Bab Ii Terbaru

  • Uploaded by: Rahmatia Kaluku
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii Terbaru as PDF for free.

More details

  • Words: 3,301
  • Pages: 16
BAB II TINAJUAN PUSTAKA 2.1

Dasar Teori

2.1.1

Definisi Fitokimia Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien, dalam arti luas adalah segala jenis

zat kimia atau nutrien yang diturunkan dari sumber tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan. Dalam penggunaan umum, fitokimia memiliki definisi yang lebih sempit (Gunawan, 2004). Fitokimia biasanya digunakan untuk merujuk pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tetapi memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki peran aktif bagi pencegahan penyakit. Karenanya, zat-zat ini berbeda dengan apa yang diistilahkan sebagai nutrien dalam pengertian tradisional, yaitu bahwa mereka bukanlah suatu kebutuhan bagi metabolisme normal, dan ketiadaan zat-zat ini tidak akan mengakibatkan penyakit defisiensi, paling tidak, tidak dalam jangka waktu yang normal untuk defisiensi tersebut (Gunawan, 2004). Kata fitokimia berasal dari kata "phyto" dalam Bahasa Yunani yang artinya tanaman atau tumbuhan dan kata "kimia". Jadi, fitokimia adalah ilmu kimia yang membahas senyawa-senyawa yang khusus berasal dari tanaman. Pada dasarnya, senyawa fitokimia merupakan metabolit sekunder dari tanaman penghasilnya (Tjtrosoepomo, 2005). 2.1.2

Senyawa Metabolit Sekuner Metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa fitokimia ini bukanlah

senyawa yang esensial bagi pertumbuhan tanaman. Senyawa yang termasuk pada metabolitr sekunder yaitu (Tjtrosoepomo, 2005). 1.

Alkaloid Alkaloid adalah keberadaan unsur nitrogen heterosiklik pada struktur

kimianya. Namun selain ciri ini, banyak variasi yang terdapat antar senyawa alkaloid. Efek biologis dari alkaloid pun beragam, ada yang berkhasiat untuk pemeliharaan kesehatan dan ada pula yang beracun. Dibandingkan jenis senyawa

fitokimia lainnya, jenis alkaloid pada tanaman yang biasa dijadikan bahan pangan tidak terlalu banyak salah satu contohnya adalah kafein (Tjtrosoepomo, 2005). 2.

Polifenol Senyawa fenolik atau polifenol ditandai dengan adanya struktur fenol, di

mana gugus hidroksil (-OH) terikat langsung pada struktur hidrokarbon aromatik. Jenis senyawa fitokimia yang satu ini merupakan yang paling banyak anggotanya dibandingkan senyawa fitokimia jenis lainnya. Selain itu, senyawa polifenol memang terdapat di hampir semua tanaman salah satu sub-kelompok dari senyawa polifenol adalah flavonoid (Tjtrosoepomo, 2005). 3.

Terpenoid Terpenoid adalah senyawa fitokimia yang dibangun dari struktur isoprene.

Tetraterpenoid, jenis terpenoid yang mengandung delapan unit isopren, termasuk senyawa fitokomia yang bisa kita dapat dari makanan. Contohnya adalah senyawasenyawa karotenoid yang berkhasiat memelihara kesehatan mata (Tjtrosoepomo, 2005). 4.

Fitosterol Fitosterol adalah kelompok senyawa turunan steroid yang berasal dari

tanaman dan punya kemiripan struktur dengan kolesterol. Pada makanan, fitosterol bisa berasal dari kacang-kacangan, serealia, minyak nabati dan biji wijen. Senyawa yang bersifat antikanker ini bisa menghambat pertumbuhan tumor secara langsung (Tjtrosoepomo, 2005). 2.1.3

Simplisia Simplisia adalah bahan alam yang di gunakan sebagai bahan obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah di keringkan (Dirjen POM, 1979). Simplisia terbagi atas 3, yaitu : 1.

Simplisia Nabati Simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat

tanaman, atau gabungan ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari selnya, berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya dengan cara tertentu dipisahkan, diisolasi dari tanamannya.

2.

Simplisia Hewani Simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh

hewan dan belum berupa bahan kimia mumi (minyak ikan / Oleum iecoris asselli, dan madu / Mel depuratum). 3.

Simplisia Mineral Simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah

diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni (serbuk seng dan serbuk tembaga). Dalam hal simplisia sebagai bahan baku dan produk siap dikonsumsi langsung. Dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter standar mutu simplisia yaitu sebagai berikut (Dirjen POM, 1989); 1.

Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya mempunyai tiga parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis), serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).

2.

Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap diupayakan memiliki tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (mutu-aman-manfaat).

3.

Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap respons biologis untuk mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan.

2.1.4

Ekstraksi Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman obat. Adapun

tujuan dari ekstraksi yaitu untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Adapun beberapa jenis ekstraksi yaitu (Wijaya, 1992). 1.

Ekstraksi secara dingin

a.

Metode maserasi Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.

b. Metode Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi.Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien. c. Metode Soxhletasi Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung dan kekuranganya Karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas. 2.

Ekstraksi secara panas

a.

Metode refluks Metode refluks memiliki keuntungan Keuntungan yaitu digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung dan kerugianya yaitu membutuhkan volume total pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi dari operator.

b.

Metode destilasi uap Destilasi uap adalah metode yang popular untuk ekstraksi minyak-minyak menguap (esensial) dari sampel tanaman Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal. 2.2

Uraian Bahan

2.3

Uraian Tanaman

2.3.1

Bandotan (Ageratum conyzoides L)

2.3.1.1 Klasifikasi Tanaman Regnum

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Classis

: Dicotyledoneae

Ordo

: Asterales

Familia

: Asteraceae

Genus

: Ageratum

Spesies

: Ageratum conyzoides L.

(Badan POM RI, 2008). 2.3.1.2 Morfologi Tanaman Habitus berupa tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30-90 cm dan bercabang. Batang berbentuk bulat berbulu tebal. Daun tunggal bertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang, helaian daun bulat telur dengan pangkal membulat dan ujung meruncing, tepi bergerigi, panjangnya 1-10 cm, lebar 0,5-7 cm, kedua permukaan daun meroma dengan kelenjar yang terletak di permukaan bawah daun, warnanya hijau. Bunga majemuk berkumpul 3 atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai, biasanya berwarna biru hingga ungu, terkadang putih. Panjang bonggol bunga 6-8 mm, dengan tangkai yang berambut. Buah bulat panjang berwarna hitam dan bentuknya kecil (Badan POM RI, 2008). 2.3.1.3 Manfaat Tanaman Bandotan berkhasiat sebagai stimulant, tonik, pereda demam (antipiretik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan, menghentikan pendarahan (hemostatis), peluruh haid (emenagog), peluruh kencing (diuretic), dan peluruh kentut (karminatif). Daun bandotan dapat digunakan pula sebagai insektisida nabati (Dalimartha, 2000). 2.3.1.4 Kandungan kimia Hasil analisis fitokimia terhadap daun bandotan menunjukkan adanya senyawa-senyawa flavonoid, steroid, p-hidrokuinon, terpenoid dan tanin (Sugara,

et al. 2016). Bandotan memiliki bahan kandungan di antaranya meliputi glikosida, tanin, alkaloid, resin, saponin, flavonoid, terpen, polifenol, dan minyak atsiri. Sedangkan, bagian akarnya mengandung fenolik dan terpenoid (Utami, 2012). 2.3.2

Gamal (Gliricidia maculata Hbr.)

2.3.2.1 Klasifikasi Tanaman Regnum

: Plantae

Divisio

: Magnoliophyta

Ordo

: Fabales

Familia

: Fabaceae

Genus

: Gliricidia

Spesies

: Gliricidia maculata

(Elevitch and John, 2006). 2.3.2.2 Morfologi Tanaman Gamal merupakan jenis perdu atau pohon dengan tinggi mencapai 2-15 meter. Batangnya tegak dengan permukaan kulit yang halus, beralur dan berwarna coklat keabu-abuan. Daunnya majemuk menyirip dengan jumlah daun 7-17 pasang dengan posisi saling berhadapan kecuali di bagian ujung ibu tangkai daun, helaian daun berbentuk jorong atau lanset, dengan panjang 15-30 cm, berambut ketika muda, ujung daun runcing dengan pangkal daun membulat. Helaian anak daun gundul, tipis, hijau diatas dan keputih-putihan di sisi bawahnya. Umumnya daun tananam gamal gugur di musim kemarau. 2.3.2.3 Manfaat Tanaman Daun, batang muda dan kulit batang gamal biasa dimanfaatkan sebagai pakan ternak, terutama pada daerah yang kekurangan air. Batang gamal juga dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, arang, furnitur lokal, dan bahan konstruksi. Tanaman gamal biasa ditanam pada ladang-ladang perkebunan kopi, coklat dan teh sebagai pelindung atau peneduh. Pohon-pohon gamal dapat ditanam untuk mereklamasi lahan-lahan gundul atau pada lahan-lahan yang didominasi oleh alangalang. Biji, daun dan akar gamal dapat digunakan sebagai rodentisida dan pestisida setelah terlebih dahulu dilakukan fermentasi (Plantus, 2008).

Perakaran gamal merupakan penambat nitrogen yang baik. Tanaman ini berfungsi sebagai pengendali erosi dan gulma terutama alang-alang. Bunga gamal merupakan pakan lebah yang baik, dan dapat pula dimakan setelah dimasak (Palntus, 2008). Daun gamal mengandung banyak protein dan mudah dicerna khususnya untuk ternak ruminansia sehingga cocok untuk pakan ternak. Selain itu daun dan ranting tanaman gamal dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau untuk memperbaiki kesuburan tanah. Daun-daun, biji dan kulit batang gamal mengandung zat yang bersifat racun bagi manusia dan ternak, kecuali ternak ruminansia. Dalam jumlah kecil, ekstrak bahan-bahan itu digunakan sebagai obat bagi berbagai penyakit kulit, rematik, sakit kepala, batuk, dan luka-luka tertentu. Tanaman gamal sangat bermanfaat bagi ternak, tetapi tingkat racunnya juga sudah lama dikenal. Di Amerika Tengah, tumbuhan daun dan kulit kayu dicampur dengan rebusan biji jagung digunakan sebagai racun binatang pengerat (rodenticidal). Di beberapa daerah pesisir Jawa Barat, kulit batang dan biji gamal digunakan sebagai campuran bahan pembuat racun ikan. (Manglayang Farm, 2006) 2.3.2.4 Kandungan kimia Gamal mengandung senyawa toksik dikumerol, suatu senyawa yang mengikat vitamin K dan dapat mengganggu sistem peredaran darah serta menggumpalkan darah pada hewan (Manglayang Farm, 2006). Menurut Luki (2009) Daun gamal juga mengandung senyawa tanin yang efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap buah lada (Dasynus piperis). Zat lain yang perlu diperhatikan dalam tanaman gamal adalah nitrat. Nitrat tidak terlalu beracun terhadap ternak, tetapi pada jumlah yang banyak dapat menyebabkan keracunan nitrat (nitrate poisoning). Nitrat yang secara alamiah terdapat pada tanaman di rubah menjadi nitrit oleh proses pencernaan, nitrit dikonversi menjadi amonia. Kemudian amonia di konversi lagi menjadi protein oleh bakteri dalam rumen. Apabila ternak sapi mengkonsumsi banyak hijauan yang mengandung nitrat dalam jumlah besar, nitrit akan terakumulasi di dalam rumen (Manglayang Farm, 2006).

Tanaman gamal juga memiliki molekul alkaloid yang belum dapat diidentifikasi, senyawa pengikat protein yang tergolong zat anti nutrisi dan tannin walaupun dalam konsentrasi cukup rendah dibandingkan tumbuhan Kaliandra (Calliandra calothrysus) (Makati, 2009). 2.3.3

Paku (Selaginella willdenowii)

2.3.3.1 Klasifikasi Tanaman Regnum

: Plantae

Divisio

: Pteridophyta

Classis

: Lycopodinae

Ordo

: Selaginellales

Familia

: Selaginellaceae

Genus

: Selaginella

Spesies

: Selaginella willdenowii

2.3.3.2 Morfologi Tanaman 1.

Akar Akar adalah organ penting untuk menahan udara di dalam tanah dan

menyerap material anorganik dari dalam tanah. Perbandingan bukti anatomi dan fosil yang dikombinasikan dengan pemetaanfilogenetik menunjukkan bahwa akar berevolusi setidaknya dua kali. Akar tumbuhan paku memiliki asal-usul adventif dan endogen yang serupa pada batang atau khusus akar memproduksi organ, dengan akar embrio kurang berkembang. Ciri yang paling menonjol dari karakteristik akar tumbuhan paku adalah apakah akar lateral (monopodial) ataupun dikotom (Ranker & Haufler, 2008). Menurut poros bujurnya, pada embrio tumbuhan paku telah dapat dibedakan dua kutub yaitu kutub atas dan bawah. Kutub atas akan berkembang membentuk tunas (batang beserta daun-daunnya). Kutub bawah dinamakan kutub akar. Kutub akar tidak terus berkembang membentuk akar. Akar tumbuhan paku bersifat endogen dan tumbuh ke samping dari batang. Akar yang keluar pertama-tama tidak dominan, melainkan segera disusul oleh akar-akar lain yang semuanya muncul dari batang (Tjitrosoepomo, 2005).

2.

Batang Batang Pteridophyta bercabang-cabang menggarpu (dikotom) atau jika

membentuk cabang-cabang ke samping, cabang-cabang baru itu tidak pernah keluar dari ketiak daun. Pada batang Pteridophyta terdapat banyak daun yang dapat tumbuh terus sampai lama (Tjitrosoepomo, 2005). Batang tumbuhan paku kadang-kadang tidak tampak. Sebenarnya seperti tumbuhan pada umumnya, tumbuhan paku mempunyai akar, batang dan daun. Hanya saja pada beberapa jenis paku yang hidup di tanah, batang tersebut tumbuh sejajar dengan tanah. Karena tumbuhnya yang menyerupai akar inilah batang tersebut disebut rhizome. Batang ini sering ditutupi oleh rambut atau sisik yang berfungsi sebagai pelindungnya. Dari rhizome ini pula tumbuh akar-akar yang lembut (Sastrapradja, 1980). 3.

Daun Tumbuhan paku mempunyai bentuk daun yang beraneka ragam. Daun

yang tunggal dan kaku, kadang-kadang menyerupai jenis anggrek. Daun majemuk, sering memperlihatkan susunan daun yang indah sekali. Daun paku ada yang tunggal ada yang majemuk, bahkan ada yang menyirip ganda. Helaian daun itu secara menyeluruh sering disebut ental. Kadang-kadang tumbuh dua macam entalyaitu yang subur dan yang mandul. Pada yang subur, di permukaan daun bagian bawah terdapat sporangia. Kumpulan dari sporangia itu disebut sorus (jamak : sori). Tidak jarang sorus tersebut dilindungi oleh suatu penutup

yang disebut indusium (jamak : indusia).

Umumnya penutup itu

berbentuk seperti ginjal (Sastrapradja,1980). Daun-daun pada tumbuhan paku biasanya disebut ental (frond). Pada umumnya ental mengumpul atau menyebar di sepanjang rimpang. Ental pada tumbuhan paku muda biasanya menggulung oleh karenanya disebut coil atau gelung. Ental terdiri atas stipe, rachis dan lamina. Stipe merupakan bagian pangkal ental yang strukturnya berkayu; stipe analog dengan petiole. Setiap jenis tumbuhan paku memiliki bentuk ental yang khas. Bentuk ental pada tumbuhan muda biasanya sangat berbeda dengan yang ditemui pada tumbuhan dewasa (Hariyadi, 2000).

4.

Spora Pada permukaan bawah daun dewasa pada hampir semua jenis

tumbuhan paku, terdapat semacam bercak berbentuk bulat atau memanjang berwarna karat, yang sewaktu muda biasanya tertutup oleh jaringan penutup yang disebut indusium. Bercak berwarna karat itu terdiri atas berbagai sporangium dan disebut sorus. Bentuk sorus, letaknya terhadap tulang daun dan sudut anak daun dan tipe indusium merupakan sifat penting untuk klasifikasi tumbuhan paku (Loveless, 1989). Spora muda pertama-tama mempunyai dinding yang tebal dan kuat yang disebut eksosporium. Menempel di sebelah dalamnya terdapat suatu dinding tipis dari selulosa yang dinamakan endosporium. Seringkali pada eksosporium itu oleh periplasmodium ditambahkan lapisan luar yang dinamakan perisporium. Spora hampir selalu tidak mengandung klorofil, tetapi seringkali berwarna agak pirang karena mengandung karotenoid (Tjitrosoepomo, 2005). Spora pada tumbuhan paku sangat lembut. Spora-spora ini dihasilkan oleh kotak spora dan tersimpan rapat-rapat di dalamnya (Sastrapradja, 1980). Menurut Tjitrosoepomo (2005), jenis-jenis

tumbuhan

paku

yang

menghasilkan spora berumah satu dan sama besar dinamakan paku homospor atau isospor. Ada juga jenis paku yang sporanya tidak sama besar dan berumah dua. Pemisahan jenis kelamin telah terjadi pada pembentukan spora, yang selain berbeda jenis kelaminnya juga berbeda ukurannya yaitu : a.

Makrospora atau megaspora yang berukuran besar, mengandung banyak

cadangan makanan dan akan tumbuh menjadi makroprotaliumyang agak besar yang mempunyai arkegonium. b.

Mikrospora

yang

berukuran

kecil

yang

akan

tumbuh

menjadi

mikroprotalium yang terdapat anteridium 2.3.3.3 Manfaat Tanaman Tumbuhan paku banyak memiliki jenis-jenis yang penampilannya menarik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Tumbuhan paku

yang termasuk ke dalam kelompok ini misalnya marga Adiantum,

Platycerium, dan jenis Asplenium nidus. Beberapa jenis tumbuhan paku dapat

juga

dimanfaatkan sebagai sayuran seperti Diplazium esculentum, Aspidium

repandum, Ceratopteris thalictroides, Nephrolepis bisserata, dan Helmintostachys zeylanica. Untuk keperluan pengobatan jenis tumbuhan paku yang banyak dimanfaatkan adalah Selaginella plana digunakan sebagai pembersih darah dan Equisetum debiledigunakan sebagai obat analgesik. Sedangkan Lygodium scandens digunakan sebagai obat sariawan dan disentri (Hariyadi, 2000). Tumbuhan paku banyak ragamnya, dapat digunakan sebagai tanaman hias, sayuran, obat, kerajinan dan sarana upacara adat. Secara umum tumbuhan paku baru sedikit dikenal oleh masyarakat. Bagi masyarakat yang tinggal di kota, tumbuhan paku dikenal sebagai tanaman hias dan di pedesaan tumbuhan paku dikenal sebagai tanaman sayuran, obat dan bahan baku kerajinan (Darma et al., 2004). Menurut Chikmawati (2007) dalam Kurniawan (2010), tumbuhan paku atau pakis-pakisan banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan media tanam tanaman hias. Di daerah Jawa Barat, Selaginella diketahui dimanfaatkan sebagai obat sakit demam, patah tulang, pendarahan pada wanita melahirkan. Selanjutnya Sumantera (2004) dalam Kurniawan (2010) menambahkan di kawasan

Begudul, Bali,

batang

dewasa Cyathea

latebrosa

dimanfaatkan

masyarakat sebagai media tanam anggrek sekaligus digunakan sebagai tiang bangunan seperti kandang sapi, dapur, dan pelinggih pura. 2.3.4

Sirih (Piper bettle L.)

2.3.4.1 Klasifikasi Tanaman Regnum

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Classis

: Dicotyledoneae

Ordo

: Piperales

Familia

: Piperaceae

Genus

: Piper

Spesies

: Piper bettle L

(Tjitrosoepomo, 1993)

2.3.4.2 Morfologi Tanaman Sirih adalah nama sejenis tumbuhan merambat yang bersandar pada batang pohon lain. Tinggi 5-15m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tepi rata, tulang daun melengkung, lebar daun 2,5-10 cm, panjang daun 5-18cm, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Menurut Van Steenis (1997), tanaman sirih memiliki bunga majemuk berkelamin 1, berumah 1 atau 2. Bulir berdiri sendiri, di ujung dan berhadapan dengan daun. panjang bulir sekitar 5 - 15 cm dan lebar 2 - 5 cm. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 2,5 - 6 cm dimana terdapat kepala putik tiga sampai lima buah berwarna putih dan hijau kekuningan. 2.3.4.3 Khasiat Tanaman Daun sirih mempunyai bau aromatik khas, bersifat pedas, dan hangat. Sirih berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, antibakteri. Bagian tanaman yang dapat digunakan adalah daun, akar, dan bijinya. Daunnya digunakan untuk mengobati bau mulut, sakit mata, keputihan, radang saluran pernapasan, batuk, sariawan, dan mimisan (Mooryati,1998). Sirih juga berpotensi sebagai insektisida alami yang bersifat sebagai pestisida yang ramah lingkungan (Wijaya, dkk, 2004). 2.3.4.4 Kandungan Senyawa Kimia Sirih merupakan tanaman yang berasal dari famili Piperaceae yang memiliki ciri khas mengandung senyawa metabolit sekunder yang biasanya berperan sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh hewan (hama) ataupun

sebagai

agen

untuk

bersaing

dengan

tumbuhan

lain

dalam

mempertahankan ruang hidup. Menurut Hutapea (2000), senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman sirih berupa saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri triterpenoid, minyak atsiri (yang terdiri atas khavikol, chavibetol, karvakrol, eugenol, monoterpena, estragol), seskuiterpen, gula, dan pati.

Kandungan minyak atsiri yang terdapat pada daun sirih juga berkhasiat sebagai insektisida alami. Disamping itu, kandungan minyak atsiri yang terkandung di dalam daun sirih juga terbukti efektif digunakan sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta

C. G. G. J. Van Steenis. 1997. Flora. Pradnya Paramita: Jakarta Chikmawati T, Wijayanto A, Miftahudin. 2009. Potensi Selaginella Sebagai Antioksidan. Seminar Nasional Biologi XX: Universitas Islam Negeri Malang.

Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta : Puspa Swara. pp. 162-4.

Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 4. Jakarta : Puspa Swara. pp. iv.

Dalimartha, Setiawan dr. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid V. Jakarta: Trubus Agriwidya

Ditjen POM. 1989. Kodifikasi Peraturan Perundang-undangan Obat Tradisional. Jakarta: Depkes RI.

Ditjen POM., 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta: Gramedia

Elevitch, C.R. and John, K. 2006. Gliricidia sepium (Gliricidia) Fabacceae (legume family) Species Profiles For Pacific Island Agrofrorestry. www.traditionaltree.org. Diakses 15 Oktober 2011, 20.00 WIB.

Gunawan, D. M, 2004. Ilmu Obat Alam. Jakarta: Swadaya

Hariyadi, B. (2000). Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Paku Di Bukit Sari, Jambi. Tesis. Bogor : Program PascaSarjana Institut Pertanian Bogor.

Hutapea, J. R., 2000, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, Edisi I, 19-20, Bhakti Husada, Jakarta.

Kurniawati, N. 2010. Sehat Dan Cantik Alami Berkat Khasiat Bumbu Dapur. Bandung : Penerbit Qanita. pp. 89-91.

Loveless, A. R. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik 2. PT. Gramedia. Jakarta.

Sastrapradja, S., dan Afriastini, J. J., Darnaedi, D., dan Elizabeth. (1980). Jenis Paku Indonesia. Bogor : Lembaga Biologi Nasional.

Sugara, A., Sudarmi dan Haryono, E. 2016. Deskripsi Sosial Ekonomi Petani Kopi di Desa Sukarame Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat. [Jurnal] Universitas Lampung

Tjitrosoepomo, G. 1993. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tjtrosoepomo, G. 2005. Morfologi tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Utami, N. dan Nismah.

2011. Identifikasi Senyawa Flavonoid dari Ekstrak

Metanol Daun Tanaman Gamal (Gliricidia maculata Hbr.) dan Uji Toksisitasnya Terhadap Hama Kutu Putih (Paracoccus marginatus). Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan Bidang Ilmu MIPA (SEMIRATA BKS – PTNB 2011). Banjarmasin, 9 – 10 Mei 2011.

Utami, P. 2012. Antibiotik Alami untuk Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta : AgroMedia Pustaka.

Van Steenis, C. G. G.J. 1997. Flora (Cetakan ke-7). PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Hal 163-164. Tebal buku 485 hlm.

Wijaya H.M. Hembing 1992. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press

Wijaya, S. dan Soemartojo. 2004. Uji Efek Bioinsektisida Ekstrak Daun Sirih (Piper bettle L.) Terhadap Nyamuk Aedes aegypti Linn. Dalam Pelarut Polar dan Non Polar. Fakultas Farmasi Unika Widya Mandala. Universitas Airlangga. Surabaya.

Related Documents

Bab Ii Terbaru
October 2019 21
Bab Iv Terbaru Fix.docx
April 2020 10
Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47
Bab Ii
July 2020 48

More Documents from ""