Apa Sebetulnya Usaha Kita? APA sebetulnya yang bisa kita usahakan? Jangan-jangan tidak ada. Karena di setiap kejadian, kita seperti cuma bisa melakukan apa yang diperintahkan. Perintah itu bisa berupa keinginan, keterpaksaan, keragu-raguan, bahkan kecelakaan-kecelakaan hidup. Karena keteledoran, saya lupa mengingat jatuh tempo kartu prabayar handphone saya. Ketika teringat, segalanya telah hampir terlambat. Tinggal dua jam lagi hari berubah, dan hanguslah nomor yang telah demikian lama saya pakai, sudah dihafali teman dan kolega, sudah terbiasa menjadi sarana untuk saling berkabar anak-istri dan saudara. Maka terancam kehilangan nomor ini, seperti terancam kehilangan anggota keluarga. Saya baru tahu, bahwa nomor yang demikian dekat dengan hidup saya itu tidak saya rawat sebagai mana mestinya. Kelupaan itu adalah semacam karma yang harus saya tanggung. Karma itu berupa rasa bersalah, dan rasa panik luar biasa. Kepanikan yang berasal tidak cuma dari sekadar kehilangan nomor telepon, tapi lebih karena menyadari bahwa saya telah bertindak bodoh. Kebodohan inilah yang membuat saya sedih dan marah pada diri sendiri. Maka dua jam berikutnya benar-benar menjadi ketegangan yang sesungguhnya. Malam sudah larut, sudah tidak lazim lagi penjual voucher membuka usaha. Tapi semua upaya harus dicoba. Toko pertama yang saya datangi mengaku masih menyimpan banyak stok. "Tapi baru saja tutup, baruuuu saja. Tiga menit yang lalu," kata penjaga malamnya. Ia menganjurkan untuk menuju wartel di seberang yang jauh. "Buka 24 jam nonstop," kata penjaga ini. Lega rasanya. Dengan terburu, perjalanan pun berlanjut ke wartel penolong itu. Lebih lega ketika ia adalah wartel yang ramah, yang dijaga dengan sopan dan profesional. "Tapi kebetulan sedang kosong. Baru ada besok pagi. Maaf," kata sang penjaga. Pikiran pun buntu, nyaris putus asa. Jam makin bergerak cepat menuju larut, menjelang pergantian hari. Detik-detik menuju penghangusan nomor telah menanti. "Ada sebuah pom bensin yang bisa membantu Anda," teriak si penjaga tiba-tiba sambil menyebut sebuah lokasi. "Terimakasih Tuhan!" batin saya. Perburuan pun diteruskan. Berpacu dengan waktu. Pom bensin penyelamat itu pun telah nampak di depan mata. Pertolongan seperti menjelang tiba. "Pom bensin ini memang masih buka. Tapi kantornya tutup. Vocher itu dilayani lewat kantor," kata sang penjaga. "Tapi jangan khawatir, masih ada toko yang buka sampai pagi. Biasa jual vocher," tambahnya. Keringat dingin mulai menetes. Tapi ooo, kesempatan masih ada. Perjuangan harus diteruskan, putus asa harus diharamkan. Dan perjalanan lanjutan ini pun sampai juga. Sebuah toko yang terang benderang, persis sebagai lambang pertolongan. Lagilagi, ramah penjaganya. "O, biasanya ada, cuma malam ini kosong!" katanya dengan senyum lebar. Gelap pandangan mata ini. Nomor kesayangan yang telah menemani saya demikian lama ini memang harus mengakhiri sejarahnya. Waktu sudah tidak lagi cukup untuk menuju ke sesuatu. Lagipula sudah tidak ada lagi keinginan untuk menuju ke sesuatu. Ajal sudah akan sampai, dan takdir sudah menampakkan dirinya. Sampai akhirnya HP yang malang ini berdering, dan terdengarlah dari seberang suara seorang kawan yang tak pernah saya duga. Maka sebelum ia banyak bicara, situasi daruat ini harus segera dituntaskan. "Saya butuh vocher dalam hitungan menit. Tolong!"
Dengan kegentingan serupa dia mematikan teleponnya utnuk bertelpon kembali beberpa menit kemudian sambil mendiktekan nomor voucher yang entah dia dapat dari mana. Segalanya berlangsung amat cepat, dan nomor voucher itupun suskes masuk ke HP saya sebagai tambahan pulsa. Di jalanan yang gelap, saya berhenti, memejamkan mata. Jadi apa sebetulnya yang bisa kita perbuat, kalau bahkan soal manusia yang kehabisan voucher pun langsung diurus oleh Tuhan. Allahu Akbar! (03) (PrieGS/)