DAFTAR ISI
KATA PEGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tugas Pengantar Ilmu Ekonomi ini dengan baik dan selesai tepat pada waktunya sesuai yang diharapkan. Kami menyadari bahwa dalam penyusunannya, makalah ini masih jauh dalam kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada supaya tidak terulang kembali. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagai mobilisasi dana investasi yang merupakan instrument untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan Negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan berupa pembangunan. Masayarakat transaportasi indonesia mendesak pemerintahan untuk lebih memperhatikan nasib perkeretaapian di indonesia, selain dapat menghemat subsitisi BBM perbaikan sarana dan prasarana kereta api juga dapat memperluas akses kepada masyarakat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran rumah tangga ataupun anggaran perusahaan yang memiliki dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Penyusunan anggaran senantiasa dihadapi ketidakpastian pada kedua sis. Misalnya, sisi penerimaan anggaran rumah tangga akan sangat tergantung pada ada atau tidaknya perubahan gaji bagi rumah tangga yang memilikinya. Demikian pula sisi pengeluaran anggaran rumah tangga, banyak dipengaruhi perubahan harga barang dan jasa yang dikonsumsi. Sisi penerimaan anggaran perusahaan banyak ditentukan oleh hasil penerimaan dari penjualan produk, yang dipengaruhi pleh daya beli masyarakat sebagai cerminan pertumbuhan ekonomi. Adapun sisi pengeluaran anggaran perusahaan dipengaruhi antara lain oleh perubahan harga bahan baku, tarif listrik dan bahan bakar minyak (BBM), perubahan ketentuan upah, yang secara umum. Ketidakpastian yang dihadapi rumah tangga dan perusahaan dalam menyusun anggaran negara yang bertanggung jawab dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Setidaknya terdapat enam sumber ketidakpastian yang berpengaruh besar dalam penentuan volume APBN yakni 1.harga minyak bumi di pasar internasional, 2. Kuota produksi minyak mentah yang ditentukan OPEC 3. Pertumbuhan ekonomi, 4. Inflasi, 5. Suku bunga, 6. Nilai tuar rupiah terhadap Dolar Amerika. Penetapan angka-angka keenam unsure diatas memegang peranan yang sangat penting dalam penyusunan RAPBN. APBD kalbar 2018 defisit sebesar Rp600 miliar lebih. Selain berbagai upaya mendongkrak pendapatan, pagu anggaran belanja langsung SKPD akhirnya dikurangi sebesar
30 persen untuk menutupi defisit tersebut. Kondisi APBD kalbar yang tidak terealisasi atau kurang pengganggarannya. Sehingga defisit sebesar Rp691.862.131.450,51. Untuk menutupinya, dilakukan lima upaya. Kendati begitu, masih mengalami defisit Rp472.160.991.714,21. Mengatasinya pagu anggaran belanja langsung setiap SKPD dipotong sebesar 30 persen. Ketika dikomfirmasi, kepala Badan Pengelolaan dan Pendapatan Daerah(BPKPD) Kalbar, Samuel mengatakan, defisit belum dapat diketahui hingga akhir Desember 2018. Defisit ini diartikan ditutupi dari pendapatan dan masih dalam proses.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan APBN dan APBD? 2. Bagaimana Sumber pendapatan APBN dan APBD ? 3. Bagaimana tingkat grafik APBN indonesia dari tahun 2011 sampai 2017? 4. Bagaimana pokok permaslahan dari APBN DAN APBD? 5. Bagaimana fungsi APBN dan APBD di kalimantan barat?
C. TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui maksud dari APBN dan APBD 2. Untuk mengetahui sumber pendapatan APBN dan APBD 3. agar mengetahui tingkat grafik APBN indonesia dari tahun 2011 sampai 2017 4. Untuk mengetahui pokok permasalahan dari APBN dan APBD 5. Untuk mengetahui fungsi APBN dan APBD dikalimantan barat
D. MANFAAT 1. Dapat mengetahui maksud dari APBN dan APBD 2. Dapat mengetahui sumber pendapatan APBN dan APBD 3. Dapat mengetahui tingkat grafik APBN indonesia dari tahun 2011 sampai 2017 4. Dapat mengetahui pokok permasalahan dari APBN dan APBD 5. Dapat mengetahui fungsi APBN dan APBD dikalimantan Barat
E. METODE PEMBAHASAN Metode pembahasan yang kami gunakan ada 3 yaitu: 1. Deskriptif Dimana kami akan menjelaskan sehingga memberikan sang pembaca gambaran tentang seperti apa APBN dan APBD itu, bagaimana itu bisa teratasi, dan bagaimana bisa sebuah kemiskinan bisa berubah dari tahun 2013 sampai sekarang. 2. Analisis Kami mengumpulkan data-data dari berbagai sumber di google dan membuat sepengetahuan kami tentang APBN dan APBD dan mengambil dari beberapa buku yang kami baca dan membuat kesimpulan berdasarkan data tersebut.
3. Studi Pustaka
Kami mengumpulkan dan membaca beberapa buku tentang APBN indonesia dan APBD kalimantan barat lalu kami memasukkan beberapa pendapat para ahli sebagai bahan materi presentasi kelompok kami.
BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN APBN dan APBD APBN adalah (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) Pengertian ini adalah ada suatu daftra yang memuat perinci dari sumber-sumber pendapat dari negara dan jenis pada pengeluaran negara hingga dalam jangka waktu satu tahun. Dan yang ditetapkan dengan undang-undang untuk dilaksanakan secara terbuka dan untuk bertanggung jawab sebesarbesarnya pada kemakmuran rakyat. Pengertian ini adalah rencana pada keuangan tahunan pemerintahan daerah dan dibahas untuk disetujui kepada pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, untuk ditetapkan dengan peraturan daerah, tujuannya pada fungsi APBD terdapat prinsipnya, sama juga dengan tujuan dan fungsi APBN. Sebagai pedoman untuk pemerintah terhadap untuk pengeluaran negara dalam melakukan tugan yang dilakukan oleh negara hanya untuk meningkatkan produksi, untuk memberi kesempatan kerja dan untuk menumbuhkan perekonomian dan untuk mencapai kemakmuran terhadap masyarakat. APBN atau APBD memang sudah dirancang oleh pemerintah, akan tetapi harus mendapat persetujuan dari DPR. Berikut ini proses terhadap penyusunan terhadap APBD terjadi di tingkat eksekutif dan legislatif sebagai berikut. – Proses Yang Terjadi di Eksekutif Dengan melakukan penyusunan APBD secara keseluruhan akan berada di tangan sekretaris daerah yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan penyusunan pada APBD, sedangkan proses pada penyusunan belanja secara rutin hanya disusun oleh pada bagian keuangan pemda. Untuk proses penyusunan penerimaan yang dilakukan oleh dinas, dapat diproses penyusunan belanja. Pada pembangunan disusun oleh bappeda untuk bagian penyusunan program pada bagian keuangan. – Proses Legislatif Terhadap proses penyusunan APBD di tingkat legislatif hanya dilakukan berdasarkan tata tertib dari DPRD yang secara bersangkutan.
Mekanisme Penyusunan APBN atau APBD
APBD adalah salah satu anggaran atau rencana keuangan tahunan yang dilakukan terhadap pemerintah daerah .melalui dewan perwakilan rakyat daerah sekitar, hanya untuk menetapkan peraturan dan terhadap kebijakan di sekitar daerah.
APBD hanya untuk dijadikan sebagai pedoman penerimaan pengeluaran negara sehingga akan mendapat melaksanakan tugas negara untuk menumbuhkan perekonomian nasional, atau peningkatan produksi, dan mencapai kemakmuran yang diinginkan oleh masyarakat sekitar. Berikut ini rancangan dalam melaksanakan APBD ada beberapa tahapan antara lain.
Menyusun rancangan kerja pemerintahan daerah, penyusunan dijelaskan menggunakan dengan bahan dari rencana kerja dalam waktu satu tahun lalu ditetapkan dengan peraturan dengan kepala daerah. Menyusun kebijakan terhadap umum apbd untuk disusun sekretariat daerah kepada kepala daerah dan diberitahu juga dengan dewan perwakilan rakyat daerah hanya untuk disepakati. Menyusun surat edaran kepada kepala daerah hanya untuk disebarkan dan mencakup prioritas terhadap pembangunan daerah atau program kerja yang terkait.
B. SUMBER PENDAPATAN Tahun 2018 merupakan tahun keempat dari pelaksanaan program pembangunan Kabinet Kerja dalam mencapai sasaran-sasaran pembangunan guna mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Pemerintah merespon tahun 2018 ini melalui penetapan tema kebijakan fiskal yakni “Pemantapan Pengelolaan Fiskal untuk Mengakselerasi Pertumbuhan yang Berkeadilan”. Tiga strategi fiskal pada tahun 2018: 1. Optimalisasi pendapatan negara dengan tetap menjaga iklim investasi; 2. Efisiensi belanja dan peningkatan belanja produktif untuk mendukung program prioritas; 3. Mendorong pembiayaan yang efisien, inovatif, dan berkelanjutan.> Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2018 APBN tahun 2018 disusun dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian global maupun domestik, yang tercermin dari asumsi dasar ekonomi makro sebagai berikut. 1. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,4 persen; 2. Inflasi dapat terkendali dalam kisaran 3,5 persen; 3. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diperkirakan berada pada Rp13.400 per dolar Amerika Serikat; 4. Tingkat suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,2 persen 5. Indonesia Crude Price (ICP) diperkirakan rata-rata mencapai USD48,0 per barel; Lifting minyak dan gas bumi tahun 2018 diperkirakan masing-masing mencapai 800 ribu barBesaran indikator ekonomi makro tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari luar (global) maupun dalam negeri (domestik). Pengaruh faktor global diantaranya harga komoditas yang masih lemah, perdagangan dunia meningkat namun masih dibayangi isu proteksionisme dan perlambatan tingkat permintaan dari Tiongkok, Uni Eropa dan Jepang, serta ketegangan geo politik di Timur Tengah dan Asia.
Pengaruh dari faktor domestik, yaitu tingkat kepercayaan dan daya beli masyarakat, keyakinan pelaku usaha, peningkatan peran swasta melalui kredit investasi dan investasi langsung, perbaikan neraca pembayaran serta penguatan cadanga
C. GRAFIK APBN INDONESIA DAN APBD KALBAR DARI TAHUN 2011 SAMPAI SEKARANG
D. POKOK PERMASALAHAN APBN DAN APBD Dalam bulan-bulan ini, pemerintah daerah (Pemda) disibukkan oleh penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ada fenomena menarik terkait proses penyusunan APBD tersebut. Fenomena ini sebenarnya bukan masalah baru. Tapi masalah klasik yang dari tahun ke tahun seringkali berulang. Karena sebagai suatu masalah dan berpotensi merugikan masyarakat, maka seharusnya menjadi perhatian bersama, terutama bagi Pemda. Pangkal masalah Anggaran di Indonesia, baik APBN dan APBD menurut Ahmad Erani Yustik Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) adalah: 1. APBN/APBD selalu di desain defisit sehingga memberi kesempatan adanya inefesiensi dan praktik koruptif. 2. desain APBN/APBD hanya dipahami sebagai proses teknokratis untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi (anggaran), tetapi APBN tidak dimengerti juga sebagai instrumen ideologis untuk mendekatkan tujuan bernegara sebagai amanat konstitusi. 3. asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasawrkan kepada tujuan sempit tetapi mengabaikan semangat keadilan sosial, seperti aspek ketimpangan pendapatan. 4. besaran anggaran tidak mencerminkan permasalahan dan kontekstualisasi dasar pembangunan nasional. Buktinya, alokasi anggaran ke sektor pertanian dan industri tergolong kecil padahal sebagian tenaga kerja berada di sektor tersebut. 5. amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik. Sebagai contoh, alokasi anggaran kesehatan diharuskan minimal 5 persen dari APBN, namun selama ini mendapatkan porsi kurang dari 2 persen. 6. penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga membuka peluang terjadinya korupsi penerimaan negara seperti yang terus berulang selama ini. 2 (dua) hal yang perlu dicermati sebagai hambatan dalam mewujudkan APBD sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat; 1. berkaitan dengan perlilaku politik dari pejabat politik maupun pejabat publik daerah yang merasa terganggu atau tidak suka dengan transparansi anggaran, karena hal tersebut secara tidak langsung akan mengurangi otoritas yang selama ini mereka nikmati. 2. persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal yang ada, bahwa masingmasing pihak dan lembaga memilki batas kewenangan serta prosedurnya sendiri. Kedua kendala inilah yang menyebabkan alokasi anggaran dalam APBD seringkali tidak mencerminkan keberpihakan kepada publik. Selama ini, kendala yang seringkali dimunculkan sebagai alasan belum mampunya peemrintah daerah menyediakan pelayanan dengan kualitas memadai adalah keterbatasan dana, sehingga APBD lebih terfokus pada optimalisasi penggalian PAD. Beberapa permasalahan yang mengiringi proses penyusunan APBD itu adalah :
1. waktu penyusunan yang molor. Setiap tahun dijumpai daerah yang lamban dalam menyusun anggaran keuangan pemerintahannya.
Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya disampaikan kepala daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan. Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus diserahkan ke DPRD pada pekan pertama Oktober untuk dibahas, kenyataannya biasa molor yang akhirnya penetapannya juga molor. keterlambatan ini berdampak pada sejumlah kabupaten/kota terlambat juga menyerahkan RAPBD ke Pemprov untuk dievaluasi. Padahal, keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus tertunda menunggu selesainya penetapan APBD. Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan dipotong 25% oleh pemerintah pusat. Dari sudut pandang perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu yang kurang masuk akal. Logikanya, bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan tanpa ada acuan APBD? APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan atau paling lambat tanggal 31 Desember, kenyataannya tak sedikit yang molor hingga berbulan-bulan. Selama APBD belum ditetapkan, daerah-daerah tersebut berjalan berpedoman pada apa? Secara de-jure maupun formal administratif, landasan daerah yang terlambat menetapkan APBD itu bisa dikatakan lemah. Kemungkinan molornya waktu penetapan APBD amat besar disebabkan pelantikan anggota DPRD. Dasar hukum penyusunan tata tertib dan alat kelengkapan DPRD juga terlambat terbit, sehingga berdampak pada terlambatnya pembahasan RAPBD. 2. Persoalan anggaran yang tekor atau defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena anggaran pendapatan pemerintah tidak mampu menutup anggaran belanjanya.
Daerah yang mengalami defisit anggaran bisa jadi secara faktual memang tidak mampu menutup besarnya pengeluaran belanja daerah. Ada kemungkinan pula kondisi defisit tersebut “direkayasa” sebagai sarana untuk menekan pemerintah pusat agar menambah dana perimbangan atau dana kontingensi. Tidak mudah menyusun APBD yang benar-benar bebas dari defisit ketika paradigma “besar pasak daripada tiang” dan terlalu menggantungkan bantuan dari eksternal masih menjadi pedoman dalam penyusunannya. Kenyataannya, daerah masih amat tergantung kepada sumber pembiayaan dari pemerintah pusat. Terbukti, sebagian besar penerimaan daerah berasal dari DAU dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketergantungan Pemda terhadap pusat menyebabkan kreativitas daerah terkadang terhambat. 3. Minimnya semangat efisiensi. Berhubungan dengan persoalan defisit anggaran, pemerintahan yang terlalu boros akan cenderung menciptakan defisit.
Di Permendagri No 25/2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 juga telah disebutkan guna mencapai sasaran pembangunan, dalam penyusunan program dan kegiatan daerah wajib menerapkan prinsip-prinsip efisiensi. Perjalanan dinas dan studi banding agar dibatasi frekuensi dan jumlah pesertanya serta dilakukan sesuai dengan substansi kebijakan yang sedang dirumuskan, yang hasilnya dilaporkan secara transparan dan akuntabel. Bahkan ditentukan pula pembatasan penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar dan lokakarya. Namun, kepatuhan terhadap aturan tertulis tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat saja, tidak sedikit daerah yang justru melakukan pembahasan RAPBDnya di luar daerah. Mungkin anggaran yang dibutuhkan untuk membiayainya relatif kecil dibanding angka-angka yang dibahas, tapi bagaimana dengan semangat efisiensinya? Kurangnya sense of crisis Pemda juga terlihat dari tidak pekanya mereka atas kondisi masyarakat dan kondisi keuangan daerah. Sungguh ironis, meskipun masih banyak masyarakat yang terhimpit kesusahan ekonomi dan kondisi keuangan daerah yang terbatas, di beberapa daerah justru berencana memborong mobil dinas hingga miliaran rupiah. Daerah semestinya memahami dan menempatkan prioritas pengalokasian anggarannya dengan tepat. Sebagaimana arahan Permendagri No 25/2009, masalah dan tantangan utama yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2010. Di antaranya adalah upaya untuk menanggulangi kemiskinan, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta meningkatkan kualitas kesehatan. Di bidang pendidikan misalnya, Pemda secara konsisten dan berkesinambungan perlu mengupayakan pengalokasian anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja daerah. 4. Kurang berpihaknya anggaran pemerintah kepada publik.
Hampir semua APBD di Indonesia anggarannya mayoritas dialokasikan guna memenuhi belanja pegawai. Seperti untuk membayar gaji, tunjangan, honor dan uang lembur. Biaya untuk belanja barang/jasa, perjalanan dinas, dan pemeliharaan gedung/kendaraan semakin memperbesar kebutuhan anggaran untuk pegawai. Belanja pegawai yang menyedot biaya besar berdampak pada kecilnya anggaran untuk publik. Kebanyakan daerah lebih dari 75% anggarannya digunakan dalam rangka membiayai internal birokrasi, sedangkan anggaran untuk pembangunan dan pelayanan publik relatif terbatas. Seberapa jauh anggaran pemerintah berpihak pada publik, bisa diamati dari bagaimana pelayanan publik; seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur; diselenggarakan pemerintah. Keempat persoalan seputar penyusunan APBD di atas seharusnya tidak sampai terjadi, atau paling tidak dapat direduksi, seandainya dalam penyusunan APBD memperhatikan prinsip penyusunan APBD yang sudah digariskan (ada partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, dan taat asas), serta patuh pada kaidah penganggaran sektor publik yang berlaku (legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik).
APBD sering TERLAMBAT Ada beberapa kemungkinan mengapa dapat terjadi keterlambatan Pemda dalam menyelesaikan APBD, yakni: 1. proses perencanaan seringkali hanya bersifat formalitas belaka. Forum yang semestinya bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat (termasuk berbagai kepentingan politik) kurang mendapat perhatian, karena sebagian besar lebih tertarik pada tahap penganggaran. Mudah dipahami, sebab pada tahap penganggaran-lah perhitungan biaya (uang) mulai terbahas. Akibatnya rencana kegiatan yang telah dibuat mesti dibahas ulang di tahap penganggaran yang seringkali bertele-tele karena lahirnya transaksi politik. 2. keterlambatan penyusunan RAPBD sehingga terlambat diserahkan Kepala Daerah kepada DPRD. Keterlambatan ini bisa disebabkan karena masalah teknis manajerial, rendahnya kompetensi birokrasi, atau tidak sinkronnya peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sebagai pedoman. 3. DPRD tidak menjalankan fungsi anggaran dengan baik. Penyebabnya hampir sama dengan apa yang dialami oleh Pemda yakni masalah teknis manajerial dan rendahnya kompetensi anggota DPRD. Di samping itu keterlibatan DPRD dalam penyusunan APBD terlalu jauh sampai jenis kegiatan, besaran anggaran, dan lokasi program. 4. terjadinya tarik ulur kepentingan politik lokal. Anggota DPRD yang menghendaki kepentingan politiknya (dan juga kepentingan pribadinya) terakomodasi mendesak kepada Pemda untuk dimasukkan dalam APBD. Tak jarang, kepentingan tersebut sebenarnya belum urgen untuk direalisasikan. Pemda akhirnya menghadapi dilema. Jika menolak maka terjadilah ketegangan yang mengakibatkan pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Jika dituruti berarti mengorbankan kepentingan sebagian rakyat lain. 5. keterlambatan evaluasi oleh Gubernur. Rancangan Perda tentang APBD yang telah disetujui Bupati/Walikota bersama DPRD, sebelum ditetapkan harus disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Kemungkinan Gubernur bisa terlambat mengevaluasi.
Masihkah upaya perbaikan kualitas perencanaan APBD bernilai strategis? Upaya perbaikan pengelolaan keuangan daerah, khususnya perencanaan APBD, masih merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, yang merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah. Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya. Beberapa permasalahan pokok yang perlu direspon adalah sebagai berikut: 1. Anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi. Mengapa penilaian kewajaran belanja harus dilakukan? Salah satu alasannya adalah karena usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up, dibesarkan atau ditinggikan di
atas perkiraan yang sewajarnya (sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi rendah. 2. Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih rendah. Bila usulan belanja cenderung dimark-up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung dimark-down; ditetapkan lebih rendah dari target sebenarnya. 3. Kurangnya keterpaduan, penganggaran.
konsistensi
dan
sinkronisasi
perencanaan
dengan
Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini sedemikian karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas. 4. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar SKPD. Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD. 5. Relevansi Program / Kegiatan: kurang responsif dengan permasalahan dan / atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi. Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat menentukan kemampuan daerah dalam mewujudkan kewajibannya. Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi. 6. Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada pelaporan penggunaan dana. Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran berbasis kinerja. Tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja SKPD tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata. 7. Spesifikasi indikator kinerja dan target kinerja masih relatif lemah. Pada beberapa kasus, penetapan besar belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran (output) atau hasil (outcome). Volume output diubah, tetapi total belanja
tidak berubah. Selain itu, Indikator kinerja untuk Belanja Administrasi Umum (dahulu disebut sebagai Belanja Rutin) masih tetap belum jelas. 8. Rendahnya inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat. Bagaimanakah cara terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jawaban pertanyaan ini sangat tergantung konteks, potensi dan permasalahan di masing-masing daerah. Hingga saat ini, inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat masih relatif rendah. disamping hal-hal diatas, ada juga yang berpendapat bahwa permasalahan penyusunan APBD bersumber pada:
Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat, dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun. Beberapa faktor-faktor intervensi hak budget DPRD yang dapat menjadi penghambat dalam penyusunan APBD, adalah: 1. Usulan dari DPRD yang terkadang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) 2. Unsur politis dalam rangka mewujudkan kepentingan tertentu 3. Motif pada saat pelaksanaan proyek di lapangan dalam rangka mencari keuntungan pribadi 4. Adanya istilah “sinterklas”(bagi-bagi proyek) kepada oknum anggota DPRD atau pejabat daerah
Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban
membuat rencana tapi realisasinya sangat minim. ------- Perencanaan pembangunan di bidang apapun sebagian besar masih didominasi oleh berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD, program dan kegiatan SKPD itu sendiri bahkan kepentingan dari elemen – elemen masyarakat. Hal ini telah banyak terlihat buktinya di lapangan, bahwa apa yang sudah di buat perencanaannya sesuai matrix dan usulan yang berasal dari masayarakat (bottom up) dengan sebelumnya telah melalui proses penyusunan usulan program dan kegiatan di tingkat kelurahan dan kecamatan misalnya ternyata realisasinya sangatlah minim. Kondisi ini membuat pelaksanaan musrenbang menjadi acara rutinitas dan formalitas belaka sehingga menjadi kurang diminati oleh pihak-pihak yang selayaknya mengikuti kegiatan tersebut.
Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbungabunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target.
Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan
dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embelembel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
Adanya intervensi pada saat proses penyusunan perencanaan. Perencanaan suatu kegiatan terutama yang berkaitan dengan peningkatan pembangunan di semua sektor dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya diawali dengan perencanaan yang didasari oleh pedoman – pedoman yang ada termasuk rencana strategis yang telah disusun dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan tanpa mengesampingkan isu-isu strategis yang ada selama masih berkaitan dan mempunyai output yang jelas. Akan sangat selaras ketika semua bisa mengacu pada pedoman yang ada dan akan sangat mudah nantinya dalam proses monitoring dan evaluasi. Namun jika perencanaan keluar dari pedoman-pedoman strategis yang telah ditetapkan maka daerah akan menemui kesulitan dalam menyusun perencanaan program dan kegiatan satu tahun ke depan.
Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
SDM Evaluasi Anggaran pada Pemerintah Provinsi. APBD Kabupaten/ Kota wajib dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Pelaksanaan evaluasi ini tidak dibarengi dengan ketersediaan dan kompetensi SDM pada Pemerintah Provinsi yang terlibat saat melakukan evaluasi anggaran. Hal ini membuat proses penganggaran menjadi tidak efektif dan efisien. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas.
rendah
karena
Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan cukup rumit (misal Permendagri 66 tahun 2007), complicated dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
Faktor Team Work dan Komitmen. Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini harus dilakukan karena penganggaran merupakan media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan yang baik, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas. Saat penyusunan perencanaan, pimpinan terkadang hanya melibatkan segelintir pegawai saja, sementara perencanaan program dan kegiatan adalah atas nama organisasi, sehingga akan lebih baik apabila keseluruhan proses penganggaran mulai dari awal perencanaan sampai pada kegiatan monitoring dan evaluasi terakhir melibatkan seluruh pegawai sebagai team work dalam rangka mencapai tujuan akhir yang akan dicapai oleh organisasi. Selain itu, pada penyusunan APBD, pihak-pihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Adanya komitmen memberikan gambaran bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD untuk mengetahui secara jelas visi, misi, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan APBD. Selain itu, melalui komitmen dapat menciptakan motivasi dan kemauan bagi pihak penyusun APBD untuk menyelenggarakan tahapan penyusunan APBD yang lebih baik, efektif, efisien, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di Kaltim masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola
perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan). Meskipun penyusunan APBD rentan dengan berbagai kepentingan politik, namun aturanaturan formal tetap harus dijadikan landasan, terutama prinsip dan kaidah normatifnya. Jika hal ini sungguh-sungguh dipedomani oleh eksekutif dan legislatif, niscaya APBD menjadi “alat intervensi” negara dalam mensejahterakan masyarakat, dan bukan justru menjadi sumber masalah. Berdasarkan permasalahan diatas sekurangnya ada tiga praktik tata kelola yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi. Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI. Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta. Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah. Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah
yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar). Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah TIDAK EFEKTIFnya PERAN INSPEKTORAT (dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul. Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja. Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis. 1. menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas eksternal (BPK, KPK, dll). 2. sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan (input), pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif.
E. FUNGSI APBN DAN APBD DIKALBAR Fungsi APBN meliputi: 1. Fungsi Alokasi Dengan adanya APBN, pemerintah dapat mengalokasikan (membagikan) pendapatan yang diterima sesuai dengan sasaran yang dituju. Misalnya, berapa besar untuk belanja (gaji) pegawai, untuk belanja barang, dan berapa besar untuk proyek. 2. Fungsi Distribusi Dengan adanya APBN, pemerintah dapat mendistribusikan pendapatan yang diterima secara adil dan merata. Fungsi distribusi dilakukan untuk memperbaiki distribusi pendapatan di masyarakat sehingga masyarakat miskin dapat dibantu. Caranya, antara lain dengan melakukan kebijakan subsidi seperti subsidi BBM. 3. Fungsi Stabilisasi Dengan adanya APBN, pemerintah dapat menstabilkan keadaan perekonomian untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, dalam keadaan inflasi (harga barang dan jasa naik), pemerintah dapat menstabilkan perekonomian dengan cara menaikkan pajak. Dengan menaikkan pajak, jumlah uang yang beredar dapat dikurangi sehingga hargaharga dapat kembali turun. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2003, pasal 66, APBD memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Fungsi Otorisasi Fungsi otorisasi berarti APBD menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 2. Fungsi Perencanaan Fungsi perencanaan berarti APBD menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan berarti APBD menjadi pedoman untuk menilai (mengawasi) apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Fungsi Alokasi
Fungsi alokasi berarti APBD dalam pembagiannya harus diarahkan dengan tujuan untuk mengurangi pengangguran, pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi Distribusi Fungsi distribusi berarti APBD dalam memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
pendistribusiannya
harus
A.KESIMPULAN
B.SARAN