BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia 2.1.1 Pengertian Ketidakcukupan energy fisiologis atau psikologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang ingin atau harus dilakukan (NANDA, 2012). Intoleransi aktivitas merupakan penurunan kapasitas fisiologis seseorang untuk melakukan penurunan kapasitas fisiologis seseorang untuk melakukan aktivitas sampai tingkat yang di inginkan atau di perlukan (Lynda juall, 2009). Intoleransi aktivitas merupakan kondisi dimana seseorang mengalami penurunan energy fisiologis dan psikologis untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Tarwoto, 2010). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa intoleransi aktivitas adalah ketidak cukupan energy baik fisiologis 2.1.2
atapun psikologis untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Batasan Karakteristik Menurut NANDA, (2012) batasan karakteristik dari intoleransi aktifitas adalah: 2.1.2.1 Secara Subyektif Menyatakan
ketidaknyamanan
atau
dispnea
saat
beraktivitas, melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal. 2.1.2.2 Secara Obyektif Frekuensi jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai 2.1.3
respon
dari
aktivitas,
perubahan
EKG
yang
menunjukkan aritmia atau iskemia. Klasifikasi
1
Menurut Carpenito (2000), tahap-tahap dalam mobilisasi pada intoleransi aktivitas terdapat tiga rentang gerak yaitu : 2.1.3.1 Rentang gerak pasif Rentan gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif, misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien 2.1.3.2 Rentang gerak aktif Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya, berbaring pasien menggerakkan kakinya. 2.1.3.3 Rentang gerak fungsional Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan. Pelaksanaan mobilisasi dini terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut tidur terlentang dulu selama 8 jam, kemudian boleh miring-miring, duduk, berdiri dan bejalan-jalan. Sebelum melakukan mobilisasi terlebih dahulu melakukan nafas dalam dan latihan kaki sederhana. Tahapan mobilisasi dapat membantu tubuh melakukan adaptasi dengan baik sehingga tidak menimbulkan keluhan lain yang tidak di harapkan. Gerakan mobilisasi ini diawali dengan gerakan ringan seperti : a. Miring ke kiri-kanan Memiringkan badan kekiri dan kekanan merupakan mobilisasi paling ringan dan yang paling baik dilakukan 2
pertama kali. Disamping dapat mempercepat proses penyembuhan, gerakan ini juga mempercepat proses kembalinya fungsi usus dan kandung kemih secara normal. b. Menggerakkan kaki Setelah mengembalikan badan ke kanan dan ke kiri, mulai gerakan kedua belah kaki. Mitos yang menyatakan bahwa hal ini tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan timbulnya varices adalah salah total. Justru bila kaki tidak digerakkan dan terlalu lama diatas tempat tidur dapat menyebabkan terjadinya pembekuan pembuluh darah batik yang dapat menyebabkan varices ataupun infeksi c. Duduk Setelah merasa lebih ringan cobalah untuk duduk di tempat tidur. Bila merasa tidak nyaman jangan dipaksakan lakukan perlahan-lahan sampai terasa nyaman d. Berdiri atau turun dari tempat tidur Jika duduk tidak menyebabkan rasa pusing, teruskanlah dengan mencoba turun dari tempat tidur dan berdiri. Bila tersa sakit atau ada keluhan, sebaiknya hentikan dulu dan dicoba lagi setelah kondisi terasa lebih nyaman. e. Ke kamar mandi Hal ini harus dicoba setelah memastikan bahwa keadaan benar - benar baik dan tidak ada keluhan. Hal ini bermanfaat untuk melatih mental karena adanya rasa takut terjdi sesak nafas. 3
Menurut Wilkinson (2012), tingkat intoleransi aktifitas menurut ketahanan yaitu : 2.1.3.1 Tingkat I: Berjalan dalam kecepatan yang teratur pada bidang datar, tetapi pernafasan menjadi lebih pendek dari normal ketika memanjat satu atau lebih anak tangga. 2.1.3.2 Tingkat II: Berjalan satu blok kota mendatar 15 meter atau memanjat satu anak tangga dengan perlahan tanpa berhenti. 2.1.3.3 Tingkat III: Berjalan mendatar tidak lebih dari 15 meter tanpa berhenti dan tidak mampu memanjat satu anak tangga tanpa berhenti. 2.1.3.4 Tingakt IV: Dispnea dan keletihan saat istirahat 2.1.4
Etiologi / Faktor yang Berhubungan Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
intoleransi
aktivitas menurut Wartonah, Tarwoto (2006) adalah: 2.1.4.1 Tirah baring dan mobilitas. 2.1.4.2 Kelemahan secara umum. 2.1.4.3 Ketidak seimbangan antar suplai dan kebutuhan oksigen. 2.1.4.4 Berhubungan dengan gangguan sistem transpor oksigen: Penyakit
jantung
kongenital
(PPOK),
Kardiomiopati
Atelektasis, Gagal jantung kongestif, Angina (Sirkulasi), Infark miokard anemia, Disritmia Hipovolemia 2.1.4.5 Berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme: Infeksi virus Operasi, Hepatitis Pemeriksaan diagnostic, Ginjal, Hepar 2.1.4.6 Berhubungan
dengan
ketidakadekuatan
sumber
energi:
Obesitas, Malnutrisi, Ketidakadekuatan diet 2.1.4.7 Berhubungan dengan ketidakaktifan : Depresi, Kurang 2.1.5
motivasi, Gaya hidup monoton Fokus Pengkajian 4
Menurut Wartonah, Tarwoto, (2006) adapun pengkajian yang dilakukan pada intoleransi aktivitas adalah: 2.1.5.1 Data subjektif Kaji batasan karakteristik: Kelemahan, kelelahan, dispnea, kurang tidur, dan istirahat Kaji factor yang berhubungan: kurang motivasi, penurunan partisipasi dalam aktifitas, kurang percaya terhadap kemampuan
melaksanakan
aktifitas,
takut
cedera
/
memperberat luka, kesulitan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, nyeri yang mempengaruhi penampilan aktivitas. 2.1.5.2 Data objektif Kaji
batasan
karakteristik,
keseimbangan, evaluasi
kaji
kekuatan
dan
individu untuk: mengubah posisi
sendiri ditempat tidur, mempertahankan kesejajaran tubuh, melakukan dan mempertahankan posisi duduk, bangkit untuk posisi
berdiri,
mempertahankan
posisi
tegak
ambulasi,
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kaji respon terhadap aktivitas: ukuran tanda-tanda vital saat istirahat, biarkan individu melakukan aktivitas, kaji adanya pucat, sianosis, vertigo. Kaji faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
situasional: a) Personal: strategi koping memfokuskan pada penghindaranan b)
Lingkungan:
ketidakadekuatan isolasi,
dukungan
ketidakcukupan
sosial. istirahat.
c) Berhubungan dengan penyakit: kelainan kardiopulmonal, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, kekurangan nutrisi, 5
kelainan
saraf,
penyakit
kronis.
d)
Tindakan
yang
berhubungan: tirah baring/ketentuan mobilisasi, obat-obatan /diet, harapan pemberi perawat, alat bantu yang memerlukan kekuatan,
pemeriksaan
diagnose,
jadwal
tindakan
dan
pembedahan. Menurut M. Taylor (2011) adapun pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan intoleransi aktivitas adalah: 2.1.5.1. Riwayat penyakit sirkulasi atau respirasi atau keduanya. 2.1.5.2. Persepsi pasien pada toleransi aktivitas 2.1.5.3. Status
pernafasan,
meliputi
kadar
gas
darah
arteri,
pemeriksaan fungsi paru, dan frekuensi, kedalaman, serta pola nafas pada saat beristirahat dan beraktivitas. 2.1.5.4. Status kardiovaskuler, meliputi tekanan darah, hitung darah lengkap, hasil ECG, dan denyut serta irama jantung pada saat beristirahat. 2.1.5.5. Pengetahuan, meliputi pemahaman terhadap kondisi sekarang, persepsi tentang perlunya mempertahankan atau memperbaiki tingkat aktivitas yang sesuai dengan kemampuan dan kesiapan belajar baik secara fisik, mental dan emosional. 2.1.6
Fokus Intervensi Fokus Intervensi Menurut Wilkinson (2012) dan Rasionalnya Menurut Doenges (2000) adalah: 2.1.6.1 Kaji respon emosi, social, dan spiritual terhadap aktifitas. Rasionalnya
untuk
menetapkan
kemampuan/kebutuhan
pasien dan memudahkan pilihan intervensi. 2.1.6.2
Kaji penyebab kelemahan 6
Rasionalnya untuk menentukan intervensi yang tepat 2.1.6.3
Kaji tanda-tanda vital Rasionalnya untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada pasien yaitu respon automatic meliputi perubahan tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu berhubungan dengan keluhan kelemahan tubuh karena berpengaruh pada aktifitas tubuh
2.1.6.4
Pantau asupan nutrisi Rasionalnya untuk memastikan keadekuatan sumber-sumber energi
2.1.6.5
Ciptakan lingkungan yang nyaman Rasionalnya lingkungan yang nyaman dapat menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar dan meningkatkan relaksasi sehingga pasien dapat istirahat dengan nyaman
2.1.6.6
Bantu aktivitas pasien sesuai kemampuan pasien Rasionalnya untuk meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen
2.1.6.7
Kolaborasi dengan ahli gizi Rasionalnya
untuk
merencanakan
makanan
untuk
meningkatkan asupan makanan yang tinggi energi 2.2 Konsep Penyakit 2.2.1 Pengertian Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat
progresif
non reversibel
atau
reversibel
parsial
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2005). 7
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002). Menurut Smeltzer and Bare (2008), Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan suatu kondisi irreversible yang berkaitan dengan dipsnue saat beraktifitas dan penurunan masuk serta keluarnya udara paru-paru. Price & Wilson (2006), juga menyebutkan PPOK merupakan suatu istilah digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah bronchitis kronis, emfisema paru dan asma bronchial. Bronchitis kronis adalah suatu gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dimanifestasikan sebagai batuk kronis dan pembentukan mucus mukoid atau mukopurulen sedikitnya tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut. Definisi ini mempertimbangkan bahwa penyakit-penyakit seperti bronkoektasis dan tuberculosis paru juga menyebabkan batuk kronis dan produksi spuntum tetapi keduanya tidak termasuk dalam kategori ini. Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomi parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris, serta destruksi dinding alveolar. Sedangkan asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-
8
saluran nafas secara periodik dan reversible akibat bronkospasme, oedem mukosa dan hipersekresi mucus (Price & Wilson, 2006). Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah merupakan kondisi penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru yang disebabkan oleh asma, emfisema atau bronkitis kronis. 2.2.2 Anatomi Fisiologi Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paruparu adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk rongga hidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar mukosa. Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedang partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung, dan ke superior di dalam sistem pernapasan bagian bawah menuju faring. Dari sini partikel halus akan tertelan atau dibatukkan keluar. Lapisan mukus memberikan air untuk kelembaban, dan banyaknya jaringan pembuluh darah di bawahnya akan menyuplai panas ke udara inspirasi. Jadi udara inspirasi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga udara yang mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh, dan kelembabannya mencapai 100% (Price & Wilson, 2006). 9
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan otototot dan mengandung pita suara. Ruang berbentuk segitiga diantara pita suara (yaitu glotis) bermuara ke dalam trakea dan membentuk bagian antara saluran pernapasan atas dan bawah. Glotis merupakan pemisah antara saluran pernapasan bagian atas dan bawah. Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas, penutupan glotis, dan fungsi seperti pintu dari epiglotis yang berbentuk daun pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke dalam esofagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui epiglotis, fungsi batuk yang dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret keluar dari saluran pernapasan bagian bawah (Price & Wilson, 2006). Trakea disokong oleh cincin tulang rawan berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci). Struktur trakea dan bronkus dianalogkan dengan sebuah pohon, dan oleh karena itu dinamakan pohon trakeobronkial. Permukaan posterior trakea agak pipih dibandingkan sekelilingnya karena cincin tulang rawan di daerah itu tidak sempurna, dan letaknya tepat di depan esofagus. Akibatnya jika suatu pipa endotrakea (ET) bulat yang kaku dengan balon yang digembungkan dimasukkan selama ventilasi mekanik, dapat timbul erosi di posterior membran tersebut, dan membentuk fistula trakeoesofageal. Erosi bagian anterior menembus cincin tulang rawan dapat juga timbul tetapi tidak sering. Pembengkakan dan kerusakan pita suara juga 10
merupakan komplikasi dari pemakaian pipa ET. Tempat trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk berat jika dirangsang (Price & Wilson, 2006). Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan dengan bronkus utama kiri dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus utama kiri lebih panjang dan lebih sempit dibandingkan dengan bronkus utama kanan dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam. Bentuk anatomi yang khusus ini mempunyai keterlibatan klinis yang penting. Satu pipa ET yang telah dipasang untuk menjamin patensi jalan udara akan mudah meluncur ke bawah, ke bronkus utama kanan, jika pipa tidak tertahan dengan baik pada mulut atau hidung. Jika terjadi demikian, udara tidak dapat memasuki paru kiri dan akan menyebabkan kolaps paru (atelektasis). Namun demikian, arah bronkus kanan yang hampir vertikal tersebut memudahkan masuknya kateter untuk melakukan pengisapan yang dalam. Selain itu, benda asing yang terhirup lebih sering tersangkut pada percabangan bronkus kanan karena arahnya vertikal (Price & Wilson, 2006). Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat 11
oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru (Price & Wilson, 2006). Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari: Bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya, duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveolus, sakkus alveolaris terminalis, yaitu struktur terakhir paru. Asinus atau kadang-kadang disebut lobulus primer memiliki garis tengah kira-kira 0,5-1,0 cm. Terdapat sekitar 23 kali percabangan mulai dari trakea sampai sakus alveolaris terminalis. Alveolus (dalam kelompok sakus alveolaris menyerupai anggur, yang membentuk sakus terminalis) dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding tipis disebut septum. Lubang kecil pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn. Lubang ini memungkinkan hubungan atau aliran udara antar sakus alveolaris terminalis. Alveolus hanya memiliki satu lapis sel yang diameternya lebih kecil dibandingkan dengan diameter sel darah merah. Dalam setiap paru terdapat sekitar 300 juta alveolus dengan luas permukaan seluas sebuah lapangan tenis (Price & Wilson, 2006). Terdapat dua tipe lapisan sel alveolar: pneumosit tipe I, merupakan lapisan tipis yang menyebar dan menutupi lebih dari 90% daerah permukaan, dan pneumosit tipe II, yang bertanggung jawab terhadap sekresi surfaktan. Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh jaringan kapiler sehingga batas antara cairan dan gas membentuk tegangan permukaan yang cenderung 12
mencegah pengembangan saat inspirasi dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein (disebut surfaktan) dan dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi. Pembentukan dan pengeluaran surfaktan oleh sel lapisan alveolus (tipe II) bergantung beberapa faktor, yaitu kematangan sel-sel alveolus dan sistem enzim biosintetik, kecepatan pergantian surfaktan yang normal, ventilasi yang memadai, dan aliran darah ke dinding alveolus. Surfaktan relatif lambat terbentuk pada kehidupan fetal; sehingga bayi yang lahir dengan jumlah surfaktan yang sedikit (biasanya pada kelahiran permatur) dapat berkembang menjadi sindrom gawat napas pada bayi. Surfaktan disintesis secara cepat dari asam lemak yang diekstraksi dari darah, dengan kecepatan pergantiannya yang cepat. Sehingga bila aliran darah ke daerah paru terganggu (misalnya karena emboli paru), maka jumlah surfaktan pada daerah tersebut akan berkurang. Produksi surfaktan dirangsang oleh ventilasi aktif, volume tidal yang memadai, dan hiperventilasi periodik (cepat dan dalam) yang dicegah oleh konsentrasi O2 tinggi pada udara yang diinspirasi. Sehingga pemberian O2 konsentrasi tinggi dalam waktu yang lama atau kegagalan untuk bernapas cepat dan dalam pada seorang pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik
menyebabkan
akan
kolaps
menurunkan
alveolar
produksi
(atelektasis).
surfaktan
Defisiensi
dan
surfaktan
dianggap sebagai faktor penting pada patogenesis sejumlah penyakit
13
paru, termasuk sindrom gawat napas akut (ARDS) (Price & Wilson, 2006). 2.2.3 Etiologi Beberapa faktor risiko terjadinya PPOK antara lain: 2.2.3.1 Pajanan dari partikel antara lain : a. Merokok: Perokok aktif dapat meng-alami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubung-an antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya (Oemiati, 2013). b. Polusi indoor: memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%13. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasip (Oemiati, 2013). c. Polusi outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang (Oemiati, 2013). d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran dan bakteri atau racun14
racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta (Oemiati, 2013). 2.2.3.2 Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1 – 3% pada pasien PPOK (Oemiati, 2013). 2.2.3.3 Riwayat infeksi saluran napas berulang :Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacat-an sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK (Oemiati, 2013). 2.2.3.4 Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi pada orang dewasa di Cina didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 – 2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34 – 3,02) (Oemiati, 2013). 2.2.4 Klasifikasi Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia) tahun 2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam: 2.2.4.1 Derajat I: PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum dan dengan sesak napas derajad
nol
sampai
satu.
Sedangkan
pemeriksaan
Spirometrinya me-nunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 % 15
2.2.4.2 Derajat II: PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau produksi sputum dan sesak napas
dengan
derajad
dua.
Sedangkan
pemeriksaan
Spirometrinya me-nunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi 2.2.4.3 Derajat III: PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan hiperkapnia. 2.2.4.4 Derajat IV: PPOK sangat berat. Keterbatasan/ hambatan aliran udara yang berat (VEP1/ KVP < 70%; VEP1 <30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal 2.2.5
napas kronik dan gagal jantung kanan. Penatalaksanaan Medis Penataklaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat kembali normal. Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk menghindari perburukan penyakit. Secara garis besar penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi 4 kelompok, sebagi berikut: 2.2.5.1 Penatalaksanaan umum 16
Penatalaksanaan umum meliputi edukasi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan
aktiviti
dan
mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah pengetahuan dasar tentang PPOK, obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya, cara pencegahan perburukan penyakit,
menghindari
pencetus
(berhenti
merokok),
penyesuaian aktivitas. 2.2.5.2 Pemberian obat-obatan a. Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat
berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
17
Macam - macam bronkodilator: Golongan antikolinergik, Golongan agonis beta – 2, Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2, Golongan xantin Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (GOLD, 2006). b. Antikolinergik Golongan antikolinergik seperti Ipatropium Bromide mempunyai efek bronkodilator yang lebih baik bila dibandingkan dengan golongan simpatomimetik. Penambahan anti kolinergik pada pasien yang telah mendapatkan
golongan
simpatomimetik
akan
mendapatkan efek bronkodilator yang lebih besar (Sharma, 2010). c. Metilxantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Untuk penggunaan jangka panjang diperlukan adanya pemeriksaan kadar aminofilin darah.
18
Pada eksaserbasi bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator
lebih
efektif.
Hati-hati
dengan
penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan bronkodilator
lainnya
karena
mempunyai
efek
memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan
di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (Sharma, 2010). d. Glukokortikosteroid Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat
berat
diberikan
secara
intravena.
Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat
yang
lebih
baik,
tetapi
lebih
banyak
menimbulkan efek samping (GOLD, 2006).
19
e. Obat-obat lainnya a) Antibiotika Pemberian antibiotika diindikasikan jika: Peningkatan jumlah sputum, Sputum berubah menjadi purulen, Peningkatan sesak Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.
b) Antioksidan Dapat memperbaiki
mengurangi kualiti
hidup,
eksaserbasi digunakan
dan N
-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin c) Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut
karena
akan
mempercepat
perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada
20
PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. 2.2.5.3 Terapi oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organorgan lainnya. Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik (Sharma, 2010). 2.2.5.4 Rehabilitasi Rehabilitasi multidisiplin
pulmonal
keilmuan
termasuk
melibatkan diantaranya
berbagai dokter,
perawat, fisioterapis pernafasan, fisio terapi secara umum, okupasional terapi, psikolog dan pekerja sosial. Sharma (2010) menjelaskan program rehabilitasi paru secara komprehensif adalah meliputi sebagai berikut: a. Exercise training dan respiratori muscle training Latihan otot ektremitas maupun latihan otot pernafasan merupakan latihan dasar dari proses rehabilitasi paru. Latihan ditargetkan mencapai 60% dari beban maksimal selama 20-30 menit diulang 2-5 kali seminggu. Latihan mengacu pada otot-otot tertentu yang terlibat dalam 21
aktifitas kesehariannya, terutama otot lengan dan otot kaki (Sharma, 2010). b. Nutrisi Malnutrisi
sering
terjadi
pada
PPOK,
kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah Malnutrisi dapat dievaluasi dengan : Penurunan berat badan, Kadar albumin darah, Antropometri, Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi), Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia) (Taatuji, 2004). 2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit paru obstruksi kronik menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2005) adalah: 2.2.6.1 Pemeriksaan rutin a. Faal paru b. Spirometri c. Uji bronkodilator
2.2.6.2 Darah rutin 22
Hb, Ht, leukosit 2.2.6.3 Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain 2.2.6.4 Pemeriksaan Khusus a. Faal paru a) Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total
(KPT), VR/KRF,
VR/KPT meningkat b) DLCO menurun pada emfisema c) Raw meningkat pada bronkitis kronik d) Sgaw meningkat e) VariabilitiHarian APE kurang dari 20% b. Uji latihan kardiopulmoner a) Sepeda statis (ergocycle) b) Jentera (treadmill) c) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal c. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan d. Uji coba kortikosteroid Menilai
perbaikan
faal
paru
setelah
pemberian
kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20% dan minimal 23
250 ml. Pada umumnya PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. e. Analisis gas darah Terutama untuk menilai, gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal napas kronik f. Radiologi a) CT-Scan resolusi tinggi b) Mendeteksi empisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos c) Scan ventilasi perfusi, mengetahui fungsi respirasi paru g. Elektrokardiografi Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan h. Ekokardiografi Menilai fungsi jantung kanan i. Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin 24
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. 2.2.7 Patofisiologi 2.2.7.1 Keterbatasan aliran udara dan air trapping Peradangan, fibrosis, dan luminal eksudat disaluran pernafasan kecil berkolerasi dengan pengurangan di FEVI dan rasio FEVI/FVC, dan kemungkinan dipercepat oleh penurunan FEVI yang
merupakan
terperangkap
karakteristik
PPOK.
saluran
pernafasan
pada
Udara
semakin
perifer
yang
menyebabkan obstruksi saluran ekspirasi. Meskipun emfisema berhubungan
dengan
pertukaran
dibandingkan
dengan
FEVI
yang
gas
yang
berkurang,
abnormal hal
ini
berkontribusi pada udara yang terperangkap pada saat ekspirasi. Selanjutnya akan menyebabkan alveolar menjadi rusak ketika penyakit menjadi semakin parah. Hiperinflasi merupakan kapasitas inspirasi yang meningkatkankapasitas residu fungsional, khususnya selama latihan (hiperinflasi dinamis)
yang menyebabkan
dipsnue
dan keterbatasan
kapasitas latihan. Hiperinflasi berkembang lebih awal pada penyakit diketahui sebagai mekanisme utama untuk penyebab dipsnue (GOLD, 2006). 2.2.7.2
Kelainan pertukaran gas Pertukaran gas yang tidak normal menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Secara umum pertukaran gas menjadi memburuk ketika penyakit berlangsung. Emfisema yang erat 25
berhubungan dengan ketidak seimbangan PaO2 arteri dan tanda perfusi ventilasi lainnya (VA/Q). obstruksi pada jalan nafas perifer
juga
menyebabkan
ketidak
seimbangan
VA/Q,
diperberat dengan gangguan fungsi pada otot-otot pernafasan akan menurunkan ventilasi, dan menyebabkan resisten karbon dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan penurunan sirkulasi 2.2.7.3
pada
pembuluh
darah
paru
akan
semakin
memperburuk VA/Q (GOLD, 2006). Hipersekresi mukus Hipersekresi lendir di temukan pada batuk kronis produktif, yang merupakan karakteristik dari bronchitis kronis dan tidak terkait dengan keterbataan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi mucus, hal ini karena metaplasia mukosa dengan meningkatkan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa sebagai respon dari iritasi saluran nafas oleh asap rokok dan zat bahaya lainnya.
Beberapa
mediator
dan
protease
merangsang
hipersekresi mucus dan mengaktifasi Epidermal Faktor Receptor (EGFR) (GOLD, 2006).
26
2.2.8
Pathway Keperawatan
Pencetus (Asthma, Bronkhitis kronis, Emfisema)
Rokok dan Polusi Inflamasi
PPOK
Spuntum meningkat
Perubahan Anatomis Parenkim Paru
Batuk
Pembesaran Alveoli Hipertropi Kelenjar Mukosa MK: Gg.pertukaran gas
Penyempitan saluran udara secara periodik
Suplay oksigen tidak adekuat keseluruh tubuh Hipoksia
MK: Bersihan jalan nafas tidak efektif
Ekspansi paru menurun Kompensasi tubuh untuk memenuhi Kebutuhan oksigen dengan meningkatkan frekuensi pernapasan
Sesak MK: Tidak efektif pola nafas
Kontraksi otot pernapasan, Penggunaaan energi untuk Pernapasan meningkat MK: Intoleransi aktifitas nafas
Infeksi Leukosit meningkat Imun menurun Kuman patogen & endogen difagosit makrofag Anoreksia MK: Gg.Nutrisi (Price & Wilson, 2006. GOLD, 2006. Oemiati, 2013. Doenges, 2000) 26
2.2.9 Fokus Pengkajian Pengkajian yang dilakuka pada pasien dengan PPOK menurut Doenges (2000) adalah: 2.2.9.1 Aktivitas dan Istirahat Gejala : a. Keletihan, kelelahan, malaise, b. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas c. Ketidakmampian untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi d. Dispnea pasa saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan Tanda : a. Keletihan b. Gelisah, insomnia c. Kelemahan umum/kehilangan massa otot. 2.2.9.2 Sirkulasi Gejala : a. Pembengkakan pada ekstremitas bawah Tanda : a. Peningkatan tekanan darah b. Peningkatan frekuensi jantung c. Distensi vena leher d. Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung e. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameterAP dada) f. Warna kulit/membrane mukosa : normal/abu-abu/sianosis; kuku tabuh dan sianosis perifer g. Pucat dapat menunjukkan anemia. 2.2.9.3 Integritas Ego Gejala : a. Peningkatan factor resiko b. Perubahan pola hidup Tanda : a. Ansietas, ketakutan, peka rangsang 2.2.9.4 Makanan/Cairan Gejala : a. Mual/muntah b. Nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema) c. ketidakmampuan untuk makankarena distress pernafasan 27
d. penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan meninjukkan edema (bronchitis) Tanda : a. Turgor kulit buruk b. Edema dependen c. Berkeringat d. Penurunan berat badan, penurunan massa otot (emfisema) e. Pa;pitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis) 2.2.9.5 Higiene Gejala : Penurunan kemampuan/peningkatan
kebutuhan
bantuan
melakukan aktivitas sehari-hari Tanda : Kebersihan buruk, bau badan 2.2.9.6 Pernafasan Gejala : a. Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja; cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma); rasa dada tertekan,m ketidakmampuan untuk bernafas (asma) b. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, puith, atau kuning) dapat banyak sekali (bronchitis kronis) c. Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema) d. Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan pernafasan dalam jangka panjang (mis. Rokok sigaret) atau debu/asap (mis.asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji) e. Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-menerus. Tanda :
28
a. Pernafasan : biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema) b. Penggunaaan otot bantu pernafasan, mis. Meninggikan bahu, melebarkan hidung. c. Dada: gerakan diafragma minimal. d. Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); menyebar, lembut atau krekels lembab kasar (bronchitis); ronki, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan
kemungkinan
selama
inspirasi
berlanjut
sampai
penurunan atau tidak adanya bunyi nafas (asma) e. Perkusi : Hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara dengan emfisema); bunyi pekak pada area paru (mis. Konsolidasi, cairan, mukosa) f. Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus. g. Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abbu-abu keseluruhan;
warna
merah
(bronchitis
kronis,
“biru
mengembung”). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut “pink puffer” karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat. h. Tabuh pada jari-jari (emfisema) 2.2.9.7 Keamanan Gejala : a. Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor lingkungan b. Adanya/berulang infeksi c. Kemerahan/berkeringat (asma) 2.2.9.8 Seksualitas Gejala : penurunan libido 2.2.9.9 Interaksi Sosial Gejala : a. Hubungan ketergantungan Kurang sistem penndukung b. Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang dekat c. Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik 29
Tanda : a. Ketidakmampuan untuk membuat//mempertahankan suara karena distress pernafasan b. Keterbatasan mobilitas fisik c. Kelalaian hubungan dengan anggota kelurga lain. 2.2.10 Fokus Intervensi Menurut Doenges, (2002) fokus yang mungkin muncul pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah: 2.2.10.1 Bersihan jalan napas tidak efektif b.d kelemahan, upaya batuk yang buruk, sekresi yang kental atau berlebihan (Doenges, 2002). Tujuan: mempertahankan jalan nafas pasien. Kriteria hasil : a. Pasien mampu mengeluarkan sekret tanpa bantuan b. Pasien
memperlihatkan
perilaku/upaya
mempertahankan bersihan jalan nafas c. Pasien berpartisipasi dalam program pegobatan Intervensi : a.
Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas, mis: mengi, krekels, ronki. Rasional: Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas.
b. Berikan pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
30
Rasional: Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran. c. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diagframatik dan batuk. Rasional: Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa menyebabkan sesak napas dan keletihan. d. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inheler dosis terukur. Rasional: Tindakan ini menimbulkan air ke dalam percabangan bronkial dan pada sputum, menurunkan kekentalannya, sehingga mudah evakuasi sekresi. e. Lakukan drainase postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi dan malam hari sesuai yang diharuskan. Rasional:
Menggunakan
gaya
gravitasi
untuk
membantu membangkaitkan seksresi dapat lebih mudah dibatukkan atau di uap. f. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim dari asap. Rasional:
Iritan
bronkial
menyebabkan
bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukkan lendir yang kemudian mengganggu klirens jalan napas.
31
g. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi pernapasan yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera. Rasional: Infeksi pernapasan minor yang tidak memberikan konsekuensi pada individu dengan paruparu yang normal dapat menyebabkan gangguan fatal. h. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan. Rasional: Antibiotik diresepkan untuk mencegah atau mengatasi infeksi.
2.2.10.2 Gangguan pertukaran gas b.d berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, ketidaksamaan ventilasi perfusi (Doenges, 2002). Tujuan : Hilang atau menurunnya dispnea. Kriteria hasil : a. Tidak terjadi dispnea. b. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat c. GDA dalam rentang normal. d. Bebas dari gejala distres pernapasan. Intervensi: a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal, peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
32
Rasional: Weezing atau mengi indikasi akumulasi sekret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga
otot
aksesori
digunakan
dan
kerja
pernapasan meningkat. b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tandatanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku. Rasional: Akumulasi sekret dapat mengganggu oksigenasi di organ vital dan jaringan. c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir
disiutkan, terutama pada pasien dengan
fibrosis atau kerusakan parenkim. Rasional: Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas. d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan. Rasional:
Mengurangi
konsumsi
oksigen
pada
periode respirasi. e. Monitor GDA Rasional: Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya
PaC02
menunjukkan
perlunya
penanganan yang lebih adekuat atau perubahan terapi. f. Berikan oksigen sesuai indikasi
33
Rasional: Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder terhadap hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar
paru.
g. Berikan bronkodilator sesuai yang diharapkan: a) Dapat dilakukan peroral, IV, rektal, atau dengan inhalasi b) Berikan bronkodilator oral, IV pada waktu yang berselingan dengan tindakan nebuliser Rasional: Bronkodilator mendilatasi jalan napas dengan membantu melawan edema mukosa bronkial dan spasme muskular. Karena efek samping biasa terjadi pada tindakan ini, dosis obat disesuaikan dengan cermat untuk setiap pasien. h. Evaluasi efektivitas tindakan nebuliser, inheler, dosis terukur: a) Kaji penurunan sesak napas, penurunan mengi atau krekels, kelinggaran sekresi, penurunan ansietas b) Pastikan bahwa tindakan diberikan sebelum makan untuk menghindari mual dan keletihan Rasional: aerosolized digunakan
Mengkombinasikan bronkodilator untuk
medikasi
nebulisasi
mengendalikan
dengan biasanya
bronkiektasis.
Aerosol memudahkan kliens bronkial, membantu
34
mengendalikan proses inflamasi dan memperbaiki fungsi ventilasi. i. Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien dengan pernapasan diafragmatik dan batuk efektif. Rasional: Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan sputum. 2.2.10.3 Pola napas tidak efektifberhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas (NANDA NIC NOC, 2012) Tujuan: Pola nafas efektif Kreteria hasil: a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah (sistole 110-130mmHg dan diastole 7090mmHg), nad (60-100x/menit)i, pernafasan (1824x/menit)) Intervensi: a. Kahi dan catat status pernafasan setidaknya setip 4 jam
35
Rasional:
untuk
mendeteksi
tanda-tanda
awal
gangguan b. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan. Rasional: pernafasan bibir akan memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan nafas selama ekspirasi sehingga mengurangi jumlah udara yang terjebak dan jumlah tahanan jalan nafas.. c. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Rasional: untuk menghindari terjadinya keletihan. d. Tinggikan kepala dan bantu pasien untuk mengubah posisi Rasional:
duduk
tinggi
memungkinkan
untuk
ekspansi paru dan memudahkan pernafasan. e. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan. Rasional: melatih untuk keadekuatan pernafasan dan meningkatkan asupan oksigen 2.2.10.4 Intoleransi
aktivitas
b.d
ketidakseimbangan
suplai
oksigen (Doenges, 2002). Tujuan: Intoleransi aktivitas teratasi. Kriteria hasil: a. Klien mampu melakukan aktivitas secara perlahan
36
b. Mendemonstrasikan kemampuan beraktivitas. Intervensi: a. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea, peningkatan kelemahan & perubahan tanda vital setelah aktivitas. Rasional: Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien dan memudahkan dalam menentukan pilihan intervensi keperawatan yang sesuai untuk pasien. b. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi. Rasional: Menurunkan stres dan rangsangan yang berlebihan, serta meningkatkan istirahat pasien. c. Jelaskan
pentingnya
istirahat
dalam
rencana
pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat. Rasional: Tirah baring dipertahankan selama fase akut
untuk
menurunkan
kebutuhan
metabolic,
menghemat energy untuk penyembuhan. d. Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat atau tidur. Rasional: Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur dikursi, atau menunduk. e. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
37
Rasional: Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. 2.2.10.5 Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia (Doenges, 2002). Tujuan: status nutrisi optimal dapat dipertahankan Kriteria hasil: a. Menunjukkan peningkatan berat dan bebas tanda malnutrisi. b. Melakukan
perubahan
pola
hidup
untuk
meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat. Intervensi: a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, menelan,
integritas
mukosa
adanya
mulut,
bising
usus,
kemampuan riwayat
mual/muntahataudiare. Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat. b. Kaji pola diet pasien yang disukai dan yang tidak. Rasional: Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien. c. Monitor intake dan output secara periodik Rasional: Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
38
d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB). Rasional:
Dapat
mengidentifikasi
menentukan
jenis
diet
pemecahan
masalah
dan untuk
meningkatkan intake nutrisi. e. Anjurkan bedrest Rasional: Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik. f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan. Rasional: Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau
obat-obat
yang
digunakan
yang
dapat
merangsang muntah. g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat. Rasional:
Memaksimalkan
intake
nutrisi
dan
menurunkan iritasi gaster. h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet. Rasional: Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet
dengan
nutrisi
adekuat
unruk
kebutuhan
metabolik dan diet.
39
i. Konsul dengan tim medis untuk jadual pengobatan 12 jam sebelum/setelahmakan. Rasional: Membantu menurunkan insiden mual dan muntah karena efek samping obat. j. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin). Rasional: Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
40