Bab I Trauma-dikonversi

  • Uploaded by: Lula IdthuCyank Dieya
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Trauma-dikonversi as PDF for free.

More details

  • Words: 4,753
  • Pages: 23
1 MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT (KGD) Keperawatan Gawat Darurat Tentang Asuhan Keperawatan, Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi Diet pada Gangguan Trauma Kepala

Disusun Oleh: Kelompok 4 1. 2. 3. 4. 5.

Arfiana Lissa Adati Fenny Cahaya Khaerani Nurida Wulandani Risky Putri C Santi Pratiwi

KELAS 3A SI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS Alamat : Jl. Ganesha I, Purwosari, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59316 Website: http://www.stikesmuhkudus.ac.id Email: [email protected]

2

KATA PENGANTAR ِ‫ٱلر ِح ِيم‬ َّ ِ‫ٱلر ۡح َٰمن‬ َّ ‫بِ ۡس ِمٱللَّ ِه‬ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan makalah pengetahuan bagi mahasiswa/i Stikes Muhammadiyah Kudus maupun para pembaca untuk bidang Ilmu Pengetahuan. Makalah ini sendiri dibuat guna memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah “Keperawatan Gawat Darurat” Keperawatan Gawat Darurat Tentang Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi Diet pada Gangguan Trauma Kepala ” Dalam penulisan makalah ini penulis berusaha menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. oleh karenanya, penulis menerima kritik dan saran yang positif dan membangun dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan makalah ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini dan apabila ada salah kata penulis mohon maaf. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Amin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kudus, 13 Maret 2019 Penulis

3 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. .. Latar Belakang B. .. Rumusan Masalah C. .. Tujuan BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Asuhan Keperawatan B. Farmakologi C. Terapi Diet BAB III A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007). Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) (Wahjoepramono, 2005). Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Depkes, 2012). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer, 2002). B. Rumusan masalah a. Bagaimana asuhan keperawatan pada trauma kepala b. Bagaimana terapi diet pada trauma kepala c. Bagaimana farmakologi pada trauma kepala C. Tujuan d. Untuk mengetahui tentang asuhan keperawatan pada trauma kepala e. Untuk mengetahui tentang terapi diet pada trauma kepala f. Untuk mengetahui tentang farmakologi pada trauma kepala

5 BAB II PEMBAHASAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TRAUMA KEPALA A. Pengertian Head injury (Trauma kepala) termasuk kejadian trauma pada kulit kepala, tengkorak atau otak. Batasan trauma kepala digunakan terutama untuk mengetahui trauma cranicerebral, termasuk gangguan kesadaran. Kematian akibat trauma kepala terjadi pada tiga waktu setelah injury yaitu : 1. Segera setelah injury. 2. Dalam waktu 2 jam setelah injury 3. rata-rata 3 minggu setelah injury. Pada umumnya kematian terjadi setelah segera setelah injury dimana terjadi trauma langsung pada kepala, atau perdarahan yang hebat dan syok. Kematian yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma disebabkan oleh kondisi klien yang memburuk secara progresif akibat perdarahan internal. Pencatatan segera tentang status neurologis dan intervensi surgical merupakan tindakan kritis guna pencegahan kematian pada phase ini. Kematian yang terjadi 3 minggu atau lebih setelah injury disebabkan oleh berbagai kegagalan sistem tubuh. Faktor 2 yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek adalah adanya intracranial hematoma, peningkatan usia klien, abnormal respon motorik, menghilangnya gerakan bola mata dan refleks pupil terhadap cahaya, hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan hiperkapnea, peningkatan ICP. Diperkirakan terdapat 3 juta orang di AS mengalami trauma kepala pada setiap tahun. Angka kematian di AS akibat trauma kepala sebanyak 19.3/100.000 orang. Pada umumnya trauma kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau terjatuh. Jenis Trauma Kepala : 1. Robekan kulit kepala. Robekan kulit kepala merupakan kondisi agak ringan dari trauma kepala. Oleh karena kulit kepala banyak mengandung pembuluh darah dengan kurang memiliki kemampuan konstriksi, sehingga banyak trauma kepala dengan perdarahan hebat. Komplikasi utama robekan kepala ini adalah infeksi. 2. Fraktur tulang tengkorak. Fraktur tulang tengkoran sering terjadi pada trauma kepala. Beberapa cara untuk menggambarkan fraktur tulang tengkorak : a. Garis patahan atau tekanan. b. Sederhana, remuk atau compound. c. Terbuka atau tertutup.

6 Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau sampai menembus kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan pukulan, moentum, trauma langsung atau tidak. Pada fraktur linear dimana fraktur terjadi pada dasar tengkorak biasanya berhubungan dengan CSF. Rhinorrhea (keluarnya CSF dari hidung) atau otorrhea (CSF keluar dari mata). Ada dua metode yang digunakan untuk menentukan keluarnya CSF dari mata atau hidung, yaitu melakukan test glukosa pada cairan yang keluar yang biasanya positif. Tetapi bila cairan bercampur dengan darah ada kecenderungan akan positif karena darah juga mengadung gula. Metoda kedua dilakukan yaitu cairan ditampung dan diperhatikan gumpalan yang ada. Bila ada CSF maka akan terlihat darah berada dibagian tengah dari cairan dan dibagian luarnya nampak berwarna kuning mengelilingi darah (Holo/Ring Sign). Komplikasi yang cenderung terjadi pada fraktur tengkorak adalah infeksi intracranial dan hematoma sebagai akibat adanya kerusakan menigen dan jaringan otak. Apabila terjadi fraktur frontal atau orbital dimana cairan CSF disekitar periorbital (periorbital ecchymosis. Fraktur dasar tengkorak dapat meyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjunctiva atau edema periorbital. Commotio serebral : Concussion/commotio serebral adalah keadaan dimana berhentinya sementara fungsi otak, dengan atau tanpa kehilangan kesadaran, sehubungan dengan aliran darah keotak. Kondisi ini biasanya tidak terjadi kerusakan dari struktur otak dan merupakan keadaan ringan oleh karena itu disebut Minor Head Trauma. Keadaan phatofisiologi secara nyata tidak diketahui. Diyakini bahwa kehilangan kesadaran sebagai akibat saat adanya stres/tekanan/rangsang pada reticular activating system pada midbrain menyebabkan disfungsi elektrofisiologi sementara. Gangguan kesadaran terjadi hanya beberapa detik atau beberapa jam. Pada concussion yang berat akan terjadi kejang-kejang dan henti nafas, pucat, bradikardia, dan hipotensi yang mengikuti keadaan penurunan tingkat kesadaran. Amnesia segera akan terjadi. Manifestasi lain yaitu nyeri kepala, mengantuk,bingung, pusing, dan gangguan penglihatan seperti diplopia atau kekaburan penglihatan. Contusio serebral Contusio didefinisikan sebagai kerusakan dari jaringan otak. Terjadi perdarahan vena, kedua whitw matter dan gray matter mengalami kerusakan. Terjadi penurunan pH, dengan berkumpulnya asam laktat dan menurunnya konsumsi oksigen yang dapat menggangu fungsi sel. Kontusio sering terjadi pada tulang tengkorak yang menonjol. Edema serebral dapat terjadi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan ICP. Edema serebral puncaknya dapat terjadi pada 12 – 24 jam setelah injury. Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka tingat kesadaranpun

7 akan berangsur kembali tetapi akan memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila terjadi edema serebral. Diffuse axonal injury. Adalah injury pada otak dimana akselerasi-deselerasi injury dengan kecepatan tinggi, biasanya berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor sehingga terjadi terputusnya axon dalam white matter secara meluas. Kehilangan kesadaran berlangsung segera. Prognosis jelek, dan banyak klien meninggal dunia, dan bila hidup dengan keadaan persistent vegetative. Injury Batang Otak Walaupun perdarahan tidak dapat dideteksi, pembuluh darah pada sekitar midbrain akan mengalami perdarahan yang hebat pada midbrain. Klien dengan injury batang otak akan mengalami coma yang dalam, tidak ada reaksi pupil, gangguan respon okulomotorik, dan abnormal pola nafas. Komplikasi : Epidural hematoma. Sebagai akibat perdarahan pada lapisan otak yang terdapat pada permukaan bagian dalam dari tengkorak. Hematoma epidural sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergensi dan biasanya berhubungan dengan linear fracture yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematoma berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematoma terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk kedalam ruang epidural. Bila terjadi perdarahan arteri maka hematoma akan cepat terjadi. Gejalanya adalah penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual dan muntah. Klien diatas usia 65 tahun dengan peningkatan ICP berisiko lebih tinggi meninggal dibanding usia lebih mudah. Subdural Hematoma. Terjadi perdarahan antara dura mater dan lapisan arachnoid pada lapisan meningen yang membungkus otak. Subdural hematoma biasanya sebagai akibat adanya injury pada otak dan pada pembuluh darah. Vena yang mengalir pada permukaan otak masuk kedalam sinus sagital merupakan sumber terjadinya subdural hematoma. Oleh karena subdural hematoma berhubungan dengan kerusakan vena, sehingga hematoma terjadi secara perlahan-lahan. Tetapi bila disebabkan oleh kerusakan arteri maka kejadiannya secara cepat. Subdural hematoma dapat terjadi secara akut, subakut, atau kronik. Setelah terjadi perdarahan vena, subdural hematoma nampak membesar. Hematoma menunjukkan tanda2 dalam waktu 48 jam setelah injury. Tanda lain yaitu bila terjadi konpressi jaringan otak maka akan terjadi peningkatan ICP menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan nyeri kepala. Pupil dilatasi. Subakut biasanya terjadi dalam waktu 2 – 14 hari setelah injury.

8 Kronik subdural hematoma terjadi beberapa minggu atau bulan setelah injury. Somnolence, confusio, lethargy, kehilangan memory merupakan masalah kesehatan yang berhubungan dengan subdural hematoma. Intracerebral Hematoma. Terjadinya pendarahan dalamn parenkim yang terjadi rata-rata 16 % dari head injury. Biasanya terjadi pada lobus frontal dan temporal yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah intraserebral pada saat terjadi injury. Akibat robekan intaserebral hematoma atau intrasebellar hematoma akan terjadi subarachnoid hemorrhage. Collaborative Care. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memonitor hemodinamik dan mendeteksi edema serebral. Pemeriksaan gas darah guna mengetahui kondisi oksigen dan CO2. Okdigen yang adekuat sangat diperlukan untuk mempertahankan metabolisma serebral. CO2 sangat beepengaruh untuk mengakibatkan vasodilator yang dapat mengakibatkan edema serebral dan peningkatan ICP. Jumlah sel darah, glukosa serum dan elektrolit diperlukan untuk memonitor kemungkinan adanya infeksi atau kondisi yang berhubungan dengan lairan darah serebral dan metabolisma. CT Scan diperlukan untuk mendeteksi adanya contusio atau adanya diffuse axonal injury. Pemeriksaan lain adalah MRI, EEG, dan lumbal functie untuk mengkaji kemungkinan adanya perdarahan. Sehubungan dengan contusio, klien perlu diobservasi 1 – 2 jam di bagian emergensi. Kehilangan tingkat kesadaran terjadi lebih dari 2 menit, harus tinggal rawat di rumah sakit untuk dilakukan observasi. Klien yangmengalami DAI atau cuntusio sebaiknya tinggal rawat di rumah sakit dan dilakukan observasi ketat. Monitor tekanan ICP, monitor terapi guna menurunkan edema otak dan mempertahankan perfusi otak. Pemberian kortikosteroid seperti hydrocortisone atau dexamethasone dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi. Pemberian osmotik diuresis seperti mannitol digunakan untuk menurunkan edema serebral. Klien dengan trauma kepala yang berat diperlukan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal dan mencegah kecacatan yang nmenetap. Dapat juga diberikan infus, enteral atau parenteral feeding, pengaturan posisi dan ROM exercise untuk mensegah konraktur dan mempertahankan mobilitas. B. Etiologi Penyebab Trauma Kepala Trauma kepala dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa, diantaranya: a. Kecelakaan lalu lintas. b. Benturan pada kepala. c. Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki. d. Menyelam di tempat yang dalam. e. Olahraga yang keras.

9 f. Anak dengan ketergantungan. Cedera pada trauma capitis dapat terjadi akibat tenaga dari luar (Arif Musttaqin, 2008) berupa: a. Benturan/jatuh karena kecelakaan b. Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan panas. Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ. C. Patofisiologi Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran darah serta metabolisme otak. Pola ischaemia-like ini menyebabkan asumsi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan pembentukan edema. Akibat berlangsungnya metabolism anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energy yang turut menyebabkan kegagalan pompa ion di membrane sel yang bersifat energy-dependent (Werner dan Engelhard, 2007). Fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membrane terminal yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamate dan asparat) yang berlebihan (Werner dan Engelhard, 2007). Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007)

1 0 D. Pathways

1 1 E. Manifestasi Klinik Tanda gejala pada TKB adalah: a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih b. Kebingungan c. Iritabel d. Pucat e. Mual dan muntah f. Pusing kepala g. Terdapat hematoma h. Kecemasan i. Sukar untuk dibangunkan j. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. F. Pemeriksaan penunjang 1. Foto polos kepala Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran. 2. CT-Scan Indikasi CT-Scan adalah: 1. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia. 2. Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general. 3. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena syok, febris, dll). 4. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai. 5. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru. 6. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS (Sthavira, 2012). 3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih sensitive daripada CTScan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragig cedera aksonal. 4. X-Ray X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang (Rasad, 2011). 5. BGA ( Blood Gas Analyze)

1 2 Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intra kranial (TIK). 6.

Kadar elektrolit Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan tekanan intra kranial (Musliha, 2010).

G. Penatalaksanaan a. Resusitasi jantung paru ( circulation, airway, breathing = CAB) Pasien dengan trauma kepala berat sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu urutan tindakan yang benar adalah:  Sirkulasi (circulation) Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia akibat perdarahan luar, ruptur organ dalam, trauma dada disertai temponade jantung atau pneumotoraks dan syok septic. Tindakan adalah menghentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.  Jalan nafas (airway) Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway (OPA) atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.  Pernafasan (breathing) Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan perifer. Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, infeksi. Gangguan pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator. b. Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6B”(Arif Muttaqin 2008), yakni:  Breathing Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakantindakan : suction, inkubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri.  Blood









1 3 Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan transfusi. Brain Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata. Bladder Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat. Bowel Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila produksi urine tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan tekanan intra cranial (TIK). Bone Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.

1 4 ASUHAN KEPERAWATAN : 1. Pengkajian Pengkajian Kegawatdaruratan a. Primary Survey 1) Airway dan Cervical control Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. 2) Breathing dan Ventilation Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dindingdada dan diafragma. 3) Circulation dan Hemorrhage control a. Volume darah dan Curah jantung Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi. b. Kontrol Perdarahan 4) Disability Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. 5) Exposure dan Environment control Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas. c. Secondary Survey 1) Kepala Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital 2) Leher Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang 3) Neurologis

1 5 Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Score (GCS) 4) Dada Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG 5) Abdomen Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen 6) Pelvis dan ekstremitas Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain 7) Aktivitas/istirahat Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan. Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang. 8) Sirkulasi Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi. 9) Integritas Ego Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian. Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan impulsif. 10) Makanan/cairan Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera. Tanda : muntah, gangguan menelan. 11) Eliminasi Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi. 12) Neurosensori Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman. Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris. 13) Nyeri/kenyamanan Gejala : Sakit kepala. Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih. 14) Pernafasan Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi nafas berbunyi) 15) Keamanan Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan. Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalamiparalisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh. 16) Interaksi social Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria.

1 6 2. Diagnosa keperawatan : a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema serebral, peningkatan tekanan intra cranial (TIK) b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kegagalan otot pernafasan

3. Intervensi keperawatan NO

DIAGNOSA KEPERAWATAN

NOC

NIC

1

Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral

NOC : Circulation status Tissue Prefusion : cerebral Kriteria Hasil : 1. Perfusi jaringan cerebral - TIK normal - Tidak ada nyeri kepala - Tidak ada kegelisahan - Tidak ada penurunan tingkat kesadaran - Tidak ada gangguan refleks saraf 2. Status neurologi - Kesadaran normal - TIK normal - Pola bernafas normal - Ukuran dan reaksi pupil normal - Laju pernafasan normal - Tekanan darah Normal

1. Monitor TIK - Berikan info pada orang terdekat pasien - Monitor status neurologi - Monitor intake dan output 2. Manajemen edema cerebral - Monitor adanya kebingungan, keluhan pusing - Monitor status pernafasan, frekuensi dan kedalaman pernafasan - Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien - Berikan sedasi sesuai kebutuhan 3. Monitor neurologi - Monitor tingkat kesadaran (GCS) - Monitor refleks batuk dan menelan

1 7

2

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kegagalan otot pernafasan

- Pantau ukuran pupil,bentuk, kesimetrisan 4. Monitor TTV 5. Posisikan head up (30- 40 derajat) 6. Beri terapi O2 sesuai anjuran medis 7. Kolaborasi pemberian terapi medis NOC : 1. Airway Respiratory status Management - Monitor adanya : keluhan Ventilation Respiratory status pusing, sakit kepala, mual, muntah, : gelisah Airway patency - Beri posisi head up Vital sign Status 30Kriteria Hasil : 1. Irama pernafasan 40 derajat untuk normal Memaksimalkan 2. Frekuensi Ventilasi. pernafasan normal - Keluarkan sekret 3. TTV dalam batas dengan suction. normal Monitor alat 4. Tidak ada tanda Ventilator sesak pada pasien . 2. Oxygen Therapy - Pertahankan jalan nafas yang paten - Monitor aliran Oksigen - Monitor adanya Tandatanda Hypoventilasi 3.Vital Sign Monitoring Monitor TD,suhu,RR

1 8 Identifikasi penyebab dari perubahan Vital Sign 3. Kolaborasi pemberian Therapy medis

4. Implementasi Implementasi adalah tindakan keperawatan yang sesuai dengan yang telah direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan keperawatan mandiri merupakan tindakan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lainnya. Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan berdasarkan hasil keputusan bersama dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya (Mitayani,2010). Implementasi keperawatan pada studi kasus ini disesuaikan dengan intervensi keperawatan yang telah disusun berdasarkan diagnosa keperawatan prioritas.

5. Evaluasi Evaluasi keperawatan adalah hasil perkembangan berdasarkan tujuan keperawatan yang hendak dicapai sebelumnya (Mitayani, 2010). Evaluasi yang digunakan mencakup dua bagian yaitu evalusi formatif yang disebut juga evaluasi proses dan evaluasi jangka pendek adalah evaluasi yang dilaksanakan terus menerus terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi keperawatan pada studi kasus ini disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah disusun berdasarkan diagnose keperawatan prioritas. Adapun rujukan nilai normal dari kriteria hasil dari Nursing Output Clasification yang telah ditentukan adalah:  Tekanan intra cranial (TIK) normal : < 15 mmHg (8-18 cmH20) untuk orang dewasa  Tidak ada nyeri kepala  Tidak ada kegelisahan  Tidak ada penurunan tingkat kesadaran ( compos mentis)  Tidak ada gangguan reflex saraf (Brainstem Positif)  Pola bernafas normal /tidak sesak  Ukuran dan reaksi pupil normal, seimbang dan reaktif kiri dan kanan  Laju pernafasan normal  Tekanan darah normal 

1 9 FARMAKOLOGI Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan menggunakan cairan hipotonis / glukosa Hiperventilasi fase akut (option): pada peningkatan tekanan intrakranial pertahankan PaCO2 pada 25-30 mmHg, hindari Pa CO2< 25 mmHg (vasokonstriksi). Terapi hiperosmoler -manitol (guideline): Merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah, meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan efek samping reboun peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak terjadi skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Manitol diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,25- 1 g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L. Koma barbiturat (guideline): koma barbiturat dilakukan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter tanpa cedera difus, autoregulasi baik dan fungsi kardiovaskular adekuat. Mekanisme kerja barbiturat: menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst. Cairan garam hipertonis : cairan NaCl 0,9 %, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume intravaskular euvolume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari Kortikosteroid: Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus gastrointestinal (85%). NUTRISI (guideline): dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi. Terapi prevensi kejang (guideline):

2 0 pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-faktor yang lain misalnya: hipoglikemi, gangguan elektrolit, infeksi. Terapi suportif yang lain : pasang kateter, nasogastrik tube, koreksi gangguan elektrolit, kontrol ketat glukosa darah, regulasi temperatur, profilaksi DVT, ulkus stress, ulkus dekubitus, sedasi dan blok neuro muscular, induksi hipotermi

TERAPI DIET Treatment yang disarankan adalah : a. Diet ketogenik Diet ketogenik adalah diet dengan cara memperbanyak lemak/minyak baik seperti olive oil dan virgin coconut oil serta mengurangi protein dan karbohidrat. Diet ini tidak dapat dilakukan terlalu lama mengingat penderita kerusakan otak sangat membutuhkan protein untuk memperbaiki kerusakan hormon dan enzim. b. Minum teh camomile atau teh mentol Teh camomile dan teh mentol memberikan efek menenangkan. c. Pemberian suplemen melatonin atau Gaba Melatonin dan Gaba sama-sama berfungsi menghambat jalannya signal otak. karena itu melatonin/gaba diperlukan oleh penderita kejang/epilepsi untuk mengurangi hiperaktifnya signal otak. Melatonin dan gaba diperlukan terutama untuk orang yang menderita insomnia dan stres. Beda melatonin dan gaba adalah melatonin adalah hormon yang diproduksi otak cerebellum yang berguna untuk mengatur pola tidur kita. Melatonin baru diproduksi otak dimalam hari dan berhenti pada pagi hari. Adapun gaba adalah hormon yang diproduksi otak untuk membuat kita rileks. Gaba sangat diperlukan saat kita sedang stress. Bila anda tidak dapat mengatasi stress dan berakibat anda tidak dapat lelap tidur, berarti anda membutuhkan gaba. Penderita stroke terdeteksi kekurangan kadar gaba dalam otaknya. Tidak hanya buat penderita epilepsi/kejang, melatonin/gaba sangat diperlukan bagi orang yang mengalami kerusakan otot karena neuron di otak dan massa otot tumbuh saat kita tidur lelap. Itu sebabnya tidur sangat penting bagi bayi dan anak-anak. d. Pemberian suplemen Epi Still

2 1 Epi Still berisi ramuan herbal yang banyak digunakan di US untuk mengatasi kejang/epilepsi. Sayangnya Epi Still belum masuk ke Indonesia. e. Pemberian Glutathione/anti oksidant

2 2 BAB III PENUTUP A.

Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara hasil CT Scan dengan nilai GCS pada pasien cedera kepala. Dimana hal ini dapat dipengaruhi oleh efek buruk cedera kepala karena melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terjadi beberapa saat setelah trauma terjadi sedangkan trauma secara tidak langsung merupakan cedera otak sekunder yang bisa terjadi beberapa jam setelah kejadian bahkan beberapa hari setelah penderita terpapar trauma. Cedera otak sekunder terjadi karena perubahan aliran darah ke otak dan juga terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena meningkatnya volume isi kepala. Kedua mekanisme tersebut memperberat cedera otak yang sudah ada.Cedera otak bisa menimbulkan dampak fisik, kognitif, emosi dan sosial. Prognosis cedera otak bisa sangat bervariasi dari mulai sembuh total sampai cacat menetap bahkan kematian.

B.

Saran Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

2 3 DAFTAR PUSTAKA https://www.academia.edu/6854246/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_KLIEN_TRA UMA_KEPALA?auto=download https://www.academia.edu/29968747/makalah_cedera_kepala https://www.academia.edu/8020366/Cedera_atau_Trauma_Kepala

Related Documents

Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72
Bab-i-bab-v.doc
May 2020 71
Bab I & Bab Ii.docx
June 2020 67
Bab I & Bab Ii.docx
June 2020 65
Bab I-bab Iii.docx
November 2019 88

More Documents from "Nara Nur Gazerock"