MENGKRITISI ARGUMENTASI PENOLAKAN UU PORNOGRAFI Dr. Faizatul Rosyidah Menengok Perjalanan UU Pornografi UU Pornografi yang sudah disahkan oleh DPR RI bulan September tahun lalu, sebenarnya rencananya bisa disahkan pada bulan Juni di tahun yang sama. Sebelum menjadi UU, RUU ini sendiri sebenarnya sudah digagas dan mangkrak hampir lebih dari sembilan tahun. Sudah melewati lebih dari dua kali pergantian presiden. Selama ini DPR ‘tidak cukup punya nyali’ menyelesaikan pembahasan RUU APP tersebut karena khawatir akan menimbulkan pro kontra di masyarakat dengan asumsi yang mendukung sama banyak dengan yang menolak. Kali ini, DPR seperti tidak punya pilihan lain kecuali segera menuntaskan pembahasannya; kalau mereka tidak ingin dianggap oleh masyarakat tidak berbuat apaapa selain memperjuangkan kepentingan pribadi mereka sendiri sebagaimana yang selama ini dengan jelas bisa diindera oleh masyarakat. Kali ini pun, ketika RUU APP ini kembali dibahas, pro kontra seputar substansi maupun redaksi RUU APP ini pun mencuat kembali. Aksi dukung dan tolak RUU APP itupun dilakukan dalam berbagai bentuknya, mulai dari ’perang’ opini di media, ’perang’ lobi terhadap Pansus DPR, hingga pengerahan massa. Sekalipun realitas kerusakan akibat pornografi-pornoaksi di masyarakat sudah sedemikian nyata, namun para penolak RUU APP begitu getol dan intens memperjuangkan penolakan mereka terhadap RUU yang diharapkan bisa mewujudkan masyarakat yang lebih ’bermartabat’ tersebut. Dan harus diakui, bahwa memang ’kubu’ penolak RUU APP lah yang justru ’mendominasi’ lahan-lahan opini (media). Sehingga sekalipun –bisa jadi- jumlah mereka minoritas (10% dari sekian kelompok yang menyampaikan aspirasi ke Pansus), akan tetapi seolah-olah mereka menenggelamkan jumlah mayoritas yang lebih banyak berada dalam bentuk ’silent majority’ Argumentasi Penolakan Ada beberapa alasan yang sering dikedepankan oleh para penolak RUU APP (RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang sekarang menjadi UU Pornografi jika diberlakukan. Di antaranya: Pertama, UU Pornografi, jika diberlakukan, akan membunuh kreativitas para seniman. Jika kita telaah lebih dalam, ternyata kreativitas yang dimaksud oleh kelompok yang menolak lebih diarahkan pada kreativitas penciptaan seni semata-mata (itu pun dengan ukuran-ukuran seni yang tidak jelas), bukan pada kreativitas penciptaan ilmu dan teknologi guna peningkatan kesejahteraan hidup. Kreativitas jelas tidak boleh dilarang, namun perlu diarahkan, jangan sampai merusak tatanan kehidupan bermasyarakat; sebut saja penciptaan seni yang mengeksploitasi seks dan sensualitas. Lagi pula, jika para seniman hanya bisa tumbuh kreativitasnya ketika karyanya mengesploitasi seks dan sensualitas semata-mata, itu menunjukkan bahwa mereka tidak kreatif alias jumud. Sebab, mereka seolah tidak mampu menghasilkan karya-karya kreatif, kecuali yang mengeksploitasi kepornoan. Kedua, UU Pornografi akan mematikan pariwisata. Alasan ini juga perlu dikritisi. Jika alasan penolakannya adalah khawatir industri pariwisata akan mati dengan
1
adanya UU Pornografi, berarti secara tersirat industri pariwisata kita memang hanya menjual kepornoan, bukan industri yang menjual keindahan panorama alam, kelezatan makanan, kenyamanan tempat wisata, dan keramahan masyarakat. Padahal unsur-unsur inilah yang seharusnya dijual sebagai pariwisata, bukannya unsur-unsur yang berbau seks dan kepornoan, baik pornografi dan pornoaksi. Ketiga, UU Pornografi akan memberangus kebudayaan. Banyak pihak menilai, jika UU Pornografi dilaksanakan maka masyarakat Papua yang biasa memakai koteka, para wanita Jawa yang biasa pakai 'kemben', para wanita Bali yang biasa berpakaian terbuka, dan lain-lain dikhawatirkan akan dilarang. Untuk menjawab argumen ini tentu kita harus sepakat terlebih dulu, kebudayaan seperti apa yang harus dipertahankan dan harus dilestarikan. Kebudayaan yang harus dilestarikan tentu haruslah kebudayaan yang mencerminkan ketinggian martabat manusia dan selaras dengan nilai-nilai yang telah digariskan sang Pencipta, Allah SWT. Kebudayaan Jahiliah atau rendah serta tidak sesuai dengan martabat dan nilai-nilai yang digariskan sang Pencipta jelas tidak perlu dilestarikan. Kebudayaan yang mengumbar aurat atau mengeksploitasi perempuan demi memuaskan hasrat seksual laki-laki, misalnya, jelas tidak perlu dilestarikan hanya karena alasan seni, menjaga tradisi leluhur, memelihara kearifan (baca: budaya) lokal, dan lainlain. Bukankah lebih baik, misalnya, orang-orang Papua yang terbiasa memakai koteka mulai kita ajari berpakaian yang 'benar' dan lebih 'beradab', yakni dengan pakaian yang menutup aurat. Keempat, UU Pornografi, jika diberlakukan, tidak mendidik masyarakat. Sebab, masyarakat nantinya melakukan perbuatan-perbuatan bermoral sekadar dilandasi keterpaksaan sebagai akibat diterapkannya hukum, bukan karena faktor kesadaran pribadi. Padahal kesadaran pribadi inilah, menurut mereka, yang seharusnya dikembangkan. Alasan seperti ini juga mengada-ada. Sebab, jika logika ini dipakai, buat apa kita susah-susah membuat UU Anti Korupsi atau UU Anti Narkoba, misalnya. Sudah saja masyarakat dibiarkan memiliki kesadarannya sendiri untuk tidak korupsi dan tidak menggunakan narkoba. Tentu naif, bukan?! Sebab, justru salah satu fungsi hukum atau undang-undang-di samping untuk merekayasa masyarakat adalah juga untuk mendidik masyarakat supaya mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah; mana yang bermoral dan mana yang tidak; mana yang baik dan mana yang buruk; dst. Artinya, adanya hukum atau UU justru demi terciptanya kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Kelima, kalau tujuannya adalah melarang industri pornografi maka tidak diperlukan produk hukum lagi; diefektifkan saja UU yang sudah ada seperti KUHP dan UU Pers. Alasan ini juga cenderung mengada-ada. Kita tahu bahwa KUHP dan UU Pers kita tidak berdaya dalam menjerat pornografi dan pornoaksi. Karena itu, adanya UU APP ini justru harus kita pahami sebagai pelengkap atau pemerkuat UU yang sudah ada. Keenam, tubuh manusia adalah keindahan yang merupakan anugerah dari Tuhan sehingga perlu disyukuri dan 'dinikmati'. Argumentasi ini jelas merupakan logika orang 'kurang ajar dan kurang iman'. Seharusnya ketika dikatakan bahwa tubuh adalah keindahan hasil ciptaan Tuhan maka mestinya sebagai bentuk syukurnya adalah menerima dan mau mengikuti bagaimana Tuhan mengatur tubuh manusia. Jelas, Allah SWT, sang Pencipta sekaligus pemilik tubuh manusia, telah melarang kita untuk 'memamerkan' keindahan tubuh kita di tempat umum. Allah SWT justru telah
2
memerintah kita untuk menutup aurat kita rapat-rapat di muka umum. Allah SWT, misalnya, telah mewajibkan kaum wanita mengenakan kerudung atau khimâr (QS anNur [24]: 31) sekaligus memakai jilbab atau pakaian sejenis abaya yang longgar dan tidak tipis (QS al-Ahzab [33]: 59) ketika mereka hendak keluar rumah. Ketujuh, kekhawatiran mayoritas menjadi tiran atas minoritas. Yang dimaksud mayoritas tentu Islam, sedangkan yang minoritas adalah non-Islam. Artinya, dalam pandangan mereka, keberhasilan disahkannya UU Pornografi ini akan membuka peluang menjadi tiran dan menindas non-Islam. Jelas ini adalah kesalahan fatal. Sebab, seandainya saja Islam diterapkan secara sempurna maka kebaikan dan kemaslahatan bukan hanya untuk kaum Muslim semata, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Sebab, demikianlah apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT: Tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat atas seluruh alam. (QS al-Anbiya [21]: 107). Lagi pula, dalam agama-agama samawi manapun, pornografi dan pornoaksi adalah terkutuk. Karena itu, alasan di atas sebenarnya lebih ditujukan untuk memojokkan Islam, bukan semata-mata menolak UU Pornografi saja. Toh sudah sangat jelas bahwa konsep batasan porno yang diatur oleh UU Pornografi ini jelas-jelas berbeda dengan batasan yang diberikan Islam. Kedelapan, UU Pornografi akan memicu perpecahan (disintegrasi) bangsa. UU Pornografi dianggap akan mendorong beberapa daerah untuk melepaskan diri dari negeri ini. Alasan ini pun mengada-ada. Sebab, pengesahan UU Pornografi justru akan semakin mempererat tali persaudaraan, bukan memecah-belah. Sebab, semangat dalam UU tersebut adalah demi kebaikan bersama. Walhasil, alasan disintegrasi hanyalah 'gertak sambal' semata, sebagaimana tatkala akan disahkannya UU Sisdiknas dan UU Kerukunan Umat Beragama. Kesembilan, di antara alasan yang paling sering digunakan adalah pluralitas bangsa. Bahwa bangsa yang plural - termasuk dalam hal konsep pornografi - tidak bisa dipaksa untuk menerima satu tafsir. Alasan ini jelas tidak logis. Jika itu yang menjadi alasannya, seharusnya mereka juga harus menolak peraturan-peraturan lainnya. Bukankah perbedaan sikap juga terjadi dalam berbagai masalah kehidupan lainnya? Nyatanya, perbedaan itu tidak menghalangi adanya satu aturan yang harus ditaati oleh semua. Bahkan meskipun sebuah UU (seperti UU SDA) atau kebijakan (seperti menaikkan harga BBM) yang awalnya mendapatkan penentangan luas, namun ketika sudah ditetapkan pemerintah, tidak ada pilihan bagi rakyat kecuali taat. Mengapa Menolak Jika ditelaah lebih jauh, berbagai alasan para penolak UU Pornografi disebabkan oleh cara pandang mereka yang sekuler, yakni cara pandang yang menihilkan agama. Dalam pandangan orang-orang sekuler, agama tidak boleh mengatur interaksi manusia di tengah-tengah masyarakat. Agama cukup hanya urusan pribadi. Cara pandang inilah yang akhirnya memunculkan sikap bebas – yang tidak mau terikat oleh ajaran agama – baik dalam berbicara maupun dalam berperilaku. Disamping itu sekulerisme adalah akidah yang melandasi ideologi Kapitalisme. Kapitalisme sendiri menjadikan manfaat (utility) sebagai tolok ukur dalam kehidupan manusia. Tolok ukur inilah juga yang kemudian merasuk dalam dunia industri yang 3
dibangun para kapitalis. Karena itu, selama industri pornografi dan pornoaksi mendatangkan keuntungan ekonomis, ia tidak boleh dilarang. Apalagi industri ‘esek-esek’ ini memang selalu mendatangkan keuntungan menggiurkan. Dalam bisnis media saja, pornografi merupakan salah satu produk media yang paling besar omsetnya. Di Amerika pornografi menghasilkan keuntungan kotor U$ 1 juta per hari; angka ini 30% lebih besar dari perolehan industri film yang bertema lain. Di Inggris, 20 juta eksemplar majalah porno terjual setiap tahunnya, dan menghasilkan pendapatan lebih dari 500 juta poundsterling setahun. Di Swedia, sebuah ‘sex shop’ yang besar menawarkan lebih dari 500 judul majalah porno, dan sebuah kedai majalah di pojokan jalan bisa memajang majalah porno sampai 50 judul. Di perkirakan 18 juta lakilaki AS membeli sebuah majalah porno setiap bulannya (Ismail Ada Patel, Perempuan, Feminisme, dan Islam, 33). Itulah yang ada dalam benak para kapitalis. Mereka tidak peduli dengan nilai-nilai moral maupun ajaran agama karena dianggap hanya akan merugikan mereka secara ekonomis. Hal ini pun sudah dipahami oleh banyak kalangan. Anggota Pansus Penyusunan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) DPR, Anwar Saleh, mengatakan, kekuatan kapitalis merupakan perjuangan paling berat buat panitia khusus (pansus) DPR dalam penyusunan RUU APP. "Penyusunan RUU ini juga dihadapkan pada kekuatan pemilik modal, dari orang-orang yang berkecimpung dalam dunia tersebut dan kita berhadapan dengan kekuatan kapitalis, dan kekuatan pemilik dana," katanya kepada pers di Bandung beberapa waktu lalu. Menurut dia, kekuatan modal itu diduga bisa menggerakkan demo. Unjuk rasa penolakan sekarang bukan hanya berasal dari dorongan idealisme untuk menegakkan hak asasi. (http://www.republika.co.id) Menestapakan Perempuan? Namun meski sudah banyak contoh akibat maraknya pornografi ini, kubu penentangnya belum juga puas. Mereka masih saja getol menolak. Alasannya pun tidak logis dan mengada-ada. Mereka menuduh UU Pornografi akan memasung kebebasan wanita. UU Pornografi itu disebutnya telah melakukan diskriminasi terhadap tubuh perempuan. Itu berarti, bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang sering mereka usung. Alasan-alasan tersebut tersebut tidak sesuai dengan realita. Yang sebenarnya terjadi, justru pornografi dan pornoaksi-lah yang mengakibatkan wanita terjerembab dalam kenistaan dan penderitaan. Dalam dunia pornografi, wanita sama sekali tidak dipandang sebagai manusia yang memiliki pemikiran, perasaan, dan kehormatan. Akan tetapi wanita dilihat sebagai komoditas semata. Keindahan tubuhnya seringkali digunakan iklan untuk mendongkrak penjualan suatu produk. Ia pun hanya digunakan tatkala mendatangkan manfaat. Namun jika sudah tidak laku dijual, segera disingkirkan. Kesetaraan yang mereka harapkan pun tidak pernah mereka peroleh. Sebab, pornografi hanya menjadikan wanita dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi hawa nafsu saja. Akibatnya, pornografi turut meyumbangkan andil besar bagi merebaknya perilaku seks bebas dan tindak pemerkosaan. Dan lagi-lagi, pada kondisi tersebut wanita menjadi korban dan pihak yang paling dirugikan.
4
Khatimah Para penyeru kebebasan yang menentang pemberantasan pornografi seharusnya berkaca kepada Amerika dan negara-negara Barat lainnya yang menjadi surga bagi pornografi. Di negara-negara tersebut pornografi merasuk hanpir dalam seluruh relung kehidupan. Dan kerusakan akibat dari penerapan pornografi ini telah nyata pula dalam setiap aspek kehidupan mereka, termasuk kehidupan perempuan. Wallâh a’lam bi alshawâb. Penulis: Dr. Faizatul Rosyidah Dokter Klinik IAIN Sunan Ampel Surabaya, Aktivis Islam, Ibu RT yang sangat berminat pada persoalan-persoalan bangsa Email :
[email protected] http://www.faizatulrosyidahblog.blogspot.com
5