BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi Di alam kita sering mengenal istilah daur hidrologi dimana dari daur hidrologi tersebut kita dapat mengetahui siklus air dari air yang ada di darat, di laut, dan di udara. Air yang berada di dalam maupun di permukaan bumi mengalami proses yang membentuk daur. Secara umum daur hidrologi terjadi karena air yang menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut akan terkondensasi dan kembali jatuh ke bumi. Kejadian ini disebut presipitasi yang dapat berbentuk hujan, salju, atau embun. Peristiwa perubahan air menjadi uap air dan bergerak dari permukaan tanah ke udara disebut evaporasi, sedangkan penguapan air dari tanaman disebut transpirasi. Jika kedua proses ini terjadi secara bersama-sama maka disebut evapotranspirasi. Untuk lebih jelasnya daur hidrologi dapat dilihat pada gambar 2.1. Proses daur hidrologi secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut : P = I + E U – O Δ S dimana : P
= Curah hujan
I
= Aliran permukaan yang memasuki daerah pengaliran
O
= Aliran permukaan yang keluar dari daerah pengaliran
U
= Aliran bawah tanah yang masuk atau keluar daerah pengaliran
E
= Evapotranspirasi
4
5
ΔS
= Perubahan penampungan
(Sumber : Soemarto, “Hidrologi Teknik”) Gambar 2.1 Daur Hidrologi
2.1.1
Presipitasi Presipitasi adalah peristiwa jatuhnya cairan atmosfer ke permukaan bumi. Presipitasi dapat terdiri dari beberapa bentuk, yaitu : 1. Hujan yang merupakan bentuk presipitasi yang paling penting. 2. Embun yang merupakan hasil kondensasi di permukaan tanah atau tumbuhan. 3. Salju dan es Untuk wilayah Indonesia yang beriklim tropis, bentuk presipitasi yangpaling penting adalah hujan.
6
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya presipitasi adalah : 1. Adanya uap air di atmosfer. 2. Faktor-faktor
meteorologis
seperti
suhu
air,
suhu
udara,
kelembaban, kecepatan angin, tekanan, dan sinar matahari. 3. Lokasi daerah berhubungan dengan sistem sirkulasi secara umum. 4. Rintangan yang disebabkan oleh gunung dan lain-lain. 2.1.2
Infiltrasi Proses infiltrasi terjadi karena hujan yang jatuh di atas permukaan tanah sebagian atau seluruhnya akan mengisi pori-pori tanah. Curah hujan yang mencapai permukaan tanah akan bergerak sebagai air limpasan permukaan (run off) atau sebagai infiltrasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah : 1. Faktor tanah, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik tanah seperti ukuran butir dan struktur tanah. 2. Vegetasi 3. Faktor-faktor lain, seperti kemiringan tanah, kelembaban tanah, dan suhu air.
2.1.3
Evapotranspirasi Evapotranspirasi merupakan gabungan dari evaporasi dan transpirasi. Evaporasi adalah proses pertukaran molekul air di pemukaan menjadi molekul uap air di atmosfer akibat panas, sedangkan transpirasi adalah proses penguapan pada tumbuh-
7
tumbuhan melalui sel-sel stomata. Faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah : 1.
Radiasi matahari, karena proses perubahan air dari wujud cair menjadi gas memerlukan panas (penyinaran matahari secara langsung)
2.
Angin yang berfungsi membawa uap air dari satu tempat ke tempat lain.
3.
Kelembaban relatif
4.
Suhu
5.
Jenis tumbuhan, karena evapotranspirasi dibatasi oleh persediaan air yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan serta ukuran stomata.
6.
Jenis tanah, karena kadar kelembaban tanah membatasi persediaan air yang diperlukan tumbuhan.
Evapotranspirasi dapat dihitung dengan rumus Turc sebagai berikut :
E=
P 2 P 0.9 L(T )
dimana : E
= Evapotranspirasi
0.5
8
2.1.4
P
= Curah hujan tahunan rata-rata (mm/tahun)
T
= Temperatur rata-rata (oC)
L(T)
= Fungsi suhu = 300 + 25T + 0.05T3
Limpasan (Run Off) Limpasan adalah semua air yang mengalir akibat hujan yang bergerak dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah tanpa memperhatikan asal atau jalan yang di tempuh sebelum mencapai saluran. Debit limpasan dapat dihitung dengan persamaan rasional berikut : Q=CxIxA dimana : Q
= Debit limpasan (m3/jam)
C
= Koefisien limpasan (Tabel 2.1)
I
= Intensitas curah hujan (m/jam)
A
= Luas catchment area (m2)
9
Tabel 2.1 Koefisien Limpasan Pada Berbagai Kondisi NO KEMIRINGAN
Datar, <3%
TATAGUNA LAHAN
a. sawah dan rawa b. hutan dan kebun
1
c. pemukiman dan taman
NILAI C 0,2 0,3 0,4 0,4
a. hutan dan kebun Menengah
b. pemukiman dan taman
0,5
c. alang-alang, sedikit tanaman
0,6
2 3% - 5%
d. tanah gundul, jalan aspal 0,7 a. hutan dan kebun b. pemukiman dan taman 3
Curam, >15%
0,6 0,7
c. alang-alang, sedikit tanaman d. tanah gundul,jalan aspal, areal penggalian & penimbunan tambang
0,8 0,9-1
(Sumber : Bambang S, “Perencanaan Drainase Tambang Terbuka”) 2.2 Curah Hujan Curah hujan adalah banyaknya hujan yang terjadi pada suatu daerah. Curah hujan merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan sistem
10
penirisan, karena besar kecilnya curah hujan pada suatu daerah tambang akan mempengaruhi besar kecilnya air tambang yang harus ditanggulangi. Angka–angka curah hujan yang diperoleh merupakan data yang tidak dapat digunakan secara langsung untuk perencanaan pembuatan sarana pengendalian air tambang, tetapi harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai curah hujan yang lebih akurat. Curah hujan merupakan data utama dalam perencanaan kegiatan penirisan tambang terbuka. Pengamatan curah hujan dilakukan dengan alat pengukur curah hujan. Ada dua jenis alat pengukur curah hujan, yaitu alat ukur manual dan otomatis. Alat ini biasanya diletakkan ditempat terbuka agar air hujan yang jatuh tidak terhalang oleh bangunan atau pepohonan. Data tersebut berguna pada saat penentuan hujan rencana. Analisa terhadap data curah hujan ini dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu : 1. Annual series, yaitu dengan mengambil satu data maksimum setiap tahunnya yang berarti bahwa hanya besaran maksimum setiap tahun saja yang dianggap berpengaruh dalam analisa data. 2. Partial Duration Series, yaitu dengan menentukan lebih dahulu batas bawah tertentu dari curah hujan, selanjutnya data yang lebih besar dari batas bawah tersebut diambil dan dijadikan data yang akan dianalisa. 2.2.1
Periode Ulang Hujan Periode ulang hujan adalah hujan maksimum yang diharapkan terjadi pada setiap n tahun. Jika suatu data curah hujan mencapai harga tertentu (x) yang diperkirakan terjadi satu kali dalam n tahun, maka n
11
tahun dapat dianggap sebagai periode ulang dari x. Perhitungan periode ulang dapat dilakukan dengan beberapa metode, tetapi metode yang paling banyak dipakai di Indonesia adalah Metode Extreem Gumbel atau lebih lazim disebut Metode Gumbel. Rumus metode Gumbel Tipe I adalah : Y = a (X – Xo) dimana : Y = Faktor reduksi Gumbel x
= Curah hujan maksimum rata-rata selama tahun pengamatan (mm)
X = Curah hujan rencana Xo = x -
a
=
0.577 a
1,283 4) S
S = Deviasi standar
Nilai curah hujan maksimum rata-rata (x) dapat dihitung dengan rumus:
x=
Xi n
dimana : Xi = Curah hujan maksimum pada tahun x
12
N = Lama tahun pengamatan Besarnya simpangan baku (S) dapat dihitung dengan rumus :
S=
( x xi)
2
n 1
Hubungan periode ulang dengan reduksi variansi dari variabel Y ditunjukkan pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Hubungan Periode Ulang (T) Dengan Reduksi Variansi Dari Variabel Y
Periode Ulang (T)
Reduksi Variansi (Y)
2
0,3065
5
1,4999
10
2,2504
20
2,9702
50
3,9019
100
4,6001
(Sumber : Soewarno, “Hidrologi”) 2.2.2
Intensitas Hujan Intensitas hujan adalah besarnya curah hujan (mm) yang terjadi dalam waktu tertentu (jam). Intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus :
13
It =
60.Rt t
dimana : It = Intensitas hujan (mm/jam) Rt = Curah hujan dalam t menit (mm) t = Lama hujan (menit) 2.2.3
Daerah Tangkapan Hujan Daerah
tangkapan
hujan
(catchment
area)
adalah
luasnyapermukaan yang apabila terjadinya hujan, maka air hujan tersebut akan mengalir ke daerah yang lebih rendah menuju titik pengaliran. Air yang jatuh ke permukaan sebagian akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sebagian ditahan oleh tumbuhan (intersepsi), dan sebagian lagi akan mengisi liku-liku permukaan bumi dan akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Daerah tangkapan hujan merupakan suatu daerah yanag dapat mengakibatkan air limpasan permukaan (run off) mengalir ke suatu tempat (daerah penambangan yang lebih lebih rendah). Daerah tangkapan hujan dibatasi oleh pegunungan dan bukit-bukit yang diperkirakan akan mengumpulkan air hujan sementara.
14
2.3 Dewatering Dan Sequence Penambangan 2.3.1
Konsep Dewatering Tambang Dewatering merupakan suatu upaya pengeluaran air dari dalam tambang ke luar tambang dengan menggunakan sistem pemompaan. Sehingga air di dalam tambang tersebut tidak mengganggu aktivitas produksi. Dalam
desain
dewatering,
pertama-tama
dilakukan
penghitungan luasan tangkapan hujan (catchment area) total. Desain luasan catchment area selalu meminimalkan air hujan yang memungkinkan masuk ke area Pit. Berdasarkan desain, kemudian ditentukan desain posisi sump. Menentukan posisi sump merupakan bagian utama dalam desain jangka panjang. Kedalaman level terdalam yang akan ditambang (bottom Pit), Stripping Ratio (SR) merupakan beberapa parameter utama untuk menentukan posisi sump. Setelah cathcment terbagi, kemudian berdasarkan parameterparameter dalam catchment area tersebut ditentukan desain volume sump. Parameter utama dalam menentukan volume sump, tentu saja volume air yang masuk ke dalam sump tersebut. Simulasi penghitungan luasan catchment area terhadap intensitas hujan rencana menunjukkan volume air yang harus ditanggung sebuah sump. Sehingga bila terjadi air di luar Pit melimpas masuk ke area Pit, menimbulkan sump terbebani volume air yang tidak direncanakan.
15
Parameter lain yang sangat mempengaruhi volume air yang masuk ke dalam sebuah sump adalah air tanah, dapat berupa drain hole maupun rembesan air tanah. Berdasarkan perimbangan volume air yang masuk dan berapa yang harus dipompakan dalam sump, maka ditentukan berapa volume air yang harus dipompakan dalam satuan waktu tertentu. Berdasarkan spesifikasi alat dan desain pemipaan kemudian ditentukan pompa yang akan digunakan dan berapa jumlahnya. 2.3.2
Dewatering Dan Langkah Penambangan Output dalam aktivitas dewatering adalah volume air yang dipindahkan, dan sebagai parameter utama adalah debit yang dihasilkan. Faktor yang paling berpengaruh untuk menghasilkan debit yang optimal adalah panjang pipa sampai ke outlet. Aktivitas harus cermat memperhitungkan utilisasi pompa yang hilang akibat proses lepas-sambung pipa. Sejalan perkembangan tambang, tambang menjadi semakin dalam dan air tetap akan terkumpul pada lokasi terdalam. Hal ini berakibat naiknya static head yang harus dilawan pompa, yang berakibat pula pada turunnya debit pompa.
2.3.3
Dewatering Dan Pembentukan Sump Sistem perencanaan dewatering merupakan suatu sistem yang digunakan untuk memperkirakan kebutuhan pompa selama kurun waktu tertentu. Dengan menggunakan sistem ini akan dapat diprediksi
16
kebutuhan pompa di masa mendatang serta masalahdewatering yang mungkin terjadi apabila kebutuhan pompa tersebut tidak teratasi contohnya akan timbul banjir. Sistem ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu total air yang berada di sump, total kemampuan pompa, serta prediksi elevasi air. Masing- masing sistem terdiri dari parameter – parameter sebagai berikut :
Total air yang berada di sump : ➢Curah hujan ➢Intensitas curah hujan ➢Catchment area
Total kemampuan pompa : ➢Jenis dan debit pompa ➢Jumlah pompa ➢Jam kerja pompa
Prediksi elevasi air
Perkiraan kebutuhan sumpsetelah diketahui jumlah air yang masuk ke sump, selanjutnya adalah menghitung berapa kebutuhan sump yang diperlukan, perhitungan berdasarkan maksimal jumlah air yang masuk ke sump.
17
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dicermati dalam pembentukan sump di elevasi tambang terdalam dalam kaitan dengan dewatering: 1) Memperkecil catchment area Catchment area adalah area tangkapan air untuk sump, jadi semua air yang berada di catchment area akan terkumpul di sump. Pembagian catchment area bertujuan sebagai parameter pertama untuk menghitung jumlah total air yang masuk ke sump. Setelah mendapat luasan catchment area maka dikalikan dengan debit air hujan dan koefisien peresapan sehingga akan didapat total jumlah air yang masuk ke sump. Semakin kecil catchment area di area pendalaman akan memperkecil volume air yang harus dipompakan. Penempatan pompa di area aktif sering menganggu operasional karena lokasi masih semPit dan tidak aman untuk manuver dumpt truckdan kegiatan lainnya. 2) Buat saluran untuk mengarahkan air ke sump Sering terjadi limpasan air masuk ke area aktif pendalaman justru bukan dari area sekitarnya, namun karena limpasan dari catchment area lain yang seharusnya masuk ke sump yang sudah telebih
dahulu
dibentuk.
Sump
yang
dibentuk
huruslah
memperhitungkan volume air yang ditanggung luasan catchment area. Bisa jadi paritan tersebut lebih dalam dari yang ada
18
sebelumnya untuk mengantisipasi intensitas hujan yang lebih besar dari perkiraan.
Gambar 2.2 Saluran yang mengalirkan air ke sump seam 17 GNB-01 3) Tentukan lokasi yang memungkinkan untuk line pipa Dalam aktifitas pendalaman sump, pompa harus memiliki available yang cukup tinggi sehingga saat akan digunakan selalu dalam keadaan siap memompa. Namun yang sering terjadi pompa ready namun jalur pipa terputus karena ada aktivitas loading di area penempatan pipa, untuk itu perlu mempertimbangkan lokasi pemasangan line pipa. 4) Perhitungkan luasan kolam penampung Seperti halnya desain sump utama, kapasitas kolam untuk menampung air sangat mempengaruhi keseimbangan air yang masuk terhadap air yang dipompakan. Menyediakan kolam sementara sebagai titik kumpul air dalam pemompaan haruslah
19
disiapkan dengan mempertimbangkan jumlah pompa, jumlah luasan tangkapan hujan yang ditanggung, dan ruang gerak untuk bongkar-pasang install pompa dan pipa. 5) Pastikan air terkumpul pada titik peletakan pompa Untuk mengering kan suatu kolam, pastikan kemiringan dasar kolam mengarah pada suatu titik dimana kita meletakkan pompa. Bila volume air tepat mengarah pada titik tersebut volume air yang kita pindahkan akan maksimal, mengingat pada aktifitas pendalaman sump bila suatu area tergenang air memerlukan proses general yang mengakibatkan pemborosan waktu dan penggunaan alat support. 6) Maksimalkan utilisasi pompa Pada lokasi pendalaman sump, memerlukan pompa dalam keadaan fit, dalam arti tidak sering break down dan tidak ada masalah dalam pengoperasiannya. Karakteristik pompa yang dibutuhkan di lokasi seperti ini terutama pompa yang lebih cepat dalam fase priming, kegagalan priming sering menyebabkan pompa ready namun tidak dapat berfungsi dengan maksimal. 2.4
Kolam Penampung (Sump) Kolam
penampung
merupakan
tempat
yang
dibuat
untuk
menampung air sebelum air tersebut dipompakan. Kolam penampung ini juga dapat berfungsi sebagai tempat mengendapkan lumpur. Tata letak kolam penampung dipengaruhi oleh sistem drainase tambang yang
20
digunakan serta disesuaikan dengan letak geografis daerah tambang dan kestabilan lereng tambang.
Gambar 2.3 Sump seam 17 pit GNB-01 Berdasarkan tata letak kolam penampung (sump), sistem penirisan tambang dapat dibedakan menjadi : 1. Sistem penirisan terpusat Pada sistem ini sump-sump akan ditempatkan pada setiap jenjang atau bench. Sistem pengaliran dilakukan dari jenjang paling atas menuju jenjang-jenjang yang berada di bawahnya, sehingga akhirnya air akan terpusat pada main sump untuk kemudian dipompakan keluar tambang. 2. Sistem penirisan tidak memusat Sistem ini diterapkan untuk daerah tambang yang relatif dangkal dengan keadaan geografis daerah luar tambang yang memungkinkan untuk mengalirkan air secara langsung dari sump ke luar tambang.
21
Berdasarkan penempatannya, sump dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: 1. Travelling Sump Sump ini dibuat pada daerah front tambang. Tujuan dibuatnya sump ini adalah untuk menanggulangi air permukaan. Jangka waktu penggunaan sump ini relatif singkat dan selalu ditempatkan sesuai dengan kemajuan tambang. 2. Sump Jenjang Sump ini dibuat secara terencana baik dalam pemilihan lokasi maupun volumenya. Penempatan sump ini adalah pada jenjang tambang dan biasanya di bagian lereng tepi tambang. Sump ini disebut sebagai sump permanen karena dibuat untuk jangka waktu yang cukup lama dan biasanya dibuat dari bahan kedap air dengan tujuan untuk mencegah meresapnya air yang dapat menyebabkan longsornya jenjang. 3. Main Sump Sump ini dibuat sebagai tempat penampungan air terakhir. Pada umumnya sump ini dibuat pada elevasi terendah dari dasar tambang. 2.5 Pompa dan Pipa 2.5.1
Pompa Terdapat beberapa istilah yang umum digunakan dalam proses dewatering terutama pemompaan.
22
Gambar 2.4 Pompa KSB 200 sump seam 17 GNB-01 Pompa merupakan Alat yang berfungsi untuk memindahkan zat cair dengan menggunakan prinsip perbedaan tekanan.Prinsip kerja yang harus dimengerti adalah bahwa zat cair itu bergerak dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Cara kerja pompa secara umum adalah menciptakan perbedaan tekanan tersebut sehingga zat cair dapat berpindah tempat dari inlet menuju outlet. Prinsip kerja pada pompa terbagi menjadi 2 yaitu : Tahap 1 : Pompa menciptakan tekanan yang sangat rendah pada mukasuction pompa sehingga zat cair yang berada di luar pada tekanan 1 atm otomatis akan mengalir melalui pipa suction menuju ke muka suction pompa yang memiliki tekanan yang lebih rendah. Tahap 2 : Dengan gaya centrifugal yang bekerja pada impeller maka pompa akan menimbulkan tekanan yang tinggi di ujung
23
discharge pompa. Hal ini akan berakibat air yang bertekanan tinggi mencari tekanan yang lebih rendah yang terletak di ujung outlet pipa discharge.
Gambar 2.5 Prinsip kerja pompa
Pemasangan pompa dapat dilakukan dengan cara seri dan paralel. Pemasangan pompa secara seri dilakukan karena head pompa yang digunakan tidak mencukupi untuk menaikkan air sampai ketinggian tertentu. Pemasangan pompa secara paralel dilakukan karena debit pompa yang digunakan tidak mencukupi untuk mengeluarkan air sehingga harus digunakan dua pompa atau lebih yang dipasang secara paralel. 2.5.2
Penentuan titik optimal pompa Penentuan titik optimal pompa digunakan dua jenis kurva yaitu kurva resistan dari sistem dan kurva karakteristik pompa. Kurva resistan sistem adalah nilai head dari sistem untuk sejumlah variasi debit pemompaan. Sedangkan kurva karakteristik pompa menyatakan
24
kemampuan pompa untuk mengatasi head untuk berbagai nilai debit pemompaan atau sebaliknya.Kurva dikeluarkan oleh pabrik pembuat pompa.Setelah kedua kurva tersedia maka langkah selanjutnya kedua kurva digabungkan sehingga diperoleh perpotongan yang merupakan titik optimal kerja pompa. 2.5.3
Pump performance curve Setiap pompa memiliki grafik yang menunjukkan kinerja dari pompa tersebut. Grafik tersebut dikenal dengan nama Pump Performance Curve ( Grafik Kemampuan Pompa). Dalam grafik ini akan tergambar performa pompa terhadap debit dan pompa pada kecepatan yang konstan. Grafik ini didapatkan dengan melakukan pengetesan terhadap setiap pompa dengan menggunakan air besih. Jadi setiap pompa akan mempunyai grafik yang berbeda – beda, dan tidak ada 2 jenis pompa yang memiliki grafik yang sama. Grafik kemampuan pompa merupakan grafik debit vs head kemampuan pompa.
25
Gambar 2.6 Grafik Pompa Dari grafik dapat terlihat bahwa besar debit yang dihasilkan oleh centrifugal pump tergantung dari total head yang tercipta pada sistem pemompaan itu. Head yang dimaksud di performance curve sebenarnya adalah nilai tekanan yang dinyatakan dalam m. Head diartikan sebagai besarnya hambatan/tekanan yang dialami pompa untuk mengalirkan larutan menuju ke outlet. Semakin besar head
26
dalam sistem yang sama berarti pompa mengalirkan larutan lebih sedikit. 2.5.4
System Resistance Curve Sebelumnya telah dibahas mengenai grafik performance curve yang berisi data kemampuan pompa, akan tetapi sebenarnya sistem pipa juga mempunyai grafiknya sendiri. Grafik tersebut disebut systemperformance
curve
(SRC).
Grafik
tersebut
juga
harus
ditampilkan untuk memberi gambaran hubungan dari total head yang harus dihadapi pompa pada debit yang berbeda – beda. Total head dibagi menjadi 2 jenis yaitu static head dan dynamic head. Static head dinyatakan sebagai beda tinggi antara permukaan air di pipa suction dengan lokasi paling tinggi pada pipa outlet. Sementara dynamic head adalah hambatan yang diakibatkan oleh factor bergeraknya larutan di dalam pipa. Nilai static head untuk suatu system adalah tetap, sementara dynamic head berubah tergantung dari kecepatan aliran di pipa discharge. Faktor – faktor yang mempengaruhi nilai dynamic head adalah : Derajat kekasaran permukaan dalam pipa, Diameter dalam pipa, Kecepatan aliran dan Panjang pipa.
27
Gambar 2.7 Grafik System Resistance Curve
Tampak pada gambar di atas, semakin besar nilai debit yang melalui pipa maka semakin besar pula nilai total head yang tercipta pada sistem. Sistem yang bagus adalah sistem dengan nilai dynamic head yang kecil. Pembahasan mengenai dynamic head dimulai dari saat larutan masuk ke pipa suction hingga larutan keluar melalui pipa discharge. Besar jalur pipa yang dilalui, panjang jalur pipa dan tipe material pipa yang digunakan mempengaruhi kecepatan aliran pipa sehingga akan mempengaruhi dynamic head yang dihasilkan. Kemudian banyaknya belokan dan valve yang dilalui juga akan memperbesar nilai dynamic head. Selain itu jenis larutan juga
28
mempengaruhi dimana larutan dengan SG lebih tinggi akan mempunyai nilai dynamic head lebih besar. Jadi pada dasarnya dynamic head adalah semua hambatan yang dilalui pipa mulai dari masuk ke pipa suction hingga keluar ke pipa discharge. 2.5.5
Pipa Pipa adalah saluran tertutup yang digunakan untuk mengalirkan fluida. Pipa untuk keperluan pemompaan biasanya terbuat dari baja, tetapi untuk tambang yang tidak terlalu dalam dapat mengunakan pipa PVC.
Pada
dasarnya
bahan
apapun
yang
digunakan
harus
memperhatikan kemampuan pipa untuk menekan cairan di dalamnya. Sistem perpipaan akan sangat berhubungan erat dengan daya serta head pompa yang dibutuhkan. Hal ini terjadi karena sistem perpipaan tidak akan terlepas dari adanya gaya gesekan pada pipa, belokan, pencabangan, bentuk katup, serta perlengkapan pipa lainnya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kehilangan energi sehinga turunnya tekanan di dalam pipa. Kerugian head yang terjadi pada sistem perpipaan adalah : 1. Kerugian head akibat gesekan pada pipa (head friction) Perhitungan besarnya kerugian gesekan baik pada pipa masuk maupun pada pipa keluar dapat dihitung dengan persamaan Hazen-William : Hf =
10,666Q1.85 x (L + Le) C 1.85 D 4.85
29
dimana : Hf
= Kerugian gesekan pada pipa (m)
Q
= Debit aliran pipa (m3/detik)
C
= Koefisien (Tabel 2.3)
D
= Dimameter pipa (m)
L
= Panjang pipa (m)
Le
= Panjang pipa ekivalen (m)
Tabel 2.3 Kondisi Pipa Dan Harga C JENIS PIPA
C
Pipa sangat mulus
140
Pipa baja atau besi tuang baru
130
Pipa kayu atau beton biasa
120
Pipa baja berkeling baru, pipa gerabah
110
Pipa besi tuang lama, pipa bata
100
Pipa baja berkeling lama
95
Pipa besi tua berkarat
80
Pipa besi atau baja sangat berkarat
60
(Sumber : Reuben M Olson, “Dasar-dasar Mekanika Fluida Teknik”)
30
2. Kerugian head pada katup hisap Hv = fv
v2 2g
dimana : Hv = kerugian head katup (m) v
= kecepatan rata-rata di penampang masuk katup (m/s)
g
= percepatan gravitasi (m/s2)
f
= koefisien kerugian katup (Tabel 2.4)
3. Kerugian head pada ujung pipa keluar Hf = f
v2 2g
dimana : f = 1 dan v adalah kecepatan rata-rata pada pipa keluar
31
TABEL 2.4 KOEFISIEN KERUGIAN DARI BERBAGAI KATUP
Jenis Katup Katup sorong
Diameter (mm) 100 0,14
150 0,12
200
250
300
400
500
600
700
Katup kupu-kupu
0,6 - 0,16 (bervariasi menurut konstruksi dan diameter)
Katup putar
0,09- 0,026 (bervariasi menurut diameter)
800
900
1000
Katup cegah jenis ayun
1,2
1,15
1,1
1
0,98
0,96
0,94
0,92
0,9
0,88
Katup cegah tutup cepat jenis tekanan
1,2
1,15
1,1
1
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
Katup cegah jenis angkat bebas
1,44
1,39
1,34
1,3
1,2
7,3
6,6
5,9
5,3
4,6
Katup cegah tutup-cepat jenis pegas Katup kepak Katup
0,5 1,97
1,91
1,84
1,78
1,72
32
4. Kerugian head akibat belokan, sambungan, dan katup Kerugian head pada belokan dapat dihitung dengan menggunakan panjang ekivalen dari belokan tersebut terhadap pipa lurus (Tabel 2.5)
TABEL 2.5 PANJANG PIPA EKIVALEN PANJANG PIPA LURUS NO
NAMA ALAT EKIVALEN
1
Belokan 10 o
10.67 D
2
Belokan 20 o
13.3 D
3
Belokan 30 o
16.5 D
4
Belokan 45 o
20 D
5
Belokan 90 o
32 D
6
Pipa U
75 D
7
Pipa T
60 D
8
Pipa Y
500 D
9
Flowmeter
300 D
10
Katup sorong
7D
11
Katup bola (DN 150)
60 D
12
Katup bola (DN 200)
67 D
(Sumber : Haruo Tahara, “Pompa dan Kompressor”)
33
2.6
Aliran fluida Dalam ilmu fisika dinyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan tetapi dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk lainnya. Karena itu teorema Bernoulli menyatakan bahwa energi total setiap partikel dari fluida sama pada sisi masuk dan sisi keluar sistem pada suatu titik. Energi cairan yang mengalir dinyatakan dengan persamaan keseluruhan yaitu hukum kekekalan energi yang ditulis sebagai berikut:
P1 V 12 P2 V 2 2 Z1 Z2 2g 2g Berdasarkan persamaan diatas, maka untuk sistem pemompaan dan perpipaan rumusnya menjadi :
P1 V 12 P2 V 2 Z1 H L H P Z2 2g 2g dimana : P
= Head tekanan udara
V2 2g
= Head kecepatan
Z
= Head potensial
HL
= Head loss
Hp
= Head pompa
34
Dalam perhitungan ini diasumsikan bahwa di permukaan air danau bidang z1 = 0 dan V1 = V2. Head akibat perbedaan tekanan udara diabaikan karena perbedaan nilai P2 = P1 terlalu kecil, sehingga ET = 0 atau tidak ada energi yang terpakai. Dari uraian diatas persamaan Bernoulli dapat diubah menjadi : Hp = z + HL dimana : Hp = head pompa (m) Z
= ketingian diukur dari bidang referensi (m)
vd
= kecepatan aliran pada pipa keluar (m/s)
g
= percepatan gravitasi (m/s2)
HL = head loss (m)