Atresia Ani Klp 2. Kep Anak.doc

  • Uploaded by: anditenri ulandaricitra
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Atresia Ani Klp 2. Kep Anak.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 3,831
  • Pages: 25
ATRESIA ANI

KELOMPOK II NUR NADHILAH I.D.S BARANUDDIN

2117008

ERNIWATI ENGGIYANI

2117014

AYUNIAR

2117003

STEFANI KASIM

2117010

MASLINDA GOLENG SINA

2117001

DHEA ANANDA PUTRI

2117004

ZENDRAWATI S. ABDUL

2117024

YERMIAS BALI BULU

2117006

MARIA ORINTIANI MURNI

2117031

MELKIANUS

2117033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GEMA INSAN AKADEMIK MAKASSAR 2019

1

KATA PENGANTAR Puji syukur hanyalah bagi Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga mampu menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah farmakoterapi lanjutan dengan judul makalah “ATRESIA ANI” ini dengan baik. Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penyusun menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi penyampaian yang menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak untuk sempurnanya makalah ini, sehingga dapat melengkapi khasanah ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang dengan cepat.

2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu Anus imperforata. Kelainan kongenital anus dan rektum relatif sering terjadi. Malformasi kecil terdapat pada 1 diantara 500 kelahiran hidup, sedangkan malformasi besar terjadi pada 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Kasus pada laki-laki lebih sering terjadi daripada pada perempuan. Pada laki-laki paling sering didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada perempuan paling sering didapatkan fistula rektovestibuler. Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum. B. Tujuan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Mengetahui apa yang dimaksud dengan atresia ani. Mengetahui etiologi dari atresia ani. Mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada atresia ani. Mengetahui komplikasi yang timbul dari atresia ani. Memahami patofisiologi dari atresia ani. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada atresia ani. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani. BAB II TINJAUAN TEORI

3

A. Definisi

Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘a’ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau nutrisi”. Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama lain yaitu “anus imperforata”. 1. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. (Walley, 1996) 2. Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi

membran

yang

memisahkan

bagian

entoderm

mengakibatkan

pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto, 2011) 3. Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada

distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2011) 4. Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus

imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2012) 5. Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya lubang atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2013) 6. Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak

sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009). Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke

4

dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan. B. Etiologi 1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur. 2. Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan. 3. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2011). 4. Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan

trisomi

21

(Down's

syndrome).

Kedua

hal

tersebut

menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2017). Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah 5. Kelainan kardiovaskuler. Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten

5

ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect. 6. Kelainan gastrointestinal. Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%). 7. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis. Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal. 8. Kelainan traktus genitourinarius. Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2015).

C. Patofisiologi Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan

perkembangan

struktur

kolon

antara

7-10

minggu

dalam

perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. 6

Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus. Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).

D. Klasifikasi 1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital. 2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak

menembusnya. 3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm. E. Manifestasi Klinis Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.

Sedang

pada

bayi

laki-laki

dapat

terjadi

fistula 7

rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul: 1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran. 2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi. 3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah. 4. Perut kembung. (Ngastiyah, 2015) F. Komplikasi Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain: 1. Asidosis hiperkloremik 2. Infeksi saluran kemih yang terus-menerus 3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah) 4. Komplikasi jangka panjang a. Eversi mukosa anus b. Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis) c. Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid) d. Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet training e. Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi) f. Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia) g. Fistula kambuhan G. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Preventif Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a) diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui bayi menderita ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses yang tertimbun dapat mendesak paru-paru bayi dan organ yang lain. 2. Pasca Bayi Lahir Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan tipe I dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan

tinja

tidak

membutuhkan

penanganan

apapun.

Sementara pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra, dilatasi Hegar, atau speculum hidung 8

berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose. Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula, adalah anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus slama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum uang buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan. Kolostomi bermanfaat untuk: a. Mengatasi

obstruksi

usus,

memungkinkan

pembedahan

rekonstruktif dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih. b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan

pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon sigmoideum. Beberapa metode pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan adalah operasi abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10 hari setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua di rumah, mulamula dengan jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk selama 23

bulan

setelah

pembedahan

definitif.

Sedangkan

pada

penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus

9

pada megakolon congenital. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh. c. H. Pemeriksaan Penunjang Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut: 1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul bayi dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan anus. 2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya. 3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor. 4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi. 5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran urinaria.

10

I. Pathways Kelainan kogenital  Gangguan Pertumbuhan  Fusi  Pembentukan anus dari tonjolan embrionik ATRESIA ANI

Feses Tidak Keluar

Vistel Rektovaginal

Feses Menumpuk

Feses Masuk Ke Uretra

Reabsorbsi sisa metabolisme

Peningkatan Tekanan Intraabdominal

Keracunan

Operasi Anoplast

Mual, muntah

Mikroorganisme masuk ke saluran kemih Dysuria Gang. Rasa nyaman

Ansietas

Ketidakseimbangan Nutrisi < Kebutuhan Tubuh

Perubahan Defekasi: Pengeluaran Tak Terkontrol Iritasi Mukosa

Gang. Eliminasi Urine Nyeri

Resiko kerusakan kulit

Abnormalitas spingter rektal

Trauma jaringan

Nyeri Gang. Rasa Nyaman

Inkontinensia Defekasi

Perawatan tdak adekuat

Resiko Infeksi

11

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Biodata a. Identitas Klien b. Identitas Penanggung Jawab 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama: Distensi abdomen b. Riwayat Kesehatan Sekarang: Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin c. Riwayat Kesehatan Dahulu: Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran d. Riwayat Kesehatan Keluarga: Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain e. Riwayat Kesehatan Lingkungan: Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi kejadian atresia ani 3. Pola Fungsi Kesehatan a. Pola persepsi terhadap kesehatan Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan b. Pola aktifitas kesehatan/latihan Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih bayi c. Pola istirahat/tidur Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain d. Pola nutrisi metabolik Klien hanya minum ASI atau susu kaleng e. Pola eliminasi Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium f. Pola kognitif perseptual Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan baik pada orang lain g. Pola konsep diri 1) Identitas diri : belum bisa dikaji 12

2) Ideal diri

: belum bisa dikaji 3) Gambaran diri : belum bisa dikaji 4) Peran diri : belum bisa dikaji 5) Harga diri : belum bisa dikaji h. Pola seksual Reproduksi Klien masih bayi dan belum menikah i. Pola nilai dan kepercayaan Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti

tentang

kepercayaan j. Pola peran hubungan Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang lain secara mandiri k. Pola koping Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon terhadap adanya suatu masalah 4. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Klien lemah b. Tanda-tanda vital Nadi : 120 – 140 kali per menit Tekanan darah : normal Suhu : 36,5ºC – 37,6ºC Pernafasan : 30 – 40 kali per menit BB : > 2500 gram PB : normal c. Data sistematik 1) Sistem kardiovaskuler Tekanan darah normal Denyut nadi normal (120 – 140 kali per menit ) 2) Sistem respirasi dan pernafasan Klien tidak mengalami gangguan pernapasan 3) Sistem gastrointestinal Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit 4) Sistem musculosceletal Klien tidak mengalami gangguan sistem muskuloskeletal 5) Sistem integumen Klien tidak mengalami gangguan sistem integumen 6) Sistem perkemihan Terdapat mekonium di dalam urin. B. Data Fokus Data Subjektif Data Objektif  Ibu klien mengatakan anaknya  Perut klien kembung  Tidak terdapat lubang anus/salah muntah-muntah pada umur 24-48 13



jam kelahiran Ibu klien mengatakan anaknya 

letak pada klien Terdapat feses

tidak mengeluarkan mekonium

bersama urin

yang

keluar

melalui lubang anus

C. Analisa Data Data DS:

Masalah Ketidakseimbangan

Ibu klien mengatakan bahwa nutrisi ananknya sering muntah

kurang

Etiologi Kegagalan

intake

dari makanan (ASI)

kebutuhan tubuh

DO: Anak menangis, mual, perut kembung, menolak pemberian ASI DO :

Gangguan

eliminasi

Feses

masuk

Feses keluar bersamaan dengan urine

uretra (dysuria)

urine DS :

Kurangnya

Cemas orang tua

ke

Ibu klien mengatakan bahwa

pengetahuan terkait

dirinya bingung melihat kondisi

penyakit anak

sang anak DO:

Kerusakan

Terpasang kolostomi pada klien

Kulit

Integritas

Pemasangan Kolostomi

14

DS:

Nyeri akut

Trauma jaringan

Inkontinensia defekasi

Abnormalitas

Ibu klien mengatakan bahwa anak menangis DO: Klien terlihat lemas dan tidak nyaman DO: BAB

klien

tidak

terkontrol

sebagaimana normalnya DS:

sfingter rektal Resiko Infeksi

Ibu klien mengatakan bahwa

Trauma

jaringan

post operasi

luka pada anaknya memerah dan seperti terjadi peradangan DO: Ada tanda-tanda radang pada daerah post operasi antara lain: rubor, dolor, calor, tumor Pasien terlihat tidak nyaman D. Diagnosa Keperawatan No.

Diagnosa Keperawatan

1.

Ketidakseimbangan dari

kebutuhan

ketidakmampuan 2.

nutrisi tubuh

Ditemukan Masalah Tgl. Paraf

Masalah Selesai Tgl. Paraf

< b.d.

mencerna

makanan (mual, muntah) Gangguan eliminasi urine b.d. obstruksi anatomik (atresia ani),

3.

dysuria Kecemasan

orangtua

b.d.

kurangnya pengetahuan terkait penyakit anak

15

4.

Kerusakan integritas kulit b.d. pemasangan kolostomi

5.

Nyeri akut b.d trauma jaringan

6.

pasca operasi Inkontinensia

7.

abnormalitas sfingter rektal Resiko infeksi b.d trauma jaringan

defekasi

pasca

b.d

operasi,

perawatan tidak adekuat

16

17

Perencanaan Nama Klien

: An. Mawar

No. Register : 0123 Ruang

No 1.

: Teratai

Tujuan dan NOC

Dx. Kep

Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan kurang dari kebutuhan b.d. keperawatan selama 1x24 jam ketidakmampuan

diharapkan kebutuhan nutrisi

mencerna makanan

klien

terpenuhi

dengan

kriteria hasil: 

Mampu mengidentifikasikan



kebutuhan nutrisi (4) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi (4)

Intervensi Tindakan

Rasional

TTD

Keperawatan/NIC 1. Memonitor mual dan

1. Mengetahui

muntah 2. Kaji kemampuan klien

output yang keluar 2. Memberikan makanan

untuk

mendapatkan

nutrisi yang dibutuhkan 3. Memonitor status gizi 4. Kolaborasi dengan dokter

sesuai

berapa

kemampuan

(oral atau NGT) 3. Mengetahui status gizi dan

meminimali-sir

malnutrisi 4. Terkait pemasangan NGT

2

Gangguan eliminasi urine Setelah b.d.

obstruksi

dilakukan

asuhan

anatomik keperawatan selama 1x24 jam

(atresia ani), dysuria

diharapkan

elimnasi urine dapat teratasi

palpasi dan perkusi 2. Periksa dan timbang

 

orang

berhubungan kurang tentang

Kandung kemih pasien kosong secara penuh (4) Intake cairan dalam 4. rentang normal (4) Bebas dari ISK (4)

tua Setelah

dilakukan

dengan keperawatan pengetahuan diharapkan

penyakit

prosedur perawatan

vital dan tingkat distensi kandung kemih dengan



Kecemasan

tanda-tanda 1. Mengetahui

gangguan

kriteria hasil:

3

1. Memantau

asuhan

1x24 rasa

jam cemas

dan orangtua dapat hilang atau berkurang. Kriteria Hasil: 1.) Ansietas berkurang 2.) Ibu klien tidak gelisah

popok klien 3. Melakukan

distensi kandung kemih klien 2. Mengetahui

pada fungsi kognitif

jumlah

output (urine) dan ada tidaknya

penilaian

tingkat

feses

bercampur 3. Memastikan

yang apakah

saluran kemih normal

1. Kaji status mental dan tingkat

ansietas

dari

klien dan keluarga. 2. Dengarkan dengan penuh perhatikan 3. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum

dilakukan

1. Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi

tersebut

diterima. 2. Menjadi yang

pendengar baik

dapat

mengurangi rasa cemas orangtua

operasi.

3. Membuat

4. Beri kesempatan klien

untuk

mengungkapkan

orang

tua

lebih mengerti keadaan anaknya

isi pikiran dan bertanya. 4. Dapat meringankan 5. Ciptakan lingkungan ansietas terutama ketika yang tenang dan tindakan operasi tersebut nyaman. dilakukan. 5. Mengungkapkan rasa takut dan bertanya secara terbuka

dimana

rasa

takut dapat ditujukan. nyaman

6. Lingkungan

dapat mengurangi cemas 4

Kerusakan integritas kulit Setelah b.d. kolostomi

dilakukan

asuhan

pemasangan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan integritas Integritas

kullit

pada

tempat tidur

1. Untuk

mencegah

perlukaan pada kulit 2. Untuk menjaga

dapat

tetap bersih dan kering 3. Monitor kulit akan adanya

ketahanan kulit 3. Untuk mengetahui

yang

kemerahan lotion/baby oil

adanya tanda kerusakan

4. Oleskan

berkurang kriteria hasil: 

kerutan

2. Jaga kebersihan kulit agar

kerusakan kulit

1. Hindari

jaringan kulit

baik bisa dipertahan-kan  

(4) Perfusi jaringan baik (3) Menunjukan pemahaman

pada daerah yang tertekan 5. Monitor status nutrisi klien

dan

berulang (4) Nyeri akut b.d trauma Setelah dilakukan jaringan (post operasi)

penyembuhan luka

cedera asuhan

1. Observasi

reaksi

keperawatan selama 1x24 jam

nonverbal

dari

diharapkan nyeri akut dapat berkurang kriteria hasil: 

kelembaban kulit 5. Untuk menjaga

mencegah

terjadinya 5

menjaga

keadekuatan nutrisi guna

dalam proses perbaikan kulit

4. Untuk

Klien tampak nyaman dan tenang (4)

ketidaknyamanan klien 2. Bantu klien dan keluarga untuk

mencari

dan

menemukan dukungan 3. Kontrol lingkungan yang dapat nyeri 4. Kolaborasi

memengaruhi dengan

1. Untuk

mengetahui

bagian mana yang nyeri 2. Dengan dukungan orang tua disekitar klien bisa mengurangi nyeri 3. Lingkungan nyaman

yang dapat

mengurangi rasa nyeri 4. Analgesik dapat mengurangi nyeri

dokter terkait pemberian 6

Inkontinensia defekasi b.d Setelah

dilakukan

asuhan

analgesik 1. Intruksikan

keluarga 1. Untuk

mengetahui

abnormalitas rektal

sfingter keperawatan diharapkan

1x24

jam

pengeluaran

defekasi terkontrol dengan Defekasi

lunak,

feses

terjadinya

resiko infeksi BAB 3. Mengetahui

secara rutin

perkembangan

berbentuk (4) 7

bentuk fisik feses yang

feses keluar 2. Jaga kebersihan baju dan 2. Mencegah tempat tidur 3. Evaluasi status

kriteria hasil: 

untuk mencatat keluaran

perubahan defekasi

Resiko infeksi b.d trauma Setelah dilakukan tindakan

1. Monitor tanda dan gejala

1. Untuk mengetahui tanda

jaringan, perawatan tidak keperawatan selama 1x24 jam

infeksi sistemik dan lokal 2. Batasi pengunjung 3. Pertahankan teknik cairan

infeksi lebih dini 2. Untuk menghindari

adekuat

diharapkan klien bebas dari tanda-tanda infeksi dengan kriteria hasil:

asepsis pada klien yang



Klien bebas dari tanda

beresiko 4. Inspeksi



dan gejala infeksi (4) Jumlah leukosit dalam

luka/insisi bedah 5. Ajarkan keluarga

batas normal (4)

kondisi klien

tentang tanda dan gejala infeksi 6. Laporkan infeksi

kecurigaan

kontaminasi

dari

pengunjung 3. Untuk

mencegah

penyebab infeksi 4. Untuk mengetahui kebersihan

luka

dan

tanda infeksi 5. Agar gejala infeksi dapat di deteksi lebih dini 6. Agar gejala infeksi dapat segera teratasi

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur; (2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan; (3) Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan; (4) Berkaitan dengan sindrom down. Penanganan pada atresia ani tergantung bagaimana kondisi klien apabila atresia ani terlalu tinggi maka dilakukan operasi anoplasti dan pemasangan kolostomi sedangkan pada yang rendah dilakukan dilatasi rutin. B. Saran Atresia ani merupakan kelainan bawaan yang diderita oleh bayi. Biasanya terjadi ketika organgenesis pada trisemester I. Sebagai perawat, kita harus senantiasa untuk memingatkan kepada ibu untuk selalu berpola hidup sehat, menjaga pola makan, dan memeriksakan masalah kehamilan kepada ahli kesehatan. Dan ketika bayi lahir dalam keadaan atresia ani, maka perawat harus dapat melakukan asuhan keparatan sebagaimana mestinya agar dapat mengatasi masalah yang timbul.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.cincinnatichildrens.org/health/i/imperforate-anus

(diakses

pada 09 November 2016) 2. Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction 3. Irfandi,

Febri.

2012.

Askep

Atresia

Ani.

Jombang.

http://chocolateperfect.blogspot.co.id 4. Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5.

Jakarta. EGC 5. Marlaim. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas

Kedokteran UI 6. Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus.

Jakarta. Trans Info Media 7. Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.

Jakarta. Trans Info Media

Related Documents

Atresia Ani
December 2019 32
Klp 8 Kep. Anak.docx
November 2019 5
Klp 8 Kep. Anak.docx
November 2019 9
Tugas Kep Jiwa (klp 1)
October 2019 41

More Documents from "Mayang Putri Utami"