Bab I.docx

  • Uploaded by: Yulienti Pratiwi
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,651
  • Pages: 22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2008, Indonesia mulai menggunakan perangkat lunak Asian Epidemic Model (AEM) yang memproyeksikan epidemi dengan mengkombinasikan data prevalensi HIV dan indikator perilaku yang relevan untuk dapat menentukan faktor yang paling mempengaruhi terjadinya infeksi HIV. Selain itu, perangkat lunak Spectrum juga digunakan sebagai alat bantu untuk memproyeksikan dampak epidemi HIV. Di dalam perangkat lunak Spectrum terdapat modul untuk membuat estimasi dan proyeksi demografi dan epidemi HIV dan AIDS. Kedua model yaitu AEM dan Spectrum telah digunakan oleh banyak negara . Proyeksi epidemi HIV terkenal kompleks, khususnya pada awal epidemi dimana data yang dapat diandalkan terkait dengan parameter perilaku yang menggerakan epidemi tidak tersedia.

Walaupun

demikian,

proyeksi

epidemi

HIV

sangat

dibutuhkan

untuk

menggambarkan kebutuhan berbagai layanan untuk program pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan serta memperkirakan potensi infeksi baru yang dapat dicegah ketika melakukan analisis biaya yang sudah dan akan diinvestasikan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Pada

awal

tahun

1990-an,

terdapat

dua

model

yang

digunakan

untuk

memproyeksikan epidemi HIV di Indonesia - EpiModel dan IwgAIDS tetapi model ini telah digantikan oleh pengetahuan baru tentang epidemi HIV dan juga studi penelitian baru. Sehubungan meningkatnya kebutuhan negaranegara untuk mendapatkan panduan mengenai metode yang paling tepat sebagai perhitungan estimasi dan proyeksi mereka, UNAIDS dan WHO telah membentuk Reference Group on HIV Modeling, Estimates and Projections pada akhir tahun 1998 Berdasarkan rekomendasi Reference Group, dikembangkan sebuah model proyeksi yang lebih tepat untuk Asia. Asian Epidemic Model (AEM) adalah sebuah model kurvafitting dengan sejumlah parameter perilaku yang menggambarkan suatu keadaan epidemi nasional dari sub-epidemi pada sub-populasi khusus. Selanjutnya pada tahun 2006 proyeksi epidemi HIV di Indonesia menggunakan HIV Epidemiological Modeling and Impact (HEMI). Estimasi dan proyeksi ini sudah memperhitungkan dinamika demografi dan prevalensi HIV pada populasi tertentu dan 1

kemungkinan penularan HIV pada daerah pedesaan dan perkotaan. Selain itu, model ini juga sudah mengembangkan simulasi analisis sensitivitas dari hasil intervensi dengan beberapa skenario. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana populasi beresiko pada Hiv? 2. Bagaimana metedeologi? 3. Bagaimana data distribusi geografis? 4. Apa perangkat lunak yang biasa digunakan? 5. Bagaimana estiminasi jumlah orang dengan Hiv/Aids(ODHA)? 6. Bagaimana model AEM? 7. Bagaimana merubah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA?

1.3 Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui populasi beresiko pada Hiv 2. Untuk mengetahui metedeologi 3. Untuk mengetahui data distribusi geografis 4. Untuk mengetahui perangkat lunak yang biasa digunakan 5. Untuk mengetahui estiminasi jumlah orang dengan Hiv/Aids(ODHA) 6. Untuk mengetahui model AEM 7. Untuk mengetahui merubah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA

2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Populasi Beresiko Hiv Tujuan dari estimasi dan proyeksi HIV/AIDS tahun 2011-2016 di Indonesia adalah untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang situasi epidemi HIV saat ini dan perkiraan ke depan sehingga dapat digunakan oleh berbagai pihak dalam merencanakan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang lebih baik dan terarah. Selain itu, estimasi dan proyeksi ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan evaluasi pelaksanaan berbagai program penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang berjalan serta advokasi untuk meningkatkan komitmen berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016 juga dapat digunakan untuk melakukan analisis kebijakan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, menentukan prioritas program dan memperkirakan sumber daya untuk pelaksanaan berbagai program. 2.2 Metodologi Sub Direktorat AIDS & PMS Kementerian Kesehatan membentuk Kelompok Kerja Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS yang mengerjakan beberapa langkah utama untuk mempersiapkan Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS Nasional. Hasil dari kelompok kerja kemudian disesuaikan dan disetujui pada forum terbatas sebagai Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia 2011-2016. Beberapa langkah yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Estimasi dan Proyeksi HIV dijabarkan sebagai berikut: 2.3 Pembagian Distribusi Geografis Perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV seperti hubungan seks yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik secara bersama-sama dipengaruhi oleh situasi sosial, budaya, ekonomi, agama dan faktor lainnya pada populasi umum. Hal ini menyebabkan tingkat 3

epidemi HIV di Indonesia berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain. Selain itu juga, data epidemiologi dan perilaku berisiko populasi utama dalam epidemi HIV tidak tersedia di semua kabupaten/kota. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan ketersediaan data dan perbedaan tingkat epidemi serta keterbatasan alat bantu yang digunakan maka Kelompok Kerja memutuskan untuk membagi estimasi dan proyeksi HIV/AIDS di Indonesia menjadi dua, yaitu: • Estimasi dan proyeksi HIV/AIDS meliputi 31 provinsi, • Estimasi dan proyeksi HIV/AIDS meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat.

2.4 Perangkat Lunak yang digunakan Kelompok Kerja memutuskan untuk melanjutkan menggunakan AEM dan Spectrum dalam membuat estimasi dan proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016 karena data pendukung cukup tersedia dan metode yang mudah digunakan. Pertimbangan lain adalah kemungkinan penggunaan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota oleh staf Dinas Kesehatan juga diperhatikan dan juga integrasi efek ART pada pencegahan. Perangkat lunak ini merupakan alat bantu standar yang digunakan oleh sebagian besar negara dan telah direkomendasikan oleh kelompok referensi WHO/UNAIDS untuk memperkirakan model dan proyeksi 

Asian Epidemic Model (AEM) 3.2 – v5 AEM dirancang sebagai alat bantu untuk dapat menjelaskan dinamika epidemiHIV di negara Asia atau lokasi geografis tertentu. Estimasi dan proyeksi ini menggunakan parameter perilaku sebagai salah satu perhitungan. Selanjutnya, hasil surveilans HIV pada populasi risiko tinggi tertentu digunakan sebagai acuan dalam melakukan penyesuaian hasil perhitungan AEM.

Dengan demikian,

gambaran yang diperoleh dapat lebih spesifik dengan keadaan suatu wilayah. AEM memiliki 6 lembar kerja (Population, Heterosexual, IDU, MSM, Epidemic dan HIV Prev) untuk memasukan data dalam program Microsoft Excel dan beberapa lembar kerja untuk menampung hasil perhitungan dan penyesuaian yang dilakukan dalam program AEM dengan 2 komponen besar perhitungan pemodelan, yaitu laki-laki dan perempuan. Estimasi dan proyeksi AEM dapat dimanfaatkan untuk menentukan prioritas kebijakan program, yaitu:

4

- Total HIV, AIDS dan kematian terkait HIV/AIDS, kumulatif dan yang ada setiap tahun - Sebaran umur ODHA yang ada setiap tahun - Infeksi baru dan jumlah ODHA setiap populasi berisiko saat ini: o WPS, LSL, PPS, Waria, Penasun, Pelanggan o Populasi umum laki-laki maupun perempuan o Anak-anak - Rute transmisi dari waktu ke waktu 

Spectrum versi 4.49 Spectrum dirancang agar dapat menghasilkan informasi yang bermanfaat dalam memformulasikan kebijakan dan dialog untuk pengendalian epidemi HIV. Model yang ada dalam Spectrum adalah DemProj, FamPlan, AIM, RAPID, PMTCT, Safe Motherhood dan Condom requirements. Spectrum merupakan alat bantu untuk menghubungkan pelaksanaan program dengan tujuan dan merangkum luaran dari model Spectrum yang lainnya. Proyeksi yang dihasilkan juga dapat membantu upaya untuk merespon epidemi HIV dengan memperkirakan jumlah dan alokasi dana yang terkait dengan pencapaian tujuan nasional, seperti penurunan prevalensi HIV dan perluasan perawatan dan dukunga

Kelompok Kerja membuat tiga modul AEM yaitu Modul 31 Provinsi, Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) dan Waria untuk menghasilkan estimasi dan proyeksi prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun di Indonesia tahun 2011-2016. Hal ini dilakukan karena keterbatasan modul AEM yang tidak bisa menampung lebih dari satu pemodelan dalam satu modul dan tidak tersedia ruang hitung untuk populasi waria.

Proses estimasi dan proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016 dimulai dengan memasukkan data pada modul AEM yang terdiri dari 6 lembar kerja, yaitu: 1. Lembar Kerja Populasi yang diisi dengan data demografi berupa rasio penduduk usia 15-49 tahun terhadap penduduk usia 15 tahun keatas dan jumlah penduduk usia 15 tahun keatas serta 15 tahun dari tahun 1975 sampai dengan 2032 yang dipisahkan menurut jenis kelamin. Data demografi dan sumber data lain yang digunakan untuk mengembangkan estimasi dan proyeksi HIV/AIDS di 31 provinsi dan Tanah Papua adalah: 5



Rasio penduduk usia 15-49 tahun terhadap penduduk usia 15 tahun keatas menggunakan rasio pada tahun 2011 dari hasil proyeksi penduduk Indonesia tahun 2005.



Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan usia 15 tahun keatas diambil dari beberapa sumber seperti:

- Sensus penduduk tahun 1980, 1990, 2000 dan 2010 - Survei Penduduk Antar Sensus tahun 1995 dan 2005 - Proyeksi penduduk tahun 2000 – 2025 - Perhitungan interpolasi jumlah penduduk tahun 1975-1980 (2,3%), 1980-1990 (1,97%) dan 1990-2000 (1,49%), sedangkan untuk estimasi jumlah penduduk tahun 2026-2032 menggunakan asumsi pertambahan populasi sebesar 1,3%. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan usia 15 tahun tidak tersedia dari hasil survei diatas sehingga dihitung dengan cara menjumlahkan jumlah penduduk kelompok umur 10-14 tahun dan 15-19 tahun lalu dibagi 10. Asumsi yang digunakan adalah sebagian penduduk usia 15 tahun ada di kelompok umur 10-14 tahun dan sebagian lagi ada di kelompok umur 15-19 tahun serta distribusi penduduk pada kelompok umur 1019 tahun sama rata. 2. Lembar Kerja Heteroseksual Berisi data perilaku seksual dari populasi Wanita Pekerja Seks dan pelanggannya serta dari penduduk usia 15-49 tahun pada umumnya. Data ini digunakan sebagai asumsi untuk mengisi kesenjangan perilaku yang konservatif selama bertahun-tahun dengan mempertimbangkan data dari survei yang ada selama beberapa tahun (2007, 2009 dan 2011). Sumber data dan asumsi yang digunakan untuk mengisi lembar kerja heteroseksual AEM: • Proporsi WPS dan penduduk perempuan usia 15-49 tahun menggunakan data dari hasil estimasi WPS tahun 2012 (31 provinsi: 0,33% dan Tanah Papua: 0,55%). • Proporsi higher frequency menggunakan proporsi WPS Langsung dari jumlah WPS (31 provinsi dan Tanah Papua: 54%) dari hasil estimasi populasi WPS tahun 2012. • Proporsi higher frequency yang pindah menjadi lower frequency setiap tahun untuk 31 provinsi menggunakan hasil dari STBP tahun 2011 (9%), sedangkan untuk Tanah Papua menggunakan persentase dari nilai anggapan (default value berdasarkan kajian internasional: 1%) yang disediakan AEM karena tidak ada data untuk Tanah Papua. 6

• Rata-rata pelanggan per hari higher frequency menggunakan rata-rata pelanggan WPS Langsung dari hasil STBP 2011 (31 provinsi: 1.9 dan Tanah Papua: 1.1). Sedangkan untuk lower frequency menggunakan rata-rata pelanggan WPS Tidak Langsung dari survei sama (31 provinsi: 1,1, Tanah Papua: 0,34). • Hari kerja per minggu higher frequency menggunakan rata-rata kerja WPS Langsung dari hasi STBP 2011 (31 provinsi: 3,7 dan Tanah Papua: 5,6). Sedangkan untuk lower frequency menggunakan data-rata hari kerja WPS Tidak Langsung dari Surveil yang sama (31 provinsi: 4,1 dan Tanah Papua: 5,8). • Persentase penggunaan kondom di higher frequency diambil dari proporsi pemakaian kondom WPS Langsung pada hubungan seks komersial terakhir dari hasil STBP tahun 2011 (31 provinsi: 73% dan Tanah Papua: 66%). Sedangkan untuk % pemakaian kondom untuk lower frequency digunakan data yang sama untuk WPS Tidak Langsung (31 provinsi: 60% dan Tanah Papua: 56%). • Data rata-rata kerja sebagai WPS tidak tersedia di 31 provinsi maupun Tanah Papua. Oleh karena itu data tersebut dihitung dari data STBP 2011 dengan asumsi populasi WPS stabil dimana jumlah yang keluar sama dengan yang jumlah baru diperkirakan dengan cara sebagai berikut: - Persentase WPS Langsung yang bekerja kurang dari satu tahun adalah 34,29% untuk 31 provinsi dan 27,82% untuk Tanah Papua sehingga estimasi lama kerja sebagai WPS Langsung di 31 provinsi adalah 1/34,29%: 2.97 tahun dan di tanah Papua adalah 1/27,82%: 3,59 tahun. - Persentase WPS Tidak Langsung yang bekerja kurang dari satu tahun di 31 provinsi adalah 37,86% dan 51% untuk Tanah Papua sehingga estimasi lama kerja sebagai WPS Langsung di 31 provinsi adalah 1/37,86%: 2,64 tahun dan di Tanah Papua adalah 1/51%: 1,97 tahun. • Persentase WPS dengan Infeksi Menular Seksual pada AEM 31 provinsi diambil dari WPS yang terinfeksi Neisseria gonorrhoeae dan atau Chlamydia trachomatis pada STBP tahun 2011 (WPS Langsung: 37% dan WPS Tidak Langsung: 15%) sedangkan pada AEM Tanah Papua digunakan data dari survei yang sama di Tanah Papua (WPS Langsung: 26% dan WPS Tidak Langsung: 20%). • Persentase laki-laki usia 15-49 tahun yang membeli seks dalam 1 tahun terakhir menggunakan hasil STBP tahun 2011 (10%). Hasil ini digunakan untuk semua tahun 7

dengan asumsi pertumbuhan jumlah Pelanggan WPS sama dengan pertumbuhan penduduk laki-laki usia 15-49 tahun. • Sama seperti lama kerja sebagai WPS, data sebelumnya pada laki-laki usia 15-49 tahun sebagai pelanggan WPS juga tidak tersedia dan dihitung dengan cara yang sama dari hasil STBP tahun 2011 • Persentase laki-laki usia 15-49 tahun yang disunat diasumsikan dari proporsi jumlah penduduk laki-laki 15-49 tahun yang beragama Islam. • Persentase laki-laki dan perempuan usia 15-49 tahun yang punya pasangan seks selain pasangan tetap dan seks komersial diasumsikan dari data SDKI 2007. • Tingkat pemakaian kondom dan jumlah hubungan seks dengan bukan pasangan tetap dan bukan seks komersial diasumsikan dari data: - Tingkat pemakaian kondom dan jumlah hubungan seks dengan bukan pasangan tetap dan bukan seks komersial menggunakan hasil STBP pada populasi pria berisiko tinggi di beberapa kota tahun 2011. - Data jumlah hubungan seks dengan pasangan seks tetap dalam satu minggu dan tingkat pemakaian kondomnya diambil dari data STBP tahun 2011. Sedangkan prevalensi IMS pada penduduk dewasa secara umum tidak tersedia di Indonesia. Oleh karena itu data ini dibuat dengan mengasumsikannya dari proporsi Pelanggan WPS dan kemungkinan mereka terinfeksi IMS dengan prevalensi IMS yang ada pada populasi WPS. 3. Lembar Kerja IDU Hanya diisi pada estimasi dan proyeksi di 31 provinsi, sedangkan untuk Tanah Papua dikosongkan. Lembar kerja IDU berisi data perilaku berisiko Pengguna Napza Suntik (Penasun) sebagai berikut: • Proporsi penduduk laki-laki usia 15-49 tahun yang menjadi Penasun pada tahun 2011 (0.10%) diambil dari hasil estimasi populasi kunci yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2012. Pertumbuhan jumlah Penasun diasumsikan sama dengan pertumbuhan penduduk laki-laki 1549 tahun sehingga proporsinya sama dengan tahun 2011. • Dengan menggunakan hasil STBP pada populasi Penasun tahun 2011, didapatkan hasil: Proporsi Penasun yang ada di jejaring berisiko tinggi: 36,4%, berbagi jarum: 8

13%, selalu berbagi jarum seminggu terakhir: 72%, rata-rata menyuntik per hari: 1,6, persentase yang membeli seks setahun terakhir: 24% dan tingkat konsistensi pemakaian kondom: 66%. Sedangkan rata-rata tahun menjadi Penasun dihitung dengan rumus yang sama untuk menghitung rata-rata tahun menjadi WPS. • Tidak seperti di beberapa negara Asia lainnya, proporsi WPS yang juga Penasun di Indonesia masih sangat kecil (WPS Langsung: 1%, WPS Tidak Langsung: 2%). Oleh karena itu perilaku risiko menyuntik sebagian diasumsikan tidak memberi dampak besar pada epidemi dari populasi Penasun, sedangkan perilaku pemakaian kondom disamakan dengan populasi WPS secara umum.

4. Lembar Kerja MSM Berisi data perilaku berisiko populasi homoseksual lakilaki. Seperti juga isian lembar kerja Heteroseksual dan IDU, data untuk isian lembar kerja MSM sebagian besar berasal dari STBP tahun 2011. Asumsi dan data yang digunakan adalah: • Estimasi proporsi penduduk laki-laki usia 15-49 tahun yang homoseksual adalah 0,6%. Data tersebut diambil dari hasil estimasi populasi LSL di Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2012. Asumsi pertumbuhan jumlah homoseksual setiap tahun juga disamakan dengan pertumbuhan penduduk laki-laki usia 15-49 tahun. • Umur pertama kali melakukan hubungan seks dihitung dengan cara dan asumsi yang sama dengan rata-rata tahun sebagai WPS. • Beberapa parameter perilaku yang diambil dari hasil STBP pada populasi homoseksual tahun 2011 dan disamakan untuk semua tahun adalah: - Persentase homoseksual yang melakukan anal seks 1 tahun terakhir: 73% - Rata-rata anal seks per minggu: 1 - Biseksual (punya pasangan seks perempuan): 10% - Persentase selalu menggunakan kondom pada seks anal seminggu terakhir: (LSL risiko tinggi: 54% dan LSL risiko rendah: 60%) - Persentase yang membeli seks dari pria pekerja seks: (LSL risiko tinggi: 19% dan LSL risiko rendah: 6%) - Persentase yang membeli seks dari wanita pekerja seks: 7% - Tingkat pemakaian kondom dengan pria pekerja seks: 62% - Persentase pria pekerja seks yang melakukan anal seks dalam 1 tahun terakhir: 82%

9

- Persentase yang pernah mengalami gejala IMS: (LSL risiko tinggi: 24% dan LSL risiko rendah: 4,8%) - Tingkat pemakaian kondom dengan WPS: (LSL risiko tinggi 66% and LSL risiko rendah: 55%) • Sementara data tingkat pemakaian kondom homoseksual dengan WPS Langsung dan Tidak Langsung disamakan dengan data dari lembar kerja heteroseksual, sedangkan persentase homoseksual yang menjadi pekerja seks setiap tahunnya diambil dari data di tingkat regional (Asia Tenggara) karena data tersebut tidak tersedia di Indonesia.

5. Lembar Kerja Epidemik Berisi data klinis terkait IMS dan HIV/AIDS. Ketersediaan data tersebut di Indonesia secara umum sangat terbatas dan sulit untuk diakses. Oleh karena itu data seperti distribusi IMS menurut kelompok umur dan probabilitas penularan dari ibu ke anak diambil dari negara lain di Asia Tenggara (Thailand) yang memiliki data tersebut. Sementara data fertilitas menurut kelompok umur menggunakan data SDKI dan data probabilitas penularan HIV dari populasi berisiko tinggi serta tahun dimulainya epidemi merupakan hasil proses penyesuaian pemodelan dengan data surveilans HIV. 6. Lembar kerja HIV Prevalens Berisi data surveilans HIV dari beberapa populasi risiko tinggi di 31 provinsi dan Tanah Papua. Data-data tersebut berasal dari surveilans sentinel HIV yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan tempat-tempat layanan KTS serta STBP 2011. Data prevalensi HIV dari beberapa tempat sentinel untuk populasi WPS dirata-ratakan karena modul AEM hanya bisa menampung satu serial data untuk setiap populasi berisiko. Sedangkan data prevalensi HIV di beberapa populasi seperti homoseksual lakilaki dan penduduk usia 15-49 tahun tidak tersedia atau data yang tersedia tidak cukup untuk membuat tren prevalensi HIV. Data prevalensi HIV pada AEM digunakan sebagai acuan dalam penyesuaian hasil perhitungan dari data perilaku dan probabilitas infeksi serta progresifitas HIV/AIDS sehingga hasil pemodelan bisa lebih sesuai dengan keadaan di Indonesia. Oleh karena itu

10

kualitas data surveilans HIV sangat penting untuk menentukan rentang ketidakpastian hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS. Hasil stimasi AEM digunakan sebagai asupan data Spectrum untuk memproyeksikan konsekuensi dari angka estimasi prevalensi HIV. Dua modul dalam Spectrum digunakan, yaitu Demographic Projection (DemProj) dan AIDS Impact Model (AIM). DemProj memproyeksikan populasi berdasarkan umur dan jenis kelamin dan menunjukan indikator demografis lainnya sedangkan AIM menghitung jumlah orang yang terinfeksi HIV, kasus AIDS, kematian akibat AIDS, anak dengan HIV & AIDS, kebutuhan ART, kebutuhan PPIA dan akibat AIDS lainnya. Hubungan antara kedua alat bantu tersebut dijabarkan dalam bagan 1 di bawah ini:

Bagan 1. Alur Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia 2011-2016

DataDemografi DataPerilaku

ASIANEPIDEMICMODEL

DatasurveilansHIV DatadanAsumsiEpidemiologilainnya

Estimasi Proyeksi

SPECTRUM

Pravalensi Estimasi Proyeksi

Estimasi Proyeksi

Populasi

- Infeksi

Baru

HIV Asumsi

- Kematian

Epidemiology

terkait HIV - Kebutuhan

terapi ARV - Kebutuhan

PPIA

11

Proyeksi demografis dalam Spectrum sebagian besar menggunakan data Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2000-2025 dari Badan Pusat Statistik. Berikut adalah sumber data untuk input demografis pada modul DemProj-Spectrum: • Data Demografi Menggunakan data yang sama dengan data demografi untuk modul AEM . • Angka harapan hidup, Total Fertility Rate dan Age Spesific Fertility Rate Menggunakan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia dan Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2000-2025 serta tabel model hidup penduduk di kawasan Asia Tenggara yang sudah tersedia dalam modul DemProj-Spectrum.

2.5 Estimasi Jumlah Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) Sebelumnya estimasi jumlah ODHA nasional dihitung dengan menggunakan metode esktrapolasi yang didasarkan pada estimasi jumlah populasi kunci HIV dan data prevalensi HIV terbaru dari STBP dan atau surveilans sentinel HIV Kemenkes. Metode ini cenderung mengestimasi jumlah ODHA dengan lebih rendah karena bergantung pada laki-laki risiko tinggi yang melaporkan bahwa mereka mereka telah membeli seks dan perempuan yang melaporkan bahwa mereka menjual seks dalam 12 bulan terakhir, sehingga sulit untuk mengukur mantan pelanggan dan mantan pekerja seks yang tidak melakukan transaksi 12 bulan terakhir sebelum survei dilakukan. Keterbatasan ini dapat diatasi oleh AEM yang mengunakan “fitting” kecenderungan jumlah ODHA untuk setiap populasi kunci dengan mempertimbangkan data spesifik untuk setiap negara dan kecenderungan pola epidemi untuk sejumlah besar negara di Asia dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi. Metode ini mengimbangi risiko infeksi HIV dalam periode survei berurutan (dan bukan 12 bulan sebelumnya yang tercakup dalam sebagian besar survei, termasuk STBP 2011). Sebagai hasilnya, jumlah estimasi ODHA dari AEM dikoreksi untuk populasi risiko rendah yang tidak dilaporkan dalam STBP (yaitu orang yang tidak melaporkan perilaku berisiko selama 12 bulan sebelum survei). AEM menghasilkan estimasi jumlah ODHA tahun 2012 dengan menggunakan data input dari laporan estimasi ukuran populasi kunci HIV tahun 2012, tingkat dan kecenderungan prevalensi HIV pada populasi kunci, perilaku berisiko serta pencarian 12

pelayanan kesehatan. Perangkat lunak AEM kemudian mencocokan sebuah garis kecenderungan ODHA untuk setiap populasi kunci yang konsisten dengan data input dari Indonesia dan evolusi epidemi HIV di negara-negara Asia. Garis kecenderungan yang didapat menghasilkan estimasi jumlah ODHA setiap tahun yang konsisten dengan semua data yang tersedia. Meskipun demikian, AEM tidak dapat memberikan estimasi jumlah ODHA di tingkat kabupaten/kota, sehingga metode ekstrapolasi konservatif digunakan untuk mengestimasi jumlah ODHA di tingkat kabupaten/kota. Untuk mengatasi estimasi yang terlalu rendah dari metode esktrapolasi, jumlah ODHA yang diestimasi kemudian disesuaikan dengan faktor koreksi. Faktor koreksi tersebut mempertimbangkan jumlah estimasi ODHA yang dihasilkan oleh AEM dan metode ekstrapolasi di tingkat nasional (yaitu total estimasi jumlah ODHA kabupaten/kota) untuk setiap populasi kunci. Dengan demikian, jumlah ODHA yang disesuaikan untuk setiap kabupaten/kota menjadi sebagai berikut: #PLHIV(adj) = PLHIV size(district) *[1+(PLHIV(AEM)-PLHIV(national))/PLHIV(national)] AEM juga memiliki sejumlah keterbatasan, yaitu, pertama, parameter AEM diturunkan dari nilai rerata dari beberapa negara Asia lainnya. Nilai parameter ini mungkin dapat atau tidak dapat mencerminkan situasi di Indonesia; Kedua, AEM tidak memiliki modul waria dalam perhitungannya. Untuk mengestimasi ODHA pada populasi ini, AEM menggunakan parameter lembar kerja heteroseksual (WPS). Oleh karena itu, hasil estimasi dan proyeksi dari lembar kerja waria perlu diinterpretasikan secara hati-hati. Selanjutnya AEM mensimulasikan populasi laki-laki risiko rendah (mantan pelanggan, mantan Penasun dan mantan LSL) dan populasi perempuan risiko rendah (mantan WPS, pasangan pelanggan dan Penasun, pasangan mantan pelanggan, pasangan mantan LSL dan pasangan mantan Penasun). Beberapa dari sub-populasi ini, yaitu mantan pelanggan, mantan Penasun, mantan LSL, mantan WPS, pasangan pelanggan, tidak dihitung dan diperdiksi dalam estimasi. Oleh karena itu, estimasi jumlah ODHA tidak dapat secara langsung dibandingkan dengan hasil AEM. Dengan demikian, hasil estimasi untuk populasi risiko rendah dipresentasikan berdasarkan sub-populasinya.

13

2.6 Modul AEM Dengan menggunakan asumsi ketersediaan data perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV pada populasi utama (WPS, Pelanggan WPS, LSL, Penasun, Waria, Pelanggan Waria dan populasi risiko rendah) tahun 2011-2016 dan hasil STBP pada populasi umum Tanah Papua Tahun 2006 serta STBP pada Populasi Berisiko Tahun 2007, 2009 dan 2011, maka modul AEM memproyeksikan terjadinya peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari 0.38% pada tahun 2011 menjadi 0.5% di tahun 2016 (Grafik 1). Grafik 1. Estimasi dan Proyeksi Prevalensi HIV pada Populasi Usia 15-49 Tahun di Indonesia Tahun 2011-2016

Pre val ens i HIV (%)

1 0.8 0.6 0.4

0.43

0.48

0 .5

0.41

0.46

0 .38

2 011

201 2

2013

2014

2015

2 0 16

0.2 0 Tahun

Selain estimasi dan proyeksi prevalensi HIV dari modul AEM didapatkan juga estimasi dan proyeksi jumlah ODHA menurut populasi berisiko. dimana jumlah ODHA di populasi Pengguna Alat Suntik (Penasun) mengalami penurunan dari 28.944 pada tahun 2011 menjadi 21.559 di tahun 2016. Sedangkan peningkatan jumlah ODHA terjadi pada populasi lainnya termasuk laki-laki risiko rendah dan wanita risiko rendah (Tabel 1).

14

Tabel 1. Estimasi dan proyeksi Jumlah ODHA Menurut Populasi Kunci di Indonesia Tahun 2011-2016 Jumlah ODHA Populasi Kunci 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Wanita Pekerja Seks Langsung (WPSL)

10.512

10.616

10.717

10.893

11.091

4.647

4.872

5.019

5.158

5.282

105.325

107.784

110.076

111.978

113.909

115.954

68.175

81.338

96.632

113.650

132.690

153.771

29.928

27.763

26.097

24.502

22.990

21.559

8.733

9.152

9.489

9.887

10.283

10.678

Pelanggan Waria

26.155

27.479

28.565

29.843

31.120

32.396

Laki-laki risiko rendah

101.604

112.921

123.959

134.638

145.123

155.477

Perempuan risiko rendah

190.349

209.898

228.089

245.770

262.768

279.276

Total

545.428

591.823

638.643

686.319

735.256

785.821

Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung (WPSTL) Pelanggan WPS (Langsung & Tidak Langsung) Laki-laki Seks Laki-laki (LSL) Pengguna Napza Suntik (Penasun) Waria

11.309 5.401

Keterbatasan yang dihadapi pada estimasi dan proyeksi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016 antara lain tidak tersedianya semua data yang diperlukan oleh alat bantu AEM dan Spectrum dan tidak tersedianya AEM untuk menggabungkan modul papua, non papua dan waria sehingga masih perlu dilakukan penggabungan pemodelan bagi ketiga modul tersebut diluar alat bantu AEM yang tersedia. Data terkait surveilans HIV di beberapa wilayah geografis utama dan kelompok populasi sangat terbatas sehingga ketersediaan data tersebut sangat diperlukan.

15

2.7 Merubah Stigma dan Deskriminasi ODHA HIV/AIDS, sebuah kasus yang tidak lagi menjadi makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Layaknya penyakit kejadian luar biasa yang menjadi perhatian akhir-akhir ini, kasus HIV/AIDS yang pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1987 juga menjadi suatu hal yang menggemparkan dan fenomenal di masyarakat. Ironinya, iklim kegemparan HIV/AIDS tidak menjadikan suatu motivasi bagi masyarakat untuk menanggulangi penyebaran wabah ini di Indonesia. Kegemparan tersebut justru melahirkan stigma di masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS atau yang biasa dikenal dengan istilah ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma terhadap ODHA dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan penderita HIV/AIDS meliputi masyarakat dan media massa, sedangkan faktor internal adalah faktor yang berasal dari penderita itu sendiri. Kedua faktor tersebut interdependen, dalam arti baik faktor dari masyarakat, media massa, maupun pribadi saling mempengaruhi satu sama lain. Stigma dari masyarakat muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS secara menyeluruh. Masyarakat mengetahui HIV/AIDS sebatas “penyakit ini menular dan penderitanya berbahaya”. Masyarakat boleh jadi telah mengenal atau mengetahui bahwa terdapat penyakit menular yang disebut HIV/AIDS dan telah mewabah di Indonesia, namun sebagian besar masyarakat masih belum memahami secara benar faktor penyebaran dan cara penanggulangannya. Adanya ketidakpahaman ini menyebabkan timbulnya sikap over protective terhadap ODHA, seperti diskriminasi dengan tidak mau bergaul dengan ODHA dan stigma bahwa penderita HIV harus dihindari. Pemahaman yang setengah-setengah dan tidak menyeluruh tersebut timbul karena adanya disfungsi media massa. Media massa yang merupakan sumber informasi bagi masyarakat masih memberikan informasi yang kurang jelas. Pemberitaan yang muncul lebih

didominasi

bahaya

HIV/AIDS

dibandingkan

upaya

untuk

mencegah

penyebarannya. Adanya pemberitaan yang kurang lengkap ini menyebabkan masyarakat melakukan interpretasi yang salah dalam menyikapi kasus HIV/AIDS. Dampak lebih lanjut dari pemberitaan media massa yang kurang menyeluruh ini menyebabkan masyarakat terpengaruh secara mental untuk mendiskriminasikan penderita HIV/AIDS. 16

Munculnya stigma di masyarakat diperkuat dengan perilaku yang timbul dari ODHA yang diakibatkan oleh masalah psikososial. Ketidakmampuan beradaptasi penderita HIV/AIDS terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya dapat mengakibatkan stress, frustasi sampai ke tingkat depresi. Dampak tersebut dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengalaman dan keterampilan dokter yang melakukan kontak langsung dengan ODHA sehingga dokter kurang tepat dalam mengkomunikasikan berita tersebut kepada ODHA[3]. Segala macam faktor psikososial ini memperngaruhi tingkah laku ODHA sehingga mereka cenderung memilih untuk menutup diri dari masyarakat. Hal tersebut justru menambah stigma masyarakat dan memicu diskriminasi terhadap ODHA. Stigma yang makin lama makin menguat tersebut memberikan dampak yang semakin buruk bagi ODHA. Masyarakat justru tergiring untuk mendiskriminasikan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fakta dapat kita lihat di masyarakat seperti pemecatan ODHA dari perusahaan. Sebenarnya tindakan ini menyalahi Keputusan Menakertrans No 68/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Kejadian yang cukup ironi juga terjadi di rumah sakit yang mana seharusnya rumah sakit adalah tempat acuan untuk mengambil sikap terhadap ODHA. Seperti pengakuan salah seorang teman penderita HIV/AIDS di Malang, Jawa Timur yang dikutip dari health.groups.yahoo.com, teman yang menderita HIV/AIDS tersebut ingin melakukan operasi penyakit namun ditolak oleh pihak rumah sakit karena ketidaksanggupan dokter dan pihak rumah sakit untuk mengganti peralatan rumah sakit yang digunakan dalam operasi. Secara implisit hal ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap ODHA. Menyikapi kuatnya stigma dan diskriminasi dikarenakan kurang mengertinya masyarakat tentang penularan HIV/ AIDS, maka diperlukan adanya regulasi yang kuat. Pemerintah, LSM, dan aktivis AIDS hendaknya bekerja sama sebagai suatu sistem yang sinergis untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS. Sistem tersebut bekerja sama mencerdaskan masyarakat secara menyeluruh mengenai HIV/AIDS mulai dari faktor penyebaran, dampak, cara untuk menanggulangi, dan sikap yang tepat dalam menyikapi HIV/AIDS. Paradigma masyarakat yang salah tentang HIV/AIDS sesegara mungkin harus diubah. Selama ini masyarakat menjauhi ODHA karena tidak mengetahui cara penularan HIV/AIDS. Pada dasarnya terdapat tiga jalur utama penularan HIV/AIDS. Penularan pertama yaitu melalui hubungan seksual. Apabila salah satu pasangan mengidap HIV/AIDS maka secara otomatis HIV/AIDS akan menular pada pasangan seksnya. 17

Salah satu faktor pemungkin mewabahnya HIV/AIDS yaitu makin bertambahnya jumlah penjaja seks dan pelanggannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan upaya penanggulangan wabah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. Pemerintah perlu membuat regulasi yang tegas untuk mengamankan perilaku berisiko tinggi tersebut dengan sosialisasi secara masif penggunaan kondom atau menutup praktik penjaja seks itu sendiri. Penularan yang kedua yaitu melalui darah yang terinfeksi HIV. Darah penderita HIV dapat ditularkan melalui transfusi darah, alat-alat bedah, jarum suntik, alat cukur, dan alat-alat lain yang memungkinkan adanya kontak darah. Dalam hal ini perlu adanya pengawasan yang cermat oleh PMI sebagai salah satu pihak yang mengelola proses transfusi darah dan juga pelayanan kesehatan lain seperti puskemas dan rumah sakit untuk mengindari adanya kontak darah. Pengawasan juga dilakukan terhadap alat-alat kesehatan yang digunakan untuk menghindari penggunaan alat tersebut lebih dari satu kali. Penularan ketiga yaitu melalui ibu yang mengidap HIV. Seorang ibu yang mengidap HIV/AIDS dapat menularkan HIV/AIDS kepada bayinya melalui plasenta. Untuk mensosialisasikan hal tersebut, perlu adanya Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA). Upaya penanggulangan HIV/AIDS tidak cukup hanya dengan penyuluhan secara sporadis dan insidental saja, namun perlu adanya gerakan nasional dengan mengerahkan segala sistem yang ada pada masyarakat untuk mendukung pengentasan HIV/AIDS di Indonesia. Dengan adanya Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA) yang berkelanjutan diharapkan mampu menyedot perhatian masyarakat sehingga penanggulan HIV/AIDS dapat berjalan dengan maksimal. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu subjek yang harus berperan aktif adalah media massa. Media massa diharapkan mampu memberikan informasi yang up to date kepada masyarakat, tidak hanya mengenai bahaya tetapi juga tentang penularan hingga pengobatan. Tentunya dalam menjalankan peran ini media massa harus memperhatikan kode etik pers yang berlaku. Tanggung jawab etik pers dalam liputan HIV/AIDS akan menyangkut sejauh mana liputan tersebut tidak terjerembab pada sensasionalisme, vulgarisme, dan stigmatisasi, dan berita yang tidak proporsional yang dengan mudah akan menimbulkan “kepanikan sosia”. Media massa baik cetak maupun elektronik sedapat mungkin menghindari pemberitaan yang cenderung bersifat sensasional dan vulgar demi mengurangi stigma dan diskriminasi yang muncul dari masyarakat. 18

Adanya sensasionalisme, vulgarisme, dan stigmatisasi dalam liputan HIV/AIDS boleh jadi diakibatkan kurangnya keterampilan professional dari dalam tubuh media massa. Untuk menyikapi hal tersebut, maka diperlukan adanya spesialisasi dan profesionalisme dalam media massa khususnya dalam bidang kesehatan. Wartawan maupun pekerja pers haruslah memahami seluk beluk HIV/AIDS sehingga dapat mentransfer informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat serta menghindari pemberitaan yang bersifat dugaan dan prasangka. Di samping itu, perlu diperhatikan pula pemberitaan dari sudut pandang penderita HIV/AIDS. Hal ini bertujuan untuk mengurangi sensasionalisme dan vulgarisme sehingga mampu mencegah munculnya stigma dan diskriminasi dalam masyarakat. Salah satu fungsi media massa yaitu sebagai sarana pendidikan, tentunya harus diterapkan dalam pengentasan HIV/AIDS. Media massa diharapkan mampu mengurangi gap antara informasi kesehatan dengan perilaku yang ada di masyarakat. Melalui Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA), optimalisasi peran media massa dapat ditingkatkan. Setiap aspek media massa, baik cetak maupun elektronik, memiliki trik dan teknik tersendiri dalam pemberian informasi kepada masyarakat sehingga informasi tersebut tetap efektif untuk mencerdaskan masyarakat. Salah satu faktor yang perlu digarisbawahi yaitu kejelasan sasaran program intervensi tersebut. Media massa diharapkan tidak hanya menjangkau masyarakat yang melakukan perilaku berisiko saja seperti penjaja seks dan pelanggannya, namun juga seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya pencerdasan mengenai fenomena HIV/AIDS, stigma dan diskriminasi terhadap ODHA diharapkan dapat lenyap dan tergantikan oleh dukungan penuh dalam pengentasan HIV/AIDS. Peran media massa tentu tidaklah menjadi sesuatu yang berarti jika tidak mendapatkan dukungan yang penuh dari pemerintah. Dikeluarkannya Kep. Pres RI Nomor 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS membuktikan bahwa pemerintah turut pula berupaya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Namun, pembentukan KPA di tingkat nasional maupun daerah saja dirasa tidaklah cukup. Perlu adanya badan independen semacam komisi khusus untuk melayani konsultasi penderita HIV/AIDS. Komisi ini diharapkan mampu menampung dan mengcover setiap permasalahan yang dirasakan oleh ODHA dalam kaitannya dengan kondisi psikososial mereka. Komisi ini harus mampu bertindak proaktif dan tidak hanya sekedar reaktif dalam mendampingi ODHA. Tujuan komisi ini terpesifikasi khusus sebagai biro konseling yaitu memberikan pelayanan, konsultasi psikologis, dan memotivasi proses 19

perawatan HIV/AIDS. Dengan begitu, ODHA diharapkan dapat semakin membuka diri pada masyarakat dan memacu dirinya sendiri untuk dapat keluar dari stigma dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat.

20

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Walaupun epidemi HIV di Indonesia biasanya dihubungkan dengan pengguna jarum suntik (Penasun) dan pekerja seks perempuan (WPS), ternyata situasi epidemi HIV dan AIDS telah berubah. Pada tahun-tahun mendatang, jumlah terbesar infeksi HIV baru akan terjadi di antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), diikuti oleh perempuan pada populasi umum (perempuan risiko rendah), yang terdiri dari perempuan terinfeksi melalui berhubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi serta wanita yang mereka sendiri mungkin telah terlibat dalam perilaku berisiko pada tahun sebelumnya dan mereka yang sebenarnya telah terinfeksi HIV dan baru dapat terdeteksi di kemudian hari. Jumlah infeksi yang cukup besar terjadi pada laki-laki yang merupakan pelanggan pekerja seks dan laki-laki populasi umum (laki-laki risiko rendah), yang terdiri dari lakilaki yang terinfeksi melalui hubungan seksual dengan istri-istri mereka ditambah dengan laki-laki yang berhubungan seks dengan WPS pada tahun sebelumnya.

3.2 SARAN Pemanfaatan lebih lanjut dari estimasi dan proyeksi HIV/AIDS ini seperti perkiraan kebutuhan sumberdaya juga perlu dilakukan untuk melengkapi informasi bagi pemangku kebijakan sehingga dapat menentukan prioritas program dengan berbasis pada data. Selain itu pula diperlukan alat bantu estimasi dan proyeksi HIV/AIDS yang lebih spesifik untuk Indonesia seperti pada kelompok waria, sehingga dapat mengakomodasi keanekaragaman epidemi HIV di Indonesia. Hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS ini berguna untuk memenuhi kebutuhan data surveilans HIV yang baik dan menilai M&E dan sistem surveilans rutin. Selain itu, hasil ini dapat digunakan sebagai model dan perubahan informasi untuk merevisi estimasi dan dampak setiap 2 tahun.

21

Daftar Pustaka Biro Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan RI. 2004. Laporan Hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002-2003 di Indonesia. Jakarta: s.n., 2004. Departemen Kesehatan RI. 2005. Laporan Hasil Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada WPS, Indonesia Tahun 2005. Jakarta: Depkes, 2005. Departemen Kesehatan RI. 2005. Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Indonesia, Hasil SSP Tahun 2004-2005. Jakarta: s.n., 2005. Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Surveilans Sentinel HIV, Surveilans HIV Generasi Kedua. Jakarta: Depkes, 2006. Departemen Kesehatan RI. 2007. Laporan Nyata Survei Terpadu Biologis dan Perilaku Tahun 2007. Jakarta: Depkes, 2007. Departemen Kesehatan RI. 2008. Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku 2007. Direktorat Jenderal PP dan PL, 2008. Departemen Kesehatan RI. 2008. Pemodelan Matematika Epidemi HIV di Indonesia Tahun 2008-2014. Direktorat Jenderal PP dan PL, 2008. Departemen Kesehatan RI. 2009. Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV 2009. Direktorat Jenderal PP dan PL, 2010. Departemen Kesehatan RI. 2009. Laporan Hasil Survei Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada wanita penjaja seks di Kupang, Samarinda, Pontianak, Yogyakarta, Timika, Makassar, dan Tangerang Tahun 2006-2007. Jakarta: Depkes, 2009. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Laporan Hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku Tahun 2009. Jakarta: Kemenkes, 2011. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Laporan Hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku Tahun 2011. Jakarta: Kemenkes, 2011. World Health Organization. 2011. Guidelines for Second Generation HIV Surveillance: an update: Know your epidemic. Geneva: WHO, 2011.

22

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"