ATRESIA ANI
KELOMPOK II NUR NADHILAH I.D.S BARANUDDIN
2117008
ERNIWATI ENGGIYANI
2117014
AYUNIAR
2117003
STEFANI KASIM
2117010
MASLINDA GOLENG SINA
2117001
DHEA ANANDA PUTRI
2117004
ZENDRAWATI S. ABDUL
2117024
YERMIAS BALI BULU
2117006
MARIA ORINTIANI MURNI
2117031
MELKIANUS
2117033
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GEMA INSAN AKADEMIK MAKASSAR 2019
1
KATA PENGANTAR Puji syukur hanyalah bagi Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga mampu menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah farmakoterapi lanjutan dengan judul makalah “ATRESIA ANI” ini dengan baik. Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penyusun menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi penyampaian yang menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak untuk sempurnanya makalah ini, sehingga dapat melengkapi khasanah ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang dengan cepat.
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu Anus imperforata. Kelainan kongenital anus dan rektum relatif sering terjadi. Malformasi kecil terdapat pada 1 diantara 500 kelahiran hidup, sedangkan malformasi besar terjadi pada 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Kasus pada laki-laki lebih sering terjadi daripada pada perempuan. Pada laki-laki paling sering didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada perempuan paling sering didapatkan fistula rektovestibuler. Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum. B. Tujuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan atresia ani. Mengetahui etiologi dari atresia ani. Mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada atresia ani. Mengetahui komplikasi yang timbul dari atresia ani. Memahami patofisiologi dari atresia ani. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada atresia ani. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani. BAB II TINJAUAN TEORI
3
A. Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘a’ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau nutrisi”. Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama lain yaitu “anus imperforata”. 1. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. (Walley, 1996) 2. Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran
yang
memisahkan
bagian
entoderm
mengakibatkan
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto, 2011) 3. Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2011) 4. Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2012) 5. Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya lubang atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2013) 6. Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009). Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke
4
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan. B. Etiologi 1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur. 2. Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan. 3. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2011). 4. Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan
trisomi
21
(Down's
syndrome).
Kedua
hal
tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2017). Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah 5. Kelainan kardiovaskuler. Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten
5
ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect. 6. Kelainan gastrointestinal. Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%). 7. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis. Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal. 8. Kelainan traktus genitourinarius. Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2015).
C. Patofisiologi Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan
struktur
kolon
antara
7-10
minggu
dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. 6
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus. Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
D. Klasifikasi 1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital. 2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya. 3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm. E. Manifestasi Klinis Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang
pada
bayi
laki-laki
dapat
terjadi
fistula 7
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul: 1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran. 2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi. 3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah. 4. Perut kembung. (Ngastiyah, 2015) F. Komplikasi Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain: 1. Asidosis hiperkloremik 2. Infeksi saluran kemih yang terus-menerus 3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah) 4. Komplikasi jangka panjang a. Eversi mukosa anus b. Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis) c. Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid) d. Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet training e. Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi) f. Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia) g. Fistula kambuhan G. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Preventif Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a) diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui bayi menderita ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses yang tertimbun dapat mendesak paru-paru bayi dan organ yang lain. 2. Pasca Bayi Lahir Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan tipe I dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan
tinja
tidak
membutuhkan
penanganan
apapun.
Sementara pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra, dilatasi Hegar, atau speculum hidung 8
berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose. Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula, adalah anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus slama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum uang buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan. Kolostomi bermanfaat untuk: a. Mengatasi
obstruksi
usus,
memungkinkan
pembedahan
rekonstruktif dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih. b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan
pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon sigmoideum. Beberapa metode pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan adalah operasi abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10 hari setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua di rumah, mulamula dengan jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk selama 23
bulan
setelah
pembedahan
definitif.
Sedangkan
pada
penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus
9
pada megakolon congenital. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh. c. H. Pemeriksaan Penunjang Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut: 1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul bayi dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan anus. 2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya. 3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor. 4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi. 5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran urinaria.
10
I. Pathways Kelainan kogenital Gangguan Pertumbuhan Fusi Pembentukan anus dari tonjolan embrionik ATRESIA ANI
Feses Tidak Keluar
Vistel Rektovaginal
Feses Menumpuk
Feses Masuk Ke Uretra
Reabsorbsi sisa metabolisme
Peningkatan Tekanan Intraabdominal
Keracunan
Operasi Anoplast
Mual, muntah
Mikroorganisme masuk ke saluran kemih Dysuria Gang. Rasa nyaman
Ansietas
Ketidakseimbangan Nutrisi < Kebutuhan Tubuh
Perubahan Defekasi: Pengeluaran Tak Terkontrol Iritasi Mukosa
Gang. Eliminasi Urine Nyeri
Resiko kerusakan kulit
Abnormalitas spingter rektal
Trauma jaringan
Nyeri Gang. Rasa Nyaman
Inkontinensia Defekasi
Perawatan tdak adekuat
Resiko Infeksi
11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Biodata a. Identitas Klien b. Identitas Penanggung Jawab 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama: Distensi abdomen b. Riwayat Kesehatan Sekarang: Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin c. Riwayat Kesehatan Dahulu: Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran d. Riwayat Kesehatan Keluarga: Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain e. Riwayat Kesehatan Lingkungan: Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi kejadian atresia ani 3. Pola Fungsi Kesehatan a. Pola persepsi terhadap kesehatan Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan b. Pola aktifitas kesehatan/latihan Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih bayi c. Pola istirahat/tidur Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain d. Pola nutrisi metabolik Klien hanya minum ASI atau susu kaleng e. Pola eliminasi Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium f. Pola kognitif perseptual Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan baik pada orang lain g. Pola konsep diri 1) Identitas diri : belum bisa dikaji 12
2) Ideal diri
: belum bisa dikaji 3) Gambaran diri : belum bisa dikaji 4) Peran diri : belum bisa dikaji 5) Harga diri : belum bisa dikaji h. Pola seksual Reproduksi Klien masih bayi dan belum menikah i. Pola nilai dan kepercayaan Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti
tentang
kepercayaan j. Pola peran hubungan Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang lain secara mandiri k. Pola koping Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon terhadap adanya suatu masalah 4. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Klien lemah b. Tanda-tanda vital Nadi : 120 – 140 kali per menit Tekanan darah : normal Suhu : 36,5ºC – 37,6ºC Pernafasan : 30 – 40 kali per menit BB : > 2500 gram PB : normal c. Data sistematik 1) Sistem kardiovaskuler Tekanan darah normal Denyut nadi normal (120 – 140 kali per menit ) 2) Sistem respirasi dan pernafasan Klien tidak mengalami gangguan pernapasan 3) Sistem gastrointestinal Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit 4) Sistem musculosceletal Klien tidak mengalami gangguan sistem muskuloskeletal 5) Sistem integumen Klien tidak mengalami gangguan sistem integumen 6) Sistem perkemihan Terdapat mekonium di dalam urin. B. Data Fokus Data Subjektif Data Objektif Ibu klien mengatakan anaknya Perut klien kembung Tidak terdapat lubang anus/salah muntah-muntah pada umur 24-48 13
jam kelahiran Ibu klien mengatakan anaknya
letak pada klien Terdapat feses
tidak mengeluarkan mekonium
bersama urin
yang
keluar
melalui lubang anus
C. Analisa Data Data DS:
Masalah Ketidakseimbangan
Ibu klien mengatakan bahwa nutrisi ananknya sering muntah
kurang
Etiologi Kegagalan
intake
dari makanan (ASI)
kebutuhan tubuh
DO: Anak menangis, mual, perut kembung, menolak pemberian ASI DO :
Gangguan
eliminasi
Feses
masuk
Feses keluar bersamaan dengan urine
uretra (dysuria)
urine DS :
Kurangnya
Cemas orang tua
ke
Ibu klien mengatakan bahwa
pengetahuan terkait
dirinya bingung melihat kondisi
penyakit anak
sang anak DO:
Kerusakan
Terpasang kolostomi pada klien
Kulit
Integritas
Pemasangan Kolostomi
14
DS:
Nyeri akut
Trauma jaringan
Inkontinensia defekasi
Abnormalitas
Ibu klien mengatakan bahwa anak menangis DO: Klien terlihat lemas dan tidak nyaman DO: BAB
klien
tidak
terkontrol
sebagaimana normalnya DS:
sfingter rektal Resiko Infeksi
Ibu klien mengatakan bahwa
Trauma
jaringan
post operasi
luka pada anaknya memerah dan seperti terjadi peradangan DO: Ada tanda-tanda radang pada daerah post operasi antara lain: rubor, dolor, calor, tumor Pasien terlihat tidak nyaman D. Diagnosa Keperawatan No.
Diagnosa Keperawatan
1.
Ketidakseimbangan dari
kebutuhan
ketidakmampuan 2.
nutrisi tubuh
Ditemukan Masalah Tgl. Paraf
Masalah Selesai Tgl. Paraf
< b.d.
mencerna
makanan (mual, muntah) Gangguan eliminasi urine b.d. obstruksi anatomik (atresia ani),
3.
dysuria Kecemasan
orangtua
b.d.
kurangnya pengetahuan terkait penyakit anak
15
4.
Kerusakan integritas kulit b.d. pemasangan kolostomi
5.
Nyeri akut b.d trauma jaringan
6.
pasca operasi Inkontinensia
7.
abnormalitas sfingter rektal Resiko infeksi b.d trauma jaringan
defekasi
pasca
b.d
operasi,
perawatan tidak adekuat
16
17
Perencanaan Nama Klien
: An. Mawar
No. Register : 0123 Ruang
No 1.
: Teratai
Tujuan dan NOC
Dx. Kep
Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan kurang dari kebutuhan b.d. keperawatan selama 1x24 jam ketidakmampuan
diharapkan kebutuhan nutrisi
mencerna makanan
klien
terpenuhi
dengan
kriteria hasil:
Mampu mengidentifikasikan
kebutuhan nutrisi (4) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi (4)
Intervensi Tindakan
Rasional
TTD
Keperawatan/NIC 1. Memonitor mual dan
1. Mengetahui
muntah 2. Kaji kemampuan klien
output yang keluar 2. Memberikan makanan
untuk
mendapatkan
nutrisi yang dibutuhkan 3. Memonitor status gizi 4. Kolaborasi dengan dokter
sesuai
berapa
kemampuan
(oral atau NGT) 3. Mengetahui status gizi dan
meminimali-sir
malnutrisi 4. Terkait pemasangan NGT
2
Gangguan eliminasi urine Setelah b.d.
obstruksi
dilakukan
asuhan
anatomik keperawatan selama 1x24 jam
(atresia ani), dysuria
diharapkan
elimnasi urine dapat teratasi
palpasi dan perkusi 2. Periksa dan timbang
orang
berhubungan kurang tentang
Kandung kemih pasien kosong secara penuh (4) Intake cairan dalam 4. rentang normal (4) Bebas dari ISK (4)
tua Setelah
dilakukan
dengan keperawatan pengetahuan diharapkan
penyakit
prosedur perawatan
vital dan tingkat distensi kandung kemih dengan
Kecemasan
tanda-tanda 1. Mengetahui
gangguan
kriteria hasil:
3
1. Memantau
asuhan
1x24 rasa
jam cemas
dan orangtua dapat hilang atau berkurang. Kriteria Hasil: 1.) Ansietas berkurang 2.) Ibu klien tidak gelisah
popok klien 3. Melakukan
distensi kandung kemih klien 2. Mengetahui
pada fungsi kognitif
jumlah
output (urine) dan ada tidaknya
penilaian
tingkat
feses
bercampur 3. Memastikan
yang apakah
saluran kemih normal
1. Kaji status mental dan tingkat
ansietas
dari
klien dan keluarga. 2. Dengarkan dengan penuh perhatikan 3. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum
dilakukan
1. Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi
tersebut
diterima. 2. Menjadi yang
pendengar baik
dapat
mengurangi rasa cemas orangtua
operasi.
3. Membuat
4. Beri kesempatan klien
untuk
mengungkapkan
orang
tua
lebih mengerti keadaan anaknya
isi pikiran dan bertanya. 4. Dapat meringankan 5. Ciptakan lingkungan ansietas terutama ketika yang tenang dan tindakan operasi tersebut nyaman. dilakukan. 5. Mengungkapkan rasa takut dan bertanya secara terbuka
dimana
rasa
takut dapat ditujukan. nyaman
6. Lingkungan
dapat mengurangi cemas 4
Kerusakan integritas kulit Setelah b.d. kolostomi
dilakukan
asuhan
pemasangan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan integritas Integritas
kullit
pada
tempat tidur
1. Untuk
mencegah
perlukaan pada kulit 2. Untuk menjaga
dapat
tetap bersih dan kering 3. Monitor kulit akan adanya
ketahanan kulit 3. Untuk mengetahui
yang
kemerahan lotion/baby oil
adanya tanda kerusakan
4. Oleskan
berkurang kriteria hasil:
kerutan
2. Jaga kebersihan kulit agar
kerusakan kulit
1. Hindari
jaringan kulit
baik bisa dipertahan-kan
(4) Perfusi jaringan baik (3) Menunjukan pemahaman
pada daerah yang tertekan 5. Monitor status nutrisi klien
dan
berulang (4) Nyeri akut b.d trauma Setelah dilakukan jaringan (post operasi)
penyembuhan luka
cedera asuhan
1. Observasi
reaksi
keperawatan selama 1x24 jam
nonverbal
dari
diharapkan nyeri akut dapat berkurang kriteria hasil:
kelembaban kulit 5. Untuk menjaga
mencegah
terjadinya 5
menjaga
keadekuatan nutrisi guna
dalam proses perbaikan kulit
4. Untuk
Klien tampak nyaman dan tenang (4)
ketidaknyamanan klien 2. Bantu klien dan keluarga untuk
mencari
dan
menemukan dukungan 3. Kontrol lingkungan yang dapat nyeri 4. Kolaborasi
memengaruhi dengan
1. Untuk
mengetahui
bagian mana yang nyeri 2. Dengan dukungan orang tua disekitar klien bisa mengurangi nyeri 3. Lingkungan nyaman
yang dapat
mengurangi rasa nyeri 4. Analgesik dapat mengurangi nyeri
dokter terkait pemberian 6
Inkontinensia defekasi b.d Setelah
dilakukan
asuhan
analgesik 1. Intruksikan
keluarga 1. Untuk
mengetahui
abnormalitas rektal
sfingter keperawatan diharapkan
1x24
jam
pengeluaran
defekasi terkontrol dengan Defekasi
lunak,
feses
terjadinya
resiko infeksi BAB 3. Mengetahui
secara rutin
perkembangan
berbentuk (4) 7
bentuk fisik feses yang
feses keluar 2. Jaga kebersihan baju dan 2. Mencegah tempat tidur 3. Evaluasi status
kriteria hasil:
untuk mencatat keluaran
perubahan defekasi
Resiko infeksi b.d trauma Setelah dilakukan tindakan
1. Monitor tanda dan gejala
1. Untuk mengetahui tanda
jaringan, perawatan tidak keperawatan selama 1x24 jam
infeksi sistemik dan lokal 2. Batasi pengunjung 3. Pertahankan teknik cairan
infeksi lebih dini 2. Untuk menghindari
adekuat
diharapkan klien bebas dari tanda-tanda infeksi dengan kriteria hasil:
asepsis pada klien yang
Klien bebas dari tanda
beresiko 4. Inspeksi
dan gejala infeksi (4) Jumlah leukosit dalam
luka/insisi bedah 5. Ajarkan keluarga
batas normal (4)
kondisi klien
tentang tanda dan gejala infeksi 6. Laporkan infeksi
kecurigaan
kontaminasi
dari
pengunjung 3. Untuk
mencegah
penyebab infeksi 4. Untuk mengetahui kebersihan
luka
dan
tanda infeksi 5. Agar gejala infeksi dapat di deteksi lebih dini 6. Agar gejala infeksi dapat segera teratasi
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur; (2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan; (3) Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan; (4) Berkaitan dengan sindrom down. Penanganan pada atresia ani tergantung bagaimana kondisi klien apabila atresia ani terlalu tinggi maka dilakukan operasi anoplasti dan pemasangan kolostomi sedangkan pada yang rendah dilakukan dilatasi rutin. B. Saran Atresia ani merupakan kelainan bawaan yang diderita oleh bayi. Biasanya terjadi ketika organgenesis pada trisemester I. Sebagai perawat, kita harus senantiasa untuk memingatkan kepada ibu untuk selalu berpola hidup sehat, menjaga pola makan, dan memeriksakan masalah kehamilan kepada ahli kesehatan. Dan ketika bayi lahir dalam keadaan atresia ani, maka perawat harus dapat melakukan asuhan keparatan sebagaimana mestinya agar dapat mengatasi masalah yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.cincinnatichildrens.org/health/i/imperforate-anus
(diakses
pada 09 November 2016) 2. Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction 3. Irfandi,
Febri.
2012.
Askep
Atresia
Ani.
Jombang.
http://chocolateperfect.blogspot.co.id 4. Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5.
Jakarta. EGC 5. Marlaim. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas
Kedokteran UI 6. Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus.
Jakarta. Trans Info Media 7. Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.
Jakarta. Trans Info Media