Implementasi Pembangunan Wilayah Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

  • Uploaded by: Iwan Nugroho
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Implementasi Pembangunan Wilayah Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan as PDF for free.

More details

  • Words: 10,811
  • Pages: 42
Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN WILAYAH Menuju pertumbuhan ekonomi berkelanjutan

Prof. Dr. Ir. Iwan Nugroho, MS Orasi Guru Besar Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Sidang Senat Terbuka Universitas Widyagama Malang 3 Mei 2008

Badan Penerbitan Universitas Widyagama Malang

i

ii

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia. Naskah ini memuat materi untuk orasi ilmiah dalam rangka pengukuhan guru besar bidang ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah, pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Widyagama Malang. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Widyagama atas amanah ini. Penghargaan disampaikan kepada semua pihak yang ikut bekerjasama, mendukung dan membantu penulis, secara langsung atau tidak, dalam perjalanan/petualangan akademik; prosedur administrasi jabatan guru besar; merealisasikan prosesi pengukuhan. Guru besar sebagai jabatan akademik tertinggi, menyimpan tanggungjawab berat bagi penyandangnya. Ia harus mampu menunjukkan konsistensi kinerja akademik, sehingga senantiasa memberi manfaat dan pencerahan bagi lingkungan. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing penulis dalam mengemban tanggungjawab tersebut. Penulis menyadari materi naskah memuat banyak kelemahan. Hal ini sangat disadari karena kajiannya bersifat mendasar bagi pembangunan nasional. Tentu saja naskah ini tidak memiliki otoritas penuh atas kebenaran, karenanya saran dan kritik diperlukan untuk menyempurnakannya.

Malang, 3 Mei 2008

Penulis

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

iii

DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan Pembangunan Wilayah Pembangunan Berkelanjutan Social Capital Kebijakan Ekonomi 1. Sektor Pertanian 2. Ekonomi Perkotaan 3. Ekowisata 4. Efektivitas Birokrasi 5. Infrastruktur Daftar Pustaka Ucapan Terimakasih Riwayat Hidup

1 2 4 6 9 9 12 13 16 18 20 23 25

iv

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

DAFTAR TABEL No 1 2

Teks Prioritas pengembangan komoditi di tingkat Nasional, Jawa Timur dan Lampung Pendekatan dalam Pengelolaan Sektor Publik

Halaman 10 17

DAFTAR GAMBAR No 1 2 3

Teks

Sustainability dan kenaikan stock capital per kapita

(Serageldin, 1996) Deskripsi area studi social capital Faktor yang signifikan mempengaruhi kinerja usaha (Bappeko Malang, 2007)

Halaman 4 7 13

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

v

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

vi

Yang saya hormati: Ketua dan pengurus Yayasan Pembina Pendidikan Indonesia, Rektor beserta Senat Universitas Widyagama Malang, Pejabat Militer, Pimpinan Eksekutif dan Legislatif Daerah, Pimpinan Perusahaan, para undangan, sahabat, handai taulan yang saya muliakan, Pimpinan Fakultas, Biro, Lembaga, Jurusan dan UPT di lingkungan Universitas Widyagama Malang, Dosen dan karyawan Universitas Widyagama Malang, Serta para mahasiswa dan alumni yang berbahagia. Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh. Pertama, marilah kita panjatkan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia kesempatan dan kesehatan sehingga kita bersama-sama dapat mengikuti sidang senat pada hari ini. Rasa syukur, sekaligus kebanggaan, teralamatkan kepada Universitas Widyagama Malang, yang konsisten meningkatkan mutu penyelenggaraan dan lingkungan akademik, sehingga mampu eksis dalam dinamika yang penuh perubahan dan tantangan. Saya yakin, Universitas ini ke depan mampu berperan lebih optimal dalam pembangunan melalui kerja keras dan profesionalitas yang dimilikinya. Kedua, kami sekeluarga bersyukur atas anugerah jabatan ini. Guru besar sebagai jabatan akademik tertinggi, menyimpan tanggungjawab berat bagi penyandangnya. Setidaknya, ia harus mampu menunjukkan konsistensi kinerja akademik, sehingga senantiasa mampu memberi manfaat dan pencerahan bagi lingkungannya. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kami dalam mengemban tanggungjawab tersebut. Insya Allah, dengan lingkungan akademik yang semakin baik di Universitas Widyagama, akan membantu saya bertahan dalam track konsistensi tersebut. Sidang senat dan hadirin sekalian, Saya telah menyiapkan naskah orasi dengan judul: ‘IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN WILAYAH: Menuju pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Materi orasi merupakan untaian dari perjalanan akademik menelaah implementasi pembangunan ekonomi dilandasi konsepsi ilmu perencanaan pembangunan wilayah. Beberapa merupakan hasil renungan dan wacana yang masih memerlukan pendalaman dan diskusi, dalam rangka menemukan arah dan jalan keluar terhadap berbagai masalah pembangunan.

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

1

PENDAHULUAN Hingga saat ini pembangunan ekonomi masih menghadapi permasalahan mendasar dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam bidang sosial, mekanisme kelembagaan era reformasi belum memberi hasil yang memuaskan. Semangat otonomi untuk membangun daerah lebih banyak diwarnai politik kekuasaan dibanding politik kesejahteraan. Keberhasilan otonomi daerah dinikmati oleh sebagian kecil kota dan kabupaten. Namun, otonomi juga menghasilkan raja-raja kecil yang berpeluang menyalahgunakan wewenang. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 1998-2007 kasus korupsi lebih banyak terjadi di daerah (Jawapos, 11 Februari 2008). Permasalahan dalam bidang ekonomi adalah lemahnya pembangunan infrastruktur. Menurut ADB-World Bank (2005), tingkat investasi yang hanya sekitar 16 persen Produk Domestik Bruto (PDB), tidak akan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi 7 hingga 8 persen sebagai syarat pemulihan krisis ekonomi. Pada tahun 1990an, besaran investasi mencapai 30 persen PDB per tahun. Infrastrukturair bersih, jalan, dan listrikmenghadapi permasalahan kualitas layanan, pemeliharaan, kesetaraan akses, kebijakan tarif, dan mekanisme aturan yang tidak jelas. Hal ini bukan saja menghambat upaya-upaya pembangunan wilayah dan pengentasan kemiskinan, tetapi juga mengurangi daya tarik investasi (Sarosa, 2006). The Global Competitiveness Report 2007-2008 memposisikan Indonesia pada peringkat competitiveness ke 54, tertinggal dari Thailand (peringkat 28) dan Malaysia (peringkat 21). Kecepatan laju urbanisasi di Indonesia menambah kompleksitas penyediaan infrastruktur. Jumlah penduduk kota pada tahun 2010 diproyeksikan sudah melebihi penduduk di desa. Implikasinya, penyediaan infrastruktur perkotaan mendapat perhatian lebih agar mampu memenuhi permintaan ekonomi, serta menyediakan lingkungan bagi berkembangnya inovasi dan entrepreneurship. Permasalahan berikutnya adalah, keadaan lingkungan hidup Indonesia menghadapi ancaman yang serius. Krisis ekonomi, keadaan kemiskinan dan laju mekanisme pasar bersinergi merusak kawasan-kawasan konservasi (USAID Indonesia, 2004). Laju deforestasi selama 1997 hingga 2000 naik menjadi 3,8 juta ha/tahun, dari 1,6 juta ha/tahun periode 1985 hingga 1997. Laju kerusakan diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode 2000 hingga 2003 karena penebangan liar, penyelundupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, 2007) Akibatnya, banjir dan longsor meluas di

2

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

berbagai wilayah yang rawan bencana, mengakibatkan rusaknya infrastruktur, gagal panen, gangguan kesehatan lingkungan, serta korban harta benda dan nyawa. Permasalahan-permasalahan tersebut di atas, saling berinteraksi positif untuk menghambat berbagai aktivitas ekonomi. Konsekwensinya, programprogram pemberdayaan daerah tertinggal, pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), rehabilitasi lingkungan, dan pengembangan kemasyarakatan mengalami kendala yang signifikan. Padahal aktivitas ekonomi riil tersebut merupakan sumber-sumber pertumbuhan yang berorientasi kepada kesejahteraan. Indonesia perlu pertumbuhan sedikitnya tujuh persen agar sepenuhnya pulih dari krisis, sementara pertumbuhan ekonomi rata-rata sejak 2000 hingga 2006 tidak lebih 6 persen. Naskah ini menguraikan konsep-konsep pemecahan masalah dalam kerangka ilmu perencanaan pembangunan wilayah. Naskah membahas perihal perkembangan pembangunan wilayah, pembangunan berkelanjutan, dan modal sosial. Terakhir diberikan bahasan kebijakan ekonomi aktual yang mengintegrasikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan, yang diharapkan menjadi sumber-sumber pertumbuhan. PEMBANGUNAN WILAYAH Konsepsi pembangunan wilayah yang dimotori tiga pilar (Hoover and Giarratani, 1985), yakni keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor), aglomerasi (imperfect divisibility), dan biaya transport (imperfect mobility of good and services), masih relevan hingga saat ini. Fenomena globalisasi, otonomi, teknologi, kelembagaan, dan konservasi lingkungan dapat dijelaskan secara memuaskan melalui locational factor. Namun harus diakui, telah lahir fenomena kematian jarak (the death of distance) dimana konsep pembangunan wilayah memerlukan justifikasi untuk menelaahnya. Fenomena ini tidak lagi mementingkan aspek lokasi dan sekaligus menggugurkan konsep land rent. Aktivitas ekonomi tidak lagi mengejar akses dan lokasi pusat kota, tetapi mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya sektor jasa. Namun demikian, fenomena ini mungkin melahirkan apa yang disebut jarak sosial, yaitu jarak fisik antar manusia yang hilang karena lebih berkonsentrasi di depan komputer. Perencanaan pembangunan wilayah dipahami sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

3

aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri, 2004) Ada tiga tahapan dalam pembangunan wilayah, yakni perkembangan industri, efisiensi industri dan keunggulan wilayah (Drabenstott, 2006). Dalam tahapan pertama, perkembangan industri dalam suatu wilayah dipicu kegiatan ekspor. Industri berkembang untuk memenuhi permintaan dari luar wilayah, dipandu oleh teori export base. Keberhasilan tahapan ini ditentukan oleh peran pemerintah dalam berbagai insentif, antara lain pajak, infrastruktur, kawasan industri, dan fasilitas lainnya. Kedua, efisiensi industri. Dalam tahapan ini industri melaksanakan konsolidasi untuk mengefisienkan sistem produksi dan memperbaiki skala ekonomi. Pemerintah memfasilitasi dengan berbagai deregulasi agar terbentuk lingkungan bisnis yang kompetitif, sehingga melahirkan pelaku usaha swasta yang tangguh dan mampu bersaing secara global. Ketiga, keunggulan wilayah. Tahapan ini ditandai dengan kekuatan internal yang menghasilkan nilai tambah yang signifikan dalam pasar global. Kekuatan internal tersebut adalah inovasi yang dilandasi iptek, dan kemampuan kewirausahaan. Inovasi diibaratkan bahan bakar, sementara kewirausahaan adalah mesin. Keduanya menjadi sumber kesempatan kerja, pendapatan dan kesejahteraan. Ekonomi wilayah tidak lagi diperankan oleh usaha besar, tetapi oleh usaha-usaha kecil dan menengah yang lincah dan efisien. Keberhasilan tahapan ini ditentukan oleh kenyamanan iklim bisnis, riset dan SDM yang bermutu. Tahapan pertama dan kedua berorientasi eksternal. Pembangunan lebih dikendalikan oleh permintaan dari luar wilayah, sementara keadaan internalnya diasumsikan menyesuaikan keadaan pasar luar wilayah. Dalam posisi ini, pendekatan kebijakan pembangunan ’one size fitts all’ diterapkan. Pengembangan industri dan deregulasi adalah kebijakan universal. Kebijakan ini berpotensi mengancam aset-aset lokal dan kelestarian fungsi oleh pengaruh mekanisme pasar. Tahapan ketiga lebih bersifat internal. Setiap wilayah memiliki karakteristik khas perihal potensi ekonomi dan mutu SDM untuk berinovasi dan berkewirausahaan. Karenanya setiap wilayah akan berbeda dalam kemampuan menangkap pasar. Dalam keadaan ini, pendekatan kebijakan pembangunan berorientasi lokal sangat relevan, seperti halnya semangat otonomi daerah. Tahapan pembangunan wilayah seperti dikemukakan di atas sering tidak relevan dengan negara berkembang. Karakter lokal sering menjadi intervening variable sehingga tujuan pembangunan tidak tercapai. Kasus

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

4

Indonesia bisa diambil contoh. Sejak orde baru, dengan dukungan stabilitas ekonomi dan politik, tidak semua propinsi atau wilayah menikmati pertumbuhan. Hal tersebut makin jelas dalam awal era otonomi, dimana sebagian besar daerah tidak memiliki kapasitas (building capasity) memberdayakan wilayah, ditandai dengan manajemen publik yang buruk dan demoralisasi aparat. Mekanisme kelembagaan dalam manajemen publik dan alokasi sumberdaya wilayah tidak jelas. Rendahnya building capasity mengakibatkan iklim investasi dan potensi kewirausahaan tidak berkembang (Mueller, 2006). PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Definisi pembangunan berkelanjutan dipromosikan oleh komisi Brundtland (pada tahun 1987)1, yakni, “... development that meets the needs of the present generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” Definisi ini menjadi acuan banyak pakar ekonomi untuk dielaborasi lebih lanjut. Para pakar Bank Dunia menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya diarahkan kepada akumulasi modal alam (natural capital), modal sosial (social capital), dan modal ekonomi (man-made capital). Hal ini merupakan cerminan dari triangle of sustainability (Serageldin, 1996), yang memuat tujuan-tujuan (dimensi) ekonomi, sosial, dan ekologi yang saling berinteraksi dan melindungi satu sama lain.

Natural Capital

Sosial Capital

Man-made Human Capital Capital

time

Natural Capital Man-made Capital

Sosial Capital

Human Capital

Gambar 1. Sustainability dan kenaikan stock capital per kapita (Serageldin, 1996)

1

World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. Oxford University Press, New York. Sumber asli tidak diperoleh penulis

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

5

Konsepsi pembangunan berkelanjutan berangkat dari apa yang disebut

sustainability is to leave future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more. Konsep ini memandang bahwa pembangunan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital per kapita (minimal sama dengan generasi sekarang) (Gambar 1). Modal-modal itu adalah human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan, atau gizi), social capital2 (fungsi, keberadaan dan manfaat kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati) dan man-made capital (investasi yang umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian).

Yang menarik adalah tidak terhindarkannya substitusi diantara modal-modal tersebut. Pembangunan menjadi weak sustainability karena terjadi tingkat substitusi yang tinggi tanpa memperhatikan komposisi akhir modal. Substitusi antara social capital dengan man-made capital misalnya hilangnya kesempatan bercengkerama dengan tetangga akibat kesibukan kerja. Sensible sustainability mencerminkan tingkat subsitusi yang ‘berhatihati’ sehingga berkurangnya salah satu modal diimbangi oleh tambahan modal lainnya. Misalnya, berkurangnya kesempatan bercengkerama dengan tetangga (sebagai social capital) digantikan mengkaji Al Qur’an (sebagai human capital). Terakhir, strong sustainability adalah substitusi ‘terbatas’ (atau komplemen) sehingga berkurangnya salah satu modal harus diimbangi lebih investasi untuk modal yang sama. Keadaan ini dapat digambarkan dengan berkurangnya kesempatan bercengkerama dengan tetangga (sebagai social capital) digantikan oleh keikutsertaan dalam organisasi sosial yang memberi benefit bagi sesama. Sementara itu, Dasgupta (2007) mengenalkan konsep investasi inklusif (inclusive investment), yakni pengertian investasi yang mencakup di dalamnya empat modal di atas. Investasi inklusif dalam konsep sustainable development dinyatakan bernilai positif (dalam harga konstan) sepanjang waktu, sehingga senantiasa mengalirkan kesejahteraan inklusif (inclusive 2

Social capital merupakan jalinan ikatan-ikatan budaya, governance, dan social behaviour yang membuat sedemikian rupa sehingga fungsi dan tatanan sebuah masyarakat adalah lebih dari sekedar jumlah individunya. Social capital dan wujudnya sebagai kelembagaan inilah sumber dari legitimasi berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi (Serageldin, 1996). Upaya membangun social capital adalah cermin peningkatan equity, social cohesiveness, dan partisipasi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama dan koordinasi bersama yang kuat antar individu-individu dari beragam disiplin, organisasi kemasyarakatan (misalnya LSM), private sector, dan pemerintah pada tingkat lokal, regional hingga nasional, sehingga membentuk sinergi dalam mendukung keberlanjutan pembangunan.

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

6

wealth).

Kesejahteraan inklusif adalah ukuran akumulasi nilai tambah ekonomi setara Produk Domestik Bruto (PDB), yang sudah dibersihkan dari depresiasi dan penurunan aset lingkungan3. Investasi inklusif merupakan stok capital yang menjadi sumber-sumber pertumbuhan dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, mekanisme substitusi harus disertai kompensasi modal agar nilai investasi inklusif senantiasa bertambah. Pembangunan ekonomi man-made capital. biasanya menguntungkan hanya kepada Kecenderungan demikian tidak dikehendaki dalam pembangunan berkelanjutan, yang menurut Serageldin (1996) proporsi human dan social capital hendaknya senantiasa meningkat dengan waktu. SOCIAL CAPITAL Para ekonom makin menyadari bahwa ada faktor tertentu yang menyebabkan antara negara atau wilayah satu dengan yang lain memiliki kinerja ekonomi yang berbeda. Dalam teori neoklasik, faktor itu antara lain kualitas SDM, teknologi, infrastruktur, sumberdaya alam dan lain-lain. Namun demikian, faktor-faktor tersebut hanya menjelaskan sebesar 40 hingga 60 persen perihal kinerja ekonomi. Yang lain, atau sisanya adalah faktor yang belum teridentifikasi (Hjerppe, 2003; Arrow et al., 2004; Dasgupta, 2007). Sementara itu perkembangan pendekatan analisis ekonomi makin memperjelas sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Ekonomi akan tumbuh sejalan dengan kapasitas wilayah mengakumulasi faktor input, mengembangkan teknologi dan skala ekonomi. Kapasitas tersebut lahir dalam lingkungan yang kondusif antara lain pasar finansial, pengembangan riset dan teknologi, ekonomi makro kondusif, iklim politik stabil, kepastian hukum, dan tanpa kesenjangan distribusi pendapatan. Kapasitas itulah yang mulai disepakati para ekonom sebagai kerangka institusi ekonomi (institutional framework of an economy), sebagai fokus ilmu ekonomi kelembagaan. Dari sini kemudian konsep social capital ditelaah. Telah banyak kemajuan dalam studi dan pemahaman terhadap social capital dan perannya dalam pembangunan (Serageldin, 1996; Dasgupta, 2000; Serageldin and Grootaert, 2000; Quibria, 2003). Melengkapi definisi yang disebut sebelumnya, telaah Hjerppe (2003) menguraikan social capital terdiri dari (i) norm, meliputi tatanan perilaku, nilai, hubungan dan trust; (ii) network, meliputi struktur sosial, asosiasi, institusi, aturan dan prosedur, 3

Beberapa menyebut sebagai PDB hijau

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

7

dan (iii) the outputs of collective action, yakni hasil akhir aktivitas kolektif dari individu dalam masyarakat. Makro Kelembagaan negara, aturan & mekanisme hukum Formal/ Struktur/ Network

Tata kelola

Meso/Region

Informal/ Chemistry/ Norm

Norma, nilai lokal dan trust

Kelembagaan & nilai lokal Mikro

Gambar 2. Deskripsi area studi social capital

Pertanyaannya adalah bagaimana wujud nyata social capital. Hjerppe (2003) menguraikan social capital dalam tiga level. Pada tingkat makro (institutional environment), teramati dari aspek legal atau politik, misalnya aturan hukum dan mekanisme kontrak, yang mendasari sistem produksi, konsumsi dan distribusi. Sasarannya adalah transparansi dan accountibility tata kelola agar dapat menarik investasi. Sejak reformasi, telah banyak penyempurnaan kelembagaan ekonomi nasional untuk memberi ruang aktivitas ekonomi lebih efisien. Misalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengawal sistem hukum, Bank Indonesia (BI) berperan dalam track moneter, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melindungi struktur pasar, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawal tata kelola pemerintahan. Pada tingkat meso atau wilayah (institutional arrangement), terfokus kepada aturan atau mekanisme alokasi sumberdaya di antara unit-unit ekonomi untuk mencapai suatu transaksi. Pada tingkat region ini, tercipta Social kelembagaan ekonomi ekologi, cluster, atau kaitan ekonomi riil. capital tingkat wilayah adalah mutlak domain pemerintah daerah. Era otonomi seharusnya dioptimalkan untuk kerjasama ekonomi dan pemberdayaan wilayah. Wilayah yang berhasil, misalnya provinsi Gorontalo dengan pengembangan jagung, atau kerjasama antar wilayah menangani alokasi sumberdaya. Sementara yang lain masih menata infrastruktur atau sibuk dengan perpolitikan lokal.

8

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

Wujud social capital pada tingkat mikro dicerminkan dalam kualitas hubungan diantara individu atau rumah tangga, untuk saling memberi trust, manfaat dan nilai tambah. Keluarga atau rumah tangga adalah potensi social capital terbesar bangsa ini. Stok nilai-nilai moral dan akhlak di dalam keluarga adalah sumber kearifan individu untuk berpikir, bersikap dan berperilaku. Kearifan tidak hanya melahirkan pribadi yang cerdik tetapi juga cendikia yang senantiasa memberi manfaat ke lingkungan. Dalam ceramah di Bank Pembangunan Asia, Manila, 3 Oktober 2007, Dasgupta (2007) menyatakan sumberdaya manusia cerdik bukan jaminan bagi pertumbuhan ekonomi. SDM yang cerdik perlu meletakkan dirinya, atau membumi dalam kerangka institusi. Institusi inilah yang membawa dan menjamin keberlanjutan pertumbuhan. Ringkasnya, tujuan social capital untuk menunjang aktivitas perekonomian mencakup tiga hal (Williamson, 1995). Pertama, peningkatan investasi. Kebijakan diarahkan untuk membenahi sistem produksi ekonomi (mode of organization) dan menekan ketidakpastian Kedua, meningkatkan kontrak. Sasarannya adalah (uncertainty). melahirkan kontrak jangka panjang (long-term contracting), dimana di dalamnya memerlukan kepastian hukum untuk melindungi dan memelihara benefit. Kontrak jangka panjang menjamin tingkat perekonomian ke arah yang mapan (high performing economy); dibanding spot market trading yang berorientasi jangka pendek. Ketiga, meningkatkan credible commitment. Credible commitment akan mendatangkan kontrak dan investasi, dalam jumlah dan ragam investasi yang berproduktivitas tinggi dan terspesialisasi (high-technology industry). Peran social capital sangat penting dalam pembangunan wilayah yang menghadapi tekanan lingkungan. Dalam pembangunan perkotaan, social capital mampu mengkompensasi hilangnya natural capital dan naiknya manmade capital. Social capital, dalam ilmu lingkungan, menampilkan peran homeostasis yang mengorganisasikan dan mengendalikan sumberdaya materi, energi, dan informasi sehingga menghasilkan produktivitas ekonomi perkotaan (Iwan Nugroho, 1997). Social capital juga melahirkan new urbanism, yakni konsep pembangunan perkotaan yang mementingkan hubungan antar manusia dan lingkungan4. Perencanaan kota, mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, 4

Keadaan social capital tidak terlepas dari faktor kualitas (penataan) ruang perkotaan untuk mewadahi hubungan sosial masyarakat. Ruang yang tidak tertata dapat mengakibatkan rendahnya Perumahan mewah berpagar tinggi mengakibatkan sulitnya hubungan nilai social capital. komunikasi antar tetangga. Perumahan miskin, kumuh dan padat mengakibatkan hilangnya tempat bermain bagi anak-anak serta rekreasi bagi keluarga sebagai sarana komunikasi.

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

9

dan lingkungan, mengarah ke kota yang berkarakter kuat, ramah lingkungan dan penataan ruang livable. New urbanism tidak berorientasi kepada kotakota metropolis, tetapi menekankan kepada harmoni dalam tiga aspek tersebut. (Medrilzam, 1999). KEBIJAKAN EKONOMI 1. Sektor Pertanian Pada tahun 2007, sektor pertanian nasional menyumbang 13.8 persen PDB dan 43.7 persen tenaga kerja, sementara sektor manufaktur menyumbang 27.0 persen PDB dan 12.4 persen tenaga kerja (www.bps.go.id). Data tersebut menunjukkan transformasi sosial dan ekonomi yang tidak mulus. Jumlah tenaga kerja pertanian terlalu banyak dan tidak mampu diserap oleh sektor manufaktur. Selain itu, keragaan usaha pertanian dihadapkan pada dualisme pelaku, yaitu pertanian rakyat berskala kecil dan pertanian modern berskala besar komersial. Terdapat lebih dari 32 juta usaha kecil dengan volume usaha kurang dari 2 milyar rupiah per tahun, dimana 90 persen bervolume usaha kurang dari 50 juta rupiah per tahun. Selanjutnya dari 90 persen tersebut lebih dari 21,30 juta unit usaha adalah usaha rumah tangga yang bergerak pada sektor pertanian (Deptan, 2001) Sistem produksi pertanian, dengan karakter biodiversitynya, memenuhi syarat sebagai sumberdaya publik (public resources). Sumberdaya publik bersifat non-rivalry in consumption, artinya konsumsi seseorang tidak mengurangi benefit dari sumberdaya publik untuk orang lain. Aggregate demand sumberdaya publik merupakan jumlah vertikal permintaan individu dan dilukiskan dengan kenaikan harga dan jumlah penyediaan konstan. Implikasinya, sekali ditetapkan harganya maka benefit dari sumberdaya publik segera mengalir secara gratis (free-rider) kepada orang lain. Manfaat gratis (atau tepatnya murah) tercermin dari pricing policy komoditi pertanian yang lebih rendah dari seharusnya (undervalue). Akibatnya, sebagian besar orang kota dan sektor manufaktur turut menikmati limpahan benefit yang harusnya menjadi hak petani (Iwan Nugroho, 2005). Ilustrasi di atas menunjukkan sektor pertanian menyimpan ragam masalah dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta ancaman sustainability. Pendekatan pembangunan ’one size fitts all’, tidak akan berfungsi optimal. Dengan kebijakan otonomi, masyarakat punya peluang mengembangkan kapasitas wilayah untuk menghasilkan kesejahteraan.

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

10

Kemampuan mengidentifikasi karakteristik wilayah akan menjadi penentu keberhasilan program pembangunan pertanian spesifik wilayah. Panduan investasi sektor pertanian spesifik wilayah sudah diidentifikasi. Penelitian Iwan Nugroho dan Nuhfil Hanani (2007); serta Astuti, Sujarwo dan Asmara (2007), menemukan informasi yang akurat bagi perencanaan pengembangan komoditi khususnya di tingkat propinsi, melalui perhitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan karakteristik multiplier komoditi. Dengan demikian investasi dapat dioptimalkan pada komoditi pertanian (atau prioritas) khas wilayah untuk menghasilkan kesempatan kerja, nilai tambah dan pendapatan (Tabel 1). Tentu saja, kesejahteraan yang mengalir dari sistem produksi komoditi wilayah tersebut merupakan wujud nyata social capital yang diuraikan sebagai berikut. Tabel 1. Prioritas pengembangan komoditi di tingkat Nasional, Jawa Timur dan Lampung

Wilayah

Kelompok I, komoditi strategis, berdampak kesejahteraan

Kelompok II, komoditi penghasil nilai tambah

Kelompok III, komoditi penghasil devisa (ekspor)

Ikan dan hasil laut Perikanan darat Padi lainnya Buah-buahan Unggas & hasil-2nya Kakao Kopi Susu Hasil perkebunan Tembakau Tebu lainnya Karet Kedele Jawa Padi Buah-buahan Timur Tebu Jagung Susu Kelapa Telur Sayur-sayuran Kedele Lampung Padi Ubikayu Tebu Lada Jagung Kelapa Unggas & hasil-2nya Peternakan & hasil-2nya Kopi Pisang Sumber: Iwan Nugroho dan Nuhfil Hanani (2007) Indonesia

Pertama, aspek legal ekonomi tingkat makro (institutional environment) terhadap komoditi strategis, dengan kebutuhan untuk menjalankan amanah UU No 7 tahun 1996 tentang Ketahanan Pangan5. Pemerintah melindungi 5

ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau. Sementara definisi pada World Food Conference Human Right 1993 dan World Food Summit 1996

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

11

kepentingan dalam negeri dari berbagai anasir-anasir unfair trade agar komoditi senantiasa tersedia, terjangkau dan handal. Kelompok komoditi ini perlu diprioritaskan atas dasar pertimbangan kesejahteraan sebagian besar petani, konsumen dan UMKM. Kedua, peran swasta dalam pengembangan agribisnis. Dibanding sebelum periode reformasi, kebijakan harga (pricing policy) saat ini memberikan insentif yang relatif baik untuk menghasilkan nilai tambah, Hal ini telah yang mempertimbangkan bargaining power petani. menstabilisasi kerjasama model koperasi, industri, inti-plasma dengan petani (institutional arrangement ), antara lain pada komoditi jagung, tebu, ternak ayam (unggas, susu dan telur) dan perikanan darat dan laut. Keterkaitan ekonomi antara komoditi dengan industri pengolahan menjadi modal sosial dalam pengembangan agribisnis dan revitalisasi pembangunan pertanian. Menurut Gunawan (2001), investasi dalam aspek produksi masih terbuka peluang dalam komoditi kedele, ubikayu (casava), tembakau, tebu, mete, unggas (ayam lokal), sapi dan bebek. Penyediaan domestik komoditi tersebut umumnya masih dibantu impor, dan masih perlu dikembangkan untuk mendukung konsumsi langsung atau permintaan industri pengolahannya. Dalam subsistem agribisnis produksi, prospek investasi terjadi pada produk-produk peternakan, tebu, dan kedele. Sementara dalam agribisnis pengolahan hampir semua komoditi prioritas memiliki prospek yang baik. Di belakang fenomena kurang menguntungkan akhir-akhir ini, antara lain harga pangan dunia naik terbawa pengaruh harga minyak, bencana alam yang merusak infrastruktur pertanian, serta ancaman terhadap ketahanan pangan; sektor pertanian masih menyimpan social capital yang menjamin produktivitas ekonomi. Social capital itu berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam dua hal, yakni (i) mempertahankan nilai-nilai sosial dan aktualisasi kehidupan ekonomi, dan (ii) memelihara kelestarian fungsi lingkungan. Kemampuan itu sudah ada dalam masyarakat, dan seyogyanya disinergikan dalam program-program pemberdayaan perempuan, peningkatan gizi keluarga, dan pendidikan lingkungan (CIDA, 2003)

adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat. Sistem ketahanan pangan dikatakan mantap apabila mampu memberikan jaminan bahwa semua penduduk setiap saat pasti memperoleh makanan yang cukup sesuai dengan norma gizi untuk kehidupan yang sehat, tumbuh dan produktif. Ancaman resiko atau peluang kejadian sebagian penduduk menderita kurang pangan merupakan indikator keragaan akhir dari sistem ketahanan pangan. Oleh karena itu ketahanan pangan ditentukan oleh tiga indikator kunci, yaitu ketersediaan pangan (food availability), jangkuan pangan (food access) dan kehandalan (reliability).

12

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

2. Ekonomi Perkotaan Fenomena dualisme ekonomi mengisi wajah perkotaan di Indonesia. Sebagai akibat faktor politik dan ekonomi, wajah modern kota tidak seluruhnya mampu diakses oleh penduduk. Mereka yang tidak mampu mencoba menemukan aktivitas ekonomi informal, tradisionil atau nama sejenis. Demikianlah kota menampilkan ekonomi modern dan tradisionil dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Arus urbanisasi makin memperkuat dan menerima keberadaan dualisme tersebut. Perpaduan antara faktor aglomerasi, entrepreneurship, dan inovasi memicu lahirnya usaha-usaha berukuran kecil (atau UMKM) memanfaatkan ekonomi kota. Mereka dengan mudah keluar masuk saling berkompetisi menemukan eksistensi. Sisi positifnya, aktivitas ekonomi mampu menampung tenaga kerja dan menjadi penyelamat ekonomi. Sisi negatifnya, aktivitas ekonomi memuat potensi kemiskinan dan permasalahan lingkungan hidup kota. ’Permasalahan permanen’ itu dihadapi oleh hampir seluruh pemerintah kota dengan berbagai variannya. Sasaran pembangunan perkotaan adalah terciptanya institutional arrangement yang mengatur alokasi sumberdaya di wilayah kota. Sektor modern dan tradisionil perlu dilihat secara positif agar mereka saling bertransaksi dan tercipta nilai tambah bagi keduanya. Zonasi dan cluster menjadi jalan keluar dilandasi rencana kota yang livable. Fenomena inovasi, imitasi, dan modifikasi, memicu kecenderungan pengelompokan industri yang bergerak dalam bidang disain, fashion, seni atau mode. Sekalipun imitasi barangkali bertentangan dengan hukum, namun umumnya industri memperoleh keuntungan yang cukup signifikan dibanding kerugian perusahaan inovator. Bukti tentang hal ini sudah berkembang jauh, dalam produksi barang-barang konsumsi, asesoris atau yang sejenis, yang mengisi pusat-pusat belanja dan sekelilingnya. Pemberdayaan UMKM adalah kebijakan populer di sebagian besar pemerintah daerah. Berbagai strategi disusun agar supaya tercipta keunggulan wilayah dan kesejahteraan. Kajian Bappeko Malang (2007) memperlihatkan bahwa peran faktor internal UMKM, yakni keuangan, SDM, produksi dan pemasaran adalah syarat perlu bagi kinerja usaha. Mereka perlu diberi lingkungan yang nyaman untuk mencukupi kelayakan produksi. Pada posisi inilah, peran faktor eksternal, yakni kelembagaan dan infrastruktur merupakan syarat cukup (sufficient condition) bagi berkembangnya usaha ekonomi perkotaan. Lebih jauh, kegiatan yang berorientasi pemasaran yang didukung aspek kelembagaan dan infrastruktur dapat menjadi prioritas bagi perencanaan strategis pengembangan ekonomi yang berbasis UMKM (Gambar 3).

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

13

Kelembagaan juga memberi pengaruh positif terhadap kinerja melalui kegiatan produksi. Kelembagaan

0.4714 7

Produksi 00.128

0.524

KINERJA 0.547

Infrastruktur 0.289

Pemasaran

Gambar 3. Faktor yang signifikan mempengaruhi kinerja usaha (Bappeko Malang, 2007)

Tantangan pembangunan ekonomi perkotaan adalah inefisiensi atau deglomerasi. Tahapan ini diwarnai dengan enthropy, yang berwujud kriminalitas, kemiskinan, kerusakan lingkungan atau aktivitas ekonomi beaya tinggi, sehingga investasi berpindah ke wilayah lain. Tantangan tersebut harus mampu dijawab dengan mekanisme kelembagaan kota yang melekat kepada instrumen ekonomi, bukan instrumen politik atau kekuasaan. information) dan mekanisme Pengelolaan informasi (symmetric tanggungjawab yang jelas akan mempermudah partisipasi ekonomi kota menyelesaikan tantangan di atas. Partisipasi itu kemudian diarahkan kepada perihal teknis untuk memelihara produktivitas perkotaan, antara lain (Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri, 2004): (1) penyediaan infrastruktur perkotaan dengan tujuan agar mengefisienkan aktivitas ekonomi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan lapangan kerja, (2) peningkatan efektivitas pengaturan alokasi lahan (zoning) agar memberikan kepastian dalam aktivitas produksi dan keberlanjutannya, dan (3) peningkatan partisipasi swasta dalam investasi infrastruktur, perumahan, maupun kegiatan ekonomi. 3. Ekowisata Jasa ekowisata menyimpan potensi ekonomi yang besar. Pada periode 1990an, pertumbuhan ekowisata global sebesar 20 hingga 34 persen per tahun. Pada tahun 2004, pertumbuhannya tiga kali lebih cepat dibanding pariwisata umumnya (The International Ecotourism Society, TIES, 2006). Negara berkembang dengan potensi sumberdaya alam, termasuk Indonesia, memiliki peluang meraup manfaat dari jasa ekowisata ini.

14

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

Menurut masyarakat ekowisata internasional (TIES), ekowisata adalah kegiatan perjalanan wisata yang dikemas secara profesional, terlatih, dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor usaha ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan Ada beberapa relevansi pengembangan ekowisata di Indonesia. Pertama, sebagai jalan keluar akibat kegagalan transformasi struktur ekonomi. Transformasi dari sektor pertanian ke manufaktur menghadapi kendala akibat lemahnya permodalan, ketrampilan dan entrepreneurship untuk mengolah produk pertanian. Hanya sebagian kecil saja petani di desa yang sukses berwirausaha mengolah hasil-hasil pertanian. Oleh karena itu, ekowisata memberi ruang bagi proses transformasi ekonomi sedemikian rupa sehingga petani dapat mengembangkan jasa-jasa lingkungan dan sosial spesifik lokal. Kedua, konservasi ekologi wilayah. Karakteristik jasa ekowisata sangat efisien dan ramping, yakni jumlah rombongan pengunjung rendah (low volume), pelayanan berkualitas (high quality) dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi (high value added) (Wood, 2002) Karakter itu relatif bersih lingkungan, dan berdampak kesejahteraan bagi penduduk lokal. Hal ini menghasilkan insentif bagi upaya konservasi di wilayah-wilayah yang mengalami ancaman kelestarian fungsi lingkungan. Ketika penduduk sekitar hutan sejahtera, ia akan menjadi pelindung terdepan mencegah pembalakan liar, dan menekan laju deforestasi. Lebih jauh, diversifikasi pemanfaatan ruang dan aktivitas ekonomi akan menghasilkan konfigurasi ekologi lebih stabil. Ketiga, pembentukan modal sosial (institutional arrangement). Jasa ekowisata adalah salah satu pintu masuk pendekatan ekonomi, yang mempertemukan manfaat jasa lingkungan. Sektor riil ini mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas ekonomi serta jasa lingkungan dan budaya sehingga menghasilkan manfaat bagi banyak kepentingan. Petani dengan ragam usaha tani dan usaha jasa ekowisata melaksanakan transaksi ekonomi dengan pengunjung, tour operator, dan penunjang wisata lainnya. Konsep dan implementasi ekowisata tidak terlepas dari pengembangan kawasan konservasi (protected area), khususnya wilayah taman nasional. Kelembagaan taman nasional memiliki kapasitas6 dalam hal (i) aspek legal 6

Penetapan taman nasional oleh Menteri Kehutanan dilandasi pertimbangan antara lain (i) memiliki potensi keanekaragaman hayati tinggi, dengan flora dan fauna yang khas, kondisi terancam dan mendekati kepunahan, dan (ii) merupakan daerah resapan air yang penting bagi kawasan di sekitarnya. Kompetensi taman nasional mencakup pelaksanaan dan kesiapan untuk pengelolaan

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

15

kebijakan konservasi, (ii) kompetensi normatif (standar dan prosedur) untuk pemanfaatan jasa lingkungan, dan (iii) menempati 65 persen dari luasan kawasan konservasi nasional. Oleh sebab itu, kelembagaan taman nasional dianggap sebagai komponen penting dalam pengembangan ekowisata, pengelolaan kawasan konservasi, serta upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati nasional maupun internasional (Rothberg, 1999) Kelembagaan ekowisata di luar wilayah taman nasional juga berkembang pesat. LSM lingkungan, aktivis budaya atau masyarakat telah mengembangkan wilayah tujuan ekowisata di berbagai tempat7. Wilayah tujuan ekowisata tersebut biasanya memiliki karakteristik konservasi yang kuat baik dari aspek sosial maupun lingkungannya. Kearifan, pengalaman dan nilai-nilai budaya sedemikian menyatu dengan lingkungannya untuk mendukung kehidupan ekonomi. Wilayah tujuan ekowisata itu dapat menjadi bagian dari ekosistem pesisir, lautan, atau daratan. Produk dan jasa ekowisata terdiri enam jenis (i) pemandangan dan atraksi lingkungan dan budaya, misalnya titik pengamatan atau sajian budaya; (ii) manfaat lansekap, misalnya jalur pendakian atau trekking; (iii) akomodasi, misalnya pondok wisata, restoran; (iv) peralatan dan perlengkapan, misalnya sewa alat penyelam dan camping; (v) pendidikan dan ketrampilan, dan (vi) penghargaan, yakni prestasi di dalam upaya konservasi. Di Indonesia, pengembangan produk ekowisata umumnya masih sampai produk ke empat, atau belum menguasai interpretasi. Kegiatan interpretasi menuntut penguasaan filosofis hingga praktis perihal aset lingkungan, budaya dan karakteristik lokal lainnya. Dalam interpretasi, terjadi transfer pengetahuan dan ketrampilam yang intensif yang menghasilkan pengalaman dan kepuasan bagi pengunjung serta nilai tambah bagi penduduk lokal. Di Bali, pengunjung diberi kesempatan mengikuti upacara atau seremonial ekosistem, standar dan prosedur mutu pengelolaan lingkungan, upaya keamanan dan kenyamanan, pendidikan dan ketrampilan, penelitian dan pengembangan, kerjasama internasional, partisipasi pengelolaan oleh operator/swasta, dan pengembangan promosi. Taman nasional menempati 65 persen dari luasan kawasan konservasi nasional. Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KSA terdiri yakni cagar alam dan suaka margasatwa; KPA terdiri dari taman nasional, taman wisata alam serta taman hutan raya. Luasan kawasan konservasi telah mencapai 414 situs, terdiri 18.4 juta hektar daratan dan 4.7 juta hektar pesisir dan laut. Luasan kawasan konservasi masih di bawah 10 persen luas daratan, sebagai ambang yang disarankan oleh Convention on Biodiversity. . 7 Yang populer adalah Candirejo, Magelang. Beberapa desa di propinsi Bali, yakni Desa Pelaga dan Belok Sidan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung; Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem; Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem; Desa Nusa Ceningan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Info tujuan ekowisata dapat dilihat pada www.indecon.or.id

16

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

tradisionil8, dengan membayar harga relatif mahal. Di Tangkahan, wilayah Taman Nasional Gunung Leuser, pengunjung dapat memandikan gajah dengan membayar 15 ribu rupiah, atau trekking dengan mengendarai gajah dengan harga 160 ribu rupiah. Pendeknya, semua atraksi dapat dikemas secara interaktif yang melibatkan psikomotorik pengunjung. Tanpa interpretasi, aktivitas ekowisata beroperasi tidak optimal, atau menghasilkan keluaran seperti kegiatan wisata umumnya. Dalam keadaan seperti itu, aktivitas jasa ekowisata masih diwarnai kegiatan-kegiatan yang mengancam kelestarian lingkungan (Goodwin, 2002). Ancaman semakin besar pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan tanpa kemampuan berwirausaha. Upaya pengembangan ekowisata dengan melibatkan petani atau penduduk lokal bukan hal mudah. Mengembangkan kemampuan entrepreneurship merupakan kata kunci agar mereka mampu menikmati kesejahteraan (Iwan Nugroho, 2007; Iwan Nugroho dan Negara, 2007). Dalam ekowisata, peningkatan aspek human capital ini akan mengakumulasi khususnya social dan natural capital. Untuk itu, petani atau penduduk lokal perlu dibekali pengetahuan manajemen, ketrampilan layanan, berpikir positif dan terbuka, pengenalan lingkungan secara akademis, serta kemampuan komunikasi dan toleransi dengan kelompok masyarakat lainnya. 4. Efektivitas Birokrasi Semangat dan kelembagaan otonomi daerah belum mencukupi untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Otonomi hanya Otonomi memenuhi syarat perlu sebagai struktur dalam social capital. perlu diramu dan diperkaya dengan tata kelola (governance) sehingga punya kapasitas menangkap peluang-peluang investasi dalam wilayah. Karenanya diperlukan SDM yang mampu berpikir strategis dan bergerak kreatif tanpa dibatasi struktur demi tercapainya kesejahteraan. Berikut tiga hal yang mengusung social capital dalam birokrasi. Pertama, kepemimpinan. Menurut Grindle (2001), faktor kepemimpinan sangat penting dalam perubahan institusional menuju perekonomian yang mapan. Pemimpin mutlak memiliki komitmen dan visi yang jelas, menguasai permasalahan dan mengomunikasikannya dengan stakeholder. Karakter beberapa pemimpin menonjol dalam beberapa wilayah otonomi karena menguasai wilayah dan alokasi sumberdaya secara optimal. Hal ini nampak 8

Seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: (i) wali (seni pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; (ii) bebali yakni pertunjukan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum (Tisna, 2005)

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

17

antara lain merger PDAM kota/kabupaten sepropinsi Sumatera Utara, dan pengelolaan sampah antara Yogyakarta, Sleman dan Bantul (www.kartamantul.pemda-diy.go.id). Dalam kasus-kasus itu, pimpinan daerah mampu melihat opportunity cost dibalik pagar institusi otonomi. Terbentuk mekanisme institusional di antara (pimpinan) daerah untuk bersinergi dalam rangka optimalisasi alokasi sumberdaya wilayah. Menurut Eriyatno (1998), pemimpin dibenarkan mengelola ketidak-seimbangan jangka pendek, memalui justifikasi kelembagaan, dalam rangka menuju keseimbangan dan tercapainya manfaat jangka panjang. Tabel 2. Pendekatan dalam Pengelolaan Sektor Publik

Prinsip dasar/prioritas Organisasi

Classical Public New public Administration (CPA) management (NPM) Sektor publik itu sendiri Manajemen bisnis

Birokratik, seragam, kaku Akuntabilitas Proses politik, demokrasi perwakilan Hubungan User sebagai subyek, dengan user loyalitas, produsen sebagai birokrat profesional Hubungan Paternalistik, kolektif, ketenaga-kerjaan jenjang karir sangat birokratis

Desentralisasi, bervariasi, fleksibel Pasar, pilihan publik (user) User sebagai konsumen, loyalitas, produsen sebagai pemuas kebutuhan user Berorientasi kinerja, individual, jenjang karir fleksibel dan kompetitif

Public service orientation (PSO) Pelayanan publik Desentralisasi, bervariasi dalam kebersamaan Proses politik, demokrasi langsung User sebagai subyek, loyalitas, produsen sebagai partner dengan user Partisipatif, kolegial, jenjang karir fleksibel dan kolektif

Sumber: Moore (1996)

Kedua, perbaikan manajemen publik. Pengenalan terhadap manajemen bisnis swasta (enterprising the government) sangat perlu agar organisasi pemerintahan menjadi efektif dan berorientasi kepada layanan konsumen. Pendekatan ini diyakini sangat kondusif bagi berkembangnya investasi. Menurut Moore (1996), pendekatan manajemen publik (new public management atau public service orientation, Tabel 2) memiliki karakteristik: (a) profesional dan akuntabel; (b) ukuran kinerja berciri kuantitatif; (c) terjadi mekanisme pengendalian pada input, proses dan output; (d) kompetisi; dan (e) disiplin menuju efisien. Sudah ada bukti perbaikan layanan di beberapa pemerintah kota. Enterprising the government diwujudkan dengan layanan terintegrasi, misalnya pelayanan perizinan terpadu satu pintu (PPTSP). Layanan di Kelurahan atau Kecamatan mulai menerapkan customer service center, Pemanfaatan e-government juga sudah diterapkan dengan kedalaman yang

18

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

beragam, mulai dari perihal informasi prosedur hingga layanan interaktif. Pemkot Surabaya menerapkan internet untuk penerimaan rekanan peserta tender. Ketiga, pembinaan SDM. Transparansi pembinaan adalah kunci penting bagi pengembangan aparatur yang profesional dan perbaikan administrasi publik (Israel, 1987). Selama ini, kurang ada insentif bagi individu untuk memperlihatkan kinerja yang baik, sehingga muncul ungkapan PGPS atau Pinter Goblok Pendapatan Sama. Pemerintah pusat sudah berkomitmen untuk menghapus kesan PGPS bagi pembinaan karier PNS. Terobosan Pemprov Gorontalo memberikan Tunjangan Kesejahteraan Daerah bagi PNS yang berkinerja tinggi, patut diteladani. Insentif lain dapat dinyatakan dengan kenaikan jabatan, studi lanjut, atau kursus. Mereka diharapkan makin tertantang untuk menyajikan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat. 5. Infrastruktur Infrastruktur merupakan salah satu faktor penggerak iklim investasi. Infrastruktur menstimulasi pelaku ekonomi saling bertransaksi, menumbuhkan inovasi dan kewirausahaan, dan menanamkan kembali investasi. Infrastruktur akan memperbaiki gap dalam (a) tenaga kerja, (b) akses dan kesempatan dan (c) informasi; sehingga dapat dipertemukan dan dipertukarkan dalam pasar yang berfungsi secara efektif. Demikianlah, infrastruktur menstimulasi institutional arrangement dan menyediakan sumber-sumber pertumbuhan dalam berbagai aktivitas sarana produksi, produksi, dan jasa penunjangnya. Pembangunan infrastruktur dalam pengertian luas meliputi; finansial, telekomunikasi, transportasi, irigasi, air bersih, listrik, dan energi. Pembangunan infrastruktur di Indonesia menunjukkan catatan yang positif maupun negatif. Catatan positif secara umum diperlihatkan sektor finansial dan telekomunikasi; yang ketersediaanya relatif memadai, dengan sedikit kendala pemerataan akses. Sektor swasta telah memberikan kontribusi yang signifikan dengan pengelolaan yang cukup efisien. Sektor ini perlu didorong untuk masuk ke luar wilayah perkotaan agar mampu membangkitkan inovasi dan entrepreneurship di daerah. Sebaliknya, catatan pesimis ditunjukkan sektor transportasi (khususnya darat), air bersih dan tenaga listrik. Sektor tersebut bukan saja menghadapi kendala ketersediaan, tetapi juga kualitas layanan dan keberlanjutan. Partisipasi swasta dalam bisnis ini menghadapi ketidak-pastian dan kendala kelembagaan. Keterbatasan pasokan listrik telah menurunkan omset industri sebesar 4 persen. Gangguan pemadaman juga mengakibatkan

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

19

tambahan biaya operasi untuk generator. Sementara itu, secara nasional, lama antrian pelanggan baru listrik, telekomunikasi, dan air bersih masingmasing adalah 14, 27 dan 13 hari. Sementara, antrian untuk wilayah luar Jawa selama 33, 61, 30 hari; dan di Jawa Timur dan Bali 6, 17, 7 hari (ADBWorld Bank, 2005). Fenomena tersebut menunjukkan lingkungan yang kurang nyaman bagi bagi industri maupun pebisnis (investasi) baru. Investor baru akan cenderung memilih Jawa ketimbang luar Jawa. Iklim yang kurang kondusif ini telah terbaca, sehingga investor asing lebih memilih Cina dan Vietnam. Melambatnya pembangunan infrastruktur diakui oleh pemerintah. Pemerintah hanya mampu mengkontribusi 20 persen dari kebutuhan pembangunan infrastruktur secara keseluruhan, yang diperkirakan mencapai 750 hingga 1000 triliun untuk lima tahun (rangkuman Infrastructure Summit 2005 di Jakarta). Euforia otonomi juga ikut mengganggu dalam kacamata investor, yang menciptakan ketidak pastian dan penyalahgunaan wewenang (ADB-World Bank, 2005). Karena itu, dikeluarkan Keppres 81/2001 (diperbaharui dengan Perpres 42/2005) tentang pembentukan Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI), dengan tugas merumuskan strategi, koordinasi percepatan, dan pemecahan masalah infrastruktur (www.kkppi.go.id). Proyek yang menjadi prioritas adalah pembangunan jalan tol, bandar udara, pelabuhan dan sektor kelistrikan. Pembangunan infrastruktur berpengaruh sangat signifikan terhadap keragaan sektor pertanian secara umum. Hasil penelitian Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho (2004) menunjukkan bahwa infrastruktur (yang diukur sebagai sektor pendukung pertanian) mampu mengefisenkan kebutuhan investasi sektor pertanian. Adanya infrastruktur menurunkan nilai ICOR hingga rata-rata sebesar 0.3 unit, dan mengefisienkan kebutuhan investasi hingga 8 persen. Subsektor pertanian dengan efisiensi investasi semakin tinggi berturut-turut adalah perikanan, perkebunan, peternakan dan tanaman pangan. Hasil penelitian tersebut memberikan implikasi tentang skim pembiayaan investasi. Kebutuhan infrastruktur pendukung subsektor perikanan khususnya pelabuhan menjadi prioritas pemerintah. Pelabuhan memberi manfaat tidak hanya untuk perikanan tetapi juga mendorong lalulintas perdagangan dan perekonomian wilayah. Pemerintah juga masih perlu berkonsentrasi pada subsektor tanaman pangan, terutama sektor padi (karena alasan politik ekonomi padi), dengan perhatian kepada pengembangan air baku dan irigasi. Sementara itu infrastruktur pada subsektor yang lain diserahkan kepada investasi swasta, atau rumah tangga petani sendiri. Swasta selama ini sudah menghidupkan produksi perikanan

20

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

(budidaya maupun perikanan tankap), perkebunan dan peternakan, melalui investasi teknologi dan menggali pertumbuhan nilai tambah. Sementara produksi sayur dan buah-buahan atau tanaman pangan lainnya sudah mampu diusahakan oleh usaha tani rakyat. Infrastruktur penyediaan air bersih hingga tahun 2020, masih menjadi kendala kota-kota di Asia (Brown 1997). Pada tahun 2004, penduduk kota dan desa di Indonesia yang mengakses air bersih masing masing 87 dan 69 persen (data Bank Pembangunan Asia); dan sanitasi yang layak 73 dan 40 persen. Indonesia bersama Laos terbelakang dibanding negara Asean lain dalam kinerja air bersih. Air bersih dan sanitasi punya implikasi kuat ke aspek kesehatan dan kemiskinan. Karenanya, pencapaian sasaran pembangunan milenium (MDG) air bersih dan sanitasi pada tahun 2015, akan membantu MDG kesehatan dan kemiskinan. Tercapainya MDG membutuhkan energi besar khususnya dari pemerintah. Hal ini bukan saja untuk meningkatkan tingkat pelayanan, tetapi juga kinerja PDAM. Manajemen PDAM perlu berkreasi untuk meningkatkan skala ekonomi, dengan bekerja sama dengan PDAM terdekat atau investasi air bersih (Iwan Nugroho, 2003). DAFTAR PUSTAKA ADB-World Bank. 2005. Improving the Investment Climate in Indonesia. Asian Development Bank, Manila, Philippines. 48p. Arrow, K. J., P. Dasgupta, L. Goulder, G. Daily, P. R. Ehrlich, G. M. Heal, S. A. Levin, K.-G. Maler, S. Schneider, D. A. Starrett, and B. Walker. 2004. Are we consuming too much? Journal of Economic Perspectives. 18(1):147–72. Astuti, R. D., Sujarwo dan R. Asmara. 2007. Studi Investasi Pengembangan Komoditi untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian. Laporan Penelitian Hibah Bersaing 2007. LPM Unibraw-DP2M Dikti, Jakarta. Bappeko Malang. 2007. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat Kota Malang (Strategi Penguatan Ekonomi Kerakyatan). Kerjasama Bappeko Malang dan Universitas Widyagama Malang. Brown, A. 1997. Water resources for Cities in the 21st Century. Paper to the fourth International Conggress of Asian Planning School “Urban Restructuring in the Fast Growing Asia: its implications to the planning proffesion and education”, 2-4 September 1997.

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

21

CIDA (Canadian International Development Agency). 2003. Promoting Sustainable Rural Development Through Agriculture: Canada Making a Difference in the World. Minister of Public Works and Government Services, Hull, Quebec. 30p. Dasgupta, P. 2000. Economic progres and the idea of social capital. In: Dasgupta, P. and I. Serageldin (eds.). Social Capital: A Multifaceted perspective. IBRD-World Bank, Washington, DC. 325-420 Dasgupta, P. 2007. Measuring sustainable development: Theory and application. Asian Development Review, vol. 24(1):1-10 Departemen Pertanian RI. 2001. Program Pembangunan Pertanian. Jakarta. Drabenstott, M. 2006. Rethingking faderal policy for regional economic development. Economic Review, first quarter: 115-142 Eriyatno. 1998. Manajemen pada situasi krisis: aplikasi pada kelembagaan sistem distribusi. Perencanaan Pembangunan, Bappenas Jakarta:12 (Juni-Juli): 3-8 Goodwin, H. 2002. Local community involvement in tourism around national parks: opportunities and constraints. Current Issues in Tourism 5(3&4): 338-360 Grindle, M. S. 2001. In quest of the political: the political economy of development policy making. In: Meier, G and J. E. Stiglitz (eds.). Future Development: Economic perspectives. Oxford Univ Press, Oxford. 345-380 Hjerppe, R. 2003. Social capital and economic growth. Presentation on the International conference on social capital arranged by Economic and Social Research Institute of the Cabinet Office of the Japanese Government, Tokyo, March 24-25, 2003. 26p Hoover, E. M. and F. Giarratani. 1985. An Introduction to Regional Economics. Alfred A. Knopf, New York. 444p. Israel, A 1987. Institutional Development: incentives to performance. The John Hopkins University Press 0for The World Bank, Baltimore and London. 214p. Iwan Nugroho dan Nuhfil Hanani. 2007. Studi Investasi untuk Pengembangan Komoditi Pertanian Nasional dan Regional: Pendekatan input-output. Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia, Jakarta. In press. Iwan Nugroho dan P.D. Negara. 2007. Ecotourism Entrepreneurship of Local People in East Java Province, Indonesia. ASEAN Journal on Hospitality & Tourism. inpress

22

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Penerbit Pustaka LP3ES Jakarta. Cetakan Pertama. ISBN: 979-3330-16-3 Iwan Nugroho. 1997. Modal sosial dan perkembangan kota. PRISMA Jakarta 6(Juni-Juli 1997): 3-13 Iwan Nugroho. 2003. Strategi Pengembangan Sektor Air Bersih. Majalah Perencanaan Pembangunan-BAPPENAS Jakarta. No 30 (Januari-Maret): 44-58. ISSN: 0853-3709 Iwan Nugroho. 2005. Aspek kelembagaan dalam kebijakan sektor pertanian. Lintasan Ekonomi, Majalah Ilmiah FE- UNIBRAW (Juli 2005) XXII(2):162-176. Iwan Nugroho. 2007. Ekowisata: Sektor Riil Pendukung Pembangunan Berkelanjutan. Majalah Perencanaan Pembangunan-BAPPENAS Jakarta. Edisi 2 tahun ke XII (Januari-Maret): 44-57. Medrilzam. 1999. Social capital penataan ruang dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perencanaan Pembangunan, Bappenas Jakarta. 16 Juni/Juli:26-32 Moore, C. 1996. Human resources in the public sector. In: Towers, B (ed.). The Handbook of Human Resources Management. Blackwell Business, Massachussett. 353-372. Mueller, S. D. 2006. Rural Development, Environmental Sustainability, and Poverty Alleviation: A Critique of Current Paradigms. United Nations Department of Economic and Social Affairs. Working Paper No. 11 Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho. 2004. Kebutuhan Investasi untuk Pengembangan Sektor Pertanian: Suatu pendekatan Input-output. AGRIVITA FP-UNIBRAW (Juni 2004) 26(2):161-171. Quibria, M. G. 2003. The Puzzle of Social Capital: A critical review. ERD Working Paper No. 40. Asian Development Bank, Manila, Philippines. 27p. Rothberg, D. 1999. Enhanced and Alternative Financing Mechanisms Strengthening National Park Management in Indonesia. NRMP USAID, Jakarta Sarosa, W. 2006. Indonesia. In: Roberts, B. and T. Kanaley (eds.). 2006. Urbanization and Sustainability in Asia: Case studies of good practice. Asian Development Bank, Manila, Philippines. 155-187 Serageldin, I. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations, First steps in an ongoing journey. Environmentally Sustainable Development (ESD) Studies and Monographs Series No. 5. World Bank, Washington DC. 21p.

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

23

Serageldin, I. and C. Grootaert. 2000. Defining social capital: an integrating view. In: Dasgupta, P and I. Serageldin (eds.). Social Capital: A multifaceted perspective. World Bank, Washington, D. C. 40-58. TIES (The International Ecotourism Society). 2006. Fact Sheet: Global Ecotourism. Updated edition, September 2006. www.ecotourism.org. Tisna, I. G. R. P. 2005. Sekilas Tentang Dinamika Seni Pertunjukan Tradisional Bali Dalam Konteks Pariwisata Budaya. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. www.mspi.org USAID Indonesia. 2004. Report on Biodiversity and Tropical Forests in Indonesia Submitted in accordance with Foreign. Assistance Act Sections 118/119 Williamson, O. E. 1995. The institutions and governance of economic development and reform. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994. IBRD-World Bank, Washington, DC. Wood, M. E. 2002. Ecotourism: Principles, Practices and Policies for Sustainability. UNEP UCAPAN TERIMA KASIH Sebelum mengakhiri orasi, ijinkan saya menyebutkan pihak-pihak yang telah membantu dan berjasa dalam kehidupan, dalam perjalanan karir akademik, saat menempuh pendidikan, saat proses pengurusan jabatan guru besar dan momentum penting lainnya. Saya dan sekeluarga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada: 1. Pemerintah Republik Indonesia, melalui Menteri Pendidikan Nasional, yang mengesahkan jabatan guru besar 2. Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, MSc, Ketua beserta staf Kopertis Wil VII, yang membantu prosedural dan menyetujui usulan guru besar. 3. Prof. H. A Mukthie Fadjar, SH., MS., sebagai ketua berserta pengurus Yayasan Pembina Pendidikan Indonesia, atas kesempatan dan dukungan menjalani profesi akademik di Universitas Widyagama Malang. 4. Prof. Dr. Hj. Muryati, SE., MM. selaku Rektor Universitas Widyagama Malang, yang mengijinkan dan mendukung sepenuhnya menjadi guru besar di Universitas Widyagama Malang. 5. Wakil Rektor dan senat Universitas Widyagama Malang, yang telah menyetujui dan memproses usulan guru besar

24

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

6. Pimpinan Fakultas Pertanian, LPPM dan Biro Administrasi Universitas Widyagama Malang, yang membantu proses usulan guru besar 7. Pembimbing akademik, (i) Prof. Dr. Ir. Slamet Setiyono, MSc. (Alm.), Universitas Brawijaya Malang; (ii) Prof. Dr. Ir. Goeswono Soepardi, MSc., IPB Bogor (Alm.); (iii) Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikjo, MSc., IPB Bogor, yang menanamkan karakter akademik dan keilmuan. 8. Sejawat di Fakultas Pertanian dan di Universitas Widyagama secara keseluruhan, atas kerjasama dan konsistensi membangun karakter akademis. 9. Sejawat di Universitas Brawijaya Malang dan di lembaga lain, atas kerjasama dan bantuan untuk memperkaya pengalaman akademis. 10. Orang tua, ayah Suwondo (Alm.) dan ibu Hj. Rusti; serta Mertua: ayah Sofyan (Alm.) dan ibu Yunizar; yang memberikan kasih sayang, bimbingan, teladan dan dorongan hingga saya mencapai jabatan ini. 11. Keluarga tersayang, Istri Ir. Yass Arlina dan anak-anakku Gabryna Auliya Nugroho dan Muhammad Ilham Nugroho; yang telah memberikan pengorbanan, pengertian dan kasih sayang yang tulus. 12. Saudaraku: Udi Narwito BSc., Ir. Dyah Sawitri, MT., dan Rahmad Arief, Dipl.Ing., MSc., yang telah memberikan dukungan, pengertian dan kasih sayang yang tulus. 13. Semua pihak, yang tidak dapat disebut satu per satu, yang telah membantu perjalanan hidup dan karir akademik 14. Panitia prosesi pengukuhan, yang telah mengorbankan waktu dan bekerja keras sehingga acara hari ini berlangsung dengan baik. 15. Seluruh hadirin yang dengan sabar mengikuti acara dan mendengarkan orasi ini. Semoga allah SWT senantiasa berkenan memberi limpahan berkah, taufik dan hidayahnya kepada kita sekalian. Amin. Wabillahi taufik wal hidayah Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

25

RIWAYAT HIDUP 1. N a m a : Prof. Dr. Ir. Iwan Nugroho, MS 2. Temp, tgl Lahir : Surabaya, 3 Maret 1965 4. Email/Website : [email protected]; www.geocities.com/iwanuwg/ www.iwanuwg.wordpress.com 5. Pekerjaan : Dosen Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang 6. Alamat Kantor : Jl. Taman Borobudur Indah 3 Malang 65128; Telp. 0341 492282 Fax. 0341 496919 Website: www.widyagama.ac.id 7. Jab Akademik : Guru Besar 8. Bidang Ilmu : Perencanaan Pembangunan Wilayah Keluarga 1. Orang Tua 2. Mertua 3. Istri 4. Anak 5. Saudara

: : : : :

Suwondo (ayah, almarhum) dan Hj. Rusti (ibu) Sofyan Satu (ayah, almarhum) dan Yunizar (ibu) Ir. Yass Arlina Gabryna Auliya Nugroho dan Muhammad Ilham Nugroho Udi Narwito BSc., Ir. Dyah Sawitri, MT., dan Rahmad Arief, Dipl.Ing., MSc

Pendidikan 1. S3, Pembangunan Wilayah; Pengelolaan SDA dan Lingkungan, IPB Bogor (2002) 2. S2, Ilmu Tanah, IPB Bogor (1991) 3. S1, Ilmu Tanah, Universitas Brawijaya Malang (1987) 4. SMA Negeri I, Surabaya (1983) 5. SMP Negeri V, Surabaya (1980) 6. SD Negeri Purwodadi II, Surabaya (1976) Pengalaman mengajar 1. Dasar Ilmu Tanah (1993-1995) 2. Kesuburan Tanah (1993-1995) 3. Nutrisi Tanaman (1993-1995) 4. Satistika Non Parametrik (1993-1995) 5. Riset Operasi (1993-1995) 6. Perencanaan Pembangunan Wilayah (1998-sekarang) 7. Metode Penelitian (1998-sekarang) 8. Filsafat Ilmu (2003-2004) 9. Manajemen Sumberdaya Manusia (2006-sekarang) 10. Agrowisata dan Ekowisata (2003-sekarang) 11. Ekonomi Agroindustri (1998-sekarang) 12. Pencemaran Lingkungan (2007-sekarang)

26

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

13. Pengantar Ilmu Lingkungan (2007-sekarang) Riwayat jabatan akademik 1. Asisten Ahli Madya, 1 Desember 1993 2. Asisten Ahli, 1 Desember 1995 3. Lektor Muda, 1 Juli 1998 4. Lektor Madya, 31 Desember 2000 5. Lektor (impassing), 22 Maret 2001 6. Lektor Kepala, 1 Maret 2006 7. Guru Besar, 1 Desember 2007 Riwayat pekerjaan dan Jabatan 1. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Widyagama, 1992 - sekarang 2. Sekretaris Fakultas Pertanian Universitas Widyagama, 1993 – 1995 3. Dewan Redaksi Jurnal Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor, 1996 – 1998 4. Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pertanian Terpadu (LP3T), Fakultas Pertanian Universitas Widyagama, 1998 - 2004 5. Senat Universitas Widyagama, 1998 - sekarang 6. Dewan Redaksi Jurnal Widya Agrika, Universitas Widyagama, 1998 - sekarang 7. Direktur Pusat Studi Pembangunan Wilayah dan Lingkungan Hidup, Universitas Widyagama, 2003-sekarang 8. Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Widyagama, 2003 - sekarang 9. Ketua Tim Penyusun Rencana Strategis (RENSTRA), Universitas Widyagama 2005-2013 10. Ketua Tim Promosi dan Publikasi Penerimaan Mahasiswa Baru, Universitas Widyagama 2005 11. Ketua Tim Pengembangan Research and Entrepreneurship University, Universitas Widyagama 2005 – 2025 12. Tim Pendiri Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Widyagama Husada Malang, Yayasan Pembina Pendidikan Indonesia (YPPI), 2005. 13. Dosen Magister Manajemen Program Pascasarjana, Universitas Widyagama Malang, 2005 -sekarang 14. Reviewer Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Universitas Negeri Malang-DP2M Jakarta, 2006 dan 2007. 15. Tim Monitoring dan Evaluasi Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Universitas Negeri Malang-DP2M Jakarta, 2006 16. Dosen tidak tetap pada Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Widyagama Husada Malang, 2007-sekarang

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

27

Pertemuan ilmiah 1. Pertemuan Teknis Tengah Tahunan P3GI Pasuruan 1989-1991. menyajikan paper 2. Kursus AMDAL, Institut Teknologi Surabaya (ITS), 1993 3. Kursus Sistem Informasi Geografi untuk Penataan Ruang di ITS Surabaya. Januari 1994. 4. Lokakarya Nasional Penyusunan Strategi Pengembangan Pendidikan Pertanian Menyongsong Abad 21. di Unibraw Malang Januari 1995 5. Seminar Sehari Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) – Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) di UPN Surabaya 1995. menyajikan paper 6. Diskusi Ilmiah Pemanfaatan sumberdaya ikan di ZEE Indonesia dan Permasalahan 'Pukat Harimau" di Indonesia, Fak. Perikanan IPB Bogor, 8 Januari 1996 7. Widyakarya Pangan Nasional, LIPI-Ristek, Jakarta tahun 1996 8. Seminar Nasional 'Industrialisasi, Rekayasa Sosial, dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Pertanian', Cipayung Bogor, 17-18 Januari 1996 9. Konggres III dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) di Universitas Brawijaya 4 - 6 Desember 1996, menyajikan paper 10. Diskusi Panel Nasional Pengembangan Potensi Perekonomian Perdesaan Strategis Menyongsong Otonomi Daerah, di Universitas Widya Gama Malang, 31 Juli 1999. menyajikan paper 11. Pelatihan Kiat-kiat Penyusunan Proposal Penelitian Berdaya Saing, IPB Bogor, tahun 2002 12. International Seminar “ Water and Sanitation for Cities, Denpasar, 2003 13. Lokakarya kurikulum Inti Ilmu-ilmu Pertanian, Univ. Mulawarman, Samarinda, 2003 14. International Conference on Gender Issues in Biodiversity Concervation, BIOTROP Bogor, February 2003 15. Lokakarya Perumusan Penelitian Fundamental, DP2M Dikti, di Universitas Muhammadiyah Malang, 2004, menyajikan paper 16. Temu Penulis KOMPAS, diselenggarakan harian KOMPAS, Surabaya, 2004 17. Seminar dan Lokakarya Nasional Mewujudkan Desa Mandiri Pangan, FP Unibraw Malang, 2004 18. Agroindustry Workshop and Study Visit, held by Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT) dan International Tropical Fruits Net (ITF Net), Kuala Lumpur, Malaysia, April 2005 19. Seminar Regional Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), FP Unibraw Malang, 2005 20. Seminar Kemaritiman dan Usaha Kecil Menengah, HUT ke-70 WS Rendra, Batu-Malang, 2005

28

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

21. Sosialisasi dan Lokakarya Menyongsong WTO Sektor Jasa Pendidikan, Malang, 23 Januari 2006 22. Pelatihan Monitor dan Evaluasi Internal Perguruan Tinggi, Dewan Pendidikan Tinggi, Depdiknas, Surabaya 20 - 24 April 2006 23. Sarasehan Pengembangan Ekowisata di Jawa Timur, Kerjasama Yayasan Kaliandra – Indonesia Ecotourism Network (Indecon), Prigen, 9 Juni 2006 24. Diseminasi Hasil-hasil Penelitian Fundamental, DP2M DIKTI, di Jakarta, Mei 2007, menyajikan paper 25. Konpernas XV dan Kongres XIV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Solo, 3-5 Agustus 2007 26. Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX Jakarta, 20-22 November 2007. menyajikan paper Pengalaman penelitian 1. Jerapan P-isotermal Langmuir Mediteran Lahan kering di Jatim dan DIY. LPPM Universitas Widyagama Malang. 1994. 2. Prediksi Erosi Lahan HGU PTP XXI-XXII di Kabupaten Kediri, Penelitian mandiri. 1994 3. Analysis of Regional Poverty in Indonesia. Penelitian mandiri. 1996. 4. Pengembangan Model Linear Programming Untuk Optimasi Kelas Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Padang Lawas Sumatera Utara. Penelitian kerjasama. 1996 5. Pengembangan Model Goal Programming Untuk Optimasi Kelas Pengusahaan Hutan Rakyat di Sumatera Utara. Penelitian kerjasama. 1996 6. Fenomena Migrasi di Indonesia. Penelitian mandiri. 1996 7. Pembangunan Indonesia 1995 – 2020: Studi analisis sistem pembangunan berkelanjutan. Penelitian mandiri. 1998 8. Permintaan Air Bersih Rumah Tangga di Kabupaten Tulungagung. LPPM Universitas Widyagama Malang. 2000 9. Pengganda Air Bersih di Propinsi Jawa Timur: Pendekatan input-output. Penelitian disertasi. 2000 10. Permintaan Air Bersih di Propinsi Jawa Timur. Penelitian disertasi. 2000 11. Keragaan Sektor Air Bersih di Propinsi Jawa Timur. Penelitian disertasi. 2000 12. Rasionalisasi Kebijakan Sektor Pertanian: suatu pendekatan input-output. Penelitian kerjasama. 2001 13. Studi Pendampingan Pembangunan Sub Terminal Agribisnis Mantung, Kabupaten Malang. Penelitian kerjasama. 2003 14. Studi Kebijakan Perencanaan Pengembangan Pendidikan Kota Batu. Penelitian kerjasama. 2004 15. Pengembangan Investasi Sektor Pertanian: suatu pendekatan input-output. Penelitian kerjasama. 2004 16. Identifikasi Agropolitan di Provinsi Jawa Timur. Penelitian mandiri. 2005

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

29

17. Analisis ICOR Komoditi untuk Perhitungan Kebutuhan Investasi Sektor Pertanian. Penelitian Fundamental, DP2M, DIKTI. 2006 18. Pengembangan Model Ekonomi Lokal Kota Malang. Penelitian kerjasama. 2006 19. Strategi Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Kota Malang. Penelitian kerjasama. 2007 20. Pemodelan Dinamik untuk Pengembangan Kebijakan Sektor Air Bersih Menuju Millenium Development Goal 2015. Penelitian Hibah Bersaing, DP2M, DIKTI. 2007 21. Uji Kewirausahaan untuk Mengukur Karakteristik Kewirausahaan Penduduk Lokal pada Jasa Ekowisata di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Penelitian Fundamental, DP2M, DIKTI. 2008 Naskah yang dipublikasi 1. Iwan Nugroho, Goeswono Soepardi, Slamet Setijono, dan Sudarsono. 1991. Pengaruh Pupuk P Melalui Daun Terhadap Pertumbuhan dan Serapan Tebu (Saccharum officinarum L.). Prosiding Pertemuan Teknis Tengah Tahunan I 1991 P3GI Pasuruan. 2. Iwan Nugroho. 1994. Pupuk Daun: Peranan dan prospeknya terhadap produksi tanaman pertanian, Jurnal Ilmiah Universitas Widya Gama (JIUWG). No. 3, 1994 ISSN 0854-3437 3. Iwan Nugroho. 1995. Jerapan P-isotermal Langmuir Mediteran Lahan kering di Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Ilmiah Pembangunan: Edisi Khusus Kerjasama dengan HITI-MKTI Komisariat Jatim dan UPN Veteran JATIM 1995. 5(7):273-284. 4. Iwan Nugroho. 1996. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hayati yang Efisien: Tinjauan dari sudut pandang ekonomi sumberdaya alam. Prosiding Seminar Regional Bioteknologi Universitas Widya Gama Malang, 1996. 5. Iwan Nugroho. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Perspektif Transformasi Perekonomian Nasional. Prosiding Konggres III dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) di Universitas Brawijaya 4 - 6 Desember 1996. 6. Iwan Nugroho. 1996. Membangun Pemikiran Ilmuah (scientific ideas) di Negara Sedang Berkembang. JIUWG (tahun 1996) 2(4):181-189. ISSN 08543437 7. Iwan Nugroho. 1997. Pandangan Ilmu Ekonomi Dalam Memahami Isyu Lingkungan, JIUWG (tahun 1997) 2(5):133-144. ISSN 0854-3437 8. Iwan Nugroho dan Suwarta. 1997. Beberapa Alasan Proteksi dan Implikasinya Dalam Kebijaksanaan Perdagangan, JIUWG (tahun 1997) 3(5):252-260. ISSN 0854-3437 9. Iwan Nugroho. 1997. Analysis of Regional Poverty of Indonesia in 1994 Using Binary Choice Model. JIUWG (tahun 1997) 3(5):283-292. ISSN 0854-3437

30

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

10. Iwan Nugroho. 1997. Modal Sosial dan Perkembangan Kota, PRISMA, LP3ES Jakarta 6(Juni-Juli 1997): 3-13 11. Iwan Nugroho. 1997. Kerawanan dan Tekanan Pembangunan Pulau Jawa. PRISMA, LP3ES Jakarta 7(Juli-Agustus1997):3-20. 12. Iwan Nugroho dan Ismini. 1998. Manfaat dan Dampak Perdagangan Bebas. JIUWG (tahun 1998) 1(6):23-34 ISSN 0854-3437 13. Iwan Nugroho. 1998. Mendorong Kompetisi dalam Tekanan Isyu Lingkungan. Perencanaan Pembangunan-BAPPENAS Jakarta 12(Juni-Juli 1998):69-75. ISSN: 0853-3709 14. Iwan Nugroho dan Wahju A Widajati. 1998. Belajar Dari Fenomena 'Dutch Disease' dan Strategi Pembangunan Ekonomi Jepang. JIUWG (tahun 1998) 2(6):181-191. ISSN 0854-3437 15. Iwan Nugroho dan Tri Susanto. 1998. Makanan Tradisionil: Upaya Meningkatkan Modal Sosial (Social Capital). Pusat Kajian Makanan Tradisionil (PKMT) Universitas Brawijaya. Tahun 1998 (1): 30-35 16. Iwan Nugroho dan Budi Triyono. 1998. Implikasi Ekonomi R &D dan Learning Process Untuk Meningkatkan Keunggulan. WARTA LIPI Jakarta. 9(21, tahun 1998):41-47. ISSN 0126-4478 17. Iwan Nugroho dan Budi Triyono. 1998. Isyu Lingkungan dan Perdagangan Bebas. WARTA LIPI Jakarta. 9(21, tahun 1998):49-64. ISSN 0126-4478 18. Iwan Nugroho. 1998. Paradoks Sektor Pertanian dalam Masa Krisis. MIMBAR SOSEK IPB (Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB Bogor) Volume 11 tahun 1998 (Nomer 2): 52-65. ISSN 0215-8434 Terakreditasi 19. Iwan Nugroho. 1999. Kebijaksanaan Stabilisasi Ekonomi di Negara Sedang Berkembang: Peluang Dan Hambatannya Dalam Perdagangan Pebas. WIDYA HUMANIKA (JIUWG) (tahun 1999) 1(7):1-6. ISSN 1411-0652 20. Iwan Nugroho dan Evi Nurifah J. 1999. Migrasi Dari dan Ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. WIDYA HUMANIKA (JIUWG) (tahun 1999) 1(7):19-29. ISSN 14110652 21. Iwan Nugroho dan Sudiyono. 1999. Kebijaksanaan Subsidi dan Pajak Untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian. WIDYA HUMANIKA (JIUWG) (tahun 1999) 2(7):63-69. ISSN 1411-0652 22. Iwan Nugroho dan Budi Triyono. 1999. Perubahan Struktural dalam Pembangunan Perkotaan. FORUM AGRO EKONOMI, Balitbang Deptan Bogor (tahun 1999), 17(2):51-59. ISSN 0216 - 4361 23. Iwan Nugroho. 2000. Sekuen Pembangunan Daerah Dalam Repelita IV, V dan VI: Tinjauan dari Sudut Pandang Pengelolaan Sumberdsaya Alam dan Lingkungan, WIDYA HUMANIKA (JIUWG) (tahun 2000) 1(8):19-28. ISSN 1411-0652 24. Budi Triyono dan Iwan Nugroho. 2000. Mendorong Pertumbuhan dan Perdagangan melalui Regulasi Lingkungan. WARTA LIPI Jakarta. 11(tahun 2000):41-47. ISSN 0126-4478

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

31

25. Iwan Nugroho. 2000. Pengembangan Perekonomian Perdesaan Menyongsong Otonomi Daerah, ANALISIS CSIS Jakarta, Tahun XXIX/2000, No 1, halaman 102-114. ISSN 0304-2170 26. Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2000. Pembangunan Indonesia 1995 – 2020. Perencanaan Pembangunan-BAPPENAS Jakarta, No 18 Tahun 2000, 315. ISSN: 0853-3709 27. Iwan Nugroho. 2000. Pertumbuhan Perkotaan dalam Sistem Ekologi. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Fak Teknik Sipil dan Perencanaan ITB Bandung. Tahun 2000, 11(2):63-76. ISSN 0853-9847 Terakreditasi 28. Iwan Nugroho dan Wahyu Anny Widayati. 2002. Willingness to pay terhadap Sambungan Air PDAM: Pendekatan contingent valuation di Kabupaten Tulungagung. Jurnal Ilmiah Habitat - FP Unibraw, XIII(3, September 2000): 193-200. ISSN 0853-5167. ISSN 0853-5167. Terakreditasi 29. Iwan Nugroho dan Wahyu Anny Widayati. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Air PDAM (Studi kasus di Kabupaten Tulungagung). WIDYA AGRIKA (10, September 2002)2: 61-67. ISSN 1411-0660 30. Iwan Nugroho. 2003. Strategi Pengembangan Sektor Air Bersih. Majalah Perencanaan Pembangunan-BAPPENAS Jakarta. No 30 (Januari-Maret): 44-58. ISSN: 0853-3709 31. Suwarta dan Iwan Nugroho. 2003. Analisis Keseimbangan Pasar pada Komoditas Daging Sapi: di Pedesaan Daerah Intimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Habitat - FP Unibraw, XIV (2, Juni 2003): 115-125. ISSN 0853-5167. ISSN 0853-5167. Terakreditasi 32. Iwan Nugroho dan Wahyu Anny Widayati. 2003. Willingness to Pay for PDAM’s Pipe Connection: A case studi in Kabupaten Tulungagung, East Java Provice, Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. LPEM Universitas indonesia, Jakarta. 51(4):421-432. ISSN 10126-155X. Terakreditasi 33. Iwan Nugroho. 2004. Pokok-pokok Pikiran Pengembangan Penelitian Dasar. Majalah Perencanaan Pembangunan-BAPPENAS Jakarta. No IX (3): 54-59. ISSN: 0853-3709 34. Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho. 2004. Kebutuhan Investasi untuk Pengembangan Sektor Pertanian: Suatu pendekatan Input-output. AGRIVITA FP-UNIBRAW (Juni 2004) 26(2):161-171. ISSN 0126-0537. Terakreditasi 35. Iwan Nugroho. 2004. Keseimbangan Dinamik Ekosistem Pesisir dan Implikasi Pengelolaannya: Suatu telaahan dari perpektif ekologi manusia. WIDYA AGRIKA (Agustus 2004) 2(2): 91-100. ISSN 1693-6981 36. Iwan Nugroho, Evi Nurivah J, dan Dahlan. 2004. Kecenderungan dan Alih Profesi Migran Sirkuler Penduduk Pedesaan. HABITAT - FP Unibraw, Edisi XV(3, September 2004): 190-196. ISSN 0853-5167. Terakreditasi 37. Iwan Nugroho and Wahyu Anny Widayati. 2004. Income Distribution under The Water Supply Infrastructure: A case studi in Kabupaten Tulungagung, East Java Provice, Indonesia. WIDYA AGRIKA (Desember 2004) 2(3): 155-159. ISSN 1693-6981

32

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

38. Iwan Nugroho. 2005. Permintaan Air Bersih di Kabupaten Jombang. JURNAL ILMU-ILMU SOSIAL – LEMLIT UNIBRAW (Februari 2005) 17(1):110-117. ISSN 1410-413X Terakreditasi 39. Iwan Nugroho. 2005. Agenda Pembangunan Wilayah dalam Perspektif Lingkungan. TEROPONG, Balitbang Provinsi Jatim. 20 (Maret-April 2005):2022. ISSN 1412-8829. 40. Iwan Nugroho. 2005. Aspek Kelembagaan dalam Kebijakan Sektor Pertanian. LINTASAN EKONOMI, Majalah Ilmiah FE- UNIBRAW (Juli 2005) XXII(2):162176. ISSN 0216-311X. Terakreditasi 41. Iwan Nugroho. 2005. Menggagas Tumbuhnya Agropolitan. TEROPONG, Balitbang Provinsi Jatim. 21 (Mei-Juni 2005):22-26. ISSN 1412-8829. 42. Iwan Nugroho. 2005. Analisis Pilihan Sumber dan Kesediaan Membayar Air Bersih di Propinsi Jawa Timur. JURNAL ILMU-ILMU SOSIAL – LEMLIT UNIBRAW (Agustus 2005) 17(2):175-182. ISSN 1410-4113. Terakreditasi 43. Budi Triyono dan Iwan Nugroho. 2005. Tinjauan tentang Distorsi dan Implikasinya dalam Kebijakan Perdagangan. Budi Luhur Economics Journal, Jakarta. 2(1, April 2005):65-76. ISSN 1693-9611 44. Iwan Nugroho dan Budi Triyono. 2006. Pilihan Kebijakan Exchange Rate, Fiskal dan Moneter Atas Dasar Kepentingan Politik. Budi Luhur Economics Journal, Jakarta. 3(1, April 2006):19-29. ISSN 1693-9611 45. Iwan Nugroho. 2006. Mengangkat Ekowisata Ngadas di Kawasan Bromo Tengger Semeru. TEROPONG, Balitbang Provinsi Jatim. 28 (Juni-Agustus 2006):21-23. ISSN 1412-8829 46. Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho. 2006. Kebutuhan Investasi Sektor Pertanian Berbasis Pengembangan Komoditi: Pendekatan Input-output. AGRIVITA FPUNIBRAW (Juni 2006) 28(2):114-126. ISSN 0126-0537. Terakreditasi 47. Iwan Nugroho. 2007. Pengganda Air Bersih di Propinsi Jawa Timur: Suatu Pendekatan Input-output. Agritek. 15(1):89-93. ISSN 0852.5426. Terakreditasi 48. Iwan Nugroho dan Nuhfil Hanani. 2007. Investasi Sektor Pertanian di Propinsi Jawa Timur. TEROPONG, Balitbang Provinsi Jatim. 31 (Januari-Februari 2007): 22-25. ISSN 1412-8829 49. Iwan Nugroho. 2007. Agropolitan: Suatu Kerangka Berpikir Baru dalam Strategi Pembangunan Nasional? MABIS, Fak Ekonomi Univ Widyagama Malang. 5 (1, April 2007): 64-75. ISSN 1693-252X Terakreditasi 50. Iwan Nugroho. 2007. Ekowisata: Sektor Riil Pendukung Pembangunan Berkelanjutan. Majalah Perencanaan Pembangunan-BAPPENAS Jakarta. Edisi 2 tahun ke XII (Januari-Maret): 44-57. ISSN: 0853-3709 51. Iwan Nugroho dan Nuhfil Hanani. 2007. Studi Investasi untuk Pengembangan Komoditi Pertanian di Propinsi Lampung: Pendekatan input-output. Jurnal Ekonomi. Media Ilmiah Indonusa Univ Indonusa Esa Unggul. Mei 2007. 12(1):32-39. ISSN 0853.8522. Terakreditasi

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

33

52. Evi Nurivah, Wahyu Anny W dan Iwan Nugroho. 2007. Wanita Pekerja Olah Tanah di Lahan Kering Kabupaten Pasuruan. Agritek. Institut Pertanian Malang. Juni 2007. 15(3):554-557. ISSN 0852.5426. Terakreditasi. 53. Iwan Nugroho. 2007. Pengembangan dan Kebutuhan Investasi Sektor Air Bersih di Jawa Timur. Cakrawala. Jurnal Litbang Kebijakan, Balitbang Provinsi Jatim. 1 (2, Juni 2007):13-21. ISSN 1978-0354. 54. Iwan Nugroho. 2007. Pendekatan Permintaan Untuk Pengembangan Sektor Air Bersih di Propinsi Jawa Timur: Studi pemodelan dinamik. Makalah disajikan dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IX Jakarta, 20-22 November 2007 Buku Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Penerbit Pustaka LP3ES Jakarta. Cetakan Pertama. ISBN: 979-3330-16-3 Kontribusi dalam buku Iwan Nugroho. 2001. Pengembangan Ekonomi Pedesaan: Menyongsong otonomi daerah. In: Anita, C. et al. Jaman Daulat Rakyat: Dari otonomi ke demokratisasi. Lepera Pustaka Utama, Yogyakarta. 287-314. ISBN 979-9444-08-X Dimuat di surat kabar/harian Nasional dan Regional 1. Pertumbuhan Kota dan Sumberdaya Air, KOMPAS, 20 Januari 1996 2. Pertumbuhan Pekerja dan Penganggur, KOMPAS 26 Maret 1996 3. Pekerja Wanita dan Feminisasi Kemiskinan, KOMPAS 3 Mei 1996 4. Konsumsi dan Efisiensi Energi Dalam Isyu Global, SURYA 24 September 1996 5. Dampak ekonomi flu Burung di Jawa Timur, KOMPAS 26 Februari 2004 6. Menggagas Agropolitan, KOMPAS 29 Agustus 2005 Naskah dalam proses publikasi 1. Iwan Nugroho dan Nuhfil Hanani. Studi Investasi untuk Pengembangan Komoditi Pertanian Nasional dan Regional: Pendekatan input-output. Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia, Jakarta 2. Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. Ecotourism Entrepreneurship of Local People in East Java Province, Indonesia. ASEAN Journal on Hospitality & Tourism. 3. Iwan Nugroho, Y. A. Nugroho, adan Zaenuddin. 2008. Permintaan Air Bersih di Bengkulu. MABIS, Fakultas Ekonomi Universitas Widyagama Malang 4. Iwan Nugroho. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Buku Ajar.

34

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

Organisasi profesi dan minat keilmuan 1. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, HITI, (Soil Science Society of Indonesia) 2. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia, MKTI, (Soil and Water Conservation Society of Indonesia) 3. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, PERHEPI, (Agricultural Economics Society of Indonesia) 4. Masyarakat Ekonomi Syariah Indonesia, MES, (Islamic Economics Society of Indonesia) Penghargaan 1. Dosen Teladan Universitas Widyagama Malang, 1995 2. Dosen Teladan II Kopertis VII, 1995 3. Asean Best Executive Golden Award 2005, Jakarta

Malang, 3 Mei 2008

Prof. Dr. Ir. Iwan Nugroho, MS

Iwan Nugroho (2008) Universitas Widyagama Malang

1

2

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

Badan Penerbitan Universitas Widyagama Malang Jl. Borobudur 12 & 35 Malang 65128 Jl. Taman Borobudur Indah 3 Malang 65128 Telp 0341492282 Fax 0341496919 www.widyagama.ac.id

Related Documents


More Documents from "HUZNIA"