2
Aspek Kelembagaan dalam Kebijakan Sektor Pertanian1 Iwan Nugroho2 Abstract The development of agricultural sector is facing a serious problems, i.e. a plant production system is levelling off and an economic value relative to labor force share is being relatively low. Such problems have yielded unsustainability of agricultural production system, poverty threat and food security instability. Conceptual framework of sustainable agricultural development is reliability of investment accumulation. The investment covers social, economical, natural and human capital in an institutional building approach. Implementation of the approach is an effective public policy in agricultural sector. In this case, bureaucracy system operates in transparency, accountable and participative management. Private sector is highly active to find opportunity and realize an economic growth. Meanwhile, people and farmer interest is accommodated in a rational problem solving methodology. As a result, investment flows would be realized to support agricultural development programs, poverty alleviation, and disparity elimination. Keywords: Agriculture, investment, sustainability
Pendahuluan Kerangka aksi bagi pembangunan pertanian berkelanjutan telah dirumuskan. Konperensi Rio (United nation Conference on Environment and Development, UNCED) pada tahun 1992 telah menghasilkan agenda 21, yang merupakan pernyataan kongkrit masyarakat dunia menghadapi keadaan dan tantangan pada abad 21. Sektor pertanian memperoleh perhatian dalam section 2 bab 14, yakni promoting sustainable agriculture and rural development. Terakhir, dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johanesburg, 2 hingga 4 September 2002, sektor pertanian menjadi sorotan di antara lima (diberi akronim WEHAB) kerangka aksi, yakni water, energy, health, agriculture dan biodiversity. Secara umum, untuk mencapai sasaran pembangunan dalam abad ke depan (millenium development goal, MDG), sektor pertanian menempati posisi sangat penting dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja (yang sustainable) dalam kerangka pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan. Namun demikian, kerangka aksi tersebut mungkin menjadi paradoks bagi pembangunan pertanian. Keadaan ekonomi, sosial dan lingkungan di Indonesia untuk mendukung implementasi aksi-aksi pembangunan pertanian berkelanjutan menyimpan tanda tanya besar. Terlalu lebar gap antara fakta dan harapan kesejahteraan yang ingin dicapai. Secara nasional sektor pertanian menyumbang 20 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dan 37 persen tenaga kerja (Anonim, 2002; data Tabel IO diolah, Lampiran 1). Data tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian beroperasi tidak efisien, karena jumlah tenaga kerjanya terlalu banyak dibanding proporsi pendapatan atau nilai tambahnya (PDB). Hal ini berimplikasi bahwa sektor pertanian menyimpan permasalahan yang besar dan sangat kritikal bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Tercermin bahwa petani bukan 1 Naskah diterbitkan pada majalah LINTASAN EKONOMI, Majalah Ilmiah FE- UNIBRAW (Juli 2005) XXII(2):162-176. ISSN 0216311X. 2 Dr. Ir. Iwan Nugroho, MS adalah dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang. Email:
[email protected]
3 hanya miskin, namun tidak ada insentif berinvestasi bagi keberlanjutan produksi. Hal tersebut sejalan dengan bukti-bukti empiris (Lampiran 2). Pada komoditi padi dan jagung yang menampung jumlah petani cukup signifikan, pertumbuhan produksi nasional telah mengalami kejenuhan, bahkan produksi tebu dan kedele mengalami penurunan lebih drastis. Ilustrasi singkat tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian menghadapi permasalahan sustainability sistem produksi, ancaman kemiskinan, dan terganggunya upaya-upaya peningkatan ketahanan pangan. Tulisan ini mencoba menelaah kebijakan pembangunan sektor pertanian berkelanjutan dalam sudut pandang kelembagaan.
Sektor Pertanian dan Sumberdaya Publik Konsepsi pembangunan berkelanjutan yang dikembangkan Bank Dunia adalah apa yang dikenal sustainability as opportunity. Konsep ini berangkat dari definisi (Serageldin, 1996):
sustainability is to leave future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more. Maknanya, pembangunan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang (Gambar 1). Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan, atau gizi), social capital3 (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi dalam aspek fisik).
Social Natural time Capital Capital Man-made Capital
Human Capital
Natural Capital Man-made Capital
Capital Social
Human Capital
Gambar 10.1. Sustainability dan kenaikan stock capital per kapita (Serageldin, 1996) Yang menarik untuk dikaji dari modal-modal tersebut dan menentukan tingkat sustainability adalah tidak terhindarkannya substitusi dari salah satu diantaranya. Pergeseran komposisi modal khususnya pada negara berkembang memiliki gambaran spesifik. Pada tahap awal pembangunan, kenaikan aset-aset fisik dan human capital adalah fenomena paling umum. Pembangunan fisik di wilayah kota dan peningkatan tingkat pendidikan sebagian penduduk bahkan teramat cepat. Namun demikian hal ini berjalan eksklusif hanya mendukung perluasan mekanisme pasar dibanding memberi pengaruh kepada kesejahteraan. Modal sosial mengalami degradasi sehingga menurunkan community enforcement. Menurut 3
Social capital merupakan jalinan ikatan-ikatan budaya, governance, dan social behaviour yang membuat sedemikian rupa sehingga fungsi dan tatanan sebuah masyarakat adalah lebih dari sekadar jumlah individunya. Social capital dan wujudnya sebagai kelembagaan inilah sumber dari legitimasi berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi (Serageldin, 1996). Upaya membangun social capital adalah cermin peningkatan equity, social cohesiveness, dan partisipasi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama dan koordinasi bersama yang kuat antar individu-individu dari beragam disiplin, organisasi kemasyarakatan (misalnya LSM), private sector, dan pemerintah pada tingkat lokal, regional hingga nasional, sehingga membentuk sinergi dalam mendukung keberlanjutan pembangunan pertanian.
4 Hoff and Stiglitz (2001), yang muncul adalah penyeragaman institusional, yang sesungguhnya berlawanan dengan kaidah-kaidah konservasi biodiversity dalam sistem produksi pertanian. Konsep dasar pengelolaan sumberdaya yang kaya dengan biodiversity adalah serupa dengan pengelolaan sumberdaya publik (public resources). Sumberdaya publik memiliki karakteristik non-rivalry in consumption, artinya konsumsi seseorang tidak mengurangi benefit dari sumberdaya publik untuk orang lain. Karakteristiknya adalah aggregate demand merupakan penjumlahan vertikal permintaan individu dan dilukiskan dengan kenaikan harga dan jumlah penyediaan konstan. Implikasinya, sekali ditetapkan harganya maka benefit dari sumberdaya publik dengan mudah mengalir kepada orang-orang lain secara gratis (free-rider) sehingga berpeluang terjadi pelanggaran alokasi. Dalam kebijakan pembangunan nasional, manfaat gratis atau tepatnya murah tersebut tercermin dari pricing policy komoditi pertanian yang lebih rendah dari seharusnya (undervalue). Akibatnya, sebagian besar orang kota dan sektor manufaktur turut menikmati limpahan benefit yang harusnya menjadi hak petani. Pengambilan keputusan ekonomi terhadap sumberdaya publik tidak dapat mengandalkan kepada efisiensi berdasarkan kriteria pareto optimality mengikuti pandangan ekonomi neoklasik—yang menyatakan bahwa pertukaran kepuasan senantiasa menghasilkan loss di satu pihak akibat kenaikan kepuasan di pihak lain. Sebaliknya, basis pengambilan keputusan sumberdaya publik lebih didasarkan kepada pendekatan kelembagaan. Dalam pendekatan ini, kepentingan individu dan publik tidak dapat saling terpisah (inextricably linked) (Cullis and Jones, 1992). Definisi sederhana kelembagaan adalah pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur berdasarkan suatu kerangka nilai yang relevan. Kelembagaan adalah sebagian dari social capital yang merupakan sumber legitimate berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi (Serageldin, 1996). Dengan demikian pendekatan ini menjadi relevan dengan pemikiran pembangunan berkelanjutan dan diharapkan akan dapat melindungi dan memelihara sistem produksi sektor pertanian. Menurut Williamson (1995), upaya-upaya menuju peningkatan aktivitas perekonomian, setidaknya mencakup oleh tiga hal. Pertama upaya-upaya meningkatkan investasi. Kebijakan investasi diarahkan untuk membenahi sistem produksi sektor pertanian (mode of organization) dan menekan ketidakpastian (uncertainty). Menurut Fuglie (1999), investasi pemerintah pada sektor pertanian berada dalam keadaan kritikal. Dengan kesepakatan liberalisasi perdagangan, muncul insentif bagi swasta untuk melakukan kegiatan riset dan proses alih teknologi. Hal ini memberi dampak luar biasa bagi kesejahteraan petani secara keseluruhan melalui dua aspek: (a) biaya input akan naik sehingga benefit yang diperoleh petani akan menurun; dan (b) kegiatan riset swasta akan terkonsentrasi pada kebutuhan petani/pengusaha besar dan mengabaikan petani kecil. Besarnya insentif ekonomi dalam kegiatan riset swasta dikhawatirkan dapat menarik (membajak) SDM peneliti, kecuali ada reformasi institusional pada lembaga penelitian pemerintah. Ketidak pastian yang mempengaruhi investasi dalam sektor pertanian dihadapi pula oleh sektor-sektor lain. Hal tersebut meliputi praktek biaya transaksi yang tinggi (investment hazard)—termasuk administration cost, demoralization cost (korupsi dan rent seeker). Namun tingkat ketidak pastian sektor pertanian diyakini lebih tinggi karena risiko ‘gangguan alam dan sosial’. Suasana ekonomi berisiko tinggi menyebabkan pelaku underestimate terhadap nilai masa mendatang. Inilah yang mengakibatkan keserakahan dan perusakan yang signifikan terhadap sumberdaya alam pendukung sektor pertanian, misalnya penggundulan hutan. Kedua upaya meningkatkan kontrak. Kontrak jangka panjang (long-term contracting) memerlukan kekuatan hukum untuk menstabilisasi, melindungi dan memelihara benefit yang ada di dalamnya. Kontrak jangka panjang dapat membawa tingkat perekonomian ke arah yang mapan (high performing economy); dibanding spot market trading yang berorientasi
5 jangka pendek. Sektor pertanian rakyat identik dengan pelaku ekonomi usaha kecil yang informal, tidak pasti, dan tidak stabil. Perlu kreativitas memunculkan kelembagaan ekonomi yang dapat menarik mereka. Lembaga kredit mikro pola Grameen Bank (Bangladesh) dapat fleksibel beroperasi menyesuaikan dengan ragam usaha kecil. Kepercayaan terhadap usaha kecil ini memiliki pengaruh yang kokoh bagi bangunan landasan ekonomi jangka panjang. Selain itu, formalisasi aktivitas ekonomi akan menekan perilaku rent-seeker yang biasa beroperasi memanfaatkan keadaan asymmetric information di kalangan petani. Sementara itu pelaku ekonomi corporate perlu mengapresiasi kontrak agar sektor pertanian menjadi andalan pertumbuhan. Menurut World Bank (1995), kontrak pada badanbadan usaha negara meliputi kontrak pemerintah dengan karyawan (performance contract), kontrak swasta dengan pemerintah (management contract), dan kontrak pemerintah dengan swasta dalam regulated monopoli (regulatory contract). Sekalipun mengandung risiko dan karenanya perlu kehati-hatian, kontrak-kontrak tersebut sejalan dengan komitmen peningkatan efisiensi, berkompetisi, tertib anggaran, dan perbaikan sistem isentif yang selama ini menjadi titik lemah kinerja perusahaan. Perlu keberanian luar biasa bagi pemerintah untuk membuka peluang tersebut dalam rangka peningkatan produktivitas sektor pertanian. Tabel 1. Derajat Spesifikasi dan Sifat Pengaruh Berbagai Aktivitas Ekonomi Aktivitas Umum Accounting Perencana Manajemen keuangan Manajemen SDM Training Legal Administrasi umum
Derajat spesifikasi
Sifat Pengaruh
Tujuan
Metode
Kontrol
Waktu
Subtotal
Intensitas
Waktu
Sebaran
kumulasi
subtotal
Total
4 3 4 3 4 4 4
4 3 4 2 3 5 4
4 2 4 2 3 5 4
4 3 3 2 3 4 4
16 11 15 9 13 18 16
4 2 4 3 2 4 3
3 3 3 2 3 5 4
4 2 3 4 4 4 3
5 3 4 2 2 5 4
16 10 14 11 11 18 14
32 21 19 20 24 36 30
11 11 15 7 12 12 11 19 15 15 19
23 27 30 19 26 22 24 39 31 31 39
Spesifik Perladangan 4 3 3 2 12 3 2 4 2 Perkebunan 4 4 4 4 16 3 2 3 3 Lahan beririgasi 4 4 4 3 15 4 4 3 4 Pendidikan dasar 4 2 3 3 12 2 1 2 2 Pendidikan teknik 4 3 3 4 14 3 3 3 3 Penyuluhan pertanian 3 3 2 2 10 4 3 3 2 Pelayanan kesehatan 4 3 3 3 13 3 3 2 3 Pemeliharaan pesawat jet 5 5 5 5 20 5 5 4 5 Transportasi jalan 4 5 4 3 16 4 4 3 4 Bengkel mobil 4 4 4 4 16 4 4 3 4 Pemeliharaan reaktor nuklir 5 5 5 5 20 5 5 5 4 1= spesifikasi rendah, 5= spesifikasi tinggi Derajat spesifikasi Tujuan: dinyatakan secara detil dan rinci (5) atau umum/kabur (1) Metode: dinyatakan secara pasti sebelum aktivitas (5) atau tidak pasti dan memerlukan adaptasi dalam operasinya (1) Kontrol: dilakukan secara ketat dan mudah (5) atau sulit (1) Waktu: lama waktu perumusan tujuan, metode dan kontrol terskedul pasti tanpa perubahan (5) atau selalu berubah (1) Sifat Pengaruh Intensitas: semakin banyak (5) atau sedikit (1) orang atau aset terlibat Waktu: berdampak segera (5) atau lama (1) setelah operasi Spread: berdampak kepada banyak orang, dengan intensitas heterogen (5) atau sedikit orang dengan intensitas seragam (1) Kumulasi: berdampak efek kumulasi dan tidak mudah ditangani (5) atau mudah diisolasi Sumber: Israel (1987)
Ketiga upaya meningkatan credible commitment. Credible commitment akan mendatangkan kontrak dan investasi tidak hanya dalam jumlah, tetapi juga ragam investasi yang mencerminkan kecenderungan spesialisasi dan aktivitas yang berproduktivitas tinggi (high-technology industry) dalam jangka yang lebih panjang. Pembangunan sektor pertanian yang komprehensif memerlukan strategi atau sistem yang terencana mengarah kepada transformasi ekonomi yang berkeadilan. Proses tersebut mutlak memerlukan kebijakan yang
6 konsisten dan terintegrasi untuk menghasilkan benefit bagi seluruh stakeholder. Pengalaman dan komitmen Taiwan dapat diteladani sehingga berhasil mengembangkan industri agribisnis melalui tahapan kebijakan substitusi impor, promosi ekspor dan penanaman modal ke luar negeri (Aggarwal and Agmon, 1990). Komitmen kepada sektor pertanian sangat relevan di dalam pembangunan kelembagaan. Hal tersebut bukan hanya atas dasar alasan politik ekonomi, tetapi karena sektor pertanian memuat aktivitas ekonomi dengan derajat spesifikasi rendah (Tabel 1). Aktivitas ekonomi derajat ekonomi rendah mencerminkan produktivitas rendah (Israel, 1987). Aktivitas ekonomi juga tidak menghasilkan pengaruh atau benefit yang signifikan terhadap aktivitas ekonomi lain. Pada kondisi itu, infrastruktur belum sepenuhnya optimal mendukung aktivitas ekonomi. Dengan kata lain infrastruktur berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan aktivitas ekonomi derajat rendah ke derajat tinggi.
Kebijakan Pembangunan Pertanian 1. Pembangunan infrastruktur Pembangunan infrastruktur dalam pengertian luas meliputi enam bidang: pendidikan, teknologi, finansial, infrastruktur komunikasi dan transportasi, perlindungan sumberdaya alam Infrastruktur berfungsi dan lingkungan, dan infrastruktur sosial (social safety net). memecahkan kemacetan sekaligus menstimulasi aliran manfaat (WSSD, 2002) sehingga sektor swasta lebih optimal berperan dalam pembangunan pertanian dan perdesaan (Gambar 3). Infrastruktur diperlukan agar gap dalam (a) tenaga kerja; (b) akses dan kesempatan; dan (c) informasi; dapat diperbaiki, dipertemukan dan dipertukarkan dalam pasar yang berfungsi secara efektif. Dengan demikian petani memperoleh kesempatan yang sama dalam hal meningkatkan ketrampilan, memperoleh kredit, akses terhadap sarana produksi dan informasi harga. Tabel 2. Nilai ICOR dan Kebutuhan Investasi Kumulatif Sektor Pertanian 1999 hingga 2004 Subsektor Pertanian
Skenario 1
2
3 4 Tanaman pangan ICOR 1,309 1,092 0,786 0,57 Investasi kumulatif (miliar rp) 994512 877581 683403 524299 Perkebunan ICOR 1,59 1,529 1,463 1,402 Investasi kumulatif (miliar rp) 373841 365045 354958 345266 Peternakan ICOR 1,338 1,312 1,175 1,149 Investasi kumulatif (miliar rp) 190251 187891 174705 172072 Perikanan ICOR 4,798 3,98 -1,971 -2,7891 Investasi kumulatif (miliar rp) 827314 696259 -382855 -549455 Investasi kumulatif pertanian (miliar rp) 2385918 2126776 tth tth 1 angka bertanda negatif tidak dapat digunakan; tth: tidak terhitung Skenario 1= pertumb ekonomi normal (existing policy), 2 = pertumb ekonomi sektor pendukung pertanian 8 persen, 3 = pertumb ekonomi sektor pertanian prioritas 8 persen, 4 = kombinasi skenario 2 dan 3 Sumber: Anonim (2002)
Pembangunan infrastruktur berpengaruh sangat signifikan terhadap keragaan sektor pertanian secara umum. Hasil penelitian Anonim (2002) menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur (yang terukur dari pertumbuhan sektor-sektor pendukung sektor pertanian, skenario 2) akan mengefisenkan kebutuhan investasi sektor pertanian. Adanya infrastruktur tersebut menghasilkan nilai ICOR (incremental capital output ratio) dan investasi kumulatif
7 pada skenario 2 yang lebih rendah dibanding skenario 1 (Tabel 2). Efisiensi paling tinggi diperoleh pada skenario 4, di mana selain adanya pembangunan infrastrurktur pelaku ekonomi juga memiliki ekspektasi (terukur dari pertumbuhan) yang tinggi terhadap sektor pertanian. Lebih jauh, subsektor pertanian dengan efisiensi investasi semakin tinggi berturut-turut adalah perikanan, perkebunan, peternakan dan tanaman pangan. Lebih jauh, hubungan komoditi pertanian dan investasi atau pembangunan infrastruktur dapat menghasilkan pilihan-pilihan sumber-sumber (stakeholder) pendanaan. Pemerintah dapat berkonsentrasi pada subsektor tanaman pangan, terutama sektor padi (karena alasan politik ekonomi padi); dan menyerahkan subsektor lainnya kepada investasi swasta, konsumsi langsung rumah tangga atau ekspor. Sektor sayur dan buah-buahan atau tanaman pangan lainnya dapat diserahkan kepada usaha tani rakyat karena menampung tenaga kerja sangat besar. Sementara pada sektor perikanan, perkebunan dan peternakan, sektor swasta perlu diberi peluang menanamkan investasi untuk penguasaan teknologi dan menggali pertumbuhan nilai tambah. Investasi pada komoditi karet, unggas, dan tanaman perkebunan juga relevan karena menampilkan pengganda yang relatif tinggi. 2. Kebijakan ekonomi makro Kebijakan ekonomi makro memfokuskan kepada tiga sasaran secara simultan dan berkesinambungan: (a) pengendalian berjalannya mekanisme pasar; (b) pengembangan industri secara bertahap dan konsisten—memuat tahapan-tahapan substitusi impor (import substitution), promosi ekspor (export promoting), dan penanaman investasi ke luar negeri (foreign direct investment, FDI) (Aggarwal and Agmon, 1990); dan (c) perbaikan nilai tukar (term of trade) yang memberikan insentif bagi petani. Dengan kebijakan ini diharapkan tercapai antara lain kemandirian untuk mengantisipasi liberalisasi perdagangan, berjalannya proses transformasi struktur ekonomi menjadi lebih konvergen, serta terselamatkannya sumberdaya-sumberdaya publik (common and public resources) dan kontinyuitas produksinya. Program pengembangan agribisnis sangat relevan untuk merealisasikan sasaran-sasaran tersebut di muka. Gunawan (2001) mencoba menyusun pilihan-pilihan subsistem agribisnis berdasarkan komoditi yang memiliki prospek tertentu (Tabel 3). Secara umum investasi dalam subsistem agribisnis prosesing dan pemasaran menyajikan prospek yang baik. Hal ini dapat dimengerti karena keadaan aktivitas ekonominya menyajikan spesifikasi derajat rendah. Masih banyak economic rent belum tertangkap untuk menghasilkan nilai tambah dan kaitan benefit (linkage) terhadap aktivitas ekonomi lainnya. Secara spesifik, propek pemasaran komoditi gula (tebu) tergolong sedang. Hal ini menunjukkan bahwa tata-niaga gula tidak menyajikan insentif yang menarik. Oleh karena itu, munculnya kasus lenyapnya gula di pasar mengindikasikan persaingan yang tajam dalam membagi economic rent gula melalui cara-cara yang tidak transparan. Importir dan distributor gula berebut keuntungan sesaat memanfaatkan lemahnya aturan dan kondisi geografis yang luas dan berat. Lepas dari itu, komitmen pemerintah (pusat) juga dipertanyakan karena mempunyai pandangan yang berbeda (mungkin tidak konsisten) dengan kepentingan petani (daerah) dalam menetapkan kesejahteraan. Hal ini nampaknya masih perlu dielaborasi dalam wacana yang mendalam. Pemerintah seyogyanya berani menolak unfair trade dalam bentuk dumping yang disinyalir terjadi pada komoditi gula atau padi. Sejak diundangkannya UU No 7 tahun 1996 tentang Ketahanan Pangan4, wewenang itu dimungkinkan agar kepentingan konsumsi domestik senantiasa tersedia, terjangkau dan handal. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau. Sementara definisi pada World Food Conference Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat. Sistem ketahanan pangan dikatakan mantap apabila mampu memberikan jaminan bahwa semua penduduk setiap saat pasti memperoleh makanan yang cukup sesuai dengan norma gizi untuk kehidupan yang sehat, tumbuh dan produktif. Ancaman risiko atau peluang kejadian sebagian penduduk 4
8 Tabel 3. Prospek Investasi Komoditi Berdasarkan Subsistem Agribisnis Komoditi Tanaman Pangan • Padi • Jagung • Kedele • Cassava • Ubi jalar Buah-buahan • Mangga • Durian • Rambutan • Manggis • Jeruk • Salak • Pisang Sayuran • Kentang • Kubis • Cabe • Shallot • Tomat Bunga • Anggrek Tanaman Perkebunan • Kopi • Kakao • Karet • Buah sawit • The • Tembakau • Tebu (gula) • Patchouli • Biji mete Ternak • Ayam Lokal • Sapi • Kambing • Bebek
Input
Produksi
Prosesing
Pemasaran
X X XX X X
X X XXX XXX XX
XXX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX
XX XX XX XX XX XX XX
XX XX XX XX XX XX XX
XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
XX XX XX XX XX
XX XX XX XX XX
XXX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX
X
X
XXX
XXX
XX XX XX XX XX XX XX XXX XXX
XX XX XX XX XX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX XXX XX XXX XXX
XXX XXX XX XXX
XXX XX XX XXX
XXX XX X X
XXX XXX XX XXX
Keterangan prospek Komoditi: X = kurang, XX = sedang, XXX = bagus Sumber: Gunawan (2001)
3. Penataan ruang Kebijakan penataan ruang diilhami oleh prinsip material balance yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengoptimalkan aliran energi pada sumberdaya lahan pertanian sehingga terjaga kelestarian dan pemanfaatannya. Kebijakan ini dalam Pelita IV, V, dan VI memfokuskan kepada sektor transmigrasi, pembangunan perumahan perkotaan dan konsolidasi tanah perkotaan. Berlandaskan kepada UU 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, mekanisme penataan ruang hendaknya disusun lebih konsepsional dan terintegrasi diarahkan untuk bukan saja menyerasikan pembangunan wilayah kota-desa dan melestarikan lingkungan tetapi juga mengurangi kesenjangan kepemilikan lahan pertanian. Program yang menderita kurang pangan merupakan indikator keragaan akhir dari sistem ketahanan pangan. Oleh karena itu ketahanan pangan ditentukan oleh tiga indikator kunci, yaitu ketersediaan pangan (food availability), jangkauan pangan (food access) dan kehandalan (reliability).
9 kontekstual adalah transmigrasi dan landreform. Tersedianya hutan konversi seluas 30 juta ha perlu dire-evaluasi untuk lebih memprioritaskan program transmigrasi dan menempatkan penggunaan lahan lainnya: perkebunan, HPH, atau HPHTI dalam kerangka program transmigrasi. Sementara program landreform sekaligus merupakan 'safety valve' akibat munculnya kasus-kasus pertanahan antara rakyat dengan negara, badan-badan usaha milik negara atau swasta. Diversifikasi ruang dan aktivitas ekonomi selain menghasilkan konfigurasi ekologi lebih stabil, juga memberi benefit dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan secara simultan. Sektor pariwisata nampaknya menjadi agenda utama yang menjanjikan pertumbuhan yang tinggi. Pariwisata dalam bentuk agro-tourism, rural tourism, eco-tourism atau etno-ecotourism secara langsung menginjeksi aktivitas ekonomi perdesaan. Produk dan jasa perdesaan yang dapat dijual antara lain budaya tradisional, keindahan alam, fasilitas rekreasi dan beraneka suvenir. Proses produksi pariwisata perdesaan boleh dikatakan relatif bersih lingkungan, namun menghasilkan peningkatan pendapatan yang signifikan bagi penduduk lokal. Sejauh ini obyek wisata agro telah dibuka oleh BUMN yang proses produksinya menyatu dengan keindahan alam, misalnya kebun teh, kopi, tembakau dan tebu. Dari sektor swasta yang sudah terlibat mengandalkan pesona kebun apel. 4. Pengembangan partisipasi masyarakat Kebijakan ini sangat kental dengan kaidah-kaidah dalam bidang sosiologi dan ilmu sosial lainnya sekalipun tujuan akhirnya adalah benefit ekonomi. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang memberi kesempatan kepada masyarakat sendiri untuk menentukan pilihanpilihannya menuju kesejahteraan. Hal ini menjadi relevan karena dapat mengembangkan social capital sekaligus mencegah opportunity cost akibat distorsi (the tragedy unmanaged common) akibat intervensi berlebihan oleh pemerintah. Pendekatan ini secara umum menghasilkan pengaruh yang signifikan bagi upaya-upaya pembangunan perdesaan dan pengentasan kemiskinan. Partisipasi masyarakat dapat diarahkan untuk mendukung iklim investasi dan peran sektor swasta dalam sektor pertanian. Mereka diharapkan mampu menghasilkan nilai tambah dalam berbagai subsistem agribisnis dari hulu hingga hilir dan seluruh subsektor pendukungnya. Peluang partisipasi swasta yang disarankan, khususnya dalam subsektor perkebunan, antara lain (Gunawan, 2001): a. Koperasi perkebunan (state cooperative model), model yang 100 persen sahamnya dikuasai koperasi. b. Usaha bersama koperasi dan swasta (investor-cooperative joint venture model), model dengan komposisi saham koperasi dan swasta berbanding 65 persen dan 35 persen. c. Usaha bersama koperasi dan swasta (investor-cooperative joint venture model), model dengan kepemilikan saham swasta 80 persen dan koperasi 20 persen, namun saham koperasi dinaikkan secara bertahap d. BOT (build, operate, and transfer), model dimana pembangunan dan operasional usaha (kebun dan pabrik) menjadi tanggungjawab swasta hingga suatu pada saat diserahkan ke koperasi e. BTN: model kerjasama dimana kebun dan pabrik dibangun swasta dan kemudian diserahkan kepada anggota koperasi yang berminat. Lebih jauh, pengembangan partisipasi masyarakat perlu diarahkan untuk menggali dan mengidentifikasi potensi ekonomi menuju peningkatan produktivitas dan pelestarian lingkungan. Dengan memberikan perhatian kepada peran kaum wanita, bantuan teknologi dan manajemen dipastikan pencapaian sasaran kesejahteraan masyarakat perdesaan lebih efektif sesuai dengan norma dan tata nilainya. Lebih dari itu, peningkatan partisipasi masyarakat akan menghasilkan aliran informasi, benefit dan akses yang setara terhadap
10 produk dan jasa dari sistem produksi pertanian. Masyarakat petani di wilayah manapun dengan mudah menjangkau kebutuhannya tanpa kendala dan distorsi. Menurut WSSD (2002), hal tersebut sejalan dengan tujuan meningkatkan ketahanan pangan dan keberlanjutan kenaikan kesejahteraan orang-orang miskin. 5. Membangun kelembagaan Pembangunan kelembagaan bertujuan mengarahkan aliran investasi secara efektif (tidak bocor), menjamin proses transaksi maupun investasi sesuai kontrak, dan mencegah incredible commitment. Dua hal yang menjadi perhatian (Williamson, 1995). Pada level makro, yaitu institutional environment, aturan-aturan yang menyangkut aspek sosial, politik, dan aspek legal lainnya yang mendasari sistem produksi, konsumsi dan distribusi, harus ditegakkan oleh semua pihak dalam kedudukan yang sama di muka hukum. Pada level mikro, yaitu institutional arrangement, aturan-aturan atau mekanisme di antara unit-unit ekonomi yang mengendalikan operasi, koordinasi dan kompetisi ditekankan kepada partisipasi dan utility untuk mencapai suatu transaksi secara de facto. Berjalannya mekanisme kelembagaan yang efektif menuntut adanya kesatuan sistem hukum antara yang lebih tinggi dengan yang di bawahnya. Ketidakharmonisan ini akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan malapetaka (chaos) akibat terjadinya benturan sistem. Untuk itu diperlukan kesungguhan, kejujuran, dan kearifan untuk menghargai indigenous institution, property right, dan aturan kontrak dalam rangka mengembangkan perekonomian sekaligus meningkatkan modal sosial (social capital) di dalamnya. Menurut Grindle (2001), faktor kepemimpinan sangat penting dalam perubahan institusional menuju perekonomian yang lebih bersih. Pemimpin mutlak memiliki komitmen dan visi yang jelas (melawan kekuatan status quo), menguasai permasalahan dan mengomunikasikannya dengan kekuatan politik ekonomi. Mungkin dapat dibenarkan merekayasa ketidakimbangan jangka pendek dalam rangka menuju keseimbangan jangka panjang (Eriyatno, 1998). Ketidakseimbangan memerlukan biaya (yang harus dibayar) dalam rangka meningkatkan efektivitas lembaga. Pemimpin harus mampu mengidentifikasi dan mengisolasi permasalahan kritis. Setelah itu harus diarahkan kepada logika permasalahan yang rasional. Implementasi pembangunan kelembagaan adalah terciptanya kepemerintahaan yang efektif di dukung kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang memadai. Mekanisme pembinaan SDM yang transparan dan mengandung insentif adalah kunci penting bagi pengembangan aparatur yang profesional dan perbaikan administrasi publik (Israel, 1987). Mereka diharapkan menjadi aparat yang independen, kaya dengan gagasan dan kreativitas, konsisten dan credible, serta menghasilkan produk jasa yang nyata dan dapat dinikmati masyarakat secara keseluruhan. Pengenalan terhadap manajemen bisnis swasta sangat perlu agar paradigma dan momentum reformasi dalam sektor-sektor publik senantiasa terpelihara. Menurut Moore (1996), pendekatan manajemen publik baru (new public management atau public service orientation, Tabel 4) memiliki karakteristik: (a) profesional dan akuntabel; (b) ukuran kinerja berciri kuantitatif; (c) terjadi mekanisme pengendalian pada input, proses dan output; (d) otonomi/desentralisasi dan networking; (e) kompetisi; dan (f) disiplin menuju efisien. Pendekatan baru tersebut diyakini sangat kondusif bagi berkembangnya partisipasi masyarakat. Tabel 4. Pendekatan dalam Pengelolaan Sektor Publik
Prinsip dasar/prioritas
Classical Public Administration (CPA)
New public management (NPM)
Public service orientation (PSO)
Sektor publik itu sendiri
Manajemen bisnis
Pelayanan publik
11 Organisasi
Birokratik, seragam, kaku
Akuntabilitas
Proses politik, demokrasi perwakilan User sebagai subyek, loyalitas, produsen sebagai birokrat profesional Paternalistik, kolektif, jenjang karir sangat birokratis
Hubungan dengan user Hubungan ketenaga-kerjaan
Desentralisasi, bervariasi, fleksibel Pasar, pilihan publik (user) User sebagai konsumen, loyalitas, produsen sebagai pemuas kebutuhan user Berorientasi kinerja, individual, jenjang karir fleksibel dan kompetitif
Desentralisasi, bervariasi dalam kebersamaan Proses politik, demokrasi langsung User sebagai subyek, loyalitas, produsen sebagai partner dengan user Partisipatif, kolegial, jenjang karir fleksibel dan kolektif
Sumber: Moore (1996)
Penutup Implementasi dari pendekatan kelembagaan adalah terselenggaranya kebijakan publik sektor pertanian yang efektif. Pada keadaan tersebut, seluruh stakeholder berperan secara efektif dilindungi oleh suatu sistem hukum yang kaya insentif. Aparatur pemerintah bekerja secara profesional didukung dengan manajemen publik yang transparan, accountable dan partisipatif. Sektor swasta berperan aktif menemukan peluang dan merealisasikan potensi ekonomi menjadi keuntungan dan pertumbuhan. Sementara aspirasi masyarakat dan sebagain besar petani terakomodasi melalui metode pemecahan masalah yang rasional. Sebagai akibatnya, harapan mengalirnya investasi akan menjadi kenyataan untuk mendukung programprogram pembangunan pertanian, pengentasan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Investasi dalam aspek sosial, ekonomi, manusia dan sumberdaya alam diperlukan dalam rangka mendukung pembangunan sektor pertanian berkelanjutan. Keempat jenis investasi pada dasarnya merupakan kompromi dari penerapan mekanisme pasar dan sistem organisasi (non-pasar) yang dapat melindungi sektor pertanian dari dampak sosial dan perekonomian.
Daftar Pustaka Aggarwal, R. and T Agmon. 1990. The international success of developing country firms: role of government-directed comparative advantage. Management International Review. 30(2): 163-180 Anonim. 2002. Perumusan Kebijakan Rasionalisasi Anggaran Pembangunan Pertanian. Kerjasama Deptan dengan Pusat Pengembangan Agribisnis Unibraw Cullis, J. and P. Jones. 1992. Public Finance And Public Choice: Analitical perspectives. International Editions. McGraw-Hill, Singapore. Eriyatno. 1998. Manajemen pada situasi krisis: aplikasi pada kelembagaan sistem distribusi. Perencanaan Pembangunan, Bappenas Jakarta:12 (Juni-Juli): 3-8 Fuglie, K. O. 1999. Investing in agricultural productivity in Indonesia. Forum Agro Ekonomi. 19(2): 1-16 Grindle, M. S. 2001. In quest of the political: the political economy of development policy making. In: Meier, G and J. E. Stiglitz (eds.). Future Development: Economic perspectives. Oxford Univ Press, Oxford. Gunawan, M. 2003. Agribusiness Investment Opportunity in Indonesia. www.deptan.go.id [5 Mei 2003]
12 Hoff, K. and J. E. Stiglitz. 2001. Modern economic theory and development. In: Meier, G and J. E. Stiglitz (eds.). Future Development: Economic perspectives. Oxford University Press, Oxford. Israel, A 1987. Institutional Development: incentives to performance. The John Hopkins University Press for The World Bank, Baltimore and London. Moore, C. 1996. Human resources in the public sector. In: Towers, B (ed.). The Handbook of Human Resources Management. Blackwell Business, Massachussett. Serageldin, I. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations, First steps in an ongoing journey. Environmentally Sustainable Development (ESD) Studies and Monographs Series No. 5. Williamson, O. E. 1995. The institutions and governance of economic development and reform. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994. IBRD-World Bank, Washington, DC. World Bank. 1995. Bureaucrats in Bussiness: The economics ang politics of government ownership. A World Bank Policy Research Report. The World Bank, Washington, D. C. WSSD (World Summit on Sustainable Development). 2002. WEHAB: Agriculture. www. johannesburgsummit.org.
13 Lampiran 1. Distribusi Output, Pendapatan, Tenaga Kerja dan Nilai Tambah pada Sepuluh Sub-Sektor Pertanian Dominan Sub Sektor
Output miliar rp persen
Sub Sektor
Padi Sayur dan buah-2an Perikanan Kayu Pemotongan hewan Karet Kelapa Sawit Unggas dan hasil-2nya Peternakan Tanaman Ubi-2an Pertanian (23 sektor) Total (66 sektor)
50258.6 48988.7 31482.4 20022.1 16399.8 13630.2 11816.1 11809.2 11713.2 9708 272309.3 1948844
Padi Sayur dan buah-2an Perikanan Kayu Karet Pemotongan hewan Peternakan Kelapa Sawit Tebu Tanaman lainnya Pertanian (23 sektor) Total (66 sektor)
2.6 2.5 1.6 1.0 0.8 0.7 0.6 0.6 0.6 0.5 14 100
Tenaga Kerja
Sub Sektor
ribu orang
Sayur dan buah-2an 10101.7 Padi 7918.2 Jagung 3061.8 Tanaman Ubi-2an 2265.6 Tanaman kacang-2an 1699.5 Perikanan 1207.1 Peternakan 839.2 Karet 709.1 Unggas dan hasil-2nya 753.1 Kelapa Sawit 604.3 Pertanian (23 sektor) 32527.8 Total (66 sektor) 88617 Sumber Anonim (2002), Tabel IO diolah
persen 11.4 8.9 3.5 2.6 1.9 1.4 0.9 0.8 0.8 0.7 37 100
Pendapatan miliar rp persen 9185,8 6508,4 5535,6 2779,2 2746,9 2271 2264,8 2012,2 1421,6 1313,3 43302,1 348630
2,6 1,9 1,6 0,8 0,8 0,7 0,6 0,6 0,4 0,4 12 100
Nilai Tambah
Sub Sektor Sayur dan buah-2an Padi Perikanan Kayu Tanaman Ubi-2an Kelapa Sawit Peternakan Tanaman kacang-2an Jagung Unggas dan hasil-2nya Pertanian (23 sektor) Total (66 sektor)
miliar rp
persen
45958,3 44264,4 26095,8 15542,8 9169,6 8600 9027,9 7611,9 8037,6 7434,7 218225,2 1107291
4,2 4.0 2,4 1,4 0,8 0,8 0,8 0,7 0,7 0,7 20 100
Lampiran 2. Produksi Tanaman Pangan dan Perkebunan Utama, 1990 hingga 2001 Tahun
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Sumber:
Padi
Jagung
juta ton ribu ton GKG 45.18 6734 44.69 6256 48.24 7995 48.18 6460 46.64 6869 49.74 8246 51.10 9307 49.38 8771 49.20 10169 50.87 9204 51.90 9677 50.46 9347 51.38 9527 51.40 9662 BPS (2003)
Kedele
Karet
Buah Sawit
Kakao
Kopi
Teh
ribu ton
ribu ton
ribu ton
ribu ton
ribu ton
ribu ton
1487 1555 1870 1709 1565 1680 1517 1357 1306 1383 1018 827 653 740
315.3 330.1 335.0 335.0 326.4 341.0 334.6 330.5 332.6 303.6 336.2 328.3
2096.9 1843.6 2186.0 2288.3 1930.3 2476.4 2569.5 4081.1 4013.1 4024.8 4094.1 4152.6
41.5 30.6 39.5 42.7 43.7 46.4 48.8 65.9 60.9 58.9 60.6 65.3
25.5 26.4 23.9 20.9 19.7 20.8 28.5 30.6 28.5 27.5 29.5 28.7
129.1 125.0 113.0 100.0 98.0 111.1 132.0 121.0 132.7 130.5 127.9 129.3
Tebu ribu ton gula 2173.2 2233.3 2344.6 2336.1 2420.7 2104.7 2160.1 2187.2 1928.7 1907.4 1896.7 2025.1
Tembakau
Serat
ton
ton
3.500 4.900 7.500 3.100 5.100 9.900 7.100 7.800 7.700 5.797 6.312 5.116
14.80 5.30 9.30 18.40 16.40 12.70 4.90 9.60 3.70 2.34 2.69 2.15