Bab I Dan Isi Sistem Di Indonesia.docx

  • Uploaded by: Salha Raafi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Dan Isi Sistem Di Indonesia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,341
  • Pages: 23
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang “Negara Indonesia adalah negara yang berdaulat, dalam artian bahwa bangsa Indonesia memiliki kekuasaantertinggi untuk mengatur kehidupan rakyatnya dalam mencapai masyarakat yang sejahtera adil dan makmur. Kedaulatan bangsa Indonesia diperoleh pada saat kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Dimana pada waktu itu bangsa Indonesia memiliki kekuasaan penuh dan bebas melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya. Negara yang sudah berdaulat adalah sebuah wilayah yang telah diakui oleh wilayah negara lainnya baik secara eksistensi ekonomi, politik, budaya, dan berbagai bidang yang biasanya disebut dengan pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Berdaulat juga berarti mempunyai kekuasaan penuh (kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu pemerintahan. Dengan demikian negara yang berdaulat adalah suatu negara yang telah mendapatkan kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahannya. Tidak ada kekuasaan lain yang dapat mendikte dan/atau mengontrol negara tersebut. Kekuasaan tertinggi di Indonesia ada di tangan rakyat”. “Kedaulatan rakyat merupakan suatu konsep kekuasaan di Indonesia yang biasa disebut dengan demokrasi. Demokrasi adalah sebuah konsep pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat, dimana rakyat ikut berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk pengurusan kehidupan bersama dalam negara. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan 1

bersama-sama dengan rakyat yang artinya dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dapat dilakukan melalui demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung bercirikan rakyat mengambil bagian secara pribadi dalam tindakan-tindakan dan pemberian suara untuk membahas dan mengesahkan undang-undang. Sedangkan demokrasi perwakilan, rakyat memilih warga lainnya sebagai wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat untuk membahas dan mengesahkan undang-undang”.

Arus reformasi yang melanda Indonesia memberikan perubahan yang mendasar terhadap format kelembagaan negara republik ini. Salah satunya adalah adanya perubahan UUD 1945. Implikasi dari perubahan ini yakni, tidak ada lagi status “lembaga tertinggi negara”. Lembaga penyelenggara negara sekarang posisinya sejajar, sama-sama sebagai “lembaga negara”. Hubungan antar lembaga negara menjadi horizontal tidak lagi vertikal. Dalam UUD 1945 pra-amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi “lembaga tertinggi negara”, lembaga-lembaga negara dibawahnya menjadi “lembaga tinggi negara” seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga tinggi negara harus bertanggung jawab kepada lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR dalam pelaksanaannya dijalankan oleh lembaga negara dibawahnya dan lembagalembaga negara tersebut bertanggung jawab kepada MPR. Misalnya, Presiden sebagai mandataris MPR harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada MPR.

Dengan digelarnya UUD 1945 pasca amandemen selanjutnya ditulis UUD NRI 1945, status MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapus. Posisi MPR 2

sekarang menjadi lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 mengatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Setiap lembaga tinggi negara mempunyai fungsi dan kerja masing-masing serta terdapat pemisahan kekuasaan didalamnya. Lembaga tinggi negara yang satu tidak bertanggung jawab kepada lembaga tinggi negara lainnya. Kinerja lembaga tinggi negara dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Konsep pemisahan kekuasaan yang dijalankan republik ini mengantarkan setiap lembaga negara mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang berimbang. Eksistensi tiga kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus dipisah. Kekuasaan penyelenggaraan negara tidak boleh berada ditangan satu badan.

Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali dalam teori Montesquie pada karyanya, Esprit des lois, yang diterbitkan pada tahun (1748). teori ini muncul atas kritik dan pembelajaran Montesquie terhadap konstitusi Inggris. Pemikiran Montesquie ini dianut pula oleh pemikir Inggris sendiri, Blackstone. Dalam karyanya Commentaries on the Laws of England (1765), menyatakan: “Apabila hak untuk membuat dan melaksanakan undang-undang diberikan kepada orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan publik.”

Dalam konteks keindonesiaan, perihal yang diutarakan oleh Mantesquieu dan Blackstone sebelum diadakan perubahan (amandemen) UUD 1945 telah menjadi kenyataan. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen selanjutnya ditulis UUD 1945, menuliskan: “Presiden memegang kekuasaan 3

membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Penjelasan dari pasal ini adalah: “Kecuali executive power, Presiden bersamasama dengan dengan Dewan perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.”

Konstitusi memberi ruang bagi Presiden untuk sekaligus menjalankan kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan eksekutif (yang menjalankan undang-undang). Akibatnya bisa dilihat, selama hampir 32 tahun (1966-1998) Presiden—dalam era Orde Baru—menjadi penguasa “tangan besi”. Seluruh sabdanya menjadi perintah yang harus dijalankan tanpa ada bantahan, rakyat dibungkam, siapa yang coba membantah apalagi mengkoreksi perintahnya hanya akan tinggal nama belaka. Mereka akan “dikandangkan”. Kebebasan bagi publik dikekang, mungkin juga dibuang di tempat sampah. Lahirlah apa yang disebut dengan executive heavy.

Bandingkan dengan UUD NRI 1945. Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden berhak Perwakilan

mengajukan

Rakyat.” Kekuasaan

rancangan undang-undang kepada Presiden

dalam

kekuasaan

Dewan legislatif

(legislative power) dibatasi hanya pada mengajukan rancangan undangundang bukan membentuk undang-undang. Tidak ada lagi penyatuan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di satu tangan. Pemisahan kekusaan terjadi, Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang. Sedangkan yang mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang berada ditangan DPR. Terdapat pembatasan kekuasaan Presiden dan selanjutnya Presiden tidak dapat lagi menjalankan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Teori pemisahan kekuasaan ini pula yang mendasari adanya perubahan terhadap UUD 1945. secara filosofis, perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk 4

menerangkan bahwa, pertama, UUD 1945 hanya sebagai moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat UUD 1945 tersebut dirumuskan. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya yang tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan manusia tetap memiliki kelemahan maupun kekurangan. Secara yuridis, para perumus UUD 1945 menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Secara sosiologis-historis, sejak awal pembuatan UUD 1945 bersifat sementara, yang dikemudian hari dapat disempurnakan dan dilengkapi.

Namun

kemudian,

tidak

serta-merta

perubahan

UUD

1945

ini

mempengaruhi penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi lebih baik. Semula sebelum

UUD

1945

diamendemen

kekuasaan

negara

cenderung

bersifat executive heavy, setelah UUD 1945 diamandemen kekuasaan negara cenderung berubah menjadi legislative heavy. Lembaga perwakilan (DPR) seakan menumpahkan seluruh dendam dan serapahnya karena hampir 32 tahun (1966-1998) dikekang dan berada dibawah komando eksekutif (Presiden).

Sekilas legislative heavy tersebut diakomodir ke dalam perubahan UUD 1945. sebelumnya dalam UUD 1945, kewenangan DPR hanya pada tataran memberikan persetujuan pada rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945), sekarang dalam UUD NRI 1945, kewenangan DPR menjadi berlipat. Mulai dari kewenangan kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945) sampai “memaksa” Presiden untuk menyetujui pemberlakuan undang-undang dengan atau tanpa pengesahan dari Presiden (Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945). 5

B. Rumusan Masalah

a). Pergeseran kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan legislatif nyata-nyata di akomodasi dalam konstitusi. Lalu, apakah ini berarti teori pemisahan kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh Montesquie dan Blackstone telah terjadi dalam konstitusi negeri ini? b). Hal apa yang difok uskan untuk mengetahui hubungan antara DPR dengan Presiden yang diakomodasi dalam UUD NRI 1945? Sehingga dapat menjawab apakah pemisahan kekuasaan negara memang benar-benar terdapat dalam konstitusi Indonesia sekarang dan diterapkan dalam hubungan kelembagaan antara lembaga DPR dengan lembaga Presiden. c). Apa saja hubungan DPR dan Presiden dalam UUD 1945 setelah perubahan?

C. Tujuan

a). Untuk memberikan suatu pengetahuan bagi seluruh rakyat Indonesia tentang hubungan DPR dengan Presiden dalam berbagai perspektif. b).membuka wawasan atau ide rakyat Indonesia terutama bagi kaum-kaum muda teutama pada kaum mahasiswa/i untuk tau bagaimana sebenanrnya peran dan fungsi DPR dengan Presiden dalam hal pembentukan UU di Indonesia. 6

BAB II PEMBAHASAN

A. Arti Lembaga Penyelenggara Kekuasaan Negara Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diikat dengan prinsip cheks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan

dalam

menafsirkan

amanat

UUD. Dengan

dihapuskannya

penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya. Tidak adanya penjelasan UUD ini juga bisa mengakibatkan hubungan antara lembaga-lembaga negara menjadi kurang harmonis. Antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain bisa-bisa saling menjatuhkan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara dijalankan oleh 3 lembaga yakni, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif berfungsi membuat undang-undang. Menurut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan (Rousseau menyebutnya dengan Volonte Generale atau Generale Will). Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum. Lembaga ini mempunyai kekuasaan membentuk undangundang sebagai cerminan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tadi. Lembaga ini sering disebut sebagai dewan perwakilan rakyat atau parlemen. Parlemen dalam sejarah kuno, misalnya di Inggris, mempunyai kekuasaan hingga bisa masuk ke urusan privat dan mencampuri urusan publik warga 7

negara. Posisi parlemen sangat kuat. Posisi parlemen yang seperti ini dikarenakan kekuasaan yang diterima oleh parlemen berasal langsung dari rakyat. Akan tetapi, kekuasan parlemen ini bila tidak dikontrol akan melahirkan sebuah kedaulatan parlemen yang tidak tak terbatas (absolut). Telah wajar bahwa kekuasaan yang absolut akan melahirkan kekuasaan yang korup. a. Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. b. Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undangundang dan administrasi negara. c. Kekuasaan militer, yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan pelaksanaan perang. d. Kekuasaan

yudikatif

(kehakiman),

yaitu

menyangkut

pemberian

pengampunan, penangguhan hukum dan sebagainya terhadap pelaku kriminal atau narapidana. e. Kekuasaan legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undangundang dan mengatur pengesahannya menjadi undang-undang. Sistem pelaksanaan kerja dan pertanggungjawaban ekesekutif didasarkan atas dua model sistem pemerintahan, sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Sistem pemerintahan presidensiil adalah apabila ekesekutif bertanggung jawab secara langsung dengan periode waktu tertentu kepada suatu badan yang lebih luas dan tidak terikat pada pembubaran oleh tindakan parlemen. Beberapa ciri penting dari sistem pemerintahan presidensil adalah: 1. Presiden/Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan ditengah masa jabatannya karena alasan politik.

8

2. Presiden/Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang biasa dikenal dengan parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat. 3. Pertanggungjawaban langsung Presiden/Wakil Presiden merupakan akibat dari dipilihnya Presiden/Wakil Presiden secara langsung olehrakyat melalui pemilihan umum. 4. Presiden/Wakil Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, begitu juga sebaliknya parlemen tidak bisa membubarkan Presiden/Wakil Presiden. 5. Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya pembedaan antara fungsi kepala negara dengan fungsi kepala pemerintahan. 6. Tanggung jawab pemerintahan berada di pundak Presiden, oleh karenanya Presiden berhak menyusun kabinetnya tanpa ada campur tangan dari parlemen. Sedangkan

sistem

pemerintahan

parlementer

adalah

bahwa

eksekutif

bertanggung jawab secara langsung kepada parlemen-parlemen mempunyai kekuasaan

untuk

membubarkan

eksekutif

jika

parlemen

kehilangan

kepercayaan kepada eksekutif atau tunduk pada pemeriksaan yang lebih tidak memihak, seperti misalnya lewat pemilihan presiden secara berkala. Beberapa ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah: 1. Kepala pemerintahan (eksekutif) sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh legislatif dengan alasan politik (misalnya dengan mosi tidak percaya terhadap kinerja pemerintah. 2. Kepala pemerintahan beserta para menterinya bertanggung jawab kepada legislatif (parlemen). 3. Kepala pemerintahan yang biasanya disebut dengan Perdana Menteri walau dipilih langsung oleh rakyat, tetapi hakekatnya dia dipilih karena menjadi anggota dari kelompok mayoritas yang duduk di lembaga perwakilan. 9

4. Legisaltif/parlemen sewaktu-waktu bisa membubarkan eksekutif. 5. Ada pemisahan fungsi antara kepala pemerintahan dengan kepala negara. Kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh Raja/Presiden/Sultan atau semacamnya. Lembaga penyelenggara kekuasaan negara ketiga adalah lembaga yudikatif (kehakiman) yang berfungsi mengadili undang-undang. Miriam Budiarjo mengawali pembahasan tentang lembaga yudikatif dengan memaparkan dua sistem hukum yang biasa dianut oleh negara-negara di dunia, yakni sistem hukum Common Law dan sistem hukum Civil Law. Sistem hukum Common Law biasa dipakai oleh negara-negara Anglo Saxon. Pelopornya

adalah

Inggris

pada

abad

pertengahan.

Dalam

sistem

hukum Common Law, selain undang-undang yang dibuat oleh parlemen (statute law) masih terdapat undang-undang lain yang disebut Common Law, yang dihasilkan dari keputusan hakim. Jadi dalam hal ini, hakim ikut menciptakan hukum. Perihal ini dinamkan sebagai case law atau judge-made law (hukum buatan hakim). Hakim

yang

juga

berperan

membentuk

hukum,

dalam

sistem

hukum Common Law dipandang tidak melangkahi kewenangan legislatif sebagai pembuat undang-undang, karena hukum yang dibuat oleh hakim berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatif. Di Inggris misalnya, A.V. Dicey berujar bahwa “Kekuasaan hakim pada hakekatnya bersifat legislatif.” Maksud hukum buatan hakim disini adalah bahwa putusan hakim terdahulu mengikat pada hakim yang mendatang apabila diterapkan dalam perkara yang sama. Jadi berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatif yang memang berfungsi sebagai pembuat undang-undang/hukum. Hukum yang dibuat oleh hakim ada, bila ada perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan hukum yang

10

dibuat legislatif ada, meskipun tanpa ada perkara apapun, karena ia berfungsi sebagai pembuat undang-undang. Sistem hukum kedua adalah Civil Law yakni sistem hukum yang tidak mengenal azas case law atau judge-made law. Penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim itu tidak mungkin. Di Prancis misalnya, dimana kodifikasi hukum telah diadakan semenjak zaman Napoleon, para hakim dengan tegas dilarang menciptakan case law. Hakim harus mengadili perkara hanya berdasarkan pada hukum yang termuat dalam kodifikasi atau hukum yang telah dibuat oleh legislatif saja. Hal ini dalam ilmu hukum dinamakan dengan aliran Legisme atau Positivisme perundang-undangan, yakni suatu aliran yang mempunyai pendapat bahwa: “undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya.” Perkara yang diajukan kepada hakim diadili dengan undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif. Namun, apabila undang-undang tidak mengatur, maka hakim boleh menggunakan putusannya sendiri (tentunya hal ini berkenaan dengan azas ius curia novit, hakim dilarang menolak perkara karena dianggap tahu akan hukumnya). Tetapi putusan hakim yang terdahulu tidak mengikat pada hakim yang mendatang, walau perkara yang diajukan serupa. Jadi tidak ada precedent dalam sistem hukum Civil Law. Lembaga yudikatif menjadi lembaga penyelenggara kekuasaan negara yang tugasnya menjadi pengadil dari undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga legisalatif. Mekanisme peradilan untuk mengadili undang-undang ini dikenal dengan

istilah judicial

review. Di

Indonesia

misalnya,

fungsi judicial

review dijalankan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) yang mengadili UndangUndang terhadap UUD

dan Mahkamah Agung yang mengadili peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

11

B. Trias Politica dan Teori Separation of Power Sebagaimana dituliskan pada lembar sebelumnya bahwa konsep Trias Politica pertama kali dikenalkan oleh Montesquie dalam karyanya Esprit des Lois (1748) dan juga John Locke, seorang filsuf Inggris, dalam karyanya Two Traetises on Civil Goverment (1690). Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif

atau

kekuasaan

membuat

undang-undang

(rule

making

function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undangundang (rule application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). John Locke mengemukakan Trias Politica dengan pembagian kekuasaan negara menjadi tiga kekuasaan yakni, pertama, kekuasaan legislatif sebagai pembuat peraturan dan undang-undang. Kedua, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana dan pengadil undang-undang. Ketiga, kekuasaan federatif sebagai kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya. Untuk menciptakan sebuah dinamisasi dan mengurangi kekuasaan yang korup, maka penyelenggaraan negara sebaiknya dijalankan oleh tiga lembaga dengan fungsi masing-masing, yakni lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang, lembaga eksekutif sebagai lembaga pelaksana kebijaksanaankebijaksanaan yang telah diatur dalam undang-undang, dan lembaga yudikatif sebagai lembaga pengadil undang-undang. Disini diperlukan adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) antara ketiga lembaga tersebut. Pada awalnya kekuasaan pembuat, pelaksana sekaligus pengadil undangundang ada pada satu tangan, yakni pada tangan raja sebagai penguasa tunggal. Kekuasaan raja yang sedemikian menciptakan otoritas penuh bagi raja untuk 12

menjalankan kekuasaannya tanpa kritik. Salah satu implikasi yang ditimbulkan adalah absolutisme dan koruptisme kekuasaan. Jelas absolutisme dan koruptisime ini tidak dibenarkan dalam penyelengaraan negara, apalagi dalam tataran kedaulatan rakyat. Pendapat

menarik

lahir

dari

Strong

tentang

teori Separation

of

Power. Menurut Strong, teori Separation of Power dengan kajian sistem ketatanegaraan Inggris lahir dari tendensi untuk mendelegasikan kekuasaan kerajaan dengan jalan mendelegasikan kekuasaan rangkap tiga. Pendapat

Strong

ini

mengidentifikasikan

bahwa Separation

of

Power tidak lahir dari kebutuhan untuk mengurangi terjadinya kekuasaan yang absolut dan korup. Tetapi lahir dari bertambahnya urusan negara yang kompleks dan dinamisasi masyarakat yang cepat. Jadi adalah sebuah “kecelakaan” dan “salah” saat ada pandangan bahwa Separation of Power adalah jalan untuk mengurangi kekuasaan yang absolut dan korup. Tanpa berniat menafikan pendapat Strong, kenyataannya dengan adanya pemisahan kekuasaan saja kekuasaan absolut dan korup kerap lahir, apalagi dengan tidak adanya pemisahan kekuasaan bisa jadi absolutisme dan koruptisme kekuasaan menjadi keniscayaan.

C. Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden/Wakil Presiden dalam UUD NRI 1945 Dalam konstitusi pra-amandemen negara ini, kedaulatan negara berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari MPR inilah, kedaulatan rakyat dibagi secara vertikal ke lembaga tinggi negara dibawahnya. Prinsip yang dianut adalah pembagian kekuasaan (division or distribution of power).

13

Akan tetapi dalam konstitusi pasca-amandemen, kedaulatan rakyat itu ditentukan

dibagikan

secara

horizontal

dengan

cara

memisahkannya

(Separation of Power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances (saling imbang dan saling awas).

Posisi antara legislatif (MPR/DPR) dan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dalam konstitusi pasca-amandemen adalah sejajar. Berbeda dengan konstitusi pra-amandemen, legislatif (MPR) berada diatas ekeskutif (Presiden), walau pada kenyataannya eksekutiflah yang sebenarnya berada diatas dan mengendalikan legislatif. Posisi yang sejajar dalam konstitusi pascaamandemen juga menimbulkan hubungan baru antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif, berbeda dengan hubungan antar-keduanya dalam konstitusi pra-amandemen.

Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD NRI 1945), ditemukan beberapa bentuk hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam bidang, pertama, kekuasaan legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 20 ayat (2) “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.”

Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden. Presiden dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk undang-undang dan DPR sebagai lembaga pembuat undang14

undang. Posisi DPR sebagai pembuat undang-undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Pada bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of Power) dalam konstitusi pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah diakomodir.

Kedua, kekuasaan administratif dan kelembagaan. Terdapat dalam Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Dan Pasal 7C “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Posisi Presiden/Wakil Presiden dikontrol oleh DPR melalui mekanisme pemakzulan (impeachment process) serta posisi DPR sama kuat dengan Presiden, karena Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sepertinya pada bidang kekuasaan ini, kekuasaan DPR lebih besar dari Presiden, karena DPR bisa mengkontrol Presiden lewat mekanisme pemakzulan. Prinsip saling awas (checks) bersifat searah dan cenderung legislative heavy. Lalu bagaimana bentuk kontrol Presiden terhadap DPR? sejauh ini penulis tidak menemukan pasal dalam kontitusi pasca-amandemen (UUD NRI 1945) yang menyebutkan kontrol Presiden terhadap DPR. Pasal pemakzulan menurut hipotesa penulis 15

dilandasi pada aksi sejarah Orde Baru yang memberikan kewenangan sangat besar pada Presiden. Jadi Pasal ini bisa disebut “pasal egois”.

Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” Ayat (2) “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dan Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini berarti bukan sebuah keharusan? Kata “memperhatikan” menurut hemat penulis adalah sebuah bentuk saling imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif). Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR dengan Presiden. ”Hubungan antara DPR dam Presiden terletak pada hubungan kerja. Hubungan kerja tersebut antara lain adalah mengenai proses pembuatan undang16

undang antara presiden dan DPR yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4, dan 5. Yaitu setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh presiden dan DPR untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2). Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila presiden dalam waktu 30 hari setelah rancangan undang-undang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat 5). Untuk terbentuknya undang-undang, maka harus disetujui bersama antara presiden dengan DPR. Walaupun seluruh anggota DPR setuju tapi presiden tidak, atau sebaliknya, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diundangkan”. Selanjutnya mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Yaiyu mengawasi presiden dan wakil presiden dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Dan DPR dapat mengusulkan pemberhentian Presisiden sebagai tindak lanjut pengawasan (pasal 7A). Dalam bidang keuangan, RUU APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (pasal 23 ayat 2). Apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu(pasal 23 ayat 3). Hubungan kerja lain antara DPR dengan Presiden antara lain: melantik presiden dan atau wakil presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang itu (pasal 9), memberikan pertimbangan atas pengangkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain (pasal 13), memberikan pertimbangan kepada presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi (pasal 14 ayat 2), memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (pasal 11), memberikan persetujuan atas pengangkatan komisi yudisial (pasal 24B ayat 3), memberikan persetujuan atas pengangkatan hakim agung (pasal 24A ayat 3). 17

Hubungan Presiden dengan DPR dan DPD dalam pembentukan UU: a) Kekuasaan untuk membentuk UU berada pada DPR sebagaimana di tuangkan dalam pasal 20 ayat 1. rancangagn UU bisa dari RPR maupun dari Presiden yang disusun berdasarkan program legislasi daerah(Proglegnas) b) Masalah masalah yang dibahas antara lain pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan mengikutsertakan DPD. c) Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.

18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah diuraikan datas, maka dapat ditarik pokok-pokok kesimpulan: a). Bahwa pasca amandemen/perubahan konstitusi Indonesia yakni UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdapat Pasal yang secara garis besar menerangkan bahwa Presiden dan DPR yang merupakan lembaga tinggi negara yang sederajat mempunyai hubungan kerja dalam pembentukan undang-undang. Hubungan kerja dalam pembentukan UU terdapat pada Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bahwa selain diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, hubungan kerja dimaksud juga diatur dalam Pasal 71 huruf (a) UU MD3 yang juga telah menerangkan bahwa “DPR juga berwenang membentuk undangundang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”; b). Bahwa dalam hubungan kerja antara Presiden dan DPR dalam membentuk UU masih terdapat beberapa faktor-faktor yang menghambat berjalanya pembentukan UU. Jika dikaji secara tataran normatif yakni pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, hambatan dimaksud justru terdapat pada Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara keseluruhan, hambatan yang paling mendasar pada Pasal dimaksud terkait dengan “hak veto” Presiden dalam pembentukan UU. Pada pasal tersebut tentaang “hak veto” Presiden hanya terlibat pada proses pembentukan UU, bukan pada pembentukan UU sepertihalnya DPR. Lain dari itu pada UU MD3 memang belum ditemukan adanya pasal-pasal maupun ayat-ayat yang menghambat jalannya 19

pembentukan UU. Bahwa faktor-faktor yang menghambat hubungan kerja antara Presiden dan DPR dalam pembentukan UU juga masih ditemukan dalam tataran sosiologis. Dimana hambatan-hambatan dimaksut bisa kita lihat pada praktikpraktif antara kedua lembaga dimaksud yakni Presiden dan DPR yang diantaranya yaitu :

*Masa reses yang berlarut-larut, masa kunjungan kerja yang begitu

banyak, penambahan komisi-komisi dalam DPR yang tidak begitu kompeten dalam bidangnya untuk pembentukan UU dan juga keruhnya suasana perpolitikan dengan adanya koalisi-koalisi dalam tubuh DPR sehingga dalam pembahasan pembentukan UU selalu berada pada perdebatan kusir yang berujung pada jalan buntu (deadlock), serta lambanya lembaga pemerintahan (Presiden) dalam merespon adanya pembentukan UU.

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dirasa perlu untuk diberikan beberapa saran setelah penulis menyimpulkan seperti yang sudah terurai di atas, adapun saran-saran yang penulis ajukan adalah sebagai berikut: 1. Sebaiknya kedepan Presiden dan DPR harus lebih giat dan berkomitmen untuk melaksanakan apa yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan kewenangan dibidang legislasi / membentuk undang-undang dengan baik. 2. Sebaiknya kedepan Presiden tidak hanya menunjuk menteri untuk melakukan pembahasan RUU bersama DPR sampai dengan RUU tersebut disahkan menjadi UU. Karena kehadiran Presiden dalam proses pembentukan UU sangatlah penting. 20

3. Sebaiknya kedepan Presiden maupun DPR juga harus benar-benar mempunyai komitmen menyelesaikan pembentukan UU, karena produktifitas dalam pembentukan UU tidak boleh menurun. 4. Sebaiknya kedepan Presiden dan DPR harus koordinatif dan tidak boleh lamban dalam pembentukan UU, karena jika kedua lembaga tersebut masih lamban dalam proses pembentukan UU maka RUU yang sudah ditargetkan tidak akan pernah menjadi UU. 5. Sebaiknya kedepan DPR memangkas masa reses, kunjungan kerja. Sehinga waktu kerja DPR tidak terbuang sia-sia dan justru DPR yang bertugas menjalankan wewenang dalam pembentukan UU agar bisa lebih fokus. 6. Sebaiknya kedepan perlu adanya amandemen/perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang ke-5. Hanya dengan cara begitulah ketimpangan mekanisme checks and balances yang ada dapat diperbaiki terutama dalam menata ulang fungsi legislasi.

21

DAFTAR PUSTAKA 1. Budiarjo, Miriam. 2002. Prof. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2. Dicey, A.V. 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi, (terj.), Bandung: Penerbit Nusamedia. 3. Hakim Al Suparlan, dkk. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks Indonesia. Malang: Madani 4. Kaelan. Prof. Dr. M.S. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM 5. Mahfud MD, Moh. Prof. Dr. SH. SU. 2000. Dasar dan Struktur Kelembagaan Negara Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta 6. Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH UII Press 7. Muadi, Sholih. Dr. SH. MSi. 2015. Sistem Hukum Indonesia. Malang: IKIP Malang 8. Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia (terj.) Bandung: Penerbit Nuansa dan Nusa media 9. http://jurnal.unsyiah.ac.id/MIH/article/view/5746 10.http://www.kompasiana.com/setyodwinugroho/hubungan-antar-lembagalembaga-negara-di-indonesia_552918e6f17e613d368b456f 11.https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=tx2BchLHxP4C&oi=fnd&p g=PR5&dq=hubungan+dpr+dan+presiden+dalam+pembentukan+uu&ots=t1 DDQHltFDa&sig=vq2RVRiYwgP_THt7rFi28DP7F0c&redir_esc=y#v=one page&q=hubungan%20dpr%20dan%20presiden%20dalam%20pembentukan %20uu&f=false 22

12.https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=pm59uBw38OcC&oi=fnd &pg=PA32&dq=hubungan+dpr+dan+presiden+dalam+pembentukan+uu&ot s=rT7plHOwQR&sig=wwYEy6oYxBqEWoT7FYQrOnfOpNk&redir_esc= y#v=onepage&q=hubungan%20dpr%20dan%20presiden%20dalam%20pem bentukan%20uu&f=false

23

Related Documents

Bab I Isi Taqsim.docx
April 2020 12
Bab I Dan Bab Ii
December 2019 60
Bab I Dan Bab Ii.docx
December 2019 52
Bab I Dan Bab Ii.docx
June 2020 30
Bab I Dan Bab Ii.docx
December 2019 49

More Documents from "inka sambentiro"

Geografi Pembangunan.docx
November 2019 12
Adrt New 2017.doc
December 2019 16
Tugas Pak Hilal.docx
December 2019 17
Doc2.docx
May 2020 2