Bab Ii.docx

  • Uploaded by: puspita
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,314
  • Pages: 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

A. Kajian Pustaka 1. Intensive Care Unit ICU (Intensive Care Unit) atau Unit Perawatan Intensif adalah tempat atau unit tersendiri di dalam rumah sakit yang menangani klien-klien kritis karena penyakit, trauma, atau komplikasi penyakit lain yang memfokuskan diri dalam bidang life support yang kerap membutuhkan pemantauan intensif. Salah satu bentuk pemantauan intensive adalah klien dengan ventilasi mekanik (ventilator) yang akan mebantu usaha bernafas melalui endotracheal tube atau trakheostomi (Syifa Zakiyyah, 2014). Klien yang dirawat di ruang ICU adalah klien yang kondisinya kritis sehingga memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi, berkelanjutan, dan memerlukan pemantauan secara terus menerus. Klien ICU tidak hanya memerlukan perawatan dari segi fisik tetapi memerlukan perawatan secara holistic. Untuk menjamin kenyamanan, memperkecil distress, dan membuat intervensi penyelamatan hidup lebih dapat ditoleransi, klien dengan alat bantu nafas atau ventilasi diberikan sedasi. Dampak lanjutan pemberian sedasi adalah penurunan tingkat kesadaran dan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi secara independen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan disebuah rumah sakit menyatakan bahwa mobilisasi di ICU jarang dilakukan. Kendala untuk melakukan mobilisasi pada klien di ruang ICU sangat beragam. Faktor-faktor yang berperan meliputi keamanan dari selang dan pipa, ketidakstabilan hemodinamik, sumber daya manusia dan peralatan, berat badan klien, nyeri dan ketidaknyamanan klien, waktu, dan prioritas dari pemberian tindakan. Klien yang mengalami penurunan kesadaran dan imobilisasi akan meningkatkan risiko terjadinya dekubitus (Rab,2007 dalam Halida Handayani, 2017). 5

6

2. Ventilator Ventilator/ventilasi mekanik merupakan tindakan pemasangan alat pernafasan yang digunakan untuk mempertahankan ventilasi dan memberikan suplay oksigen dalam jangka waktu tertentu sebagai terapi definitive pada klien kritis yang mengalami gangguan pernafasan. Ventilasi mekanik adalah alat bantu terapi yang digunakan untuk membantu klien yang tidak mampu mempertahankan oksigenasi yang memadai dan eliminasi karbondioksida.

Tujuan pemberian

ventilasi mekani adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar yang tepat untuk kebutuhan

metabolik

klien

dan

untuk

memperbaiki

hipoksemia

dan

memaksimalkan transport oksigen (Halida Handayani, 2017). Komplikasi penggunaan ventilator diantaranya risiko pada intubasi endotrakheal termasuk kesulitan intubasi, sumbatan pipa endotrakhel oleh karena secret, intubasi endotrakheal jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan laring terurtama pita suara dan odema laring, iritasi jalan nafas, pemberian sedasi memiliki efek terhadap depresi jantung, penurunan mobilitas fisik yang dapat menyebabkan luka tekan tirah baring dekubitus, gangnguan hemodinamik (Halida Handayani, 2017).

3. Imobilisasi Imobilisasi atau bedrest adalah intervensi untuk menahan klien di tempat tidur untuk alasan terapeutik. Klien yang memiliki keadaan yang bervariasi diletakan dalam keadaan bedrest. Durasinya bergantung pada penyakit atau cedera dan keadaan kesehatan klien sebelumnya (Tita Rosita, 2014). Pada klien kritis yang memerlukan perawatan intensif diperlukan istirahat total untuk mengurangi penggunaan oksigen, pengurangan trauma, akan tetapi ini menyebabkan perubahan psikologis, fisiologis, dan psikososial. Hal ini terutama terjadi bila imobilisasi mutlak dengan posisi terlentang, atau posisi miring kiri maupun miring kanan (Wahyu Fitriyana, 2015).

7

Data menunjukan bahwa semakin banyak gerakan spontan yang dilakukan oleh klien yang terbaring di tempat tidur, semakin rendah insiden dekubitus dan semakin sedikit dkubitus terjadi pada klien berisiko yang berubah posisi setiap 2 -3 jam. Pengaturan posisi yang tepat dapat mengurangi tekanan pada penonjolan tulang.

Sulit

untuk

mendistribusikan

kembali

tekanan

dibawah

tumit:

menggantung tumit adalah metode terbaik. Bantal donat lebih mungkin menyebabkan dekubitus dibandingkan mencegah. Gaya geser digunakan pada tubuh ketika kepala tempat tidut ditinggikan. Mengangkan (bukan menggeser) lebih kecil menyebabkan cidera akibat friksi. Alat dan tempat tidur yang mengurangi tekanan dapat menurunkan insiden dekubitus (LeMone, 2016). Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat meningkatkan efek tekanan yang berbahaya pada kulit klien yang imobilisasi. Hal ini membuat imobilisasi menjadi masalah risiko yang besar terhadap luka tekan (Syifa Zakiyyah, 2014).

4. Mobilisasi Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas (Perry dan Potter, 2006 dalam Anddy Prasetya, 2013). Aktivitas (mobilisasi) didefinisikan sebagai suatu aksienergetik atau keadaan bergerak. Orang sakit memerlukan waktu yang lama di tempat tidur sehingga mereka mempunyai masalah dalam menjaga aktivitas / gerakan. Perawat perlu membatu klien untuk menjaga kemampuan bergerak serta untuk mencegah penyulit-penyulit yang dapat timbul akibat keadaan kurang bergerak (imobilisasi) (Priharjo, 1993 dalam Anddy Prasetya, 2013). Mempertahankan kesejajaran tubuh merupakan hal penting khususnya pada klien yang mengalami keterbatasan mobilisasi aktual maupun potensial. Mobilisasi ditempat tidur meliputi perubahan posisi (posisi miring ke kiri maupun ke kanan duduk ditempat tidur, duduk berjuntai) gerakan pasif dan aktif (Suardika, 2005 dalam Anddy Prasetya, 2013).

8

5. Dekubitus Dekubitus adalah kerusakan jaringan yang terjadi apabila kulit dan jaringan lunak dibawahnya tertekan oleh tonjolan tuang dan permukaan eksternal dalam jangka waktu yang lama menyebabkan peningkatan tekanan kapiler. Dekubitus terjadi pada klien yang berada dalam suatu posisi dalam jangka waktu lama baik posisi duduk maupun berbaring (Syifa Zakiyyah, 2014). Dekubitus juga dapat disimpulkan bahwa dekubitus merupakan lesi iskemik kulit dan jaringan lunak dibawahnya yang terlokalisasi dan cenderung untuk meluas jika diberi tekanan yang dapat merusak aliran darah dalam jangka waktu yang lama. Tekanan yang diberikan akan mengganggu suplai darah ke daerah yang terkena sehingga menimbulkan kematian jaringan. Menurut definisi bahwa luka tekan atau dekubitus disebabkan oleh penekanan pada daerah tonjolan tulang dalam jangka waktu yang lama. Dekubitus merupakan injury terlokalisir pada kulit dan/atau jaringan yang lama dibawahnya pada daerah tonjolan tulang, sebagai akibat dari pressure, atau kombinasi pressure dan shear. Jadi kekuatan tekanan, gaya geser dan kekuatan gesekan merupakan kunci dalam penyebab luka tekan/dekubitus (Tita Rosita, 2014). Dekubitus bisa terjadi pada hari ketiga sampai hari kelima klien dirawat dengan terdapatnya luka-luka dekubitus yang terjadi akibat posisi klien yang tidak berubah atau mobilisasi dalam jangka waktu lebih dari 6 jam pada hari pertama perawatan (Suheri 2009 dalam Irawan 2013). Hampir semua dekubitus terutama disebabkan oleh tekanan yang terus menerus dalam jangka waktu lama dan biasanya terjadi pada klien yang mengalami imobilisasi, kelemahan atau kelumpuhan fisik berada dalam posisi setengah telentang atau pada klien-klien yang menjalani perawatan tirah baring di tempat tidur. Menurut Halida Handayani, 2017 faktor-faktor yang berkontribusi terjadinya perkembangan dekubitus adalah:

9

a. Mobilitas dan aktivitas Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemapuan tubuh untuk berpindah. Klien yang berbaring terus-menerus di tempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi berisiko tinggi untuk terkena dekubitus. Imobilisasi adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian dekubitus. Terjadinya dekubitus secara langsung berhubungan dengan lamanya immobilitas. b. Penurunan persepsi sensori Klien yang tidak mampu untuk merasakan atau mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan akibat tekanan cenderung untuk mengalami dekubitus. Pada klien dengan gangguan status mental oleh karen stroke, cedera kepala, atau massalah kognitif lainnya berisiko untuk terjadinya dekubitus. c. Kelembaban Kelembaban kulit yang berlebihan umumnya disebabkan oleh keringat, urine. Penyebab menurunnya toleransi jaringan paling sering ad alah kelembaban urine, dikarenakan urine bersifat iritatif sehingga mudah menyebabkan kerusakan jaringan jika kombinasi dengan tekanan dan faktor lain makan kondisi kelembabban yang berlebihan akan mempercepat terbentuknya luka tekan. d. Gesekan dan Robekan Gesekan adalah kemampuan untuk menyebabkan kerusakan kulit terutama apisan epidermis dan dermis bagian atas. Hasil dari gesekan adalah abrasi epidermis atau dermis. Kerusakan seperti ini lebih sering terjadi pada klien dengan istirahat berbaring

(bedrest). Gesekan mengakibatkan cidera kulit

dengan penampilan seperti abrasi. Sedangkan robekan merupakan gaya yang ditimbulkan sebagai interaksi antara gaya gravitasi dan gesekan. Gravitasi membuat tubuh senantiasa tertarik kebawah sehingga menimbulkan gerakan merosot sementara gesekan adalah resistensi antara permukaan jaringan dengan permukaan matras. Sehingga ketika tubuh diposisikan susuk 30º maka gravitasi

10

akan menarik tubuh kebawah sementara permukaan jaringan dan permukaan matras berupaya mempertahankan tubuh pada posisinya akibatnya karena kulit tidak bisa bergerak bebas maka akan terjadi penurunan toleransi jaringan dan ketika hal tersebut dikombinasikan dengan tekanan yang terus menerus akan menimbulkan luka tekan dekubitus. e. Nutrisi Penurunak intake nutrisi yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk makan sendiri, kehilangan berat badan, dan mal nutrisi umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Terlebih lagi pada luka tekan stadium tiga dan empat dari luka tekan orang tua berhubungan dengan berat badan, rendahnya kadar albumin, intake makanan yang tidka mencukupi. f. Usia Usia lanjut > 60 tahun dihubungkan dengan perubahan-perubahan seperti menipisnya kulit, kehilangan jaringan lemak, menurunnya fungsi seperti sensori, dan fungsi lainnya. Perubahan ini dapat mengakibatkan kerusakan kemampuan jaringan lunak untuk mendistribusikan beban mekanis. Kombinasi perubahan karena proses menua dan faktor lain menyebabkan kulit mudah rusak jika mengalami gesekan atau tekanan. g. Temperatur kulit Berkembangnya dekubitus dapat juga dipengaruhi oleh suhu tubuh. Hal ini dapat terjadi karena dengan meningkatnya suhu tubuh 1ºC akan meningkatkan kebutuhan metabolisme jaringan sebesar 10%. Peningkatan metabolisme ini akan meningkatkan konsumsi oksigen dan kebutuhan energy pada tingkat sel termasuk pada daerah yang mendapat tekanan, sehingga kerusakan jaringan akan

semakin

cepat

terjadi.

Peningkatan

suhu

tubuh

juga

akan

mengaktivasikalenjar keringat sehingga meningkatkan kelembaban pada permukaan kulit.

11

Lokasi dekubitus sebenarnaya bisa terjadi diseluruh permukaan tubuh bila mendapat penekanan keras secara terus menerus. Namun paling sering terbentuk pada daerah kulit diatas tulang yang menonjol. Lokasi tersebut diantaranya adalah: Tuberositas Ischii (frekuensinya mencapai 30%), Trochanter Mayor (frekuensinya mencapai 20% dari lokasi tersering), Sacrum (frekuensinya mencapai 15%), Tumit (frekuensinya mencapai 100%) (Dame Elysabeth, 2010).

Gambar 2.1 Lokasi terjadinya dekubitus

Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) dalam LeMone, 2016, dekubitus dibagi dalam 4 stadium berdasarkan kedalaman jaringan yang mengenai yaitu: a. Stadium I (Non-Blanchable Erythema) Stadium I ditandai dengan adanya eritema yang tidak mejadi pucat bila ditekan. Sebelum dekubitus stadium I ini terbentuk maka area kemerahan yang ditekan akan menjadi pucat untuk sementara waktu dan akan kembali menjadi eritema setelah tekanan dilepas, sedangkan pada stadium I kulit tidak menjadi pucat bila ditekan. Warna kulit dapat bervariasi dari kulit berwarna kemerahan. Temperature kulit berubah hangat atau dingin, bentuk perubahan menetapdan ada sensasi gatal ata nyeri. Area yang tertekan bentuknya tidak teratur, dan

12

menggambarkan bentuk tonjolan tulang yang member tekanan pada area tersebut. kerusakan jaringan masih minimal dan bersifat reversible dan dapat sembul dalam 5-10 hari. b. Stadium II (Partial Thickness) Terdapat kehilangan kulit parsial yang menyangkut lapisan epidermis dan atau dermis. Luka bersifat superficial dan secara klinis Nampak seperti abrasi, melepuh atau lubang dangkal. c. Stadium III (Full Thickness Tissue Loss) Tahap ini dikarakteristikan oleh kehilangan seluruh lapisan kulit (full thickness). Kerusakan dan nekrosis meliputi lapisan dermis dan jaringan subkutan tetapi tidak melewatinya sampai terlihat fasia. Luka terlihat sev=bagai lubang dalam, luka dapat terinfeksi. Biasanya luka terbuka

dan mempunyai

drainase yang terdiri dari cairan dan protein. Klien dapat mengalami demam, dehidrasi. d. Stadium IV (Full Thickness Tissue Loss With Esposed Bone, Tendon or Muscle) Kehilangan lapisan kulit secara lengkap hingga tampak tendon, tulang, ruang sendi. Berpotensi untuk terjadinya destruksi dan sisiko osteomyelitis. Kerusakan dapat meluas, dapat terbentuk saluran sinus pada derajat ini.

Gambar 2.2 Stadium Dekubitus

Meskipin dekubitus dapat terjadi pada individ dewasa diberbagai usia yang mengalami hambatan mobilitas, individu yang paling berisiko adalah lansia dengan keterbatasan mobilitas dan fraktur pinggul, individu yang mengalami

13

kuadri plegia dan klien ditatanan perawatan kritis. Klien lain yang rentan mengalami dekubitus adalah individu yang mengalami fraktur tulang yang besar (misalanya panggul dan fremur) atau yang menjalami pembedahan ortopedik atau cidera korda spinalis yang menetap. Klien yang mengalami penyakit kronis seperti gagal ginjal, dan anemia, individu yang mengami edema atau infeksi juga mengalami peningkatan risiko terjadinya dekubitus (LeMone, 2016). Terjadinya dekubitus secara langsung berhubungan dengan lamanya imobilisasi. Jika penekanan berlanjutan lama, akan terjadi thrombosis pembuluh darah kecil dan nekrosis jaringan, hal ini didukung oleh Ignatavicius dan Workma dalam (Tita Rosita, 2014) yang mengatakan bahwa dekubitus sering ditemukan pada orang dengan pergerakan yang terbatas karena tidak mampu mengubah posisi untuk menghilangkan tekanan. Pencegahan dekubitus adalah prioritas utama dalam merawat klien dan tidak terbatas pada klien yang mengalami pembatasan mobilitas. Pencegahan dekubitus berdasarkan Nursing Intervention Classification (NIC) yang ditulis oleh Dochterman & Bulecheck dalam (Tita Rosita, 2014). a. Gunakan alat pengkajian risiko dekubitus yang telah ditetapkan guna memonitor faktor risiko secara individual seperti: Skala Braden Skala Braden terdiri dari 6 sub skala yang mencakup nutrisi, mobilisasi, persepsi sensori, kelembaban, aktivitas, gesekan/robekan. Masing-masing sub skala memiliki jumlah 4 kecuali pada sub skala gesekan/robekan. Sebagai tool, skala Braden telah diuji validitas dan reliabilitasnya, dengan sensitifitas berkisar antara 83-100% dan spesifitas antara 64-90%, tergantung pada cut uf score yang digunakan. Skala Braden merupakan suatu alat yang dirancang untuk memudahkan pengkajian faktor risiko terjadinya dekubitus pada klien yang dikembangkan oleh Barbara J. Braden dan Nancy Bergstrom pada tahun 1984. Skala Braden teridiri atas 6 sub skala yang mengevaluasi presepsi sensori klien, kelembaban,tingkat aktifitas, mobilitas, status nutrisi, gesekan dan robekan. Berikut adalah penjelasan dari masingmasing skala:

14

1. Persepsi Sensorik Kemampuan untuk merespon tekanan berarti yang berhubungan dengan ketidaknyamanan. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah). Skor I: Diberikan apabila terjadi keterbatasan total, yaitu tidak adanya respon pada stimulus nyeri akibat kesadaran yang menurun ataupun karena pemberian obat-obat sedasi atau keterbatasan kemampuan untuk merasakan nyeri pada sebagian besar permukaan tubuh. Skor 2: Diberikan apabila sangat terbatas, yaitu berespon hanya pada stimulus nyeri. Tidak dapat mengkomunikasikan ketidaknyamanan, kecuali dengan merintih dan / atau gelisah. Atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan untuk merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada separuh permukaan tubuh. Skor 3: Diberikan pada saat hanya terjadi sedikit keterbatasan yaitu dalam keadaan klien berespon pada perintah verbal, tetapi tidak selalu dapat mengkomunikasikan ketidaknyamanan atau harus dibantu membalikkan tubuh, atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada 1 atau 2 ektrimitas. Skor 4: Diberikan pada saat tidak terjadi gangguan, yaitu dalam berespon pada perintah verbal dengan baik. Tidak ada penurunan sensorik yang akan membatasi kemampuan untuk merasakan atau mengungkapkan nyeri atau ketidaknyamanan. 2. Kelembaban Tingkat kulit yang terpapar terhadap kelembaban. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah). Skor 1: Diberikan apabila terjadi kelembaban kulit yang konstan, yaitu saat kulit selalu lembab karena perspirasi, urine dan sebagainya. Kelembapan diketahui saat klien bergerak, membalik tubuh atau dengan dibantu perawat.

15

Skor 2: Diberi apabila kulit sangat lembab, yaitu saat kelembaban sering terjadi tetapi tidak selalu lembab. Idealnya alat tenun dalam keadaan ini harus diganti setiap pergantian jaga Skor 3: Diberikan pada saat kulit kadang lembab, yaitu pada waktu tertentu saja terjadi kelembaban. Dalam keadaan ini, idealnya alat tenun diganti dengan 1 kali pertambahan ekstra (2 x sehari). Skor 4: Diberikan pada saat kulit jarang lembab, yaitu pada saat keadaan kulit biasanya selalu kering, alat tenun hanya perlu diganti sesuai jadwal (1 x sehari) 3. Aktifitas Tingkat aktifitas fisik. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah). Skor 1: Diberikan kepada klien dengan tirah baring, yang beraktifitas terbatas di atas tempat tidur saja. Skor 2: Diberikan kepada klien yang dapat bergerak (berjalan) dengan keterbatasan yang tinggi atau tidak mampu berjalan. Tidak dapat menopang berat badannya sendiri dan / atau harus dibantu pindah ke atas kursi atau kursi roda. Skor 3: Diberikan kepada klien yang dapat berjalan sendiri pada siang hari, tapi hanya dalam jarak pendek/dekat, dengan atau tanpa bantuan. Sebagian besar waktu dihabiskan di atas tempat tidur atau kursi. Skor 4: Diberikan kepada klien yang sering jalan ke luar kamar sedikitnya 2 kali sehari dan di dalam kamar sedikitnya 1 kali tiap 2 jam selama terjaga. 4. Mobilisasi Kemampuan mengubah dan mengontrol posisi tubuh. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah). Skor 1: Diberikan pada klien dengan imobilisasi total. Tidak dapat melakukan perbuahan posisi tubuh atau ekstrimitas tanpa bantuan, walaupun

16

hanya sedikit. Skor 2: Diberikan kepada klien dengan keadaan sangat terbatas, yaitu klien dengan kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas, tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering dan berarti secara mandiri. Skor 3: Diberikan kepada klien yang mobilisasinya agak terbatas, yaitu klien yang dapat dengan sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas secara mandiri. Skor 4: Diberikan kepada klien yang dapat melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan. 5. Nutrisi Pola asupan makanan yang lazim. Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (risiko rendah). Skor 1: Diberikan kepada klien dengan keadaan asupan gizi yang sangat buruk, yaitu klien dengan keadaan tidak pernah makan makanan lengkap, jarang makan lebih dari 1/3 porsi makanan yang diberikan. Tiap hari asupan protein (daging / susu) 2 x atau kurang. Kurang minum. Tidak makan suplemen makanan cair. atau puasa dan/atau minum air bening atau mendapat infus > 5 hari. Skor 2: Diberikan kepada klien dengan keadaan mungkin kurang asupan nutrisi, yaitu klien dengan jarang makan makanan lengkap dan umumnya makan kira-kira hanya 1/2 porsi makanan yang diberikan. Asupan protein, daging dan susu hanya 3 kali sehari. Kadang-kadang mau makan makanan suplemen. Atau menerima kurang dari jumlah optimum makanan cair dari sonde (NGT). Skor 3: Diberikan kepada klien dengan keadaan cukup asupan nutrisi, yaitu klien dengan keadaan makan makanan > 1/2 porsi makanan yang diberikan. Makan protein daging sebanyak 4 kali sehari. Kadangkadang menolak makan, tapi biasa mau makan suplemen yang diberikan. Atau diberikan

17

melalui sonde (NGT) atau regimen nutrisi parenteral yang mungkin dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan nutrisi. Skor 4: Diberikan kepada klien yang baik asupan nutrisinya, yaitu klien dengan keadaan makan makanan yang diberikan. Tidak pernah menolak makan. Biasa makan 4 kali atau lebih dengan protein (daging/susu). Kadangkadang makan di antara jam makan. Tidak memerlukan suplemen. 6. Gesekan dan Robekan Pada subskala ini terdapat 3 (tiga) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (risiko tinggi) dan 3 adalah nilai tertinggi (risiko rendah). Skor 1: Diberikan pada klien dengan masalah, yaitu klien yang memerlukan bantuan sedang sampai maksimum untuk bergerak. Tidak mampu mengangkat tanpa terjatuh. Seringkali terjatuh ke atas tempat tidur atau kursi, sering membutuhkan maksimum untuk posisi kembali kejang, kontraktur atau agitasi menyebabkan friksi terus menerus. Skor 2: Diberikan kepada klien dengan masalah yang berpotensi, yaitu klien yang bergerak dengan lemah dan membutuhkan bantuan minimum. Selama bergerak kulit mungkin akan menyentuh alas tidur, kursi, alat pengikat atau alat lain. Sebagian besar mampu mempertahankan posisi yang relatif baik diatas kursi atau tempat tidur, tapi kadang-kadang jatuh ke bawah. Skor 3: Diberikan kepada klien yang tidak memiliki masalah, yaitu klien yang bergerak di atas tempat tidur maupun kursi dengan mandiri dan mempunyai otot yang cukup kuat untuk mengangkat sesuatu sambil bergerak. Mampu mempertahankan posisi yang baik di atas tempat tidur atau kursi. Total seluruh skor yang mungkin diperoleh seorang klien berkisar dari 6-23, semakin rendah total skor yang diperoleh klien maka klien itu semakin berisiko untuk menderita dekubitus. Braden lewat “Protocols by level of risk” merekomendasikan intervensi keperawatan sesuai dengan skor braden yang diperoleh berikut ini: Total skor itu akan dibagi dalam 5 kategori yaitu :

18

>18 tidak berisiko, 15-18 mempunyai risiko ringan, 13-14 mempunyai risiko sedang, 10- 12 mempunyai risiko tinggi dan < 9 mempunyai risiko sangat tinggi. Tabel 2.1 Skala Braden untuk mengukur resiko dekubitus Item Persepsi sensorik  Terbatas total  Sangat terbatas  Sedikit terbatas  Tidak ada gangguan Kelembaban  Kelembaban kulit yang konstan  Sangat lembab  Kadang-kadang lembab  Jarang lembab Aktivitas  Tirah baring  Diatas kursi  Kadang-kadang berjalan  Sering berjalan Mobilisasi  Imobilisasi total  Sangat terbatas  Agak terbatas  Tidak Terbatas Nutrisi  Sangat buruk  Mungkin kurang  Cukup  Baik Gesekan dan Robekan  Masalah  Masalah yang berpotensi  Tidak ada masalah Total Score (6-23) Ket:  >18 tidak berisiko  15-18 mempunyai risiko ringan  13-14 mempunyai risiko sedang  10- 12 mempunyai risiko tinggi  < 9 mempunyai risiko sangat tinggi

Skor 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3

19

b. Dorong individu untuk tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol c. Dokumentasikan setiap kejadian dekubitus yang pernah dialami klien d. Gunakan pelindung seperti krim atau bantalan yang dapat menyerap kelembaban untuk menghilangkan kelembaban yang berlebihan sesuai dengan kebutuhan e. Ubah posisi setiap 1-2 jam f. Tidur dengan miring kiri-kanan secara bergantian paling kurang setiap 2 jam, setelah miring kiri-kanan kemudian telentang, posisi badan miring kira-kira 30 derajat. g. Tempelkan jadwal perubahan posisi klien disamping tempat tidur klien h. Gunakan bantal untuk menaikan area-area yang tertekan i. Pertahankan linen dalam keadaan bersih, kering, bebas dari kerutan j. Gunakan tempat tidur dan kasur khusus

B. Metode Penelitian 1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada tanggal 15 Mei 2017 sampai 17 Mei 2017 dan penelitian dilakukan di ruang ICU Timur RSUP Sanglah Denpasar 2. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh klien yang dirawat di Ruang ICU Timur RSUP Sanglah dengan menggunakan sampel klien yang menggunakan ventilator yang dirawat di ruang ICU Timur RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. a. Kriteria inklusi 1) Klien yang menggunakan alat ventilator 2) Klien yang dalam keadaan tirah baring dan diindikasikan untuk mobilisasi b. Kriteria eksklusi 1) Klien yang tidak menggunakan ventilator

20

2) Klien yang sudah bisa mobilisasi sendiri

3. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel adalah perilaku atau kerakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia dan lain-lain) (Nursalam, 2013). 1) Variabel Independen Variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel bebas dari penelitian ini adalah adalah Mobilisasi Setiap 2 Jam. 2) Variabel Dependen Variabel dependen (variabel terikat) adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah adalah Kejadian Dekubitus.

4. Definisi Operasional Definisi oprasional adalah unsure penelitian yang menjelaskan bagaimana cara menentukan variabel dan mengukur suatu variabel, sehingga definisi operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu peneliti lain yang menggunakan variabel yang sama (Setiadi, 2007).

21

Tabel 2.2 Definisi Operasional Pengaruh Pemberian Mobilisasi Setiap 2 Jam Pada Klien Yang Terpasang Ventilator Terhadap Kejadian Dekubitus Di ruang ICU Timur RSUP Sanglah Denpasar

No

Variabel

1

Variabel Independen : Mobilisasi setiap 2 jam

2

Variabel Dependen : Kejadian Dekubitus

Definisi Oprasional Kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas

Terdapatnya luka tekan atau kerusakan kulit akibat adanya penekanan pada area atau lokasi tubuh tertentu.

Parameter

Alat Ukur

Skala

Melakukan mobilisasi (miring kana, miring kiri dan terlentang) setiap 2 jam untuk mencegah terjadinya dekubitus

Observasi

Nominal Katgori:  Nilai 0 = tidak dilakukan  Nilai 1 = dilakukan

Tidak adanya kejadian Dekubitus setelah diberikan mobilissasi setiap 2 jam

Observasi

Ordinal Katagori:  Stadium I  Stadium II  Stadium III  Stadium IV

5. Alat/Instrumen Penelitian Alat dan instrument pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan lembar Observasi yang diberikan tanda rumput pada setiap jam akan melakukan mobilisasi. Instrumen yang digunakan untuk menentukan kejadian dekubitus adalah menggunakan observasi dengan menggunakan stadium dekubitus dimana dilakukan pengukuran selama 3 hari dan dievausai dengan pada hari ke 3.

6. Prosedur Pengumpulan Data a. Jenis Data Data primer adalah data yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil pengukuran, pengamatan, survei, dan lain-lain. Data primer dalam penelitian adalah klien dengan menggunakan ventilator yang menjalankan perawatan di ruang ICU Timur RSUP Sanglah Denpasar.

22

b. Prosedur pengumpulan data 1) Tahap persiapan a) Mempersiapkan lembar observasi dan alat pengukuran yang digunakan pada penelitian. 2) Tahap pelaksanaan a) Hal yang pertama dilakukan peneliti adalah menentukan populasi dan sampel dengan klien yang menggunakan ventilator di ruang ICU RSUP Sanglah Denpasar b) Peneliti mencatat data calon responden berupa nama dengan inisial, umur, dan jenis kelamin. c) Peneliti bekerja sama dengan klien, perawat, dan kepala ruangan untuk mejalankan penelitian. d) Peneliti mengucakan terima kasih kepada responden yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian. e) Selanjutnya peneliti melakukan analisa data yang tepat sesuai dengan data yang diperoleh selama penelitian.

7. Etika Penelitian Masalah etika penelitian dalam keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia. Oleh sebab itu etika penelitian harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 1) Perizinan Sebelum mengadakan penelitian, peneliti meminta izin kepada kepala ruangan untuk melakukan penelitian di ruang ICU Timur RSUP Sanglah Denpasar 2) Lembar persetujuan (informed consent) Lembar sersetujuan diberikan oleh peneliti kepada calon responden sebelum melakukan pengumpulan data. Sebelum mengajukan lembar persetujuan, peneliti menjelaskan maksud, tujuan akan di adakannya penelitian kepada calon

23

responden. Apabila calon responden telah mengerti dengan penjelasan peneliti, maka peneliti mengajukan informed consent untuk ditandatangani sebagai bukti tertulis. Apabila tidak bersedia peneliti tetap menghormati hak klien. 3) Tanpa nama (anonimity) Pada penelitian ini, peneliti menjelaskan kepada responden bahwa peneliti tidak akan mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data. Peneliti hanya menuliskan kode/inisial pada lembar pengumpulan data tersebut. 4) Kerahasiaan (confidentiality) Peneliti menjelaskan pada responden bahwa semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil riset.

8. Teknik Pengolahan 1) Teknik Pengolahan Data Data – data yang sudah terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Editing Editing

adalah

meneliti

kembali

apakah

isian

dalam

lembar

observasi/kuesioner sudah lengkap diisi, editing dilakukan ditempat pengumpulan data, sehingga jika ada kekurangan data dapat segera dikonfirmasikan pada responden yang bersangkutan. b) Codening Coding data merupakan kegiatan mengubah bentuk huruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan (memberi kode). Lembaran atau kartu kode

adalah instrumen berupa kolom untuk merekam data dengan menggunakan komputer. Data yang sudah terkumpul diperiksa kelengkapannya, kemudian hasil pengukuran dan penilaian diberi kode sesuai ketentuan. Karakteristik responden yang terdiri dari jenis kelamin dibagi menjadi kode 1 untuk lakilaki dan kode 2 untuk perempuan. Pada mobilisasi setiap 3 jam diberikan

24

kode 0 untuk tidak dilakukan, kode 1 untuk dilakukan. Pada kejadian dekubitus diberikan kode 1 untuk Stadium 0, kode 2 untuk Stadium I, kode 3 untuk Stadium II, kode 4 untuk Stadium III dan kode 5 untuk Stadium IV. Pada lama dirawat diberikan kode 1 untuk 1-5 hari, kode 2 untuk 6-10 hari dan kode 3 untuk 11-15 hari. c) Entry Data Entry data adalah proses memasukan data ke dalam katagori tertentu untuk dilakukan analisis data yang dimasukan ke dalam program atau software computer. d) Tabulating Tabulating adalah langkah memasukan data-data hasil penelitian kedalam table-tabel sesuai kriteria yang telah di tentukan. e) Cleaning Setelah semua data dari setiap sumber data atau responden selesai simasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

9. Teknik Analisa Analisis Univariat Analisa univariat yaitu analisa yang digunakan untuk menganalisa variabel yang ada secara deskriptif dengan membuat tabel distribusi frekuensi. Analisa ini bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoadmodjo, 2012).

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Bab I.docx
November 2019 52
Bab Ii.docx
December 2019 61
Pokja Pmkp Mustofa.docx
April 2020 40
Bab I Yeay.docx
November 2019 52
Surat Pernyataan.doc
November 2019 37