BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Industri pertambangan batubara di Indonesia merupakan salah satu sumber produksi energi. Batubara menjadi salah satu energi yang banyak digunakan oleh negara maju dan menjadi energi yang ditemukan hampir disetiap benua serta memiliki sifat yang berkelanjutan. Batubara menjadi salah satu sumber energi yang digunakan sebagai sumber tenaga listrik, industri produksi baja, bahan bakar cair, industri produksi semen dan lain sebagainya. Dalam sebuah industri pasti selalu menghasilkan hasil samping berupa limbah yang menyebabkan pencemaran lingkungan jika tidak ditangani dengan baik. Pencemaran lingkungan adalah permasalahan utama yang seringkali menjadi penyebab terjadinya penolakan dari masyarakat sekitar akan adanya pertambangan pada suatu wilayah, karena dengan adanya pencemaran akan menganggu kualitas kesehatan warga, menganggu kelestarian flora dan fauna dan bahkan bisa menyebabkan kematian makhluk hidup disekitarnya. Salah satu penyebab utama pencemaran lingkungan pada kegiatan pertambangan adalah air asam tambang (AAT), AAT terjadi bila batuan yang mengandung mineral sulfid (misalnya pirit) terbuka atau terhampar mengalami kontak dengan udara dan air sehingga terjadi oksidasi. Proses oksidasi batuan atau mineral sulfida dipercepat dengan adanya bakteri. AAT dapat secara alamiah dimanapun pada setiap kodisi yang cocok. Dalam kegiatan penambangan
1
2
terbentuknya air asam tambang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya penambangan merupakan kegiatan pembongkaran mineral dari batuan induk untuk kemudian diangkut, diolah dan dimanfaatkan sehingga dalam proses penambangan ini terjadi penyingkapan batuan. Batuan yang tersisa umumnya mengandung senyawa sulfida yang ketika teroksidasi melepaskan sulfat ke lingkungan sehingga pH lingkungan sangat rendah yang disebut AAT. Kondisi pH yang sangat rendah menyebabkan unsur hara makro akan terikat oleh logam sehingga kelarutan logam-logam akan semakin tinggi. Kelarutan logam tersebut mempunyai dampak negatif terhadap kelangsungan makhluk hidup terutama pada manusia antara lain logam Pb, Zn, Cu dan Ni. AAT ini akan mengikis tanah dan batuan yang berakibat pada larutnya berbagai logam seperti Fe (besi), cadmium (Cd), mangan (Mn) dan seng (Zn). Dengan demikian AAT juga akan mengandung logam-logam dengan konsentrasi tinggi, sehingga dapat berakibat buruk pada kesehatan lingkungan maupun manusia. Maka dari itu dalam proses pengelolaan air asam tambang ini harus diperhatikan karena potensi dampak negatifnya yang sangat besar. PT. Bukit Asam Tbk (PTBA) merupakan perusahaan tambang batubara yang dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terletak di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Proses penambangan di PTBA menggunakan metode open pit mining atau tambang terbuka. Metode tambang terbuka merupakan suatu metode penambangan yang bukaannya dibuat dipermukaan tanah dan dibiarkan terbuka selama dilakukannya proses penambangan. Sehingga, dengan metode open pit mining, maka potensi dihasilkannya AAT akan semakin meningkat.
3
Seperti yang diketahui bahwa kegiatan penambangan menghasilkan limbah yaitu AAT. PTBA melakukan pengelolaan limbah AAT dengan sangat baik PTBA memiliki sumber limbah AAT berasal dari penimbunan, galian, stockpile batubara, perumahan pendudukdan lain sebagianya. Dalam melakukan pengolahan limbah AAT, PTBA melakukan metode aktif dan metode pasif. Metode aktif dilakukan dengan menggunakan bahan kimia seperti NaOH, kapur tohor ( CaO), tawas dan kuriflock. Sedangkan metode pasif dilakukan dengan menggunakan jenis tanaman air yang mampu menyerap logam berat. Karena AAT sudah diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 dan
menyatakan bahwa, AAT harus dilakukan
pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Sehubungan dengan dihasilkannya limbah AAT, terdapat peraturan yang mengikat mengenai pengelolaan limbah AAT tersebut. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, Hotel, Rumah Sakit, Domestik, dan Pertambangan Batubara yang didalamnya terdapat baku mutu yang telah diatur yaitu, pH, Residu Tersuspensi, Besi (Fe), dan Mangan (Mn). 1.2. Batasan Masalah Terdapat kondisi inlet KPL Tungkal pada saat hujan mengalami kenaikan debit serta penurunan kuaitas air yang meliputi tingginya total suspended solid dan pH rendah. Diperlukan dosis bahan kimia secara optimum untuk mengendalikan kualitas air agar dapat memenuhi aspek Baku Mutu Lingkungan.
4
Batasan masalah dalam Pelaporan kerja praktek ini mencakup pemberian dosis bahan kimia berupa tawas, kuriflok, NaOH dan kapur tohor di KPLTungkal. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari pelaksanaan Kerja Praktek ini akan dibagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Berikut ini tujuan – tujuan pada pelaksanaan Kerja Praktek: 1.3.1. Tujuan Umum 1) Memenuhi persyaratan kurikulum Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia. 2) Mengembangkan pemahaman Mahasiswa Teknik Kimia mengenai proses dan operasi serta aspek – aspek keteknikan dalam skala industri, khususnya dalam bidang industri pertambangan. 1.3.2. Tujuan Khusus 1) Mengetahui proses terbentuknya air asam tambang 2) Mengetahui sumber – sumber air asam tambang 3) Mengetahui proses pengolahan air asam tambang secara aktif Mengetahui kualitas air asam tambang (pH, TSS, kandungan Fe, Mn) yang sesuai dengan baku mutu air di Sumatera Selatan. 4) Mengetahui dosis optimum bahan kimia kapur tohor, pH adjuster, tawas dan kuriflock yang diberikan pada proses koagulasi dan netralisasi air asam tambang. 5) Mengetahui kualitas air buangan pada outlet KPL Tungkal setelah diberikan dosis optimum.
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Sejarah Perusahaan PT Bukit Asam Tbk memiliki sejarah yang sangat panjang di industri batu bara nasional. Operasional perusahaan ini ditandai dengan beroperasinya tambang Air Laya di Tanjung Enim tahun 1919 oleh pemerintah kolonial Belanda. Kala itu, penambangan masih menggunakan metode penambangan terbuka. Pada periode tahun 1923 hingga 1940, Tambang Air Laya mulai menggunakan metode penambangan bawah tanah. Dan pada periode tersebut mulai dilakukan produksi untuk kepentinan komersial, tepatnya sejak tahun1938. Seiring dengan berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di tanah air, para karyawan Indonesia kemuadian berjuang menuntut perubahan status tambang menjadi pertambangan nasional. Pada 1950, Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengesahkan pembentukan Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA). Pada tanggal 1 Maret 1981, PN TABA kemudian berubah status mejadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Bukit Asam (Persero), yang selanjutnya disebut
disebut
PTBA
atau
Perseroan.
Dalam
rangka
meningkatkan
pengembangan industri batubara di Indonesia, pada 1990 Pemerintah menetapkan penggabungan Perum Tambang Batubara dengan Perseroan. Sesuai dengan program pengembangan ketahanan energi nasional, pada 1993 Pemerintah menugaskan Perseroan untuk mengembangkan usaha briket
5
6
batubara. Pada 23 Desember 2002, Perseroan mencatatkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia dengan kode perdagangan “PTBA”. Pada tanggal 29 November 2017, menjadi catatan sejarah bagi PTBA saat menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Sahan Luar Biasa. Agenda utama dalam RUPSLB PTBA mencakup tiga hal, yakni persetujuan perubahan Anggaran Dasar Perseroan terkait perubahan status Perseroan dari Persero menjadi NOPersero sehubungan dengan PP 47/2017 tentang Penambahan Penyertaan modal Negara Republik Indonesia kedalam Modal Saham PT Inalum (Persero), Persetujuan Pemecahan Nominal Saham (stock split) dan perubahan susunan Pengurus Perseroan. Dengan beralihnya saham pemerintah RI ke Inalum, ketiga perusahaan
tersebut
resmi
menjadi
anggota
Holding
BUMN
Industri
Pertambangan engan inalum sebagai induknya (Holding). Tanggal 14 Desember 2017, PTBA melaksanakan pemecahan nilai nominal saham. Langkah untuk stock split diambil perseroan untuk meningkatkan likuiditas perdagangan saham di Bursa Efek serta memperluas distribusi kepemilikan saham dengan menjangkau berbagai lapisan investor, sekaligus untuk mendukung program “ Yuk Nabung Saham”. Komitmen yang kuat dari Bukit Asam dalam meningkatkan kinerja perusahaan merupakan faktor fundmental dari aksi korporasi tersebut. PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., di Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE) memiliki beberapa site dalam wilayah Kuasa Pertambangan, yaitu: 1. Tambang Air Laya (TAL)
7
Pada lokasi Tambang Air Laya (TAL), kegiatan penambangan dilakukan dengan dua metode, yaitu metode convensional mining
kombinasi antara
excavator-dump truck dan metode continuous mining yang merupakan suatu sistem penambangan yang berkesinambungan dengan menggunakan BWE (Bucket Wheel Excavator) sebagai alat utama atau dikenal juga dengan istilah BWE sistem. Pada metode BWE sistem ini sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak PTBA sedangkan untuk penambangan dengan metode kombinasi excavator-dump truck dilaksanakan oleh pihak ketiga (kontraktor). Nilai kalori batubara yang terdapat di Tambang Air Laya (TAL) berkisar antara 6.300-7.300 kkal/kg (adb). 2. Tambang Muara Tiga Besar (MTB) Tambang Muara Tiga Besar (MTB) terdiri atas dua lokasi, yaitu Muara Tiga Besar Utara (MTBU) dan Muara Tiga Besar Selatan (MTBS). Operasi penambangan di Muara Tiga Besar ini menggunakan metode kombinasi antara excavator-dump truck yang semuanya
dikerjakan
oleh
pihak
ketiga
(kontraktor). Nilai kalori batubara yang terdapat di Muara Tiga Besar berkisar antara 5.300-6.300 kkal/kg (adb). Spesifikasi ini sesuai dengan kebutuhan PLTU Suralaya dan PLTU Bukit Asam. 3. Tambang Banko Barat Tambang Banko Barat saat ini terdiri atas dua lokasi bukaan penambangan, yaitu Pit-1 dan Pit-3. Pekerjaan penambangan batubara dilakukan oleh Swakelola dengan
kontraktor PT. Sumber Mitra Jaya (SMJ) dan kontraktor PT. Satria
Bahana Sarana (SBS) dengan menggunakan metode kombinasi antara excavatordump truck. Nilai kalori batubara yang terdapat di Banko Barat berkisar antara 5.900-6.300 kkal/kg (adb). 2.2. Data Umum Perusahaan
8
Nama
: PT. Bukit Asam (Persero) Tbk
Alamat
: Jalan Parigi No.1 Talang Jawa, Tanjung Enim, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, Kode Pos 31716
Telp.
: 0734-451096
Website
: http://www.ptba.co.id
2.3. Visi, Misi dan Tata Nilai Perusahaan 1)Visi Menjadi perusahaan energi kelas dunia yang peduli lingkungan. 2)Misi Mengelola sumber energi dengan mengembangkan kompetensi koorporasi dan keunggulan insani untuk memberikan nilai tambah maksimal bagi stakeholder dan lingkungan. 3)Tata Nilai a) Visioner Mampu melihat jauh ke depan dan membuat proyeksi jangka panjang dalam pengembangan bisnis. b) Integritas
9
Mengedepankan
perilaku
terpecaya,
terbuka,
positif,
jujur,
berkomitmen dan bertanggung jawab. c) Inovatif Selalu bekerja engan kesungguhan untuk memperoleh terobosan baru untuk menghasilkan produk dan layanan terbaik dari sebelumnya. d) Profesional Melaksanakan semua tugas sesuai dengan kompetensi, dengan kreativitas, penuh keberanian, komitmen penuh, dalam kerjasama untuk keahlian yang terus menerus meningkat. e) Sadar biaya dan lingkungan Memiliki kesadaran tinggi dalam setiap pengolahan aktifitas dengan menjalankan usaha atau asas manfaat yang maksimal dan kepedulian lingkungan. 2.4. Struktur Organisasi Perusahaan 1) Struktur Organisasi Umum Struktur organisasi perusahaan dibuat untuk meningkatkan kinerja dari setiap divisi penyokong dalam suatu perusahaan diharapkan mampu mendukung pecapaian target disetiap tahunnya. Penyusunan struktur organisasi dibuat berdasarkan
spesifikasi
dan
fungsi
kinerja
yang
ada
sehingga
dapat
10
dipertanggungjawabkan. Untuk tugas operasionalnya, pengoperasian PT. Bukit Asam (Persero) Tbk dipimpin oleh Dewan Direksi. Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) tanggal 27 Desember 2006, anggota direksi berubah dari lima orang menjadi enam orang, dan dalam organisasi baru ini terdapat dua direktorat yang tugasnya menjadi lebih fokus, yaitu Direktorat Niaga dan Direktorat Pengembangan Usaha. Direktur Niaga fokus pada upaya peningkatan dan efisiensi biaya melalui proses pengadaan barang dan jasa berdasarkan prinsip Good Coorporate Governance (GCG). Berikut struktur organisasi PT. Bukit Asam (Persero) Tbk.
Gambar 2.1. Struktur Organisasi Umum PT. Bukit Asam (Persero) TBk.
11
Sumber: http://www.ptba.co.id/id 2) Struktur Organisasi Pengelolaan Lingkungan Satuan kerja pengelolaan lingkungan merupakan satuan kerja yang bertugas dalam mengawasi dan menangani permasalahan lingkungan yang terjadi akibat dari proses penambangan sampai pada pasca penambangan.
Gambar 2.2. Struktur Organisasi Satuan Kerja Pengelolaan Lingkungan Sumber: Satuan Kerja Pengelolaan Lingkungan PTBA 2.5. Iklim dan Curah Hujan Perusahaan Kecamatan Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan memiliki iklim yang sama dengan daerah Indonesia pada umumnya, yaitu iklim tropis dengan kelembaban dan temperatur tinggi seperti kebanyakan daerah Tanjung Enim memiliki iklim tropis dengan kelembaban dan temperatur tinggi, yaitu berkisar antara 23⁰C sampai dengan 36⁰C.
12
Dengan metode penambangan terbuka seluruh aktivitas pekerjaan berhubungan langsung dengan udara bebas, sehingga iklim yang ada berdampak langsung pada operasional. Daerah ini memiliki dua usim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan data pengamatan curah hujan pada bulan Februari 2019 yaitu 448,45 mm.
2.6. Satuan Kerja di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk Secara umum satuan kerja yang terdapat di PTBA. Bukit Asam (Persero) Tbk cukup banyak dan setiap satuan kerja mempunyai tugasnya masing-masing, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Satuan Kerja Swakelola Satuan kerja ini mempunyai peranan penting dalam melakukan produksi batubara ataupun tanah penutup (overburden) serta interburden. Satuan kerja ini mempunyai kerjasama dengan perusahaan kontraktor PT. BKPL (Bangun Karya Pratama Lestari) serta turun langsung ke lapangan untuk memberikan arahan serta informasi terkait dengan produksi yang dilakukan. 2) Satuan Kerja Pengawasan Penambangan Kontraktor Satuan Umit Pengawasan Penambagan Kontraktor (Wasnamtor) merupakan satuan kerja yang meiliki peraan khusus untuk mempertahankan
13
stabilitas kerja penambangan yang dilakukan kontraktor yang berfungsi untuk mengawasi dan mengarahkan sistem kerja yang dilakukan kontraktor untuk proses penambangan. Satuan kerja bekerja sama dengan PT. Sumber Mitra Jaya (SMJ) dan PT. Pama Persada Nusantara yang menjadi kontraktor dalam proses penambangan di wilayah penambangan Banko Abrat Pit 3 Timur dan TAL. 3) Satuan Kerja BWE Sistem Pekerjaan yang dilakukan melalui metode penambangan continuous minig dengan BWE (Bucket Wheel Excavator). 4) Satuan Kerja Operasi (Renops) Satuan kerja ini bertugas untuk merencanakan operasi jangka dan pendek. Untuk rencana jangka panjang yaitu berupa rencana tahunan dan untuk rencana jangka pendek yaitu beupa triwulan. Dalam proses perencanaan operasi jangka panjang biasanya diseerahkan ke satuan kerja POHA (Perencanaan Operasi Harian) untuk dibuat rencana harian pada satuan kerja yang akan diberikan. 5) Satuan Kerja POHA (Perencanaan Operasi Harian) Merupakan satuan kerja yang bertugas untuk membuat rancangan harian terhadap rencana tahunan yang telah ditetapkan oelh satuan kerja Renop.
14
6) Satuan Kerja PAB (Penanganan Angkutan Batubara) Satuan kerja ini ditugaskan dalam memonitoring peralatan dan proses handling batubara baik pada jalur kereta api maupun dengan emnggunakan dump truck untuk diangkut menuju pelabuhan ataupun ke stockpile batubara. 7) Satuan Kerja Keloling (Pengelolaan Lingkungan) Satuan Kerjyang bertugas dalam mengawasi dan menangani permasalaham terhadap lingkungan yang dapat terjadi dari hasil proses aktivitas penambangan selama dan atau sesudah pasca tambang. 8) Satuan Kerja K3 Merupakan satuan kerja yang bertugas untuk memberikan rasa aman terhadap pekerja dari kondisi lingkungan kerja yang tidak aman serta bertanggung jawab untuk keselamatan pekerja.
2.7. Ruang Lingkup dan Proses Produksi Perusahaan PT. Bukit Asam (Persero) Tbk di Unit Penambangan Tanjung Enim (UPTE) beberapa site di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yaitu sebagai berikut: 1) Tambang Muara Tiga Besar Tambang
Muara
Tiga
Besar
(MTB)
menggunakan
sistem
penambnagan dengan shovel dan truck. Semua dikerjakan oleh pihak ketiga
15
yaitu PT. Pama Persada Nuantara. Di MTB ada dua wilayah penambangan, yaitu Muara Tiga Besar Utama (MTBU) dan Muara Tiga Besar Selatan (MTBS). Cara kerja sistem penambangan MTB dimulai dengan land clearing (pembersihan semak-semak dan pepohonan), pengupasam topsoil (tanah pucuk), pengupasan overburden (tanah penutup) dengan shovel, lalu diangkat dengan dengan dump truck. Tanah diangkut menuju lokasi penimbunan sedangkan batubara ditumpuk di stockpile. 2) Tambang Air Laya Pada lokasi Tambang Air Laya terdapat dua metode penambangan utama yaitu metode shovel dan truck (menggunakan excavator dan dump truck) serta memanfaatkan Bucket Wheel Excavator (BWE) sistem untuk mengangkut batubara dari temporary menuju ke stockpile. Pada metode BWE, sistem ini sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak ketiga (kontraktor). Semua hasil penggalian batubara dengan metode shovel dan truck akan ditampung di temporary gerbong untuk dikirim ke pelabuhan Tarahan (Lampung) dan dermaga Kertapati (Palembang) menggunakan kereta api yang memiliki 40-60 gerbong sekali jalan, dengan kapasitas 30-50 ton untuk satu gerbong kemudian dipasarkan baik untuk keperluan domestik maupun keperluan ekspor. 3) Banko Barat Tambang Banko Barat memiliki luas WIUP 4500 Ha. Tambang Banko Barat yang terdiri dari Pit 1 dan Pit 3, dimana pada masing-masing Pit telah dibagi lagi Pit 1 Barat dan Pit 1 Timur, sedangkan pada Pit 3 dibagi menjadi Pit
16
3 Timur dan Pit 3 Barat dipegang oleh kontraktor yaitu PT. SMJ (Sumber Mitra Jaya) dan Pit 3 Timur oleh PT. BKPL (Bangun Karya Pratama Lestari). Pada Pit 3 Timur, pengelolaan dipegang oleh PT. SMJ, di Pit 1 Barat oleh Swakelola PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Untuk mendukung produktivitas dan efiseiensi kerja PT. Bukit Asam (Persero) Tbk mengoperasikan tiga pelabuhan khusus batubara, yaitu: 1) Pelabuhan Tarahan (Lampung) 2) Pelabuhan Kertapati (Sumatera Selatan) 3) Pelabuhan Teluk Bayur (Sumatera Selatan)
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Air Asam Tambang 3.1.1. Pengertian Air Asam Tambang Air asam tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD) atau juga disebut sebagai air asam batuan (AAB) (Acid Rock Drainage –ARD) adalah air yang bersifat asam (tingkat keasaman yang tinggi dan sering ditandai dengan nilai pH yang rendah dibawah 5) sebagai hasil dari oksida mineral sulfida yang terpapar (exposed) di udara dengan kehadiran air (Ahmad dan yoga, 2011). AAT memiliki pH rendah yang berasal dari oksidasi pirit yang mengandung sulfida dengan air dan udara sehingga menghasilkan asam sulfida (H2S) yang mengandung sulfat bebas (Ayu, Harminuke, dan Hartini , 2015). AAT merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada air asam yang timbul akibat kegiatan penambangan (Baiquni, 2007). AAT adalah hasil dari serangkaian kegiatan penambangan. AAT merupakan permasalahan lingkungan yang dihasilkan oleh industri pertambangan. Kegiatan pertambangan yang dapat mempercepat proses pembentukan AAT karena air dari serangkaian kegiatan pertambangan yang terpapar langsung dengan udara, air, dan mikroorganisme Selain itu AAT juga dapat disebabkan dari adanya batubara itu sendiri karena banyak mengandung belerang sehingga jika tercuci
17
18
dengan air, maka akan terjadi penurunan pH air menjadi asam (Johson & Hallberg,2005). 3.1.2. Sumber Air Asam Tambang AAT dapat terjadi pada kegiatan penambangan baik itu tambang terbuka (surface mining) maupun tambang bawah tanah (underground mining). Sumber – sumber AAT antara lain berasal dari kegiatan – kegiatan berikut ini (Dasmin, 2017). a. Air dari tambang terbuka, air yang terdapat dan mengalir diatas permukaan tanah dan biasanya berada didalam suatu cekungan akibat galian tanah. Jenis air ini bersifat asam karena terbukanya lapisan batuan akibat terkupasnya lapisan tanah penutup, sehingga sulfur yang terdapat dibatuan sulfida akan mudah teroksidasi dan bila bereaksi dengan air akan membentuk AAT. b. Air tambang bawah tanah, air asam tambang dalam ini mudah dikenali atau diindetifikasi karena pH nya yang rendah. AAT ini mempengaruhi peralatan tambang (mudah terkorosi) sehingga akan menjadi masalah tersendiri dalam pengoperasiannya. c. Air dari unit pengolahan batuan bangunan, dimana material yang banyak terdapat pada limbah kegiatan penambangan adalah batuan buangan. Jumlah batuan buangan ini akan semakin meningkat seiring dengan kegiatan penambangan. Sebagai akibatnya, batuan buangan yang banyak mengandung sulfur akan banyak berhubungan langsung dengan udara
19
terbuka membentuk senyawa sulfur oksida. Selanjutnya dengan adanya air akan membentuk AAT. d. Air dari lokasi penimbunan bijih (bahan galian), dimana timbunan bijih ini berasal dari batuan sulfidis dapat menghasilkan AAT karena adanya kontak langsung dengan udara bebas yang selanjutnya terjadi pelarutan akibat adanya air. Air dari lokasi penimbunan ini merupakan sumber utama AAT. e. Air dari unit pengolahan limbah tailing (sisa), kandungan sulfur dalam tailing diketahui mempunyai potensi yang besar dalam membentuk AAT di industri-industri pertambangan. Kolam pengendap tailing (tailing pond) biasanya mempunyai permeabilitas yang kecil dan selalu diisi air yang mengandung limbah dari unit pengolahan, pH dalam kolam pengendap tailing (tailing pond) ini biasanya cukup tinggi karena adanya penambahan kapur untuk menetralkan air yang bersifat asam yang dibuang kedalamnya. Air yang masuk ke dalam kolam pengendap tailing bersifat asam tersebut diperkirakan akan menyebabkan limbah asam bila merembes (meskipun sedikit) ke luar kolam pengendap tailing. Menurut Baiquni (2007), bahwa sumber-sumber AAT adalah sebagai berikut: a. Timbunan Batuan Sisa Tambang Umumnya timbunan batuan sisa tambang ditempatkan diatas permukaan tanah dimana mereka tetap tak jenuh, mengandung sekitar 5% hingga 10% air. Zona tak jenuh dari batuan sisa yang mengandung sulfat rentan terhadap pembentukan AAT.
20
b. Timbunan Bijih Tambang Ciri-ciri tumbuhan bijih tambang secara umum mirip dengan batuan sisa, namun konsentrasi sulfidanya sering kali lebih tinggi. Timbunan bijih tambang berkadar rendah dapat ada selama beberapa dekade, berpotensi menyajikan sumber – sumber AAT jangka panjang. c. Fasilitas Penyimpanan Tailing dan Bendungan Tailing Tailing yang diproduksi selama pemrosesan bijih tambang biasanya dibuang ke fasilitas penyimpanan tailing dalam bentuk lumpur (slurry). Tailing yang mengandung sulfida dapat menjadi sumber AAT yang signifikan karena ukuran partikelnya yang sangat halus. d. Pit atau Tambang Terbuka Batuan dinding (well rock) di pit atau tambang terbuka dapat berisi mineral – mineral sulfida yang berpotensi membentuk AAT. Sejauh mana permukaan air tanah disekitar pit diturunkan selama penambangan akan mempengaruhi jumlah bahan bersulfida yang terpapar ke udara dan muatan keasaman yang terbentuk. Air asam dari batuan dinding mungkin dapat merembes ke pit atau sistem air tanah lokal. e. Tempat Timbunan dan Pelindian Bioleaching logam dasar sulfida semakin disukai sejalan dengan semakin matangnya teknologi dan bertambahnya ukuran operasi. Pada masa
21
penghentian operasi, sulfida yang tersisa di pembuangan atau tumpukan bahan sisa dapat menjadi potensi sumber AAT jangka panjang.
3.1.3. Proses Perbentukan AAT Proses terjadinya AAT merupakan proses fisika dan kimia yang kompleks dan menyangkut banyak faktor. Faktor – faktor utama dalam pembentukan AAT yaitu adanya oksigen sebagai pengoksidasi, air sebagai pencuci hasil oksidasi, dan bakteri serta sumber kimiawi AAT antara lain mineral sulfida sebagai sumber sulphur atau asam (johson dan Hallberg, 2005). Batuan yang mengandung mineral – mineral sulfida seperti yang tertera pada table berikut ini: Mineral Komposisi
Pyrite
FeS2
Calcopyrite
Calcosite
CuFeS 2
Cu 2 S
Spalerite ZnS
Millerite Nis
Galena PbS
Molibdenit
Mo S2
Cuvellite CuS
Tabel 3.1. Mineral – mineral Sulfid Sumber : Muchjidin, 2006.
Air yang berasal dari tambang batubara akan memiliki karakteristik berwarna merah kecoklatan, kuning dan kadang – kadang putih. Air tersebut bisa saja bersifat asam maupun basa tergantung dari tingkat konsentrasi sulfat ( 2−¿ ¿ SO 4 ), besi (Fe), mangan (Mn) juga di pengaruhi elemen – elemen seperti
kalsium, sodium, potassium, dan magnesium. AAT timbul apabila mineral – mineral sulfida yang terkandung dalam batuan terpapar sebagai akibat pembukaan
Arsenopyrite FeAsS
22
lahan atau pembokaran batuan pada saat penambangan berlangsung dan bereaksi dengan air dan terpapar oksigen. Bakteri yang ada secara alami dpat mempercepat reaksi yang bisa menyebabkan terjadinya air asam. Tanpa kehadiran mineral sulfida pada batuan seperti pyrite atau besi sulfida, udara dan air, AAT tidak akan muncul. Secara umum reaksi pembentukan AAT adalah sebagai berikut: +¿ 2−¿+ 4 H ¿ 2 FeS 2+7 O2 +2 H 2 O ⟶ 2+¿+ 4 SO ¿ 4 ¿ 2 Fe Pyrite + Oxygen + Water ⟶ Ferrous Iron + Sulfate + Acidity
Reaksi antara pyrite, oksigen dan air akan membentuk asam sulfat dan endapan besi hidroksida. Warna kekuningan yang mengendap didasar didasar saluran tambang atau pada dinding kolam pengendapan lumpur merupakan gambaran visual dari endapan besi hidroksida (yellowboy). Pada reaksi umum pembentukan AAT, terjadi empat reaksi pyrite yang menghasilkan ion – ion hidrogen yang bila berkaitan dengan ion – ion negatif dapat membentuk asam. Oksigen terhadap pyrite akan menghasilkan besi (II) dan sulfat. Selanjutnya besi (II) teroksidasi lagi menjadi besi (III). Reaksi akan berlangsung lambat dalam kondisi asam dan semakin cepat dengan kenaikan pH. Besi (III) yang belum mengendap akan mengoksidasi pyrite yang belum mengalami oksidasi. Adapun reaksi – reaksi tersebut adalah sebagai berikut (Fahruddin, 2010).
1.
+¿ 2−¿+ 4 H ¿ 2 FeS 2+7 O2 +2 H 2 O ⟶ 2+¿+ 4 SO ¿ 4 ¿ 2 Fe
23
Pyrite + Oxygen + Water ⟶ Ferrous Iron + Sulfate + Acidity
Reaksi pertama adalah reaksi pelapukan dari pyrite disertai proses oksidasi, pyrite dioksidasi menjadi sulfat dan besi fero, dari reaksi ini dihasilkan dua mol keasaman dari setiap mol pyrite yang teroksidasi,
O2
terlarut dapat
juga mengoksidasi tetapi kurang penting karena karena kelarutannya sangat terbatas, reaksi ini dapat terjadi baik pada kondisi abiotic maupun biotik, selain okisdasi langsung, pyrite dapat juga terlarut dan selanjutnya teroksidasi. 2−¿ 2+¿+2 SO 4¿ +¿ 2. Fe 3+¿+8 H O→ 15 Fe¿ + 16 H ¿ 2 S 2+14 Fe¿ Pyrite + Ferric Iron + Water ⟶ Ferrous Iron + Sulfate + Acidity
Reaksi selanjutnya adalah oksidasi pyrite oleh ion ferri, reaksi ini lebih cepat (2-3 kali) dibandingkan dengan oksidasi dengan oksigen dan menghasilkan keasaman yang lebih banyak per mol pyrite, tetapi terbatas pada kondisi dimana terdapat jumlah yang cukup dari ion ferri (kondisi asam) Dengan demikian okisidasi pyrite dimulai dengan reaksi (I) pada kondisi dekat netral dan dilanjutkan dengan reaksi (2) jika kondisi semakin asam (pH < 4,5
).
Pada reaksi ketiga terjadi konversi dari besi ferro menjadi besi ferri yang mengkonsumsi satu mol keasaman. Laju reaksi lambat pada pH < 5 dan kondisi abiotic. Kehadiran bakteri acidithiobacillus ferrooxidans dapat mempercepat reaksi ini (5-6 kali).
24
3.
2+¿+O 2 ¿ 4 Fe
3+¿+2 H 2 O +¿ ¿ +4 H ¿ ⟶ 4 Fe
Ferrous Iron + Oxygen + Acidity ⟶ Ferric Iron + Water
Reaksi (3) menunjukkan bahwa oksigen diperlukan untuk mengoksidasi ion ferro menjadi ferri, ion ferri yang dihasilkan pada reaksi (1) dapat mengalami oksidasi dan hidrolisa dan membentuk ferri hidroksida. Pembentukan presipitat ferri hiroksida tergantung pH, yaitu lebih banyak pH di atas 3,5. 1 5 2+¿+ O2 + H 2 → 4 Fe (OH )3 ↓ +¿ 4 2 4. F + 2 H¿ e¿ Ferric Iron + Oxygen + Water ⟶ “Yellowboy” + Sulfuric Acid
Reaksi (4) merupakan reaksi pelarutan – pelarutan yang reversibel dan berlangsung sampai pH sama dengan 3 dan merupakan langkah
penting
pelepasan asam ke lingkungan. Jika reaksi (1) dan (4) digabungkan maka diperoleh reaksi oksidasi mineral pyrite yang dikenal sebagai reaksi umum yang menghasilkan AAT dibawah ini:
4
OH ¿ ¿ FeS2 +15 O 2+14 H 2 O ⟶ 4 Fe ¿
Pyrite + Oxygen + water ⟶ “Yellowboy” + Sulfuric Acid
Oksidasi Pyrite oleh bakteri ada 2 jenis, yaitu:
25
1) Bakteri Acidithiobacillus ferrooxidans adalah bakteri yang dapat
mengoksidasi
2+¿ , S ¿ Fe
0
, sulfida logam, dan senyawa sulfur anorganik
lainnya. 2) Bakteri Acidithiobacillus thiooxidans adalah bakeri yang dapat mengoksidasi baik sulfur maupun sulfida menjadi asam sulfat, tetapi tidak
dapat mengoksidasi
2+¿ . Fe¿
Mekanisme oksidasi pyrite oleh bakteri dapat digolongkan menjadi : a. Reaksi metabolisme langung, yang membutuhkan kontak fisik langsung antara mineral pyrite dengan baketri b. Reaksi metabolisme tidak langsung, yang tidak membutuhkan kontak kontak fisik langung antara mineral pyrite dengan bakteri, melainkan
melalui oksidasi
2+¿ ¿ Fe
yanf menghasilkan
3+¿ ¿ Fe
yang selanjutnya
mengoksidasi pyrite secara kimiawi. 3.1.4. Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan Air Asam Tambang 1) Sifat Sulfur Pyrite Bentuk sulfur ini sangat potensial, umumnya terdapat dalam batubara ataupun batuan yang berkaitan dengan batubara. Sulfur organic dan
26
sulfur biasanya dijumpai dalam jumlah kecil pada batuan dan batubara serta kurang relatif dalam pembentukan AAT. 2) Pengaruh pH Pada saat harga pH antara 4-7 maka reaksi oksidasi pyrite akan
berlangsung lambat dan jumlah karena rendahnya kelarutan
akan meningkatkan kelarutan
3+¿ ¿ yang dihasilkan sangat terbatas Fe
Fe(O H)3 . Penambahan tingkat keasaman 3+¿ ¿ . Pada saat pH turun sampai 1,5-2 Fe
adalah kondisi yang paling efektif untuk bakeri sebagai katalisator pada oksidasi pyrite. 3) Pengaruh surface area Berdasarkan penelitian, umumnya pembentukan AAT dan surface area pyrite yang terekspose menjadi larutan, serta sifat kristal dan kandungan kimia pyrite. Hal tersebut akan berpengaruh pada pH yang lebih besar dari 2,5. Umumnya batuan yang mengandung jumlah pyrite lebih banyak akan menghasilkan asam yang lebih cepat dibandingkan dengan yang mengandung pyrite lebih sedikit. Untuk jenis Kristal pyrite, perbeadaan kapasitas ruang kosong di Kristal atau pyrite akan menyebabkan perbedaan kecepatan rata – rata oksidasi, ini berhubungan dengan sifat pengendapan dan sifat hidrotemal pyrite. 4) Pengaruh Oksigen
27
Oksigen yang tersedia di atmosfer sebanding dengan oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi pyrite untuk membentuk tekanan udara 1 atm, kandungan
O2
3+¿ Fe¿
pada
terlarut berjumlah 7,5mg/L (pada
suhu 300 C ) dan 12,4 mg/L (pada suhu 50 C ¿ . 5) Pengaruh micro environment (lingkungan mikro) Karena proses oksidasi pyrite sangat dipengaruhi oleh jumlah pyrite yang bereaksi pada kondisi air dengan tingkat kejenuhan tertentu maka lingkungan mikro yang menimbulkan efek seperti konsentrasi Fe, pH, O2 perlu diuji secara spesifik tergantung dengan kondisi tambang. Hal
ini dapat disamakan pada tempat yang berbeda. 3.1.5. Dampak Air Asam Tambang Seperti telah diketahui sebelumnya, nilai pH yang rendah (pH < 6) pada AAT menyebabkan mudahnya logam – logam tertentu larut dalam air. Hal ini jika tidak ditangani dan jika dibiarkan begitu saja, pada konsentrasi tertentu akan sangat membahayakan bagi lingkungan, sebab hasil oksidasi dari sulfida oleh media air akan terangkut sehingga mencemari lokasi sekitarnya. Adapun dampak negatif dari AAT adalah: a) Masyarakat disekitar wilayah tambang Dampak terhadap masyarakat disekitar wilayah tambang tidak dirasakan secara langsung akan tetapi akan dirasakan beberapa tahun kemudian
28
karena air terkontaminasi dengan asam tambang banyak mengandung logam berat seperti besi dan mangan yang mana bila dikonsumsi oleh masyarakat secara terus menerus maka masyarakat akan menderita keracunan dan dapat mengakibatkan iritasi kulit bagi penduduk yang menggunakan air tersebut. b) Biota perairan Bila air sungai terkontaminasi dengan AAT maka biota di perairan akan berkurang atau mereka tidak akan bertahan hidup, misalnya ikannya akan mati akibat terjadinya penyumbangan insang oleh garam – garam, besi aluminium, dan lain – lain. Dan untuk jenis nyamuk akan menari tempat yang asam untuk bertelur. c) Kualitas tanah Tanah yang asam banyak mengandung logam berat seperti, besi, tembaga, seng yang semua ini merupakan unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman, sedangkan unsur hara makro akan menyebabkan keracunan pada tanaman. Hal ini ditandai dengan busuknya akan tanaman sehingga tanaman menjadi layu. Selain itu, juga dapat menyebabkan meningkatnya mikroba patogen sehingga terjadi penurunan pada mikroba tanah yang bermanfaat untuk fiksasi nitrogen. d) Kualitas air
29
Terbentuknya AAT hasil oksidasi pirit kan menyebabkan menurunnya kualitas air permukaan. Ion Fe yang terdapat pada mineral pirit akan terlarut menjadi prespitat yang dibebaskan kedalam air dan membentuk senyawa
Fe(OH )3
yang membentuk selaput seperti jelly berwarna
merah orange disebut sebagai yellow boy. Yellow boy akan melapisi dasar perairan dan menghambat pertukaran udara, sehingga dapat membunuh organisme yang hidup mendasar perairan. Selain itu ion sulfida yang terikat oleh logam – logam akan mengalami reaksi geokimia sehingga melepaskan ion – ion logam yang merupakan racun dalam perairan (Sari,2017). e) Terhadap bangunan dan alat tambang Hal ini dapat menyebabkan bahan dan peralatan tambang sangat mudah korosif, bangunan semen atau beton mudah rusak terjadi penyumbatan pada akuifer ( lapisan batuan penyimpan air) atau sumur bor akibat pengendapan besi. 3.1.6. Penanganan Air Asam Tambang 1) Baku Mutu Air a) pH pH adalah kepanjangan dari pangkat hidrogen atau power of hydrogen yaitu merupakan tingkatan asam basa suatu larutan yang diukur dengan skala 0 s/d 14. Dimana pH 1-6 bersifat asam, pH 7 bersifat netral dan pH 8 - 14 bersifat basa. b) TSS (Total Suspended Solid)
30
TSS adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2µm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. TSS merupakan parameter yang menyebabkan kekeruhan air. c) Besi (Fe) Besi adalah unsur kimia dengan symbol Fe (Ferro) dengan nomor atom 26. Fe yang terkandung dalam AAT dalam bentuk mineral pyrite (FeS2). d) Mangan (Mn) Mangan adalah unsur kimia dengan symbol Mn dan nomor atom 25. Mangan merupakan logam transisi yang berwarna perak metalik. 3.1.7. Peraturan Pemerintah Mengenai Air Asam Tambang 1) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Penambangan Batubara pasal 2 ayat 1 adalah sebagai berikut. Tabel 3. Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Penambangan Batubara (Sumber : KLH nomor 113 Tahun 2003) Tabel 3.2. Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Batubara Parameter
Satuan
Kadar Maksimum
pH
-
6-9
TSS
Mg/l
400
31
Fe
Mg/l
7
Mn
Mg/l
4
(Sumber : KLH nomor 113 Tahun 2003) 2) Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan nomor 8 tahun 2012 tentang Baku Mutu Limbah Cair (BMLC) Bagi Kegiatan Industri, Hotel, Rumah Sakit, Domestik, dan Pertambangan Batubara. Tabel 3.3. Baku Mutu Air Limbah Penambangan Batubara Parameter pH Residu Tersuspensi Besi (Fe) total Mangan (Mn) total
Satuan Mg/l Mg/l Mg/l
Kadar Maksimum 6-9 300 7 4
Tabel 3.4. Baku Mutu Air Limbah pencucian Batubara Parameter pH Residu Tersuspensi Besi (Fe) total Mangan (Mn) total
Satuan Mg/l Mg/l Mg/l
Kadar Maksimum 6-9 200 7 4
3.1.8. Upaya Penanganan Air Asam Tambang Terdapat dua upaya dalam penganan AAT, yaitu preventif (pencegahan) dan kuratif (pengolahan). 1) Penanganan Air Asam Tambang (Preventif)
32
Reaksi pembentukan AAT yang memerlukan oksigen adalah kunci dari upaya preventif. Dengan menutup batuan. Metode yang umum diterapkan dalam penimbunan overburden adalah
encapsulation dan
layering yaitu menempatkan material PAF (Potencial Acid Forming) dan NAF ( Non Acid Forming ) sedemikian untuk menghindari terjadinya pembentukan air asam tambang. Pencegahan terbentuknya air asam tambang dilakukan pada tahap perencanaan tambang, dimana material NAF ditempatkan berada di atas material PAF. Metode ini disebut sebagai metode encapsulation. Pembentukan air asam tambang dapat diatasi dengan menghilangkan atau mengurangi satu atau lebih komponen - komponen pembentuk air asam tambang dengan menggunakan metode layering. Metode layering ini dilakukan dengan cara menutupi lapisan batubara yang berupa lantai batubara dengan material yang bersifat tidak bisa ditembus air (impermeable) misalnya mineral liat. Berikut contoh desain gambar lapisan PAF dan NAF (Arif, 2014)
Gambar 3.1. Pencegahan air asam tambang Sumber: Irwandy Arif, 2014 2) Penanganan Air Asam Tambang dengan Metode Kuratif
33
Metode kuratif adalah metode pengobatan atau pemulihan. Walaupun metode pencegahan telah dilakukan dengan baik, tetap saja ada AAT yang tidak dapat dicegah pembentukannya, misalnya : a. Dari mine pit b. Pengotor hasil pencucian batubara c. Stockpile batubara Karena itu diperlukan pengolahan AAT, agar memenuhi baku mutu lingkungan sesuai peraturan yang berlaku sebelum dilepaskan ke perairan sekitar tambang. Dalam pengolahan AAT dapat digolongkan menjadi 2 metode yaitu: a. Pengelolaan Aktif (active treatment) Merupakan
pengolahan
yang
paling
umum
dilakukan,
memerlukan waktu yang singkat, mudah dilaksanakan, namun dengan efektifitas redah dan biaya yang tinggi. Proses pengolahan dilakukan dengan mencampurkan bahan kimia yang bersifat alkalin ke air asam tambang untuk meningkatkan pH, menetralkan keasaman dan mengendapkan logam. a.1. Netralisasi Air Asam Dalam penetralan pH AAT menggunakan dua macam zat yaitu: kapur tohor dan NaOH. a.1.1. Kapur Tohor (CaO) Kalsium oksida (CaO), CaO dihasilkan dari proses kalsinasi Batugamping dengan cara pembakaran pada suhu sekitar 1000°c
34
untuk menghilangkan gas CO2. Kalsium oksida yang baik untuk netralisasi air asam tambang adalah dengan kandungan kalsium yang tinggi. Kalsium oksida yang mengandung Mg relative tidak reaktif.Kalsium oksida akan lebih efektif untuk menetralkan air asam tambang jika terlebih dahulu dilarutkan dalam air sehingga membentuk kalsium hidroksida. CaO + H2O ⟶ Ca (OH)2
Gambar 3.2. Kapur tohor (CaO) di lapangan Sumber: dokumentasi pribadi a.1.2. Kaustik soda ( NaOH) Sering digunakan pada debit aliran yang kecil (<6l/detik), keasaman tinggi. Umumnya digunakan jika konsentrasi Mn dalam air asam tambang tinggi karena dapat meningkatkan pH hingga 13. Bahan ini sangat larut dalam air dan dapat dengan cepat meningkatkan pH serta harus digunakan dalam kolam karena lebih berat dari air dan dapat mengendap. NaOH sering disebut sebagai kasutik soda baik digunakan sebagai bahan penetral air asam tambang pada aliran yang rendah dengan reaksi sebagai berikut:
35
2NaOH + H2 SO4 ⟶ 2H2O + Na2SO4 Fe(SO)2 + NaOH ⟶ Na2SO4 + Fe (OH)3 Kaustik soda sangat reaktif karena memiliki kalarutan yang tinggi. Efluen akan memiliki kandungan logam terlarut yang tinggi karena kelarutan total dari nutrium sulfat.
(Fahrul, Meri dan Yustinus,
2014).
Gambar 3.3. pH Adjuster (NaOH) di lapangan Sumber: dokumentasi pribadi a.2. Penjernihan AAT Dalam pengelolaan AAT, AAT mengalami dua proses yaitu penetralan dan penjernihan sesuai dengan baku mutu air yang telah ditetapkan
oleh
Gebernur
provisi
tertentu.
Dalam
proses
penjernihan ada dua senyawa yag digunakan yaitu Tawas dan Kuriflock. a.2.1. Tawas Tawas sebagai bahan koagulan
tawas merupakan bahan
koagulan yang paling banyak digunakan karena bahan ini paling ekonomis, mudah diperoleh dipasarkan serta mudah penyimpanannya. Jumlah pemakaian tawas tergantung
36
kepada turbidity (kekeruhan) air. Semakin tinggi turbidity air maka semakin besar jumlah tawas yang dibutuhkan. Makin banyak dosis tawas yang ditambahkan maka pH akan semakin turun, karena dihasilkan asam sulfat sehingga perlu dicari dosis tawas yang efektif. (Sumber : Gunradi, R. Suprapto, S.J.,Ishlah, T dan Hutamadi R, 2004)
Gambar 3.4. Tawas di lapangan Sumber: dokumentasi pribadi a.2.2. Kuriflock Kuriflock adalah suatu zat kimia yang dibuat dalam bentuk serbuk tepung dengan warna serbuk putih namun sifatnya apabila terkena air akan seperti lendir dengan warna abu – abu dan beberapa menit kemudian akan terlarut didalam air tersebut. Kuriflock tersebut bersifat polimer sebagai koagulan dan flokulan yang akan mengikat partikel – partikel penyebab kekeruhan air. Flokulasi adalah penyisihan kekeruhan air dengan cara penggumpalan partikel kecil menjadi pertikel yang lebih besar.
37
Gambar 3.5. Kuriflock di lapangan Sumber: dokumentasi pribadi b. Pengolahan pasif (Passive Treatment) Pada pengolahan pasif, tidak lagi membutuhkan penambahan bahan kimia secara terus menerus. Ini akan mengurangi peralatan operasional dan pemeliharaan. Pengolahan secara pasif mengandalkan terjadinya proses bio-geokimiawi, yang berlangsung menerus secara alami dalam peringatan pH dan pengikatan serta pengendapan logamlogam terlarut. Berikut merupakan beberapa contoh teknologi pengelolaan pasif: 1. Tanaman Melati Air 2. Tanaman Kiambang (salvania natans) 3. Tanaman Tipha (typha austifolia) 4. Tanaman Kiapu (pestia stratiotes) 5. Tanaman Akar Wangi (viteveria zizanoideis) 6. Tanaman Enceng Gondok (eichhornia crassipes) 3.2. Kolam Pengendapan Lumpur (KPL) Kolam pengendapan lumpur merupakan sarana untuk menghindari pencemaran perairan umum oleh air limpasan (run off) dari tambang yang mengandung mineral padat akibat erosi. Kolam pengendapan yang akan dibuat harus memiliki dimensi tertentu agar mampu mengendapkan material sedimen
38
dengan baik. Penentuan dimensi kolam pengendapan digunakan persamaan berikut: Volume KPL = (Luas Atas + Luas Bawah) x 0,5 (Kedalaman) (Saputra et al. 2014) Kolam pengendapan lumpur berfungsi sebagai tempat pengendapan partikel – partikel padatan yang tersangkut oleh air dari lokasi penambangan. Perancangan kolam pengendapan harus mempertimbangkan dimensi dan bentuk dari kolam tersebut. Penentuan dimensi dari kolam pengendapan lumpur harus diketahui dulu besar TSS (total suspended solid) pada air yang akan masuk ke dalam kolam pengendapan. Bentuk kolam pengendapan dibuat berkelok – kelok supaya kecepatan aliran air menjadi kecil. Hal tersebut menyebabkan waktu air untuk
keluar
dari
kolam
pengendapan
menjadi
lebih
lama
sehingga
memungkinkan partikel padatan pada air dapat mengendap terlebih dahulu sebelum keluar dari kolam pengendapan (Nauli et al. 2015). Upaya perawatan kolam pengendapan juga harus dilakukan agar kolam kolam pengendapan tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Penentuan jangka waktu pengerukan dapat diketahui dari perbandingan antara volume kolam yang direncanakan dengan volume padatan yang berhasil diendapan. Volume padatan yang berhasil diendapkan sangat dipengaruhi oleh solid dan nilai TSS air yang masuk ke kolam pengendapan (Nauli et al. 2015)
39
Gambar 3.6. Salah satu kompartemen di KPL
Gambar 3.7. Ganti Oulet dan titik pantau di KPL Sumber: dokumentasi priba
BAB IV METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam pelaksanaan ini adalah observasi lapangan oleh mahasiswa kerja praktek dengan bimbingan langsung oleh pembimbing dari PT. Bukit Asam (Persero) Tbk, serta bimbingan dosen dari Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia. Teknik Pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Studi Literatur
Observasi dan Orientasi Lapangan
Pengumpulan Data
Analisis dan Pembahasan
Kesimpulan
4.1. Studi Literatur Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data atau sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penelitian. Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber, diantaranya jurnal,
40
41
buku, dokumentasi, internet dan pustaka. Data-data yang dihimpun berupa datadata mengenai air asam tambang, penanganannya dan lain-lain. 4.2. Observasi dan Orientasi Lapangan Yaitu pengamatan langsung terhadap penanganan air asam tambang di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Tahanp ini dilakukan langsung dengan mendatangani tempat pengelolaan air asam tambang yang ada di KPL TAL Barat PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Hal ini dilakukan untuk mengetahui treatment apa saja yang digunakan untuk menangani permasalahan air asam tambang, serta mengetahui permasalahan apa saja yang menjadi kendala dalam pengelolaan air asam tambang di KPL tersebut. 4.3. Pengumpulan Data 4.3.1. Tahap Pengumpulan Data Perusahaan Yaitu mencari data tentang pengelolaan air asam tambang di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk dengan melihat atau mengumpulkan dokumen-dokumen tentang air asam tambang di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Hal ini dilakukan sebagai langkah pengumpulan data yang berhubungan dengan pengelolaan air asam tambang di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk untuk kepentingan penulis. 4.3.2 Tahap Pengumpulan Data di Lapangan Dalam tahap pengumpulan data di lapangan, dilakukamn pengukuran dan pengambilan sample air yang akan di uji sesuai 4 parameter dalam baku mutu air, yaitu:
42
1. 2. 3. 4.
pH Zat pada tersuspensi (TSS) Besi (Fe) Mangan (Mg) Sampel air yang akan diuji diambil dari lokasi KPL TAL Barat dan langsung dibawa ke unit Laboratorium Penangangan Batubara PT. Bukit Asam (Persero) Tbk
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Kolam Pengendapan Lumpur (KPL) Tungkal KPL komodo adalah tempat pengelolaan air asam tambang yang berasal dari galian aktif di IUP Muara Tiga Besar. Saat ini luasan galian tambang MTB sebesar..... ha. Dengan masih aktifnya wilayah penambangan di MTBU, sehingga pada saat curah hujan tinggi air limpasan masuk ke area galian dengan mambawa material tanah. Kondisi ini menyebabkan tingginya nilai TSS inlet berkisar antara…… . KPL Komodo terdiri dari 6 kompartemen dengan luasan…. Ha. Proses koagulasi dan netralisasi dilakukan pada kompartemen…… Proses netralisasi dan koagulasi dilakukan secara kontinu dengan menggunakan system bak/tanki yang dialirkan secara gravitasi. Desain KPL Komodo berbentuk seperti zig-zag yang dibatasi oleh tanggul. KPL Komodo ini dibuat secara zig-zag bertujuan untuk: 1. Memperlambat arus air dengan tujuan agar proses sedimentasi lebih efektif. 2. Penambahan tanggul lainnya juga untuk mempercepat proses sedimentasi dan untuk mencegah erosi. 3. Untuk mempermudah rawatan kolam, apabila salah satu kompartemen dirawat seperti pengurasan kolam, maka kompartemen lain masih bisa digunakan. Setelah melalui proses pengolahan di KPL air asam tambang di alirkan ke KPL tungkal secara gravitasi dengan saluran air terbuka
43
44
sepanjang 200 meter. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan proses sendimentasi karena KPL tungkal memiliki luasan KPL yang lebih besar . Berikut adalah gambaran lokasi letak KPL Komodo dan KPL tungkal:
KPL Tungkal
KPL Komodo
Gambar 5.1. Lokasi Letak KPL Komodo dan KPL Tungkal Sumber: Perencanaan Lingkungan (Renling) 5.2. Pengelolaan Air Asam Tambang pada KPL Tungkal dan KPL Komodo Pengelolaan pada KPL Tungkal menggunakan metode aktif. Metode aktif yang menggunakan bahan kimia berupa tawas (Al2(SO4)3) dan pH Adjuster (NaOH). Titik perlakuan pH Adjuster (NaOH) terlebih dahulu berada di KPL Komodo yang dipasang dekat titik pantau KPL Komodo sedangkan tawas (Al2(SO4)3) berada di KPL Tungkal yang juga dipasang berada dekat titik pantau KPL Tungkal.
45
Tawas (Al2(SO4)3) difungsikan sebagai koagulan yang akan membantu dalam penjernihan air sedangkan pH Adjuster (NaOH) difungsikan untuk menaikkan pH air asam tambang dari sumber air yang relatif memiliki pH rendah berkisar antara 4-5. Tawas (Al2(SO4)3) dan pH Adjuster (NaOH) pada saat pencampuran dilapangan harus dengan dosis yang tepat agar sesuai baku mutu yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Nomor 113 tahun 2003 dan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 08 tahun 2012.
Gambar 5.2. Pengelolaan metode active treatment penambahan pH Adjuster (NaOH)
46
Gambar 5.3. pengelolaan metode active treatment penambahan tawas (Al2(SO4)3) 5.3. Kondisi Awal Sampel Uji Sampel uji yang digunakan bersumber dari inlet kolam pengendapan lumpur (KPL) Tungkal. Sampel tersebut di bagi menjadi 13 buah sampel dengan rincian 1 sampel untuk sampel sebelum uji jartest dan 12 sampel nya lagi untuk sampel setelah jartest. Sampel yang tersebut langsung dibawa ke laboratorium PT.Bukit Asam, Tbk untuk dianalisis sesuai parameter pH, total suspended solid, dan kandungan logam. Pengujian sampel tersebut dilakukan selama 2 hari kerja untuk menganalisa parameter pH, TSS, Fe dan Mn tersebut. Bentuk sampel awal yang akan di uji dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 5.4. Sampel Awal Tabel 5.1. Analisa sampel awal Analisa sampel awal pH inlet 6.71 2451 TSS (mg/l) 20.9388 Fe (mg/l) 4.4599 Mn (mg/l)
47
Kondisi pH Air Asam Tambang (AAT) yang diperoleh dari inlet KPL Tungkal telah memenuhi Baku Mutu Lingkungan (BML) dikarenakan telah mendapat perlakuan dari KPL Komodo yaitu perlakuan netralisasi dengan penambahan NaOH. Namun tetap dilakukan pengujian dikarenakan AAT yang masuk ke KPL Tungkal masih melalui saluran air terbuka sepanjang 200 meter dari KPL Komodo dimana masih bisa terjadi penurunan pH akibat kondisi tanah yang dilalui atau air hujan atau biasa disebut dengan air limpasan. 5.4. Penentuan Dosis Kapur Tohor (CaO) Pada pengujian penambahan kapur tohor untuk perubahan pH, Fe, Mn dan TSS dilakukan dengan pembagian 1 sampel sebelum jartest dan 3 sampel setelah jartest. Sampel sebelum jartest adalah sampel yang langsung di dapatkan di lapangan atau sampel murni, sedangkan sampel setelah jartest adalah sampel yang telah dilakukan penambahan kapur tohor (CaO). Penambahan kapur tohor sendiri dilakukan setelah sampel AAT di ambil sebanyak 500 ml. Proses jartest pada sampel dilakukan dengan kecepatan 150 rpm selama 5 menit kemudian sampel diendapkan selama 3 menit barulah diuji nilai TSS dan pH nya. Dari ketiga sampel jartest tersebut kemudian dipilih salah satu memiliki dosis paling sesuai dan mendekati dengan BML. 5.4.1. Hasil Pengujian Dosis Kapur Tohor (CaO) Skala Laboratorium Tabel 5.2. Hasil uji dosis kapur tohor terhadap pH Dosis (gram/l)
pH awal
pH
BML Min
BML Max
48
0.004
6.71
7.41
6
9
Tabel 5.2. Hasil uji dosis kapur tohor terhadap total suspended solid (TSS) Dosis (gram/l) 0.004
TSS awal 2451
TSS (mg/l) 20.8
BML 400
Tabel 5.4. Hasil uji dosis kapur tohor terhadap logam Fe Dosis (gram/l) 0.004
Fe awal 20.9388
Fe (mg/l) 21.7581
BML 7
Tabel 5.5. Hasil uji dosis kapur tohor terhadap logam Mn Dosis (gram/l) 0.004
Mn awal 4.4599
Mn (mg/l) 4.4107
BML 4
Menurut teori, kapur tohor (CaO) memiliki fungsi untuk menaikkan pH air asam tambang karena kapur tohor (CaO) bila bereaksi dengan air akan menghasilkan basa yaitu kalsium hidroksida dengan reaksi sebagai berikut : CaO + H2O
(CaOH)2
Dan hasil yang kami dapatkan dari percobaan di laboratorium kapur tohor dengan dosis 0,004 gram per liter dapat menaikkan pH sebesat 0,7 dan fungsi lain dari kapur tohor (CaO) ini juga sebagai koagulan karena dapat menggumpalkan dan mengendapkan lumpur yang ada pada sampel sehingga menurunkan nilai total suspended solid (TSS) secara drastis dengan. Kelebihan lain yang dimiliki kapur tohor yaitu, mudah didapatkan dengan harga yang relative murah, kemampuan netralisasi tinggi dan mampu menggumpalkan lempung. Namun, jika dilihat dari
49
hasil uji logam kapur tohor kurang memberikan peran penting dalam mengurangi kandungan Fe dan Mn sesuai baku mutu karena senyawa CaO tidak dapat mengikat kedua logam tersebut. 5.4.2. Penentuan Dosis Kapur Tohor (CaO) Skala Lapangan Dari hasil analisa di laboratorium menunjukkan bahwa kerja kapur tohor berpengaruh dalam pengelolaan air asam tambang. Penggunaan kapur tohor untuk pengelolaan pada KPL Tungkal dapat dihitung sebagai berikut: Tabel 5.6. Hasil perhitungan dosis kapur tohor skala lapangan Dosis Kapur Tohor Dosis kapur (gram/liter) Dosis kapur (kg/ m3 ) Debit total kolam ( m3 /hari) Dosis kapur berdasarkan debit kolam (kg/hari)
0,00 2
0,004 0,004 98229,54 392,918
Hasil pengujian di laboratium PTBA didapatkan dosis kapur tohor (CaO) sebanyak 0.004 gram untuk pengelolaan 1 liter sampel sehingga jika dikonversikan ke dalam skala lapangan pada KPL Tungkal yang memiliki debit air sebesar 98229,54
m
3
/hari
membutuhkan kapur tohor (CaO) sebanyak
392,918 kg dalam sehari. 5.5. Penentuan Dosis pH Adjuster (NaOH) Pada pengujian penambahan pH Adjuster (NaOH) untuk perubahan pH, Fe, Mn dan TSS dilakukan dengan sampel dengan pembagian 1 sampel sebelum jartest dan 3 sampel setelah jartest. Sampel sebelum
50
jartest adalah sampel yang langsung di dapatkan di lapangan atau sampel murni, sedangkan sampel setelah jartest adalah sampel yang telah dilakukan penambahan pH Adjuster (NaOH). Konsentrasi cairan NaOH yang digunakan sebesar 21%. Penambahan NaOH sendiri dilakukan setelah sampel AAT di ambil sebanyak 500 ml. Proses jartest pada sampel dilakukan dengan kecepatan 150 rpm selama 5 menit kemudian sampel diendapkan selama 3 menit barulah diuji nilai TSS dan pH nya. Dari ketiga sampel jartest tersebut kemudian dipilih salah satu memiliki dosis paling sesuai dan mendekati dengan BML. 5.5.1. Hasil Pengujian NaOH 21% Skala Laboratorium Tabel 5.7. Hasil uji dosis pH adjuster terhadap pH Dosis (ml/l) 0.005
pH awal 6.71
pH 7.36
BML Min 6
BML Max 9
Tabel 5.8. Hasil uji dosis pH adjuster terhadap total suspended solid (TSS) Dosis (ml/l) 0.005
TSS awal 2451
TSS 8,4
BML 300
Tabel 5.9. Hasil uji dosis pH adjuster terhadap logam Fe Dosis (ml/l) 0.005
Fe awal 20.9388
Fe 19.6169
BML 7
Tabel 5.10. Hasil uji dosis pH adjuster terhadap logam Mn Dosis (ml/l) 0.005
Mn awal 4.4599
Mn 4.0200
BML 4
51
Senyawa NaOH merupakan zat atau senyawa yang bersifat basa kuat. NaOH berfungsi untuk menaikkan pH atau dapat juga sebagai netralisasi suatu cairan asam. Dalam hal ini, NaOH digunakan untuk menaikkan pH AAT yang memiliki pH relatif rendah. Sesuai dengan hasil uji jartest yang telah dilakukan, NaOH dengan dosis 0,005 ml dalam satu liter sampel AAT dapat menaikkan pH sebesar 0,65. Jika dilihat dari tabel hasil, NaOH juga memiliki sifat sebagai koagulan yang baik dalam proses pengendapan untuk membantu penjernihan air karena memiliki nilai TSS yang paling rendah dibandingkan senyawa atau zat lainnya. NaOH juga memiliki kelebihan lain yaitu, system pencampurannya sederha karena telah berwujud cairan dan kemampuan netralisasi yang tinggi. Namun, jika dilihat dari hasil uji logam NaOH kurang memberikan peran penting dalam mengurangi kandungan Fe dan Mn sesuai baku mutu walaupun terlihat NaOH menurunkan sedikit kadar kedua logam namun tidak signifikan. Kekurangan lainnya adalah NaOH memiliki harga yang relative mahal. 5.5.2. Penentuan Dosis pH adjuster (NaOH) Skala Lapangan Dari hasil analisa di laboratorium menunjukkan bahwa pH adjuster berpengaruh dalam pengolahan air asam tambang. Penggunaan pH adjuster untuk pengelolaan pada KPL Tungkal dapat dihitung : Tabel 5.3. Hasil perhitungan dosis pH adjuster skala lapangan Dosis pH adjuster Dosis pH adjuster (ml/l)
0,005
52
Density pH adjuster (g/cm3) Dosis pH adjuster (kg/liter) Debit total kolam (m3/jam) Dosis pH adjuster berdasarkan debit kolam (kg/hari) Dosis pH adjuster berdasarkan debit kolam (liter/hari)
2,13 0,00001065 98229,54 1046,145 491,148
Hasil pengujian di laboratium PTBA didapatkan dosis pH adjuster (NaOH) sebanyak 0.005 ml untuk pengelolaan 1 liter sampel sehingga jika dikonversikan ke dalam skala lapangan pada KPL Tungkal yang memiliki debit air sebesar 98229,54
m
3
/hari membutuhkan pH adjuster (NaOH)
sebanyak 491,148 liter dalam sehari. 5.6. Penentuan Dosis Tawas Pada pengujian penambahan tawas (Al2(SO4)3) untuk perubahan pH, Fe, Mn dan TSS dilakukan dengan sampel dengan pembagian 1 sampel sebelum jartest dan 3 sampel setelah jartest. Sampel sebelum jartest adalah sampel yang langsung di dapatkan di lapangan atau sampel murni, sedangkan sampel setelah jartest adalah sampel yang telah dilakukan penambahan tawas. Penambahan tawas sendiri dilakukan setelah sampel AAT di ambil sebanyak 500 ml. Proses jartest pada sampel dilakukan dengan kecepatan 150 rpm selama 5 menit kemudian sampel diendapkan selama 3 menit barulah diuji nilai TSS dan pH nya. Dari ketiga sampel jartest tersebut kemudian dipilih salah satu memiliki dosis paling sesuai dan mendekati dengan BML. 5.6.1 Hasil Pengujian Dosis Tawas (Al2(SO4)3) Skala Laboratorium Tabel 5.12. Hasil Uji Tawas terhadap pH Dosis (ml/l) 0,03
pH awal 6,71
pH 5,43
BML Min 6
BML Max 9
Tabel 5.13. Hasil Uji Tawas terhadap Total Suspended Solid (TSS)
53
Dosis (ml/l) 0,03
TSS awal 2451
TSS 41,6
BML 300
Tabel 5.14. Hasil Uji Tawas terhadap logam Fe Dosis (ml/l) 0,03
Fe awal 20,9388
Fe 16,7404
BML 7
Tabel 5.15. Hasil Uji Tawas terhadap logam Mn Dosis (ml/l) 0,03
Mn awal 4,4599
Mn 2,9626
BML 4
Tawas (Al2(SO4)3) merupakan salah satu zat penjernih air. Tawas berfungsi sebagai penjernih air karena dapat mengikat koloid dalam air. Dalam air, senyawa tawas akan larut sempurna melepaskan kation aluminium (Al3+) dan anion (SO42-). Kation dan anion tersebutlah yang bertugas menetralkan muatan pada permukaan partikel tersuspensi sehingga pengendapan bisa segera terjadi. Dengan meggunakan tawas dapat mempersingkat waktu pengendapan lumpur. Dari hasil uji jartest di laboratorium, dosis tawas sebesar 0,03 gram per liter dapat menurunkan nilai pH, TSS, Fe dan Mn sekaligus. Penambahan tawas mengakibatkan penurunan pH pada AAT karena sifat dari tawas ketika bereaksi dengan air akan menghasilkan asam kuat yaitu H 2SO4 sehingga pH AAT akan menurun secara drastis, sesuai reaksi berikut: Al2(SO4)3 Tawas
+
H2O
H2SO4
Air
Asam Sulfat
5.6.2. Penentuan Dosis Tawas Skala Lapangan
+
2 Al2O3 Alumunium Oksida
54
Table 5.16. Hasil Perhitungan Dosis Tawas Skala Lapangan Dosis Tawas 0,01 5
Dosis Tawas (gram/liter) Dosis Tawas (kg/ m3 ) Debit total kolam ( m3 /hari) Dosis tawas berdasarkan debit kolam (kg/hari)
0,03 0,03 98229,54 2946,886
Hasil pengujian di laboratium PTBA didapatkan dosis tawas (Al2(SO4)3) sebanyak 0,03 ml untuk pengelolaan 1 liter sampel sehingga
jika dikonversikan ke dalam skala lapangan pada KPL Tungkal yang memiliki debit air sebesar 98229,54
m
3
/hari
membutuhkan tawas
sebanyak 2946,886 kg dalam sehari. 5.7. Penentuan Dosis Kuriflock Pada pengujian penambahan kuriflock untuk perubahan pH, Fe, Mn dan TSS dilakukan dengan sampel dengan pembagian 1 sampel sebelum jartest dan 3 sampel setelah
jartest. Sampel sebelum jartest
adalah sampel yang langsung di dapatkan di lapangan atau sampel murni, sedangkan sampel setelah jartest adalah sampel yang telah dilakukan penambahan kuriflock. Penambahan kuriflock sendiri dilakukan setelah sampel AAT di ambil sebanyak 500 ml. Proses jartest pada sampel dilakukan dengan kecepatan 150 rpm selama 5 menit kemudian sampel diendapkan selama 3 menit barulah diuji nilai TSS dan pH nya. Dari ketiga sampel jartest tersebut kemudian dipilih salah satu memiliki dosis paling sesuai dan mendekati dengan BML.
55
5.7.1. Hasil Pengujian Dosis Kuriflock Skala Laboratorium Tabel 5.17. Hasil Uji Dosis Kuriflock terhadap pH Dosis (gr/l) 0,03
pH awal 6,71
pH 6,83
BML Min 6
BML Max 9
Tabel 5.18. Hasil Uji Dosis Kuriflock terhadap Total Suspended Solid (TSS) Dosis (gr/l) 0,03
TSS awal 2451
TSS 10,8
BML 300
Tabel 5.19. Hasil Uji Dosis Kuriflock terhadap Logam Fe Dosis (gr/l) 0,03
Fe awal 20,9388
Fe 24,4182
BML 7
Tabel 5.20. Hasil Uji Dosis Kuriflock terhadap Logam Mn Dosis (gr/l) 0,03
Mn awal 4,4599
Mn 4,7772
BML 4
Kuriflock berfungsi mengikat partikel-partikel kecil dan koloid yang tumbuh dan mengendapkan kotoran dalam air. Kuriflock bekerja efektif dalam menurunkan nilai TSS namun tidak dengan pH, logam Fe dan Mn. Dengan dosis 0,03 gram per liter kuriflock hanya menaikkan pH sebesar 0,12 saja. Sedangkan dari hasil pengujian logam, kuriflock justru menaikkan kadar Fe dan Mn. Kekurangan kuriflock lainnya adalah memiliki harga yang relatif mahal. Namun, ketika proses pengendapan kuriflock termasuk kategori zat yang memiliki kemampuan cepan mengendapkan lumpur. 5.7.2. Penentuan Dosis Kuriflock Skala Lapangan Tabel 5.21. Hasil Perhitungan Dosis Kuriflock Skala Lapangan Dosis Kuriflock Dosis Kuriflock (gram/liter) Dosis Kuriflock (kg/ m3 )
0,015
0,03 0,03
56
Debit total kolam ( m3 /hari) Dosis Kuriflock berdasarkan debit kolam (kg/hari)
98229,54 2946,886
Hasil pengujian di laboratium PTBA didapatkan dosis kuriflock sebanyak 0,03 gram untuk pengelolaan 1 liter sampel sehingga jika dikonversikan ke dalam skala lapangan pada KPL Tungkal yang memiliki debit air sebesar 98229,54 m3 /hari membutuhkan tawas sebanyak 2946,886 kg dalam sehari
BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Berdasarkan data dan hasil analisis
yang telah
kami peroleh dapat
disimpulkan bahwa: 1. Air asam tambang terbentuk dari mineral-mineral sulfida yang terkandung dalam
batuan
terpapar
sebagai
akibat
pembukaan
lahan
atau
pembongkaran batuan pada saat penambangan berlangsung dan bereaksi dengan air dan oksigen. 2. Sumber – sumber air asam tambang berasal dari penimbunan, galian, stockpile batubara dan perumahan penduduk. 3. Pengelolaan air asam tambang di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk dengan metode aktif menggunakan bahan kimia yaitu kapur tohor, pH aduster (NaOH), tawas dan kuriflock. Sedangkan bahan kimia yang digunakan di KPL Tungkal hanya pH aduster (NaOH) dan tawas. 4. Berdasarkan pengujian laboratorium dengan metode jartest untuk menaikkan pH sebesar 0,7 dan menurunkan TSS dari 2451 mg/liter menjadi 20,8 mg/liter membutuhkan dosis kapur tohor 0,004 gram/liter sedangkan dalam skala lapangan membutuhkan 392,918 kg/hari dengan debit total kolam 98229,54 m3 /hari. 5. Berdasarkan pengujian laboratorium dengan metode jartest untuk menaikkan pH sebesar 0,65 dan menurunkan TSS dari 2451 mg/liter menjadi 8,4 mg/liter membutuhkan dosis NaOH 21% sebanyak 0,005
57
58
ml/liter sedangkan dalam skala lapangan membutuhkan 491,148 liter/hari dengan debit total kolam 98229,54 m3 /hari. 6. Berdasarkan pengujian laboratorium dengan metode jartest untuk menurunkan pH sebesar 1,28 dan menurunkan TSS dari 2451 mg/liter menjadi 41,6 mg/liter membutuhkan dosis tawas 0,03 gram/liter sedangkan dalam skala lapangan membutuhkan 2946,886 kg/hari dengan debit total kolam 98229,54 m3 /hari. 7. Berdasarkan pengujian laboratorium dengan metode jartest untuk menaikkan pH sebesar 0,12 dan menurunkan TSS dari 2451 mg/liter menjadi 10,8 mg/liter membutuhkan dosis kuriflock 0,03 gram/liter sedangkan dalam skala lapangan membutuhkan 2946,886 kg/hari dengan debit total kolam 98229,54 m3 /hari. 6.2. Saran 1. Perlu adanya mixer di setiap KPL agar pencampuran bahan kimia dengan air asam tambang lebih efektif dan dapat berjalan kontinyu. 2. Perlunya data Total Suspended Solid (TSS) pada papan titik pantau supaya TSS dapat terkontrol setiap harinya. 3. Untuk mengurangi kadar loga Fe dan Mn diperlukan bahan yang tidak mempengaruhi pH dan tidak membutuhkan waktu yang lama seperti metode pasif. 4. Perlu dilakukan pengujian kualitas air pada setiap kompartemen agar diketahui perbandingan kualitas air antara inlet, setiap kompartemen dan outlet.
59