pemberian izin mendirikan PBF menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi yaitu: (1) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM, maka Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan verifikasi kelengkapan administratif; (2) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM, maka Kepala Balai POM melakukan audit pemenuhan persyaratan CDOB; (3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi kelengkapan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengeluarkan rekomendasi pemenuhan kelengkapan administratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Balai POM dan pemohon.
(4) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak melakukan audit pemenuhan persyaratan CDOB, Kepala Balai POM melaporkan pemohon yang telah memenuhi persyaratan CDOB kepada Kepala Badan. (4a) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Badan POM memberikan rekomendasi pemenuhan persyaratan CDOB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon. (5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) serta persyaratan lainnya yang ditetapkan, Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF. (6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), (4a) dan ayat (5) tidak dilaksanakan pada waktunya, pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. (7) Paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Balai POM. 2.4.2 Tata Cara Pemberian Pengakuan PBF Cabang Tata cara pemberian izin mendirikan Pedagang Besar Farmasi (PBF) cabang menurutPeraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014, yaitu : 1.
Untuk memperoleh pengakuan sebagai PBF Cabang, pemohon harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir 6 sebagaimana terlampir.
2.
Permohonan harus ditandatangani oleh Kepala PBF Cabang dan Apoteker calon penanggung jawab PBF Cabang disertai dengan kelengkapan administratif sebagai berikut : a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas Kepala PBF Cabang; b. Foto kopi izin PBF yang dilegalisasi oleh Direktur Jenderal; c. Surat penunjukkan sebagai Kepala PBF Cabang; d. Pernyataan Kepala PBF Cabang tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir;
e. Surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab; f. Surat bukti penguasaan bangunan dan gudang; g. Peta lokasi dan denah bangunan; h. Fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab 3.
Untuk permohonan pengakuan sebagai PBF Cabang yang akan menyalurkan bahan obat selain memenuhi persyaratan di atas harus melengkapi surat bukti penguasaan laboratorium dan daftar peralatan.
2.4.3 Masa Berlaku Izin Pedagang Besar Farmasi 1. Izin PBF dinyatakan tidak berlaku, apabila : a. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang; b. Dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau c. Izin PBF dicabut 2. Pengakuan PBF Cabang dinyatakan tidak berlaku, apabila : a. Masa berlaku izin PBF habis dan tidak diperpanjang; b. Dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau c. Pengakuan dicabut. 2.5
Penyelenggaraan Pedagang Besar Farmasi
Penyelenggaraan Pedagang Besar Farmasi (PBF) menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi,adalah: 1. PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi atau sesama PBF dan/atau melalui importasi. Pengadaan bahan obat melalui importasi sebagaimana dimaksud dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat dari PBF pusat. PBF dan PBF cabang dapat melaksanakan pengadaan obat atau bahan obat harus berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani oleh apoteker penanggung jawab dengan mencantumkan nomor SIKA. 2. Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki Apoteker Penanggung Jawab yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat. Apoteker penanggung jawab harus memiliki
izin sesuai peraturan perundang-undangan. Apoteker penanggung jawab dilarang merangkap jabatan sebagai direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang 3. Dalam hal apoteker penanggung jawab tidak dapat melaksanankan tugas, apoteker yang bersangkutan harus menujuk apoteker lain sebagai pengganti sementara yang bertugas paling lama untuk waktu 3 (tiga) bulan. Penggantian tersebut harus mendapat persetujuan dari kepala dinas kesehatan provinsi. 4. Setiap penggantian apoteker penanggung jawab, pergantian direktur/ketua PBF, wajib memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Setiap pergantian Apoteker Penanggung Jawab, pergantian Direktur/Ketua PBF Cabang, wajib menperoleh persetuajuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan, dan Kepala Balai POM. Untuk memperoleh persetujuan tersebut, direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang melaporkan kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja sejak terjadi perubahan. Paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya laporan, Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi menerbitkan surat persetujuan dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Balai POM. 5. PBF dan PBF Cabang harus melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat sesuai dengan CDOB yang ditetapkan oleh Menteri. Penerapan CDOB sebagaimana dimaksud dilakukan sesuai pedoman teknis CDOB yang ditetapkan oleh Kepala Badan. PBF dan PBF. Cabang yang telah menerapkan CDOB diberikan sertifikat CDOB oleh Kepala Badan 6. Setiap PBF dan PBF Cabang wajib melakukan dokumentasi melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran di tempat usahanya dengan mengikuti pedoman CDOB. Dokumen sebagaimana dimaksud dapat dilakukan secara elektronik dan setiap saat harus dapat diperiksa oleh petugas yang berwenang 7. Setiap PBF dan PBF Cabang dilarang menjual obat atau bahan obat secara eceran. Setiap PBF dan PBF cabang dilarang menerima dan/atau melayani resep Dokter 8. PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat kepada PBF atau PBF Cabang lain, dan fasilitas pelayanan kefarmasian yang meliputi : apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik atau toko obat. Dikecualikan, PBF tidak dapat menyalurkan obat keras kepada toko obat. Untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah, PBF dan PBF cabang dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat kepada instansi pemerintah yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan 9. PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi sesuai surat pengakuannya. Dikecualikan PBF cabang dapat menyalurkan obat
dan/atau bahan obat di wilayah provinsi terdekat untuk dan atas nama PBF Pusat yang dibuktikan dengan Surat Penugasan/Penunjukan yang di sahkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dimaksud. 10. PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran berupa obat berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek, apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan mencantumkan nomor SIPA, SIKA atau SIKTTK PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan bahan obat kepada industri farmasi, PBF dan PBF Cabang lain, apotek, instalasi farmasi rumah sakit dan lembaga ilmu pengetahuan. Penyaluran sebagimana dimaksud berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab. Dikecualikan untuk lembaga ilmu pengetahuan ditandatangani oleh pimpinan lembaga 2.6
Persyaratan Gudang Pedagang Besar Farmasi
Syarat dan ketentuan gudang Pedagang Besar Farmasi (PBF) atau PBF Cabang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi dengan perubahan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014, adalah: 1.
Gudang dan kantor PBF atau PBF Cabang dapat berada pada lokasi yang terpisah dengan syarat tidak mengurangi efektivitas pengawasan intern oleh Direksi/pengurus dan penanggung jawab. Dalam hal gudang dan kantor PBF atau PBF Cabang berada dalam lokasi yang terpisah maka pada gudang tersebut harus memiliki Apoteker
2.
PBF dan PBF Cabang dapat melakukan penambahan gudang atau perubahan gudang. Setiap penambahan atau perubahan gudangPBF tersebut harus memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal. Setiap penambahan atau perubahan gudang PBF Cabang harus memperoleh persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
3.
Permohonan penambahan gudang PBF dan PBF Cabang diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala badan, dan Kepala Balai POM dengan mencantumkan : a. Alamat kantor PBF pusat, b. Alamat gudang pusat dan gudang tambahan, c. Nama Apoteker penanggungjawab pusat, d. Nama Apoteker penanggungjawab gudang tambahan.
4.
Permohonan ditandatangani oleh direktur/ketua dan dilengkapi dengan persayaratan sebagai berikut : a. Fotokopi izin PBF; b. Fotokopi STRA Apoteker calon penanggung jawab gudang tambahan; c. Surat pernyataan kesediaan bekerja penuh Apoteker penanggung jawab; d. Surat bukti penguasaan bangunan dan gudang; dan e. Peta lokasi dan denah bangunan gudang tambahan.
5.
Permohonan perubahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada Kepala Direktur Jendral dengan mencantumkan: a. Alamat kantor PBF pusat, b. Alamat gudang, c. Nama apoteker penanggung jawab. d. Permohonan ditandatangani oleh direktur/ketua dan dilengkapi dengan persayaratan sebagai berikut : a) Fotokopi izin PBF, b) Peta lokasi dan denah bangunan gudang
6.
Permohonan penambahan gudang PBF cabang diajukan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan mengikuti ketentuan.
2.7
Pelaporan Pedagang Besar Farmasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pedagang
Besar Farmasi Pasal 30 menyatakan bahwa selama menjalankan kegiatannya PBF wajib memberikan laporan secara rutin dan berkala kepada pihak yang berwenang diantaranya : 1. Setiap PBF dan cabang wajib menyampaikan laporan kegiatan setiap 3 (tiga) bulan sekali meliputi kegiatan penerimaan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM 2. Selain laporan kegiatan sebagaimana dimaksud, Direktur Jenderal setiapsaat dapat meminta laporan kegiatan penerimaan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat 3. Setiap PBF dan PBF Cabang yang menyalurkan narkotika dan psikotropika wajib menyampaikan laporan bulanan penyaluran narkotika dan psikotropika sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan 4. Laporan
sebagaimana
dimaksud
dapat
dilakukan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi
secara
elektronik
dengan
5. Laporan sebagaimana dimaksud setiap saat harus dapat diperiksa oleh petugas yang berwenang. 2.8
Pelanggaran dan Sanksi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pedagang Besar Farmasi menyatakan bahwa pelanggaran terhadap semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi sanksi administratif. 1.
Sanksi admnitratif dapat berupa: a. b. c. d. e.
Peringatan; Penghentian sementara kegiatan; Pencabutan pengakuan atau; Pencabutan izin; Penghentian sementara kegiatan berlaku paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja dan harus dilaporkan kepada Direktur Jenderal.
2.
Dalam hal PBF atau PBF Cabang diberikan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan, pengaktifan kembali izin atau pengakuan dapat dilakukan jika PBF atau PBF Cabang telah membuktikan pemenuhan seluruh persyaratn administratif dan teknis sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri. Direktur Jenderal berwenang mencabut izin PBF berdasarkan rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau hasil analisis pengawasan dari Kepala Badan. Kepala Badan berwenang memberi sanksi administratif dalam rangka pengawasan berupa peringatan dan penghentian sementara kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang. Kepala Badan wajib melaporkan pemberian sanksi adminitratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi wajib melaporkan pemberian sanksi administrasi kepada Direktur Jendral.
2.9
Apoteker Penanggung Jawab PBF Menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan menjelaskana bahwa Praktek Kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, disebutkan bahwa setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab. Apoteker sebagai penanggung jawab dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian. Dalam Peraturan Pemerintah ini memberikan perhatian tentang pentingnya peranan seorang Apoteker dalam menjamin kualitas obat di fasilitas distribusi. Apoteker sebagai penanggung jawab fasilitas distribusi, dalam pekerjaan kefarmasiannya harus memenuhi ketentuan CDOB, menetapkan Standar Prosedur Operasional (SOP) yang diperbaharui terus-menerus dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
34/Menkes/Per/VI/2014 tentang Pedagang Besar Farmasi, Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki Apoteker Penanggung Jawab (APJ) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 tentang pedoman teknis CDOB, menyebutkan bahwa manajemen puncak di fasilitas distribusi harus menunjuk seorang Penanggung Jawab. Penanggung Jawab harus seorang Apoteker yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi sesuai Peraturan Perundang-undangan, disamping itu telah memiliki pengetahuan dan mengikuti pelatihan CDOB yang memuat aspek keamanan, identifikasi obat dan/atau bahan obat, deteksi dan pencegahan masuknya obat dan/atau bahan obat palsu ke dalamrantai distribusi. Apoteker sebagai penanggung jawab mempunyai uraian tugas yang memuat kewenangan dalam hal pengambilan keputusan sesuai dengan tanggung jawabnya. Apoteker penanggung jawab fasilitas distribusi memiliki tanggung jawab antara lain: 1.
Menyusun, memastikan dan mempertahankan penerapan sistem manajemen mutu;
2.
Fokus pada pengelolaan kegiatan yang menjadi kewenangannya serta menjaga akurasi dan mutu dokumentasi;
3.
Menyusun dan/atau menyetujui program pelatihan dasar dan pelatihan lanjutan mengenai CDOB untuk semua personil yang terkait dalam kegiatan distribusi;
4.
Mengkoordinasikan dan melakukan dengan segera setiap kegiatan penarikan obat dan/atau bahan obat;
5.
Memastikan bahwa keluhan pelanggan ditangani dengan efektif;
6.
Melakukan kualifikasi dan persetujuan terhadap pemasok dan pelanggan;
7.
Meluluskan obat dan/atau bahan obat kembalian untuk dikembalikan ke dalam stok obat dan/atau bahan obat yang memenuhi syarat jual;
8.
Turut serta dalam pembuatan perjanjian antara pemberi kontrak dan penerima kontrak yang menjelaskan mengenai tanggung jawab masing-masing pihak yang berkaitan dengan distribusi dan/atau transportasi obat dan/atau bahan obat;
9.
Memastikan inspeksi diri dilakukan secara berkala sesuai program dan tersedia tindakan perbaikan yang diperlukan;
10. Mendelagesikan tugasnya kepada Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang telah mendapat persetujuan dari instansi berwenang ketika sedang tidak berada di tempat dalam jangka waktu tertentu dan menyimpan dokumen yang terkait dengan setiap pendelegasian yang dilakukan; 11. Turut serta dalam setiap pengambilan keputusan untuk mengkarantina atau memusnahkan obat dan/atau bahan obat kembalian, rusak, hasil penarikan kembali atau diduga palsu; 12. Memastikan pemenuhan persyaratan lain yang diwajibkan untuk obat dan/atau bahan obat tertentu sesuai peraturan perundang-undangan. 2.10
Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) diterapkan sesuai dengan kebijakan
pemerintah yaitu Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK 03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik. CDOB merupakan cara distribusi atau penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya. Pedoman CDOB dituangkan melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dalam Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). PBF dan PBF Cabang dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan pedoman teknis CDOB. Terhadap PBF dan PBF Cabang yang telah menerapkan pedoman teknis CDOB diberikan Sertifikat CDOB oleh Kepala Badan. Sertifikat CDOB adalah dokumen sah yang merupakan bukti bahwa PBF telah memenuhi persyaratan CDOB dalam mendistribusikan obat atau bahan obat. 2.10.1 Tujuan Cara Distribusi Obat yang Baik Tujuan diterapkannya CDOB di setiap PBF antara lain : 1. Menjamin penyebaran obat secara merata dan teratur agar dapat diperoleh yang dibutuhkan pada saat diperlukan
2. Terlaksananya pengamanan lalu lintas obat dan penggunaan obat tepat sampai kepada pihak yang membutuhkan secara sah untuk melindungi masyarakat dari kesalahan penggunaan atau penyalahgunaan 3. Menjamin keabsahan dan mutu obat, agar obat yang sampai ke tangan konsumen adalah obat yang efektif, aman, dan dapat digunakan sesuai dengan tujuan penggunaannya 4. Menjamin penyimpanan obat aman dan sesuai kondisi yang dipersyaratkan, termasuk selama transportasi. 2.10.2 Aspek Cara Distribusi Obat yang Baik Pedoman CDOB berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 meliputi: 1. Manajemen Mutu Fasilitas distribusi harus mempertahankan sistem mutu yang mencakup tanggung jawab, proses dan langkah manajemen risiko terkait dengan kegiatan yang dilaksanakan. Fasilitas distribusi harus memastikan bahwa mutu obat dan/atau bahan obat dan integritas rantai distribusi dipertahankan selama proses distribusi. Seluruh kegiatan distribusi harus ditetapkan dengan jelas, dikaji secara sistematis dan semua tahapan kritis proses distribusi dan perubahan yang bermakna harus divalidasi dan didokumentasikan. Sistem mutu harus mencakup prinsip manajemen risiko mutu. Pencapaian sasaran mutu merupakan tanggung jawab dari penanggung jawab fasilitas distribusi, membutuhkan kepemimpinan dan partisipasi aktif serta harus didukung oleh komitmen manajemen puncak. Pemastian mutu berfungsi sebagai alat manajemen.Sistem pengelolaan mutu harus mencakup struktur organisasi, prosedur, proses, dan sumber daya, serta kegiatan yang diperlukan untuk memastikan bahwa obat dan/atau bahan obat yang dikirim tidak tercemar selama penyimpanan dan/atau transportasi. Sistem mutu harus memastikan bahwa: a.
Obat dan/atau bahan obat yang diperoleh, disimpan, disediakan, dikirimkan, atau diekspor dengan cara yang sesuai dengan persyaratan CDOB.
b.
Tanggungjawab manajemen ditetapkan secara jelas.
c.
Obat dan/atau bahan obat dikirimkan ke penerima yang tepat dalam jangka waktu yang sesuai.
d.
Kegiatan yang terkait dengan mutu dicatat pada saat kegiatan tersebut dilakukan.
e.
Penyimpangan terhadap prosedur yang sudah ditetapkan didokumentasikan dan diselidiki.
f.
Tindakan perbaikan dan pencegahan (CAPA) yang tepat diambil untuk memperbaiki dan mencegah terjadinya penyimpangan sesuai dengan prinsip manajemen risiko mutu.
2. Organisasi, Manajemen dan Personalia Pelaksanaan dan pengelolaan sistem manajemen mutu yang baik serta distribusi obat dan/atau bahan obat yang benar sangat bergantung pada personil yang menjalankannya. Harus ada personil yang cukup dan kompeten untuk melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawab fasilitas distribusi. Tanggung jawab masing-masing personil harus dipahami dengan jelas dan dicatat. Semua personil harus memahami prinsip CDOB dan harus menerima pelatihan dasar maupun pelatiha lanjutan yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Semua personil harus memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dalam CDOB dengan mengikuti pelatihan dan memiliki kompetensi sebelum memulai tugas, berdasarkan suatu prosedur tertulis dan sesuai dengan program pelatihan termasuk keselamatan kerja. Penanggung jawab juga harus menjaga kompetensinya dalam CDOB melalui pelatihan rutin berkala. Harus diberikan pelatihan khusus kepada personil yang menangani obat dan / atau bahan obat yang memerlukan persyaratan penanganan yang lebih ketat seperti obat dan/atau bahan obat berbahaya, bahan radioaktif, narkotika, psikotropika, rentan untuk disalahgunakan, dan sensitif terhadap suhu. Personil yang terkait dengan distribusi obat dan/atau bahan obat harus memakai pakaian yang sesuai untuk kegiatan yang dilakukan. Personil yang menangani obat dan/atau bahan obat berbahaya, termasuk yang mengandung bahan yang sangat aktif (misalnya korosif, mudah meledak, mudah menyala mudah terbakar), beracun, dapat menginfeksi atau sensitisasi, harus dilengkapi dengan pakaian pelindung sesuai dengan persyaratan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
3. Bangunan dan Peralatan Fasilitas distribusi harus memiliki bangunan dan peralatan untuk menjamin perlindungan dan distribusi obat dan/atau bahan obat. Bangunan harus dirancang dan disesuaikan untuk memastikan bahwa kondisi penyimpanan yang baik dapat dipertahankan, mempunyai keamanan yang memadai dan kapasitas yang cukup untuk memungkinkan penyimpanan dan penanganan obat yang baik dan area penyimpanan dilengkapi dengan pencahayaan yang memadai untuk memungkinkan semua kegiatan dilaksanakan secara akurat dan aman. Peralatan untuk penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat harus didesain, diletakkan dan dipelihara sesuai dengan standar yang ditetapkan. Harus tersedia program perawatan untuk peralatan vital, seperti: termometer, genset dan chiller. Hal-hal yang harus diperhatikan yang berkaitan dengan bangunan dan peralatan, antara lain : a. Bangunan harus dirancang dan disesuaikan untuk memastikan bahwa kondisi penyimpanan yang baik dapat dipertahankan, mempunyai keamanan yang memadai dan kapasitas yang cukup untuk memungkinkan penyimpanan dan penanganan obat yang baik, dan area penyimpanan dilengkapi dengan pencahayaan yang memadai untuk memungkinkan semua kegiatan dilaksanakan secara akurat dan aman. b. Harus ada area terpisah dan terkunci antara obat dan/atau bahan obat yang menunggu keputusan lebih lanjut mengenai statusnya (ruang karantina dan ruang reject). c. Diperlukan area penyimpanan dengan kondisi khusus untuk obat dan/atau bahan obat yang membutuhkan penanganan dan kewenangan khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan (misalnya narkotika, bahan radioaktif, dan bahan berbahaya). Jika diperlukan area penyimpanan dengan kondisi khusus harus dilakukan pengendalian yang memadai untuk menjaga agar semua bagian terkait dengan area penyimpanan berada dalam parameter suhu, kelembaban, dan pencahayaan yang dipersyaratkan. d. Area penerimaan, penyimpanan, dan pengiriman harus terpisah, terlindung dari kondisi cuaca dan harus didesain dengan baik serta dilengkapi dengan peralatan yang memadai dan memiliki sistem pencegahan yang berupa sistem alarm dan kontrol akses yang memadai.
e. Bangunan dan fasilitas penyimpanan harus bersih dan bebas dari sampah dan debu. Selain itu bangunan dan fasilitas harus dirancang dan dilengkapi sehingga memberikan perlindungan terhadap masuknya serangga, hewan pengerat atau hewan lain. Program pencegahan dan pengendalian hama harus tersedia. f. Ruang istirahat, toilet, dan kantin untuk personil harus terpisah dari area penyimpanan. g. Semua peralatan untuk penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat harus didesain, diletakkan, dan dipelihara sesuai dengan standar yang ditetapkanserta harus ada program perawatan untuk peralatan vital, seperti termometer, genset, dan chiller. h. Peralatan yang digunakan untuk mengendalikan dan memonitor lingkungan penyimpanan obat dan/atau bahan obat harus dikalibrasi. i. Sistem komputerisasi yang digunakan sebelumnya harus diuji secara menyeluruh dan dipastikan kemampuannya memberikan hasil yang diinginkan. j. Data harus dilindungi dengan membuat back up data secara berkala dan teratur. Back up data harus disimpan di lokasi terpisah dan aman selama tidak kurang dari 3 (tiga) tahun atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan. k. Fasilitas distribusi harus menetapkan kualifikasi dan/atau validasi yang di perlukan untuk pengendalian kegiatan distribusi. Fasilitas distribusi harus menetapkan kualifikasi dan/atau validasi yang diperlukan untuk pengendalian kegiatan distribusi. Ruang lingkup dan metode validasi harus ditetapkan berdasarkan pendekatan analisis risiko. Kegiatan validasi harus direncanakan dan didokumentasikan. Perencanaan harus memuat kriteria yang dipersyaratkan. Laporan validasi harus memuat hasil validasi dan semua penyimpangan yang terjadi serta tindakan perbaikan dan pencegahan (CAPA) yang perlu dilakukan. Laporan dan bukti pelaksanaan validasi harus dibuat dan disetujui oleh personel yang berwenang. 4. Operasional Semua tindakan yang dilakukan fasilitas distribusi harus dapat memastikan bahwa identitas obat dan/atau bahan obat tidak hilang dan distribusinya ditangani sesuai spesifikasi yang tercantum pada kemasan. Fasilitas distribusi harus menggunakan semua perangkat dan cara yang tersedia untuk memastikan bahwa sumber obat dan/atau bahan obat yang diterima berasal dari industri farmasi dan/atau fasilitas
distribusi lain yang mempunyai izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk meminimalkan risiko obat dan/atau bahan obat palsu memasuki rantai distribusi resmi. 5. Inspeksi Diri Inspeksi
diri
harus
dilakukan
dalam
rangka
memantau
pelaksanaan
dan
kepatuhan terhadap pemenuhan CDOB dan untuk tindak lanjut langkah-langkah perbaikan yang perlu dilakukan. Program inspeksi diri harus dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditetapkan dan mencakup semua aspek CDOB serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, pedoman dan prosedur tertulis. Inspeksi diri harus dilakukan dengan cara yang independen dan rinci oleh personil yang kompeten dan ditunjuk oleh perusahaan dan semua pelaksanaan inspeksi diri harus dicatat. 6. Keluhan, Obat dan/atau Bahan Obat Kembalian, Diduga Palsu dan Penarikan Kembali Semua keluhan dan informasi lain tentang obat dan/atau bahan obat berpotensi rusak harus dikumpulkan, dikaji dan diselidiki sesuai dengan prosedur tertulis. Obat dan/atau bahan obat yang akan dijual kembali harus melalui persetujuan dari personil yang bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya. Diperlukan koordinasi dari setiap instansi, industri farmasi dan fasilitas distribusi dalam menangani obat dan/atau bahan obat yang diduga palsu. Jika diperlukan, dibutuhkan suatu sistem yang komprehensif untuk menangani semua kasus termasuk cara penarikan kembali. Harus tersedia dokumentasi untuk setiap proses penanganan keluhan termasuk pengambilan dan penarikan kembali serta dilaporkan kepada pihak yang berwenang. a. Keluhan Harus tersedia prosedur tertulis di tempat untuk penanganan keluhan. Harus dibedakan antara keluhan tentang kualitas obat dan/atau bahan obat dan keluhan yang berkaitan dengan distribusi. Keluhan tentang kualitas obat dan/atau bahan obat harus diberitahukan sesegera mungkin kepada industri farmasi dan/atau pemegang izin edar. Setiap keluhan tentang obat dan/atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat harus dicatat dan diselidiki secara menyeluruh untuk mengidentifikasi asal atau alasan keluhan, termasuk penyelidikan terhadap bets lainnya. b. Obat dan/atau bahan obat kembalian
Harus tersedia prosedur tertulis untuk penanganan dan penerimaan obat dan/atau bahan obat kembalian dengan memperhatikan hal berikut: 1) Penerimaan obat dan/atau bahan obat kembalian harus berdasarkan surat pengiriman barang dari sarana yang mengembalikan; 2)Jumlah dan identifikasi obat dan/atau bahan obat kembalian harus dicatat dalam catatan penerimaan dan pengembalian barang. Obat dan/atau bahan obat kembalian harus disimpan terpisah dari obat dan/atau bahan obat yang memenuhi syarat jual dandalam area terkunci serta diberi label yang jelas sampai ada keputusan tindak lanjut. c. Obat dan/atau bahan obat diduga palsu Untuk obat dan/atau bahan obat diduga palsu, penyalurannya harus dihentikan, segera dilaporkan ke instansi terkait dan menunggu tindak lanjut dari instansi yang berwenang. Setelah ada pemastian bahwa obat dan/atau bahan obat tersebut palsu, maka harus segera ditindaklanjuti sesuai dengan instruksi dari instansi yang berwenang. d. Penarikan kembali obat dan/atau bahan obat Perkembangan
proses
penarikan
obat
dan/atau
bahan
obat
harus
didokumentasikan dan dilaporkan, serta dibuat laporan akhir setelah selesai penarikan, termasuk rekonsiliasi antara jumlah yang dikirim dan dikembalikan. 7. Transportasi Selama proses transportasi, harus diterapkan metode transportasi yang memadai. Obat dan/atau bahan obat harus diangkut dengan kondisi penyimpanan sesuai dengan informasi pada kemasan. Metode transportasi yang tepat harus diterapkan untuk dapat menjamin bahwa obat dan/atau bahan obat tidak mengalami perubahan kondisi selama transportasi yang dapat mengurangi mutu. Pengiriman obat dan/atau bahan obat harus aman dan dilengkapi dengan dokumentasi yang sesuai untuk mempermudah identifikasi dan verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan yang ditetapkan. Kebijakan dan prosedur tertulis harus dilaksanakan oleh semua personil yang terlibat dalam transportasi. Obat dan/atau bahan obat dan kontainer pengiriman harus aman untuk mencegah akses yang tidak sah. Pengirimannya harus aman dan dilengkapi dengan dokumentasi yang sesuai untuk mempermudah identifikasi dan verifikasi kepathan
terhadap persyaratan yang ditetapkan. Kondisi penyimpanan yang dipersyaratkan harus dipertahankan selama transportasi sesuai dengan yang ditetapkan pada informasi kemasan. Untuk obat dan/atau bahan obat yang memerlukan kondisi khusus selama transportasi (misalnya suhu dan kelembaban), industri farmasi harus mencantumkan kondisi khusus tersebut pada penandaan dan dimonitor serta dicatat. Transportasi dan penyimpanan obat dan/atau bahan obat yang mengandung zat berbahaya lainnya yang dapat menimbulkan risiko khusus dalam hal penyalahgunaan, kebakaran atau ledakan (cairan mudah terbakar/menyala, padatan dan gas bertekanan) harus disimpan dalam area terpisah dan aman, dan diangkut dalam kontainer dan kendaraan yang aman, dengan desain yang sesuai. Disamping itu, harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan kesepakatan internasional. Pelanggan harus mendapatkan data suhu pada saat serah terima obat dan/atau bahan obat. Jika diperlukan, pelanggan dapat memperoleh dokumen data suhu untuk menunjukkan bahwa obat dan/atau bahan obat tetap dalam kondisi suhu penyimpanan yang dipersyaratkan selama transpotasi. 8. Fasilitas Distribusi Berdasar Kontrak Cakupan kegiatan kontrak terutama yang terkait dengan keamanan, khasiat dan mutu obat dan/atau bahan obat : a. Kontrak antar fasilitas distribusi b. Kontrak antara fasilitas distribusi dengan pihak penyedia jasa antara lain : Trasnportasi, pengendalian hama, pergudangan dan kebersihan. Semua kegiatan kontrak harus tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak serta setiap kegiatan harus sesuai dengan persyaratan CDOB. Didalam persyaratan kontrak harus mencakup beberapa hal yaitu: a. Penanganan kehilangan/kerusakan produk obat selama pengiriman dan dalam kondisi tidak terduga. b. Kewajiban penerima kontrak untuk mengembalikan obat dan/atau bahan obat kepada pemberi kontrak jika terjadi kerusakan selama pengiriman dengan menyertakan berita acara kerusakan.
c. Kehilangan selama pengiriman oleh penerima kontrak, penerima kontrak wajib melaporkan kepada pihak kepolisian dan pemberi kontrak. Pemberi kontrak berhak melakukan audit terhadap penerima kontrak setiap saat. 9. Dokumentasi Dokumentasi yang baik merupakan bagian yang penting dari sistem manajemen mutu. Dokumentasi tertulis harus jelas untuk mencegah kesalahan dari komunikasi lisan dan untuk memudahkan penelusuran antara lain: sejarah bets, instruksi dan prosedur. Dokumentasi merupakan dokumen tertulis terkait dengan distribusi (pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan pelaporan), prosedur tertulis dan dokumen lain yang terkait dengan pemastian mutu. Dokumentasi terdiri dari semua prosedur tertulis, petunjuk, kontrak, catatan dan data, dalam bentuk kertas maupun elektronik. Dokumentasi yang jelas dan rinci merupakan dasar untuk memastikan bahwa setiap personil melaksanakan kegiatan, sesuai uraian tugas sehingga memperkecil risiko kesalahan. Semua dokumentasi harus mudah didapat kembali, disimpan dan dipelihara pada tempat yang aman untuk mencegah dari perubahan yang tidak sah, kerusakan dan/atau kehilangan dokumen. Dokumen harus dikaji ulang secara berkala dan dijaga agar selalu up to date. Jika suatu dokumen direvisi, harus dijalankan suatu sistem untuk menghindarkan penggunaan dokumen yang sudah tidak berlaku.Dokumen harus disimpan selama minimal 3 tahun.
2.10.3 Pelanggaran Pedoman CDOB dan Sanksi Pelanggaran terhadap ketentuan pedoman teknis CDOB, dapat dikenai sanksi administratif berupa : 1. Peringatan tertulis, 2. Penghentian sementara kegiatan dan, 3. Pencabutan Sertifikat CDOB Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat CDOB sebagaimana dimaksud, diberikan dalam hal : 1. Terjadi penyimpangan penerapan CDOB yang mengakibatkan penyalahgunaan pendistribusian obat dan/atau bahan obat; atau
2.
PBF atau PBF Cabang dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan tidak terlaksananya penerapan CD