Paradoks Sektor Pertanian Dalam Masa Krisis

  • Uploaded by: Iwan Nugroho
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Paradoks Sektor Pertanian Dalam Masa Krisis as PDF for free.

More details

  • Words: 4,933
  • Pages: 14
PARADOKS SEKTOR PERTANIAN 1 DALAM MASA KRISIS Iwan Nugroho

Abstract Economic crises are coming now have brought Indonesia economic outlook coming back into seventies year. The crises reveal not only reduction in per capita income and poverty explosion but also exposing into social unrest due to a widely economic disparity. Apparently, the crises highly corelate with many blunders of previous policy in new order period which chronologically separated into rice politic and industrialization policy. As a result of inconstant and distorted governance functions, there were considerable policies and decesions that brought agriculture sector into marginal circumstances accompanied by destruction in its fundamental economic organization. The crises which signed by rupiah depreciation, furthermore, creating paradoxes as following: (a) big different between domestic and international price of agriculture commodity, (b) policies which apposite with trade liberalization agreement, (c) economic activities higher in agriculture sector than manufactory sector, and (d) economic activities higher in outer Java than Java. To go against those crises means to find out origin and as far as possible to anticipate paradoxes coming out. The policies are (a) to implement trade liberalization agreement consistently, (b) to build integrated economic structure against external intervention and political interests, (c) to realize regional and local development consistently, and (d) to redefine role and governance functions considering global economic changes.

Abstrak Krisis ekonomi yang sedang melanda telah membawa keadaan ekonomi Indonesia kembali ketahun tujuh puluhan. Krisis mengakibatkan bukan hanya penurunan pendapatan per kapita dan meluasnya kemiskinan tetapi juga kerawanan dan dampak-dampak sosial akibat kesenjangan yang menganga. Keadaan krisis juga terkait dengan berbagai kekeliruan kebijaksanaan semasa orde baru, yang secara kronologis dipisahkan ke dalam kebijaksanaan politik beras dan industrialisasi. Sebagai akibat inkonsistensi dan fungsi kepemerintahan yang cenderung distortif, banyak sekali keputusan dan kebijaksanaan yang menggiring sektor pertanian makin terpuruk disertai kerusakan tatanan-tatanan yang mendasarinya. Krisis yang ditandai depresiasi rupiah, kemudian menimbulkan beberapa paradok, yaitu terjadinya (a) perbedaan menyolok antara harga komoditi pertanian domestik dan internasional, (b) kecenderungan lahirnya kebijaksanaan yang melenceng (out of the track) dari kesepakatan liberalisasi perdagangan, (c) meningkatnya kinerja sektor pertanian dibanding industri manufaktur, dan (d) meningkatnya kinerja perekonomian luar Jawa dibanding pulau Jawa. 1

Naskah telah diterbitkan pada MIMBAR SOSEK IPB (Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB Bogor) Volume 11 tahun 1998 (Nomer 2): 52-65. ISSN 0215-8434.

Rumusan kebijaksanaan penyelesaian krisis atau upaya untuk menghindari paradokparadok tersebut, diantaranya: (a) tetap berkomitmen terhadap kesepakatan liberalisasi perdagangan, (b) membangun basis perekonomian yang terintegrasi tanpa intervensi keputusan politik yang sering mengakibatkan beragam distorsi, (c ) merealisasikan pembangunan daerah secara konsisten, dan (d) meredefinisikan peran dan fungsi kepemerintahan (governance) yang dinamis dan efisien terhadap perubahan ekonomi lokal maupun global.

Pendahuluan Tidak ada kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikan keadaan sosial dan ekonomi Indonesia pada saat sekarang ini kecuali paradok. Angka inflasi yang diperkirakan mendekati seratus persen hingga akhir tahun 1998, merupakan gambaran nyata kenaikan harga komoditi hasil-hasil pertanian (penyusun penting sembako) dan komoditi substitusi lainnya. Dapat diamati antara lain beras, jagung, singkong, gula dan minyak goreng telah naik harganya. Kenaikan itu lebih menyolok terjadi pada komoditi ekspor tradisionil lainnya seperti kakao, kopi, sawit, karet dan produk-produk perikanan. Dalam pendapat awam, keadaan ini adalah rejeki nomplok bagi petani secara umum. Ini adalah saat yang ditunggutunggu selama bertahun-tahun karena sebelumnya pemerintah senantiasa menerapkan pricing policy yang cenderung menekan harga komoditi pertanian. Akan tetapi, benarkah panenan itu dinikmati petani. Juga, benarkah kenaikan itu disukai oleh petani maupun konsumen lainnya. Disinilah letak paradok. Kenyataannya sebagian besar petani telah jatuh miskin dan tidak mampu mengakses kepada faktor produksi secara layak. Sementara itu di perkotaan keadaannya tidak lebih baik. Terpuruknya sektor industri dan jasa dalam masa krisis ini telah mengakibatkan sebagian penduduknya kehilangan pekerjaan dan daya beli. Dan sudah menjadi logika politik, kelompok masyarakat ini kemudian menjadi sasaran utama kebijaksanaan subsidi pemerintah dalam rangka pengendalian stabilitas. Kenaikan harga komoditi pertanian sejujurnya merupakan sasaran utama dalam kebijaksanaan pembangunan pertanian sebelum ini. Hal ini pula yang senantiasa menjadi sasaran kritik para pakar yang memprihatinkan semakin menurunnya nilai tukar petani (term of trade, TOT) dalam masa orde baru. Namun dengan kenyataan sekarang nampaknya para pakar harus merasa bersalah akan obsesinya itu, atau paling tidak sangat terkejut bahwa ketika tanda-tanda TOT naik tetapi hal tersebut tidak diinginkan oleh seluruh masyarakat. Memang diakui, krisis saat ini begitu komplek variabel—internal maupun eksternal—yang mempengaruhinya, sehingga meskipun dorongan reformasi (structural changes) telah berjalan dalam berbagai aspek, masih belum ada tanda-tanda jalan keluarnya. Sementara itu, kebijaksanaan ekonomi pemerintah dalam upaya memecahkan krisis khususnya di tingkat makro sudah cukup baik. Yang perlu dijelaskan adalah bahwa kebijaksanaan distortif yang masih diterapkan (misalnya pajak ekspor minyak sawit sebesar 60 persen, atau subsidi terhadap sembako) hendaknya untuk jangka pendek. Tingkat distorsi harus berkurang sejalan dengan pulihnya keadaan ekonomi. Sementara itu pada tataran implementasi, pemerintah telah berupaya kuat menerapkan prinsip transparansi dan profesionalisme (didorong oleh semangat reformasi) dalam rangka menghasilkan alokasi sumber-sumberdaya pembangunan secara efisien, dan mengurangi kemungkinan social cost.

2

Tulisan ini mencoba mengkaji secara konsepsional fenomena di belakang dan di dalam paradoks yang muncul dalam krisis serta berupaya merumuskan pemecahannya untuk membantu pemulihan ekonomi.

Perjalanan Menuju Krisis Periode Stabilisasi dan Politik Beras Secara obyektif diakui bahwa kisah sukses pembangunan masa orde baru adalah hasil dari kebijaksanaan stabilisasi. Dimulai dari bangkitnya perekonomian dari masa orde lama sebelumnya, Indonesia perlu bersyukur karena mendapatkan anugerah minyak bumi yang pada tahun 1970an mengalami booming. Terlepas dari persoalan manajemen alokasinya2, ekspor minyak terbukti telah menghasilkan banyak sekali devisa bagi pengeluaran pembangunan. Atas kegigihan dan dedikasi para ekonom saat itu, kelompok Prof Wijoyo, melalui kebijaksanaan mekanisme transfer, dibangunlah prasarana infrastruktur secara meluas bagi berkembangnya sektor pertanian dan industri dasar pendukungnya. Politik beras yang diterapkan bukan saja mampu dijabarkan secara baik hingga pada tingkat pengambilan keputusan paling rendah, tetapi juga berhasil membangun image kemakmuran dalam pembangunan pedesaan sebagai hinterland pendukung wilayah perkotaan yang pada saat itu sedang mengalami perkembangan pesat. Ada dua fenomena sebagai implikasi pendekatan kebijaksanaan stabilisasi dan politik berorientasi beras. Pertama tumbuhnya sektor industri manufaktur terutama di perkotaan yang didukung oleh ketersediaan beras yang cukup dan pricing policy yang terjangkau penduduk perkotaan. Harga beras kemudian dijadikan baku ukuran bagi kecukupan gizi, tingkat upah pekerja, atau tingkat kesejahteraan pegawai. Pendekatan inilah yang sering dikritik para pakar, karena dengan rendahnya harga beras berarti ada subsidi yang diberikan oleh orang desa (para petani) yang dinikmati oleh orang kota. Dengan kata lain, sebagian pertumbuhan industri manufaktur merupakan hasil subsidi sektor pertanian. Kedua, politik beras telah melahirkan dikotomi pembangunan regional Jawa dan luar Jawa maupun Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Mekanismenya bukan saja melalui nilai-nilai beras yang sangat kental dengan budaya dan pemikiran Jawa yang disebarkan melalui keputusan politik dan kebijaksanaan lainnya—misalnya melalui program transmigrasi atau struktur pemerintahan daerah yang berkultur Jawa, tetapi juga memudarnya nilai-nilai dan keunggulan yang dimiliki luar Jawa—antara lain potensi komoditi perkebunan—sebagai tradeoff besarnya perhatian pemerintah terhadap beras. Sekalipun diakui banyak kelemahan khususnya dalam menangkap aspirasi masyarakat petani, pendekatan stabilisasi hingga tahun 1985 masih memperlihatkan keberhasilannya. Setidaknya itu dibuktikan dengan pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 yang juga memperoleh penghargaan dunia. FAO merasa sangat lega karena sesungguhnya pasar beras dunia relatif kecil (thin market) sementara sebelumnya share Indonesia termasuk besar sehingga senantiasa menimbulkan kekuatiran rawan pangan. Industrialisasi dan Gejala Krisis

2

Pertamina sebagai BUMN yang mengelola dan mengalokasi minyak dipandang sangat tidak efisien dan penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Pada awal 1970an, BUMN ini tidak lebih bertindak sebagai penarik rent dari kerjasamanya dengan kontraktor minyak asing yang menguasai hampir semua ladang minyak di seluruh tanah air. Alih teknologi dan kepemilikan baru mulai terjadi di era 1980 an. Lihat Woo et al. (1994). 3

Memasuki Pelita IV, nampaknya ada pergeseran orientasi kebijaksanaan pembangunan dengan penekanan lebih kepada industri sekalipun komitmen terhadap sektor pertanian tetap diberikan. Mulai periode ini juga muncul generasi baru menggantikan generasi lama dalam perencanaan dan birokrasi yang mempengaruhi nuansa penyelenggaraan pemerintahan. Seiring dengan rendahnya penerimaan dari sektor migas, berkurangnya peran pemerintah dalam perekonomian, dan berkembangnya peran swasta dalam industri dan jasa, maka kebijaksanaan ekonomi sangat berorientasi kepada berkembangnya dunia usaha baik domestik maupun dari investasi asing. Momen yang tak terlupakan adalah kebijaksanaan liberalisasi perbankan (Oktober 1998) yang ditujukan untuk menyediakan seluas-luasnya sektor permodalan bagi kebutuhan usaha. Sejak itulah perekonomian Indonesia menjadi dinamis dengan pertumbuhan yang memuaskan. Sementara itu, kebijaksanaan pembangunan pertanian umumnya maupun tanaman pangan (termasuk beras) khususnya masih saja menerapkan pola lama. Pricing policy tidak berubah mengikuti perkembangan yang ada sehingga rent yang diperoleh dari sektor pertanian relatif semakin mengecil dibanding industri dan jasa. Bahkan ada kesan sektor pertanian sengaja dikorbankan demi untuk pertumbuhan industri. Akibatnya, sungguh membuat sektor pertanian makin ditinggalkan, bukan saja penanaman modal swasta ke sektor ini sangat rendah, tetapi lebih celaka lagi diikuti oleh menurunnya investasi infrastruktur (public good) dalam sektor pertanian—antara lain anggaran pemeliharaan irigasi, atau pencetakan sawah baru—sementara kecenderungan permintaan beras dan tanaman pangan lainnya makin meningkat.. Masih ada beberapa kekeliruan mendasar yang disebabkan faktor pemerintah dalam menerapkan strategi industrialisasi dan sekaligus menghancurkan capital di sektor pertanian. Pertama, strategi industrialisasi yang tidak konsepsional dan tidak konsisten. Pemerintah cenderung menerapkan industri berspektrum luas dengan lebih mengandalkan legitimasi politik—banyak di dalamnya disertai proteksi, subsidi dan fasilitas-fasilitas khusus lainnya—dibandingkan kepentingan masyarakat banyak dan urgensinya. Industri yang muncul bukan saja lepas dengan keunggulan komparatif di sektor pertanian, tetapi juga tidak sedikitpun mengikuti tahapan substitusi impor (import substitution), promosi ekspor (export promoting), dan penanaman investasi ke luar negeri (foreign direct investment, FDI) (Aggarwal and Agmon, 1990). Kedua, kebijaksanaan ekonomi makro yang lebih mencerminkan kepentingan jangka pendek. Dibandingkan Malaysia atau Singapura, Indonesia menetapkan suku bunga (interest rate) lebih tinggi dikombinasi nilai kurs (exchange rate) rupiah lebih kuat terhadap dolar. Keadaan pertama berimplikasi terutama kepada tingginya tingkat eksploitasi sumber-sumberdaya sekaligus berpeluang menghasilkan social cost, dan yang kedua meningkatkan insentif bagi masuknya pinjaman luar negeri dan produk-produk impor sehingga senantiasa menghasilkan defisit dalam neraca transaksi berjalan (current account) sekaligus mengancam ketersediaan devisa. Ketiga, pemerintah sendiri berperilaku tidak taat asas dipengaruhi oleh perilaku moral hazard aparatnya. Meningkatnya peran dunia usaha nampaknya tidak mampu menahan perencana dan birokrat pelaksana terlibat memanfaatkan rent yang ada di dalamnya. Sebagai akibatnya, banyak sekali ditemui kontradiksi antara peraturan yang baru dibuat dengan yang sebelumnya melalui penyalahgunaan wewenang maupun kolusi. Ditambah dengan lemahnya law enforcement, maka hancurlah semua tatanan yang telah ada sebelumnya. Menurunnya luas areal sawah atau rusaknya pasar lahan di pulau Jawa karena tingginya permintaan sektor industri merupakan bukti nyata pelanggaran-pelanggaran tersebut. Keadaan ini bukan saja

4

telah terbukti menggagalkan swasembada beras dan mengganggu perekonomian, tetapi juga akan memberi konsekwensi ekologis dan sosial (Iwan Nugroho, 1997). Demikianlah, kekeliruan-kekeliruan tersebut kemudian menghasilkan industri yang tidak memiliki basis ekonomi yang kuat, sangat menggantungkan kepada keputusan-keputusan politik, kolusi dan fasilitas khusus, cenderung mendukung kegiatan konsumsi dibanding produksi, dan dilakukan oleh para trader dibanding producer. Industri tersebut antara lain terdiri jasa-jasa keuangan, perdagangan, foodlose industry, perakitan, dan industri manufaktur yang bergerak atas lisensi. Secara umum dampak dari kebijaksanaan pembangunan khususnya sejak Pelita IV disajikan dalam Tabel 1. Hingga awal Pelita VI, tingginya pertumbuhan ekonomi sebagai akibat industrialisasi tercermin dari kenaikan pendapatan per kapita, yang berturut-turut pada tahun 1985, 1990 dan 1995 adalah 520, 570 dan 970 dolar. Angka-angka tersebut naik jauh dari hanya sekitar 60 dolar pada awal orde baru. Keadaan itu pula yang kemudian mengangkat Indonesia masuk ke kelompok lower middle income countries dari sebelumnya low income countries karena sejak tahun 1993 pendapatan per kapita mencapai 740 dolar, atau telah menembus batas 695 dolar bagi negara miskin yang tergolong berhasil. Namun sayangnya, peningkatan (dan pertumbuhan) pendapatan tersebut nampaknya tidak diikuti penyebarannya (equity). Tingkat kesenjangan pendapatan justru memburuk (lihat Tabel 3 baris 16) dari 3.81 pada tahun 1985 menjadi 6.18 pada tahun 1995. Kecenderungan terakhir ini nampaknya mendekati keadaan tahun 1975 yang angka kesenjangannya 6.47. Sementara itu yang lebih memprihatinkan adalah bahwa kesenjangan juga terjadi dalam distribusi kepemilikan lahan yang merupakan faktor produksi terpenting bagi pertanian. Tabel 3 baris 11 hingga 14 memperlihatkan bahwa total rumah tangga tanpa lahan (dapat dipersepsikan menjadi buruh tani, merambah hutan atau sumberdaya alam lainnya, atau akan pergi ke kota) dan rumah tangga dengan lahan kurang dari 0.25 hektar jumlahnya meningkat drastis mulai tahun 1990. Berturut-turut pada tahun 1985, 1990, dan 1995 adalah 36.1, 60.7 dan 65.3 persen (penjumlahan baris 11 dan 12 pada Tabel 3). Gejala ini dapat ditafsirkan bahwa terjadi perubahan besar-besaran kepemilikan lahan pertanian dari petani yang miskin ke petani-petani yang kaya, sebagai akibat kompleksitas akumulasi tekanan ekonomi yang menerpa para petani miskin tersebut. Proses transformasi demikian, dalam jangka panjang merupakan mekanisme alamiah untuk meningkatkan produktifitas nasional. Akan tetapi, dalam jangka pendek, di dalamnya penuh dengan konflik permasalahan sosial, ekonomi maupun lingkungan. Setidaknya ini dicerminkan dari kesenjangan kepemilikan lahan yang nampaknya makin menganga, dimana angkanya naik tajam masing-masing 0.151, 0.136 dan 0.707 dalam periode yang dipelajari (Tabel 3 baris 15). Keadaan terakhir ini akan memberi implikasi yang rumit dalam upaya-upaya penataan sektor pertanian di masa mendatang. Gambaran kesenjangan antara sektor pertanian dan industri serta kekeliruan strategi industrialisasi dengan mudah dipahami berpotensi memicu krisis. Sektor industri dengan economic share 25 persen output nasional dan hanya menampung 13 persen tenaga kerja, tentu akan membuat cemburu sektor pertanian yang hanya memperoleh kue pembangunan nasional sebesar 15 persen namun dibagi sebanyak 44 persen tenaga kerja (BPS, 1997). Sementara itu keadaan defisit transaksi berjalan yang kronis, ditandai oleh debt service ratio sebesar 16 persen pada tahun 1996 (BPS, 1997), maka sesungguhnya sangat mudah bagi pengaruh eksternal untuk menyulut bom waktu kelabilan perekonomian Indonesia. Dan memang benar, pasar valuta yang borderless menjadi sasaran spekulan sehingga melemahkan nilai rupiah terhadap US dolar. Struktur ekonomi domestik yang lemah segera

5

saja lumpuh dan menimbulkan gejolak sosial, politik maupun ekologis. Oleh sebab itu, masa krisis yang tengah berlangsung hendaknya juga dipandang sebagai proses penataan kembali (rearrangement) komponen-komponen ekonomi ke dalam struktur keseimbangan baru yang sehat dan kenyal (resiliency) terhadap anasir-anasir yang mengganggunya.

6

Tabel 1. Keadaan Demografi, Kesejahteraan Sosial dan Makro Ekonomi Selama Pelita IV, V, dan VI

No Indikator Sosial dan Ekonomi 1 2 3 4 5 6 7

Penduduka Jumlah total Persen penduduk kota (%) Persen penduduk Jawa (%) Tenaga Kerja (TK)a Jumlah TK total Persen TK pertanian (%) Persen TK wanita (TKW) (%) Persen TKW di sektor pertanian (%)

Pelita IV (data 1985)

Pelita V (data 1990)

Pelita VI (data 1995)

164046988 26.2 61.1

179247783 30.9 60.0

194754808 35.9 59.0

62457138 54.7 36.0 53.6

71569971 49.9 35.6 48.9

80110060 44.0 35.5 43.8

520 6.9 30.5 20.1 16.0 61.5 2.4 0.151 3.81

570 13.2 46.8 4.7 56.0 31.7 7.6 0.136 4.29

970 17.5 70.3 55.4 9.9 27.7 7.0 0.707 6.18

93.331 51.052 42.278 1.21 10.76 48.32 25.7 274906 568928 509465 662249 0.77

190.412 106.964 83.448 1.28 9.29 45.13 29.24 479408 1062282 994265 1164385 0.85

438.515 261.008 177.508 1.47 8.46 47.4 32.36 1067270 2251624 2269872 2225331 1.02

12 13 14 15 16

Kesejahteraan Sosial dan Rumah Tangga (RT) Pendapatan per kapita (US dolar)b RT dengan sumber air ledeng (%)a RT dengan penerangan listrik (%)a RT pertanian tanpa lahan (%)a RT pertanian dg lahan < 0.25 ha (%)a RT pertanian dg lahan 0.25 - 2.0 ha (%)a RT pertanian dg lahan > 2.0 ha (%)a Kesenjangan kepemilikan lahan1 a Kesenjangan pendapatan2 c

17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Makroekonomi dan PDRB d PDB Nasional (trilyun rupiah) PDRB Jawa (trilyun rupiah) PDRB Luar Jawa (trilyun rupiah) Rasio PDRB Jawa : Luar Jawa Persen pengeluaran pemerintah (%) Persen konsumsi rumah tangga (%) Persen investasi (%) Konsumsi per kapita (rupiah) PDB per kapita Nasional (rupiah) PDRB per kapita Jawa (rupiah) PDRB per kapita Luar Jawa (rupiah) Rasio PDRB per kapita Jawa : Luar Jawa

8 9

10 11

a

BPS (1985), BPS (1990), BPS (1995); b World Bank (1996); c SNSE (1993) BPS (1993; 1996) diolah dengan data penduduk 1 Rasio jumlah RT dengan lahan > 2 ha terhadap RT dengan lahan < 0.25 ha 2 Rasio pendapatan rumah tangga (RT) bukan pertanian golongan atas di kota terhadap RT buruh tani di desa d

7

Paradok Krisis ekonomi yang terjadi saat ini berdimensi sangat komplek. Faktor-faktor (atau variabel) yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhi bukan saja sulit diprediksi tetapi juga saling berkaitan. Sementara ini, kajian yang bersifat ilmiah pun sering tidak berjalan karena umumnya variabel selain tidak terukur juga sangat dinamis perilakunya, terutama ketika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa sosial maupun pernyataan-pernyataan politik. Sekalipun demikian, ada beberapa faktor yang bersifat deterministik yang dapat diterima untuk menjelaskan keadaan-keadaan krisis ini. Faktor-faktor yang umumnya dapat dinyatakan sebagai paradok (baca: kontroversi) itu juga dapat menjadi relatif acuan dari dan ke arah mana krisis dimulai dan di akhiri. Krisis yang ditandai oleh melemahnya kurs rupiah terhadap dolar setidaknya menimbulkan paradok berikut. 1. Harga semua komoditi pertanian domestik jauh lebih rendah dibanding harga internasional. Keadaan ini mempunyai implikasi yang meluas; (a) untuk komoditi ekspor seperti sawit, kakao, kopi atau udang, maka keuntungan akan dinikmati oleh negara sebagai pemasukan devisa dan juga para pelaku ekonomi termasuk petani; (b) untuk komoditi non ekspor seperti padi atau tanaman pangan lainnya, maka terjadi aliran ekspor ke luar negeri yang menyebabkan kekurangan dan kerawanan pangan di dalam negeri. Akan tetapi, karena lebih banyak kelompok masyarakat yang menggantungkan komoditi non ekspor, maka terjadi penurunan kesejahteraan (net social cost). 2. Kebijaksanaan yang berkecenderungan melenceng (out of the track) dari kesepakatan liberalisasi perdagangan. Terjadinya perbedaan harga yang ekstrim antara domestik dan internasional senantiasa melahirkan kebijaksanaan distorsi yang didisain pemerintah untuk meredam kerugian dan dampak sosial ekonomi. Distorsi yang sedang terjadi tersebut antara lain pajak ekspor minyak sawit mentah (crude oil palm, CPO), subsidi minyak goreng, dan subsidi beras. Akan tetapi seperti yang telah dikemukakan Chacholiades (1978), kebijaksanaan distorsi juga menimbulkan distorsi-distorsi lain yang tidak kalah merugikan dan menjadi beban masyarakat. Hal ini telah teramati dalam bentuk antara lain penyelundupan, penimbunan, re-ekspor komoditi impor yang mendapat subsidi pemerintah, dan munculnya bentuk-bentuk moral hazard lainnya dari pelakupelaku ekonomi. Fenomena demikian bukan saja mengganggu pelaksanaan dan kesepakatan liberalisasi perdagangan, tetapi juga akan menghambat pemulihan ekonomi di kawasan negara-negara yang dilanda krisis. Gejala lambannya pemulihan ekonomi di ASEAN khususnya makin terasa dengan kebijaksanaan fixed exchange rate oleh Malaysia yang sesungguhnya ditujukan untuk menahan laju perubahan kurs mata uangnya. 3. Keadaan industri manufaktur terpuruk dan sektor pertanian meningkat peranannya. Karena berkembangnya industri didukung oleh beragam proteksi maupun subsidi dari sektor pertanian, maka ketika nilai rupiah melemah dan pemerintah tidak mampu lagi mempertahankan subsidi tersebut, maka industri manufaktur terutama yang mengandung bahan baku impor dan juga sektor jasa lain pendukungnya juga mengalami kelumpuhan. Industri yang masih bertahan senantiasa berhadapan dengan rendahnya permintaan dan daya beli masyarakat. Sebaliknya terjadi pada sektor pertanian terutama komoditi ekspor tradisionil, bahkan pemerintah dapat memanfaatkan dan mengandalkannya untuk perolehan devisa dan upaya-upaya pemulihan dari krisis. 4. Perekonomian luar Jawa meningkat relatif lebih baik dibanding pulau Jawa. Sejak orde lama, kinerja ekonomi luar Jawa sangat didukung oleh ekspor komoditi perkebunan. 8

Pada saat itu di beberapa propinsi seperti Sumut, Maluku, Sulsel dan Sulut, pendapatan per kapitanya relatif lebih tinggi dibanding Jawa. Keadaan ini kemudian berbalik begitu memasuki orde baru hingga periode industrialisasi. Ini disebabkan karena pembangunan di masa orde baru lebih berorientasi (dan berlokasi) kepada pulau Jawa (baca: DKI dan Jabar) dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Dengan keadaan krisis ini, fenomena seperti orde lama berulang. Masyarakat petani kakao, kopi, dan petani udang justru memperoleh rejeki nomplok. Cerita konyol muncul lagi, kalau pada masa orde lama petani mampu membeli lemari es meskipun belum ada listrik. Sekarang, petani mampu membeli mobil mewah meskipun belum ada jalan aspal yang mulus. Keadaan sebaliknya terjadi di pulau Jawa, dengan penduduknya yang padat dan berjumlah besar (sekitar 60 persen populasi) sementara proses transformasinya tidak berjalan mulus karena adanya krisis, wajarlah kiranya wilayah ini menjadi sasaran pengamanan program-program sosial. Tabel 2. Perkembangan Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Tahun

Garis Kemiskinan kota desa …rp/kapita.bulan… 1976 4522 2849 1978 4969 2981 1980 6831 4449 1981 9777 5877 1984 13731 7746 1987 17381 10294 1990 20614 13295 1993 27905 18244 1996 38246 27413 1998 52470 41588 Sumber: BPS, berbagai penerbitan

Jumlah Penduduk Miskin kota desa desa+kota .………..…juta…………. 10,0 44,2 54,2 8,3 38,9 47,2 9,5 32,8 42,3 9,3 31,3 40,6 9,3 25,7 35,0 9,7 20,3 30,0 9,4 17,8 27,2 8,7 17,2 25,9 7,2 15,3 22,5 22,6 56,8 79,4

Jumlah Total Penduduk juta 139 145 151 153 161 169 178 187 200 205

Persen Penduduk Miskin persen 39,0 32,6 28,0 26,5 21,7 17,8 15,3 13,9 11,3 38,7

Demikianlah paradok yang terjadi dalam krisis sekarang telah membalikkan wajah Indonesia kembali kepada sekitar tahun tujuh puluhan. Selain keadaan kesenjangan yang sudah disebutkan, pendapatan per kapita yang saat sekarang diperkirakan sekitar 300 dolar, adalah sama persis dengan tahun 1976 atau 1977, yang masing-masing 270 dan 320 dolar. Keadaan penduduk miskin pun demikian (Tabel 2), dengan sekitar 79.4 juta orang miskin atau 38.7 persen dari seluruh populasi. Keadaan tahun 1998 ini hampir tidak berbeda dengan kemiskinan pada tahun 1976.

Perumusan Kebijaksanaan Upaya mencari jalan keluar dari krisis sekarang ini sejalan dengan mencari akar dan sejauh mungkin mencegah munculnya paradok-paradok yang telah dikemukakan. Beberapa rumusan kebijaksanaan tersebut dikemukakan berikut. Liberalisasi Perdagangan

9

Sekalipun masih dalam masa krisis, pemerintah harus tetap berkomitmen melaksanaan liberalisasi perdagangan (first best policy) terutama dalam jangka panjang. Ini adalah pilihan mutlak karena memberikan tingkat kesejahteraan tertinggi (Gambar 1). Pilihan berikutnya, yang harus dipandang dalam jangka pendek dan secara hati-hati adalah subsidi. Subsidi diijinkan diberikan kepada faktor-faktor produksi misalnya untuk kredit usaha tani dan pestisida; atau kepada sasaran kelompok masyarakat yang tingkat pendapatannya jauh dari jangkauan daya beli. Masyarakat yang pendapatannya cukup tinggi diharapkan mensubstitusikan (dan mendiversifikasikan) dengan komoditi domestik lain sejenis sekaligus untuk meningkatkan nilai ekonomi komoditi yang bersangkutan. Pola kebijaksanaan ini bukan saja berimplikasi kepada kepentingan nasional tetapi juga secara internasional karena masih terjadi aliran barang dan jasa antar negara sekalipun perekonomiannya sama-sama terpuruk. Dengan komitmen tadi, krisis yang melanda kawasan regional Asia dapat diselesaikan secara bersama-sama tanpa menghasilkan tekanan-tekanan ekonomi pada satu negara saja. Pernyataan di atas juga merupakan koreksi terhadap kebijaksanaan yang diterapkan pemerintah saat ini. Pajak ekspor (yang pada dasarnya merupakan tarif) CPO sebesar 60 persen bukan saja menghambat penerimaan devisa dan penurunan kesejahteraan tetapi juga membuka peluang munculnya moral hazard seperti penyelundupan. Sementara pemberian subsidi terhadap harga beras maupun minyak goreng mengakibatkan bukan saja terhadap pengurasan devisa dan tidak tepat sasaran penerimanya tetapi juga akhirnya diselundupkan atau reekspor. Membangun Basis Perekonomian yang Terintegrasi Pemerintah hendaknya memandang sektor-sektor perekonomian secara menyeluruh dan terintegrasi. Pengalaman masa lalu yang menimbulkan dikotomi beaya dan manfaat antara sektor pertanian dan industri perlu menjadi pelajaran berharga. Konsepsi pembangunan ekonomi harus direalisasikan secara murni dari alasan-alasan ekonomi semata, bukan berasal dari keputusan politik yang seringkali memberi nuansa distorsi dan intransparency di dalamnya. Konsepsi ini mutlak diperlukan justru untuk mengembangkan seluas-luasnya agribisnis yang secara alamiah sebenarnya telah berkembang dalam bentuk usaha-usaha kecil di daerah yang berbasis pada sektor pertanian. Kekeliruan yang terjadi selama ini adalah karena lebih memandang agribisnis sebagai industri yang 'harus dengan' modal dan teknologi (disertai keputusan politik atau dalam beberapa hal mengatasnamakan koperasi) antara lain seperti tata niaga komoditi tertentu, pembibitan anggrek atau perkebunan buah dalam skala luas. Bukan melihat pola-pola perekonomian yang mendukung pertumbuhan kota Pare (di Jatim) atau Klaten (di Jateng) yang penuh karakteristik equity dibanding efficiency. Industri yang berkembang di kota-kota kecil seperti ini menyerap seluruh faktor produksi dari wilayah pertanian sekelilingnya. Pemda setempat mampu memfungsikan dirinya dengan baik tanpa intervensi yang berarti.

10

Y

l b

E1 E2

k

C1 ⇒ free trade (first best) C2 ⇒ subsidy (second best) C3 ⇒ tariff (third best)

E3

j P2 i

P1 d1 O

a e f

g

h

d2 X

Gambar 2. Penerapan tarif dalam hubungannya kurva kemungkinan produksi (KKP) dan konsusmsi (KKK) (diambil dari Chacholiades, 1978)3

Pembangunan Daerah 3

Penjelasan tentang Gambar 2 adalah sebagai berikut. Asumsi yang melekat adalah perekonomian domestik berukuran kecil (small economy), cocok untuk keadaan Indonesia. Dalam keadaan free trade, produksi (production possibility frontier) domestik posisinya di P1 dan konsumsinya (consumption possibility frontier) di E1 (dan utilitynya di C1). Rasio harga (Px/Py) domestik dan internasional nilainya sama, yaitu d1. Pada posisi ini ekspor X dan impor Y masing-masing sebesar eh dan il. Begitu diterapkan tarif (yang besarnya merupakan selisih antara d2 dan d1) maka keadaannya berubah. Keseimbangan yang baru itu dikendalikan oleh rasio harga d2 terletak P2 dan E3 masing-masing untuk produksi dan konsumsi. Tingkat utility baru adalah pada C3 (di bawah utility keadaan free trade) dengan slope sejajar d2. Pada posisi ini ekspor X dan impor Y masingmasing sebesar fg dan jk (lebih kecil dibanding free trade). Sementara itu bila subsidi diterapkan, maka keseimbangan baru berada pada tingkat produksi P2 , konsumsi E2 dan tingkat utility C2 . Dengan subsidi, yang diberikan kepada produsen domestik, negara berhasil mengekspor X sejumlah ag dan mengimpor Y sejumlah jb. Keadaan ini dianggap lebih menguntungkan dibanding kebijaksanaan tarif karena memberikan pilihan-pilihan konsumsi yang lebih banyak di domestik tanpa mengganggu perubahan rasio ekspor dan impor (sepanjang d1). Berturut-turut posisi E1, E2 dan E3 merupakan pencerminan dari kebijaksanaan perdagangan bebas (first best), subsidi (second best) dan tarif (third best). 11

Pemerintah secara konsepsional harus menyusun ulang kebijaksanaan ekonomi regional yang bukan saja mampu menyerap aspirasi masyarakat tetapi juga mempertimbangkan aspek politik, sosial dan ekologi wilayah setempat. Karenanya upaya-upaya mereformasi perundangan tentang pemerintahan daerah atau alokasi sumber-sumberdaya pembangunan di daerah harus dipandang incorporated ke dalam pembangunan ekonomi regional. Perlu dipikirkan bahwa orientasi efficiency adalah tidak lebih penting dibanding equity. Terlebih disadari dengan wilayah geografis yang luas disertai hambatan-hambatan fisik yang tinggi maka sungguh tidak tepat menggunakan kriteria capital output ratio (CAR) sebagai tolok ukur efisiensi dan keberhasilan pembangunan. Karenanya orientasi efficiency perlu dikendurkan dan menggantikannya dengan equity yang di dalamnya dipenuhi perimbangan antara aspek sosial, ekonomi, lingkungan maupun politik. Disini berimplikasi bahwa pemerintah daerah harus diberi kepercayaan untuk mengembangkan kreatifitasnya untuk menangkap sinyal-sinyal ekonomi, merencanakan investasi, membangun kerjasama dengan wilayah lain termasuk dengan negara tetangga, dan memanfaatkan hasil-hasilnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Kesalahan sebelumnya yang mengandalkan pulau Jawa sebagai sasaran investasi (karena alasan efisiensi) bukan saja menghasilkan disparitas dengan luar Jawa tetapi juga akhirnya menghancurkan hasil-hasil pembangunan di Jawa (Iwan Nugroho, 1997). Pembangunan daerah berhadapan pula dengan program-program penataan ruang di daerah. Khususnya menghadapi keadaan ketimpangan distribusi kepemilikan lahan, pemda harus mampu menjabarkan secara obyektif dan transparan program redistribusi lahan dalam rangka peningkatan kesejahteraan (equity), baik itu melalui transmigrasi (resettlement) maupun landreform. Upaya ini juga merupakan jalan keluar dari banyak kerawanan dan tekanan-tekanan sosial sebagai akibat masalah pertanahan yang terlalu rumit untuk diselesaikan melalui prosedur biasa. Pemerintah yang Efisien dan Dinamis Sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan kebijaksanaan reformasi dan redefinisi terhadap keadaan dan fungsi-fungsi kepemerintahan (governance) untuk mengimbangi dinamika ekonomi dan perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Kesalahan yang terjadi sebelum ini karena pemerintah tidak mampu menempatkan dirinya secara tepat—terlalu dekat ketika ada rent dan terlalu jauh ketika ada permasalahan—dalam menggandeng dunia usaha untuk bersama-sama memajukan perekonomian. Melihat pengalaman keberhasilan negara-negara Asia Timur (pada masa kebangkitan industrialisasinya), maka kebijaksanaan yang dibangun hendaknya diarahkan untuk mengenali dan menempatkan peran pemerintah secara arif untuk secara gradual bertindak dan berinteraksi dengan industri dalam rangka menegakkan berjalannya mekanisme pasar dan meningkatkan iklim kompetisi dan transparansi dalam semua sektor. Implisit di dalamnya, kebijaksanaan pembangunan hendaknya kaya dengan insentif dan akomodatif terhadap dinamika dan perubahan ekonomi lokal maupun global. Beberapa aspek praktikal penting yang menyertai di dalamnya antara lain (Stiglitz, 1997): (1) Consumer orientation, kebijaksanaan harus senantiasa berupaya memberikan alternatif pilihan konsumsi yang lebih banyak kepada konsumen menyangkut jumlah dan mutu; (2) Reward dan monitoring, pemerintah sebagai suatu organisasi hendaknya mempunyai persepsi sama seperti sektor swasta sehingga selalu ada upaya memperbaiki efisiensi dalam manajemen (administrative competence); (3) Memperluas iklim berkompetisi, kebijaksanaan harus terus mengembangkan iklim bagi munculnya kompetitor-kompetitor baru disertai peningkatan mutu spesifikasi dalam kebutuhan 12

pembangunan; (4) Swastanisasi, senantiasa mendorong orientasi perusahaan-perusahaan negara dari misi nasionalis menjadi bisnis disertai upaya pencegahan munculnya perilaku monopoli; (5) Perbaikan regulasi, tujuannya adalah penegakan berjalannya mekanisme kompetisi yang fair sekaligus melindungi upaya-upaya munculnya monopoli alami.

Penutup Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari latar belakang kebijaksanaan pembangunan selama tiga puluh tahun terakhir, yang dapat dilihat ke dalam kebijaksanaan stabilisasi (politik beras) dan industrialisasi. Krisis yang ditandai melemahnya kurs rupiah terhadap dolar dan mengembalikan wajah perekonomian kembali ke tahun tujuhpuluhan ini juga melahirkan paradok-paradok yang terkait dengan sektor pertanian antara lain: (a) perbedaan yang menyolok antara harga domestik dan internasional, (b) munculnya kecenderungan kebijaksanaan yang melenceng (out of the track) dari kesepakatan liberalisasi perdagangan, (c) meningkatnya kinerja sektor pertanian dibanding industri manufaktur, dan (d) meningkatnya kinerja perekonomian luar Jawa dibanding pulau Jawa. Rumusan kebijaksanaan pembangunan untuk keluar dari kemelut sekarang tidak lain mencari akar dan sejauh mungkin mencegah munculnya paradok-paradok tersebut, diantaranya: (a) tetap berkomitmen terhadap kesepakatan liberalisasi perdagangan, (b) membangun basis perekonomian yang terintegrasi tanpa intervensi keputusan politik yang sering mengakibatkan beragam distorsi, (c ) merealisasikan pembangunan daerah secara konsisten, dan (d) meredefinisikan peran dan fungsi kepemerintahan (governance) yang dinamis dan efisien terhadap perubahan ekonomi lokal maupun global.

Daftar Pustaka Aggarwal, R. and T Agmon. 1990. The international success of developing country firms: role of government-directed comparative advantage. Management International Review. 30(2): 163-180 BPS. 1980. Sensus Penduduk Serie S-2. BPS Pusat Jakarta. BPS. 1985. Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Serie S-5. BPS Pusat Jakarta. BPS. 1990. Sensus Penduduk Serie S-2. BPS Pusat Jakarta. BPS. 1993. Pendapatan Regional Menurut Lapangan Usaha dan Pengeluaran 1983-1992. BPS Pusat Jakarta. BPS. 1993. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Nasional (SNSE) 1993. BPS Pusat Jakarta BPS. 1995. Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Serie S-2. BPS Pusat Jakarta. BPS. 1996. Pendapatan Regional Menurut Lapangan Usaha dan Pengeluaran 1993-1995. BPS Pusat Jakarta BPS. 1997. Indikator Ekonomi. Beberapa Bulan. BPS Pusat Jakarta. Chacholiades, M. 1978. International Trade Theory and Policy. McGraw-Hill Kogakusha, Tokyo. 613p.

13

Iwan Nugroho. 1997. Kerawanan dan Tekanan Pembangunan Pulau Jawa. Prisma 7(JuliAgustus 1997):3-20. Stiglitz, J. E. 1997. The role of government in economic development. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1996. IBRD-World Bank, Washington, DC. 11-23. World Bank. 1996. World Development Report 1996. World Bank, Washington DC.

14

Related Documents


More Documents from ""