Bab 1-3 Fix Bismillah.docx

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 1-3 Fix Bismillah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,196
  • Pages: 53
PENGARUH STRUKTUR MODAL DAN STRUKTUR ASET TERHADAP POTENSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN UKURAN PERUSAHAAN SEBAGAI VARIABEL MODERASI (Studi Kasus pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang Terdaftar di BEI periode 2014-2017)

DISUSUN OLEH : MUSDALIFA MASKUR 20150410365

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2018

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini perkembangan ekonomi khususnya di dunia bisnis semakin menunjukkan keunggulannya. Semua perusahaan bersaing mulai dari sektor industri berskala kecil hingga berskala besar dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atau memaksimalkan profit. Perusahaan dalam meningkatkan daya saingnya harus menghasilkan produk dan jasa yang bermanfaat dan berkualitas, serta terus melakukan inovasi dan perluasan usaha, agar perusahaan tersebut dapat menjalankan, mengembangkan serta mempertahankan usahanya. Dalam proses mencapai hal tersebut perusahaan seringkali diperhadapkan dengan berbagai macam permasalahan, tantangan dan risiko, sehingga banyak perusahaan yang tidak dapat bertahan bahkan mengalami financial distress hingga kebangkrutan. Financial distress adalah suatu kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan keuanganyang dapat berujung pada kebangkrutan. Perusahaan yang mengalami kondisi financial distress tentu saja berakibat tidak baik bagi perusahaan, karena kondisi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban finansialnya saat jatuh tempo atau melakukannya dengan kesulitan (Andrade & Kaplan, 1998). Kondisi financial distress merupakan tahapan awal dari terjadinya kebangkrutan suatu perusahaan. Sehingga perusahaan perlu mencegah hal-hal yang dapat memicu terjadinya potensi financial distress. Perusahaan dalam

2

mencegah terjadinya kondisi financial distress tentu saja membutuhkan suatu pengendalian manajemen yang baik untuk mempertahankan dan untuk mencapai tujuan usahanya. Contoh bentuk pengendalian manajemen yang dapat dilakukan yaitu terkait dengan kebijakan struktur modal dan struktur aset suatu perusahaan. Kebijakan terkait struktur modal dan stuktur aset memainkan peran penting dalam menentukan kondisi suatu perusahaan baik itu bersifat jangka pendek maupun jangka panjang (Rajan & Zingales, 1995), karena struktur modal dan struktur aset tersebut terkait dengan pembiayaan dan kekayaan (aset) yang dimiliki oleh perusahaan. Apabila perusahaan dapat mengelola dan menghandle dengan baik sumber pembiayaan dan asetnya maka perusahaan tersebut dapat berada pada kondisi yang baik-baik saja atau bahkan lebih berkembang dari sebelumnya, sebaliknya apabila perusahaan tidak dapat melakukannya dengan baik maka kondisi financial distress bisa saja dialami oleh perusahaan tersebut. Memba & Nyanumba (Memba & Nyanumba, 2013) menyatakan bahwa struktur modal merupakan salah satu penyebab utama kesulitan keuangan pada perusahaan. Oleh karena itu diperlukan penerapan struktur modal yang optimal sehingga dapat meminimalisir terjadinya potensi financial distress. Berbeda dengan Memba dan Nyanumba (2013), penelitian yang dilakukan oleh (Ebaid, 2009) dimana hasil penelitianya menyatakan bahwa struktur modal tidak berpengaruh terhadap financial distress.

3

Kebijakan struktur modal itu sendiri merupakan kebijakan mengenai perpaduan dari berbagai bentuk pembiayaan yang digunakan oleh perusahaan untuk mendanai kegiatan operasinya (Fabozzi & Drake, 2009). Selain itu struktur modal juga merupakan suatu permasalahan yang penting bagi perusahaan karena struktur modal ini memberikan efek langsung terhadap kondisi finansial perusahaan. Pada penelitian kali ini struktur modal diproksikan kedalam beberapa rasio, yaitu Financial Leverage, Long Term Debt dan Equity Structure. Financial Leverage (hutang) merupakan bentuk pembiayaan yang digunakan oleh perusahaan. Leverage berasal dari aktifitas penggunaan dana perusahaan dari pihak ketiga. Penggunaan hutang atau leverage yang besar selain dapat membantu perusahaan dalam membiayai kegiatan operasionalnya juga dapat berisiko yang tinggi bagi perusahaan. Perusahaan memiliki beban pokok dan bunga yang besar yang harus dibayar apabila menggunakan hutang yang besar pula. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko yang dihadapi oleh perusahaan,

yaitu

ketidakmampuan

perusahaan

dalam

memenuhi

kewajibannya pada tanggal jatuh tempo yang pada akhirnya kemungkinan terjadinya financial distress akan semakin tinggi. (Platt & Platt, 2002) melakukan penelitian yang membuktikan bahwa adanya pengaruh positif dan signifikan rasio leverage pada terjadinya financial distress. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Ahmad, 2012) yang membuktikan bahwa

rasio

leverage

berpengaruh

positif

dan

signifikan

terhadap

kemungkinan terjadinya financial distress. Hasil peneletitian yang sejalan juga

4

dilakukan oleh Ardian, Andini, & Raharjo (2016), Andre (2013), Wardana (2013) (dalam Ardian, Andini, & Raharjo, 2016). Berbeda dengan hasil penelitian Platt dan Platt (2002) dan Ahmad (2012), penelitian (Alifiah, Salamudin, & Ahmad, 2012), justru membuktikan bahwa adanya pengaruh negarif dan signifikan rasio leverage pada kemungkinan terjadinya financial distress suatu perusahaan. Hasil penelitian yang sama juga dilakukan oleh Widyawati (2014) (dalam Ardian, Andini, & Raharjo, 2016), penelitian Widhiari (dalam Putri & Merkusiwati, 2014) dan penelitian Kariani & Budiasih (2017) yang menunjukkan bahwa leverage tidak signifikan dalam mempengaruhi adanya potensi financial distress. Perusahaan dalam menggunakan hutang perlu memerhatikan maturitas dari hutang tersebut, apakah hutang tersebut memiliki jatuh tempo yang panjang atau jatuh tempo yang pendek. Menurut penelitian yang dilakukan Barclay, Heitzman, & Smith (1995) yang menyatakan bahwa apabila perusahaan memilih hutang sebagai sumber financial perusahaannya, maka perusahaan juga dihadapkan pada keputusan untuk menentukan pilihan tentang jatuh tempo hutang tersebut secara bersama-sama (simultan). Muigai (2013) selama bertahun-tahun, studi empiris telah menunjukkan bahwa kombinasi hutang jangka pendek dan jangka panjang memengaruhi kesulitan keuangan perusahaan secara berbeda. Schiantarelli & Sembenelli (1997) menyelidiki hubungan antara debt maturity (struktur jatuh tempo utang) dan kinerja perusahaan di Inggris dan perusahaan Italia yang diukur dengan rasio arus kas terhadap modal. Dengan menggunakan data panel,

5

mereka menemukan bahwa perusahaan yang menggunakan lebih banyak hutang jangka panjang (long term debt) dibandingkan dengan hutang jangka pendek (short term debt) cenderung berkinerja lebih baik daripada perusahaan dengan proporsi yang lebih tinggi dari hutang jangka pendek. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharpe (1991) yang juga menunjukkan bahwa ketika sebuah perusahaan didanai dengan hutang jangka pendek risikonya lebih besar yaitu saat pihak yang memberi pinjaman (kreditur) mendapati bahwa perusahaan dalam keadaan tidak menguntungkan untuk memberikan perpanjangan pinjaman, para pemberi pinjaman akan memaksa perusahaan ke kondisi likuidasi. Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) yang menyatakan bahwa penggunaan hutang jangka panjang dapat merugikan perusahan dan memicu terjadinya financial distress. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan hutang jangka panjang berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan yang diproksikan sebagai profitabilitas (laba) sehingga penggunaa long term debt tersebut dapat menurunkan profitabilitas pada perusahaan dan menyebabkan risiko financial ditress semakin tinggi. Equity structure

dalam hal ini dimaksudkan sebagai sumber modal

internal atau pembiayaan internal. Forsaith & McMahon (2002) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai sumber pendanaan mempengaruhi kondisi pertumbuhan perusahaan mereka. Hasil penilitian tersebut

menunjukkan

bahwa

ekuitas

internal

meningkatkan

tingkat

pertumbuhan, sedangkan ekuitas eksternal tidak menguntungkan bagi

6

perusahaan. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Park & Pincus (2001) yang meneliti 195 perusahaan Amerika Serikat yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana struktur ekuitas mempengaruhi kondisi perusahaan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio ekuitas eksternal dan internal secara signifikan dan secara positif mempengaruhi kondisi perusahaan. Implikasinya adalah bahwa perusahaan dengan proporsi modal internal yang lebih tinggi memperoleh laba per saham yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki modal internal minimal. Namun temuan ini kontras dengan penelitian yang dilakukan oleh Margaritis & Psillaki (2007) yang meneliti dari 113 perusahaan Yunani dan menyimpulkan bahwa sumbersumber pembiayaan ekuitas tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi perusahaan. Struktur Asset mengambarkan proporsi atau perbandingan antara total asset tetap (tangible asset) yang dimiliki oleh perusahaan dengan total asset perusahaan (Joni & Lina, 2010). Menurut Maina & Ishmail (2014), tingkat tangibility aset memberikan informasi tentang struktur modal perusahaan karena

dapat

diintrepetasikan

sebagai

kapasitas

agunan

untuk

mempertahankan hutang oleh perusahaan. Perusahaan dengan tangibility rendah memiliki kapasitas agunan yang rendah dan oleh karena itu tingkat mempertahankan hutang perusahaan juga rendah. Menurut Muigai (2013), bahwa tangible asset memengaruhi kesulitan keuangan perusahaan dengan cara yang berbeda, perusahaan yang mempertahankan sebagian besar investasi aset mereka dalam bentuk tangible asset kurang rentan mengalami financial

7

distress. Penulis beralasan bahwa perusahaan yang seperti itu memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menghasilkan volume produk yang lebih besar dan menghasilkan lebih banyak pendapatan penjualan. Dengan demikian, perusahaan seperti itu dapat tetap menguntungkan dalam jangka panjang. Namun dalam penelitian lain, Campello & Giambona (2010) menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat tangibility lebih tinggi lebih tertekan daripadamereka yang menjaga aset mereka dalam bentuk cair. Para penulis berpendapat bahwa kreditor biasanya melihat aset berwujud menjadi lebih tidak likuid dan karena itu sulit untuk menarik kembali jika terjadi gagal bayar. Dalam keadaan seperti itu, akan sulit bagi perusahaan untuk mengakses pembiayaan hutang dari pemberi pinjaman; yang akibatnya menghambat produktivitas mereka. Selain menggunakan rasio leverage, long term debt, equity structure dan strukter aset, financial distress juga dapat

dilihat melalui ukuran

perusahaannya. Dalam penelitian kali ini ukuran perusahaan dijadikan sebagai variabel moderasi yang diduga ikut memperkuat atau memperlemah pengaruh hubungan antara financial leverage, long term debt, equity structure dan struktur aset terhadap potensi terjadinya financial distress. Ukuran perusahaan dapat diartikan sebagai seberapa besar jumlah aset yang dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan akan lebih mampu menghadapi ancaman financial distress jika perusahaan tersebut mempunyai jumlah aset yang besar, walaupun dalam negara tempat perusahaan tersebut didirikan sedang mengalami krisis keuangan. Hal ini dibuktikan oleh Fitdini (2009)

8

bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Namun hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gobenvy (2014), yang dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa ukuran perusahaan tidak cukup signifikan untuk memprediksi adanya potensi perusahaan mengalami financial distress. Mukaromah & Amboningtyas (2016) juga melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan terhadap prediksi terjadinya financial distress dengan profitabilitas sebagai variable intervening. Hasil

penelitiannya

menunjukkan

bahwa

ukuran

perusahaan

tidak

berpengaruh terhadap prediksi financial distress. Para peneliti tersebut mengungkapkan bahwa perusahaan yang berukuran besar (total asetnya) memungkinkan menggunakan sumber pembiayaannya dari luar sehingga mengakibatkan kewajiban yang ditanggung oleh perusahaan lebih besar. Oleh sebab itu menurut mereka bahwa ukuran perusahaan yang besar tidak berpengaruh dalam menurunkan risiko terjadinya financial distress. Hasil penelitian yang dilakukan Mukaromah dan Amboningyas (2016) berbeda dengan penelitian Jónsson (2008) yang mempelajari hubungan antara financial distress dan ukuran perusahaan yang beroperasi di Islandia. Peneliti tersebut mengamati bahwa meskipun perusahaan besar memiliki tingkat pembiayaan utang yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil, tetapi mereka mampu menegosiasikan suku bunga yang lebih rendah atas utang; yang mengakibatkan perbaikan financial distress.

9

Penelitian mengenai potensi terjadinya financial distress ini dilakukan mengingat pentingnya mengetahui hal-hal yang dapat memicu terjadinya kondisi financial distress pada perusahaan sehinggaperusahaan dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengantisipasi adanya risiko kebangkrutan yang terjadi dimasa yang akan datang. Selain itu penelitianpenelitian terdahulu ternyata masih menunjukkan adanya perbedaan hasil. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan teori yang mendasari penelitian, perbedaan sampel yang digunakan antar peneliti serta pengukuran yang digunakan berbeda. Hasil penelitian-penelitian terdahulu yang belum konsisten tersebut yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian kembali terkait pengaruh struktur modal dan struktur aset terhadap potensi financial distress. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis ingin menganalisis pengaruh struktur modal

yang diprosikan sebagai

financial leverage, long term debt dan equity structure serta pengaruh struktur aset terhadap potensi financial distress dan menambahkan ukuran perusahaan sebagai variabel moderasi. Maka dari itu penulis mengambil topik penelitian dengan judul “PENGARUH STRUKTUR MODAL DAN STRUKTUR ASET TERHADAP POTENSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN UKURAN PERUSAHAAN SEBAGAI VARIABEL MODERASI” (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2017).

10

B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Apakah financial leverage berpengaruh positif signifikan terhadap financial distress? 2. Apakah long term debt berpengaruh negatif signifikan terhadap potensi financial distress? 3. Apakah equity structure berpengaruh negatif signifikan terhadap potensi financial distress? 4. Apakah struktur aset berpengaruh negatif signifikan terhadap potensi financial distress? 5. Apakah ukuran perusahaan memoderasi hubungan antara financial leverage, longterm debt, equity structure dan struktur aset terhadap financial distress?

C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis pengaruh financial leverage terhadap potensi financial distress. 2. Untuk menganalisis pengaruh longterm debt terhadap potensi financial distress. 3. Untuk menganalisis pengaruh equity structure terhadap potensi financial distress.

11

4. Untuk menganalisis pengaruh struktur aset terhadap potensi financial distress. 5. Untuk menganalisis peran ukuran perusahana dalam memoderasi hubungan antara financial leverage, longterm debt, equity structure, dan struktur aset terhadap potensi financial distress. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis a. Bagi perusahaan, hasil penelitian diharapkan dapat memberi kontribusi dan manfaat bagi perusahaan khususnya perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI, agar dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan–tindakan perbaikan segera mungkin jika telah melihat indikasi bahwa perusahaan mengalami financial distress. b. Bagi investor, dengan penelitian ini dapat membantu para investor dalam mengambil keputusan untuk mempertimbangkan pengaruh struktur modal dan aset terhadap potensi financial distress, sehingga keputusan yang diambil bisa tepat dalam menginvestasikan dananya. 2. Manfaat Teoritis Bagi akademis, memberikan wawasan tentang pengaruh struktur modal dan struktur aset terhadap potensi financial distress dan penelitian ini bisa dijadikan salah satu sumber referensi mengenai financial distress, serta dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.

12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Financial distress a. Pengertian Financial Distress Menurut Ross et al. (dalam Setyobudi, Amboningtyas, & Yulianeu, 2016) financial distress adalah ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan kata lain perusahaan mengalami insolvency. Hal tersebut dapat terjadi apabila total kewajiban yang dimiliki perusahaan lebih besar daripada total asset yang dimiliki, dan apabila perusahaan tidak mampu mencapai tujuan ekonominya yaitu, memaksimalkan profit. Sehingga dengan begitu perusahaan dapat mengalami financial distrees hingga kebangkrutan. Hal ini sejalan dengan pendapat Mamduh (dalam Muthmainnah, 2016) yang menyatakan bahwa kondisi financial distress merupakan kondisi kontinum yang diawali dari kondisi ringan yaitu kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek (likuiditas) hingga kondisi berat atau yang lebih serius yaitu tidak solvable. Financial distress merupakan akibat dari adanya kegagalan dari pengelolaan bisnis atau yang disebut sebagai mismanagement (Rodoni & Ali, 2010). Seringkali perusahaan dalam mengelola bisnis atau usahanya diperhadapkan berbagai tantangan dan risiko, apabila perusahaan tidak mampu menghadapi tantangan dan risoko tersebut

13

dengan baik, maka perusahaan akan mengalami kondisi financial distress. Berdasarkan beberapa penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan financial distress adalah kondisi suatu perusahaan yang mengalami penurunan kinerja yang berdampak kerugian hingga tidak mampu dalam mengembalikan atau memenuhi kewajiban-kewajibannya, yang pada akhirnya akan mengalami kebangrutan. Namun, bukan berarti perusahaan yang mengalami financial distresss akan berkahir pada kebangkrutan. Oleh karena itu, kondisi financial distress tidak boleh diremehkan begitu saja melainkan harus diantisipasi sedini mungkin.

b. Faktor-faktor yang Menyebabkan Financial Distress Secara umum penyebab terjadinya kondisi financial distress pada perusahaan yaitu buruknya pengelolaan manjemen perusahaan, namun kenyataannya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi financial distress sangatlah bervariasi. Menurut Rodoni & Ali (2010) terdapat tiga kondisi yang dapat menyebabkan financial distress apabila ditinjau dari aspek keuangan, yaitu: 1. Ketidakcukupan atau kekurangan modal akibat ketidakseimbangan antara penerimaan uang dan pengeluaran dana untuk membiayai kegiatan operasi perusahaan.

14

2. Besarnya beban hutang dan bunga akibat struktur modal yang tidak optimal. 3. Menurunnya pendapatan atau laba bersih yang mengakibatkan perusahaan menderita kerugian karena tidak mampu menutupi biaya yang dikeluarkan. Adapun menurut Darsono dan Ashari (dalam Mukaromah & Amboningtyas, 2016) penyebab terjadinya kondisi financial distress dibagi kedalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal penyebab kebangkrutan adalah sebagai berikut: a. Manajemen yang tidak efisien. Manajemen yang tidak efisien dapat mengakibatkan kerugian yang pada akhirnya berakibat pada ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban perusahaan. Selain tidak mampu dalam memenuhi kewajiban, perusahaan yang pengelolaan manajemennya tidak efisien juga

tercermin

pada

ketidakmampuan

untuk

menghindarkan

timbulnyaberbagai permasalahan pada operasional perusahaan yang ditandai oleh keadaan berikut: 1) Hasil penjualan yang tidak memadai Kondisi seperti ini biasanya diakibatkan dari rendahnya kualitas barang yang dijual di pasaran dan buruknya pelayanan yang diberikan kepada calon konsumen, kegiatanpromosi yang kurang terarah, daerah pemasaran yang kurang strategis dan departemen bagian penjualan yang tidak kompeten.

15

2) Kesalahan dalam menetepkan harga jual Kesalahan dalam menentukan harga jual produk atau jasa terjadi apabila harga jual yang ditetapkan ternyata terlalu rendah dalam hubungannya dengan harga pokok produksi/pengadaan jasa. Karena dengan adanya kondisi tersebut, perusahaan akan menderita kerugian atau menghasilkan laba yang sangat kecil dari penjualan atas barang atau jasa tersebut. b. Ketidakseimbangan modal kerja dengan total hutang piutang yang dimiliki. Penggunan hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar juga sehingga hal tersebut dapat memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan. c. Moral hazard oleh perusahaan. Dalam hal ini yaitu adanya kecurangan atau penyimpangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan yang bisa mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini bisa berbentuk manajemen yang korup ataupun memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor. Faktor eksternal penyebab kebangrutan adalah sebagai berikut: 1. Tidak memerhatikan keinginan pelanggan yang beranekaragam. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut perusahaan

16

harus selalu memerhatikan dan mengantisipasi setiap kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan tersebut. 2. Kesulitan bahan baku, yang diakibatkan oleh supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu pemasok sehingga risiko kekurangan bahan baku dapat diatasi. 3. Menjaga dan mengantisipasi para debitor agar tidak melakukan kecurangan. Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan dengan mengemplang hutang. Terlalu banyak piutang yang diberikan debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur

yang

tidak

memberikan

penghasilan

sehingga

mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dan keadaan debitor supaya bisa melakukan perlindungan dini terhadap aktiva perusahaan. 4. Tidak harmonisnya hubungan dengan kreditor. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat fatal terhadap keberlangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam undang-undang no.4 tahun 1998, yang menyatakan kreditor bisa memailitkan

17

perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harusbisa mengelola hutangnya dengan baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditor. 5. Persaingan bisnis yang semakin ketat. Persaingan yang semakin ketat tersebut menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi pelanggan.

c. Manfaat Informasi Mengenai Financial Distress Platt & Platt (2002) menyatakan kegunaan informasi jika suatu perusahaan memiliki potensi mengalami financial distress adalah: 1.

Dapat mempercepat langkah atau tindakan manajemen untuk mencegah

permasalahan

yang

ada

sebelum

terjadinya

kebangkrutan. 2. Pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau takeover agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan baik. 3.

Memberikan tanda peringatan awal adanya kebangkrutan pada masa yang akan datang.

18

2. Financial Leverage a. Pengertian Financial Leverage Menurut Wiagustini (2010) dalam Putri & Merkusiwati (2014) Financial Leverage dapat diartikan sebagai kemampuan suatu perusahaan dalam melunasi hutangnya, baik itu hutang jangka pendek maupun jangka panjang. Leverage timbul dari aktifitas penggunaan dana perusahaan dari pihak ketiga dalam bentuk hutang. Analisis terkait leverage diperlukan apabila pada suatu saat perusahaan dilikuidasi ((Sigit, 2008) dalam Erawati (2016)). Financial

leverage

atau

ratio

leverage

yaitu

mengukur

perbandingan dana yang disediakan oleh pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur perusahaan tersebut. Leverage menjadi indikasi efisiensi kegiatan bisnis perusahaan, serta pembagian risiko usaha antara pemilik perusahaan dan para pemberi pinjaman atau kreditur. Beberapa jenis hutang seperti hutang jangka pendek, menengah dan jangka panjang hampir mempunyai beban bunga untuk ditanggung perusahaan.Semakin kecil jumlah pinjaman berbunga semakin kecil pula beban bunga kredit yang ditanggung perusahaan, begitu pula dengan sebaliknya.

b. Jenis-jenis Financial Leverage 1.

Total Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang terhadap Ekuitas)

19

Merupakan perbandingan antara hutang-hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri, perusahaan untuk memenuhi kewajibannya.

2. Total Debt to Total Assets Ratio (Rasio Hutang terhadap Total Aktiva) Rasio ini merupakan perbandingan antara hutang lancar dan hutang jangka panjang dan jumlah seluruh aktiva diketahui. Rasio ini menunjukan beberapa bagian dari keseluruhan aktiva yang dibelanjai oleh hutang. 3. Long term Debt Antoniou, Guney, & Paudyal (2006) menyatakan bahwa long term debt (hutang jangka panjang) memiliki periode jatuh tempo melebihi satu tahun dari tanggal pelaporan. Jatuh temponya dapat terjadi dalam 1,5 tahun, 2 tahun atau bahkan sampai dengan 5 tahun. Long term debt yang pada dasarnya merupakan kewajiban tidak lancar termasuk: hutang obligasi, pajak tangguhan serta kewajiban manfaat pensiun (Vermoesen, Deloof, & Laveren, 2013). Penggunaan long term debt ini dapat digunakan oleh perusahaan untuk melakukan investasi jangka panjang. Sebagai contoh ketika perusahaan ingin melakukan perluasan usaha maka perusahaan memerlukan dana besar untuk membelanjai perluasan pabrik, tambahan perlengkapan atau modal kerja (Dewi, 2011).

20

Menurut (Nadira & Rustam, 2013) hutang jangka panjang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: a.

Hutang Hipotik Hutang yang hipotik adalah hutang yang harus dijamin dengan harta bergerak, berkaitan dengan perolehan dana dari pinjaman yang dijaminkan dengan harta tetap.

b.

Wesel Bayar Jangka Panjang Wesel bayar jangka panjang sama seperti obligasi yaitu memiliki substansi yang sama dimana keduanya memiliki jatuh tempo yang tetap dan suku bunga yang ditetapkan atau implisit.

4. Equity Structure Equity structure merupakan dana yang dihasilkan secara internal dan yang digunakan dalam membiayai operasi bisnis perusahaan atau dengan kata kata lain sebagai sumber modal internal atau pembiayaan internal (Bender, 2013). Dana atau modal internal adalah modal yang berasal dari dalam perusahaan. Modal internal salah satunya dapat berasal dari laba ditahan. Besarnya laba yang ditahan atau yang dicadangkan tergantung dari besarnya laba yang diperoleh pada periode tertentu dan tergangtung pada kebijakan dividen perusahaan tersebut. Menurut (Riyanto, 2001) modal internal atau modal sendiri adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan juga tertanam dalam perusahaan untuk waktu yang tidak terbatas. Dengan kata lain modal sendiri merupakan modal yang dihasilkan atau dibentuk dalam perusahaan

21

atau keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Modal sendiri dalam perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas terdiri dari modal saham dan laba ditahan (retained earning). 5. Struktur Aset Struktur aset mengambarkan proporsi atau perbandingan antara total asset tetap yang dimiliki oleh perusahaan dengan total asset perusahaan (Joni & Lina, 2010). Pengertian lainnya yaitu, menurut Delcoure (dalam Mas’ud, 2009) struktur asset mencerminkan seberapa besar asset tetap mendominasi komposisi kekayaan atau asset yang dimiliki perusahaan. Selain itu, struktur asset (tangibility) ini atau lebih dikenal sebagai tangible assets menunjukkan komposisi relatif asset tetap yang dimiliki oleh perusahaan (Febriyani & Srimindarti, 2010). Struktur aset merupakan salah salah satu faktor yang penting dalam menentukan kondisi suatu perusahaan, karena apabila perusahaan dihadapkan pada kondisi kesulitan keuangan dalam membayar hutangnya, aset-aset berwujud atau asset tetap yang dimiliki perusahaan dapat bertindak sebagai jaminan dalam memberikan jaminan kepada pihak luar yang memberikan pinjaman (Febriyani & Srimindarti, 2010). 6. Ukuran Perusahaan Menurut Ferry dan Jones (Sujiyanto, 2001) ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang ditunjukkan oleh total aktiva, jumlah, rata-rata penjualan dan rata-rata total aktiva. Ukuran

22

perusahaan berarti ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Ukuran perusahaan juga merupakan seberapa besar perusahaan tersebut dikenal dan seberapa besar produk yang ditawarkan memberikan pendapatan yang tinggi bagi perusahaan. Dalam literatur keuangan, ukuran perusahaan telah digambarkan sebagai jumlah dan variasi kapasitas produksi dan kemampuan yang dimiliki perusahaan atau jumlah dan variasi layanan yang dapat diberikan perusahaan secara bersamaan kepada pelanggan (Mule, Mukras, & Nzioka, 2015). B. Teori yang digunakan 1. Teori Altman Z-Score Sejumlah studi telah dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan. Salah satu studi untuk dapat mengetahui perusahaan berada dalam kondisi financial distress atau nondistress yang sering digunanakan dalam praktek adalah model Altman Z-Score yang dikembangkan oleh Altman pertama kali pada tahun 1968. Anjum (2012) teori Alman dikeluarkan oleh Edward Altman pada tahun 1968, yang kemudian berkembang menjadi model untuk memprediksi potensi financial distress yang paling banyak digunakan hingga

saat

ini.

Model

ini

merupakan

model

statistikal

yang

mengkombinasikan lima rasio keuangan untuk menghasilkan z-score. Model ini telah terbukti menjadi instrumen untuk memprediksi kebangkrutan dalam berbagai perusahaan.

23

Analisis Kebangkrutan Z-Score adalah suatu alat yang digunakan untuk meramalkan tingkat kebangkrutan suatu perusahaan dengan menghitung nilai dari beberapa rasio lalu kemudian dimasukan dalam suatu persamaan diskriminan, (Kartikawati, 2009) dalam (Ardian, Andini, & Raharjo, 2016). Variabel-variabel atau rasio- rasio keuangan yang digunakan dalam model Altman Z-Score secara

jelas adalah sebagai

berikut (Rudianto, 2009): 1.

Rasio 𝑋1 (Working Capital to Total Assets) Rasio ini mengukur likuiditas dengan membandingkan modal kerja dengan total aset. Modal kerja bersih diperoleh dengan cara aktiva lancar dikurangi dengan kewajiban lancar..

2.

Rasio 𝑋2 (Retained Earnings to Total Assets) Rasio

ini

mengukur

kemampuan

suatau

perusahaan

dalam

memperoleh keuntungan, ditinjau dari kemampuan perusahaan yang bersangkutan dalam memperoleh laba dibandingkan dengan kecepatan perputaran operating assets sebagai ukuran efisiensi usaha. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aktiva perusahaan. 3.

Rasio 𝑋3 (EBIT to Total Assets) Rasio

yang

menunjukkan

kemampuan

perusahaan

untuk

menghasilkan laba dari aktiva perusahaan, sebelum pembayaran bunga dan pajak. Rasio ini menjelaskan pentingnya pencapaian laba

24

perusahaan terutama dalam rangka memenuhi kewajiban bunga para investor. 4.

Rasio 𝑋4 (Market Value of Equity to Book Value of Total Debt) Rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dari nilai pasar modal sendiri (saham biasa). Nilai pasar ekuitas sendiri diperoleh dengan mengalikan jumlah lembar saham biasa yang beredar dengan harga pasar per lembar saham biasa. Nilai buku hutang diperoleh dengan menjumlahkan kewajiban lancar dengan kewajiban jangka panjang.

5.

Rasio 𝑋5 (Sales to Total Assets) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan yang ditunjukkan dengan peningkatan volume penjualan. Berdasarkan kelima rasio ini kemudian oleh Altman dimasukkan ke

dalam analisis multivariate discriminant anlysis (MDA) sehingga menghasilkan suatu

model analisis prediksi kebangkrutan untuk

perusahaan yang telah go public (Munawir, 2010) sebagai berikut: 𝒁𝒊= 1,2𝑿𝟏𝒊 + 1,4 𝑿𝟐𝒊 + 3,3 𝑿𝟑𝒊 + 0,6 𝑿𝟒𝒊 + 1.0 𝑿𝟓𝒊 Dimana: 𝒁𝒊 = Z-score tahun i 𝑿𝟏 = Modal kerja/jumlah harta (Working Capital to Total Assets) 𝑿𝟐 = Saldo laba/jumlah harta (Retained Earning to Total Assets)

25

𝑿𝟑 = EBIT/jumlah harta (Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets) 𝑿𝟒 = Nilai pasar modal sendiri/nilai buku hutang (Market Value of Equity to BookValue of Total Liabilities) 𝑿𝟓 = Penjualan/jumlah harta (Sales to Total Assets) Dengan kriteria penilaian sebagai berikut (Munawir, 2010): a. Z-Score > 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat atau berada pada zona aman sehingga tidak mengalami kesulitan keuangan. b. 1,81< Z-Score < 2,99 berada di daerah abu-abu (grey area) dikategorikan sebagai perusahaan yang kemungkinan terselamatkan dan kemungkinan bangkrut sama besarnya tergantung dari keputusan kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan. c. Z-Score < 1,81 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan yang sangat besar dan beresiko tinggi sehingga kemungkinan bangkrutnya sangat besar. 2. Pecking Order Theory Teori ini dikemukakan oleh Donaldson tahun 1961, namun pandangan ini diperluas oleh Myers (1984) yang kemudian memberikan penamaan Pecking Order Theory pada teori ini. Myers meringkas teori Pecking Order Theory tentang struktur modal dalam empat poin (Keown, 2010) a.

Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan berwujud laba ditahan).

26

b.

Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian dividen yang ditargetkan, dengan berusaha menghindari perubahan pembayaran dividen secara drastis.

c.

Kebijakan dividen yang konstan, fluktuasi probabilitas dan peluang investasi yang tidak dapat diprediksi, maka terkadang aliran kas internal melebihi kebutuhan investasi namun terkadang kurang dari kebutuhan investasi.

d.

Apabila pendanaan dari luar diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu, yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi) jika masih belum mencukupi saham baru diterbitkan. Pecking Order Theory merupakan suatu kebijakan yang ditempuh oleh suatu perusahaan untuk mencari tambahan dana dengan cara menjual aset yang dimilikinya dan dana yang berasal dari laba ditahan. Dalam Pecking Order Theory (Husnan, 2013) perusahaan yang profitabilitasnya tinggi akan menggunakan dana pinjaman yang sedikit. Karena kebutuhan dana sudah tercukupi dari menggunakan sumber dana internal yaitu laba ditahan. Sedangkan perusahaan kurang profitabel akan menggunakan hutang lebih besar.

27

3. Trade Off Theory Trade-off theory merupakan teori yang menjelaskan tentang adanya pertukaran antara manfaat yaitu laba atau keuntungan yang didapatkan dengan risiko yang akan ditanggung (Widyasta, 2017). Pada kenyataannya terdapat banyak hal yang membuat suatu perusahaan tidak dapat menggunakan pendanaan eksternal khususnya utang dengan sebanyak-banyaknya. Satu hal yang perlu diingat adalah dengan semakin besarnya tingkat utang yang digunakan, maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadinya kebangkruta atau financial distress yang dialami oleh suatu perusahaan. Hal tersebut diakibatkan karena semakin besar utang maka semakin besar juga bunga yang harus dibayarkan dan para pemberi pinjaman (kreditur) bisa saja membangkrutkan perusahaan-perusahaan jika tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut (Hanafi, 2004). Esensi

trade

off

theory

dalam

struktur

modal

adalah

menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan hutang masih diperkenankan. Apabila penggunaan hutang sudah lebih besar, maka tambahan hutang sudah tidak diperbolehkan. Penggunaan utang 100% sulit dijumpai dalam praktik dan hal tersebut ditentang oleh trade off theory.

28

C. Hubungan Antarvariabel dan Penurunan Hipotesis 1. Pengaruh Financial Leverage terhadap Financial Distress Berdasarkan trade off theory yang menunjukkan bahwa perusahaan yang menaikkan tingkat hutang atau leverage diatas titik tertentu maka tingkat financial distress

juga akan mulai meningkatdan biaya yang

berhubungan dengan hutang tidak akan lagi menjadi keuntungan bagi perusahaan. Sehingga penggunaan hutang yang besar dapat berisiko yang tinggi bagi perusahaan, yaitu ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya tersebut (financial distress). Penelitian

yang

dilakukan

oleh

Platt

and

Platt

(2002),

membuktikan rasio leverage berpengaruh positif terhadap terjadinya financial distress. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin besar suatu perusahaan didanai oleh hutang, maka semakin besar pula perusahaan tersebut memiliki kemungkinan mengalami financial distress. Hal tersebut terjadi akibat semakin besar tingkat hutang atau kewajiban yang ditanggung oleh perusahaan maka semakin besar pula beban yang dimiliki oleh perusahaan yaitu beban bunga maupun beban pokok dari kewajiban tersebut, sehingga hal ini berarti risiko dalam memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan tersebut semakian besar dan potensi terjadinya financial distress juga akan semakin besar. Penelitian lain juga dilakukan oleh Jiming dan Wei Wei (2011) menunjukkan

bahwa

leverage berpengaruh

positif

dan signifikan

terhadap kondisi financial distress. Hasil yang sama juga ditunjukkan

29

dalam penelitian Ong, et al.

(2011) menyatakan bahwa leverage

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kondisi financial distress. Hasil peneletitian yang sejalan juga dilakukan oleh Ardian, Andini, & Raharjo (2016), Andre (2013), Wardana (2013) (dalam Ardian, Andini, & Raharjo, 2016). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pengaruh leverage pada kondisi financial distress perusahaan. Hingga menunjukkah hasil bahwa semakin besar kegiatan perusahaan

yang

dibiayai

oleh

kemungkinan terjadinya kondisi

hutang

semakin

besar

pula

financial distress. Berdasarkan

pernyataan diatas, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1:Financial Leverage berpengaruh positif signifikan terhadap financial

distress

2. Pengaruh Long Term Debt terhadap Financial Distress Perusahaan yang menggunakan hutang jangka panjang juga merupakan perusahaan yang likuid dan stabil. Hal tersebut tercermin dari kesediaan pemberi pinjaman (kreditur) untuk memberikan pembiayaan jangka panjang hanya kepada perusahaan yang likuid dan memiliki kondisi keuangan yang stabil. Hal tersebut sejalan dengan The financial distress cost hypothesis menyatakan bahwa hutang yang makin sedikit, jatuh tempo hutang yang makin lama, dapat kebangkrutan (Sugiarto, 2010).

mengurangi risiko

30

Schiantarelli dan Sembenelli (1997) menyelidiki hubungan antara struktur jatuh tempo hutang dan kinerja perusahaan. Dari penelitian tersebut mereka menemukan bahwa perusahaan yang menggunakan lebih banyak hutang jangka panjang cenderung berkinerja lebih baik yang mana hal tersebut dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya financial distress. Hal tersebut juga sejalan dengan penelilitian Sharpe (1991) yang juga menunjukkan bahwa ketika sebuah perusahaan didanai dengan utang jangka panjang dapat meminimumkan potensi terjadinya financial distress karena risikonya yang lebih kecil. Berdasarkan pernyataan diatas, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Long Term Debt berpengaruh negatif signifikan terhadap financial distress

3. Pengaruh Equity Structure terhadap Financial Distress Penelitian terkait sumber pembiayaan internal mempengaruhi kondisi perusahaan yang didukung pada teori pecking order struktur modal yang menyatakan bahwa perusahaan yang menggunakan sumber dana internal yaitu laba ditahan mencerminkan bahwa kondisi perusahaan tersebut baik karena ditandai dengan profitabilitasnya yang tinggi (Muthmainnah, 2016). Perusahaan dengan profitabilitas tinggi mencerminkan bahwa perusahaan tersebut dapat mencapai tujuan ekonomi dari bisnisnya yaitu dapat memaksimumkan profit. Profit atau keuntungan yang tinggi dapat membantu perusahaan untuk membiayai kegiatan operasionalnya dan juga

31

dapat membantu perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan sehingga risiko gagal bayar semakin rendah. Dengan begitu perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi dapat meminimalisir potensi terjadinya financial ditress (Pandey, 2009). Forsaith dan McMahon (2002) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai sumber pendanaan yang mempengaruhi kondisi pertumbuhan perusahaan mereka. Penilitian ini menunjukkan bahwa ekuitas internal meningkatkan tingkat pertumbuhan perusahaan yang mana hal tersebut mencerminkan kondisi yang baik. Pertumbuhan dan kondisi perusahaan yang baik tentu saja menguntungkan bagi perusahaan, sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya financial distress yang rendah. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian

yang dilakukan

oleh Cosh

& Hughes

(1994)

yaitu

menggambarkan penggunaan ekuitas internal sebagai menguntungkan bagi perusahaan. Berdasarkan pernyataan diatas, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 :Equity structure berpengaruh negatif signifikan terhadap financial distress

4. Pengaruh Struktur Aset terhadap Financial Distress Muigai (2013) aset tetap (tangible asset) mempengaruhi kesulitan keuangan perusahaan dengan cara yang berbeda, perusahaan yang mempertahankan sebagian besar investasi aset mereka dalam bentuk

32

tangible asset kurang rentan mengalami financial distress. Penulis beralasan bahwa perusahaan yang seperti itu memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menghasilkan volume produk yang lebih besar dan dapat menghasilkan lebih banyak pendapatan penjualan. Dengan demikian perusahaan yang seperti itu dapat tetap menguntungkan dalam jangka panjang, sehingga dikatakan rentan mengalami financial distress. Hal tersebut sesuai dengan Static Trade-off Theory, yang mengungkapkan bahwa perusahaan yang memiliki lebih banyak tangible assets dan marketable assets seperti real estate relatif lebih aman dan berisiko kecil dibanding perusahaan yang memiliki lebih banyak intangible assets, sehingga perusahaan dengan aset tetap yang relatif aman tersebut menanggung biaya kebangkrutan yang lebih kecil (Cristie & Fuad, 2015). Perusahaan yang memiliki proporsi aset tetap yang lebih banyak dikatakan lebih aman karena aktiva tetap dapat dijadikan sebagai jaminan/agunan dalam melakukan pembiayaan yang bersumber dari hutang, dan karenanya dapat mereduksi risiko kesulitan keuangan (financial distress). Selain itu kepemilikan aset tetap yang lebih besar juga mencerminkan bahwa perusahaan tersebut lebih mapan dalam industri. Perusahaan yang lebih mapan dianggap lebih mampu dalam menghadapi risiko-risiko yang dapat memicu terjadinya financial distress (Chen dan Hammes, 2002 dalam Supriyanto & Falikhatun, 2008). Berdasarkan pernyataan diatas, dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

33

H4 :Struktur aset berpengaruh negatif signifikanterhadap financial distress

5. Ukuran Perusahaan dan Financial distress Ukuran perusahaan sering dijadikan indikator bagi kemungkinan terjadinya kebangkrutan bagi suatu perusahaan, di mana perusahaan dalam ukuran lebih besar dipandang lebih mampu menghadapi krisis dalam menjalankan usahanya. Penelitian yang dilakukan oleh Muigai (2013) menunjukkan bahwa perusahaan yang berukuran besar cenderung akan melakukan diversifikasi usaha lebih banyak dari pada perusahaan kecil. Oleh karena itu kemungkinan kegagalan dalam menjalankan usaha atau kebangkrutan akan lebih kecil. Penelitian lain terkait ukuran perusahaan terhadap potensi financial distress juga dilakukan oleh Putri & Merkusiwati (2014) yang menunjukkan

bahwa

menggunakan

total

ukuran aset,

perusahaan

memberikan

yang pengaruh

diukur negatif

dengan pada

potensifinancial distress, karena semakin besar total aset yang dimiliki perusahaan maka semakin meningkatnya kemampuan dalam melunasi kewajiban perusahaan di masa depan, sehingga perusahaan dapat menghindari permasalahan keuangan. Hasil penelitian tersebut juga konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh (Agusti, 2013) yang menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap potensi financial distress. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa

34

ukuran perusahaan mempunyaiperan penting dalam menentukan kesulitan keuangan perusahaan dan tidak dapat diremehkan. Berdasarkan pernyataan diatas, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikanterhadap financial distress

6. Hubungan ukuran perusahaan dalam

memoderasi variable

independen terhadap Financial Distress Sugiarto (2010) berpendapat bahwa semakin kecil perusahaan, maka akan memiliki hutang lebih banyak. Hal tersebut dikarenakan perusahaan kecil akan melakukan pinjaman lebih banyak guna meningkatkan peluang tumbuhnya perusahaan tersebut.Sehingga semakin kecil perusahaan maka semakin tinggi tingkat utang yang digunakan dan mengakibatkan kemungkinan terjadinya financial distressyang tinggi pula. Hal tersebut didukung dengan penelitian Fitdini (2009) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan yang semakin kecil, maka akan memiliki kecenderungan mengalami financial distress yang semakin besar. Berdasarkan hal tersebut ukuran perusahaan memoderasi hubungan antara financial leverage terhadap financial distress. Semakin besar suatu perusahaan maka kredibilitasnya juga akan semakin tinggi, sehingga kemampuan memperoleh pendanaan hutang yang jatuh temponya melebihi satu tahun atau hutang jangka panjang juga akan semakin mudah. Hal ini dikarenakan pihak pemberi pinjaman (kreditur)

35

semakin yakin perusahaan yang berukuran besar dapat memenuhi kewajibannya tersebut.Pernyataan tersebut dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Abadi (2013) yang menunjukkan bahwa perusahaan dengan ukuran yang besar memiliki risk default yang kecil sehingga lendersakan memberikan maturitas atau jatuh tempo yang panjang. Sehingga semakin besar suatu perusahaan maka semakin mudah memperoleh hutang yang jatuh temponya panjang, penggunaan hutang jangka panjang dapat meningkatkan keuntungan perusahaan yang mana hal tersebut mencerminkan kondisi yang baik sehingga perusahaan dapat terhindar dari permasalahan keuangan dan potensi terjadinya financial distressakan semakin rendah (Maulana & Safa, 2017). Berdasarkan hal tersebut ukuran perusahaan memoderasi hubungan antara debt maturity terhadap financial distress. Penelitian yang dilakukan Brown (2005) terkait equity structure atau modal internal menunjukkan hasil bahwa perusahaan yang berukuran besar memiliki retained earningatau laba ditahan yang besar juga karena mampu menghasilkan volume produk yang lebih besar. Sehingga semakin besar ukuran perusahaan tersebut juga semakin besar modal internal yang dimiliki dan risiko financial distress juga semakin rendah. Penelitian tersebut konsiten dengan penelitian yang dilakukan oleh Fansuri (2017) yang menyatakan bahwa semakin besar perusahaan maka dana internal atau laba ditahan juga semakin besar. Semakin besar dana internal yang berasal dari laba ditahan akan semakin memperkuat posisi keuangan

36

perusahaan dalam menghadapi kesulitan keuangan pada masa mendatang. Berdasarkan hal tersebut ukuran perusahaan memoderasi hubungan antara equity structure terhadap financial distress. Fitdini (2009) pada penelitiannya menjelaskan terkait hubungan ukuran perusahaan dengan struktur aset yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan yang besar, berarti lebih banyak pula aset yang dimiliki oleh perusahaan. Semakin banyak aset yang dimiliki perusahaan, maka semakin banyak pula aktiva yang dapat diputar oleh perusahaan guna menghasilkan penjualan. Penjualan yang tinggi akan dapat meningkatkan jumlah pendapatan perusahaan. Dengan demikian ukuran perusahaan yang besar akan lebih mampu dalam menghadapi ancaman financial distress karena mempunyai jumlah aset yang besar. Hal ini baik bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat terhindar dari potensi terjadinya financial distress.Hasil penelitian tersebut konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Muigai (2013) yang menyatakan bahwa perusahaanperusahaan yang berukuran besar memiliki proporsi aset tetap yang besar pula yang mana hal tersebut meningkatkan nilai Z-score perusahaan tersebut yang menandakan tingkat kesulitan keuangan yang lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut ukuran perusahaan memoderasi hubungan antara struktur aset terhadap financial distress. Berdasarkan beberapa pernyataan diatas, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H6a: Ukuran perusahaan memperkuat pengaruh financial leverage terhadap financial distress

37

H6b: Ukuran perusahaan memperkuat pengaruh longterm debt terhadap financial distress H6c: Ukuran perusahaan memperkuatpengaruh equity structure terhadap financial distress H6d: Ukuran perusahaan memperkuat pengaruh struktur aset terhadap financial distress

E. Model Penelitian Ukuran Perusahaan (X5) Financial Leverage (X1)

H (+)

Long Term Debt (X2)

H (-)

Financial Distress Y H (-)

Retained Earning (X3) H (-)

Struktur Aset (X4) Variabel Independen

Variabel Moderasi

Variabel Dependen

Gambar 2.1 Model Penelitian Pengaruh Struktur Modal dan Struktur Aset Terhadap Potensi Financial Distress dengan Ukuran Perusahaan sebagai Varibel Moderasi

38

BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Penelitian ini mengambil objek penelitian yaitu perusahaan manufaktur sektor aneka industry yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah periode lima tahun yaitu tahun 2014-2017 karena rentang waktu ini dianggap dapat memberikan gambaran data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Menurut Sugiyono (2012) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpuannya. Dalam melakukan penelitan, pada umumnya dilakukan pembatasan populasi dengan tujuan agar populasi penelitian bersifat homogen sehingga dapat meminimalisir tingkat kesulitan yang dihadapi pada penelitian. Maka dari itu, populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang telah go public dan terdaftar di BEI dengan periode pengamatan lima tahun yaitu dari tahun 2014 hingga 2017. 2. Sampel Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan pendekatan melalui metode

purposive sampling, yaitu pengambilan sampel

39

berdasarkan pertimbangan tertentu dimana syarat yang dibuat sebagi kriteria yang harus dipenuhi oleh sampel, dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representatif sesuai dengan maksud penelitian (Sugiyono, 2017). Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.

Perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode tahun penelitian.

b.

Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan tahunan selama periode tahun penelitian.

c.

Perusahaan yang memiliki hutang jangka panjang

d.

Perusahaan yang memiliki retained earning (laba ditahan)

e.

Perusahaan yang melaporkan laporan keuangan dalam nilai mata uang rupiah.

C. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif. Data kuantitatif merupakan data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (skoring) (Sugiyono, 2017). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, sudah dikumpulkan, dan diolah oleh pihak lain, biasanya dalam bentuk dokumentasi atau publikasi sehingga peniliti tinggal memanfaatkan data tersebut menurut kebutuhan (Sanusi, 2011). Data diperoleh dari berbagai

40

sumber seperti laporan keuangan dan ngkasan kinerja keuangan perusahaan pada website BEI serta pada website resmi perusahaan yang bersangkutan.

D. Metode Pengumpulan Data 1. Metode Dokumenter Dengan cara mengumpulkan seluruh data sekunder yang berupa annual report perusahaan periode 2014-2017. 2. Studi Pustaka Dilakukan

dengan

mempelajari

literatur-literatur

yang

memuat

pembahasan yang berkaitan dengan penelitian.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ini melibatkan satu variabel dependen (terikat) yaitu Financial Distress dan variabel independen (bebas) yaitu Struktur Modal dan Struktur Aset. Struktur Modal dalam penelitian ini diprosikan sebagai Financial Leverage, Longterm Debt dan Equity Structure. Penelitian ini juga terdapat variabel moderasi yaitu Ukuran Perusahaan. Adapun definisi dan pengukuran dari masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut : 1. Financial Distress Financial distress merupakan kondisi di mana hasil operasi perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban perusahaan (insolvency). Pada penelitian ini model yang digunakan untuk mengukur potensi terjadinya financial distress adalah Model Altman Z-Score (Muigai,2013).

41

Financial Distress = Nilai Z-Score Z = 1.2X1 + 1.4X2 + 3.3X3 + 0.6X4 + 1.0X5..………………………(3.1) Keterangan: X1= Modal kerja/jumlah harta (Working Capital to Total Assets) X2= Saldo laba/jumlah harta (Retained Earning to Total Assets) X3= EBIT/jumlah harta (Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets) X4= Nilai pasar modal sendiri/nilai buku hutang (Market Value of Equity to BookValue of Total Liabilities) X5= Penjualan/jumlah harta (Sales to Total Assets) 2. Financial Leverage Financial

leverage

merupakan

kemampuan

perusahaan

untuk

memenuhiseluruh kewajibanya baik jangka pendek maupun jangka panjang. Proporsi financial leverage dihitung dengan cara (Muigai,2013) : 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑏𝑡

Financial leverage= 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 .……………………………………(3.2) 3. Long Term Debt Longterm debt atau hutang jangka panjang adalah kewajiban yang pelunasannya atau jatuh temponya lebih dari satu tahun atau satu periode akuntansi. Proporsi

penggunna longterm debt pada perusahaan dihitung dengan cara (Muigai,2013) : Long term debt =

𝐿𝑜𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑚 𝑑𝑒𝑏𝑡 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑏𝑡

……………………………………….(3.3)

42

4. Equity Structure Equity Structure merupakan merupakan dana yang dihasilkan secara internal dan yang digunakan dalam membiayai operasi bisnis perusahaan. Proporsi equity structure dihitung dengan cara (Muigai,2013) : Equity structure =

𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑎𝑙 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦

…………………………………….(3.4)

5. Struktur Aset Struktur Aset merupakan seberapa besar asset tetap mendominasi komposisi kekayaan atau asset yangdimilikiperusahaan. Proporsi struktur aset dihitung dengan cara (Muigai,2013) : 𝐹𝑖𝑥 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

Struktur aset = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 ……………………………………………(3.5) 6. Ukuran Perusahaan Ukuran Perusahaan merupakanskala yang menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan. Proporsi ukuran perusahaan dihitung dengan cara (Muigai,2013) : Ukuran perusahaan = Ln(Total Assets) ………………………………(3.6)

F. Metode Analisis Data 1.

Analisis Regresi Linear Berganda Penelitian ini menguji peranan atau pengaruh rasio-rasio variabel yang digunakan dalam memprediksi potensi terjadinya financial distress. Untuk mengetahui pengaruh rasio tersebut maka dilakukan tes statistik dengan menggunakan analisis regresi linear berganda yaitu hubungan

43

secara linear antara dua atau lebih variabel independen dengan variabel dependen. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, apakah masing-masing variabel independen

berhubungan positif atau negatif dan untuk

memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan (Hasan, 2006). Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut: Y = a + b1LEV + b2LTD + b3RE+ b4SA+ b5SIZE+ e 2. Moderated Regression Analysis Penelitian ini menggunakan uji Moderated Regression Analysis (MRA) karena dapat menjelaskan pengaruh variabel pemoderasi dalam memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel independen dengan dependen (Kariani dan Budiasih, 2017). Model regresi moderasi dalam penelitian ini adalah: Y = a + b1LEV + b2LTD + b3RE+ b4SA+ b5SIZE+ + b6LEV*SIZE + b7LTD*SIZE + b8RE*SIZE + b9SA*SIZE + e Keterangan : Y

: Financial Distress

a

: Konstanta

b1- b9

: Koefisien Regresi

LEV

: Leverage

LTD

: Long Term Debt

44

RE

: Retained Earning

SA

: Struktur Aset

SIZE

: Ukuran Perusahaan

LEV*SIZE : Interaksi antara leverage dengan ukuran perusahaan LTD*SIZE : Interaksi antara long term debt dengan ukuran perusahaan RE*SIZE

:Interaksi antara retained earning dengan ukuranperusahaan

SA*SIZE

:Interaksi antara struktur aset dengan ukuran perusahaan

e

:Standard error

3. Uji Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik tersebut adalah sebagai berikut: a.

Normalitas Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Pengujian normalitas data akan dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Pengujian yang menunjukkan data yang normal diperoleh apabila nilai signifikasi › 0.05.

b.

Multikolenieritas Tujuan utama pengujian ini adalah untuk menguji apakah variabel bebas yang ada benar-benar mempunyai hubungan yang erat dengan variabel dependen sehingga variabel bebas yang benar-benar bisa menjelaskan dengan lebih pasti untuk variabel terikat. Untuk

45

mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas di dalam model regresi dapat dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2) Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai tolerance lebih dari 0,10 dan nilai VIF kurang dari 10 maka disimpulkan tidak ada multikolinieritas antar variabel bebas dalam regresi (Ghozali, 2009).

c.

Autokorelasi Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Pendektesian terhadap adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan metode grafik atau menggunakan test secara statistik yang dalam hal ini menggunakan statistik dari Durbin Watson. Angka DW tersebut dibandingkan dengan nilai kritisnya (dL dan du) yang terdapat dalam tabel Durbin Watson, dimana n adalah jumlah data (cases) dan k adalah parameter termasuk dalam model. Untuk korelasi yang positif : DW > du = tidak terjadi autokorelasi DW < du = terjadi autokorelasi dL ≤ DW ≥dU = keputusan terjadi atau tidaknya autokorelasi meragukan untuk autokorelasi negatif : DW < 2- du = tidak terjadi autokorelasi DW > 2- dL = terjadi autokorelasi 2-dL ≤ DW ≥ 2- dU

= keputusan terjadi atau tidaknya

autokorelasi meragukan (Ghozali, 2009). d. Heterokedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke

46

pengamatan lain. Heterokedastisitas tidak merusak konsistensi estimasi,tetapi membuat estimator tidak mempunyai varians minimum atau tidak efisien. Metode yang digunakan untuk mendeteksi heterokedastisitas adalah dengan metode Gletser. Uji Gletser dilakukan dengan cara meregresikan antara variabel independen dengan nilai absolute residualnya. Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolute residual lebih dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas (Ghozali, 2009).

4. Uji Hipotesis Adapun uji hipotesis yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Uji t Uji parsial dikenal dengan uji t dalam analisis regrasi linier berganda, tujuannya untuk menguji apakah variabel independen (X) secara parsial(sendiri-sendiri/masing-masing variabel) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y).Tahap-tahap pengujian statistik t adalah sebagai berikut (Ghozali, 2009): 1)

Menentukan Ho dan Ha

2)

Menentukan α = 0,05%

3)

Kesimpulan: a) Jika P value < 0,05 , maka Ho ditolak atau variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

47

b) Jika P value ≥ 0,05 , maka Ho diterima atau variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. b. Koefisien Determinasi (R2) Untuk mengukur besarnya kontribusi variasi X1, X2 Terhadap Y, digunakan uji koofesien determinasi berganda (R2).Nilai R2 mempunyai range antara 0 sampai 1 ( 0 R2 1). Semakin besar nilai R2 (mendekati 1) maka semakin baik pula hasil regresi tersebut, semakin mendekati 0 maka variabel bebas secara keseluruhan tidak bisa menjelaskan variabel terikat.

48

DAFTAR PUSTAKA Abadi, S. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Debt Maturity. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2, 2-10. Agusti, C. P. (2013). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kemungkinan Terjadinya Financial Distress. Skripsi Sarjana Jurusan Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang. Ahmad, G. N. (2012). Analysis of Financial Distress in Indonesian Stock Exchange. Rev. Interg. Bus. Econ. Res, 2, 6-36. Alifiah, M. N., & Ahmad, I. (2012). Prediction of Financial Distress Companies in the Consumer Products Sector in Malaysia. Jurnal UTM 2013, 1-12. Alifiah, M., Salamudin, N., & Ahmad. (2012). Prediction of Financial Distress Companies in the Consumer Products Sector in Malaysia. Jurnal UTM 2013, 1-12. Andrade, & Kaplan. (1998). How costly is financial (not economic) distress?Evidence from highly leveraged transactions that became distressed. The Journal of Finance, 1443-1493. Andre, O. (2013). Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage dalam Memprediksi Financial Distress (Studi Empiris pada Perusahaan Aneka Industri yang Terdaftar di BEI. Jurnal UNP. Anjum, S. (2012). Business Bankruptcy Prediction Models: A Significant Study Of The Altman’s Z-Score ModeL. Asian Journal Of Management, 3(1). Antoniou, A., Guney, Y., & Paudyal, K. (2006). The determinants of debt maturitystructure: Evidence from France, Germany and the UK. European Financial Management, 161-194. Ardian, A. V., Andini, R., & Raharjo, K. (2016). Pengaruh Rasio Likuiditas, Rasio Leverage, Rasioaktifitas Dan Rasio Profitabilitas Terhadap Financial Distress. Universitas Pandanaran Semarang. Barclay, M. J., Heitzman, S. M., & Smith, C. W. (1995). Debt and taxes: Evidence from the real estate industry. Journal of Corporate Finance, 7493. Baum, C. F., Schafer, D., & Talavera, O. (2006). The Effects of Short-Term Liabilities on Profitability: A Comparison of German and US Firms. Boston College Working Papers in Economics, 636. Bender, R. (2013). Corporate financial strategy (4th Edition). UK: Routledge. Brown, J. (2005). Venture capital and firm performance over the long-run: Evidence from high-tech IPOs in the United States. The Journal of Entrepreneurial Finance, 1-33.

49

Campello, M., & Giambona, E. (2010). Asset tangibility and capital structure: Working paper, University of Illinois. Cosh, A., & Hughes, A. (1994). Size, financial structure and profitability: UK companies in the 1980s. Journal of Financial Services Research, 18-63. Cristie, Y., & Fuad. (2015). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Struktur Modal, Dengan Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel Moderating. Diponegoro Journal Of Accounting, 4, 1-9. Dewi, D. P. (2011). Analisis Pengaruh Hutang Jangka Panjang, Hutang Jangka Pendek Dan Modal Kerja Bersih Terhadap Laba Pada Pt. Griya Asri Prima. 8-16. Ebaid, I. (2009). The impact of capital-structure choice on firm performance: empirical evidence from Egypt. The Journal of Risk Finance, 477-487. Erawati, R. (2016). Pengaruh Likuiditas, Leverage, Profitabilitas, Aktivitas Dan Sales Growth Terhadap Financial Distress. Artikel Ilmiah, 3-4. Fabozzi, F. J., & Drake, P. P. (2009). Capital markets, financial management, and investment management. 178. Fansuri, H. (2017). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Pertumbuhan Penjualan Dan Profitabilitas Terhadap Struktur Modal Pada Perusahaan Tekstil Dan Garment Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia . Journal Of Management FISIP. Febriyani, & Srimindarti. (2010, November). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Pada Perusahaan-Perusahaan LQ-45 di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006-2008. Jurnal Keuangan dan Perbankan, 2, 138159. Fitdini, J. E. (2009). Hubungan Struktur Kepemilikan, Ukuran Dewan, Dewan Komisaris Independen, Ukuran Perusahaan, Leverage, dan Likuiditas dengan Kondisi Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Periode 2004-2007. Retrieved March 25, 2018, from http://eprints.undip.ac.id/17503/1/11_v.pdf Forsaith, D. M., & McMahon, R. (2002). Equity financing patterns amongst Australian manufacturing SMEs: Flinders University of South Australia, School of Commerce. Ghozali, I. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS (4th ed.). Semarang: Universitas Diponegoro. Gobenvy, O. (2014). Pengaruh Profitabilitas, Financial Leverage dan Ukuran Perusahaan terhadap Financial Distress pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2011. Jurnal Program Sarjana, Universitas Negeri Padang.

50

Hanafi,

M. M. (2004). YOGYAKARTA.

Manajemen

Keuangan.

Yogyakarta:

BPFE-

Husnan. (2013). Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Panjang) (4th ed.). Yogyakarta: BPFE. Joni, & Lina. (2010, Agustus). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, 12, 81-96. Jónsson, B. (2008). Does the size matter? The relationship between size and profitability of Icelandic firms. Bifröst Journal of Social Science, 113-124. Kaplan, A. &. (1998). How costly is financial (not economic) distress? Evidence from highly leveraged transactions that became distressed. The Journal of Finance, 1443-1493. Kariani, N. P., & Budiasih, I. (2017, September). Firm Size Sebagai Pemoderasi Pengaruh Likuiditas,Leverage, Dan Operating Capacity Pada Financial Distress. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 20.3. Keown. (2010). Manajemen Keuangan: prinsip dan penerapan edisi kesepuluh jilid 2. Jakarta: PT Indeks. Maina, L., & Ishmail, M. (2014). Capital structure and financial performance in Kenya: Evidence from firms listed at the Nairobi Securities Exchange. International Journal of Social Sciences and Entrepreneurship, 209-223. Margaritis, D., & Psillaki, M. (2007). Capital structure and firm efficiency. Journal of Business Finance & Accounting, 1447-1469. Mas’ud, M. (2009). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal dan Hubungannya terhadap Nilai Perusahaan (Studi dada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia dan Bursa Efek Malaysia. Jurnal Aplikasi Manajemen., 2, 151-161. Maulana, Z., & Safa, A. F. (2017). Pengaruh Hutang Jangka Pendek Dan Hutang Jangka Panjang Terhadap Profitabilitas. Jurnal Penelitian Ekonomi Akuntansi, 1. Memba, F., & Nyanumba, J. (2013). Causes of financial distress: A survey of firms funded by Industrial and Commercial Development Corporation in Kenya. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, 1171-1185. Muigai, R. G. (2013). Effect Of Capital Structure On Financial Distress Of NonFinancial Companies Listed In Nairobi Securities Exchange. 1-48. Mukaromah, T., & Amboningtyas, D. (2016). Analisys Of Bankruptcy Prediction Influenced Of Firm Size With Profitability As An Intervening Variable Used Altman Z-Score Model On Retail Companies Listed On The Indonesia Stock Exchange Period 2012-2016. 1-9.

51

Mule, R. K., Mukras, M. S., & Nzioka, O. M. (2015). Corporate size, profitability and market value: An econometric panel analysis of listed firms in Kenya. European Scientific Journal, 11(13). Munawir. (2010). Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty. MUTHMAINNAH, A. (2016). Analisis Financial Distress Dan Pengaruhnya. Skripsi, 15-20. Pandey, I. M. (2009). Essentials of Financial Management (1st Edition). New Delhi: DN. Vikas Publishing House Ltd. Park, C. W., & Pincus, M. (2001). Internal versus external equity funding sources and earnings response coefficients. Review of Quantitative Finance and Accounting, 33-52. Platt, H., & Platt, M. B. (2002). Predicting Financial Distress. Journal of Financial Service Professionals, 12-15. Pradana, I. W., & Achmad, T. (2013). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hutang Jangka Pendek, Hutang Jangka Panjang Dan Total Hutang(Studi Kasus Pada Perusahaan-perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di BEI Selama Tahun 2007-2011). Diponegoro Journal Of Accounting, 2. Putri, N. W., & Merkusiwati, N. K. (2014). Pengaruh Mekanisme Corporate Governance, Likuiditas, Leverage, Dan Ukuran Perusahaan Pada Financial Distress . E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 93-106. Rajan, R. G., & Zingales, L. (1995). What do we know about capital structure? some evidence from international data. The journal of Finance, 14211460. Riyanto, B. (2001). "Alternative Approach to Examining A Contingency Model In Accounting Research: A Comparison”. Jurnal Riset Akuntansi, Manajemen, Ekonomi, 1, 1-12. Riyanto, B. (2001). Alternative Approach to Examining A Contingency Model In Accounting Research: A Comparison. Jurnal Riset Akuntansi, Manajemen, Ekonomi, 1, 1-12. Rodoni, A., & Ali, H. (2010). Manajemen Keuangan (1st ed.). Jakarta: Mitra Wacana Media. Rudianto. (2009). Akuntansi Manajemen: Informasi Untuk Pengambilan Keputusan Strategis. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Sanusi, A. (2011). Metodologi Penelitian Bisnis. Jakarta: Salemba Empat. Schiantarelli, F., & Sembenelli, A. (1997). The maturity structure of debt; determinants and effects on firms' performance: Evidence from the United Kingdom and Italy (January 1997). World Bank Policy Research Working Paper.

52

Setyobudi, A., Amboningtyas, D., & Yulianeu. (2016). The Analysis Of Liquidity, Leverage, Profitability, And Firm Size Influence Toward The Financial Distress With Good Corporate Governonce As The Moderating Variable In Pt. Telekomunikasi Indonesia Tbk. And Pt. Indosat Tbk. Sharpe, S. (1991). Credit rationing, concessionary lending, and debt maturity. Journal of Banking and Finance, 581-604. Sugiarto. (2010). Kebijakan Utang Jangka Panjang : Kajian Struktur Modal Entitas Terbuka Non Keuangan di Indonesia Yang Dikendalikan Keluarga. Ultima Management, 70-90. Sugiyono, P. D. (2017). Metode Penelitian Bisnis (3rd ed.). Bandung: Alfabeta. Sujiyanto, A. E. (2001). Analisis Variabel-Variabel yang Mempengaruhi StrukturKeuangan pada Perusahaan Manufaktur yang Go Public di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Ekonomi dan Manajemen, 2. Supriyanto, E., & Falikhatun. (2008). PengaruhTangibility, Pertumbuhan Penjualan dan Ukuran Perusahaan Terhadap Struktur Keuangan. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, 13-22. Vermoesen, V., Deloof, M., & Laveren, E. (2013). Long-term debt maturity and financing constraints of SMEs during the global financial crisis. Small Business Economics. Widyasta, A. T. (2017, Juni). Struktur Modal : Ukuran Perusahaan, Struktur Aktiva,. Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen, 6.

Related Documents

Sap 13 Fix New.docx
November 2019 23
Bab 13
August 2019 42
Bab 13
July 2020 19
Bab 2 (fix).docx
May 2020 16
Bab I Belum Fix
October 2019 48
Bab I Fix Print.docx
December 2019 38