BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sirkumsisi
1. Pengertian Sirkumsisi Sirkumsisi (circumcision/khitan) atau dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah “sunat” atau “supit”, adalah operasi pengangkatan sebagian, atau semua dari kulup (preputium) penis (WHO, 2009). Prosedur ini biasanya dilakukan untuk alasan agama, kebersihan, ataupun kosmetik. Sirkumsisi juga dapat mengurangi masalah yang timbul dari kondisi medis tertentu, seperti phimosis. Secara medis, dikatakan bahwa sirkumsisi sangat menguntungkan bagi kesehatan. Banyak manfaat dari sirkumsisi yang diidentifikasi untuk mencegah infeksi saluran kemih, membuat penis menjadi bersih, penularan HIV, serta mengurangi resiko terkena karsinoma penis (Blank, 2012).
Sirkumsisi adalah prosedur pembedahan di mana kulup penis, termasuk kulup bagian dalam akan dipotong. Sirkumsisi bayi adalah salah satu prosedur bedah yang paling sering dilakukan (Cagno, 2012). Sirkumsisi dapat dilakukan untuk berbagai alasan yang berbeda di masyarakat. Alasan dapat diklasifikasikan seperti, medisterapi, pencegahan-higienis,
agama
7
dan
budaya.
Dalam
memutuskan
8
melakukan sirkumsisi, faktor yang berbeda-beda mungkin memainkan peran dalam kombinasi. Dalam masyarakat yang hidup di Negara Barat, sirkumsisi biasanya dilakukan pada masa bayi dan dalam masyarakat lain, dapat dilakukan pada berbagai periode perkembangan (Yavuz, 2012).
Berdasarkan defenisi di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa sirkumsisi adalah suatu tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis dimana akan menghasilkan respon nyeri.
2. Indikasi Sirkumsisi
Adapun indikasi dilakukannya tindakan sirkumsisi, antara lain : a. Agama Sirkumsisi merupakan tuntunan syariat Islam yang sangat mulia dan disyariatkan baik untuk laki-laki. Mayoritas ulama Muslim berpendapat bahwa hukum sirkumsisi bagi laki-laki adalah wajib. Hadist Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan memotong kuku” (H.R. Bukhari Muslim). b. Sosial dan Budaya
9
Orang tua memilih melakukan khitan pada anaknya dengan alasan sosial atau budaya seperti anak merasa malu jika belum melakukan khitan, sehingga ingin segera melakukannya. Anak melakukan khitan di usia 6-12 tahun atau ketika duduk dibangku kelas 3-6 Sekolah Dasar. Selain itu, khitan dilakukan sebagai alasan motivasi menuju kedewasaan pada anak (Miller, 2010). c. Medis Selain dilakukan karena alasan agama, budaya, dan tradisi. Sirkumsisi juga dilakukan untuk meningkatkan higienis dan kesehatan seseorang, karena penis yang sudah di sirkumsisi lebih mudah dibersihkan. Indikasi medis sirkumsisi antara lain (Hutcheson, 2009) : 1) Fimosis Dimana preputium tidak dapat ditarik ke proximal karena lengket dengan gland penis diakibatkan oleh smegma yang terkumpul diantaranya. 2) Parafimosis Dimana preputium yang telah ditarik ke proximal, tidak dapat dikembalikan lagi ke distal. Akibatnya dapat terjadi udem pada kulit preputium yang menjepit, kemudian terjadi iskemi pada glands penis akibat jepitan itu. Lama kelamaan glands penis dapat nekrosis. Pada kasus parafimosis, tindakan sirkumsisi harus segera dilakukan.
10
3) Balanitis Balanitis merupakan penyakit peradangan pada ujung penis. Kebanyakan kasus balanitis terjadi pada pria yang tidak melakukan sirkumsisi dan mereka yang tidak menjaga kebersihan alat vital. 4) Kondiloma Akuminata Kondiloma akuminata merupakan suatu lesi pre kanker pada penis yang diakibatkan oleh HPV (human papiloma virus). Karsinoma sel squamosa pada preputium penis, namun dilaporkan terjadi rekurensi local pada 22-50% kasus.
3. Kontraindikasi Sirkumsisi
Adapun kontraindikasi dilakukannya tindakan sirkumsisi, antara lain : a. Hipospadia Hipospadia merupakan kelainan konginetal muara uretra eksterna. Kelainan berada di ventral penis mulai dari glans penis sampai perineum. Hipospadia terjadi karena kegagalan atau kelambatan penyatuan lipatan uretra di garis tengah selama perkembangan embriologi (Baskin & Ebbers , 20010). b. Epispadia Epispadia adalah kelainan kongenital dimana meatus uretra terletak pada permukaan dorsal penis. Normalnya, meatus terletak
11
di ujung penis, namun nak laki-laki dengan epispadia, meatus terletak di atas penis.Insiden epispadia yang lengkap sekitar 1 dalam 120.000 laki-laki. Perbaikan dengan pembedahan dilakukan untuk memperluas uretra ke arah glans penis. Preputium digunakan dalam proses rekonstruksi, sehingga bayi baru lahir dengan epispadia tidak boleh di sirkumsisi (Price, SA & Wilson, LM., 2009). c. Kelainan hemostatis Kelainan
hemostasis
merupakan
kelainan
yang
berhubungan dengan jumlah dan fungsi trombosit, faktor-faktor pembekuan, dan vaskuler. Jika salah satu terdapat kelainan dikhawatirkan akan terjadi perdarahan yang sulit diatasi selama atau setelah sirkumsisi. Kelinan tersebut adalah hemophilia, trombositopenia dan penyakit kelainan hemostasis lainnya (Seno, 2012).
4. Prinsip Sirkumsisi
Dalam melakukan sirkumsisi harus diingat beberapa prinsip dasar, yaitu
asepsis, pengangkatan kulit
prepusium
secara
adekuat,
hemostasis yang baik, dan kosmetik. Sirkumsisi yang dikerjakan pada umur neonatus (kurang dari satu bulan) dapat dikerjakan tanpa memakai anastesi, sedangkan anak yang lebih besar harus dengan
12
memakai anestesi umum guna menghindari terjadinya trauma psikologis (Purnomo, 2011). a. Persiapan pasien
1) Bila pasien sudah besar, maka dilakukan pencukuran rambut pubis terlebih dahulu. 2) Melakukan pendekatan terhadap anak terlebih dahulu, agar anak bisa kooperatif saat dilakukan tindakan. 3) Menanyakan riwayat penyakit anak, bila ada riwayat alergi obat atau lainnya. 4) Menjelaskan kepada orang tua anak mengenai tindakan yang akan dilakukan. 5) Penis dan sekitarnya dibersihkan dengan antiseptic b. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang diperlukan untuk melakukan sirkumsisi, meliputi: 1) Kain kasa yang steril. 2) Cairan disinfekstans. 3) Kain steril untuk mempersempit daerah operasi. 4) Tabung suntik beserta jarumnya serta obat anastesi lokal. 5) Satu set peralatan bedah minor. 6) Handscone steril. 7) Selimut dan handuk. 8) Sabun cuci tangan.
13
9) Alkohol c. Hal yang pertama kali dilakukan sebelum sirkumsisi, meliputi 1) Disinfeksi lapangan operasi. 2) Daerah operasi ditutup dengan kain steril. 3) Dilakukan pembiusan dengan menggunakan anastesi lokal,
misalnya lidokain 2 %. Kemudian, ditunggu beberapa saat dan dinyakinkan bahwa penis sudah terbius. 4) Lakukan dilatasi pada preputium dulu dengan klem sehinggga
preputium dapat ditarik ke proksimal. Selanjutnya prepusium dibebaskan dari perekatannya dengan glands penis dan dibersihkan dari smegma atau kotoran lain. 5) Pemotongan preputium
5. Metode Sirkumsisi
Adapun metode dalam tindakan sirkumsisi, antara lain : (Manakijsirisuthi, 2012). a. Metode konvensional Metode ini merupakan metode standar yang banyak digunakan tenaga kesehatan hingga saat ini. Pada metode ini, semua prosedur telah mengacu kepada aturan atau standar medis, sehingga
meningkatkan
keberhasilan
sirkumsisi.
Hal
yang
umumnya ada atau dilakukan saat melaksanakan metode ini adalahpembiusan lokal, penggunaan pisau bedah yang lebih akurat,
14
tenaga medis yang professional, teknologi benang jahit yang bisa menyatu dengan jaringan disekitarnya, sehingga meniadakan keperluan untuk melepas benang jahit. Metode ini bisa digunakan untuk semua kelompok usia, pilihan utama bagi pasien dengan kelainan fimosis serta biaya yang dibutuhkan terjangkau b. Metode Dorsumsisi Dorsumsisi
adalah
teknik
sirkumsisi
dengan
cara
memotong preputium pada jam 12, sejajar dengan sumbu panjang penis kearah proksimal, kemudian dilakukan petongan melingkar ke kiri dan ke kanan sepanjang sulkus koronarius glandis. Dengan sering berlatih melakukan cara ini, maka akan semakin terampil, sehingga hasil yang didapat juga lebih baik c. Metode electrocauter Metode ini menggunakan alat seperti pisau dengan ujung terdiri dari sepotong logam panas seperti kawat. Panas pada alat ini dihasilkan oleh suatu tegangan tinggi serta frekuensi tinggi yang berasal dari arus bolak-balik yang melewati elektroda. Daya koagulasi Cautery ditetapkan antara 25 sampai 50 Watt. Kelebihan dari alat ini adalah perdarahan yang minimal pasca sirkumsisi, tidak perlu dilakukan penjahitan luka karena luka telah tertutup cukup kuat. Kerugiannya antara lain dapat menimbulkan bau menyengat seperti “daging bakar” serta dapat menyebabkan luka bakar.
15
6. Perawatan pasca sirkumsisi
Setelah seseorang disirkumsisi, biasanya akan membutuhkan waktu sekitar satu minggu sampai sepuluh hari agar bekas lukanya kering dan dapat menutup dengan sempurna. Ada beberapa perawatan yang harus dilakukan pasca sirkumsisi yaitu: (Silvagnanam, 2014). a. Segeralah minum obat Analgesik
Setelah sirkumsisi biasanya daerah sekitar penis sering menimbulkan rasa nyeri, sehingga setelah sirkumsisi sebaiknya dianjurkan untuk minum obat analgesik (penghilang nyeri) yang diberikan dokter untuk menghindarkan rasa sakit setelah obat anestesi lokal yang disuntikkan habis efeknya. Umumnya obat anestesi mampu bertahan antara satu jam sampai satu setengah jam setelah disuntikkan. Harapannya, setelah obat bius habis masa kerjanya maka dapat tergantikan dengan obat Analgesik. Obat analgetik yang biasa digunakan adalah parasetamol, antalgin, asam mefenamat, asam asetilsalisilat, dan lainnya b. Menjaga kebersihan daerah penis
Usahakan celana yang digunakan anak lebih longgar untuk menghindari gesekan. Apabila sudah buang air besar, ujung lubang penis dibersihkan secukupnya secara perlahan, usahakan jangan mengenai luka sirkumsisi. Selain itu, harus dijaga agar daerah sekitar penis tetap bersih dan kering.
16
c. Usahakan tidak bergerak terlalu aktif
Dalam beberapa hari, istirahat sangat diperlukan untuk menghindari bengkak yang berlebihan. Jika harus berjalan, usahakan jalan seperlunya. Jangan melakukan aktifitas yang berlebihan seperti melompat-lompat atau berlari-lari. d. Kontrol dan Melepas Perban
Perban
dapat
diganti
setiap
2-3
hari
tergantung
perkembangan luka khitan. Jika sudah mahir hal tersebut dapat dilakukan sendiri di rumah. Jika merasa kesulitan sebaiknya dibawa ke dokter. Lakukan kontrol rutin ke dokter yang mengkhitan pada hari ketiga dan pada hari kelima sampai hari ketujuh. Apabila luka sirkumsisi sudah benar-benar kering, maka perban bisa dilepaskan secara total.
7. Komplikasi sirkumsisi
Adapun komplikasi dari tindakan sirkumsisi, antara lain : (Krill, 2011). a. Pendarahan Perdarahan merupakan komplikasi sirkumsisi yang jarang terjadi. Sebagian besar perdarahan dapat berhenti dengan sendirinya. Perdarahan dapat dengan mudah dihentikan dengan mengikat sumber perdarahan dengan benang bedah. Resiko perdarahan dapat meningkat pada anak yang mempunyai gangguan
17
pembekuan darah. Oleh karena itu, sangat penting untuk menginformasikan ke dokter apabila anak mempunyai gangguan pembekuan darah atau kelainan darah lainnya b. Infeksi Infeksi sangat jarang terjadi karena dokter melakukan sirkumsisi dengan teknik dan alat yang steril. Apabila terjadi infeksi, infeksi biasanya ringan dan dapat diatasi dengan pemberian antibiotik. Tanda-tanda infeksi seperti demam, kemerahan yang semakin meluas, nyeri, pembengkakan, dan nanah di sekitar bekas sirkumsisi perlu diperhatikan dan apabila ada tantda-tanda tersebut sebaiknya dianjurkan segera ke dokter. c. Komplikasi dari obat anastesi Anestesi atau pembiusan lokal merupakan prosedur yang aman. Komplikasi anestesi sangat jarang terjadi, dan biasanya berkaitan dengan adanya masalah medis pada anak. Komplikasi anestesi diantaranya reaksi alergi dari obat bius atau bisa juga gangguan pernapasan.
B. Nyeri
1. Pengertian nyeri Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat
18
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2010). Nyeri dapat disebabkan olehtrauma (mekanik, thermis, khemis, dan elektrik), neoplasma (jinak atau ganas), inflamasi, gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah, trauma psikologis.
Nyeri merupakan mekanisme perlindungan yang timbul bila terjadi kerusakan jaringan, dan hal ini akan membuat individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton, 2011).
2. Klasifikasi nyeri
Klasifikasi Smeltzer & Bare (2001), berdasarkan lokasi, durasi, kualitas, dan karakterny nyeri ada beberapa macam, yaitu : a. Nyeri akut Nyeri akut merupakansuatu reaksi sensoris dari nosiseptif yang mendadak dan merupakan sinyal alarm untuk mekanisme proteksi tubuh. Nyeri akut hampir selalu terjadi oleh adanya picu kerusakan jaringan somatik maupun viseral, yang lama berlangsungnya hampir bersamaan dengan lama sembuhnya perlukaan yang tidak disertai penyulit. Rasa nyeri akan hilang pada saat perlukaan sembuh. Berdasarkan sifatnya nyeri akut ada 2 macam : 1) Nyeri Fisiologis Nyeri
fisiologis
terjadi
apabila
intensitas
rangsang
mencapai ambang nosiseptor dan mengakibatkan timbulnya
19
refleks menghindar dimana nyeri ini sifatnya sementara. Contohnya yaitu nyeri pada tindakan sirkumsisi. Salah satu proses tindakan sirkumsisi adalah penyuntikan (anastesi lokal).
Anestesi lokal lebih sering digunakan karena lebih simple. Anestesi umum memiliki risiko yang merugikan seperti neurotoksisitas yang dapat megganggu perkembangan struktur neuron. Secara umum, sirkumsisi paling bagus menggunakan anestesi lokal (Morris, 2010).
Blok nervus dorsal penis adalah teknik anestesi yang digunakan 85% di Amerika Serikat dan ini efektif meskipun pada bayi berat badan rendah. Blok ini dilakukan dengan cara identifikasi radiks penis, kemudian dengan jarum no 26 diinsersikan 0,5 cm dari distal kearah radiks pada arah jam 10 dan jam 2 dari posisi penis. Jarum kemudian diarahkan ke postero medial lebih dalam sekitar 0,25-0,5 cm dan lidokain 1% tanpa epinefrin diinjeksikan sebanyak 0,2-0,4 ml blateral pada jaringan subkutaneus. Metode ini sangat berguna dengan angka kegagalan hanya 4-7%, dan dengan komplikasi yang sangat rendah. Ultrasound portable scanner dapat digunakan sebagai petunjuk untuk blok nervus dorsal penis. Scanning dapat memberikan konfirmasi lokasi yang tepat untuk injeksi
20
anestesi lokal dan penyebaranya pada facia profunda dan sekitarnya. Juga kesalahan injeksi ke dalam korpus kavernosa, uretra, dan berkas neurovaskuler dapat dicegah (Morris, 2010).
Ring blok juga telah lama digunakan untuk antinyeri post sirkumsisi. Prosedur yang digunakan yaitu injeksi anestesi lokal melingkari penis pada bagian tengah penis. Kombinasi blok nervus dorsal penis dan ring blok jauh lebih efektif dibandingkan satu jenis teknik anestesi untuk mengurangi nyeri post sirkumsisi pada anak-anak umur 1 bulan sampai 5 tahun (Morris, 2010). 2) Nyeri Klinis Nyeri klinis timbul karena terjadinya perubahan kepekaan sistem syaraf terhadap rangsang nyeri sebagai akibat adanya kerusakan jaringan yang disertai proses inflamasi. Nyeri ini sifatnya terlokalisir dan baru hilang bila penyebabnya hilang/sembuh. b. Nyeri Kronik Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung satu bulan di luar lamanya perjalanan penyakit akut atau nyeri yang tetap berlangsung walaupun perlukaan sudah sembuh.
3. Patofisiologi nyeri
21
Preputium merupakan lipatan kulit yang menutupi glans penis, yang terdiri dari bagian luar berupa lapisan yang berkeratin dan lapisan dalam yang terdiri dari mukosa. Kantong preputium dapat berisi kumpulan deskuamasi epitel membentuk mutiara keratin pada bayi dan anak kecil. Pada remaja, debris seluler dan sekresi lokal dapat berkumpul membentuk smegma jika penis tidak dibersihkan secara teratur (Angel, 2010).
Tidak diperbolehkan bagi orang tua dan seorang dokter menarik preputium dengan paksa untuk mengeluarkan smegma karena dapat menyebabkan nyeri pada anak dan terbentuk parafimosis,yang megharuskan penggunaan teknik dorsal slit. Smegma padat yang terbentuk pada akhirnya berubah menjadi cairan secara spontan dan keluar dari bawah preputium dan tidak perlu dikeluarkan (Angel, 2010).
Kadang
terjadi
penumpukan
dari
smegma
yang
dapat
menyebabkan terjadinya infeksi dan terjadi balanophostitis, yang akan menyebabkan keluarnya sekret yang purulen dari kantong preputium. Terjadinya penyakit ini belum mengharuskan dilakukan sirkumsisi selama preputium masih berpisah dengan glans penis dan tidak terjadi balonopostitis yang berulang (Angel, 2010).
22
Alternatif terapi termasuk dengan penggunaan obat-obatan dan teknik dorsal slit. Salah satu masalah yang biasanya selalu membutuhkan prosedur sirkumsisi adalah parafimosis. Hal ini terjadi ketika preputium tertarik ke belakang glans penis dan karena lubang preputium kecil, terjadi jebakan pada posisi ini. Kemudian akan terjadi pembengkakan dari glans penis dan tidak dapat mengecil. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan kehilangan jaringan. Udem biasanya dapat diturunkan dengan injeksi hyaluronidase pada jaringan yang udem, dengan demikian lebih mudah mengatasi parafimosis. Jalan lain untuk mengurangi udem adalah dengan membubuhi gula di atas jaringan yang udem sehingga gradien osmotic menarik cairan keluar (Angel, 2010). Ketika dilakukan penyuntikan pada tindakan sirkumsisi maka terjadi proses penyampaian informasi bahwa adanya stimuli noksius, di perifer, ke sistem saraf pusat. Rangsangan noksius ini adalah rangsangan yang berpotensi atau merupakan akibat terjadinya cedera jaringan, yang dapat berupa rangsangan mekanik, suhu dan kimia. Deskripsi mekanisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan dengan empat proses yaitu transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Transduksi adalah proses konversi energi dari rangsangan noksius (suhu, mekanik, atau kimia) menjadi energi listrik (impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk nyeri (nosiseptor). Sedangkan transmisi yaitu proses penyampaian impuls saraf yang terjadi akibat
23
adanya rangsangan di perifer ke pusat. Persepsi merupakan proses apresiasi atau pemahaman dari impuls saraf yang sampai ke SSP sebagai nyeri. Modulasi adalah proses pengaturan impuls yang dihantarkan, dapat terjadi di setiap tingkat, namun biasanya diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap proses di kornu dorsalis medulla spinalis (Urban, 2011).
4. Respon nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri : a. Respon fisiologis Respon fisiologis dihasilkan oleh stimulasi pada cabang saraf simpatis dan sistem saraf otonom. Hal ini terjadi karena pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress. Apabila nyeri berlangsung terusmenerus, berat atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organorgan visceral 20 (misalnya, nyeri pada infark miokard), sistem saraf parasimpatis akan menghasilkan suatu aksi (Potter, 2009). b. Respon perilaku Pada saat nyeri dirasakan, saat itu juga dimulai suatu siklus, yang apabila nyeri tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan secara
24
nyata. Nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri sendiri.
5. Pengukuran Skala Nyeri Pada Anak
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat sabjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013).Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Andarmoyo, 2013). Beberapa skala intensitas nyeri: a. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana
(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz) Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS) merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objekti. Pendeskripsian VDS diranking dari ” tidak nyeri” sampai
25
”nyeri yang tidak tertahankan”(Andarmoyo, 2013). Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan
klien
memilih
sebuah
ketegori
untuk
mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013). b. Skala Intensitas Nyeri Numerik
(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz.)
Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi (Andarmoyo, 2013). c. Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale
(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz.)
26
Skala analog visual ( Visual Analog Scale) merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya (Andarmoyo, 2013). d. Skala Intensitas Nyeri dari FLACC Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat digunakan pada pasien yang secra non verbal yang tidak dapat melaporkan nyerinya (Judha, 2012). KRITERIA SKORING OBSERVASI 0
1
Face
Tidak
(Ekspresi
ekspresi
yang atau
muka)
khusus,
wajah dahi,
terlihat
rileks, wajah
2
ada Kadang kala meringis Sering mengerutkan dahi
atau tersenyum
mengerutkan secara
terus
menerus,
memalingkan mengatupkan
rahang
menghindari dengan
stimulus
kuat,
bergetar
Legs
Posisi
kaki Tidak tenang, gelisah, Menendang
(Gerakan
normal
atau tegang,
kaki)
rileks
Activity
Berbaring dengan Mengeliat-geliat,
(aktivitas)
tenang,
Badan
melengkung,
posisi sering berpindah atau kaku, atau menghentak-
dengan leluasa Tidak
sering
menggerakkan kaki
normal, bergerak berganti
Cry
dagu
posisi, hentakkan badan
tegang
menangis Merintih
atau Menangis terus menerus,
27
(Menangis)
Consolabity
(baik terjaga atau merengek,
berteriak atau terisak-
tidur)
kadangkala mengeluh
isak, sering mengeluh
Senang, rileks
Dapat
(Kemampuan
dengan
rileks dihibur)
pelukan
ditenangkan Sulit
untuk
sentuhan, dihibur/ditenangkan atau atau tidak
berbicara / bercerita
merasa
meskipun
nyaman diberikan
tindakan kenyamanan Total skor
Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan skala numerik yaitu: 0 : Tidak Nyeri 1-2 : Nyeri Ringan 3-5 : Nyeri Sedang 6-7 : Nyeri Berat 8-10 Nyeri Yang Tidak Tertahankan (Judha, 2012).
6. Penatalaksanaan Nyeri
Menghilangkan nyeri merupakan tujuan dari penatalaksanaan nyeri yang dapat dicapai dengan dua pendekatan yaitu: pendekatan farmakologi
dan
non
farmakologi.
Pendekatan
ini
berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan klien secara individu. a. Pendekatan farmakologis
diseleksi
28
Pendekatan farmakologi merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan obatobatan. Terdapat 4 kelompok obat nyeri yaitu: 1) Analgetik Nonopioid (Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAISN) Efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai dengan sedang terutama asetaminofen (Tylenol) dan OAISN dengan efek anti piretik, analgetik dan anti inflamasi. Asam asetilsalisilat
(Aspirin)
dan
ibuprofin
(Morfin,
Advil)
merupakan OIANS yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan. 2) Analgetik Opioid Merupakan analgetik yang kuat yang tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri dengan skala sedang sampai dengan berat. Obatobat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin merupakan salah satu jenis obat ini yang digunakan untuk mengobati nyeri berat. 3) Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid Merupakan
obat
yang
melawan
obat
opioid
dan
menghambat pengaktifannya. Nalakson merupakan salah satu contoh obat jenis ini yang efektif jika diberikan tersendiri dan
29
lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan dibandingkan dengan opioid murni. 4) Adjuvan atau Koanalgetik Merupakan obat yang memiliki efek analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan nyeri yang semula dikembangkan untuk kepentingan lain. Contoh obat ini adalah Karbamazopin (Tegretol) atau Fenitoin (Dilantin). b. Penatalaksanaan Non Farmakologis Bentuk-bentuk penatalaksanaan non farmakologi meliputi: (Price & Wilson, 2009). 1) Massage Massage merupakan stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada pinggang dan bahu. Massage menstimulasi reseptor tidak nyeri. Massage juga membuat pasien lebih nyaman karena membuat relaksasi otot. 2) Terapi Es dan Panas Terapi
es
dapat
menurunkan
prostaglandin
yang
memperkuat sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri. 3) Stimulasi Syaraf Elektris Transkutan (TENS)
30
TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan
elektrode
yang
dipasang
pada
kulit
untuk
menghasilkan sensasi kesemutan atau menggetar pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori gate kontrol dimana mekanisme ini akan menutup transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem syaraf pusat untuk menurunkan intensitas nyeri. 4) Distraksi Dilakukan dengan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri. Keefektifan transmisi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. 5) Teknik Relaksasi Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress yang mampu memberikan individu kontrol ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri/stress fisik dan emosi pada nyeri. 6) Imajinasi Terbimbing Individu di instruksikan untuk membayangkan bahwa dengan setiap napas yang diekhalasikan (dihembuskan) secara lambat akan menurunkan ketegangan otot dan ketidak nyamanan dikeluarkan. 7) Hipnosis
31
Efektif untuk menurunkan nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu pereda nyeri terutama dalam periode sulit. 8) Slow Deep Breathing Slow deep breathing ialah salah satu bagian dari latihan relaksasi dengan teknik latihan pernapasan yang dilakukan secara sadar. Slow deep breathing merupakan relaksasi yang dilakukan secara sadar untuk mengatur pernapasan secara dalam dan lambat. Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk
dapat
mengatasi
berbagai
masalah, misalnya stress, ketegangan otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain (Martini, 2006). Relaksasi secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan perilaku (Andarmoyo, 2013).
Slow deep breathing merupakan metode relaksasi yang dapat memengaruhi respon nyeri tubuh. Tarwoto (2012) menyatakan slow deep breathing menyebabkan penurunan aktivitas
saraf
simpatis,
peningkatan
aktivitas
saraf
parasimpatis, peningkatan relaksasi tubuh, dan menurunkan aktivitas metabolisme. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan otak dan konsumsi otak akan oksigen berkurang sehingga menurunkan respon nyeri tubuh.
32
Slow deep breathing untuk anak berusia lebih dari 3 tahun dapat mengurangi rasa sakit yaitu dengan meniup gelembung, dan distraksi dengan meniup baling-baling. Orang tua atau peneliti dapat memotivasi anak melakukan slow deep breathing selama prosedur injeksi.
Saat anak bermain meniup baling-baling terjadi proses distraksi yaitu anak terfokus atau konsentrasi pada permainan yang dilakukan dan pada saat anak meniup memberikan efek relaksasi. Melalui permainan meniup baling-baling dapat mengurangi nyeri pada saat dilakukan penyuntikan anestesi sirkumsisi.
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian a. Auto anamnesa b. Pengkajian fisik 1) Keadaan umum pasien. 2) Tanda – tanda infeksi 3) Pemeriksaan penunjang
2. Diagnosa keperawatan
33
a. Diagnosa keperawatan pre op 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis 2) Resiko
tinggi
infeksi
berhubungan
dengan
kurangnya
perawatan penis 3) Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan infeksi pada saluran perkemihan b. Diagnosa keparawatan post op 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik 2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka insisi
3. Fokus intervensi
a. Diagnosa keperawatan pre op 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang dengan K.H : Pasien terlihat tenang Intervensi : a) Kaji skala nyeri b) Ajarkan teknik distrksi kepada orang tuanya c) Atur posisi anak senyaman mungkin d) Berikan lingkungan yang nyaman e) Kaloborasi dengan pemberian analgesik
34
2) Resiko
tinggi
infeksi
berhubungan
dengan
kurangnya
perawatan penis Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan faktor resiko infeksi akan hilang dengan K.H : tidak adanya tanda – tanda infeksi, menunjukan hygiene pribadi yang adekuat Intevensi : a) kaji tanda – tanda infeksi b) Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi c) Anjurkan kepada ibu pasien untuk meningkatkan hygiene pribadi pasien d) Ajarkan teknik pencucian tangan yang benar kepada keluarga e) Anjurkan keluarga untuk mencuci tangan sebelum ingin kontak langsung dengan pasien f) Kaloborasi dengan pemberian antibiotik 3) Gangguan pola eliminasi urin berhubungan dengan infeksi pada saluran perkemihan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan gangguan pola eliminasi urin dapat di atasi K.H : pasien dapat berkemih > 50 – 100 cc setiap kali dan tidak adanya hematuria Intervensi :
35
a) Pantau eliminasi urine meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume dan warna yang tepat b) Anjurkan kepada keluarga untuk mencatat haluaran urine c) Kaloborasi dengan dokter untuk segera disunat b. Diagnosa keparawatan post op 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang dengan K.H : Pasien terlihat tenang Intervensi : a) Kaji skala nyeri b) Ajarkan teknik distrksi kepada orang tuanya c) Atur posisi anak senyaman mungkin d) Berikan lingkungan yang nyaman e) Kaloborasi dengan pemberian analgesik 2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya luka insisi Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan faktor resiko infeksi akan hilang dengan K.H : Tidak adanya tanda – tanda infeksi dan menunjukan hygiene pribadi yang adekuat Intevensi : a) Kaji tanda – tanda infeksi b) Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
36
c) Anjurkan kepada ibu pasien untuk meningkatkan hygiene pribadi pasien d) Ajarkan teknik pencucian tangan yang benar kepada keluarga e) Anjurkan keluarga untuk mencuci tangan sebelum berkontak dengan pasien f) Kaloborasi dengan pemberian antibiotik
D. Konsep Dasar Penerapan Evidence Based Nursing Practice
1. Judul Terapi slow deep breathing dengan bermain meniup baling-baling terhadap intensitas nyeri pada anak yang dilakukan penyuntikan anestesi sirkumsisi 2. Peneliti Hesti Wahyuni, Setyawati, Iin Inayah 3. Tempat dan waktu penelitian Klinik Khitan Kencana Medika, dilaksanakan mulai bulan Juli – Desember 2015 4. Metode penelitian Penelitian ini menggunakan quasi eksperimental dengan control group post test. Populasi penelitian ini adalah seluruh anak yang dilakukan penyuntikan anestesi sirkumsisi di Klinik Khitan Kencana Medika. Sampel yang digunakan berjumlah 36 anak, 18 anak
37
kelompok intervensi dan 18 anak kelompok kontrol. Respon nyeri diukur menggunakan Faces Pain Rating Scale. 5. Hasil dan kesimpulan Penelitian
dianalisis
menggunakan
uji
Mann-Whitney
menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kontrol dengan p-value < 0,001 dan nilai signifikansi alpha
0,05. Kesimpulan penelitian ada pengaruh terapi slow deep
breathing dengan bermain meniup baling-baling terhadap intensitas nyeri pada anak yang dilakukan penyuntikan anestesi sirkumsisi. 6. Landasan teori terkait Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling berpengaruh dari siklus kehidupan manusia, karena pengalaman yang terjadi pada masa ini akan menjadi dasar pada tahap berikutnya yaitu proses tumbuh kembang. Berbagai konsep dipelajari anak pada masa ini, salah satunya konsep tentang sakit dan nyeri (Wong, 2009).
Penelitian
Tarwoto
(2011)
bahwa
terapi
analgetik
yang
dikombinasi dengan teknik latihan slow deep breathing dapat menurunkan nyeri. Latihan slow deep breathing dapat dijadikan salah satu
intervensi
keperawatan
mandiri.
Bagheriyan,
Borhani,
Abbaszadeh, et.al (2012 & 2013) menjelaskan metode pernapasan dan distraksi terbukti efektif dalam mengurangi rasa sakit. Intervensi ini
38
membutuhkan usaha dan waktu minimal, hemat biaya, nyaman dapat digunakan dengan mudah dalam keperawatan.
Terapi Slow Deep Breathing dapat diberikan dalam waktu 5-10 menit per hari. Penelitian Tarwoto (2011) pemberian terapi relaksasi nafas dalam selama 15 menit dapat menurunkan intensitas nyeri. Penelitian Lalehghani, et.al (2013) menyatakan bahwa pemberian terapi slow deep breathing dapat mengurangi intensitas nyeri selama luka bakar. Penelitian Syamsudin (2009) pemberian terapi relaksasi nafas dalam selama 60 menit dapat menurunkan intensitas nyeri pada hari ketiga post perawatan luka operasi pada anak. Penelitian Kirby (2010)
menggunakan
terapi
komplementer
sebagai
prosedur
manejemen nyeri selama 30 menit dapat mengurangi nyeri post operasi jantung, sedangkan Niles dalam penelitiannya menjelaskan terapi komplementer yang diberikan selama 30 menit dan 60 menit efektif mengurangi nyeri setelah operasi.
Latihan pernapasan dengan memanfaatkan bahan yang murah dapat diterapkan dengan mudah di klinik. Slow deep breathing melalui penggunaan tiupan gelembung dapat diterapkan pada anak usia 3 sampai 7 tahun. Slow deep breathing dengan meniup difasilitasi dengan mengalihkan mainan dan kegiatan. Instruksikan anak untuk mengambil napas dalam dan meniup keluar perlahan-lahan. Untuk
39
membantu memudahkan slow deep breathing pada anak-anak dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu misalnya gelembung, baling-baling dan balon (Taddio.et.al, 2009).
Penelitian tentang manfaat slow deep breathing dengan bermain meniup baling-baling untuk menurunkan nyeri pada anak belum banyak dikembangkan oleh perawat di masyarakat. Berdasarkan hasil observasi dilapangan yang penulis lakukan ditemukan bahwa perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada anak yang dilakukan penyuntikan anestesi sirkumsisi yang mengalami nyeri umumnya memberikan terapi farmakologik berupa analgesik dan tidak pernah melakukan terapi komplementer seperti terapi slow deep breathing dengan bermain meniup baling-baling yang dapat menurunkan nyeri yang dialami pasien.