BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada saraf-araf pusat, sebagian besar prosesus neuronal terselubung di dalam mielin, yang dibentuk dari kompleks lipatan membran sel oligidendrosit. Mielin saraf-saraf pusat sedikit berbeda dalam bentuk dan komposisinya dengan mielin perifer, tetapi pada dasarnya melaksanakan fungsi yang sama yaitu, melindungi dan mengisolasi prosesus neuronal dan memungkinkan tranmisi yang cepat dariimpuls elektrik oleh konduksi saltatori. Banyak mielin pada saraf-saraf pusat berlokasi pada substansi alba, tetapi prosesus neuron pada substansi kelabu juga dikelilingi mielin Demielinasi primer saraf-saraf pusat terjadi pada beberpa keadaan yang pembungkus mielinnya rusak tetap akson tetap utuh. Kerusakan akson primer menyebabkan hancurnya mielin disekeliling akson yang rusak, proses ini disebut demielinasi sekunder. Sewaktu kerusakan mielin terjadi, jaringan yang rusak difagosit oleh makrofag. Mielin yang utuh kaya akan kolesterol dan fosfolipid, tetapi fagositosis selanjutnya dialihkan dalam tetesan lpid netral. Kondisi demielinasi dapat disebabkan oleh virus,bahkan bahan kimia atau mekanisme imunologik. Kondisi demielinai yang paling sering adalah multiple sklerosis yang mekanisme demielinasinya belum diketahui. (J.C.E. UNDERWOOD. 1996) Studi epidemiologi menunjukkan bahwa MS lebih banyak didapatkan di area Utara, dua kali lebih banyak pada wanita, dan paling sering muncul pada dekade ketiga dan keempat. Ras Kaukasia -kulit berwarna- beresiko dua kali lebih besar menderita MS di United States dan Kanada. Menariknya, ketika MS berkembang di populasi Asia, MS dominan mempengaruhi nervus optikus dan medula spinalis, keterlibatan otak jarang didapatkan, berbeda dengan di Amerika Utara dan Eropa. Individu yang lahir di area Utara, dengan ras dan usia yang sesuai, memiliki resiko bawaan yang lebih kecil karena habitat wilayah jika mereka berpindah ke area Selatan sebelum usia 15 tahun. Individu lain yang juga berpindah dari Utara ke Selatan, namun setelah usia 15 tahun, memiliki resiko bawaan yang tetap lebih tinggi. Meskipun ada beberapa predisposisi faktor genetik yang masih perlu diidentifikasi untuk MS, faktor ini saja bertanggung jawab terhadap variabilitas yang
disebutkan sebelumnya, seperti populasi yang dibandingkan secara genetik bervariasi dalam prevalensi MS tergantung pada tempat kelahiran dan usia migrasi. (Aminoff MJ, 2015)
1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari penyakit multiple sklerosis? 2. Bagaimanakah etiologi dari penyakit multiple sklerosis? 3. Bagamanakah patofisiologi dari penyakit multple sklerosis? 4. Bagaimana tatalaksana terapi dari penyakit multiple sklerosis? 5. Bagaimana penyelesaian dan tinjauan kasus menggunakan metode SOAP terkait penyakit multiple sklerosis?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Agar mengetahui definisi dari penyakit multiple sklerosis 2. Agar mengetahui etiologi dari penyakit multiple sklerosis 3. Agar mengetahui patofosisologi dari penyakit multiple sklerosis 4. Agar mengetahui tatalaksana terapi dari penyakit multiple sklerosis 5. Agar menegtahui penyelesaian dan tinjauan kasus menggunakan metode SOAP terkait penyakit multiple sklerosis
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Multiple sklerosis Multiple Sclerosis merupakan penyakit demyelinasi idiopatik dan berulang yang melibatkan substantia alba pada sistem saraf pusat. Penyakit ini menyerang selubung myelin akson. Kerusakan pada selubung myelin akson ini menyebabkan terganggunya hubungan antar akson dalam susunan saraf pusat pada otak dan chorda spinalis. Penyakit demielinasi yang paling banyak ditemukan bersifta menahun, dengan berbagai remissi dan eksaserbasi dan mengenai seluruh otak dan medula spinalis. Dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling sering ditemukan pada usia antara 20-40 tahun. Wanita lebih sering daripada pria dan pada usia lebih muda. Lama penyakit antara 20 tahun. Kjshd Multiple sklerosis adalah uatu penyakit autoimun yang ditandai oleh pembentukan antibod terhadap mielin susunan saraf pusat. Sistem saraf perifer tidak terkena. Dengan rusaknya mielin maka hantaran saraf melambat. Respon peradanagan berperan menimbulkan penyakit dengan menyebabkan pembengkakan dan edema yang merusak neuron-neuron dan menyebabkan pembentukan plak jaringan parut pada mielin. Mcbhkchh
2.2 Etiologi Multilpe Sklerosis
Penyebab dari multipel sklerosis masih tidak diketahui, walaupun kegiatan penelitian dibidang ini sudah banyak dilakukan. Hipotesis yang tidak terhitung banyaknya sudah diajukan. 1. 2. 3. 4.
Teori penyebab terjadinya multiple sklerosis adalah sebagai berikut : Kelainan pada unsur pokok lipid mielin Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang virus) Racun yang beredar dalam CSS Infeksi virus pada saraf-saraf pusat
Multiple sklerosis dapat merupakan gangguan autoimun yang dpicu oleh inveksi virus pada individu yang genetik rentan, yang masih menunggu untuk dibuktikan lebih lanjut. Percobaan klinis dengan sitokin, seperti interferon yang mengatur respon imun telah mengurangi jumlah kambuhnya penyakit dan kemajuan pada beebrapa penderita. (J.C.E. UNDERWOOD. 1996) 2.3 Patofisiologi Multiple Sklerosis
Multiple sklerosis atau penyakit demyelinisasi merupakan penyakit autoimun yang bersifat progresif dan meupakan penyakit neurologi yang paling sering ditemukan pada anak muda (Agboizebeta, 2012) . Penyakit ini meerupakan penyakit idiopatik dan berulang yang melibatkan substansia alba pada system saraf pusat. Penyakit ini menyerang selubung myelin akson. Pada multiple sklerosis, inflamasi yang terjadi menyebabkan myelin menghilang Kerusakan pada selubung
myelin menyebabkan terganggunya hubungan antar akson dalam susunan saraf pusat pada otak dan corda spinalis (Lutfi, 2010). Proses patologis yang utama adalah terjadinya demyelinasi pada serabut myelin akson tanpa menutup kemungkinan terjadi juga kerusakan pada akson tersebut. Kerusakan myelin berhubungan dengan proses infiltrasi sel mononuclear perivaskuler lokal diikuti terjadinya kerusakan myelin yang disebabkan oleh makrofag. Pada tahap selanjutnya secara khas terjadi proliferasi astrosit yang disertai terbentuknya jaringan fibroglial. Patofisiologi multiple sklerosis yang pasti sampai saat ini masih belum jelas penyebabnya. Kemungkinan pemicu serangan multiple sklerosis berhubungan dengan factor imun, infeksi, trauma, stress, kelelahan, peningkatan suhu tubuh, reaksi abnormal dari obat atau vaksinasi, dan factor-faktor herediter (Lutfi, 2010).
2.4 Tatalaksana Terapi
Terapi Imunomodulatori Manajemen medis MS awalnya terbatas pada perawatan paliatif. Intervensi
farmakologi memodifikasi perjalanan MS dengan mengurangi relap dan keparahan lesi MRI, keduanya berperan dalam progresifitas penyakit. (Mary, AM. 2012). Lima obat yang disetujui oleh USFDA untuk terapi RRMS: interferon beta-1b, interferon beta-1a intramuskular, glatiramer asetat, interferon beta-1a subukutan, dan infus natalizumab. Interferon beta-1b subkutan (8 juta unit per hari) tersedia. 1. Interferon dan glatiramer acetate mengubah mekanisme presentasi antigen pada MS. Mekanisme imun host distimulasi oleh presentasi antigen kandidat, mungkin oleh protein intrinsik myelin. Sel T reaktif pada mielin teraktivasi dan melewati bloodbrain barrier, dimana mereka menginisiasi inflamasi pada myelin-rich white matter. Interferon sesungguhnya tidak memasuki SSP dan karenanya memberikan efeknya secara eksternal. Meskipun seperti interferon, glatiramer acetate tidak melewati blood-brain barrier, memiliki efek mempengaruhi akivitas dalam SSP dengan meningkatkan produksi faktor neurotropik pada otak. (Mary, AM. 2012) 2. Natalizumab Merupakan humanized recombinant monoclonal antibody yang bekerja pada sel T teraktivasi dengan berikatan pada alpha 4 subunit integrin yang diekspresikan oleh pemrukaan sel T. Hal ini menghambat transport sel T teraktivasi melewati boodbrain barrier dengan menghambat ikatan mereka terhadap molekul adesi endotel,
sehingga secara dramatis mengurangi perluasan populasi proliferasi abnormal sel darah putih dan sitokin SSP pada pasien MS. (Mary, AM. 2012) 3. Neutralizing Antibodies Meskipun keamanan jangka panjang lini pertama terapi imunomodulating masih belum jelas, masing-masing tampaknya dapat ditoleransi dengan baik. Namun, interferon, glatiramer acetate, dan natalizumab bukan merupakan protein alami dalam tubuh manusia, dan karenanya beresiko menginduksi antibodi pada penerimanya. Kecenderungan produksi antibodi tergantung pada agen, dosis, dan rute pemberian. Kontroversi muncul terkait efek antibodi ini pada pemakain jangka pajang terapi immunomodulator. (Mary, AM. 2012). Drug-induced antibodi berikatan dengan molekul agen aktif dan mungkin tidak memiliki fungsi yang signifikan. Neutralizing antibodi merupakan bagian dari ikatan antibodi yang mungkin mempengaruhi aktivitas obat dengan hambatan sterik terhadap ikatan obat pada reseptornya atau melalui efek jarak jauh pada aktivitas obat melalui ikatan pada lokasi yang lain. (Mary, AM. 2012) Terapi pada Multipel Sklerosis Berat Protokol terapi pada MS yang tidak respon terapi belum ditemukan. Hanya 2 agen yang diseujui USFDA untuk rapidly progressive MS: mitoxantrone dan interferon beta-1b. Mitoxantrone (12md/m2 iv diberikan setiap 3 bulan hingga dosis kumulatif maksimal 144mg) merupakan agen kemoterapi yang digunakan untuk terapi immune-mediated disorder yang lain. Biasanya dipertimbangkan sebagai terapi terakhir setelah berbagai terapi lain gagal, hal ini karena potensi toksisitasnya yang cukup mengkhawatirkan yaitu cardiac toxicity. (Mary, AM. 2012) Dua studi menunjukkan bukti bahwa interferon beta-1b memiliki efek positif pada pasien secondary progressive disease dengan mempertimbangkan berbagai pengukuran keluaran/outcome (progresifitas disabilitas, angka penurunan relaps, aktivitas MRI), tidak semuanya dari skor keluaran tersebut signifikan pada dua studi. Interferon beta-1a dosis tinggi juga diteliti pada secondary progressive disease; dua studi menunjukkan efikasi dibandingkan plasebo. Meskipun heterogenesitas populasi studi dan pengukuran keluaran menjadikan studi ini sulit dibandingkan, studi ini menawarkan rasionalisasi dalam memilih terapi baru pada pasien yang telah berkembang dari relapsing-remitting menjadi RRMS yang
lebih agresif atau secondary prgressive, tanpa mempertimbangkan terapi sebelumnya. (Mary, AM. 2012) Nama Obat
Dosis
Level of evidence
Methylprednisolone Treatment of relapses
Prednisone IVIG Plasma exchange Glatiramer acetate
First line therapies
Interferon beta 1a and interferon beta 1b Fingolimod Natalizumab Azathioprine
Cyclophosphamide Second line therapies
Mitoxantrone
Mycophenolate mofetil
0.5-1 g per day i.v.(3-7 days) 0.5-1 mg/kg body weight in taperingdoses; after 3-6 weeks, 5-10 mg maintenance dose 2.0-0.4 g/kg body weight 2-5 days 1-7 times every other day 20 mcg per day Avonex 6 MIU once per week, Betaferon9.6 MIU every other day, Rebif 22 mcgor 44 mcg twice weekly 0.5 mg per os per day 300 mg i.v. every 4 weeks 2.5-3 mg/kg body weight per day; 1.5-2.5 maintenance dose 1-5 mg/kg twice per day 1 g i.v. every month for 6-12 months,then every 5 weeks during 2nd year andevery 6 weeks during 3rd year of application 20 mg +1 g methylprednisolone oncemonthly or once in 3 months or 2-3x20mg per month followed by 10 mg once in3 months till cumulative dose 1 g twice daily
I IV III IV I I I II IV
II
I
IV
Tabel 1. Obat untuk prevensi dan relap pada MS. (Kes, VB, 2012)
1. Cyclophosphamide Cyclophosphamide merupakan agen imunosupresan lain yang dgunakan secara luas untuk terapi gangguan autoimun dan neoplasma. Satu studi menunjukkan beberapa respon terhadap skor expanded disability status scale terhadap infus induksi diikuti booster pada pasien dengan usia kurang dari 40 tahun. Toksisitas yang muncul termasuk hemorrhagic cystitis, leukopenia, myocarditis, pulmonar
interstitial fibrosis, malignancy, dan infertilitas. Mitoxantrone cenderung ditoleransi lebih baik dengan efek asmping lebih sedikit, dan memiliki bukti efikasi yang lebih baik untuk secondary progressive MS. (Mary, AM. 2012) 2. Methorexate Dosis rendah oral mingguan tidak disetujui untuk terapi MS namun dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada off-label berdasarkan beberapa studi terbatas pada pasien MS dan efikasinya pada rheumatoid arthritis, penyakit autoimun yang lain. Methotrexate adalah competitive inhibitor terhadap dihydrofolate reductase dan mempengaruhi produksi reduced cofactor yang diperlukan untuk sntesis DNA dan RNA. Tampaknya agen ini memiliki efek immunosupresif dan antiinflmasi serta aksi immunoregulator. Toksisitas meliputi fibrosis pulomnal dan liver, sirosis, dan supresi sumsum tulang. (Mary, AM. 2012) 3. Metilprednisolon intravena Selain efikasinya sebagai terapi pada fase relaps, siklus pemberian 500- 1000mg glukokortikoid infus intravena dapat dijadwalkan sebagai terapi setiap bulan atau dua bulan sekali para pasien yang sering mengalami relaps dan transisi dari RRMS menjadi secondary progressive MS. Terapi ini umumnya cukup aman, dapat ditoleransi
oleh
pasien
yang
mengalami
respon
waning
pada
terapi
immunomodulator konvensional lain namun tidak bersedia menjalani kemoterapi. (Mary, AM. 2012)