Argumentasi Revisi Walaupun peran UUPA sangat sentral, bagi yang mendukung revisi, sederet argumentasi telah disiapkan. Pertama; usia UUPA sudah lebih dari 50 tahun. Kedua; desain sebagai undang-undang pokok, menyulitkan kehadiran undang-undang lain yang akan menerjemahkan, atau menutup celah kekurangannya. Ketiga; perubahahan di bidang pertanahan terjadi sangat cepat, tidak bisa diantisipasi dengan konsep-konsep yang diprediksikan setengah abad lalu. Keempat, desain besar ruang lingkup UUPA juga perlu dipertimbangkan ulang. UUPA disebut sebagai undang-undang pokok, artinya menjadi sandaran atau acuan bagi undang-undang lain, terutama undang-undang yang akan menjadi turunan, ataupun mengatur bidang sejenis. Faktanya secara yuridis, pemberian nama undang-undang pokok tidak mempunyai makna khusus. Hanya sering dimengerti bahwa dengan nama UU Pokok mengandung informasi bahwa UUPA baru berisi konsepsi, asas-asas, dan ketentuan-ketentuan dalam garis besar saja, adapun penjabarannya diatur oleh peraturan perundangan lain. Inilah yang merepotkan undang-undang berikutnya, yang secara teknis perundangan tidak bisa dikatakan sebagai pelaksana dari undang-undang lain. Jadi hanya bisa diterjemahkan melalui peraturan yang tingkatannya di bawah undang-undang. Ini yang kemudian menyebabkan UU yang berikutnya bertentangan dengan UUPA, tidak bisa disingkirkan begitu saja. Memang istilah undang-undang pokok, pada masa itu banyak dipakai, misalnya UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers, atau UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan sebagainya. Belum lagi soal istilah ’’agraria’’ yang digunakan, tidak mencerminkan masalah konkret yang dihadapi dunia sekarang. Memang ratusan tahun, atau bahkan ribuan tahun lalu, masalah tanah lebih banyak berhubungan dengan soal pertanian karena itu lebih banyak digunakan istilah agraria, yang berarti tanah pertanian. Pemerintah Kolonial Belanda sendiri pernah memperkenalkan Agrarische Wet (UndangUndang Agraria) pada 1870. Dunia saat ini, termasuk Indonesia, menghadapi persoalan tanah yang lebih kompleks, bukan hanya untuk pertanian melainkan juga untuk pemukiman, pertambangan, industri, perdagangan, dan sebagainya. Karenanya istilah Hukum Tanah, atau lebih luas lagi Hukum Pertanahan dianggap lebih tepat. Beberapa negara menggunakan nama Land Law, dan sering menggunakan istilah Land Reform. Bahkan judul RUU yang sekarang ada di DPR adalah RUU Pertanahan. Berbagai masalah pertanahan yang muncul akhir-akhir ini juga menimbulkan pertanyaan konseptual, karena konsepsi ataupun politik hukum yang diterjemahkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dinilai tidak tegas. Misalnya mengenai posisi Hukum Adat sebagai basis Hukum Pertanahan Nasional, termasuk eksitensi Hak Ulayat yang sangat lemah perlindungan hukumnya. Termasuk posisi negara sebagai wali amanah atas tanah yang belum diberikan haknya pada perseorangan atau badan hukum, sering ditumpangi kepentingan pemerintah yang seolah-olah sebagai pemilik yang bebas menggunakan tanah sekehendaknya.
Kontra Revisi Namun bagi yang kontra revisi UUPA juga punya cukup banyak argumentasi untuk mempertahankan keberadaan undang-undang yang dianggap monumental sejak Indonesia merdeka itu. Konsepsi dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan nasional masih cukup relevan. Jika ada kekurangan terhadap kebijakan pertanahan sekarang ini, lebih banyak disebabkan oleh politisasi hukum, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan perundang-undangan. Politisasi hukum ini membuat negara (pemerintah dan DPR) tidak konsisten menerjemahkan semangat Pasal 33 UUD 1945, dalam perundangan-undangan bidang pertanahan. Menurut pihak yang kontra revisi, yang harus dilakukan justru segera memenuhi kelengkapan peraturan perundangan yang disebut UUPA, misalnya UU Hak Milik yang sampai sekarang belum terwujud. Memang agak lumayan walaupun sangat terlambat, akhirnya UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum, baru saja disahkan. Sebelumnya soal pengadaan tanah untuk pembangunan, termasuk soal ganti rugi, hanya diatur dalam peraturan presiden. Sementara beberapa undang-undang yang secara materi bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1969 seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Pemerintah Daerah, dan sebagainya harus disesuaikan, direvisi, atau di-yudicial review. Sebenarnya, melalui revisi UUPA atau tidak, dalam jangka dekat yang dibutuhkan adalah membangun sistem hukum pertanahan yang terbuka, memihak kepentingan rakyat di satu sisi, tetapi di sisi lain mengakomodasi kebutuhan pembangunan ekonomi. Menjamin tertib administrasi pertanahan, hak milik perseorangan ataupun kolektif, serta menyelesaikan konflik secara transparan, dan mengedepankan pendekatan hukum. Dalam jangka panjang, reformasi Hukum Agraria, harus diarahkan demi terciptanya sistem hukum yang harmonis, operasional, dan memenuhi rasa keadilan rakyat. (Sumber: Suara Merdeka, 18 Januari 2012).
1) Artikel berjudul Reformasi di bidang UU Pertanahan di dalam makalah hukum agraria meyebutkan ada 5 masalah dibidang pertanahan yang sering muncul yaitu fungsi sosial tanah (pasal 6), batas maksimum kepemilikan tanah (pasal7), pemilikan tanah guntai (pasal 10), monopoli pemilikan tanah (pasal 13), dan penetapan ganti rugi tanah (pasal 18). Kelima hal ini baik secara langsung ataupun tidak langsung sering memicu munculnya berbagai konflik pertanahan, yang tidak mudah diselesaikan. 2) Pasal 17 yang dijelaskan di dalam Perpu No. 56 tahun 1960 Padasaatterbentuknya UU No. 5 tahun 1960 etika UU PokokAgraria (UUPA) No 5/1960, penduduk Indonesia saat itu masih berjumlah sekitar 93,3 juta orang, dan pembangunan Indonesia saat itu masih sebagai Negara agraris. Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sudah mencapai 237,6juta. Prof. Erman Radjagukguk juga menyoroti di dalam UUPA disebutkan bahwa luas maksimum yang diijinkan adalah menurut kepadatan penduduk tiap kilometer persegi. Jika 1-50 penduduk tiap km2 maka diijinkan 15 ha sawah atau 20 ha tanah kering. Antara 51-250 penduduk per km2 10 ha sawah atau 12 ha tanah kering; 251-400 penduduk per km2 7.5 ha sawah atau 9 ha tanah kering. Di atas 400 penduduk per km2 5 ha tanah kering atau 6 ha tanah padat. Di masa sekarang hal itu sudah tidak relevan lagi, karena tidak ada lagi tanah yang dapat dibagi di bawah tekanan penduduk yang jumlahnya sudah lebih dari 200 juta jiwa. 3) Pasal 28 Menurut Maria W. Soemardjono di dalam artikelnya yang berjudul “Ah, Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat”, sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Di dalam ayat 2 hanya disebutkan bahwa HGU diberikan hak atas tanah yang luasnya minimal 5 ha dengan ketentuan jika luasnya 25 ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan. UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU. 4) Pasal 29 Negara Indonesia sudah lebih maju dibandingkan keadaan 51 tahun yang lalu. Banyak penanam modal asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasal 29 UU No. 5 tahun 1960 isinya sebagai berikut: 1) Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. 2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. 3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.