TUGAS MAKALAH (Konsep Teori Dan Hasil Jurnal Ilmiah)
ILEUS PARALITIK
Dibuat FRITSON TOBIGO ARI KUSNANDAR MOH. JAMIL LEMBAH
STIKes WIDYA NUSANTARA PALU 2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas tentang Penyakit Ileus Paralitik dari segi konsep teoritis dan hasil journal ilmiah yang dipublikasikan melalui media internet. Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang bersifat membangun. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk menyempurnakan makalah selanjutnya. Seomga makalah ini dapat memberikan mamfaat bagi kita semua.
Palu, Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi B. Etiologi C. Patofisiologi D. Pathway E. Manifestasi Klinik F. Komplikasi G. Pemeriksaan Penunjang H. Penatalaksanaan Klinis I. Pencegahan BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN Asuhan Keperawatan
BAB III PENUTUP
REFERENSI
BAB I TINJAUAN PUSTAKA ILEUS PARALITIK
A.
DEFINISI OBSTRUKSI USUS Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya) aliran
normal isi usus sepanjang saluran usus.Obstruksi usus terdiri dari akut dan kronik, partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat.Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Ada dua tipe obstruksi, yaitu: 1. Mekanis (Ileus Obstruktif) Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh peristaltik.Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya intusepsi, tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura, perlengketan, hernia dan abses. 2. Neurogenik/Fungsional (Ileus Paralitik) Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit parkinson.
B.
ETIOLOGI ILEUS PARALITIK Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen, tetapi ada
faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan risiko terjadinya ileus, diantaranya sebagai berikut : 1. Sepsis. 2. Obat-obatan (misalnya : opioid, antasid, coumarin, amitriptyline, chlorpromazine). 3. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia, hipomagnese-mia, hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas). 4. Infark miokard. 5. Pneumonia. 6. Trauma (misalnya : patah tulang iga, cedera spina). 7. Bilier dan ginjal kolik. 8. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf. 9. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis. 10. Hematoma retroperitoneal.
Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada : (1) proses intraabdominal seperti pembedahan perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis, pankreatitis, perdarahan); (2) sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan yang memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia); dan (3) obatobatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid, antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus biasanya pertama kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon (48-72 jam). Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam usus.
Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi adalah
keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut. Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih dari 3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik pascaoperasi. Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-abdominal. Durasi ter-panjang dari ileus tercatat terjadi setelah pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka. Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan ileus merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi paru. Ileus juga meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan, ileus meningkatkan biaya perawatan medis karena memperpanjang rawat inap di rumah sakit. Penyakit/keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang tercantum dibawah ini: 1. Neurogenik. Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan ureter, iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis. 2. Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia), uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multiple. 3. Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin. 4. Infeksi/ inflamasi. Pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi sistemik berat lainnya. 5. Iskemia usus.
C.
PATOFISIOLOGI ILEUS PARALITIK Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem
saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem parasimpatis.
Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara : pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal. Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastro intestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya. Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik dimana peristaltic dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Perubahan pato-fisiologi utama pada obstruksi usus adalah lumen usus yang tersumbat secara progresif akan tergang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke sepuluh. Tidak adanya absorbs dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolik. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorbs cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin bakteri kedalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia. Pada obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologic. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorbs membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltic dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan risiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian.
D.
PATHWAY
Illeus paralitik
E.
MANIFESTASI KLINIS ILEUS PARALITIK Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention),
anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis. Gejala klinisnya,yaitu : 1. Distensi yang hebat tanpa rasa nyeri (kolik). 2. Mual dan mutah. 3. Tak dapat defekasi dan flatus, sedikitnya 24-48 jam. 4. Pada palpasi ringan perut, ada nyeri ringan, tanpa defans muskuler. 5. Bising usus menghilang. 6. Gambaran radiologis : semua usus menggembung berisi udara.
F.
KOMPLIKASI ILEUS PARALITIK 1. Nekrosis usus. 2. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada organ intra abdomen. 3. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen. 4. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat. 5. Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma. 6. Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi. 7. Pneumonia aspirasi dari proses muntah. 8. Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi abdomen. Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan kalium dari lambung, serta menimbulkan penurunan klorida dan kalium dalam darah.
G.
PEMERIKSAAN PENUNJANG ILEUS PARALITIK 1. Pemeriksaan radiologi a. Foto polos abdomen 3 posisi Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memper-lihatkan
dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara atau gas (air-fluid level) yang membentuk pola bagaikan tangga, posisi setengah duduk untuk melihat Gambaran udara cairan dalam usus atau di luar usus, misalnya pada abses, Gambaran udara bebas di bawah diafragma, Gambaran cairan di rongga pelvis atau abdomen bawah. b. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidak hanya sebagai diagnostik tetapi juga mungkin sebagai terapi. c. CT–Scan Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti adanya kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CT–Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi. d. USG Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari obstruksi. e. MRI Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan, tetapi tehnik dan kontras yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik kronis. f. Angiografi Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk men-diagnosis adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi. 2. Pemeriksaan laboratorium Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa mungkin menunjukkan dehidrasi. Analisa gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolic.
H.
PENATALAKSANAAN 1. Konservatif a. Penderita dirawat di rumah sakit. b. Penderita dipuasakan c. Kontrol status airway, breathing and circulation. d. Dekompresi dengan nasogastric tube.
e. Intravenous fluids and electrolyte f. Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan. 2. Farmakologis a. Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob. b. Analgesik apabila nyeri. 3. Operatif a. Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan peritonitis. b. Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah sepsis sekunder atau rupture usus. c. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.
J. PENCEGAHAN A. Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya mempertahankan orang yang agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer berarti mencegah terjadinya ileus paralitik. Upaya pencegahan ini dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat. Pencegahan primer yang dilakukan antara lain : a. Bergaya hidup sehat dengan cara menjaga diri dan lingkungannya b. Dengan meningkatkan asupan makanan bergizi yang meningkatkan daya tahan tubuh c. Diet Serat Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan.
B. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan terhadap ileus adalah dengan cara mendeteksi secara dini, dan mengadakan penatalaksanaan medik untuk mengatasi akibat fatal ileus.
C. Pencegahan Tersier Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan, mencegah kecacatan dan menghindari komplikasi yang dapat memperparah keadaan. Tindakan perawatan post operasi serta melakukan mobilitas/ambulasi sedini mungkin.
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian 1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan a. Riwayat pembedahan pada daerah abdomen b. Gaya hidup: diit rendah serat, olahraga 2. Pola nutrisi metabolic a. Demam b. Anoreksia c. Pucat d. Distensi abdomen e. Mual, muntah 3. Pola aktivitas dan latihan a. Demam b. Hipotensi c. Takikardi d. TD menurun (hipotensi) e. Malaise f. Sesak napas g. Mudah lelah 4. Pola Eliminasi a. Kegagalan mengeluarkan feses b. Tidak ada flatus pada awal peningkatan bising usus c. Penurunan peristaltik usus d. Tidak ada flatus jika obstruksi total e. Tidak BAB atau BAB cair bila illeus partial f. Darah pada feses atau perubahan pola BAB (pada CA colon) g. Kaji total output waspada terhadap syok dan dehidrasi h. Kaji jumlah urine tanda- tanda retensi urine 5. Pola persepsi kognitif dan sensori a. Nyeri abdomen b. Pola tidur dan istirahat c. Tidur dan istirahat terganggu akibat nyeri pada abdomen dan sering muntah
1. Identitas Biodata klien yang penting meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku dan gaya hidup. 2. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama Keluhan utama ditemukan klien merasakan nyeri pada abdomennya biasanya terus menerus, demam, nyeri tekan dan nyeri lepas, abdomen tegang dan kaku.
Riwayat kesehatan sekarang Mengungkapkan
hal-hal
yang
menyebabkan
klien
mencari
pertolongan, dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST : P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan. Q :Bagaiman keluhandirasakan oleh klien, apakah hilang, timbul atau terus- menerus (menetap). R : Di daerah mana gejala dirasakan S : Keparahan yang dirasakanklien dengan memakai skala numeric1 s/d 10. T :Kapankeluhan timbul, sekaligus factor yangmemperberat dan memperingan keluhan.
Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien sebelumnya pernah mengalami penyakit pada sistem pencernaan, atau adanya riwayat operasi pada sistem pencernaan.
Riwayat kesehatan keluarga Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan klien.
3. Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien.
Sistem pernafasan Peningkatan frekuensi napas, napas pendek dan dangkal
Sistem kardiovaskuler Takikardi, pucat, hipotensi (tanda syok)
Sistem persarafan Tidak ada gangguan pada sistem persyarafan
Sistem perkemihan Retensio urine akibat tekanan distensi abdomen, anuria/oliguria, jika syok hipovolemik
Sistem pencernaan
Distensi abdomen, muntah, bising usus meningkat, lemah atau tidak ada, ketidakmampuan defekasi dan flatus.
Sistem muskuloskeletal Kelelahan, kesulitan ambulansi
Sistem integumen Turgor kulit buruk, membran mukosa pecah-pecah (syok)
Sistem endokrin Tidak ada gangguan pada sistem endokrin
Sistem reproduksi Tidak ada gangguan pada sistem reproduksi
6. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen 2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan absorbsi nutrisi. 3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi 4. Resiko infeksi berhubungan denganperforasi dinding usus
Diagnosa Keperawatan/
Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Nyeri akut
NOC :
berhubungan dengan:
❖
Pain Level,
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
❖
pain control,
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
psikologis), kerusakan jaringan
❖
comfort level
kualitas dan faktor presipitasi
Setelah
NIC :
dilakukan
▪ Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
tinfakan ▪ Observasi
reaksi
nonverbal
dari
DS:
keperawatan selama …. Pasien
- Laporan secara verbal
tidak mengalami nyeri, dengan ▪ Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
DO:
kriteria hasil:
- Posisi untuk menahan nyeri
● Mampu
ketidaknyamanan
menemukan dukungan
mengontrol
nyeri ▪ Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebab
nyeri,
- Tingkah laku berhati-hati
(tahu
- Gangguan tidur (mata sayu,
mampu menggunakan tehnik
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
untuk ▪ Kurangi faktor presipitasi nyeri
tampak capek, sulit atau
nonfarmakologi
gerakan kacau, menyeringai)
mengurangi nyeri, mencari ▪ Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
- Terfokus pada diri sendiri - Fokus menyempit (penurunan
bantuan)
intervensi
● Melaporkan
persepsi waktu, kerusakan
berkurang
proses berpikir, penurunan
menggunakan
interaksi dengan orang dan
nyeri
lingkungan) - Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang) - Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil) - Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku) - Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) - Perubahan dalam nafsu makan dan minum
● Mampu
nyeri ▪ Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
bahwa
dengan
dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
manajemen ▪ Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……... nyeri ▪ Tingkatkan istirahat
mengenali
(skala, intensitas, frekuensi ▪ Berikan dan tanda nyeri) ● Menyatakan
rasa
informasi
tentang
nyeri
seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan nyaman
setelah nyeri berkurang
berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
● Tanda vital dalam rentang ▪ Monitor vital sign sebelum dan sesudah normal ● Tidak mengalami gangguan tidur
pemberian analgesik pertama kali
Diagnosa Keperawatan/
Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Ketidakseimbangan nutrisi
NOC:
kurang dari kebutuhan tubuh
a. Nutritional status:
Berhubungan dengan :
Adequacy of nutrient
Ketidakmampuan untuk
b. Nutritional Status : food
memasukkan atau mencerna
and Fluid Intake
nutrisi oleh karena faktor
c. Weight Control
biologis, psikologis atau ekonomi.
Setelah dilakukan tindakan
DS:
keperawatan selama….nutrisi
Intervensi NIC: ▪ Kaji adanya alergi makanan ▪ Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien ▪ Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi ▪ Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
- Nyeri abdomen
kurang teratasi dengan
▪ Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
- Muntah
indikator:
▪ Monitor lingkungan selama makan
- Kejang perut
❖ Albumin serum
- Rasa penuh tiba-tiba setelah
❖ Pre albumin serum
makan DO:
▪ Monitor turgor kulit
❖ Hemoglobin
▪ Monitor
❖ Total iron binding capacity
- Rontok rambut yang berlebih
❖ Jumlah limfosit
- Bising usus berlebih
dan tindakan tidak
selama jam makan
❖ Hematokrit
- Diare
- Kurang nafsu makan
▪ Jadwalkan pengobatan
kekeringan,
rambut
kusam,
total
protein, Hb dan kadar Ht ▪ Monitor mual dan muntah ▪ Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
- Konjungtiva pucat
▪ Monitor intake nuntrisi
- Denyut nadi lemah
▪ Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi ▪ Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan. ▪ Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan ▪ Kelola pemberan anti emetik:..... ▪ Anjurkan banyak minum ▪ Pertahankan terapi IV line ▪ Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval
REFERENSI
Ahern, Wilkinson. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC. Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. 20122014. Jakarta: Salemba Medika. Price, Sylvia. 2003 . Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC