2 KESEIMBANGAN DINAMIK EKOSISTEM PESISIR DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA: Suatu Telaahan dari Perspektif Ekologi Manusia1 Iwan Nugroho2
Abstrak Wilayah pesisir merupakan salah satu ekosistem yang paling kritikal dalam pengelolaannya bagi kepentingan umat manusia. Dibalik potensi produksinya yang sangat besar, ekosistem pesisir sangat peka terhadap berbagai faktor input dan output yang dapat mempengaruhi keseimbangan sistem aliran materi dan energi; yang pada gilirannya mengganggu mekanisme (ketahanan) homeostasis dan menurunkan produktifitasnya. Pendekatan yang relevan dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah material balance; dengan sasaran utama yang didasarkan atas konsepsi ekologi yaitu (a) upaya mencapai sustainability output, (b) memelihara mekanisme homeostasis, dan (c) mencegah meningkatnya entropy. Sedangkan kerangka spesifik pengelolaannya dapat melibatkan banyak sektor mulai dari sektor pertanian dan kehutanan di hulu hingga industri dan jasa di hilir atau pelabuhan. Namun demikian beberapa prinsip pengelolaan berhasil diidentifikasi, antara lain diversifikasi, teknologi, pengaturan produksi, zonasi, rehabilitasi. Abstract Estuaries area is one of many ecosystems that perform a critical matter as a result of its allocation. In the one side, it is well known that the estuaries possess a highest productivity in organic matter than other ecosystems, however in other site, the ecosystem is very vulnerable to input and output factors that effect a self-control in energy and material flows. The last condition immediately provide a sign of any disturbance in homeostasis mechanism and reduction in productivity. The relevance approach for the estuatries management is material balance; with a main focus on ecological concepts and operating (a) to get a sustainability output, (b) to sustain a homeostasis mechanism, and (c) to go againts a entropy rise. Meanwhile, the spesific framework for the management involve a wide sectors, include agriculture and forestry sectors in upstream site and industry and services sectors in downstream site. However, the principal management should kept in mind including diversification, technology, production arrangement, zonation, and rehabilitation.
Pendahuluan Perkembangan penggunaan tanah di Indonesia memperlihatkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir merupakan tahapan terakhir dari eksploitasi manusia terhadap lingkungannya (Soerianegara, 1977). Sebelumnya, manusia memanfaatkan tanah daratan untuk mencukupi kebutuhannya yang didukung masukan energi dan teknologi tertentu yang sesuai untuk wilayah darat. Dalam tahapan ini, sesungguhnya ekosistem darat dapat mencapai hasil paling optimal dipandang dari keseimbangan input dan output energi. Artinya kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat harusnya dapat didukung oleh ekosistem daratan. Lebih jauh dari itu, yaitu memanfaatkan wilayah pesisir berarti melibatkan penggunaan input energi yang lebih besar dan 1 2
Naskah dipublikasi pada Jurnal WIDYA AGRIKA (Agustus 2004) 2(2): 91-100. ISSN 1693-6981 Dr Ir Iwan Nugroho adalah Dosen Fakultas Pertanian Universitas Widya Gama Malang
3 sekaligus berpeluang menurunkan efisiensi produksi dan menghasilkan degradasi ekosistem keseluruhan. Secara umum permasalahan dalam pengelolaan ekosistem ini selain bersumber dari ekosistem darat—misalnya karena kegiatan industri atau pertanian; dan laut—karena transportasi; juga karena karakteristik organismenya yang sangat rentan terhadap perubahan yang mempengaruhinya (Dahuri et al., 1996). Pemahaman keseimbangan energi dalam ekosistem pesisir dapat memberikan kerangka penting dan mendasar bagi upaya-upaya pemanfaatannya. Odum (1971) menggambarkan bahwa wilayah pesisir yang subur (fertile estuaris) dalam keadaan yang stabil (atau klimak) memiliki tingkat respirasi (R) dan fotosintesis (P) yang sama (R/P mendekati satu) dengan tingkat yang paling besar di bawah terumbu karang (coral reefs). Hal ini bermakna bahwa variabel waktu merupakan faktor penentu paling penting dalam pembentukannya. Seandainya saja ekosistem pesisir terganggu, sekalipun masukan energi bagi rehabilitasinya telah tersedia, ia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menata interaksi di dalam komponen-komponennya agar berstruktur dan berfungsi sama seperti sebelumnya. Karakteristik yang spesifik tersebut, tentu saja tidak dapat didekati dengan mekanisme pasar untuk pengelolaannya, belum lagi banyak dijumpai aset-aset non use value di dalamnya yang mencirikan common resources. Pendekatan yang mungkin untuk pengelolaannya adalah material balance, dimana aliran materi dan energi yang mempengaruhinya harus dihitung secara cermat dan ditempatkan pada proporsinya (Pierce and Turner, 1990). Tulisan ini mencoba mengkaji keseimbangan dinamik ekosistem pesisir, melihat aliran materi dan energinya, serta merumuskan kerangka pokok pengelolaannya. Konsep Aliran Energi Ekosistem pesisir bersama dengan terumbu karang menempati peringkat tertinggi dalam produktifitas (gross primary production), yaitu 20000 kcal m-2 tahun-1. Angka ini jauh di atas produktifitas ekosistem darat yang memperoleh masukan energi, yaitu 12000 kcal m-2 tahun-1. Tingginya produktifitas itu berkaitan dengan karakteristik wilayah pesisir yang khas, yaitu (1) wilayah pesisir merupakan areal jebakan hara (a nutrient trap) sebagai akibat pertemuan aliran air dari ekosistem darat dan ekosistem laut, (2) wilayah pesisir menyediakan habitat dan kehidupan sepanjang tahun bagi sekelompok produser penting (macrophytes, benthic microphytes, dan phytoplankon) yang menyusun struktur ekosistem pesisir, dan (3) wilayah pesisir menyimpan energi (pasang surut) yang besar dari aliran materi dan energi bagi keberlangsungan ekosistemnya (Odum, 1971). Namun demikian tingginya produktifitas ekosistem pesisir tidak mencerminkan keadaan sesederhana yang terjadi di ekosistem darat. Sesuai dengan dinamikanya, produktifitas ekosistem sistem sangat dipengaruhi oleh aliran input dan output yang berasal ekosistem darat dan laut. Yang terjadi sesungguhnya adalah adanya keseimbangan biofisik secara dinamis di dalam lingkungan produktifitas biologi yang tinggi dalam tiga subsistem. Pertama, pada zone air dangkal, laju fotosintesis melebihi respirasi. Subsistem ini mengekspor energi dan materi (hara) ke zone pesisir yang lebih dalam dan ke daratan di dekatnya. Kedua, pada zone yang lebih dalam, laju respirasi melebihi fotosintesis. Dalam subsistem ini materi hara atau bahan organik dioksidasi menjadi materi-materi yang sederhana yang siap untuk diregenerasi. Ketiga, subsistem plankton dan nekton, merupakan media yang berperan memproduksi, mentransformasi dan mengangkut hara dan energi di antara sub sistem zone dangkal dan dalam mengikuti fluktuasi pasang surut, musim, atau iklim. Lebih lanjut, dinamika materi dan energi dalam ekosistem pesisir dikemukakan berikut (lihat Gambar 1) mengikuti beberapa kaidah-kaidah atau konsepsi ekologis yang penting. Telah tergambarkan secara jelas bahwa ekosistem pesisir merupakan gambaran sistem tropik yang didominasi oleh produsen. Mereka menggantungkan input materi dan energi terutama dari tenaga pasang surut laut, cahaya matahari dan bahan organik atau unsur hara. Input yang terakhir dapat
4 berasal dari ekosistem darat sebagai bahan bawaan; dan dari ekosistem laut sebagai materi hasil konversi (dan respirasi) utamanya dari sub sistem konsumen. Input ini oleh tenaga pasang surut dan atas bantuan energi matahari merupakan sumber utama bagi fotosistsis (P). Umumnya pengaruh aktifitas manusia terhadap aliran input sangatlah besar. Sekalipun manusia manusia telah bermaksud menginjeksi energi, seringkali perubahan yang dilakukan terhadap ekosistem tidak dapat mengganti aliran input seperti sedia kala. Disinilah letak titik kritikal pengelolaan wilayah pesisir oleh manusia sekaligus berpotensi mengancam keberadaannya.
tide and wave
energy transfer
Light photosythesis
producer P>R
consumption
consumer P
Nutrient and organic matter
Gambar 1. Model sederhana dinamika energi ekosistem pesisir (diolah dari Odum, 1971) Aliran input kemudian ikut menjalankan beragam proses dan mekanisme yang komplek, yang merupakan keseimbangan (general equilibrium) dan interaksi dari kegiatan produksi dan konsumsi. Proses yang terjadi sangat dipengaruhi tingkat perkembangan ekosistem. Pada tahapan awal suksesi (young nature), kegiatan produksi berjalan sangat intensif dan efisien. Sistem begitu terbuka dan tergantung terhadap pengaruh input sehingga sesungguhnya menyimpan potensi instability dan implisit entropynya tinggi. Sementara itu pada tahapan akhir suksesi (climax), karakteristik ekosistem pesisir telah berbalik dari awal suksesi. Sistem sudah begitu stabil (P~R) dan self sustaining terhadap keadaan dan pengaruh sistem sekitarnya. Interval waktu yang dibutuhkan di antara dua tahapan suksesi dipengaruhi beragam faktor yang mempengaruhi proses dalam sistem secara keseluruhan. Namun demikian pesisir di daerah tropika berpeluang mencapai akhir suksesi yang lebih cepat dibanding daerah temperate; implisit di dalamnya proses kerusakan yang lebih cepat karena tingginya kecepatan dekomposisi dan respirasi. Selanjutnya, proses menghasilkan aliran berupa output, entropy dan mekanisme homeostasis. Output dari ekosistem pesisir terutama dikelompokkan ke dalam subsistem consumer berupa ikan atau hasil-hasil laut lainnya. Output dapat diperluas ke dalam nilai-nilai lainnya dari ekosistem yang dapat dimanfaatkan, seperti kayu dari mangrove yang ada di dalamnya atau dari penggunaan lahan lainnya. Pengertian output adalah lebih kepada net productivity, yaitu tambahan produksi (value added) dari gross productivity antara dua waktu pengukuran3. Hal ini dipersepsikan sama 3
Konsepsi ini berbeda dengan Odum (1971) yang mengemukakan empat term productivity yang berbeda: total asimilasi (gross primary productivity), net asimilasi (net primary productivity), net asimilasi dikurangi konsumsi heterotrof (net community productivity) dan net asimilasi heterotrof (secondary productivity)
5 dengan pertumbuhan ekonomi apa bila dimaksudkan untuk menghitung ke dalam satuan monetary. Konsepsi ekologi lainnya yang melekat dalam ekosistem pesisir adalah entropy (dalam Gambar 1 diperlihatkan sebagai panah ke arah bawah), yang merupakan pencerminkan ketidakefisienan sistem sebagai akibat adanya materi dan energi yang tidak terdaya-gunakan oleh komponen-komponen atau struktur di dalam sistem. Menurut Serageldin (1996), kemiskinan, pencemaran lingkungan, dan rendahnya produktifitas merupakan manifestasi yang ditimbulkan oleh entropy. Entropy mengalir tidak hanya menuju ekosistem pesisir saja, ia dapat berimplikasi secara spasial dan temporal terhadap subsistem darat dan laut dan sistem sosial yang terkait di dalamnya. Misalnya adanya pencemaran laut, maka entropy bisa terjadi dalam hambatan fotosintesis akibat dari (a) kekeruhan air laut dan (b) tidak berperannya detritus dalam energy transfer unsur hara. Hal ini selanjutnya akan mengakibatkan penurunan produktifitas produsen dan konsumen. Konsepsi ekologis lain yang tidak kalah pentingnya adalah homeostasis. Homeostasis merupakan mekanisme komplek yang terdiri dari: identifikasi materi dan energi dari output; pengorganisasiannya; dan penyelesaian konflik (antara negative dan positive feedback) di dalamnya; yang diperlukan bagi ekosistem untuk senantiasa dalam steady state yang tinggi. Dalam ekosistem pesisir alami mekanisme homeostasis ditampilkan melalui energy transfer oleh sekelompok bakteri, algae dan protozoa dalam pengendalian secara positive feedback. Kelompok community ini berperan dalam total respirasi sehingga menghasilkan unsur hara dan bahan organik yang penting bagi keberlangsungan hidup produsen. Dalam kasus terjadinya pencemaran, mekanisme homeostasis menampilkan pengendalian negative feedback yang menghasilkan tekanan terhadap produsen. Upaya-upaya rehabilitasi wilayah pesisir atau pengelolaan secara hati-hati merupakan manifestasi dari membangun kembali mekanisme homeostasis. Kerangka Pengelolaan Ekosistem Pesisir Berdasarkan konsepsi yang dikemukakan Rambo (1981), yaitu the system model of human ecology, maka dinamika ekosistem pesisir juga dapat dilukiskan sebagai proses kontinyu dari interaksi antara subsistem sosial (social system) dan subsistem ekologi (ecosystem). Sebagai sebuah sistem terbuka, ekosistem pesisir dapat menerima input dari dan mengeluarkan output energi dan materi ke subsistem sosial dan ekologi lainnya. Aliran itu selain mempengaruhi internal dinamic melalui struktur dan fungsi dari setiap komponen juga mencerminkan integritas dan dinamika dari sistem secara keseluruhan. Begitu komplek aliran input dan output maupun proses interaksi yang terjadi di dalamnya, Rambo mengemukakan pentingnya kecermatan dan kehati-hatian di dalam menganalisisnya. Sebagai konsekwensinya, pemahaman yang mendalam tersebut adalah kunci dan guidance bagi kajian dan upaya-upaya pengelolaan ekosistem pesisir. Kerangka Umum Fenomena dinamika aliran materi dan energi yang ditampilkan ekosistem pesisir secara eksplisit sesungguhnya dapat menuntun kepada argumen bahwa pengelolaan wilayah pesisir harusnya melibatkan ekosistem darat maupun lautan secara terintegrasi. Untuk ini, konsepsi pembangunan wilayah nampaknya dapat menyediakan kerangka yang tepat; yang di dalamnya menuntut integrasi aspek perekonomian, sistem sosial dan kondisi fisik lingkungan. Implikasinya, sasaran dalam pembangunan ekonomi harus terkait dengan upaya memelihara karakteristik ekosistem pesisir, yaitu (1) upaya mencapai sustainability output, (2) memelihara mekanisme homeostasis, dan (3) mencegah meningkatnya entropy. Pencapaian ketiga sasaran tersebut harus bersifat saling menyatu (incorporated) dan secara simultan dapat menghasilkan net sosial benefit. Namun demikian, pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia nampaknya berhadapan lebih berat dengan sasaran yang ketiga, yakni entropy, yang manifestasi umumnya
6 adalah kemiskian dan implikasi dibelakangnya. Keadaan ini pula yang menyebabkan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia lebih komplek dibanding negara-negara maju. Berhadapan dengan keadaan di atas, konsepsi pembangunan wilayah nampaknya semakin relevan yang salah satu kata kuncinya lebih menekankan kepada pendekatan kelembagaan. Sebelum kebijaksanaan diimplementasikan, pemerintah harus mempersiapkan diri dalam hal pengembangan institusi, pemerintahan yang bersih dan transparan (good governance), struktur politik yang demokratis, dan pengenalan persepsi atau perilaku terhadap masyarakat (Besley, 1997). Implikasinya, upaya meningkatkan aktifitas perekonomian masyarakat harus mencakup pula sasaran equity, social cohesiveness, dan partisipasi4. Selanjutnya hubungan atau peran pemerintah di dalam pengelolaan wilayah pesisir menjadi penting sekaligus krusial. Masyarakat miskin khususnya (yang menggantungkan kehidupannya) di sekitar wilayah pesisir harus dilibatkan penuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan. Pemerintah juga dituntut merealisasikan anggarannya (social security expenditure) dalam rangka pembangunan infrastruktur, pendidikan dan latihan, maupun rehabilitasi agar supaya masyarakat miskin tidak menjadi kendala efisiensi dalam pengelolaan wilayah pesisir. Di lain pihak, terhadap sektor swasta yang diharapkan berperan terhadap pertumbuhan, maka kebijaksanaan hendaknya diarahkan untuk mengenali dan menempatkan peran pemerintah secara arif secara gradual untuk bertindak dan berinteraksi dengan sektor swasta5 di dalam rangka menegakkan berjalannya mekanisme pasar dan meningkatkan iklim kompetisi dalam semua sektor. Kebijaksanaan pembangunan hendaknya kaya dengan insentif dan akomodatif terhadap dinamika dan perubahan ekonomi global (Stiglitz, 1997). Sementara itu, kebijaksanaan fiskal atau pajak dapat dipandang pula sebagai mekanisme homeostasis bila dikembalikan lagi ke dalam upaya-upaya memelihara ekosistem pesisir. Kerangka Spesifik Kerangka spesifik pengelolaan wilayah pesisir yang akan dikemukakan merupakan integrasi pencapaian sasaran sustainability output, memelihara mekanisme homeostasis, dan mencegah meningkatnya entropy. Namun demikian karena dapat mencakup sektor kebijaksanaan yang sangat luas6, berikut disajikan kerangka pokok atau prinsip yang diharapkan memandu arah pengelolaan yang benar. 1. Prinsip diversifikasi Ekosistem pesisir hendaknya dipandang secara mendalam agar pengelolaannya melibatkan sektor usaha seluas-luasnnya. Beberapa keuntungan diperoleh antara lain (a) meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan dan sekaligus dapat mengurangi beban entropy kemiskinan, (b) menghindari penggunaan sumberdaya atau pembuangan limbah (disutility) yang dominan sehingga tekanan terhadap ekosistem pesisir dapat dikurangi, dan (c) membangun keterkaitan dan sinergi antar sektor sehingga diharapkan dapat menjamin stabilitas produksi dan menekan penggunaan sumberdaya yang tak terpakai. Pengelolaan wilayah pesisir yang umumnya selama ini didominasi perikanan tangkap sesungguhnya dapat dikembangkan industri pengolahan hasil perikanan, ecotourism dan industri kerajinan dari hasil laut. 2. Prinsip teknologi 4
Upaya-upaya ini adalah dalam rangka membangun modal sosial (social capital). Social capital merupakan jalinan ikatan-ikatan budaya, governance, dan social behaviour yang membuat sedemikian rupa sehingga fungsi dan tatanan sebuah masyarakat adalah lebih dari sekedar jumlah individunya. Social capital dan wujudnya sebagai kelembagaan inilah sumber dari legitimasi berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi (Serageldin, 1996)
5
Hendaknya tidak dipersepsikan dengan adanya bidang-bidang tertentu yang selalu dan harus dikelola oleh negara dan bidang yang lain diserahkan pengelolaannya ke swasta.
6
Dahuri et al. (1996) mengidentifikasi sektor-sektor yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, antara lain kehutanan, pertanian, biosida, pembudidayaan ikan, perikanan tangkap, pemukiman dan perkotaan, pariwisata, pertambangan dan energi, pembuangan limbah padat, pembuangan limbah cair, jalan raya dan pelabuhan
7 Pengelolaan wilayah pesisir hendaknya memanfaatkan teknologi yang tepat dalam beragam sektor di dalamnya. Penggunaan teknologi bertujuan antara lain (a) meningkatkan hasil dan efisiensi produksi (b) meningkatkan kemampuan asimilasi dan daya dukung ekosistem pesisir, (c) menyediakan alternatif pemecahan masalah di dalam pengelolaan ekosistem pesisir, dan (d) memelihara mekanisme homeostasis. Lemahnya penguasaan teknologi penangkapan ikan merupakan salah satu penyebab rendahnya produktiftas nelayan di Indonesia. Bersamaan dengan itu penggunaan teknologi tertentu justru merusak ekosistem pesisir dan laut, misalnya penggunaan bahan kimia. 3. Prinsip pengaturan produksi Ekosistem pesisir dan lautan dilihat dari karakteristiknya merupakan sumberdaya publik (common and public resources). Upaya pengaturan produksi di dalam pengelolaannya adalah sangat penting dalam rangka mencapai sustainability output. Beberapa manfaat penting pengaturan produksi adalah: (a) mencegah deplesi berlebihan suatu sumberdaya atau akumulasi disutility, (b) memelihara ekosistem pesisir sebagai komponen penting dalam siklus hidrologi, (c) memberi kesempatan kepada ekosistem pesisir untuk membangun mekanisme homeostasis dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, dan (d) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperbaiki alat-alat dan teknologi produksi. Pengaturan produksi secara alami telah berlangsung mengikuti perjalanan musim. Pada musim barat, nelayan mengurangi aktifitasnya melaut karena hambatan teknis kekuatan angin. Pengaturan produksi pada sektor lainnya lebih mudah diorganisasikan secara terpisah maupun menyesuaikan dengan sektor perikanan. 4. Prinsip zonasi Karakteristik ekosistem pesisir sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di ekosistem darat maupun laut. Agar supaya akibat-akibat buruk itu dapat dikurangi, maka adanya buffering zone mutlak diperlukan. Manfaat penting upaya-upaya zonasi antara lain (a) membantu menetapkan property right di antara sektor-sektor yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir, (b) membantu mengorganisasikan perolehan benefit dan penyelesaian konflik (cost) di antara sektor-sektor yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir, dan (c) menyediakan ruang bagi ekosistem pesisir untuk mekanisme asimilasi disutility dan homeostasis. Upaya zonasi atau penataan wilayah pesisir senantiasa berhadapan dengan disutility yang bersifat mobil (non-point source pollution). Permasalahan ini bersifat khas dan senantiasa dihadapi oleh sumber-sumber daya publik. Kegagalan pengelolaan wilayah pesisir dan degradasi yang diakibatkannya sering bersumber dari hal tersebut, misalnya erosi yang terjadi di upland atau tumpahan minyak di laut. Hal ini pula menjadi alasan kuat perlunya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. 5. Prinsip rehabilitasi Sebagai konsekwensi dari sumber-sumber daya publik, bahwa timbulnya kerugian (externalities) merupakan hal yang tidak dapat ditolak. Ekosistem pesisir dan masyarakat miskin yang terkait di dalamnya paling peka (vulnerable) berhadapan dengan hal tersebut. Upaya-upaya rehabilitasi bertujuan antara lain: (a) memulihkan fungsi-fungsi ekologis ekosistem pesisir, (b) mengkompensasi kerugian masyarakat miskin, (c) upaya pendidikan dan ketrampilan mengenai pengelolaan wilayah pesisir, dan (d) membangun infrastruktur fisik ekosistem pesisir. Pada ekosistem pesisir yang mengalami kerusakan parah, upaya rehabilitasi dapat saja berimplikasi perubahan sosial. Masyarakat akan dihadapkan kepada struktur dan nilai-nilai sosial baru yang mungkin lepas sama sekali dari ekosistem pesisir semula. Rehabilitasi demikian antara lain terjadi dalam transmigrasi atau resettlement.
8 Penutup Dinamika dan produktifitas ekosistem pesisir sangat dipengaruhi oleh aliran input dan output yang berasal dari ekosistem darat dan laut. Aliran input dicurahkan terutama di dalam zone air dangkal dengan proses utama pembentukan biomassa melalui fotosintesis. Aliran output menjalankan ekspor energi dan materi (hara) ke zone air laut dalam dengan proses utama respirasi atau oksidasi bahan organik menjadi materi yang sederhana yang siap untuk diregenerasi. Selanjutnya melalui media plankton dan nekton, dengan bantuan kekuatan pasang surut, terjadi mekanisme homeostasis transfer hara dan energi yang siap untuk diasimilasikan kembali melalui fotosintesis. Sasaran utama pengelolaan wilayah pesisir didasarkan atas konsepsi ekologi adalah (a) upaya mencapai sustainability output, (b) memelihara mekanisme homeostasis, dan (c) mencegah meningkatnya entropy. Sasaran ini nampaknya dapat dipenuhi oleh konsepsi pembangunan wilayah dimana selain mengintegrasikan aspek-aspek ekonomi, lingkungan dan sosial, juga lebih menekankan pendekatan kelembagaan dengan tujuan membangun modal-modal sosial. Dengan pendekatan ini upaya meningkatkan aktifitas perekonomian masyarakat mencakup pula sasaran equity, social cohesiveness, dan partisipasi. Kerangka spesifik pengelolaan wilayah pesisir dapat melibatkan banyak sektor mulai dari sektor pertanian dan kehutanan di hulu hingga industri dan jasa di hilir atau pelabuhan. Namun demikian beberapa prinsip pengelolaan berhasil diidentifikasi, antara lain diversifikasi, teknologi, pengaturan produksi, zonasi, rehabilitasi. Daftar Pustaka Besley, T. 1997. Political economy of alleviating poverty: theory and institutions. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1996. IBRD-World Bank, Washington, DC. 117-134. Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan J. Sitepu. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. 306p. Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. Saunders College Publishing, Philadelphia. 574p Pierce, D. W. and K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources and the Environment. Harvester Wheatscheaf. 378p. Rambo, A. T. 1981. Conceptual approaches to human ecology: a sourcebook on alternative paradigms for the study of human interactions with the environment. East-West Environment and Policy Institute, Honolulu, Hawaii. 49p. Serageldin, I. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations, First steps in an ongoing journey. Environmentally Sustainable Development (ESD) Studies and Monographs Series No. 5. 21 p. Soerianegara, I. 1977. Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bagian I. Sekolah Pascasarjana, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB Bogor. 158p. Stiglitz, J. E. 1997. The role of government in economic development. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1996. IBRD-World Bank, Washington, DC. 11-23.